Eternalitas Alam dalam Pandangan Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan / Kerancuan kitab al-Tahafut-nya al-Ghazali)
Judul asal: Tahafut al-Tahafut / Tahafut at-Tahafut
Judul asal dalam teks Arab: تهافت التهافت
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Incoherence
Penulis/pengarang: Ibn Rushd / Ibnu Rusyd / Ibnu Rusydi / Averroes
Nama lengkap: Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusydi (Rushd)
Tempat, tahun lahir: 14 April , 1126, Córdoba / Kordoba, Spanyol.
Tempat, tahun wafat: 10 December , 1198 (usia 72 tahun), Marrakesh, Maroko/Maghribi.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:
Daftar Isi
- Pengantar
- Bismillahirrahmanirrahim
- Tentang Ibnu Rusyd
- Tentang Kitab Tahafut al-Tahafut
- Sarkasme Mutual antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd
- Masalah Pertama
- Penggugat Pernyataan para Filosof
- Masalah Eternalitas Alam (Qidam al-Alam)
- Dalil Pertama
- Dalil Kedua
- Dalil Ketiga
- Dalil Keempat
- Masalah Kedua
- Sanggahan terhadap para Filosof tentang Keabadian Alam, Masa dan Gerak
- Dalil Kedua tentang Anihilisasi (Ketiadaan) Alam
- Masalah Ketiga
- Argumen Pertama
- Argumen Kedua
- Argumen Ketiga
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Tahafut
- Daftar Kitab terbaru
TAHAFUT AT-TAHAFUT
Pengantar oleh Drs. M. Fahmi Muqoddas, M. Hum/Dekan Ushuludin IAIN
Yogyakarta.
Ibnu Rusyd yang lahir dan dibesarkan di Cordoba adalah Filsuf
kenamaan
yang tidak hanva dikenal di kalangan Islam, melainkan juga di
kalangan
pemikir-pemikir Barat. Ibnu Rusyd tidak hanya menulis karya
filsafati,
ia juga menulis tentang pengobatan, tentang fauna, masalah
karya kos-
mologi. Teologi, logika, dan berbagai macam karya lainnya.
Namun di-
antara berbagai karyanya itu, yang paling masyhur adalah
Tahafut at Tahagut.
Buku ini lahir sebagai reaksi terhadap karya
al-Ghazali yang berjudul Tahafut
al Falasifah, kesesatan atau keracuan
para Filsuf. Kata tahafut dipergunakan
al-Ghazali untuk menunjukkan
kerancuan pemikiran serta kontradiksi
para filsuf pada beberapa
Ketuhanan, dan kosmologi. Ada duapuluh ke¬
rancuan berpikir (
incoherence ) para filsuf menurut tengara al-Ghazali, yaitu:
Pertama, penolakan terhadap keyakinan para filsuf terhadap
etemitas (azaliyah) alam. Kedua, penolakan terhadap keyakinan para
filsuf
akan keabadian (abadiyah) alam. Ketiga, pernyataan para filsuf
yang tidak
fair bahwa Tuhan adalah Pencipta Alam, dan bahwasanya alam
itu adalah
produk ciptaan-Nya. Keempat, ketidakmampuan para filsuf untuk
meng-
afirmasi Pencipta. Kelima, ketidakmampuan para filsuf untuk
membukti-
kan ketidakmungkinan adanya dua Tuhan melalui suatu argumen
rasional.
Keenam, penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan. Ketujuh,
penolakan ter¬
hadap teori para filsuf bahwa dzat Tuhan tidak bisa
dibagi ke dalam genus
(jins) dan diferensia (fashl ). Kedelapan,
penolakan terhadap teori para filsuf
bahwa Prinsip Yang Pertama ( The
First Principle) adalah suatu sederhana
total (tnawjud basith bil
mahiyah). Kesembilan, ketidakmampuan para filsuf
untuk menunjukkan bahwa
prinsip yang Pertama adaiah bukan benda.
Kesepuluh, tesis bahwa para
fisuf lazim untuk mengafirmasi para filsuf
untuk menyatakan adanya
Pencipta. Kesebelas, Ketidakmampuan para
filsuf untuk menyatakan bahwa
Prinsip Vang Pertama mengetahui sese-
orang selain Diri Nya Sendiri (
ya'lnm ghayrahu). Keduabelas, ketidak¬
mampuan para filsuf untuk
menyatakan bahwa Dia mengetahui Diri-Nya
Sendiri ( ya’lnm dzatahu).
Ketigabelas, penolakan terhadap ajaran para filsuf
bahwa Prinsip Yang
Pertama tidak mengetahui hal-hal yang partikular
(Juz-iyyat).
Keempatbelas, penolakan terhadap pandangan para filsuf bahwa
langit
merupakan makhluk hidup yang gerak-gerakannya disengaja (bi /-
iradnh).
Kelimabelas, penolakan terhadap ajaran teori para filsuf tentang
tujuan
gerakan langit. Keenambelas, penolakan terhadap ajaran para filsuf
bahwa
jiwa-jiwa langit mengetahui hal-hal yang partikular (juz-iyynt).
Ketujuhbelas penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan kemustahil-
an terjadinya hal-hal luar biasa ( kharq al-'ndat) Misalnya; mukzijat.
Kedelapan-
belas, penolakan terhadap keyakinan para filsuf yang
menyatakan bahwa
jiwa manusia adaiah sebuah subtansi yang eksis dengan
sendirinya, dan
bukan benda bukan pula suatu aksiden (ardh).
Kesembilanbelas, penolak¬
an terhadap keyakinan para filksuf akan
kemustahilan fananya jiwa-jiwa
manusia. Keduapuluh, penolakan terhadap
pengingkaran para filsuf akan
kebangkitan tubuh-tubuh yang akan diikuti
perasaan senang, sakit yang
dihasilkan oleh sebab-sebab fisik dari
perasaaan senang, sakit yang di-
hasilkan oleh sebab-sebab fisik dari
perasaan itu di Surga dan Neraka.
Sedemikian kompleknya
persoalan-persoalan yang dikritik al-
Ghazali terhadap para filsuf,
sehingga banyak komentator yang berang-
gapan bahwa penolakan itu sama
halnya dengan upaya Ghazali utnuk
menjauhkan filsafat dari peradaban
Islam. Namun pandangan yang demi-
kian tidak dapat dipertahankan,
mengingat argumen yang dibangun
Ghazali sendiri di dalam menyerang para
filsuf adaiah argumen rasional
yang filosofis.
Salah satu
kritik yang dilancarkan al-Ghazali terhadap para filsuf
(muslim) ialah
kecenderungan mereka meremehkan syiar-sviar agama
Islam, baik shalat
maupun menahan diri dari hal-hal yang dilarang agama.
Mereka (para
filsuf muslim) lebih tertarik pada ajaran-ajaran Sokrates,
Plato, dan
Aristoteles di bidang logika, kosmologi, dan teologi. Al-Ghazali
bahkan
menyatakan bahwa apa yang dianggap para filsuf itu sebagai
suatu
kebijaksanaan ( wisdom) tak lain adalah kesesatan yang nyata. Ibn
Rusyd
menanggapi pernyataan al-Ghazali tersebut dengan membuat
analogi bahwa
Allah sebagai Sang Pencipta mengeluarkan banyak sifat
produksi dan mampu
mendatangkan hal-hal spektakuler, namun ada saja
orang yang mencemooh
dan meremehkan hal-hal tersebut. Sikap me-
remehkan itu menunjukkan
bahwa mereka tergolong ulama yang bodoh.
Hal kedua yang ditanggapi
Ibn Rusyd adalah tentang membicarakan
ilmu Allah yang oleh al-Ghazali
dianggap haram untuk diperdebatkan
dan harus mengikuti ketentuan kitab
suci. Menurut Ibn Rusyd pemahaman
umat tidak mungkin diperoleh dalam
waktu singkat, karena jika mereka
melakukan hal itu akan rusak makna
Ketuhanan (ilaahnjyah). Kemampuan
memahami ilmu Allah hanva dimiliki
sekelompok orang yang memiliki
otoritas, yaitu para ulama yang menguasai
ilmu dan diberi Allah ke¬
mampuan untuk mencari dan memperoleh
kebenaran. Dengan demikian
membicarakan tentang ilmu Allah menurut Ibn
Rusyd dapat saja
dibenarkan bagi sekelompok kecil orang yang benar-benar
memiliki fitrah
yang unggul (fa'iqah ). Hal ini sesuai dengan firman
Allah: um \/as aluunaka
anirruuhi qulirruuhu min amri rabbi wa maa
utitum minal ilmi ilia qalilan (dan
mereka bertanya kepadamu tentah roh,
katakanlah; "roh itu termasuk
urusan Tuhanku dan kamu tidak diberi ilmu
kecuali sedikit"). QS. AL
ISRAA' 85. (Dan firman Allah dalam S Baqarah
269 yang artinya ... dan
barang siapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia
benar-benar telah di-
anugrahi karunia yang banyak...
Sesungguhnya pemikiran kedua filsuf muslim ini tidaklah ber-
seberangan secara diametral, karena ada beberapa segi kesamaan di antara
keduanya. Salah satu kesamaannya ialah kesepakatan metodologis
(manhaj) bahwa pikiran merupakan makanan bagi ruh sebagaimana halnva
buah biji-bijian adalah makanan bagi tubuh. Namun dapat saja terjadi
sejenis makanan yang diperbolehkan bagi seseorang, tetapi terlarang bagi
orang yang lain karena dapat menjadi racun yang mematikan. Pernyataan
Ibn Rusyd bahwa barangsiapa melarang berpikir bagi halnya berarti orang
tersebut menganggap makanan itu sebagai racun bagi seluruh manusia.
Di pihsk lain al-Ghazali mengungkapkan bahwa siapa yang memberikan
ilmu pada si bodoh merupakan pekerjaan sia-sia, sedangkan melarang
ilmu pada yang berakal itu namanya aniaya. Jelas bahwa keduanya sepakat
tentang peranan akal sebagai media untuk memahami agama dan per-
soalan seputar agama. Kaum yang diberi kelonggaran semacam itu di-
namakan orang-orang khusus yang memiliki tiga sifat; yakni pertama,
orang yang berwatak efektif dan kecerdasan yang tinggi. Kedua, orang
yang terbebas dari sifat taklid dan fanatisme berlebihan pada satu
mazhab.
Ketiga, orang yang termasuk ahli pikir dengan penuh
pertimbangan.
Kesamaan lain di antara kedua filsuf itu ialah bahwa
potensi yang
ada pada setiap manusia itu berbeda-beda. Konsekuensinya
adalah mem-
beri mereka sesuatu yang sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah 286:
Laa yukali-
fullahu nafsan ilia ivus'aha (Allah tidak membebani
seseorang sesuai dengan
kemampuannya).
Dengan demikian baik
al-Ghazali maupun Ibn Rusyd sepakat bahwa
tidak semua orang dapat
menyingkap masalah Ketuhanan.
Polemik yang terjadi antara kelompok
Ahlussunah dengan Mukta-
zilah tentang keniscayaan Allah memiliki sifat
hayaah, 'ibn, qudrah,iradah,
kalaam, sama 'dan bashar, menurut
al-Ghazali sama halnya dengan membeber-
kan rahasia yang semestinya
tersimpan rapi atau menyebarkan persoal-
an yang seharusnya dijaga. Di
pihak lain Ibn Rusyd sendiri beranggapan
bahwa pernyataan-pernyataan
yuridis dalam ilmu Ketuhanan sangat
jarang didapat, ibarat pemyataan
yang sederajat dengan emas mumi di-
antara tambang-tambang yang lain,
atau ibarat permata asli di antara
batu mulia lainnya.
Buku
Tahafut at tahafut karya Ibn Rusyd ini dibuat dalam bentuk
polemik,
yaitu kritik dan argumentasi al-Ghazali terhadap pemikiran
filsafat,
kemudian kritik dan argumentasi Ibn Rusyd terhadap pemikiran
al-Ghazali.
Pengantar ini bukan dimaksudkan untuk membahas secara
rinci kritik atas
kritik yang dilancarkan Ibn Rusyd terhadap Ghazali, me-
lainkan lebih
dimaksudkan untuk menunjukkan dasar-dasar persamaan
dan perbedaan
pemikiran di antara kedua filsuf muslim tersebut. Salah
satu titik tolak
perbedaannya ialah dalam masalah etemalitas alam (Qidam
al-'Alam).
Al-Ghazali menengarai para filsuf yang mengatakan bahwa se¬
suatu yang
temporal ( hadits) mustahil berasal dari sesuatu yang eternal
(cjadiym).
Jika dikatakan berasal dari sesuatu yang eternal, dan menolak
pernyataan
bahwa alam berasal dari sesuatu yang eternal tersebut, tetapi
kemudian
ia benar-benar berasal darinya, itu sama halnya menganggap
alam tidak
berasal, karena wujud proses kejadian alam tersebut tidak
ada yang
menguatkan ( murajjih), bahkan kemungkinan proses terjadinya
bersifat
nisbi. Ibn Rusyd melakukan kritik balik atas argumen al-Ghazali
ini
dengan menvatakan bahwa yang diutarakan al-Ghazali belum sampai
pada
takaran pembuktian. Karena mukadimahnya bersifat global, maka
kandungannya tidak terkait langsung dengan tema.
Kritik atas
kritik yang dibangun oleh Ibn Rusyd merupakan sebuah
wahana untuk
membentuk sikap kritis di kalangan umat Islam agar tidak
terjebak ke
dalam sikap taklid. Apa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd barang-
kali
senada dengan ungkapan al-Ghazali sendiri yang menyatakan bahwa
seorang
musuh yang bijak lebih baik daripada sahabat yang bodoh.
Akhirnya dapat
dikatakan bahwa upaya penerjemahn buku Ibn Rusyd
Talinfut at Tahafut ini
merupakan sumbangan pemikiran yang penting
dalam Khasanah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas
adalah bangsa yang berlapang dada
dalam menerima kritik, sehingga
kritik tidak terjebak ke dalam debat
kusir dan sikap mau menang sendiri
(solipsistic). □
Mukaddimah oleh Ibnu Rushd
Bismi’Llah ar-Rahman ar-Rahim
Segala puji bagi
Allah SWT. Salawat dan salam semoga tercurah ke
haribaan Nabi Muhammad
saw. Amma ba'du.
- Dalam buku Tahafut at-Tahafiit ini, Ibn Rusyd
mengutip beberapa per-
nyataan yang termaktub dalam buku al-Ghazali,
Tahafut al-Falasifah, dan
menjadikannya tema sentral diskusi bersamanya.
Kami berinisiatif untuk memilih secara diferensif nash-nash,
berikut
bantahan Ibn Rusyd sendiri-sendiri, karenanya masing-masing
sengaja
diberi nomor urut. Setiap topik diberi dua nomor urut, satu
menunjuk
pada pemyataan dan yang lain merupakan bantahan atau sanggahan
Ibn
Rusyd. pernyataan bahwa alam berasal dari sesuatu yang eternal
tersebut, tetapi
kemudian ia benar-benar berasal darinya, itu sama
halnya menganggap
alam tidak berasal, karena wujud proses kejadian alam
tersebut tidak
ada yang menguatkan ( murajjih), bahkan kemungkinan
proses terjadinya
bersifat nisbi. Ibn Rusyd melakukan kritik balik atas
argumen al-Ghazali
ini dengan menyatakan bahwa yang diutarakan
al-Ghazali belum sampai
pada takaran pembuktian. Karena mukadimahnya
bersifat global, maka
kandungannya tidak terkait langsung dengan tema.
Kritik atas kritik yang dibangun oleh Ibn Rusyd merupakan sebuah
wahana untuk membentuk sikap kritis di kalangan urnat Islam agar tidak
terjebak ke dalam sikap taklid. Apa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd
barang-
kali senada dengan ungkapan al-Ghazali sendiri yang menyatakan
bahwa
seorang musuh yang bijak lebih baik daripada sahabat yang bodoh.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa upaya penerjemahn buku Ibn Rusyd
Talmfut at Tnlwfut ini merupakan sumbangan pemikiran yang penting
dalam Khasanah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas
adalah bangsa yang berlapang dada dalam menerima kritik, sehingga
kritik tidak terjebak ke dalam debat kusir dan sikap mau menang sendiri
(solipsistic). □
Pengantar Sulayman Dunya
Bismi’Llah
ar-Rahman ar-Rahim
Segala puji bagi Allah SWT. Salawat dan salam
semoga tercurah ke
haribaan Nabi Muhammad saw. Amma ba'du.
Dalam buku Tahafiit at-Tahafat ini, Ibn Rusyd mengutip beberapa
per-
nyataan yang termaktub dalam buku al-Ghazali, Tahafiit
al-Falasifah, dan
menjadikannya tema sentral diskusi bersamanya.
Kami berinisiatif untuk memilih secara diferensif nash-nash,
berikut
bantahan Ibn Rusyd sendiri-sendiri, karenanya masing-masing
sengaja
diberi nomor urut. Setiap topik diberi dua nomor urut, satu
menunjuk
pada pemyataan dan yang lain merupakan bantahan atau sanggahan
Ibn
Rusyd. □
Sulayman Dunya
Pengantar Cetakan II
Puii syukur ke
hadirat Allah, salawat dan salam semoga tercurah pada
makhluk-Nya
tercinta, Muhammad, dan kepada hamba-Nya yang sal.h,
Buku yang ada di
tangan pembaca ini merupakan ed,s, kedua Tata/' 1 '
at-Tah&fut karya
Ibn Rusyd yang disajikan untuk memenuhi permohonan
sidang pembaca,
setelah buku cetakan pertama habis, Dengan segenap
daya dan upaya kami
memberikan koreksi dan revisi seperlunya alas
edisi pertama. .
Sidang pembaca tenh. sudah tahu, dalam pengantar cetakan pertama
kami menyampaikan keinginan untuk menyusun pembahasan terp,sah
yang memuat gejolak perang pemikiran yang berkecamuk antara
al-Ghazali
dan Ibn Rusyd. „ _ ,
Benar, setelah membaca
buku-buku al-Ghazali dan Ibn Rusyd, se-
makin jelas kami dapatkan
perbedaan peta pemikiran keduanya, mesk,
sebenamya dan
persoalan-persoalan tersebut dapa. ditarik benang merah
yang dapat
dijadikan titik temu ide dan gagasan kedua tokoh terse u .
Namun
sayang, pembahasan yang kami impikan belum selesa.,
bahkan belum dimulai
sama sekali, Kami sendiri tidak tahu kapan b.sa
segera memulai, ataukah
ajal akan lebih dulu datang menjemput? Derm
Allah, kami menunggu
kesempatan. Hal itu menjadi priori.as utama d,
antara
pekerjaan-pekerjaan yang hendak kami lakukan, Itu seakan men,ad,
janji
kami, dan kami menjadi taruhannya.
xi
Ya Allah, tentulah Engkau Mahatahu, bila kami harus
mengatakan
ini bukan pertanda kemalasan, juga bukan apologi untuk
membela diri
karena tidak mampu menyelesaikan pekerjaan.
Tuhan, Engkau Mahatahu, orang-orang juga menjadi saksi bahwa
kami bukanlah golongan kaum pemalas. Tetapi Engkau-lah yang dapat me-
nyediakan sebab dan perantara manakala Engkau berkehendak. Kami sangat
bergantung pada iradah dan ridla-Mu.
Saat Engkau firmankan
kepada kekasih-Mu, "Innn-ka mayyitun wa
inna-hum mayyitun (Sesungguhnya
kamu akan mati dan mereka juga akan
mati) , bertambahlah kerinduan
kepada-Mu, dan berharap segera dapat
berjumpa dengan-Mu. Dan, ketika
Engkau firmankan kepada kami, " Laqad
knna lakum fi rasCdi’Llah uswatun
hasanah (Telah ada pada diri Rasulullah
teladan yang baik bagi kalian)',
maka dalam hal ini kami pun meng-
ikutinya.
Ya Allah,
limpahkanlah rahmat kepada kami dan keturunan kami,
wahai Tuhan alam
semesta, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Yunus
ibn Muti, seperti
yang termaktub di dalam firman-Mu, " Law an taddraka-
hu rahmntun min
rabbi-hi la-nubidza bi al-'ara wa hmva madzmum (Kalau tidak
karena
(mendapat) rahmat Tuhannya, niscaya ia akan terlempar ke ang-
kasa,
sedangkan ia tercela.)."
"A'udzu bi'Lldhi min asy-syaythdn
ar-rajim. Bismi'Llah ar-Rahman ar-
Rahim. Qul huwa Allah a had. Allah
ash-shamad. Lam yalid iva lam yulad. Wa lam
yakun la-hu kufuwan ahad
(Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk, Bismi'Llah
ar-Rahman ar-Rahim. Katakanlah, Dialah Allah yang
Maha Esa. Allah tempat
bergantung, tidak beranak, dan tidak pula di-
peranakkan. Dan tidak ada
seorang pun yang menyamai-Nya)."
Ya Allah, limpahkanlah salawat
kepada Nabi Muhammad yang
ummi, juga kepada keluarga, sahabat dan para
kekasihnya hingga hari
akhir nanti. □
Sulayman Dunya
Sudan, 18 Rajab 1388/10.10.1968
Ibn Rusyd
Beliau adalah hakim Abu Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad
ibn Rusyd. Beliau lahir dan tumbuh berkembang di Cordoba. Pnbadi yang
kharismatik ini masyhur sebagai seorang yang rakus mencari ilmu, ke-
cenderungannya pada ilmu-ilmu syariat cukup besar. Ia belajar kepada
al-faqih al-hafidh Abu Muhammad ibn Rizq. Namanya juga tidak kalah
populer di bidang kedokteran. Ibn Rusyd sudah banyak menuangkan ide,
gagasan, dan pemikirannya di beberapa buku. Buku al-Kulhyydt yang banyak
membahas tema di bidang kedokteran, cukup terkenal. Abu Marwan ibn
Zahr adalah sahabat karib yang saat Ibn Rusyd menyusun buku al-Kulhyyat
ini. Karena buku ini memuat persoalan-persoalan yang bersifat umum,
beliau meminta sahabatnya ini untuk menyusun buku yang membahas
tema-tema yang lebih spesifik. Dengan demikian, apabila kedua buku ter-
sebut dipadukan, akan menghasilkan sebuah masterpiece di bidang kedok-
teran. ,
Ibn Rusyd menulis di bagian akhir kitabnya,
tentang pengobatan
segala macam penyakit, dan kami sajikan
seringkas dan sejelas mungkin.
Namun, kami belum bisa menguraikan
cara pengobatan terapi- setiap
gejala pada anggota badan secara
terperinci.
Hal tersebut meskipun tidak penting, tetapi sangat
potensia ter-
utama bila dikaitkan dengan terapi-terapi yang bersifat
umum. Masalah
ini akan menjadi komplemen, sebab pembahasannya meliputi
terapi peng¬
obatan sesuai anatomi secara terperinci.
1
Itulah cara-cara yang ditempuh
oleh suku Kananisv (secara harfiah:
bentuk jamak dari kata al-kinsya
yaitu orang yang berambut pendek dan
kribo serta buruk muka), sehingga
kita dapat memadukan hal-hal yang
bersifat spesifik ke dalam pembahasan
yang global. Membahas persoalan
spesifik seperti ini merupakan impian
dan cita-cita kami, meskipun dengan
sangat terpaksa realisasinya jadi
tertunda, karena ada hal lain yang lebih
penting. Siapa saja yang telah
mendapatkan buku kami, dan ingin me-
ngetahui beberapa masalah spesifik
yang dilakukan suku pedalaman, maka
carilah buku at-Tnysb yang dikarang
oleh sahabat kami Abu Marwan ibn
Zahr. Buku tersebut bisa
dipublikasikan, karena kami vang memintanya.
Buku-buku tersebut berisi
beberapa masalah beserta pembahasannya se¬
cara mendalam. Narnun, buku
tersebut masih terkesan bias, sebab ber-
campur masalah pengobatan,
indikasi, dan analisis cara pengobatan me-
nurut kebiasaan suku
Kananisv. Bagi yang telah membaca kitab-kitab kami,
tidak perlu lagi
belajar cara-cara mereka, kecuali mempraktikkan cara
pengobatan yang
tertera di dalamnya.
Siapa pun yang menguasai hal-hal umum yang
kami tubs, ia pasti
akan mengetahui benar-salah cara pengobatan suku
Kananisy dalam me-
nafsirkan analisis dan diagnosis.
Abu
Marwan al-Baji pernah bercerita kepada saya, katanya, "Kadi
Abu Waltd
ibn Rusyd adalah orang yang memiliki kejernihan pandangan
dan ketajaman
daya nalar, serta jiwa yang kokoh.
Ia belajar banyak hal, termasuk
ilmu kedokteran pada Abu Ja'far
ibn Harun. Bahkan ia pernah hidup
bersamanya, untuk menimba ilmu hukum,
walaupun tidak terlalu lama."
Sebelum tinggal di Cordoba, Ibn Rusyd pernah menetap di Sevilla,
la mendapat pangkat dan kedudukan terhormat di sisi al-Manshur selama
rezim pemerintahannya, sebagaimana putra beliau, an-Nashir, yang sangat
menghormatinya.
Saat al-Manshur melakukan invasi
"Vence" dari Cordoba, beliau
memanggil Abu Walid ibn Rusyd. Setibanya
menghadap, ia diperlakukan
sangat terhormat. Al-Manshur memintanya
mendekat hingga melampaui
batas tempat duduk Abu Muhammad' Abd al-Wahib
ibn Syaikh Abi Hafsh
al-Hantani—sahabat 'Abd al-Mu'min—padahal Ibn Rusyd
waktu itu masih
berusia tiga atau empat belas tahun.
Abu
Muhammad 'Abd al-Wahib ini telah diambil sebagai menantu
oleh
al-Manshur. Ia dinikahkan dengan putri beliau, karena dipandang
memiliki
kedudukan tersendiri di sisinya. Dari pemikahan tersebut mereka
dikaruniai seorang anak yang diberi nama 'All yang kini tmggal di
Afrika.
Setelah al-Manshur meminta Ibn Rusyd mendekat, ia kemudian
mengajaknya bercengkerama. Setelah itu ia keluar, sementara kelompok
pelajar dan sahabat-sahabatnva sudah menunggu kedatangannva. Setiba-
nya di tengah-tengah mereka, semua memberikan selamat atas kedudukan
dan penyambutan yang diperolehnya dari al-Manshur.
Ia
berkata, "Demi Allah, hal ini bukanlah sesuatu yang harus diberi
ucapan
selamat. Sesungguhnya Amirulmu' mintn telah memintaku men¬
dekat lebih
dari sekadar yang aku impikan dan aku bayangkan."
Di sisi lain,
pihak oposan dan orang-orang yang tidak menyukainya
selalu
menjelek-jelekkan dan menyebarkan isu, bahwa Amirulmu'minto
mengeluarkan
perintah untuk membunuhnya.
Saat keluar dalam keadaan segar bugar,
ia meminta beberapa pern-
bantu pulang ke rumah agar membuat merpati
muda rebus untuknya. Hal
tersebut bertujuan, untuk menenangkan hati
mereka atas kesehatan diri-
nya. Tidak lama kemudian, al-Manshur berubah
sikap. Ia mulai menaruh
rasa tidak suka pada Abu Walid ibn Rusyd. Oleh
karena itu, la diasingkan
ke Yastana—daerah dekat Cordoba, yang semula
diduduki kaum Yahudi—
dan tidak diperkenankan keluar. Perlakuan semacam
itu juga diterima
beberapa tokoh tertentu, tetapi mereka diasingkan di
tempat yang ber-
beda. Hal itu terjadi karena, mereka diisukan mengkaji
dan mempelajari
"Al-Hikmah wn 'Ulum al-Aiva’il". Tokoh-tokoh tersebut
antara lain:
1. Abu Walid ibn Rusyd
2. Abu Ja'far
al-Dzahabi
3. Al-Faqih Abu 'Abd Allah Muhammad Ibn Ibrahim,
hakim'di Jaya.
4. Abu ar-Rabi' al-Kafif
5. Abu
al-'Abbas al-Hafidh asy-Sya'ir al-Qurabi
6. Baqwa Muddat
Setelah sekelompok orang terkemuka Sevilla memberikan
testimoni,
bahwa Ibn Rusyd bebas dari segala tuduhan tersebut, baru
kemudian al-
Manshur melepaskannya bersama beberapa tokoh lain.
Peristiwa ini
terjadi pada 595 H.
Setelah kejadian tersebut,
Abu Ja'far al-Dzahabi, kemudian diangkat
sebagai pemimpin pelajar dan
para dokter. Al-Manshur sangat berterima
kasih kepadanya, bahkan ia
memujinya. Katanya, "Sesungguhnya Abu
Ja'far al-Dzahabi seperti emas
murni, semakin dilebur, maka ia semakin
tampak bersinar kemilau."
Hakim Abu Marwan berkata, "Adapun yang bersemayam dalam
hati al-Manshur tentang Ibn Rusyd, adalah bahwa setiap kali beliau
datang
menghadap dan bercengkrama dengannya atau berdiskusi tentang ilmu
pengetahuan, ia selalu mengatakan, "Dengarkan, Saudaraku !" Ibn Rusyd
juga menyusun buku tentang fauna. Dalam buku ini beliau menyebut dan
mengkualifikasi setiap jenis binatang. Misalnya, menyebut nama jerapah,
ia memberikan sifat dan berkata: "Aku telah melihat jerapah di sisi raja
Barbar (yang dimaksud al-Manshur )". Ketika hal itu sampai ke telinga
al-Manshur, ia sulit menerima. Diperkirakan, hal itulah yang menjadi
pemicu
rasa tidak sukanya pada Ibn Rusyd. Dikisahkan, Ibn Rusyd
mengajukan
apologi, "Yang ingin aku katakan adalah, raja-raja yang saleh
(Malik nl-
Barrin). Tetapi aku salah ucap dan jadilah "Malik al-Barbar".
Hakim Abu Walid ibn Rusyd wafat di Marrakisy pada 596 H, awal
rezim Dawlah al-Nashir.
***
Ibn Rusyd dikaruniai
usia panjang. Sepanjang hidupnya, beliau
dianugerahi putra seorang
dokter yang juga menguasai bidang manu-
faktur. Putra tersebut bemama
Abu Muhammad 'Abd Allah. Selain dia.
ada beberapa putra beliau yang
tekun mendalami ilmu fikih dan bekerja
di Pengadilan Couer.
***
Abu Walid ibn Rusyd telah mengarang banyak kitab,
di antaranya:
_ Kitab At-Tnhshil, berupa antologi pemikiran
ilmuwan yang sen-
sasional dan kontroversial, baik dari kalangan
sahabat, tabi'm, mau-
pun generasi sesudahnya. Dalambuku ini, Ibn Rusyd
menjustifikasi
beberapa mazhab yang ada, dan menjelaskan beberapa
kemung-
kinan yang diperkirakan pemicu timbulnya konflik.
_
Kitab Al-Muqaddimat yang memuat masalah-masalah fikih.
_ Kitab
Nihdyat al-Mujtahid di bidang fikih. 2
_ Kitab Al-Kulliyyat 3
m Interpretasi terhadap Ibn Sina di bidang kedokteran.
. Kitab Al-Haydwdn
m Antologi pemikiran Aristoteles
tentang kosmologi dan ketuhanan
. Kitab Al-Dlarun fi al-Manthiq, berupa
intisari dari buku-buku
Aristoteles secara komprehensif
_ Intisari
dari Al-Ilahiyydt, karya Nicholarus
■ Intisari kitab Md Ba'da
ath-Thabi'ah, karya Aristoteles
_ Intisari kitab Al-Akhlaq, karya
Aristoteles
_ Intisari kitab Al-Burhan, karya Aristoteles
■■ Intisari kitab Al-Svnci nth-Thabi i, karya Aristoteles
m
Interpretasi kitab Al-Samu’ wn al- Alcun, karya Aristoteles
_
Interpretasi kitab Al-Nafs, karya Aristoteles
. Intisari kitab
Al-Asthaqisat, karya Galen
. Intisari kitab Al-Mizdj, karya Galen
m Intisari kitab Al-Quivd (it-Thubi iyyuh, karya Galen
■
Intisari kitab Al-’llal wa al-A'radl, karya Galen
■i Intisari kitab
At-Ta'aruf, karya Galen
« Intisari kitab Al-Hamiyydt, karya Galen
_ Intisari kitab pertama Al-'Adawiyyah al-Mufarradah, karya Galen
m Intisari separuh kedua dari kitab Hilah al-Bur , karya Galen
■ Kitab Tahafut at-Tahafiit, merupakan tanggapan terhadap kitab
Tahdfut
al-Faldsifah, karya al-Ghazali
Kitab Minhaj
al-Adillah, di bidang teologi (' ilm al-ushul)
Kitab kecil
berjudul Fashl al-Maqal fi-ma bayna al-Hikmah wa asy-
Syari'ah min
al-Ittishdl
Al-Masa'il al-Muhimmah, tanggapan atas kitab
Al-Burhan, karya
Aristoteles
Interpretasi kitab Al-Qiyas,
karya Aristoteles
Makalah tentang Al-'Aql
Makalah tentang Al-Qiyas
Kitab yang membedah apakah akal vang ada pada diri kita, yang
dikategorikan Al-Hayuldni (materi pertama) dapat merasionalisasi
bentuk-bentuk lain yang terpisah, atau tidak? Kitab tersebut diminta
dan dijanjikan pembahasannya oleh Aristoteles dalam kitab An-
Nafs
Makalah tentang keyakinan kaum nomaden (Aristotelesian, filosof
parepatetik) dan keyakinan (ahli teologi) seputar proses kejadian
kosmos.
Makalah epistemologi mantik versi Abu Nashr dan
Aristoteles di
dalam kitab masing-masing
Makalah tentang
bersatunya akal yang terpisah dengan manusia
Makalah lain dengan
topik yang sama
Kajian buku Al-Kulliyyat bersama Abu Bakr ibn
Thufayl
Kitab yang membahas tentang ilmu-ilmu ketuhanan dalam
kitab
Asy-Svifa', karya Ibn Sina.
Tulisan seputar
masalah waktu.
Makalah menanggapi subhdt yang dilontarkan, oleh
orang-orang
yang kontra dengan ahli filsafat dan pembuktiannya tentang
wujud
materi pertama, serta justifikasi terhadap pembuktian Aristoteles
sebagai pembuktian yang paling benar.
Tanggapan atas Abu All
ibn Sina seputar pembagian eksistensi yang
mencakup; (1) mungkin absolut
( mumkin ‘ala l-itblaq), (2) mungkin
relatif ( mumkin bi dzati-hi, wdjib
bi ghayri-hi), dan (3) zvajib bi adz-dzdt
Makalah tentang temperamen (
mizaj)
Masalah seputar sakit demam
Masalah tentang hikmah
Makalah tentang gerakan bintang ( harakah al-falak)
Tulisan seputar keberatan-keberatan Abu Nashr atas
Aristoteles
terhadap kitab al-Burhan yang meliputi sistematika, aturan,
pem-
buktian, dan pembatasan masalah
Makalah tentang antitoksin (
at-tiryaq ) 4 □
Tahafut al-Tahafut
Buku yang kami sajikan ke hadapan sidang pembaca kali ini
berjudul
Tahafut at-Tahafut. Pemberian judul seperti ini tidak hanya
sebatas sebagai
identitas, namun di sisi lain juga menunjukkan tema
sentral yang ber-
kembang dalam pembahasan, dan motif-motif apa yang
mendorong
penulisannya. Sebelumnya, al-Ghazali telah menyusun sebuah
kitab yang
diduga kuat telah ditolak oleh kalangan ahli filsafat. Sebuah
pukulan telak
yang tidak pemah dilontarkan filosof Timur sebelum ini.
Kitab tersebut
diberi judul Tahafut al-Falasifah. Kandungannya
mengekspos secara luas
kerancuan pola pikir kaum filosof. Dengan hanya
membaca judul buku
atau mendengamya, seseorang pash sudah dapat menerka,
bila buku ter¬
sebut membeberkan panjang lebar seputar
kesalahan-kesalahan para
filosof.
***
Al-Ghazali
sengaja memilih kata "kerancuan", seperti yang telah
dinyatakannya pada
mukadimah pertama, dengan tujuan, "ingin mendes-
kripsikan kontradiksi
dan kerancuan pemikiran di antara para filosof ter-
kemuka". 5
Kata "tahafut" yang disandarkan ( mudlaf) kepada kata
"al-falasifah"
bermakna "kerancuan". Maksudnya, kerancuan para filosof,
yaitu kerancuan
pemikiran mereka serta kontradiksi yang terjadi.
Kiranya, kata ini adalah
kata yang tepat untuk melukiskan betapa lemah
dan rendah daya nalar
kaum filosof itu—demikian yang tampaknya
diinginkan al-Ghazali. Dengan
memberikan predikat semacam ini, maka
al-Ghazali dapat dikatakan
sebagai seorang yang paling keras dan kejam
terhadap para filosof.
Saat Ibn Rusyd hendak membela mereka, ia
berusaha mencari kata
yang tidak kalah pedas. Sayang, saat itu ia tidak
menemukan jalan ke arah
itu, sementara istilah "kerancuan" terlanjur
dipilih al-Ghazali untuk judul
bukunya yang melukiskan kelemahan dan
kekurangan mereka. Maka,
Ibn Rusyd pun menggunakan istilah serupa, yaitu
"kerancuan". Untung
saja, Ibn Rusyd tidak menyandarkan kata tersebut
pada "al-Ghazali",
dan bila hal ini dilakukan, maka kitabnya pasti akan
diberi judul "Tahafut
al-Ghazali", sebagaimana al-Ghazali memberi judul
bukunya Tahafut al-
Falasifah. Sebab pemberian nama seperti itu
terkadang mengidentifikasi
kerancuan pada beberapa sisi pemikirannya.
Sebagaimana al-Ghazali meng¬
gunakan Tahafut al-Falasifah, yang
memaparkan kerancuan pemikiran mereka
pada beberapa masalah ketuhanan
dan kosmologi, bukan pada bagian ke-
duanya secara keseluruhan, dan juga
bukan pada beberapa disiplin lain-
nya. Hal tersebut sudah sangat jelas
termaktub dalam mukadimah Maqashid
al-Falasifah
***
Sekelompok orang melupakan hal itu, dan mereka menganggap al-
Ghazali telah menyerang pola pikir logika yang tidak ia suka. Oleh
karena
itu, mereka terpancing dengan pemyataan kelompok lain, bahwa
al-Ghazali
telah menolak keras semua pemikiran para filosof. Suatu
penolakan yang
tidak pemah dilakukan masyarakat Timur sebelumnya.
Ironisnya, sampai era kita sekarang, setelah proses pencetakan
kitab
bisa dilakukan dengan sangat mudah, dan kitab-kitab semakin mudah
di-
dapat, serta dikaji oleh kalangan luas, mereka yang secara
prestisius me-
nyandang gelar ilmuwan temvata belum bisa mengerti
substansi seperti
ini. Dan pada akhimya, mereka tertarik pada sebuah
proses bahwa Is¬
lam—versi al-Ghazali—membenci dan memerangi filsafat.
Menurut kami,
masalah ini—bagi orang-orang yang memiliki impetus untuk
mencari haki-
kat persoalan—sudah menjadi sangat jelas, tanpa
membutuhkan keterang-
an yang berlebih.
***
Berdasar pertimbangan itulah, maka Ibn Rusyd tidak ingin memberi
judul kitabnya "Tahafut al-Ghazali", sebab judul semacam ini mengindi-
kasikan kerancuan beberapa pemikiran al-Ghazali. Padahal sebagian ke-
rancuan al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang mendapat perlawanan dari
para filosof. Meskipun andai Ibn Rusyd memberikan judul "Tahafut al-
Ghazali" pada kitabnya, hal itu masih dapat dimengerti, mengingat ia
ingin
memperlakukan para filosof secara adil, atas serangan yang
dilakukan al-
Ghazali terhadap mereka. Akan tetapi, seharusnya kata
"kerancuan" di-
nisbatkan kepada pemikiran-pemikiran yang termaktub
dalam Tahafut
al-Faldsifah, yang disinyalir telah menghantam telak
pemikiran para filosof.
Barangkali kalimat yang mungkin cocok dan
proporsional, untuk meng-
ekspresikan rnaksud tersebut adalah "Tahafut
Kitdb al-Ghazali aTMusammd
Tahafut al-Faldsifah" (Kerancuan Kitab
al-Ghazali yang Berjudul Kerancuan
para Filosof), yang kemudian
diringkas menjadi Tahafut at-Tahdfut (Ke¬
rancuan dalam Kerancuan).
* ❖ *
Alasan al-Ghazali memberikan judul Tahafut
al-Faldsifah atas buku
yang ditulisnya, adalah seluruh kandungan buku
tersebut memaparkan
kerancuan-kerancuan berpikir para filosof—dalam
pandangan al-Ghazali.
Demikian juga Ibn Rusyd, keputusannya dalam
memberi judul Tahafut at-
Tahdfut, dikarenakan keseluruhan buku—yang
kini ada di tangan pem-
baca—memang mengupas seputar kerancuan berpikir,
yang oleh Ibn Rusyd
dianggap telah menyangkal pemikiran para filosof.
Jadi, meskipun dari kedua judul kitab tersebut telah mengindi-
kasikan meletusnya api peperangan antara al-Ghazali di satu sisi, dan
Ibn Rusyd, yang mewakili para filosof di sisi lain, namun sebenarnya itu
hanyalah bunyi terompet pertanda perang. Adapun perang yang sebenar¬
nya adalah, perang ide, gagasan, nalar dan pemikiran, serta perang
bukti-
bukti. Inilah yang dapat ditelusuri pada ruas-ruas kedua kitab
tersebut.
***
Dengan antusiasme yang sama, saya
ingin turun ke kancah pe¬
perangan di antara keduanya. Atau dengan kata
lain, saya ingin berdiri
di antara keduanya, dan sebisa mungkin melerai
pertikaian, memvonis
yang benar dari yang salah. Di samping itu, saya
juga akan meleburkan
sebab-sebab pemicu meletusnya api peperangan,
sebagaimana pemah saya
lakukan dalam pembahasan yang diajukan untuk dua
bagian; alam dan
ketuhanan, dari kitab Al-Isyarat wa Tanbihat yang
ditulis Ibn Sina.
Saya tidak menganggap diri saya "lebih", hingga
bersedia memain-
kan peran semacam ini di antara dua tokoh sekaliber Ibn
Rusyd dan al-
Ghazali. Sebab, filsafat tidaklah tergantung pada nama
ataupun masa.
Saya pemah mempelajarinya dengan berbekal ruh seorang
pelajar pencari
hakikat kebenaran, dan dengan ikhlas menempuh segala
onak dan duri
yang menghadang, hingga benar-benar mengerti. Oleh karena
itu,' saya
tidak merelakan diri bertaklid, karena telah menangkap
titik-titik kelemah-
an pemikiran tokoh-tokoh terkemuka, kemudian saya
sajikan seperti yang
tertulis di dalam mukadimah kitab Mizan nl-'Amal,
karya al-Ghazali.
***
Dengan sekali membaca kitab
Tnhafut at-Tahafut, dan setelah mem-
baca kitab Tahafut al-Faldsifah
berulang kali, maka tampak jelas bagi saya
adanya peluang untuk unitt
rembug di antara dua tokoh tersebut. Oleh
karena semakin banyak yang
dapat saya tangkap, dan terasa semakin
penting, maka semakin kuat pula
motivasi saya untuk menyusun pem¬
bahasan tersendiri. Insya Allah, saya
tidak akan melupakan identifikasi
masalah-masalah itu dalam pembahasan
berikut ini. □
Sarkasme Mutual antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
Sarkasme bukanlah filsafat, juga bukan salah satu corak dari
pelbagai
corak filsafat yang ada, walau hanya sebatas metafora ( majaz
). Meskipun
demikian, kenyataannya dua tokoh filsafat ini terjebak di
dalamnya.
Pada bagian awal telah dipaparkan, bahwa terdapat
isyarat pe-
namaan kitab masing-masing yang mengidentifikasi hal semacam
itu. Al-
Ghazali merupakan orang pertama kali yang menulis buku dengan
judul
yang sangat tendensius. Kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali pun
sarat
dengan pernyataan-pernyataan yang sulit dilukiskan, misalnya,
"...apa
yang kalian klaim sebagai "wisdom", sebenarnya adalah kesesatan
yang
amat nyata. Hal itu tidak ubahnva hikayat seseorang tentang bunga
tidur;
sungguh melukiskan buruk perangainya. Atau, kalau dikaitkan
dengan
persoalan fikih yang banyak mengandung asumsi (takhmmat), niscaya
ia
dianggap sebagai kebohongan yang berlebih-lebihan. 6 Hal ini terdapat
dalam topik pembahasan tentang eksistensi pertama, yang bersumber
dari Tuhan, dan berkembangnya tiga eksistensi lain yang bersumber dari
eksistensi pertama tersebut, dengan asumsi ia memiliki tiga dimensi.
(Baca
lengkap pembahasan yang ada!)
Al-Ghazali juga
menyatakan, "Manakala disodorkan kepada
mereka persoalan-persoalan yang
membutuhkan hujjah, mayoritas alasan
dan dalil yang mereka pergunaken
bersifat promotif dan atraktif. Kata
mereka, "ilmu ketuhanan itu samar
dan tidak jelas. Ilmu tersebut merupa-
kan cabang ilmu tertinggi yang
dapat dicapai dengan penalaran. Dan
tidak ada cara untuk mengetahui
jawaban dari persoalan-persoalan ter-
sebut, kecuali dengan
mengetengahkan matematika dan logika."
Adapun orang yang mengikuti
jejak kekufuran mereka, andai timbul
persoalan pada mazhab yang
dianutnya, ternyata ia masih berbaik sangka
dan berkata, "Tidak
meragukan lagi bila ilmu mereka benar-benar sem-
purna. Hanya saja saya
merasa kesulitan untuk memahami, sebab saya
tidaklah menguasai
matematika dan logika ." 7
Al-Ghazali berkata, "Biarlah orang
tahu, bahwa mendalami hikayat
para filosof hanya akan membuang-buang
waktu, sebab episodenya terlalu
panjang." tl la juga mengomentari
Al-Farabi dan Ibn Sina, "Sesungguhnya
di antara filosof muslim yang
paling jeli dan teliti dalam melakukan pe-
nukilan dan tahqiq adalah
al-Farabi, Abu Nashr dan Ibn Sina. Kita pun cukup
merasa puas atas
bantahan dan apa yang dianggap benar oleh mereka, di¬
banding
pemikiran-pemikiran mereka yang lebur dalam kesesatan."
***
Masih banyak lagi pemyataan-pernyataan al-Ghazali yang
senada
dengan ini, dan dilahap habis orang yang membaca kitabnya.
Sebagian
di antara mereka tidak menerima, sebab tidak ingin membiarkan
ilmu di-
racuni sarkasme, dan membiarkan ulama melampaui batas. Mereka
memang
memiliki hak untuk bersikap demikian. Tetapi pendapat yang
mengatakan,
bahwa miliu yang melingkupinya—berbarengan dengan hilangnya
keper-
cayaan kalangan umum ( jumhur ) kepada para filosof—telah
merasionalkan
tasynY (menjelek-jelekkan) para filosof. Kepercayaan yang
diberikan jumhur
kepada para filosof, ternyata telah merusak dirinya
sendiri dan melepas-
kan keyakinan agamanya yang suci. Mereka berasumsi
bahwa para filosof
tidak melakukan kesalahan sehingga ia mengikuti
penyimpangan dan pe-
nyelewengan mereka. Alhasil, semakin marak
munculnya anarkhisme ideo-
logis dan chnos pemikiran manusia, hingga
terjerumus dalam bias seperti
yang terjadi di era kita sekarang ini.
Sebagai akibat dari arus pemikiran
negatif yang terus datang
bertubi-tubi, untuk menghancur-leburkan be-
berapa negara muslim di
sana-sini, membuat umat manusia melepaskan
ikatan-ikatan fadlilah dan
tergiring pada dunia yang permisif.
Dalam hal ini al-Ghazali
berkata dalam sambutannya di kitab Tahafut
al-Falasifah, “...Amma ba'd.
Saya menengarai sekelompok orang yang me-
ngaku memiliki kecerdasan dan
intelegensi yang lebih di antara para pe-
mikir. Mereka menolak
tugas-tugas ubudiah (peribadatan) yang dibeban-
kan Islam dan meremehkan
syiar-syiar agama baik berupa salat, maupun
menahan diri dari hal-hal
yang dilarang. Di samping itu, mereka juga meng-
anggap enteng
bentuk-bentuk ibadah yang diajarkan agama. Mereka tidak
lagi berpegang
pada pilar-pilar agama, dan berbalik mengikuti kelompok
yang berpaling
dari jalan Allah. Di akhirat kelak, mereka tergolong orang-
orang kafir.
Tiada lain yang menyebabkan kekufuran mereka selain meng-
imitasi teman
(taqlid ilfi) seperti meniru Yahudi dan Nasrani. Generasi mereka
jelas-jelas berjalan di luar rel agama Islam, meskipun Islam sebenarnya
merupakan jalan yang ditempuh oleh nenek moyang mereka. Di samping
itu juga, beberapa pemikiran yang melenceng dari kebenaran, karena
terpengaruh oleh kemilau imajinasi yang tak ubahnya sinar fatamorgana,
sebagaimana terjadi pada sekelompok pemikir ahl al-bid'ah dalam mem-
bahas persoalan akidah dan ideologi.
***
Di
antara penyebab kekufuran itu adalah, karena mereka terpesona
oleh
nama-nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan tokoh-tokoh
lain, serta beberapa kelompok lain yang mengikuti jejak mereka; meng-
agungkan pemikiran mereka; menyanjung kaidah-kaidah dasar (ushul)
yang dianut mereka; memuji kemampuan mereka di bidang ilmu hitung,
logika, kosmologi, teologi, dan kesewenang-wenangan. Mereka menyata-
kan secara transparan, tentang sesuatu yang sangat riskan karena merasa-
diri memiliki otoritas. Juga sejarah hidup mereka yang menyatakan, bahwa
dengan akal jenius dan naluri tajam yang dimiliki, mereka mengingkari
syariat dan ajaran-ajaran agama bahkan menganggapnya sebagai tipu daya.
Saat itu, semua orang mengetuk gendang telinga mereka, dan pada
saat yang bersamaan ideologi kaum filosof mulai mempengaruhi hati
mereka.
Maka, mulailah mereka berhias diri dengan akidah yang kufur,
bergabung
mengikuti jejak langkah mereka, karena mereka anggap kaum
filosof se¬
bagai "kumpulan para penyandang keutamaan (ghumar
al-fudlald')".
Hubungan mereka terhadap masyarakat amat luas, namun
terhadap
rakyat jelata terputus, bahkan agama yang dibawa nenek moyang
mereka
pun ditolak kebenarannya. Mereka menganggap fleksibilitas dalam
ke-
inginan mengikuti (taqlul) kebenaran, kemudian berubah mengikuti ke-
batilan, memiliki nilai estetika tersendiri. Mereka lupa, bahwa sikap
tidak
konsisten, yang terekspresikan dalam keputusannya berpindah dari
satu
taklid ke taklid lain merupakan sebuah pelanggaran dan kegilaan.
Adakah derajat yang lebih rendah di bumi ini daripada orang
yang
semula bertatahkan kebenaran, kemudian menerima kebatilan dan mem-
benarkannya, tanpa melakukan verifikasi maupun crosscheck ? Orang bodoh
di kalangan awam bisa terlepas dari sumber malapetaka ini, sebab mereka
tidak memiliki kecondongan mengikuti kaum yang sesat. Jika demikian,
kebodohan lebih menjamin keselamatan daripada kecerdasan. Dan, orang
yang buta akan lebih selamat dari pada orang yang melihat.
***
Ketika saya melihat akar kebodohan itu tertancap
kuat pada diri
mereka yang pandai, sava tergerak untuk bangkit menulis
buku ini. Hal
ini sebagai tanggapan bagi para filosof terdahulu, yang
memaparkan ke-
rancuan ideologi dan kontradiksi pemyataan-pemyataan
mereka yang ber-
kaitan dengan masalah ketuhanan, dan mengupas tuntas
aib serta kejelekan
mazhab mereka. Mereka seharusnya menjadi contoh kaum
intelektual dan
masyarakat secara umum.
Hal ini didasarkan
atas sejarah hidup mazhab mereka yang dipapar-
kan secara proporsional,
dalam rangka mencari kejelasan tentang penyim-
pangan dari agama atas
iman kepada Allah dan hari akhir. Beberapa kon¬
tradiksi tersebut
merujuk secara detail pada hal-hal di luar dua kutub ini
yang menjadi
alasan diutusnya para nabi yang dibekali mukjizat.
***
Tidak ada yang mengingkari keduanya, kecuali segelintir orang
yang akalnya terbalik dan berpandangan kontradiktif, yang tidak terlalu
berarti dan mem apat perhatian di kalangan kaum pemikir, serta tidak
dianggap, kecuali sebagai golongan setan dan kelompok orang-orang
pandir. Hal itu bertujuan untuk mencegah akibat buruk dari anggapan
seseorang yang berhias kekufuran. Juga untuk mereka yang menganggap
dirinya terbaik, paling brilian dari otoritas nalar yang dimiliki para
tokoh
filsafat terkemuka. Oleh karena itu, mereka terbebas dari
penyelewengan
serta penyimpangan ajaran agama. Dan mereka akan tetap
beriman kepada
Allah serta mempercayai utusan-utusan-Nya.
Kita akan menyingkap semua gemerlap khayalan dan kebatilan
yang
telah menipu mereka. Kita juga akan jelaskan, bahwa hal itu adalah
keter-
purukan, vvalaupun tampak laksana keberhasilan. Hanya Allah
jualah yang
memberi taufik.
sic**
Diakui atau
tidak, kitab Tahafut al-Falasifah jauh lebih banyak ber-
edar dibanding
Tahafut at-Tahnfut. Dengan demikian, tidak dapat disangkal
lagi bahwa
al-Ghazali, dengan kitabnya tersebut, telah menikam para
filosof. Telah
tertanam kuat di dalam benak banyak orang, bahwa al-
Ghazali telah
mengotori kemuliaan ilmu dengan sesuatu yang sama se-
kali bukan
bagiannya, yaitu dengan mencaci-maki para filosof, termasuk
orang-orang
yang terpukau oleh tipu daya mereka. Semoga mereka tidak
tahu pokok
permasalahan dan motivasi yang mendorong penulisan buku
tersebut,
disebabkan karena tidak adanya penguasaan dan pemahaman
mereka terhadap
lingkungan yang melingkupi kitab tersebut.
Masih terekam kuat
dalam memori mereka, bahwa hanya al-Ghazali
dan hanya dia
satu-satunya,yang berani melakukan hal itu. Saya akan meng-
hadirkan
contoh-contoh yang dikemukakan Ibn Rusyd terhadap al-
Ghazali dalam
kitab Tahafut at-Tahafut.
***
Menanggapi
pemyataan, "Apa yang mereka anggap sebagai sebuah
'kebajikan' ( wisdom ,
tahakkumah), sebenamya adalah kesesatan yang nyata..." 9 ,
maka Ibn
Rusvd berkata, "Tidak jauh berbeda dalam mendeskripsikan hal
semacam itu
terhadap kaum pandai maupun cendekia, kepada kaum awam
ataupun
orang-orang tertentu, sebagaimana dideskripsikan kepada mereka
tentang
ciptaannya. Pencipta jika mengeluarkan banyak sifat dari produksi
yang
dihasilkannya, dan mampu mendatangkan perbuatan-perbuatan
yang
spektakuler, ternyata banyak orang masih mencemoohnya, mereka
menganggapnya sebagai mubarsamin 10 (secara harfiah: orang yang men-
derita radang selaput dada). Padahal, sebenarnya merekalah yang ter-
golong pemikir yang mubarsamin, serta ulama yang bodoh. 11 "
Tentang bagaimana ilmu Allah SWT., Ibn Rusyd menanggapi sebagai
berikut:
"Membicarakan tentang ilmu Allah SWT., apakah bi
dzdti-hi am
ghayri-hi (dengan dzat-Nya atau lain-Nya), mengapa haram
diperdebatkan
dan mengikuti ketentuan-ketentuan kitab suci? Sesungguhnya
pemahaman
umat tidaklah mungkin dapat diraih dalam tempo sesingkat itu,
tetapi
jika mereka melakukan hal seperti itu, rusaklah makna ketuhanan
(ildhiyyah)
menurut mereka. Oleh karenanya, mendalami ilmu ini
diharamkan atas
mereka. Sebab, cukup akan memberikan kebahagiaan, jika
mereka me-
mahami-Nya sesuai kemampuan yang ada.
Oleh
karenanya, agama yang tujuan utamanya mengajari umat
manusia tidak pemah
merasa puas memahamkan apa yang ada pada Allah
SWT., dengan menjadikan
apa yang ada pada seseorang sebagai perantara
atau instrumen ( wasilah
). Allah berfirman, " Lima ta'budu md la yasma'u iva
Id yubshiru wa la
yughni 'an-ka syay'a (Mengapa kamu menyembah sesuatu
yang tidak
mendengar dan tidak melihat serta tidak mencukupimu)". Bah-
kan jika
terpaksa , 12 terkadang memahamkan sebuah makna yang ada pada-
Nya
dengan menjadikan anggota tubuh manusia dengan perumpamaan.
Dia
berfirman, "a-wa-lam yarawanna khalaq-na la-hutn min-md 'amilat aydina
an'dman fa-hum la-ha mdlikun (Apakah mereka tidak melihat, bahwa telah
Kami ciptakan dengan Tangan Kami sendiri binatang temak bagi mereka,
dan mereka yang memiliki binatang temak itu)". Dia juga berfirman,
“khalaq-tu bi yaday-ya (Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku)".
Hal-hal semacam ini hanya menjadi otoritas kaum ulama yang
menguasai ilmu dan diberi oleh Allah kemampuan menggali kebenaran.
Oleh karena itu, maka tidak musti ada di sembarang kitab, kecuali di
dalam
al-kutub al maudlu'ah 'ala ath-thariq al-burhdni (kitab-kitab yang
disusun
menurut sistematika pembuktian), yang harus dibaca secara
berurutan,
dan apabila dipadu dengan ilmu lain tentu tidak memerlukan
kajian ulang,
jika yang bersangkutan memang benar-benar memiliki fitrah
yang unggul
(fa'iqah). Namun, kenvataannva sedikit sekali orang yang
memiliki fitrah
semacam itu . 13
***
Membicarakan hal semacam ini dengan masyarakat luas, tidak
ubahnya menuangkan racun ke dalam tubuh banyak binatang. Racun, se-
benarnya hanyalah sebuah nisbat. Terkadang ia benar-benar menjadi racun
bagi seekor binatang, tetapi merupakan makanan yang enak disantap bagi
binatang yang lain.
Begitu pula perihal pandangan dan
pendapat bagi manusia, yang
bisa jadi merupakan racun bagi sekelompok
manusia, tetapi menjadi
hidangan lezat bagi kelompok yang lain.
Maka, siapa saja yang menganggap pandangan itu cocok dan sesuai
bagi seluruh kelompok manusia, berarti ia mendudukkan pandangan ter-
sebut sejajar dengan makanan bagi mereka. Begitu pula sebaliknya, jika
pandangan tersebut menjadi terlarang bagi pemiliknya, berarti ia telah
menjadi racun bagi mereka. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia bisa
menjadi racun bagi sekelompok orang, tetapi acapkali juga menjadi makan¬
an bagi kelompok yang lain.
Maka, barangsiapa menuangkan
racun itu kepada orang yang memang
menganggap hal itu sebagai racun,
maka baginya hukuman, jika menurut
yang lain, hal itu adalah makanan.
Dan barangsiapa menjauhkan racun
dari orang yang layak menikmati makanan
hingga ia meninggal, baginya
pulalah hukuman ditimpakan. Atas dasar itu,
hendaknya pokok persoalan
dipahami dari sisi ini.
***
Akan tetapi, jika seorang yang nakal 14 dan bodoh 15 berlebihan
dalam
memberi racun sebagai makanan, tentulah tugas seorang dokter untuk
mencarikan terapi penyembuhannya. Oleh karenanya, kita menganggap
boleh mengangkat tema persoalan tersebut dalam kitab ini. Jika tidak,
tentu kita menganggapnya sebagai dosa besar atau kerusakan terbesar
di muka bumi ini. Dan hukuman bagi pelaku kerusakan jelas tercantum
dalam syariat agama.
***
Apabila tidak ada
altematif lain dari persoalan ini, maka kita nyata-
kan hal itu sesuai
power of speech (quurwah al-kalam) pada topik ini, terhadap
orang yang
tidak maju, sehingga ia mau berlatih sebelum melihat persoalan
ini
secara jernih .... 16
***
Begitulah, Ibn Rusyd
memvonis al-Ghazali, sebagai sosok yang nakal
dan bodoh. Menurutnya,
al-Ghazali berdosa karena telah membicarakan
persoalan yang tidak layak
disampaikan kepada umum dalam Tahafut al-
Faldsifah sebab yang demikian
justru hanya akan merusak mereka. Musti-
nya hal-hal semacam itu dijaga,
dieksplorasi secara terbatas pada orang-
orang tertentu, seperti masalah
; lmu Allah SWT. Apakah 1a semata kom-
plemen bagi dzat-Nya, atau ilmu
tersebut adalah Dzat itu sendiri?
***
Namun menurut
saya, yang justru terasa aneh adalah karena baik
Ibn Rusyd maupun
al-Ghazali, keduanya menyepakati manhaj yang di-
tempuh Ibn Rusyd, bahwa
pikiran adalah makanan bagi ruh. Sebagaimana
buah dan biji-bijian adalah
makanan bagi tubuh. Terkadang, apa yang men-
jadi makanan bagi
seseorang, temyata menjadi racun mematikan bagi yang
lain. Begitu pula
pemikiran, bisa jadi ia merupakan keniscayaan bagi
seseorang, tetapi
terkadang memicu kerusakan pada yang lain.
Ibn Rusyd mengatakan,
"Barangsiapa melarang berpikir bagi ahli-
nya, berarti ia telah
mendudukkan makanan sebagai racun bagi seluruh
manusia". Ia juga
berkata, "Barangsiapa meminumkan racun kepada sese¬
orang yang berhak,
baginyalah hukuman ditimpakan". Maka, al-Ghazali
bertamsil dengan
kata-kata penyair, "Siapa memberikan ilmu pada si bodoh,
sia-sia. Siapa
melarang ilmu pada yang wajib, amaya".
Al-Ghazali juga berkata,
"Memerdekakan orang bebas sama artinya
menguburkan orang yang
terpenjara." Al-Ghazali pula yang kerapkali
menggembar-gemborkan atsar
di banyak bagian dari kitabnya, "Ajaklah
manusia bicara sesuai kemampuan
akal mereka. Apakah kalian ingin mem-
bohongi Allah dan rasul-Nya?"
Selain itu, dalam kitab Al-Qishtdsh al-Mastaqhn ,' 7 ia menyatakan
bahwa
manusia terbagi menjadi tiga jenis; Pertama, umum, yaitu mereka
yang
tidak berilmu dan tergolong ahl as-saldmah. Kedua, khusus, yaitu
mereka
kaum cerdik cendekia dan pemikir. Kemudian, di antara keduanya
terlahir
mereka yang tergolong ahl al-jidal (provokator).
*
* ❖
Terhadap orang-orang khusus tersebut, saya menangani dan ingin
memberitahu mereka al-maivazin al-qisth (timbangan yang adil), serta
cara-
cara beroperasi yang tidak menimbulkan konflik dan perbedaan
pandang-
an di antara mereka. Kaum yang demikian itu memiliki tiga
sifat:
„ pertama, watak efektit dan intelegensi yang kuat. Ini
adalah sifat
alami yang tidak dapat dicari.
„ kedua,
terbebas dari taklid dan fanatisme pada suatu mazhab ter-
tentu.
Sesungguhnya pelaku taklid tidak pernah mau mendengar.
Dan orang bodoh,
meskipun sering mendengar, tetapi tidak pernah
mau mengerti.
_ ketiga, keyakinan bahwa dirinya tergolong ahli pikir dengan
penuh
pertimbangan.
***
Sedangkan yang tergolong
tidak berilmu, mereka yang tidak me¬
miliki kecerdasan untuk memiliki
hakikat kebenaran. Yang demikian, saya
mengajak mereka kepada Allah
dengan mazv'idhah (nasihat), sebagaimana
saya mengajak kaum cerdik
cendekia dengan hikmah (kebijaksanaan) dan
mengajak provokator dengan
jidal (debat).
Tiga metode tersebut terangkum dalam firman Allah
SWT., "ud'u
ild sabili rabbi-ka bi al-hikmah urn al-maw'idhah al-hasanah
zva jadil-ham bi al-lati
hiya ahsan (Serulah ke jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan nasihat yang
baik, serta bantahlah mereka dengan cara sebaik
mungkin)".
Dengan demikian, jelas diketahui bahwa objek dakwah
dengan
hikmah adalah sebuah komunitas tertentu, sama seperti objek dari
kedua
metode yang lain.
Jika hikmah diberikan kepada nhl
al-maw'idhah tentu akan berbahaya,
tidak ubahnya seorang anak kecil yang
masih menyusu diberi daging burung.
Begitu pula apabila mujadalah
diterapkan pada nhl al-hikmah, pasti hanya
akan menimbulkan rasa jijik,
seperti tabiat orang dewasa saat melihat anak
kecil menetek dari puting
susu ibunya.
Meskipun metode mujadalah telah diterapkan kepada ahl
al-jiddl,
tetapi kalau tidak dipergunakan dengan baik sebagaimana
anjuran
Alqur'an, yang demikian sama artinya dengan memberi roti gandum
pada
orang Badui, sementara mereka terbiasa hanya menikmati kurma. Atau,
menyodorkan hidangan kurma pada masyarakat berbudaya, yang terbiasa
dengan sajian roti gandum.
Ahl al-jiddl, sebenarnya
merupakan komunitas yang memiliki
kemampuan mengambil kesimpulan atas
sesuatu yang lebih bermanfaat
(kiydsah) yang sedikit lebih tinggi
derajatnya dari kaum awam. Namun,
kiydsah yang dimiliki mereka masih
belum sempurna, meskipun fitrah
mereka sempurna, tetapi batin mereka
masih dikotori oleh fanatisme dan
taklid:
Hal itulah yang
menutup diri mereka meraih kebenaran. Sifat-sifat
tersebut telah
mengunci pintu hati untuk mengerti dan menulikan telinga
mereka.
Namun, dengan kelembutan ( talaththuf ), saya akan mengajak mereka
pada kebenaran. Kelembutan ( talaththuf) yang dimaksud adalah ketiadaan
sifat fanatik dan kasar, tetapi bersahabat dan ber-mujddalah dengan
cara-
cara yang baik.
***
Terbukti dengan jelas
dalam naskah ini, bahwa al-Ghazali memiliki
pandangan yang sama dengan
Ibn Rusyd, yaitu bahwa potensi yang ada
pada masing-masing manusia
berbeda-beda. Maka, tidak ada alternatif
lain kecuali memberi mereka
sesuatu yang sesuai dengan potensi diri
yang mereka miliki.
Di samping itu, mereka yang dianggap oleh Ibn Rusyd sebagai jamaah
at-thartq al-burhdnt tidaklah berbeda dengan mereka yang oleh al-Ghazali
diklaim sebagai jamaah penegak al-mazvdziri al-qisth (timbangan
yangadil).
***
Al-Ghazali juga menyebutkan dalam kitab Mizan
al- Amal, bahwa
mazhab merupakan sebutan hujahen yang meliputi tiga
tingkatan: Pertama,
memiliki keangkuhan dan fanatisme pemikiran. Kedua,
gemar belajar dan
mendengarkan petunjuk. Ketiga, percaya bahwa nalar
pada dirinya telah
terbuka. Ketiga tingkatan mazhab di atas,
masing-masing memiliki mazhab
sendiri-sendiri.
Adapun
mazhab, menurut tingkatan pertama, adalah stereotipe para
orangtua dan
nenek moyang, mazhab kaum guru dan masyarakat ber-
kembang. Dan hal
tersebut berbeda-beda, sesuai dengan daerah dan sang
guru. Maka
barangsiapa dilahirkan di daerah yang mayoritas penduduk-
nya pengikut
setia Muktazilah, atau Asy'ariyyah, atau Syaf'awiyyah atau
Hanafiyyah,
pastilah sejak kecil telah tertanam kuat dalam diri mereka
fanatisme dan
pembelaan terhadap mazhabnya, serta mencela mazhab
lain. Selanjutnya ia
disebut pengikut mazhab Asy'ariyyah, atau Mu'tazilah,
atau Syaf'awiyyah,
maupun Hanafiyyah. Artinya, ia memiliki fanatisme
pada mazhab tersebut,
yang pada tingkatan berikutnya berkembang men-
jadi fanatisme suku,
etnis, dan golongan.
