Biografi Imam Al-Gazali dan Pemikirannya

Abu Hamid Al-Gazali dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriah, tepatnya pada 450 H, di Tus, sebuah kota di Khurasan. ayahnya meninggal dunia

Biografi Imam Al-Gazali dan Pemikirannya

 Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir:  Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi

  1. Al-Gazali: Biografi dan Pemikirannya
  2. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah 

Al-Gazali: Biografi Dan Pemikirannya

Abu Hamid Al-Gazali dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriah, tepatnya pada 450 H, di Tus, sebuah kota di Khurasan. Tidak berselang lama, ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecil, al-Gazali hidup dalam kemiskinan di bawah bimbingan seorang sufi, yang kelak memasukkannya ke salah satu sekolah penampungan anakanak tidak mampu yang memberikan jaminan kebutuhan hidup.

Di tanah kelahirannya, Tus, al-Gazali belajar sejumlah ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pergi ke Jurjan, lalu ke Naisabur, pada saat Imam al-Haramayn “Cahaya agama” al-Juwaini menjabat sebagai Kepala Madrasah Nizamiyyah. Di bawah asuhan al-Juwaini, al-Gazali belajar ilmu fikih, ushul, mantiq, dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya, yaitu al- Juwaini meninggal dunia. Pada 478 H, al-Gazali keluar dari Naisabur menuju Mu’askar. Ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad pada 484 H. Di sini al-Gazali mencapai puncak prestisius karier keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.

Karena suatu persoalan, ia keluar dari Madrasah Nizamiyyah menuju pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, ia berkunjung ke Syam, Hijaz, dan Mesir, kemudian kembali ke Naisabur. Setelah itu, ia kembali lagi ke Tus hingga menghembuskan napas terakhirnya pada 14 Jumadill Akhir 505 H, al-Gazali pergi meninggalkan alam fana ini, namun seolah-olah mengatakan ungkapan senada dengan yang pernah dilontarkan oleh Francis Bacon, filsuf Inggris (w. 1626 M): ‘’Aku menghadapkan rohku ke haribaan Tuhan. Meski jasadku dikubur dalam tanah, namun aku akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.” Al-Gazali hadir saat dunia Islam diselimuti oleh silang pendapat dan pertentangan. Masing-masing kelompok, aliran, dan faksi mengklaim diri mereka sebagai yang paling benar. “Masing-masing kelompok bangga dengan anutannya sendiri.”

Jika pandangan aliran-aliran yang ada tidak mungkin semuanya benar—karena masing-masing berseberangan secara diametral dan pula karena adanya sabda Nabi Muqammad Saw. yang menyatakan, “Umatku akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang selamat darinya adalah satu golongan,” dan jika al-Gazali amat besar perhatiannya terhadap keselamatan di akhirat dan juga sangat khawatir terhadap buruknya siksaan serta jeleknya tempat kembali, lalu apa yang akan dia lakukan?

Tak diragukan bahwa mengikuti satu golongan tertentu tanpa melakukan penelitian mendalam adalah tindakan serampangan dan merupakan sikap taklid. Sementara kemantapan hati menuntut kajian yang lebih jauh dan mendalam disertai kritisisme yang tajam dan benar, sebab persoalannya menyangkut kebahagiaan abadi atau penderitaan tanpa akhir. Inilah yang dilakukan al-Gazali. Ia menegaskan:

“Perbedaan manusia mengenai agama, aliran, dan keragaman para imam mazhab adalah samudra yang sangat dalam, yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang yang bisa selamat.

Sejak memasuki usia balig dalam gejolak muda, saya telah melompat ke kedalaman samudra ini. Saya berenang seperti seorang pemberani, bukan seperti pengecut, menyelam dan memasuki setiap ruangnya yang diselimuti kegelapan, lalu saya meneliti berbagai persoalan dan kerumitan serta menggali problema akidah setiap aliran dan menyingkap rahasia setiap kelompok dan mazhab. Semuanya dilakukan dalam upaya membedakan secara gamblang antara yang menyuarakan kebenaran dan kebatilan, antara penyebar ajaran yang asli dan yang palsu. Saya menyelami doktrin kaum Batiniyyah karena tertarik untuk menyingkap kedalaman aspek batinnya. Saya mendalami doktrin Zahiriyyah untuk mengukur kemampuan pandangannya yang berdasar pada aspek lahir. Saya tidak mengarungi filsafat kecuali karena saya ingin mengetahui hakikat kebenaran filosofisnya. Saya merambah dunia teologi (kalam) karena ingin tahu puncak kecanggihan logika dan pola-pola debat yang digunakannya. Saya memasuki dunia tasawuf karena ingin tahu rahasia kesufian. Saya mencermati para ahli ibadah karena ingin melihat apa yang mereka peroleh dari ibadah yang mereka lakukan. Saya mengenali orang-orang zindiq dan ateis (mu’attilah) untuk meneliti lebih jauh tentang sesuatu yang ada di balik keyakinannya agar bisa mengetahui faktor dan sebab apa yang menggiringnya pada keyakinan dan sikap tersebut.

Rasa haus terhadap pengetahuan tentang hakikat persoalan adalah n:’linat dan kebiasaan saya sejak muda. Ia merupakan karakter dan fitrah yang diletakkan oleh Allah Swt. pada kepribadian saya, bukan atas kehendak dan rekayasa saya sendiri, sehingga bisa melepaskan diri dari kungkungan sikap taklid dan mampu menghancurkan warisan keyakinan lama semenjak masih belia.”1

Jelas, bahwa membuang taklid, mencampakkan warisan keyakinan, dan memposisikan berbagai pendapat yang berseberangan dalam sebuah kajian untuk menemukan yang bisa dibenarkan berdasarkan atas kajian kritis adalah persoalan ragu atau membuang keraguan.

Keraguan—sebagaimana semua persoalan psikologis lainnya—tidak langsung tampak. Ia merasuki jiwa secara perlahan dan tersamar sehingga kerap tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Setelah itu, ia berkembang semakin menguat hari demi hari, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya menyempitkan ruang gerak jiwa dan merusaknya.

Hal itu berangkat dari kolaborasi sejumlah sebab dan faktor yang saling menopang. Berbagai sebab dan faktor kadang- kadang ada yang samar dan subtil, sehingga tidak bisa terdeteksi oleh para peneliti.

Karena itu, ada banyak pendapat mengenai batasan waktu dan penunjukan sebab-sebab terjadinya keraguan. Dari sini para peneliti berbeda penclapat dalam penentuan batasan waktu terjadinya krisis psikologis yang dialami al-Gazali. Kamil ‘Iyad dan Jamil Saliba menetapkan batasan waktu tertentu dalam hal ini. Sementara De Boer memiliki pendapat berbeda. Zuwemer berpendapat lain, seperti juga McDonald yang memiliki pendapat lain lagi. Semuanya—menurut pandangan saya— tidak bisa dipertemukan.2 Bagi saya, keraguan memainkan dua peranan penting pada diri al-Gazali. (1) peran yang mengandung keraguan tidak tampak dan masih bersifat toleran, sebagaimana jenis keraguan yang dialami oleh para peneliti, (2) peran yang mengandung keraguan keras dan intoleran, sebagaimana jenis keraguan yang dialami oleh para filsuf dan pemikir.

Peran pertama dapat digambarkan bahwa al-Gazali berhadapan dengan banyak aliran, kelompok, dan berbagai pendapat yang saling berseberangan. Karena itu, ia ingin menjaring kebenaran dari berbagai perbedaan tersebut, lalu mementahkan hegemoni pemikiran tradisional yang diwarisi turun-temurun serta mencampakkan kesakralannya. Ia pun mulai melakukan kajian untuk menemukan kebenaran dari berbagai kelompok tersebut. Pada tahap ini, keraguan telah terinternalisasi—jika istilah ini tepat—dalam dirinya tentang “mana di antara semua kelompok ini yang benar?”

