Bab I Aqidah Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir)
Nama kitab: Terjemah Mafahim Yajibu an Tushohhah (Pemahaman yang Harus Diluruskan)
Judul kitab asal: (مفاهيم يجب أن تصحح)
Pengarang/penulis: Sayid Muhammad Alawi Al-Maliki
Nama lengkap: Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani Al-Idrisi Al-Makki (1944–2004)
Panggilan hormat dari murid dan muhibbin: Abuya, Sayyidil Walid, Sayyidil Walid Abuya
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Wahabime, Salafisme, Syariah
Daftar isi
- Pendahuluan
- BAB I AQIDAH KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG
- Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir) Secara Membabi Buta
- Sikap Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab Menyangkut Takfir
- Risalah Penting Lain Karya Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Dalam Masalah Pentakfiran
- Memaki Orang Islam Adalah Tindakan Fasiq Dan Memeranginya Adalah Tindakan Kufur
- Status Khaliq Dan Status Makhluq
- Status Makhluq
- Aspek-Aspek Yang Sama Antara Status Khaliq Dan Makhluq Tidak Bertentangan Dengan Kesucian Allah
- Majaz ‘Aqli Dan Penggunaannya
- Urgensi Menetapkan Kaitan (Nisbat) Dalam Menetapkan Batasan Kufur Dan Iman
- Esensi Menisbatkan Tindakan Kepada Para Hamba
- Perbedaan Arti Akibat Perbedaaan Nisbat Lafadh
- Mengagungkan, Antara Ibadah Dan Etika
- Perantara Syirik
- Mediator Paling Agung
- Baju Kepalsuan
- Antara Sebaik-Baik Bid’ah Dan Seburuk-Buruknya
- Perbedaan Pasti Antara Bid’ah Syar’iyyah Dan Bid’ah Lughawiyyah
- Ajakan Para Aimmatuttashawwuf Untuk Mengaplikasikan Syariah
- Substansi Kelompok Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (Asya’irah)
- Esensi-Esensi Yang Selesai Dengan Kajian
- Jibril Menyamar sebagai Seorang Lelaki
- Pengertian Tawassul
- Bentuk Tawassul Yang Disepakati Ulama
- Titik Perbedaan
- Dalil-Dalil Tawassul Yang Dipraktekkan Kaum Muslimin
- Tawassul Dengan Nabi Muhammad Saw Sebelum Wujud Di Dunia
- Dokumen-Dokumen Tentang Hadits Tawassul Adam As
- Koreksi Ibnu Taimiyyah Terhadap Makna Pengkhususan Pada Hadits
- Analisa Penting Terhadap Pandangan Ibnu Taimiyyah Yang Raib Dari Benak Para Pengikutnya
- Tawassul Orang-Orang Yahudi Dengan Nabi Saw.
- Tawassul Dengan Nabi Sewaktu Hidup Dan Sesudah Wafat
- Penggunaan Lain Dan Dukungan Ibnu Taimaiyyah Terhadapnya
- Upaya-Upaya Yang Gagal
- Tawassul Dengan Nabi Saw Di Hari Kiamat
- Legalitas Tawassul Dalam Metode Syaikh Ibnu Taimiyyah
- Disyari’atkannya Tawassul Dengan Nabi Saw Versi Ahmad Ibn Hanbal Dan Ibn Taimiyyah
- Diperbolehkan Tawassul Versi Imam Al Syaukani
- Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Berpendapat Diperkenankannya Tawassul
- Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Tidak Bertanggung Jawab Atas Orang Yang Mengkafirkan Orang-Orang Yang Bertawassul
- Tawassul Dengan Jejak-Jejak Peninggalan Nabi Saw
- Tawassul Dengan Jejak-Jejak Peninggalan Para Nabi AS
- Tawassul Nabi Dengan Kemuliaan Dirinya Dan Kemuliaan Para Nabi Dan Sholihin
- Tawassul Nabi Dengan Kemuliaan Para Peminta (Bi Haqqissaailin)
- Tawassul Dengan Kuburan Nabi Saw Atas Petunjuk Sayyidah ‘Aisyah
- Sayyidah ‘Aisyah Dan Sikap Beliau Terhadap Kuburan Nabi Saw
- Tawassul Dengan Kuburan Nabi Saw Pada Era Khalifah ‘Umar
- Tawassul Kaum Muslimin Dengan Nabi Saw Dalam Perang Yamamah
- Tawassul Dengan Nabi Saw Pada Saat Sakit Dan Mengalami Musibah
- Tawassul Dengan Figur Selain Nabi Saw
- Makna Tawassul ‘Umar Dengan Dengan Abbas Ra
- Kisah Al ‘Utbi Dalam Tawassul
- Bait-Bait Al ‘Utbi Atas Jeruji-Jeruji Kuburan Nabi Saw
- Kesimpulan
- Syubhat Yang Ditolak
- Anggapan Sebagian Orang Bodoh Bahwa Nabi Saw Tidak Bisa Mendengar Perkataan Kita, Ttidak Bisa Melihat Kita Dan Tidak Mengenal Kita
- Daftar Nama Para Imam Yang Mempraktekkan Tawassul
- Para Sahabat Memohon Syafa’at Kepada Nabi Saw
- Interpretasi Ibnu Taimiyyah Terhadap Ayat-Ayat Yang Menerangkan Syafaat
- Hanya Kepadamu Kami Menyembah Dan Hanya Kepadamu Kami Mohon Pertolongan
- Memohon Pertolongan Dan Permintaan Kepada Nabi Saw
- Abu Hurairah Ra Mengadukan Lupa
- Qotadah Ra Meminta Pertolongan Kepada Nabi Untuk Menyembuhkan Matanya
- Mu’adz Ra Memohon Kepada Nabi Agar Menormalkan Tangannya
- Memohon Pertolongan Dan Bantuan Kepada Allah Lewat Nabi Dalam Mengatasi Musibah
- Nabi Saw Adalah Pilar, Perlindungan Dan Tempat Kami Mengadu
- Hamzah Pelaku Kebaikan Dan Penghilang Kesusahan
- Tidak Ada Perbedaan Antara Hidup Dan Mati
- Klaim Sesat
- Pertanyaan Pada Kaum Wahabi
- Apakah Memohon Sesuatu Yang Tidak Mampu Dilakukan Kecuali Oleh Allah Adalah Tindakan Syirik
- Jika Engkau Memohon Maka Memohonlah Kepada Allah Dan Jika Meminta Pertolongan Mintalah Pada Allah
- Jika Anda Meminta, Memintalah Kepada Allah
- Sesungguhnya Saya Tidak Dapat Dijadikan Tempat Untuk Memohon
- Kata-Kata Yang Digunakan Yang Terdapat Dalam Masalah Ini
- Sikap Syaikh Muhammad Ibn Abdil Wahhab Menyangkut Ungkapan-Ungkapan Yang Dikategorikan Syirik Atau Sesat Oleh Golongan Wahabi
- Kembali ke kitab: Terjemah Mafahim Sayid Al-Maliki
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sholawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada utasan paling utama, Muhammad saw, keluarga, dan para
sahabatnya sekalian. Ammab ba’du:
Sungguh Allah telah memberikan kepada
kita ni’mat nan banyak, dan yang teragung diantaranya adalah ni’mat Islam dan
alangkah mulianya ni’mat itu.
Diantara ni’mat-ni’mat yang diberikan
kepada kita ialah kesejahteraan serta ketenteraman yang kita rasakan di
berbagai belahan negara ini. Juga ni’mat pengimpletasian syari’at Islam dengan
memberlakukan hudud serta menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan
sunnah utusan-Nya Muhammad saw.
Ini semua murni karena fadlol dari Allah
dan berkat jasa pemerintah yang telah Allah jadikan pelindung bagi negara
Haramain; Makkah dan Madinah yang mulia serta jasa mereka yang diberikan
pertolongan oleh Allah untuk senantiasa mencurahkan tenaga serta pikirannya
demi memberikan pelayanan kepada dua negara ini, serta dimuliakan Allah dengan
memegang amanat untuk menjaga dan membentengi keduanya.
Usaha pemerintah
ini ternyata mendapat dukungan dari putra-putra bangsa ini dengan janji setia
untuk mendukung langkah yang dilakukan oleh pemerintah, serta tanggung jawab
didepan umum. Berangkat dan terdorong iman kita yang murni serta aqidah salaf,
dan metode nabawi, kami akan memenuhi janji itu. Karena negeri ini, berkat
anugrah dari Allah telah bersih dari segala kotor dan selamat dari segala
jenis syirik seperti yang dikhabarkan Rasulullah: “Tidak mungkin akan ada dua
agama di semenanjung Arab.” (HR.Malik).
Nabi juga bersabda: “Sungguh
setan telah merasa putus asa untuk mencari penyembah agar menyembahnya di
tanah kalian (semenanjung Arab).” (HR. al-Bazzar, Thobaroni dengan jalan sanad
yang bagus).
Dalam hadits lain nabi bersabda: “Ya Allah, Janganlah kau
jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah dikemudian hari.” (HR. Malik
dan Ahmad) dan do’a beliau terkabul.
Hadits Nabi: “Sesungguhnya sesuatu
yang paling aku takutkan terjadi pada ummatku adalah penyekutuan Allah,
ingatlah! Bukan penyembahan matahari, bulan serta berhala (yang aku
takutkan.pent), tapi, kebajikan yang dilakukan bukan karena Allah serta
syahwat yang samar.” (HR. Ibnu Majah).
Terlebih lagi, nabi menghabarkan
kepada kita bahwa negeri ini adalah benteng iman serta sentral pembawa panji
Islam. Beliau bersabda: “sesungguh-nya iman akan bersentral di Madinah seperti
ular yang akan kembali ke sarang-nya.” (HR. Bukhori-Muslim).
Dalam
riwayat lain: “sesungguhnya agama akan berpusat di bumi Hijaz seperti
bersarangnya ular di lubangnya, agama juga akan terjaga dengan baik di bumi
Hijaz seperti domba-domba yang aman di kandangnya.”
BAB I AQIDAH KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN
SEKARANG
Larangan Menjatuhkan Vonis Kufur (Takfir) Secara Membabi Buta
Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang
membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan
mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan
berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di
dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan
tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban
mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka.
Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar
harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil
hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan
perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Praktek amar ma’ruf nahi
munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk
menggapai hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan
amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda
mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang
diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan
syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia
memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat
dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu
menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu
telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya
dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.
Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan, “ Telah
ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam)
kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi
Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari
kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam
tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang
dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib
diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.
Ajaran-ajaran yang
dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin
bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan
dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal),
balasan, sorga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang
mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak
mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi
sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang
mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi
yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek
isnad seperti hadits : “Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah
tempatnya di neraka”.
2. Aspek tingkatan kelompok
perawi seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka
bumi ini dari wilayah barat dan timur dari aspek kajian, pembacaan, dan
penghapalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain
dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal
dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas
sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek
informasi (Tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena
mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang
dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut
mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Memvonis kufur
seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah
hadits disebutkan, “Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya, “
Hai orang kafir”, maka vonis kufur bisa jatuh pada salah satu dari keduanya”.
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan
kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam
lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman
dalam hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki
wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa
kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan
dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang
berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak
diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat
sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam
sebuah hadits dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal merupakan pokok
iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah.
Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam
akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku
sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman
orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran
takdir”.
Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku :
Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan
tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan
pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan
argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu
Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal
meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat
dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi
buta di luar point-point yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan
pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah yang memberi
petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR
Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimakumullah memiliki
sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh
mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara
serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka.
Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua
pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah
risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah
ia menulis sbb :
Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku
berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian
dan bahwa sebagian ulama didaerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah
tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama
saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak
terlintas sama sekali di hatiku.
Diantaranya :
ucapan Sulaiman
bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat
Bahwa manusia
semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.
Saya
mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
Perbedaan para ulama
adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan
orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya :
Wahai Makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah
Rasululllah SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang
Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu.
Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua
orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan
selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya
membakar kitab Dalailul Khairatt dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya
namakan Raudlul Syayaathiin.
Jawaban saya atas tuduhan telah
mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah :
Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang
besar.
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah
dialami Nabi SAW. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang
shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab
menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :
•
•
Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik
dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.
Kafir Qurays
melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi SAW mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan
‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :
RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM
MASALAH PENTAKFIRAN
Risalah ini dikirimkan kepada Al-Suwaidi, seorang ulama Iraq.
Sebelumnya Al-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang
diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya :
Tersebarnya
kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk
menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya.
Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan
semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin
kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang
muslim akan melontarkan ucapan demikian?.
Dan apa yang kalian katakan :
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi SAW niscaya saya akan
merealisasikannya, membakar dalailul khairat jika mampu dan melarang
bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkatakan-perkataan
ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbersit daslam
hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Al-Qur’an.
Pada halaman 64
dari kitab yang sama Syaikh berkata : Apa yang kalian katakan bahwa saya telah
mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih,
mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya : Wahai makhluk paling mulia,
mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi SAW, kuburan kedua orang tua
dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah
menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah
:
Maha suci Engkau (ya Tuhan
kami), ini adalah Dusta yang besar.
MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN
KUFUR
Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan
kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan
memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah
halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju
Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak
pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat
mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah
agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata
kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah
senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan
orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan
buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian
kaum manuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
Dalam riwayat
lain redaksinya sbb : Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya.
Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum
kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan
Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di
dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan
Aslamnaa , akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa. “ Buat apa senjata
yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum
Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun
membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid.
Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah
kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh
sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka
kepada pasukannya. Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak :
“Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh
tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka
malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi
SAW, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.
Ada pendapat yang
menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa dengan
angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah
adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini
sebelum mengatahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Shoba’naa Shoba’naa.
Nabi SAW sendiri pernah mengatakan, “ Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara
kabilah Qurays ; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk
menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.
Persis seperti apa yang
dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra
kekasih Rasulullah SAW berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari
Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata,
“Rasulullah SAW mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang
mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang
laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan. Ketika kami berdua
telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan
laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya
namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah,
Nabi SAW telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya
lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya
setelah dia mengatakan La Ilaaha illallah?.” “Dia hanya berpura-pura,”
Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya
berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau
robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau
berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.
Sayyidina Ali RA
pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka
kafir?”. “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi
kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya
sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus
siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah
yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali.
STATUS KHALIQ DAN STATUS MAKHLUQ
Perbedaan antara status Khaliq dan makhluq adalah garis pemisah antara
kufur dan iman. Kami meyakini bahwa orang mencapuradukkan kedua status ini
berarti dia telah kafir. Wal ‘Iyadz billah.
Masing-masing dari kedua
status di atas memiliki hak-hak spesifik. Namun, dalam masalah ini masih ada
hal-hal, khusunya yang berkaitan dengan Nabi dan sifat-sifat eksklusif beliau
yang membedakan dengan manusia biasa dan membuat beliau lebih tinggi dari
mereka. Hal-hal seperti ini kadang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang
memiliki keterbatasan akal, pemikiran, pandangan dan pemahaman. Kelompok ini
mudah terburu-buru memvonis kafir terhadap mereka yang mengapresiasi hal-hal
tersebut dan mengeluarkan mereka dari agama Islam karena menurut kelompok ini
menetapkan sifat-sifat khusus untuk Nabi SAW adalah mencampuradukkan antara
status Khaliq dan makhluq serta mengangkat status Nabi dalam status ketuhanan.
Kami sungguh memohon ampun kepada Allah dari tindakan mencampuradukkan seperti
ini.
Berkat karunia Allah kami mengetahui apa yang wajib bagi Allah dan
Rasul serta mengetahui apa yang murni hak Allah dan yang murni hak rasul
secara proporsional tidak melampaui batas sampai memberi beliau sifat-sifat
khusus ketuhanan yaitu menolak dan memberi, memberi manfaat dan bahaya secara
independen (di luar kehendak Allah), kekuasaan yang sempurna dan komprehensif,
menciptakan, memiliki, mengatur, satu-satunya yang memiliki kesempurnaan,
keagungan dan kesucian dan satu-satunya yang berhak untuk dijadikan obyek
beribadah dengan beragam bentuk, cara dan tingkatannya.
Seandainya yang
dianggap melampaui batas adalah berlebihan dalam mencintai, taat dan
keterikatan dengan beliau maka hal ini adalah sikap yang terpuji dan
dianjurkan sebagaimana dalam sebuah hadits : “Janganlah kalian mengkultuskanku
sebagaimana kaum Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam”.
Maksud dari
hadits tersebut berarti bahwa sanjungan, berlebih-lebihan dan memuji
beliau di bawah batas di atas adalah tindakan terpuji. Seandainya maksud
hadits tidak seperti ini berarti yang dimaksud adalah larangan untuk
memberikan sanjungan dan memuji secara mutlak. Pandangan ini jelas tidak akan
diucapkan oleh orang Islam paling bodoh sekalipun. Wajib bagi kita memuliakan
orang yang dimuliakan Allah dan diperintahkan untuk memuliakannya. Betul,
memang kita wajib untuk tidak mensifati Nabi SAW dengan sifat-sifat ketuhanan
apapun. Imam Al-Bushoiri RA berkata :
Jauhilah klaim Nashrani akan Nabi
mereka
Berilah beliau pujian sesukamu dengan bahasa yang baik
Memuliakan
Nabi SAW tidak dengan sifat-sifat ketuhanan sama sekali bukan dikategorikan
kufur atau kemusyrikan. Malah diklasifikasikan sebagai salah satu ketaatan dan
ibadah yang besar. Demikian pula setiap orang yang dimuliakan Allah seperti
para Nabi, rasul, malaikat, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Allah
berfirman :
Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa
mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari
Ketakwaan hati.
Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa
mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik
baginya di sisi Tuhannya.
Diantara obyek yang wajib
dimuliakan adalah Ka’bah, Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Ketiga benda ini
adalah batu namun Allah memerintahkan kita untuk memuliakannya dengan thawaf
pada Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, sholat di belakang
maqam Ibrahim, dan wukuf untuk berdoa di dekat Mustajar, pintu Ka’bah dan
Multazam. Tindakan kita terhadap benda-benda di muka bukan berarti beribadah
kepada selain Allah dan meyakini pengaruh, manfaat, dan bahaya berasal dari
selain-Nya. Semua hal ini tidak akan terjadi dari siapapun kecuali Allah SWT.
STATUS MAKHLUQ
Kami meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang bisa mengalami
apa yang dialami manusia umumnya seperti sifat-sifat yang temporal dan
penyakit-penyakit yang tidak mengurangi kedudukan beliau dan tidak membuat
beliau dijauhi. Sebagaimana dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam :
Para
rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer
yang tidak mengurangi
kedudukan mereka seperti sakit ringan
Rasulullah juga adalah seorang
hamba yang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, mati, hidup
membangkitkan kepada dirinya sendiri kecuali apa yang telah dikehendaki Allah.
Firman Allah :
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman".
Beliau juga telah mengemban risalah,
menyampaikan amanah, menyadarkan ummat, membuang kesedihan dan berjihada fi
sabilillah sampai ajal menjemputnya. Beliau berpulang ke sisi Allah dalam
kondisi rido dan mendapat keridoan, seperti digambarkan dalam firman Allah :
• • •
Sesungguhnya kamu akan mati dan
Sesungguhnya mereka akan mati (pula).
•
Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad);
Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?
Kehambaan adalah
sifat beliau yang paling mulia. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata
: “Saya hanyalah seorang hamba”. Allah menyifati beliau dengan kehambaan dalam
kedudukan tertinggi :
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.
Dan bahwasanya tatkala
hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja
jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.
Kemanusiaan adalah letak
sesungguhnya kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia
namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak
mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia biasa. Sebagaimana penilaian
beliau tentang dirinya : “Saya tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya saya
bermalam di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan
minum”.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa status
kemanusian beliau wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakannya dengan
manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keistimewaan beliau yang eksklusif
dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan
khusus untuk Nabi Muhammad SAW namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain
agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para
rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penilaian lain
adalah pandangan jahiliyah yang musyrik. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil
mengenai masalah ini. Diantaranya adalah
- Ucapan kaum
Nuh terhadap Nabi Nuh dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka : (Hud
: 27).
•
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin
yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang
manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang
mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas
percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun
atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".
-
Ucapan kaum Nabi Musa dan Harun terhadap mereka berdua dalam kisah yang
diceritakan Allah tentang mereka : (Al-Mu’minun : 47).
Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang
manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah
orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?"
-
Ucapan kaum Tsamud kepada Nabi mereka Shalih dalam peristiwa yang
diceritakan Allah tentang mereka : (Asy-Syu’araa’ : 154).
Kamu
tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; Maka datangkanlah sesuatu
mukjizat, jika kamu memang Termasuk orang-orang yang benar".
-
Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang
diceritakan Allah tentang mereka : (Asy-Syu’araa; : 186).
185.
Mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang
kena sihir,
186. Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti
Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-benar Termasuk orang-orang
yang berdusta.
- Ucapan kaum musyrikin terhadap
Nabi Muhammad SAW yang memandang beliau semata-mata sebagai manusia dalam
kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :
•
Dan mereka berkata: "Mengapa
Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak
diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan
bersama- sama dengan dia?,
Nabi telah menginformasikan status
dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-hal yang melampauai
kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain.
-
Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih : “Kedua mataku terpejam namun
hatiku tetap terjaga”.
- “Saya mampu melihat kalian
dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.
-
“Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.
Meskipun telah wafat,
Rasulullah tetap hidup dalam bentuk kehidupan barzakh yang sempurna. Beliau
mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang yang bershalawat
sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada beliau hingga
beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar
terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk
memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak
dan dari apapun yang berada dalam tanah.
Dai Aus ibn Aus, ia berkata ,
“Rasulullah SAW bersabda, “Salah satu hari kalian yang paling utama adalah
hari Jum’at ; di hari itu Adam diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala
dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untukku pada hari
Jum’at. Karena shalawat kalian disampaikan kepadaku”. Wahai Rasulullah,
bagaimana shalawat kami sampai kepadamu padahal tubuhmu telah hancur?” tanya
para sahabat. “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk
memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah
dan Ibn Hikam dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim yang menilai hadits ini
shahih).
Menyangkut keutuhan jasad para Nabi Al-Hafidh Jalaluddin
As-Suyuthi menyusun sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang
berjudul ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi Hayaatil Anbiyaa’.
Dari ibnu Mas’ud
Rasulullah SAW bersabda, “ Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara
dan saya berbicara kepada kalian. Dan jika saya meninggal dunia maka
kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan
kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allahdan jika aku melihat amal
buruk aku beristighfar buat kalian”. Kata Al-Haitsami , “Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan standar perawi
hadits shahih.
Dari Abi Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau berkata,
“ Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan
nyawaku hingga aku membalas salamnya”. HR. Ahmad dan Abu Dawud.
Sebagian
ulama menafsirkannya dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau.
Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama
semua makhluk pada kuburanku. Maka tidak ada seorang pun hingga hari
kiamat yang menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan
kepadaku namanya dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang
telah menyampaikan shalawat untukmu”. HR. Al-Bazzaar dan Abu al-Syaikh ibn
Hibban yang redaksinya : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ada malaikat
Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia berdiri di atas
kuburanku jika aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang menyampaikan
shalawat kepadaku kecuali si malaikat berkata, “Wahai Muhammad ! fulan anak
fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”. Rasulullah berkata, “Rabb Tabaraka
wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”. Dalam
Al-Kabiir Al-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini
Meskipun
Rasulullah SAW telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajatnya di sisi
Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena
itu, bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya kembali kepada
keyakinan keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan
dimuliakan Allah serta keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan
tawassul bukanlah berarti beribadah kepada Nabi SAW. Karena beliau betatapapun
tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu
menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin Allah.
Allah SWT berfirman
:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu
itu adalah Tuhan yang Esa".
ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN
DENGAN KESUCIAN ALLAH
Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama
antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan
aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.
Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian
yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi
kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek
tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan
aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagaian
sifat-sifat ketuhanan. Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena
Allah SWT bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan
yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia
mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang
lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak
sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT.
Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka
harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan
diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan
makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang
tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan
kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang da dalil
yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada
Nabi SAW dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan
Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat
ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.
Di antara
aspek-aspek di atas adalah :
Syafaat; syafaat adalah
milik Allah. Allah berfirman :
Katakanlah:
"Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.
Namun syafaat juga
dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat
dalam sebuah hadits : Saya dikaruniai syafaat, dan : Saya adalah orang pertama
yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.
Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah.
Katakanlah: "tidak
ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah",
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah
menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib :
26. (dia adalah
Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu.
27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia
Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman :
•
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa
Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
........
Hidayah
yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua.
Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan
berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika
pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan Sesungguhnya
engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi
hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku. Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan
apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami
kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut
apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Masalah ini sama dengan
apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah
dan Al-Rahmah saat Allah berfirman :
Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
dan
Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat.
Allah SWT berfirman ( ). Sudah umum diketahui bahwa
Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan
Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua
sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang
dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara
Khaliq dan makhluk. Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf
dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang
berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan
Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengetakan Ra’uuf dengan ra’fah
kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan. Namun semua ini ternyata
tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan
penjelasan apapun. Allah berfirman :
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA
Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah. Diantaranya :
dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya)
Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat
aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang
menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.
•
hari yang menjadikan anak-anak beruban.
Penyandaran
kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat
mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang
yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT.
dan
jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan
kebanyakan (manusia)
Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz
‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi
petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata.
Firman Allah
mengisahkan Fir’aun :
"Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi
Penyandaran Al-Binaa
kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi
perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat
jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. Para ulama
berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah
cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan
yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka
adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan
mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup
atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini
adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan.
Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.
URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN
IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual
tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan
titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada
seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan
menggunakan argumentasi firman Allah :
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab
kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat :
Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri
بما كنتم تعملون
kelompok Jabariyah yang berpegang teguh
dengan ayat :
والله خلقكم وما تعملون
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya
semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua
tindakan para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayat
والله
خلقكم وما تعملون
dan ayat
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan
pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah
لها
ما كسبت وعليها ما اكتسبت
dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran
kerja kepada hamba. Keterkaitan qudrah dengan almaqdur (obyek dari sifat
qudrah) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa
azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah
Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan
lain.
ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan
qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan
tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan
penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya.
Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang,
karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua
manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini
berdasarkan firman Allah
••
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun
kamu sangat menginginkannya-.
Penisbatan tindakan kepada makhluk
masuk kategori penisbatan musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab)
kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah
kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta
washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya
Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala
sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh
Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal
seperti malaikat, manusia atau jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan
kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan
pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan
kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam
penggunaannya”.
Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat
tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya. Kalau demikian tidak
boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui
dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian
(musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan : Pemimpin
membunuh di fulan dan ungkapan : Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh
yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata
yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita : Allah adalah
pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada
dan ungkapan kita : Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa
makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan
padanya kehendak dan pengetahuan. Berarti hubungan qudrah dengan iradah serta
gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan
yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk
berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kartegori mengaitkan yang
disebabi atas yang menjadi penyebab. Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal
yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk
kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan
memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan
keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun
masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam
hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat. Dalil yang menunjukkan
diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah
SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang
kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri. Allah
SWT berfirman :
•
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu
akan mematikanmu
Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya
•
Maka
Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam., dengan dinisbatkan kepada
mereka
25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari
langit), 26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, 27. Lalu Kami
tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
•
lalu Kami mengutus roh Kamikepadanya,
Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami
jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta
alam.
Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup
sesungguhnya adalah Jibril AS. Allah berfirman :
•
Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu. , padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya
oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.
Allah berfirman :
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan
tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu
menyandarkannya kepada diri-Nya. Maksud dari ayat bukan berarti menafikan
fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan
tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa
mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh
dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah
dua makna yang memiliki arti berbeda. Kadangkala Allah menisbatkan tindakan
kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah :
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang
diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi
Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,"
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
‘Aisyah
RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika berkehendak menciptakan janin maka Allah
mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan
tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai
Tuhanku, laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal
atau cacat ?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan
malaikat pun membentuknya.
Dalam versi lain : malaikat membentuk janin
dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa
tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif. Karena itu
tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman Allah :
•
Pohon itu
memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya., pohon tidak bisa
memberikan buah dengan sendirinya. Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang
yang memberikan beliau sebuah kurma.
خذها لو لم تأتها لأتتك ...
Ambillah
kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu
...............
Sebagaimana tertera dalam riwayat Thabarani dan Ibnu
Hibban. Penyandaran kata Ityan (datang) berbeda pengertian antara yang
disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma
berbeda dengan datangnya laki-laki. Pengertian datang dari keduanya adalah dua
majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada
laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak
untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah akan
membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma. Yang sesungguhnya adalah
menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut
pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa
mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa AS :
Karun berkata:
"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".
Dan sebagaimana dalam hadits : Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada
yang beriman kepadaKu dan kafir. Adapun yang berkata : Kami disirami hujan
berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada
bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami disirami hujan berkat bintang
ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang. Kekufuran ini
terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang
menciptakan.
Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama terbelah
menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami hujan
berkat bintang ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkataan ini
adalah kekufuran kepada Allah dan mencabut dasar keimanan serta dapat
mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi
atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang
adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagaian kaum
jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak
disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama diantaranya
Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu,
dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan berkat
bintang ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat Allah
SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan
maka seolah-olah ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu bintang ini,
berarti ia tidak kufur.
Para ulama berbeda pendapat menyangkut
kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat bintang ini. Namun
kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab
kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang
bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang
jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua
: Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat
Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini
berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini
didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada
yang bersyukur dan ada yang kufur. Dalam riwayat lain ; Allah
tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian
manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها (terhadap berkah itu)
menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama
bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak
kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai
pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika perantara tidak dilihat demikian
namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan
yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang
mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi : Siapapun yang
memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu
membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas
kebaikannya. Dan sabda Nabi yang lain : Siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.
Ajakan syara’ ini
berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian
tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah SWT
memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi mereka
pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka
berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah
berfirman :
•
Dia adalah
sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya)
Bagi orang-orang yang berbuat
baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l)
dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut tidaklah
berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung
dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas
dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki
tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara
teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang
disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam : رب إنهن أضللن كثيرا من
الناس . apakah Anda menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda
mati? Padahal beliaulah yang bertanya : أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما
تعملون . Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang
menyekutukan Allah dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan
pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia,
baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab dalam hal
di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan
Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il)
adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin
meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab.
Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang
nota bene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.
MENGAGUNGKAN, ANTARA IBADAH DAN ETIKA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah.
Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa apapun bentuk
pengagungan berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan,
mengagungkan Nabi SAW dengan sayyidina dan maulanaa, dan berdiri di depan
beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di
mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah. Pandangan ini
sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridloi
Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai
dengan spirit syari’ah islamiyyah.
Nabi Adam AS, manusia pertama dan
hamba Allah yang shalih yang pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat
diperintahkan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan
pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan
sebagai proklamasi kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan para
makhluk lain. Allah berfirman :
•
61. Dan (ingatlah), tatkala
Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu
mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang
yang Engkau ciptakan dari tanah?"
62. Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah
kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika
Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan
aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil".
Dalam ayat lain
Allah berfirman :
Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah".
Maka bersujudlah Para
Malaikat itu semuanya bersama-sama, Kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama
(malaikat) yang sujud itu.
Para malaikat mengagungkan makhluk yang
diagungkan Allah dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang tercipta
dati tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi dengan akalnya
dan berkata : saya lebih baik dari Adam, dengan alasan karena ia tercipta dari
api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam dan menolak bersujud
kepadanya. Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungkan
makhluk yang diagungkan Allah. akhirnya ia dijauhkan dari rahmat Allah karena
keangkuhannya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada dasarnya adalah
keangkuhan kepada Allah karena sujud kepada Adam semata-mata atas perintah
Allah. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepadanya atas
para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan Allah namun ketauhidannya
tidak berguna sama sekali akibat menolak bersujud kepada Adam.
Salah
satu firman Allah yang menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang sholih
adalah firman Allah menyangkut Nabi Yusuf AS
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya
ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud
Sujud
ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaan dan pemuliaan terhadap Yusuf
atas saudara-saudaranya. Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-saudara
Yusuf ditunjukkan oleh kalimat وخروا barangkali dalam syari’at
saudara-saudara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini diperbolehkan atau
seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan, mengagungkan, dan
mematuhi perintah Allah sebagai penafsiran terhadap mimpi Yusuf dimana
mimpi para Nabi berstatus wahyu.
Adapun Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT
telah berfirman :
8.
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan,
9. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.
• •
1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
•
•
• •
2.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya
tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
3.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi
mereka ampunan dan pahala yang besar.
4. Sesungguhnya orang-orang yang
memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.
63. Janganlah kamu jadikan
panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada
sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang
berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Ketika berhadapan dengan
Rasulullah, Allah SWT melarang berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak
sopan dengan mendahului berbicara. Sahl ibn ‘Abdillah berkata,” Janganlah kamu
berkata sebelum Rasulullah berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanlah
dan perhatikanlah. Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-gesa
memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah terpenuhi dan dilarang
mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama
tanpa perintah Nabi dan juga tidak boleh mendahului beliau. Kemudian Allah
memperingatkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas :
واتقوا
الله إن الله سميع عليم
Berkata As-Silmi : takutlah kepada Allah, jangan
sampai menelantarkan hak Allah dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkan-Nya
karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan kalian. Selanjutnya
Allah melarang mengeraskan suara melebihi suara beliau dan berbicara keras
kepada beliau sebagaimana mereka berbicara kepada sesamanya. Versi lain
mengatakan, sebagaimana kalian saling memanggil dengan menggunakan nama. Abu
Muhammad Makki mengatakan : janganlah kalian berkata sebelum beliau,
mengeraskan ucapan dan memanggi beliau dengan namanya sebagaimana panggilan
kalian dengan sesamanya. Tapi agungkanlah dan hormatilah dan panggillah beliau
dengan panggilan paling mulia yang beliau senang dengan panggilan tersebut
yaitu Wahai Rasulullah dan wahai Nabiyyallah. Pandangan Abu Muhammad Makki ini
sebagaimana firman Allah :
Ulama
lain menafsirkan : Jangan berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutnya
Allah memperingatkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar
larangan di muka. Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika
sekelompok orang datang kepada Nabi dan memanggil beliau dengan : Wahai
Muhammad, keluarlah untuk menemui kami. Lalu Allah pun mengecam tindakan
mereka sebagai kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak
berakal.
‘Amr ibn ‘Ash berkata, “Tidak ada orang yang lebih kucintai
melebihi Rasulullah SAW dan dimataku tidak ada yang lebih agung melebihi
beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar
semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk menyifati beliau
saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan
mata terbuka lebar. HR Muslim dalam Kitabul Iman, bab Kaunul Islam Yahdimu Maa
Qablahu.
Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW keluar
menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Di antara mereka
terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan
wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan
beliau memandang keduanya dan mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau
juga tersenyum kepada mereka.
Usamah ibn Syuraik meriwayatkan : Saya
datang kepada Nabi SAW yang dikelilingi para sahabat yang seolah-olah di atas
kepala mereka dihinggapi burung. Dalam menyifati beliau : Jika berbicara para
pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukkan kepala seolah-olah
di atas kepala mereka dihinggapi burung. Saat ‘Urwah ibn Mas’ud menjadi duta
Qurays waktu mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah dan melihat
penghormatan para sahabat kepada beliau. Ia melihat jika beliau berwudlu maka
mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau meludah atau
membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak tangan mereka lalu
digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau yang
jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Beliau memberi instruksi mereka segera
mengerjakanya. Bila Beliau berbicara mereka merendahkan suara mereka.
Mereka tidak berani memandang tajam Beliau, karena menghormatinya. Ketika
Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy ia berkata, “Wahai orang-orang
Quraisy saya pernah mendatangi Kisro dan kaisar di istana mereka, Demi Allah
saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad
bersama para sahabatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan: Saya belum pernah
sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutnya sebagaimana para sahabat
menghormati Nabi. Sungguh saya telah melihat kaum yang tidak akan membiarkan
Beliau dalam bahaya selamanya.
At-Thabarani dan Ibnu Chibban dalam kitab
shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami
sedang duduk-duduk disamping Nabi seolah-seolah diatas kepala kami hinggap
burung “.Tidak ada seorangpun diantara kami yang berbicara tiba-tiba datang
beberapa orang pada Nabi lalu mereka bertanya ; “ Siapakah hamba Allah yang
paling dicintainya? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab Nabi. Demikian
tercantum dalam At-Targhib:2/187.Imam Al-Mundziri berkata, Hadits ini
diriwayatkan oleh At Thabarani dalam As Shahih dengan para perawi yang bisa
dijadikan argumentasi.
Abu Ya’la meriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib
dan menilainya shahih bahwa Al-Barra’ mengatakan, “Sungguh aku ingin sekali
menanyakan sesuatu kepada Rasulullah namun aku menundanya selama dua tahun
semata-mata karena segan”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Zuhri bahwa
ia berkata, “Mengkhabarkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya ragukan
bahwa Rasulullah SAW jika berwudlu atau mengeluarkan dahak maka para sahabat
berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan kulit
mereka.
“Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah.
“Kami
mencari berkah darinya.”
“Barangsiapa yang ingin dicintai Allah dan
Rasul-Nya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti
tetangganya.” Demikian keterangan dalam Al-Kanzu : 8/228.
Walhasil, dalam
hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti. Pertama; kewajiban
menghargai Nabi SAW dan meninggikan derajat beliau di atas semua makhluk.
Kedua; mengesakan Tuhan dan menyakini bahwa Allah SWT berbeda dari semua
makhluk-Nya dalam aspek dzat, sifat dan tindakan. Barangsiapa yang meyakini
adanya kesamaan makhluk dengan Allah dalam aspek ini maka ia telah
menyekutukan Allah sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan
penyembahan terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi SAW dari
kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.
Adapun orang
menghormati Nabi dengan beragam penghormatan yang berlebihan namun tidak
menyifati beliau dengan sifat-sifat Allah apapun maka ia telah berada di jalan
yang benar dan secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan.
Sikap semacam ini adalah sikap yang ideal.
Apabila ditemukan dalam ucapan
kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami
sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya karena majaz ‘aqli
digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
PERANTARA SYIRIK
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah). Mereka
memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap
bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah
menyekutukan Allah dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang
mengatakan :
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Kesimpulan ini jelas salah
dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya. Karena
ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut
penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain
Allah serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan
bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah.
Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah dari aspek penyembahan
mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah
tuhan-tuhan di luar Allah SWT.
Di sini ada masalah yang urgen untuk
dijelaskan. Yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai
yang digambarkan Allah, tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang
membenarkan penyembahan berhala : (Kami tidak menyembah mereka kecuali
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah). Jika ucapan kaum musyrikin
tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah lebih agung daripada berhala dan mereka
tidak akan menyembah selain-Nya. Allah telah melarang kaum muslimin untuk
memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firman-Nya :
• •
108. Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Abdurrazaq, Abd ibn
Hamid, ibn Jarir, ibnul Mundzir, ibn Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan
dari Qatadah bahwa Rasulullah berkata, “Awalnya Kaum muslimin memaki
berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat
:
• •
108. Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.
Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya
ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk
melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah
oleh kaum paganis di Makkah. Karena melontarkan kalimat seperti itu
mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka
yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan
menolak bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin,
Allah SWT dan melecehkan-Nya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari
segala kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan
kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah niscaya mereka
tidak akan berani memaki Allah untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan
mereka. Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah dalam hati
mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah.
Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah :
•
25.
Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala
puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Bila
orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah sang Pencipta dan
bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan
menyembah Allah semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan
mereka terhadap Allah melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu
tersebut. Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka
terhadap Allah sebagai bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan
pelampiasan dendam terhadap Allah SWT? Secara spontan kita akan menjawab
sampai kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat
yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah lebih rendah dari patung-patung
yang mereka sembah. Banyak ayat senada seperti :
136. Dan mereka memperuntukkan
bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah,
lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini
untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang
diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala
mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
Seandainya di mata mereka
Allah tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak
akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak
layak mendapat vonis ساء ما يحكمون
Salah satu ungkapan yang masuk
kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah
engkau wahai Hubal !”sebagaimana riwayat Al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan
kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis mampu
mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu
mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala mereka.
Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan
Allah SWT.
Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan
terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang
tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai
dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah
menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah
menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat ? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek
penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah dan mengikuti
Nabi SAW. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar
Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala.
Perantara (mediator/wasithah) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan. Tidak semua orang yang
menggunakan mediator antara dirinya dan Allah dipandang musyrik. Jika semua
dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik karena segala
urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad SAW menerima
Al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau. Sedang Nabi SAW adalah
mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat
mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai
mediator menuju Allah. Mereka memohon do’a kepada beliau dan beliau tidak
menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan
memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena
Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”. Nabi tidak pernah berkata
demikian. Beliau malah berdiam dan dan memohon pada saat di mana mereka
mengatahui bahwa pemberi sejati adalah Allah dan yang mencegah, melimpahkan
dan pemberi rizqi juga Allah. Mereka juga tahu bahwa beliau SAW memberi atas
izin dan karunia Allah. Beliaulah yang mengatakan,”Saya adalah pembagi dan
Allah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti
penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan
menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan
mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut. Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka
bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW yang nota bene junjungan mulia, Nabi agung,
makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah
paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda,” Barangsiapa
membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min …..” sebagaimana
tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Maka orang mu’min adalah orang yang
mengatasi segala kesulitan.
Bukankah beliau bersabda.”Barangsiapa
membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan
amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat…………..jika tidak maka aku
akan memberinya syafaat”. Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala
kebutuhan. “Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi
aibnya”. “Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang
untuk memenuhi kebutuhan mereka”. “Allah senantiasa membantu hamba-Nya
sepanjang ia membantu saudaranya”. “Siapapun yang menolong orang teraniaya
maka Allah akan menulis baginya 93 kebaikan”. HR. Abu Ya’la, Al-Bazzaar dan
Al-Baihaqi.
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi,
membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun
sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah SWT. Namun berhubung ia adalah
mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan
tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits
Rasulullah SAW terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah SWT
menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar
dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong
dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka.
At-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan meriwayatkan
dari Mani’ Ad-Dailami RA bahwa ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Jikalau
tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang
merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu
akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash RA
bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki
hanya karena orang-orang lemah kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah
hadits yang dikategorikan shahih oleh Al-Hakim dari Anas RA bahwa Nabi SAW
bersabda.”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
Dari Abdullah
ibn Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah memiliki para
makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang
kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang
yang aman dari adzab Allah”. HR. Thabarani dalam Al-Kabiir, Abu Nu’aim dan
Al-Qudlo’i dengan status Hasan.
Dari Abdillah ibn Umar RA bahwa
Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT, sebab keshalihan seorang
laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa
sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah
sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”. Diriwayatkan oleh Ibn
Jarir dalam tafsirnya : 2/341 dan An-Nasa’i dalam Al-Mawaa’idz dari As-Sunan
Al-Kubraa sebagaimana keterangan dalam At-Tuhfah : 13/380. Para perawi hadits
ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih Al-Bukhari dan
Al-Muslim selain guru An-Nasaa’i yang dikategorikan tsiqah dan WAFIIHI
KALAAMUN.
Dari Ibnu ‘Umar RA berkata : Rasulullah SAW
bersabda,”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki
shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”. Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman
Allah :
••
seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang
lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang
dicurahkan) atas semesta alam. HR. Thabarani.
Dari Tsauban
seraya memarfu’kan hadits berkata,”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang
wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai
tiba hari kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit RA berkata : Rasulullah SAW
bersabda,”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian
diberi hujan dan mendapat pertolongan”. Qatadah berkata,”Sungguh saya berharap
Hasan Al-Bashri termasuk mereka”. HR. Thabarani.
Empat hadits di atas
disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat :
••
seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah
bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta
alam.
Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits
menjadi shahih.
Dari Anas, berkata : Rasulullah SAW bersabda,”Bumi tidak
akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim AS. Berkat mereka
kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal
maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” HR. Thabarani dalam Al-Awsath
dan isnad isnad hadits ini hasan. Majma’uz Zawaaid : 2/62.
MEDIATOR PALING AGUNG
Dalam hari mahsyar yang nota bene hari tauhid, hari iman dan hari
dimana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik
panji (Alliwaa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi
syafaa’t yang diterima syafa’atnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk
orang yang Allah telah berjanji kepada beliau bahwa Allah tidak akan
mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak
membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon
syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju
kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah kepada
beliau : “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafa’at maka syafa’atmu
akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi !”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan dan
kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka tidak tahu
apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya.
Semua mengaku punya
hubungan kasih dengan Laila
Tapi Laila menampik pengakuan mereka
Fakta
menyedihkan ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri
dan merusak reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara
detail dalam sebuah hadits : Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu
yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang mengenakan dua baju
kebohongan”.
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya
orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian umat, memecah belah
antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan anak dengan
ayahnya.
Mereka berusaha meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat pintu
pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran salaf
dengan jalan pengingkaran, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik dan
belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya
simpati. Diantara para pengklaim adalah mereka yang menganggap mengikuti
jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari substansi dan
essensi taSawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori kemuliaanya, merusak
ajaranya dan melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari
para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing.
Kami tidak mengenal
tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam taSawwuf. Kami juga
tidak mengenal teori-teori filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik
baik sinkretisme atau manunggaling kawula gusti.
Kami lepas tangan
kepada Allah dari muatan-muatan sesat taSawwuf dan mengkategorikan semua
pandangan yang berlawanan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak bisa
dita’wil adalah kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan
jahil dan jiwa-jiwa yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi
pekerti yang bersih tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para
imam dan para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling
cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah
menginformasikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan,
keagungan, jihad, perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan
besar tidak akan terbangun kecuali di atas risalah-risalah spiritual dan
inspirasi-inspirasi iman dan tidak akan berdiri kecuali di atas
etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya digali dari akidah-akidah
suci.
Sesungguhnya sifat-sifat etik, psikologis dan spiritual adalah
modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah asset-asset besar yang membentuk
ummat dan mengantarkan umat manusia menuju cita-cita luhur. Orang yang
mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan tokoh-tokoh sufi di tengah
masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh ideal dan prinsip-prinsip ini
bisa menjadi faktor langsung terjadinya revolusi-revolusi yang nyata,
tercatat dan populer dalam sejarah Islam. Mereka tidak memiliki pengaruh dan
kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas,
berkobar-kobar dan hidup, yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada
Allah. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan
menatap selamanya kepada Allah dalam hati para pengikutnya. Orang yang
mengkaji juga akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa
hidup dalam maqam al-ihsan (kondisi dimana seseorang merasakan kehadiran
Allah), ia melihat Allah dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepada-Nya
dalam segala aktivitasnya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah dalam
setiap tarikan nafasnya tanpa meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan
dengannya, dan peniadaan eksistensi Tuhan. Iman ini adalah iman yang
membangunkan kesadaran holistik dalam kehidupan, menyentak rasa yang dalam
akan ketuhanan yang berjalan dalam alam semesta, dan yang hidup dalam
sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang
terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa
yang disembunyikan dalam hati.
ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA
Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah
orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit
mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta,
akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran
dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang
berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah
sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syari’ah Islam mengharuskan
kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa : sebagian bid’ah
ada yang baik dan sebagian ada yang buruk. Klasifikasi ini adalah tuntutan
akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam.
Klasifikasi bid’ah ini
adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum
muslimin seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi, Al-Suyuuthi,
Al-Mahalli dan Ibnu Hajar.
Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan
saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan
komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi
syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu
kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang
jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif
yang digali dari samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan
kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam
batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang
mengikat.
Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits :
كل بدعة ضلالة
Setiap bid’ah itu sesat
Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai
bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil
syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti
:
لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد
Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan
di masjid
Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya
sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits
memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah,
disamping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Seperti hadits
:
لاصلاة بحضرة الطعام
Tidak ada sholat di hadapan makanan
Para ulama menafsirkan bahwa
sholat tersebut tidak sempurna.
لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa
yang ia cintai untuk dirinya.
والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم
يأمن جاره بوائقه .
Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak
beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang
yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan
dengan tidak adanya iman yang sempurna.
لايدخل الجنة قتات .......... ، لايدخل الجنة قاطع رحم وعاق لوالديه
Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga
orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang
tuanya.
Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk sorga
ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk sorga jika menilai
perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.
Walhasil, para ulama tidak
memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan
bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaskan
bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan
keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah
bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.
Dalam
sebuah hadits dijelaskan : Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka
ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai
hari kiamat”
Berpegamg teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para
khulafaurrasyidin sesudah wafat.
‘Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai
sholat tarawih : sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah
dalam satu masjid dengan seorang imam).
PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji
dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian.
Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan
dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas
menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat. Karena itu Anda
akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah
bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang
mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak,
tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik
dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat
terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah
orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan
spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan
jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman
yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan
perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan,
minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah
serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya
bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah (keagamaan) 2) bid’ah
duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini
membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama
tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era
kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada
dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan
dari mana nama-nama baru ini datang ?.
Orang yang berkata bahwa
pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka
saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak
bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan
mengada-ada yang sebenarnya.
Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda,
“Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak.
Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah
terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak
mengandung konsekuensi apa-apa.
Karena itu harus kami jelaskan di sini
sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi
jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah
Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i. Maka untuk memahami
ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah
mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan
diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu
bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam
urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at
agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu
menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah.
Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari
agama, maka ia ditolak.
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah
kalimat “ في أمرنا هذا ”.
Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah
menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk
pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan
hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain
adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka
yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak
bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan
itu jauh.
Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat
mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan
sayyi’ah, sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’,
dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan
penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka
yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa
pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka
mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan
perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata
mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua
kelompok ini tidaklah substansial. Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan
yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang
berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak
mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika
mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, – ini adalah pendapat
yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah
keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua
bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak
untuk dijelaskan secara mendetail. Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah
duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi,
yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat
ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita
menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas
adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah
dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka
yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah
terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan
hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk
mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum
muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau
khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat
di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin
direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah
mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para
aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih
dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa
pengurangan, perubahan atau interpretasi.
AJAKAN PARA ULAMA TASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai,
sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian
kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam
daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya
sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan
informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya
melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi
pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa
sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di
atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya
diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan
al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”
Fudlail ibn
‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan
Bisyr al-Haafi adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh
dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka.
Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau
pura-pura buta?.
Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tashawwuf
menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri
dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang
paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam Junaid RA
berkata, “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang
mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau.
Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak
beliau.”
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi
suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat
orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya
berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak
menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan
tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari
beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas
klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu Yazid.
Dzunnuun
Al Mishri berkata, “Poros dari segala ungkapan (madaarul Kalam) ada empat;
Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti
Al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi
orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam
budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.
As-Sirri As-Siqthi
berkata, “Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal
tashawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya
wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan
dengan pengertian lahirial Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak
mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah.
Abu Nashr Bisyr
ibn Al Harits Al Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai
Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan
teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab
Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada
teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah
faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik ( Abror ).”
Abu
Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku
untuk memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan,
kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal
Rasulullah tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini
kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak
peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah
berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah
hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau
melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga
batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang,
selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah
masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua
saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari
berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah
Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah
Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap
saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang
terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh
besar (diwaanirrijaal).
Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata,
“Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia
tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita
dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini
dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun
di atas fondasi hadits Rasulullah.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail
Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu
Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman
membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam
penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”
Ia juga
berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan
senantiasa takut kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti
sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para
wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan
budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa
bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang
bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih.
Ia juga berkata,
“Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan
tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan
hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan
berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman :
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau
melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas
dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul
Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya
dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat,
menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah (muraqabat)
dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan
diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul
Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan
dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi
hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib
Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada
belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah.
Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya
di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu
Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah
maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan
menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan
beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator
cinta kepada Allah adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti
Nabi-Nya SAW.”
Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu
dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari
faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu
Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah
satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan
menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan
menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI (ASYA’IRAH)
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab Al-Asya’irah
(kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak mengetahui siapakah
mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa
apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari Islam dan
menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah.
Ketidaktahuan terhadap
madzhab Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok ahlussunnah
dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh
memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir,
mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan mengapa
ahlussunnaha dan kelompok ekstrim mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?.
35. Maka Apakah patut
Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa
(orang kafir)
Al-Asya’irah adalah para imam simbol hidayah dari kalangan
ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan
semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka
adalah tokoh-tokoh besar ulama ahlissunnah yang menentang kesewenang-wenangan
mu’tazilah.
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Asya’irah
digambarkan sbb : Para ulama adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah
pembela dasar-dasar agama (ushuluddin). Al-Fataawaa, volume 4.