Mazhab kedua, mereka yang berbicara tentang
memberikan pe¬
tunjuk dan pengajaran. Yang demikian tidak hanya satu
macam, melainkan
beraneka ragam sesuai sang guru. Maka, masing-masing
guru akan ber-
pikir sesuai dengan pemahaman dirinya.
Jika
sang mustarsyid telah datang mengajarkan, bahwa bukanlah Dzat
Allah yang
berada di suatu tempat, dan Dia tidaklah berada di dalam
maupun di luar
alam, serta tidak terikat dan terpisah dengan alam, maka
tidak lama
kemudian akan mengingkari wujud Allah dan mendustakan
entitas-Nya. Maka,
akan lebih baik apabila Allah dinyatakan bersemayam
di atas 'arsy,
menerima ibadah para hamba-Nya dan memberikan ke-
gembiraan kepada
mereka berupa balasan ganjaran dan pahala. Dan jika
memungkinkan untuk
menyingkap the real truth, hendaknya ia melakukan
itu. Oleh karena itu,
dalam masalah ini, mazhab selalu berubah dan ber-
beda sesuai pemahaman.
Mazhab ketiga, yaitu yang diyakini oleh seseorang sebagai sebuah
rahasia antara dirinya dengan Allah, yang tidak ada yang mengetahui se-
lain Allah, dan tidak dibahas kecuali dengan teman sederajat dalam me-
mahami dan mencari pengetahuan seperti yang diketahui Allah.
Dalam hal ini, seorang mustarsyid tentulah memiliki kematangan
kognitif, tetapi dirinya belum dikuasai fanatisme ideologis yang
diwaris-
kan secara turun temurun. Dalam hatinya juga belum terwarnai
oleh se-
suatu yang tidak bisa lagi dihapus. Fanatisme semacam itu
ibarat kertas
yang tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan menyobek atau
membakar
kertas itu sendiri.
Orang seperti ini berwatak
buruk dan tipis harapan untuk dapat
diperbaiki. Semua yang diucapkan
kepadanya, jika berbeda dengan apa
yang pernah ia dengar, tidak dapat
melunakkan hatinya, bahkan sama
sekali rnenolaknya. Meskipun ia
mendengarkan dengan saksama, hingga
memperoleh pemahaman, namun ia masih
meragukan pemahamannya.
Bagaimana jika ia tidak mengerti sama sekali?
Satu-satunya jalan menghadapi orang semacam ini adalah diam dan
membiarkannya. Bukankah dia orang yang pertama binasa karena ke-
sesatannya?
***
Beginilah membengkokkan
penyifatan kelebihan seseorang yang
potensial untuk menyingkap
kebenaran, juga melencengkan celaan ter-
hadap seseorang yang
kontradiktif dengan sifat-sifatnya.
Dalam hal ini, al-Ghazali
hampir senada dengan Ibn Rusyd, bahwa
kebenaran hanya terletak pada
orang-orang tertentu, dan merekalah yang
dapat menyingkapnya. Selain
mereka, hanya sedikit orang yang diberi
kemampuan.
Kedua
orang ini barangkali tidak ada perbedaan, kecuali pada satu
bagian yang
tercakup dalam manhaj ini, seperti yang diisyaratkan Ibn Rusyd
dalam
pernyataannya terdahulu, "Masalah ini khusus bagi para ulama
yang
memiliki otoritas dan diberi kemampuan oleh Allah untuk menying¬
kap
hakikat kebenaran. Oleh karenanya, tidak musti ada dalam kitab, ke¬
cuali kitab yang disusun berdasarkan pembuktian. Kitab semacam itu perlu
dibaca secara berurutan, dan setelah memperoleh ilmu lain, pasti.banyak
orang yang dapat menalarnya sesuai dengan cara-cara pembuktian."
***
Hal itu mengindikasikan Ibn Rusyd telah berulang
kali menyatakan
bahwa dalam mengkaji filsafat ketuhanan, perlu
diintroduksi oleh kajian
beberapa ilmu lain atas thariq al-burhdn
(cara-cara pembuktian). Maksud
Ibn Rusyd tersebut seperti yang
diungkapkan para filosof yang ditentang,
yaitu pendapat-pendapat mereka
banyak disanggah olehnya dalam Tahafut
al-Faldsifah. Seperti
pernyataannya, "Apabila mereka mendapat sanggahan,
mayoritas
argumen-argumen yang dikemukakan bersifat persuasif ( istidraj ).
Hal
tersebut tampak dalam pemyataan mereka, "Sesungguhnya ilmu ke-
tuhanan
ini samar dan tidak jelas. Inilah ilmu tertinggi bagi pemahaman
nalar.
Dan dilema-dilema yang ada di sini tidak bisa ditemukan titik jawab-
nya, kecuali dengan bantuan matematika dan logika."
"Jika
dilema-dilema itu disampaikan kepada orang-orang yang se-
aliran dan
mengikuti kekufuran, pasti mereka tetap berbaik sangka dan
berkata,
'Tidak meragukan apabila ilmu yang mereka miliki, sebenarnya
dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Namun,
saya tidak
mengetahuinya, karena saya tidak menguasai matematika dan
logika'."
Kemudian al-Ghazali menyanggahnya dan berkata, "Adapun mate¬
matika, ia melihat dari sisi al-kamm al-munfashil (kualitas yang tidak
meng-
alami perubahan sebagaimana dilambangkan dengan bilangan-bilangan
asli ( integral numbers). Maka, yang demikian itu tidak memiliki
korelasi dengan
masalah ketuhanan."
Sedangkan tentang
manthiq (logika), al-Ghazali berkata, "Memang
benar apa yang mereka
katakan, bahwa logika dapat menghukumi dengan
benar. Tetapi logika bukan
hanya otoritas mereka. Pada dasarnya, dalam
seni berbicara kata, ia
disebut dialektika, kemudian diganti dengan manthiq
(logika). Kita
menyebutnya sebagi kitab al-jidal (seni berdebat) atau maddrik
nl-'uqCil
(kemampuan akal untuk mengetahui)."
Pertentangan dalam masalah ini
akan melunak, apabila kita melihat
persoalan manthiq, dianggap sebagai
bidayah (permulaan) masalah ketuhan¬
an, namun bukan permulaan yang
absolut. Maka, tidak mungkin orang
akan belajar dan memahami manthiq,
kecuali sudah menguasai banyak ilmu
dan mengasah otaknya, dengan cara
latihan-latihan atau lainnya.
Di titik inilah al-Ghazali bertemu dengan
Ibn Rusyd. Keduanya se-
pakat, bahwa tidak semua orang dapat menyingkap
masalah ketuhanan.
Tetapi, mereka berselisih tentang ilmu Allah SWT.
Apakah dengan Dzat-
Nya atau selain-Nya."
Atas dasar itulah,
kemudian al-Ghazali berinisiatif menyusun Tahafut
al-Falasifah, dengan
tujuan untuk menyerang para filosof dan menyanggah
pemikiran-pemikiran
mereka. Selanjutnya, giliran Ibn Rusyd yang angkat
bicara dan
menjelek-jelekkan, seperti termaktub dalam kutipan tadi.
Saya hampir tidak mengerti jalan pemikiran Ibn Rusyd dalam
meng-
countcr tentang ilmu Allah. Ilmu ini terdapat dalam kitab yang
tidak diakui
keabsahannya, dan hanya bertujuan untuk mengapresiasikan
ide, gagasan,
dan nalamya yang diklaim sebagai yang terbenar. Dalam hal
ini, sebenar-
nya ia tidak menciptakan sesuatu yang baru, dan tidak
mengangkat tema
yang tidak pemah dipersoalkan secara kontroversial,
serta tidak menyulut
api peperangan yang dapat mengeruhkan air kehidupan
yang jemih,Masa¬
lah semacam itu sudah ada sebelum al-Ghazali. Bahkan
sebelum Ibn Sina,
dan Ibn Rusyd. Mu'tazilah dan Ahlussunnah pemah
memperdebatkan
masalah seperti itu. Pendapat Mu'tazilah akhirnya banyak
diadopsi oleh
Ibn Sina, sebagaimana pendapat Ahlussunnah diadopsi oleh
al-Ghazali
untuk menyanggah Ibn Sina.
Sama seperti pendapat
Mu'tazilah tentang sifat-sifat Allah, apakah
itu merupakan buah pikiran
otentik mereka, atau diadopsi dari pemikiran
asing yang menyusup ke
tengah-tengah lingkungan mereka. Dan yang
pasti, saat itu tema tersebut
menjadi sentral perbincangan, baik yang pro
maupun yang kontra.
Bersamaan dengan itulah, bermunculan pula pe¬
mikiran-pemikiran yang
lain. Ada yang mengatakan, bahwa sifat merupa¬
kan pelengkap dzat. Ia
memiliki entitas terpisah. Masing-masing sifat me-
miliki wujud yang
menjadi komplemen bagi sifat yang lain, bahkan atas
entitas dzat.
Apabila hijab disingkap dari pandangan-pandangan kita, pasti
kita dapat
melihat sifat-sifat tersebut dengan kasat mata, sifat-sifat ter¬
sebut
azali dan abadi.
Ada juga yang berkata, sifat-sifat tersebut tidak
azali dan abadi. Ada
juga yang berkata, bahwa sifat-sifat tersebut
bukanlah dzat itu sendiri.
dan juga bukan selain dzat. Ada lagi yang
berkata, tidak ada hal lain di
sana kecuali dzat. Ada juga yang berkata,
tidak ada hal lain di sana kecuali
hal. Itulah yang disebut "alamiah dan
qadariah".
***
Hal semacam itu telah cukup dikenal di
seluruh wilayah Islam, se-
iring dengan semakin banyaknya diterbitkan
buku-buku dan menjamur-
nya kajian-kajian, sebelum era al-Ghazali.
Seperti, al-Imam Abu Bakr Mu¬
hammad ibn Thayyib, ibn al-Baqilani yang
vvafat tahun 403 H, yaitu
setengah abad sebelum lahirnya al-Ghazali.
Salah satu kitab yang cukup
populer saat itu adalah At-Tamhid, mengupas
masalah sifat-sifat Tuhan
secara global. Dalam buku ini dipaparkan arah
pandangan Ahlussunnah,
bahwa sifat-sifat tersebut merupakan pelengkap
bagi dzat.
Pendapat tersebut mendapat reaksi keras dari
Mu'tazilah. Selanjut-
nya, mereka mengeluarkan statemen membantah
pernyataan mereka
dalam judul "Bab kaldm tentang sifat-sifat Tuhan",
dalam pembahasan yang
cukup panjang, sebagai berikut:
"Jika
seseorang mempertanyakan mengapa Allah SWT., memiliki
sifat hidup (
hayah ), berilmu (' ilm ), berkuasa (qudrah), mendengar (samd ),
melihat
( bashar), berbicara (kaldm), dan berkehendak ( irddah )?
Katakan
padanya bahwa kita dikatakan hidup, berilmu, berkuasa,
hanya jika kita
benar-benar hidup, berilmu, berkuasa, dan berbicara, serta
berkehendak,
karena kita memiliki kehidupan, ilmu, kekuasaan, kata-kata,
pendengaran,
penglihatan, dan keinginan.
Seperti inilah faedah penisbatan sifat
hidup, berilmu, berkuasa dan
berkehendak kepada Allah SWT.. Hal itu
mengindikasikan, bahwa di
antara kita vang hidup tidak boleh menjadi
hidup, berilmu, berkuasa
dan berkehendak, jika tidak memiliki kehidupan,
ilmu, maupun
kekuasaan. Dan sifat-sifat tersebut tidak akan pernah ada,
kecuali pada
yang hidup, berilmu, dan berkuasa. Maka, sifat tersebut
menjadi sebab
('illah) ia menjadi demikian, sebagaimana keniscayaan
adanya perbuatan
dan keinginan bagi pelaku (fail) dan yang berkemauan
(murid). Jika sifat
tersebut tidak ada, ia pun tidak disebut pelaku atau
yang berkemauan.
Dengan demikian, merupakan keniscayaan apabila
Allah memiliki
sifat hayah, ‘dm, qudrah, irddah, kaldm, samd' maupun
bashar. Sebab, jika Dia
tidak memiliki sifat-sifat tersebut, mustahil ia
disebut sebagai dzat yang
hidup, berilmu, berkuasa, dan berkehendak,
karena hukum akli yang me-
niscayakan adanya 'illnh (sebab), mustahil
bisa tergapai tanpa adanya ‘illah,
lebih-lebih ada sesuatu yang
bertentangan. Karena yang demikian hanya
akan mengeluarkannya dari
lingkup 'illnh al-hukm (penyebab adanya hukum). 18
Al-Imam
al-Baqilani menyebut pasal-pasal lain, memaparkan di-
mensi
pandangan-pandangan lain untuk mengafirmasi masalah dalam
pasal ini,
yaitu komplementasi sifat-sifat Tuhan atas Dzat-Nya, persis
seperti
mazhab Ahlussunnah.
Tidak lama kemudian setelah membenarkan
pandangan mereka,
ia memaparkan pandangan pihak oposan dari kaum
Mu'tazilah. Ia berkata
dalam "Bab knlhm tentang nl-nliwnl sesuai dengan
mazhab Abu Hasyim."
Setelah dalam pasal ini al-Baqilani
mendiskusikan tema nl-nhwnl yaitu
salah satu dimensi dari interpretasi
komplementasi sifat terhadap dzat
Tuhan. Selanjutnya ia beralih kepada
masalah ilmu Tuhan, yaitu masalah
yang memicu konflik intensif pada Ibn
Rusyd dengan melontarkan sar-
kasme terhadap al-Ghazali, yang
ujung-ujungnya menuduhnya sebagai
seorang yang nakal dan bodoh, karena
telah menyulut api peperangan
dalam kitabnya. Maka al-Baqilani
berkomentar, "Mereka tidak ubahnya
menafikan ilmu."
Ia juga
berkata, "Dikatakan kepada Mu'tazilah, mengapa kalian
mengingkari bahwa
Allah SWT. berilmu yang menjadikan-Nya
Mahatahu?" Mereka menjawab,
"Sebab kalau Dia berilmu, tentulah Dia
(bukan dzat) yang baru, dan bukan
Tuhan yang memiliki kandungan hal;
tidak terkait dengan mn'lumm (objek
pengetahuan) secara terperinci, dan
tentunya ada sebagai keniscavaan
atau deduksi ( istidlal ), serta memiliki
kontrari yang menafikannya.
Karena setiap ilmu yang kita rasionalisasikan,
hanyalah milik seorang
yang berilmu (' nlim ) menurut bukti-bukti yang
logis. Sedangkan,
pengokohan ilmu pada selain yang kita sebutkan, adalah
pernyataan yang
tidak logis dan menyalahi kenyataan ( syahid) dan objek
pengetahuan (
ma'qul ). Hal semacam itu mutlak tidak benar." Katakan
kepada mereka,
"Mengapa kalian menganggap sebuah putusan yang
berbeda dengan bukti dan
realitas mustahil terjadi? Dan, bahwa bukti
dan realitas adalah dalil
atas apa yang kalian sifati?"
***
Dan dikatakan lagi
kepada mereka, mengapa kalian menyangkal
bahwa hujjah yang kalian
kemukakan mengandung absurditas, wujud
manusia tidak lain dari nuthfah
(air mani)? Dan burung dari telur? Dan
telur dari burung? Dan subjek
yang memperlakukan jism ? Karena hal itu
lebih terakumulasi dari apa
yang tidak ada dan terasionalisasikan dalam
bukti, bahkan terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
***
Kemudian dikatakan
kepada mereka, "Mengapa kalian menyangkal
hujjah yang kalian kemukakan,
bahwa pencipta semesta ini Mahatahu itu
tidak benar°" Karena dalam
realitas dan opini, seseorang atau apa saja
yang dikokohkan sebagai
'alim (berilmu), bukanlah apa-apa kecuali jism
yang baru, memiliki
kandungan sifat harmonis, dinamis, keniscayaan atau
deduksi. Ia juga
musti memiliki nurani dan kelembaban, serta menisca'ya-
kan Allah
bukanlah entitas yang mawjud, sebab sesuatu yang dapat dirasio-
nalisasikan tidak terlepas dari jism, atau substansi (jawhar), atau
aksiden
{'anil).
Jika demikian pastilah mereka pura-pura
tidak tahu dan meninggal-
kan tauhid.
***
Mereka
mengatakan, 'illah kualifikasi berilmu bukan seperti yang
kalian
deskripsikan, bukan pula batasannya, juga bukan makna keber-
ilmuan-Nya
sebagai jism yang memiliki nurani, kemampuan deduksi atau
keniscayaan.
Katakan kepada mereka, juga bukan seperti yang kalian deskripsi¬
kan. Makna keberilmuan-Nya, bukan mengindikasikan Dia sebagai dzat
yang temporal, sifat, absurditas keterkaitannya dengan objek pengetahu-
an, juga keniscayaan atau deduksi. Sebab yang demikian itu juga bisa
dicapai oleh yang tidak berilmu sekalipun. Gerak tidak terkait dengan
objek pengetahuan, terjadi melalui knsb (pencarian), dan ia tergolong
sifat
yang baru, yang tidak berilmu, bahkan tertutup jalan untuk meraih
ilmu.
Maka, boleh saja meng-itsbal ilmu berbeda dengan apa yang
kalian
sebutkan, sebagaimana hal tersebut boleh terjadi pada apa saja
dan yang
berilmu.
Kemudian dikatakan pada mereka, "Jika
kalian bertopang pada
realitas, benar apa yang mereka nyatakan, bahwa
Allah tergolong alim,
karena Dia berilmu. Hal ini tidaklah bertentangan,
sebab setiap 'alim di
antara kita pasti memiliki ilmu, dan setiap yang
memiliki ilmu, pasti orang
yang 'alim."
Tidak semua yang
temporal merupakan sifat non alim, dan hal dalam
hati, serta memiliki
absurditas yang berhubungan dengan objek penge-
tahuan.
Jika
kualifikasi ‘alim boleh diberikan kepada yang tidak berilmu,
meskipun
hal tersebut bertentangan dengan akal pikiran, maka boleh juga
meng-itsbdt ilmu bukan sebagai sifat non ‘alim, meskipun hal tersebut
ber¬
tentangan dengan pengetahuan dalam realitas.
Dan jika
mereka berkata, "Sifat-sifat ini menjadi syarat terbentuknya
ilmu, bukan
penyebab terbentuknya, dan juga bukan batasannya.
Katakan kepada
mereka, "Mengapa kalian mengatakan demikian?
Mereka pasti menemukan
jalan untuk mengoreksi.
Maka dikatakan kepada mereka, "Mengapa
kalian mengingkari semua
yang kita paparkan pada kalian, baik berupa
syarat sebagai alim, makna
pengkualifikasikannya dan sebab-sebabnya, dan
dengan dalih bahwa kita
tidak berpikir kecuali seperti itu.
Kemudian al-Baqilani berkata, "Di antara syubhat mereka yang
lain."
Jika mereka berkata, "Kalau benar Allah memiliki ilmu dan Dia
senantiasa
berilmu, wajiblah Dia sendiri menjadi qadim (eternal). Dan
kalau kedua-
duanya sama qadim, pastilah keduanya tak ada berbeda. Ilmu
menjadikan
Tuhan hidup, berkuasa, juga berilmu. Dan ilmu menjadi sifat
yang tidak
hidup, 19 tidak berilmu, tidak berkuasa, dan tidak berdiri
dengan sendiri-
nya, karena sifat-sifatnya menyerupai Tuhan. Jika hal
itu dianggap salah,
maka tidak benar juga proposisi yang menyatakan
Allah berilmu.
Dikatakan kepada mereka, "Yang pertama, mengapa
adanya suatu
sifat pada yang lain mengindikasikan dua hal sejenis?"
Dalam hal itu, kita
berbeda dengan kalian.
Kemudian
dikatakan kepada mereka, "Jika benar apa yang kalian
katakan, pasti
hitam dan putih merupakan dua hal sejenis, karena persama-
an sifat,
padahal keduanya berbeda bukan?" Pastilah mereka tidak
berkutik.
Katakan pada mereka, "Apabila apa yang kalian utarakan merupa-
kan suatu kepastian, berarti kalian tidak mengingkari apabila manusia
ada
karena ilmunya. Bukankah keduanya sama-sama merupakan sesuatu yang
temporal?"
Apabila mereka berkata, "Temporal dalam pandangan
kita bukanlah
temporal untuk substansinya (muhdits liafsihi). Tetapi
temporal, tidak untuk
substansinya, juga tidak untuk sebab-sebab yang
ada. Apa yang kalian per-
tanvakan tidak perlu dijawab."
Katakan kepada mereka, "Berarti kalian juga tidak mengingkari
bahwa
setiap yang qadhn (eternal) pasti memiliki sifat eternalitas. Baik
sifat maupun
yang disifati, keduanya sama-sama menjadi eternal, bukan
untuk substansi¬
nya juga bukan untuk sebab-sebab yang ada padanya.
Tidakkah keduanya
menjadi sama?"
Andai mereka berkata,
"Sesuatu pasti menjadi eternal (qadhn) bagi
substansinya, sebab
substansinva tidak mengetahui kecuali sebagai sesuatu
yang qadhn."
Katakan kepada mereka, "Dengan sendirinya katakan, bahwa hitam
dan putih dua hal yang tidak berbeda, dua warna, dua sifat bagi
substansi
keduanya, sebab keduanya tidak mengetahui kecuali seperti
itu."
"Katakanlah juga, bahwa salah satu di antara keduanya
menjadi
bagian dari yang lain, sebab substansinya tidak mengetahui
kecuali sebagai
satu kesatuan."
Jika mereka masih bersikukuh
dengan pendapatnya, katakan, "Me-
ngapa kalian mengingkari kepastian
persamaan keduanya, jika masing-
masing sama-sama lebur dalani
sifat-sifat ini untuk substansi keduanya? '
Mereka pasti tidak akan bisa
berkutik.
Kalau mereka masih ngotot dan berkata, bahwa sifat-sifat
ini hariya
berlaku pada hitam dan putih, bukan bagi substansi keduanya,
juga bukan
bagi sebab-sebab yang menimpanya, serta ketidaktahuan
substansi ter-
sebut kecuali yang demikian. Maka katakan kepada mereka,
"Apakah
kalian juga mengingkari persamaan wujud yang qadim berikut
ilmu-Nya,
sebagai dua hal yang sama-sama eternal, sebab yang diketahui
substansi
keduanya memang demikian?"
* **
Selanjutnya, al-Baqilani berkata, "Di antara subhat mereka yang
lain;
jika mereka mengatakan, "Sebagai dalil, bahwa
Allah tidak boleh
menjadi Dzat yang Mahatahu karena ilmu. Sebab apabila
Dia berilmu, pasti
Dia bergantung pada cabang-cabang ilmu sebagaimana
ketergantungan
kita. Jika demikian, berarti ilmu Allah sama dengan ilmu
yang kita miliki.
Sebab, dua ilmu akan menjadi sejenis, bila memiliki
ketergantungan yang
sama pada satu objek ilmu dalam satu dimensi. Ketika
kita mengatakan,
bahwa ilmu Allah tidak sama dengan ilmu kita, pada saat
yang bersamaan
kita juga meyakini bahwa Allah tidaklah berilmu."
Katakan kepada mereka, "Mengapa kalian menyatakan bahwa ke¬
tergantungan pada satu objek dalam satu dimensi membuat dua ilmu se¬
jenis? Apakah pemyataan kalian merupakan deduksi dari nalar dan pe-
mikiran serta eksperimen? Atau, hanya bersifat impulsif estimatif?"
Jika mereka menjawab sebagai pemikiran impulsif, bantahlah
mereka. Katakan bahwa teori persamaan tidak demikian.
Jika
mereka menjawab sebagai deduksi dari nalar, tanyakanlah,
"Nalar yang
bagaimana?"
Apabila mereka menjawab, "Yaitu dalam perspektif ilmu
manusia.
Jika dua ilmu yang ada pada diri kita memiliki ketergantungan
yang sama
pada satu objek dalam satu dimensi, berarti dua ilmu tersebut
sejenis."
Katakan kepada mereka, "Apa dalil yang memperkuat premis
ini?
Apakah kalian tidak mengingkari persamaan keduanya untuk
sebab-sebab
ini, melainkan untuk substansi keduanya semata?"
Padahal ia sudah mengetahui, bahwa suatu sifat tidak bolyh di-
sandangkan kepada salah satu dari keduanya, kecuali juga boleh
disandang-
kan kepada yang lain. Dan, suatu sifat tidak diwajibkan bagi
salah satu
dari keduanya, kecuali juga diwajibkan bagi yang lain.
Teori mempersamakan ilmu Dzat yang eternal dengan ilmu
makhluk yang temporal tidak dapat diterima.
Dikatakan kepada
mereka, "Jika sisi persamaan ilmu ditinjau dari
perspektif
ketergantungannya pada satu hal dalam satu dimensi, berarti
kehendak (
iradah) dan kemampuan ( qudrah) merupakan dua sifat sejenis.
Karena
keduanya sama-sama memiliki ketergantungan pada satu hal dan
dalam satu
dimensi. Apabila pemyataan kita ini dianggap tidak benar,
otomatis
premis yang kalian percayai juga tidak dapat diterima.
Selanjutnya
juga dikatakan kepada mereka, "Hujjnh yang kalian
kemukakan memastikan,
bahwa jika Allah SWT. mengetahui diri-Nya dan
dengan sendiri-Nya. Hal
ini berarti substansi Allah sama dengan substansi
ilmu kita, karena
substansi tersebut terkait dengan ilmu, sebagaimana
keterkaitan ilmu
kita dengan substansi-Nya. Ketika premis tersebut tidak
dianggap benar,
berarti Allah tidak mengetahui dengan sendirinya.
Jika mereka
berkata, "Kita tidak menyatakan bahwa Allah menge¬
tahui banyak hal
dengan sendiri-Nya, dan objek ilmu terkait dengan sub¬
stansi-Nya. Kita
hanya ingin menyatakan, bahwa Allah mengetahui semua
itu. Hal ini tidak
berarti berhubungan dengan substansi-Nya. Untuk meng-
ungkapkan hal itu,
kita mempergunakan statemen, bahwa Allah menge¬
tahui dengan
sendiri-Nya."
Katakanlah kepada mereka, "Begitu juga kita tidak
ingin mengata-
kan bahwa Allah SWT. mengetahui banyak hal dengan
substansi ilmu-
Nya. Ilmu tersebut menjadi instrumen bagi-Nya, dan Dia
terkait dengan
objek ilmu sebagaimana keterkaitan tali-temali, atau
antara satu jasad
dengan jasad yang lain. Kita hanya ingin mengungkapkan
dengan per-
nyataan Allah SWT. untuk mengetahui banyak hal dengan
substansi ilmu-
Nya, bahwa Allah SWT. mengetahui. Dan, hal tersebut
tidak berarti ber¬
hubungan dengan ilmu. Untuk mendeskripsikannya, kita
memperguna¬
kan statemen, bahwa Allah mengetahui dengan substansi
ilmu-Nya.
"Begitu juga dengan semua yang kita katakan, bahwa Allah
tersifati
oleh semua yang menyifati substansi-Nya. Maksud kita, Allah
tersifati
oleh sifat-sifat tersebut, bukan karena 'illah (kausalitas).
Maka, apa yang
kalian bicarakan bukan sebuah keniscayaan."
***
Kemudian dikatakan kepada mereka, "Jika maksud
dari pemyataan
bahwa Allah SWT. mengetahui dengan sendirinya, bahwa Dia
mengetahui
yang tidak berhubungan dengan substansi-Nya, pasti sesuatu
yang tem¬
poral menjadi temporal karena substansinya. Juga sesuatu
menjadi sesuatu
karena substansinya. Karena, yang temporal tidaklah
menjadi temporal
karena kausalitas, sebagaimana sesuatu juga tidak
menjadi sesuatu
karenanya.
Begitu pula kalian menjadikan
sifat yang tidak mengandung kau¬
salitas milik substansi yang tersifati
olehnya. Dan ini menyangkal per-
nyataan mereka tentang sifat-sifat yang
tidak menjadi milik substansi
maupun kausalitas.
Jika mereka
berkata, bahwa Allah SWT. mengetahui banyak hal
dengan sendirinya, hal
tersebut tidaklah musti berarti, bahwa substansi
Allah sama dengan
substansi ilmu kita. Karena ketergantungan substansi
Allah pada objek
ilmu adalah ketergantungan Dzat Yang Mahatahu.
Sedangkan ketergantungan
ilmu pada substansinya adalah sebatas
ketergantungan ilmu dengan ragam
cabang-cabangnya sendiri-sendiri.
Katakanlah, "Ini pertanda
keragu-raguan dan campur aduk ( takhlith )."
Hal itu berarti,
bahwa pemyataan Mahatahu banyak hal dengan
ilmu-Nya, menurut pandangan
kita, juga kalian. Jadi, Allah mengetahui
banyak hal dengan sendiri-Nya.
Pernyataan Mahatahu dengan ilmu-Nya tidak mengandung de-
ferensi atau bertambah. Maka pernyataan tersebut, tidak berbeda dengan
pernyataan Mahatahu dengan sendiri-Nya. Hal itu, jika substansi Allah
dan kausalitas yang tidak disebut sebagai substansi-Nya, terdiri dari
ilmu
atau keadaan yang sama dan sejenis. Karena kedua ungkapan tersebut
memiliki pengertian bahwa Allah Mahatahu dalam bingkai dan batasan
yang sama. Maka, yang tersifati oleh sifat sejenis ini pasti merupakan
dua
hal sejenis.
Pernyataan kalian selanjutnya,
ketergantungan substansi Allah
sebagai objek ilmu adalah ketergantungan
Dzat Yang Mahatahu. Sedang¬
kan ketergantungan ilmu pada substansinya
sebatas ketergantungan ilmu
dengan ragam cabang-cabangnya. Hal tersebut
mengindikasikan campur
aduk dan kesimpangsiuran, bahwa yang Mahatahu
mengetahui objek.ilmu,
terkadang dengan sendirinya, tetapi terkadang
juga dengan makna yang
lain.
Jika hal tersebut tidak
boleh, maka apa yang kalian ungkapkan
pun tidak menghasilkan pengertian
yang rasional.
Mereka tidak menjawab.
***
Selanjutnya, al-Baqilani berkata, "Di antara subhat mereka yang
lain,
jika mereka berkata, "Sebagai bukti bahwa Allah SWT. tidaklah
berilmu,
yaitu apabila Dia berilmu, pasti tidak menutup kemungkinan bagi
ilmu
tersebut untuk menjadi padanan Allah di dalam eternalitas-Nya, atau
menjadi kontrari bagi-Nya.
Jika ilmu tersebut menjadi
padanan-Nya, pasti ia juga akan menjadi
Tuhan yang Mahakuasa dan
Mahatahu, sama seperti Allah. Dan, yang ber-
pendapat demikian tergolong
kafir.
Tetapi jika menjadi kontrari bagi-Nya, berarti Allah bukan
Tuhan,
sebab bersama-Nya ada hal lain yang juga tergolong eternal (
qadim ). Hal
tersebut tentu tidak benar.
Katakan kepada
mereka, "Mengapa musti kalian katakan bahwa
ilmu Allah menjadi padanan
atau kontrari bagi-Nya? Tidakkah kalian
melihatnya sebagai sesuatu yang
absurd. Apabila keduanya harus diper-
samakan atau dicari perbedaannya,
sebagaimana absurditas pernyataan
bahwa Allah sama atau berbeda dengan
semua yang ada?
Sama seperti apabila pernyataan tersebut
diungkapkan pada ayat
dalam surat, bait dalam kasidah, kata dalam
kalimat, serta satu dalam se-
puluh, dengan pertimbangan bahwa salah
satu dari yang tersebut mustahil
menjadi yang lainnya? Atas pertimbangan
apa kalian menyatakan demi¬
kian?
Kemudian dikatakan
kepada mereka, Jika dengan pernyataan ter¬
sebut kalian menginginkan
untuk mendeskripsikan, bahwa ilmu Allah SWT.
berbeda dengan-Nya. Dan
ilmu tersebut merupakan genus, sedangkan
Allah merupakan genus yang
tidak termasukgenus-nya, sebagaimana yang
terjadi pada hitam dan putih.
Hal itu mustahil, karena adanya dalil yang menunjukkan, bahwa
ilmu Allah SWT. bukanlah hal lain. Ia tidak boleh dipisahkan dari-Nya
dengan masa, tempat, dan wujud maupun ketiadaan.
Dengan
demikian jelas sudah, pengertian dua hal yang berbeda,
dan hakikat
penyifatan keduanya dengan itu, berarti ketidakbolehan
keduanya
dipisahkan oleh salah satu dari tiga kategori tersebut.
***
Ada dalil yang menunjukkan, bahwa Allah SWT. berikut ilmu-Nya
bukanlah dua genus, juga bukan dua hal yang berbeda maupun sama.
Apabila kalian cukup merasa puas dengan deferensi antara Allah
dan ilmu-Nya—bahwa ia tidak menduduki posisi-Nya, mewakili-Nya,
memiliki sifat yang dimiliki oleh-Nya, dan juga tidak boleh menyandang
sifat yang dimiliki oleh-Nya—pasti kalian akan terbebas dari masalah
subhat.
Hal tersebut benar menurut makna, meskipun ungkapan
semacam
itu terlarang ( mamniV ), tidak diperbolehkan baik secara
mufakat, pen-
dengaran, maupun dalil yang meniscayakannya. 20
***
Beginilah, kaum berpolemik tentang
sifat-sifat Allah secara umum,
khususnya sifat-sifat ilmu. Kelompok
Ahlussunnah mendebat Muktazilah.
Sebaliknya Muktazilah tidak kalah
sengit menyerang Ahlussunnah. Perang
pemikiran mereka menjadi
letupan-letupan yang berbentuk oral discus¬
sion (munadhardh
syafahiyyah) di banyak halaqah, juga publikasi buku-buku
yang tersebar
meluas. Orang yang memiliki motivasi tinggi untuk me-
ngetahui hakikat
persoalan yang sebenarnya, tidak akan segan-segan me-
nyimak
kajian-kajian semacam ini, maupun membaca buku-buku yang
telah banyak
dipublikasikan.
Dengan demikian, jadilah pendapat-pendapat yang
ditelorkan
Ahlussunnah maupun Muktazilah dalam mencema masalah-masalah
ini
menurut cara pandang ( review ) masing-masing, sebagai khazanah
kekaya-
an ilmu pengetahuan yang senantiasa dieksplorasi untuk dibahas,
dikaji
dan dipelajari.
Sebagai contoh al-Baqilani. Ia telah
mempublikasikan bukunya bagi
orang-orang yang suka mempelajari
masalah-masalah ini.
Al-Baqilani bukanlah orang pertama dalam hal
ini. Ada juga imam
al Haramayn al-Juwayni. Ia juga mengangkat
masalah-masalah semacam
ini dan menganalisis lewat ungkapan-ungkapan (
uslitb ) yang bisa di-
kategorikan lebih mendetail, dan lebih luas dari
ini. Kitab al-Irsydd adalah
salah satu buku al Juwayni yang mencerna
masalah-masalah semacam
ini.
Al-Ghazali juga demikian. Ia
mengangkat tema masalah-masalah
seperti ini, dalam mengungkap
pandangan-pandangan para filosof yang
dianggapnya tidak benar. Dengan
tanpa pretensi mereka membeberkan
rahasia yang semustinya tersimpan
rapi, maupun menyebarkan persoalan
yang seharusnya senantiasa dijaga.
Apa yang dilakukan al-Ghazali tidaklah
lebih banyak dari apa yang telah
dilakukan al-Baqilani maupun al-Juwayni
dalam menyerang
pendapat-pendapat Muktazilah.
Kami sendiri tidak bermaksud
mempopulerkan perang pemikiran
seputar tema kesucian dan hal-hal yang
jauh bisa ditangkap kemampuan
nalar seorang anak manusia. Sama sekali
tidak! Kami termasuk orang yang
mengimani bahwa membahas (baca:
berpikir) hakikat Dzat Allah maupun
hakikat sifat-sifat yang dimiliki
oleh-Nya merupakan sikap yang melarn-
paui batas-batas tuntunan
Rasulullah saw. Beliau bersabda, Tafnkkaru ft
khnlqi ‘Llah, wa la
tafakkaru fidzati-hifatahliku (Berpikirlah kalian tentang makhluk
Allalr, dan jangan berpikir tentang dzat-Nya, niscaya kalian akan
binasa).
Di samping itu, membahas hal-hal yang demikian sama
artinya mem-
buang-buang perhatian, untuk meraih pengetahuan secara
mendetail yang
sebenamya tidak ada jalan ke arah sana.
Semoga Ibn Rusyd menyadari, bahwa untuk mencapai kebenaran
logika dalam mencerna masalah-masalah seperti ini merupakan sesuatu
yang sulit dicapai. Dalam masalah keenam dari kitab Tahdfut at-Tahdfut,
Ibn
Rusyd berkata, "Sesungguhnya pernyataan-pernyataan yuridis (
al-aqawil
al- burhaniyyat) —maksud saya dalam ilmu ketuhanan—sangat
jarang di-
dapat. Ia laksana pernyataan yang sederajat dengan emas murni
di antara
barang tambang yang lain. Atau permata asli di antara batu
mulia yang
lain."
Sungguh kami sangat kagum pada pernyataan
yang diriwayatkan
oleh al Jalal ad-Duwani dalam memberikan syarah
terhadap a l-'Aqa'id al-
‘Adladiyyat ‘an Ba’dli al-Ashfiyd': 21
"Menurutku, ada atau tidak adanya tarn-
bahan pada
sifat, dan padanan-padanannya, merupakan persoalan yang
tidak dapat
diketahui secara mendetail kecuali dengan kasyf, yaitu dengan
pemberitahuan langsung dari Allah, baik berupa wahyu maupun ilham.
Dan barangsiapa menyandarkan persoalan tersebut kepada selain cara
kasyf, pastilah yang terlihat hanydah kemampuan nalar akan mengalahkan
sendi-sendi keimanan dirinya."
***
Dan
untuk merujuk kepada jalan yang kami tempuh, maka kami
katakan, "Kami
tidak bermaksud mempopulerkan perang pemikiran ini.
Kami hanya ingin
mendeskripsikan kejadian-kejadian historis. Maka
lingkungan Islam yang
berlaku sebelum al-Ghazali dilahirkan maupun
saat ia hidup, benar-benar
telah menjadi medan peperangan bagi arus
pemikiran yang mengalir deras
seputar persoalan-persoalan seperti yang
kemudian disampaikan al-Ghazali
dalam kitab Tahafut al- Falasifat. Dalam
kitab ini ia mampu menebarkan
debu dan mengepulkan asap, sehingga
kajian semacam itu menjadi bagian
dari peradaban umum yang disum-
bangkan bagi generasi-generasi
berikutnya. Kita dapat menyaksikan hal
itu dalam kitab al-Tamhtd, karya
al-Baqilani seperti yang sudah kami papar-
kan sebagian, yang
menggambarkan perang pemikiran antara Asy'ariyyah
dan Muktazilah.
***
Para filosof pun tidak ketinggalan, mereka
juga ikut turun dalam
kecamuk peperangan ini, seperti Ibn Sina. Ia
memaparkan pendapat-pen-
dapatnya seputar sifat-sifat universal,
khususnya tentang ilmu, dengan
analisis yang lebih dalam dan lebih subur
ditimbang analisis Imam al-
Baqilani.
Pengakuan ini agar
tidak hanya terhenti pada takaran retorika,
atau agar kami dapat pula
menyajikan bukti-bukti empirik, maka dalam
kitab ini kami sajikan
sebagian dari karya Ibn Sina yang juga menyulut
api peperangan. Perlu
diketahui, Ibn Sina adalah seorang tokoh terkemuka
yang wafat dua puluh
tahun sebelum kelahiran al- Ghazali.
Sengaja kami tidak menukil
sebagian karya Ibn Sina dari kitab a l-
Isyarat wa at-Tanbihat, karena
kitab tersebut disinyalir hanya bisa dinikmati
37
oleh kalangan tertentu saja. Oleh karena itu, maka
kami memilih sebagian
dari kitab Asy-Syifa yang menurut ensiklopedi
Sinais terbesar dianggap
sebagai jamuan ilmiah Ibn Sina yang dapat
dihadiri setiap oran g/ seperti
diungkapkan pengarangnya sendiri dalam
mukadimah kitab tersebut.
Khusus berkaitan dengan tema ilmu Allah
dan diri serta dzat-Nya,
ia berkata:
"Pasal tentang Allah
merupakan kesempurnaan dan kebaikan. Dia
bermanfaat bagi semua
sesudah-Nya. Dia benar. Dia akal semata, dan
dapat merasionalkan segala
sesuatu. Bagaimana hal itu, bagaimana Dia
mengetahui dzat-Nya, bagaimana
mengetahui universahtas ( kulliyyat ),
dan bagaimana mengetahui
partikularitas-partikularitas (juz iyydt). Dari
sisi manapun tidak boleh
dikatakan, Dia mengetahuinya .
Maka, wajib al-wujud adalah
kesempurnaan wujud. Sebab Dia bukan-
lah sesuatu dari wujud-Nya, dan
kesempurnaan wujud-Nya tidaklah sama
sekali mengindikasikan kekurangan
sesuatu apa pun dari-Nya.
Tidak sedikit pun dari genus wujud-Nya
yang keluar dari wujud-
Nya dan ada pada wujud yang lain, sebagaimana
keluar dari selainnya
seperti manusia. Sebab ada banyak kekurangan dari
kesempurnaan wujud
seseorang.
Begitu pula kemanusiaannya ada
pada selain dirinya.
Namun, wajib al-wujud berada di atas semua
kesempurnaan. Karena
Dia hanya memiliki wujud yang hanya dimiliki oleh
diri-Nya sendiri. Bah-
kan, jika dibanding segala wujud, wujud Allah
masih melebihi semua wujud
itu.
***
Wajib
al-wujud dengan dzat-Nya adalah kebaikan penuh.
Kebaikan secara
global berarti yang diinginkan segala sesuatu.
Dan, semua yang
diinginkan segala sesuatu berarti itulah wujud,
atau kesempurnaan wujud.
Sedangkan ketiadaan, dari sisi ia tiada, bukanlah sesuatu yang di¬
inginkan, bahkan dari sisi yang diikuti wujud, atau kesempurnaan bagi
wujud.
Maka, sesuatu yang diinginkan adalah hakikat wujud.
Dan, wujud itu adalah kebaikan dan kesempurnaan penuh.
38
Maka, kebaikan secara global
berarti apa yang disukai segala sesuatu
dalam batasannya, dan wujud yang
sempurna.
Sedangkan keburukan tidaklah memiliki dzat. Akan tetapi
ia me-
rupakan ketiadaan substansi (jawhar), atau ketiadaan shalah
(kelayakan)
bagi keadaan substansi.
Maka wujud adalah sifat
yang baik.
Dan, kesempurnaan wuiud adalah sifat yang baik bagi
wujud ( khay-
rii/i/dt al-wujud).
Wujud yang tidak
terkontaminasi ketiadaan—tidak ketiadaan
substansi, dan tidak ketiadaan
sesuatu bagi substansi, tetapi ia benar-benar
abadi—maka ia adalah
kebaikan penuh.
Sedangkan mumkirt al-wujud dengan dzatnya,
bukanlah kebaikan
segalanya, karena dibanding dzatnya, dzat mumkin
al-wujud tidak menis-
cayakan baginya wujud dengan dzatnya. Maka dzatnya
itu mengandung
kemungkinan ketiadaan.
Sesuatu yang
mengandung ketiadaan dengan sisi apa pun, maka
bagian-bagiannya tidak
bisa terlepas dari keburukan dan kekurangan.
Dengan demikian, berarti
kebaikan penuh itu hanya milik ivdjib al-wujud
saja.
Terkadang juga disebut kebaikan, karena bermanfaat bagi kesem¬
purnaan sesuatu dan kebaikannya.
Dengan demikian jelas
sudah, bahwa dzat wdjib al-wujud pasti ber¬
manfaat bagi setiap wujud,
dan bagi kesempurnaan wujud. Dari sisi ini ia
juga dikategorikan
kebaikan yang tidak terkontaminasi kekurangan dan
keburukan.
Setiap wdjib al-wujud adalah benar ( haqq ). Karena hakikat setiap
se¬
suatu merupakan karakteristik wujudnya yang menetapkan adanya.
Maka tidak ada yang lebih haqq dari wdjib al- zuujud.
❖ ❖❖
Meyakini wujudnya juga dinvatakan sebagai
kebenaran yang haqq.
Maka tidak ada yang lebih haqq dari hakikat
ini, dari apa yang men-
jadi keyakinan wujud-Nya yang benar, bersama
kebenaran-Nya yang abadi,
serta bersama keabadian-Nva bagi dzat-Nya,
bukan bagi lainnya.
39
Sedangkan sesuatu yang lain, sesungguhnya
mahiyyah (esensi)nya—
sebagaimana engkau ketahui—tidaklah memiliki
wujud. Tetapi semua itu
berada dalam dirinya. Dan pemutusan idlafat
(penyandaran) kepada wajib
al-wujUd membuatnya mengandung ketiadaan.
Oleh karena itu, setiap yang berada dalam dirinya adalah bathil
(tidak
benar).
Dengan menganalogikan "wajah" yang
datangberikutnya, kebenar-
an dapat diperoleh.
Oleh sebab
itu, maka segala sesuatu akan binasa, kecuali 'wajah'-Nya.
'Wajah
' Allah itulah yang lebih berhak menjadi sebuah haqq.
***
Wajib al-wujud adalah akal sepenuhnya, karena Dia adalah
dzat yang
terpisah dari setiap materi.
Saya telah
mengetahui, bahwa kausalitas dalam tiadanya berpikir
akan sesuatu adalah
materi dan yang berhubungan dengannya, bukan
wujudnya.
Sedangkan al-wujud al-shuwari (wujud yang terlukiskan) adalah al-
wujud al-'aqli (wujud akal), yaitu wujud yangjika menetap dalam sesuatu,
maka sesuatu itu dengannya bisa berakal.
Dan, yang mungkin
bisa menerimanya adalah akal potensialitas.
Dan, yang menerima
setelah potensialitas, adalah akal realitas secara
paripuma ( istikmal
).
Dan dia yang baginya dzatnya adalah akal dengan dzatnya.
***
Dia juga sesuatu yang dapat dipikirkan (ma'qul)
sepenuhnya. Karena
yang dapat mencegah sesuatu agar dapat dipikirkan
adalah materi dan
yang berhubungan dengannya, dan ia juga mencegahnya
untuk menjadi
akal.
Hal ini sudah dijelaskan kepada anda,
bahwa yang terlepas dari
materi maupun yang berhubungan dengannya adalah
ma’qul bagi dzat-
Nya.
Karena Dia adalah akal dengan
dzat-Nya, dan Dia juga dapat di¬
pikirkan dengan dzat-Nya, maka Dia
adalah pemikiran dzat-Nya.
40
Dengan
demikian, berarti dzat-Nya itu adalah 'aql (pengetahuan),
'aqil (yang
mengetahui), juga ma'qul (objek pengetahuan).
Hal itu karena, Dia
sebagai identitas mumi ( mujarradat ), maka Dia
dikategorikan akal.
Karena diarggap bagi-Nya identitas yang disendiri-
kan bagi dzat-Nya,
maka ia dikategorikan objek pengetahuan bagi dzat-
Nya. Dan, karena
dianggap dzat-Nya memiliki identitas absolut, maka Dia
dikategorikan
yang mengetahui dzat-Nya.
Objek pengetahuan adalah yang
identitasnya tersendirikan bagi
sesuatu.
Yang mengetahui
adalah yang memiliki identitas tersendiri bagi
sesuatu. Dan di antara
syarat sesuatu itu adalah Dia atau lain-Nva, atau
bahkan sesuatu yang
mutlak. Sesuatu yang mutlak lebih umum dari ke-
duanya.
Maka
yang wajib di sini, dengan anggapan memiliki identitas yang
terpisahkan
bagi sesuatu, maka Dia dikategorikan yang mengetahui. Dan,
dengan asumsi
identitas-Nya terpisahkan bagi sesuatu, Dia dikategorikan
objek
pengetahuan. Sesuatu di sini adalah dzat-Nya.
Maka Dia adalah yang
mengetahui, karena memiliki identitas ter¬
pisahkan dari sesuatu yang
merupakan dzatnya. Dan dikategorikan objek
pengetahuan karena
identitas-Nya terpisahkan dari sesuatu, dan sesuatu
itu adalah dzat-Nya.
***
Setiap orang yang mau sedikit memeras otaknya
pasti akan tahu,
bahwa setiap yang mengetahui musti membutuhkan objek
pengetahuan.
Kebutuhan semacam ini tidak mengandung pengertian,
bahwa se¬
suatu itu adalah yang lain atau Dia. Sesuatu yang bergerak
membutuh¬
kan penggerak, maka kebutuhan semacam ini tidak meniscayakan
se¬
suatu yang lain atau dia.
***
Tetapi yang
jelas, mustahii apabila dikatakan sesuatu yang bergerak
adalah
penggeraknya. Karena tidak terlarang menggambarkan bahwa
dalam banyak
sesuatu ada sesuatu yang digerakkan oleh dzatnya, sampai
ditemukan
adanya bukti yang melarang berpikir demikian.
41
Penggambaran penggerak dan sesuatu yang bergerak tidak
me-
niscayakan demikian. Apabila sesuatu yang bergerak meniscayakan ada-
nya penggerak secara absolut, tanpa adanya syarat bahwa penggerak itu
adalah yang lain atau dia.
Penggerak pun meniscayakan adanya
sesuatu yang digerakkan
olehnya dengan tanpa syarat bahwa sesuatu yang
bergerak tersebut ada¬
lah dia atau yang lain.
***
Demikian juga sesuatu yang ditambahkan (mudlafah) diketahui dua-
lismenya bagi sebuah perkara, bukan karena penisbatan dan idlafah yang
semustinya dalam otak. Kita mengetahui secara pasti, bahwa kita memiliki
kekuatan untuk mengetahui sesuatu.
Apakah kekuatan yang kita
pergunakan untuk mengetahui kekuatan
tersebut adalah kekuatan itu
sendiri, sehingga dengan demikian kekuatan
tersebut mengetahui dzatnya
sendiri?
Ataukah kekuatan itu mengetahui kekuatan lain, sehingga
kita me¬
miliki dua kekuatan. Kekuatan yang satu untuk mengetahui
sesuatu, sedang-
kan lainnya untuk mengetahui kekuatan pertama.
Pembicaraan ini akan berlangsung anarkhis dan tiada henti. Maka,
dalam diri kita ada kekuatan yang mengetahui sesuatu tanpa henti dengan
sebenar-benarny a.
Sudah tentu terjadinya sesuatu itu
rasional, dan tidak ada sesuatu
yang lain yang meniscayakan ia menjadi
rasional.
***
Dengan demikian jelas sudah, bahwa yang
mengetahui tidak musti
menjadi yang mengetahui sesuatu yang lain. Tetapi
setiap yang ada pada-
nya identitas absolut, berarti ia yang mengetahui.
Setiap identitas absolut, yang ada padanya atau selainnya, berarti
ia objek pengetahuan. Sebab identitas ini menjadi yang mengetahui bagi
dzatnya, dan bagi dzatnya pula objek pengetahuan bagi setiap identitas
yang terpisahkan, baik yang berbeda dengannya atau tidak.
***
42
Saya menjadi
semakin mengerti, bahwa posisi-Nya sebagai yang
mengetahui dan objek
pengetahuan tidak musti menjadi dua dalam dzat,
juga tidak menjadi dua
dalam sudut pandang ( i'tibar ). Ia tidak menghasil-
kan dua hal,
kecuali asumsi yang menyatakan bahwa identitas tersendiri
bagi diri-Nya,
dan Dia adalah identitas Dzat Absolut .
Di sini terjadi
pengedepanan ( taqdhn ) dan pengakhiran ( ta'khir) di
dalam sistematika
makna. Dan maksud yang hendak dicapai adalah sesuatu
yang satu tanpa
bagian.
Yang jelas, bahwa keberadaan-Nya sebagai yang mengetahui
{'aqil)
dan objek pengetahuan ( ma'qiil ) sama sekali tidak meniscayakan
pluralitas.
***
Wajib al-ioujud tidak boleh mengetahui
sesuatu dari sesuatu. Jika
tidak, maka dzat-Nya bisa berlawanan dengan
apa yang dipikirkan, sehingga
Dia menjadi kontrari dzat terhadap
sesuatu. Atau, justru apa yang dipikir¬
kan menentang dzat untuk
berpikir. Maka, dari sisi manapun Dia tidak
akan menjadi ludjib
al-wujud. Dan itu mustahil. Atau, ia tetap akan menjadi
wajib al-wujud,
tetapi tidak memiliki keadaan kalau tidak karena unsur
ekstemal. Atau,
ia memiliki keadaan, tetapi tidak lazim bagi dzatnya, bah-
kan selain
dzatnya. Dengan demikian berarti, selain dzatnya mempunyai
pengaruh
baginya, sementara kaidah-kaidah lama ( al-ushul as-sdlifah) me-
nyalahkan hal seperti itu.
***
Karena Dia
menjadi sumber bermulanya segala sesuatu, maka dari
dzat-Nya Dia
berpikir apa yang menjadi sumber awal bagi-Nya.
Dia menjadi sumber
bagi semua mawujud tanpa terkecuali.
Pertama-tama bagi mawujud
makhluk yang rusak ( al-mawjuddt al-
kd'inah al-fasidah), dan seterusnya
secara anarkhis.
***
Dari sisi lain Dia tidak boleh
menjadi yang mengetahui temporal
bagi sesuatu yang berubah. Akan tetapi
di sisi yang lain Dia juga tidak boleh
berpikir temporal, bahwa
al-mutaghayijirdh (sesoatu yang berubah) itu ada,
bukan tiada. Dan
terkadang berpikir temporal, bahwa al-mutaghayyirdt
itu tiada, bukan
ada. •
43
Maka kedua hal tersebut
merupakan gambaran pemikiran sendiri-
sendiri. Salah satunya tidak
berhubungan dengan yang lain.
Dengan demikian berarti dzat wdjib
al-wujud berubah-ubah.
Kemudian tentang al-fdsidat (yang rusak).
Apabila Anda hubungkan dengan essensi absolut, atau apa saja yang
mengikutinya dan tidak dapat ditentukan, pasti Anda tidak akan ber-
pikir kalau ia rusak.
Dan jika Anda telah mengetahui
hubungannya dengan materi,
aksiden materi, waktu, maupun penentuan
(perwujudan), pasti semua itu
bukan sesuatu yang dapat
dirasionalisasikan, melainkan diindra ( mahsusdt)
dan dikhayalkan (
mutakhayyaldt).
***
Di dalam kitab yang lain
sudah kita jelaskan bahwa:
■ Setiap shurah (esensi suatu benda
yang menyatu dengan meteri
pertama) bersifat indrawi.
-
Setiap shurah bersifat imajiner.
Ia bisa diketahui spesifikasinya
sebagai sesuatu yang indrawi atau
imajiner dengan menggunakan alat
partikuler ( alah juz'iyyah).
***
Oleh karena
itu, menentukan kuantitas perbuatan wdjib al-wujud
merupakan suatu
kekurangan bagi-Nya, begitu pula di dalam menentukan
pikiran-pikiran-Nya.
Wdjib al-wujud memikirkan (mengetahui)
segala sesuatu secara uni¬
versal.
Atas dasar itu, maka
tidak ada satu wujud pun yang terlepas dari
pengetahuan-Nya. Tidak ada
sebiji zarrah pun di langit dan di bumi ini
yang terlepas dari ilmu-Nya.
Inilah di antara sekian banyak keajaiban yang untuk mendeskrip-
sikannya membutuhkan kelembutan watak.
***
Sedangkan bagaimana kayfiyydt (cara)nya? Dia mengetahui dzat-
Nya, dan mengetahui bahwa Dia menjadi sumber semua mawujud, pasti
44
Dia juga tahu pelbagai mawujud
pertama yang bersumber darinya, serta
pelbagai mawujud lain yang
bersumber dari pelbagai mawujud pertama.
Tidak ada sesuatu apa pun
yang menjadi mawujud, kecuali dise-
babkan oleh-Nya.
Akumulasi dan benturan sebab-sebab tersebut menjadi sumber
adanya hal-hal partikuler.
***
Yang pertama
mengetahui sebab-sebab berikut padanannya, maka
ia pun mengetahui
keharusan apa yang sampai pada sebab-sebab itu.
Waktu yang ada di antara
sebab-sebab tersebut, maupun pengembalian
yang terjadi padanya. Karena
ia tidak mengetahui itu semua, maka ia me¬
ngetahui hal-hal partikuler
sebagai sesuatu yang universal, atau sebagai
sesuatu yang memiliki
sifat.
Jika sebab-sebab itu menjadi spesifik, maka sesuai masa
tertentu,
atau keadaan tertentu. Apabila keadaan tersebut diambil dengan
sifat-
sifatnya, pasti ia akan sederajat dengannya. Tetapi ia
disandarkan pada
asal mula setiap sesuatu, seperti macamnya yang
terbatas, maka ia pun
disandarkan kepada hal-hal yang terbatas.
Sudah kita katakan, penyandaran ini telah menjadikan gambaran
dan sifat-sifat tertentu bagi spesifikasi tersebut.
Jika
spesifikasi tersebut menurut akal juga spesifik, berarti ada jalan
bagi
rasio untuk melukiskannya, yaitu ia adalah spesifikasi yang satu dan
tidak memiliki padanan, seperti bola matahari, atau Jupiter.
Tetapi bila spesifikasi tersebut memiliki banyak macam, rasio juga
tidak dapat melukiskannya, kecuali sebatas menunjukkan titik mula. Ini
menurut sepengetahuan saya.
***
Kembali ingin
kita katakan, sebagaimana Anda mengetahui gerak
benda-benda langit
secara keseluruhan, berarti Anda mengetahui semua
gerhana bulan,
keterhubungan ( ittishal ), dan semua keterputusan ( infishal ),
yang
sebenamya partikuler, tetapi dianggap sebagai universal.
Karena
Anda mengatakan pada salah satu gerhana bulan, ialah
gerhana bulan yang
terjadi setelah masa dan gerak. Oleh sebab itu, ia
45
menjadi separuh ke utara, dan rembulan terputus
darinya hingga menjadi
begini.
Ada batasan waktu antara
gerhana bulan seperti itu, baik yang ter-
jadi sebelumnya maupun
sesudahnya.
Begitu pula antara keadaan dua gerhana bulan terakhir,
sehingga
tidak dianggap penghalang bagi gerhana-gerhana tersebut,
kecuali Anda
telah mengetahuinya universal.
Karena makna ini
bisa dipakai untuk setiap pengertian gerhana bulan
yang tidak terbatas,
maka keadaan masing-masing ditakar dengan ke¬
adaan tersebut.
Tetapi Anda akan mengetahui, bahwa gerhana bulan itu sebenarnya
hanyalah satu.
Dan ini tidaklah memicu ini\ - ersalitas,
apabila Anda masih ingat
apa yang kita sebutkan tadi.
Tetapi
bersamaan dengan ini semua, Anda barangkali tidak bisa
menentukan awal
wujud gerhana bulan tersebut, sehingga anda menge¬
tahui partikularitas
gerak dengan pengamatan indrawi.
Sehingga Anda akan mengetahui
bahwa ada rentang waktu di antara
pengamatan ini dengan gerhana bulan
tersebut.
Ini bukan pengetahuan Anda sendiri, bahwa di dalam gerak
ada
gerak partikuler, yang sifatnva seperti yang Anda amati. Demikian
juga
di antara sifat dan gerhana bulan kedua yang merupakan
partikularitas.
Hal semacam itu terkadang boleh. kalian ketahui
sebagai ilmu. Dan
kalian tidak mengetahui waktu yang meragukan, apakah
ia ada. Akan
tetapi musti kalian capai levvat pengamatan sesuatu yang
mengindikasi-
kannya, sehingga kalian benar-benar mengetahui keadaan
gerhana bulan
vang sebenarnya.
:Js
Andai ada
yang tidak menerima penamaan ini sebagai pengetahuan
bagi suatu
partikularitas dari sisi universalitas, maka kita tidak perlu
berdebat
dengannya. Sebab tujuan kita sekarang bukan itu, melainkan,
bagaimana
kita mengetahui bahv.-a hal-hal partikuler bisa mengetahui
kosmos
seiring perubahan yang terjadi.
46
Dan bagaimana ia mengetahui dengan tanpa perubahan
kosmos
bersamanya?
Jika Anda mengetahui masalah gerhana
sebagaimana Anda ada,
atau jika Anda ada selamanya, pasti Anda akan
meraih ilmu bukan ter-
hadap gerhana mutlak, melainkan terhadap semua
gerhana yang tercipta.
Kemudian ada atau tiadanya gerhana tersebut tidak
akan mengrubah
sesuatu apa pun pada diri Anda.
Sesungguhnya
pengetahuan Anda atas dua hai tersebut menyatu.
Yaitu, gerhana bulan
memiliki wujud dengan sifat-sifat seperti ini, dan ia
terjadi setelah
ini, serta yang terjadi berikutnya adalah ini.
Ratifikasi seperti
ini benar pada Anda, baik sebelum, ketika maupun
sesudah gerhana bulan
berlangsung.
Sedangkan jika Anda masukkan masalah masa di
dalamnya, maka
pada waktu yang semustinva Anda mengetahui, bahwa gerhana
tersebut
tidak ada, tetapi di waktu lain Anda ketahui ada.
Begitulah. Maka sebelum kami dapat merampungkan mukadimah
ini, dengan terpaksa kami mendahulukan proses publikasi kitab, karena
kami sedang berencana melakukan perjalanan ke negara Al-Maghrib al-
Aqsha (Maroko) yang menurut hemat kami tidaklah mungkin menuntas-
kannya selama rentang waktu tersebut.
Kini, kitab ini
kembali akan dipublikasikan, sementara kami sedang
dalam perjalan menuju
Sudan. Dalam keadaan seperti ini, kami juga dengan
sangat terpaksa tidak
dapat merampungkan penulisan mukadimah ini
untuk edisi kedua.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti manakala kitab ini
hendak
mengalami naik cetak ketiga kali? Tidak ada cara lain kecuali
menyerahkan
segala persoalan kepada Yang Mahakuasa. □
47
Sulayman Sunya
Bismi'Llah ar-Rahman ar-Rahtm
Puji syukur kami
panjatkan ke hadirat Allah SWT., dan salawat serta
salam kepada Rasul
dan para Nabi.
Tujuan diterbitkannya buku ini, adalah untuk
menjelaskan
pemvataan-pernyataan afirmatif ( aqwdl mutsbitah, constant
opinions)- yang
ada dalam kitab Tahafut al-Falasifah, dalam rangka
justifikasi (tashdiq), ke-
puasan untuk menerima {iqnd'), dan sebagian
besar tidak mencapai tingkat
keyakinan dan pembuktian yang sempurna.
Masalah Pertama
Penggugat Pemyataan para Filosof
Masalah Eternalitas Alam {Qidam al-alam)
[1], Abu Hamid mengomentari dalil-dalil yang dilontarkan para
filosof
seputar eternalitas alam {qidam al-'dlam)." Kita cukup akan
membahas
tiga pokok permasalahan dari dalil-dalil yang dilontarkan
mereka,
katanya.
Dalil Pertama
Mereka (para filosof) mengatakan sesuatu yang temporal ( hddits )
mustahil berasal dari sesuatu yang eternal {qadim) secara mutlak. Karena
jika kita katakan berasal dari sesuatu yang eternal, dan menolak
pernyata-
an, bahwa alam berasal dari sesuatu yang eternal tersebut,
tetapi kemudian
ia benar-benar berasal darinya, itu sama halnya
menganggap alam tidak
berasal, karena wujud proses kejadian alam
tersebut tidak ada yang me-
nguatkan ( murajjih ), bahkan kemungkinan
proses terjadinya bersifat nisbi
(sharp). Jika terjadi sesudahnya,
faktor penguat pun bisa lebih dinamis,
atau malah statis. Dan jika
keberadaan faktor penguat tidak berubah di¬
namis, proses kejadian alam
tetap menjadi nisbi. Tetapi jika berubah, maka
pembicaraan beralih pada
faktor tersebut. Mengapa ia berubah sekarang,
bukan sebelumnya? Atau
persoalan ini tidak akan selesai, bisa juga ter-
henti pada takaran
faktor penguat an sich ?
[1 ]- Menurut saya, pernyataan Abu Hamid
ini cukup banyak me-
ngundang polemik, sebab apa yang diutarakan belum
sampai pada
takaran pembuktian? 2 ' 1 Karena mukadimahnya bersifat
global—
yaitu kandungannya bukan sifat dzatiyyah bagi tema—padahal se¬
suatu yang global cenderung mengandung unsur Inijjahitas. Dan
mukadimah bukti-bukti seharusnya terdiri dari persoalan-persoalan
substantif dan essensial yang tepat. Yaitu, bahwa penggunaan kata-
kata mungkin bisa merupakan kemungkinan mayoritas ( mumkin
aktsari) kemungkinan minoritas ( mumkin aqalli) juga kemungkinan
berimbang (mumkin tasdwi) Masing-masing membutuhkan adanya
faktor
penguat yang berbeda, sebagaimana kemungkinan mayori¬
tas selalu
diperkuat oleh faktor-faktor internal zatnya, bukan faktor-
faktor
eksternal, berbeda dengan kemungkinan berimbang.
Kemungkinan juga
bisa ada pada subjek, yaitu kemungkinan
untuk melakukan, maupun pada
objek, yaitu kemungkinan untuk
menerima. Keduanya juga tidak membutuhkan
murajjih yang sama.
Hal itu disebabkan, kemungkinan pada objek selalu
membutuhkan
unsur penguat yang bersifat eksternal. Sebab ia bisa mencema
dengan
jelas pelbagai masalah produktivitas dan banvak persoalan
alamiah.
Terkadang persoalan alamiah menimbulkan keragu-raguan, karena
kebanyakan dasar-dasar perubahannya dari situ. Atas dasar itu, ia
menganggap bahwa sesuatu yang bergerak, menggerakkan dirinya
sendiri. Ia lupa kalau pada benda yang bergerak sebenarnya ada
penggerak lain, dan juga ada sesuatu yang menggerakkan zatnya.
Semua ini tentu membutuhkan pembahasan. Oleh karena itu, para
ulama terdahulu tidak pemah berhenti mendiskusikan.
Kemungkinan subjektif ia anggap sebagai proses untuk me-
nimbulkan sebuah perbuatan (fi'l) yang tidak membutuhkan murajjih
ekstemal, karena perubahan yang terjadi pada seorang subjek {fail),
dari tidak melakukan fi'l sampai melakukan, bukanlah perubahan yang
membutuhkan perubah, seperti halnya perubahan seorang insinyur
atau guru, dari tidak mengajar kemudian mengajar.
Perubahan
baru akan dianggap membutuhkan perubah, jika
terjadi pada jawhar
(substansi), fcm//(bagaimana), kam (berapa), juga
ayna (di mana).
Sesuatu yang eternal bisa juga dikatakan sebagai sesuatu yang
eternal karena zatnya, dan eternal karena faktor lain dari banyak
manusia. Ada yang berpendapat, bahwa perubahan-perubahan juga
sangat mungkin terjadi pada sesuatu yang eternal, seperti berubah-
nya iradah menurut Karamiyyah, atau kemungkinan terjadinya ke-
rusakan pada materi pertama yang eternal ( al-mdddah al-ftla
al-qadimah).
Begitu pula yang berkaitan dengan rasionalitas eternal,
menurut
sebagian besar al-qudama'. Tetapi sebagian kecil dari mereka
juga ada
yang menafikannya.
Subjek, ada yang melakukan
perbuatan berdasarkan iradah,
juga ada yang melakukan atas dasar
thabi'ah (tabiat, pembawaan).
Persoalannya bukan terletak pada bagaimana
perbuatan tersebut
bersumber dari keduanya, melainkan apakah
masing-masing mem¬
butuhkan murajjih ? Cukupkah pembagian subjek
tersebut pada dua
bagian, atau malah jangan-jangan akan memicu munculnya
subjek
baru yang tidak sesuai dengan subjek yang bertindak atas dasar
iradah maupun thabi'ah.
***
Ini masalah besar.
Masing-masing membutuhkan pembahasan
tersendiri secara mendetail,
termasuk juga pendapat para al-qudama'.