Al-Gazali segera melakukan investigasi dalam pencarian kebenarannya dengan menggunakan perangkat akal, indra, makna zahir Alquran dan Hadis, serta disiplin-disiplin lain untuk kepentingan pembuktian yang banyak dikenal pada masa itu. Al-Gazali merasakan benturan antardalil yang ada, sebagaimana yang diceritakan dalam karyanya, Jawahir al-Qur’an.3 Dalam karya ini, al-Gazali bercerita tentang suatu masyarakat; “Menurut mereka terjadi kontradiksi antarsemua zahir dalil, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” Kemudian al-Gazali juga bercerita tentang dirinya, “Kami tidak menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang mustahil, sebab kami pun pernah tergelincir ke dalam jurang kesesatan ini.”

Pertentangan antardalil merupakan sesuatu yang alami, sebab tingkat kekuatan dan kelemahan, serta level kebenaran dan kesalahannya tidak tunggal. Maka al-Gazali harus mengarahkan perhatiannya pada dalil-dalil tersebut untuk mengkaji kebenarannya, sebagai langkah pertama, lalu menggunakannya untuk mengkaji kebenaran sebagai langkah kedua.

Al-Gazali mengkaji dalil-dalil tersebut di bawah terang cahaya al-‘ilm al-yaqini (pengetahuan yang diyakini kebenarannya), sebagai pengetahuan yang didambakan dan yang: “dapat menyingkap objek pengetahuan sehingga tidak lagi menyisakan keraguan, tidak lagi mengusung kemungkinan kesalahan, dan tidak memberikan ruang dalam jiwa untuk mengetahui berdasarkan perkiraan. Bahkan jaminan keamanan dari kesalahan seharusnya diiringi oleh keyakinan, yang andaipun ada orang yang membantah dengan menunjukkan kesalahannya, misalnya dengan mengubah batu menjadi emas dan tongkat menjadi ular, maka hal itu tidak akan menggiring pada keraguan dan pengingkaran atas keyakinan semula. Sesungguhnya ketika saya tahu bahwa sepuluh lebih banyak daripada tiga, lalu ada yang membantah dan menyatakan bahwa tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan bukti bahwa dia bisa mengubah tongkat menjadi ular dan membalik tiga menjadi lebih banyak daripada sepuluh, hal itu tidak akan membuat saya menjadi ragu terhadap keyakinan saya semula. Hal itu hanya akan melahirkan rasa takjub saya atas kemampuan orang tersebut tanpa harus menyebabkan keraguan terhadap apa yang telah saya ketahui. Kemudian saya tahu bahwa semua yang tidak saya ketahui dengan cara seperti ini dan tidak saya yakini seperti keyakinan seperti ini (seperti sepuluh lebih banyak daripada tiga) adalah pengetahuan yang tidak bisa sepenuhnya dipercaya dan tidak bisa memberi jaminan kebenaran. Semua ilmu yang tidak bisa memberikan jaminan keamanan dari kesalahan adalah bukan al-‘ilm al-yaqini.”

Jika seperti ini pengetahuan yang benar versi al-Gazali, maka standar (mizan) yang benar adalah standar yang bisa mengantar pada kebenaran tersebut. Jelas bahwa selama keinginan seperti ini terus menguat dan tetap menuntut model kepercayaan dan kekokohan yang tinggi, ia harus menetapkan akal dan indra saja dengan membuang perangkat yang lainnya. Karena—bagi al- Gazali—selain akal dan indra tidak mungkin bisa mewujudkan apa yang diharapkannya. Inilah yang ada dalam pikiran al-Gazali.
Hanya saja al-Gazali juga belum merasa puas terhadap akal dan indra tanpa melakukan pengujian yang teliti untuk mencari kejelasan apakah dalam kapasitas keduanya terhadap kemampuan yang dapat mewujudkan keyakinan yang ia harapkan? Jiwanya mulai meragukan kedua perangkat tersebut, dan menyatakan:

“Rentang keraguan yang berkepanjangan berujung pada kondisi di mana jiwa saya tidak bisa menyerahkan jaminan keamanan terbadap indra. Dari mana keyakinan bisa timbul dengan indra? Padahal indra terkuat adalah penglihatan. Sementara ia bisa melihat bayang-bayang dan menganggapnya tetap tanpa gerak serta menetapkan tidak adanya gerak pada bayang-bayang. Namun berdasarkan eksperimen dan penyaksian setelah beberapa saat, terbukti bahwa sebenarnya bayang- bayang itu bergerak. Ia hanya tidak bergerak secara simultan. Ia bergerak sangat perlahan, sedikit demi sedikit, sehingga tidak bisa dinilai sebagai sesuatu yang diam. Indra penglihatan juga melihat bintang-bintang. Ia melihatnya sebagai sesuatu yang kecil seukuran uang dinar, namun kemudian bukti-bukti astronomis menunjukkan bahwa ia berukuran lebih besar daripada bumi. Kasus benda indrawi tersebut dan yang sejenisnya, ditetapkan oleb “hakim” indra dengan keputusannya, tapi dibantah oleh “hakim” akal dengan koreksi yang tidak mungkin ditolak.”

Kepercayaan al-Gazali terhadap indra pupus sudah sehingga yang tersisa hanyalah akal. Dan ia pun harus mengujinya:

lndera berkata: “Dengan apa kamu menjamin bahwa kepercayanmu terhadap akal sama seperti kepercayaanmu terhadap indra. Sebelumnya kamu percaya pada saya (indra). Lalu datang ‘hakim’ akal dan ia mendustakan saya. Seandainya tidak ada ‘hakim’ akal, tentu kamu akan tetap memercayai saya. Bisa saja dibalik kemampuan akal terdapat ‘hakim’ lain, ketika terungkap kebohongan akal dalam kesimpulannya, seperti ‘hakim’ akal muncul dan mendustakan indra dengan ketetapannya. Ketidaktahuan terhadap adanya ‘hakim ‘yang lain itu bukan berarti bahwa ia mustahil ada.”

Untuk menjawab hal tersebut, jiwa terdiam sejenak. Kerumitannya semakin menguat dengan masuknya pesoalan mimpi. Jiwa berkata: “Apa kamu tidak tahu bahwa kamu meyakini segala sesuatu di alam mimpi, sementara kamu sebenarnya berada dalam dunia imajiner. Kamu meyakininya sebagai sesuatu yang benar-benar ada dan tetap. Saat itu kamu tidak ragu sama sekali. Kemudian setelah kamu terbangun, kamu tahu bahwa semua yang kamu lihat di alam mimpi hanyalah imajinasi, bukan berdasar realitas. Dengan apa kamu bisa menjamin kebenaran atas semua yang kamu yakini dalam keadaan sadarmu dengan perangkat indra atau akal, bila dikaitkan dengan keadaanmu yang sebenarnya? Tapi mungkin datang kepadamu suatu keadaan yang hubungannya dengan kehidupan sadarmu sama dengan huhungan kehidupan sadarmu dengan alam mimpimu. Maka keadaan sadarmu merupakan alam mimpi bila dikaitkan dengan keadaan tersebut. Ketika keadaan itu dimasuki, kamu baru yakin bahwa semua yang diketahui dalam alam kesadaran sebenarnya juga sesuatu yang imajiner, tanpa berdasar realitas. Barangkali itu adalah keadaan yang diklaim para Sufi sebagai keadaan mereka...

Bisa jadi, keadaan tersebut adalah kematian, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw: “Umat manusia sedang tidur, ketika mereka mati barulah mereka tersadar.”

Ketika kegundahan ini mengganggu dan merasuki jiwa, aku mencoba mengobatinya. Tapi usaha itu tidak mudah, sebab hanya bisa dibantah dengan bukti ataupun dalil. Sementara tidak mungkin membangun dalil kecuali dari komposisi pengetahuan aksiomatik (al-’ulum al-awwaliyyah). Dan jika tidak ada postulat, tidak mungkin membangun dalil. Pikiranku menjadi ruwet dan sekitar dua bulan aku terkatung-katung dalam mazhab Sufisme, dalam pengertian kondisi, bukan dalam pengertian logika dan pernyataan.”