Al-Asya’irah
(penganut madzhab Al-Asy’ari) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits,
ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
• Syaikhul Islam
Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para
ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari.
• Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi,
penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.
•
Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li
Ahkaamil Qur’an.
• Syaikhul Islam Ibnu Hajar
Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil Kabaa’ir.
•
Syaikhul Fiqh , al-hujjah (argumentasi) dan ats-tsabat (tokoh ulama yang
dipercaya) Zakaaria Al-Anshari.
• Al-Imam Abu Bakar
Al-Baaqilani
• Al-Imam Al-Qashthalani.
•
Al-Imam An-Nasafi
• Al-Imam Asy-Syarbini
•
Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
•
Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.
•
Dsb.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli
hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan Al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan
memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama
para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi.
Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang
telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki
kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada syari’at
junjungan para rasul Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh
jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang
dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk mengambil
manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan
tersesat dari jalan Islam?.
Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama
sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi
kepada hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar
Al-‘Asqqalani dan Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan
keridloan kepada mereka berdua?” Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua
dan ulama Al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ?
Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal
Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata : Ilmu hadits ini adalah
agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.
Apakah
tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk
mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam
menafsirkan sifat-sifat Allah. Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti
metode mereka.” Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah
menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka
sebagai ahlussunnah.
Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-‘Asqalani, Al-Qurthubi,
Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama besar lain tidak
dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka yang
termasuk ahlussunnah wal jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami mengajak
semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut
kepada Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh
besar ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi baik
hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui
kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi
persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita untuk
mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan keindahan
dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama
menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan bagaimana cara melihatnya, dan
perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. sebagian
berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian berpendapat dengan
mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan membela pendapatnya
dengan hal-hal yang tak berguna. Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak
berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar
dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik
yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau
mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi
persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan
dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa
Rasulullah SAW melihat Tuhannya. Cukup kita berkata demikian sedangkan
menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi.
وكلم الله موسى تكليما
Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di
antara para ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas
dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati
(kalam nafsi) dan sebagian lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan
bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua pihak ini sama-sama mencari substansi
mensucikan Allah dan menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan
kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak
meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau
dari aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib
dipercayai dan ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali
Allah sendiri.
Apa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan
kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana cara dan bentuknya. Kita
tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan berkata : Ini adalah kalam Allah
dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup berbicara seperti ini dan
menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi
yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara. Karena
pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai pembawa tauhid
tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang datang
dibawa oleh Nabi? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk?
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Rasulullah SAW mengabarkan kepada
kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT.
Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan
masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.
إني أراكم من خلفي
Saya Mampu Melihatmu dari Belakang
Salah satu subsatansi persoalan di
atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda
Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana
dari arah depan.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan
dua mata di arah belakang. Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan
kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian
belakang. Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di
belakang Nabi sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi
berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya
sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di hati manusia.
Adapun
keberadaan Nabi mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaimana
melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan
beliau sendiri dalam hadits shahih. Maka tidak ada ruang sama sekali untuk
membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah
menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita
wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan
salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk
menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan
Rasulullah SAW.
Jibril Menyamar sebagai Seorang Lelaki
Para
ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa
wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa
besar.
Sebagian berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari fisiknya.
Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga
menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya interpretasi ini tidak berguna.
Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril menyamar dalam bentuk seorang
laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah disaksikan oleh banyak sahabat.
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk
seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita sesama pelajar untuk
menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung perbedaan-perbedaan yang
menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung dalam hati.
Pengertian Tawassul
Banyak kalangan keliru dalam memahami
substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang
benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu
point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu
metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT.
Maksud sesungguhnya adalah Allah. Obyek yang dijadikan tawassul berperan
sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini
di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
2. Orang
yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali
karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintainya. Jika
ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang
bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada
Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah
atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
4. Tawassul
bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya.
Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman
Allah :
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat.
aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
•
110. Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru,
Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkanny] dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu".
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul
dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau
bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan
sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk
diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini. dalil
diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang
mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul
dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya
menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga
dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya
kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara
mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam
risalahnya yang berjudul “Qaa’idah Jalilah fittawassul wal Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan
selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang
dengan mengatakan : Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad SAW, atau
dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model
inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra
menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul
dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal
perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan
dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah
yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik
dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul
dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya
sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun
itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia
meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik
terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu
mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini
bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman
Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada
pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan
ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk
amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang
diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan
olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu
seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa
ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya
meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku
padanya, agar Engkau melakukan…………………… . Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang
mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang
berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu, itu sama dengan
orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa
cintaku kepada NabiMu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian
kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa
cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul
dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah
tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan
dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang
bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سبحانك هذا بهتان
عظيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah berfirman : يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk
mendekatkan kepada Allah dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter
dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan
dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-wasilah dalam ayat di
atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan
sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun
sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan
ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini
dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat
keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan
seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi sebelum wujudnya
beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah
dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW SEBELUM WUJUD DI DUNIA
Nabi Adam bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits
terdapat keterangan bahwa Nabi Adam AS bertawassul dengan Nabi Muhammad. Dalam
Al Mustadrok, Imam Al Hakim berkata : Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu
menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori
menceritakan kepadaku, Abul Harits ‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan
kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari
ayahnya dari kakeknya dari Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”
Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada
Mu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai
Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “
Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan Mu dan
Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh Mu, maka aku tengadahkan kepalaku
lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu
Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama Mu
kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu
wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada
Ku dengan hakknya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad,
Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al Hakim
meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai
hadits shahih (vol. 2 hal. 615). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab
Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al
Baihaqi mmeriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak
meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar
kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga
menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya
Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami
berkata, “At Tabbarani meriwayatkan hadits di atas dalam Al
Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.”
Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu
‘Abbas dengan redaksi :
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار
“Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, sorga dan
nereka.” HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih.
Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih.
Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian
awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian
ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari
statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti
Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if
dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini,
tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu
persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan
mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan
eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya
berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi
meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya
bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah
menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh
langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘arsy
“Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang
ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun,
kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika
Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘arsy) junjungan
anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh
meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi
al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku
Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan
kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam
dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda, “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai
Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam
mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku,
ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah
‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah
Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau
yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan namaMu,”
jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi
terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits
ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa
hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini
menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi.
Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para
pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah
menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.
KOREKSI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP MAKNA PENGKHUSUSAN PADA HADITS
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan
positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian dan kebijaksanaan yang
besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi
menyangkut tema ini (sesuai dengan informasi yang dimiliki pada saat itu)
tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits,
menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran
mak nanya. Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang
beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka
mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang
menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian.
Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah
faham, dan kedangkalan fikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati
kita dan membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan
jalan yang lurus.
Dalam Al-Fataawaa vol. XI hlm 96 Ibnu Taimiyyah
menulis sbb :
Muhammad adalah junjungan anak Adam, makhluk paling mulia
dan mulia di sisi Allah. Karena itu ada orang berpendapat bahwa karena beliau
Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan
menciptakan ‘arsy, kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan. Tapi pandangan
ini bukanlah hadits Nabi, baik shahih atau dlo’if dan tidak ada seorang ulama
pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Malah tidak juga bersumber dari para
sahabat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang pengucapnya misterius dan bisa
ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah :
•
•
••
20.
Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab
yang memberi penerangan.
•
32.
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan
menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera
itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula)
bagimu sungai-sungai.
•
dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. Dan Dia telah menundukkan
(pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya);
dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
dan ayat-ayat lain
yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk anak cucu Adam. Sudah
maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki
hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di dalam
ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat
yang tercakup di dalamnya.
Jika dikatakan : Allah melakukan sesuatu
untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada hikmah lain. Demikian
pula ucapan seseorang : Jika tidak karena ini maka Allah tidak akan
menciptakan itu, bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di dalamnya.
Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang dimaksud
adalah anak cucu Adam yang shalih yang paling utama, yakni Muhammad, dimana
penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih
besar dari yang lain, maka kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan
tercapai dengan Muhammad SAW. Dikutip dari kitab Fataawaa.
ANALISA PENTING TERHADAP PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH YANG RAIB DARI BENAK
PARA PENGIKUTNYA
Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah, jauhnya visi dan
dalamnya pemahaman beliau dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan
yang telah tersebar dan populer ini. dalam masalah ini terdapat hadits yang
menggambarkan tawassul Nabi Adam, yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan dinilai
shahih oleh mereka yang mengkategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh
mereka yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar
hadits yang menerimanya.
Cobalah dengarkan Ibnu Taimiyyah sendiri
mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.”
Di
manakah posisi pendapat Ibnu Taimiyyah ini dari pendapat orang yang
mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan mereka yang berpendapat
seperti Ibnu Taimiyyah dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik
atau bid’ah dan khurafat kemudian dengan bohong mengklaim sebagai pengikut
madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah
dan salafiyyah. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan
di atas saja. Justru yang jadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu
Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut
pengagungan terhadap Rasulullah SAW atau menguatkan kemuliaan, keagungan dan
kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal ini ia akan ragu, berfikir dan
merenung. Dari sini, akan tampak padanya sikap protektif terhadap status
tauhid atau fanatisme terhadap tauhid. Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim.
Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
Hadits ketiga
yang mendukung hadits tawassul Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu
Al Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad ibn ‘Ali ibn Husain AS, ia berkata,
“Ketika Adam tertimpa kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril
datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan
pintu taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”
“Mau, wahai
Jibril.”
“Berdirilah di tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu
agungkalah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih
dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai
Jibril?”
“Ucapkanlah : Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada sekutu
bagiNya. BagiNya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan
mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selanjutnya akuilah kesalahanmu dan
bacalah : Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain
Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri
dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa
kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara
kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau
mengampuni kesalahanku. Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril.
“Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya
berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berfikir dan
merenung, maka saya melihat pada kaki ‘arsy-Mu terdapat tulisan : Dengan
nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagiNya. Muhammad utusan Allah. Karena saya tidak melihat nama
malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi rasul lain selain Muhammad,
sesudah namaMU, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di
sisiMu. “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah
mengampunimu.” Dikutip dari Al Durr al Mantsuur vol. 1 hlm. 146.
Muhammad
ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakr al Baqir, salah satu tabi’in terpercaya
dan tokoh mereka. Enam Imam hadits (al Sittah) meriwayatkan hadits darinya. Ia
meriwayatkan hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain RA.
Hadits Pendukung Ketiga untuk Hadits Tawassul
Hadits ketiga
pendukung tawassul Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar al-Aajuri dalam Kitabu
al-Syarii’ah. Ia berkata, “Harun ibn Yusuf al Tajir bercerita kepadaku.” Harun
berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu
‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdirrahman ibn Abi Al Zinaad
dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang dengannya
Allah menerima taubat Adam adalah : Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan
kemuliaan Muhammad padaMu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad?” “Ya
Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada
‘arsyMu : Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah. Maka saya tahu, ia
adalah makhlukMu yang paling mulia.” Jawab Adam.
Sebagaimana diketahui
penggabungan atsar ini pada haditsnya ‘Abdirrahman ibn Zaid membuat hadits ini
kuat.
Sorga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw
Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad SAW
adalah bahwa sorga haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad
sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al Khaththab RA dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sorga diharamkan untuk para Nabi sampai aku
masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua ummat sampai ummatku masuk ke
dalamnya.” HR Al Thabarani dalam al Awsath. Menurut al Haitsami isnad hadits
ini hasan. Dikutip dari Majma’ul Zawaa’id vol. 10 hlm. 69.
Keterkaitan
Alam Semesta dengan Nama Muhammad SAW
Salah satu contoh karunia Allah
adalah menyebarnya nama Muhammad di al Mala’ al a’laa (alam Malaikat
muqarrabun) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ad ibn al Ahbaar
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menurunkan tongkat kepada Adam sebanyak
jumlah para Nabi dan rasul. Lalu Adam mendatangi putranya, Syits dan berkata,
“Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini
dengan membangun ketaqwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut
Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad. Karena aku melihat namanya tertulis
pada kaki ‘arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat.
Kemudian aku menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit aku melihat nama
Muhammad tertulis padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di sorga dan di
sorga aku tidak melihat istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di
situ. Dan saya juga melihat namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun
bambu belukar sorga, daun pohon thuba, daun sidratul muntaha, di tepi-tepi
hijab dan di antara mata para malaikat. Perbanyaklah menyebut nama Muhammad
karena para malaikat selalu menyebut namanya setiap waktu.” Al Mawaahib al
Laduniyyah vol. 1 hlm. 187.
Dalam syarhnya Al Zurqaani mengatakan,
“Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.”
Saya katakan bahwa Ibnu
Taimiyyah telah menyebut hadits di atas. “Terdapat riwayat bahwa Allah SWT
telah menulis nama Muhammad di atas ‘arsy, pintu, kubah, dan dedaunan sorga.”
tulis Ibnu Taimiyyah.
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah
diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas
yang menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggaan nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnu al Jauzi dari Maysarah, ia berkata,
“Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah
menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh
langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘arsy
“Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang
ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun,
kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika
Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘arsy) junjungan
anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, kedua bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepad-Nya.” (Al Fataawaa vol. II hlm 150).
Manfaat-Manfaat
Penting dari Hadits Tawassul Adam
Dalam hadits di atas, menegaskan
tawassul dengan Rasulullah SAW sebelum alam semesta mendapat kehormatan dengan
keberadaan beliau dan bahwa tolok ukur keabsahan tawassul ialah bahwa orang
yang dijadikan obyek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah,
serta tidak disyaratkan ia masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut
diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapapun tidak sah
kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa
nafsunya tanpa mendapat hidayah Allah.
Kesimpulan Dari Analisa
Terhadap Status Hadits Tawassul Adam
Kesimpulannya adalah bahwa hadits
tersebut dikategorikan hadits shahih sebab eksistensi hadits-hadits pendukung,
dan dikutip oleh elite-elite ulama dan para pakar (aimmah) hadits dan
penghapalnya yang memiliki posisi luhur dan kedudukan tinggi. Mereka adalah
orang-orang yang kredibel menyangkut assunnah annabawiyyah seperti Al Hakim,
al Suyuthi, al Subki dan al Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Al
Bulqini dalam kitabnya yang mensyaratkan tidak akan mengeluarkan hadits
masudlu’, dan dikomentari oleh Al Dzahabi dengan, “Berpeganglah dengannya,
karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” (dikutip dari Syarhul
Mawahib dan kitab lain).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir
dalam kitab Al Bidayah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyah dalam
kitab Al Fataawaa. Adapun pro kontra dari para ‘ulama menyangkut hadits
tersebut bukanlah hal yang aneh. Karena banyak hadits yang menimbulkan polemik
lebih besar dan mendapat kritikan lebih tajam.
Berangkat dari pro kontra
ini, munculah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian,
peninjauan, dan kecaman. Namun tidak sampai melontarkan tuduhan syirik, kufur,
sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan menyangkut status salah
satu dari beberapa hadits. Dan hadits tawassul Adam ini, termasuk
hadits-hadits yang memicu perbedaan itu.
TAWASSUL ORANG-ORANG YAHUDI DENGAN NABI SAW.
Allah berfirman:
•
89. Dan setelah
datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.
Imam Al Qurtubi berkata
“ Firman Allah : Walamma jaa’ahum, yakni orang Yahudi, Kitaabun yakni Al
Qur’an, Min ‘indillahi mushoddiqun, sifat dari kitaabun. Diluar Al Quran boleh
dibaca nashab sebagai hal. Pada mushaf Ubay dalam sebuah riwayat mushoddiqun
dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil dimana Alqur’an
mengabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakaanu min
qablu yastaftihuuna, yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi
memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; lewat do’a dan
sholat mereka. Dalam Al Quran terdapat ayat:
فعسى الله أن يأتي بالفتح او أمر من عنده
An Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup dan Al Fathu merujuk kepada
kecaman orang arab fatahtu albaaba.
An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa
’id Al Khudri bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnnya Allah menolong umat
ini berkat orang-orang lemah mereka; sebab do’a, shalat dan keikhlasan
mereka.”
An Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata : Saya
mendengar Rasulullah bersabda : “Carilah keridloanku dengan berbuat baik
kepada orang lemah karena kalian mendapat pertolongan dan rizki hanya berkat
mereka.”
Ibnu Abbas berkata : “Dahulu Yahudi Khaibar berperang dengan
Ghothafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang
Yahudi berdo’a dengan ungkapan
:
“Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemulyaan Nabi yang ummi, yang
Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan umtuk kami di akhir
zaman guna menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.” Ibnu Abbas berkata
: “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan do’a
ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika Nabi Muhammad SAW telah diutus
mereka malah mengingkarinya, Lalu turun firman Allah :
" وكانو من قبل يستفتحون على الّذ ين كفروا "
Yakni kafir kepadamu ya Muhammad sampai pada firman
"فلعنة الله على الكافرين "
( Tafsir Al Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )
TAWASSUL DENGAN NABI SEWAKTU HIDUP DAN SESUDAH WAFAT
Dari ‘Utsman ibn Hunaif RA, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saat
datang kepada beliau seorang lelaki tuna netra yang mengadukan kondisi
penglihatannya. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya
merasa kerepotan,” katanya mengadu. “Datanglah ke tempat wudlu’ lalu
berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah, “Ya Allah,
sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu
Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu
agar Dia menyembuhkan pandanganku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan
terimalah syafaatku untuk diriku.” Utsman berkata, “Maka demi Allah, kami
belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah
ia belum pernah mengalami kebutaan.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah
hadits yang isnadnya shahih, tetapi Al Bukhari dan Muslim tidak
mengeluarkannya.” Versi Al Dzahabi status hadits itu shahih. Vol. I hlm. 519.
al Turmudzi berkata dalam Abwaabu al Da’awaat pada bagian akhir dari Al Sunan,
“Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal
kecuali lewat jalur ini dari hadits Abi Ja’far yang bukan Al Khathmi.
Menurut saya yang benar adalah bahwa Abu Ja’far itu Al Khathmi al
Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat Al
Thabarani, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Dalam Al Mu’jam, Al Tahabarani
menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat
dipercaya. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Ghimari dalam risalahnya “Ithaaful
Adzkiyaa’” berkata, “Tidaklah logis jika para hafidh sepakat untuk menilai
shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul (misterius)
khususnya Al Dzahabi, Al Mundziri dan Al Hafidh.”
Berkata Al Mundziri,
“Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu
Khuzaimah dalam shahihnya. (Al Targhib, kitab al nawaafil, bab al targhib fi
shalatilhajat vol. I hlm. 438).
Tawassul tidak khusus hanya pada saat
Nabi SAW masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul
di atas sesudah beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al Thabarani
dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sbb : seorang lelaki berulang-ulang
datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak
pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu
bertemu dengan ‘Utsman ibn Hunaif. Kepada Utsman ibn Hunaif ia mengadukan
sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. “Pergilah ke tempat wudlu, “ suruh ‘Utsman
ibn Hunaif, “lalu masuklah ke masjid untuk sholat dua raka’at. Kemudian
bacalah doa’ : Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu
dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada
Tuhanmu lewat denga engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.” Dan sebutkanlah
keperluanmu.”
Lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn
Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut
oleh penjaga pintu. Dengan memegang tanggannya, sang penjaga langsung
memasukkannya menemui Utsman ibn Affan. Utsman mempersilahkan keduanya duduk
di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu,” tanya Utsman.
Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau
tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini.” kata Utsman, “Jika
kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah
keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman ibn Hunaifn dan menyapanya, “ Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah
mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau
berbicara dengannya. “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman
ibn Affan. Namun aku menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang
mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar?” kata beliau. “Wahai
Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,”katanya.
“Datanglah ke tempat wudlu’ lalu berwudlu’lah kemudian sholatlah dua raka’at.
Sesudahnya bacalah do’a ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum
lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah
mengalami kebutaan.” Kata Utsman ibn Hunaif.
Al Mundziri berkata,
“Hadits di atas diriwayatkan oleh Al Thabarani.” Setelah menyebut hadits ini
Al Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” (Al Targhib vol. I hlm.
440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al Zawaid. Vol. II hlm. 279).
Syaikh
Ibnu Taimiyyah berkata, “Al Thabarani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh
Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat
dipercaya. Utsman ibn Amr sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu
Abdillah Al Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”
Kata penulis, “Ibnu
Taimiyyah berkata, “Al Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian
oleh Utman ibn Umair sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai
kepadanya riwayat Rauh ibn Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini
adalah isnad yang shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian
meriwayatkan hadits.” (Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wal Wasilah. hlm
106).
Dari paparan di atas, nyatalah bahwa kisah di muka dinilai shahih
oleh Al Thabarani Al Hafidh Abu Abdillah Al Maqdisi. Penilaian shahih ini juga
dikutip oleh Al Hafidh Al Mundziri, Al Hafidh Nuruddin Al Haitsami dan Syaikh
Ibnu Taimiyyah.
Kesimpulan dari kisah di muka adalah bahwa Utsman ibn
Hunaif, sang perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah
mengajarkan do’a yang berisi tawassul dengan Nabi SAW dan memanggil beliau
untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan
kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika
lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif
kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits
yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa
kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi SAW, panggilan dan
permohonan bantuannya kepada beliau SAW. Utsman juga meyakinkan lelaki itu
dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah
menyangkut kebutuhannya.
PENGGUNAAN LAIN DAN DUKUNGAN IBNU TAIMAIYYAH TERHADAPNYA
Terdapat riwayat dari Ibnu Abi al Dunyaa dalam kitab Mujaabi al Du’aa,
ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku : “Saya mendengar Katsir ibn
Muhammad ibn Katsir ibn Rifa’ah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Abdil
Malik ibn Sa’id ibn Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan
berkata, “Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh. “Penyakit apa?” tanya
Abdil Malik. “Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya mampu
membunuh penderita.” Jawab sang lelaki itu. “Lelaki itu lalu berpaling.” Kata
Katsir. “Allah, Allah, Allah Tuhanku, “ucap Abdul Malik, “Aku tidak akan
menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan
Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul
denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa
diriku. “Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh
kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.”
Ibnu Taimiyyah
berkata, “Saya berpendapat bahwa do’a ini dan do’a semisal telah diriwayatkan
sebagai do’a yang dibaca oleh generasi salaf.” (HR. Ibnu Taimiyah dalam
Qa’idah Jalilah hlm. 94).
Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah
menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan
mengarahkannya sesuai keinginan nya sendiri. Namun yang penting bagi kami di
sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap do’a itu
dan tercapainya kesembuhan berkat do’a itu. Penegasannya dalam masalah inilah
yang penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya
pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa
berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk
berargumentasi sesuai seleranya.
UPAYA-UPAYA YANG GAGAL
Sebagian golongan Wahabi ramai memberi komentar seputar hadits tawassul
Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha
menolak hadits itu. Mereka berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk,
berdiri dan berteriak-teriak dalam menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini
tidaklah berguna, karena betapa pun mereka menolak hadits-hadits tentang
tawassul, para tokoh mereka yang nota bene ulama besar yang memiliki kapasitas
intelektual dan spiritual jauh di atas mereka telah menyuarakan opininya.
Seperti Al Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul
seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Al ‘Izz ibn ‘Abdissalam, dan Ibnu
Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara khusus tentang tawassul
dengan Nabi SAW. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab yang
menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru
dalam Fataawaanya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan
furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyyah insya Allah
akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.
Syaikh Al ‘Allamah al
Muhaddits Abdullah Al Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus berisi
kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbaahu al-Zujaajah
fi Shalaati al Haajah. Dalam risalah ini, beliau menulis dengan baik dan
memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.
TAWASSUL DENGAN NABI SAW DI HARI KIAMAT
Adapun tawassul dengan Nabi SAW di hari kiamat, maka tidak perlu
dijelaskan secar panjang lebar. Karena hadits-hadits tentang syafa’at telah
mencapai derajat mutawatir. Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas
menerangkan bahwa mereka yang berada di padang mahsyar ketika merasa sudah
terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat menderita, akan memohon
pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon
bantuan kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa kemudian Isa yang mengarahkan mereka
agar datang kepada junjungan para Nabi SAW. Sehingga ketika mereka memohon
pertolongan kepada beliau SAW, beliau segera mengabulkan permohonan ini.
“Syafa’at ini adalah untuku, syafa’ah ini adalah untukku,” ucap beliau.
Selanjutnya beliau tersungkur bersujud sampai mendapat panggilan, “Tegakkan
kepalamu dan berilah syafa’at maka syafaatmu akan diterima.”
Hadits
syafa’at ini telah mendapat konsensus dari para Nabi, rasul dan semua orang
mu’min dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka
semua sepakat bahwa memohon pertolongan di saat mengalami puncak krisis dengan
orang-orang besar yang dekat dengan Allah adalah salah satu kunci terbesar
bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridlo
Allah.
LEGALITAS TAWASSUL DALAM METODE SYAIKH IBNU TAIMIYYAH
Dalam kitabnya Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, Ibnu
Taimiyyah, ketika berbicara tentang firman Allah :
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Ia berkata, “Mencari wasilah (mediator) kepada Allah hanya bisa dilakukan oleh
orang yang bertawassul kepada Allah dengan beriman kepada Muhammad dan
pengikut beliau. Tawassul model ini dengan keimanan kepada Muhammad dan
kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang dalam kondisi apapun
baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah wafat, dan pada saat
berada bersama beliau atau jauh dengan beliau. Tawassul dengan iman kepada
Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang dalam situasi dan
kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak gugur dengan
alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah, serta
selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi
Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua
makhluk dan pemilik al maqam al mahmud (kedudukan terpuji) yang membuat iri
manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman mengenai Musa : وكان عند
الله وجيهاdan mengenai ‘Isa : وجيها في الدنيا والآخرةdan Nabi
Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan rasul lain. Tetapi
syafaat dan do’a beliau SAW hanya berguna bagi orang yang diberi syafaat dan
do’a oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafaat oleh beliau itu
bertawassul kepada Allah dengan syafaat dan doa beliau. Sebagaimana
bertawassul kepada Allah dengan doa dan syafaat beliau dan sebagaimana manusia
bertawassul kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafaat beliau SAW.
Dalam Al Fataawaa al Kubraa Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan
sbb, “Apakah boleh tawassul dengan Nabi SAW atau tidak?” Ia menjawab,
“Alhamdulillah, adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan,
ketaatan, shalawat dan salam kepadanya dan dengan doa serta syafaatnya
dan sebagainya, menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan
orang-orang yang perbuatannya diperintahkan agama berkaitan dengan beliau,
maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut kesepakatan ulama
muslimin.”