Al-Ghazali mengambil 25
satu persoalan dan mengesamping-
kan beberapa permasalahan lainnya. Yang
satu tersebut dikenal sebagai
bagian dari posisi kaum sophis yang tujuh.
Kesalahan yang terjadi
pada satu persoalan, bisa menjadi sumber penyebab
kesalahan besar
pada pembahasan lain seputar entitas sesuatu.
[2], Menurut Abu Hamid, diskursus terjadi pada dua sisi.
Dari satu sisi ia mengatakan, "Atas dasar apa kalian akan mem-
bantah orang vang mengatakan bahwa alam terjadi berdasarkan
irddah
qadimah, membuat ada bersamaan dengan waktu adanya irddah
tersebut,
kemudian tiada seiring tiadanya irddah, dan mulai mem-
bentuk wujud
sebagaimana adanya. Adapun wujud sebelumnya,
karena belum menjadi bagian
dari irddah, maka belum terjadi. Tetapi
saat irddah qadimah 2b tersebut
muncul, maka ia pun terjadi. Apa yang
menolak kevakinan macam ini?
Apanya yang absurd?"
[2]. Menurut saya, itu hanyalah retorika
sophistik. Hal tersebut karena
ketika ia tidak mungkin mengatakan bahwa
perbuatan objek (fi'l-
al maful) bisa terjadi setelah perbuatan subjek
(fi'l al-fail) berikut
ketetapan hatinya untukbertindakjika ia sebagai
subjek independen
(fa'il mukhtdr). Maka ia katakan, bahwa perbuatan
objek tersebut
boleh datang kemudian setelah kemauan subjek.
Keterlambatan objek
dari irddah subjek memang boleh, tetapi
keterlambatannya dari per¬
buatan fail tidak bisa diterima. Begitu pula
keterlambatan perbuat¬
an dari ketetapan hati untuk melakukan/z'7 pada
subjek yang ber-
kemauan.
Ia harus melakukan satu di antara
dua hal, baik dengan me-
nyatakan bahwa perbuatan subjek tidak harus
menimbulkan per-
ubahan padanya, dan hal tersebut memastikan 27 adanya
perubah
dari unsur ekstemal. Atau perubahan-perubahan bisa saja terjadi
pada zat yang berubah tanpa dipengaruhi oleh perubah yang di-
nisbatkan kepadanya, dan atau perubahan-perubahan 28 boleh di-
nisbatkan kepada sesuatu yang eternal tanpa perubah. Jika demi-
kian, masalah yang dipertentangkan 2U di sini ada dua; pertama bahwa
perbuatan subjek meniscayakan perubahan, dan pada setiap per-
ubahan pasti ada perubah. Kedua, sesuatu yang eternal tidak mungkin
bisa dipengaruhi oleh macam-macam perubahan. Hal inilah yang
sangat sulit dijelaskan. 30 Adapun yang membuat Asy'ariyah tidak
bisa menerima, 31 karena hal tersebut menafikan subjek pertama berikut
perbuatannya. Yang demikian, menjadikan mereka menolak peran
subjek atas objek pada saat terjadinya perbuatan, dan tiadanya saat
perbuatan tersebut juga tidak ada. Konsekuensinva, keadaan akan
selalu berubah-ubah dan tidak pemah harmonis. Hal tersebut sangat-
lah penting, baik bagi subjek maupun objek, atau kedua-duanya.
Jika demikian adanya, apabila kita mempercayai adanya subjek pada
setiap keadaan yang berubah tersebut, maka subjek harus berasal
dari keadaan itu sendiri. Tetapi jika berasal dari sumber lain, subjek
tersebut tidaklah tepat disebutsebagai yang pertama. Ia tidak cukup
bisa melakukan perbuatan sendiri, tetapi masih membutuhkan peran
subjek lain. Dan jika subjek keadaan yang telah menjadi syarat ada¬
nya perbuatan, maka perbuatan yang semustinya terjadi, tidaklah
digolongkan perbuatan pertama, melainkan perbuatan bagi keadaan
yang disyaratkan atas objek sebelum ia melakukan perbuatan atas
objek tersebut. Seharusnya demikian, sebagaimana engkau lihat be-
gitu penting. Kecuali jika ada yang membolehkan, bahwa di antara
keadaan-keadaan yang baru, ada yang tidak membutuhkan pe-
nyebab.
Hal seperti ini sangat jauh dari jangkauan akal, kecuali bagi
mereka
yang meyakini adanya sesuatu yang terjadi begitu saja. Dan,
itu hanyalah
pendapat generasi awal al-qudamd' yang mengingkari
adanya subjek.
Pendapat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Pendapat kita
tentang adanya iradah azahyyah dan irddnh Imditsah
dalam pertentangan
yang campur aduk seperti ini, sebenarnya
bersifat ism musytarak (hujjnh
), bahkan berbeda kalimat dan pe-
mahaman makna. Iradah adalah kekuatan
yang mengandung ke-
mungkinan melakukan satu di antara dua hal, juga
kemungkinan
menerima satu di antara dua maksud secara balance. Iradah
adalah
subject interest (perhatian subjek) terhadap sebuah perbuatan.
Jika
telah dilakukan, interest terpenuhi, dan maksud juga tercapai.
Interets
dan perbuatan berhubungan erat dengan dua hal secara berimbang.
Jika dikatakan, bahwa yang berkehendak atas satu di antara dua
hal
itu azali, maka batasan-batasan iradah akan hilang seiring
perpindahan
dari sesuatu yang mungkin menjadi wajib. Jika disebut
sebagai iradah
yang azali, maka ia tidak akan pernah hilang meski-
pun maksud dan
tujuan sudah tergapai. Jika dikatakan tidak ada
batas awal baginya, maka
waktu yang mengitari sepanjang upaya
menggapai maksud tidak akan
terbatas dan tidak ditentukan.
Dengan begitu dapat dengan jelas kita
katakan, bahwa permasalah-
an tersebut cukup memberikan pembuktian pada
adanya subjek yang
memiliki, bukan terjadi begitu saja secara voluntaris
dan impulsif.
Agama menyebut kekuatan itu sebagai kehendak ( iradah ).
Bukti menunjukkan adanya sesuatu yang cukup sederhana,
yang
semula dianggap bertentangan, tetapi sebenarnya tidak, se-
perti
pemyataan kita tentang mawjud (exist), tidak di dalam atau di
luar alam.
[3], Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Jika
dikatakan ini mustahil, karena suatu peristiwa pastilah
terjadi karena
dorongan dan motivasi. Jika sebuah peristiwa yang
tanpa sebab dan
motivasi jadi mustahil, maka mustahil pulalah ke-
terlambatan yang
terdorong dan termotivasi itu, saat faktor-faktor
pendorong telah
memenuhi syarat, sebab dan rukun-rukunnya.
Bahkan, semustinya yang
termotivasi sudah ada manakala
motif telah memenuhi seluruh
syarat-syarat dengan sempurna. Ke-
terlambatannya menjadi mustahil,
sebagaimana mustahilnya sebuah
peristiwa yang termotivasi tanpa motif.
Sementara sebelum terjadinya alam; Yang Berkehendak sudah
ada, kehendak ada, penisbatannya kepada sesuatu yang dike-
hendaki
ada, yang berkehendak tidak mengalami renovasi, ke¬
hendak tidak
mengalami renovasi, penisbatan yang tidak ada se-
belumnya juga tidak
mengalami renovasi. Padahal semua itu ter-
golong berubah. Lantas,
bagaimana sesuatu yang dikehendaki bisa
mengalami renovasi? Dan apa yang
menghalanginya untuk direno-
vasi sebelum itu? Dan keadaan yang
renovatif atau tidak, sama
saja di dalam sebagian sesuatu (syay'),
perkara ( amr), keadaan (Ml),
bahkan banyak perkara yang ada dengan
sendirinya, kemudian
wujud yang dikehendaki belum ada, dan tinggallah ia
sendiri,
kemudian wujud tersebut ada. Sungguh ini sangat mustahil.
[3]. Saya katakan:
Hal ini memang sudah sangat jelas,
kecuali bagi orang yang
mengingkari salah satu mukadimah yang telah kita
sampaikan
sebelumnya.
Akan tetapi Abu Hamid berpindah dari
penjelasan ini pada
contoh riil yang cukup membingungkan para filosof.
Berikut ini
petikan pernyataannya.
[4]. Abu Hamid berkata:
Kemustahilan semacam ini bukan pada sesuatu yang esensial
dan pokok, tetapi sekadar pada bagian yang biasa ('urf) dan kondi-
sional ( wadl'i ). Sesungguhnya seseorang manakala malafalkan talak
pada sang isteri tanpa disertai keterangan, ia tidak membayangkan
talak tersebut akan jatuh sesudahnya, karena ia telah menjadikan
lafal sebagai sebab (' illah ) jatuhnya hukum sebagaimana biasa. Maka
tiada terbayangkan keterlambatan akibat dari pernyataannya, ke-
cuali jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan 'besok' atau 'masuk
rumah'. Jika demikian adanya, maka hukum akibat tidak jatuh pada
saat pernyataan disampaikan, melainkan bersamaan dengan datang-
nya besok atau pada saat masuk rumah.
la telah menjadikan
sesuatu yang ditunggu sebagai 'illah
jatuhnya hukum. Ketika waktu belum
tiba, yaitu besok atau masuk
rumah, maka sesuatu yang semustinya terjadi
belum terjadi lantaran
ada sesuatu yang belum tiba.
Sesuatu
yang semustinya terjadi, tidak terjadi, hingga perkara
berubah bersamaan
dengan masuk rumah atau keesokan harinya.
Maka, apabila seseorang
bermaksud mengakhirkan sesuatu yang
semustinya terjadi dari waktu
pernyataan, tanpa bergantung pada
sesuatu yang belum tercapai, sungguh
tidak rasional, padahal ia
telah benar-benar terjadi.
Menurut kebiasaan, apa yang diinginkan maksud kita tidak
terlambat dari pernyataan maksud, kecuali ada penghalang.
Manakala maksud sudah jelas, kemampuan sudah dimiliki,
dan
tidak ada penghalang, tidak terpikirkan keterlambatan pen-
capaian
maksud tersebut.
Akan tetapi, hal semacam itu bisa saja terjadi
pada 'azm
(ketetapan hati), karena ia tidaklah cukup untuk menimbulkan
sebuah perbuatan. Ketetapan hati untuk menulis, tidak musti
menimbulkan peristiwa menulis.
Jika iradah qadimah dalam
pandangan kita sama dengan sesuatu
yang ingin diperbuat, maka tidak
terbayangkan keterlambatan mak-
sud tersebut kecuali ada penghalang.
Dan, tiada terpikirkan jika
keinginan akan muncul hari ini mendahului
perbuatan yang baru
akan ada besok hari, kecuali dalam ‘azm.
Namun, bila iradah qadimah kita sejajarkan dengan 'azm, pasti
hal tersebut tidaklah cukup untuk melahirkan perbuatan, bahkan
harus selalu menimbulkan pembaharuan keinginan. Ada pula yang
mengatakan dengan perubahan yang eternal (qadim).
Persoalan
berikutnya, mengapa perubahan maksud, ke-
inginan atau apa saja namanya,
itu terjadi sekarang, bukan sebelum-
nya?
Bisa saja sebuah
peristiwa terjadi tanpa sebab, atau mengalir
begitu saja tiada henti.
Hasil pembicaraan merujuk pada sesuatu yang musti terjadi
0
al-mujab ) ada bersama seluruh syarat-syaratnya, dan tidak ada per-
kara
lain yang ditunggu- Meskipun demikian, al-mujab masih terlambat,
dan
tidak ada.
[4]. Saya katakan:
Contoh talak seperti
yang disebutkan, dikira memperkuat
hujjah para filosof. Padahal,
sebenamya ia melemahkannya. Karena
kepada Asy'arivah engkau katakan,
bahwa sebagaimana jatuhnya
talak bisa diakhirkan dari pelafalan sampai
waktu terpenuhinya
syarat baik dengan masuk rumah atau lain sebagainya.
Maka sangat
mungkin juga diakhirkannya terjadinya alam oleh Sang Maha
Pen-
cipta, sampai waktu terpenuhinya syarat yang berkaitan dengannya,
yaitu waktu yang dikehendaki oleh-Nya.
Namun,
masalah-masalah kondisional ( wadl'i ) tidak seperti
masalah rasional
('aqli). Bagi sebagian ahl adh-dhahir yang menyama-
kan persoalan wadl'i
dan ‘aqli, mengatakan talak ini tidak lazim, dan
tidak jatuh saat
terpenuhinya syarat yang terlambat dari pemyata-
an talak seseorang,
karena ia telah menjatuhkannya tanpa mengait-
kan dengan pekerjaan yang
ditalak.
[5]. Kemudian Abu Hamid berkata, menjawab tentang
Asy'ariyah:
Sebagai jawabanakansaya katakan, "Bahwa absurditas
iradah
qadhnah terkait dengan terjadinya sesuatu. Sesuatu apa saja yang
dapat dijangkau akal pikiran?
Dalam perspektif bahasa
manthiq (logika), tahukah kalian
pertemuan antara dua batasan ini,
dengan batas tengah (lunlci awsath),
atau dengan tanpa batas tengah?
Jika kalian mengakui batas tengah sebagai jalan pemikiran,
maka perlihatkan.
Jika kalian mengakui pentingnya
pengetahuan hal tersebut,
mengapa 'lawan' kalian tidak ikut
mengetahuinya. Bukankah ke-
lompok (firqah ) yang mempercayai kejadian
alam dengan iradah
qadhnah tidak terbatasi oleh negeri dan bilangan.
Pastilah mereka
tidak menggunakan akal sebagai upaya melawan
pengetahuan.
Manthiq (logika) harus bisa memberikan bukti-bukti
yang kuat
atas absurditasnya, bukan hanya menghindar, dan menyamakan
'azm dengan iradah. Yang demikian itu tidak benar. Iradah qadhnah
tidak bisa disejajarkan dengan maksud-maksud yang temporal (qusud
hdditsah). Sedangkan untuk menghindar saja, tidak cukup dengan
tanpa bukti.
[5] . Saya katakan:
Pernyataan ini
sungguh tidak dapat memuaskan. Sebagai
hasilnya, bahwa jika seseorang
mengakui adanya subjek dengan
segenap bukti-buktinya tidak mungkin
memperlambat objeknya,
maka bisa jadi ia mengakui pengetahuan itu dengan
qiyds (analogi),
atau ia termasuk pokok-pokok pengetahuan pertama
(al-ma'drif al-
awwaliyyah).
Apabila dia mengakuinya dengan
qiyas, dia harus menyampai-
kan. Sementara tidak ada hal yang dapat
dianalogikan di sana.
Bila dia mengakuinya dengan ma'rifat
awwaliyyah, maka semua
orang harus turut mengakuinya, baik lawan atau
lainnya. Dan, hal
ini tentu tidak benar.
[6] . Kemudian ia
berkata menjawab Asy'ariyah (dalam teks: para
filosof):
Jika
dikatakan, dengan otoritas rasio kita bisa tahu bahwa tidak
ada pewajib
( mujib ) dengan segenap syarat-syaratnya tanpa sesuatu
yang divvajibkan
( mujab ).
Yang mengingkari hal tersebut sungguh telah melanggar
otoritas akal.
Kita katakan, lantas apa beda kalian dengan
lawan-lawan
kalian. Jiwa mereka berkata pada kalian, bahwa dengan
otoritas akal
kita akan tahu absurditas orang yang berkata, jika satu
zat dapat
mengetahui totalitas alam semesta;
_ Tanpa
meniscayakan pluralitas zat,
m Tanpa bertambahnya ilmu pada zat,
_ Dan tanpa bertambahnya ilmu seiring jumlah totalitas yang
diketahui.
Inikah mazhab yang kalian gembar-gemborkan?
Sungguh,
bagi kami dan ilmu pengetahuan yang kami miliki, hal tersebut
sangat
irasional. Tetapi kalian mengatakan, ilmu yang eternal tidak
dapat
di-^/i/fls-kan dengan ilmu yang temporal.
Ada kelompok
di antara kalian yang mengakui kemustahilan
ini. Mereka berkata,
"Sesungguhnya Allah SWT. tidak mengetahui
kecuali diri-Nya. Dialah zat
yang berakal dan berpikir ('aqil). Dialah
akal pikiran {'aql). Dan,
Dialah sesuatu yang dipikirkan ( ma'qul ).
Semua menjadi satu."
Jika ada orang yang mengatakan, bahwa menyatunya 'aqil,
'aql
dan ma'qill adalah sesuatu yang mustahil, maka hipotesis tentang
Sang
Pencipta alam semesta yang tidak mengetahui ciptaan-Nya
juga mustahil
adanya menurut pertimbangan akal.
Apabila Yang Eternal ( qadim ,
Allah) tidak mengetahui kecuali
diri-Nya—Dia Maha Luhur atas apa yang
dikatakan para penye-
leweng—pasti Dia sama sekali tidak mengetahui
ciptaan-Nya.
[6]. Saya katakan:
Kesimpulan dari
pernyataan ini, ternyata mereka tidak meng¬
akui diperbolehkannya
berbeda pandangan atas apa yang mereka
propagandakan tentang keharusan
menolak keterlambatan objek
pelaku dari perbuatannya dengan tanpa
malu-malu, dan tanpa qiyds
yang menunjukkan mereka kepadanya. Tetapi
mereka mengakuinya
dari pembuktian yang menunjukkan mereka pada
temporalitas alam
(hudustul ‘alam), sebagaimana para filosof tidak
membiarkan pe-
nolakan atas keniscayaan rasio di dalam memandang
bilangan ilmu
dan sesuatu yang diketahui, serta penyatuan keduanya di
dalam
dzat Allah SWT., kecuali dari bukti-bukti yang ada.
Lebih dari itu, ada filosof yang mengakui bahwa Allah me-
ngetahui zat-Nya, lebih-lebih ciptaan-Nya. Ia berkata, "Sesungguh-
nya Allah tidak mengetahui kecuali zat-Nya."
Menerima
pernyataan ini, berarti menerima sesuatu yang
salah dengan sesuatu yang
salah pula. Sebab, apa yang sudah men-
jadi pengetahuan umum dan
meyakinkan tentu tidak mungkin ada
bukti yang dapat membantahnya.
Manakala masih ada bukti yang membantah, berarti keyakin-
annya masih meragukan ( dhann ), bukan yakin sebenar-benamya.
Oleh karena itu, apabila bilangan ilmu dan sesuatu yang di¬
ketahui, di dalam pandangan kasat mata atau tersembunyi, sudah
diketahui atas dasar keyakinan, maka kita tegaskan jika tidak ada
bukti bagi para filosof untuk menyatakan penyatuan 'aqil, ‘aql dan
nia'qul di dalam dzat Allah SWT..
Tetapi sebaliknya, jika
pernyataan tentang bilangan ilmu dan
sesuatu yang diketahui masih
bersifat dhanni, maka kemungkinan
bersatunya di dalam dzat Allah SWT.
ada. Dan, para filosof memiliki
bukti.
Begitu pula, jika
diketahui bahwa objek pelaku tidak terlambat
dari perbuatannya,
sementara Asy'ariyah mengaku punva bukti
atas penolakannya, maka kita
tahu pasti sebenarnya bukti yang ia
maksud tidak mereka miliki.
Hal semacam ini dan yang lainnya manakala menimbulkan
kontroversi, maka yang terpenting adalah bagaimana mengambil
I'tibar dengan fitrahfa'iqah (insting, karakter yang unggul), jika meng-
eksplorasi dengan tanda-tanda dan syarat-syarat yang dapat mem-
bedakan antara yakin dan dhann seperti yang terkandung di dalam
kitab-kitab mantiq.
Misalnya, ada dua orang yang bertikai,
salah seorang di antara
mereka berdua bilang bahwa syair (yang ia
dengar) tidak bev-ivaznn.
Sementara yang lain menyatakan ber-wazan. Maka
cara menghakimi-
nya adalah dengan kembali kepada naluri yang sehat
(fitrah salimah),
selain itu juga merujuk kepada ilmu 'arudl (ilmu yang
mempelajari
syair atau sajak).
Bagi orang yang mengetahui
benar pada wazan dalam syair,
pasti tidak ada orang yang membantah
pendapatnya, sebagaimana
orang yang meyakini sesuatu.
Perkataan-perkataan tersebut semua tergolong lemah. Semusti-
nya ia tidak mengisi kitab ini dengan perkataan-perkataan semacam
itu, jika ia ingin memberikan kepuasan kepada khawash (kelompok
tertentu).
Ketika keharusan-keharusan yang menyertai masalah
ini
terasa asing, selanjutnya ia 32 berkata seperti berikut ini:
[7], Bahkan kita tidak melampaui keharusan-keharusan masalah ini,
maka kita katakan kepada mereka:
Dengan apa kalian akan
menyangkal lawan-lawan kalian, jika
mereka mengatakan bahwa qidam
al-'dlam mustahil? Karena hal itu
menunjukkan statisnya rotasi falak
yang tidak pernah berhenti pada
bilangan-bilangan tertentu. Padahal ia
memiliki seperenam, seper-
empat atau setengah... sampai perkataannya,
"Maka kalian musti
berkata, bahwa ia tidak genap dan tidak pula ganjil,
sebagaimana
akan kita bahas nanti." 33
[7], Ini juga
tergolong perlawanan sophistik. Kesimpulannya persis se¬
bagaimana
kalian tidak mampu menyanggah dalil-dalil kita tentang
temporalitas
alam. Sesungguhnya kalau alam tidak temporal, nis-
caya rotasi tersebut
tidak genap dan tidak pula ganjil.
Kita juga tidak mampu untuk
menyanggah pendapat kalian
yang mengatakan, bahwa apabila subjek telah
memenuhi seluruh
syarat-syarat perbuatan, pasti ia tidak akan terlambat
dari objek-
nva.
Puncak pernyataan ini adalah penetapan
keragu-raguan (syakk)
dan pengambilan keputusan. Yang demikian itu
adalah termasuk
salah satu misi kaum sophis.
Wahai kaum
pemikir, kalian telah menyaksikan pernyataan-
pernyataan para filosof di
dalam buku ini, yang menegaskan eter-
nalitas alam dalam perspektif
dalil ini, juga pernvataan-pemyata-
an Asy'ariyah yang berbanding
terbalik dengannva.
Maka dengarkanlah dalil-dalil yang dilontarkan
Asy'ariyah,
dan dengarkanlah pula pendapat-pendapat para filosof yang
ber-
beda dengan mereka, seperti yang diungkapkan orang ini.
[8]. Abu Hamid berkata:
Kita katakan, bagaimana kalian
akan membantah pernyataan
lawan kalian yang menyatakan bahwa qidam
al-'alam mustahil,
karena hal itu menunjukkan statisnva rotasi falak
yang tidak pernah
berhenti pada bilangan-bilangan tertentu, padahal ia
memiliki se-
perenam, seperempat dan setengah. Falak matahari berputar
dalam
setahun. Bintang Saturnus berputar dalam tiga puluh tahun. Maka,
perputaran Saturnus menyamai sepertiga belas perputaran matahari.
Sedangkan, perputaran Jupiter menyamai setengah dari seperenam
perputaran matahari, karena ia berputar dalam dua belas tahun.
Kemudian, sebagaimana (disebutkan) perputaran Saturnus tidak
berhenti pada bilangan tertentu, mustinya matahari juga demikian,
padahal ia menyamai sepertiga belasnya.
Bahkan tiada akhir
bagi perputaran bintang-bintang ( kawdkib)
yang berputar sekali dalam
tiga puluh enam ribu tahun, sebagai¬
mana juga pada al-harakah
al-syarqiyyah (gerakan Timur) bagi matahari
yang berputar sekali dalam
sehari semalam.
Apabila ada orang yang berkata, absurditas semua
ini sudah
diketahui, lantas dengan apa kalian akan menyanggahnya?
Bahkan, kalau ada orang yang berkata, bilangan perputaran
ini genap atau ganjil? Atau genap dan ganjil? Atau tidak genap dan
tidak pula ganjil?
Jika kalian katakan genap dan ganjil,
atau tidak genap dan
tidak pula ganjil, pasti kebatilannya akan sangat
kentara.
Jika kalian katakan genap, bukankah genap ditambah satu
menjadi ganjil? Tidakkah mungkin sesuatu yang tidak berbilangan
akhir bisa ditambah satu?
Sebaliknya, jika kalian katakan
ganjil, bukankah ditambah
satu ia akan menjadi genap? Tidakkah mungkin
sesuatu yang tidak
berbilangan akhir bisa ditambah satu?
Sebagai
satu-satunya yang musti kalian katakan, ia tidak
genap dan tidak pula
ganjil.
[8]. Sava katakan:
Inti dari pernyataan ini
adalah apabila dibayangkan dua
gerakan yang menimbulkan perputaran di
antara dua ujung pada
satu kurun waktu, kemudian dibayangkan pula batas
yang meling-
kupi masing-masing pada kedua ujung satu kurun waktu
tersebut,
maka penisbatan sesuatu yang parsial (juz') kepada sesama
parsial
yang lain adalah penisbatan sesuatu yang global kepada sesama
global lainnya.
Contohnya; jika rotasi Saturnus dalam satu
kurun waktu yang
disebut tahun menyamai sepertiga belas perputaran
matahari, maka
ketika dibayangkan rotasi matahari pada totalitas rotasi
Saturnus
sejak ada pada kurun waktu tersebut, ia akan meniscayakan
penis¬
batan seluruh rotasi gerak dari semua rotasi gerak yang lain
(dalam
naskah: al-haraknh al-ula, gerakan pertama) adalah penisbatan
sesuatu
yang parsial kepada sesama parsial lainnya.
Sedangkan, jika tidak ada penisbatan di antara dua gerakan
global, karena kesamaan masing-masing, atau tidak ada permulaan
dan akhiran, sementara penisbatan terjadi antar bagian-bagian (ajza'),
maka tidak semestinya, penisbatan yang global pada sesama glo¬
bal
lainnya, mengikuti penisbatan sesuatu yang parsial pada sesama
parsial
lainnya, seperti dalil yang dilontarkan suatu kaum. Karena
penisbatan
antara dua prestise yang masing-masing menganggap
tiada berujung, tidak
pemah ada. Atas dasar itu, maka jika al-qudama'
mengklaim totalitas
gerak matahari tidak berujung pangkal, begitu
pula gerak Saturnus, maka
antara keduanya tidak ada penisbatan.
Dari itu, semustinya ada dua
jumlah yang terbatas, sebagaimana
adanya dua bagian dalam satu jumlah.
Hal ini sudah jelas dengan sendirinya. 34 Pernyataan ini me-
ragukan jika penisbatan bagian kepada bagian lain, seperti penis¬
batan mayoritas kepada minoritas, akan meniscayakan penisbatan
internal dalam dua jumlah seperti penisbatan mayoritas kepada
minoritas. Hal ini hanya akan terjadi manakala dua jumlah tersebut
saling berbatasan.
Tetapi bila tidak ada batas akhir,
berarti tidak ada mayoritas
dan minoritas. Dan jika dipaksakan ada
penisbatan, akan tampak
absurditas lain, yaitu sesuatu yang tidak
memiliki batas akhir lebih
banyak dari sesuatu yang tidak memiliki batas
akhir lainnya.
Ini mustahil terjadi pada sesuatu yang keduanya
benar-benar
tidak berbatasan, karena sewaktu-waktu bisa terjadi
penisbatan di
antara keduanya. Tetapi bila benar-benar terjadi,
nyata-nyata di
sana tidak ada penisbatan.
Inilah jawaban
untuk persoalan ini, tidak seperti jawaban Abu
Hamid tentang
pemyataan-pernyataan para filosof.
Dengan demikian, segala
keragu-raguan yang merasuki mereka
akan terlepas dan terurai. Kemudian
ambillah i'tibar (pelajaran) dari
semuanya, karena itulah yang biasa
mereka katakan, bahwa jika
gerakan-gerakan yang terjadi di masa lampau
adalah gerakan yang
tidak pemah berakhir, maka tentu sekarang tidak ada
gerakan yang
merujuk padanya, kecuali jika usai sudah sebelumnya gerakan
yang
tiada berakhir.
Ini benar dan dilegitimasi para
filosof, meletakkan gerakan
terdahulu sebagai syarat adanya gerakan
berikutnya. Hal tersebut
berarti ketika salah satu darinya ada, pasti
sebelumnya telah ada
sebab-sebab yang tiada berakhir.
Tidak
seorang pun dari para filosof yang memperbolehkan ada¬
nya sebab-sebab
yang tiada berakhir, sebagaimana diperbolehkan
oleh para ateis, karena
hal tersebut mengindikasikan adanya sesuatu
tanpa sebab. Adanya sesuatu
yang bergerak tanpa penggerak.
Tetapi, ketika kaum ditunjukkan
bukti-bukti, bahwasanya ada
kaidah-kaidah dasar yang sangat prinsipil,
yang menjadi motor
penggerak, Yang Azali, yang entitas-Nya tidak berawal
dan ber¬
akhir, serta perbuatan-Nya wajib tidak terlambat dari
wujud-Nya,
barulah mereka mempercayai kaidah bahwa perbuatan-Nya tidak-
lah seperti hal dalam entitas-Nya. Jika tidak, maka perbuatan-Nya
bersifat nisbi, tidak absolut. Tidak menjadi kaidah utama, menis-
cayakan perbuatan subjek yang tidak memiliki kaidah bagi wujud-
nya. Tidak memiliki kaidah bagi perbuatan-perbuatan tersebut,
seperti hal dalam wujud-Nya . 35
Jika demikian, tidak satu
pun dari perbuatan yang pertama
menurut akal menjadi syarat adanya
kedua, karena:
■ Masing-masing di antara keduanya bukanlah subjek
dengan zat.
m Keberadaan sebagian yang satu dengan lainnya
dengan
sifat
Maka mereka memperbolehkan adanya sesuatu yang
tiada
berakhir dengan sifat, bukan dengan zat. Sesuatu yang tiada ber-
akhir ini mustinya menjadi persoalan penting yang mengikuti wujud
kaidah-kaidah awal vang azali.
Dan itu bukanlah terdapat
pada contoh gerakan-gerakan yang
berkesinambungan, melainkan pada
sesuatu yang diasumsikan, bahwa
yang terdahulu menjadi penyebab yang
datang berikutnya, seperti
seseorang yang melahirkan anak.
Adanya manusia baru akan membawa pada subjek pertama
sebagai
causa prima adanya manusia, yang eternal ( qadim ) dan entitas-
Nya
tiada berawal.
Keberadaan manusia oleh manusia lain hingga tiada
berakhir,
ada dengan aksiden (' ardh ), sedangkan sebelum dan sesudahnya
dengan zat.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa subjek yang
wujudnya
tiada bermula, sebagaimana tiada awal bagi perbuatan-perbuat-
annya yang ia kerjakan tanpa alat, juga tiada awal bagi alat yang ia
pergunakan untuk menyelesaikan perbuatan-perbuatannya yang
tiada
bermula.
Ketika teolog kalam mempercayai yang ada dengan sifat
ada-
lah ada dengan zat, mereka berupaya mempertahankan wujudnya.
Memecahkan perkataan mereka sangat sulit, sehingga mereka
mengklaim dalil yang dilontarkan sebagai yang benar.
Pendapat para filosof sudah jelas. Bahkan guru filsafat per¬
tama, Aristoteles, terang-terang menyatakan, bahwa jika gerakan
itu memiliki gerakan, pasti gerakan tersebut tidak pemah ada. Jika
elemen memiliki elemen, elemen tersebut pasti tidak pemah ada.
Inilah contoh dari sesuatu yang tiada berakhir, yang mereka
anggap tiada berujung tepi. Karena tidak benar:
m Bahwasanya ia
telah habis
_ Dan tidak pula ia telah masuk dalam wujud
m Juga pada masa lampau
Karena setiap yang berakhir,
pastilah memiliki permulaan.
Dan, sesuatu yang tiada bermula, pasti juga
tiada akan pernah habis.
Hal seputar permulaan dan batas akhir
juga sudah jelas. Sebab,
orang yang mengatakan rotasi falak tidak akan
pernah berakhir di
masa-masa yang akan datang, hendaknya mereka tidak
mengata¬
kan ia memiliki permulaan, sebab sesuatu yang bermula, pasti
akan
berakhir. Dan sesuatu yang tiada berakhir, pasti tidak bermula.
Begitu pula persoalan pertama dan terakhir. Sesuatu yang tidak
bermula, pasti tidak berakhir. Dan sesuatu yang tidak berakhir,
sebenarnya bagian-bagiannya tiada pernah habis. Begitu pula
sesuatu yang bagian-bagiannya tiada bermula, ia juga tidak akan
pernah habis.
Oleh karena itu, jika teolog kalam menanyakan
para filosof,
apakah gerakan ( harakah ) akan terhenti sebelum gerakan
berikutnya?
Jawaban mereka, tidak. Karena menurut keyakinan yang dianut
mereka, sesuatu yang tiada bermula, tiada akan pernah berakhir.
Maka delusi teolog kalam, bahwa para filosof menerima ke-
berakhirannya tidaklah benar. Bagi mereka, sesuatu yang berakhir
hanyalah sesuatu yang memiliki permulaan.
***
Jelas sudah bagimu, bahwa dalil-dalil yang disampaikan para
teolog kalam tentang temporalitas alam (hudust al- alant) belumlah
dapat memberikan keyakinan . 36 Dan, dalil-dalil tersebut tidak se-
padan dengan tingkat bukti-bukti yang ada, begitu pula dalil-dalil
yang dimasukkan dan diutarakan tentang para filosof belum me-
madai untuk sebuah pembukdan. Inilah yang ingin 37 kami jelaskan
dalam buku ini.
Sebaik-baik jawaban bagi orang yang bertanya
tentang per-
buatan-Nya di masa lalu, sekiranya dikatakan, termasuk
perbuatan
dan wujud-Nya. Karena kedua-duanya tiada bermula.
Sedangkan jawaban Abu Hamid pada para filosof di dalam
meng
-counter dalil-dalil mereka seputar gerakan langit, bahwa se-
bagian
lebih cepat dari yang lain, berikut ini nash bantahannya untuk
mereka.
[9]. Abu Hamid berkata:
Jika ada yang berkata, letak
kesalahan pada perkataan kalian
tersusun dari valensi tunggal.
Sesungguhnya rotasi-rotasi ini tidak ada.
Yang dahulu
sudah habis.
Sedang yang akan datang belum ada.
Kemudian ia 3 * berkata meretroaksi pernyataan ini:
Kita katakan: bilangan itu terbagi menjadi genap dan ganjil.
Tiada akan pernah keluar dari keduanya, meskipun sesuatu yang
dihitung itu ada atau tiada.
Jika kita menghitung kuda, maka
kita harus percaya bahwa
jumlahnya tidak akan pernah meleset dari
bilangan genap atau
ganjil, baik kita anggap ada atau tiada.
Sesungguhnya jika ia ada
setelah tiada, pasti premis ini tidak akan
tiada dan berubah.
Ini akhir pernyataannya:
[9]. Saya
katakan:
Pernyataan ini hanya cocok bagi sesuatu yang memiliki
per-
mulaan dan batas akhir, baik di luar essensi ( nafs) maupun di
dalam-
nya. Maksud saya, akal akan menghukuminya dengan genap atau
ganjil dalam tiada dan adanya.
Adapun yang benar-benar tidak
memiliki permulaan dan batas
akhir, maka pernyataan tersebut tidak cocok
baginya. Tidak genap,
tidak ganjil, tidak bermula, tidak berakhir, tidak
termasuk masa
lalu, tidak pula termasuk masa depan. Karena sesuatu yang
ada
secara absolut, hukumnya sama dengan tidak ada.
Ini yang
diinginkan para filosof dengan pernyataan mereka,
sesungguhnya
rotasi-rotasi yang terjadi pada masa lalu dan yang
akan datang, tidak
ada.
***
Intisari persoalan ini, bahwa setiap
yang berjumlah terbatas,
pasti memiliki permulaan dan batas akhir. Baik
yang bersifat demi-
kian memiliki permulaan dan batas akhir di luar
esensi, ataupun di
dalamnya.
Sedangkan yang benar-benar
menjadi umum, dan terbatas
di masa lalu, baik di dalam maupun di luar
esensi, merupakan suatu
keharusan, baik berpasangan (ztnvj) maupun
sendiri-sendiri (fard).
Sementara yang memiliki jumlah tidak
terbatas di luar esensi,
ia tidak menjadi terbatas, kecuali setelah
masuk ke dalamnya.
Karena esensi tidak bisa melukiskan wujud sesuatu
yang tidak ter¬
batas, ia juga akan menentukan apakah berpasangan atau
sendirian.
Tetapi jika berada di luar esensi, ia tidak bisa
menentukan
apakah berpasangan atau sendirian.
Begitu
pula-yang ada pada masa lalu, yang benar-benar ada
di luar esensi, atau
tidak memiliki permulaan, maka tidak bisa ter-
sifati berpasangan atau
sendirian kecuali jika benar-benar ada. Mak-
sudnya, memiliki permulaan
dan batas akhir.
Semua gerakan yang ada tidak memiliki totalitas.
Maksudnya
permulaan dan batas akhir, kecuali jika ia berada dalam esensi
{nafs),
seperti keadaan dalam suatu kurun waktu, gerak rotasi, secara
oto-
matis tidak bisa diidentifikasi berpasangan atau sendirian kecuali
setelah masuk ke dalam nafs.
Sebab dalam kesalahan
ini, bahwa sesuatu jika berada dalam
nafs dengan sifat, diasumsikan ia
berada di luamya dengan sifat
tersebut.
Dan, selama sesuatu
yang terjadi di masa lampau tidak ter-
lukiskan dalam nafs kecuali dalam
keadaan terbatas, diasumsikan
semua yang terjadi di masa lampau secara
otomatis berada di luar
nafs.
Tetapi jika hal tersebut
terjadi di masa yang akan datang,
pasti sesuatu yang tiada memiliki
batas akhir terbayangkan sedikit
demi sedikit. Plato dan Asy'ariyah
menelorkan hipotesis kemung-
kinan rotasi falak (benda-benda langit) di
waktu yang akan datang
tidak memiliki batas akhir.
Semua ini
tergolong hukum ilusif imajinatif, tidak berdasar-
kan pembuktian.
Karenanya, ia lebih mengakar dan lebih terjaga ke-
timbang pendapat
bahvva kosmos memiliki permulaan dan batas
akhir, seperti divakini
banvak teolog kalam.
[10]. Perkataan Abu Hamid berikutnya:
Meskipun kita katakan kepada mereka, bahwasanya tidak
mustahil genesis kalian ada. Ia tunggal dan selalu berubah dengan
sifat dan tidak memiliki batas akhir.
Ia adalah nafas
keturunan Adam yang terpisahkan dari badan
oleh kematian. Ia tetap ada,
meskipun tidak bisa diidentifikasi genap
atau ganjil. Dengan apa kalian
akan membantah hal ini, sebagaimana
kalian mengingkari keterpautan
iradah qadimah dengan sesuatu yang
temporal.
Pendapat
tentang rafas ini adalah ajaran Ibn Sina, yang se-
pertinya merupakan
mazhab Aristoteles.
[10]. Pernyataan yang sangat lemah, dan tidak
argumentatif.
Intinya, ia berharap kalian tidak mengingkari
pendapat kita.
Apa yang semustinya menjadi keharusan, pasti (dlaruri)
menurut
kita, tetapi kalian tidak menganggapnya kewajiban. Kalian telah
meletakkan sesuatu yang memiliki posibilitas, sementara lawan-
lawan kalian mengakui penolakannya bersifat rasional. Atau kalian
menyatakan sesuatu possible, tetapi mereka katakan impossible,
sebagaimana kalian katakan suatu keharusan atau kepastian, tetapi
mereka bilang tidak eksak. Kalian tidak bisa meletakkan dua dak-
waan secara deferensiasil.
Dalam ilmu mnnthiq, hal seperti
ini disebut perhelatan retoris
yang tiada berarti, sophistik.
***
Sebagai jawaban dari persoalan ini, akan
dikatakan, sesung-
guhnya orang yang mengakui tahu pasti tentang orang
lain, ia pasti
juga tahu dirinya sendiri.
Dan, apa yang
kalian teriakkan bahwa ia pasti batil, ternyata
tidak seperti yang
kalian teriakkan.
Tidak ada jalan untuk mendiferensiasi dengan
jelas, kecuali
melalui perasaan (dzawq), sebagaimana menanggapi
pemyataan orang
vang mengatakan syi'ir ber-ivnzan atau tidak. Maka
perasaan naluri
yang unggul (al-fitrat al-sSIimat al-fa'iqat) memegang
peranan dan oto-
ritas untuk menjawabnva.
Sedangkan
peletakan nnfs tanpa dibangun atas dasar pan-
dangan filosofis yang
sangat banyak, tidaklah diketahui oleh suatu
kaum, 34 karena sebab
pluralitas bilangan adalah materialisme me-
nurut rnereka. Dan sebab
kesepakatan (understanding) dalam plura¬
litas bilangan adalah metode.
Mustahil apabila ada sesuatu yang berbilangan banyak, se-
bagian dengan metode dan yang lain dengan materi. Hal itu karena
seseorang tidak berbeda dengan lainnya, baik dalam sifat kecuali
dalam aksiden ( 'ardh ). Sebab sifat-sifat yang dimiliki seseorang, bisa
jadi juga dimiliki orang lain. Dari dari segi materi, seseorang tentu
berbeda dari orang-orang yang lain.
Begitu pula, penolakan
wujud sesuatu yang tidak memiliki
batas akhir, baik berupa jisim maupun
non-jisim, merupakan kaidah-
kaidah dasar yang divakini suatu kaum.
Kita tidak mengenal seseorang yang membedakan antara
yang
berpangkat dan yang tidak berpangkat selain Ibn Sina. 4U Orang
lain pada
umumnya, tidak mendapatkan salah seorang di antara
rnereka vang
sependapat dengan pernyataan ini, bahkan kita tidak
menemukannya dalam
kaidah-kaidah yang rnereka yakini. Ia ter-
golong khurdfah (takhayul).
Karena kaum tersebut sungguh-sungguh
mengingkari wujud sesuatu yang
tiada memiliki batas akhir, baik
berupa jisim atau non-jisim. Sebab hal
tersebut akan meniscayakan
rnereka meyakini sesuatu yang memiliki batas
akhir lebih banyak
dari sesuatu yang tidak memiliki batas akhir.
Semoga saja Ibn Sma bertujuan memberikan kepuasan kepada
khalayak seperti yang biasa mereka dengar tentang persoalan nafs.
Tetapi nyatanya perkataan tersebut sedikit memberikan kepuasan.
Karena jika ada wujud sesuatu yang tiada memiliki batas akhir, nis-
caya sesuatu yang parsial tidak berbeda dengan global. Maksudnya,
jika ia membagi sesuatu yang tidak memiliki batas akhir menjadi
dua bagian.
Misalnya, apabila ada garis atau bilangan yang
tiada batas akhir
pada kedua ujungnya, kemudian dibagi menjadi dua,
pasti masing-
masing bagian tersebut juga tidak memiliki batas akhir.
Sesuatu yang global jelas tidak memiliki batas akhir. Maka,
sesuatu yang parsial atau global, sebenarnya tidak memiliki batas
akhir. Dan hal itu mustahil. Semua ini hanya akan ada, manakala
sesuatu yang tidak memiliki batas akhir diletakkan secara benar.
[11]. Abu Hamid berkata:
Jika dikatakan, yang benar
adalah pendapat Plato bahwa jiwa
{nafs) itu eternal dan tunggal. Ia
terbagi-bagi di dalam beberapa badan.
Jika telah berpisah, ia kembali ke
asalnya dan bersatu.
Kita katakan, ini lebih buruk. Akan lebih
baik seandainya ia
meyakini yang bertentangan dengan otoritas rasio.
Kita jelaskan, jiwa Zayd adalah jiwa Umar juga atau lainnya.
Jika yang dimaksud jiwa Zayd itu sendiri, premis tersebut ditolak
menurut akal. Karena masing-masing individu tahu dan merasakan,
bahwa jiwa yang ada dalam dirinya adalah jiwanya sendiri, bukan
jiwa orang lain.
Andaikata benar jiwa Zayd itu sendiri
adalah jiwa Umar, pasti
tingkat keilmuan keduanya sama. Sebab ilmu
adalah sifat zat bagi
jiwa, selalu ada di dalamnya pada setiap
pertumbuhan.
Bila kalian katakan, bahwa jiwa Zayd itu sendiri
adalah jiwa
Umar yang terbagi dan terpisah oleh badan, maka kita katakan
bahwa
pembagian dan perpecahan satu yang tidak memiliki kebesaran
volume dan kadar kuantitas {kammiyyah micjdariyyah), mustahil me¬
nurut akal. Bagaimana mungkin satu menjadi dua atau bahkan se-
ribu, kemudian kembali lagi menjadi satu?
Tetapi hal
semacam ini akan menjadi rasional, jika terdapat
dalam sesuatu yang
memiliki kebesaran volume dan kadar kuan¬
titas, seperti air laut yang
terbagi menjadi anak sungai dan sungai,
kemudian kembali lagi ke laut.
Sedang yang tidak memiliki kadar kuantitas, bagaimana ia akan
terbagi?
Maksud dari semua ini tiada lain untuk menerangkan,
bahvva
mereka tidak berhasil memperdaya lawan dari keyakinan mereka
dalam keterpautan iradah qadimah dengan sesuatu yang temporal,
kecuali dengan mengajak akal menolak hal tersebut. Sementara mereka
tidak mengindahkan dogma rasio yang bertentangan dengan ke¬
yakinan mereka. Ini belum ada solusi.
[11]. Saya katakan:
Secara kuantitatif Zayd bukanlah Umar. Zaid dan Umar adalah
satu dalam bentuk, yaitu jiwa.
Andaikata secara kuantitatif
jiwa Zayd bukanlah jiwa Umar,
sebagaimana dia Zayd bukan Umar secara
kuantitatif, maka jiwa
Zayd dan jiwa Umar dua secara kuantitatif, dan
satu dalam bentuk.
Maka, dalam jiwa ada jiwa lain.
Dengan
demikian, terpaksa jiwa Zayd dan jiwa Umar menjadi
satu dalam bentuk.
Dan satu dalam bentuk tergolong pluralitas
kuantitas, maksudnya bagian
dari materi.
Andai jiwa tidak binasa saat badan telah hancur, atau
sesuatu
seperti sifat ini, maka saat meninggalkan badan, ia wajib
menjadi
satu secara kuantitatif.
Tiada jalan bagi penyebaran
41 ilmu yang demikian dalam kitab
ini.
Adapun
pemyataan yang dipakai, untuk membantah mazhab
Plato bersifat sophistik.
Alhasil, bahwa jiwa Zayd, baik jiwa itu sen-
diri adalah jiwa Umar, atau
jiwa lain, akan tetapi bukanlah jiwa Umar
itu sendiri.
Kata
'selain' adalah ism musytarak. Begitu pula 'dia', dipakai
untuk
menunjukkan bilangan lain. Dengan demikian, maka jiwa Zayd
tunggal dalam
satu sisi, dan plural dalam sisi yang lain. Seakan-akan
Anda katakan,
tunggal dalam bentuk dan plural dalam pemiliknya.
Sedangkan
perkataannya, bahwa tiada pemah terbayangkan
pembagian kecuali pada
sesuatu yang kuantitatif, sungguh pernyata-
an tersebut tidak tepat bagi
bagian ( juz ‘), tetapi tepat bagi pembagi¬
an dengan zat. Jisim adalah
contoh yang terbagi dengan zat. Sedang¬
kan pembagian dengan sifat
seperti wama putih dalam jisim seiring
pembagian jisim ltu sendiri.
Demikian pula bentuk dan jiwa terbagi
dengan sifat. Java tidak berbeda
dengan sinar. Sinar akan terbagi se-
suai maten Y an g tersinari,
kemudian menyatu saat materi itu telah
padam. Begitu pula masalah jiwa
dengan badan.
1 enggunaan retorika sophistik macam ini, sungguh
sangat
tidak laik. Ia mengklaim bukan penganut kaum sophis, tetapi
semata
bermaksud mengelabuhi" khalayak. Hal yang demikian bukanlah
etika dan moralitas kaum penyampai kebenaran.
Semoga orang
ini selalu diampuni Allah. Ia diuji melalui kitab-
nya, karena beberapa
pemyataannya yang tidak bermanfaat dalam
menambah keimanan. Ia berkata:
[12], Tujuan dan semua ini, kita ingin menegaskan bahwa mereka
tidak
akan berhasil memperdaya lawan-lawannya tentang keyakinan ke-
terpautan irddah qadimah dengan sesuatu yang temporal, kecuali dengan
mempengaruhi akal. Tetapi mereka tetap bersikukuh dengan pen-
dirian dan keyakinannya, tidak terpengaruh oleh propaganda lawan-
lawan mereka. Dan masalah ini belum ada pemecahannya.
[12].
Saya katakan:
Seseorang yang menduga sesuatu yang diketahui dengan
sen-
dinnya dalam suatu keadaan, sedang dia kontradiktif dengan ke-
adaan tersebut, maka tidak perlu ada kata-kata, karena setiap kata-
kata hanya cocok untuk masalah-masalah yang sudah diketahui,
agar kedua orang yang berseteru bisa mengambil keputusan secara
sama.
Jika seseorang menduga setiap perkataan, dan selalu
bersifat
kontradiktif dengan apa yang dinyatakan lawan, maka tidak ada
cara lain kecuali wacana dialogis, bantahan dan mendiskusikan-
nya.
Sedangkan seseorang yang mengira sesuatu yang diketahui
dengan sendirinya, sebagai sesuatu yang tidak diketahui dengan
sendirinva karena terkontaminasi syubhat. Maka hal ini tentu ada
obatnya, vaitu dengan meninggaikan syubhat tersebut. Bag! dia yang
tidak mengakui sesuatu yang diketahui dengan sendirinya karena
kelabilan watak (naqish nl-fithrat), tentu tidak ada cara untuk mem-
buatnya mengerti, bahkan dididik pun seakan tiada bermakna. Hal
tersebut seperti menyuruh orang buta untuk menyebut aneka warna.
[ 13 ]. Abu Hamid berargumentasi kepada para filosof:
Apabila dikatakan, sebelum penciptaan kosmos, sekitar satu
dua tahiin, sebenarnya Allah SWT. telah memiliki kekuasaan untuk
menciptakan. Dan, kekuasaan tersebut tiada memiliki batas akhir
(nihayah). Dia seakan bersabar menahan diri tidak menciptakan, ke-
mudian menciptakannya. Kurun waktu selama Allah SWT. tidak men¬
ciptakan kosmos ini terbatas atau tidak? Jika kalian katakan terbatas,
berarti entitas awal Allah SWT. juga terbatas. Tetapi jika kalian kata¬
kan tidak terbatas, berarti habis sudah kurun waktu yang memiliki
kemungkinan-kemungkinan tiada terbatas.
Menurut kita, kurun
waktu dan zaman, keduanya, merupakan
makhluk.
Kita
akan menjelaskan jawaban yang sebenarnya secara
terperinci tentang dalil
yang mereka gunakan pada pendapat kedua.
[13], Mayoritas yang
berpendapat hudiist al-'nlam, juga berkata, zaman
itu temporal. Atas
dasar itu, menurutnya, kurun waktu selama Allah
SWT. tidak melakukan
proses penciptaan itu tidak terlepas dan
keterbafasan atau tidak
keterbatasan.
Pendapat yang tidak shahih. Sesungguhnya sesuatu
yang tiada
bermula pasti juga tidak memiliki batas akhir. Sang lawan
tidak
terima kalau sebelum proses penciptaan kosmos ada kurun waktu.
Semustinya, yang harus dikatakan kepada mereka, mungkinkah
ujung
zaman yang menjadi titik mula proses penciptaan kosmos
lebih jauh dari
yang kita alami sekarang? Atau tidak mungkin?
Jika mereka menjawab
tidak mungkin, berarti mereka telah
membuat kadar terbatas, yang Sang
Pencipta tidak mampu berbuat
lebih banyak darinya. Ini buruk sekali, dan
tentu sangat mustahil.
Tetapi, jika mereka menjawab mungkin,
berarti ujung zaman lebih
jauh dari yang kita alami sekarang. Dari ujung
makhluk mengatakan,
mungkinkah ujung kedua lebih jauh darinya? Jika
mereka menjawab
ya, maka katakanlah, di sinilah letak kemungkinan
terjadinya kadar
zaman yang tiada memiliki batas akhir. Habisnya kadar
zaman ter-
sebut memastikan pernvataan kalian, tentang rotasi sebagai
syarat
terjadinya kadar zaman (,miqdar zamant) yang ada. Adapun perbeda-
an antara keduanya, bahwa beberapa kemungkinan yang tiada ter-
batas itu adalah kadar-kadar yang belum membuahkan perbuatan.
Sedangkan beberapa kemungkinan rotasi yang tiada memiliki batas
akhir telah membuahkan perbuatan.
Dikatakan, beberapa
kemungkinan pada sesuatu adalah,
masalah-masalah yang lazim pada sesuatu
itu, baik mendahului atau
bersamaan dengan sesuatu tersebut, seperti
pendapat suatu kaum.
Hal tersebut memastikan bilangan pada sesuatu
tersebut. Jika
memang mustahil adanya rotasi yang tiada memiliki batas
akhir
sebelum ini, maka mustahil pula adanya beberapa kemungkinan
rotasi yang tiada memiliki batas akhir itu.
Tetapi ada juga
yang mengatakan, bahwa sesungguhnya
kadar zaman terbatas. Maksudnya,
zaman sebelum proses kejadian
kosmos. Maka tidak mungkin adanya zaman
yang lebih besar atau
lebih kecil, sebagaimana dinyatakan suatu kaum.
Oleh karena itu,
contoh pemyataan seperti ini tidak argumentatif. Tetapi
akan lebih
terjaga bagi yang berpendapat, bahwa kosmos ada yang
mencipta-
kan, kadar zaman terbatas; tidak meletakkan kemungkinan men¬
dahului sesuatu yang mungkin; dan menyatakan ukuran kebesaran
memiliki batas. Tetapi, kebesaran memiliki universalitas, sementara
zaman tidak.
[14]. Abu Hamid bercerita saat para filosof
menyanggah lawan-lawan-
nya, bahwa al-ma'arif al- Cila (pengetahuan
pertama) akan mengakhir-
kan perbuatan Vang Dahulu dari keinginan-Nya.
Mereka juga mem-
berikan beberapa dalil atas premis ini.
Ia
berkata, "Dengan apa kalian akan menyanggah mereka
yang meninggalkan
tuntutan rasio, tetapi di sisi lain mereka me-
makainya sebagai dalil?"
Sampai perkataannya; jika tidak, maka
tiada terbayangkan keunggulan
sesuatu dari yang menvamai-Nya.
Saya katakan:
Inti dari apa
rang dia ceritakan sebenarnya ingin membukti-
kan bahwa tidak mungkin
ada yang temporal dari subjek yang azali.
Di situ tidak mungkin
ada iradah.
Sanggahan ini ditujukan kepada mereka 43 yang telah
menerima
pendapat lawan-lawan mereka yang menyatakan, bahwa banyak hal
yang bertentangan semuanya sama jika dikembalikan kepada iradah
qadimah.
Tidak ada pertentangan seputar zaman, seperti yang
pertama
atau yang terakhir. Juga tidak ada corak yang berlawanan,
seperti
hitam dan putih. Begitu pula ada dan tiada, dalam pandangan
mereka sama, termasuk juga iradah azaliyyah.
Ketika mereka
menerima mukadimah ini dari sang lawan,
meskipun tidak mengakuinya namun
mereka mengatakan, Sesung-
guhnya iradah tidak menjadikan sesuatu unggul
dari yang lain, ke-
cuali jika ada pengkhusus atau sebab pada yang satu,
dan tidak ada
pada lainnya. Jika tidak, berarti hal tersebut terjadi di
luar iradah,
secara konvensif dan konsensional.
Sepertinya
para filosof juga sependapat dengan mereka dalam
pernyataan ini, bahwa
apabila iradah ada pada sesuatu yang azali,
maka hal tersebut
memungkinkan adanya yang temporal dari yang
eternal.
Ketika
teolog kalam tidak mampu menjawab, mereka me¬
ngatakan, bahwa iradah
qadimah adalah sifat yang dapat membuat
sesuatu unggul dari yang lain
dengan tanpa adanya pengkhusus atau
sebab yang mengunggulkan perbuatan
salah satunya atas yang lain.
Seperti panas yang sifatnya memberikan
kehangatan. Juga ilmu yang
sifatnya mengetahui sesuatu.
Maka
lawan-lawan mereka dari para filosof, berkata, ini ab¬
surd, sulit
dibayangkan akan terjadi. Karena dua hal yang sejems,
dalam pandangan
yang berkeinginan {murid) sama saja. Perbuatan
yang satu tidak terpaut
dengan yang lain, kecuali jiwa salah satunya
memiliki sifat yang tidak
dimiliki lainnya. Sedangkan, jika kedua
hal tersebut sama dari segala
sisi dan tidak ada pengkhusus sama
sekali, pasti irddah terpaut dengan
keduanya secara balance. Dan jika
keterpautan irddah yang menjadi sumber
timbulnya perbuatan sama,
maka keterpautan perbuatan yang satu tidaklah
lebih utama atas
yang lain. Sedangkan keterpautan dengan dua perbuatan
yang ber-
tentangan secara bersama-sama, masing-masing perkara tersebut
mustahil adanya.
Dalam pernyataan pertama, tampaknya mereka
sependapat
dengan mereka, bahwa segala sesuatu semuanya sama, termasuk
juga subjek pertama. Semustinya ada pengkhusus yang lebih dahulu
dari subjek tersebut. Dan hal tersebut mustahil adanya.
Ketika mereka menjawab, bahwa irddah adalah sifat yang
dapat
membuat sesuatu menjadi unggul dari lainnya. Lawan-lawan
mereka
menyanggah dan menyatakan, bahwa makna irddah dalam
perspektif seperti
ini sulit dimengerti dan irasional. Seakan-akan
mereka menyangkal
sesuatu yang fundamental, yang mereka
justifikasi.
Kesimpulan dari pembahasan tentang pengalihan persoalan
pertama ke irddah, adalah bahwa style pengalihan pembicaraan se-
macam ini banyak dilakukan kaum Sophis.
[15]. Abu Hamid
menjawab teolog kalam seputar irddah:
Polemik terjadi dalam dua
sisi:
Salah satunya, menyangkut pernyataan kalian, "ini sama
sekali
tidak terbayangkan. Apakah kalian telah benar-benar menelaah
berdasarkan rasio? Sehingga menafikan tuntutan salah satu dari
keduanya?
Juga illustrasi kalian tentang irddah. Sungguh
analogi yang
keliru, menandingi analogi ilmu, bahwa ilmu Allah SWT.
tidak ber-
beda dengan ilmu kita. Kiranya tidak terlalu jauh
perbedaannya
dengan irddah.
Seperti apa yang dikatakan
seseorang, bahwa Dia adalah zat
yang ada, tidak di dalam atau di luar
kosmos, tidak bersambung
dan tidak pula berpisah, serta tidak rasional,
sebab kita tidak pernah
merasionalisasikannya.
Dikatakan,
ini perbuatan wahammu. Sementara dalil-dalil 'nqli
telah membawa kaum
pemikir membenarkannya.
Dengan apa kalian akan menyanggah rnereka
yang berkata,
bahwa dalil 'aqli telah menggiring pada penetapan sifat
Allah SWT.
yang dapat menjadikan satu lebih unggul daripada yang lain.
Jika
memang sifat tersebut tidak tepat untuk disebut iradah, cobalah
cari
nama yang lain. Tidak akan ada yang membantah, sebab kita meng-
gunakannya dengan izin syara'. Jika tidak, maka iradah menjadi ter-
minologi linguistik untuk menentukan tujuan T 1 Dan tidak ada tujuan,
sebab yang dituju adalah makna, bukan lafal.
Kita sebenarnya
tidak terima, jika dikatakan sulit dibayang
kan. Ibarat kita
menghadirkan dua buah bagi seseorang yang sangat
mengmginkannya, tetapi
tidak dapat memiliki kedua-duanya. Tentu
dia akan mengambil salah satu
atas dasar pertimbangan sifat yang
mengkhususkan satu dari yang
lain.
Semua jenis mukhashsish (pengkhusus) yang kalian sebutkan,
baik kualitas, kedekatan, atau kemudahan untuk mengambilnya,
semua
itu dapat kita hilangkan. Sekarang tinggal kemungkinan
untuk mengambil,
dan kalian berada di antara dua hal. Hal tersebut
akan lebih baik dengan
mengatakan, bahwa tidak terbayangkan
kesamaan sesuai dengan
tujuan-tujuannya. Dan, itu termasuk
tindakan tolol. Tapi
mengasumsikannya memungkinkan. Atau
kalian katakan, bahwa jika
meniscayakan persamaan, orang yang
menginginkan buah tersebut akan
memandanginya penuh keragu-
raguan. Akhirnya ia tidak berani mengambil,
dan membiarkan
iradah (keinginan) dan ikhtiar (usaha) tidak menggapai
tujuan. Hal
ini mustahil terjadi.
Jadi, realisasi usaha dari
penetapan sifat yang dapat meng¬
khususkan sesuatu dari padanannya itu
sebuah keharusan bagi se-
tiap orang yang berpikir.
[15].
Saya katakan:
Inti polemik ini ada pada dua sisi:
Salah
satunya, dia menerima bahwa iradah yang ada dalam
illustrasi tadi
mustahil akan mengunggulkan yang satu dari yang
lainnya. Dan akal
dipaksa untuk mengakui adanya sifat ini pada
subjek pertama. Wujud sifat
dalam keadaan seperti ini yang dia ang-
gap tidak mungkin, sama persis
dengan anggapan tidak ada wujud
di dalam maupun di luar kosmos.
Atas dasar ini, maka iradah yang disifatkan kepada Allah SWT.
dan iiddah manusia dinyatakan dengan kalimat yang mengandung
hujjaliitas, seperti ism 'alam (nama benda) dan sebagainya. Sedangkan
sifat yang keberadaannya pada sesuatu yang azali, bukan pada se-
suatu yang temporal, tetap kita sebut iradah, atas tuntunan syara'.
* *
Klimaks pertentangan ini jelas sangat dilematis,
sebab bukti-
bukti yang menunjukkan sifat dengan keadaan seperti ini,
yaitu meng-
khususkan salah satu yang sepadan, dan memposisikan semua
ke-
inginan sama.
Sebenamya bukan sama, melainkan
bertentangan. Karena yang
bertentangan semua kembali kepada ada dan
tiada. Bahkan kedua-
nya sangat bertentangan.
Maka mereka
mengambil sikap, bahwa yang memiliki relasi
dengan iradah sama itu,
tidak benar. Nanti akan kita bicarakan.
Jika mereka mengatakan
kita hanya mengatakan sama, apabila
ia berhubungan dengan murid awwal
(yang berkeinginan pertama),
sebab Dia terbebas dari segala macam tujuan
( aghrddl ).
Tujuannya adalah, untuk yang benar-benar
mengkhususkan
sesuatu dari padanannya.
Kita katakan,
sedangkan tujuan intinya menyempurnakan zat
yang berkeinginan, seperti
tujuan yang terkait dengan keinginan
kita terhadap sesuatu. Hal ini
mustahil terjadi pada Allah SWT., karena
iradah yang demikian bentuknya,
adalah keinginan untuk melengkapi
kekurangan yang terdapat pada yang
berkeinginan.
Sedangkan tujuan bagi zat yang diinginkan ( murad ),
bukan
karena sesuatu yang diinginkan dapat memberikan sesuatu yang
belum ada pada yang berkeinginan, seperti mengeluarkan sesuatu
dari tidak ada menjadi ada, pasti ada itu lebih utama dari tidak
ada.
Beginilah keadaan iradah azali bersama segala sesuatu
yang
ada (mawjudat). Ia akan senantiasa memilih yang terbaik dari dua
hal
yang bertentangan.
£ ❖ sjs
Inilah salah satu
dilema yang ada dalam pemyataan ini.
Sedangkan dilema kedua, tidak
diterimanya penafian sifat
yang ada dalam illustrasi. Ia ingin
menegaskan, bahwa di dalam
banyak hal ada iradah yang dapat
mengunggulkan satu dari padanan
yang lain.
Untuk itu, ia
mengemukakan sebuah contoh, sebagaimana kita
menghadirkan dua buah yang
sama dari segala sisi di tangan sese-
orang. Menurut asumsi kita, orang
tersebut tidak dapat mengambil
semuanya, juga tidak dapat membayangkan
adanya mumjjih pada
salah satunya. Maka, orang tersebut harus mencari
letak keunggul-
an yang satu dari yang lain, kemudian mengambilnya.
Hal ini tidak benar. Jika sesuatu memiliki sifat seperti
ini,
sementara orang tersebut ingin makan buah itu, maka vvalaupun ia
mengambil salah satu dari dua buah tersebut, tidak berarti ia meng¬
unggulkan satu dari yang lain. Hal itu dilakukan karena ia mengang-
gap tidak ada perbedaan. Mana di antara keduanya yang diambil,
sekiranya dapat mengantarkannya pada pencapaian tujuan. Iradah
orang tersebut hanya akan terkait dengan tamxjiz (distingsi) peng-
ambilan salah satu dari dua buah tadi bila ia meninggalkan kedua-
duanya dan tidak mengambil sama sekali.
Maksudnya, jika
persentase pencapaian tujuan dalam dua
buah tersebut berimbang, maka
seharusnya ia tidak mengutamakan
yang satu dan meninggalkan yang lain,
melainkan mengambil salah
satu yang mana saja, dan mengunggulkannya
dengan tidak meng¬
ambil sama sekali.
Hal ini sudah sangat jelas,
sebab membedakan yang satu dari
yang lain menjadikan yang satu lebih
unggul dari lainnya.
Pada dua benda yang sama, tentu tidak ada
salah satu yang
lebih unggul di antara keduanya. Jika kesamaan yang
dimaksud
ada pada wujud manusia, keduanya tentu tidaklah sama. Sebab,
masing-masing di antara dua orang tersebut dibedakan oleh sifat-
nya sendiri-sendiri.
Jika iradah diidentikkan dengan makna
spesifik yang ada pada
salah satu di antara keduanya, berarti iradah
hanya ada pada salah
satunya, sebab distingsi keduanya pastilah ada.
Jadi, iradah itu tidak ada korelasi dengan dua hal yang sama,
dari sisi kesamaan keduanya.
Ini makna yang terkandung dalam
pertentangan dilematis
bagian pertama.
Selanjutnya, Abu
Hamid mendeskripsikan pertentangan
bagian kedua atas pemyataan mereka,
bahwa tidak ada sifat yang
membedakan atau mengunggulkan satu dari yang
lain. Ia berkata:
[16]. Dan bagian kedua dari pertentangan
tersebut kita nyatakan, sesuai
mazhab yang kalian anut. Kalian tidak
menyatakan adanya takhshish
(spesifikasi) pada dua hal yang sama.
Padahal alam ada karena ada
sebab-sebab tertentu yang meniscayakan
keadaannya dalam bentuk-
bentuk tertentu pula, dengan beberapa bagian
yang sama. Mengapa
ia menjadi spesifik pada beberapa sisi? Absurditas
distingsi sesuatu
dari padanannya tentu tidak berbeda menurut akal.
Sampai per-
nyataannya, .. .keadaan yang statis lebih baik baginya
daripada ber-
gulir secara dinamis/
Hal inilah yang belum
ditemukan jalan keluarnya.
[16].. Inti pernyataan ini, semustinya
para filosof mengakui, bahwa Sang
Pencipta kosmos ini memiliki sifat
yang membedakan-Nya dari
padanan yang lain.
Hal tersebut
mengindikasikan, kosmos mungkin tercipta dalam
bentuk yang tidak seperti
ini, karena ia bisa lebih besar atau lebih
kecil dari yang sudah ada.
Jika demikian, sifat tersebut sama-sama membutuhkan wujud
kosmos.
Menurut para filosof, kosmos mungkin saja tercipta dengan
bentuk, kuantitas, jisim dan bilangan tertentu.
Indikasi
persamaan itu hanya tampak pada waktu proses pen-
ciptaan. Padahal tidak
ada waktu, sebab kosmos tercipta jauh lebih
dulu dari segala sesuatu.
Dikatakan kepada mereka, kalian mungkin saja menjawab
ini,
bahwa penciptaan alam telah dilakukan pada waktu yang sangat
tepat.
Tetapi kalian telah menampakkan dua hal yang sejenis, mem-
buat para filosof tidak bisa mengelak untuk mengatakannya ber-
beda.
Salah satunya, spesifikasi arah gerakan falak.