Inilah krisis keraguan dahsyat yang dilukiskan sebagai peran kedua. Dalam krisis tersebut al-Gazali tidak memiliki kepercayaan apa pun. Di hadapannya, tidak ada yang valid, baik dalil atau yang ditunjukkan oleh dalil (madlul). Tapi rahmat Allah segera tercurah kepadanya. Allah mengaisnya dari jurang yang dalam ini, meski masih melalui beberapa tahap. Pertama, ia diberi kemampuan untuk memperoleh dalil, kemudian yang kedua, ia diantar menuju kelompok yang benar di bawah cahaya petunjuk-Nya. Ia melukiskan:

“Jiwa kembali stabil dan sehat—setelah sakit selama dua bulan—dan ‘kepastian-kepastian rasional’ (ad-daruriyyat al- ’aqliyyah) dapat diterima dan dipercaya dengan penuh keyakinan dan keter jaminan. Hanya saja hal tersebut tidak dibangun di atas sistem dalil dan rangkaian pernyataan, melainkan dari cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam dada. Cahaya itulah kunci kebanyakan pengetahuan (ma’rifah). Oleh karena itu, barangsiapa yang menduga bahwa kasyf (ketersingkapan pengetahuan tentang hakikat kebenaran) harus menunggu serangkaian dalil, ia telah mempersempit rahmat Allah yang luas.”

Al-Gazali memegang teguh akal dengan penuh suka dan mencampakkan perangkat yang lainnya. Selama akal—atau yang disebutnya dengan “kepastian-kepastian rasional”—bisa dipercaya akan mendatangkan kepercayaan sempurna (al-wasuq at-tam), ia bisa di jadikan perantara menuju al-’ilm al-yaqini yang didambakannya. Dengan ini, al-Gazali telah keluar dari keraguan yang berkutat di sekitar berbagai standar yang bisa dijadikan timbangan kebenaran. Saat ini ia telah menerima dengan penuh kerelaan terhadap “kepastiankepastian rasional” sebagai standar. Adapun keraguan terhadap berbagai aliran, untuk mengetahui mana yang berjalan di rel kebenaran, ia belum bisa keluar. Ia baru akan melakukan pengujian secara detail dan teliti terhadap aliran- aliran tersebut dalam terang cahaya standar ini. Ia menegaskan:

“Setelah Allah mengobati saya dari penyakit ini, saya dapat membatasi golongan-golongan pencari kebenaran menjadi empat kelompok:
1.    Para teolog (mutakallimun), yaitu kelompok orang yang mengaku sebagai golongan rasionalis (ahl ar-ra’y wa an- nazar).
 
2.    Penganut kebatinan (batiniyyah), yaitu kelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemegang pengajaran (ta’lim) dan yang mengkhususkan diri pada adopsi ajaran imam yang suci (alimam al-ma’sum).

3.    Kelompok filsuf, yaitu kelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemilik logika dan penalaran demonstratif.

4.    Golongan Sufi, yaitu mereka yang mengaku sebagai kelompok elit yang terhormat (khawwas al-hadrah) dan yang bisa menyaksikan dan menyingkap kebenaran hakiki (ahl al-musyahadah wa al-mukasyafah).

Kemudian saya mulai mengkaji ilmu kalam dengan membedah karya para tokoh terkemuka disiplin ilmu tersebut. Setelah itu, saya menulis buku dalam disiplin ini sesuai dengan pandangan saya dan menemukan bahwa disiplin ilmu ini telah mampu memenuhi tujuannya, tapi belum bisa memenuhi impian saya.”

Tujuan ilmu kalam—seperti dikatakan al-Gazali—adalah menjaga akidah umat—yang tumbuh sebagai Muslim dan mengambil akidahnya dari Alquran dan Sunah—dari berbagai keraguan yang bertebaran di sekitarnya dan dari penyakit yang bisa menyerangnya. Sementara kehadirannya sebagai rumusan akidah Islam untuk orang-orang yang tidak dibesarkan dalam lingkungan Islam dan belum beriman terhadapnya, belum menjadi perhatian dan orientasi dari ilmu kalam. Orientasi ilmu kalam telah menunaikan tugasnya untuk membangun premis-premis yang diambil dari orang yang menyerang dan meragukannya guna balik menyerang mereka melalui postulat-postulat mereka sendiri. Premis-peremis semacam ini rapuh dan lemah. Al-Gazali mengatakan:

“Kebanyakan wacana yang dikembangkan oleh para ahli kalam adalah persoalan bagaimana merumuskan tanggapan atas lawanlawan polemiknya dan melecehkan mereka dengan menggunakan postulat-postulat mereka sendiri.”

lnilah tujuan ilmu kalam. Sedangkan tujuan al-Gazali adalah mengetahui hakikat kebenaran agama yang didukung oleh akal sehingga sampai pada tingkat kepastian matematika, dalam detail dan kejelasannya. Tentu kedua tujuan ini sangatlah jauh berbeda. Karena inilah, dengan menunjuk ilmu kalam, al-Gazali menyatakan:

“Dan ini tak banyak bermanfaat bagi orang yang sama sekali tak menerima kecuali kepastian-kepastian yang tak terbantah (addaruriyyat). Maka ilmu kalam tidak memenuhi kebutuhan dan tidak mengobati penyakit saya...

Dengan demikian, ilmu kalam tidak berhasil sepenuhnya menghapus gulita kebingungan dalam belantara perbedaan pendapat umat manusia. Saya tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat menghapus kebingungan orang selain saya. Bahkan saya juga tidak ragu bahwa ia dapat bermanfaat bagi sekelompok orang. Namun manfaat tersebut bercampur taklid dalam persoalan- persoalan yang tidak termasuk ketegori aksiomatik. Sekarang tujuannya adalah bercerita tentang pengalaman saya, bukan untuk tidak mengakui orang-orang yang dapat menjadikan ilmu kalam sebagai obat kegelisahan. Karena obat itu berbeda-beda, sesuai dengan jenis penyakitnya. Banyak obat yang bermanfaat bagi seorang pasien tapi justru berbahaya bagi pasien yang lain.”

Dari sini jelas bahwa al-Gazali menyusun buku tentang ilmu kalam disertai pengakuan bahwa ilmu kalam tidak bisa memenuhi maksud yang diinginkannya. Bagi al-Gazali, kandungan ilmu kalam tidak mengandung hal-hal yang bisa menjadi santapan akal dan tuntutan jiwanya.

Di sini beralasan kiranya bagi saya untuk memberikan nasihat tulus kepada mereka yang mendasarkan kajian dan penelitiannya pada warisan para ulama masa lampau. Sebab tidak sepatutnya mereka bersandar kepada pendapat seseorang hanya karena ia menyebutkan dalam karyanya. Tapi seharusnya ia mengetahui lebih dahulu terhadap kondisi yang mengitari pengarangnya, ketika menulis karya yang sedang mereka kutip. Apakah ia menulis karyanya untuk dirinya atau untuk orang lain? Atau juga faktor apa yang memengaruhinya untuk menulis?

***
Setelah itu, al-Gazali mengalihkan perhatiannya kepada para filsuf, untuk melakukan pengujiannya ini. Para filsuf adalah orangorang yang bersandar pada akal dalam prilaku kehidupan praktisnya. Al-Gazali melihat kajian mereka, yang menampilkan tema-tema akidah, terutama pada upaya rasional mereka, bisa mendapatkan sesuatu yang bisa memastikan validitas doktrin yang mereka anut. Tapi al-Gazali justru mendapatkan banyak sekali kontroversi di dalamnya.