Menurut saya, dari pendapat Ibnu Taimiyyah biusa ditarik dua
point berikut:
1. Seorang muslim yang taat, cinta
kepada Rasulullah SAW, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau
disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan dan pembenarannya
kepada beliau.
Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah
bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada
beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari
tawassul. Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam
pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua
kaum muslimin yang mempraktekkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul
kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena
berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa
cinta kepada beliau SAW, bukan maksud yang lain.
2.
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan Ibnu Taimiyyah
adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah baginya untuk bertawassul
kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat keterangan bahwa beliau
mendoakan ummatnya sebagaimana terdapat dalam banyak hadits, di antaranya :
Dari
‘Aisyah ra, ia berkata, “Saat aku melihat Nabi SAW sedang bersuka hati, saya
berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!” Rasulullah pun
berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Aisyah, baik dosa yang telah lewat, dosa
belakangan, yang disembunyikan dan yang dilakukan dengan ternag-terangan.”
‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku
membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa
bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Do’a itu adalah do’aku untuk ummatku
yang kupanjatkan setiap sholat.” Lanjut Nabi.
Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Bazzaar. Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang
ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al Manshur al Ramadi, yang nota
bene dapat dipercaya. (dikutip dari Majma’ul Zawaaid). Karena itu, sah saja
bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk
ummatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah
mendoakan ummatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul
kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ..dst.”
Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari
ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan
dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi
ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap muslim
yang tidak melebihi batas ini. karena orang yang bertawassul dengan Nabi tidak
memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau menyangkut
rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa dan syafaat.
Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan menjawab
shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan relevan
yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan yang
terdapat dalam sebuah hadits dari beliau, “Hidupku lebih baik buat kalian dan
matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan
percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan
kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan
ampunan kepada Allah buat kalian.” Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh
Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi SAW. Al Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para
perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan
nanti.
Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah
SAW memohonkan ampunan (istighfar) untuk ummatnya. Istighfar adalah doa dan
ummat beliau memeperoleh manfaat dengannya.
Terdapat keterangan dalam
sebuah hadits bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak ada satu pun orang muslim yang
memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku
menjawab salamnya.” HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah RA. Imam Al Nawaawi
berkata : Isnad hadits ini shahih.
Hadits ini jelas menerangkan bahwa
beliau SAW menjawab terhadap orang yang memberinya salam. Salam adalah
kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi
salam mendapat manfaat dari doa beliau ini.
DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL DENGAN NABI SAW VERSI AHMAD IBN HANBAL DAN IBN
TAIMIYYAH
Di samping dalam sebagian tempat dari kitab-kitabnya, Ibnu
Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi SAW tanpa
membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada di
tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul dengan Nabi
ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al Fataawaa al Kubraa.
Di
samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula, salah satu
hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi SAW dalam berdo’a
sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh Al
Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan
membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul
denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi.
Terimalah, Ya Allah, syafaat Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah
baik. Al Fataawaa vol. III hlm. 276.
“Tawassul kepada Allah dengan selain
beliau SAW, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak perneh mengetahui
salah seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya
hanya tahu bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain
Nabi SAW. Adapun tawassul dengan Nabi SAW, maka terdapat hadits hasan dalam Al
Sunan yang diriwayatkan oleh Al Nasai, Al Turmudzi dan yang lain. Hadits
tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi SAW, “Wahai
Rasulullah, mataku terserang musibah, do’akanlah kepada Allah untukku,” ia
memohon. “Berwudlu’lah dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya
Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu
Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafaat kepadamu dalam mengembalikan
penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafaat Nabi-Mu untukku.” Jawab Nabi. “Jika
kamu mempunyai keperluan maka bacalah doa tadi.” Lanjut beliau. Lalu Allah pun
mengembalikan penglihatannya. Berangkat dari hadits ini Ibnu Taimiyyah
mengecualikan tawassul dengan Nabi SAW. Al Fataawaa vol. 1 hlm. 105.
Dalam
bagian lain Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam
Ahmad berkata dalam Al Mansaknya (Buku tata cara ibadah/manasik) yang ditulis
untuk muridnya, Al Marwazi, “Bahwasanya Nabi Saw bisa dijadikan sebagai obyek
tawassul dalam do’anya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul
dengan beliau adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak
diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad
dalam salah satu riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi SAW,
karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” (Al Fataawaa, vol. I
hlm. 140).
DIPERBOLEHKAN TAWASSUL VERSI IMAM AL SYAUKANI
Al Muhaddits Al Salafi Al Syaikh Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam
risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid
mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam
mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn
‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali
dengan Nabi SAW, jika hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini
dinilai shahih.” Barangkali Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang
dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan
shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa seorang tuna netra datang kepada
Nabi SAW ….dst. “Para ulama memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits
ini :
1. Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh Umar
ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka
kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga akhirnya Engkau menurunkan
hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami.” Hadits ini
tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah mengatakan bahwa
para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidup beliau untuk
memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau, Abbas
sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan
sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator mereka
kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang
memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.
2. Bahwa
tawassul dengan Nabi SAW bisa pada saat beliau masih hidup, telah tiada,
ketika beliau ada di tempat atau tidak berad di tempat. Tidak samar lagi buat
kamu bahwa telah nyata tawassul dengan beliau semasa masih hidup dan
juga tawassul dengan selain beliau sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti
para sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat
Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan Abbas RA. Dalam pandangan saya
sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul hanya dengan beliau
SAW, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, berdasarkan dua
faktor :
1. Fakta yang telah saya sampaikan kepadamu
menyangkut adanya konsensus para sahabat.
2. Bahwa
tawassul kepada Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada
dasarnya adalah tawassul dengan amal perbuatan mereka yang baik dan
keistimewaan-keistimewaan mereka yang utama. Karena seseorang tidak mungkin
menjadi baik kecuali berkat amal perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya
Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini
memandang pada ilmu yang melekat padanya. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim saja telah nyata bahwa Nabi SAW mengisahkan tentang tiga orang yang
terjebak dalam goa yang tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul
kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu
pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh
atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam
masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka
niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk
mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah mereka. Berangkat dari
kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka
yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih seperti
:
ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى ، فلاتدعوا مع الله أحدا
له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء
berada di luar konteks. Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk
beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang
berada di luar persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله
زلفى menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya
sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu
memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul
dengannya karena keistimewaannya tersebut. Demikian pula firman Allah فلاتدعوا
مع الله أحدا , ayat ini melarang selain Allah dimintaakan doa bersamaan dengan
Allah seperti mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang
bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang
terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang
dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa
yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga
berlaku pada ayat :
له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء
Karena kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan
permohonan mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan
permohonan mereka. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan
tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak
melibatkan yang lain bersama Allah saat berdoa.
Jika engkau telah
mengetahui paparan di atas, maka tidak samar bagimu untuk membantah
dalil-dalil yang disampaikan kelompok penolak tawassul, yang berada di luar
konteks dari apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi
mereka dengan firman Allah :
وما أدراك ما يوم الدين ، ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا
والأمر يومئذ لله
Karena ayat ini hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di
hari kiamat. Selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul
dengan salah seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan
bertawassul memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa
punya keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki
peran demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula
berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :
ليس لك من الأمر شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا
Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki
peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat
dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya
kepada orang lain. Kedua ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan
Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama. Allah telah menjadikan
buat Rasulullah SAW al Maqam al Mahmud yakni maqam syafa’ah paling besar, dan
menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau syafa’ah tersebut sekaligus
berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah syafaat maka
syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat dalam kitab-Nya
yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya
untuk mendapat ridla-Nya. Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul
dengan sabda Nabi SAW saat turun firman Allah :
وأنذر عشيرتك الأقربين
“Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti
Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu.” Ungkapan ini tiada lain
kecuali mengandung penjelasan secara transparan bahwa Nabi SAW tidak mampu
memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak
mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga
bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya,
apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini
tidak ada keterangan bahwa Nabi SAW tidak dijadikan obyek tawassul kepada
Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada yang memiliki perintah
dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya mengajukan di hadapannya
sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan
tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari pembalasan. Demikianlah
pandangan Imam Al Syaukani.
SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB BERPENDAPAT BOLEHNYA
TAWASSUL
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah ditanya mengenai pendapat
ulama dalam masalah istisqa’ : “Tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang
shalih,” dan juga mengenai ucapan Imam Ahmad : “Hanya Nabi SAW yang bisa
dijadikan obyek tawassul.” padahal para ulama berpendapat bahwa makhluk
tidak bisa dijadikan obyek tawassul?”
Syaikh menjawab, “Kedua pendapat
ini memiliki perbedaan yang sangat jelas. Polemik ini bukan tema yang sedang
kami bicarakan. Adanya sebagian orang yang memperbolehkan tawassul dengan
orang-orang shalih dan sebagian mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan
mayoritas ulama melarang tawassul dan menilainya makruh, adalah salah satu
persoalan fiqh. Meskipun yang benar di mata kami adalah pendapat mayoritas
ulama, yakni kemakruhan tawassul. namun kami tidak mengingkari orang yang
melakukannya sebab keingkaran tidak perlu dalam persoalan-persoalan yang
berbasis ijtihad. Yang kami ingkari hanyalah orang yang berdoa kepada makhluk
melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang mendatangi kuburan seraya
merengek-rengek didekat makam Syaikh Abdul Qadir atau makam lain seraya
berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi kebahagiaan. Di
manakah posisi orang seperti ini dari orang yang berdoa semata kepada Allah
tidak melibatkan siapapun tetapi ia berkata dalam doanya, “Ya Allah, saya
memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya yang
shalih, atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak untuk
berdoa di tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Di manakah
posisi orang seperti ini dari keingkaran kami terhadap berdoa kepada
orang-orang mati.
Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh al-Imam
Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68 yang
diterbitkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibn Sa’ud Al Islamiyyah dalam
pekan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Keterangan di atas menunjukkan
tawassul diperbolehkan oleh beliau. Paling jauh, tawassul dianggap makruh oleh
beliau dalam pandangan mayoritas ulama. Dan barang yang makruh itu bukan
barang haram apalagi dianggap bid’ah atau syirik.
SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG
MENGKAFIRKAN ORANG-ORANG YANG BERTAWASSUL
Terdapat keterangan dari Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dalam
risalah yang disampaikan kepada warga Qashim, keingkaran yang sangat dari
beliau atas orang yang menilainya telah mengkafirkan orang yang bertawassul
dengan orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa Sulaiman ibn Suhaim telah
melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah
saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku.
Diantaranya ; saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang
shalih ; saya mengkafirkan Imam Bushairi gara-gara ucapan beliau : Wahai
makhkuk paling mulia, dan bahwa saya membakar kitab Dalailul Khairat.”
Jawaban
saya atas segala tuduhan di atas adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun
‘Adhiim.
Dalam risalah lain yang beliau persembahkan untuk warga Majma’ah
terdapat dukungan terhadap pandangan beliau di atas. Beliau berkata, “Jika
persoalan ini sedah jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif
dari Sulaiman ibn Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar,
yakni perkataanku bahwa saya telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan
orang-orang shalih dan bahwa saya telah mengkafirkan Imam Bushairi dan
sebagainya. Selanjutnya beliau berkata, “Jawaban saya atas tuduhan-tuduhan di
muka adalah Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Lihat risalah yang
pertama dan ke sebelas dari risalah-risalah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
bagian kelima : 12 hlm 64.
TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN NABI SAW
Adalah sebuah kenyataan bahwa para sahabat memohon berkah dengan
peninggalan-peninggalan beliau SAW. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali
memberikan satu pengertian. Yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan
beliau kepada Allah SWT, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara
bukan cuma satu.
Apakah kamu kira para sahabat hanya bertawassul dengan
jejak-jejak peninggalan beliau, tidak dengan sosok beliau sendiri ?
Apakah
logis jika cabang bisa dijadikan obyek tawassul tapi yang pokok tidak ?
Apakah logis, jika jejak peninggalan beliau yang kemuliaannya disebabkan
pemiliknya, Muhammad SAW bisa dijadikan obyek tawassul, kemudian ada seseorang
berkata, “Sesungguhnya beliau SAW tidak bisa dijadikan obyek tawassul.”
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Nash-nash menyangkut tema ini
sangatlah banyak jumlahnya. Namun kami hanya akan menyebut nash yang paling
populer. Amirul Mu’minin Umar ibn Al Khaththab sangat berambisi untuk
dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat ajalnya menjelang tiba, ia
mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘Aisyah agar
bisa dikubur di samping makam beliau SAW. Kebetulan ‘Aisyah menyatakan
keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku, dan saya
akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Abdullah pun
pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah,
tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Kisah ini
secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari. Lalu apa arti keinginan besar
dari ‘Umar dan ‘Aisyah?.
Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah menjadi
hal yang sangat diinginkan oleh Umar? Hal ini tidak bisa dipahami kecuali
semata-mata tawassul dengan Nabi SAW sesudah wafat seraya mengharap keberkahan
dekat dengan beliau.
Ummu Sulaim memotong mulut geriba yang beliau
meminum dari wadah itu. Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada
kami.”
Para sahabat berebut untuk memungut sehelai rambut kepala beliau,
saat beliau mencukurnya.
Asma’ binti Abi Bakr menyimpan jubah beliau dan
berkata, “Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan memohon
kesembuhan dengannya.”
Cincin Rasulullah, sepeninggal beliau, disimpan
oleh Abu Bakr, Umar dan Utsman. Dan jatuh ke sumur dari tangan Utsman.
Semua hadits-hadits di atas nyata ada dan shahih sebagaimana akan kami
jelaskan dalam bahasan memohon keberkahan (tabarruk). Yang ingin saya katakan
adalah ada apa dengan perhatian para sahabat terhadap jejak-jejak peninggalan
Nabi SAW ?. (mulut geriba, rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat
shalat). Apa maksud perhatian mereka terhadapnya? Apakah hanya sekedar
kenangan, tidak lebih dan tidak kurang, atau hanya menjaga benda-benda
peninggalan bersejarah untuk disimpan di museum ?. Jika alasan pertama sebagai
jawaban, lalu mengapa mereka sangat menaruh perhatian dengannya ketika berdoa
dan mendekatkan diri kepada Allah saat tertimpa musibah atau penyakit?. Jika
alasan kedua sebagai jawaban, lalu di manakah museum itu berada dan dari mana
ide baru itu sampai kepada mereka ?. Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Jika kedua jawaban di atas salah berarti yang tersisa adalah harapan
mereka akan keberkahan dengan jejak-jejak peninggalan Nabi SAW untuk dijadikan
obyek tawassul kepada Allah saat berdoa. Karena Allah adalah Dzat Pemberi dan
tempat meminta. Semua makhluk adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang
tidak bisa memberi apapan kepada diri mereka sendiri apalagi orang lain
kecuali atas izin Allah.
TAWASSUL DENGAN JEJAK-JEJAK PENINGGALAN PARA NABI AS
Allah berfirman :
وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من ربكم وبقية مما ترك
آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة إن في ذلك لآية لكم إن كنتم مؤمنين .
Dalam Al Tarich, Ibnu katsir mengatakan, “ Ibnu Jarir mengatakan Menyangkut
tabut dalam ayat di atas, “Dahulu Bani Israil jika berperang dengan salah
seorang musuh maka mereka senantiasa membawa tabutulmitsaq (peti perjanjian)
yang berada dalam qubbatuzzaman sebagaimana telah dijelaskan di muka. Mereka
mendapat kemenangan sebab keberkahan dari tabutulmitsaq itu dan sebab
kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di
dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan
‘Asqalan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebu tabutulmitsaq dari
tangan mereka.”
Ibnu Katsir berkata, “Dahulu Bani Israil mengalahkan
musuh-musuhnya berkat tabutulmitsaq, yang di dalamnya ada bokor dari emas yang
digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” (Al Bidayah vol. II hlm. 8).
Dalam
tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa,
tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurat dan beberapa baju Nabi Harun,
sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.”
(Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313).
Dalam versi Al Qurthubi : Salah
satu profil mengenai Tabut adalah bahwa ia diturunkan Allah kepada Adam. Tabut
tersebut tetap berada di tangan Adam sampai akhirnya berada di tangan Ya’qub.
Selanjutnya ia berada di tangan Bani Israil, yang dengannya mereka mampu
mengalahkan orang yang menyerang mereka. Ketika mereka durhaka kepada Allah,
mereka dikalahkan oleh kaum raksasa yang juga merebut tabut tersebut. (Tafsir
Al Qurthubi vol. III hlm. 247).
Fakta tentang Tabut ini sejatinya tidak
lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para Nabi. Karena tidak
ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka kecuali dipahami sebagai
bentuk tawassul. Allah SWT sendiri meridloi tawassul seperti ini dengan bukti
Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan sebagai indikasi atas
keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah mengingkari perlakuan mereka
terhadap Tabut.
TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI DAN
SHOLIHIN
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib
terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang
lahatnya dengan tangganya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya
sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya
, lalu berkata, “Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak
akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah,
lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku.
Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian
mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA
memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al
Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat
dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan.
Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.
(Majma’ul Zawaaid vol. 9 hlm. 257).
Sebagian ahli hadits berbeda
pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di
atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat
dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama
mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al Haitsami dalam
Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits
shahih.
Sebagaimana Thabarani, Ibnu ‘Abdil Barr juga meriwayatkan hadits
ini dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh
Al Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling
menguatkan dengan kokoh dan mantap, antara sebagian dengan yang lain.
Dalam Ithaafu al Adzkiyaa’ Syaikh al Hafidh al Ghimari hlm 20
menyatakan, “Rouh ini kadar kedloifannya tipis versi mereka yang menilainya
lemah, sebagaimana dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu Al
Hafidh Al Haitsami menggambarkan kedloifan Rouh dengan bahasa yang mengesankan
kadar kedloifan yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa
mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan,
malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai
hadits shahih.
Bisa dicatat di sini bahwa para Nabi yang Nabi SAW
bertawassul dengan kemuliaan mereka di sisi Allah dalam hadits ini dan hadits
lain telah wafat. Maka dapat ditegaskan diperbolehkannya tawassul kepada Allah
dengan kemuliaan (bilhaq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlulhaq)
baik masih hidup maupun sesudah wafat.
TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA (BI HAQQISSAAILIN)
Dari Abi Said Al Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW berkata, “Siapapun
yang keluar dari rumahnya untuk sholat, seraya berdo’a : Ya Allah Sungguh saya
memohon kepada-Mu dengan kemuliaan para peminta kepada-Mu dan dengan kemuliaan
langkahku ini, karena saya tidak keluar untuk berfoya-foya, melakukan
kesombongan, pamer atau mencari prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu
dan mengharap ridlo-Mu. Saya memohon kepada-Mu agar melindungiku dari neraka,
dan mengampuni dosaku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa
selain Engkau, maka Allah akan menyambutnya dan 70.000 malaikat akan
memohonkan ampunan untuknya.”
Dalam Al Targhib wa Al Tarhib vol. III hlm
119 AL Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan
isnad yang dikomentari (fiihi maqaalun). Syaikhuna Al Hafidh Abu Al Hasan
mengklasifikasikan isnadnya sebagai shahih.
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Nataaijul Afkaar vol. I hlm 727 mengatakan, “Ini adalah hadits hasan yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dalam Kitabuttauhid, dan Abu Nu’aim dan
Ibnu Al Sunni.
Al ‘Iraqi dalam Takhriju Ahaaditsi Al Ihyaa’ vol. I hlm.
323 mengomentari hadits di atas sebagai hadits hasan.
Al Hafidh Al
Bushairi dalam Zawaaid Ibni Majah yang bernama Mishbaahu al Zujaajah vol. I
hlm. 98 mengatakan, “Al Hafidh Syarafuddin Al Dimyathi dalam Al Matjar Al
Raabih hlm. 471 mengatakan bahwa isnad hadits di atas itu, insya Allah hasan.
Al Allamah Al Muhaqqiq Al Muhaddits Al Sayyid ‘Ali ibn Yahya Al ‘Alawi
dalam risalah kecilnya Hidayatul Mutakhabbithin menyatakan, “Bahwa Al Hafidh
Abdul Ghani Al Maqdisi menilai hadits itu sebagai hadits hasan dan Ibnu Abi
Hatim menerimanya.” Dari fakta ini jelaslah bagi kamu bahwa hadits di atas
telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan imam besar hadits.
Mereka adalah : Ibnu Khuzaimah, Al Mundziri dan gurunya Abu Al Hasan, Al
‘Iraqi, Al Bushairi (bukan penyusun Burdah), Ibnu Hajar, Al Syaraf Al
Dimyathi, Abdul Ghani Al Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim.
Setelah pendapat
para pakar di atas terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk menampung ucapan
seseorang. Apakah logis bagi orang yang berakal untuk membuang penilaian para
pakar hadits besar di atas dan mengambil ucapan mereka yang tidak diundang
menikmati hidangan hadits.
أتستبدلون الذي هو أدنى بالذي هو خير
فإنها لاتعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور
TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW ATAS PETUNJUK SAYYIDAH ‘AISYAH
Al Imam Al Hafidh Al Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa
Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu SAW ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita
kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri
bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami,
“Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada
‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi SAW dan buatlah lubang dari tempat itu
menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,”
perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah
‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk
(unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk).” Sunan
Al Daarimi vol. I hlm 43.
Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi SAW,
tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu
memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi,
kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak
mendapat keistimewaan yang mulia.
Takhrij al hadits : Abu Nu’man adalah
Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam Al
Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah
(kacau fikiran) di usia tua.
Pendapat saya kondisi di atas tidak
mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan
lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak
bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang
memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman.
Al Dzahabi
membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits
munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya.
Lalu di manakah dugaannya?” (Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8).
Adapun
Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah
mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri.
Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.
Ulama
menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk
ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai
lemah. (Tadribu Al Raawi).
Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn
Abdillah Al Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi
Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas adalah tidak
mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para
ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan
para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.
SAYYIDAH ‘AISYAH DAN SIKAP BELIAU TERHADAP KUBURAN NABI SAW
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas
berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang nota bene shahabat perempuan dan praktek
shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut
meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan yang memiliki
kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di
tengah para ulama shahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup
bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin
mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah SAW senantiasa menyayangi dan
mensyafaati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon
syafaatnya akan diberi syafaat oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah
dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah. Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat
makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan
sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan
menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk
mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada
kemusyrikan.
Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan
menegaskan bahwa Nabi SAW, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya
sampai sesudah wafat. Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya
masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas
baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar
dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana
tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar. HR Ahmad.
Al Hafidh Al Haitsami
menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi
hadits shahih (Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26). Al Hakim meriwayatkanya
dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang
ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. (
Majma’ul Zawaid vol. 4 hal. 7 ).
‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan
tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui
siapakah yang orang yang berada didekkat kuburan mereka.
Nabi bersabda
kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman. “ Barang kali engkau akan melewati
kuburan dan masjidku ini. HR Ahmad dan Thabarani. Para perawi dari
keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak
pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ). Kemudian
Rasulullah SAW meninggal dunia dan Mu’adz mendatanngi kuburannya sambil
menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu
keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkanoleh Zaid ibnu
Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz
sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis ? tanya
‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu : “ Sedikit dari riya adalah
syirik. Hakim berkata,” Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki
‘illah. Adz Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan
tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4 ).
Al
Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas diriwayat
kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini
shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al
Hakim. (vol. 1 hal. 32 ).
TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SAW PADA ERA KHALIFAH ‘UMAR
Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu
Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita
kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali,
bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari
A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn
Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke
kuburan Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada
Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang
kepadanya dalam mimpi. “Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku
dan khabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar
: “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”.
Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku,
saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu
mengerjakannya.” Kata ‘Umar. (Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam
Al Bidayah vol. I hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa).
Saif dalam Al Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu
Nabi SAW adalah Bilal ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad
hadits ini dalam pandangan Ibnu Hajar Shahih. (Shahih Al Bukhari Kitaabul
Istisqaa’/Fathul Baari vol. II hlm. 415).
Tidak seorang imam pun dari
para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan
dengan beberapa karya mereka, bahwa tawassul dengan Nabi SAW adalah tindakan
kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits
mengandung cacat. Ibnu Hajar al ‘Asqilani telah mengemukakan hadits ini
dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas
keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara para pakar hadits tidak perlu
dijelaskan lagi.
TAWASSUL KAUM MUSLIMIN DENGAN NABI SAW DALAM PERANG YAMAMAH
Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa slogan kaum muslimin dalam
perang Yamamah adalah ucapan YAA MUHAMMADAAH. Ibnu Katsir juga menulis sbb :
Khalid ibn Al Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailimah dan
bergerak menuju Musailimah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada
Musailimah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua
barisan. Ia menyeru mengajak duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak
‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana
slogannya adalah YAA MUHAMMADAH. (Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm.
324).
TAWASSUL DENGAN NABI SAW PADA SAAT SAKIT DAN MENGALAMI MUSIBAH
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah
Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu
cintai !,” saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka
seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang
lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan
nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki
itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada
kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al
Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 165). Tawassul menggunakan ungkapan Ya
Muhammad adalah tawassul dalam bentuk panggilan).
TAWASSUL DENGAN FIGUR SELAIN NABI SAW
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi SAW, beliau berkata, “Jika salah satu
dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia
berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah,
berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak
mampu melihatnya.” Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya
hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah
berjumpa dengan ‘Utbah.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang
jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di
padang pasir maka berserulah : Bantulah aku, wahai para hamba Allah !. Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.
Dari
Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Jika binatang
tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba
Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat
Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu Ya’la dan Al Thabarani yang
memberikan tambahan : “Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.” Dalam
hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa
Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm.
132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.
Terdapat
keterangan bahwa Nabi SAW setelah dua rakaat fajar membaca : “Ya Allah, Tuhan
Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api
neraka.”
Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan, “Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al Hafidh
mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu
‘Ilaan vol. II hlm 139.
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail
dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata,
“Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dst…..
Ibnu ‘Ilan
telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al Adzkaar. “Tawassul kepada Allah
dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan
dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia
menyatakan seraya menta’liq hadits Allaahumma Innii As’aluka bi
Haqqissaailin, “Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang
baik secara umum dari para pemohon/suka berdoa. Disamakan dengan mereka adalah
para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih.
MAKNA TAWASSUL ‘UMAR DENGAN DENGAN ABBAS RA
Al Bukhari dalam kitab Shahihnya menriwayatkan sebuah hadits dari Anas
RA bahwa ‘Umar ibn Al Khaththab – saat penduduk Madinah mengalami paceklik-
memohon hujan dengan bertawassul dengan ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Is
berkata, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu lalu Engkau
turunkan hujan untuk kami. Dan sekarang saya bertawassul kepada-Mu dengan
paman Nabi-Mu. Maka mohon berilah kami hujan.”