Kedua, spesifikasi letak dua kutub falak, karena dua titik
yang berseberangan, masing-masing ditarik oleh garis dari satu
titik ke titik yang lain pada fokus bumi sehingga menjadi dua kutub
(vang berbeda).
Maka takhshish pada salah satu di antara dua
titik, dari titik-
titik Iain vang bisa menjadi kutub di belahan bumi
ini dipilih atas
pertimbangan sifat-sifat yang ada pada salah satu di
antara ke-
duanya.
Jika mereka berkata, tidak sembarang
tempat bisa menjadi
kutub di belahan bumi ini. Maka kita katakan, atas
dasar ini, kalian
berarti menafikan persamaan pada bagian-bagian bumi.
Kalian
dengan enteng telah mengatakan di tempat lain mana saja. Padahal
hal mi ditentukan karena adanya bentuk yang sederhana, yaitu
bulat.
Begitu juga apabila mereka mengakui adanya
tempat-tempat
yang tidak sama, katakanlah kepada mereka, dari sisi mana
ia men¬
jadi tidak sama? Apakah dari sisi karena ia disebut jisim? Atau
karena
disebut jisim sarnawi (benda langit)? Sehingga untuk kedua hal
tersebut tidak memungkinkan adanya persamaan.
Ia berkata,
jika demikian adanya, benar apa yang dikatakan
mereka, bahwa waktu-waktu
terjadinya kosmos itu sama. Juga benar
lawan mereka, bahwa semua
bagian falak menjadi kutub-kutub yang
sama, yang tidak tampak adanya
spesifikasi.
Inilah intisari dari perhelatan retorik tersebut.
Banyak sekali
persoalan yang menurut bukti-bukti merupakan keharusan,
tetapi
da lam pandangan akal bersifat mungkin.
Menurut
pandangan para filosof, penciptaan kosmos terdiri
dari lima jisim. Satu
jisim yang tidak berat juga tidak ringan, yaitu
jisim samawi yang
berbentuk bulat dan berrotasi. Sedangkan dua
di antara empat jisim
lainnya, salah satunya berupa sesuatu yang
berat secara mutlak, yaitu
tanah yang menjadi titik pusat perputaran
jisim yang bundar. Lainnya
berupa sesuatu yang ringan secara
mutlak, yaitu api yang berada di
bagian dalam falak yang berputar.
Air mengikuti tanah. Ia
tergolong berat dibanding udara,
tetapi ringan dibanding tanah.
Kemudian udara mengikuti air. Ia tergolong ringan dibanding
air, tetapi berat dibanding api.
Tanah dikategorikan berat
secara mutlak, karena letaknya
yang jauh dari gerakan yang berputar.
Oleh karena itu, ia menjadi
titik pusat yang statis.
Sementara api dikategorikan ringan secara mutlak, karena
kedekatan letaknya dengan gerakan yang berputar.
Sedangkan
jisim-jisim lain di antara keduanya memuat dua
hal secara bersamaan,
yaitu berat dan ringan. Hal itu karena kedua¬
nya berada di
tengah-tengah dua ujung, yaitu ujung yang paling
dekat dan yang paling
jauh.
Apabila tidak karena jisim yang berputar, maka:
■ Tidak ada berat dan ringan.
“ Tidak ada atas dan
bawah, baik secara mutlak maupun
perbandingan.
Dan, ketika
ada perbedaan itu, bumi pun bergerak ke tempat
tertentu, sementara api
bergerak ke tempat yang lain. Begitu pula
jisim-jisim lain selain
keduanya.
Ditinjau dari sisi jisim yang bulat, alam itu terbatas.
Sebab jisim
yang bulat itu dibatasi oleh zatnya, yaitu diliputi oleh
satu bidang
bundar. Sedangkan jisim yang Iurus tidaklah dibatasi oleh
zatnya.
Oleh karena itu, ia bisa berkurang atau lebih. Tetapi ia
menjadi ter¬
batas, karena berada di tengah-tengah jisim yang membuatnva
tidak
bisa bertambah atau berkurang. Maka, ia disebut tidak terbatas
oleh zatnya. Dan, ketika demikian yang terjadi, tidaklah sah apabila
benda-benda langit yang mengitari kosmos tidak berbentuk bulat.
Jika tidak, maka jisim-jisim pasti akan menjadi terbatas, baik dibatasi
oleh jisim lain, atau berakhir pada kehampaan {khala'). Jelas sudah,
kedua hal tersebut tidak bisa diterima.
Menurut prediksi
ilmu ini, setiap alam itu wajib dan tidak
mur.gkin ada kecuali dari
jisim-jisim tersebut. Dan setiap jisim tidak
mur.gkin terlepas dari:
_ Baik berbentuk bulat, sehingga menjadi tidak berat juga
tidak ringan.
m Atau, berbentuk lurus, sehingga menjadi
berat atau
ringan. Maksudnya, bisa menjadi api, tanah, dan juga
menjadi salah satu di antara keduanya.
Ini hanya terjadi
pada sesuatu yang bulat atau memiliki bidang
bulat. Sebab setiap jisim
itu bisa bergerak dari tengah, ke tengah,
atau di sekitar bagian tengah.
Benda-benda langit (planet) bisa bergerak ke kanan dan ke
kiri, menyatu dengan jisim-jisim lain. Semua kosmos yang berlawan-
an ada di sana. Jika satu saja berhenti bergerak, konstruksinya pasti
akan menjadi kacau.
Tampaknya, konstruksi ini harus selaras
dengan totalitas
gerakan. Jika sedikit saja bertambah atau berkurang,
pasti konstruksi
tersebut akan kehilangan keseimbangan atau membentuk
konstruksi
lain. Sedangkan, totalitas gerakan ini bisa dengan jalan
keharusan
pada vvujud sesuatu (thariq adl-dlarurah), atau dengan jalan
optimum
{thariq al-afdhal).
Ini semua, jangan sampai
menjadikan kamu rakus untuk me-
nyebutkan banyak bukti. 45 Jika Anda
memang termasuk golongan
ahl al-burhdn (pemberi bukti), maka lihatlah
secara proporsional.
Dan dengarkanlah di sini beberapa perkataan yang
dapat mem-
berikan kepuasan berlebih dibanding perkataan-perkataan
mereka.
Apabila beberapa perkataan tersebut, tidak bisa membawa Anda
ke tingkat keyakinan, paling tidak ia akan membawa Anda ke tingkat
dzann tertinggi, yang akan mengantarkanmu ke tingkat keyakinan
dengan mengkaji lebih banyak beberapa ilmu lain. Seharusnya kamu
beranggapan, bahwa benda-benda langit itu hidup, atas dasar per-
timbangan ia memiliki jisim dengan kadar dan bentuk yang ter-
batas. Ia bergerak dengan zatnya dari arah-arah tertentu, bukan
dari arah mana saja.
Semua yang memiliki sifat demikian
tergolong hidup, yaitu
manakala kita melihat jisim yang memiliki
kualitas dan kuantitas
yang terbatas. Bergerak di suatu tempat dengan
zatnya, bukan dengan
sesuatu ekstemal, dari arah tertentu bukan dari
arah mana saja. Dan,
ia bergerak bersama-sama menuju dua arah yang
berseberangan.
Yang demikian itu, tergolong makhluk hidup ( hayawdn ).
Kita katakan bergerak bukan karena sesuatu eksternal, sebab
besi bisa bergerak karena daya yang ditimbulkan batu magnet, jika
ia mendekati besi tersebut dari luar. Dan besi tersebut, akan ber¬
gerak menuju batu magnet dari arah mana saja.
Jika benar
demikian, berarti benda-benda langit itu memiliki
tempat-tempat tertentu
sebagai poros (kutub), dan poros tersebut
tidak bisa ada selain pada
tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Begitu juga, pelbagai makhluk
hidup yang ada di sini memiliki
anggota-anggota tertentu yang ada pada
bagian tubuh tertentu,
untuk menimbulkan perbuatan-perbuatan tertentu
pula. Tidak
mungkin anggota-anggota itu berada di tempat selain yang
sudah
ditentukan. Seperti anggota yang menimbulkan gerakan, ia berada
pada bagian-bagian tertentu dari makhluk hidup. Maka, poros
(kutub) adalah makhluk hidup yang berbentuk bulat, sebab ia men-
jadi anggota yang menimbulkan gerakan ( harakah). Pada hayawdn
yang antara bulat dan tidak, anggota ini berbeda dalam bentuk
dan
kekuatan. Sedangkan pada hayawan yang bulat, ia berbeda
dalam kekuatan
saja. Oleh karenanya, semula ia dianggap tidak
berbeda, dan dua kutub
falak bisa timbul pada dua titik mana saja.
Apabila ada yang
mengatakan, sesungguhnya gerakan pada
hayawan seperti ini bisa ada di
tempat mana pun, dan akan ada hayawan
lain di mana pun ia berada. Ia
pantas ditertawakan, sebab ia menjadi-
kan setiap hayawan dalam tempat
yang paling cocok dengan pem-
bawaannya, atau di tempat yang tidak
memungkinkan hayawan lain
bergerak sepertinya.
Demikian juga
dengan persoalan distingsi poros pada benda-
benda langit. Hal itu
karena benda-benda langit bukan hanya satu
macam dan banyak jumlahnya,
melainkan beraneka ragam seperti
makhluk hidup yang bermacam-macam. Jika
hanya ada satu macam,
akan muncul pertanyaan, mengapa langit bergerak ke
arah yang
berbeda-beda?
Oleh karena itu, ia termasuk
hayawan. Ia pasti akan bergerak
ke arah tertentu, seperti kanan, kiri,
depan dan belakang. Semua itu
tergolong arah-arah tertentu bagi gerakan
hayawan, tetapi teruntuk
hayawan yang berbeda dalam bentuk dan kekuatan.
Sementara itu,
di antara benda-benda langit, ia tergolong berbeda dalam
kekuatan?
Atas dasar itu, Aristoteles tidak berpendapat bahwa
langit
memiliki kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah.
Distingsi pada arah gerakan benda-benda langit lebih di-
sebabkan distingsi masing-masing dalam bentuk. Bentuk itulah
yang
membuatnya spesifik. Maksudnya, ia berbeda bentuk sesuai
dengan
perbedaan arah gerakannya.
Sedangkan benda langit pertama (
al-jarm as-samdwi al-awwal)
sesuai karakternya—baik dari sisi
keniscayaan maupun sisi opti¬
mum—ia bergerak dengan bagian-bagiannya
dalam satu gerakan,
yaitu dari timur ke barat.
Falak-falak
yang lain sesuai karakter, masing-masing bergerak
berlawanan dengan
gerakan ini. Dan arah yang ditempuh oleh
benda langit yang universal
(jarm al-kull) adalah sebaik-baiknya
arah, sebab benda langit tersebut
juga yang terbaik. Yang paling
utama di antara sekian banyak sesuatu
yang bergerak, wajib me¬
miliki arah yang paling utama.
***
Semua ini jelas dan memberikan kepuasan, juga jelas posisinya
dalam pandangan pembuktian. 46 Allah SWT. berfirman, "Tiada per-
ubahan pada kalimatullah" dan Tiada perubahan pada ciptaan
Allah".
Jika kalian benar tergolong nhl al-Burhdn 47 (pemberi
bukti-bukti),
pergunakanlah di tempat yang sebenarnya.
***
Tidak terlalu sulit bagimu untuk memahami kerancuan
(kontaminasi) hitjjak™ yang dipergunakan oleh Abu Hamid di dalam
membuat perumpamaan dua gerakan yang berbeda dengan salah
satu
benda-benda langit.
Lebih dari itu, sejak semula ia beranggapan,
bahwa gerakan
Timur (harakah syarqiyyah) bisa juga terjadi pada selain
falak pertama.
Dan ia juga mungkin beralih menjadi gerakan barat
(harakah magh-
ribiyyah).
Ini seperti yang kita katakan,
tidak ubahnya orang yang ber¬
anggapan, bahwa arah gerakan pada sebuah
bintang Cancer bisa
jadi sama dengan arah gerakan seorang manusia. Tidak
mungkin
asumsi tersebut terjadi pada kepiting dan manusia, sebab
keduanya
memiliki bentuk yang berbeda. Hal tersebut hanya bisa terjadi
pada
benda-benda langit, sebab antara yang satu dengan lainnya memiliki
persamaan bentuk.
***
Bagi orang yang melihat
ciptaan, tidak akan mengerti hik-
mahnya, sebelum mengetahui hikmah yang
diinginkan dan tujuan
yang hendak dicapai dari ciptaan tersebut.
Jika tidak tahu hikmahnya sama sekali, mungkin ia akan
mengira bahwa ciptaan dan hikmah itu mungkin saja ada dengan
bentuk, kuantitas, tempat bagian-bagiannya, dan susunan apa saja.
Semua ini, juga tentang benda-benda langit dijustifikasi oleh
para teolog kalam. Semuanya, semula hanya pada takaran dhan
(estimasi, hipotesis). Maka barangsiapa menggunakan hipotesis ini
dalam melihat sebuah produksi, berarti ia tidak mengenal produksi
itu, juga tidak mengenal sang produsen. Ia hanya bersandar pada
hipotesis nihil, yang tidak benar. Begitu pula di dalam melihat cipta-
an ( makhluqat).
#**
Lakukanlah tabayyim
(klarifikasi) untuk mencari akar persoal-
an ini. Apabila hanya sekali
memandang, janganlah seita merta
terburu-buru menjatuhkan vonis hukum
atas makhluk ciptaan Allah.
Jika tidak ingin tergolong yang Dia sebutkan
dalam firman-Nya,
"Katakanlah, maukah Aku memberitahumu
perbuatan-perbuatan
orang-orang yang merugi? Mereka itulah yang gagal
menempuh
kehidupan dunia, sementara mereka mengaku telah melakukan
yang terbaik."
Semoga Allah menjadikan kita kaum yang
berpikir. Semoga
Dia menyingkap segala tabir kebodohan. Karena
sesungguhnya
Dialah pemberi nikmat Yang Maha Mulia.
***
Mengkaji tindak tanduk benda-benda langit yang spesifik,
sama halnya mengkaji kerajaan langit seperti yang dilakukan Nabi
Ibrahim as., Allah SWT. berfirman, "Begitu pula Kita perlihatkan ke-
pada Ibrahim singgasana langit dan bumi supaya dia tergolong
orang-orang yang yakin."
Sampai di sini, selanjutnya kita
berpindah pada pernyataan
Abu Hamid tentang harakah (gerakan).
[17]. Abu Hamid berkata:
Keniscayaan kedua adalah
penentuan arah gerakan falak, yang
sebagian bergerak dari timur ke
barat, dan sebagian lainnya bergerak
melawan gerakan tersebut. Ia
mengatakan, "Lawan-lawan mereka
mengakui distingsi dalam hal dan bentuk.
[17], Menurutku, Anda telah cukup puas dengan pernyataan sebelum-
nya. Berikut jawabannya.
Semua ini termasuk perbuatan
seseorang yang tidak mengerti
hakikat tabiat yang sangat mulia, dan
beberapa perbuatan bijaksana
yang bersumber dari-Nya. Ia menyamakan ilmu
Allah ta'ala dengan
ilmu manusia yang tolol.
[18]. Dan
perkataannya:
Jika mereka berkata, dua arah itu berlawanan.
Lantas, bagai-
mana bisa sama?
Kita katakan, ini seperti
perkataan seseorang, bahwa wujud
alam yang eternal dan terakhir tentu
berlawanan. Bagaimana diakui
sama?
Tetapi bagi orang yang
menganggap adanya persamaan
(tnsyabuh) pada waktu-waktu yang
berbeda-beda dibandingkan
dengan kemungkinan wujud. Juga kepada setiap
maslahatyangmusti
ada pada setiap wujud, tentu juga tahu persamaan
kesempatan, tempat
dan arah dibandingkan dengan menerima gerakan dan
maslahat
yang terkait dengannya.
[18]. Berikut beberapa
pernvataan yang jelas-jelas batil. 49
Sebenarnya jika dia menerima
kemungkinan adanya manusia
dan tidak adanya pada materi penciptaannya
sama. Dan hal tersebut
cukup menjadi dalil adanya murajjih pada subjek
yang membuat ada,
bukan tiada, maka tidak mungkin ia akan menganggap
penglihatan
mata itu sama.
Tidak seorang pun menganggap dua
arah yang berlawanan
itu sama. Tetapi yang pasti, ia menganggap pencipta
kedua arah ter¬
sebut sama. Maka, Ia pun memperlakukan keduanya dengan
sama.
Begitu pula yang dahulu dan terakhir tentu tidak sama.
Tetapi
yang pantas diakui sama adalah penerimaannya pada wujud.
Semua ini tidaklah benar. Sesungguhnya yang meniscayakan
sesuatu berlawanan dalam zat, tentu subjeknya berbeda-beda. Dan
kalau dikatakan subjek perbuatan yang berlawanan itu satu, dan
diperbuat dalam satu waktu, hal itu sangat tidak mungkin.
Para filosof tidak memandang kemungkinan adanya sesuatu
dan
tidak adanya dalam satu waktu itu sama. Tetapi mereka meya-
kini, bahwa
zaman yang melingkupi adanya sesuatu itu, bukanlah
zaman yang melingkupi
tidak adanya.
Bagi mereka, waktu adalah syarat terjadinya sesuatu
dan men¬
jadi syarat ketiadaannya. Maka, apabila waktu yang melingkupi
ada-
nya sesuatu itu sama dengan waktu tiadanya, maksudnya dalam
materi, pasti yang semustinya ada menjadi tiada. Dan, kemungkin-
an ada dan tiada itu hanya ada pada pelaku (fa'l).
Oleh
karenanya saya katakan, barangsiapa dari sisi ini ingin
menentukan
pelaku, itu hanyalah sebatas perkataan mevakinkan
yang kontroversial,
tidak disertai bukti-bukti. Jika Abu Nashr dan
Ibn Sina mengira telah
dapat menetapkan, bahwa pada setiap
perbuatan pastilah ada pelakunya.
Hal ini belum pernah ditempuh
oleh para al-mutaqaddimun (pendahulu).
Kedua orang tersebut hanya¬
lah mengikuti para teolog kalam yang seagama
dengan kita.
Sedangkan dahulu dan terakhir tidak pernah terlintas
ten-
tang terjadinya semesta. Sebab dahulu atau terakhir dalam takaran
waktu, hanya terlintas pada waktu yang datang sekarang. Jika
mereka meyakini tidak adanya waktu sebelum terjadinya kosmos,
bagaimana mungkin terbayang ia mendahului waktu terjadinya
kosmos
tersebut. Waktu terjadinya kosmos tidak mungkin bisa
dipastikan, karena
sebelumnya tidak ada waktu, atau waktu yang
ada saat itu tiada memiliki
batas akhir. Pada keduanya tidak bisa
ditentukan adanya waktu secara
spesifik yang terkait dengan
iradah.
Oleh karena itu, kitab
ini lebih tepat diberi judul kitab 'At-
tahafut' saja, bukan 'Tahafut
al-Faldsifah'. Karena orang yang berpikir
dapat dengan mudah menangkap
kesan bahwa al-Ghazali telah
banyak melakukan tahdfiit 50 (kerancuan,
kontaminasi, kontradiksi)
dalam kitabnya ini.
[19]. Dan
perkataannya:
Jika mereka diperbolehkan mengakui adanya distingsi
pada
sesuatu yang sejenis, lawan-lawan mereka pasti akan mengakui ada¬
nya distingsi pada kondisi (alnual) dan bentuk ( haiah).
[19]. Yang dia inginkan, bahwa jika para filosof mengakui adanya
distingsi
pada arah gerakan (harakah). Tidaklah salah apabila
lawan-lawan
mereka juga mengakui adanya distingsi pada waktu, meskipun
sebenarnya mereka meyakini adanya persamaan di dalamnya.
Ini
pertentangan pada pemyataan seseorang, bukan pada akar
persoalan yang
sebenarnya (esensi), saat ia mengakui adanya harmoni
pada dua arah yang
berlawanan dan waktu-waktu yang berbeda-
beda.
Dia
menyangkal semua ini. Menurutnya, tidak ada harmoni
dalam waktu dan
arah.
Kedua belah pihak berbeda pendapat. Yang satu mengakui
adanya harmoni, dan yang lain justru mengatakan disharmoni. Yang
satu menyatakan adanya kesamaan, dan yang lain mengatakan ber¬
beda. Oleh karena itu, vvacana ini masih diliputi persoalan kontro-
versial yang sangat dilematis dan alotA
[20]. Abu Hamid berkata:
Pertentangan kedua, berdasarkan dalil-dalil yang mereka
ungkapkan dikatakan bahwa kalian mengingkari terjadinya sesuatu
dari sesuatu yang qadhn (eternal). Kalian harus mengakui, di alam
ini ada banyak kejadian. Dan, beberapa kejadian itu memiliki sebab.
Jika dikatakan suatu kejadian disandarkan pada kejadian lain
dengan tanpa batas, hal tersebut mustahil adanya. Itu bukan ke-
yakinan kaum rasionalis.
Dan jika hal tersebut mungkin
adanya, niscaya kalian tidak
akan mengakui adanya Sang Pencipta, juga
tidak mengakui adanya
wdjib al- wujud yang menjadi sandaran terjadinya
segala sesuatu.
Dan jika proses kejadian sesuatu memiliki mata
rantai yang
berujung, memiliki batas akhir, maka ujung itulah yang
disebut qadhn.
Dengan demikian, mustinya mereka mempercayai sumber
kejadian
sesuatu yang temporal itu berasal dari sesuatu vang eternal
(qadhn).
[20]. Saya katakan:
Meskipun para filosof
memasukkan entitas yang eternal ( al-
mawjud al-qadim) dalam entitas
sebelum entitas yang temporal ( al-
mawjud a!- hddits) sebagai contoh
dan pembuktian. Atau meskipun
mereka menyatakan, bahwa sesuatu yang
temporal itu bersumber
dari sesuatu yang eternal, pasti tiada jalan bagi
mereka untuk ter-
lepas dari keragu-raguan.
Tetapi sebaiknya
kalian mengetahui, bahwa para filosof
memandang wujud yang temporal itu
bersumber dari wujud yang
juga temporal secara simultan tanpa batas.
Apabila hal itu terjadi se-
cara berulang-ulang pada materi yang
terbatas, seperti rusaknya
sesuatu menjadi syarat adanya wujud kedua.
Contoh, menurut mereka bahwa wujud manusia wajib ada
dari
wujud manusia lain, dengan syarat manusia yang terdahulu men¬
jadi
binasa, sehingga ia menjadi materi terjadinya manusia ketiga.
Contoh lain, Anda bayangkan dua orang secara imajinatif.
Orang yang pertama menjadi sumber wujud orang kedua (dari materi
manusia yang rusak). Ketika orang kedua telah menjadi manusia,
orang pertama rusak. Maka dari materi orang kedua inilah terbentuk
wujud orang ketiga. Selanjutnya, giliran orang kedua yang rusak, maka
dari materi orang ketiga itulah terbentuk orang keempat.
Kita mungkin membayangkan proses terbentuknya sesuatu
pada
dua materi yang berkesinambungan tanpa batas. Hal itu mus-
tahil
terjadi, sebab sang subjek (pembentuk) masih tetap ada. Jika
ini yang
disebut al-fa'il al-awwal (subjek pertama) yang tidak me-
miliki
permulaan dan batas akhir, otomatis perbuatan-Nya pun tidak
memiliki
permulaan dan batas akhir, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Coba bayangkan kembali contoh sebelumnya. Maksudnya,
jika
telah terbentuk manusia, pasti sebelumnya ada manusia yang
menjadi
sumber terbentuknya manusia berikutnya, dan ia telah
rusak. Jika ini
dinisbatkan kepada fa'l qadim (subjek yang eternal),
menurut sifat alami
sebuah siklus, secara umum maka hal tersebut
impossible 52 .
Sedangkan, jika siklus terbentuknya manusia terdiri dari
materi yang tiada memiliki limit akhir, atau bisa bertambah terus
tanpa berkesudahan, hal tersebut mustahil terjadi. Sebab hal itu
akan memicu adanya materi yang tidak memiliki limit akhir. Ke-
mungkinan alternatifnya, semua itu ada secara tidak terbatas. Hal
ini telah banyak diperbincangkan oleh para hnkama' (orang-orang
bijak, filosof) secara turun temurun.
Jadi, para qudamd'
mengkategorikannya sebagai entitas yang
eternal karena tidak ada
perubahan, bukan dari sisi hubungan
dengan terbentuknya sesuatu yang
temporal. Sekali lagi, hanya
sebatas etemalitasnya.
Sebenarnya menurut mereka, setelah subjek yang eternal,
semua wujud terjadi secara berkesinambungan tanpa batas. Karena,
sesuatu yang temporal dengan sendirinya wajib menjadi sebab
munculnya sesuatu yang temporal lainnya.
Ada dua pandangan
menanggapi pemikiran al-qudama' yang
sebelumnya memasukkan ke dalam
wujud adanya wujud azali yang
tunggal dan tidak mengalami perubahan.
Salah satunya, mereka menganggap wujud yang bersifat kau-
satif sebagai sesuatu yang qadim (eternal). Hal itu karena, mereka
melihat sesuatu yang ada sekarang menjadi sebab binasanya sesuatu
sebelumnya. Dan sesuatu yang binasa tersebut menjadi sebab ada¬
nya sesuatu berikutnya. Dengan demikian, maka dinamika yang di-
sebut qadim ini seharusnya:
— Berasal dari muharrik
(penggerak) yang qadim.
m Dan, mutaharrik (sesuatu yang bergerak)
tidaklah ber-
ubah dalam esensinya (jawhar). la hanya akan berubah
dalam tempat dan bagian-bagiannya, yaitu dengan
mendekat dengan, atau menjauh dari ka'inah (organis-
me) lainnya. Hal itulah yang menjadi sebab binasanya
sesuatu dan terbentuknya sesuatu pula. Benda langit
(al-jarm as-samawi) adalah wujud yang tidak berubah,
o
kecuali dalam tempat, bukan lainnya. Dialah yang men¬
jadi
sebab semua peristiwa dari sisi perbuatannya yang
temporal. Dan, dari
sisi hubungan dengan perbuatan-
perbuatan ini, dia tidak memiliki
permulaan dan batas
akhir, terhadap sebab yang juga tidak memiliki per¬
mulaan dan batas akhir.
Kedua, mereka mengkategorikan
sesuatu yang eternal
sebagai bukan jisim sama sekali. Mereka mendapatkan
semua jenis
gerakan naik menuju gerakan di satu tempat. Gerakan di satu
tempat
tersebut, kemudian naik menuju sesuatu yang digerakkan oleh ego,
oleh penggerak pertama, yang sama sekali tidak bergerak baik
dengan zat maupun sifat.
Jika tidak, maka penggerak maupun
yang bergerak sama-
sama tidak terbatas. Dan itu mustahil.
Maka,
penggerak pertama itu musti azali. Jika tidak, ia tidak
disebut pertama.
Dengan demikian, semua gerak dalam setiap wujud apa pun,
bersumber dari penggerak ini, bukan yang lain. Ia selalu ada dalam
sesuaiu yang bergerak setiap kali bergerak.
Sedangkan,
keberadaan penggerak sebelum penggerak se-
suatu yang bergerak itu sama
dengan keberadaan manusia yang
melahirkan manusia. Keberadaan tersebut
dengan si fa t, bukan
dengan zat. Dialah penggerak yang menjadi syarat
adanya manusia
sejak awal sampai akhir. Keberadaan-Nya menjadi syarat
adanya
semua wujud, dan juga menjadi syarat terpeliharanya langit dan
bumi
Ini semua tidak dapat dijelaskan dengan buktiT Tapi
cukup
dengan kata-kata seperti ini, yang tentu akan lebih memuaskan
ketimbang perkataan lawan-lawan, bagi mereka yang bersikap
adil.
Jika ini sudah jelas, tentu tidak perlu lagi kalian bersikap spa-
ratif dan antipati di dalam menghadapi musuh-musuh para filosof
seperti Abu Hamid. Sikap yang tidak benar. Karena memang jika
tidak bisa memahami konsep mereka di dalam memasukkan wujud
azali
dalam wujud yang temporal, pasti kita tidak akan pernah me-
ngerti
distingsi antara wujud azali dan wujud yang temporal itu
sendiri.
Hal tersebut sudah sering kita sampaikan. Dengan mediasi
sesuatu yang azali dalam zatnya, sesuatu bisa menjadi binasa pada
gerakan-gerakan yang berifat parsial, bukan pada gerakan-gerakan
yang bersifat global dan berputar. Bisa juga dengan salah satu per-
buatan yang azali dalam genus (jenis), atau tidak memiliki permula-
an dan batas akhir.
[21], Menjawab para filosof, Abu Hamid
berkata:
Jika dikatakan kita setuju, bahwa sesuatu yang temporal
ber¬
sumber dari sesuatu yang eternal, sebenarnya kita mengeliminasi
premis tersebut. Dia awal semua hddist yang bersumber dari se¬
suatu yang qadim, sepanjang keadaan peristiwa sebelumnya tidak
berbeda di dalam tarjih (menguatkan) sisi wujud. Bukan dari segi
datangnya waktu, instrumen, syarat, miliu, maksud, dan sebab
yang
membuat keadaan itu menjadi temporal.
Jika ia bukan hddits
pertama, boleh jadi ia bersumber darinya
saat terjadinva sesuatu yang
lain, tergantung pada kesiapan tempat
dan tibanya waktu yang cocok atau
yang sedang berjalan.
Ketika Abu Hamid menjawab demikian ia
berkata, yang patut
dipertanyakan adalah masalah pencapaian kesiapan dan
tibanya
waktu, serta segala sesuatu yang terus berkembang secara rekons-
truktif. Semua itu masih terasa bias. Bisa jadi ia berlangsung hierar-
kis dan gradual tanpa batas, atau berhenti pada sesuatu yang qadim,
yang menjadi awal sesuatu vang temporal.
[21]. Pertanyaan
ini dilontarkan oleh Abu Hamid kepada mereka (filosof).
Ini sebuah
keniscayaan. Dialah yang meniscayakan, bahwa sesuatu
yang temporal itu
bersumber dari sesuatu yang eternal. Maka ketika
ia memberikan jawaban
yang melenceng dari inti pertanyaan—yaitu
tentang posibilitas
bersumbernya sesuatu yang temporal dari se¬
suatu yang eternal, bukan
awal sesuatu yang temporal—ia meng-
ulangi pertanvaannya.
Jawaban pertanyaan ini sebagaimana disebutkan, bahwa dari
sudut pandang bersumbernya sesuatu yang temporal dari sesuatu
yang
eternal pertama kali ( al-qadim al-awwal), bukan karena ia tem¬
poral,
tetapi karena ia azali dengan genus, temporal dengan bagian-
bagiannya.
Semua fail (subjek) menurut mereka tergolong qadim. Jika
darinya bersumber sesuatu yang temporal dengan dzat, ia bukan
sesuatu yang qadim pertama kali. Menurut mereka, perbuatannyalah
yang mendapat predikat al- qadim al-awwal.
Maksud saya,
adanya syarat perbuatan adalah sesuatu yang
qadim. Yang bukan pertama,
dinisbatkan kepada al-qadim al-awwal,
seperti penisbatan sesuatu yang
temporal kepada al-qadim al-awwal,
adalah penisbatan kepada sesuatu yang
global, bukan pada sesuatu
yang parsial.
Kemudian ia
menjawab dan mengatakan para filosof meng-
anut mazhab illustrasionisme
(penggambaran) , S1 Artinya, untuk meng-
gambarkan sesuatu yang temporal
dan yang eternal, mereka meng-
gunakan media gerakan yang berputar.
Gerakan tersebut digambar-
kan sebagai sesuatu yang eternal, karena ia
tidak memiliki permulaan
dan batas akhir. Dan digambarkan sebagai
sesuatu yang temporal,
karena masing-masing bagian bersifat ilustratif
dan rusak. Harakaii
ini dengan bagian-bagiannya yang temporal telah
menjadi starting
point timbulnya sesuatu yang temporal lainnya. Dan
keazalian uni-
versalitasnya telah menjadi perbuatan bagi sesuatu yang
azali.
[22], Abu Hamid menyangkal teori para filosof tentang
bersumbernya
sesuatu yang temporal dari al-qadim al-nwwal. Ia berkata,
"Gerakan
yang berputar ( harakah dawriyyah) apakah tergolong had its,
atau qadim ?
Jika qadim, bagaimana ia bisa menjadi starting point
sesuatu yang
temporal? Tetapi jika ia hddits, berarti ia membutuhkan
sesuatu
yang temporal lainnya, sehingga terciptalah mata rantai yang
saling
kait mengaitkan antara yang satu dengan yang lain."
Mereka menjawab, dari satu sisi, harakah dawriyyah tersebut
terasimilasi pada sesuatu yang qadim, tetapi di sisi lain, ia
terasimilasi
pada sesuatu yang hddits. Ia diasimilasikan dengan sesuatu
yang qadim,
karena ia tetap. Dan diasimilasikan dengan sesuatu yang
hddits.
karena ia selalu berubah secara konstruktif. Dengan demikian,
ber¬
arti ia sesuatu yang tetap dan berubah konstruktif. Ia tetap
berubah
konstruktif. Dan, ia perubahan konstruktif yang tetap.
Kita katakan, apakah harakah tersebut menjadi starting point
bagi tumbulnya sesuatu yang temporal karena ia tetap? Atau, karena
ia berubah konstruktif? Jika ia menjadi stinting point karena ia tetap,
bagaimana bisa sesuatu akan timbul dari sesuatu yang tetap? Dan,
jika karena perubahannya yang konstruktif, berarti ia membutuhkan
sesuatu yang meniscayakan adanya perubahan yang konstruktif itu.
Terjadilah mata rantai yang saling kait mengaitkan antara yang.satu
dengan yang lain.
[22]. Inilah style retorika sophistik. Ia
sama sekali tidak akan bersumber
dari sesuatu yang hddits oleh karena ia
tetap, melainkan karena ia
berubah secara inovatif. Akan tetapi ia tidak
membutuhkan adanya
sebab vang menimbulkan inovator yang temporal. Sebab
proses
inovasi tersebut bukanlah sesuatu yang temporal. Ia merupakan
perbuatan yang qadim, yang tidak memiliki permulaan dan batas
akhir. Dengan demikian, pelaku inovasi ini pastilah subjek (inovator)
yang qadim. Karena perbuatan yang qadhn, hanya dilakukan oleh
subjek yang qadim pula. Perbuatan yang hadits, hanya dilakukan
oleh subjek yang juga hadits.
Harakah tersebut dipahami
sebagai sesuatu yang qadhn, karena
tidak memiliki permulaan dan batas
akhir. Dengan demikian, ia
tidak tetap, melainkan terus berubah.
[23]. Saat Abu Hamid merasakan ini, ia berkata, bahwa mereka
memiliki
semacam alasan untuk keluar dari peniscayaan ini yang akan kita
paparkan dalam beberapa persoalan.
Abu Hamid mengatakan
sebagai berikut:
Dalil Kedua
Mereka menganggap orang yang berkata, bahwa kosmos ini
muta'akhkhir (datang belakangan), sedangkan entitas Allah SWT.
lebih eternal adanya, tidak terlepas dari:
Kemungkinan ia
ingin mengatakan, bahwa entitas Allah lebih
dahulu ada dalam zat, bukan
masa, seperti lebih dahulunya bilangan
satu dari dua yang sudah jelas,
tetapi Dia juga mungkin ada bersama
wujud masa. Juga seperti lebih
dahulunya sebab dari akibat. Contoh,
lebih dahulunya gerakan matahari
daripada gerakan bayang-bayang
yang mengikutinya. Atau gerakan tangan
dari pada gerakan cincin,
dan atau gerakan tangan dalam air dari pada
gerakan air itu sendiri.
Semua itu bersamaan dalam satu masa, dan
yang satu menjadi
sebab sedang lainnya menjadi akibat. Bayang-bayang itu
bergerak
karena gerak tubuh seseorang, dan air bergerak seiring gerakan
tangan
yang ada di dalamnya. Seseorang bergerak bukan karena gerakan
bayang-bayang, atau tangan bergerak karena gerakan air, meskipun
keduanya berada dalam masa yang sama.
Jika dikomparasikan
dan dinyatakan, bahwa Allah lebih
dahulu dari pada kosmos, hal tersebut
meniscayakan:
Keduanya sama-sama hadits, atau keduanya sama-sama
qadim.
Mustahil kalau salah satunya hadits, sedang yang lain
qadim.
Dan jika yang dimaksud adalah, bahwa Allah lebih dahulu
dari pada kosmos dalam masa, bukan zat, hal tersebut mengindi-
kasikan sebelum adanya kosmos dan masa, ada masa saat kosmos
tidak
ada. Dan, sesuatu yang tidak ada mendahului sesuatu yang
ada, dan
entitas Allah lebih dahulu adanya dalam sekian rentang
waktu yang
memiliki batas akhir, tetapi tidak memiliki batas awal.
Hal itu berarti
sebelum masa, ada masa yang tidak memiliki batas
akhir. Ini sangat
paradoksal. Oleh karena itu, mustahil dikatakan
apabila masa itu sesuatu
yang hddits.
Jadi, masa wajib qndhn ,seperti dahulunya haraknt
(gerakan, move).
Apabila gerakan itu dikatakan wajib qndhn, pasti wajib
qndhn pulalah
penggerak (mover) yang berada dalam satu masa dengan
gerakan
tersebut.
[23], Saya katakan, arah pembicaraan yang
dia ceritakan tentang mereka
tidaklah disertai bukti. 55 Dan
kesimpulannya ia ingin mengatakan,
bahwa entitas Allah SWT. lebih dahulu
adanya dari pada kosmos
secara kausatif bukan dalam masa, seperti lebih
dahulunya tubuh
seseorang dibanding bayang-bayangnya. Atau lebih dahulu
dalam
masa, seperti lebih dahulunya tukang bangunan daripada dinding.
Maka, apabila Allah benar lebih dahulu, seperti lebih dahulu¬
nya tubuh seseorang dari pada bayang-bayangnya, premis tersebut
menunjukkan bahwa Allah qndim, dan kosmos juga qndhn. Apabila
Allah lebih dahulu dari kosmos dalam masa, wajiblah Dia mendahului-
nya dalam suatu masa yang tidak memiliki batas awal. Maka, masa
itu pun tergolong qadim. Sebab, kalau sebelum masa ada masa lain,
sungguh tiada terbayangkan temporalitas (huduts)-Nya. Dan, apa¬
bila masa tergolong sesuatu yang qadim, maka gerakan ( motion ) juga
tergolong qadim, karena masa selalu terkait dengan gerak. Alhasil, mana-
kala gerak sudah tergolong qndim, maka sesuatu yang bergerak pun
akan tergolong qndim. Otomatis si penggerak (mover) juga tergolong
qndhn.
***
Argumentasi ini tidak benar, sebab
kedudukan Allah tidak
terikat dengan masa, sedangkan kosmos terikat
dengannya secara
internal. Tidaklah tepat menganalogikan sesuatu yang
qadim dengan
kosmos, karena:
Bisa jadi keduanya ada secara
bersamaan, atau entitas Allah
lebih dahulu adanya daripada kosmos secara
kausatif atau dalam
masa. Sebab sesuatu yang qadim kedudukannya tidak
terikat secara
internal dengan masa, sedangkan kosmos terikat dengannya.
[24]. Abu Hamid berkata, "Keberatan apabila dikatakan bahwa masa
sesuatu yang baru tercipta dan sama sekali tidak ada masa sebelum
itu."
Maksud pemyataan kita adalah, bahwa Allah SWT. lebih
dahulu
ada daripada kosmos. Dan masa adalah bahwasanya Allah telah ada,
sementara kosmos dan masa tidak. Kemudian Dia ada bersamaan
dengan
kosmos dan masa itu.
Maksud pemyataan kita adalah, bahwa Allah
telah ada, semen¬
tara kosmos dan masa tidak adalah bahwasanya zat Allah
telah ada,
sementara zat kosmos dan masa tidak.
Maksud
pemyataan kita tentang adanya Allah bersamaan
dengan kosmos adalah
adanya zat masing-masing keduanya.
Adapun pengertian lebih dahulu,
yaitu memiliki wujud sen-
diri.
Kosmos itu seperti
individu. Apabila kita nyatakan Allah telah
ada sementara Isa tidak,
kemudian Allah ada bersama Isa, pasti
kalimat tersebut tidaklah
berbicara, kecuali tentang adanya zat dan
atau tidak adanya, kemudian
adanya dua zat. Maka, kiranya kita
tidak perlu berpretensi pada sesuatu
ketiga, yaitu masa. Apabila
waham tidak mereka-reka sesuatu ketiga,
yaitu masa, niscaya tidak
akan terjebak dalam kesalahan.
[24]. Saya katakan:
Inilah paralogisme yang
menjijikkan. Dia telah mengemukakan
argumen adanya dua jenis wujud,
salah satunya yang identik
dengan gerak, dan ini tidak terlepas dari
masa. Sedangkan lainnya
tidak identik dengan gerak, maka ini tergolong
azali dan tidak
disifati dengan masa.
Wujud yang identik
dengan gerak merupakan matvujud
empirik, sebab terjangkau oleh indra dan
rasio. Sedang wujud yang
tidak identik dengan gerak dan perubahan dapat
dibuktikan wujud-
nya menurut orang-orang yang mengakui, bahwa setiap
sesuatu
yang bergerak pasti ada penggerak. Setiap objek pasti ada
subjek,
dan semua sebab-sebab yang menimbulkan gerak tidaklah berlang-
sung tanpa batas, melainkan berhenti pada sebab pertama (causa
prima) yang sama sekali tidak bergerak.
Juga telah
dibuktikan, bahwa sesuatu yang tidak identik dengan
gerak menjadi sebab
wujud pada sesuatu yang identik dengan gerak.
Bahkan, mawujud yang
identik dengan gerak tidak pernah terlepas
dari masa, sebagaimana
mawujud yang tidak identik dengan gerak,
sama sekali tidak terikat
dengan masa.
Jika demikian adanya, pasti salah satu dari keduanya
lebih
dahulu dari yang lain, artinya yang tidak terikat dengan masa.
Bukan
lebih dahulu dalam masa.
Eternalitas sebab dari
akibat, yang keduanya merupakan
karakter mawujud yang bergerak, tidak
seperti eternalitas tubuh
seseorang daripada bavang-bayangnya.
Oleh karena itu, maka tidak tepat apabila eternalitas sesuatu
yang tidak bergerak daripada sesuatu yang bergerak diasimilasikan
dengan eternalitas salah satu dari dua mawujud yang sama-sama
bergerak. Hal itu karena masing-masing jenis pada mawujud ini,
jika diibaratkan yang satu dengan lainnya akan menjustifikasi ke¬
duanya ada secara bersamaan. Atau salah satunya lebih dahulu dalam
masa, atau lebih akhir.
Adapun para filosof yang menempuh
jalan ini, adalah para
muta'akhkhirun dari komunitas muslim yang tidak
banyak meng-
adopsi mazhab al-qudama "(kaum terdahulu).
Jadi, eternalitas salah satu mawujud dari yang lain adalah,
eternalitas wujud yang tidak berubah, juga tidak dalam masa, dari¬
pada wujud yang berubah dan di dalam masa.
Lnilah stereotipe
baru sebuah preseden.
Jika demikian, tidaklah tepat
(penggunaannya) pada dua wujud
vang ada secara bersama-sama, maupun pada
wujud yang satu men-
dahului lainnya.
***
Maka,
benar pemyataan Abu Hamid, bahwa etemalitas Al¬
lah atas kosmos bukanlah
dahulu dalam masa. Akan tetapi, kosmos
tidak bisa dipahami lebih akhir
dari-Nya kalau saja Dia tidak lebih
dahulu dalam masa, kecuali dalam
konteks lebih akhimya akibat
atas sebab, karena "terakhir"
berkontradiksi dengan "dahulu". Dua
materi yang kontradiktif pada
hakikatnya satu jenis, sebagaimana
telah dibahas sebelum ini. Dengan
demikian, maka lebih akhir atau
lebih dahulu tidaklah terkait dengan
konteks masa. Selanjutnya
timbullah keragu-raguan, bagaimana akibat bisa
lebih akhir dari-
pada sebab yang telah memenuhi seluruh syarat-syarat
perbuatan?
***
Para filosof tidak ragu-ragu ketika
mereka menetapkan,
bahwa keberadaan mawujud yang bergerak tidak memiliki
batas
awal. Bahkan memungkinkan mereka untuk memberikan arah
timbulnya mawujud-mawujud yang temporal dari mawujud yang
eternal.
Alasan mereka, bahwa sesuatu yang bergerak tidak memiliki
batas awal, juga tidak memiliki keberadaan yang temporal. Ketika
ia ditetapkan temporal, berarti ia telah ditetapkan ada sebelum di-
adakan. Sesuatu yang temporal itu gerak, dan gerak meniscayakan
sesuatu yang bergerak, baik dalam masa maupun di luar masa. Juga,
sesuatu yang temporal mungkin ada sebelum diadakan.
Para
teolog kalam menyanggah premis ini, dan kita akan
membicarakannya
kemudian.
Kemungkinan itu, pasti ada pada sesuatu yang bergerak,
maka jika dikategorikan temporal, niscaya ia bisa jadi ada sebelum
diadakan.
Dalam konteks ini, pemyataan seperti ini tidak ada
bedanya
dengan perhelatan retoris. Meskipun demikian, tentu lebih
memuas-
kan dibanding pemyataan suatu kaum.
[25]. Pemyataan
Abu Hamid, jika Allah telah ada dan Isa tidak, misalnya,
kemudian Allah
telah ada dan juga Isa, itu tidak mengandung pe-
ngertian selain adanya
zat dan tidak adanya yang lain, kemudian
adanya dua zat. Maka tidak
perlu memproyeksikan adanya sesuatu
ketiga, yaitu masa, dalam kandungan
teks yang ada.
[25] . Betul. Meskipun demikian, Isa tetap wajib
lebih akhir dari Allah,bukan
lebih akhir dalam masa dengan zat,
melainkan jika memang benar
dengan sifat. Maksudnya, dari sisi wujudnya,
masa itu qadim, sedang
ia hadits.
Kosmos tidaklah disifati
seperti ini, kecuali jika menjadi bagian
dari sesuatu yang bergerak,
yang dipersempit oleh dua ujung masa.
Sebagaimana terjadi pada Isa dan
individu-individu lain pada materi
yang binasa.
Hal
tersebut, di sini tidak dijelaskan dengan argumentasi. Yang
tampak di
sini hanyalah, bahwa miidnadah (pertentangan) tersebut
tidaklah benar.
Dan, apa yang dia kemukakan tentang dalil-dalil filosof
juga tidak
benar.
[26] . Abu Hamid menjawab para filosof:
Apabila
kita menyatakan bahwa 'Allah telah ada dan Isa
tidak', hal ini dikatakan
tidak mengandung pemahaman ketiga,
selain adanya zat dan tidak adanya
kosmos, dengan dalil, bahwa
jika kita memproyeksikan tidak adanya kosmos
pada mustaqbal (di
waktu yang akan datang), maka yang muncul sebagai
hasil, adalah
adanya zat dan tidak adanya yang lain.
Tidak
tepat jika dikatakan, Allah (telah) ada dan kosmos tidak,
yang benar
hendaknya dikatakan, Allah (sedang) ada dan kosmos
tidak.
Dalam lingkup past tense ( mddli ) memang dinyatakan dengan
'Allah (telah) ada dan kosmos tidak'. Maka terdapat perbedaan pada
dua pemyataan tersebut, antara yang menggunakan 'telah' sebagai
penggambaran bentuk past, atau 'sedang' yang menggambarkan
bentuk
present.
Kita akan membahas ke mana perbedaan tersebut merujuk.
Tetapi yang pasti, masing-masing dari dua pemyataan tersebut tidak
menimbulkan diferensi pada; (1) adanya zat; (2) tidak adanya kosmos,
(3) juga makna ketiga.
Jika dalam bentuk present kita
katakan 'Allah (telah) ada dan
kosmos tidak', tentu pemyataan ini
keliru. Sebab kata 'telah' hanya
men gg am barkan masa lalu. Dari
itulah, maka di dalam kata 'teiah'
tersebut tersirat makna ketiga, yaitu
masa lalu. Masa lalu, dengan
sendirinya adalah masa. Di sisi lain, masa
lalu adalah gerak, karena
ia berlalu seiring berlalunya masa. Secara
otomatis, sebelum adanya
kosmos, ada masa yang terpenggal, yang berhenti
pada batas ada¬
nya kosmos.
[26]. Inti pemyataan ini adalah
upaya klarifikasi kepada mereka, bahwa
di dalam pemyataan seseorang yang
berkata '(teiah) ada ini, dan
ini tidak, kemudian (teiah) ada ini dan
ini' mengandung pemahaman
ketiga, yaitu masa. Pengertian masa tersirat
di dalam kata 'teiah'
yang membedakan antara masa lalu (past) atau masa
datang (fu¬
ture).
Oleh karena itu, kalau kita
memproyeksikan; adanya sesuatu
dan tidak adanya yang lain; maka kita
nyatakan dengan '(teiah) ada
ini, dan ini tidak'.
Dan, jika
kita ingin memproyeksikan tidak adanya bersama
dengan adanya di masa
yang akan datang, maka kita nyatakan dengan
'(sedang atau akan) ada
ini'.
Perubahan dua konsep tersebut menuntut adanya makna ke¬
tiga. Apabila kita katakan '(teiah) ada ini, dan ini tidak'. Kata 'ada'
memang menunjuk adanya makna, tetapi tidak membedakan per-
nyataan
kita baik dengan menggunakan 'teiah' atau 'sedang'.
Inilah yang
dia katakan, semuanya sudah menjadi jelas.
Akan tetapi,
keragu-raguan itu muncul saat menganalogikan
mawujud yang satu dengan
lainnya dalam mencari mana yang lebih
dahulu atau yang lebih akhir,
karena mawujud-mawujud tersebut
kedudukannya berada di dalam masa.
Apabila berada di luar masa, maka kata 'teiah ada (kana)'
dan semacamnya itu tidak mengindikasikan premis-premis seperti
ini. Kecuali, jika ada ikatan antara khabar (predikat) dengan mukhbir
(sesuatu yang mendapat predikat), seperti yang terdapat dalam
firman Allah SWT., “urn kana'L-lah ghafuran rafmnan" (Sesungguhnya
Allah (teiah menjadi Zat) yang Maha Pengampun dan Maha Pe-
nyayang).
Begitu pula jika salah satunya berada daiam masa, sedangkan
yang
lain tidak, seperti pernyataan kita 'Allah (telah) ada dan
kosmos tidak,
kemudian Allah (telah) ada dan juga kosmos .
Oleh karena itu,
analogi semacam ini tidak benar. 56
Analogi {qiyas) akan menjadi
sah dan tidak mengandung ke-
ragu-raguan, jika kita tidak menganaiogikan
tidak adanya kosmos
dengan adanya. Karena tidak adanya kosmos termasuk
wajib ada
di dalana lingkup masa, jika adanya juga berada di dalana
lingkup-
nya.
Maka, tidak benar jika tidak adanya kosmos itu
ada dalana
lingkup masa adanya kosmos itu sendiri. Sesuatu yang tidak
ada
musti lebih dahulu, dan (adanva) kosnaos nausti lebila aklair.
Karena
lebila dahulu atau lebih akhir, daiam gerak itu hanya bisa
dipahami
daiam lingkup naasa.
***
Adapun
persoalan kontroversial dalana masalah ini karena
Allah dianalogikan
dengan kosmos. Dari sisi ini, 57 analogi tersebut
tidak bisa naembuat
pernyataan ini diterinaa, dan juga tidak bisa
menjadi argumen.
Maksudnya, atas apa yang dia ceritakan tentang
para filosof.
[27]. Abu Hamid naenjawab para filosof tentang teolog kalam yang
me-
nyanggala pernyataan ini. Kita katakan, pemahaman yang sebenar-
nya dari dua kalimat tersebut, adalah adanya zat dan tidak adanya.
Sedangkan, unsur ketiga yang membuat beda dua kalimat tersebut,
menurut kita hanyalah sebatas penisbatan tambahan, dengan dalil
bahwa jika kita menganggap tidak adanya kosmos di masa yang
akan
datang (mustaqbal, future). Kemudian setelah itu, kita mengang-
gapnva
ada, niscaya kita akan mengatakan, 'Allah telah ada dan
kosmos tidak'.
Benar apa yang kita katakan, baik yang kita maksud adanya
ketiadaan pertama ( al-'adnm al-aunvnl), maupun ketiadaan kedua se¬
telah ada. Hal tersebut karena masa yang akan datang, dengan sen-
dirinya, bisa menjadi masa lalu, maka pertgungkapannya boleh
dengan menggunakan bentuk masa lalu ( madli, past).
Inilah
kelemahan waham di dalam memahami batas awal
sebuah mawujud, kecuali
dengan memproyeksikan sebelumnya.
Dan, bagi orang-orang yang selalu
dikungkung waham, pastilah ia
mengira, bahwa masa atau waktu adalah
sesuatu yang benar-benar
mawujud. Hal tersebut karena waham tidaklah
mampu mempro¬
yeksikan keterbatasan jisim di sisi kepala, misalnya,
kecuali di atas
permukaan yang memiliki ketinggian. Maka, ia pun mengira
ada
tempat di belakang kosmos, baik dalam keadaan terisi maupun
hampa.
Jika dikatakan tidak ada atas di atas permukaan
kosmos, dan
tidak ada kejauhan yang lebih jauh darinya, pasti waham
tidak
pantas diterima. Sebagaimana jika dikatakan, tidak ada 'sebelum'
sebelum wujud kosmos yang sebenar-benamya, sulit untuk bisa di¬
terima. Ketetapan waham secara proyektif tentang adanya keham-
paan di atas kosmos, yaitu kejauhan yang tiada batas akhir, hanya
akan melahirkan perkataan, ternyata kehampaan tidak bisa di-
pahami dengan sendirinya.
Sedangkan kejauhan, ia akan
mengikuti jisim yang teritorial-
nya semakin menjauh. Maka, jika jisim
tersebut memiliki batas akhir,
otomatis kejauhan yang selalu
mengikutinya juga memiliki batas
akhir. Dan, keterputusan kehampaan dan
keterisian tidaklah dapat
dipahami.
Maka jelas, bahwa di
belakang kosmos tidak ada kehampaan
maupun keterisian. Proyeksi yang
demikian tidak dapat diterima.
Begitu pula dikatakan, sebagaimana
kejauhan tempat yang
mengikuti jisim, maka kejauhan masa mengikuti
gerak. Kejauhan
masa adalah memanjangnya gerak, sebagaimana kejauhan
tempat
merupakan memanjangnya jisim.
Bukti-bukti tentang
keterbatasan teritorial jisim menolak
penetapan kejauhan tempat di
belakangnya, sebagaimana bukti-
bukti atas keterbatasan gerak juga
menolak penetapan proyeksi
kejauhan masa di belakangnya.
Tidak ada
perbedaan antara kejauhan masa yang diungkapkan
dengan kata qabla
(sebelum) atau ba'da (sesudah), dengan kejauhan
tempat yang diungkapkan
dengan kata faiuqa (di atas) atau tahta
(di bawah).
Jika
dibenarkan penetapan 'atas' yang tidak ada 'atas' di atas-
nya, tentu
dibenarkan pula penetapan 'sebelum' yang tidak ada 'se¬
belum'
sebelumnya, kecuali sebatas waham, sebagaimana pada 'atas'.
Dan ini
lazim demikian, maka pikirkanlah. Sesungguhnya mereka
sepakat, bahwa di
belakang kosmos tidak ada kehampaan mau-
pun keterisian.
[27]. Saya katakan:
Inti pemyataan ini adalah dua hal
yang bersifat paradoksal.
Salah satunya mewahamkan masa lalu (post)
dengan masa yang
akan datang (future ) yang masing-masing dilafalkan
dengan 'se¬
belum' maupun 'sesudah'. Keduanya sama-sama ada dalam waham
kita dengan analogi (qiyas), sebab kita bisa saja melukiskan masa
yang akan datang menjadi masa lalu. Begitu pula sebaliknya, masa
lalu dilukiskan sebagai masa yang akan datang.
Jika
demikian, berarti masa lalu ataupun masa yang akan
datang bukanlah
sesuatu yang ada dengan zatnya dan tidak me-
miliki wujud di luar
esensinya, melainkan sesuatu yang diperbuat
oleh esensi itu sendiri.
Jika wujud gerak dianggap tidak benar, maka penisbatan dan
analogi ini secara otomatis juga tidak benar.
***
Sebagai jawaban, jika dikatakan gerak itu bergantung pada
masa itu benar. Juga bahwa masa adalah sesuatu yang diperbuat
kekuatan dalam gerak. Tetapi gerak bukanlah sesuatu yang tidak
benar atau dusta, begitu pula masa. Karena wujud masa tidaklah
terhalangi, kecuali dengan mawujud-mawujud yang bergerak, yang
tidak memiliki gerak. Sedangkan, wujud mawujud-mawujud yang
bergerak itu, atau proyeksi wujudnya, pasti meliputi masa. Dengan
demikian, berarti di sini ada dua hal, yaitu mawujud yang memiliki
gerak dan mawujud yang tidak memiliki gerak.
Kedua mawujud
tersebut tidak mungkin saling terbalik, ke^
cuali jika keniscayaan telah
terbalik menjadi kemungkinan.
Maka jika gerak bukanlah sesuatu
yang mungkin, kemudian
ada, niscaya karakter mawujud yang memiliki gerak
akan beralih
pada karakter mawujud yang tidak memiliki gerak, dan hal
tersebut
mustahil terjadi.
Dan jika memang demikian, karena
gerak berada dalam
lingkup sesuatu yang wajib. Jika gerak merupakan
sesuatu yang
mungkin sebelum wujud kosmos, maka sesuatu yang disandarkan
kepadanya wajib berada dalam satu masa. Hal itu karena gerak
hanya
menjadi mungkin pada sesuatu yang diam, bukan tidak ada.
Karena sesuatu
yang tidak ada, sama sekali tidak memiliki ke¬
mungkinan, kecuali jika
ketiadaan tersebut berubah menjadi ada.
Oleh karena itu, maka sesuatu
yang temporal pastilah didahului oleh
ketiadaan. Dan ketiadaan sesuatu
yang temporal pasti terkait dengan
sesuatu yang tercipta sebelum wujud
sesuatu yang temporal, se-
hingga ia terangkat dari ketiadaan, seperti
keadaan dalam dua hal
yang kontradiktif. Yang demikian itu karena, jika
panas telah men¬
jadi dingin, sebenamya bukanlah materi panas yang
berubah men¬
jadi dingin, akan tetapi muatan dalam benda yang semula
panas ber¬
ubah menjadi dingin.
***
Paradoks
kedua merupakan yang paling kuat, sebab hal ini
hanyalah retorika
sophistik yang menjijikkan.
Intinya, penggunaan kata 'sebelum'
diwahamkan sebelum per-
mulaan gerak pertama, yang sebelum itu tidak ada
sesuatu yang
bergerak. Hal tersebut seperti waham khayalan, bahwa batas
akhir
jisim kosmos adalah atas (fawqa ), yang berakhir pada jisim lain
atau
kehampaan.
Hal tersebut karena kejauhan merupakan
sesuatu yang meng-
ikuti jisim, sebagaimana masa yang selalu mengikuti
gerak.
Jika keberadaan jisim yang tidak memiliki batas akhir
dikata-
kan tidak benar, otomatis keberadaan kejauhan yang tidak
memiliki
batas akhir juga tidak benar. Dan jika keberadaan kejauhan yang
tidak memiliki batas akhir sudah dianggap tidak benar, maka
tidaklah benar kalau dikatakan jisim itu berakhir pada jisim yang
lain. Atau, pada sesuatu yang diproyeksikan memiliki kejauhan se-
macam kehampaan yang tidak memiliki batas akhir.
Begitu pula
gerak dan masa, keduanya merupakan sesuatu
yang mengikuti jisim dan
gerak. Jika keberadaan gerak masa lalu
dianggap tidak benar, sedangkan
di sini ada gerak pertama yang
memiliki ujung batas permulaan, maka kata
'sebelum' tidak akan
pernah ada. Jika masih ada, pastilah ada gerak lain
sebelum itu.
Paradoks semacam ini—seperti yang telah kita paparkan
sungguh menjijikkan. Ia seperti topik perubahan yang keliru. Jika
kalian pernah membaca buku al-safsathnh (sophisme), pasti kalian
mengenal pemindahan suatu hukum yang tidak mendasar dan tidak
memiliki universalitas, yaitu masa dan gerak, kepada hukum kuan-
titas vang berdasar dan memiliki universalitas, yaitu jisim. Dan
menjadikan penolakan, terhadap hukum kuantitas yang mendasar
sebagai bukti atas penolakan hukum kuantitas yang mendasar.
Atau,
menyejajarkan perbuatan esensi yang diproyeksikan me-
ngandung tambahan
dari yang semustinya dengan perbuatan gerak
dan masa.
Hal
itu sungguh kesalahan yang nyata jika diproyeksikan ada-
nya tambahan
atas keagungan yang ada dengan sendirinya. Dan,
hal tersebut akan
meniscayakannya berakhir pada keagungan lain
yang tidak tergolong
sesuatu yang mawujud, baik dalam materi ke¬
agungan maupun
batas-batasnya.
Sedangkan mewahamkan 'sebelum' ataupun 'sesudah'
dalam
gerak yang temporal, adalah sesuatu yang mawujud dalam esensi-
nya. Gerak yang temporal tidaklah mungkin ada, kecuali dalam masa.
Maksudnya, masa itu sendiri lebih penting ( afdhal ) dibanding per-
mulaannya.
Tidak mungkin membayangkan, bahwa masa memiliki
ujung
yang bukan menjadi batas akhir masa yang lain, jika batasan
sekarang
merupakan batas akhir dari masa lalu ( madli ), dan permulaan
masa
yang akan datang ( mustaqbal ). Hal tersebut karena, sekarang ada-
lah sesuatu yang sedang dijalani, dan ia berada di tengah-tengah
antara masa lalu dan yang akan datang. Menggambarkan sesuatu
yang
sedang dijalani ( hndlir ), sebagai sesuatu yang tidak memiliki
masa
lalu sebelumnya sangat irasional.
Tetapi tidak demikian pada
titik, sebab titik menjadi batas
akhir dari sebuah tulisan. Karena titik
merupakan sesuatu yang
diam, maka bisa saja dianggap sebagai permulaan
tulisan, dan
bukan batas akhir bagi yang lain.
Sekarang
tidak mungkin ada tanpa masa lalu dan yang akan
datang. Sekarang, pasti
adanya di tengah-tengah antara masa lalu
dan yang akan datang. Sesuatu
yang tidak mungkin ada dengan
zatnya, tidak mungkin ada, sebelum wujud
masa yang akan datang,
tanpa adanya batas akhir dari masa lalu.
Adapun sebab-sebab terjadinya kesalahan di sini, karena (dia)
menyamakan 'sekarang' dengan titik.
***
Adapun
bukti bahwa gerak yang temporal, sebelumnya pasti
ada masa. Sesuatu yang
temporal pasti berasal dari tidak ada. Dan
tidak mungkin menjadi tidak
ada dalam 'sekarang' yang mem-
benarkan, bahwa ia adalah sesuatu yang
temporal. Semustinya ia
membenarkan ketiadaan itu pada sekarang yang
lain, selain se¬
karang yang pertama, yang membenarkan bahwa
masing-masing
sekarang itu, memiliki masa atau waktu sendiri-sendiri,
sebab se¬
karang tidak mengikuti sekarang yang lain. Sebagaimana titik
tidak
mengikuti titik yang lain. Hal tersebut sudah sangat jelas dalam
sebuah disiplin ilmu.
Jadi, sebelum sekarang, saat gerak itu
menjadi sesuatu yang
temporal, pastilah ada masa lain. Karena jika kita
menggambarkan
ada dua sekarang dalam sebuah wujud, pasti di antara
keduanya ada
masa yang lain.
'Atas' tidak sama dengan
'sebelum', seperti yang disebutkan
dalam pemyataan ini. 'Sekarang' juga
tidak sama dengan 'titik'. Kuan-
titas yang mendasar tidaklah sama
dengan kuantitas yang tidak
mendasar.
Maka, yang membolehkan
wujud sekarang, bukan saat yang
dijalani {hadhr), atau hadir yang tidak
memiliki masa lalu. Hal ini
berarti, ia meniadakan masa dan sekarang
dengan menyifatinya
seperti ini. Kemudian meletakkan masa, pada sesuatu
yang tidak
memiliki batas permulaan. Peletakan semacam ini tidak
membenar-
kan esensinya. Karena itu, tidaklah benar penisbatan wujud
sebelum
dalam setiap sesuatu vang temporal kepada waham, sebab yang
meniadakan 'sebelum', berarti meniadakan sesuatu yang tempo¬
ral.
Berbeda dengan yang meniadakan 'atas' bagi 'atas', karena
ia
telah meniadakan atas secara mutlak. Jika secara mutlak atas
itu tidak
ada, maka 'bawah' pun secara mutlak juga tidak ada. Jika
kedua hal
tersebut tidak ada, maka tidak ada yang berat (tsnqil)
atau yang ringan
(khafif).
Apa yang diperbuat waham—dalam jisim terjauh yang lurus,
bahwa ia berakhir pada jisim lainnya—tidaklah keliru. Bahkan hal
tersebut wajib hukumnya. Sesungguhnya sesuatu terjauh yang lurus
itu memungkinkan adanya tambahan. Dan sesuatu yang memung-
kinkan
adanya tambahan, jelas tidak memiliki batas. Oleh karena
itu, jisim yang
lurus pasti akan berakhir pada jisim yang bulat. Sebab,
dialah
kesempurnaan yang tidak memungkinkan adanya tambahan
atau pengurangan.
Maka jika waham menggambarkan jisim yang bulat akan
berakhir
pada jisim lain, sungguh waham tersebut tidak benar.
Hal semacam
ini, secara umum tidak pernah dihasilkan para
teolog kalam, juga mereka
yang tidak banyak mengkaji sistematika
proses penciptaan (at-tartib
ash-shina'l).
Masa juga tidak mengikuti gerak, sebagaimana batas
akhir
mengikuti keagungan. Batas akhir mengikuti keagungan, karena ia
berada di dalamnya, sebagaimana adanya sifat dalam objek ciptaan
yang terpersonifikasi dan mengisyaratkan keterciptaan serta keber-
adaannya yang mawujud di dalam tempat objek ciptaan.
Hal
tersebut tidak lazim pada masa dan gerak. Kelaziman
masa terhadap gerak
menyerupai kelaziman bilangan ('adad) pada
sesuatu yang dikalkulasi (inn
dud). Maksudnya, bilangan itu tidak
ditentukan oleh sesuatu yang
dikalkulasi. Dan, banyak bilangan
tidak sebanyak sesuatu yang
dikalkulasi. Begitu pula vang terjadi
pada masa terhadap gerak.
Oleh karena itu, masa adalah satu bagi setiap gerak dan peng-
gerak. Ia juga mawujud di setiap tempat. Hingga meskipun kita
membayangkan suatu kaum yang terpenjara di sebuah gua, kita
bisa
pastikan mereka mengenal masa. Akan tetapi mereka tidak
mengenal sesuatu
apa pun yang berkenaan dengan gerak, yang
tertangkap oleh indra di dalam
kosmos.
Demikianlah menurut Aristoteles, bahwa wujud gerak dalam
masa, seperti wujud sesuatu yang dikalkulasi dalam bilangan. Hal
itu karena banyak bilangan tidak ditentukan oleh banyaknya sesuatu
yang dikalkulasi, dan posisinya tidak dibatasi oleh posisi sesuatu
yang dikalkulasi itu.
Oleh karena itu, menurut Aristoteles,
spesifikasinya adalah
proyeksi gerak dan wujud beberapa mawujud yang
bergerak dari
sisi mengapa ia bergerak, sebagaimana proyeksi bilangan
terhadap
materinya. Ia mengatakan, bahwa batasan masa adalah bilangan
gerak dari awal sampai akhir.
Jika demikian, berarti dia
meniscayakan sesuatu yang ter-
bilang itu temporal. Tetapi bilangan
tersebut tidaklah temporal. Dan,
jika sesuatu yang terbilang itu wajib
temporal, pasti ada bilangan
lain sebelum itu. Begitu pula pada gerak
yang temporal, pasti se-
belumnya ada masa. Dan, jika masa tersebut
diketahui dengan wujud
gerak yang diisyaratkan, atau gerak yang ada,
niscaya masa hanya
akan diketahui dengan gerak semacam itu. Hal ini akan
membuat
kalian mengerti, bahwa tabiat masa paling jauhnya sesuatu dari
tabiat keagungan.