“Aristoteles menolak semua ajaran para tokoh sebelumnya, hingga gurunya sendiri yang disebut Plato Ilahi (Aflatun al-IIahi). Kemudian ia memberi klarifikasi atas perbedaannya dengan sang guru dengan mengatakan: “Plato benar, dan kebenarannya juga benar. Tapi kebenaran lebih benar daripadanya.” Kami mengutip cerita ini sebatas untuk memberitahukan bahwa menurut para filsuf sendiri, tak ada yang ajeg dan sempurna dalam mazhab pemikiran mereka. Mereka semua menetapkan suatu kesimpulan berdasarkan hipotesis (zann) dan estimasi (takhmin), tanpa ada pemastian (tahqiq) dan keyakinan (yaqin).

Al-Gazali segera menyadari bahwa menggiring akal menuju kepentingan ini berarti pemaksaan terhadap akal atas sesuatu yang berada di luar kemampuan dirinya. Ia juga menyadari bahwa cara akal memahami persoalan matematika tidak bisa diterapkan pada persoalan ketuhanan.4 Al-Gazali menyatakan:

“Kami menjelaskan bahwa apa yang mereka syaratkan dalam validitas materi analogi di dalam bagian demonstrasi dalam logika dan apa yang mereka syaratkan dalam bentuknya di dalam kitab analogi serta apa yang mereka tetapkan dari bagian-bagian dalam isagoge dan categoria yang merupakan bagian dari logika dan premis-premisnya, tidak memungkinkan kepada mereka untuk memberikan keyakinan dalam pengetahuan mereka tentang persoalan ketuhanan (metafisika).”

Karena itu, ia keluar dengan kesimpulan sebagai berikut: “Mana orang yang mengklaim bahwa argumen metaisik menurut para ilsuf bersifat pasti (eksak) seperti ilmu-ilmu alam.”

Selama argumen-argumen metafisik yang dibangun oleh para filsuf tidak mencapai tingkat kejelasan matematis yang disyaratkan oleh al-Gazali, maka mau tidak mau, ia harus cuci tangan dari argumenargumen tersebut.

Al-Gazali telah menulis buku yang berisi kritik dan penolakan terhadap pandangan para filsuf. Dan diduga kuat bahwa buku Tahafut al-Falasifah ditulis pada masa ini.

***
Lalu al-Gazali mencurahkan perhatiannya pada kelompok Ta’limiyyah yang mengatakan:

“Sesungguhnya akal tidak bisa dijamin aman dari kesalahan. Maka tidak bisa dibenarkan mengambil hakikat ajaran agama darinya.”

Atas keputusan ini, al-Gazali berhenti melakukan pengujian terhadap para filsuf. Dengan demikian, mereka sepakat dalam titik ini. Lalu dari mana mereka akan mengambil ajaran-ajaran agama dalam kemasan yang meyakinkan? Mereka mengambilnya dari sang Imam yang Suci (al-Imam al-Ma’sum), yang memperolehnya dari Allah melalui perantara Nabi.

Al-Gazali tertarik dengan figur imam ini dan terhadap apa yang dibawa melalui caranya sendiri. Namun, di manakah sang imam tersebut? Al-Gazali lama melacaknya, tapi tak berhasil menemukannya. Dengan begitu, jelas bahwa orang-orang dalam kelompok ini telah tertipu dan sang Imam tidak ada dalam dunia riil. Karena itu, ia pun kembali dengan tangan hampa. Setelah menulis banyak karya yang menentang aliran ini, ia melancarkan kritik dan bantahannya seperti yang ia ungkapkan.

***
Kelompok yang keempat masih tersisa. Masih ada kelompok tasawuf yang menyatakan kemampuannya menyingkap tirai (kasyf), melihat dan berhubungan langsung dengan alam malakut, mengambil pengetahuan langsung darinya serta bisa mengetahui Lauh al-Mahfuz berikut rahasia yang dikandungnya. Tapi bagaimana cara menyingkap (kasyf) dan menyaksikan langsung (mu’ayanah) tersebut? Para ahli tasawuf menjawab bahwa hal itu dapat dicapai dengan ilmu dan amal.
Waktu-waktu berlalu di mana al-Gazali meminta penjelasan kepada para ahli tasawuf dan mengadaptasi jiwanya sehingga mengantarkannya pada sikap: “meninggalkan popularitas yang disandangnya, keadaan serba tertata yang sepi dari kesusahan hidup dan jaminan perlindungan yang terjaga dari ancaman musuh.”

Ia keluar dengan rona murung di mukanya menuju gurun. Suatu ketika, ia bertolak ke Syam, namun pada saat yang lain ia mengunjungi Hiijaz, lalu ke Mesir. Semua itu dalam rangka melarikan jiwanya dari khalayak, menarik diri kembali pada kesepian dan menerapkan apa yang diisyaratkan oleh para ahli tasawuf. Mereka berkata bahwa prinsip jalan hidup mereka yaitu: “memutuskan hubungan hati dengan dunia dengan menyingkir dari tempat penuh tipuan menuju tempat keabadian serta menerima inti himmah kepada Allah. Itu tidak akan terwujud sempurna kecuali berpaling dari harta dan kedudukan, lari dari kesibukan dan hubungan duniawi, bahkan hatinya menganggap sama antara ada dan tiadanya segala sesuatu.”

Termasuk kesempurnaan cara mereka juga adalah seperti yang disebutkan al-Gazali:
“Menyendiri dalam zawiyah (ruang eksklusif di dalam masjid) dengan membatasi diri hanya pada ibadah wajib dan sunah, duduk dengan hati yang hampa, dengan himmah yang terkumpul, dan berkonsentrasi dengan zikir kepada Allah. Hal itu dapat dilakukan dengan terlebih dulu membiasakan lisan untuk berzikir kepada Allah sehingga tak henti-hentinya mengucapkan ‘’Allah... Allah”, yang disertai dengan penghadiran hati. Hal itu berpuncak pada kondisi yang seandainya Anda menghentikan gerakan mulut, Anda merasa seolah-olah kata-kata itu tetap mengalir di lisan karena begitu dibiasakan. Kemudian Anda menjadi terbiasa dengan kondisi tersebut sampai tak tersisa dalam hati Anda, kecuali makna kata tersebut. Anda akan memasuki kondisi di mana dalam hati Anda tak terbersit lagi huruf-huruf pada ungkapan dan bentuk kata, melainkan yang tersisa hanya makna semata, yang hadir dalam hati Anda secara konsisten dan terus-menerus. Anda hanya bisa berusaha sampai pada batas ini saja dan setelah itu tak ada lagi yang bisa diusahakan kecuali konsistensi untuk menolak berbagai godaan yang bisa membelokkan hati. Usaha Anda telah mencapai titik klimaks. Maka yang tersisa hanyalah penantian terhadap keterbukaan seperti yang ditampakkan kepada para wali. Yang ditampakkan kepada para wali hanya merupakan bagian yang ditampakkan kepada para nabi... sedang tingkattingkat para wali Allah di dalamnya tidak bisa terhitung. ”

Inilah metode sufistik. Dalam hal ini persoalan metode sufistik hanya kembali pada ‘penyucian murni’ (tathir mahd) dari segala yang ada di sekitar, ‘pemurnian’ (tasiyyah) dan ‘kecerahan’ (jala’), kemudian ‘persiapan’ (isti’dad) dan “penantian (intizar).

Penjelasan lebih lanjut dari hal tersebut adalah bahwa jika hati telah sci dari dari kotoran kemaksiatan dan membuatnya mengkilap dengan ketaatan, maka permukaannya akan terangkat dan apa yang dikehendaki Allah akan memantul dari Lauh Mahfuz. Pengetahuan inilah yang disebut “Ilmu Ladunni”, istilah yang diambil dari firmanNya: “Dan Kami mendatangkan padanya akan pengetahuan dari “sisi Kami.”

Para ahli tasawuf menafsirkan rezeki (rizq) dalam firman Allah: “Dan barangsiapa yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar dan memberinya “rezeki” tanpa diduga-duga.” dengan mendapat pengetahuan tanpa belajar.