Zubair ibn Al Bakkar
meriwayatkan kisah ini, lewat jalur selain Anas, lebih luas daripada riwayat
pada Shahih Al Bukhari dalam Al Ansaab , yang ringkasannya sbb : Dari Abdillah
ibn ‘Umar, ia berkata, “Pada tahun Ramadah/kelabu (dengan dibaca fathah Ra’,
disebut demikian karena banyaknya debu beterbangan akibat kemarau panjang),
‘Umar ibn Al Khaththab memohon hujan dengan bertawassul pada Al ‘Abbas ibn
‘Abdil Muththallib. Umar berbicara di depan kaum muslimin, “Saudara sekalian,
sesungguhnya Rasulullah SAW memandang ‘Abbas sebagaimana anak memandang orang
tua. Maka, wahai saudara sekalian, teladanilah Rasulullah menyangkut paman
beliau ‘Abbas dan jadikanlah ia sebagai mediator kepada Allah. Berdoalah wahai
Abbas !”Di antara do’a Abbas adalah : Ya Allah, sesungguhnya bencana tidak
menimpa kecuali akibat doa dan tidak hilang kecuali dengan bertaubat. Dan
masyarakat telah bertawassul denganku kepada-Mu karena kedudukanku di sisi
Nabi-Mu. Ini adalah tangan-tangan kami yang telah berbuat dosa kepada-Mu
dan inilah ubun-ubun kami yang ingin bertaubat kepada-Mu. Siramilah kami
dengan air hujan dan jagalah, ya Allah, Nabi-Mu menyangkut pamannya. Akhirnya
mendung laksana gunung turun hingga bumi menjadi subur dan masyarakat bisa
hidup. Mereka datang dan mengusap-usap ‘Abbas sambil berkata, “Selamat
untukmu, wahai pemberi siraman hujan tanah Haramain. “Demi Allah, Abbas ini
adalah mediator kepada Allah dan kedudukan di sisi Allah.” Dalam konteks ini
‘Abbas ibn ‘Utbah putra saudara lelaki ‘Abbas menciptakan bait-bait syair,
diantaranya adalah :
Berkat pamanku, Allah menyirami Hijaz dan
penduduknya
Di sore hari ‘Umar dengan ubannya memohon hujan
Ibnu
‘Abdil Barr mengatakan : Dalam sebagian riwayat redaksinya sbb : Langit
melepaskan tali mulut geriba lalu datang dengan mendung bak gunung-gunung
hingga lubang-lubang rata dengan anak bukit, bumi subur dan manusia bisa
hidup. “Demi Allah, Abbas ini adalah mediator kepada Allah dan kedudukan di
sisi-Nya.”
Hassan ibn Tsabit menyatakan :
Sang Imam memohon pada
saat paceklik datang bertubi-tubi
Akhirnya mendung menyiramkan airnya
berkat cahaya wajah Abbas
Paman Nabi dan saudara ayah Nabi
Yang
mewarisi beliau, bukan orang lain
Berkat Abbas, Allah menghidupkan
negara
Hingga sudut-sudut negara menjadi hijau sesudah merana
Fadhl
ibn ‘Abbas ibn ‘Utbah berkata :
Berkat pamanku Allah menurunkan hujan
untuk Hijaz dan penduduknya
Di saat sore hari, ‘Umar memohon hujan dengan
ubannya
‘Umar bertawassul dengan ‘Abbas pada musim paceklik seraya
memohon
‘Umar belum beranjak pergi hingga hujan turun terus-menerus
Dalam
salah satu riwayat : orang-orang mendatangi Abbas sambil mengusap-usap kaki
dan tangannya seraya berkata, “Selamat untukmu, wahai orang yang menyirami
tanah Haramain.” Demikianlah keterangan dari Al Isti’ab karya Abdil Barr
tentang biografi Ibnu Abbas.
Sebenarnya ‘Umar berhak memimpin kaum
muslimin dalam istisqa’. Namun ‘Umar melepas haknya dan mendorong ‘Abbas
untuk istisqa’ sebagai bentuk penghormatan terhadap Rasulullah dan keluarga
beliau dan mempriotaskan paman beliau atas dirinya sebagai upaya maksimal
dalam bertawassul dengan Rasulullah. ‘Umar juga menganjurkan kaum muslimin
untuk menjadikan ‘Abbas sebagai mediator kepada Allah. Demikian pula ‘Umar
menjadikan ‘Abbas sebagai mediator dengan memprioritaskannya untuk berdo’a
dalam rangka memposisikanya dalam posisi Rasulullah saat beliau masih hidup.
Kemudian ‘Abbas memohonkan hujan untuk kaum muslimin di tempat shalat ‘iid
agar llebih maksimal dalam memuliakan Nabi dan menyanjung keutamaan keluarga
beliau SAW.
‘Umar mengkonfirmasikan dalam do’anya sbb : “ Ya Allah
dulu kami bertawassul kepada Mu dengan Nabi Mu, lalu Engkau memberi kami
hujan. Dan kini kami bertawassul kepada Mu dengan paman Nabi MU, maka
turunkanlah kami hujan. “ Yakni dulu kami bertawassul kepada Mu dengan
keluarnya beliau bersama kaum muslimin ke tempat shalat, do’a beliau SAW buat
mereka dan shalat beliau bersama mereka. Dan ketika hal ini tidak bisa kami
realisasikan akibat wafatnya beliau SAW maka saya mengajukan figur dari
keluarga beliau agar do’a diharapkan lebih diterima dan dikabulkan.
Ketika
‘Abbas berdo’a ia bertawassul dengan Rasulullah dimana ia berdo’a, “ Kaum
muslimin bertaqarrub denganku karena kedudukanku dari Nabi yakni hubungan
familiku denganya. Maka, jagalah Nabi Mu Ya Allah, menyangkut paman Nabinya
yakni terimalah do’aku karena Nabi Mu Saw.
Persoalan di atas menyangkut
istisqa’ dan tidak ada relasinya dengan tawassul yang menjadi tema diskusi
kami dan terjadi pro kontra di dalamnya. Fakta ini, adalah persoalan yang
diketahui oleh setiap orang yang memiliki dua mata. Karena peristiwa di atas
mengindikasikan dengan jelas fakta ini. Karena penduduk Madinah tertimpa
paceklik danmembutuhkan pertolongan dengan shalat istisqa’. Shalat istisqa’
membutuhkan seorang imam yang memimpin shalat dan mendo’akan mereka mereka
serta menegakkan syi’ar islam yang dahulu telah ditegakkan Nabi semasa hidup
di dunia, sebagaimana syi’ar- syi’ar islam yang lain seperti imamah, shalat
jum’at dan khutbah, yang ketiganya merupakan tugas-tugas takkklifiyah
yang tidak bisa dikerjakan oleh mereka yng berada di alam barzah, akibat
terputusnya taklif dan kesibukan mereka dengan sesuatu yang lebih besar.
Orang
yang memahami dari ucapan amirul mu’minin bahwasanya ia bertawassul dengan
‘Abbas – tidak dengan Nabi SAW karena ‘Abbas masih hidup sedang Nabi telah
wafat – berarti pemahamannya telah mati, dikuasai oleh prasangka, dan
memanggil kepada dirinya dengan kondisi lahiriah atau fanatisme yang
mendominasi pemikirannya. Karena ‘Umar tidak bertawassul dengan ‘Abbas kecuali
karena hubungan familinya dengan Rasulullah SAW . Hal ini bisa diketahui dalam
ucapan “Umar : “Sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu
maka mohon turunkan hujan kepada kami.” Dengan demikian, ‘Umar telah
bertawassul dengan Rasulullah dengan cara paling maksimal.
Sungguh
sangat jauh dari kebenaran mereka yang memvonis musyrik seseorang yang
bertawassul dengan orang mati padahal mereka memperbolehkan tawassul dengan
orang hidup. Sebab jika tawassul dikategorikan kemusyrikan maka tidak akan
diperbolehkan baik dengan orang hidup atau mati. Bayangkan saja, bukankah
meyakini ketuhanan dan penyembahan kepada selain Allah dari Nabi, raja atay
wali adalah tindakan syirik dan kufur yang tidak diperkenankan baik dalam
keadaan hidup atau sudah mati.
Apakah engkau pernah mendengar orang
berkata, “Bahwa meyakini ketuhanan kepada selain Allah diperbolehkjan jika ia
masih hidup. Jika telah mati dikategorikan musyrik.
Engkau telah
mengetahui bahwa menjadikan orang yang diagungkan sebagai mediator kepada
Allah bukan berarti penyembahan terhadap mediator itu kecuali jika orang yang
bertawassul meyakini bahwa mediator itu adalah tuhan, sebagaimana keyakinan
para penyemabha berhala terhadap berhala mereka. Jika tidak memiliki keyakinan
demikian dan karena ia diperintahkan Allah untuk menjadikan mediator
maka tindakan ini berarti penyembahan terhadap yang memberi perintah.
KISAH AL ‘UTBI DALAM TAWASSUL
Al Imam Al Hafidh Al Syaikh ‘Imadu Al Din Ibnu Katsir mengatakan,
“Sekelompok ulama, diantaranya Syaikh Abu Al Manshur Al Shabbagh dalam
kitabnya Al Syaamil menuturkan sebuah kisah dari Al ‘Utbi yang mengatakan,
“Saya sedang duduk di samping kuburan Nabi SAW. Lalu datanglah seorang A’rabi
(penduduk pedalaman Arab) kepadanya, “Assalamu’alaika, wahai Rasulullah saya
mendengar Allah berfirman :
ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله
توابا رحيما
Dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan atas dosaku dan memohon
syafaat denganmu kepada Tuhanku.” Kata A’rabi. Selanjutnya A’rabi
tersebut mengumandangkan bait-bait syair :
Wahai orang yang tulang
belulangnya dikubur di tanah datar
Berkat keharumannya, tanah rata dan
bukit semerbak mewangi
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang Engkau
tinggal di dalamnya
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan
kedermawanan
Kemudian A’rabi tadi pergi. Sesudah kepergiannya saya
tertidur dan bermimpi bertemu Nabi SAW, “Kejarlah si A’rabi dan berilah kabar
gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Kisah ini diriwayatkan
oleh Al Nawawi dalam kitabnya yang populer Al Idhaah pada bab VI hlm. 498.
juga diriwayatkan oleh Al Hafidh ‘Imadu Al Din Ibnu Katsir dalam tafsirnya
yang masyhur ketika menafsirkan ayat :
ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله
توابا رحيما
Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga meriwayatkannya dalam kitabnya Al Mughni
vol III hlm. 556. Syaikh Abu Al Faraj ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Syarh Al
Kabir vol. III hlm. 495, dan Syaikh Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya
yang dikenal dengan nama Kasysyaafu Al Qinaa’ yang nota bene salah satu kitab
paling populer dalam madzhab Hanbali vol. V hlm. 30 juga mengutip kisah dalam
hadits di atas.
Al Imam Al Qurthubi, pilar para mufassir menyebutkan
sebuah kisah serupa dalam tafsirnya yang dikenal dengan nama Al Jaami’. Ia
mengatakan, “Abu Shadiq meriwayatkan dari ‘Ali yang berkata, “Tiga hari
setelah kami mengubur Rasulullah datang kepadaku seorang a’rabi. Ia merebahkan
tubuhnya pada kuburan beliau dan menabur-naburkan tanah kuburan di atas
kepalanya sambil berkata, “Engkau mengatakan, wahai Rasulullah !, maka kami
mendengar sabdamu dan hafal apa yang dari Allah dan darimu. Dan salah satu
ayat yang turun kepadamu adalah :
ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله
توابا رحيما
Saya telah berbuat dzolim kepada diriku sendiri dan saya datang kepadamu untuk
memohonkan ampunan untukku.” Kemudian dari arah kubur muncul suara :
“Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” Tafsir Al Qurthubi vol. V hlm.
265.
Kisah di atas adalah kisah Al ‘Utbi dan para ulama di muka lah yang
telah mengutipnya . Baik kisah ini dikategorikan shahih atau dlo’if dari aspek
sanad yang dijadikan pijakan para pakar hadits dalam menentukan hukum hadits
apa saja, maka kami bertanya-tanya dan berkata : apakah para ulama di muka
telah mengutip kekufuran dan kesesatan ? atau mengutip keterangan yang
mendorong menuju penyembahan berhala dan kuburan ?.
Jiuka faktanya memang
demikian, lalu dimanakah kredibilitas mereka dan kitab-kitab karya mereka ?
Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Aadhiim.
BAIT-BAIT AL ‘UTBI ATAS JERUJI-JERUJI KUBURAN NABI SAW
Dua bait yang disenandungkan oleh a’rabi dan diriwayatkan oleh Al ‘Utbi
saat berkunjung kepada Nabi telah disebutkan di muka, yaitu :
Wahai orang
yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar
Berkat keharumannya, tanah
rata dan bukit semerbak mewangi
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang
Engkau tinggal di dalamnya
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan
kedermawanan
Berkat karunia Allah, bait-bait ini tertulis dalam
almuwajjahah alnabawiyyah al syarifah pada tiang yang terletak antara jeruji
kamar Nabi yang dapat dilihat oleh orang yang berada dalam jarak jauh atau
dekat semenjak ratusan tahun silam sampai pada era almarhum raja ‘Abdul ‘Aziz,
raja Sa’ud, raja Faishal, raja Khalid dan raja Fahd pemangku al haramaian al
syarifain. Dan atas izin Allah, berdasarkan instruksi khadimul haramain
tulisan itu akan tetap dilestarikan pada setiap yang tercantum di Masjid
Nabawi dan tidak menghilangkan peninggalan apapun dari masa lalu.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari paparan di atas adalah tidak disangsikan lagi bahwa
Nabi MuuhanmSAW memiliki kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur di sisi
Allah. Lalu, faktor syar’i atau logika apa yang menghalangi untuk bertawassul
dengan beliau? Apalagi ada dalil-dalil yang menetapkan bolehnya bertawassul
dengan beliau di dunia dan akhirat. Saat bertawassul kami tidak memohon kepada
selain Allah dan tidak berdo’a kecuali kepada Nya. Kami memohon kepada Allah
dengan perantaraan sesuatu yang dicintai Allah, apapun bentuknya. Suatu kali
kami memohon kepada Allah dengan perantaraan amal shalih, karena Allah
mencintainya. Dan dalam waktu yang lain kami memohon kepada-Nya dengan
perantaraan makhluknya yang Dia cintai, sebagaimana dalam hadits tentang Nabi
Adam yang telah disebutkan sebelumnya, hadits tentang Fathimah binti Asad yang
telah kami sebutkan dan dalam hadits ‘Utsman ibn Hanif di muka. Adakalanya
kami juga memohon kepada Allah dengan perantaraan asmaul husna, sebagaimana
dalam sabda Nabi SAW : “Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Engkau adalah
Allah”, atau dengan sifat-Nya atau tindakan-Nya seperti dalam hadits lain :
“Aku berlindung kepadamu dengan perantaraan ridlo-Mu dari murka-Mu dan dengan
perantaraan keselamatan-Mu dari siksa-Mu.” Tawassul tidak terbatas pada
ruang sempit sebagaimana asumsi mereka yang keras kepala.
Rahasia dari
tawassul di atas adalah bahwa segala sesuatu yang dicintai Allah sah untuk
dijadikan obyek tawassul. Demikian pula setiap orang yang dicintai Allah, baik
Nabi atau wali. Hal ini adalah sesuatu yang jelas bagi setiap orang yang
memiliki fitrah yang baik dan tidak bertentangan dengan logika serta nash.
Justru akal dan nash saling memperkuat dalam membolehkan tawassul. Dalam
seluruh tawassul di muka, yang diminta adalah Allah yang tidak ada sekutu
bagi-Nya, bukan Nabi, wali, orang hidup atau orang mati.
قل كل من عند الله فما لهؤلاء القوم لايكادون يفقهون حديثا
Jika tawassul diperkenankan dengan amal shalih, lebih-lebih dengan Nabi SAW.
Karena beliau adalah makhluk paling utama sedang amal shalih termasuk makhluk,
dan kecintaan Allah kepada beliau lebih besar daripada kepada amal shalih dan
yang lain. Sungguh aneh, faktor apa yang menghalangi tawassul dengan Nabi SAW
sedang teks hadits tidak memberikan kesimpulan lebih dari bahwa Nabi SAW
memiliki kedudukan di sisi Allah, dan orang yang melakukan tawassul tidak
menghendaki kecuali pengertian seperti ini. barangsiapa mengingkari kedudukan
Nabi SAW di sisi Allah, ia telah kafir sebagaimana kami kemukakan
sebelumnya.
Walhasil, persoalan tawassul mengindikasikan keluhuran dan
kecintaan obyek yang dijadikan tawassul. Bertawassul dengan Nabi pada
substansinya adalah karena keluhurannya di sisi Allah dan kecintaan Allah
kepadanya. Hal ini adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi, di samping bahwa
tawassul dengan amal shalih telah disepakati bersama. Maka mengapa kita tidak
mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan para Nabi atau orang-orang
shalih adalah bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang dicintai Allah,
dan sungguh telah ada hadits tentang orang-orang yang terjebak dalam goa,
sehingga dicapai titik temu dari dua pandangan yang berseberangan ?.
Tidak disangsikan lagi bahwa orang yang bertawassul dengan orang-orang
shalih pada dasarnya bertawassul dengan mereka dari aspek bahwa mereka adalah
orang shalih, sehingga pada akhirnya persoalan ini kembali kepada amal shalih
yang disepakati boleh dijadikan obyek tawassul, sebagaimana saya kemukakan
pada awal pembahasan masalah ini.
SYUBHAT YANG DITOLAK
Beberapa hadits dan atsar di atas semuanya menetapkan dan
menguatkan adanya tawassul, maka jika dikatakan bahwa tawassul khusus pada
saat beliau SAW masih hidup.
Jawabanya adalah bahwa pengkhususan ini
tidak memiliki argumentasi apalagi ruh yang memiliki perasaan, persepsi dan
kesadaran, itu tetap ada.
Dalam kaca mata madzhab Ahlissuna wal jama’ah
mayit itu bisa mendengar, merasakan, memiliki kesadaran, memperoleh manfa’at
dari kebaikan, bergembira, merasa sakit karena keburukan dan sedih. Hal ini
berlaku untuk semua manusia. Karena itu pada saat perang Badar Nabi
memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang di kubur di dalam sumur
badar. “Wahai ‘Utbah, wahai Syaibah, wahai Rabi’ah !”teriak Nabi. “ Mengapa
engkau memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai? tanya sesorang.
“Kalian tidak lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu
menjawab,” Jawab Nabi.
Jika kondisi yang dialami mayat itu berlaku umum
untuk semua manusia maka bagaimana dengan manusia paling utama, paling mulia
dan paling agung ? tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih sempurna perasaan
dan persepsinya dan lebih kuat kesadaranya. Ditambah lagi terdapat penjelasan
dalam banyak hadits bahwa Nabi mampu mendengar percakapan, menjawab salam,
disampaikanya amal perbuatan umat kepada beliau dan bahwasanya beliau
memohonkan ampunan atas dosa-dosa umat dan memuji Allah atas amal-amal baik
mereka.
Kualitas seseorang pada dasarnya terletak pada tingkat kesadaran,
perasaan dan persepsinya, bukan pada hidupnnya. Karena itu kita melihat banyak
orang hidup dicabut oleh Allah perasaan dan kesadaran kemanusiannya ditambah
karakter yang bodoh dan minimnya perasaan, namun mereka tidak bisa diambil
manfaat malah mereka berada dalam barisan orang-orang mati.
ANGGAPAN SEBAGIAN ORANG BODOH BAHWA NABI SAW TIDAK BISA MENDENGAR
PERKATAAN KITA, TTIDAK BISA MELIHAT KITA DAN TIDAK MENGENAL KITA
Diantara orang-orang yang mirip orang mati adalah mereka yang
menganggap bahwa Nabi SAW tidak bisa mendengar, melihat, mengenali kita dan
tidak mendoakan kita kepada Allah. Kelancangan apakah yang melebihi anggapan
ini ? dan kebodohan apakah yang lebih buruk dari anggapan ini ? disamping
merupakan tindakan tidak bermoral dan merendahkan kedudukan beliau SAW.
Sungguh banyak hadits dan atsar yang saling menguatkan yang menetapkan bahwa
mayit bisa mendengar, merasakan dan mengenal. Baik mayit itu mu’min atau
kafir.
Dalam kitab Al Ruh, Ibnu Al Qayyim menyatakan bahwa ulama salaf
telah menetapkan konsensus akan hal ini dan telah mutawatir atsar yang
bersumber dari mereka.
Ibnu Taimiyyah ditanya mengenai masalah ini
kemudian beliau mengeluarkan fatwa yang berisi penguatan terhadap keterangan
bahwa mayit bisa mendengar dan merasakan. (Lihat Al Fataawaa vol. 2 hlm 331
dan 362).
Jika kondisi di atas bisa dialami oleh manusia biasa, maka apa
pendapatmu dengan kaum mu’minin secara umum, hamba-hamba Allah yang shalih dan
junjungan generasi awal dan akhir, Muhammad SAW ?. Kami telah menjelaskan hal
ini dalam kajian khusus dalam kitab kami yang bernama Al Hayaatu al
Barzakhiyyatu Hayaatun Haqiiqiyyatun dengan judul Hayaatun Khaashshatun
bi Al Nabiyyi.
DAFTAR NAMA PARA IMAM YANG MEMPRAKTEKKAN TAWASSUL
Di sini kami akan menyebutkan para imam besar dan pakar hadits paling
populer yang berpendapat diperbolehkannya tawassul atau yang mengutip
dalil-dalil tawassul.
1. Al Imam Al Hafidh Abu
‘Abdillah Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak ‘ala al Shahihain, yang telah
menyebutkan hadits mengenai tawassul Adam dengan Nabi Muhammad dan menilai
hadits itu shahih.
2. Al Imam Al Hafidh Abu Bakar al
Baihaqi dalam kitabnya Dalaa’ilu al Nubuwwah, yang telah menyebutkan hadits
mengenai tawassul Adam dan yang lain. Al Baihaqi memiilki komitmen untuk
tidak meriwayatkan hadits maudlu’ (palsu).
3. Al Imam
Al Hafidh Jalaaluddin Al Suyuthi dalam kitabnya Al Khashaaish Al Kubraa, yang
telah menyebutkan hadits tentang tawassul Adam.
4. Al
Imam Al Hafidh Abu al Faraj ibn al Jauzi dalam kitabnya Al Wafaa’, yang
telah menyebutkan hadits tawassul Adam dan hadits lain.
5.
Al Imam Al Hafidh Qadli ‘Iyaadl dalam kitabnya Al Syifaa’ bi Ta’riifii
huquuqi al Mushthafaa, yang telah menyebutkan banyak hadits tentang tawassul
dalam bab Al Ziaarah dan bab Fadhlu al Nabiyyi.
6. Al
Imam Al Syaikh Nuruddin Al Qaari yang populer dengan nama Malaa ‘Ali Qari
dalam kitab syarhnya terhadap kitab Al Syifaa’ pada bab-bab di atas.
7.
Al ‘Allamah Ahmad Syihabuddin Al Khafaji dalam kitab syarhnya atas Al
Syifaa’ yang bernama Nasiimurriyaadl pada bab-bab di atas.
8.
Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani dalam kitabnya Al Mawaahib Al
Laadunniyyah pada almaqshid al awwal.
9. Al ‘Allamah
Al Syaikh ‘Abdul Baaqi AL Zurqaani dalam kitab syarhnya atas Al Mawaahib vol.
I hlm. 44.
10. Al Imam Syaikul Islam Abu Zakaria Yahya
Al Nawawi dalam kitabnya Al Iidhah pada al bab al saadis hlm. 498.
11.
Al ‘Allamah Ibnu Hajar Al Haitami dalam hasyiahnya atas kitab Al Iidlah
hlm. 499. Beliau juga memiliki risalah khusus dalam bab ini yang
diberi nama Al Jauhar Al Munadhdham.
12. Al Hafidh
Syihabuddin Muhammad ibn Muhammad ibn Al Jazari Al Dimasyqi dalam
kitabnya ‘Uddatul Hishnil Hashiin dalam Fadhluddu’a.
13.
Al ‘Allamah Al Imam Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam kitabnya Tuhfatu
al Dzaakiriin hlm. 161.
14. Al ‘Allamah Al Imam Al
Muhaddits ‘Ali ibn ‘Abdul Kaafi Al Subki dalam kitabnya Syifaau al Saqaam fi
Ziaarati Khairil Anaam.
15. Al Hafidh ‘Imaduddin Ibnu
Katsir dalam menafsirkan :
ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله
توابا رحيما
Ia menyebutkan kisah Al ‘Utbi beserta a’rabi yang datang berziarah
dengan niat memohon syafaat dengan Nabi SAW dan Al ‘Utbi tidak menentangnya
sama sekali. Juga menyebutkan kisah tawassul Adam dengan Nabi SAW dalam Al
Bidayah wa Al Nihayah dan tidak memvonisnya sebagai hadits palsu. Vol III hlm.
180.
Ibnu Katsir juga menyebutkan kisah seorang lelaki yang datang ke
kuburan Nabi untuk bertawassul dengannya. “Isnad kisah ini adalah shahih,”
komentar Ibnu Katsir. Ibnu Katsir juga menuturkan bahwa slogan kaum muslimin
adalah YAA MUHAMMADAAH . vol. VI hlm. 324
16. Al
Imam Al Hafidh Ibnu Hajar yang menyebutkan kisah seorang laki-laki yang datang
ke kuburan Nabi dan bertawassul dengannya. Ibnu Hajar menilai shahih sanad
hadits ini dalam Fathu al Baari vol. II hlm. 495.
17.
Al Imam Al Mufassir Abu ‘Abdillah Al Qurthubi dalam menafsirkan :
ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله
توابا رحيما
Vol. V hlm. 265
PARA SAHABAT MEMOHON SYAFA’AT KEPADA NABI SAW
Sebagian golongan Wahabi beranggapan bahwa memohon syafa’at kepada Nabi
Saw di dunia tidak diperbolehkan. Bahkan sebagian dari mereka yang keras
kepala mengganggap bahwa hal itu merupakan tindakan syirik dan sesat dengan
menggunakan argumentasi firman Allah :
قل لله الشفاعة جميعا
Argumentasi ini adalah sebuah kekeliruan yang mengindikasikan pemahaman mereka
yang salah. Kekeliruan ini bisa dilihat dari 2 aspek :
Pertama, tidak
ditemukan ada nash baik dari Al Qur’an maupun Al Sunnah yang melarang memohon
syafa’at kepada Nabi SAW.
Kedua, ayat di atas tidak menunjukkan larangan
memohon syafa’at kepada Nabi. Justru layaknya ayat-ayat yang menjelaskan
kekhususan Allah terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya semata yang tidak dimiliki
selain-Nya, ayat ini bermakna bahwa Allah adalah Dzat yang mengaturnya.