[28]. Abu Hamid menjawab para filosof:
Jika dikatakan komparasi ini tidak benar, lantaran kosmos
tidak memiliki 'atas' juga 'bawah', karena ia merupakan sesuatu yang
bulat. Dan sesuatu yang bulat tidaklah memiliki atas dan bawah.
Disebut 'atas' karena ia berada di atas kepalamu. Sedang yang
lain disebut 'bawah' sebab ia berada di bawah telapak kakimu. Ke-
duanya merupakan sebutan yang akan berubah sesuai keberada-
anmu.
Sesuatu disebut 'bawah' apabila disandarkan kepadamu, bisa
menjadi 'atas' jika disandarkan kepada orang lain yang berdiri di
sisi lain di belahan bumi yang bulat ini sembari menghadapkan
ujung kakinya dengan ujung kakimu.
Sesuatu yang kamu anggap
'atas , yaitu langit pada siang hari,
dia akan menjadi 'bawah' di malam
harinya. Yang di bawah bumi
akan kembali menjadi atas seiring
perputarannya.
Sedangkan, awal bagi wujud kosmos tidaklah bisa
digambai-
kan akan berubah menjadi akhir. Hal tersebut sama dengan
sebuah
kavu yang salah satu ujungnya tebal, sedangkan yang lain tipis.
Kemudian kita menyebut sesuatu yang tipis sampai habis itu atas,
dan yang lain bawah. Yang demikian, tidak mengindikasikan adanya
perbedaan zat dalam bagian-bagian kosmos. Akan tetapi, perbedaan
tersebut akan tampak, manakala posisi kayu ini berubah. Sehingga
kalau posisinya diubah, maka sebutan tadi juga akan berubah. Se¬
dangkan kosmos tidak berubah-ubah. Atas dan bawah hanyalah
sebutan
yang dinisbatkan kepadamu, yang tidak menimbulkan per¬
bedaan pada
bagian-bagian kosmos dan bidangnva.
Sedangkan ketiadaan yang
mendahului wujud kosmos dan
batas akhir pertama bagi wujud tersebut,
pasti ada dengan zatnya
yang tidak akan pernah berubah menjadi akhir.
Begitu juga ke¬
tiadaan yang diproyeksikan saat rusaknya kosmos, yaitu
ketiadaan
yang akan datang, pasti tidak mungkin menjadi yang terdahulu.
Maka dua ujung batas kosmos—yang salah satunya disebut
awal,
dan yang lain disebut akhir—adalah dua batas yang ada dengan
zatnya dan
tidak akan pernah berubah seiring perubahan sandar-
annya. Hal tersebut
tentu berbeda dengan atas maupun bawah.
Kita mungkin mengatakan,
bahwa kosmos tidak memiliki atas
maupun bawah, maka kalian tidak mungkin
mengatakan, bahwa
wujud kosmos tidak memiliki 'sebelum' dan
'sesudah'-nya. Dan, jika
sebelum dan sesudah itu sudah tetap, maka bukan
makna masa,
selain apa yang disebut sebelum atau sesudah itu sendiri.
[28]. Saya katakan:
Pernyataan jawaban terhadap para
filosof ini berada dalam
pur.cak keterjatuhan. 15 ’
Kesimpulannya, 'atas dan bawah' merupakan sesuatu yang
disandarkan. Oleh karena itu, maka terjadi hierarki waham. Se-
dangkan hierarki pada sebelum dan sesudah, karena tidak merupa¬
kan sesuatu yang disandarkan bukanlah waham, melainkan rasional.
Hal ini berarti bahwa 'atas' menurut anggapan sesuatu, bisa
jadi dianggap 'bawah' oleh sesuatu itu. Sebaliknya, 'bawah'juga bisa
dianggap 'atas'.
Ketiadaan sebelum kejadian, yang disebut
‘qabla' tidak dapat
dianggap keadaan sesudah kejadian yang disebut
'ba'da'.
Para filosof masih merasa ragu-ragu, sebab di sini mereka
melihat:
'Atas', yaitu yang bergerak kepadanya sesuatu yang
ringan,
sedangkan
'bawah', yaitu yang bergerak kepadanya
sesuatu yang berat.
Jika tidak, maka berat atau ringan hanyalah
merupakan sandaran.
Dan kalian dapat melihat, bahwa ujung jisim
yang menjadi
atas secara pasti, dalam khayalan dianggap batas akhir,
baik pada
kehampaan maupun keterisian.
***
Menurut para filosof, dalil ini terpecah dalam dua sisi. Per-
tama mereka meletakkan atas dan bawah secara absolut, tetapi
tidak
meletakkan awal dan akhir juga secara absolut. Kedua, mereka
katakan
kepada lawan-lawannya jika tidak ada sebab menjadikan
khayalan adanya
'atas' di atas sesuatu sebagai sandaran (inudldf).
Namun terlintas dalam
bayangan, bahwa dia tidak menyaksikan
keagungan kecuali terkait dengan
keagungan, sebagaimana tidak
menyaksikan sesuatu yang temporal, kecuali
terkait dengan sesuatu
sebelumnya.
[29]. Selanjutnya, Abu
Hamid beralih dari pembicaraan soal 'atas dan
bawah ke masalah 'luar dan
dalam'. Ia menjawab para filosof:
Kita katakan, tidak ada gunanya
berbicara tentang 'atas dan
bawah . Selanjutnva kita beralih pada
persoalan 'luar dan dalam .
Kita katakan, bahwa alam memiliki luar dan
dalam. Inilah vang
menjadi sumber kekeliruan dan memicu kontroversi.
[29] . Dengan peralihan ini, maka pecahlah sanggahan para filosof
tentang
asimilasi 'batas akhir dalam masa dengan batas akhir dalam
keagungan'.
Dan, kita telah menjelaskan letak kekeliruan
dalam asimilasi
tersebut. Sekiranva penjelasan yang sudah dipaparkan
cukup mem-
berikan kepuasan.
Kita juga jelaskan, bahwa semua
itu hanyalah perhelatan
sophistik. Tidak ada gunanya mengulangi
pembicaraan seputar itu.
[30] . Abu Hamid berkata:
Deskripsi Mereka yang Kedua tentang Keniscayaan eternalitas Masa
Mereka berkata, kalian tidak meragukan bahwa Allah SWT.
telah mampu untuk menciptakan kosmos sebelum proses pencipta-
annya berlangsung kurang lebih setahun, atau seratus tahun, seribu
tahun atau bahkan tidak berbilang tahun.
Perbedaan pada
estimasi macam ini terletak dalam penentuan
kadar dan kuantitas. Maka
sebelum proses penciptaan kosmos,
semustinya Dia telah menentukan
sesuatu yang secara estimatif,
sebagian yang satu lebih panjang dari
sebagian yang lain. Dengan
demikian, berarti sebelum penciptaan kosmos,
menurut kalian telah
ada sesuatu yang memiliki kuantitas yang berbeda,
yaitu masa.
Kalianlah yang mengatakan demikian.
[30]. Inti
pernyataan ini adalah bahwa ketika kita menggambarkan
sebuah gerak,
terbavang bersamaan dengan gerak tersebut adanva
sifat panjang (
imtidcid ) secara estimatif, seakan-akan menjadi takaran.
Sedangkan
gerak itu sendiri adalah sesuatu yang ditakar.
Takaran dan sifat
panjang ini tidak menutup kemungkinan
akan meniscayakan adanya gerak
yang lebih panjang dari gerak
semula atau yang sama persis dengan gerak
tersebut.
Kita katakan, bahwa gerak pertama lebih panjang dari
gerak
kedua.
Jika memang demikian, dan kosmos memiliki sifat
yang me-
manjang dari proses awal hingga kini, yang kita anggap itu,
misal-
nya seribu tahun.
Dan karena Allah SWT., sebagaimana
kalian nvatakan tadi,
mampu untuk menciptakan kosmos lain sebelum proses
pencipta-
an kosmos ini, maka sifaf panjang yang ditakar pada kosmos ini
lebih panjang dari sifat panjang yang ditakar pada kosmos pertama
dengan takaran yang terbatas. Dan begitulah seterusnya, Dia akan
mampu menciptakan kosmos ketiga setelah ini, juga keempat se-
telahnya.
Dan masing-masing wujud dari setiap kosmos yang
tercipta
pasti saling mendahului yang lain, sehingga wujudnya memung-
kinkan untuk ditakar. Dan jika kemungkinan ini terus berlangsung
tanpa batasan-batasan, maka tidaklah mustahil apabila sebelum kos¬
mos ada kosmos vang lain. Dan sebelum kosmos itu ada juga ada
kosmos yang lain. Begitu seterusnya.
Di sinilah terdapat
sifat panjang yang mendahului semua kos-
mos-kosmos tadi. Sifat panjang
ini merupakan ungkapan yang tidak
mungkin tidak ada, sebab sesuatu yang
tidak ada tidak dapat ditakar.
Sesungguhnya vang dapat menakar sebuah
kuantitas hanyalah kuan-
titas juga. Dan kuantitas yang ditakar
(diestimasikan) tersebut kita
sebut masa.
Tampaknya, masa
itu lebih dahulu dari semua wujud yang di-
kategorikan temporal,
sebagaimana kepastian wujud takaran yang
lebih mendahului sesuatu yang
ditakar.
Dan, jika imtiddd ini, yaitu masa, menjadi temporal
seiring tem-
poralitas gerak pertama ( al-harakah al-ula), niscaya
sebelum itu juga
ada imtidad yang lain. Sifat panjang itulah yang
ditakarkan kepada-
nya, sebab ia seperti takaran baginya, dan dalam pada
itulah ia ter-
golong temporal.
Begitu pula sebelum kosmos
yang bisa diwahamkan, wujud-
nya musti ada sifat panjang yang
menakarnya.
Dengan demikian, imtidad ini tidaklah tergolong
temporal,
sebab jika dikelompokkan sesuatu yang temporal, niscaya ada
imtidad lain yang menakarnya. Karena sesuatu yang temporal pasti
memiliki imtidad yang menakarnya, yaitu masa.
Inilah sisi
sempurna yang terdapat dalam pernyataan ini. Dan
itu merupakan metode
Ibn Sina di dalam menentukan masa. Akan
tetapi sebelum ini teramat sulit
untuk dapat dimengerti.
Paling tidak ada satu imtidad, dan
masing-masing imtidad itu
memungkinkan untuk ditakar. Inilah yang memicu
dilema kontro-
versif, 158 kecuali jika premis kemungkinan sebelum
terciptanya kos¬
mos diterima sebagai tabiat kemungkinan yang ada pada
kosmos
itu sendiri.
Maksudnya, kemungkinan kosmos bisa
dikaitkan dengan
masa, juga mungkin untuk vang terjadi pada sebelum
kosmos itu.
Kemungkinan yang ada pada kosmos sudah sangat jelas.
Oleh
karena itu, wujud masa pada kosmos tersebut juga bisa diwaham¬
kan.
[31]. Abu Hamid berkata, adapun yang tidak dapat
diterima, adalah
bahwasanya ini semua merupakan hasil waham. Dan jalan
pintas
yang dilakukan dengan memperbandingkan antara masa dan
tempat.
Kita pertanyakan, apakah Allah mampu menciptakan
falak
tertinggi yang lebih besar dari apa yang telah Dia ciptakan
meskipun
hanya sehasta?
Apabila mereka katakan tidak,
berarti hal tersebut tidak vis¬
ible.
Tetapi jika mereka
katakan ya, dengan dua hasta, tiga hasta
atau lebih banyak lagi, maka
kita katakan yang demikian itu berarti
menyepakati adanya bu d
(kejauhan) di belakang kosmos, yang me¬
miliki takaran dan kuantitas.
Sesungguhnya yang lebih besar, mes-
kipun hanya dua atau tiga hasta,
membutuhkan tempat yang lebih
besar dari yang telah ada.
Dengan hukum kuantitas ini, di belakang kosmos memerlu-
kan
sesuatu yang memiliki kuantitas, yaitu jisim atau kehampaan.
Kalau
di belakang kosmos ada kehampaan atau keterisian,
bagaimana jawabannya?
Lagi pula, apakah Allah mampu menciptakan kebulatan
kosmos
yang lebih kecil meskipun hanya sehasta atau dua hasta,
dari apa yang
telah tercipta? Dan apakah ada perbedaan di antara
dua kadar tersebut
yang menjadikan keterisian dan kebutuhan akan
tempat ada atau tiada?
Sesungguhnya keterisian yang lenyap saat
berkurangnya dua hasta itu
lebih banyak daripada saat berkurang-
nya satu hasta. Maka, kehampaan
menjadi sesuatu yang ditakar
dan diestimasikan (muqaddar), padahal
kehampaan bukanlah apa-
apa. Bagaimana ia bisa ditakar?
Jawaban yang kira-kira sesuai khayalan waham, yang meng-
estimasikan adanya beberapa kemungkinan yang bersifat masa se-
belum wujud kosmos itu, tidak berbeda dengan jawaban kalian,
yangjuga berdasarkan khayalan waham, di dalam mengestimasikan
adanya pelbagai kemungkinan yang bersifat tempat di belakang
wujud
kosmos.
[31]. Saya membenarkan keniscayaan ini. Dia memperbolehkan
ber-
tambahnya kadar jisim kosmos hingga tanpa batas.
Hal
ini berarti dia meniscayakan adanya sesuatu yang ter-
batas pada Allah
SWT., yang didahului dengan pelbagai kemung¬
kinan kuantitatif yang
tidak terbatas.
Jika ini diperbolehkan dalam kemungkinan
keagungan, tentu
boleh juga dalam kemungkinan masa. Maka, masa yang
memiliki
batas kedua ujungnya tentu ada, meskipun sebelumnya ada masa
yang tiada terbatas.
Sebagai jawaban dari ini, dengan
mewahamkan keberadaan
kosmos lebih besar atau lebih kecil tidaklah
benar, bahkan hal ter¬
sebut terlarang.
Meskipun yang
demikian terlarang, tidak lantas menjadikan
waham kemungkinan adanya
kosmos sebelum kosmos ini juga ter-
larang, kecuali jika tabiat
kemungkinan telah terjadi. Dan, sebelum
vvujud kosmos hanya ada dua
tabiat, yaitu tabiat wajib dan tabiat
terlarang.
Hal itu
sudah jelas, meskipun rasio menghukumi adanya tiga
tabiat, yaitu
mungkin, wajib, dan terlarang, masih seperti hukum
rasio atas sesuatu
yang wajib dan terlarang saja, juga seperti hukum-
nva atas wujud yang
wajib dan terlarang.
Ini pertentangan yang tidak lazim
terhadap para filosof,
sebab mereka meyakini, bahwa kosmos tidaklah
lebih kecil dan
juga tidak lebih besar dari yang sudah tercipta.
Apabila keagungan boleh jadi lebih besai; dari keagungan
yang lain, pasti ada keagungan yang tiada berakhir. Dan jika benar
adanya keagungan yang tiada berakhir, tentu ada pula keagungan
yang benar-benar tidak memiliki batas akhir, hal tersebut tentu
mustahil adanya.
Hal semacam ini sudah dipaparkan oleh
Aristoteles. Maksud-
nva, bahwa bertambahnya keagungan hingga tanpa
batas adalah
mustahil.
Sedangkan bagi orang yang
memperbolehkan demikian,
karena adanya kemungkinan yang dinisbatkan
kepadanya ketidak-
mampuan (' ajz ) Sang Pencipta, tentu sanggahan ini
dianggap benar
olehnya. Karena kemungkinan dalam hal ini bersifat
rasional, sebagai-
mana kemungkinan sebelum kosmos, seperti yang
dinyatakan para
filosof.
Oleh karena itu, orang yang
menyatakan temporalitas kosmos
sebagai temporalitas yang berkaitan
dengan masa (huduts zmtidm),
ia juga akan mengatakan bahwa setiap jisim
dalam sebuah tempat
meniscayakan adanya tempat lain sebelum itu, baik
berupa jisim yang
menjadi temporal di tempat tersebut, atau kehampaan.
Hal itu karena, tempat pasti lebih mendahului sesuatu yang
temporal. Maka barangsiapa yang tidak membenarkan adanya
kehampaan, ia juga akan mengatakan, bahwa keterbatasan jisim
tidak
mampu menjadikan kosmos sebagai sesuatu yang temporal.
Oleh karena
itu, generasi terakhir Asy'ariyah yang menging-
kari adanya kehampaan,
berarti telah menyalahi kaidah-kaidah
suatu kaum. Padahal saya belum
pemah melihat yang demikian,
tetapi seseorang yang memiliki perhatian
cukup besar pada mazhab
mereka telah menyampaikannya kepada saya.
Apabila perbuatan imtidad yang menjadi takaran gerak itu di-
anggap hasil vvaham yang dusta, seperti anggapan bahwa kosmos
itu
lebih besar atau lebih kecil dari yang sudah ada, niscaya masa tidak
pemah ada. Karena masa bukanlah apa-apa selain yang ditarigkap
rasio merupakan imtidad yang ditakar bagi gerak.
Jika dengan
sendirinya diketahui jika masa itu ada, maka di-
harapkan perbuatan
pikiran ini merupakan perbuatan yang benar,
yang dinisbatkan kepada
akal, bukan perbuatan yang dinisbatkan
kepada khavalan.
[32]. Abu Hamid berkata:
Kita menyatakan bahwa sesuatu
yang tidak mungkin tidaklah
bisa diestimasikan. Keberadaan kosmos yang
lebih besar dan lebih
kecil meskipun hanya sehasta adalah sesuatu yang
tidak mungkin,
maka ia tidak bisa diestimasikan.
[32] . Saya
katakan:
Inilah jawaban atas sesuatu yang dipersalahkan oleh
Asy'ari¬
yah, bahwa Allah bisa saja menciptakan kosmos lebih besar,
bukan
lebih kecil. Hal itu merupakan ta'jiz (infisibilitas) bagi Allah,
sebab
infisibilitas tersebut hanyalah terletak pada sesuatu yang diesti¬
masikan, bukan pada sesuatu yang mustahil.
Kemudian Abu
Hamid menjawab mereka:
[33] . Alasan tersebut tidak bisa diterima
dari tiga dimensi. Salah satunya
karena ini bertentangan dengan
akal. Sebab, ketika akal mengesti-
masikan kosmos itu lebih besar dan
lebih kecil dari yang sudah ter-
cipta, bukanlah seperti mengestimasikan
penggabungan antara
hitam dan putih, serta ada ( wujud) dan tidak ada ('
adam). Yang ter-
larang itulah penggabungan antara nafy (pengingkaran)
dan itsbat
(verifikasi). Maka yang demikian, menjadi pengambilan hukum
yang
lemah dan tidak benar.
[33]. Saya katakan:
L ntuk menanggapi ini sania seperti yang dikatakan pertama
kali sebagai bertentangan dengan akal.
Sedangkan menurut
akal vang sebenarnya, hal tersebut tidak-
lah bertentangan. Sesungguhnya
pernyataan adanya kemungkinan
atau tidak adanya, sama-sama membutuhkan
pembuktian.
Oleh karena itu, benar apa \'ang dikatakan bahwa
penolakan
pada premis ini tidak seperti estimasi penggabungan antara
hitam
dan putih. Sebab absurditas yang demikian sudah diketahui dengan
sendirinya. Sedangkan, keberadaan kosmos yang tidak mungkin
lebih
besar atau lebih kecil dari apa yang sudah ada, bukanlah ter-
golong
sesuatu yang diketahui dengan sendirinya.
Sesuatu vang mustahil
(absurd), meskipun merujuk pada
absurditas dengan sendirinya, 1 a tetap
merujuk pada dua hal. Di
antaranya, absurditas tersebut diketahui dengan
sendirinya. Dan
kedua, identifikasi sebagai sesuatu yang absurd.
Absurditas ter¬
sebut, diketahui dengan sendirinya merupakan kelaziman
yang
sangat memungkinkan atau tidak same sekaii. Contohnya, per¬
nyataan jika kosmos itu lebih besar atau lebih kecil, meniscayakan
di luar itu adanya keterisian ataupun kehampaan. Dan, verifikasi
adanya kehampaan atau keterisian di luar itu meniscayakan iden¬
tifikasi, bagian dari sesuatu vang absurd. Kehampaan adalah wujud
yang jauh, sedangkan jisim merupakan sesuatu vang bergerak baik
ke
atas, ke bawah, maupun berotasi. Jika demikian, wajiblah ia men¬
jadi
bagian dari kosmos yang lain. Padahal sudah dibuktikan dalam
ilmu
fisika, bahwa adanva kosmos lain yang bersamaan dengan
kosmos ini sangat
irasional. Sedikit yang melazimkan adanya ke¬
hampaan, sebab setiap
kosmos pasti terdiri dari empat elemen, se¬
dangkan jisim berputar
mengelilinginya.
***
Siapa saja yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang per-
soalan ini, lakukanlah eksperimen empiris,
sehingga yang demi-
kian itu akan selalu diingatnya.
Itulah
kejauhan syarat-syarat 60 yang keberadaannya wajib di-
dahulukan bagi
orang-orang yang berpikir burhani (menurut bukti-
bukti).
Selaniutnya, Abu Hamid menyebut sisi kedua dengan ber-
kata:
[34]. Apabila kosmos tidak memungkinkan lebih
besar atau lebih kecil
dari yang sudah tercipta, niscaya wujud yang
sudah ada itu wajib,
bukan mungkin. Dan, sesuatu yang tergolong wajib,
pasti tidak mem-
butuhkan penvebab ('illah)
Maka, katakanlah
bahwa mazhab kalian tidaklah seperti yang
dikatakan kaum ateis, yang
menafikan adanya Pencipta dan me-
niadakan causa prima (musabbib
al-asbdb ).
[34]. Saya katakan:
Jawaban ini mendekati
mazhab Ibn Sina, yaitu bahwa
menurutnva wajib al-wujiid (wajib ada) itu
ada dua macam. Pertama,
wajib ada dengan zatnya. Dan kedua, wajib ada
dengan selain
zatnya.
Akan tetapi lebih dekat lagi pada
mazhab yang saya anut,
yaitu bahwa sesuatu yang lazim menurut pernyataan
ini wajib tidak
memiliki fail (subjek), dan tidak pula shani'
(pencipta). Contohnya,
alat yang dipakai untuk menggergaji kayu adalah
alat yang ditakar
secara kammiyyah (kuantitatif), kayfiyyah (metodis),
dan maddah
(materi). Maksudnya, alat tersebut tidak mungkin dibuat dari
selain
besi. Tidak mungkin dibentuk dengan selain bentuk gergaji. Dan,
tidak mungkin gergaji itu sendiri ditakar dengan apa saja. Tetapi
tidak seorang pun yang akan berkata, jika gergaji itu tergolong
wajib al-wujiid.
Coba perhatikan, begitu tidak berartinya
paralogisme ini.
Apabila sesuatu yang lazim itu terlepas dari unsur
kuantitatif,
metodis dan materi benda yang tercipta—seperti yang
diasumsi-
kan Asy'ariyah pada makhluk dengan khaliq—niscaya hikmah
yang ada pada pencipta maupun objek ciptaannya juga menjadi
tidak
ada. Sehingga, setiap subjek memungkinkan untuk menjadi
pencipta. Dan
setiap yang berpengaruh pada mawujud disebut
khaliq (pencipta). Semua
itu sangat tidak dibenarkan oleh akal dan
hikmah.
[35]. Abu
Hamid berkata:
Ketiga, mazhab ini tidak menta'jiz lawan tentang
memper-
bandingkan sesuatu dengan sesamanya (muqabalatuhu bi mitslihi).
Menurut kita tidak mungkin wujud kosmos itu ada sebelum
wujudnya. Akan tetapi kemungkinan tersebut ada bersamaan
dengan
wujud, dengan tanpa berkurang atau bertambah sedikit
pun.
Apabila kalian mengatakan sesuatu yang eternal ( al-qadhn)
telah berubah, dari tidak mampu {'ajz) menjadi mampu ( qudrnt ), maka
kita tidak demikian. Menurut kita, karena wujud belum menjadi se¬
suatu yang mungkin, maka tidak bisa diestimasikan. Dan menolak
pencapaian sesuatu yang tidak mungkin itu bukan berarti ketidak-
mampuan.
Apabila kalian mempertanyakan bagaimana sesuatu
yang
ditolak bisa menjadi mungkin? Kita akan menjawab, apanya yang
mustahil, bukankah sesuatu itu bisa ditolak dalam suatu hal, dan
menjadi mungkin dalam hal yang lain?
Apabila kalian nyatakan
semua hal itu sama, kita akan men¬
jawab terserah kalian. Menurut kita
semua kadar itu sama. Ke-
mudian, bagaimana sebuah kadar bisa menjadi
mungkin dan lebih
besar atau lebih kecil, meski hanya seujung kuku,
sementara ia di¬
tolak dalam hal yang lain?
Jika yang
demikian tidak mustahil, maka yang ini juga tidak
mustahil. Ini
merupakan cara-cara oposisionisme.
Dan sebagai tahqtq atas jawaban
itu, bahwa apa yang mereka
sebutkan tentang estimasi kemungkinan sama
sekali tiada ber-
makna.
Adapun yang tidak terbantahkan
adalah, bahwa Allah SWT.
itu qadim. Dia Mahakuasa, dan tidak ada
perbuatan-Nya yang dapat
dihalangi jika Dia sudah berkehendak.
Kemampuan yang demikian itu tidak akan meniscayakan
penetapan masa yang terbentang, kecuali hal tersebut hanya akan
memicu pemalsuan waham kepadanya.
[35]. Inti pemyataan ini,
Asy'ariyah menyatakan kepada para filosof,
bahwa masalah ini menurut
kita mustahil.
Maksudnya, perkataan seseorang yang menyatakan
bahwa
kosmos itu mungkin bisa lebih besar atau lebih kecil. Pertanyaan
semacam ini hanya keluar dari lisan orang yang menganut mazhab,
bahwa kemungkinan itu mendahului keluarnya sesuatu menjadi
perbuatan. Artinya, wujud sesuatu yang mungkin.
Akan tetapi
menurut kita, kemungkinan itu terjadi bersama-
an dengan perbuatan, apa
adanya dengan tanpa penambahan atau
pengurangan.
Saya
katakan, kecuali jika ia mengingkari dahulunya ke¬
mungkinan dari
sesuatu yang bersifat mungkin, berarti ia meng¬
ingkari sesuatu yang
wajib. Sesungguhnya mungkin ( mumkin ) dan
terlarang ( mumtani') itu
berhadapan tanpa ada mediasi di antara
keduanya.
Segala
sesuatu itu tidak mungkin sebelum wujudnya, akan
tetapi terlarang.
Sesuatu yang terlarang adalah bohong dan mustahil
(kidzb muhal) akan
dijadikan mawujud. Sedangkan sesuatu yang mung¬
kin adalah bohong,
tetapi memungkinkan (kidzb mumkin) untuk
menjadi mawujud.
Menurut mereka, bohong jika kemungkinan itu ada ber-
samaan
dengan perbuatan. Sebab antara kemungkinan dan
perbuatan, adalah dua hal
yang berlawanan, yang tidak mungkin
bersatu dalam satu waktu. Mereka
meniscayakan tidak adanya
kemungkinan yang bersamaan dengan perbuatan,
juga tidak
sebelum perbuatan itu.
** *
Peniscayaan yang benar menurut Asy'ariyah dalam pemyata¬
an
ini, bukanlah berpindahnya sesuatu yang qadim dari tidak mampu
i'ajz)
menjadi mampu ( qudrah ). Sebab, yang mampu mengerjakan se¬
suatu yang
terlarang tidak dapat disebut tidak mampu. Akan tetapi.
peniscayaan yang
sebenar-benamya adalah berpindahnya sesuatu,
dari tabiat terlarang
menuju tabiat yang bersifat mungkin. Hal ter-
sebut seperti berbaliknya
sesuatu yang wajib menjadi mungkin.
Dan, mendudukkan sesuatu yang
terlarang dalam satu hal dan
mungkin dalam hal yang lain. Tidak kemudian
mengeluarkannya
dari tabiat yang bersifat mungkin, sebab semua hal itu
bersifat
mungkin.
Contohnya, wujud sesuatu yang mungkin itu
mustahil, me-
nurut hal wujud kebalikannya. Jika sang lawan telah
menerima,
bahwa sesuatu itu menjadi terlarang di suatu waktu dan mungkin
di waktu yang lain, berarti ia menerima, bahwa sesuatu itu berasal
dari tabiat yang bersifat mungkin secara absolut, bukan dari tabiat
yang terlarang.
Hal ini meniscayakan, bahwa jika kosmos
dianggap se-
bagai sesuatu yang terlarang beberapa masa yang tiada
terbatas
sebelum kejadiannya, dan kemudian ia terjadi, berarti tabiatnya
telah berubah dari sesuatu yang mustahil menjadi sesuatu yang
mungkin.
***
Ini yang menjadi masalah,
tidak hanya sebatas pada tema
yang kita diskusikan. Kita katakan, bahwa
keluar dari satu per-
soalan menuju persoalan yang lain tak ubahnya
perbuatan kaum
Sophis.
[36]. Sedangkan pemyataannya:
Sebagai tahqiq atas jawaban itu, bahwa apa yang mereka se-
butkan tentang estimasi kemungkinan sama sekali tiada ber-
makna.
Adapun yang tidak terbantahkan adalah bahwa Allah
SWT. itu qadim. Dia
Mahakuasa, dan tidak ada perbuatan-Nya yang
dapat dihalangi, jika Dia
sudah berkehendak. Kemampuan semacam
itu tidak akan meniscayakan
penetapan masa yang terbentang,
kecuali hal tersebut hanya akan memicu
pemalsuan waham ke-
padanya.
[36]. Apabila dalam konteks ini
tidak meniscayakan keabadian masa,
sebagaimana yang ia paparkan, tetapi
di dalamnya memuat
peniscayaan kemungkinan terjadinya kosmos yang abadi,
demi-
kian juga masa.
Hal tersebut karena Allah SWT.
senantiasa Mahakuasa untuk
berbuat. Dan dalam hal ini tidak ada halangan
untuk mengkom-
parasikan perbuatan Allah dengan keabadian wujud-Nya.
Tetapi,
kebalikan dari ini jangan-jangan menunjukkan adanya penghalang,
yaitu bahwasanya Dia tidak Kuasa pada suatu waktu, tetapi Kuasa
di
waktu yang lain. Dan tidak dikatakan, Dia Mahakuasa, kecuali
pada
waktu-waktu yang terbatas. Sedangkan Dia mawujud azali
yang qadim.
Kembali ke pokok persoalan, bolehkah kosmos dikategori-
kan
temporal atau eternal?
Atau, tidak boleh dikategorikan eternal,
maupun temporal.
Atau, boleh dikategorikan temporal, dan tidak
boleh dikate¬
gorikan eternal.
Jika dikategorikan temporal,
bolehkah ia dikategorikan per¬
buatan pertama (fi'l annual) bagi subjek
pertama (fail annual)?
Apabila rasio tidak mampu berpihak pada
salah satu pokok-
pokok kontroversial ini, maka merujuklah pada
pendengaran
( simd '). Dan, jangan anggap persoalan ini sebagai sesuatu
yang dapat
dirasionalisasi.
***
Jika kita
katakan yang pertama tidak boleh meninggalkan
perbuatan yang utama,
tetapi sebaliknya harus menyingkirkan
perbuatan yang tiada pantas
bagi-Nya. Kemudian mana yang lebih
tidak pantas dibanding
mendudukkart*perbuatan zat yang qadim
dalam posisi terbatas, sebagaimana
perbuatan zat yang temporal?
Padahal, perbuatan yang terbatas
hanya dapat terbayang di-
lakukan oleh subjek yang juga terbatas, bukan
subjek yang qadim,
yang tidak terbatas.
Semua yang kalian
saksikan ini, tidak akan tertutup meski-
pun terhadap mereka yang
memiliki daya tangkap lemah pada
persoalan-persoalan yang rasional (
ma'qulat ).
Bagaimana mungkin kita menolak, bahwa zat yang qadim
mampu menciptakan perbuatan sebelum perbuatan yang tercipta
sekarang. Bahkan sebelum perbuatan tersebut juga ada banyak per¬
buatan lain yang tiada terbatas?
Sesungguhnya yang tidak
mengiringi wujud masa, dan tidak
berada pada kedua ujung masa yang
terentang, pasti perbuatan-
nya tidak termasuk di dalam masa itu.
Hal itu karena setiap mawujud, perbuatannya tidak lebih
akhir dari wujudnya, kecuali jika pada wujud tersebut telah terjadi
pengurangan sesuatu. Selama ia menjadi wujud yang paripurna,
hal
yang demikian itu pasti tidak akan pemah terjadi. Hanya yang
memiliki
kebebasan memilih (free will) saja yang dapat mengakhir-
kan
perbuatannva dari wujudnya, bahkan dari ikhtiarnya.
Barangsiapa
menyatakan, bahwa sesuatu yang qadim hanya
akan melahirkan perbuatan
yang temporal. Hal ini berarti ia men-
dudukkan perbuatan tersebut
sebagai sesuatu yang mudlthar (ter-
paksa), dan dari sisi itu ia tidak
memiliki ikhtiydr atas perbuatan¬
nya.
Dalil Ketiga
[37]. Abu Hamid berkata:
Mereka masih bersikukuh
mengatakan, bahwa wujud kosmos
itu mungkin sebelum wujudnya yang
sekarang. Mustahil sesuatu
yang terlarang ( mumtani') kemudian berubah
menjadi mungkin.
Sesuatu yang mungkin, berarti tidak memiliki
permulaan.
Dan wujud kosmos senantiasa mungkin. Tidak ada satu hal apa
pun untuk menyifati, bahwa kosmos merupakan wujud yang ter¬
larang
(mumtani' al-wujud).
Jika kemungkinan itu berlangsung terus,
berarti sesuatu yang
mungkin—berdasarkan kemungkinan tersebut—juga terus
ber¬
langsung. Maksud pernyataan kita adalah bahwa wujud kosmos
yang abadi itu mungkin.
Jika wujudnya yang abadi
memungkinkan, berarti wujud yang
abadi tersebut tidak mustahil. Jika
tidak, dan ternyata wujudnya
yang abadi itu mustahil, niscaya pemyataan
kita bahwa wujudnya
yang abadi itu mungkin tidak benar. Jika pemyataan
kita bahwa
wujudnya yang abadi itu mungkin tidak benar, maka juga tidak
benar pemyataan kita bahwa kemungkinan itu berlangsung terus
menerus. Jika tidak benar pemyataan kita, bahwa kemungkinan
itu
berlangsung terus menerus, benar apa yang kita katakan bahwa
kemungkinan
itu memiliki batas awal. Dan, jika benar kemungkinan
itu memiliki batas
awal, berarti sesuatu sebelum itu bersifat tidak
mungkin. Hal ini
menggiring pada hal yang mengindikasikan, bahwa
wujud kosmos saat itu
tidak mungkin. Dan akhirnya mengasumsi-
kan Allah SWT. tidak mampu
menciptakannya.
[37] . Saya katakan:
Bagi orang yang
sependapat dengan pemyataan, bahwa
kosmos sebelum adanya bersifat
mungkin dan berlangsung terus,
berarti ia menyatakan kosmos sebagai
sesuatu yang azali. Sebab,
sesuatu yang senantiasa mungkin dan masih ada
tidak bisa diposisi-
kan sebagai sesuatu yang mustahil.
Sesuatu yang mungkin bersifat azali, sebenarnya wajib men-
jadi azali, sebab sesuatu yang mungkin tersifati dengan keazalian
tidaklah bisa menjadi rusak, kecuali jika sesuatu yang rusak mungkin
bisa kembali menjadi azali.
Oleh karena itu, benar apa yang
dikatakan orang bijak (al-
hakiim), "Sesungguhnya kemungkinan pada
persoalan-persoalan
yang sangat mendasar ( al-umur al- awivaliah) itu
pasti."
[38] . Abu Hamid berkata:
Sebagai tanggapan
dikatakan masih mungkin menjadi tem¬
poral ( hadits ). Maka, tidak
diragukan lagi temporalitas waktu akan
terbayang-bayang.
Dan
jika dianggap, sebagai mawujud yang abadi dan tidak
temporal, maka yang
terjadi bukan sesuatu yang mungkin, melain-
kan sebaliknya.
Hal ini persis seperti pemyataan mereka tentang tempat, yaitu
dengan menganggap kemungkinan kosmos diciptakan lebih besar.
Hal
ini berarti mempercayai terciptanya jisim di atas kosmos, begitu
juga
batas akhir atas itu sendiri yang tiada berbatas.
Dengan demikian,
berarti kemungkinan untuk terus ber-
tambah tiada terbatas.
Dan wujud keterisian yang tiada terbatas absolut adanya,
bukan mungkin.
Begitu pula wujud yang tiada memiliki batas
ujung, bukanlah
sesuatu yang mungkin. Bahkan, sebagaimana dikatakan
bahwa se-
suatu yang mungkin itu adalah jisim dengan bidang yang
terbatas,
tetapi kadar besar kecilnya tidak bisa diestimasikan.
Sama seperti kemungkinan menjadi temporal dan batas-batas
awal sebuah wujud, tidak dapat menentukan yang dahulu dan ter-
akhir.
Sedangkan keberadaannya yang temporal,
mendeskripsikan,
bahwasanya ia tergolong sesuatu yang mungkin, bukan
lainnya.
[38]. Saya katakan:
Barangsiapa menetapkan
masih ada satu bilangan kemung¬
kinan sebelum penciptaan kosmos, berarti
ia meniscayakan kosmos
ini azali. Tetapi bagi yang menetapkan ada banyak
bilangan ke¬
mungkinan yang tiada terbatas sebelum penciptaan kosmos
ini,
sebagaimana dinyatakan Abu Hamid di dalam jawabannya, berarti
mereka menyatakan bahwa sebelum penciptaan kosmos ini ada
kosmos
lain. Dan, sebelum kosmos kedua ada kosmos ketiga. Begitu
seterusnya
tanpa batas, seperti keadaan pribadi manusia, khusus-
nya ketika
rusaknya yang dahulu dijadikan syarat adanya yang
terakhir.
Contohnya, jika saja Allah SWT. Mahakuasa untuk mencipta-
kan kosmos lain sebelum kosmos Iain, begitu seterusnya. Artinya
bahwa persoalan ini akan terus berlanjut tanpa batas.
jika
tidak, hierarki kemungkinan penciptaan kosmos itu akan
berakhir pada
kosmos yang tidak memungkinkan diciptakannya
kosmos lain sebelum itu.
Dan, hal semacam ini tiada pemah dibicara-
kan oleh kalangan teolog
kalam, dan tidak memaparkan hujjah
mereka yang dipakai untuk menyatakan
temporalitas kosmos.
Dan, jika memungkinkan adanya kosmos lain
sebelum kosmos
ini yang berlangsung secara hierarkis, maka penurunan
peringkat
(inzal) nya dianggap bukan sesuatu yang mustahil.
Akan tetapi, penurunan peringkat semacam itu hanya ter-
jadi
jika sudah benar-benar dipastikan bahwasanya tergolong
mustahil. Sebab
yang demikian itu meniscayakan tabiat kosmos ini,
seperti tabiat seorang
pribadi yang berada di alam yang tana ini.
Maka keberadaannya dari
batas awal pertama, sama seperti
keberadaan anak manusia, vaitu dengan
perantaraan penggerak
yang azali dan gerak yang juga azali.
Dengan demikian, berarti kosmos ini menjadi bagian dari kos¬
mos yang lain, seperti keadaan pribadi-pribadi yang tercipta dan
binasa di alam ini.
Dengan terpaksa, persoalan ini akan
berakhir pada kosmos
vang azali secara personal atau gradual
(hierarkis). Dan jika hierarki
tersebut harus dipotong, maka memotongnya
dengan kosmos ini
tentu lebih utama.
[39]. Abu Hamid
berkata:
Dalil Keempat
Mereka mengatakan setiap yang temporal berasal dari materi
sebelumnya. Setiap yang temporal pasti membutuhkan materi, maka
materi tidaklah temporal. Tetapi yang temporal adalah bentuk, sifat
dan knyfiyynh (kualitas) materi tersebut. Sampai pemyataannya bahwa
materi pertama ( al-maddah al-ftln) tidak menjadi temporal dengan
sesuatu apa pun.
[39], Saya katakan:
Inti
pernyataan ini adalah bahwa sesuatu yang temporal,
sebelum terjadi
rnasih bersifat mungkin. Dan sesuatu yang tempo¬
ral memerlukan sesuatu
yang dapat mengoperasikannya. Selanjut-
nya, ia menjadi objek berikutnya
bagi sesuatu yang mungkin lain-
nya. Hal itu disebabkan kemungkinan
sebelum qabil (berikutnya)
tidak seharusnya diyakini sebagai kemungkinan
sebelum subjek. M
Hal itu sama dengan perkataan kita, bahwa Zayd
mungkin
melakukan ini. Tetapi perkataan tersebut tidak ditujukan untuk
me-
nyatakan kemungkinan pada objek (mafid).
Oleh karena itu,
kemungkinan pada subjek menjadi syarat
kemungkinan berikutnya, sebab
subjek tidak mungkin akan me-
lakukan perbuatan-perbuatan terlarang.
Dan jika kemungkinan yang mendahului sesuatu yang tem¬
poral
tidak mungkin menjadi objek, dan subjek juga tidak mungkin
menjadi
objek. Demikian juga sesuatu yang mungkin itu sendiri
(sebab, sesuatu
yang mungkin jika telah melahirkan perbuatan
sudah bukan lagi sesuatu
yang mungkin). Maka, tidak ada lagi ke-
cuali sesuatu yang mengandung
kemungkinan tersebut menjadi
kemungkinan berikutnya.
Dan
yang demikian itu adalah materi.
Materi tidak terbentuk dari
materi, sebab ia membutuhkan
materi, begitu seterusnya.
Akan
tetapi, jika materi tersebut terbentuk, dari satu sisi ia
terdin dari
materi dan bentuk. Dan semua yang terbentuk hanya
terbentuk dari sesuatu
yang lain. Hal tersebut baik berlangsung terus-
menerus tanpa batas, dan
itu mustahil meskipun kita menganggap-
nya sebagai penggerak yang azali.
Sebab tidak ada sesuatu yang
benar-benar tidak terbatas. Atau,
bentuk-bentuk itu berangkai
dan berturut-turut terhadap objek yang bukan
ciptaan dan tidak
rusak. Dan, keberangkaian tersebut berlangsung secara
azali atau
rotatif.
Jika demikian adanya, di sini wajib ada
penggerak yang azali
yang berperan di dalam keberangkaian eksistensi
yang rusak dan
azali.
Hal tersebut lebih memperjelas, bahwa
masing-masing yang
terbentuk itu menjadi binasa untuk yang lain, dan
kebinasaaan ter¬
sebut menjadikan adanya sesuatu yang lain.
Sesuatu tidak terbentuk dari selain sesuatu. Keterbentukan
di sini bermakna, berbaliknya sesuatu atau berubahnya sesuatu dari
kekuatan menjadi perbuatan. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak
ada tidak mungkin berubah menjadi ada.
Hal seperti itu tidak
mungkin disifatkan pada kosmos.
Maksudnya, seperti yang dikatakan
bahwasanya kosmos itu
terbentuk.
Sekarang di sini
tinggal, sesuatu yang mengandung bentuk-
bentuk yang berlawanan, yaitu
bentuk-bentuk berangkai.
[40]. Abu Hamid berkata:
Sebagai sanggahan disampaikan, bahwa kemungkinan 62 yang
mereka sebut-sebut itu merujuk kepada ketentuan akal. Setiap apa
yang diestimasikan oleh akal adanya dan tidak terlarang pengesti-
masiannya kita sebut mungkin. Dan jika terlarang pengestimasian-
nya kita sebut mustahil. Dan jika tidak mampu untuk mengesti-
masikan ketiadaannya kita sebut wajib.
Semua ini merupakan
premis-premis akal yang tidak mem-
butuhkan mawujud, sehingga menjadikan
sifatbaginya dengan tiga
dalil.
Salah satu dalil tersebut
adalah, bahwa jika kemungkinan
menghendaki sesuatu mawujud yang
disandarkan kepadanya
(nuidlaf ilayh ) dan dikatakan bahwa yang demikian
itu yang men¬
jadikan mungkin, niscaya yang terlarang pun juga akan
menghen¬
daki sesuatu mawujud. Juga dikatakan, bahwa mawujud itulah yang
membuatnya terlarang.
Sesuatu yang terlarang tidak memiliki
wujud dalam zatnya,
juga tidak materi. Oleh karena itu, keterlarangan
itu disandarkan
kepada materi tersebut.
[40], Sava katakan:
Bahwa yang pasti kemungkinan itu menghendaki materi yang
mawujud. Seluruh ma'quldt (sesuatu yang dapat dirasionalisasikan)
yang sliddiq (benar) musti menghendaki hal lain yang mawujud di
luar jivva. Jika sesuatu yan gshadiq™ tersebut sebagaimana dikatakan
dalam batasannya, yaitu apa yang ada di dalam jiwa berbeda
dengan
apa yang ada di luarnya.
Maka kita menyatakan, bahwa sesuatu itu
mungkin. Menurut
pengertian ini, pasti menghendaki sesuatu yang
mengandung
kemungkinan.
Adapun bukti yang menyatakan, bahwa
rasionalitas kemung¬
kinan itu tidak menghendaki mawujud yang
disandarkan kepada-
nva, dengan alasan bahwa yang terlarang juga tidak
menghendaki
sesuatu mawujud. Vang disandarkan kepadanya, hanyalah per-
nyataan sophistik.
Hal itu karena sesungguhnya yang
terlarang itu membutuh-
kan objek, sama seperti yang diperlukan sesuatu
yang mungkin. Dan
itu sudah jelas. Sebab yang terlarang berbeda dengan
yang mungkin.
Sesuatu yang berlawanan harus membutuhkan objek.
lmtind'
(keterlarangan) adalah bentuk negatif dari imkan (kemungkinan).
Jika kemungkinan menghendaki objek, maka keterlarangan yang
menjadi bentuk negatifnya juga menghendaki hal serupa.
Seperti yang kita nyaDkan, bahwa wujud kehampaan itu ter¬
larang. Dengan demikian, wujud kejauhan yang paradoksal men¬
jadi
terlarang di luar jisim yang alami, atau di dalamnya.
Dan, kita
katakan, bahwa wujud dua hal yang berlawanan
menjadi terlarang di dalam
satu objek.
Dan, kita katakan bahwasanya terlarang adanya dua hal
dalam satu wujud.
Hal semacam ini sudah sangat jelas, maka
tidak ada manfaat-
nya mendiskusikan paralogisme yang ada di sini.
[41]. Abu Hamid berkata:
Kedua, 64 sesungguhnya hitam
dan putih itu mungkin menurut
akal sebelum wujud keduanya, jika
kemungkinan ini disandarkan
kepada jisim. Sehingga dikatakan, bahwa
jisim ini sangat memung-
kinkan untuk menjadi hitam atau putih.
Dengan demikian, berarti bukan putih itu sendiri yang me-
ngandung kemungkinan, bahkan ia juga tidak memiliki karakter
atau
sifat-sifat dari kemungkinan. Sebab yang mungkin itu adalah
jisim, dan
kemungkinan tersebut disandarkan kepadanya.
Selanjutnya kita
katakan, jadi bagaimana hukum hitam dan
putih dalam zatnya?
Apakah ia merupakan sesuatu yang mungkin? Atau wajib?
Atau
terlarang?
Pasti dikatakan mungkin. Maka dibuktikan, bahwa akal
ketika
memutuskan itu mungkin, tidak menghendaki penetapan zat yang
mawujud yang disandarkan kepadanya kemungkinan itu.
[41]. Saya katakan:
Ini paralogisme.
Sesungguhnya kemungkinan itu hanya di-
sandangkan kepada qabil (yang
menerima) dan mnqbul (yang di-
terima). Adapun yang disandangkan kepada
objek penerima disebut
terlarang, sedangkan yang disandangkan kepada
yang diterima
disebut wajib.
Sesuatu yang disifati mungkin
terlarang, bukan kemung¬
kinan yang membuahkan perbuatan. Sebab, jika
kemungkinan
sudah berbuah perbuatan, berarti sudah terlepas dari
kemungkin¬
an itu sendiri. Akan tetapi, ia disifati mungkin dari sisi
dengan ke-
kuataan.
Dan kandungan kemungkinan ini, adalah
objek yang ber-
pindah dari wujud potensial {wujud bi al-cjuwwah )
menuju wujud
riil (zvujud bi al-fi'l). Hal tersebut memperjelas
batasan-batasan ke¬
mungkinan. 65 Sesungguhnya kemungkinan itu, adalah
ketiadaan
yang bersiap-siap rnenjadi ada dan menjadi tiada.
Ketiadaan yang mungkin ini tidak mungkin dari sisi ketiada-
annya, dan tidak pula dari sisi wujudnya dengan perbuatan. Akan
tetapi, ia menjadi mungkin dari sisi potensialitasnya (qfnvwah).
Oleh karena itu, maka Muktazilah berkata, 66 "Sesungguhnya
ketiadaan itu adalah zat sesuatu."
Artinya, ketiadaan dalam
jiwanya dari sisi potensialitas.
Maksudnya, dari sisi potensialitas dan
kemungkinan yang dimiliki,
melazimkan untuk menjadi zat dalam jiwanya,
karena ketiadaan
itu adalah zat sesuatu.
Dan ketiadaan itu
merupakan paradoks wujud. Masing-
masing di antara keduanya saling
mengganti. Jika ketiadaan tiada,
selanjutnya yang ada adalah wujud.
Sebaliknya jika wujud yang
tiada, berikutnya berganti ketiadaan.
Oleh karena itu, ketika ketiadaan itu sendiri tidak bisa beralih
menjadi wujud, dan wujud itu sendiri juga tidak bisa beralih menjadi
ketiadaan, maka wajiblah ada penerima ketiga di antara keduanya.
Dan, dialah yang tersifati dengan kemungkinan ( imkdn ), keter-
bentukan (takannm) dan peralihan (intiqal) dari sifat tiada {'adam) ke
sifat ada ( wujud ). Sesungguhnya ketiadaan tidak disifati dengan
keterbentukan dan perubahan.
Dan juga tidak ada eksistensi
yang riil disifati dengan keter¬
bentukan, sebab jika eksistensi telah
menjadi nyata, ia terlepas dari
sifat-sifat keterbentukan, perubahan dan
kemungkinan.
Maka secara otomatis sesuatu itu musti memiliki sifat
ke¬
terbentukan, perubahan dan peralihan dari ketiadaan menuju ada.
Seperti berpindahnya paradoks-paradoks dari yang satu ke lainnya.
Maksudnva, paradoks-paradoks itu harus memiliki objek yang
saling
berangkai, kecuali dalam perubahan yang ada pada seluruh
sifat-sifat,
karena sesungguhnya semua itu adalah zat.
Kita juga tidak
bisa menjadikan sesuatu yang disifati ke¬
mungkinan dan perubahan yang
memungkinkan, dengan
menggolongkannya sebagai kmvn (eksistensi), sebab
yang demikian
itu juga akan pergi.
Sebuah eksistensi wajib,
merupakan bagian dari sesuatu yang
terbentuk.
Jadi otomatis
di sini ada objek, sebagai penerima kemung¬
kinan tersebut. Dia juga
tidak memiliki kemungkinan untuk berubah
dan terbentuk. Dia itulah yang
dimaksud dalam pernyataan, "Se¬
sungguhnya ia telah terbentuk dan
berubah dari ketiadaan men¬
jadi ada."
Kita juga tidak
bisa menjadikan ini sebagai tabiat sesuatu yang
berbuah perbuatan, yaitu
tabiat mawujud yang memiliki tingkat
ebelitas.. Sebab jika demikian
kenyataannya, niscaya ia tidak akan
terbentuk menjadi mawujud.
Keterbentukan itu berasal dari sesuatu yang tidak ada, bukan
dari sesuatu yang sudah ada.
Tentang tabiat ini, 67 para
filosof dan Muktazilah telah sama-
sama menyepakati penetapannya. Para
filosof hanya sedikit ber-
beda pandangan, bahwa tabiat tersebut tidak
bisa ditanggalkan
dari bentuk mawujud yang memiliki tingkat ebelitas
tadi.
Maksudnya, ia tidak akan bisa lepas dari sebuah wujud, melainkan
berpindah dari satu wujud ke wujud yang lain, seperti berpindah-
nva sperma (air mani) menjadi darah. Dan, berpindahnya darah
menjadi anggota-anggota tubuh embrio (janin).
Apabila tabiat
tersebut terlepas dari wujud, niscaya ia men¬
jadi mawujud dengan
zatnva. Dan, jika ia menjadi mawujud
dengan zatnva, berarti ia bukanlah
eksistensi (kawn).
Tabiat seperti ini mereka sebut sebagai Hayuli.
Ia menjadi
'illnh (sebab) terbentuknva sebuah eksistensi maupun
binasanya.
Setiap mawujud vang terlepas dari tabiat seperti ini, menurut
mereka bukanlah eksistensi, dan yang demikian itu tidak akan
binasa.
[42], Abu Hamid berkata:
Ketiga,'*
bahwasanva jiwa-jiwa bani Adam menurut mereka,
adalah
substansi-substansi ( jrru’dhir) yang berdiri sendiri (indepen-
den),
bukan bersandar pada jisim maupun materi, dan tidak pula
tercetak dalam
materi.
Ia tergolong temporal seperti yang dianut Ibn Sina dan
para
muhnqqiq (penvelidik, peneliti). Ia memiliki ebelitas sebelum
kejadi-
annya. Ia tidak punya zat maupun materi. Ebelitas itu merupakan
sifat yang disandangkan {ions/ idlafi), yang tidak merujuk kepada
kekuasaan Yang Mahakuasa, dan tidak pula kepada subjek. Jadi ke¬
pada apa ia merujuk?
[42]. Saya katakan:
Saya
belum pernah mendengar ada para hukamd' (orang-
orang bijak) yang
mengatakan, bahwa jiwa itu benar-benar tempo¬
ral (hadits huduts
haqiqi), kecuali yang diceritakan dari Ibn Sina.
Semuanya
berpendapat, bahwa temporalitas pada jiwa me¬
rupakan sandangan (
idlnfah ), yaitu karena jiwa tersebut terkoneksi
dengan
kemungkinan-kemungkinan yang bersifat jismiyyah, yang
memiliki ebelitas
konektif, seperti kemungkinan-kemungkinan
yang terdapat pada hujan,
karena adanya koneksi dengan sinar
matahari.
Kemungkinan
semacam ini, menurut mereka terniasuk tabiat
di luar tabiat hayuli
(materi pertama). Dan tidak seorang pun akan
mampu mencema mazhab
mereka, kecuali orang-orang tertentu yang
telah lama mengkaji buku-buku
mereka dan memiliki pi rah fa iqat
(intellectual high density) serta
guru yang arif.
Adapun sanggahan Abu Hamid, bahwa yang sepert: ini
sung-
guh sangat tidak pantas, karena sanggahan semacam hu tidak ter-
lepas dari dua hal. Yaitu pertama bahwa sesungguhnya vang ber-
sangkutan sangat mengerti hakikat yang sebenarnya, tetapi ke-
mudian digiring pada yang tidak sebenarnya. Periiaku seperti ini
adalah tindakan orang jahat. Kedua, yang bersangkutan tidak me¬
ngerti nakikat yang sebenarnya, tetapi kemudian berani menyam-
paikan sesuatu yang tidak bmdasarkan ilmu. Hal seperti ini adaiah
tindakan orang-orang bodohA
Banyak orang-orang di sekitar
kita yang memiliki sifat-sifat
seperti itu.
Memang,
kuda tercepat pun pasti akan mengalami keter-
gelinciran. Dan,
ketergelinciran Abu Hamid adalah penvusunan kitab
ini. Semoga hal itu
terpaksa" J terjadi, karena pengaruh ruang dan
waktu yang mengitarinya
semata.
[43]. Abu Hamid menjawab para filosof:
Pertama, jika dikatakan pengembalian kemungkinan kepada
keputusan akal itu mustahil, niscaya keputusan akal menjadi tidak
bermakna kecuali sebatas pengetahuan terhadap kemungkinan.
Kemungkinan adalah sesuatu yang diketahui secara kognitit,
tetapi 1 a bukan pengetahuan kognitif. Pengetahuan tersebut hanya
melingkupi, mengikuti dan oergantung kepadanya.
Maka, jika
pengetahuan {'ilm) tersebut diestimasikan tidak
ada, sesuatu yang
diketahui {malum) bukan kemudian menjadi tidak
ada. Sebaliknya, jika
sesuatu yang diketahui diestimasikan tidak ada,
maka pengetahuan
tersebut menjadi tidak ada.
Pengetahuan dan sesuatu yang
diketahui, adalah dua hal yang
salah satunya pengikut {tabi') dan
lainnya yang diikuti (mntbu).
Apabila kita bisa menyanggah kaum
cendekia di dalam me-
ngestimasikan kemungkinan, niscaya kita tegaskan
bahwa kemung-
kinan tidak akan pemah terhapus, melainkan sesuatu yang
me-
ngandung kemungkinan itu sendiri.
***
Sedangkan ketiga, persoalan tidak memiliki hujjah.
Keterlarangan juga merupakan sifat yang disandangkan
(was/
idlafi), yang menghendaki mawujud, sebagai sesuatu yang
disandangkan
kepadanya (yudldf ilayh). Keterlarangan di sini di-
maksudkan, untuk
bersatunya dua hal yang berlawanan. Jika se¬
suatu telah menjadi putih,
ia akan terlarang menjadi hitam karena
adanya putih.
Seharusnya yang demikian, memiliki objek yang diidentifikasi
memiliki sifat-sifat tertentu. Saat itulah kontrarinya disebut ter¬
larang. Keterlarangan itu menjadi sifat yang disandangkan kepada
objek sebagai sandangannya.
Sedangkan kewajiban (wujub)
sudah bukan rahasia lagi,
bahwasanya ia disandangkan kepada al-wujud al
wdjib (yang wajib
ada).
***
Kedua, menganggap
eksistensi hitam sebagai sesuatu yang
mungkin salah. Karena, jika ia
diambil tersendiri tanpa adanya
tempat yang ditempati, ia akan menjadi
terlarang, bukan mungkin.
Ia hanya akan menjadi mungkin, jika
diestimasikan sebagai fasilitas
dalam jisim, sebab jisim selalu siap
mengadakan pergantian fasilitas,
dan pergantian itu menjadi mungkin bagi
jisim.
Jika tidak, maka hitam tidak memiliki eksistensi yang
absolut
(nafs mujarradah), sehingga ia disifati mungkin.
***
Ketiga, yaitu jiwa. Menurut sebuah kelompok, jiwa merupa¬
kan sesuatu yang qadtm, tetapi mungkin berkait dengan badan.
Bagi yang menyatakan temporal, berarti sekelompok di antara
mereka meyakini, bahwa jiwa tercipta dalam materi mengikuti
watak
atau sifat, seperti dinyatakan oleh Galen. Jiwa tercipta dalam
materi,
maka kemungkinannya disandangkan kepada materi ter-
sebut.
Menurut mazhab yang menerima temporalitas jiwa, berarti
materi memungkinkan untuk diatur oleh jiwa yang berbicara ( nafs
nathiqah). Jadilah kemungkinan yang mendahului temporalitas
disandangkan kepada materi. Meskipun ia tidak tercetak di dalam-
nva. tetapi memiliki hubungan dengannya, sebab dialah yang meng-
atur. Dengan cara seperti ini, maka kemungkinan itu merujuk ke-
padanya.
[43] . Saya katakan:
Apa yang
disampaikan dalam pasal ini benar adanya. Dengan
demikian kalian akan
dapat lebih jelas memahami tabiat mungkin.
[44] , Kemudian Abu
Hamid menyanggah para hukama'. Sebagai jawaban,
bahwa pengembalian
kemungkinan, kewajiban dan keterlarangan
kepada proposisi akal memang
benar. Begitu pula apa yang mereka
sebut, bahwa makna proposisi akal
adalah ilmunya. Dan, ilmu meng-
hendaki sesuatu yang diketahui {malum).
Maka kita katakan, sebagaimana kromatin {al-laumiyyah), ke-
hewanan ( hayawdniyyah ) dan seluruh proposisi-proposisi universal,
menurut mereka semua ada dalam akal.
Semua itu adalah 'ilmu,
bukan ma'him. Akan tetapi penge-
tahuan-pengetahuannya tidak berwujud
dalam substansi, sehingga
para filosof menyatakan bahwa universalitas
itu adanya di dalam
pikiran, bukan dalam substansi. Adapun yang ada di
dalam sub¬
stansi hanyalah bagian-bagian (parsial, juz'iyyat) yang
indrawi dan
tidak rasional. Tetapi, ia menjadi sebab akal mengambil
proposisi
rasional dari materi.
Jadi, kromatin adalah
proposisi tersendiri di dalam akal, selain
hitam dan putih. Dan di dalam
wujud tidak akan pemah tampak
wama hitam, putih atau wama lain.
Yang ada di dalam akal adalah bentuk-bentuk wama yang
tidak
defenitif. Dikatakan, bentuk-bentuk wujudnya berada dalam
pikiran, bukan
dalam substansi. Jika yang demikian tidaklah ter-
larang, maka apa yang
kita katakan juga tidak terlarang.
[44]. Saya katakan:
Hal ini merupakan retorika sophistik, karena kemungkinan
itu
bersifat universal yang juga memiliki divisi-divisi parsial yang
ada di
luar pikiran, sebagaimana universalitas-universalitas yang
lain.
Ilmu di sini bukanlah ilmu yang bermakna universal, me-
lainkan ilmu bagi divisi-divisi parsial yang seperti universal, di-
perbuat oleh pikiran dalam divisi-divisi tersebut ketika darinya
dilepaskan tabiat yang satu dan partisipatif, yang terbagi di dalam
materi.
Maka, universalitas tabiatnya bukan tabiat sesuatu
yang me¬
miliki universalitas.
Abu Hamid salah dalam
menyatakan hal ini. 71 Dia menyata-
kan, bahwa tabiat kemungkinan adalah
tabiat universalitas, tanpa
adanya divisi-divisi sebagai bersandarnya
universalitas ini. Mak-
sudnya, kemungkinan yang bersifat universal.
Sesuatu yang universal bukanlah sesuatu yang diketahui
{malum), melainkan dengannya sesuatu dapat diketahui. Ia
merupakan
sebuah mawujud di dalam tabiat, sesuatu yang diketahui
dalam
potensialitasnya. Jika tidakdemikian, maka pengetahuannya
terhadap
divisi-divisi dianggap tidak benar dari sisi universalitas.
Akan tetapi
ia akan menjadi demikian, jika tabiat yang diketahui
menjadi
divisi-divisi dalam zat, bukan dalam sifat.
Namun yang terjadi
justru sebaliknya. Maksudnya, ia menjadi
divisi dalam sifat dan menjadi
universal dalam zat. Oleh karena itu,
ketika akal tidak mengetahuinya
sebagai universal, ia melakukan
sesuatu yang salah dan mengambil
keputusan hukum yang tidak
benar.
Apabila tabiat-tabiat yang
ada dalam divisi-divisi itu dilepas¬
kan dari materi, kemudian dijadikan
universal, maka akal mungkin
akan mengambil keputusan hukum yang benar.
Jika tidak, jelas
tabiat-tabiat itu telah bercampur baur di dalamnya.
Kemungkinan adalah salah satu dari tabiat-tabiat ini.
Juga pemyataan para filosof, bahwa universalitas kenyata-
annya ada dalam pikiran, bukan di dalam substansi. Hanya dimak-
sudkan, bahwa universalitas tersebut mawujud secara faktual di
dalam pikiran, bukan di dalam-substansi.
Mereka tidak ingin
menyatakan universalitas itu tidak ada
sama sekali di dalam substansi,
tetapi mereka hendak menyatakan
bahwa universalitas itu ada dalam
potensialitas, bukan dalam rea-
litas.
Jika tidak ada sama
sekali, tentu dusta. Dan, jika di luar pikiran
ia menjadi mawujud dalam
potensialitas. Kemungkinan di luar iiwa
juga mawujud dalam potensialitas
yang sama.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ternvata
tabiatnya menyerupai tabiat kemungkinan. Dari sini Abu Hamid
hendak menyalahkan, 72 sebab ia telah mengasimilasikan ke¬
mungkinan dengan universalitas, karena keduanya berkumpul di
dalam
wujud potensial.
Selanjutnya ia menyatakan jika para filosof
mengatakan, bahwa
universalitas tidak memiliki wujud sama sekali di luar
jiwa. Dan
hasilnya, kemungkinan juga tidak memiliki wujud di luar jiwa.
Paralogisme seperti ini, sungguh sangat jelek dan menjijikkan.
[45]. Abu Hamid berkata:
Sedangkan pernyataan mereka,
bahwa walaupun diestimasi-
kan kaum cendekia tidak ada, pasti
kemungkinan itu tetap ada.
Maka kita katakan, jika diestimasikan
ketiadaan mereka, apa-
kah proposisi-proposisi universal, yaitu genus
dan spesies, juga tidak
ada?
Kalau mereka menjawab "Ya",
maka proposisi-proposisi
universal tersebut tidak bermakna, kecuali
sebatas proposisi yang
ada di dalam akal semata. Begitu pula pemyataan
kita tentang ke¬
mungkinan. Kedua masalah tersebut tentu tidak ada
bedanya.
Apabila mereka mengira, bahwa ia menjadi kekal di dalam
ilmu Allah, maka demikian juga pemyataan tentang kemungkinan.
Di
sinilah keniscayaan terjadi. Maksudnya, pertentangan pernyata¬
an
mereka.
[45] . Vang tampak di sini hanya pemyataan-pernyataan
konyol. 73
Sesungguhnya yang paling memungkinkan, terjadinya
anabolik yang memuaskan hanya pada dua mukadimah. Salah satu-
nya
sudah jelas, bahwa kemungkinan itu ada yang berupa divisi di
luar jiwa,
ada pula yang universal, yaitu rasionalitas divisi tersebut.
Ini
pernyataan tidak benar. 74
Jika mereka mengatakan, bahwa tabiat
divisi-divisi di luar
jiwa merupakan kemungkinan, sama seperti tabiat
universal yang
ada di dalam pikiran, niscaya tidak ada terma tabiat
devisif dan
universal, atau tabiat devisif menjadi tabiat universal. Hal
semacam
ini semuanya konyol. Bagaimanapun juga, sesuatu yang universal
pasti memiliki wujud di luar jiwa.
[46] . Abu Hamid berkata:
Adapun hujjah tentang keterlarangan, bahwasanya ia disan-
dangkan kepada materi yang tersifati oleh sesuatu, menjadikan
kontrarinya ikut terlarang.
Tidak semua yang mustahil
demikian. Sesungguhnya wujud
sekutu bagi Allah SWT. itu mustahil. Tetapi
tidak kemudian materi
yang disandangkan kepadanya juga ikut terlarang.
Jika mereka mengasumsikan absurditas sekutu bagi Allah
SWT.
adalah kesendirian dengan zat (infirad bi dzat), juga keesaan-
Nya
menjadi wajib. Sedangkan kesendirian adalah sesuatu yang
disandangkan
kepada-Nya, maka kita katakan yang demikian itu
tidak wajib. Sebab
kosmos ada bersama-Nya. Dia tidak sendiri.
Namun, bila mereka
mengasumsikannya sebagai kesendirian
dari padanan-padanan-Nya menjadi
wajib. Sedangkan lawan wajib
adalah terlarang, dan ia disandangkan
kepada-Nya. Maka kita kata¬
kan, bahwa makna kesendirian Allah SWT.
tidak sama dengan
makna kesendirian padanan-padanan-Nya. Memang
kesendirian
Allah dari padanan itu wajib. Namun, kesendirian-Nya dari
ma-
khluk-makhluk yang mungkin itu tidak wajib.
[46]. Saya
katakan:
Semua ini perkataan yang tidak benar. Tidak diragukan,
bahwa proposisi-proposisi akal, adalah hukum baginya atas tabiat-
tabiat sesuatu di luar jiwa (esensi).
Apabila di luar jiwa
tidak ada mungkin maupun terlarang,
niscava proposisi-proposisi akal
atas semua itu bukan proposisi.
Dan, tentu tidak ada bedanya antara akal
dengan waham.
Ketika padanan bagi Allah SWT. merupakan wujud yang
ke-
beradaannya tidak dapat diestimasikan (munitani al-wujud fi al-
wujud), sebagainiana wujud Allah merupakan wdjib al-wujud fi al-
wujud (wajib adanya), maka tentu tidak ada gunanya memper-
panjang
diskusi tentang masalah ini.
[47], Abu Hamid berkata:
Hujjnh semacam itu tidak benar bagi jiwa-jiwa yang tempo¬
ral, sebab ia memiliki zat tersendiri dan kemungkinan yang men-
dahului temporalitasnya, bukan lantas disandangkan kepadanya.