Al-Gazali mempraktikkan metode ini pada dirinya sehingga hatinya menjadi bersih dan mengkilap, seperti clikatakannya kepada kita:

“Tersingkaplah kepadaku—di tengah-tengah penyendirian ini—perkara-perkara yang tidak mungkin dihitung dan dirinci. Kadar yang bisa saya sebutkan untuk dipahami bahwa saya tahu secara meyakinkan kalau kaum Sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang paling benar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendekiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan akhlak kaum Sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu. Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan batinnya, teradopsi dari lentera kenabian. Padahal tidak ada cahaya di muka bumi yang melebihi terang cahaya kenabian... Sesungguhnya pada waktu sadar mereka menyaksikan para malaikat dan roh-roh para nabi sekaligus mendengar suara mereka. Kaum Sufi juga dapat mengambil langsung berbagai pengetahuan dan pemahaman dari mereka.”
Hingga perkataannya: “Dan apa yang ada dari yang tidak saya sebutkan, berprasangka baiklah dan jangan bertanya tentang beritanya.”

Dengan demikian, al-Gazali mengetahui pengetahuan- pengetahuan yang memuaskan jiwanya serta menjamin keamanannya dari kesalahan. 

Dengan itu al-Gazali telah melepaskan diri dari keraguan yang berputar di sekitar pengetahuan golongan yang selamat setelah ia berhasil melepaskan diri dari keraguan yang mengitari standar standar kebenaran hakiki.

Sejak saat itu (pasca krisis psikologis) kita bisa menggunakan karya-karyanya untuk menjadi sumber acuan yang memberikan gambaran pemikiran dan teori-teorinya. Adapun sebelumnya, tidak bisa.

Walaupun demikian, tidak semestinya kita percaya bulat-bulat terhadap karya-karya al-Gazali pada saat itu, untuk menjadi pegangan dalam merujuk pemikirannya. Sebab al-Gazali memiliki pendapat yang memiliki ukuran kelaikan tertentu dalam penyajiannya tentang deskripsi dan eksplorasi kebenaran hakiki. Hal itu dapat dipahami dari kenyataan bahwa al-Gazali melihat umat manusia memiliki perbedaan kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda, sementara agama dalam pandangan al-Gazali adalah mudah dan toleran. Ia tidak mungkin memposisikan seluruh umat manusia dalam kelas yang sama, sementara mereka memiliki perbedaan kapasitas dan kemampuan. Sebab perlakuan yang sama justru akan membebani orang yang lemah akal dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya dalam memahami wacana dan penjelasan teoretis, atau justru menghalangi orang yang memiliki kemampuan intelektual untuk memperoleh kepuasan intelektual dalam kajian dan penalaran. Karena itu, al-Gazali mengklasifikasikan manusia menurut kapasitas dan kemampuannya menjadi tiga:5

“Pertama, masyarakat kebanyakan (‘awwam), yaitu kelompok para pencari keselamatan yang berkemampuan intelektual rendah. Kedua, masyarakat elit (khawwas), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Ketiga, di antara kelompok kedua muncul kelompok ahli debat.

Terhadap kelompok elit, saya memberikan pencerahan dengan mengajari mereka tentang standar-standar yang adil berikut tata cara penilaian dengan menggunakan standar tersebut untuk menemukan kebenaran. Dengan itu, silang pendapat akan hilang dalam waktu tidak terlalu lama. Mereka adalah masyarakat yang memiliki tiga hal. Pertama, intelegensi tinggi. Kemampuan semacam ini merupakan karunia fitri dan watak bawaan sejak lahir yang tidak mungkin diusahakan untuk mendapatkannya.
Kedua, kesterilan batin dari taklid dan sikap fanatik terhadap suatu mazhab tradisional dan turun temurun. Sebab sebenarnya seorang yang bertaklid adalah tidak mendengar, sedangkan orang yang bodoh, walaupun mendengar, ia tidak mengerti.

Ketiga, keyakinan bahwa dirinya adalah orang yang memilik ketajaman mata hati (basirah) terhadap standar dan timbangan penilaian. Orang yang tidak percaya bahwa Anda adalah ahli hitung, maka ia tidak akan belajar dari Anda.

Sedangkan kelompok orang yang tidak memiliki kapasitas intelektual yang tinggi adalah masyarakat kebanyakan (‘awwam). Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ketajaman intelektual untuk memahami hakikat-hakikat kebenaran. Maka saya membawa mereka menuju jalan Allah dengan nasihat (maw’izah), sebagaimana saya membimbing orang yang memiliki ketajaman intelektual dengan hikmah dan orang yang suka “bertengkar” dengan debat. Allah Swt. mengumpulkan ketiga kelompok tersebut dalam satu ayat: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. an-Nahl: 125)

Dari ayat ini, diketahui bahwa orang yang mesti diajak ke jalan Allah dengan hikmah adalah satu kelompok, dengan nasihat (mau’izah) satu kelompok juga, dengan debat satu kelompok. Sebab jika hikmah diberikan kepada orang yang kapasitasnya hanya untuk menerima mau’izah, maka hikmah itu hanya akan memberikan dampak negatif, seperti bila seorang bayi yang masih dalam usia menyusui namun diberi makan daging burung. Jika cara debat digunakan terhadap orang-orang kelas hikmah, mereka akan merasa muak, sebagaimana perut orang dewasa yang akan merasa mual jika minum air susu ibu. Tapi jika menggunakan cara debat terhadap orang yang memang dalam kelas debat, tapi tidak dengan cara yang baik seperti diajarkan Alquran, akan seperti orang yang memberi suguhan roti gandum terhadap orang pedalaman (badawi), padahal ia terbiasa makan kurma, atau memberikan suguhan kurma terhadap orang kota (baladi), padahal ia hanya terbiasa memakan roti dari gandum.

Adapun kelompok yang tergolong barisan pendebat, mereka lebih tinggi dari kelas masyarakat kebanyakan, tapi kecerdasannya kurang. Sebab meskipun secara fitrah sempurna, tapi di dalam batin mereka terdapat noda dan resistensi, terdapat fanatisme dan taklid. Inilah yang menghalangi mereka untuk meraih kebenaran. Sifat ini pula yang menjadi “tutup” pada hati mereka dan “sumbatan” pada telinga mereka sehingga tak bisa menemukan kebenaran. Saya mengajak mereka menuju kebenaran dengan lembut. Maksudnya, saya tidak menampilkan fanatisme kepada mereka dan tidak memberikan tanggapan secara keras. Tapi saya melakukannya secara partisipatif dan berdebat dengan cara terbaik.”

Dalam hal ini terlihat indikasi bahwa al-Gazali menyajikan pengetahuan dengan ragam warna kepada umat manusia. Al- Gazali juga menunjukkan bahwa di antara manusia terdapat sekelompok orang yang tak bisa mengetahui hakikat sesuatu karena keterbatasan kemampuannya. Terhadap kelompok ini, al-Gazali memposisikan diri sebagai orang yang melihat syariat sebagai sesuatu yang diperintahkan kepadanya. Al-Gazali berbicara kepada manusia sesuai dengan kapasitas intelektual mereka. Karena itu, dalam berbagai karyanya, ia sering mengulang ungkapan: “Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Apakah kalian hendak mendustakan Allah dan Rasui- Nya?” 

Bahkan secara eksplisit, al-Gazali menunjukkannya dengan jelas. Dalam kitab Mizan al-’Amal, ia menyatakan:

“Mazhab adalah sebutan yang mencakup tiga tingkatan makna: (1) sesuatu yang dipegang teguh secara fanatik dalam berbagai diskusi (munazarat), (2) ajaran atau petunjuk-petunjuk yang diikuti, (3) sesuatu yang diyakini seseorang di dalam jiwa berupa teori-teori yang ia temukan. Masing-masing dari ketiganya membentuk aliran mazhab yang sempurna.