Pengertian ini tidak menafikan bahwa Allah memberinya kepada siapa yang
dikehendaki. Dia adalah pemilik kekuasaan yang bebas memberikan dan mencabut
kekuasaan dari siapa yang dikehendaki. Persis dengan ayat di atas adalah ayat
:
له الملك وله الحمد
Allah mensifati diri-Nya dengan pemilik kekuasaan padahal ada ayat :
تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء من كان يريد العزة فلله العزة
جميعا ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين قل لله الشفاعة جميعا
لايملكون الشفاعة إلا من اتخذ عند الرحمن عهدا ولايملك الذين يدعون من دونه
الشفاعة إلا من شهد بالحق وهم يعلمون
Sebagaimana Allah SWT bebas memberi sesuatu kepada yang dikehendaki dan
menjadikan sebagian kemuliaan (‘izzah) yang merupakan milik-Nya diberikan
kepada Rasulullah dan kaum mu’minin, demikian pula syafa’at yang seluruhnya
milik Allah namun Dia memberikannya kepada para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang
shalih, malah diberikan juga kepada banyak kaum mukminin dari kalangan awam
sebagaimana diungkapkan oleh beberapa hadits shahih yang secara makna
dikategorikan mutawatir.
Dosa apakah yang diterima jika seseorang
memohon kepada pemilik, sebagian miliknya, apalagi jika yang diminta adalah
orang dermawan dan yang meminta sangat membutuhkan apa yang diinginkan?
Syafaat tidak lain hanyalah do’a dan do’a adalah sesuatu yang legal, mampu
dikerjakan, dan diterima. Apalagi do’a para Nabi dan orang-orang shalih pada
saat masih hidup dan sesudah mati di dalam kubur dan hari kiamat. Syafa’at
diberikan kepada orang yang mengambil komitmen iman di sisi Allah dan diterima
oleh Allah dari setiap orang yang mati mengesakan-Nya.
Adalah fakta bahwa
sebagian sahabat memohon syafaat kepada Nabi dan beliau tidak mengatakan,
“Memohon syafaat dariku adalah tindakan syirik. Carilah syafaat dari Allah dan
jangan engkau sekutukan Tuhanmu dengan siapapun.”
Anas ibn Malik
mengatakan, “Wahai Nabi Allah, berilah aku syafaat di hari kiamat. “Insya
Allah aku akan melakukannya,” jawab Nabi. HR Turmudzi dalam Al Sunan dan
mengkategorikannya sebagai hadits hasan dalam Babu Maa Jaa’a fi Shifati
al-Shiraathi. Demikian pula sahabat lain selain Anas, mereka memohon syafaat
kepada Nabi SAW.
Sawaad ibn Qaarib mengucapkan syair di hadapan Nabi SAW
:
Aku bersaksi, sungguh tiada Tuhan selain Allah
Dan engkau dapat
dipercaya atas semua hal ghaib
Engkau rasul paling dekat untuk dijadikan
wasilah
kepada Allah, wahai putra orang-orang mulia nan baik
sampai
tiba pada :
Jadilah engkau pemberi syafaat pada hari dimana
pemberi
syafaat tidak mencukupi Sawad ibn Qaarib.
Hadits di atas ini diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam Al Dalaailu al Nubuwwah dan Ibnu ‘Abdil Baarr dalam Al
Istii’aab. Dalam Fathul Baari syarh Shahih Al Bukhari vol. VII hlm. 180 pada
Baabu Islaami ‘Umar RA, Ibnu Hajar juga menyebutkannya. Rasulullah menetapkan
perkataan Sawad dan tidak mengingkari permintaan syafaat dari dirinya.
Mazin
ibn Al ‘Adlub juga memohon syafaat kepada Rasulullah ketika datang untuk
memeluk Islam dan mengucapkan :
Kepadamu, wahai Rasulullah, untaku
lari
Melintasi padang sahara dari Oman hingga ‘Arj
Agar engkau
memberiku syafa’at, wahai sebaik-baik orang yang menginjak kerikil
Hingga
akhirnya Tuhan mengampuniku dan aku pergi membawa kemenangan. (HR. Abu Nu’aim
dalam Dalaailu Al Nubuwwah).
‘Ukasyah ibn Mihshan juga meminta syafa’at
kepada Rasulullah ketika beliau menyebutkan ada 70.000 orang yang masuk sorga
tanpa proses hisab. “Do’akan aku agar termasuk salah satu dari mereka,” pinta
‘Ukasyah. “Engkau termasuk mereka,” jawab beliau spontan.
Sudah maklum
bahwa siapapun tidak akan meraih prestasi masuk sorga tanpa proses hisab
kecuali setelah mendapat syafaat agung beliau untuk mereka yang tinggal di
padang mahsyar, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits mutawatir. Permintaan
‘Ukasyah ini mengandung pengertian memohon syafa’at.
Hadits-hadits yang
satu tema dengan hadits ‘Ukasyah banyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadits.
Dimana seluruhnya menunjukkan diperbolehkannya memohon syafa’at kepada Nabi
SAW di dunia. Sebagian orang ada yang memohon dengan menunjukkan dirinya
dengan mengatakan, “Berilah aku syafa’at”, ada yang memohon masuk sorga,
meminta termasuk rombongan pertama yang masuk sorga, atau memohon termasuk
golongan mereka yang bisa mendatangi telaga Nabi, memohon menemani beliau di
sorga sebagaimana terjadi pada Rabi’ah Al Aslami saat mengatakan, “Saya mohon
kepadamu untuk menemanimu di sorga.” Nabi lalu menunjukkan jalan untuk
menempuhnya. “Bantulah dirimu sendiri dengan memperbanyak sholat,” saran
beliau.” Beliau tidak mengatakan kepada Rabi’ah dan yang lain dari orang-orang
meminta masuk sorga, meminta bersama beliau, atau berharap agar termasuk
penghuni sorga, termasuk mereka yang mendatangi telaga, atau termasuk yang
mendapatkan ampunan, “Tindakan ini (memohon hal-hal di atas kepada beliau)
haram, permohonan tidak bisa diajukan sekarang, waktu memohon syafaat belum
tiba, tunggulah sampai datang izin Allah untuk memberi syafaat, atau masuk
sorga, atau minum dari telaga. Padahal semua permohonan tersebut tidak
tidak akan terjadi kecuali pasca syafaat agung. Semua permohonan di atas
mengandung arti memohon syafaat dan Nabi pribadi memberi kabar gembira akan
adanya syafaat tersebut serta menjanjikan mereka dengan sesuatu yang memuaskan
mereka. Sangat tidak mungkin bila memohon syafaat itu dilarang lalu beliau SAW
tidak menjelaskan kepada mereka status hukumnya menghormati atau menyenangkan
mereka padahal beliau adalah sosok yang tidak takut akan kecaman dalam membela
kebenaran. Beliau hanya memuaskan orang dengan sesuatu yang masih dalam
lingkaran kebenaran dan bersumber dari dasar agama serta jauh dari kebatilan
dan kemunafikan.
Jika memohon syafa’at kepada Nabi di dunia sebelum
akhirat itu sah maksudnya adalah bahwa orang yang memohon syafa’at akan
memperolehnya secara hakiki di tempatnya pada hari kiamat dan sesudah Allah
mengizinkan kepada orang yang memberi syafa’at untuk memberikanya. Bukan
berarti ia mendapatkan syafa’at di dunia ini sebelum waktunya.
Hadits di
atas sesungguhnya adalah sejenis kabar gembira dari Nabi untuk masuk
surga bagi banyak kaum mukminin. Karena makna hadits tersebut adalah
bahwa mereka bakal masuk surga pada hari kiamat dan setelah dijinkan oleh
Allah pada waktu yang telah ditentukan. Bukan berarti mereka akan masuk surga
di dunia atau alam barzah. Saya tidak menduga bahwa orang berakal dari
golongan muslimin yang awam meyakini sebaliknya pengertian hadits
tersebut.
Apabila memohon syafa’at kepada Nabi di dunia pada saat beliau
masih hidup itu sah, maka kami nyatakan bahwa tidak apa-apa memohon syafa’at
kepada Nabi sepeninggal beliau, berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan
oleh ahlussunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa para Nabi hidup dengan
kehidupan barzah. Dan Nabi kita Muhammad SAW adalah Nabi paling sempurna dan
paling agung dalam hal ini. Karena beliau mampu mendengar pembicaraan, amal
perbuatan ummat disampaikan kepadanya, memohonkan ampuan buat mereka, memuji
Allah, dan sampainya shalawat orang yang menyampaikannya kepada beliau
meskipun ia berada jauh di ujung dunia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
yang dikategorikan shahih oleh sekelompok huffadz (pakar hadits) yaitu :
حياتي خيؤ لكم تحدثون ويحدث لكم ومماتي خير لكم تعرض أعمالكم علي فإن وجدت خيرا
حمدت الله وإن وجدت شرا استغفرت الله لكم .
Hidupku lebih baik untuk kalian. Kalian bisa berbicara dan mendengar
pembicaraan. Dan kematianku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian
disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan amal baik maka aku memuji Allah dan
bila menemukan amal buruk aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
Hadits
ini dinilai shahih oleh sekelompok huffadz yaitu Al ‘Iraqi, Al Haitsami, Al
Qasthalani, Al Suyuthi, dan Isma’il Al Qadhi. Takhrij hadits ini telah kami
paparkan dengan detail bukan hanya di sini.
Jika Nabi SAW dimohon syafaat
maka beliau mampu untuk berdo’a dan memohon kepada Allah sebagaimana beliau
melakukan hal ini saat masih hidup. Selanjutnya seorang hamba akan mendapat
syafaat tersebut di tempatnya setelah diizinkan Allah. Sebagaimana sorga dapat
diperoleh oleh orang yang Nabi mengkhabarkannya di dunia. Pada waktunya orang
ini dapat memperoleh sorga setelah mendapat izin Allah untuk masuk sorga.
Masalah masuk sorga dan mendapat syafaat adalah persoalan yang sama.
Diperkenankannya memohon syafaat kepada Nabi SAW di dunia dan akhirat adalah
keyakinan kami dan menjadi keteguhan hati kami.
INTERPRETASI IBNU TAIMIYYAH TERHADAP AYAT-AYAT YANG MENERANGKAN
SYAFAAT
Ibnu Taimiyyah membolehkan memohon syafaat kepada beliau di dunia
Dalam
Al Fataawaa, Ibnu Taimiyyah mampu memberikan analisa yang baik terhadap
ayat-ayat yang berisi larangan syafaat, tidak mendapat manfaat dengannya, dan
larangan untuk memintanya. Padahal ayat-ayat ini adalah yang dijadikan
argumentasi oleh sebagian golongan Wahabi dalam melarang meminta syafaat
kepada Nabi di dunia.
Dari analisa Ibnu Taimiyyah terhadap makna dari
ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa berargumentasi dengan menggunakan
ayat-ayat tersebut sebagai dasar dari pandangan-pandangan sebagian golongan
Wahhabi adalah argumentasi yang salah tempat dan merupakan upaya merubah ayat
dari tempatnya.
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa mereka yang mengingkari
(Mu’tazilah) syafaat berargumentasi dengan firman Allah :
واتقوا يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا ولايقبل منها شفاعة ولايؤخذ منها عدل
ولايؤخذ منها عدل ولاتنفعها شفاعة ما للظالمين من حميم ولاشفيع يطاع
فما تنفعهم شفاعة الشافعين
Jawaban dari ahlussunnah waljama’ah adalah bahwa ayat-ayat di atas mengandung
dua pengertian :
Pertama, syafaat tidak bisa dimanfaatkan oleh kaum
musyrikin sebagaimana firman Allah :
ما سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين ولم نك نطعم المسكين وكنا نخوض مع
الخائضين وكنا نكذب بيوم الدين حتى أتانا اليقين فما تنفعهم شفاعة الشافعين .
Mereka tidak mendapat manfaat dari syafaat orang-orang yang memberi syafaat
sebab mereka adalah orang-orang kafir.
Kedua, ayat-ayat di atas menolak
syafaat dalam versi orang-orang musyrik dan golongan sejenis dari kalangan
ahli bid’ah, baik golongan ahlul kitab maupun kaum muslimin yang menganggap
bahwa makhluk memiliki kemampuan memberi syafaat tanpa izin Allah, sebagaimana
manusia saling memberi syafaat kepada yang lain, akhirnya yang dimintai
syafaat menerima syafaatnya yang memberi syafaat karena ia membutuhkannya baik
karena suka atau takut, dan sebagaimana makhluk bergaul dengan sesamanya
dengan hubungan timbal balik.
Orang-orang musyrik menjadikan selain
Allah dari malaikat, para Nabi dan orang-orang shalih sebagai pemberi syafaat
dan mereka membuat patung-patung selain Allah itu lalu memohon syafaat
kepadanya seraya berkata, “Mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang
khusus.”
Saya katakan : Keterangan di atas adalah pandangan Ibnu
Taimiyyah yang ditulis sesuai dengan teks aslinya. Dari pandangan beliau ini,
tampak jelas esensi dari ayat-ayat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang
menolak memohon syafaat dari Nabi SAW di dunia atau mereka yang menyatakan
bahwa memohon syafaat kepada beliau adalah tindakan syirik dan sesat.
Ringkasan dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah sbb :
Bahwa yang
dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah bahwa syafaat tidak berguna
bagi orang musyrik. Berarti ayat-ayat itu turun dalam konteks ini. atau yang
dimaksud adalah menafikan syafaat yang didefinisikan oleh orang-orang musyrik.
Yaitu bahwa pemberi syafaat memiliki syafaat tanpa seizin Allah. Pandangan
syaikh Ibnu Taimiyyah, berkat karunia Allah, adalah pendapat yang saya yakini.
Saya katakan bahwa orang yang memohon syafaat kepada Nabi SAW jika meyakini
atau menganggap bahwa Nabi mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah maka saya
yakin ia telah melakukan tindakan syirik dan sesat. Tetapi sungguh mustahil
jika saya meyakini hal ini dan saya berlepas tangan kepada Allah akan hal
itu.
Ketika saya memohon syafaat maka kami meyakini sepenuhnya bahwa
tidak seorang pun mampu memberi syafaat tanpa seizin Allah dan tidak ada
sesuatu terjadi kecuali berkat ridlo dan pertolongan Allah.
Memohon
syafaat sama dengan minta masuk sorga, minta minum dari telaga yang
dikunjungi dan meminta selamat ketika melewati titian (shirath) yang
semuanya tidak mungkin tercapai tanpa seizin Allah dan pada waktu yang telah
ditakdirkan oleh Allah. Apakah orang yang berakal ragu akan hal ini atau
pelajar ilmu agama paling yunior yang memiliki sedikit pengetahuan atau mampu
sedikit membaca kitab-kitab salaf kabur akan hal ini ?.
YA ALLAH BUKALAH
TELINGA HATI KAMI DAN SINARILAH MATA HATI KAMI
إياك نعبد وإياك نستعين
HANYA KEPADAMU KAMI MENYEMBAH DAN HANYA KEPADAMU KAMI MOHON
PERTOLONGAN
Kami meyakini dengan sepenuh hati bahwa pada dasarnya dalam hal
memohon pertolongan, meminta, memanggil, dan memohon seluruhnya kepada Allah
SWT. Dialah Dzat yang memberi pertolongan, bantuan dan yang mengabulkannya.
Allah
berfirman :
ولاتدع من دون الله ما لاينفعك ولايضرك فإن فعلت فإنك إذا من الظالمين وإن يمسسك
الله بضر فلا كاشف له إلا هو . فابتغوا عند الله الرزق واعبدوه ومن أضل ممن
يدعو من دون الله من لايستجيث له إلى يوم القيامة أمن يجيب المضطر إذا دعاه
ويكشف السوء
Ibadah dalam segala variasinya harus diarahkan kepada Allah semata. Tidak
boleh ada sedikitpun yang diarahkan kepada selain Allah, siapapun ia.
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا من
المسلمين
Nadzar, do’a, menyembelih binatang, memohon pertolongan, memohon perlindungan,
memohon bantuan, bersumpah semua hanya boleh diarahkan karena dan kepada
Allah. Dan kepasrahan juga hanya kepada-Nya. Maha suci dan maha tinggi Allah
dari segala apa yang dipersekutukan orang-orang msuyrik.
Kami meyakini
bahwa Allah adalah pencipta makhluk dan segala aktivitas mereka. Tidak ada
selain Allah yang bisa memberikan pengaruh, baik yang hidup atau mati.
Siapapun tidak bisa turut andil bersama Allah dalam bertindak, meninggalkan,
memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Tidak ada satu pun makhluk mampu
untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu secara independen tanpa seizin
Allah atau mampu berpartisipasi bersama Allah atau taraf yang lebih rendah
dari berpartisipasi.
Pengatur alam semesta cuma Allah SWT.
Siapapun tidak dapat memiliki sesuatu kecuali jika diberi Allah dan diizinkan
untuk mengaturnya. Seseorang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya,
kematian, kehidupan dan kebangkitan untuk dirinya apalagi orang lain kecuali
apa yang telah dikehendaki Allah atas izin-Nya. Berarti, memberi manfaat dan
bahaya diberi batasan dengan ketentuan ini. Hal-hal di atas bisa dikaitkan
terhadap makhluk dari aspek sebagai penyebab dan pelaku bukan dari aspek
penciptaan, pembuatan, faktor atau pemberi kekuatan. Kaitan ini bersifat
majazi bukan kaitan sesungguhnya. Namun manusia berbeda-beda dalam
mengungkapkan hal-hal ini. Sebagian berlebihan dalam penggunaan majaz hingga
jatuh dalam kekaburan lafadh yang ia bersih darinya dan hatinya tetap selamat
dan mantap dalam kesempurnaan tauhid dan pensucian terhadap Allah.
Sebagian orang ada yang berpegang teguh dengan pengertian hakiki, secara
ekstrim sampai keluar dari batas moderat ke taraf mempersulit dan memperberat
serta bersikap buruk kepada manusia dengan memperlakukan mereka berlawanan
dengan keyakinannya dan mengarahkan ucapannya di luar kehendaknya, memaksanya
dengan sesuatu yang tidak diinginkannya, dan memvonisnya dengan sesuatu yang
mereka bersih darinya. Seharusnya sikap moderat dan menjauhi tindakan ekstrim
wajib ditampilkan, karena sikap semcam ini lebih menyelamatkan agama dan lebih
berhati-hati dalam melindungi kedudukan tauhid. Waallu a’lam.
Ibnu
Taimiyyah telah menyebutkan ringkasan yang singkat dan berguna dalam
menjelaskan hal-hal yang spesifik buat Allah, yang isinya persis dengan apa
yang kita yakini dan kita beragama kepada Allah dengannya. Karena akidah kita
adalah akidah salaf dan jalan yang kita tempuh adalah jalan Muhammad, dan kami
mengatakan apa yang diucapkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah
menyatakan bahwa Allah telah menjadikan hak untuk dirinya yang tidak bisa
dipersekutukan oleh makhluk. Ibadah dan berdoa tidak layak kecuali kepada
Allah, tawakkal hanya kepada-Nya, cinta dan takut hanya kepada-Nya, tidak ada
tempat berlindung dan tempat selamat kecuali kepada-Nya, tidak ada yang
memberikan kebaikan dan meniadakan keburukan kecuali Dia, dan tidak ada daya
dan kekuatan kecuali berkat Allah.
ولاتنفع الشفاعة عنده إلا لمن أذن له من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه
إن كل من في السموات والأرض إلا آتي الرحمن عبدا ، لقد أحصاهم وعدهم عدا ، وكلهم
آتيه يوم القيامة فردا ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفائزون
Allah menjadikan taat hanya kepadanya dan takut serta takwa juga hanya
kepadanya semata. Demikian pula dalam firman Allah :
ولو أنهم رضوا ما آتاهم الله ورسوله وقالوا حسبنا الله سيؤتينا الله من فضله
ورسوله إنا إلى الله راغبون
Memberi bisa dari Allah dan Rasul, tetapi kalau tawakkal maka hanya kepada
Allah semata dan cinta juga hanya kepada-Nya semata.
Demikian kutipan
dari Al Fataawaa vol. XI hlm. 98.
MEMOHON PERTOLONGAN DAN PERMINTAAN KEPADA NABI SAW
Di muka telah kami sebutkan bahwa kami meyakini dengan sepenuhnya bahwa
pada dasarnya dalam memohon pertolongan, meminta, memanggil dan memohon hanya
pada Allah semata. Dialah Dzat yang memberikan pertolongan, bantuan dan yang
mengabulkan. Allah berfirman :
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم
Siapapun
yang memohon pertolongan kepada makhluk, memohon bantuan kepadanya,
memanggilnya atau memohon dan meminta kepadanya baik makhluk itu masih hidup
atau sudah mati dengan meyakini bahwa makhluk itu sendiri secara independen
bisa memberi manfaat dan bahaya tanpa izin Allah berarti ia telah musyrik.
Namun Allah memperbolehkan makhluk untuk saling memohon pertolongan dan
bantuan. Allah juga menyuruh orang yang diminta pertolongan untuk memberikan
pertolongan, orang yang diminta bantuan untuk memberikan bantuan dan orang
yang dipanggil untuk mengabulkan. Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini
sangat banyak, yang seluruhnya menunjukkan membantu orang yang menderita,
menolong orang yang membutuhkan, dan menghilangkan kesusahan. Dan Nabi SAW
adalah figur paling agung yang menjadi media untuk memohon pertolongan kepada
Allah dalam menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan.
Penderitaan
apakah yang melebihi penderitaan di hari kiamat, saat berada di mahsyar dalam
waktu lama, berdesak-desakan, suhu sangat panas dan keringat menyelimuti orang
yang dikehendaki Allah. Dalam situasi yang sangat berat semua manusia memohon
pertolongan kepada Allah lewat makhluk terbaik-Nya, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW, “Ketika mereka dalam situasi sangat menderita di hari kiamat,
mereka memohon bentuan kepada Adam..dst.” Dalam hadits ini beliau menggunakan
kata istighotsah (memohon bantuan). Dalam shahih Al Bukhari juga menggunakan
kata yang sama.
Para sahabat memohon pertolongan dan bantuan
kepada Nabi SAW, memohon syafaat kepada beliau dan mengadukan kondisi
mereka dari kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau.
Mereka juga mendatangi beliau ketika ditimpa kesengsaraan dan memohon kepada
beliau dengan tetap meyakini bahwa beliau cuma mediator dan penyebab dalam
memberi manfaat dan bahaya sedang pelaku sejati adalah Allah SWT.
ABU HURAIRAH RA MENGADUKAN LUPA
Al Bukhari dan perawi lain meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia
mengadu kepada Nabi SAW karena lupa terhadap hadits yang ia dengar dari
beliau, sedang ia ingin penyakit lupa itu hilang. “Wahai Rasulullah, saya
mendengar banyak hadits darimu namun saya lupa. Saya ingin lupa ini hilang,”
Abu Hurairah mengadu. “Bentangkan selendangmu,” perintah beliau. Lalu Abu
Hurirah membentangkan selendangnya dan beliau mengambil udara dengan
tanggannya dan meletakkannya pada selendang tersebut kemudian bersabda,
“Lipatlah selendangmu!” Lalu Abu Hurairah melipat selendangnya. “Sesudah
peristiwa itu saya tidak pernah mengalami lupa,” ucap Abu Hurairah. HR Al
Bukhari dalam Kitabu Al ‘Ilmi Babu Hifdhi Al ‘Ilm hadits : 119.
Abu
Hurairah meminta kepada Nabi SAW untuk tidak melupakan apapun padahal
permintaan ini termasuk sesuatu yang hanya mampu dikerjakan oleh Allah. Dan
beliau tidak ingkar kepada Abu Hurairah serta tidak menuduhnya telah melakukan
tindakan syirik, karena setiap orang mengetahui bahwa orang yang mengesakan
Allah jika memohon kepada figur-figur yang memiliki kedudukan di sisi-Nya maka
ia tidak menghendaki mereka menciptakan sesuatu dan tidak meyakini mereka
mampu melakukannya. Ia hanya menginginkan mereka menjadi sebab baginya dengan
sesuatu yang Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari do’a dan tindakan
yang dikehendaki Allah.
Coba Anda lihat Rasulullah SAW mengabulkan
permintaan Abu Hurairah. Dalam kisah di atas, tidak ada keterangan beliau
mendo’akan Abu Hurairah. Beliau hanya mengambil udara dan menjatuhkannya pada
selendang Abu Hurairah. Beliau menyuruh Abu Hurairah untuk menempelkan
selendang ke dadanya. Dan berkat karunia Allah, Dia menjadikan apa yang
dilakukan beliau sebagai sebab terkabulkannya keinginan Abu Hurairah
Demikian
pula beliau tidak pernah mengatakan kepada Abu Hurairah : Mengapa engkau
meminta kepadaku padahal Allah lebih dekat kepadamu daripada aku?. Karena hal
yang sudah dimaklumi oleh siapapun bahwa yang dijadikan sandaran dalam
pemenuhan kebutuhan dari Dzat yang di tangan-Nya kunci-kunci semua urusan
hanyalah faktor kedekatan pemohon dengan Allah dan kesempurnaan kedudukannya
di sisi Allah.
QOTADAH RA MEMINTA PERTOLONGAN KEPADA NABI UNTUK MENYEMBUHKAN
MATANYA
Adalah fakta bahwa Qotadah ibnu an Nu’man mengalami kecelakakaan
pada matanya hingga kornea matannya keluar ke pipinya. Para sahabat hendak
memutus kornea mata tersebut, namun Qotadah menolak. “Tidak, sampai saya minta
ijin kepada Rasulullah,” ucap Qotadah. Lalu Qotadah meminta ijin kepada
beliau. “Jangan ! “kata beliau. Kemudian beliau meletakkan telapak tangan
beliau pada kornea mata Qotadah, lalu menekan masuk hingga normal kembali
seperti kondisi sebelumnya. Mata yang sakit itu menjadi yang paling sehat dari
kedua mata Qotadah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baghawi, Abu Ya’la,
Ad Daruqutni, Ibnu Syahin dan Al Bsihaqi dalam kitab Ad Dalail. Juga dikutip
oleh Al Hafidzh Ibnu Hajar dalam Al Ishobah (vol. 3 hal. 225), Al Hafidh Al
Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (vol. 4 hal. 297)dan Al Hafidh As Suyuthi dalam
Akhashaish Al Kubra.