Sedang mereka menyatakan jika materi itu mungkin diatur
oleh
jiwa. Penyandangan ini terlampau jauh.
Apabila kalian merasa cukup
dengan ini, maka tidak terlalu
jauh jika dikatakan, makna kemungkinan
pada sesuatu yang tem¬
poral itu sebenarnya kemungkinan menjadikan
temporal bagi yang
mampu. Dengan demikian, penyandangan tersebut kepada
subjek,
padahal ia tidak tercetak dalam padanya. Sama seperti
penyandangan
jiwa kepada badan, padahal ia tidak tercetak di dalamnya.
Maka,
tidak ada bedanya penyandangan kepada subjek maupun objek
pengaruh ( munfa'il ), jika ketercetakannya tidak terjadi pada
masing-masing di antara keduanya.
[47]. Saya katakan:
Dia menginginkan, bahwa jika mereka memposisikan ke¬
mungkinan temporalitas jiwa yang tidak tercetak dalam materi,
adalah kemungkinan pada sesuatu berikutnya ( qabil) sebagaimana
kemungkinan pada subjek yang menjadi sumber timbulnya per-
buatan
itu sama. Sungguh hal ini merupakan pernyataan yang
buruk.
Karena jika diposisikan demikian, berarti jiwa mengatur badan
dari luar, sebagaimana pencipta mengatur ciptaannya. Dengan
demikian jiwa bukan bentuk dalam badan, sebagaimana pencipta
bukan
bentuk yang ada di dalam ciptaannya.
Sebagai jawaban, tidak
mustahil akan adartya kesempurnaan
yang mengalir seiring bentuk yang
meninggalkan tempatnya. Sama
seperti nelayan di atas perahu, atau
pencipta dengan alat-alat cipta-
annya. Jika badan disamakan dengan alat
bagi jiwa, tentu ia me-
rupakan bentuk yang berbeda.
Kemungkinan pada alat tidak seperti kemungkinan yang
ada
pada subjek. Bahkan, alat memiliki dua kemungkinan sekali-
gus, yaitu
kemungkinan sebagai subjek ( fa'il ), juga sebagai akibat
(munfa il).
Oleh sebab itu, maka alat-alat itu bergerak dan menjadi
penggerak.
Ketika menjadi penggerak, ia memiliki kemungkinan
seperti yang ada pada
subjek. Dan ketika bergerak, ia memiliki ke¬
mungkinan seperti yang ada
pada akibat ( munfa'il).
Tidak seharusnya mereka memposisikan
jiwa, sebagai ke¬
mungkinan yang ada pada akibat, sebab ia sendiri
adalah kemung¬
kinan yang ada pada subjek.
Dan juga, menurut
pada filosof, kemungkinan yang terletak
pada subjek bukan hanya sebatas
hukum rasional, tetapi juga hukum
bagi sesuatu di luar jiwa.
Tidak ada gunanya berdebat dengan mengasimilasikan salah
satu kemungkinan terhadap yang lain.
[48]. Ketika Abu Hamid
merasakan pernyataan-pernyataan ini hanya
memicu timbulnya keragu-raguan
dan kesangsian bagi orang yang
tidak mampu menganalisisnya—sebab
diidentikkan dengan per-
buatan keji kaum sophis—maka ia berkata:
Jika dikatakan dalam setiap pertentangan kalian telah meng-
andalkan komparasi antara satu problem dengan problem yang lain,
tetapi temyata apa yang kalian keluarkan masih menyimpan pro-
blematika, maka kita katakan bahwa pertentangan itu hanya meng-
indikasikan adanya pemyataan yang salah. Dan problem semacam
itu
akan lebur dalam take and give {al-mn'aradlah wa al-muthdlabah).
Dalam buku ini kita sebatas memperkeruh mazhab dan meng-
ubah dalil-dalil yang dipergunakan dalam rangka memperjelas
kerancuan mereka.
Kita tidak bermaksud membela mazhab-mazhab
tententu.
Oleh karena itu, kita tidak melenceng dari maksud semula
penulis-
an buku ini. Dan, kita tidak sempat meneliti
pernyataan-pemyata-
an dalam dalil tentang temporalitas ( huduts ).
Sebab, tujuan kita
untuk menyangkal pengakuan mereka tentang pengetahuan
yang
dahulu.
Adapun tentang penetapan mazhab yang benar,
kita akan
menvusun sebuah buku tersendiri, yang insya Allah akan segera
menvusul setelah merampungkan buku ini. Kita akan beri nama
"Qawd'id al ‘Aqn'id" sebagai upaya yang terfokus pada penetapan
sebuah mazhab vang benar. Tidak seperti buku ini yang concern
pada
penghancuran mazhab yang keliru. Wa ‘Hahn A'lam.
[48]. Saya
katakan:
Tentang komparasi problem dengan problem yang lain tidak
akan menimbulkan kehancuran. Ia hanya akan memicu timbulnya
keragu-raguan dan kesangsian, ketika komparasi problem-problem
itu
tidak disertai dengan pemyataan mana yang benar dan mana
yang salah.
Mayoritas pelbagai pemyataan yang oleh orang ini dipakai
untuk menentang mereka, seringkali menimbulkan kesangsian, ke¬
tika terjadi baku hantam dialektis dan asimilasi antara beberapa
paradoks yang berlainan.
Perlawanan seperti itu sungguh
tidak sempurna.
Perlawanan yang sempurna adalah perlawanan
yang me-
lahirkan penyalahan mazhab mereka secara objektif, bukan
subjektif.
Seperti pernyataannya, bahwa lawan-lawan mereka mengakui
kemungkinan sebagai hukum akal, sementara mereka mengakuinya
sebagai sesuatu yang universal. Apabila dia menerima keabsahan
asimilasi (shihhat asy-syibh) di antara keduanya, niscaya ia tidak musti
menvalahkan eksistensi kemungkinan sebagai proposisi atau premis
yang disandarkan kepada wujud. Melainkan ia hanya dilazimkan me-
milih satu di antara dua hal, baik dengan menyalahkan eksistensi
universalitas di dalam pikiran saja, maupun menyalahkan eksistensi
kemungkinan di dalam pikiran.
Ia wajib mulai memutuskan mana yang
benar, sebelum me-
mulai sesuatu yang hanva meniscayakan keragu-raguan
dan ke-
sangsian bagi orang banyak, agar para pemikir tidak mati sebelum
mengetahui pasti buku tersebut. Atau jangan-jangan dia sendiri yang
keburu meninggal sebelum sempat menyusunnya. Buku yang di-
maksud
ini sama sekali belum saya peroleh. 75 Semoga saja dia tidak
menvusun.
Sedangkan pernvataannya, bahwa dalam buku ini ia tidak
bernraksud menolong mazhab-mazhab tertentu itu saja, narnun
dinvatakan agar dia tidak dituduh mem-bad' up mazhab Asy'ariyah.
Tetapi vang jelas, buku-buku yang dinisbatkan kepadanya, yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu ketuhanan ('ulum ildhiyyah) kebanyakan
merujuk kepada pemikiran filosofis. Salah satu kitab tersebut adalah
Misi/kat al-Amvnr.
Masalah Kedua
Sanggahan terhadap para Filosof tentang Keabadian Alam, Masa
dan Gerak
[49]. Abu Hamid berkata:
Ketahuilah bahwa
ini masalah fundamental. Menurut mereka,
alam itu abadi (azali), yaitu
tidak memiliki awal mula bagi wujudnya.
Dan, ia juga abadi, tidak
memiliki batas akhir. Ia tidak akan pernah
hilang, ienvap atau rusak. Ia
akan senantiasa ada seperti sediakala.
Keempat dalil yang mereka
sebutkan terkait dengan eter-
nalitas alam, juga berlaku bagi
keabadiannya.
Tidak mengakui eternalitas alam, berarti juga
menolak konsep
keabadiannya.
Mereka berkata, alam itu
akibat. Sebabnya adalah eternalitas
dan keabadiaan. Akibat selalu ada
sepanjang sebab itu ada.
Dan mereka juga berkata, apabila
sebab-sebab itu tidak ber-
ubah, maka akibat yang ditimbulkan pun juga
tidak akan berubah.
Atas dasar itulah, konsep huduts dibangun.
Inilah argumen
mereka vang pertama.
Sedangkan argumen kedua,
bahwa jika alam tiada, berarti
ketiadaan tersebut terjadi setelah ada.
Di situ ada kesudahan, juga
ada ketetapan waktu.
Masalah
ketiga, bahwa kemungkinan bagi sebuah wujud tiada
akan pernah terputus.
Oleh karena itu, maka wujud yang mungkin
akan senantiasa sejalan dengan
kemungkinan.
Akan tetapi dalil ini tidaklah kuat. Kita
menyangsikan konsep
eternalitas alam, tetapi tidak keabadiannya. Itu
jika Aiiah memang
berkehendak menjadikannva abadi selamanya.
Sesuatu yang temporal ( Imdits ) tidak musti memiiiki batas
akhir.
Dan perbuatan musti menjadi temporal. Oleh
karena itu, ia
memiiiki awal mula.
Tiada yang meniscayakan
demikian, kecuali Abu Hudzayl.
al-'Allaf. Ia berkata, sebagaimana
perputaran di masa lalu vang tidak
berakhir, maka begitu pula di masa
yang akan datang.
Itu tidak benar, sebab setiap yang akan datang
(mustaqbal)
tidak termasuk ke dalam wujud, baik secara kesinambungan
mau-
pun serasi dan harmonis.
Jelas sekali, jika kita tidak
mengingkari keabadian alam me-
nurut konsep akal, sebagaimana juga tidak
menutup kemungkinan
ia akan menjadi rusak.
Peristiwa yang
memiiiki dua kemungkinan hanva bisa di-
ketahui dengan tuntunan syara,
76 dan tidak bisa dijangkau oleh nalar.
[49], Saya katakan:
Benar apa yang disampaikan Abu Hamid yang mengomentari
tentang dalil pertama mereka, bahwa konsep eternalitas alam me¬
niscayakan keabadiannya.
Begitu juga dalil kedua mereka.
Sedangkan pernyataan Abu Hamid, bahwa menurut dalil
ketiga
hal tersebut tidak lazim terjadi pada masa yang akan datang,
sebagaimana
kelaziman itu ada pada masa lalu menurut pandangan
mereka. Oleh karena
itu, kita menyangsikan eternalitas alam di masa
lalu, tetapi tidak
mengingkari keabadiannya di masa yang akan
datang. Kecuali Abu Hudzayl
al- 'Allaf yang berpendapat, bahwa
eternalitas pada awal dan akhir alam
itu mustahil.
Tidak seperti yang ia paparkan. Jika ia menerima
pendapat
mereka, bahwa alam senantiasa mengandung kemungkinan, dan
keniungkinan tersebut selalu ada sepanjang keadaan yang ada ber-
samanya. Sebagaimana terjadi pada wujud yang mungkin ketika
keluar
menjadi perbuatan, barulah tampak dari rentang waktu ini
bahwa ia tidak
memiliki awal mula.
Mereka beitar, bahwa masa tidak memiliki batas
awal. Dan,
rentang waktu yang terbentang tersebut bukan apa-apa. Ia
adalah
masa (znmmi).
Meskipun ada yang menyebutnya dnhr, hal
itu tiada bermakna.
Dan jika masa terhubung dengan kemungkinan,
sedangkan
kemungkinan terhubung dengan wujud yang bergerak, maka wujud
yang bergerak tersebut tidak memiliki awal mula.
Adapun pendapat mereka, bahwa setiap yang ada di masa
lalu memiliki awal mula, adalah premis yang keliru, sebab awal mula
itu ada pada masa lalu sebagai eternalitas, sebagaimana adanya di
masa yang akan datang.
Sedangkan diferensiasi mereka antara
pertama dan per-
buatannya adalah pengakuan yang membutuhkan pembuktian
(burlhhi). Sebab, selain apa yang terjadi di masa lalu dan bersifat
eternal, ada juga yang non eternal. Yaitu, bahwa apa yang terjadi
di masa lalu tersebut memiliki batasan pada kedua ujungnya, me¬
miliki awal mula dan batas akhir.
Sedangkan apa yang terjadi
di masa lalu dan bersifat eternal,
maka ia tidak memiliki awal mula dan
batas akhir.
Oleh karena itu, para filosof itu tidak menentukan
adanya awal
mula bagi sirkulasi gerak ( al-liarakah ad-dawriyyah). Maka,
mereka
juga tidak seharusnya menentukan adanya batas akhir bagi
sirkulasi
gerak tersebut, sebab mereka tidak meletakkan wujudnya di masa
lalu sebagai wujud makhluk yang rusak.
Barangsiapa menerima
pendapat mereka, berarti telah
terjebak dalam pertentangan. Sebab
itulah, premis yang menyata-
kan adanya batas akhir bagi sesuatu yang
memiliki awal mula itu
benar.
Sedangkan jika dikatakan
sesuatu yang memiliki awal mula,
tetapi tidak memiliki batas akhir itu
tidak benar, kecuali jika sesuatu
yang mungkin berubah menjadi eternal,
sebab sesuatu yang me¬
miliki awal mula pastilah mungkin.
Adapun sesuatu yang berawal mula, tetapi tidak mungkin
memiliki batas akhir adalah pendapat yang tidak populer. Hal itu
perlu dibahas lebih lanjut.
Hal tersebut sudah dibahas para
pendahulu. Abu Hudzayl
tampaknya sependapat dengan para filosof, bahwa
setiap yang
temporal (i muhdnts) pasti akan rusak. Bahkan dialah orang
yang
paling getol menyuarakan rusaknya sesuatu yang temporal.
Adapun vang membedakan antara masa lalu dengan masa
yang
akan datang, adalah apa yang terjadi di masa lalu semuanya
termasuk
dalam wujud. Sedangkan yang terjadi di masa yang akan
datang tidak semua
termasuk dalam wujud, melainkan sepotong-
sepotong, adalah pernyataan
yang dikamuflasekan.
Hal itu karena sesungguhnya, apa yang terjadi
di masa lalu,
sebenarnya, sudah termasuk dalam masa. Dan jika sudah
termasuk
dalam masa, maka masa itu sendiri yang akan memperlakukannya
di kedua ujungnva. Dialah yang berhak menentukan segalanya.
Dan ia
musti memiliki batas akhir.
Sedangkan yang tidak termasuk masa
lalu, ia tergolong tem¬
poral ( hddits). la tidak termasuk dalam masa
lalu, kecuali dengan
penyertaan sebutan, bahkan bersama masa lalu ia
terbentang tanpa
batas akhir. Ia tidak memiliki universalitas, tetapi
universalitas itu
ada pada partikularitas-partikularitasnya.
Hal itu karena jika masa tidak memiliki awal mula di masa lalu
(past), ia menunjukkan sedang berlangsung (present ). Dan setiap
present,
pastilah didahului past.
Tidak ada yang harmonis
dengan masa. Masa berkesinam-
bungan dengan masa yang Iain, dan ia musti
tidak akan berakhir.
Ia juga tidak termasuk dalam wujud yang
terdahulu, kecuali parti-
kularitas-partikularitasnya yang diliputi masa
pada kedua ujung-
nya. Hal tersebutseperti tidak ada masa yang termasuk
dalam wujud
yang bergerak kecuali 'sekarang'. Juga bukan gerak, kecuali
adanva
penggerak bagi kebesaran yang bergerak dalam 'sekarang' yang
senantiasa mengalir.
Seperti wujud yang masih ada pada masa
lalu. Kita tidak
mengatakan, bahwa wujudnya yang sudah berlalu itu kini
sudah
termasuk dalam wujud. Jika demikian berarti, wujudnya memiliki
awal mula, dan ia diliputi oleh masa pada kedua ujungnya.
Begitu pula kita katakan tentang apa yang ada bersama masa,
bukan di dalamnva. Maka sirkulasi yang terdahulu, ia termasuk
dalam wujud estimatif (nl-wujud al-wahmt) yang diliputi masa.
Sedangkan yang bersama masa, selagi masih ada, ia tidak ter¬
masuk wujud vang terdahulu, maupun sesudahnya.
Jika
perbuatan-perbuatan mawujud eternal dilukiskan tidak
terlambat (
muta'akhkhirnh ) darinya sesuai bentuk setiap mawujud,
sempurnalah
wujudnya dengan kualifikasi seperti ini.
Sesungguhnya jika ia
eternal, dan tidak termasuk dalam masa
lalu, otomatis
perbuatan-perbuatannya pasti tidak termasuk dalam
masa lalu. Sebab, jika
perbuatan-perbuatan tersebut termasuk masa
lalu, niscaya ia memiliki
batas akhir. Hal itu sama artinya wujud eter¬
nal tersebut 'masih' tidak
memiliki perbuatan.
Selama tidak memiliki perbuatan, ia pasti
terlarang ( mumtani ').
Sepantasnya perbuatan mawujud yang
wujudnya tidak ter¬
masuk dalam masa dan tidak diliputi masa memang
demikian. Karena
hal tersebut mengindikasikan tidak adanya diferensiasi,
antara untjfui
al-mmvjud dan perbuatan-perbuatannya.
Apabila
gerak benda-benda langit dan semacamnya merupa-
kan perbuatan bagi
mawujud eternal, yang wujudnya tidak termasuk
dalam masa lalu, maka
perbuatan-perbuatannya itu musti tidak
termasuk dalam masa lalu.
Pengertian 'masih' seperti yang telah kita sebutkan, tidak
musti boleh dikatakan sebagai sudah termasuk dalam masa lalu,
tidak pula sudah berakhir. Sebab segala yang memiliki batas akhir,
pasti memiliki batas awal.
Demikian pula, pemyataan 'masih'
itu berarti penafian ke-
termasukannya dalam masa lalu, juga penafian
memiliki batas awal.
Sedangkan, yang menggolongkannya termasuk dalam
masa lalu,
berarti juga menyatakan ia memiliki batas awal.
Jadi tidak benar, bahwa apa yang masih ada bersama wujud
eternal sudah termasuk dalam wujud. Kecuali, jika wujud eternal
tersebut masuk ke dalam wujud, bersamaan dengan masuknya ia
ke
dalam masa lalu.
Dengan demikian, pemyataan kita bahwa setiap yang
telah
berlalu, sudah termasuk dalam wujud itu bisa dipahami melalui
dua pengertian.
Salah satu pengertian tersebut adalah, bahwa
setiap yang ter¬
masuk dalam masa lalu, berarti sudah termasuk dalam
wujud, itu
benar.
Sedangkan jika apa yang telah berlalu
berhubungan dengan
wujud yang masih atau sedang ada, maka tidak benar
jika dikatakan
termasuk dalam wujud. Sebab pemyataan kita 'telah
termasuk' itu
merupakan kontrari dari bahwasanya ia berhubungan dengan
wujud eternal.
Dalam hal ini tidak ada diferensi antara
perbuatan dan wujud.
Maksud saya, ketika kemungkinan adanya wujud
entitas yang
masih termasuk masa lalu itu diterima, seharusnya juga
diterima
bahwa di sana ada beberapa perbuatan yang masih berlangsung
sebelum yang sudah berlalu.
Tidak musti semua perbuatannya
termasuk dalam wujud,
sebagaimana tidak musti apa yang sudah berlalu
dalam keber-
langsungan zatnya menjadi termasuk dalam wujud.
Hal ini sudah sangat jelas seperti yang kalian saksikan.
Dengan wujud pertama ini, memungkinkan adanya beberapa
perbuatan yang senantiasa berlangsung.
Jika hal tersebut
menjadi terlarang dalam perbuatan, niscaya
juga terlarang dalam wujud.
Sebab semua mawujud, perbuatannya
berhubungan dengan wujud.
Sementara kaum itu (al-Ghazali dan pengikutnya)
menolak
perbuatannya dan juga wujudnya sebagai sesuatu yang eternal. Ini
merupakan kesalahan yang nyata.
Akan tetapi penetapan
sebutan huduts (temporalitas) pada
alam sebagaimana ditetapkan syara',
77 lebih spesifik daripada apa
yang menjadi ketetapan Asy'ariyah. Sebab
perbuatan sebagaimana
adanya adalah muhdits. Sedangkan, keabadiannya
menjadi ter-
lukiskan karena temporalitas dan perbuatan temporal
tidaklah
berawal dan berakhir.
Saya katakan, oleh sebab itu
maka sangat sulit bagi keluarga
muslim untuk menyebut alam sebagai
sesuatu yang abadi.
Menurut mereka, hanya Allah sajalah yang
abadi.
Mereka tidak mengerti terminologi qadim itu, kecuali
sebagai
yang tidak memiliki sebab.
Bahkan saya sendiri
melihat ada beberapa ulama muslim
yang juga cenderung berpendapat
demikian.
***
[50]. Abu Hamid berkata:
Sedangkan argumen mereka yang keempat kita anggap se¬
bagai
sesuatu yang mustahil. Sebab mereka mengatakan, jika alam
sudah tiada,
yang tersisa hanya kemungkinan wujudnya. Sesuatu
yang mungkin tidak akan
berubah menjadi mustahil. Ia adalah sifat
komplementer. Dengan demikian
menurut asumsi mereka, setiap
hadits membutuhkan materi sebelumnya. Dan
setiap yang tidak ada,
membutuhkan materi yang membuatnya tidak ada.
Padahal, materi 77
dan ushul tidak akan tidak ada. Yang tidak ada adalah
sMrah dan
aksiden-aksiden yang ada di dalamnya.
[50]. Saya
katakan:
Apabila perubahan shurah menjadi perputaran dalam satu
tempat, dan peletakan pelaku (fa'il ) bagi perubahan ini sebagai pelaku
aktif (fail lam yazal), maka tidak seharusnya dikategorikan mustahil.
Tetapi jika perubahan ini diletakkan atas materi yang tiada
berakhir, atau shurah (bentuk) yang juga tiada berakhir dalam naw'
(macam), yang demikian memang mustahil.
Begitu pulajika ia
diletakkan tanpa adanya pelaku abadi (azali).
Atau, pelakunya ada,
tetapi tidak azali.
Sebab, jika di Sana ada materi yang tiada
berakhir, pasti di
sana juga ada sesuatu yang secara riil benar-benar
tidak berakhir,
dan itu mustahil.
Lebih jauh lagi bilamana
perubahan ini dilakukan oleh pelaku-
pelaku muhdits (temporal). Oleh
karena itu, dari sisi ini tidak benar
jika dikatakan manusia itu ada dan
musti berasal dari manusia yang
lain. Jika hal tersebut tidak diletakkan
sebagai perubahan atas satu
materi, sehingga rusaknya manusia terdahulu
menjadi materi
terbentuknva manusia berikutnya.
Semua itu
dengan aksiden (‘anil). Karena keberadaan mereka
tidak ada bedanya
seperti alat bagi pelaku aktif. Ia menjadi manusia
dengan perantaraan
manusia yang lain, dan dari materi manusia
yang lain pula.
Hal semacam ini jika tidak diperinci secara mendetail pasti
masih akan menumbuhkan keraguan dalam diri kita.
Semoga
Allah SWT. menjadikan Anda, juga kita, sebagai
ulama yang dikategorikan
mencapai derajat puncak hakikat, di
dalam memikirkan
perbuatan-perbuatanyVTi'z-Nya. Juga yang wajib,
yang tiada pernah
berkesudahan.
Apa yang sava paparkan di sini tidak terlalu
memberikan
penjelasan sejelas-jelasnya. Untuk itu diperlukan pembahasan
yang
lebih mendetail, dan memenuhi syarat-syarat seperti yang telah
dijelaskan oleh para ulama.
Bersamaan dengan itu, semustinya
orang-orang juga tidak
nyaman untuk mendengarkan pelbagai pendapat
kontradiktif
dalam banyak pembahasan, jika memang ia ingin meraih
kebenaran
(al-haqq).
[51]. Abu Hamid berkata:
Inilah jawaban dari semua yang telah dipaparkan tadi.
Sengaja masalah ini kita sendirikan, sebab mereka masih mem-
punyai dua dalil lain yang juga terkorelasi dengan masalah tersebut.
Pertama, yang dipegang teguh oleh Galen. Ia berkata, "Jika
matahari itu memungkinkan untuk tiada, niscaya sepanjang waktu
ia
akan tampak semakin memudar. Dan sejak ribuan tahun silam,
mustinya
cuaca mengindikasikan adanya skala terik matahari
yang semakin
berkurang. Akan tetapi, karena tidak ada indikasi
semacam itu, berarti
matahari tidak akan rusak."
Di sini ada kontradiksi dari dua sisi:
Pertama, dalil ini sebenarnya ingin mendeskripsikan bahwa
apabila matahari rusak, pasti ia akan memudar. Sebab yang kedua
itu mustahil, maka yang pertama juga mustahil. Menurut mereka,
analogi ( qiyas ) semacam ini disebut silogisme hipotetis campuran
(nl-qiyas asy-syarthi al muttashil).
Kesimpulan ini tidaklah
lazim. Sebab yang pertama tidak benar
apabila tidak ditambahkan syarat
lain, yaitu pernyataannya, jika
matahari rusak, pasti ia akan memudar.
Dan, yang kedua ini tidak akan menjustifikasi yang pertama,
kecuali ditambah syarat lain dengan dikatakannya. Jika matahari
rusak karena kepudarannya, niscaya sepanjang waktu ia akan
senantiasa memudar.
Hal ini menjelaskan, bahwa matahari
tidak akan mengalami
kerusakan kecuali dengan jalan memudar. Dengan
demikian, yang
kedua bisa menjustifikasi yang pertama.
***
Kita tidak sependapat, bahwa sesuatu itu rusak jika ada tanda
kepudaran. Akan tetapi kepudaran itu salah satu pertanda kerusak¬
an. Dan tidak mungkin sesuatu akan menjadi rusak, sementara ke-
adaannya masih tetap sempurna seperti sediakala.
[51]. Saya
katakan:
Yang perlu dipersoalkan dalam pernyataan ini adalah
tentang
tidak benarnya kelaziman antara yang kedua dengan yang pertama.
Yaitu bahwa sesuatu yang rusak tidak musti memudar, karena ke¬
rusakan bisa saja terjadi pada sesuatu sebelum ia memudar.
Kelaziman semacam ini tentu benar, jika kerusakan diletakkan
dalam konteks alamiah, dan tidak diletakkan secara paksa, serta
premis bahwa benda-benda langit itu tergolong hewan, bisa di-
terima. 78
Hal itu terjadi karena setiap hewan pasti akan
rusak secara
alamiah. Dengan demikian ia musti memudar sebelum akhimya
men-
jadi rusak.
Sayang sekali premis semacam ini ditolak
lawan-lawan di
langit dengan tanpa argumentasi. Oleh karena itu, maka
pemyataan
Galen tersebut cukup memuaskan.
***
Yang lebih bisa dipercaya dari pemyataan ini adalah, bahwa
apabila langit 79 rusak, niscaya ia akan rusak dan tersisa unsur-unsur
dan elemen yang merakitnya. Atau ia akan berubah pada bentuk
lain
dengan menanggalkan bentuknya sendiri dan menerima bentuk
lain,
sebagaimana terjadi pada bentuk sederhana ( al-shurah al-
basithah) di
antara elemen-elemen yang empat.
Apabila ia rusak dan tersisa
elemennya, niscaya ia akan men-
jadi partikularitas bagi alam lain. Ia
tidak akan menjadi wujua ter-
sendiri dengan elemen-elemen yang tersisa
itu, sebab elemen-elemen
tersebut tidak memiliki daya {power ) untuk
mengembalikan bentuk¬
nya semula. Perumpamaan elemen tersebut seperti
titik pada ling-
karan.
Jika ia menanggalkan bentuknya dan
menerima bentuk lain,
berarti di sini ada jisim keenam yang bertentangan
dengannya. Bukan
langit, bumi, air, udara, juga bukan api.
Semua itu mustahil. 80
Sedangkan pemyataannya, bahwa
ia tidak memudar itu sudah
masyhur.
Dan ia dipertanyakan, di
bagian mana adanya premis-premis
tersebut dalam kitab ‘al-Burhan'l
***
[52]. Abu Hamid berkata:
Dalil kedua,
jika ia menerima bahwa tidak ada kerusakan
kecuali dengan jalan memudar.
Lantas, dari mana ia dapat menge-
tahui jika kepudaran tidak menimpa
matahari?
Jika dikatakan dengan memperhatikan cuaca, sementara
kadar cuaca tidak bisa diketahui kecuali dengan mendekati mata¬
hari.
Dan, matahari yang besarnya seratus tujuh puluh kali
besar
bumi, seperti yang diperkirakan banyak orang, jika berkurang
darinya sebesar gunung pun, misalnya, tidak akan pemah bisa di-
indra, lebih-lebih kepudarannya. Barangkali sampai sekarang ke¬
pudaran itu telah berkurang darinya sebesar gunung atau lebih
banyak. Tetapi indra kita tetap tidak mampu mengetahuinya. Sebab
untuk bisa memastikan berkurangnya hanya bisa diketahui dengan
jalan mendekatinya.
Hal ini, sama dengan yakut dan emas,
yang menurut mereka,
terdiri dari banyak unsur. Keduanya memungkinkan
untuk ditimpa
kerusakan. Kemudian, jika yakut tersebut disimpan selama
seratus
tahun, pasti berkurangnya tidak akan dapat diindra darinya.
Sebenamya, apa yang berkurang pada matahari, sepanjang
sejarah ilmu cuaca, tidak jauh berbeda dengan apa yang berkurang
pada yakut yang disimpan selama seratus tahun. Keduanya sama-
sama
tidak bisa diindra.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa dalil yang
dikemukakan
jelas-jelas salah.
***
Sebenamya,
kita sudah menolak diutarakannya banyak dalil
dalam genus ini, tetapi
banyak ditentang kaum pemikir. Bagi kita,
hal yang satu ini sudah terasa
cukup untuk menjadi 'ibrah dan perum-
pamaan bagi apa yang kita
tinggalkan.
Dan kita berkonsentrasi pada keempat dalil yang
membutuh-
kan afektasi untuk memecahkan kesubhatannya.
[52] . Saya
katakan:
Apabila matahari benar memudar, dan apa yang menimpanya
sepanjang sejarah cuaca tidak bisa diindra karena bendanya teramat
besar, niscaya kepudaran yang menimpa benda tersebut memiliki
kadar yang dapat diindra.
Kepudaran sesuatu yang memudar,
adalah disebabkan oleh
rusaknya beberapa partikularitas yang terlepas.
Dan jisim yang terlepas itu mustinya tetap berada dalam alam,
atau terlepas menuju beberapa partikularitas lain.
Jika
demikian yang terjadi, maka ia meniscayakan perubahan
yang nyata pada
alam, baik pada kuantitas partikularitas-parti-
kularitasnya, maupun
pada kayfiyyat (kualitas) partikularitas ter¬
sebut.
Apabila
kuantitas benda berubah, niscaya perbuatan dan
objek perbuatannya juga
ikut berubah.
Dan jika perbuatan dan objek perbuatannya berubah,
khusus-
nya pada planet (kawakib), niscaya alam yang ada di sini juga
ikut ber¬
ubah.
Maka para filosof mempersepsikan hilangnya
benda-benda
langit itu bertentangan dengan aturan Tuhan. Dan, pernyataan
ini
sungguh tidak argumentatif. H1
[53] . Abu Hamid berkata:
Dalil Kedua
Tentang Anihilisasi (Ketiadaan) Alam
Mereka mengatakan, bahwa substansi alam tidak tiada, karena
tidak ada sebab peniadaannya yang rasional.
Sesuatu yang
ada, tetapi kemudian tiada. Pasti hal tersebut
terjadi karena
sebab-sebab tertentu.
Dan sebab-sebab tersebut tidak terlepas
dari:
Baik berupa kehendak Yang Eternal, dan itu mustahil. Karena
jika Dia tidak berkehendak untuk meniadakannya, tetapi kemudian
berkehendak, berarti Dia telah berubah. Atau mengindikasikan bahwa-
sanya Dia berada dalam satu bingkai karakter yang sama dengan
kehendak-Nya, dalam segala keadaan.
Sesuatu yang diinginkan
berubah, dari tiada menjadi ada. Se-
lanjutnya dari ada menjadi
tiada.
Apa yang kita sebut dengan kemustahilan wujud hadits dengan
kehendak eternal, menunjukkan mustahilnya ketiadaan.
Di sini
kita temukan paradoks baru yang lebih kuat, yakni
sesuatu yang
diinginkan ( murdd) pasti merupakan perbuatan yang
menginginkan {murid).
Setiap yang tidak menjadi pelaku, kemudian menjadi pelaku,
maka jika ia sendiri tidak mengalami perubahan, pasti perbuatannya
menjadi ada setelah sebelumnya tiada.
Apabila ia masih tetap
seperti sediakala, berarti ia tidak mem-
punyai perbuatan.
Sekarang, ia tidak mempunyai perbuatan. Berarti ia tidak ber-
buat apa-apa.
Ketiadaan bukanlah apa-apa. Lantas bagaimana
ia menjadi
perbuatan?
Jika alam tiada, dan perbuatan yang
tidak ada mengalami pem-
baharuan padanya, perbuatan macam apakah itu?
Apakah eksistensi {wujud.) alam? Mustahil, jika wujud itu sen¬
diri sudah terputus.
Atau perbuatannya adalah ketiadaan
alam? Dan ketiadaan
alam bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai
perbuatan.
Karena, sesungguhnya takaran minimal sebuah perbuatan adalah
menjadi ada.
Anihilisasi alam bukanlah sesuatu yang mawujud,
sehingga
dikatakan, dialah yang diperbuat pelaku, atau diadakan si
pengada.
Untuk paradoks ini mereka beranggapan, bahwa mutakallimun
terpecah menjadi empat kelompok. Dan masing-masing kelompok
bersikeras dengan pendapatnya sendiri-sendiri.
[53]. Saya
katakan:
Apa yang dia paparkan tentang para filosof, bahwa mereka
melazimkan lawan-lawan mereka dengan men-jawaz-kan anihilisasi
alam. Dia juga menganggap alam sebagai yang eternal, padahal tern-
poral, berarti meniscayakan perbuatan yang hadits, yaitu ketiadaan
( i'ddm). Sebagaimana mereka niscayakan pada huduts. Sempurna
sudah pembicaraan seputar temporalitas alam (huduts nl-'dlam).
Hal tersebut di atas menunjukkan, bahwa keraguan yang ter-
jadi pada ihddts (perwujudan), dengan sendirinya juga terjadi pada
peniadaan (i'ddm). Maka, mengulang pembicaraan ini menjadi tidak
bermakna.
Adapun yang lebih spesifik dari semua itu adalah,
bahwa
setiap yang berpendapat, temporalitas alam meniscavakan per¬
buatan pelaku terkait dengan ketiadaan, sehingga pelaku tersebut
sama halnya melakukan perbuatan yang tidak ada. Pernyataan ini
ditolak oleh semua kelompok, dan mereka pun bersandar pada
pendapat-pendapat yang dinyatakan kemudian.
Masalah ini
meniscayakan seseorang akan berkata, bahwa
perbuatan pelaku hanyalah
terkait dengan pengadaan secara mu-
tlak. Maksudnya pengadaan sesuatu
yang belum ada sebelumnya,
tidak secara potensialitas (b al-quwah),
tidak juga sebagai sesuatu
yang mungkin. Maka sang pelaku
mengeluarkannya dari potensiali¬
tas menjadi realitas. Bahkan ia telah
menjadikan sesuatu yang tem¬
poral.
Dengan demikian,
perbuatan pelaku menurutpandangan para
filosof tidak lain adalah
mengeluarkan sesuatu yang masih pada
takaran potensialitas menjadi
realitas. Menurut mereka, hal tersebut
terkait dengan mawujud pada kedua
ujungnya.
Dalam pengadaan { ijad ), bermakna memindahkannya dari
wujud secara potensialitas menjadi wujud realistis. Di sinilah ke¬
tiadaan terangkat.
Sedangkan dalam anihilisasi (peniadaan),
bermakna me¬
mindahkannya dari wujud realistis menjadi wujud potensial.
Di
sinilah terjadinya ketiadaan ditolak.
***
Adapun yang tidak menjadikan perbuatan pelaku dalam
kategori
ini, pasti ia akan mengalami keragu-raguan. Maksudnya,
keterkaitan
perbuatannya dengan ketiadaan pada kedua ujungnya,
yaitu dalam pengadaan
dan peniadaan.
Akan tetapi karena peniadaan lebih jelas, maka
mutakallimun
tidak dapat menyanggah lawan-lawan mereka.
Hal
itu memperjelas, bahwa orang yang mengatakan demi-
kian sama halnya
berpendapat jika pelaku mengerjakan perbuatan
yang tidak ada. Itu, jika
memindahkan dari yang ada menjadi tiada
semata, berarti ia mengerjakan
ketiadaan semata menurut maksud
pertama. Berbeda dengan jika ia
memindahkan dari wujud realistis
menjadi wujud potensial.
Yang demikian, karena terjadinya ketiadaan dalam perpin-
dahan ini menjadi konsekuensi. Dan itu secara otomatis meniscaya-
kan mereka dalam pengadaan (ijnd), akan tetapi tersamarkan.
Hal itu menunjukkan, bahwa jika sesuatu telah ada, berarti
ketiadaannya pasti batal.
jika demikian adanya, maka
pengadaan bukan apa-apa selain
pembalikan ketiadaan sesuatu menjadi ada
(wujud).
Ketika puncak gerak ini adalah pengadaan, maka mereka me¬
ngatakan bahwa perbuatannya terkait dengan pengadaan. Tetapi,
mereka tidak mengatakannya dalam peniadaan ( i dam ).
Manakala puncak gerak ini adalah ketiadaan, maka mereka
tidak mengatakan bahwa perbuatannya tidak terkait dengan pe-
nolakan ketiadaan, melainkan terkait dengan pengadaan. Pada saat
itulah ketiadaan lazim menjadi tidak benar (batal).
Akan
tetapi mereka pasti melazimkan perbuatannya terkait
dengan ketiadaan.
Hal itu karena mawujud, menurut mazhab mereka,
tidak memiliki keadaan,
yang di dalam keadaan tersebut mawujud
tidak ada secara mutlak.
Dan keadaan, yang di dalam keadaan tersebut ia adalah wujud
realistis.
Apabila ia adalah wujud realistis, maka perbuatan
pelaku
tidak terkait dengannya. Tidak juga jika ia menjadi tidak ada.
Di sini tersisa dua hal, apakah tidak terkait dengan perbuatan
pelaku, atau terkait dengan ketiadaan, sehingga ia sendiri berbalik
menjadi ada.
Barangsiapa memahami pada pelaku semacam ini (
pasti ia
memperbolehkan terbaliknya ketiadaan menjadi ada. Juga keter-
kaitan perbuatan pelaku, dengan berpindahnya masing-masing (pe-
ngadaan dan peniadaan) kepada yang kedua.
Semua itu sangat
mustahil terjadi, jika dipandang dari sisi
ketiadaan dan keberadaan.
***
Kaum itu mengenal pelaku seperti orang yang lemah
peng-
lihatannya di dalam melihat bayang-bayang benda, sehingga ia pun
beranggapan bayang-bayang tersebut sebagai benda.
Hal inilah
yang musti terjadi pada seseorang yang tidak me-
ngerti pengadaan ( ijad
), untuk mengeluarkan suatu wujud potensial
menjadi wujud realistis.
Begitu pula peniadaan sebagai kebalikan
darinya.
Tampak
jelas dari sini, bahwa kemungkinan dan materi kedua-
nya sama-sama lazim
pada suatu kejadian atau peristiwa ( hadits ).
Dan bahwa jika ada
mawujud yang berdiri dengan sendirinya, pasti
tidak mungkin ia ditimpa
ketiadaan, tidak pula huduts (tempo-
ralitas).
Adapun
yang sering disebut Abu Hamid tentang pendapat
Asy'ariyah, bahwa mereka
memperbolehkan temporalitas substansi
yang berdiri sendiri, dan tidak
memperbolehkan ketiadaannya ada-
lah mazhab yang sangat lemah. Sebab apa
yang lazim terjadi pada
peniadaan, pasti juga lazim pada pengadaan. Akan
tetapi ia tampak
lebih jelas pada peniadaan. Oleh karena itu, ia
beranggapan, bahwa
keduanya berbeda dalam makna ini.
Selanjutnya
Abu Hamid membeberkan jawaban pelbagai
kelompok tentang keragu-raguan
dalam peniadaan yang ditujukan
kepada mereka.
[54].
Maka ia berkata:
Kelompok pertama adalah Muktazilah. Mereka
menyatakan,
bahwa perbuatan yang berasal dari-Nya merupakan sesuatu yang
mawujud, yaitu farin' (kerusakan) yang diciptakan oleh-Nya tidak
dalam satu substratum.
Maka seluruh alam akan hancur
sekaligus.
Begitu pula fand' yang tercipta akan hancur dengan
sendirinya,
sehingga tidak memerlukan fand' lain yang berlangsung secara
simul-
tan tidak terbatas.
Ketika ia menyebutkan jawaban ini
dengan keragu-raguan,
ia berkata, "Tetapi ini tidak benar (fasid) dalam
pelbagai segi. Salah
satunya, bahwa fand' bukanlah mawujud yang dapat
dirasionalisasi,
sehingga penciptaannya dapat diestimasikan.
Kemudian jika ia benar sebagai mawujud, lantas mengapa ia
menjadi tiada tanpa ada yang meniadakannya? Mengapa alam tidak
tiada?
Kalau ia diciptakan berada dalam zat alam dan menjadi
sub¬
stratum di dalamnya, semua itu mustahil terjadi. Sebab substra¬
tum dan yang ada di dalamnya akan bertemu walaupun hanya se-
bentar.
Apabila pertemuan keduanya (alam dan fand')
dibenarkan,
berarti keduanya tidak akan menjadi dua hal yang
bertentangan,
dan alam pun tidak akan dirusak olehnya.
Apabila ia diciptakan tidak berada dalam alam, dan tidak
menjadi substratum di dalamnya, lalu bagaimana wujudnya dapat
menentang wujud alam yang lain?
***
Ada
kekeliruan lain dalam mazhab ini, yaitu bahwa Allah
SWT. tidak kuasa
meniadakan partikularitas-partikularitas alam.
Bahkan yang Dia
mampu hanyalah menjadikan farin' sebagai yang
merusak alam secara
keseluruhan. Sebab jika ia tidak menjadi sub¬
stratum di dalamnya,
niscaya penisbatannya kepada keseluruhan
alam ( al-kull ) berlangsung
serempak dan homogen.
[54] , Saya katakan:
Pemyataan
ini sebaiknya tidak ditanggapi, karena fnntf dan
ketiadaan sama artinya
( muradif). Jika Allah tidak menciptakan ke-
tiadaan, sama artinya Dia
tidak menciptakan fnnd'.
Jika kita asumsikan fana' tersebut
sebagai mawujud, maka
derajat tertinggi yang mungkin dapat dicapai
hanyalah sebatas
aksiden {'ardl).
Dan, keberadaan aksiden di
luar substratum merupakan ke-
mustahilan.
Hal lain,
bagaimana mungkin ketiadaan mengerjakan ke¬
tiadaan?
Semua
ini tidak ada bedanya dengan perkataan pelukis.
[55] . Abu Hamid
berkata:
Kelompok kedua adalah Karamiyyah. Mereka menyatakan,
bahwa perbuatan-Nya adalah peniadaan ( i'ddm).
Peniadaan
adalah suatu ungkapan yang menyatakan tentang
mawujud yang Dia ciptakan
dalam zatnya, sehingga dengannya
alam menjadi tiada. (Maha Tinggi Allah
dari apa yang mereka
katakan).
Sama halnya dengan wujud,
yang menurut mereka dengan
pengadaan yang terjadi dalam zat-Nya,
sehingga dengannya ma¬
wujud menjadi mawujud.
Hal ini juga
tidak benar, karena yang demikian sama artinya
memposisikan eternal (
qadim ) menjadi temporal ( hadits ).
Kemudian ia juga keluar dari
realitas rasional, karena tidak
ada yang dapat dipahami dari pengadaan
selain wujud yang dinis-
batkan kepada iradah (kehendak) dan qudrah
(kemampuan). Maka
mengafirmasikan sesuatu yang lain di luar kehendak dan
kemam¬
puan serta wujud dari objek kemampuan yaitu alam, tidak dapat
diterima akal. Begitu pula peniadaan.
[55]. Saya katakan:
Dalam hal ini Karamiyyah melihat tiga hal, pertama fa'il
(pelaku). Kedua fi'l (perbuatan), yaitu yang mereka sebut pengada-
an. Dan ketiga maf iil (objek perbuatan), yaitu perbuatan yang ter-
kait dengannya.
Demikian juga mereka melihat dalam hal ini
adanya mu'dim
(peniada), perbuatan yang mereka sebut peniadaan ( i'ddm
), juga
sesuatu yang tiada (syay' ma'dum).
Mereka melihat,
bahwa perbuatan adalah sesuatu yang ber-
diri dengan zat pelaku. Menurut
mereka dalam keadaan huduts
seperti ini tidak diniscayakan pelaku
menjadi muhdits. Sebab hal
ini termasuk bab penisbatan dan idlafah
(penambahan).
Huduts pada penisbatan dan idhafah tidak
meniscayakan huduts-
nya substratum. Akan tetapi peristiwa yang
meniscayakan per-
ubahan pada substratum, adalah peristiwa yang
menimbulkan per-
ubahan pada zat substratum tersebut. Seperti perubahan
sesuatu
dari keputihan menjadi kehitaman.
Akan tetapi
pernyataan mereka, bahwa perbuatan berdiri
dengan zat pelaku adalah
keliru. Hal tersebut hanya tambahan yang
ada antara fa'il dan maf'ul.
Jika dinisbatkan kepada fail disebut fi'l,
dan jika dinisbatkan kepada
maf'ul disebut infi'al (objek perbuatan).
Akan tetapi dengan
ketetapan semacam ini Karamiyyah tidak
melazimkan yang qadim
memperlakukan yang muhdits. Begitu pula
yang qadim tidak menjadi qadim,
seperti prasangka Asy'ariyah. Me-
lainkan mereka menginginkan, bahwa di
sana ada sebab lain yang
lebih qadim dari yang qadim.
Hal
itu pelaku tidak berbuat, tetapi kemudian melakukan
sesuatu tanpa
berkurangnya keadaan seperti saat ia tidak berbuat
sebagai salah satu
syarat wujudnya perbuatan. Di sini jelas bahwa
pada saat perbuatan
tersebut dilakukan telah terjadi adanya sifat
pada pelaku yang tidak
ditemukan sebelum perbuatan tersebut
dilakukan.
Setiap
peristiwa pasti ada sebabnya. Dan sebelum sebab per¬
tama, lazim adanya
sebab lain. Begitu seterusnya. Hal semacam itu
sudah kita bicarakan
tempo dulu.
[56]. Abu Hamid berkata:
Kelompok ketiga,
adalah Asy'ariyah. Mereka menyatakan,
bahwa aksiden-aksiden akan hancur
dengan sendirinya, dan ke-
kekalannya tiada pernah terbayangkan. Jika
kekekalannya ter¬
bayangkan, niscaya hal itu bermakna kehancuran aksiden
tersebut
tidak terbayangkan.
Sedangkan substansi tidaklah
kekal dengan sendirinya,
melainkan kekal dengan kekekalan tambahan atas
wujudnya. Jika
Allah tidak menciptakan kekekalan, niscaya substansi
tersebut tiada
seiring tiadanya kekekalan.
Hal ini juga
tidak benar, karena bertentangan dengan realitas
indrawi, bahwa
kehitaman dan keputihan itu tidak kekal. Wujud
keduanya akan selalu
memjadi temporal dalam setiap keadaan.
Akal menolak premis ini
sebagaimana menolak pernyataan
yang mengatakan, bahwa wujud jisim
senantiasa menjadi tempo¬
ral dalam setiap keadaan.
Akal
yang menghakimi, bahwa rambut yang ada di atas ke-
pala seseorang hari
ini adalah rambut yang ada kemarin, meskipun
tidak sama persis. Seperti
itulah akal juga menghakimi tentang ke¬
hitaman rambut.
Dalam pernyataan tersebut terdapat paradoks lain, vaitu
sesuatu yang kekal apabila kekal dengan kekekalan, niscaya
melazimkan kekekalan sifat-sifat Allah SWT. Kekekalan itu menjadi
kekal karena kekekalan, maka ia membutuhkan kekekalan lain.
Begitulah keterkaitan itu akan terus berlangsung secara simultan
tanpa batas.
[56]. Saya katakan:
Pernyataan ini
benar-benar jatuh, meskipun telah banyak
diungkapkan oleh para pendahulu
( nl-qudama ').
Maksudnya, bahwa al-mmujudat senantiasa mengalir
terus,
dan beberapa substratum yang ada padanya hampir saja tiada
terbatas.
Bagaimana mungkin ada mawujud yang hancur dengan
sen-
dirinva, sehingga mawujud tersebut hancur bersamaan dengan ke-
hancurannya? Jika benar ia hancur dengan sendirinva, pasti ia juga
ada dengan sendirinya.
Jika memang demikian, pasti sesuatu
yang dengannya men-
jadi ada, juga dengannya akan menjadi hancur. Dan
itu mustahil.
Hal itu karena wujud (keberadaan) itu merupakan
kontrari
fmuV (kehancuran). Tidak mungkin dua hal yang bertentangan ber-
ada dalam satu substansi. Oleh karena itu, yang hanya menjadi ma¬
wujud itu tidak pernah terbayangkan menjadi fana'.
Yang
demikian itu karena apabila wujudnya meniscayakan
ketiadaannya, maka ia
akan menjadi ada dan tiada dalam satu waktu
secara bersamaan. Dan hal
itu mustahil terjadi.
Juga, apabila al-maxvjudat menjadi kekal
dengan sifat-sifat
yang kekal di dalam dirinva, lantas apakah
ketiadaannya adalah
berpindahnya ia dari mawujud? Atau tiada?
Mustahil hal tersebut terjadi dari sisi ia sebagai sesuatu yang
tidak ada. Dengan demikian, berarti kekekalan itu terjadi dari sisi
ia sebagai mawujud. Jadi, setiap mawujud lazim akan menjadi kekal
dari sisi ia sebagai mawujud. Hal ini juga terasa aneh jika kekekalan
tersebut terjadi dari sisi ia sebagai ketiadaan. Apakah al-mawjuddt
menjadi kekal dengan kekekalan? Semua ini sama dengan kerusakan
yang ada pada akal.
Jadi absurditas apa yang mereka utarakan
itu, lebih jelas dari
kebutuhan mendapat tanggapan.
[57], Abu Hamid berkata:
Kelompok keempat adalah
kelompok lain dalam Asy'ariyah.
Mereka menyatakan, bahwa aksiden-aksiden
itu akan hancur dengan
sendirinya.
Sementara substansi hanya
akan hancur apabila Allah tidak
menciptakan di dalamnya gerak ( haraknh
), diam (sukfm), perkum-
pulan ( ijtima'), maupun perpisahan ( iftirnq
). Maka mustahil ada
jisim yang tidak bergerak dan tidak pula diam,
tetapi kemudian
tiada.
Kedua kelompok dari Asy'ariyah
tersebut seakan-akan lebih
condong kepada proposisi yang menyatakan
perniadaan ( i'dam)
bukan sebagai perbuatan, melainkan keengganan untuk
melakukan
perbuatan. Sebab mereka pun beranggapan, bahwa ketiadaan itu
sendiri jaga bukan sebagai perbuatan.
***
Para
filosof berkata, apabila semua teori sudah jelas keliru,
maka tidak ada
ruang lagi bagi seseorang untuk mengatakan ke-
mungkinan akan kehancuran
alam.
Hal ini jika alam dikategorikan sebagai sesuatu yang hadits.
Oleh karena itu, meskipun para filosof menerima konsep tempo-
ralitasjiwa manusia, tetapi mereka masih menyatakan kemustahilan
ketiadaannya dengan mendasarkan argumen-argumen mereka pada
konsep
vang sama, seperti telah kami sebutkan sebelum ini.
Ringkasnya,
menurut mereka, bahwa setiap yang berdiri
dengan sendirinya, yang tidak
berada dalam substratum, tidaklah
terbayangkan ketiadaannya setelah ia
menjadi ada, baik sesuatu
itu tergolong qadim maupun hadits.
Dan jika dikatakan kepada mereka, bahwa apabila api di-
nyalakan di bawah air, niscaya air tersebut akan lenyap.
Mereka menjawab, tidak lenyap, melainkan berubah menjadi
uap, kemudian uap tersebut kembali berubah menjadi air.
Maka
materi pertama atau yang disebut hnyuli (materi per-
tama), tetap berada
di udara. Dan materi tersebut merupakan sub¬
stratum dari bentuk air.
Akan tetapi hayuli itu melepas bentuk aimya,
dan mengenakan bentuk
udara.
Apabila udara mendingin, ia akan menebal dan kemudian
berubah menjadi air. Materi tidak menjadi temporal, melainkan ia
berserikat di antara unsur-unsur yang ada. Yang berubah hanya
bentuknya semata.
[57]. Saya katakan:
Bagi siapa
yang menyatakan, bahwa aksiden-aksiden tidak-
lah kekal dalam dua zaman.
Dan wujudnya dalam substansi me-
rupakan syarat kekekalan substansi,
yang demikian memang tampak
tidak ada pertentangan di dalamnya.
Akan tetapi jika dikatakan, substansi merupakan syarat ada-
nya aksiden-aksiden, pasti tidak mungkin akan ada aksiden tanpa
adanya substansi. Maka, meletakkan aksiden sebagai syarat adanya
substansi mengindikasikan substansi tersebut menjadi syarat bagi
wujud dirinya sendiri.
Dan mustahil sesuatu menjadi syarat
bagi wujudnya sendiri." 2
Lagi pula bagaimana ia menjadi syarat,
sementara tidak kekal
dalam dua zaman?
Yang demikian itu
karena, 'sekarang' yang menjadi batas akhir
ketiadaan mawujud, dan
menjadi batas awal bagi wujud beberapa
partikularitas mawujud tersebut,
meniscayakan substansi akan
rusak pada 'sekarang' tersebut. Sesungguhnya
dalam 'sekarang'
itu tidak ada partikularitas sesuatu yang tidak ada,
dan yang ma¬
wujud. Hal itu karena jika dalam 'sekarang' itu ada
partikularitas
sesuatu yang tidak ada, pasti ia tidak akan memiliki
batas akhir.
Begitu pula kalau ia mengandung partikularitas sesuatu yang
mawujud.
Ringkasnya, teramat jauh jika menjadikan sesuatu
yang tidak
kekal dalam dua zaman sebagai syarat bagi kekekalan sesuatu
yang
kekal dalam dua zaman. Sesuatu yang kekal dalam dua zaman,
lebih pantas menyandang kekekalan ketimbang yang tidak kekal
dalam
dua zaman. Sebab sesuatu yang tidak kekal dalam dua zaman,
wujud dalam
'sekarang' terus mengalir. Sedangkan yang kekal
dalam dua zaman,
wujudnya tetap.
Bagaimana mungkin, sesuatu yang mengalir menjadi
syarat
bagi yang tetap? Atau, bagaimana mungkin, sesuatu yang kekal
dalam macam (bi an- now') menjadi syarat bagi yang kekal dalam diri
(bi asy-synkhsh)? Semua ini hanya pemyataan orang yang mengigau.
Seharusnya kita mengetahui, bahwa yang tidak meletakkan
hayuli
(materi pertama) bagi sesuatu makhluk yang rusak, pasti ia
melazimkan
mawujud sebagai sesuatu yang sederhana. Maka tidak
mungkin ketiadaan
menimpanya, sebab yang sederhana tidak akan
berubah, dan substansinya
tidak akan berbalik menjadi substansi
lain.
Dengan demikian,
maka Hippocrates berkata, "Seandainya
bila manusia dari sesuatu yang
satu, niscaya badannya tidak akan
pernah merasa sakit, atau ia tidak
akan rusak dan berubah.
Begitu pula ia lazim untuk tidak
terbentuk, tetapi senantiasa
menjadi mawujud seperti adanya.
Pendapat Ibn Sina yang dia sebutkan, tentang perbedaan
antara huduts dan kerusakan dalam jiwa tidaklah bermakna.
***
[58]. Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Bahwa sebenarnya kita bisa membela masing-masing kelom-
pok
yang kalian sebutkan. Kita juga bisa menjelaskan, bahwa sang-
gahan
masing-masing atas postulat (ashl) kalian tidaklah fair, sebab
ada juga
postulat-postulat kalian yang sejenis dengan apa yang
mereka kemukakan.
Akan tetapi, kita tidak ingin berbelit-belit. Kita
hanya ingin
memfokuskan pada satu kelompok. Kita ingin mem
pertanyakan, atas dasar
apa kalian mengingkari bahwa pengadaan
dan peniadaan itu terjadi sesuai
kehendak Yang Mahakuasa? Bukan-
kah Allah bisa berkehendak untuk
mengadakan atau meniadakan?
Bukankah itu makna kekuasaan Allah yang
sempurna?
Dalam pada itu, Allah tidak berubah, melainkan yang
berubah
adalah perbuatan-perbuatan-Nya.
Adapun
pernyataan kalian, bahwa pelaku pasti akan ber-
sumber dari perbuatan.
Lantas apa yang bersumber dari-Nya?
Kita akan menjawab, yang
bersumber dari-Nya adalah apa
yang menjadi temporal, yaitu ketiadaan.
Bukankah ia tidak tiada,
tapi kemudian tiada? Itulah yang bersumber
dari-Nya.
Jika kalian menyatakan, bahwa ketiadaan bukanlah
apa-apa.
Lantas bagaimana ia bisa bersumber dari-Nya?
Kita
juga akan mempertanyakan, bahwa ia juga bukan apa-
apa. Lantas bagaimana
ia bisa terjadi?
Maka pengertian kebersumberan dari-Nya bukanlah
me-
lainkan apa yang terjadi, yang di-idldfah-kan pada kekuasaan-Nya.
Apabila proses kejadiannya bisa diterima akal, mengapa peng-
idhdt -annva tidak bisa diterima?
***
[58]. Saya katakan:
Ini sungguh retorika
Sophistik yang menjijikkan. Sesung-
guhnya para filosof tidak
mengingkari terjadinya ketiadaan sesuatu
ketika perusak (mufsid)
merusaknya. Tetapi hal ini tidak berarti,
bahwa perbuatan perusak
berhubungan dengan ketiadaannya.
Melainkan, perbuatannya terkait dengan
berpindahnya dari wujud
realistis (wujud bi al-fi'l) kepada wujud
potensial (wujud bi al-
quwwah), maka ketiadaan dan keterjadian
mengikutinya. Dari sisi
inilah ketiadaan dinisbatkan kepada pelaku.
Terjadinya ketiadaan tidak melazimkan pengaruh pelaku
dalam
mawujud, sehingga pelaku menjadi pelaku baginya pertama-
tama dan dengan
zat.
Ketika ia menerima pernyataan seperti ini, bahwa ketiadaan
terjadi dan meniscayakan pengaruh perbuatan perusak di dalam
sesuatu yang rusak. Maka, ia melazimkan terjadinya ketiadaan
dengan zat dan pertama kali dari perbuatannya. Hal tersebut tidak
mungkin. Sesungguhnya perbuatan pelaku tidak terkait dengan ke¬
tiadaan. Maksudnya dengan zat dan pertama kali.
Begitu pula
jika mawjudat indrawi itu sederhana, niscaya ia
tidak terbentuk dan
tidak pula rusak. Kecuali, apabila perbuatan
pelaku terkait dengan
ketiadaan pertama kali dan dengan zat. Akan
tetapi perbuatan pelaku
terkait dengan ketiadaan dengan aksiden
dan kedua kali. Hal itu dengan
memindah objek perbuatan (maful)
dari wujud realistis kepada wujud lain.
Pada perbuatan inilah terjadi
ketiadaan, seperti perubahan api menjadi
udara. Sesungguhnya dalam
hal yang demikian, ketiadaan api terjadi.
Irtilah persoalan yang sebenamya, menurut para filosof, ten tang
wujud dan yang tiada.
[59]. Abu Hamid berkata:
Apa perbedaan antara kalian dengan orang yang mengingkari
terjadinya ketiadaan secara absolut atas aksiden dan bentuk. Ia
berkata ketiadaan bukan apa-apa. Lantas bagaimana bisa terjadi?
Bagaimana bisa disifati sebagai kejadian dan proses menjadi tem¬
poral?
Tidak diragukan lagi, bahwa terjadinya ketiadaan
tergambar-
kan pada aksiden. Maka, kejadian yang tersifati dengan
ketiadaan
sangatlah logis, baik disandangkan kepadanya sebuah nama atau
tidak. Begitu pula meng-/d/rt/flf-kan kejadian logis tersebut kepada
kekuasaan Yang Mahakuasa juga logis.
[59]. Saya katakan:
Terjadinya ketiadaan menurut sifat seperti ini memang benar.
Hal semacam itulah yang ditetapkan para filosof, sebab ia bersumber
dari pelaku dengan tujuan kedua (bi al-qashd ats-tsnni) dan dengan
aksiden (bi nl-'ardl).
Sebagai sesuatu yang bersumber dan
logis ia tidak lazim men¬
jadi dengan zat dan pertama kali.
Adapun perbedaan yang terjadi antara para filosof dengan
orang yang mengingkari terjadinya ketiadaan, adalah bahwa para
filosof tidak mengingkari terjadinya ketiadaan sama sekali. Melain-
kan yang mereka ingkari, adalah terjadinya pertama kali dan dengan
zat dari si pelaku. Sesungguhnya pelaku itu, perbuatannya, pasti
tidak terkait dengan ketiadaan, pertama kali dan dengan zat.
Akan tetapi, terjadinya ketiadaan, menurut mereka, meng-
ikuti perbuatan pelaku dalam wujud, yaitu seperti yang dikatakan
seseorang, "Sesungguhnya alam menjadi tiada menuju kepada yang
tidak mawujud sama sekali."
***
[60]. Abu Hamid
berkata:
Jika dikatakan hal ini hanya cocok bagi mazhab yang mem-
perbolehkan ketiadaan sesuatu setelah wujudnya. Maka kita men-
jawab, apanya yang aneh?
Menurut kita sesuatu yang mawujud
tidak menjadi tiada. 83
Yang kita maksudkan dengan ketiadaan
aksiden adalah ter-
jadinya kontrari-kontrari tersebut berupa beberapa
mawujud,
bukan terjadinya ketiadaan an sick, yang tidak berarti apa-apa.
Sesungguhnya tidak berarti apa-apa, bagaimana mungkin disifati
bisa terjadi?
Apabila rambut memutih, maka yang terjadi
adalah keputihan
saja, dan ia mawujud. Dan tidak dikatakan yang terjadi
adalah tidak
adanya kehitaman.
[60], Saya katakan:
Tm jawaban para filosof yang rusak. Sebab para filosof tidak
mengingkari, bahwa ketiadaan itu terjadi pada setiap pelaku. Tetapi,
tidak dengan maksud pertama, sebagaimana melazimkan yang me-
netapkan bahwa sesuatu berpindah menuju ketiadaan semata.
Menurut mereka, ketiadaan terjadi pada saat perginya objek
yang tiada ( ma'dum ), dan terjadinya bentuk lain yang merupakan
kontrari objek tersebut. Oleh karena itu, maka sanggahan Abu Hamid
atas pernyataan tersebut bisa dibenarkan. 84
[61]. Abu Hamid
berkata:
Ini dinyatakan rusak dari dua sisi:
Salah
satunya, bahwa terjadinya keputihan, apakah meliputi
ketiadaan hitam
atau tidak?
Jika mereka katakan tidak , berarti mereka menentang
rea-
litas-realitas logis.
Jika mereka katakan ya', maka
pertanyaan berikutnya adalah
apakah yang meliputi itu, identik dengan
yang diliputi, atau lainnya?
Apabila mereka mer.jawab 'identik',
berarti mereka mengemuka-
kan sesuatu yang kontradiktif. Sebab sesuatu
tidak meliputi dirinya
sendiri.
Apabila mereka menjawab
'lainnya', pertanyaan berikutnya
adalah, apakah 'yang lain' itu bisa
diterima akal atau tidak?
Jika mereka menjawab 'tidak', maka kita
katakan, lantas
dengan apa kalian mengetahui kalau ia meliputi?
Sedangkan meng-
hukuminya sebagai yang meliputi sama artinya
menjustifikasinya
sebagai yang rasional ( ma'qul ).
Jika
mereka menjawab 'ya', pertanyaan berikutnya adalah
apakah peliput yang
rasional tersebut, yaitu ketiadaan kehitaman,
tergolong eternal (qadim)
atau temporal ( hddits )?
Jika mereka menjawab ‘qadim 1 , itu
mustahil.
Jika mereka menjawab 'hadits', maka yang disifati dengan
temporalitas (liuduts), bagaimana tidak menjadi rasional?
Jika mereka menjawab 'tidak qadim juga tidak hddits', itu mus¬
tahil, sebab apabila sebelum terjadinya keputihan, kehitaman diang-
gap 'adam (tidak ada), dan itu bohong. Tetapi apabila setelah ke¬
putihan itu kehitaman disebut bukan mawujud, itu benar.
Kejadian ini sangat rasional dan musti dinisbatkan kepada ke-
kuasaan Yang Mahakuasa.
[61]. Sava katakan:
Ini
memang kejadian yang rasional dan musti dinisbatkan
kepada kekuasaan
Yang Mahakuasa, tetapi dengan aksiden, bukan
dengan zat. Sebab perbuatan
pelaku tidaklah terkait dengan
ketiadaan secara absolut. Juga tidak
dengan ketiadaan sesuatu,
sebab Yang Mahakuasa tidak mungkin menjadikan
mawujud sebagai
ma'dfim pertama kali dan dengan zatnya, atau membalik
substansi
wujud menjadi substansi 'adam.
Setiap yang tidak
menetapkan materi pasti akan senantiasa
dilanda keraguan terhadap
persoalan ini. Maksudnya, lazim bagi-
nya perbuatan pelaku terkait
dengan ketiadaan, pertama kali dan
dengan zat.
Semua ini
sudah teramat jelas, maka tidak perlu lagi memper-
lebar pembahasan.
Oleh karena itu, maka orang-orang bijak ( al-
hukatna') berkata, 85
"Sesungguhnya dasar-dasar bagi setiap makhluk
yang rusak, ada dua dengan
zat, yaitu materi ( maddat ) dan bentuk
(sliurat). Dan ada satu dengan
aksiden, yaitu ketiadaan. Sebab ke¬
tiadaan tersebut menjadi syarat
dalam terjadinya sesuatu. Maksud¬
nya, ketiadaan mendahului setiap
kejadian. Maka, jika sesuatu telah
terjadi, berarti ketiadaan telah
terangkat. Begitu pula jika sesuatu
itu telah rusak, maka ketiadaan
berikutnya terjadi."
| 6? ] Abu Hamid berkata:
Sisi
kontradiktif kedua, ada beberapa aksiden yang menurut
mereka juga lenyap
tidak dengan kontrari-kontrarinya. Sesungguh-
nya gerak tidak memiliki
kontrari.
Menurut mereka ada saling penerimaan ( taqnbul) antara
gerak
dan diam, sebagaimana saling penerimaan antara kepemilikan
(malnkah) dan ketiadaan ('adam). Maksudnya, saling penerimaan antara
wujud dan 'adam, bukan saling penerimaan antara zuitjud dengan
duujud.
Diam bermakna tidak adanya gerak. Jika gerak tidak
ada,
tidak berarti sebaliknya yang terjadi, yaitu diam, melainkan
ketiadaan yang murni (‘adam nmhdl).
Begitu pula sifat-sifat
yang tergolong kesempurnaan, seperti
kesan bayang-bayang benda indrawi
pada biji mata. Atau kesan
bentuk-bentuk yang dapat dipikirkan dalam
jiwa. Dan semua itu
mendeduksi adanya wujud tanpa kehilangan
kontrarinya.
Dan apabila menjadi 'adam (tidak ada), berarti
hilangnva
wujud dengan tanpa diikuti terjadinya kontrari-kontrarinya.
Maka, menghilangnya dianggap sebagai ketiadaan murni
yang
telah terjadi. Dengan demikian, terjadinya ketiadaan bisa di-
rasionalisasikan.
Dan apa-apa yang proses kejadiannya bisa
dirasionalisasikan
dengan sendirinya, pasti penisbatannya kepada
kekvjasaan Yang
Mahakuasa dianggap logis.
* * *
Dengan ini semua menjadi jelas, bahwa sekalipun terjadinya
peristiwa dengan kehendak eternal ( irddah qadhnah) dapat tergam-
barkan, tidak berarti keadaan peristiwa yang terjadi dapat dibeda-
kan antara ‘adam (tiada) atau wujud (ada).
terjadi, berarti
ketiadaan telah terangkat. Begitu pula jika sesuatu
itu telah rusak,
maka ketiadaan berikutnya terjadi."