Mazhab dalam pengertian pertama adalah contoh dari para leluhur dan nenek moyang, mazhab dari guru, dan mazhab suatu masyarakat di mana ia tumbuh. Karena itu, ia berbeda sesuai dengan perbedaan kawasan atau negara serta sesuai dengan perbedaan gurugurunya. Orang yang dilahirkan dalam millieu Muktazilah, Asy’ariyyah, Syafawiyyah, atau Hanafiyyah, akan tertanam—dalam jiwanya sejak kecil—sikap fanatik membela terhadap mazhab tersebut dan melecehkan yang lain. Karenanya, orang itu kemudian disebut “penganut mazhab Asy’ari” (Asy’ariy al-mazhab),”penganut Muktazilah”, “penganut Syafawiyyah”, “penganut Hanafiyyah”. Artinya, ia berpegang teguh secara fanatik terhadapnya, yaitu membela orangorang yang menampakkan ketidakawanannya. Hal itu terjadi seperti dalam sikap saling membela dalam suatu kabilah.

Mazhab dalam pengertian kedua adalah sesuatu yang diungkapkan dalam petunjuk dan pengajaran untuk orang-orang yang meminta penjelasan dan petunjuk. lni tidak terbatas pada satu bentuk, namun meliputi cara yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang meminta petunjuk (mustarsyid). Jika yang minta petunjuk adalah orang Turki atau India, atau bahkan orang bodoh, dan diketahui bahwa kalau dia diberi penjelasan tentang Allah sebagai Zat yang tidak menempati suatu tempat, bahwa Ia tidak berada di dalam atau di luar alam dan tidak terkait atau terlepas dari alam, orang itu akan segera mengingkari eksistensi-Nya sekaligus mendustakan-Nya; maka penjelasan yang seharusnya diberikan adalah bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, Ia merestui ibadah makhlukNya dan merasa gembira dengan makhluk-Nya, serta akan memberikan balasan bagi makhluk-Nya.

Jika memungkinkan untuk menyebutkan apa yang merupakan kenebanran yang jelas, maka boleh saja itu dilakukan.

Dengan demikian, mazhab dalam pengertian ini akan selalu berubah dan berbeda-beda serta ada bersama setiap orang, sesuai dengan kemungkinan pemahamannya.
Mazhab dalam pengertian ketiga adalah sesuatu yang diyakini seseorang secara rahasia antara dia dan Allah, yang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Dia yang bersangkutan juga tidak menceritakannya kecuali kepada orang-orang yang setaraf di dalam mengetahui apa yang dia ketahui, atau kepada orang yang sampai pada tingkat bisa menerima pengetahuan atas rahasia tersebut dan memahaminya. Misalnya ia adalah seorang peminta petunjuk yang cerdas.”

Dan seterusnya tentang penjelasan al-Gazali mengenai syaratsyarat yang ada dalam teks sebelumnya.

Dari sini terlihat bahwa al-Gazali memberikan penjelasan tentang Allah kepada orang bodoh dengan penjelasan yang tidak dia berikan kepada orang pintar. Artinya, ia mendeskripsikan hakikat kebenaran dengan deskripsi yang beragam, sesuai dengan perbedaan tingkat kesiapan serta kemampuan pendengarnya.

Dengan demikian, sampai saat ini—era ketenangan dan ketersingkapan tabir bagi al-Gazali—mustahil memakai seluruh karyanya untuk mendeskripsikan pendapatnya dan merumuskan batasan mazhabnya.

***

TIGA FASE KEHIDUPAN AL-GHAZALI

Berikutnya, kita bisa membagi kehidupan al-Gazali menjadi tiga fase:

1.    Fase pra-keraguan.
2.    Fase terjadinya keraguan, yang terbagi menjadi dua.
3.    Fase mendapat petunjuk dan ketenangan.

Fase pra-keraguan adalah fase yang dapat dikesampingkan. Karena di fase ini, al-Gazali adalah seorang pelajar yang belum mencapai taraf kematangan intelektual, yang baru mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang memiliki pendapat independen. Meskipun al-Gazali menceritakan bahwa keraguan telah menghantuinya semenjak awal pada usia muda.

Fase kedua juga harus dijauhi, karena dipenuhi oleh keraguan keras yang tidak menghasilkan apa pun. Karena itu, yang tinggal adalah fase keraguan ringan yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama (berawal sejak al-Gazali masih berusia muda sampai memasuki dunia tasawuf dan memperoleh bimbingan Allah (hidayah).

Di tengah-tengah fase ini, kita lihat al-Gazali menulis karyakaryanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran batiniyyah. Saat itu, ia mengajar di dua sekolah: Naisabur dan Baghdad.

Termasuk hal yang membingungkan jika seorang yang ragu terhadap suatu hakikat kebenaran, lalu melahirkan karya-karya dan menyampaikan ajaran positif-konstruktif (ijabi) tentang hakikat kebenaran tersebut. Yang saya maksud dengan penulisan karya dan penyampaian ajaran positif-konstruktif adalah yang bersifat menetapkan (taqrir) dan memberikan eksplorasi lebih jauh (syarh), tanpa melakukan kritik atau falsifikasi.

Namun bukan hal yang aneh jika dari orang yang sedang dirasuki keraguan atau skeptis, terlahir karya-karya dan penyampaian ajaran yang negatif-dekonstruktif (salbi). Yang saya maksud dengan karya dan penyampaian ajaran model ini adalah kritik dan falsifikasi terhadap teori-teori yang dianggap sebagai kebenaran. Karena orang yang skeptis adalah pengkaji yang tak bisa menerima dalil-dalil pembenar, sebab ia merasa berhadapan dengan kerancuan-kerancuan dalam dalil-dalil tersebut. Karena itu, ketika ia menuliskan banyak kerancuan dalam berbagai karya atau dalam penyampaian ajarannya, ia dapat memenuhi permintaan orang yang meminta penghadiran keraguannya, dan pada saat yang sama, ia juga hadir sebagai seorang ahli logika.

Hanya saja, para pembaca buku Tahafut al-Falasifah— yang memuat kritik terhadap filsafat—merasakan bahwa pengarangnya mengusung konsep-konsep positif-konstruktif, yang hendak meratakan jalan bagi konsep-konsep tersebut dan dengan menghancurkan segala yang berseberangan dengannya. Dalam hal ini bisa dilihat pernyataan al-Gazali:

“Kami tidak menetapkan dalam buku—Tahafut al- Falasifah—ini melainkan mendustakan mazhab mereka (para filsuf ). Sedang untuk mengafirmasi mazhab yang benar, kami akan menyusun sebuah buku—setelah ini selesai, jika petunjuk Allah membantu saya, insya Allah—yang akan kami beri judul Qawa’id al-’Aqa’id. Dengan buku tersebut, kami bermaksud melakukan afirmasi, sebagaimana kami bermaksud melakukan dekonstruksi dengan buku ini (Tahafut).”

Al-Gazali memenuhi janjinya. Ia menulis buku yang terkenal dalam disiplin ilmu kalam, yaitu Qawa’id al-’Aqa’id. Dari sana jelas terlihat bahwa al-Gazali menyerang filsafat karena ia berseberangan dengan mazhab kalam yang berlaku yang hendak ia bela.

Dengan demikian, dalam takaran kandungannya yang dapat ditarik pada nuansa positif-konstruktif, buku Tahafut dapat digolongkan pada karya-karya al-Gazali dalam bidang ilmu kalam. Ia juga dapat dimasukkan pada apa yang ditetapkan dalam kajian-kajian ilmu kalam agar bisa membantu semua orang untuk menjawab persoalan: “Bagaimana seorang skeptis bisa menyusun karya dan menyampaikan ajaran-ajaran yang positif-konstruktif?”

Padahal al-Gazali sendiri telah menjamin bagi penyelesaian persoalan ini. Sebab ia telah menyampaikannya dalam uraian sebelum ini, bahwa mazhab memiliki tiga pengertian:

1.    Mazhab yang diikuti secara fanatik oleh seseorang, sebab merupakan mazhab yang berlaku di lingkungan hidupnya, menjadi mazhab penduduk dalam komunitas itu, dan dijadikan pegangan oleh para gurunya.