Sahabat Lain memohon pertolongan Nabi SAW untuk
menghilangkan bisul
Dari Muhammad ibn ‘Uqbah ibn Syurahbil dari
kakeknya, ‘Abdurrahman , dari ayahnya, ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah
SAW dan pada telapak tanganku tumbuh bisul. “Wahai Nabi Allah, “kataku, “bisul
ini telah membuatku sakit. Ia menjadi penghalang antara diriku dan gagang
pedang untuk memegangnya dan dari tali kekang kendaraan. “Kemarilah, “kata
beliau. “Saya pun mendekati beliau, “kata sang ayah, “lalu beliau membuka
telapak tanganku dan telapak tanganku pun ditiupnya. Kemudian beliau
meletakkan tangannya di atas bisul seraya memutar-mutarnya sehingga bisul itu
hilang tak berbekas.” HR. Al Thabarani dan disebutkan oleh Al Hafidh Al
Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid vol. VIII. Al Sil’ah adalah bisul yang tumbuh
di bawah kulit.
MU’ADZ RA MEMOHON KEPADA NABI AGAR MENORMALKAN TANGANNYA
Di tengah berkecamuknya perang Badar, ‘Ikrimah ibn Abi Jahal memukul
pundak Mu’adz ibn ‘Amr ibn Al Jamuh. “’Ikrimah memukul tanganku hingga
menjuntai melekat pada kulit lambung dan peperangan membuatku jauh darinya.
Sungguh saya telah berperang sepanjang hari dan saya menyeret tangan saya di
belakang. Saat tangan ini membuatku sakit saya letakkan telapak kaki di
atasnya dan berjalan di atasnya hingga saya membuangnya.
Dalam Al
Mawaahib, …………… berkata, “Mu’adz ibn ‘Amr membawa tangannya – yang dipukul
oleh ‘Ikrimah – menghadap Rasulullah, sebagaimana disebutkan oleh Al Qadli
‘Iyadl dari ibn Wahb. Lalu beliau SAW meludahi tangan Mu’adz hingga akhirnya
melekat kembali.
Kisah ini disebutkan oleh Al Zurqani dan ia
mengisnadkannya pada Ibnu Ishaq. Dari jalur periwayatannya ada Al Hakim.
MEMOHON PERTOLONGAN DAN BANTUAN KEPADA ALLAH LEWAT NABI DALAM MENGATASI
MUSIBAH
Nash-nash valid yang mutawatir menyatakan bahwa para sahabat jika
mengalami paceklik dan hujan tidak lagi turun mereka datang kepada Rasulullah
seraya memohon syafaat, bertawassul, meminta dan memohon bantuan lewat beliau
kepada Allah. Mereka menjelaskan kondisi yang dialami dan mengadukan musibah
serta penderitaan yang menimpa mereka.
Seorang a’rabi memanggil
Rasulullah saat beliau berkhutbah pada hari Jum’at, “Wahai Rasulullah, harta
benda rusak parah dan jalan-jalan terputus. Berdo’alah engkau kepada Allah
agar Dia menurunkan hujan.” Beliau kemudian berdo’a dan turunlah hujan pada
hari kedua. Berikutnya a’robi tadi datang lagi kepada beliau. “Wahai
Rasulullah, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang
ternak mati…” yakni karena derasnya hujan. Akhirnya beliau berdo’a dan mendung
pun hilang. Hujan terjadi di sekitar Madinah.” HR Al Bukhari dalam Kitaabul
Istisqaa’ Babu Suaalinnaas Al Imaam Al Istisqaa’ Idzaa Qahithu.
Abu
Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad baik dari ‘Aisyah, ia berkata,
“Orang-orang mengadu kepada beliau SAW atas hujan yang tidak juga turun.” HR
Abu Dawud fi kitaabishsholat Abwaabalistisqaa’.
Al Baohaqi meriwayatkan
dari Anas dalam Dalailunnubuwwah dengan rangkaian perawi yang tidak figur yang
layak dicurigai. Lihat Fathul Baari vol. II hlm. 495.
Dari Anas ibn Malik
bahwa seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW. “Wahai Rasulullah SAW, “katanya,
“Tidak ada hewan ternak kami yang bisa bersuara dan tidak ada bayi kami yang
bisa tidur lelap.” Lalu ia mengucapkan :
Kami datang kepadamu saat gadis
teteknya berdarah
Ibu bayi melupakan bayinya
Pemuda menjatuhkan
kedua telapak tangannya pasrah
Akibat lapar ia lemah, tidak
mengganggu dan tidak berguna
Tidak ada makanan yang kami miliki
Hanya
ada sejenis labu dan makanan waktu kelaparan yang tidak dicuci
Hanya
padamu aku berlari datang
Dimanakah larinya manusia jika tidak
kepada para rasul
Nabi langsung bangkit menyeret selendangnya lalu
naik ke atas mimbar dan mengangkat tangannya berdo’a, “Ya Allah turunkan buat
kami hujan deras yang menimbulkan kebaikan, membuat subur, banyak, merata,
bermanfaat tidak membawa petaka, segera tidak lamban, yang membuat penuh
ambing, menumbuhkan tanaman, dan menghidupkan bumi setelah ia mati.” Anas
berkata, “Rasulullah tidak mengembalikan tanggannya hingga mendung menjatuhkan
muatannya dan orang-orang datang meneriakkan suara tenggelam.”
“Turunkan hujan di sekitar kami jangan menimpa kami,” lanjut Rasulullah.
Mendung pun hilang dari Madinah.
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW
menyandarkan memohon bantuan, memberi manfaat dan sebagainya pada hujan secara
majaz? Dan bagaimana
beliau menetapkan kalimat penyair :
Hanya
padamu aku berlari datang
Dimanakah larinya manusia jika tidak
kepada para rasul
Dan tidak menilainya telah musyrik. Alasannya adalah
karena pembatasan dalam bait itu bersifat relatif. Apakah samar bagi beliau
firman Allah :
ففروا إلى الله
Padahal ayat ini telah diturunkan kepada beliau.
Maksud dari lari yang
ada dalam bait-bait syair di atas adalah bahwa lari yang diharapkan memberi
manfaat adalah kepadamu bukan kepada yang lain dan lari kepada para rasul
bukan kepada yang lain. Karena para rasul adalah figur tertinggi orang yang
dijadikan media tawassul kepada Allah dan figur paling agung yang lewat tangan
mereka Allah mengabulkan keinginan orang-orang yang datang memohon bantuan
kepada mereka. Perhatikanlah dengan serius betapa beliau SAW sangat
terpengaruh oleh apa yang diucapkan penyair a’rabi itu dan begitu cepatnya
respons beliau untuk menolong dan membantu manusia di mana beliau bangkit
menuju mimbar seraya menyeret selendangnya. Beliau tidak menunggu untuk
membereskan selendang terlebih dahulu karena bersegera untuk mengabulkan
permohonan orang yang memohon kepadanya dan membantu orang yang memanggilnya.
NABI SAW ADALAH PILAR, PERLINDUNGAN DAN TEMPAT KAMI MENGADU
Hassan ibn Tsabit memanggil-manggil beliau dan menyifatinya dengan
pilar yang menjadi sandaran serta pelindung yang menjadi tempat mengadu. Ia
berkata :
Wahai pilar orang yang bersandar dan perlindungan orang yang
mengadu
Tempat datang orang yang butuh bantuan dan tetangga orang
dekat
Wahai, orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
Dia telah
memberimu perangai bersih dan suci
Engkau adalah Nabi dan sebaik-baik
anak Adam
Wahai orang dermawan bak samudera luas
Mikail dan Jibril
bersamamu membantu
Keduanya dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk
menolongmu
Lihat Al Ishabah vol. I hlm. 264 dan Al Raudl Al Anf vol. II
hlm 91
HAMZAH PELAKU KEBAIKAN DAN PENGHILANG KESUSAHAN
Versi Ibnu Syadzaan dari hadits Ibnu Mas’ud : Saya tidak pernah sama
sekali melihat Nabi SAW menangis hebat melebihi tangisan beliau terhadap
Hamzah ibn Abdil Muththallib. Beliau meletakkan jenazahnya menghadap qiblat
lalu berdiri di hadapannya. Napas beliau tersengal-sengal sampai terisak
karena menangis. “Wahai Hamzah, wahai paman Rasulullah, singa Allah dan
rasul-nya. Wahai Hamzah pelaku kebaikan, wahai Hamzah penghilang kesusahan.
Wahai sang pembela atas diri rasulillah!” ucap beliau. Dikutip dari Al
Mawaahiub Al Laadunniyyah vol. I hlm. 212.
TIDAK ADA PERBEDAAN ANTARA HIDUP DAN MATI
Apabila seseorang berkata bahwa memohon bantuan kepada Nabi, mengadukan
keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada beliau dan segala sesuatu yang
sejenisnya hanya bisa dilakukan di saat beliau masih hidup. Adapun jika
dilakukan sesudah beliau meninggal merupakan tindakan kufur. Kadang dengan
toleran ia mengatakan tidak disyari’atkan atau tidak boleh.
Saya jawab
bahwa memohon bantuan dan tawassul apabila faktor yang melegalkannya adalah
hidup sebagaimana pendangan mereka maka para Nabi dalam kondisi hidup dalam
kubur mereka. Para hamba Allah yang diridloi juga hidup dalam kubur mereka
seperti halnya Nabi.
Seandainya seorang pakar fiqh tidak menemukan dalil
atas keabsahan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sesudah wafat
kecuali dianalogikan dengan tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sewaktu
masih hidup niscaya hal ini cukup. Karena beliau SAW hidup di dunia dan
akhirat, senantiasa memberikan perhatian kepada ummatnya, mengatur
urusan-urusan ummatnya atas seizin Allah, mengetahui kondisi ummatnya,
disampaikan kepadanya shalawat dari ummatnya yang menyampaikan shalawat dan
sampai kepada beliau salam mereka meskipun jumlah mereka banyak.
Orang
yang pengetahuannya luas mengenai arwah dan keistimewaan yang dimilikinya,
apalagi arwah orang-orang yang luhur maka hatinya lapang untuk mengimani
kehidupan arwah di alam barzakh. Lalu bagaimana dengan ruh dari segala arwah
dan cahaya dari segala cahaya, yakini Nabi kita Muhammad SAW.
Seandainya
memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul dengan beliau dikategorikan
syirik dan kufur sebagaimana anggapan mereka maka hal itu tidak akan
dibolehkan dalam kondisi apapun baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari
kiamat atau sebelumnya. Karena tindakan syirik dimurkai Allah dalam situasi
apapun.
KLAIM SESAT
Adapun klaim bahwa orang mati tidak mampu melakukan apapun maka ini
adalah klaim yang salah. Karena jika pandangan ini dikarenakan golongan wahabi
meyakini bahwa orang mati telah menjadi tanah, berarti pandangan ini adalah
substansi kebodohan terhadap hadits Nabi SAW bahkan firman Allah yang
menetapkan adanya kehidupan arwah dan kekekalannya setelah berpisah dari
jasad, dan panggilan Nabi terhadap arwah pada perang Badr. “Wahai ‘Amr ibn
Hisyam ! wahai ‘Utbah ibn Rabi’ah, wahai fulan ibn fulan !. Sungguh kami
menemukan janji Tuhan kami benar adanya. Apakah kalian menemukan janji Tuhan
kalian benar adanya?” tanya Nabi. Seseorang bertanya, “Mengapa engkau
memanggil-manggil orang-orang mati?”. “Kalian tidak lebih mendengar terhadap
ucapanku daripada mereka,” jawab Nabi.
Salah satu fakta adanya kehidupan
arwah adalah :
- Tindakan beliau SAW memberi salam dan
panggilan beliau kepada penghuni kuburan. “Assalamu’alaikum, wahai penghuni
kubur,” sapa beliau.
- Siksa dan kenikmatan kubur,
datang dan perginya arwah dan lain sebagainya dari banyak dalil yang datang
dibawa Islam dan ditetapkan oleh filsafat klasik dan modern.
PERTANYAAN PADA KAUM WAHABI
Apakah golongan Wahabi meyakini bahwa orang-orang yang mati syahid
hidup di sisi Tuhan mereka sebagaimana dinyatakan Al Qur’an, atau tidak? Jika
jawaban mereka tidak, maka tidak ada lagi diskusi antara kami dan mereka sebab
mereka telah mendustakan Al Qur’an, di mana kitab suci ini mengatakan :
ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون ولاتحسبن
الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون
Jika mereka meyakini kehidupan orang-orang yang mati syahid maka kami katakan
kepada mereka bahwa para Nabi dan orang-orang muslim yang shalih yang tidak
berstatus syuhada’ seperti sahabat-sahabat senior itu tidak diragukan lagi
lebih utama dari para syuhada’. Jika fakta menunjukkan syuhada’ itu hidup maka
adanya kehidupan bagi orang-orang yang lebih utama daripada mereka lebih
layak, di samping bahwa kehidupan para Nabi di alam kubur telah ditegaskan
dalam hadits-hadits shahih.
Jika kami katakan bahwa ketika kehidupan
arwah telah dibuktikan berdasarkan dalil-dalil qath’i maka tidak ada ruang
bagi kita setelah terbuktinya kehidupan arwah tersebut kecuali menetapkan
spesikasi-spesikasinya. Karena adanya hal yang dilazimkan (malzum) menetapkan
adanya yang melazimkan (lazim) sebagaimana meniadakan hal yang melazimkan
menetapkan tidak adanya hal yang dilazimkan, sebagaimana telah diketahui.
Secara logika, faktor apa yang menghalangi memohon pertolongan dan
bantuan kepada Allah lewat arwah para Nabi sebagaimana seseorang meminta
bantuan dengan malaikat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau sebagaimana
seseorang memohon pertolongan kepada yang lain. (Engkau disebut manusia sebab
ruh bukan jasad fisik).
Aktivitas arwah sama dengan aktivitas malaikat,
tidak membutuhkan sentuhan dan alat. Tidak seperti ketentuan-ketentuan dalam
aktivitas kita yang telah diketahui. Karena aktivitas arwah terjadi pada alam
lain.
ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي
Apa yang mereka fahami tentang aktivitas malaikat atau jin di alam ini ?
Tidak
ragu lagi bahwa arwah, dengan keterlepasan dan kebebasannya membuatnya mampu
menjawab orang yang memanggilnya dan menolong orang yang meminta bantuan
kepadanya persis seperti orang hidup. Kemampuan arwah justru melebihi orang
hidup.
Jika golongan Wahabi tidak mengetahui kecuali hal-hal yang
terindera dan tidak mengakui kecuali hal-hal yang kasat mata maka ini adalah
karakter para naturalis bukan kaum mukminin. Bagaimanapun kami mengalah
mengikuti dan setuju pandangan mereka bahwa arwah setelah terlepas dari raga
tidak mampu melakukan apapun, namun kami katakan kepada mereka jika diandaikan
demikian dan kami setuju dalam rangka diskusi maka kami tegaskan bahwa bantuan
yang diberikan para Nabi dan wali kepada orang-orang yang memohon bantuan
bukan dikategorikan aktivitas arwah di alam ini. Tetapi bantuan mereka
terhadap orang-orang yang berziarah atau memohon bantuan lewat mereka dengan
mendoakan sebagaimana orang shalih mendoakan orang lain. Maka yang terjadi
adalah do’a dari orang yang unggul untuk orang yang diungguli atau minimal doa
seorang saudara kepada saudaranya. Dan sungguh engkau mengetahui bahwa para
Nabi dan wali itu hidup, memiliki kesadaran, kepekaan dan pengetahuan. Malah
kesadaran mereka lebih sempurna dan pengetahuan mereka lebih luas setelah
terlepas dari raga karena lenyapnya penghalang tanah dan
perselisihan-perselisihan ambisi manusiawi.
Dalam sebuah hadits terdapat
keterangan bahwa amal perbuatan kita disampaikan kepada beliau SAW. Jika
beliau menemukan kebaikan beliau akan memuji Allah dan sebaliknya jika
menemukan keburukan beliau akan memohonkan ampunan buat kita. Boleh kita
katakan bahwa yang dimintakan dan dimohon bantuannya adalah Allah namun si
pemohon memohon kepada Allah dengan menggunakan perantara Nabi agar
keinginannya dikabulkan Allah. Berarti pelaku yang memberikan bantuan adalah
Allah, namun pemohon ingin memohon kepada Allah lewat sebagian orang-orang
yang dekat dan mulia di sisi-Nya. Seolah-olah pemohon mengatakan, “Saya salah
satu pecinta atau pengikut orang yang dekat dan mulia di sisi-Mu maka
rahmatilah aku berkat dirinya.” Dan Allah bakal memberi rahmat kepada banyak
orang berkat Nabi SAW dan figur lain dari para Nabi, wali dan ulama.
Walhasil,
kemuliaan yang diberikan Allah kepada para pecinta Nabi karena Nabi, juga
kemuliaan yang diberikan-Nya kepada sebagian hamba karena sebagian hamba yang
lain adalah hal yang telah diketahui. Sebagian dari hal di atas adalah mereka
yang mensalati mayit dan memohon kepada Allah agar Dia memuliakan mayit dan
mengampuninya karena mereka dengan mengatakan : Dan kami telah datang
kepada-Mu sebagai pemberi syafaat maka terimalah syafaat kami.
APAKAH MEMOHON SESUATU YANG TIDAK MAMPU DILAKUKAN KECUALI OLEH ALLAH
ADALAH TINDAKAN SYIRIK
Salah satu klaim sesat yang menjadi pegangan golongan yang
memvonis kafir terhadap orang yang bertawassul dengan Nabi SAW atau memohon
kepada beliau adalah ucapan mereka bahwa manusia memohon kepada para Nabi dan
orang-orang shalih yang telah mati, sesuatu yang tidak dapat dilakukan kecuali
oleh Allah. Permohonan ini dikategorikan kufur.
Jawaban dari klaim ini
adalah bahwa pandangan tersebut adalah sebuah kesalahpahaman terhadap
ketetapan ulama di zaman dulu dan kini. Karena manusia hanya memohon kepada
para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah
dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan
kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para Nabi dan orang-orang shalih
sebagaimana yang terjadi pada seorang buta dan yang lain dari mereka yang
kepada Nabi dalam rangka memohon dan bertawassul dengan beliau kepada Allah.
Nabi mengabulkan permohonan mereka, menenteramkan hati mereka dan mewujudkan
keinginan mereka atas izin Allah dan beliau tidak pernah berkata kepada salah
seorang dari mereka : “kamu telah musyrik.”
Demikian juga semua hal yang
berada di luar kebiasaan yang dimintakan kepada beliau seperti menyembuhkan
penyakit kronis tanpa obat, menurunkan hujan dari langit saat dibutuhkan
padahal tidak ada mendung, merubah substansi benda, mengucurnya air dari
jari-jari, memperbanyak makanan dan sebagainya. Semua permintaan ini umumnya
berada di luar kemampuan manusia dan Nabi tetap mengabulkan permintaan ini
serta tidak mengatakan kepada mereka : “Kalian telah menyekutukan Allah maka
perbaharuilah Islam kalian karena kalian meminta sesuatu dariku yang tidak
mampu melakukannya kecuali Allah.”
Apakah mereka kelompk Wahabi merasa
lebih tahu tentang tauhid dan faktor-faktor yang menyebabkan keluar dari
tauhid daripada Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau?. Ini adalah sesuatu
yang tidak dibayangkan oleh orang bodoh, apalagi orang pintar.
Al Qur’an
yang agung menceritakan sabda Nabi Sulaiman AS kepada jin dan manusia yang
menjadi anggota majlis beliau :
يا أيها الملأ أيكم يأتيني بعرشها قبل أن يأتوني مسلمين
Beliau AS meminta kepada mereka untuk mendatangkan singgasana besar dari Yaman
menuju tempatnya di Syam melalui cara di luar kebiasaan agar hal ini menjadi
petunjuk bagi Bilqis dan pendorong untuk beriman.
Ketika ‘Ifrit dari
golongan jin mengatakan :
أنا آتيك به قبل أن تقوم من مقامك
Maksudnya dalam waktu singkat. Nabi Sulaiman berkata, “Saya ingin yang lebih
cepat dari itu.” Lalu seorang lelaki yang memiliki pengetahuan dari kitab yang
nota bene salah seorang paling jujur dan anggota majlis beliau berkata :
أنا آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك
Maksudnya sebelum pelupuk matamu kembali terbuka. “Itu yang saya harapkan,”
kata Nabi Sulaiman. Kemudian lelaki itu berdo’a dan tiba-tiba singgasana itu
sudah ada di depan beliau.
Mendatangkan singgasana dengan cara demikian
adalah salah satu hal yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan tidak
berada dalam batas kemampuan manusia dan jin umumnya. Nabi Sulaiman mengajukan
permintaan ini kepada anggota majlisnya dan lelaki yang sangat jujur itu
berkata kepada beliau bahwa saya akan melakukannya. Apakah Nabi Sulaiman kafir
sebab mengajukan permintaan tersebut dan apakah lelaki itu telah menyekutukan
Allah dengan jawabannya?. Hal ini jelas sangat mustahil. Karena dalam
kedua perkataan tersebut tindakan disandarkan berdasarkan cara majaz ‘aqli.
Dan hal ini boleh malah populer.
Mengungkap kekaburan dalam masalah ini
jika memang di situ terdapat kekaburan adalah bahwa manusia hanya memohon
kepada para Nabi dan orang-orang shalih agar memberi syafaat kepada Allah
dalam hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia dan Allah memberi mereka
kemampuan untuk melakukannya. Orang yang mengatakan : Wahai Nabi Allah !
sembuhkan penyakitku atau bayarlah hutangku, maksud sesungguhnya adalah
berilah aku syafaat dalam kesembuhan, berdo’alah untukku agar hutangku
terbayar dan bertawajjuhlah kepada Allah menyangkut kondisiku. Manusia tidak
memohon kepada beliau kecuali sesuatu yang Allah telah memberi beliau
kemampuan untuk melakukannya dari do’a dan memberi syafaat.
Ini adalah
keyakinanku menyangkut orang yang mengatakan hal di atas dan saya berserah
diri kepada Allah atas keyakinan ini. Penyandaran dalam perkataan manusia
termasuk majaz ‘aqli yang tidak menimbulkan dampak negatif atas orang yang
mengatakannya sebagaimana firman Allah :
سبحان الذي خلق الأزواج كلها مما تنبت الأرض
dan sabda Nabi SAW :
إن مما ينبت الربيع ما يقتل حبطا أو يلم
Penggunaan majaz ‘aqli dalam firman Allah dan sabda rasul serta orang khusus
dan orang awam itu banyak sekali dan tidak perlu dikhawatirkan. Karena
keluarnya majaz ‘aqli dari orang-orang yang mengesakan Allah adalah indikasi
atas maksud mereka dan sama sekali bukan termasuk perangai buruk. Persoalan
ini telah kami jelaskan dengan detail pada pembahasan khusus dalam kitab
ini.
JIKA ENGKAU MEMOHON MAKA MEMOHONLAH KEPADA ALLAH DAN JIKA MEMINTA
PERTOLONGAN MINTALAH PADA ALLAH
Judul ini adalah penggalan dari sebuah hadits populer yang
diriwayatkan Al Turmudzi dan dinilainya shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan status
marfu’.
Banyak orang salah faham dalam memahami hadits ini karena mereka
menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak boleh meminta dan memohon pertolongan
secara mutlak, dari sisi apapun, dan dengan cara apapun kecuali kepada Allah.
Mereka menganggap meminta dan memohon pertolongan kepada selain Allah sebagai
kemusyrikan yang mengeluarkan dari agama Islam. Dengan anggapan demikian
mereka menafikan penggunaan sebab dan mencari bantuan dengannya serta
meruntuhkan banyak nash yang ada dalam masalah ini.
Yang benar hadits
ini tidak dimaksudkan untuk melarang meminta atau memohon pertolongan kepada
selain Allah sebagaimana dilihat dari teksnya. Namun maksudnya adalah melarang
lupa bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh sebab sesungguhnya berasal dari
Allah, dan perintah untuk menyadari bahwa kenikmatan yang ada pada makhluk
berasal dan disebabkan Allah. Berarti makna hadits ini adalah jika anda ingin
memohon pertolongan kepada salah seorang makhluk dan hal ini harus dilakukan
maka jadikan seluruh sandaranmu kepada Allah semata. Jangan sampai perhatian
kepada sebab membuatmu lupa untuk melihat pembuat sebab. Janganlah engkau
termasuk orang yang mengetahui apa yang terlihat secara lahir dari kaitan dan
relasi antara berbagai hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun
melupakan Dzat yang mengaitkannya.
Hadits di atas sendiri mengindisikan
pengertian ini. Yakni dalam sabda Nabi setelah ungkapan di atas, yaitu :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalau ummat bersatu untuk memberimu
manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu manfaat kecuali dengan
sesuatu yang telah digariskan Allah untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk
memberimu bahaya dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya
kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah kepadamu.” Sebagaimana kamu
lihat, hadits ini menetapkan ummat bisa memberi manfaat dan bahaya dengan
sesuatu yang telah digariskan Allah untuk atau atas seorang hamba.
Kelanjutan dari hadits di atas menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi
SAW. Mengapa kita mengingkari permintaan bantuan kepada selain Allah padahal
terdapat perintah untuk melakukannya dalam banyak tempat dari Al Kitab dan Al
Sunnah ? Allah berfirman :
واستعينوا بالصبر والصلاة
وأعدوا لهم ما
استطعتم من قوة
Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang
shalih, Dzul Qarnain :
فأعينوني بقوة
Dan dalam penyelenggaraan
shalat khauf yang ditetapkan dengan Al Kitab dan Al Sunnah ditetapkan saling
tolong menolong sebagian makhluk dengan yang lain. Demikian pula Allah SWT
menginstruksikan kaum mu’minin untuk mengambil sikap waspada terhadap musuh
mereka.
Begitu pula dalam Rasulullah mendorong kaum mu’minin untuk
saling membantu memenuhi kebutuhan yang lain, memudahkan orang yang tertimpa
kesulitan dan memberi solusi atas orang yang dilanda problema serta dalam
ancaman beliau terhadap ketidakpedulian atas hal-hal ini, semuanya banyak
terdapat dalam Al Sunnah.
“Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya
maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.” HR Al Bukhari dan Muslim.
“Allah
senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.” HR
Muslim, Abu Dawud dan perawi lain.
“Allah memiliki makhluk yang Dia
ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia datang kepada mereka
mengadukan kebutuhannya. Mereka itu adalah orang-orang yang aman dari adzab
Allah.”
Renungkanlah sabda Nabi (Manusia datang kepada mereka mengadukan
kebutuhannya). Beliau tidak menjadikan manusia tersebut sebagai orang-orang
musyrik dan juga tidak sebagai orang-orang yang melakukan maksiat.
“Sesungguhnya bagi Allah pada beberapa kaum ada nikmat yang Dia tetapkan
pada mereka sepanjang mereka memenuhi kebutuhan kaum muslimin dan sepanjang
mereka tidak menyusahkan kaum muslimin. Jika mereka menyusahkan kaum muslimin,
Allah akan memindahkan nikmat itu kepada kaum lain.” Hadits marfu’.