Abu Hamid berkata:
Sisi kontradiktif kedua, ada beberapa aksiden yang menurut
mereka juga lenyap tidak dengan kontrari-kontrarinya. Sesungguh-
n
ya gerak tidak memiliki kontrari.
Menurut mereka ada salirtg
penerimaan ( taqdbul ) antara gerak
dan diam, sebagaimana saling
penerimaan antara kepemilikan
(,mnlakah ) dan ketiadaan (' adam ).
Maksudnya, saling penerimaan antara
wujud dan 'adam, bukan saling
penerimaan antara wujud dengan
wujud.
Diam bermakna
tidak adanya gerak. Jika gerak tidak ada,
tidak berarti sebaliknya yang
terjadi, yaitu diam, melainkan
ketiadaan yang mumi (‘ndam mahdl).
Begitu pula sifat-sifat yang tergolong kesempurnaan, seperti
kesan bayang-bayang benda indrawi pada biji mata. Atau kesan
bentuk-bentuk yang dapat dipikirkan dalam jiwa. Dan semua itu
mendeduksi adanya wujud tanpa kehilangan kontrarinya.
Dan
apabila menjadi 'adam (tidak ada), berarti hilangnya
wujud dengan tanpa
diikuti terjadinya kontrari-kontrarinya.
Maka, menghilangnya
dianggap sebagai ketiadaan murm
yang telah terjadi. Dengan demikian,
terjadinya ketiadaan bisa di-
rasionalisasikan.
Dan apa-apa
yang proses kejadiannya bisa dirasionalisasikan
dengan sendirinya, pasti
penisbatannya kepada kekuasaan Yang
Mahakuasa dianggap logis.
❖ ❖ *
Dengan ini semua menjadi jelas, bahwa sekalipun
terjadinya
peristiwa dengan kehendak eternal (iradah qadunah) dapat
tergam-
barkan, tidak berarti keadaan peristiwa yang terjadi dapat
dibeda-
kan antara 'adam (tiada) atau wujud (ada).
Masalah Ketiga
Mengungkap Kepalsuan Pernyataan Mereka Bahwa Allah
adalah
Pembuat dan Pencipta Alam yang Merupakan Buatan
dan Ciptaan-Nya: Dan
Keterangan Bahwa Pernyataan Tersebut
Hanya Bersifat Metaforis,
Bukan Kenyataan
Hingga perkataannya, bahwa alam terdiri dari
hal-hal yang berbeda.
Bagaimana ia bisa bersumber dari-Nya?
[63]. Saya katakan:
Adapun pemyataannya, "Sedangkan
sebagai pembuat {fail),
Dia musti bertindak sebagai yang memiliki
kehendak bebas {murid
mukhtar), mengetahui apa yang dikehendaki,
sehingga Dia menjadi
pembuat atas apa yang dikehendaki-Nya."
Pernyataan yang tidak masyhur, juga tidak legitimated dalam
topik pembuat alam (fd'il al 'alam), kecuali ada dalil-dalil yang mem-
perkuatnya.
Atau, memindahkan hukum kongkret {sydhid) kepada
hukum
abstrak sudah menjadi sebuah kebenaran.
Kita
menyaksikan sesuatu yang bertindak sebagai pembuat
{fail) ada dua jenis:
Pertama, tidak membuat sesuatu kecuali hanya satu, dan itu-
pun dengan zat, seperti panas yang membuat panas, dan dmgin yang
membuat dingin. Hal seperti ini yang oleh para filosof disebut sebagai
pembuat alami (fa'il bi ath-thab’).
Kedua, banyak hal yang
membuat sesuatu dalam suatu waktu,
dan membuat kontrarinya dalam waktu
yang lain. Pembuat seperti
itu kita menyebutnya yang berkehendak bebas (
murid mukhtar).
Pembuat yang berkehendak bebas ini hanya membuat sesuatu
ber-
dasarkan ilmu dan perenungan ( meditation ).
Menurut
para filosof, Allah SWT. Mahasuci dari salah satu sifat
perbuatan
tersebut, dari sisi penyifatannya kepada makhluk yang
rusak. Hal itu
karena yang berkehendak bebas adalah yang kekurang-
an objek keinginan
(murdd). Padahal Allah SWT. sama sekali tidak
kekurangan sesuatu apa pun
yang diinginkan oleh-Nya.^Al-Mukhtdr
adalah yang memilih salah satu dari
dua hal yang utama untuk diri-
nya sendiri. Padahal Allah SWT. tidak
kekurangan sesuatu apa pun
dari keutamaan.
Al-Murid (yang
berkehendak) adalah yang apabila sesuatu
yang dikehendaki sudah
tercapai, kehendaknya itu akan berhenti.
Ringkasnya, irndnh adalah
kehendak (infi dl) dan perubahan
(taghayyur). Mahasuci Allah dari
keterpengaruhan dan perubahan.
Allah SWT. juga Mahasuci dari
perbuatan alami, sebab per-
buatan sesuatu yang alami merupakan suatu
keniscayaan dalam
substansi-Nya, bukan keniscayaan dalam diri yang
berkehendak
(muiid), melainkan hanya sebagai komplemen baginya.
Perbuatan alami juga tidak berdasarkan pengetahuan Allah.
Padahal Allah SWT. telah menjelaskan, bahwa perbuatan-Nya se-
lalu
bersumber dari ilmu.
Maka sisi yang menjadikan Allah sebagai
pembuat tidaklah
jelas dalam wacana ini, jika tidak ada perubahan bagi
kehendak-
Nya dalam kenyataan (synhid).
Bagaimana dikatakan,
bahwa pembuat hanya bisa dipahami
sebagai yang melakukan atas dasar
perenungan dan ikhtiyar. Dan
menjadikan batasan-batasan pembuat ini
ditolak dalam kenyataan
(syahid) dan tidak nyata (ghd'ib ).
Para filosof tidak mengakui penolakan batasan-batasan ini,
sebab jika mereka menafikan beberapa batasan tersebut pada pem¬
buat pertama (al-fd'il al-cnowal), berarti mereka juga menafikan
perbuatan-perbuatan-Nya.
Ini sudah sangat jelas sekali.
Yang mengatakan demikian itulah yang memalsukan
(mulabbis),
bukan para filosof. Sesungguhnya sang pemalsu hanyalah
menginginkan
kesalahan, bukan kebenaran. Tetapi bila ia melaku¬
kan kesalahan dalam
kebenaran, ia tidak musti disebut pemalsu.
Para filosof itu
jelas-jelas mencari kebenaran ( al-haqq ), maka
mereka sama sekali tidak
termasuk kaum pemalsu.
Tidak ada bedanya antara orang yang
berkata, bahwa Allah
SWT. berkeinginan tidak seperti keinginan manusia,
dengan yang
berkata bahwa Allah SWT. berilmu tetapi tidak seperti ilmu
ma-
nusia. Sebab kafiyynt ilmu Allah SWT. tidak bisa diketahui, maka
begitu pula kafiyyat keinginan-Nya juga tidak dapat diketahui.
[64]. Abu Hamid berkata:
Kita ingin men -tahqiq
ketiga argumen tersebut bersama
imajinasi mereka untuk
mempertahankannya.
Argumen Pertama
Kita katakan, pembuat (fa'il ) adalah bagian yang bersumber
perbuatan bersama keinginan untuk berbuat, dengan jalan ikhth/ar,
juga dengan ilmu (pengetahuan) akan apa yang diinginkan.
Menurut kalian, alam itu berasal dari Allah SWT., sama seperti
akibat yang berasal dari sebab. Hal tersebut pasti tidak bisa disang-
kal berasal dari Allah. Sama seperti tidak bisa disangkalnya bayang-
bayang yang berasal dari tubuh manusia, atau sinar berasal dari
matahari.
Hingga perkataannya, sesungguhnya semua itu
bersumber
dari-Nya. Dan itu mustahil.
[64], Saya katakan:
Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari pernyataan ini:
Pertama, ia tidak dianggap sebagai sebab-sebab yang ber-
tindak sebagai pembuat ( al-asbab al-fa'ilat), kecuali berasal dari per¬
buatan yang berdasarkan perenungan dan ikhtiyar. Maka perbuat¬
an
pembuat alami tidak dianggap sebagai sebab-sebab (kausalitas)
yang
bertindak sebagai pembuat.
Kedua, mereka melihat alam sebagai yang
bersumber dari
Allah SWT., dari sisi persamaan dengan bersumbernya
bayang-
bayang dari tubuh seseorang, atau sinar yang berasal dari
matahari,
atau batu yang selalu jatuh ke bawah.
Ini tidak disebut
perbuatan. Sebab perbuatan itu tidak ter-
pisah dari si pembuat.
Sava katakan, bahwa semua ini bohong. Hal itu karena para
filosof melihat, bahwa sebab-sebab itu ada empat golongan; pem¬
buat (fa'il ), materi (maddah), bentuk (shurali), dan tujuan (ghdynh).
Pembuat (fail) adalah yang mengeluarkan selainnya dari po-
tensialitas ( quwwah ) menjadi realitas (fi'l), dan dari ketiadaan men-
jadi ada. Pengeluaran semacam ini bisa terjadi dengan cara perenung-
an (rawiyyah) atau ikhtiydr. Bahkan juga bisa secara alami (bi ath-
thab').
Mereka tidak menyebut person sebagai pembuat
bayang-
bayangnya, kecuali sebagai pernyataan metaforis (majdz), sebab
bayang-bayang itu tidak terpisah dari person tersebut. Sementara
pembuat itu pasti terpisah dari apa yang dibuatnya. Mereka yakin
bahwa Allah SWT. terpisah dari alam. Maka, menurut mereka, Dia
tidak termasuk dalam jenis ini.
Dia juga bukan
pembuat. Dengan kata lain, pembuat dalam
kenyataan (fi
asy-sydhid), tidak yang memiliki ikhtiydr, juga bukan
yang tidak
memiliki ikhtiydr.
Dia adalah pembuat sebab-sebab ini, yang
mengeluarkan se-
gala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada, dan menjaga
sesempuma
mungkin. Dia lebih mulia dari pembuat-pembuat dalam kenyataan.
Maka, tidak perlu ada sanggahan semacam mi. Hal itu karena
mereka berpendapat bahwa perbuatan-Nya bersumber dari llmu,
bukan
dari keterpaksaan, baik oleh zat-Nya, maupun unsur-unsur
eksternal,
bahkan dari tempat yang paling utama bagi wujud-Nya.
Secara
otomatis Dia tergolong yang berkehendak bebas
(murid mukhtar), berada di
pucuk tingkatan tertinggi di antara yang
berkehendak lain-Nya.
Berikut ini saya sertakan beberapa pernyataan orang bijak
(al-hakim), 90 imam al-qawm, dalam beberapa makalah yang ditulisnya
dalam "Fi dim MR ba’da dth-ThabYah" (setelah alam semesta):
[Sesungguhnya suatu kaum berkata, "Bagaimana Allah SWT.
menciptakan alam bukan dari apa-apa? Dan menjadikannya sesuatu
yang bukan dari apa-apa?
Kita menjawab, "Sang Pembuat itu tidak
terlepas dari keadaan
kekuatannya yang sama dengan kekuasaannya. Dan
kekuasaannva
sama dengan keinginannya. Dan keinginannya sama dengan ke-
bijaksanaannya."
Dengan kata lain, kekuatan itu lebih lemah
dari kekuasaan.
Dan kekuasaan lebih lemah dari keinginan. Dan keinginan
lebih
lemah dari kebijaksanaan.
Jika sebagian
kekuatan-kekuatan ini lebih lemah dari yang
lain, maka kausa prima (
nl-'illah al-ula; sebab pertama) tidak berbeda
dengan kita. Ia masih
memiliki kekurangan seperti yang kita miliki.
Dan, pandangan ini sungguh
sangat buruk.
Semustinya masing-masing dari setiap kekuatan
mengandung
kesempurnaan. Kapan saja Dia berkehendak, Dia pasti mam P u.
Kapan saja Dia mampu, Dia pasti memiliki kekuatan. Dan semua
itu
dengan kebijaksanaan yang sangat tinggi.
Terkadang Dia melakukan
apa saja yang dikehendaki bukan
dari apa-apa. 91 ]
Selanjutnya ia berkata:
[Semua yang ada di alam ini
terikat dengan kekuatan yang
ada pada Allah SWT.
Jika tidak
karena kekuatan tersebut ada pada segala sesuatu,
mscaya semua tidak
akan tampak kelihatan di pelupuk mata.]
Saya katakan, al-mawjud
nl-murakkab (mawujud yang tersusun)
itu ada dua macam:
Pertama, ketersusunan ( tarkib ) yang di dalamnya merupakan
makna komplementer bagi wujud yang tersusun.
Kedua, wujud
sesuatu yang tersusun dalam ketersusunannva
seperti wujud materi bersama
bentuk.
Beberapa mawujud ini, menurut akal, tidaklah wujudnva
mendahului ketersusunannya, melainkan ketersusunan tersebut
menjadi kausalitas bagi wujud yang ada. Ia lebih dahulu dari wujud
itu sendiri.
Jika Allah SWT. sebagai kausalitas ketersusunan
partikulari-
tas-partikularitas alam yang ada dalam susunannya, Dia
pasti men-
jadi sebab bagi wujudnya. Dan, setiap yang menjadi sebab
wujud
sesuatu, pasti ia menjadi pembuat (fail) sesuatu tersebut.
**#
Masalah inilah yang semustinya dipahami menurut
pendapat
kaum.
***
[65], Abu Hamid berkata
menjawab para fiiosof:
jika dikatakan, setiap wujud tidak wajib
ada dengan zatnya,
tetap: bisa juga ada dengan iainnya.
Kita
menvebut sesuatu yang ada tersebut sebagai ninfu't
(objek). Dan menyebut
penyebab keberadaannya sebagai fa’il
(subjek, pelaku, pembuat). Kita
tidak peduli apakah sebab tersebut
menjadi subjek alami atau dengan
irndah. Sebagaimana kalian tidak
mempedulikan apakah ia menjadi subjek
dengan alat atau dengan
tanpa alat.
Hingga pernyataannya:
seperti apa yang kita katakan, me-
lakukan apa yang dilakukan.
[65]. Saya katakan:
Inti persoalan ini memiliki dua
jawaban:
Pertama, setiap yang menjadi wajib dengan Iainnya,
berarti
menjadi objek bagi yang wajib dengan zatnya.
Jawaban
ini bertentangan, karena yang wajib dengan iainnya,
tidak musti yang
wajib wujudnya menjadi subjek baginya. Kecuali,
ia bertindak sebagai
subjek yang sebenar-benarnya, yaitu yang me-
mindahkan dari
potensialitas menuju realitas.
Kedua, yaitu bahwa isim fail itu
sama dengan genus, karena
ia bisa berbuat dengan ikhtiyar dan perenungan
(: raiviyyah ), dan atau
berbuat secara alami (bi ath-thab').
Pernyataan tersebut benar, dan sejalan dengan apa yang kita
sampaikan tentang batasan-batasan isim fail (subjek).
Tetapi
dengan pernyataan ini disinyalir, bahwa para fiiosof
tidak menganggapnya
sebagai murid (yang berkehendak).
Ini penamaan yang tidak tepat.
Maksudnya, bahwa setiap mawujud itu menjadi wajib ada,
baik
dengan zatnya sendiri, maupun dengan selainnya.
***
[66]. Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Kita tegaskan, ini penamaan yang rusak. Kita tidak menama-
kan semua sebab, dari sisi apa pun, sebagai Dan setiap yang men¬
jadi akibat sebagai mnfitl.
Jika demikian, maka benar jika
dikatakan, bahwa jamad
(benda mati) tidak memiliki perbuatan. Perbuatan
itu hanya dimiliki
oleh binatang (makhluk hidup). Vang demikian ini
merupakan per-
nvataan benar dan masyhur.
[66]. Saya
katakan:
Adapun pernyataannya, bahwa ia tidak menyebut setiap
sebab sebagai fd'il, itu benar. Akan tetapi argumentasi yang
dikemukakan untuk menyatakan bahwa benda mati tidak disebut
fd'il,
itu salah. Sebab, ada beberapa benda mati yang apabila per¬
buatan
dinafikan darinya, maka perbuatan yang ternafikan darinya
hanyalah
perbuatan yang bersumber dari akal dan iradah, bukan
perbuatan secara
absolut.
Sebab kita juga mendapatkan, pada beberapa ben^a mati
adanya pengadaan yang memproduksi sepertinya dari potensialitas
menjadi realitas. Contohnya, api yang dapat mengubah setiap yang
basah dan kering menjadi api lain sepertinya. Hal itu, karena ia
memproduksi sesuatu yang ada dalam dirinya berupa potensialitas
menjadi realitas.
Oleh karena itu, maka setiap yang tidak
memiliki potensi
dan kesiapan untuk menerima perbuatan api di dalamnya,
berarti
api serupa tidak menjadi fail.
Mereka mengingkari,
bahwa api bisa menjadi fd‘il. Masalah
ini akan didapatkan nanti, pada
pembahasan berikutnya.
Seseorang juga tidak akan meragukan, bahwa
di dalam diri
binatang (makhluk hidup) ada kekuatan alami (quwah
thabi'iyyah),
yang dapat menjadikan makanan sebagai partikularitas yang
me-
makannya.
Ringkasnva, coba pikirkan badan makhluk hidup
dengan
saksama. Apabila kita menganggapnya tidak ada, niscaya makhluk
hidup tersebut musnah, seperti dikatakan Galen.
Dengan
pemikiran semacam ini, maka kita menamakan ma¬
khluk hidup tersebut
sebagai yang hidup. Dan, dengan ketiadaan
kekuatan itu di dalamnya, kita
menyebutnya mati.
[67], Kemudian Abu Hamid berkata:
Meskipun kita menyebut benda mati sebagai fd'il, hal itu
tentu hanya sebatas isti'drat' 42 , sebagaimana kita juga menyebutnya
sebagai thdlib murid (peminta yang berkehendak) sebagai mnjdz
(metafora).
***
[67] , Saya katakan:
Apabila disebut fn'il, dengan dimaksudkan sebagai melaku-
kan perbuatan yang berkehendak {murid), maka yang demikian
disebut
majaz. Sebagaimana jika dikatakan ia 'meminta dan ber¬
kehendak'.
Sedangkan dimaksudkan dengannya, untuk mengeluar-
kan selainnya dari
potensialitas menjadi realitas. Maka, ia berarti
fn'il yang hakiki
dengan pengertian yang sempurna.
[68] . Kemudian Abu Hamid
berkata:
Adapun pemyataan kalian, bahwa menurut kita fd'il itu
ber-
sifat umum dan terbagi menjadi, fd'il alami dan fn'il dengan
irndnh.
Hal ini tidak dapat diterima.
Hal tersebut sama
dengan pemyataan seseorang, bahwa
menurut kita, yang berkehendak (murid)
itu bersifat umum, dan
terbagi menjadi, berkehendak dengan mengetahui
apa yang
dikehendaki ( murid ma'a al-'ilm bi al-murad), dan berkehendak
tetapi
tidak mengetahui apa yang dikehendaki. Pemyataan tersebut rusak.
sebab iradah itu pasti mengandung pengetahuan. Demikian juga
perbuatan yang pasti mengandung keinginan.
[68] . Saya
katakan:
Adapun pemyataan mereka, bahwa fail itu terbagi menjadi
yang berkehendak dan yang tidak berkehendak, itu benar.
Sedangkan perumpamaannya dengan klasifikasi iradah yang
terbagi menjadi, yang diketahui dan yang tidak diketahui, itu tidak
benar. Sebab, perbuatan dengan iradah sudah berada dalam lingkup
yang mengetahui falim). Dengan demikian, klasifikasi semacam ini
hanya pemborosan.
Berbeda dengan klasifikasi perbuatan, ia
tidak meliputi pe¬
ngetahuan, sebab seseorang dengan tanpa mengetahui,
kadang-
kadang dapat mengeluarkan sesuatu dari ketiadaan menjadi wujud
lain, selain ketiadaan itu.
Hal ini sudah sangat jelas. Oleh
karena itu, para ulama me-
nyitir firman Allah SWT., "jidaryuridu an
yanqadldla (dinding hendak
retak)", sebagai sebuah isti'drah.
[69] , Kemudian Abu Hamid berkata:
Adapun perkataan
kalian, bahwa pernyataan kita tentang
perbuatan alami tidak bertentangan
dengan yang pertama, bukan
seperti itu. Ia bertentangan dengannya
sebagai hakikat. Akan tetapi,
pertentangan tersebut tidak sampai meresap
dalam pemahaman
dan menguatkan rasa tidak senang. Sebab yang demikian
itu, hanya
pada takaran metaforis.
Manakala ia menjadi sebab
dari sisi manapun, dan fd'il
juga sebab, maka ia dinamakan fa'il
metaforis.
Jika dikatakan ia berbuat dengan ikhtiydr, maka ia
merupakan
pengulangan tahqiq. Sebagaimana pemyataannya, bahwa Ia berke¬
hendak, dan Dia mengetahui apa yang dikehendaki.
[69]. Saya
katakan:
Tidak seorang pun meragukan kesalahan pemyataan ini. Se-
sungguhnya, sesuatu yang dapat mengeluarkan lainnya dari ke¬
tiadaan menjadi ada, atau berbuat sesuatu di dalamnya, ia tidak
disebut sebagai fa'il dengan pengertian metaforis, melainkan ia ber-
kedudukan sebagai fa'il hakiki. Sebab, batasan-batasan fa'il ada
padanya.
Dan klasifikasi/#'// menjadi, yang berbuat dengan
alami, dan
yang berbuat dengan ikhtiar, bukanlah klasifikasi isim
musytarak
(hujjahnitas), melainkan sebuah klasifikasi genus.
Jika demikian yang terjadi, maka klasifikasi seseorang tentang
fail yang dikategorikan menjadi dua macam, yaitu fa'il dengan alami
dan dengan ikhtiyar, sangat bisa diterima (benar). Sebab, mengeluar-
kan potensialitas kepada perbuatan selainnya, terklasifikasi kepada
dua macam itu.
[70]. Abu Hamid berkata:
Kecuali
jika tergambarkan adanya perbuatan majazi, dan di
sisi lam ada perbuatan
hakiki. Dengan demikian, jiwa ini tidak akan
menolak pernyataan adanya
perbuatan dengan ikhtiyar, yang ber-
makna sebagai perbuatan hakiki,
bukan majazi. Contohnya, per¬
nyataan seseorang; "Berbicara dengan
lisannya", atau, "Melihat dengan
matanya." Maka, ketika melihat dengan
mata hati bisa dikategorikan
sebagai majaz. Dan atau berbicara dengan
menggerakkan kepala
dan tangan juga bisa dianggap majaz. Hal ini niscaya
akan ada orang
yang berkata, "Berkata dengan kepalanya." Dan, tidak
terlalu buruk
untuk dikatakan, "Berkata dengan lisannya," dan atau
"Melihat dengan
matanya", itu bermakna sebagai penafian kemungkinan
tergolong
majaz.
Inilah ketergelinciran kaki.
Maka,berhati-hatilah dari tipu daya
orang-orang bodoh.
[70].
Saya katakan:
Ini memang ketergelinciran bagi orang yang
menggunakan
tasybih (perumpamaan, asimilasi) yang keliru, dan 'illah
(sebab, kau-
salitas) yang tidak benar. Terpatri dalam jiwa mereka yang
mencela
klasifikasi perbuatan menjadi, dengan alami dan dengan iradah.
Sesungguhnya tidak akan ada orang yang mengatakan,
"melihat
dengan matanya dan dengan selain matanya" dan ia me-
yakininya sebagai
klasifikasi penglihatan. Kecuali jika ia akan ber¬
kata, "Melihat dengan
matanya" sebagai justifikasi bagi penglihat-
an yang sebenamya, dan
untuk menghindari pemahaman bahwa
ungkapan tersebut bersifat metaforis.
Sedangkan jika ia berkata, "Berbuat dengan alarm", maka tidak
seorang pun yang akan berbeda pemikiran, bahwa yang demikian
itu
merupakan klasifikasi perbuatan. Jika saja perkataannya, "Ber¬
buat
dengan iradah," itu disamakan dengan ungkapan, "Melihat
dengan matanya,"
niscaya pemyataan, "Berbuat dengan alami", juga
akan dianggap sebagai
majaz.
Fa il dengan alami itu lebih kokoh, dibandingkan/fl'/V
dengan
iradah. Sebab Fd'il alami tersebut tidak pernah berhenti berbuat.
Sementara fail dengan iradah tidak demikian.
Oleh karena
itu, lawan-lawan mereka tidak menentang, dan
berkata, Berbuat dengan
alami," itu sama dengan pernyataannya,
"Melihat dengan matanya" dan
perkataannya, "Berbuat dengan
iradah", itu sebagai majaz. Lebih-lebih
menurut mazhab Asy'ariyah
yang melihat, bahwa manusia tidak memiliki
iktisab (upaya mem-
peroleh sesuatu), serta tidak memiliki perbuatan
yang berpengaruh
pada mawujud-mawujud.
Jika demikian
gambaran fail dalam kenyataan ( syahid ), lantas
dari mana dikatakan,
bahwa gambaran fd'd hakiki dalam kemayaan
( ghaj'ib ), itu bersumber
dari ilmu dan iradah.
***
[71]. Abu Hamid berkata
menjawab para filosof:
Apabila dikatakan, bahwa penyandangan nama
fa'il (pelaku,
pembuat) itu hanya bisa diketahui dari sudut bahasa,
hingga per¬
nyataannya, jika kalian katakan bahwa semua itu hanyalah
majaz,
berarti kalian memutuskan sesuatu dengan tanpa dasar pijakan.
* **
[71], Saya katakan:
Inti
pemyataan ini adalah penggunaan hnjjah yang kesohor,
yaitu bahwasanya
orang Arab menyebut segala yang berpengaruh
dalam sesuatu sebagai fa'il
hakiki, bukan majdzi, meskipun ia tidak
memiliki ikhtiyar.
Ini jawaban kontroversial, maka tidak ada gunanya ditang-
gapi.
[72]. Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Dan sebagai jawaban, bahwa semua itu hanya dengan cara kiasan
(majdz, metafora). Sedangkan fa'il hakiki adalah apa vang berbuat
sesuatu berdasarkan iradah (kehendak, kemauan).
Dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah, bahwa ketika
kita meniscayakan
terjadinya sebuah peristiwa karena salah satu
dari dua hal; yaitu yang
bersifat iradi (dengan kehendak), dan yang
lain tidak berdasarkan
kehendak (ghayr iradi), niscaya akal juga
akan mengklasifikasi perbuatan
sesuai yang berdasarkan kehendak
(iradi). Begitu pula bahasa.
Maka barangsiapa melemparkan seseorang ke dalam api,
kemudian ia meninggal, yang disebut pembunuh adalah dia, bukan
api. Sehingga apabila dikatakan, "Tidak ada yang membunuhnya
kecuali si Fulan", maka apa yang dikatakan itu benar.
Sampai
pernyataannya, Allah SWT. bukanlah pembuat dan
pencipta alam, kecuali
hanya sebagai pernyataan metaforis.
[72], Saya katakan:
Jawaban semacam ini adalah bagian dari pekerjaan para pe-
ngangguran, yang hanya berpindah dari satu kesalahan ke kesalah-
an yang lain.
Abu Hamid lebih dari sekadar seperti itu.
Namun, semoga
yang hidup semasa dengannya bisa menerima kitab ini,
sehingga
bisa menghapus prasangka mereka kepadanya, sebagai yang telah
berpendapat seperti pendapat orang-orang bijak. Yaitu bahwa
perbuatan tidak dinisbatkan seseorang kepada instrumen (alat),
melainkan dinisbatkan kepada penggerak pertama (al-muharrik al-
avnval). Adapun yang membunuh dengan api, sebenamva dia adalah
fa'il hakiki. Sedangkan api adalah instrumen pembunuhan. Semen-
tara kepada yang terbakar api hingga terbunuh, tanpa adanya ikhtiar
seseorang, maka, tidak mungkin ada orang yang berkata bahwa ia
dibakar oleh api secara metaforis.
Di sinilah letak
kekeliruannya. Ia telah ber-hujjah dengan apa
yang dianggap sebagai
murnkkab (tersusun), padahal ia tergolong
basith (sederhana), dan mufrad
(tunggal), bukan murakkab.
Hal semacam itu tidak berbeda dengan
kaum Sophis, seperti
seseorang yang berkata tentang orang negro
(berkulit hitam), bahwa
giginya putih. Pernyataan tersebut dianggapnya
sebagai putih se-
cara mutlak.
Para filosof tidak
mengatakan, bahwa Allah SWT. Yang Ber-
kehendak {murid) secara Absolut.
Sebab Dia adalah fd'il yang ber-
buat berdasarkan ilmu dan
berpengetahuan. Fd'il akan mengutama-
kan salah satu dari dua hal
sejenis, meskipun keduanya sama-sama
mungkin.
Akan tetapi
yang mereka katakan adalah, bahwa Allah SWT.
bukanlah yang berkehendak
(murid) sebagaimana kehendak insani.
[73]. Abu Hamid berkata
menjawab para filosof:
Apabila dikatakan, yang kita maksudkan dari
keberadaan
Allah SWT. sebagai fd'il, karena ia menjadi sebab bagi
keberadaan
semua wujud selain diri-Nya, dan alam adalah perbuatan-Nya.
Apabila tidak ada wujud Allah SWT., niscaya tidak akan pemah
tergambarkan adanya wujud alam.
Sampai pernyataannya, maka
tidak ada yang perlu diper-
tentangkan, manakala sebuah nama sudah dapat
dengan jelas di-
tangkap maknanya.
[73]. Saya katakan:
Inti pernyataan ini adalah pernyataan sikap menerima pen-
dapat para lawan, bahwa Allah SWT. bukan fd'il (pembuat), melain-
kan Dia menjadi sebab, yang wujud sesuatu tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali dengan sebab tersebut.
Ini jawaban
yang tidak berarti, sebab ia melazimkan para filosof
untuk menjadikan
yang pertama sebagai mabda' (dasar, titik mula)
menurut bentuk bagi
universalitas, sebagaimana jiwa menjadi mnbda'
bagijasad.
Pernyataan ini tidak pemah disampaikan, oleh salah satu dari
mereka.
[74], Kemudian Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Kita katakan, maksud kita adalah untuk menerangkan bahwa
makna ini tidak disebut sebagai perbuatan dan ciptaan. Melain-
kan, yang disebut perbuatan dan ciptaan, adalah apa yang benar-
benar keluar dari iradah (kehendak).
Dan kalian telah
menafikan hahekat makna perbuatan.
Sampai pernyataannya, tujuan
masalah ini adalah untuk
mengungkap kepalsuan semata.
[74] .
Saya katakan:
Pernyataan ini merupakan sebuah kelaziman bagi para
filosof.
Jika mereka mengatakan seperti apa yang dikatakan olehnya ten-
tang mereka, yaitu meniscayakan mereka menerima ketetapan ini—
bahwa alam tidak memiliki fd'il (pembuat), baik dengan alami mau-
pun berdasarkan iradah, dan tidak adanya fail lain selain kedua
jenis tersebut—maka apa yang dia paparkan tidak bertujuan untuk
mengungkap kepalsuan mereka. Kepalsuan itu dinisbatkan kepada
para
filosof, bukan kepada beberapa pernyataan mereka.
[75] . Abu Hamid
berkata:
Argumen Kedua
Menyangkal keberadaan
alam sebagai perbuatan Allah,
menurut prinsip-prinsip para filosof
ditinjau dari perspektif syarat
dalam perbuatan. Yaitu, bahwa perbuatan
selalu mengindikasikan
temporalitas (hadits). Sedangkan alam menurut
mereka adalah se-
suatu yang eternal, bukan temporal.
Perbuatan, bermakna mengeluarkan sesuatu dari 'admn men-
jadi loujud (dari tidak ada menjadi ada) dengan memberinya asal
temporal. Hal yang demikian, sama sekali tidak bisa dibayangkan
terjadi pada sesuatu yang eternal. Sebab apa-apa yang mawujud
secara eternal, tidak bisa diadakan dengan memberinya asal tem¬
poral. Jadi, sebuah asal temporal merupakan syarat yang tidak dapat
dipisahkan dari perbuatan. Sedangkan menurut mereka, alam itu
tergolong eternal. Lantas, bagaimana bisa menjadi perbuatan Allah
SWT.?
***
[75] . Saya katakan:
Memang benar demikian, jika alam itu menjadi eternal
dengan
zatnya dan menjadi mawujud bukan berasal dari sesuatu
yang bergerak.
Sebab setiap yang bergerak terdiri dari partikulari-
tas-partikularitas
temporal. Yang demikian itu sama sekali tidak
memiliki/«'//.
Tetapi jika eternalitas bermakna kejadian yang abadi, yang
kejadian tersebut tidak memiliki batas awal dan akhir, maka se-
sungguhnya yang menyandang kejadian abadi tersebut lebih pantas
disebut temporal dibanding yang menyandang kejadian terputus.
Dari sisi ini, alam berarti ciptaan Allah SWT.. Ia lebih pantas
menyandang sebutan temporal dibanding eternal.
Akan tetapi
para hukama' menyebut alam sebagai sesuatu yang
eternal ( qadim ),
semata untuk menghindari pemahaman yang dise-
jajarkan dengan
temporalitas yang berasal dari sesuatu, dalam suatu
waktu, dan menjadi
ada setelah sebelumnya tiada.
***
[76] . Selanjutnya
Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Jika dikatakan, bahwa
sesuatu yang temporal bermakna maivjud
setelah ‘adam (ada setelah
tiada). Oleh karena itu, yang menjadi per-
tanyaan kita, apakah sesuatu
yang berasal dari fd'il temporal tersebut
tergolong wujud murni
(al-ivujud al-mujarrad), atau ketiadaan yang
murni ( al-'adam
al-mujarrad), atau kedua-duanya?
Sungguh tidak benar jika
dikatakan—karena temporalitasnya,
dan temporalitas tidak bermakna selain
menjadi maivjud setelah
'adam (ada setelah tiada), sedangkan, ketiadaan
(’adam) tidak ber-
hubungan dengannya—bahwa ketiadaan terdahulu itu
terkait dengan
fail temporal tersebut.
Juga tidak benar,
bahwa kedua-duanya memiliki keterkaitan
dengan fail. Sebab, ketiadaan
tidak memiliki korelasi dengannya,
dan ketiadaan—sebagai sesuatu yang
tiada—sama sekali tidak
membutuhkan pelaku (fail).
Maka,
tinggallah bagi mereka untuk mengatakan bahwa se¬
suatu yang berhubungan
dengan fail temporal hanya sesuatu yang
mawujud, yaitu wujud yang mumi
berasal dari fail temporal ter-
sebut. Dan tidak ada yang pantas
dinisbatkan kepadanya selain se-
suatu yang mawujud.
Apabila
keabadian menjadi keniscayaan bagi suatu wujud,
maka hubungannya dengan
pelaku (fail ) juga musti abadi.
Jika penisbatan semacam ini
abadi, maka sesuatu yang dinis¬
batkan kepadanya lebih utama dan
pengaruhnya juga akan lebih
abadi, karena ketiadaan tidak pernah dapat
dinisbatkan kepada
pelaku.
Maka, tinggallah bagi mereka
untuk mengatakan, bahwa se¬
suatu akan berhubungan dengan pelaku, sebab
sesuatu tersebut
merupakan sesuatu yang hddits (temporal).
Dan, tidak ada pengertian lain dari temporalitas yang ada
padanya, selain berarti ia menjadi ada setelah sebelumnya tiada
(mnu’jud ba'da ‘adam).
Dan, ketiadaan sama sekali tidak
dapat dinisbatkan kepada
pelaku.
[76]. Saya katakan:
Jawaban senada sebenamya juga pernah dilontarkan Ibn STna
menanggapi pemyataan para filosof. Saya tegaskan, ini pemyataan
sophistik. Ia mengatakan, bahwa pelaku tidak bisa terlepas keter-
kaitannya dengan wujud-wujud temporal atau ketiadaan yang men-
dahuluinya, maupun ketiadaan mumi atau kedua-duanya.
Mustahil apabila pelaku memiliki keterkaitan dengan
ketiadaan, sebab pelaku tidak berbuat sesuatu yang tidak ada. Mus¬
tahil pula ia terkait dengan kedua-duanya. Tinggallah satu yang pasti,
yaitu keterkaitannya dengan wujud-wujud. Dan, temporalitas (ihddts)
hanya bisa dimengerti, sebagai keterkaitan perbuatan dengan wujud.
Maksudnya, perbuatan pelaku (fail) hanya pengadaan (ijdd).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara ketiadaan yang men-
dahului suatu wujud maupun ketiadaan murni.
Sisi kesalahan
pemyataan di sini adalah, bahwa perbuatan fd'il
itu tidak terkait dengan
wujud. Kecuali dalam keadaan tiada, yaitu
semasa menjadi wujud potensial
(wujud bi al-quwwah), dan tidak ter¬
kait dengan wujud riil ( wujud bi
al-fi'T). Bahkan, tidak pula dengan wujud
yang tidak sempuma ( al-wujud
al-naqish) yang menjadi bagian dari
ketiadaan.
Maka
perbuatan fa'il sama sekali tidak memiliki keterkaitan
dengan ketiadaan,
sebab ketiadaan bukanlah bentuk perbuatan.
Juga tidak terkait dengan
wujud-wujud yang tidak berhubungan
dengan ketiadaan. Sebab, wujud yang
sempuma sama sekali tidak
lagi membutuhkan pengadaan ( ijad ) dan yang
mengadakan ( mujid ).
Sedangkan, wujud yang berhubungan dengan ketiadaan
tidak akan
pernah ada kecuali setelah diciptakan vang menciptakan.
Oleh karena itu, maka tidak ada yang perlu diragukan lagi
di
sini bahwa wujud alam tetap memiliki hubungan dengan ketiada¬
an,
seperti keadaan dalam wujud gerak, yaitu bahwa gerak ( harakah )
selalu
saja membutuhkan adanya penggerak (muharrik).
***
Para muhaqqiq (investigator , penyelidik) di kalangan
filosof me-
yakini, bahwa inilah keadaan alam tertinggi ('alam ala)
bersama
Allah SWT., di samping juga ada alam tinggi ('alam 'alwi).
Dengan inilah para makhluk ciptaan-Nya berbeda-beda.
Sesungguhnya ciptaan-ciptaan tersebut, jika tidak memiliki hubung¬
an dengan ketiadaan, pasti semuanya membutuhkan pelaku yang
dapat
melanggengkan wujudnya.
***
[77]. Abu Hamid
berkata:
Pernyataan kalian bahwa sesuatu yang mawujud tidak mung-
kin diciptakan, adalah benar. Hal ini, apabila dimaksudkan bahwa
tidak ada wujud (temporal) yang tidak didahului oleh ketiadaan.
Akan tetapi apabila dimaksudkan sebagai keadaan yang mawujud
tidak
mungkin diciptakan, maka sudah kita jelaskan, bahwa tidak
ada sesuatu
yang dapat diciptakan, kecuali, karena ia (memiliki
potensi untuk
menjadi) mawujud, bukan ketiadaan (‘adam).
Sesuatu akan menjadi
ada (maivjud), apabila pelaku bertindak
sebagai yang mengadakan (mdjid).
Dan, pelaku tidak akan pernah
bertindak sebagai yang mengadakan ( mujid
) terhadap sesuatu yang
tidak ada, melainkan pada sesuatu yang ada (
mawjud).
Dengan demikian, maka proses pengadaan ( ijdd) sesuatu,
me-
miliki keterkaitan yang koheren dengan: keberadaan pelaku, yang
bertindak sebagai yang mengadakan (mujid), dan keberadaan objek
yang akan diadakan sebagai sesuatu yang (memiliki potensi untuk
menjadi) mawjud. Sebab, pengadaan ( ijdd ) itu sendiri bermakna pe-
nisbatan yang mengadakan (mujid) terhadap sesuatu yang diadakan
(mujad).
Jadi jelas, bahwa proses pengadaan itu hanya bisa
terjadi pada
sesuatu yang mawujud, jika proses pengadaan tersebut memang
dimaksudkan sebagai penisbatan, yang dengannya, pelaku dapat
bertindak sebagai yang mengadakan, dan objeknya menjadi sesuatu
yang diadakan.
Mereka berkata, oleh karenanya maka
kita memutuskan
bahwa alam merupakan perbuatan Allah SWT. sebagai
sesuatu yang
azali dan abadi. Dan juga tidak ada keadaan, di mana Dia
bukan
bertindak sebagai pelaku terjadinya alam, karena sesuatu yang di-
hubungkan dengan pelaku berarti sebuah eksistensi (wujud). Apa-
bila hubungan tersebut abadi, maka wujud yang dihubungkan dengan¬
nya juga akan abadi. Sebaliknya, apabila hubungan terputus, maka
eksistensi tersebut akan hancur.
Hal ini tidak seperti yang
kalian bayangkan, yaitu bahwa
meskipun Allah SWT. diestimasikan tidak
ada, niscaya eksistensi
alam tetap akan ada. Kalian mungkin
'menyejajarkan' Allah SWT.
dengan kuli bangunan, yang meskipun kuli-kuli
itu telah tiada
(meninggal), niscaya bangunan yang dibangun oleh mereka
tetap
akan ada. Kiranya perlu dicamkan, bahwa kesinambungan adanya
bangunan tersebut tidak berhubungan dengan adanya si pem-
bangun,
melainkan sangat bergantung kepada kekuatan konstruksi
yang mengokohkan
seluruh komponen-komponennya. Apabila
bangunan tersebut tidak memiliki
kekuatan, karena dibangun
dengan tanpa adanya bahan yang cukup dominan
semisal air.
maka perbuatan pelaku semata tidak akan dapat menjaga
keutuh-
an bangunan itu.
***
[77]. Sava katakan:
Semoga saja alam memiliki kualifikasi semacam itu.
Ringkasnya, pernyataan ini tidak benar, apabila proses peng-
adaan ( ijad ) dari pelaku yang mengadakan berhubungan dengan
sesuatu yang mawjud dari sisi keberadaannya sebagai mawjud bi nl-
fi‘l (wujud riil), yang sama sekali tidak memiliki kekurangan dan po-
tensi, kecuali jika substansi mawujud diestimasikan keberadaannya,
sebagai sesuatu yang diadakan ( mujad ). Sesungguhnya, objek yang
diadakan tidak akan menjadi sesuatu yang diadakan, kecuali dengan
adanya pelaku yang mengadakan.
Apabila keberadaan sesuatu
yang diadakan dari yang
mengadakan menjadi tambahan bagi substansinya,
maka batalnya
penisbatan antara pelaku yang mengadakan dan objek yang
di¬
adakan tidak lazim membatalkan suatu eksistensi (wujud).
Namun, apabila ia tidak menjadi tambahan, bahkan substansi¬
nya menjadi bertambah. Maksudnya keberadaannya sebagai
sesuatu
yang diadakan, maka benarlah apa yang dikatakan Ibn Sum.
Hal ini
tidak tepat terjadi pada alam, sebab alam bukan men¬
jadi mawjud sebagai
tambahan ( idldfah ), melainkan ia menjadi ada
sebagai substansi (
jawhar ). idldfah tidak bisa disamakan dengan
jawhar.
Barangkali apa yang dikemukakan oleh Ibn Sina hanya tepat,
untuk mendeskripsikan bentuk benda-benda langit dengan apa yang
ia
ketahui sebagai bentuk-bentuk yang berbeda dari materi. Para
filosof
mengira demikian. Sebab di sini tergambar jelas adanya
bentuk-bentuk
yang berbeda bagi materi, yang eksistensinya ada-
lah penggambarannya.
Di sini ilmu berlainan dengan sesuatu yang diketahui, dari
sisi bahwa sesuatu yang diketahui tersebut berada dalam materi.
***
[78]. Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Sebagai jawaban bahwa perbuatan (fi'l) berhubungan dengan
pelaku (fail) berdasarkan keberadaannya yang temporal, bukan
karena ketiadaan yang mendahuluinya, atau keberadaannya sebagai
sebuah mawujud semata.
Maka menurut kita, perbuatan tidak
terkait dengan pelaku
pada keadaan temporal kedua, melainkan pada saat
ia terjadi sebagai
sesuatu yang temporal dan keluar dari ketiadaan
menjadi ada.
Apabila makna temporalitas ( huduts ) dinafikan pada
yang demi-
kian, maka sungguh tidak rasional keberadaannya sebagai
perbuat¬
an, juga keterkaitannya dengan pelaku.
***
Adapun pemyataan kalian, bahwa keberadaannya sebagai
sesuatu
yang temporal merujuk kepada keberadaannya yang di-
dahului oleh
ketiadaan. Dan keberadaannya yang didahului ke¬
tiadaan tidak bisa
dikategorikan sebagai sebuah perbuatan. Maka
yang ini juga demikian.
Namun, adanya sesuatu yang didahului ke¬
tiadaan tersebut menjadi syarat
keberadaan sesuatu sebagai per¬
buatan. Maka, wujud yang tidak didahului
oleh ketiadaan, selama-
nya tidaklah tepat dikatakan sebagai perbuatan
pelaku.
Tidak semua hal yang disyaratkan di dalam keberadaan per¬
buatan sebagai sebuah perbuatan, menjadi perbuatan pelaku.
Sesungguhnya zat, kekuasaan, kehendak dan pengetahuan
pelaku
merupakan syarat keberadaannya sebagai pelaku, meskipun
semua itu
bukanlah pengaruhnya.
Namun, yang jelas sungguh tidak masuk di
akal apabila
perbuatan itu ada, kecuali berasal dari sesuatu yang
mawujud. Maka
eksistensi, kehendak, kekuasaan dan pengetahuan pelaku
menjadi
syarat keberadaannya sebagai pelaku, meskipun bukan pengaruh¬
nya.
[78]. Saya katakan:
Semua pernyataan
ini benar. Sesungguhnya perbuatan pelaku
itu hanya terkait dengan objek
( maf ill), sebagai sesuatu yang ber-
gerak (mutnhnrrik).
Dan, gerak dari vvujud potensial ( nl-wujud bi al-qmvwah) ke-
pada vvujud riil {nl-wujud bi itulah yang disebut huduts (ke-
jadian).
Sebagaimana ia berkata, bahwa ketiadaan
{'ndmn) merupakan
salah satu syarat eksistensi gerak (hnrnknh) dari
penggerak ( mulimrik ).
Namun, apabila apa yang menjadi syarat dalam
perbuatan pelaku
{fid al-fa'il) tidak memiliki keterkaitan dengan
perbuatan pelaku,
tentu tidak lazim terkait dengan kontrarinya,
sebagaimana dilazim-
kan oleh Ibn Sina.
Para filosof
beranggapan, bahwa ada beberapa mawujud
yang partikel-partikel
substansinya berada dalam gerak, seperti
udara dan lain sebagainya. Akan
tetapi langit dan selainnya, me¬
rupakan genus mawujud yang eksistensi
(wujud)-nya berada dalam
gerak.
Jika demikian adanya, maka
langit tersebut senantiasa berada
dalam huduts yang abadi.
Berdasarkan hal tersebut, sebagaimana mawujud azali itu
lebih berhak disebut sebagai sebuah wujud (eksistensi) dari pada
mawujud non azali. Maka, sesuatu yang huduts- nya azali pun, lebih
berhak menyandang nama sebagai sesuatu yang hddits (temporal),
dibanding yang huduts- nya sewaktu-waktu.
Jika bukan
keberadaan alam memenuhi kualifikasi semacam
ini, maksudnya substansinya
berada dalam gerak. Niscaya setelah
menjadi eksistensi, alam tidak lagi
memerlukan Allah SWT., sebagai¬
mana rumah yang tidak lagi membutuhkan
wujud si pembangun
setelah semua proses pembangunan selesai
dilaksanakan. Kecuali,
apabila keberadaan alam sebagai mudlnf (yang
ditambah), seperti
yang hendak dijelaskan oleh Ibn Sina dalam
pernyataannya ter-
dahulu.
Kita sudah katakan, bahwa apa
yang hendak dia jelaskan
hanya dapat dibenarkan terjadi pada benda-benda
langit.
Jika demikian, maka alam membutuhkan kehadiran Sang Pen-
cipta pada saat proses penciptaannya, dengan pertimbangan dia
sebagai pelaku dari dua sisi sekaligus. Maksudnya karena keber-
adaan substansi alam sebagai makhluk dalam gerak, dan keberadaan
bentuknya yang menjadi dasar eksistensinya. Juga wujudnya yang
tergolong tabiat mudhaf, bukan kayf (kualitas), artinya keadaan dan
tabiat-tabiat tertentu yang bersifat kualitatif.
Sesungguhnya setiap sesuatu yang bentuknya termasuk
dalam
genus ini, dan juga terbatas. Maka jika ia ada, dan keberada-
annya
sudah sempurna, niscaya ia tidak lagi membutuhkan pelaku
Semua ini tentu
akan menjadi solusi bagi Anda di dalam me-
ngentaskan keragu-raguan dan
kebimbangan yang melanda banyak
manusia. Sebagai akibat penerimaan
pemyataan-pernyataan yang
bertentangan.
[79]. Abu
Hamid berkata:
Jika dikatakan, kalian mengakui diperbolehkannya
keberada¬
an perbuatan bersamaan, dan tidak terjadi lebih akhir dari
pelaku,
maka jelas perbuatan tersebut harus bersifat temporal apabila
pelakunya temporal, dan eternal apabila pelakunya eternal.
Apabila kalian menetapkan syarat perbuatan harus terjadi
lebih akhir dari pelaku, tentu yang demikian mustahil adanya. Sebab,
seseorang yang menggerak-gerakkan tangannya dalam sebuah gelas
yang berisi air, niscaya air tersebut akan bergerak seiring dengan
gerak tangan tersebut, bukan sebelumnya, juga bukan sesudahnya.
Jika air tersebut bergerak sesudah gerakan tangan, pastilah tangan
dan air berada dalam satu tempat sebelum berpisah. Namun, apa¬
bila ia bergerak sebelum gerakan tangan, niscaya air akan terpisah
dari tangan, padahal gerakan yang terjadi pada air merupakan akibat
dan perbuatan tangan.
Jika kita niscayakan gerakan tangan di
dalam air sebagai sesuatu
yang eternal, secara otomatis gerakan air juga
akan menjadi eter¬
nal. Sebab gerakan air tersebut, merupakan akibat (
ma'lul ) dan objek
perbuatan (maf ul) tangan. Dengan demikian tidak ada
yang meng-
halanginya untuk menjadi sesuatu yang eternal.
Begitu pula penisbatan alam kepada Allah SWT.
***
[79] . Saya katakan:
Dalam hubungan antara gerak
dan yang menggerakkan
memang benar, sedangkan, antara mawujud yang diam
dengan
yang menjadikannya mawujud, atau dalam sesuatu yang tidak
diam dan tidak pula bergerak, jika diniscayakan menjadi mawu¬
jud
dengan sifat ini, tentu tidaklah bisa dibenarkan. Kecuali, se¬
suatu
ekstemal berlawanan dengan mawujud tersebut, baik per¬
buatan itu berupa
perbuatan alami (fi'l thabi'i), maupun yang di-
dasarkan kehendak (fi'l
iradiy).
Coba lihat kembali bagaimana Asy'ariyah menyifati mawujud
eternal, dan menolak terjadinya perbuatan pada eksistensinya yang
eternal. Kemudian mereka memperbolehkannya, sehingga akhir-
nya
eksistensinya yang eternal terbagi menjadi dua eksistensi yang
sama-sama
eternal, yaitu yang lalu (mddli) dan yang akan datang
() mustaqbal ).
Semua ini, menurut para filosof pertanda kebingungan dan
pencampur-adukan.
[80] . Abu Hamid berkata, menjawab para
filosof dalam pemyataan ter-
dahulu:
Kita katakan,
memang kita tidak memustahilkan terjadinya
perbuatan menyatu dengan
pelaku, setelah keberadaan perbuatan
tersebut menjadi temporal ( hadits
). Misalnya, gerakan yang ditim-
bulkan oleh air adalah peristiwa
temporal yang terjadi setelah ke-
tiadaan. Maka, yang demikian boleh
dikategorikan sebagai perbuat¬
an, baik kejadiannya lebih akhir dari zat
pelaku, maupun bersama-
sama dengannya.
Namun menyatunya
perbuatan dengan pelaku semacam itu
tidak dapat kami terima, jika
terdapat pada perbuatan eternal.
Sebab, sesuatu yang terjadi bukan dari
ketiadaan, walaupun disebut
sebagai perbuatan. Hal ini tentu hanya
bersifat metaforis, bukan
yang sebenarnya.
Sedangkan
hubungan antara sebab ('illah) dan akibat (mn lul),
maka kedua-duanya
bisa jadi. Sama-sama menjadi temporal, atau
sama-sama menjadi eternal.
Sebagaimana dikatakan, bahwa ilmu eternal menjadi sebab
keberadaan zat eternal menjadi ‘alim (yang berilmu). (X’amun kita
tidak memperbincangkan tema ini, melainkan tema yang berkait-
an
dengan perbuatan).
Dan penamaan akibat, sebagai perbuatan sebab
(fi'l al-'illah)
tentu hanya bersifat metaforis. Sebab, yang layak
disebut perbuat¬
an hanyalah yang memenuhi syarat, yaitu terjadi dan
berasal dari
ketiadaan.
Jika ada orang yang memperbolehkan
penyandangan nama
suatu eksistensi eternal nan abadi sebagai perbuatan
bagi yang lain,
yang demikian tentu hanyalah merupakan pemyataan
isti'arah.
Pemyataan kalian, bahwa jika kita mengestimasikan
gerakan
air bersama jari-jari merupakan sesuatu yang eternal (qndvn),
niscaya
gerakan air tersebut selamanya tidak akan pernah keluar dari ke-
beradaannya sebagai perbuatan.
Ini kepalsuan. Sebab
jari-jari tidak memiliki perbuatan. Ada-
pun pelaku sebenarnya dari
gerakan air tersebut adalah pemilik jari-
jari. Dialah yang berkehendak.
Apabila dia kita anggap sebagai se¬
suatu yang eternal, maka gerakan
jari-jari tetap akan menjadi per-
buatannya. Sebab, setiap unit dari
gerakan merupakan peristiwa
temporal yang berasal dari ketiadaan.
Maka dengan demikian, gerakan tersebut tergolong per¬
buatan.
Adapun gerakan air, kita tidak akan mengatakannya
sebagai
perbuatan orang tersebut, melainkan perbuatan Allah SWT., bagai-
manapun adanya. Dan wujud gerakan, sebagai suatu perbuatan,
ditentukan oleh keberadaannya sebagai sesuatu yang temporal.
Bukan
oleh keabadian proses bermulanya unit-unitnya. Gerakan
hanya akan
menjadi perbuatan, sebab ia tergolong sesuatu yang
temporal ( hddits ).
Selanjutnya Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Apabila Anda mengakui, bahwa hubungan perbuatan dengan
pelaku sebagai sesuatu yang temporal, tidak ada hubungannya
dengan
hubungan yang terjadi antara sebab dan akibat, maka se-
mustinya kalian
juga mengakui keabadian hubungan kausal.
Maksud pemyataan kami,
bahwa keberadaan alam merupa-
kan perbuatan tiada lain kecuali
bahwasanya keberadaannya men-
jadi akibat yang senantiasa berhubungan
dengan Allah SWT.
Jika kalian tidak menyebut ini sebagai
perbuatan, tentu tidak
ada nama yang perlu diperdebatkan setelah semua
maknanya dapat
dimengerti.
Tidak ada tujuan lain dari
pemaparan masalah ini, kecuali
untuk menunjukkan bahwa kalian telah
tidak sungguh-sungguh
menggunakan nama-nama ini. Dan Allah SWT., bagi
kalian bukanlah
pelaku dalam pengertian yang sesungguhnya. Juga alam
bukan per¬
buatan yang sebenar-benamya berasal dari-Nya. Menurut kalian,
penggunaan nama-nama tersebut hanya bersifat metaforis, bukan
yang
sesungguhnya. Hal tersebut sudah sangat tampak jelas sekali.
***
[80]. Saya katakan:
Pemyataan ini menetapkan,
bahwa para filosof telah mene-
rima pendapat-pendapatnya. Mereka hendak
menyatakan bahwa
Allah SWT. adalah fa'il (pelaku). Dan Dia menjadi sebab
bagi diri-
Nya saja. Sebab juga selalu memiliki hubungan dengan akibat.
Hal ini bertentangan dengan apa yang mereka katakan per-
tama kali. Oleh karena akibat itu hanya memiliki hubungan dengan
sebab yang menjadi sebab baginya (‘illah la-hu), menurut bentuk dan
jalan menuju tujuan.
Akibat tidak berhubungan dengan sebab
efisien ('illah fa'ilah),
sebab terkadang bisa jadi sebab efisien
tersebut ada, sementara
akibatnya tidak ada.
Dalam hal ini,
Abu Hamid seakan-akan menjadi wakil dari
seseorang yang diwakili untuk
memutuskan sesuatu yang tidak
mendapat restu darinya. 93
***
Justru menurut para filosof alam itu memiliki pelaku (fa'il ),
yang senantiasa menjadi pelaku, yaitu senantiasa mengeluarkan
alam
dari ketiadaan menjadi ada.
***
Diskursus semacam ini
dulu juga pernah diperdebatkan,
antara Aristotelian dan Platonis. Yaitu
ketika Plato menyatakan,
bahwa alam sebagai sesuatu yang temporal 94
Maka, tanpa ragu
sedikit pun ia menetapkan bahwa alam memiliki pencipta
dan
pelaku.
Sementara Aristoteles, ketika menyatakan bahwa
alam itu
eternal ( qadim ), maka para Platonis banyak yang
menyangsikannya.
Mereka berkata, bahwa Aristoteles tidak dapat melihat
adanya sang
pencipta alam. Selanjutnya, Aristoteles mencoba memaparkan
be-
berapa argumennya hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan
yang menyatakan, bahwa alam memiliki pencipta dan pelaku. Hal
ini
menjelaskan hakikat pada tempatnya. 95
***
Adapun yang
mendasar bagi mereka, bahwa gerak terdapat
pada benda-benda langit.
Dengan gerak tersebut, maka eksistensi-
nya menjadi ada. Maka, pemberi
gerak itu merupakan pelaku yang
sesungguhnya bagi gerak tersebut. Dan
apabila eksistensi benda-
benda langit tidak menjadi sempuma kecuali
dengan gerak, maka
pemberi gerak adalah pelaku {fa'il ) bagi benda-benda
langit ter¬
sebut.
Juga sudah teramat jelas menurut mereka,
bahwa Dialah pem¬
beri keesaan (wahdaniyyah), yang dengan keesaan
tersebut mencipta-
kan alam menjadi satu. Dan, pemberi keesaan yang
keesaan tersebut
menjadi syarat dalam eksistensi sesuatu yang
berkomposisi
( murakkab ) adalah pemberi eksistensi ( wujud )
partikularitas-par-
tikularitas, yang pada partikularitas tersebut
terjadi komposisi
(tarkib). Sebab komposisi (tarkiyb) merupakan sebab
bagi parti-
kularitas-partikularitas itu, sebagaimana telah dijelaskan.
Beginilah keadaan al-mabda’ al-awwal (prinsip pertama) dalam
hubungan-Nva dengan alam.
Adapun pemyataan mereka, bahwa
perbuatan itu tergolong
temporal (hadits), itu memang benar. Sebab ia
merupakan gerak.
Sedangkan, makna eternalitas di dalamnya berarti
tidak me-
miliki awal mula dan batas akhir. Oleh sebab karena itu, maka
per-
nyataan mereka bahwa alam itu eternal tidaklah dimaksudkan.
Sebab, ia terdiri dari sesuatu yang eternal, karena keberadaan se¬
suatu tersebut sebagai gerak.
Hal inilah yang belum
dimengerti oleh Asy'ariyah. Teramat
sulit bagi mereka untuk mengatakan
bahwa Allah SWT. Eternal
(i qadim ), dan alam juga eternal ( qadim ).
Oleh karena itu, maka penyandangan sebutan al-huduts ad-
da
im (temporalitas yang abadi) kepada alam terasa lebih pas di¬
banding
dinyatakan sebagai sesuatu yang eternal.
[81]. Abu Hamid
berkata:
Argumen Ketiga
Tentang kemustahilan keberadaan alam, merupakan per¬
buatan
Allah SWT. menurut prinsip-prinsip mereka. Sesuai dengan
syarat yang
terdapat dalam pelaku (fd'il) dan perbuatan (fi'l).
Yaitu, mereka
mengatakan bahwa tidak ada yang bersumber
dari yang satu kecuali hanya
satu. Sedangkan, awal dari segala
sesuatu itu satu. Dan alam terdiri
dari komposisi banyak hal yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, hal ini
tidak mungkin ia digambar-
kan sebagai perbuatan Allah SWT., seperti
yang tertera pada prin-
sip-prinsip mereka.
[81] . Saya
katakan:
Apabila kaidah-kaidah dasar ini diterima dan dianggap se¬
bagai sebuah keniscayaan, tentu teramat sulit untuk bisa menjawab-
nya. Tetapi.yang demikian itu tidak ada yang mengatakannya,
kecuali para filosof muslim belakangan.
***
[82]
, Selanjutnya Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Apabila
dikatakan bahwa alam semesta tidak berasal dari
Allah SWT. dengan tanpa
perantara, melainkan ia bersumber dari-
Nya sebagai satu mawujud, yaitu,
sebagai makhluk pertama, yang
merupakan akal murni, atau substansi yang
berdiri dengan sen-
dirinva, yang tidak diragukan mengetahui dirinya dan
asal mula-
nya, yang demikian itu, dalam bahasa syara' disebut malaikat.
Darinyalah timbul akal kedua. Dari yang kedua, timbul yang ketiga.
Dari yang ketiga, timbul yang keempat. Begitu seterusnya mawujud
berkembang semakin banyak secara berkesinambungan dengan
perantara.
Sesungguhnya perbedaan dan banyaknya perbuatan
di-
tentukan oleh:
(i) Perbedaan daya untuk berbuat {quwwah
fa'ilah). Misalnya, apa
yang dilakukan seseorang berdasarkan daya
syahwat, tentu
berbeda dengan apa yang ia kerjakan berdasarkan daya
amarahnya.
(ii) Perbedaan materi. Sebagaimana matahari dapat
memutihkan
pakaian yang dicuci, menghitamkan wajah manusia, men-
cairkan sebagian substansi dan memadatkan yang lainnya.
(iii) Perbedaan alat-alat (instrumen). Misalnya, seorang tukang
kayu menggergaji dengan gergaji, menebang dengan kapak,
dan
melubangi dengan bor.
(iv) Banyaknya perbuatan yang timbul dari
banyaknya peran¬
tara. Setelah mengerjakan yang satu, perbuatan tersebut
me-
ngerjakan yang lain. Begitu seterusnya hingga perbuatan ter-
sebut berkembang semakin banyak.
***
Seluruh bagian-bagian ini mustahil diterapkan pada prinsip
pertama ( al-mabda' al-awwal, Allah SWT.). Sebab, zat-Nya tidak me-
r.gandung perbedaan, tidak dualisme, tidak pluralitas. Dan juga
perbedaan materi, sebagaimana dijelaskan dalam dalil-dalil tauhid.
Sesunggijhnya pembicaraan seputar akibat pertama ber-
sumber
dari yang pertama, dan merupakan materi pertama. Udak
kemudian perbedaan
alat, sebab tidak ada mawujud yang bersamaan
dengan mawujud Allah SWT.,
dan sejajar dengan posisi-Nya. Pem¬
bicaraan ini hanyalah sebatas pada
temporalitas (huduts) alat yang
pertama.
Maka, hanya dapat
dikatakan bahwa pluralitas ( katsrah ) yang
terdapat di dalam alam
semesta (semuanya) bersumber dari Allah
SWT. melalui perantara,
sebagaimana dikemukakan terdahulu.
[82]. Saya katakan:
Pemyataan, bahwa sesungguhnya yang satu, apabila menjadi
sederhana yang satu (basith wahid), maka tidak ada yang bersumber
darinya kecuali satu. Namun, perbuatan pelaku (fd'il ) akan berbeda
dan berkembang semakin banyak. Baik dari sisi materi, sementara
tidak ada materi yang bersamanya. Atau dari sisi instrumen, semen¬
tara tidak ada instrumen yang bersamanya, sebab tidak ada mawujud
yang ada bersama keberadaan Allah SWT., juga sejajar dengan posisi-
Nya.
Maka tinggallah pada yang sederhana tersebut pertama
kali
bersumber satu. Selanjutnya, dari yang satu bersumber satu yang
lain.
Kemudian darinya juga bersumber satu yang lain. Begitu seterus¬
nya hingga berkembang semakin banyak.
***
[83].
Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Dari sini, di dalam alam
musti tidak ada wujud tunggal yang
terdiri dari individu-individu (
afrad ). Namun, semua mawujud yang
ada merupakan kesatuan-kesatuan. Dan,
setiap kesatuan menjadi
akibat dari kesatuan di atasnya, juga menjadi
sebab bagi kesatuan
di bawahnya. Begitu seterusnya hingga akhirnya
sampai pada
akibat yang tidak memiliki akibat ( ma'lul In ma'lul In-hu)
di
bawahnya. Sebagaimana pada hierarki ke atasnya ia akan sampai
pada sebab yang tiada memiliki sebab ('illnh In ‘illah In-hn).
Namun kenyataannya tidak demikian. Sebab mereka me-
ngatakan, bahwa jisim terdiri dari bentuk (shurah) dan hnyuli (materi
pertama). Dua hal tersebut kemudian menyatu membentuk satu
hal
lain.
Demikian juga manusia, terdiri dari jisim (tubuh) dan ttafs
(jiwa), yang wujud keduanya tidak saling mempengaruhi. jisim
tidak
merupakan akibat dari nafs, begitu pula nafs tidak merupakan
akibat dari
jisim. Melainkan masing-masing wujud tersebut berasal
dari sebab yang
lain.
Menurut mereka falak juga demikian. Ia merupakan benda
yang berjiwa. Tetapi benda tersebut tidak berasal dari jiwanya, sebagai¬
mana jiwanya juga tidak berasal dari benda itu. Melainkan, kedua-
duanva berasal dari sebab di luar wujud masing-masing.
Lantas, bagaimana ketersusunan ini menjadi sebuah wujud?
Apakah berasal dari satu sebab, sehingga salah apa yang dikatakan
mereka bahwa tidak ada yang bersumber dari yang satu kecuali
satu?
Atau, dari sebab-sebab yang tersusun (‘illnh murakkabah )? Jika
demikian, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sebab
tersebut bisa mempertemukan antara yang tersusun ( murakkab)
dengan yang sederhana ( basith )?
Prinsip ( mabda ') itu
sederhana, di mana akibat-akibat ter-
karakterisasi oleh ketersusunan.
Dan hal seperti ini tidak dapat
dibayangkan, kecuali apabila yang
sederhana (basith) dan yang
tersusun ( murakkab ) bertemu. Dan apabila
pertemuan tersebut ter-
jadi, niscaya pernyataan mereka bahwa tidak ada
yang berasal dari
yang satu kecuali satu, akan ditolak.
[83]. Saya katakan:
Ini lazim bagi mereka, bilamana
mereka meletakkan pelaku
pertama ( al-fa'il al-aunval), sama seperti
pelaku sederhana ( al-fa'il al-
basith) dalam realitas. Maksudnya, semua
mawujud menjadi seder-
hana.
Namun hal seperti ini,
meniscayakan permintaan ( thalab)
menjadi universal di dalam semua
mawujud. Sedangkan, pem-
bagian mawujud pada yang lain, tidak perlu
menggunakan ungkapan;
wujud yang terpisah (al- wujud al-mufariq), dan
wujud yang bersifat
hayuli dan dapat diindra (al-wujud
al-hayulanial-mahsus). Sebab yang
demikian, mengandung beberapa
implikasi:
m Menjadikan prinsip-prinsip ( al-mabddi ') yang dituju oleh
wujud
indrawi ( al-wujud al-mahsus), tidak dituju oleh wujud
rasional
( al-wujud al-ma'qul).
m Menjadikan prinsip-prinsip
mawujud indrawi terdiri dari
materi (maddat) dan bentuk (shurat).
- Menjadikan yang satu sebagai fa'il bagi yang lain. Begitu
seterusnya hingga sampai pada benda langit ( al-jarm as-
samawi).
» Menjadikan substansi-substansi rasional ( al-jawdhir al-
ma'qulah) naik menuju prinsip pertama ( al-mabda ' al-awwal).