2.    Mazhab orang-orang yang minta petunjuk. Mazhab ini berbedabeda sesuai dengan perbedaan kondisinya.

3.    Mazhab yang diyakini sendiri oleh seseorang yang tidak tampak, kecuali bagi orang yang memiliki sifat sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya.

Dalam hal sikap skeptisnya, al-Gazali hanya memiliki keraguan terhadap mazhab dalam pengertian yang ketiga. Karena ia membahas tentang kebenaran agama yang ia anut dan diturunkan oleh Allah. Dengan keraguan terhadap mazhab dalam pengertian ini, tidak otomatis ia juga terjangkit keraguan terhadap mazhab resmi yang dianut seseorang.

Mazhab Ahl as-Sunnah merupakan mazhab negara tempat ia tumbuh dan hidup. Mazhab itu juga menjadi mazhab sekolah- sekolah yang ia lalui dalam pengembaraannya serta menjadi mazhab para guru yang diajarkan dalam aktivitas pendidikan dan pengajaran sampai ia berusia lanjut.

Karena itu, semua karya dalam disiplin ilmu kalam-nya selalu diawali dengan pengantar: “Segala puji bagi Allah yang telah memilih dari sedikit hambahamba-Nya akan fanatisme terhadap kebenaran dan Ahl as-Sunnah.”

Jelas bahwa selama menjadi seorang skeptis terhadap kebenaran pada fase ini, tidak dibenarkan menjadikan karya al- Gazali sebagai pedoman untuk menggambarkan ide-idenya.

Sedangkan fase ketiga merupakan fase di mana al-Gazali telah mendapat petunjuk pada pandangan ketersingkapan tabir sufistik (al-kasyf al-suiyyah). Fase ini adalah fase yang memungkinkan untuk menjadikan karyanya sebagai rujukan guna menggambarkan mazhab yang benar versi al-Gazali. Tapi tidak semua karyanya dalam fase ini layak untuk hal tersebut. Sebab pada fase ini al-Gazali juga hadir dengan karyanya dalam dua pengertian mazhab yang lain. Al-Gazali memberikan uraian yang sangat detail ketika memberikan penjelasan bahwa ia memiliki karya-karya khusus untuk masyarakat umum, yang ia sebut: “hakikat yang murni dan pengetahuan yang jelas”.

Dengan hal itu, al-Gazali telah membantu para pengkaji pemikirannya untuk memahaminya dengan pemahaman yang benar, tanpa campur aduk dan rancu. Bersama itu, saya melihat tidak banyak orang yang tertolong untuk mendapatkan apa yang semestinya didapat sehingga bisa memahami dengan pemahaman yang benar.

Sesudah itu... inilah secercah ulasan tentang biografi seorang ulama yang “membebaskan”. Saya berharap semoga ulasan singkat ini bisa memberikan motivasi kepada para pengkaji untuk melepaskan diri dalam kajiannya dari kungkungan kejumudan dan hawa nafsu.

NILAI TAHAFUT DARI SUDUT PANDANG AL-GAZALI
Telah kita ketahui bahwa al-Gazali menulis buku Tahafut kala ia sedang berada dalam fase skeptis ringan (asy-syakk al- khaif), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakikat kebenaran. Ini menuntut pada tidak adanya pengakuan atas Tahafut sebagai salah satu sumber yang dapat dijadikan acuan tentang ide-ide dan orientasi pemikiran al-Gazali.

Al-Gazali membagi seluruh karyanya menjadi dua. Pertama, kelompok karya yang ia istilahkan dengan “yang terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-madnun biha ‘ala gayr ahliha). Al-Gazali menjaga seluruh kandungan isi karya-karya yang tergolong dalam kelompok ini, hanya untuk dirinya, dan untuk orang lain yang telah memenuhi syarat yang sangat jarang dimiliki orang.

Kedua, karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah kelompok karya yang diperuntukkan kepada mereka dan sesuai dengan tingkat intelektualitasnya.

Kemudian al-Gazali mengelompokkan buku Tahafut ke dalam kelompok kedua. Karena itu, tidak dibenarkan menjadikannya sebagai bagian dari sumber yang bisa mendeskripsikan pemikiran yang dianut oleh al-Gazali. Kita melihat pernyataannya:6

“Dalam ar-Risalah al-Qudsiyyah terdapat dalil-dalil akidah—setebal dua puluh halaman. Ia merupakan satu pasal dari kitab (bagian) Qawa’id al-’Aqa’id dari kitab al-Ihya’. Adapun untuk dalil-dalil akidah yang lebih eksploratif dan lebih cermat dalam memberikan tanggapan atas pertanyaan dan berbagai masalah, kami meletakkannya dalam kitab al-Iqtisad i al-I’tiqad, setebal seratus halaman. Ia merupakan sebuah kitab yang memuat pilihan inti ilmu kalam, tapi lebih eksploratif dan lebih bisa mendekatkan pada gerbang pengetahuan (ma’rifah) daripada ilmu kalam resmi yang terdapat dalam karya-karya para ahli kalam. Semuanya kembali pada keyakinan, bukan pada pengetahuan. Karena ahli kalam (mutakallimun) tidak membedakan orang awam kecuali sebagai orang yang mengetahui (‘arif) dan orang yang berkeyakinan (mu’taqid). Namun orang awam itu juga mengetahui, bersama dengan keyakinannya, terhadap dalildalil untuk menguatkan keyakinan dan menjaganya dari gangguan para pembuat bid’ah. Ikatan keyakinan itu tidak larut ke dalam keluasan pengetahuan.

Jika Anda ingin menghirup sebagian wangi pengetahuan, telah kami sajikan sekadarnya dalam kitab (bab) sabar, syukur, mahabbah, dan tauhid, di bagian awal kitab (bab) tawakkal. Semua itu merupakan bagian dari kitab al-Ihya’.

Hal itu juga telah disajikan dalam kadar yang memadai, yang dapat memberitahu Anda cara mengetuk pintu pengetahuan (ma’rifah) dalam kitab (bab) “al-Maqsad al-Aqsa i Ma’ani Asma’ Allah aI-Husna’’, terutama dalam “nama-nama” (al-asma’) yang diambil dari kata kerja.

Jika Anda ingin mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang hakikat-hakikat akidah ini—dalam sajian yang tidak remang-remang dan tanpa sensor—hal itu tidak disajikan, kecuali dalam sebagian kitab kami yang tak diperbolehkan kecuali bagi orang yang memenuhi syarat.

Waspadalah dari ketertipuan dan menganggap diri sebagai orang yang memenuhi syarat, lalu bergegas untuk mencari dan melakukan penolakan dengan mentah-mentah. Orang yang memenuhi syarat itu adalah orang yang memenuhi tiga perkara:

1.    Merdeka dari pengetahuan-pengetahuan lahir dan telah mencapai tingkat seorang imam.

2.    Melepas hati dari dunia secara keseluruhan, setelah menghapus akhlak yang tercela, hingga tak tersisa dalam diri Anda kecuali rasa haus semata akan kebenaran, perhatiannya hanya tercurah padanya, kesibukannya hanya tertuju padanya, dan kecondongan terarah padanya.

3.    Kebahagiaan telah ditetapkan kepada Anda di dalam dasar fitrah, dengan watak yang suci dan kecerdasan yang sempurna serta tidak terbelenggu oleh pemahaman terhadap pengetahuan palsu. dan seterusnya.

Anda bisa melihat dalam semua ini, bahwa al-Gazali meletakkan karya-karya tentang ilmu kalam di satu sisi dan meletakkan karya-karya yang terlarang bagi yang tidak memenuhi syarat di sisi yang lain. Dengan ini pula, al-Gazali menjadikan kelompok karya kedua sebagai kelompok karya yang memuat hakikat kebenaran, sebagaimana yang ia pahami dan anut. Sedangkan Tahafut termasuk ke dalam karya-karya ilmu kalam dan tidak termasuk karya yang tidak boleh dibaca kecuali “bagi yang telah memenuhi syarat”. Tahafut tidak termasuk golongan kedua ini, karena biasanya al-Gazali mengambil perjanjian kepada pembacanya untuk tidak menyampaikannya, kecuali kepada “orang yang telah memenuhi syarat” yang telah disebutkan di atas. Namun, Tahafut ternyata tidak mengandung perjanjian tersebut.