“Sesungguhnya
Allah mempunyai beberapa kaum yang Dia khususkan dengan beberapa nikmat untuk
kemanfaatan para hamba. Allah menetapkan mereka dalam nikmat-nikmat itu
sepanjang mereka mendermakannya. Jika mereka menolak mendermakannya maka Allah
akan mencabut nikmat-nikmat itu dan mengalihkannya kepada kaum lain.” HR
Muslim dan Ibnu Abi Al Dunya.
Al Hafidh Al Mundziri mengatakan seandainya
dikatakan sanad hadits ini hasan maka itu hal yang mungkin.
“Sungguh
jika salah satu dari kalian berjalan bersama saudaranya dalam rangka memenuhi
kebutuhan saudaranya – Nabi memberi isyarat dengan jari-jari beliau – itu
lebih utama daripada ia beri’tikaf di masjidku ini selama dua bulan.” HR Al
Hakim. “Isnadnya hasan,” kata Al Hakim.
إذا سألت فاسأل الله
JIKA ANDA MEMINTA, MEMINTALAH KEPADA ALLAH
Adapun sabda Nabi SAW : إذا سألت فاسأل الله
maka ia tidak bisa
dijadikan pijakan dan dalil untuk melarang meminta atau tawassul. Siapapun
yang memahami dari hadits ini secara harfiah adanya larangan memohon kepada
selain Allah secara mutlak atau larangan tawassul dengan orang lain secara
total maka sungguh ia telah salah jalan dan menipu dirinya. Karena orang yang
menjadikan para Nabi dan orang shalih sebagai wasilah (mediator) kepada Allah
untuk mendapatkan manfaat atau menolak keburukan dari Allah maka tidak lain
kecuali ia memohon kepada Allah semata agar memudahkan apa yang ia cari atau
menjauhkan darinya keburukan yang dikehendaki Allah seraya bertawassul
kepada-Nya dengan orang yang ia jadikan sebagai mediator. Dalam hal ini, ia
menggunakan sebab yang dijadikan Allah untuk keberhasilan para hamba dalam
memenuhi kebutuhan mereka kepada Allah. Barangsiapa yang menggunakan sebab
yang diperintahkan Allah untuk menempuhnya dalam rangka meraih keinginannya,
maka ia tidak memohon kepada sebab tapi memohon kepada yang menetapkan sebab.
Maka perkataan seseorang : Wahai Rasulullah, saya ingin engkau mengembalikan
pandangan mataku, melenyapkan musibah yang menimpaku atau menyembuhkan sakitku
maksudnya adalah memohon permintaan-permintaan ini kepada Allah lewat syafaat
Rasulullah SAW. Perkataan ini sama dengan ucapan : Do’akan aku dapat begini
atau syafaatilah aku dalam ini. Tidak ada perbedaan antara ungkapan di atas
dan ungkapan semacam ini. Hanya saja, yang terakhir ini lebih transparan
maksudnya daripada yang awal. Ucapan semisal dua ungkapan di atas yang lebih
jelas adalah perkataan orang yang bertawassul : Ya Allah, saya memohon Engkau
- lewat Nabi-Mu – memudahkan sesuatu – dari hal yang bermanfaat, atau
menolak sesuatu – dari hal yang buruk. Orang yang bertawassul dalam semua
contoh di atas tidak memohon keinginannya kecuali kepada Allah.
Dari
paparan di atas bisa anda ketahui bahwa berargumentasi atas larangan tawassul
dengan sabda Nabi SAW إذا سألت فاسأل الله adalah kesalahan mengarahkan
hadits pada pengertian yang jelas keliru. Yaitu bahwasanya siapapun tidak
boleh memohon sesuatu kepada selain Allah. Karena orang yang memahami hadits
di atas dengan pengertian demikian, sepenuhnya keliru. Cukup untuk menjelaskan
kesalahan pengertian tersebut bahwa hadits itu sendiri terucap sebagai respon
dari Nabi atas pertanyaan Ibnu ‘Abbas sang perawi hadits setelah beliau
memancingnya untuk mengajukan pertanyaan. “Nak, maukah engkau aku ajari
beberapa kalimat yang Allah akan memberimu manfaat dengannya?” pancing beliau.
Anjuran bertanya manakah yang lebih indah dari dorongan beliau ini ?. “Ya,
mau,” jawab Ibnu ‘Abbas. Lalu Rasulullah membalas dengan hadits yang ada
ungkapan di atas ini.
Seandainya kita mengikuti pemahaman keliru di atas
niscaya orang bodoh tidak boleh bertanya kepada orang pintar, orang yang jatuh
dalam tempat yang membinasakan tidak boleh memohon pertolongan kepada
seseorang yang bisa menyelamatkannya, yang memberi piutang tidak boleh meminta
hutang kepada pihak yang berhutang, seseorang tidak boleh meminta hutang, di
hari kiamat manusia tidak boleh meminta syafaat kepada para Nabi, dan Nabi Isa
tidak boleh menyuruh manusia untuk meminta syafaat kepada junjungan para rasul
Muhammad SAW. Karena dalil yang digunakan untuk menopang anggapan ini bersifat
umum yang mencakup keabsahan apa yang telah kami sebutkan dan belum kami
sebutkan.
Apabila golongan Wahabi mengatakan bahwa yang dilarang adalah
meminta kepada para Nabi dan orang shalih yang sudah berada dalam kuburan di
alam barzakh karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa maka bantahan terhadap
alasan ini telah dijelaskan secara panjang lebar di muka, di mana
kesimpulannya adalah bahwa mereka hidup dan mampu memberikan syafaat dan do’a.
Kehidupan mereka adalah kehidupan barzakh yang layak dengan status mereka yang
dengan kehidupan itu mereka mampu memberi manfaat dengan berdo’a dan
memohonkan ampunan. Orang yang mengingkari kehidupan para Nabi dan orang-orang
shalih di alam kubur paling tidak ia buta terhadap hadits yang statusnya
hampir mutawatir yang menunjukkan bahwa orang-orang mu’min yang mati dalam
kehidupan barzakhnya mampu mengetahui, mendengar, mampu mendoakan dan
aktivitas-aktivitas lain yang dikehendaki Allah. Maka apa anggapanmu
menyangkut pembesar-pembesar barzakh dari para Nabi dan orang-orang
shalih?.
Dalam hadits tentang isra’ yang tidak hanya berstatus shahih
namun masyhur di sana diceritakan tentang sikap para Nabi terhadap Nabi
terbaik Muhammad di mana mereka shalat menjadi ma’mum beliau, menjadi
pendengar khutbah beliau dan do’a mereka terhadap beliau di langit hingga
ummat Muhammad tidak mendapat dispensasi pengurangan shalat dari 50 kali
menjadi 5 kali dalam sehari semalam berkat syafaat beliau yang berulang-ulang,
kecuali setelah mendapat isyarat dengan syafaat dari Nabi yang mendapat firman
Allah, Musa ibn ‘Imran kepada beliau SAW.
Dari keterangan di atas
jelaslah bahwa pengertian yang dimaksud hadits di muka tidak seperti anggapan
mereka yang nyata-nyata salah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena
maksud dari hadits itu adalah peringatan terhadap tindakan meminta-minta harta
orang lain tanpa ada kebutuhan tapi semata-mata hanya menginginkannya, anjuran
bersikap menerima (qana’ah) terhadap apa yang dimudahkan Allah meskipun
sedikit, tidak meminta apa yang tidak dibutuhkannya dari barang-barang milik
orang lain, dan merasa cukup dengan memohon kepada Allah dengan mengharap
karunia-Nya, karena Allah mencintai mereka yang terus-menerus memohon dalam
berdoa. Berbeda dengan manusia yang justru membencinya.
Allah murka jika
kamu tidak memohon kepadanya
Sedang anak Adam marah saat diminta
sesuatu
Makna hadits di atas adalah sbb : Jika engkau silau melihat harta
orang lain dan ingin memilikinya maka janganlah engkau meminta harta miliknya
tapi mintalah pertolongan Allah dengan cara memohon kepada-Nya dari
karunia-Nya bukan meminta kepada hamba-Nya. Jadi hadits tersebut membimbing
untuk bersifat qana’ah dan membersihkan diri dari sifat tamak. Di manakah
posisi makna hadits ini dari tindakan memohon kepada Allah melalui para Nabi
dan wali-Nya atau permintaan syafaat para Nabi untuk mereka yang memintanya
dalam hal di mana Allah menjadikan syafaat mereka terdapat padanya, yang nota
bene faktor terkuat tercapainya keberhasilan. Namun jika manusia sudah
mengendarai hawa nafsu maka hawa nafsu akan membawanya jauh menjelajahi ruang
prasangka dan tergelincir dari rel pemahaman yang benar.
إنه لايستغاث بي
SESUNGGUHNYA SAYA TIDAK DAPAT DIJADIKAN TEMPAT UNTUK MEMOHON
Dalam sebuah hadits terdapat kisah bahwa pada era Nabi Muhammad Saw ada
orang munafik yang menyakiti orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon
pertolongan kepada Nabi SAW dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar.
“Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk memohon. Hanya Allah lah
yang menjadi tempat memohon.” Jawab Nabi. HR Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al
Kabir.
Hadits ini terkadang dijadikan argumentasi oleh orang yang menolak
memohon pertolongan dengan Nabi SAW. Argumentasi ini dari awal sudah keliru.
Sebab jika hadits ini dipahami secara tekstual niscaya maksudnya adalah
melarang memohon pertolongan dengan beliau secara total sebagaimana yang
terlihat dari kalimatnya. Pemahaman teskstual ini dimentahkan oleh sikap
sahabat bersama beliau. Di mana mereka memohon pertolongan dan hujan lewat
beliau serta meminta do’a kepada beliau dan beliau pun mengabulkannya dengan
suka cita. Karena itu hadits ini harus diberi interpretasi yang relevan dengan
keumuman hadits-hadits agar kesatuan nash-nash bisa terangkai.
Kami
katakan bahwa yang dimaksud denganإنه لايستغاث بي adalah menetapkan
substansi tauhid dalam dasar keyakinan. Yaitu bahwa pemberi pertolongan
sejatinya adalah Allah. Adapun hamba, ia hanyalah mediator dalam memohon
pertolongan atau maksud Nabi SAW adalah mengajari para sahabat bahwa tidak
boleh meminta kepada hamba sesuatu yang berada di luar kapasitasnya seperti
meraih sorga, selamat dari neraka, hidayah dalam arti terhindar dari
kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam kebahagiaan.
Hadits ini
tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon pertolongan dan memberikannya
dengan orang hidup bukan orang mati. Ia tidak memiliki kaitan dengan pembedaan
ini. Justru, secara tekstual hadits ini melarang memohon pertolongan dengan
selain Allah selamanya tanpa ada diskriminasi antara yang hidup dan yang mati.
Namun pengertian ini bukan yang dimaksud oleh hadits ini seperti telah kami
jelaskan di muka.
Ibnu Taimiyyah dalam Al Fataawaa mengisyaratkan
pengertian ini dimana ia mengatakan, “Terkadang dalam firman Allah dan sabda
rasul terdapat ungkapan yang memiliki arti sahih namun sebagian orang
memahaminya diluar yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya. Pemahaman ini tidak
bisa diterima. Sebagaimana Al Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir meriwayatkan
bahwa sesungguhnya pada era Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang menyakiti
orang mu’min. “Marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi SAW
dari si munafik itu,” ajak Abu Bakar. “Sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan
tempat untuK memohon. Hanya Allah lah yang menjadi tempat memohon.”
Pengertian hadits ini yang dikehendaki Nabi adalah pengertian kedua.
Yakni meminta kepada beliau sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali
Allah. Jika tidak dikehendaki pengertian kedua, buktinya para sahabat memohon
do’a kepada beliau dan meminta hujan lewat beliau sebagaimana keterangan dalam
Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata, “Kadang aku mengingat
seorang penyair seraya kupandang wajah Nabi SAW yang sedang memohon hujan.
Maka beliau tidak turun sampai talang mengalir airnya.”
Figur berwajah
putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya
Sang pemelihara
anak-anak yatim dan pelindung para janda
KATA-KATA YANG DIGUNAKAN YANG TERDAPAT DALAM MASALAH INI
Terdapat kata-kata yang digunakan untuk memuji Nabi SAW yang
menyebabkan kesamaran bagi sebagian golongan Wahabi kemudian mereka memvonis
kufur yang mengucapkannya. Di antaranya seperti :
ولا رجاء إلا هو
Tidak ada harapan kecuali Nabi SAW
وأنا مستجير به
Saya meminta perlindungan kepada beliau
وإليه يفزع في المصائب
Hanya kepada beliau tempat berlindung dalam segala musibah
وإن توقفت فمن سأل
Jika saya bimbang maka kepada siapa saya meminta ?
Maksud mereka yang
menggunakan ungkapan ini adalah tidak ada tempat berlindung yang dari makhluk,
tidak ada harapan yang dari manusia, hanya kepada beliau tempat berlindung
dalam segala musibah, yakni yang dari kalangan makhluk karena kemuliaan beliau
di sisi Allah dan agar beliau bertawajjuh dan memohon kepada-Nya, dan jika
saya bimbang kepada siapa saya meminta? Yakni yang dari para hamba Allah.
Meskipun dalam do’a dan tawassul kami tidak menggunakan
ungkapan-ungkapan seperti di atas dan kami juga tidak mengajak serta mendorong
untuk menggunakannya karena menghindari kesalahfahaman dan menjauhi
ungkapan-ungkapan yang diperselisihkan serta karena berpegang teguh dengan
ungkapan yang jelas yang tidak diperselisihkan, hanya saja kami menilai
menjatuhkan vonis kufur kepada orang yang menggunakan ungkapan-ungkapan
tersebut adalah tindakan tergesa-gesa yang tidak terpuji dan tindakan yang
tidak bijaksana. Mengapa? Karena kita harus melihat fakta bahwa yang
mengungkapkannya adalah dari kalangan yang mengesakan Allah, bersaksi bahwa
tiada Tuhan kecuali Dia dan Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat,
membenarkan semua rukun agama, percaya kepada Allah sebagai Tuhan, Muhammad
sebagai Nabi, dan Islam sebagai agama. Yang dengan semua hal ini mereka
memiliki perlindungan sebagai pemeluk agama dan memperoleh kehormatan Islam.
Dari Anas RA, ia berkata, “Barangsiapa yang melakukan shalat seperti shalat
kami, masuk Islam dan menghadap kiblat kami serta memakan hewan sembelihan
kami maka ia adalah seorang muslim yang memiliki perlindungan dari Allah dan
rasul-Nya, maka janganlah kalian tidak menepati Allah dalam orang yang
dilindungi-Nya.” HR Al Bukhari.
Berangkat dari uraian di atas maka
kewajiban kita ketika menjumpai dalam perkataan kaum mu’minin penyandaran
sesuatu kepada selain Allah SWT maka kita wajib mengarahkannya ke dalam majaz
‘aqli dan tidak ada jalan untuk mengkafirkan mereka. Karena majaz ‘aqli
digunakan dalam Al Kitab dan Al Sunnah. Terlontarnya penyandaran tersebut dari
orang yang mengesakan Allah cukup untuk menjadikannya sebagai majaz ‘aqli.
Sebab keyakinan yang benar adalah keyakinan bahwa Allah adalah pencipta para
hamba dan seluruh perbuatan mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa memberi
pengaruh kecuali Allah, baik ia mati atau hidup. Keyakinan ini adalah tauhid.
Berbeda dengan orang yang meyakini keyakinan lain, ia akan terjerumus dalam
kemusyrikan. Tidak ada dalam kaum muslimin secara mutlak, orang yang meyakini
seseorang bersama-sama dengan Allah bisa berbuat, meninggalkan, memberi rizqi,
menghidupkan atau mematikan. Adapun ungkapan-ungkapan yang menimbulkan
kesalahpahaman maka maksud mereka yang mengungkapkannya adalah memohon syafaat
kepada Allah dengan mediator/perantara tersebut. Maka maksud sesungguhnya
adalah Allah. Tidak ada seorang muslim pun yang meyakini menyangkut orang yang
ia mohon atau ia minta bahwa orang orang tersebut mampu untuk mengerjakan dan
meninggalkan sesuatu tanpa melibatkan Allah, dari dekat atau jauh atau
melibatkan Allah dalam taraf yang lebih dekat kepada kemusyrikan terhadap
Allah. Aku berlindung kepada Allah dari melemparkan tuduhan syirik atau kufur
kepada seorang muslim karena alasan keliru, bodoh, lupa atau berijtihad.
Kami katakan bahwa jika kebanyakan dari mereka di atas melakukan
kesalahan dalam mengungkapkan permohonan ampunan, sorga, kesembuhan,
kesuksesan dan permintaan mereka akan hal ini langsung kepada Nabi SAW, maka
sesungguhnya mereka tidak melakukan kesalahan dalam aspek tauhid. Sebab maksud
dari ungkapan mereka adalah memohon syafaat kepada Allah lewat perantara itu.
Seolah-olah mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah!, mintalah kepada Allah agar
Dia mengampuni dan merahmatiku. Saya bertawassul dengan beliau kepada Allah
dalam memenuhi kebutuhanku, melenyapkan kesusahanku dan mewujudkan
harapanku.”
Para sahabat Rasulullah sendiri memohon pertolongan dengan
beliau, memohon bantuan, meminta syafaat dan mengadukan kondisi mereka dari
kefakiran, penyakit, musibah, hutang dan kegagalan kepada beliau sebagaimana
telah kami sebutkan.
Sudah maklum bahwa Nabi tidak memberikan bantuan dan
sebagainya kepada para sahabat secara independen berkat dirinya atau
kapasitasnya. Tapi beliau memberikannya atas izin, perintah, dan kekuasaan
Allah. Nabi hanyalah seorang hamba yang memiliki kedudukan dan statusnya
sendiri di sisi Allah. Beliau juga memiliki kemuliaan yang dengannya beliau
memasukkan kepada Allah banyak manusia yang percaya kepada beliau, membenarkan
risalahnya dan meyakini keutamaan dan kemuliaannya.
Saya meyakini bahwa
orang yang memiliki keyakinan berlawanan dengan pemaparan di atas telah
dikategorikan musyrik. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.
Karena itu, Anda akan melihat bahwa dalam sebagian kesempatan Nabi
mengingatkan keyakinan di atas jika tampak lewat wahyu atau dari keadaan bahwa
orang yang bertanya atau mendengar itu kurang keyakinannya. Dalam sebuah
kesempatan beliau menginformasikan bahwa dirinya adalah junjungan anak Adam
(sayyidu waladi Adam). Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan kepada sahabat
bahwa yang menjadi junjungan adalah Allah. Dalam satu kesempatan para sahabat
memohon bantuan kepada beliau kemudian beliau mengajarkan mereka untuk
bertawassul dengan dirinya. Namun dalam waktu yang lain mengatakan kepada
mereka, “Sesungguhnya yang bisa dimintai bantuan adalah Allah sedang saya
tidak bisa dimintai bantuan.” Di satu saat beliau para sahabat meminta dan
memohon pertolongan dengan beliau dan beliau pun mengabulkan keinginan mereka.
Malah beliau juga memberikan alternatif kepada mereka untuk bersabar
menghadapi musibah dengan jaminan masuk sorga atau mengatasi musibah itu
segera, sebagaimana Nabi pernah memberikan pilihan kepada seorang buta,
perempuan yang mengidap epilepsi, dan kepada Qatadah yang kehilangan
penglihatan. Dalam suatu waktu beliau berkata kepada para sahabat, “Jika kamu
meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu memohon pertolongan maka
memohonlah kepada Allah .” Dalam satu kesempatan beliau mengatakan,
“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang mu’min.” Namun dalam
kesempatan beliau berkata, “Tidak ada yang mendatangkan segala kebaikan
kecuali Allah.”
Dari uraian di atas, jelas bagi kamu bahwa akidah kita,
alhamdulillah, adalah akidah paling jernih dan paling suci. Seorang hamba
tidak bisa melakukan aktivitas apapun dengan mengandalkan dirinya sendiri
betapapun kedudukan dan derajatnya, meskipun ia adalah makhluk paling utama
SAW. Beliau bisa memberi, menolak, memberi bahaya, memberi manfaat,
mengabulkan dan memberikan pertolongan hanya berkat Allah SWT.
Jika beliau dimintai bantuan, pertolongan atau diminta sesuatu maka
beliau akan menghadap Allah lalu memohon, berdo’a, memberi syafaat kemudian
akhirnya dikabulkan dan diterima syafaat beliau.
Beliau tidak pernah
mengatakan kepada para sahabat yang memohon pertolongan dan sebagainya,
“Janganlah kalian meminta sesuatu kepada saya. Janganlah kalian memohon
kepadaku. Janganlah mengadukan keadaan kalian kepadaku. Tapi bertawajjuhlah
kepada Allah dan mintalah kepada-Nya. Karena pintu Allah terbuka dan Dia dekat
serta mengabulkan. Dia tidak membutuhkan siapapun dan tidak ada penghalang dan
penjaga pintu antara Dia dan makhluk-Nya.
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDIL WAHHAB MENYANGKUT UNGKAPAN-UNGKAPAN YANG
DIKATEGORIKAN SYIRIK ATAU SESAT OLEH GOLONGAN WAHABI
Dalam konteks ini Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab memiliki sikap
yang agung dan pandangan yang bijak. Khususnya menyangkut sebagian
ungkapan-ungkapan yang sudah populer diucapkan lisan yang dikategorikan oleh
mereka yang mengkalim memproteksi dan membela tauhid, sebagai tindakan syirik
dan yang mengatakannya dikategorikan musyrik. Pimpinan tauhid dan kepala
orang-orang yang mengesakan Allah mengatakan dalam ungkapannya yang tepat
dengan kebijakannya yang pintar, yang dengan sikapnya ini dakwahnya menyebar
di tengah manusia dan metodenya populer di mata kalangan awam dan elite.
Dengarkanlah ucapannya tentang akidahnya yang termuat dalam suratnya kepada
Abdullah ibn Suhaim dan dicetak oleh Ahlul Majma’ah :
Jika keterangan ini
telah jelas, maka masalah-masalah yang dikecam oelh Ibnu Suhaim sebagian ada
yang merupakan kebohongan yang nyata yaitu :
ucapan Ibnu Suhaim bahwa
saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat
Bahwa manusia semenjak
600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.
Saya mengklaim
mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
Perbedaan para ulama adalah
bencana dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang
shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya : Wahai
Makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasululllah
SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang
terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya
mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang
tua dan makam orang lain, dan saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan
selain Allah. Atas 12 masalah ini jawaban saya adalah : Maha Suci Engkau, ini
(apa yang dituduhkan Ibnu Suhaim) adalah kebohongan yang besar, Sebelum
apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi SAW. Beliau
dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih تشابهت قلوبهم
Demikian kutipan dari risalah kedua belas dari risalah-risalah Syaikh
Muhammad ibn Abdil Wahhab yang termuat dalam kumpulan karya-karya Syaikh
bagian kelima halaman 61 yang telah diedarkan oleh universitas Muhammad ibn
Sa’ud Al Islamiiyah dalam pekan Syaihk Muhammad ibn Abdil Wahhab.
RINGKASAN
Walhasil, orang yang memohon bantuan kepada selain Allah
tidak bisa divonis kafir kecuali jika ia meyakini penciptaan oleh selain
Allah. Membedakan antara orang mati dan orang hidup tidak ada artinya sama
sekali. Karena jika seseorang meyakini penciptaan oleh selain Allah maka ia
kafir, namun masih terdapat perbedaan dengan kalangan Mu’tazilah dalam masalah
penciptaan tindakan. Jika seseorang meyakini adanya unsur sebagai penyebab dan
unsur kerja maka tidak kafir.
Anda mengetahui bahwa keyakinan maksimal
manusia mengenai orang-orang mati adalah bahwa mereka penyebab dan yang
bekerja/berbuat sebagaimana orang hidup. Bukan mereka itu yang menciptakan
layaknya Tuhan. Karena tidaklah logis jika manusia menilai orang-orang mati
melebihi orang-orang hidup, padahal manusia tidak meyakini orang-orang hidup
kecuali sebagai yang berbuat dan sebagai penyebab. Jika memang terdapat
kesalahan maka kesalahan itu letaknya pada keyakinan sebagai yang berbuat dan
sebagai penyebab. Karena hal ini lah kayakinan maksimal seorang mu’min
mengenai makhluk. Jika seorang mu’min tidak berkeyakinan demikian maka tidak
dapat disebut mu’min. Kesalahan dalam meyakini hal ini tidak dapat
diklasifikasikan kekufuran atau kemusyrikan.
Berkali-kali saya ulangi di
depan telinga kalian bahwa tidaklah logis apabila diyakini dalam orang mati
melebihi keyakinan terhadap orang hidup. Lalu seseorang menetapkan tindakan
kepada orang hidup dari aspek menjadi penyebab dan menetapkan tindakan kepada
orang mati dari aspek kemampuan mempengaruhi secara esensial dan kemampuan
menciptakan secara substansial. Karena tidak disangsikan lagi bahwa keyakinan
ini adalah keyakinan yang tidak rasional.
Paling jauh masalah orang yang
meminta bantuan kepada orang mati – setelah beberapa kali mengalah – itu
seperti orang yang meminta pertolongan kepada orang lumpuh yang tidak
diketahui bahwa ia lumpuh. Siapa yang mengatakan bahwa meminta bantuan kepada
orang lumpuh itu syirik ?. Padahal membuat sebab adalah sesuatu yang berada
dalam kapasitas orang mati dan orang mati juga memiliki kemampuan untuk
berbuat seperti halnya orang hidup dengan mendoakan kita. Karena arwah itu
mendoakan kerabat-kerabat mereka.
Terdapat hadits dari Nabi SAW,
bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan kalian disampaikan
kerabat-kerabat kalian yang mati. Jika amal itu baik maka mereka bergembira
dan jika sebaliknya mereka berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau matikan mereka
hingga Engkau memberi petunjuk kepada apa yang Engkau memberi petunjuk kepada
kami.” HR Ahmad. Hadits ini juga memilki jalaur-jalur riwayat lain yang
sebagian menguatkan yang lain. (lihat Al Fath Al Rabbani Tartibul Musnad vol.
VII hlm 89 dan Syarh Al Shudur karya Imam Al Suyuthi.
Ibnu Al Mubarak
meriwayatkan dengan sanadnya sampai Abi Ayyub, ia berkata, “Amal perbuatan
orang-orang hidup disampaikan kepada orang-orang yang telah mati. Jika mereka
melihat amal baik mereka bersuka cita. Jika mereka melihat amal buruk mereka
berdo’a, “Ya Allah, semoga Engkau menyadarkan mereka.” (lihat kitaburruh karya
Ibnul Qayyim).[]