Bahwa kitab Tahafut termasuk ke dalam karya-karya ilmu kalam, karena didasarkan pada pernyataan al-Gazali sendiri dalam Jawahir al-Qur’an: “Di antara ilmu-ilmu ini, terdapat ilmu yang dimaksudkan untuk melawan dan membantah orang-orang kafir. Di antaranya adalah ilmu kalam yang bertujuan untuk menolak berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Para ahli kalam (mutakallimun) adalah orang-orang yang mengemban tugas ini. Dan kami telah memberikan penjelasan tentang disiplin ini dalam dua tingkat: (1) tingkat bawah adalah kitab ar-Risalah al-Qudsiyyah, (2) tingkat di atasnya adalah kitab al-Iqtisad i al- I’tiqad.

Tujuan ilmu ini adalah menjadi akidah masyarakat awam dari gangguan para pembuat bid’ah. Tapi ilmu ini tidak membantu menyingkap hakikat-hakikat. Yang juga termasuk dalam jenis ini adalah kitab Tahafut al-Falasifah... “

Demikian juga al-Gazali memberikan penjelasan dalam kitab Jawahir al- Qur’an: “Ilmu-ilmu ini, yaitu ilmu tentang zat, sifat, perbuatan-perbuatan, dan ilmu tentang Akhirat (ma’ad), kami sajikan dari bagian awal dan lengkap—sesuai dengan yang telah dikaruniakan pada kami dalam keterbatasan usia, banyaknya kesibukan dan hambatan, sedikitnya mitra—dalam sebagian karya. Namun sebagian kitab tersebut tak kami perlihatkan secara bebas, sebab akan membuat kebanyakan pemahaman menjadi takut dan mengganggu orang-orang yang lemah, yaitu mereka yang bergelut dengan ilmu kalam. Bahkan sebagian kitab tersebut tidak layak untuk dihadirkan kecuali pada orang yang telah menguasai ilmu zahir dengan sempurna...7 Dan haram atas orang yang memegang kitab itu untuk menampakkannya kecuali kepada orang yang telah memenuhi sifat-sifat ini.”

Anda lihat bahwa tidak dibenarkan secara mutlak memahami gagasan-gagasan al-Gazali yang khusus dalam hal ini, kecuali dari kelompok kitab ini, bukan dari yang lain. Dan jelas bahwa buku Tahafut tidak termasuk ke dalam golongan buku tersebut. Karena itu, tidak benar menganggap kitab ini sebagai representasi dari pemikiran al-Gazali yang spesifik.

Pada akhirnya, al-Gazali menulis kitab Tahafut kala ia sedang berusaha mendapatkan posisi, prestise, dan reputasi tinggi. Dengan buku ini, al-Gazali membela mazhab yang bisa mendatangkan itu semua, bukan membela mazhab yang benar secara esensial. Pada saat itu, penganut mazhab Ahl as-Sunnah sedang mempersempit ruang gerak Muktazilah dan para filsuf. Kala itu, para pengikut mazhab Sunni memiliki banyak tokoh yang bisa menyingkirkan Muktazilah dan menolak pendapat mereka. Namun mereka tidak punya tokoh yang bisa menghadapi para filsuf untuk menghancurkan mereka dengan bersenjatakan ilmu pengetahuan, supaya kaum Sunni bisa hidup damai dan tenteram. Kesempatan ini terbuka lebar bagi siapa saja yang mau maju untuk memperoleh nama besar yang membanggakan, yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Abu Hamid memanfaatkan peluang ini untuk memperoleh kebanggaan atas dirinya. Maka ia pun menyerang kaum filsuf dengan keras dan tajam. Hal inilah yang melambungkan namanya ke udara dan ia menjadi amat terkenal. Al-Gazali menceritakan:

“Dan tak ada dalam buku-buku para ahli ilmu kalam— yang menyentuh pandangan para filsuf dalam upaya memberikan bantahan atas mereka—kecuali pernyataan-pernyataan rumit dan boros serta memunculkan kontradiksi dan absurditas. Orang awam saja diperkirakan tidak akan tertipu dengan pernyataan- pernyataan tersebut, apalagi orang yang mengklaim tahu akan detail-detail ilmu pengetahuan. Lalu saya menyadari bahwa menolak suatu mazhab sebelum memahami dan menelusuri inti ajarannya berarti hanya menyerang membabi buta. Karena itu, saya segera menyingsingkan lengan baju untuk melakukannya ... dan seterusnya.”

Sesungguhnya, pada fase tersebut—kala menulis kitab Tahafut—al-Gazali sedang mencari popularitas, prestise, dan kedudukan terhormat. Begitulah ia bercerita tentang dirinya pada fase itu:

“Kemudian saya berpikir tentang niat saya dalam mengajar—artinya ketika hendak keluar dari Baghdad untuk menerapkan metode Sufi pada dirinya—ternyata ia tidak murni karena Allah. Bahkan ia didorong dan digerakkan oleh tuntutan terhadap kedudukan terhormat dan prestise. Maka saya yakin, bahwa saya sedang berada di bibir jurang yang dalam dan sedang mendekati bara api, jika tidak segera bersibuk diri untuk menghindar.”

Pada kesempatan lain—ketika kembali dari penyepiannya untuk kembali merigajar di Naisabur—al-Gazali menyatakan: “Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggan penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu—menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut—saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharap kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya.”


***

Dari semua ini, jelas bahwa buku Tahafut tidak layak dijadikan rujukan untuk mendeskripsikan pemikiran yang dianut al-Gazali dan yang diterima dari Allah. Tapi pemikirannya harus dirujuk dari karya-karya yang ditulis al-Gazali setelah mendapat pencerahan petunjuk kepada pandangan “ketersingkapan tabir sufistik” (al-kasyf as-suiyyah), yang ia sebut dengan karya “yang terlarang kecuali bagi yang memenuhi syarat.”

Meski demikian, hal ini tidak menafikan peranan kitab Tahafut, yang merupakan salah karya yang dapat menyelesaikan berbagai problema ilmu kalam dengan solusi yang rinci dan cermat sesuai dengan masanya.

Kondisi ini juga tidak bisa menutup kenyataan adanya kaitan antara Tahafut dan al-Gazali, dalam arti bahwa ia telah menyusun buku tersebut. Namun tidak serta merta menyatakan bahwa pikiranpikiran yang terkandung di dalamnya menggambarkan taraf akhir dari seluruh dinamika pemikirannya yang menjadi ujung pengembaraan intelektual al-Gazali.

***
Sesudah itu, dalam potret inilah sosok al-Gazali mesti menjadi jelas, dan dalam batas-batas inilah buku Tahafut mesti dibaca.

Footnote

1 Lihat al-Munqiz min ad-Dalal, (takhrij) oleh Jamil Saliba dan Kamil ‘Iyad, cet. ketiga, hlrn. 6-9.

2 Saya telah menjabarkan persoalan ini dengan jelas dalam buku saya, al-Haqiqah fi Nazr al-Gazali.

3 Lihat Jawahir al-Qur’an, cet. Kurdistan, hlm. 37.

4 Hal ini tidak mesti menunjukkan bahwa al-Gazali sama sekali menyucikan tangannya dari akal, sebab barangkali maksudnya adalah bahwa ia menyerahkannya pada media yang bisa mengantarnya pada hakikat, sebagaimana yanng diperoleh melalui metode ahli tasawuf.

5 Lihat al-Gazali, al-Qistas al-Mustaqim, hlm. 86.

6 Al-Gazali, al-Arba’in fi Usul al-Din, hlm. 24, al-Matba’ah al-‘Arabiyyah.

7 Di sini disebutkan syarat-syarat sebagaimana telah disebutkan di halaman sebelumnya.  

LihatTutupKomentar