- Asimilasi bentuk ( tasybih al-shurah).
m Asimilasi tujuan
( tasybih al-ghayah).
i■ Asimilasi pelaku (tasybiyh al-fa'il).
Yang semua itu sudah sangat jelas tertera di dalam kitab
mereka. Maka jadilah premis dan proposisi hujjah, yang tidak
semustinya menimbulkan keraguan pada diri mereka. Inilah maz-
hab
Aristoteles.
Adapun premis yang menyatakan, bahwa tidak ada yang
berasal dari yang satu, kecuali yang satu itu merupakan premis
yang disepakati para filosof terdahulu, ketika mereka membahas
persoalan prinsip pertama bagi alam secara dialektis ( al-fahshl al-
jaddli), yang mereka anggap sebagai pembahasan mencari pem-
buktian ( al-fahshl al-burhdni).
Dari pembahasan tersebut
semua menyepakati deduksi,
bahwa prinsip hanyalah satu, dan berlaku bagi
seluruh eksistensi.
Dan, tidak ada yang bersumber dari yang satu itu
kecuali satu.
Ketika mereka menetapkan demikian, timbullah
pertanyaan,
lantas dari mana munculnya pluralitas? Maka, barulah setelah
mem-
batalkan premis pertama, mereka kemudian menyatakan, bahwa
prinsip pertama itu ada dua. Salah satu premis tersebut untuk ke-
baikan, dan yang lain untuk keburukan.
Meskipun demikian,
menurut mereka, tidak mungkin prinsip-
prinsip yang bertentangan itu
menjadi satu. Mereka melihat, per-
tentangan universal yang biasa
terjadi hanyalah antara kebaikan
dan keburukan. Oleh sebab itu, maka
mereka berasumsi bahwa prin-
sip-prinsip itu ada dua.
Ketika
para filosof. terdahulu memikirkan hal mawujud-ma-
wujud, dan mereka
melihat mawujud-mawujud tersebut semua
menuju pada satu tujuan,— yaitu
keserasian dan keteraturan ( nidham)
di alam Sebagaimana keteraturan
mawujud dalam militer di bawah
komando pimpinan. Juga seperti
keteraturan kota di bawah pe-
ngawasan pemerintah kota—maka kemudian
mereka meyakini,
bahwa alam musti memiliki keserasian seperti itu.
Inilah makna yang
terkandung dalam firman Allah SWT., "Law kana dlihat
'illa'L-Iah In-
fasadata (andaikata pada keduanya ada Tuhan selain
Allah, niscaya
keduanya akan binasa)"
Mereka juga
mempercayai adanya tempat bagi kebaikan pada
semua mawujud. Bahwa
keburukan itu terjadi dengan aksiden,
sebagaimana sanksi atau hukuman
yang ditetapkan oleh pemerintah
kota, yang substansinya adalah
keburukan. Namun, keburukan
tersebut dipergunakan untuk mencapai
kebaikan, bukan untuk
tujuan pertama (keburukan).
Dengan
demikian, berarti dalam kebaikan, ada kebaikan lain
yang tidak mungkin
ada kecuali bila bercampur dengan keburukan.
Seperti keadaan dalam wujud
manusia yang tersusun dari, nafs
nathiqat (jiwa yang dapat berbicara)
dan nafs bahimiyyah (nafsu
hewani).
Menurut mereka,
seakan-akan hikmah meniscayakan adanya
kebaikan yang banyak ( nl-khtiyr
al-katsir), meskipun bercampur ke-
burukan walau hanya sedikit. Sebab,
eksistensi kebaikan yang
banyak bersama keburukan, yang sedikit
merupakan pengaruh dari
ketiadaan kebaikan yang banyak bagi tempat
keburukan yang
sedikit.
Ketika mereka memutuskan yang
terakhir, bahwa prinsip
pertama musti satu, dan keragu-raguan ini
terjadi pada yang satu
tersebut, maka mereka mengemukakan tiga jawaban:
m Sebagian mereka beranggapan, bahwa pluralitas berasal dari
hayuli (materi pertama). Yang berpendapat demikian adalah
Pitagoras dan pengikutnya.
. Sebagian yang lain beranggapan,
bahwa pluralitas berasal
dari instrumen (alat).
m Sebagian
juga beranggapan, bahwa pluralitas berasal dari
perantara.
Orang pertama yang menetapkan ini adalah Plato. Dialah yang
memiliki pendapat paling memuaskan. Sebab, menanggapi dua
jawaban
terakhir, dikemukakan beberapa pertanyaan; dari mana
pluralitas materi
berasal? Juga pluralitas alat?
Barangsiapa meyakini premis ini,
pasti ia akan dilanda ke¬
ragu-raguan. Mereka yang meniscayakan
pluralitas berasal dari satu,
pasti mereka juga mempercayainya.
Maksudnya, bahwa tidak ada
yang berasal dari yang satu kecuali satu.
Adapun yang populer belakangan ini, adalah bertentangan
dengan premis tersebut, yaitu bahwa satu yang pertama, berasal
darinya pertama kali semua mawujud yang berganti-ganti.
Maka
yang perlu dikaji dalam waktu ini, bersama orang-orang
yang hidup di
masa ini, adalah yang berkenaan dengan premis
tersebut.
Adapun apa yang dipertentangkan oleh Abu Hamid atas para
filosof paripatetik, yaitu jika pluralitas berasal dari dimensi yang
sederhana, maka tidak ada yang lazim darinya, kecuali pluralitas
yang sederhana. Masing-masing darinya terdiri dari pluralitas.
Maka di sini para filosof melihat adanya dua bentuk plura¬
litas; pluralitas bagi persoalan-persoalan sederhana, yaitu ma-
wujud-mawujud sederhana yang bukan berada pada hayttli (materi
pertama). Danbahwa semua ini menjadi sebab bagi yang lain. Kemu-
dian semuanya menanjak naik, hingga sampai pada satu sebab yang
masih menjadi genusnya, dan menjadi sebab pertama dalam genus
tersebut.
Dan bahwa pluralitas benda-benda langit berasal
dari
pluralitas prinsip-prinsip ini.
Dan bahwa pluralitas
non benda-benda langit berasal dari
hayuli dan bentuk, juga dari
benda-benda langit.
Maka tidak ada yang musti diragukan dalam
masalah ini.
Benda-benda langit tersebut pertama-tama digerakkan
oleh
penggerak yang sama sekali bukan merupakan materi.
Dan
bentuk benda-benda langit tersebut, diadopsi dari bentuk
penggerak itu.
Sedangkan bentuk benda bukan benda-benda langit, diadopsi
dari bentuk benda-benda langit itu sendiri. Sebagian yang satu tidak
berbeda dengan sebagian lainnya.
Bentuk-bentuk jisim
sederhana yang ada pada materi pertama
bukanlah makhluk dan tidak pula
rusak. Atau menjadi bentuk bagi
jisim-jisim yang terdiri dari
jisim-jisim sederhana ( al-ajsam nl-
basithah).
Dalam hal
ini, ketersusunan ( tarkib) berasal dari benda-benda
langit ( al-ajram
al-samawiyyah). Inilah keyakinan mereka tentang ke-
serasian ( nidham )
di sini.
Adapun sesuatu yang menggerakkan mereka—maksudnya
para filosof—pada keyakinan semacam ini, tidak mungkin dijelas-
kan di sini. Sebab yang demikian itu, mereka bangun di atas kaidah-
kaidah dasar ( ushul ) dan proposisi-proposisi (muqaddimah) yang
banyak, yang dapat menjelaskan ciptaan-ciptaan yang banyak. Dan
dengan ciptaan-ciptaan yang banyak itulah, sebagian
tersusun atas
yang lain.
***
Ketika para
filosof muslim—seperti Abu Nashr atau Ibn Sina—
menerima pernyataan
musuh-musuh mereka, bahwa pelaku yang
gaib sama dengan pelaku yang
tampak. Dan fa'il (subjek) yang satu
tidak memiliki mnf id (objek)
kecuali satu. Juga, bahwa yang pertama
merupakan satu yang sederhana
menurut mereka. Maka, sangat
sulit mereka mendeskripsikan kayfiyyah
eksistensi pluralitas
darinya, sehingga dengan terpaksa mereka
menjadikan yang
pertama bukan penggerak bagi gerak sehari-hari. Namun
mereka
menyatakan, bahwa yang pertama merupakan mawujud sederhana
(maivjud basith), yang darinya bersumber penggerak falak terbesar
(muharrik al-falak al-a'dham). Dan, dari penggerak falak terbesar itu¬
lah muncul falak terbesar, yang menjadi penggerak falak kedua di
bawah falak terbesar. Jika penggerak ini berkomposisi dari apa yang
dapat dipikirkan dan berasal dari yang pertama, juga apa yang
dapat dipikirkan dan berasal dari zatnya.
Ini merupakan
prinsip-prinsip mereka yang keliru. 96 Sebab
yang berpikir (’dqil) dan
yang dipikirkan ( ma’qiU ) berada dalam
satu kesatuan di dalam akal
insani. Di samping itu juga ada akal-
akal yang terpisah (' uqul
mufdraqah).
Semua ini tidak seperti pernyataan Aristoteles, bahwa
fa'il
yang satu dan berwujud nyata, darinya bersumber satu perbuatan.
Tidak dikatakan bersamaan dengan fail pertama, kecuali sebatas
ism
musytarak (hujjahe n).
Yang demikian, bahwa fa’il pertama yang
gaib adalah fa'il
independen (muthlaq). Sedangkan, yang nyata adalah
fail dependen
{muqayyad). Dan,fa'il independen tidak melahirkan sebuah
perbuat¬
an, kecuali perbuatan yang juga independen. Juga, bahwa fa'il
inde¬
penden tidak. memilih-milih maful (objek).
***
Oleh karena itu Aristoteles menunjukkan, bahwa yang men-
jadi pelaku (fa'il) bagi hal-hal yang dapat dipikirkan akal manusia
adalah akal yang terbebaskan dari materi. Atau keberadaannya
yang
dapat memikirkan segala sesuatu.
Dia juga menunjukkan adanya,
al-'aql al-munfa'il (akal yang
berkeinginan), yang bukan merupakan
makhluk dan tidak rusak,
dari sisi ia dapat memikirkan segala sesuatu.
***
Dan sebagai jawaban dari ini menurut mazhab
al-hakim (orang
bijak, filosof) adalah, bahwa sesuatu yang eksistensinya
tidak benar,
kecuali dengan adanya keterikatan antara sebagian yang satu
dengan lainnya. Sebagaimana keterikatan, antara materi dengan
bentuk, dan keterikatan bagian-bagian alam yang sederhana. Se-
sungguhnya wujud bagian-bagian tersebut mengikuti keterikat-
annya.
Jika demikian, maka yang memberikan ikatan adalah
yang
memberikan eksistensi (wujud).
Dan, apabila setiap yang
terikat bermakna satu, sedangkan
satu yang terikat hanyalah lazim
berasal dari satu yang dia bersama-
nya berdiri dengan zatnya. Maka,
wajib di sini adanya satu yang
tunggal yang berdiri dengan zatnya. Dan
yang satu ini kemudian
terbagi kepada mawujud-mawujud lain sesuai dengan
tabiatnya.
Dari kesatuan yang diberikan kepada mawujud-mawujud tersebut
kemudian timbul eksistensi, sebuah mawujud yang menyatukan-
nya,
sedangkan ia sendiri satu. Selanjutnya, semua menanjak naik
menuju
kesatuan pertama, sebagaimana hawa panas yang ditim-
bulkan oleh sesuatu
yang panas menanjak naik menuju sumber panas
pertama, yaitu api, dan
bersama api tersebut ia menanjak naik.
***
Dengan ini
Aristoteles menyatukan antara al-ivujud al-mahsus
(eksistensi indrawi)
dengan wujud al-wujud al-ma'qul (eksistensi
rasional). Dan dia berkata
bahwa alam itu satu, dan bersumber
dari yang satu. Dan yang satu
tersebut merupakan sebab kesatuan
dari satu sisi, juga menjadi sebab
pluralitas dari sisi yang lain.
Pemyataan tersebut sulit bisa
dipahami oleh mereka yang
datang sesudahnya, karena memang sebelum
Aristoteles tidak ada
yang menyatakan demikian.
Jika
demikian maka jelas di sini, bahwa mawujud yang satu
darinya mengalir
satu kekuatan, yang dengan kekuatan tersebut
semua mawujud-mawujud
menjadi eksis dan pluralis. Jadi, plurali¬
tas—atau apa saja namanya,
terserah Anda—wajib berasal dari yang
satu. Inilah maksud pernyataannya,
bahwa itu berbeda dengan apa
yang diasumsikan orang yang mengatakan
bahwa tidak ada yang
berasal dari yang satu kecuali satu.
Coba
perhatikan kesalahan ini. Banyakkah yang terjadi pada
al-hukamS' (para
filosof)? Kalian harus meneliti pemyataan-pernyata-
an mereka ini.
Apakah itu bukti-bukti? Atau bukan?
Maksudnya dalam
kitab-kitab al-qudama' (filosof terdahulu),
bukan dalam kitab Ibn Sina
atau selain dia, yang telah memutar-
balikkan mazhab kaum seputar ilmu
ketuhanan, sehingga lebih
bersifat dhanni (estimatif). 97
[84]. Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Apabila
dikatakan, kesulitan ini pasti dapat teratasi apabila
mazhab kita dapat
dimengerti. Semua mawujud dapat diklasifikasi
menjadi; (a) yang berada
dalam substratum, seperti aksiden-aksiden
( a'rddl ) dan bentuk-bentuk
(shuar), dan (b) yang tidak berada dalam
substratum.
Adapun
yang terakhir dapat dibagi menjadi; (1) yang menjadi
substrata bagi
lainnya, seperti jisim-jisim, dan (2) yang bukan men¬
jadi substratum
bagi lainnya, seperti mawujud-mawujud yang me¬
rupakan
substansi-substansi yang berdiri sendiri.
Substansi-substansi
tersebut dapat dibagf ke dalam; (a) yang
mempengaruhi jisim, yang kita
sebut sebagai nafs (jiwa). Dan, (b) yang
tidak mempengaruhi jisim,
tetapi mempengaruhi jiwa, yang kita
sebut dengan akal murni ('aql
mujarrad).
Adapun mawujud yang menempati substratum, seperti aksi-
den-aksiden, tergolong temporal (hadits). Ia memiliki sebab-sebab
temporal yang berakhir pada prinsip ( mabda '; awal mula); tempo¬
ral di satu sisi, tetapi eternal di sisi yang lain, yaitu gerak yang
ber-
putar (harakah dawriyyah). Kita tidak bermaksud membicarakannya,
namun yang hendak kita bicarakan adalah yang menyangkut kai-
dah-kaidah dasar (i ushul ) yang berdiri sendiri, bukan dalam sub¬
stratum, yang terbagi menjadi tiga macam:
_ Pertama, jisim.
Ini adalah tingkat terbawah.
m Kedua, akal murni, yang sama sekali tidak
berhubungan
dengan jisim-jisim, baik hubungan kausalitas yang efisien,
maupun hubungan yang terpatri pada jisim. Yang demikian,
membuat
akal murni berada pada tingkat teratas.
m Ketiga, jiwa. Jiwa berada pada
tingkatan menengah, sebab ia
berhubungan dengan jisim melalui salah satu
bentuk hubungan
yang dapat mempengaruhi dan mengaktifkan jisim tersebut.
Ia menerima pengaruh dari akal dan menanamkan pengaruh
tersebut di
dalam jisim.
Jisim itu berjumlah sepuluh, yaitu berupa sembilan
langit,
dan yang kesepuluh merupakan bahan lembah falak bulan.
Kesembilan langit itu adalah makhluk-makhluk yang hidup
(al-hayazvanat), yang memiliki benda dan jiwa, juga tata wujud se-
bagaimana akan kita jelaskan.
Yaitu bahwa eksistensi prinsip
pertama mengalami emanasi
dan menimbulkan akal pertama. Ia merupakan
mawujud yang ber¬
diri sendiri, bukan dengan jisim, juga bukan terpatri
di dalam jisim.
la mengetahui dirinya dan mengetahui prinsip pertamanya.
Kita
menyebutnya 'akal pertama', akan tetapi boleh saja orang lain me-
nyebutnya 'malaikat' atau 'akal' atau apa saja sesuai selera masing-
masing.
Dari wujud akal ini muncul tiga hal berikut; (a)
akal yang lain,
(b) jiwa falak yang paling tinggi, yaitu langit
kesembilan, dan (c)
benda falak yang paling tinggi.
Selanjutnya, dari akal kedua muncul; akal ketiga, jiwa falak
bintang, dan benda falak bintang.
Selanjutnya, dari akal
ketiga muncul; akal keempat, jiwa falak
bintang, dan benda falak
bintang.
Selanjutnya, dari akal keempat muncul; akal kelima, dan
jiwa
falak Saturnus, juga benda falak Saturnus.
Begitu
seterusnva hingga berakhir pada akal yang darinya
muncul akal dan jiwa
falak bulan, juga bendanya.
Akal terakhir inilah yang kemudian
dikenal dengan akal aktif
(al- 'aql al-fa'nl). Darinyalah muncul bahan
falak bulan, yaitu materi
yang dapat menerima keberadaan dan kerusakan.
Selanjutnya, materi bercampur baur karena gerak beberapa
falak dan bintang dalam kombinasi yang berbeda-beda, sehingga
menimbulkan beberapa mineral, tumbuhan dan binatang.
Dari setiap akal tidak harus muncul akal lain yang
berlangsung
hierarkis tanpa batas. Sebab, akal-akal tersebut
memiliki spesifikasi
sendiri-sendiri, sehingga cocok bagi
yang satu, tetapi belum tentu
cocok bagi yang lain.
Sekeluarnya dari itu, maka kemudian akal terbagi menjadi
sepuluh macam, dan falak terbagi menjadi sembilan. Sehingga,
dengan demikian totalitas prinsip-prinsip ( mabadi') berjumlah
sembilan belas.
Dari pemyataan di atas dapat
disimpulkan, bahwa di bawah
setiap akal pertama terdapat tiga hal, yaitu
akal, jiwa falak, dan benda¬
nya. Dengan demikian, maka harus juga
terjadi trilogisme dalam
prinsip-prinsipnya.
Pluralitas
tidak tergambarkan pada akibat pertama, kecuali
dari satu sisi, yaitu
memikirkan prinsipnya dan memikirkan dirinya.
Dari sudut pandang zatnya
ia tergolong mumkin al-iuujud (mung-
kin ada). Sebab, keniscayaan
wujudnya dengan selainnya, bukan
dengan dirinya sendiri.
Inilah tiga makna yang berbeda-beda. Maka, yang termulia
di
antara ketiga akibat tersebut harus dinisbatkan kepada yang ter¬
mulia
di antara makna-makna tersebut. Oleh karena itu darinya mun-
cul akal,
sebab ia dapat memikirkan prinsipnya. Darinya muncul jiwa
falak, karena
ia dapat memikirkan dirinya sendiri. Dan, darinya pula
muncul benda
falak, karena ia merupakan wujud yang mungkin
(mumkin nl-wujud) dengan
zatnya.
***
Tinggallah dikatakan, dari mana trilogisme
dapat dihasilkan
dalam akibat pertama, bukankah prinsipnya hanya safu?
Maka kita akan menjawab, tidak ada yang bersumber dari
prinsip pertama kecuali satu, yaitu zat akal yang dapat memikirkan
dirinya sendiri. Kini, pengetahuannya akan prinsipnya terbukti me¬
rupakan keniscayaan. Meskipun, keniscayaan tersebut tidak berasal
dari prinsip itu. Dengan menjadi wujud yang mungkin dengan sen-
dirinya, akal pertama menggantungkan sifat mungkinnya pada diri¬
nya sendiri, bukan pada prinsip yang pertama.
Kita tidak
mengelak jika dikatakan hanya satu yang ber¬
sumber dari yang satu.
Akibat yang pertama masih tetap dapat mem-
peroleh—tidak dari prinsip
yang pertama—beberapa hal penting
yang mengeskspresikan adanya hubungan
atau tidak adanya, dan
yang menyebabkan diperolehnya pluralitas. Dengan
demikian, sebab
pertama menjadi prinsip bagi eksistensi pluralitas.
Dari sini juga diperoleh kemungkinan bertemunya yang ter-
susun (murakkab) dengan yang sederhana ( basith ), sebab keduanya
memang harus bertemu, dan tidak mungkin tidak bertemu. Inilah
yang
musti diambil sebagai keputusan hukum. Dan, pemyataan ini
pulalah yang
musti diperlukan untuk memahami mazhab mereka.
***
[84]. Saya katakan:
Semua itu kebohongan yang
dilemparkan Ibn Sina, Abu Nashr
dan lain sebagainya kepada para filosof.
98
Adapun mazhab al-qawm al-qadim (kaum terdahulu) menyata-
kan, bahwa di sini ada banyak prinsip ( mabadi '), yaitu benda-benda
langit ( al-ajrdm al-samaxoiyyah).
Dan prinsip-prinsip benda
langit adalah beberapa mawujud
yang berbeda dengan materi. Dialah yang
menggerakkan benda-
benda langit. Dan, benda-Denda langit tersebut
bergerak kepadanya
berdasarkan beberapa alasan:
■ Sebagai
bentuk loyalitas kepadanya.
m Sebagai wujud kecintaan kepadanya.
m Sebagai bentuk ketaatan akan perintahnya untuk bergerak.
m
Sebagai implementasi pemahamannya, bahwa dia diciptakan
hanya untuk
bergerak.
Ketika prinsip-prinsip yang menggerakkan
benda-benda
langit itu berbeda dengan materi dapat diterima, dan ia
tidak ter-
golong jisim, maka tidak tersisa satu argumen pun, kecuali
peng-
gerak itu menyuruh untuk bergerak.
Oleh karena itu,
maka menurut mereka, benda-benda langit
itu wajib merupakan makhluk
hidup yang dapat berbicara (hayyah
nathiqah); yang dapat memikirkan
zat-zatnya. Juga dapat memikir-
kan prinsip-prinsip yang telah
menggerakkannya sesuai perintah
untuk bergerak.
Ketika
ditetapkan, bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu
dengan objek
pengetahuan kecuali, bahwa objek pengetahuan ter¬
sebut berada dalam
materi. Sedangkan ilmu berada bukan dalam
materi—yang demikian berada
dalam pembahasan kitab An-Nafs.
Apabila ada mawujud-mawujud yang
keberadaannya, tidak
dalam materi. pasti substansinya berupa ilmu, atau
akal, atau apa
saja namanya terserah Anda.
Dengan demikian
benar apa yang mereka katakan, bahwa
prinsip-prinsip ini berbeda dengan
materi, berdasarkan ifadah
(pemberian faedah; fungsi) yang telah
diberikannya kepada benda-
benda langit untuk senantiasa bergerak abadi,
tanpa merasakan
letih dan berkurang kekuatannya.
Dan setiap
sesuatu yang memberikan faedah untuk bergerak
abadi semacam kualifikasi
ini, maka yang demikian itu bukanlah
jisim, atau kekuatan yang tersimpan
di dalam jisim.
Dan bahwa jisim samawi hanya akan menjadi kekal,
karena
ia berbeda-beda.
Benar pula apa yang mereka
katakan, bahwa eksistensi prin-
sip-prinsip yang berbeda ini terikat
kuat dengan prinsip pertama
( mabda' annual). Jika tidak demikian
adanya, pastilah tidak akan ter-
cipta keserasian antar mawujud.
Pernyataan mereka yang seperti itu sudah sangat jelas. Maka
barangsiapa menghendaki pengetahuan yang hacjcj, carilah tahu
pernyataan-pernyataan tersebut dengan sebenar-benarnya.
Semua falak juga tampak menimbulkan gerak sehari-hari,
padahal ia juga bergerak dengan gerakan-gerakan spesifik. Jadi
benar apa yang mereka kemukakan, bahwa yang memerintahkan
{amir)
gerak tersebut adalah prinsip pertama, yaitu Allah SWT.
Dialah yang
menyuruh prinsip-prinsip untuk menyuruh seluruh
falak untuk melakukan
pelbagai macam gerak. Dan bahwa dengan
perintah inilah, maka bumi dan
langit dapat berdiri tegak,
sebagaimana dengan perintah penguasa pertama
sebuah kota.
Maka, perintah-perintah tersebut dapat ditegakkan oleh
seluruh
lapisan masyarakat di seluruh wilayah teritorial sang penguasa
yang bersangkutan. Allah SWT. berfirman, Wfl awha fi kulli
samam
amra-ha (Dan Dia telah mewahyukan perintah bagi setiap
langit)."
Pembebanan (f aklif) dan loyalitas ( thaah ) ini adalah asal pem-
bebanan dan loyalitas yang diwajibkan kepada seluruh manusia,
karena manusia merupakan binatang yang dapat berbicara (hayazuan
rtathiq).
***
Adapun apa yang dipaparkan oleh
Ibn Sina, bahwa prinsip-
prinsip bersumber dari satu sama lain, sungguh
yang demikian itu
adalah pendapat yang tidak dikenal."
Akan
tetapi menurut mereka, prinsip-prinsip tersebut me-
miliki maqam-maqam
yang jelas di sisi prinsip pertama, yang wujud
prinsip-prinsip itu tidak
akan mencapai kesempurnaan. Kecuali
dengan maqam tersebut, sebagaimana
disebutkan dalam firman Al¬
lah SWT., "Wamd minna ilia la-hu maqam
ma'lum (Tidak ada dari
Kami kecuali baginya maqam yang diketahui)."
Dan bahwa keterikatan hubungan antar prinsip adalah yang
meniscayakan keberadaannya sebagai akibat mutualistik, yang
semuanya berasal dari prinsip pertama.
Dan bahwa tidak dapat
dimengerti dari pelaku dan objek
perbuatan (fd'il iva maf ul), maupun
pencipta dan yang diciptakan
(khdliq wa makhluq) di dalam wujud
tersebut, kecuali dalam bingkai
makna seperti ini.
Dan apa
yang kita katakan, tentang keterikatan eksistensi se-
tiap wujud dengan
yang satu. Yang demikian berbeda dengan apa
yang dapat dimengerti di
sini dari pelaku dan objek perbuatan,
maupun pencipta dan yang
diciptakan.
Apabila dibavangkan adanya yang memerintah (amir),
yang
memiliki banyak yang diperintah (ma'mur). Sedangkan, masing-masing
ma'mur tersebut memiliki ma'mur yang sama-sama banyak, dan tidak
ada eksistensi bagi si ma'mur. Kecuali, sebagai penerima perintah dan
mentaati perintah tersebut, dan tidak ada eksistensi bagi ma'mur
berikutnya kecuali dengan ma'mur sebelumnya, maka wajiblah sang
amir pertama yang memberikan semua eksistensi. Maksudnya, Dia-
lah
yang telah membuat seluruhnya menjadi mawujud.
Jika ma'mur
memiliki wujud, maka wujud tersebut tidak lain
berasal dari sang amir
pertama.
***
Menurut para filosof, makna tersebut
dalam bahasa syara'
disebut dengan ciptaan ( khalq ), penemuan ( ikhtira
'), dan pembeban-
an ( taklif). ]W
***
Inilah
instruksi (pengajaran) yang paling mungkin untuk dapat
mengerti mazhab
mereka. Tanpa meraih itu semua, pasti setiap
orang yang mendengar
penuturan rinci mazhab mereka seperti
dilakukan oleh Abu Hamid, akan
mencaci maki dan menjelek-
jelekkannya. 101
Mereka
mengira semua ini sudah jelas termaktub di dalam
kitab kalian. Maka,
barangsiapa memungkinkan untuk melihat-lihat
kitab mereka sesuai
syarat-syarat 102 yang mereka kemukakan. Dan
ia pasti akan menemukan
kebenaran apa yang diutarakan oleh mereka,
atau sebaliknya. Tidak ada
yang dapat dimengerti dari mazhab Aris-
toteles maupun Plato selain ini.
Itulah puncak pengetahuan akal
manusia. 103
** £
Seseorang dapat mengerti makna ini dari beberapa pernyataan
masyhur dan rasional yang mereka terima. Hal ini tidak jauh ber-
beda dengan taklim. Dan, yang demikian itu sungguh menyenang-
kan
bagi semua.
Salah satu proposisi (mukadimah) yang menampakkan
makna
ini adalah, bahwa jika manusia berpikir, pasti ia akan menemukan
bahwa sesuatu yang disebut hayyah 'dlimnh (makhluk hidup yang
berilmu pengetahuan) adalah sesuatu yang bergerak dari zatnya
dengan gerakan-gerakan terbatas. Seperti beberapa tujuan ( aghradl)
dan perbuatan terbatas, yang darinya beranak pinak menjadi pel-
bagai perbuatan yang juga terbatas.
Oleh karena itu, maka
para mutakallimun berkata, bahwa se¬
tiap.perbuatan bersumber dari
sesuatu yang hayy 'dlim (hidup dan
berpengetahuan).
Jadi,
kaidah ini benar, yaitu bahwa setiap yang bergerak
dengan
gerakan-gerakan terbatas, wajib ia melahirkan perbuatan-
perbuatan yang
terbatas dan teratur. Perbuatan yang terbatas dan
teratur itu yang
disebut binatang yang berpengetahuan (hayawan
'dlim).
Dan,
ditambahkan kepadanya apa yang dapat disaksikan
Qengan indra, yaitu
bahwa langit-langit bergerak dari zatnya
dengan gerakan-gerakan yang
terbatas.
Dari yang demikian, kemudian muncul kaidah ketiga, yaitu
bahwa langit-langit adalah jisim-jisim yang hidup dan dapat menge-
tahui {hayynh mudrikah).
Adapun perbuatannya yang melazimkan
lahirnya perbuatan-
perbuatan terbatas, menjadi qiwnm (dasar) dan upaya
pelestarian
pelbagai binatang, tumbuhan dan jamnd (benda padat).
Hal seperti itu sebenarnya bisa diketahui dengan sendirinya
apabila kita berpikir. Dan jika tidak karena dekatdan jauhnya mata-
hari dari falaknya yang condong, niscaya di sini tidak akan pernah
ada kaidah-kaidah yang empat itu. Dan jika tidak ada kaidah-kaidah
yang empat tersebut, maka dapat dipastikan tidak akan pernah ada
tumbuh-tumbuhan dan binatang. Bahkan, alam semesta tidak akan
berjalan teratur. Beruntunglah keberadaan unsur-unsur yang ada
padanya memiliki kesamaan satu sama lain, sehingga dengan
demikian
wujud dapat terjaga.
Contohnya, apabila matahari menjauh ke arah
selatan, maka
angin bertiup ke arah utara. Di situ terjadi hujan, sebab
di sanalah
unsur-unsur air semakin membanyak. Sedangkan yang terjadi di
bagian selatan, justru unsur-unsur udara yang semakin membanyak.
Di musim kemarau yang terjadi justru sebaliknya. Maksudnya,
apabila matahari mendekati zenit.
Perbuatan-perbuatan yang
ditimbulkan sebagai akibat dari
jauh dan dekatnya matahari, juga terjadi
pada bulan dan bintang-
bintang. Sesungguhnya masing-masing dari benda
langit tersebut
memiliki falak yang condong (falak ma'il). Dialah yang
melahirkan
adanya kaidah-kaidah yang empat dalam gerak rotasinya.
Lebih dari itu semua, yang mengadakan makhluk-makhluk
dan
melestarikannya adalah gerak terbesar sehari-hari (al-hnrakat
al-'udhma
al-yawmiyyah), yang bekerja di malam dan siang hari. Al-
qur'an telah
mengingatkan manusia, untuk memperhatikan penun-
dukan ( taskhir) semua
langit baginya, seperti yang termaktub dalam
firman-Nya, "Sakhkhara
la-kum nl-layla wa an-nahar (Dialah yang me-
nundukkan bagi kalian malam
dan siang)."
Ketika seseorang berpikir, bahwa perbuatan-perbuatan
dan
pengaturan yang lazim dan sempuma ini berasal dari gerakan bintang-
bintang. Dan melihat bintang-bintang yang menggerakkan gerakan
ini
memiliki bentuk-bentuk terbatas, dan dari sisi yang terbatas,
menuju
kepada perbuatan-perbuatan terbatas dan gerak-gerak yang
berlawanan. Ia
pasti akan mengetahui, bahwa perbuatan-perbuatan
yang terbatas ini hanya
berasal dari mawujud yang hidup dan ber-
pengetahuan (mawjiidah nmdriknh
hayyah), yang memiliki ikhtiydr (hak
pilih) dan irddah (kehendak).
Lebih mengagumkan lagi, jika ia dapat melihat bahwa jisim-
jisim yang teramat kecil, hina, jelek, dan memiliki jisim yang gelap,
yang berada di sini. Namun, kehidupan tidak mengalami anihilisasi
secara keseluruhan dengan bentuknya yang kecil, kadarnya jelek,
umumya pendek, dan jasadnya gelap.
Kebaikan Ilahi telah
mengalirkan kehidupan kepada semua
itu, dan pengetahuan yang dengannya
dapat mengatur zatnya, serta
melestarikan wujudnya.
Ia juga
pasti akan mengetahui, bahwa jisim-jisim samawi lebih
bebas untuk
menjadi hnyyah mudrikah (yang hidup dan berpenge-
tahuan) di antara
jisim-jisim yang ada. Oleh karena itu, bendanya
besar, wujudnya mulia,
dan cahayanya banyak, sebagaimana firman
Allah SWT., “Lakhalq as samdwdt
wa al-'ardl akbar min khalq an-nas wa
Idkin aktsar an-nas Id ya'lamun
(Sesungguhnya penciptaan langit dan
bumi itu lebih besar dari penciptaan
manusia. Akan tetapi banyak
manusia yang tidak mengetahuinya)."
Khususnya, jika ia berpikir pengaturannya bagi jisim-jisim
hidup yang ada di sini. Ia pasti tahu bahwasanya ia hidup. Dan, se-
suatu yang hidup tidak diatur, kecuali oleh yang memiliki kehidupan
lebih sempuma darinya.
Jika manusia berpikir akan
jisim-jisim yang besar dan hidup
juga berbicara, maka yang terpilih (
mukhtar ), meliputi kita ini, dan
melihat kepada kaidah ketiga. Yaitu,
bahwa perhatiannya dengan
apa yang ada di sini tidak dibutuhkan olehnya
dalam wujudnya,
barulah ia tahu bahwa ia diperintahkan ( ma'mur ) untuk
bergerak,
dan ditundukkan ( musakhkharah ) bagi selainnya dari binatang,
tum-
buh-tumbuhan dan jatnad (benda padat).
Dan bahwa yang
memerintahkannya adalah selain dia, yang
pasti selain jisim. Sebab jika
ia merupakan jisim, ia pasti menjadi
salah satu bagiannya.
Masing-masing ditundukkan bagi mawujud yang lain, dan
pengabdi ( khddim ) bagi yang tidak membutuhkan pengabdiannya
di
dalam wujudnya.
Dan bahwa jika tidak karena sang amir (pemberi
perintah), ia
pasti tidak akan memperhatikan apa yang ada di sini
selamanya
dan berkelanjutan. Sebab ia berkehendak, dan tidak ada manfaat
baginya, khususnya di dalam perbuatan ini.
Jadi, ia bergerak
menurut perintah dan pembebanan benda
(jarm) yang mengarah kepadanya,
untuk melestarikan apa yang
ada di sini dan mendirikan eksistensinya.
Sang Amir adalah Allah SWT., inilah maksud dari firman-
Nya,
"Atay-na thd'i'in (Kita datangi mereka yang taat)."
***
Contoh dari persoalan ini dalam pembuktian, jika manusia
melihat sekelompok besar orang-orang, sebagian berbahaya dan
sebagian lain memiliki keutamaan, sedang sibuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan terbatas. Padahal perbuatan-perbuatan ter-
sebut tidak signifikan bagi eksistensi mereka. Dan mereka tidak mem¬
butuhkan perbuatan-perbuatan tersebut, barulah ia meyakini dengan
sebenar-benamya bahwa mereka temyata hanya dibebani ( mukallaf ),
dan diperintah ( ma'mur ) untuk melakukan perbuatan-perbuatan itu.
Dan mereka mempunyai sang amir (pemberi perintah) yang
mewajibkan mereka akan pengabdian yang abadi untuk memper¬
hatikan
selain mereka secara berkelanjutan.
Sang Amir tersebut tentulah
lebih berkuasa dari mereka. Ia
juga tentu memiliki martabat yang lebih
tinggi dari mereka. Sedang-
kan, mereka tidak berbeda dengan hamba yang
tunduk dan patuh
kepada-Nya.
Pengertian semacam ini seperti
diisyaratkan Alkitab yang ber-
bunyi; "Wrt kadzdlika nun Ibrahim malakut
as-samdwdt wa al-ardl (Begitu
pula Kami perlihatkan kepada Ibrahim
singgasana langit dan bumi)."
Dan jika seseorang berpikir
persoalan lain, yaitu bahwa
masing-masing bintang yang tujuh memiliki
gerakan-gerakan yang
tunduk pada gerak universal, dan jisim-jisim yang
mengabdi kepada
jisim universal, seakan-akan semua itu pembantu-pembantu
yang
bersatu. Ia pasti juga tahu dengan sebenar-benarnya, bahwa jamaah
setiap gugusan bintang memiliki amir yang khusus bagi mereka. Juga
memiliki pengawas ( raqib ) dari sang amir pertama, sama seperti ter-
lihat pada pengaturan pasukan militer, yang terbagi menjadi bebe-
rapa pleton. Dan masing-masing pleton dikomandoi oleh satu ke-
tua
(amir). Ketua-ketua dalam setiap pleton itulah yang disebut
komandan,
yang masing-masing komandan merujuk kepada satu
amir di atasnya, yaitu
panglima militer.
Begitu pula yang terjadi pada gerakan
benda-benda langit,
yang menurut para al-qudama , terdiri dari lebih
empat puluh gerak,
dan semuanya merujuk kepada tujuh amir (pemberi
perintah). Dan,
totalitas gerak yang tujuh atau delapan —al-qudama'
sendiri masih
berpolemik—semua itu merujuk kepada sang Amir Pertama,
yaitu
Allah SWT..
Pengetahuan tersebut akan diperoleh
seseorang melalui ar-
gumen semacam ini. Baik ia mengetahui bagaimana
prinsip pencip-
taan jisim-jisim ini; dan bagaimana keterikatan hubungan
amir-amir
yang ada dengan Sang Amir Pertama; maupun tidak mengetahui.
Tidak diragukan, jika saja ia menjadi mawujud dengan dzat-
nya—maksudnya menjadi eternal (qadhn) tanpa adanya sebab—
niscaya
boleh baginya untuk tidak loyal kepada sang amir. Begitu
pula keadaan
amir-amir terhadap Sang Amir Pertama. Jika tidak
diperbolehkan demikian,
maka di sana pasti ada penisbatan antara
amir-amir dengan Amir Pertama.
Yang mewajibkan semuanya untuk
mendengarkan dan patuh kepada-Nya.
Sekiranya tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa esensi
wujud amir-amir tersebut tidak berbeda menjadi milk- Nva, tetapi
bukan aksiden-aksidennya, lebih-lebih jiwa wujudnya. Hal itu se-
macam hubungan patron-klien (tuan dan hamba/majikan dan bawah-
an). Sesungguhnya, pada yang demikian itu, tidak ada ubudiyah tam-
bahan atas zat. X'amun, zat-zat itulah yang melakukan ubudiyah.
Inilah makna firman Allah SWT., "In knllu man ft as-samthvdt
wa al- ardl ilia ait ar-rahman 'abda (Semua yang ada di langit dan di
bumi datang kepada yang Mahapengasih sebagai hamba)."
Milk
(singgasana) ini adalah singgasana langit dan bumi yang
diperlihatkan
oleh Allah kepada Ibrahim as. di dalam firman-Nya,
"Wa kadzalikn nfiri
Ibralnym mnlakut as-samnwdt wa al-ardl" (Begitu
pula kami perlihatkan
kepada Ibrahim singgasana langit dan bumi)."
Dan Anda tahu bahwa
jika persoalannya menjadi begini, maka
wajib tidak terjadi penciptaan
jisim-jisim ini—menurut keberadaan
jisim seperti vang ada di sini—juga
prinsip-prinsip keberadaannya.
Dan bahwa akal manusia tidak mampu
menangkap penge-
tahuan akan kayfiyyah perbuatan tersebut, meskipun ia
mengakui
sebagai wujud.
Barangsiapa hendak melakukan
asimilasi {tasybih) terhadap
dua wujud satu sama lain, dan bahwa si
pelaku (fd'il ) sama seperti
pelaku yang ada di sini, niscaya ia seorang
yang sangat lalai, sangat
tergelincir, dan terlalu lemah.
***
Inilah puncak pemahaman terhadap mazhab al-qudama‘
yang
berkaitan dengan: (i) benda-benda langit ( al-ajram
as-samazoiyyah);
dan (ii) penetapan (afirmasi) 105 Sang Pencipta
baginya; dan (iii) pene-
tapan bahwa ia bukan jisim; dan (iv) penetapan
mawujud-mawujud
lain yang bukan jisim, salah satunya adalah nafs (jiwa);
dan (v) bahwa
penetapan wujud-Nya sebagai sesuatu yang temporal,
sebagaimana
temporalitas jisim-jisim yang kita saksikan—seperti
diinginkan para
teolog kalam— 106 sungguh teramat sulit bisa diterima;
dan juga (vi)
proposisi-proposisi ( muqaddimah ) yang dipakai untuk itu
tidak
membawa mereka kepada apa yang hendak mereka jelaskan.
Kita akan menjelaskan maksud pemyataan-pemyataan yang
kita
kemukakan di lain waktu dan kesempatan, ketika kita mem-
bicarakan
metode afirmatif terhadap wujud (eksistensi) Allah SWT.
Jika hal
ini sudah dapat ditetapkan, selanjutnya kita merujuk
satu persatu kepada
apa yang diceritakan 107 oleh Abu Hamid di
dalam menvanggah
pemyataan-pemyataan yang dikemukakan oleh
para filosof. Kita juga akan
menjelaskan tingkat keotentikkannya.
Dan, itulah yang menjadi tujuan
utama dari penerbitan kitab ini.
[85]. Abu Hamid berkata
menjawab para filosof:
Kita katakan, apa yang kalian paparkan
sungguh sangat
despotik Tegasnya, pikiran kalian adalah kegelapan yang
timbul
di atas kegelapan. Jika, seseorang menceritakan sesuatu seperti
mimpi yang dilihatnya, niscaya yang demikian menunjukkan buruk
perangainya. Atau, jika persoalan semacam itu disampaikan dalam
masalah-masalah fiqhiyyah yang tema universal pembahasannya
bersifat estimatif (takhmin). Pantaslah kiranya semua itu disebut
kebohongan, yang tidak sampai pada takaran hipotesis.
[85].
Saya katakan:
Tidak terlalu jauh untuk memaparkan hal semacam ini
kepada
orang bodoh dan berilmu, juga kalangan khusus dan umum. Sebagai-
mana hal tersebut juga disampaikan kepada mereka dalam hal
mashnuat (ciptaan). Sesungguhnya, apabila para pencipta
mengeluarkan sifat-sifat yang banyak terhadap ciptaan-ciptaannya
secara umum, dan menyatakan mengandung perbuatan spektakuler,
niscaya masyarakat umum akan mencemoohnya. Orang-orang akan
mencap
mereka sebagai dungu. Sesungguhnya merekalah yang se-
benar-benamya
turun pangkat dan derajatnya. Dari seorang berakal
menjadi dungu, dan
dari seorang yang alim menjadi pandir.
Perkataan-perkataan semacam
itu tidak sepantasnya keluar
dari lisan para ulama dan kaum pemikir.
Ketika ia menyebut hal-
hal seperti ini, semustinya 108 ia teringat akan
pendapat-pendapat yang
men ggerakkan mereka kepada sesuatu. Sehingga
dengan demikian,
para pendengar mampu untuk membandingkan antara
pemyataan
mereka dengan pemyataan yang dimaksudkan sebagai sanggahan
terhadap mereka.
[86]. Abu Hamid berkata:
Peluang untuk menyanggah pendapat mereka sebenarnya
cukup
banyak. Namun, kita hanya ingin menyampaikan beberapa
argumen yang
membuktikan, bahwa teori mereka tidak dapat di-
terima.
Pertama
Kita akan katakan, bahwa kalian telah mengakui
salah satu
makna pluralitas dalam akibat pertama adalah eksistensi
akibat ter-
sebut bersifat mungkin ( mumkin al-wujud).
Selanjutnya kita hendak bertanya, apakah keberadaannya
sebagai yang mumkin al-wujud identik dengan eksistensinya? Atau,
lain darinya?
Apabila identik, tentu pluralitas tidak akan
tumbuh ber-
kembang padanya. Tetapi bila berbeda darinya, lantas mengapa
kalian katakan bahwa pluralitas itu ada pada prinsip pertama? Dia
adalah sebuah mawujud. Dan, bersamaan dengan itu Dia merupa-
kan
wdjib al-wujud (yang wajib ada). Kewajiban bukanlah wujud itu
sendiri.
Oleh karena itu, berdasarkan konsep pluralitas, maka dari
prinsip
pertama dibolehkan munculnya hal-hal yang berbeda-beda.
Jika
dikatakan, bahwa xudjib al-wujud (yang wajib ada) tidak
lain bermakna
wujud itu sendiri. Maka, tidak ada makna bagi mum¬
kin al-wujud (yang
mungkin ada) kecuali wujud itu sendiri juga.
Apabila kalian
mengatakan, bahwa keberadaannya sebagai
mawujud mungkin dapat diketahui.
Tetapi bukan kemungkinan itu
sendiri, sebab kemungkinan tersebut berbeda
dengan wujud. Maka
begitu pula yang semustinya terjadi pada wdjib
al-wujud; yaitu bahwa
wujudnya dapat diketahui, tetapi bukan
kewajibannya, kecuali se-
telah ada dalil lain, maka ia menjadi lain.
Ringkasnya, wujud itu sesuatu yang global, yang terbagi men-
jadi: (i) wajib; dan (ii) mungkin. Apabila deferensiasisi salah satu
dari kedua pembagian tersebut merupakan tambahan bagi yang
umum,
maka demikian pula deferensiasisi lainnya. Kedua hal ini tidak
dapat
dibedakan.
Jika, dikatakan bahwa kemungkinan wujud berasal dari
zat-
nya, sedangkan eksistensinya berasal dari selain zatnya, lantas
bagai-
mana mungkin sesuatu yang berasal dari zatnya menyatu dengan
sesuatu lain yang berasal dari selain zatnya?
Kita akan
menjawab, dan bagaimana kewajiban wujud menjadi
identik dengan wujud itu
sendiri? Mungkin, kewajiban pada wujud
bisa dinafikan, sehingga yang
tertinggal hanyalah wujud an sich.
Satu yang benar dari segala sisi,
adalah yang tidak memuat penafian
dan afirmasi. Sebab tidak mungkin akan
dikatakan mawujud apabila
tidak merupakan mawujud. Juga tidak mungkin
dikatakan sebagai
wajib al-mawjud, jika memang bukan tergolong wajib
al-mawjud. Tetapi,
mungkin saja dikatakan sebagai mawujud, meski bukan
sebagai
wajib al-mawjud. Sebagaimana juga mungkin dikatakan mawujud,
meski bukan mumkin al-mawjud.
Kesatuan hanyalah diketahui
dengan ini. Maka, tidak benar
anggapan pada prinsip pertama. Jika apa
yang mereka sebutkan,
bahwa keberadaan imkdn al-wujud bukanlah wujud
yang mungkin,
dapat dibenarkan.
W'i'
[86].
Saya katakan:
Adapun pernyataannya, bahwa pendapat kita tentang
sesuatu
yang merupakan mumkin al-wujud (wujud yang mungkin) tidak ter-
lepas dari; apakah ia identik dengan eksistensinya sendiri, atau
selain eksistensi dirinya sendiri—maksudnya merupakan makna
tambahan atas wujud. Jika identik, berarti di sana tidak ada plu-
ralitas, dan tidak benar pernyataan mereka, bahwa pluralitas
terdapat dalam sesuatu yang mumkin al-wujud. Tetapi, apabila me¬
rupakan selain eksistensi dirinya, niscaya kalian meniscayakannya
pada wajib al-wujud. Dan pada wajib al-wujud- lah pluralitas tersebut
224
berada. Hal itu berbeda dengan
apa yang mereka kualifikasikan.
Pemyataan yang demikian sungguh tidak
benar.
***
la telah meninggalkan makna ketiga, yaitu
bahwa wajib al-
wujud (yang wajib ada) bukanlah makna komplementer atas
wujud
yang berada di luar jiwa ( nafs). Akan tetapi, ia merupakan
keadaan
bagi mawujud yang wajib al-wujud. Tidak merupakan tambahan atas
zatnya, dan seakan-akan ia merujuk kepada penafian sebab. Mak-
sudnya, wujudnya berasal dari yang lain.
Ia seakan-akan
mengambil apa yang diafirmasikan bagi se-
lainnya, sesuai pemyataan kita
tentang mawujud, bahwasanya ia
satu. Yang demikian menunjukkan, bahwa
makna 'kesatuan' ter-
sebut tidak dapat dipahami sebagai makna tambahan
atas zatnya,
yang berada di luar jiwa dalam sebuah wujud. Seperti apa
yang dapat
dimengerti dari pemyataan kita sebagai 'mawujud putih'. Hal
seperti
itu hanyalah dapat dipahami sebagai keadaan ketiadaan (hdlah
'adamiyah),
yaitu ketiadaan pembagian. Begitu pula wajib al-wujud, bahwa
yang
dapat dimengerti dari kewajiban wujud (wujub al-wujud) adalah ke¬
adaan ketiadaan yang dibutuhkan oleh zatnya, sehingga kewajiban
wujudnya terjadi sendiri, bukan dengan selain zatnya.
Sama
juga dengan pemyataan kita sebagai, mumkin al-wujud
dari zatnya. Yang
demikian tidak mungkin dapat dipahami sebagai
sifat komplementer atas
zat yang berada di luar jiwa, sebagaimana
dapat dipahami dari mumkin
al-haqiqi (yang benar-benar mungkin).
Yaitu, bahwa zatnya membutuhkan
ketiadaan wujudnya sebagai
yang wajib kecuali dengan adanya sebab.
Ia menunjukkan sebuah zat, yang jika sebabnya negatif, maka
ia tidak menjadi wajib al-wujud dengan zatnya, atau hilang darinya
sifat kewajiban wujud.
Ia sepertinya berkata, bahwa wajib
al-wujud dapat wajib dengan
dirinya ( wajib li nafsi hi'), juga bisa
wajib karena sebabnya ( wajib li
'illah). Adapun yang menjadi wajib
karena sebab, tidaklah menjadi
wajib dengan sendirinya.
Maka
tidak seorang pun yang meragukan, bahwa deferen-
siasi-deferensiasi ini
bukanlah deferensiasi substantif—maksudnya
bukan pembagian zat, juga
bukan tambahan atas zat—melainkan
menjadi keadaan-keadaan negatif (ahwal
salabiyat). Seperti pernyata-
an kita, bahwa sesuatu sebagai mawujud,
tidaklah menunjukkan
makna komplementer atas substansinya yang berada di
luar jiwa.
Sama juga dengan pernyataan kita tentang sesuatu yang putih.
Di sinilah Ibn Sina melakukan kesalahan. iw Dia menganggap,
bahwa yang satu merupakan makna komplementer bagi zat. Begitu
pula
wujud sesuatu dalam pernyataan kita, "Sesungguhnya sesuatu
menjadi
mawujud." Masalah ini akan dibahas kemudian.
Orang pertama yang
mendeduksi ungkapan ini adalah Ibn
Sina, yaitu dengan pemyataannya,
"Mumkin al-wujud dari zatnya,
sedangkan wajib al- wujud dari selain
zatnya." Yang demikian karena
kemungkinan adalah sifat yang terdapat
dalam sesuatu, tetapi bukan
sesuatu yang terdapat kemungkinan di
dalamnya. Maka secara harfiah,
ungkapan ini meniscayakan semua yang
terjadi—selain yang per¬
tama—terdiri dari dua komposisi. Salah satunya
terkualifikasi dengan
kemungkinan wujud ( imkdn al-wujud). Sedangkan
yang lain, ter¬
kualifikasi dengan kewajiban wujud ( wujub al-wujud).
Yang demi¬
kian itu merupakan ungkapan yang sangat lemah.
Namun, apabila ia mengerti makna dari apa yang kita kata-
kan, pasti ia tidak akan menemukan keragu-raguan seperti yang
diungkapkan oleh Abu Hamid. Yang tersisa baginya hanyalah, apa-
kah jika dari sebab pertama dapat dipahami kemungkinan wujudnya
meniscayakan ia sebagai sesuatu yang murakkab (tersusun)? Atau
tidak? Sebab, jika ia merupakan shifah idldfiyyah (sifat komplementer),
ia pasti tidak membutuhkan ketersusunan ( tarkib).
Tidak
setiap sesuatu yang dapat memikirkan keadaan yang
berubah-ubah
meniscayakan keberadaan pelbagai keadaan, sebagai
sifat tambahan bagi
zatnya, yang berada di luar jiwa. Sebab pelbagai
keadaan tersebut adalah
keadaan anihilisasi (Ml al-i'ddm), dan hal
keberhubungan (Ml al-
idldfah).
Oleh karena itu, maka para al-qudama tidak menganggap
kate-
gori keberhubungan (maqulah al-idlafah), sebagai mawujud yang ber-
ada di luar jiwa. Maksudnya, sepuluh macam kategori {al-'asyr al-
maqulat) menurut Aristoteles.
Dengan pemyataannya, Abu Hamid
meniscayakan, bahwa
setiap yang mengandung pemahaman tambahan,
benar-benar me-
rupakan makna tambahan yang berada di luar jiwa. Ini
keliru. Ini per-
nyataan sophistik. Hal semacam itu tampak jelas dalam
pernyata-
annya, ringkasnya, wujud itu sesuatu yang global, yang terbagi
menjadi; (i) wajib, dan (ii) mungkin. Apabila deferensiasi salah satu
dari kedua pembagian tersebut merupakan tambahan bagi yang
umum,
maka demikian pula deferensiasi lainnya. Kedua hal ini tidak
dapat
dibedakan.
Sesungguhnya pembagian wujud kepada yang wajib dan
mungkin, tidak seperti pembagian binatang ( hayawdn) kepada yang
berbicara dan tidak berbicara. Atau kepada yang berjalan, yang berenang,
dan yang terbang. Sebab persoalan-persoalan ini merupakan tam¬
bahan bagi genus, yang meniscayakan macam-macam komplementer.
Kebinatangan adalah makna secara hujjah. Dan, deferensiasi-
deferensiasi ini merupakan tambahan baginya.
***
Sedangkan pembagian kemungkinan wujud versi Ibn Sina,
bukanlah makna yang benar-benar berada di luar jiwa. Ungkapan
seperti itu tidak benar, seperti yang telah kita kemukakan. Hal itu
karena mawujud yang eksistensinya memiliki kausalitas, tidaklah
dapat dimengerti dari dzatnya selain ketiadaan. Maksudnya, bahwa
setiap yang menjadi mawujud dari selain zatnya, maka tidak ada
sesuatu dari zatnya itu selain ketiadaan. Kecuali, jika karakternya
merupakan karakter mumkin haqiqt (yang benar-benar mungkin).
Oleh sebab itu, maka pembagian mawujud kepada wajib al-
loujud dan mumkin al-wujud, adalah pembagian yang tidak tepat,
apabila kemungkinan tersebut tidak dimaksudkan sebagai kemung¬
kinan yang sebenar-benamya (mumkin haqiqi).
***
227
Kesimpulannya, apabila mawujud
dibagi—baik dibagi kepada
deferensiasi-deferensiasi zat (fushul
dzatiyyah), atau keadaan-ke-
adaan keberhubungan ( ahzval idlafiyyah),
atau aksiden-aksiden kom-
plementer bagi zat ( al-a'rddl az-zd'idah 'aid
adz-dzdt) —maka pem-
bagiannya kepada deferensiasi-deferensiasi zat
merupakan ke-
niscayaan. Darinyalah semustinya muneul banyak perbuatan.
Se-
dangkan pembagiannya kepada keadaan-keadaan keberhubungan
atau
aksiden-aksiden, tidak meniscayakan pluralitas perbuatan yang
beraneka
macam.
Apabila seseorang mengaku, bahwa pembagian mawujud ke¬
pada sifat-sifat-sifat keadaan (shifat haliyah) meniscayakan timbulnya
pluralitas perbuatan, maka secara otomatis pluralitas juga bersumber
dari prinsip pertama tanpa memerlukan adanya kausalitas (sebab).
Dengan demikian, Dialah yang menjadi sumber pluralitas.
Dan
apabila dikatakan, bahwa pluralitas sifat-sifat lokal tidak
meniscayakan
bersumbernya perbuatan yang beraneka macam,
maka sifat-sifat lokal yang
ada pada sebab pertama meniscayakan
munculnya perbuatan-perbuatan yang
beraneka macam.
Maka, mendudukkan sebab pertama dalam hal seperti
ini
akan lebih afdhal.
***
Pertanyaan Abu Hamid,
"Lantas, bagaimana mungkin sesuatu
yang berasal dari zatnya menyatu
dengan sesuatu yang berasal dari
selain zatnya?"
Orang ini
ternyata beranggapan, bahwa kemungkinan itu
tidak memiliki wujud,
kecuali dalam pemikiran (adzhdn). Benarkah
demikian?
Dzat
yang satu tidak menolak terjadinya negasi (nafy; pe-
nafian) atau
afirmasi ( itsbdt ; penetapan) di dalam keadaan-keada-
annya, tanpa
melazimkan pluralitas pada zat tersebut, sebagaimana
ditolak oleh Abu
Hamid.
Jika Anda dapat mengerti ini, pasti Anda dapat mengatasi
apa yang dikatakan oleh Abu Hamid dalam bab ini.
***
228
Apabila dikatakan, lazim atas
ini semua tidak terjadinya ke-
tersusunan ( tarkib ), baik dalam wajib
al-wujud bi dzati-hi (yang wajib
ada dengan zatnya), maupun wajib
al-wujud bi ghayri-hi (yang wajib
ada dengan selain zatnya).
Kita akan menjawab, bahwa akal dapat mengetahui adanya
ketersusunan pada wajib al-roujud bi ghayri-hi dari: (i) sebab, dan (ii)
akibat. Jika ia berupa jisim, pastilah padanya terjadi; (a) kesatuan
(ittihdd ) di satu sisi, dan (b) pluralitas di sisi yang lain. Yang saya
mak-
sudkan di sini adalah jisim yang bukan makhluk dan tidak rusak.
Sebab yang demikian itu, memiliki kesatuan riil ( ittihad bi al-fi'l)
dan
pluralitas potensial ( katsrah bi al-quwwaah).
Tetapi
bila tidak berbentuk jisim, maka akal tidak dapat
mengetahui adanya
pluralitas, baik yang riil maupun potensial. Me-
lainkan, yang ada
hanyalah kesatuan dari segala sisi.
Oleh karena itu, maka kaum
menyebut mawujud semacam
ini sebagai mawujud sederhana. Akan tetapi, di
dalam mawujud
ini mereka berkata, bahwa sebab yang ada di dalamnya lebih
se¬
derhana dibanding akibat yang ditimbulkan olehnya.
Oleh
karena itu, maka yang pertama—menurut mereka—
adalah paling sederhananya
mawujud. Sebab pada yang pertama
itulah, sebab dan akibat, sama sekali
tidak dapat dipahami. Sedang-
kan, pada setelah yang pertama, akal dapat
mengerti adanya ke¬
tersusunan (tarkib). Oleh karena itu, maka yang
kedua—menurut
mereka—lebih sederhana dibanding yang ketiga.
***
Beginilah semustinya mazhab kaum dipahami,
sehingga dalam
pengertian sebab dan akibat, pluralitas potensial tampak
berada
dalam akibat. Maksudnya, darinya bersumber akibat-akibat yang
plural, bukan di dalamnya, pada suatu waktu.
Jika hal ini
dapat dipahami dan diterima, tentu tidak perlu
ada perlawanan seperti
disampaikan oleh Abu Hamid.
Tetapi, apabila dari pemyataan mereka
yang dapat dimengerti
bahwa yang kedua dapat memikirkan zatnya dan
memikirkan prin-
sip (mabda')- nya. Dan apa yang dapat berpikir zatnya,
dapat memun-
229
culkan sesuatu,
sedangkan yang dapat berpikir prinsipnya dapat
memunculkan sesuatu yang
lain, sebab ia memiliki dua bentuk atau
dua wujud—sebagaimana pemahaman
Abu Hamid, tentu yang
demikian tidak benar.
Jima memang
demikian, pasti ia tersusun lebih dari satu bentuk.
Dan, bentuk tersebut
menjadi satu dalam tempat ( mnwdli ), tetapi
plural dalam batas ( hadd
), seperti keadaan dalam jiwa.
Akan tetapi hipotesis ini diperkuat
oleh asumsi mereka, bahwa
terjadi semacam mutual kebersumberan antar
masing-masing.
Mereka seakan hendak memahami persoalan ini dengan
melakukan
asimilasi terhadap pelaku-pelaku indrawi (ffi ialcih
vnahsusah).
Sebenarnya, al-'ulum al-ilahiyyah (ilmu-ilmu
ketuhanan)—
karena banyak mengandung pernyataan-pernyataan seperti ini
lebih banvak mengandung dhann (hipotesis, praduga), dibanding
pembahasan di bidang fikih.
***
Jadi jelas,
bahwa apa yang dikehendaki oleh Abu Hamid
tentang keniscayaan pluralitas
pada wdjib al-wujud, sebagaimana
adanya pada mumkin al-wujud, tidaklah
dapat dibenarkan. Sebab,
apabila kemungkinan tersebut dipahami sebagai
kemungkinan
hakiki, di sana pasti terjadi ketersusunan ( tarkib ).
Tetapi bila ke¬
mungkinan tersebut dipahami sebagai makna dalam
pemikiran
( ma'nd dzihni), maka—dari sisi ini—tidak satu pun di antara
kedua-
nya yang mengalami ketersusunan. Sebab, ketersusunan tersebut
dimaksudkan keberadaannya sebagai sebab dan akibat.
***
. Abu Hamid berkata:
Sanggahan kedua, kita akan
bertanya, apakah pengetahuan
akan prinsipnya adalah pengetahuan akan
keidentikan wujudnya.
Dan keidentikan sebab dirinya? Atau selainnya?
Apabila pengetahuan tersebut identik, maka tidak akan ada
pluralitas, kecuali tabiatnya ditafsirkan menurut bagian pluralitas.
Tetapi, apabila pengetahuan tersebut merupakan selainnya, berarti
pluralitas ini berada pada prinsip yang pertama,
karena Dia me-
mikirkan (mengetahui) zatnya dan yang lain.
***
[87], Saya katakan:
Yang benar, adalah
bahwa yang memikirkan (mengetahui)
prinsipnya adalah identik dengan
zatnya. Ia merupakan tabiat yang
berhubungan. Oleh sebab itu, maka ia
tidak sempurna dibanding
prinsip yang pertama. Sedangkan prinsip yang
pertama merupakan
tabiat mawjud bi dzdti-hi (yang ada dengan
sendirinya).
Dan benar 110 apa yang mereka katakan, bahwa zat
prinsip yang
pertama tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab, Dia
bukan
sesuatu yang berhubungan (mudlaf), melainkan keberadaan-Nya
sebagai mabda' (prinsip).
Jika demikian, menurut mereka, zat
prinsip yang pertama
adalah semua pengetahuan, 111 bahkan semua mawujud
se-sempuma-
sempumanya. Masalah ini akan kita bahas nanti.
Oleh karena itu, pernyataan ini tidak perlu dicemooh.
***
[88]. Abu Hamid berkata:
Apabila
mereka beranggapan, bahwa pengetahuan akan zat-
Nya adalah identik
dengan zat itu sendiri, maka Dia tidak akan
mengetahui dzat-Nya
sepanjang tidak mengetahui, bahwa Dia
menjadi prinsip bagi adanya
wujud-wujud lain. Sesungguhnya
pengetahuan tidak berbeda dengan objek
pengetahuan, dan ia akan
merujuk kepada zat-Nya.
[88]. Saya
katakan:
Perkataan ini kacau. Sebenarnya, keberadaan Dia sebagai
prinsip adalah makna gabungan ( ma'na mudlaf), maka tidak tepat
bila dikatakan identik dengan zat-Nya.
Jika Dia dapat
mengetahui keberadaan-Nya sebagai prinsip,
Dia juga pasti tahu apa yang
menjadi prinsip bagi-Nya, sebagaimana
pengetahuan sebuah wujud yang
bersumber dari-Nya.
231
Jika
demikian adanya, berarti terjadilah kekacauan antara
yang mulia dan
hina. Sesungguhnya objek pengetahuan (ma'qul),
menurut mereka adalah
kesempurnaan pemikir ('aqil), seperti yang
terdapat dalam ilmu tentang
akal manusia.
[89]. Abu Hamid berkata:
Kita akan
menjawab, demikian pula pengetahuan akibat
(.ma'lul ) akan zatnya adalah
identik dengan zat itu sendiri. Sebab,
ia mengetahui dengan
substansinya, maka ia pun mengetahui diri-
nya sendiri. Dan, pengetahuan
(‘aql), yang berpengetahuan ('aqil),
dan objek pengetahuan (ma'qul),
semuanya menyatu ada padanya.
Selanjutnya, apabila pengetahuannya
akan zatnya adalah
identik dengan zat itu sendiri, maka ia mengetahui
akan zatnya
sebagai akibat dari suatu sebab. Karenanya, maka pengetahuan
men-
jadi sama dengan objek pengetahuan. Dan, semua merujuk kepada
zatnya.
Hal itu berarti pluralitas tidak ada. Meskipun
pluralitas ada,
niscaya adanya pada prinsip yang pertama, yang dari-Nya
muncul
wujud yang beraneka macam.
[89]. Saya katakan:
Sungguh rusak apa yang ia ceritakan tentang para filosof di
sini hanya terfokus pada persoalan pluralitas, bukan prinsip yang
pertama. Pemyataan tersebut tidak berlaku di dalam kaidah-kaidah
dasar (ushul) mereka. Sebab pada pengetahuan-pengetahuan ter¬
sebut, menurut mereka sama sekali tidak ada pluralitas.
Menurut mereka tidak berbeda dari sisi kesederhanaan
(basathah), maupun pluralitas (katsrah), melainkan berbeda dari sisi
sebab (‘illah) dan akibat (ma'lul). Juga antara zat (esensi), penge¬
tahuan prinsip pertama dengan zat pengetahuan-pengetahuan
lainrtya.
Menurut mereka, esensi pengetahuan prinsip
pertama, me¬
ngetahui makna yang mawujud dengan sendirinya (bi
dzati-hi), bukan
makna yang dihubungkan dengan sebab ('illah). Sementara
esensi
pengetahuan-pengetahuan lain, mengetahui makna yang dihubung-
232
kan dengan sebab-sebabnya,
sehingga dari sisi ini dapat dimasuki
pluralitas.
Semuanya
tidak musti berada dalam satu martabat keseder-
hanaan, sebab tidak ada
yang berada dalam satu martabat dari ke-
terhubungan ( idlafah ),
kecuali prinsip yang pertama. Dan tidak ada
satu pun darinya yang ada
menjadi sederhana, dengan pengertian
sebagai yang sederhana pertama.
Sebab, wujud yang pertama
menjadi plural dengan sendirinya, dan dalam
wujudnya ia menjadi
mudldf (sesuatu yang dihubungkan).
***
Adapun pernyataannya, "Selanjutnya, apabila pengetahuan-
nya
akan zatnya adalah identik dengan zat itu sendiri, maka ia me-
ngetahui
akan zatnya sebagai akibat dari suatu sebab. Karenanya,
maka pengetahuan
menjadi sama dengan objek pengetahuan. Dan,
semua merujuk kepada zatnya.
Hal itu berarti pluralitas tidak ada. Meskipun pluralitas ada,
niscaya adanya pada prinsip yang pertama."
Di dalam
pengetahuan yang berbeda-beda, keberadaan pe¬
ngetahuan dan objek
pengetahuan tidak musti memiliki satu makna,
semuanya sama-sama berada
dalam kesederhanaan. Mereka
menetapkan, bahwa makna ini menjadi ajang
pengetahuan-penge-
tahuan—baik yang minimal maupun maksimal—untuk
mengklaim
sebagai yang lebih utama.
Sebenamya ia tidak ada,
kecuali dalam pengetahuan pertama.
Sebab, esensi pengetahuan pertama
mengetahui bahwa ia berdiri
sendiri (independen).
Apabila
pengetahuan dan objek pengetahuan berada dalam
satu kesatuan martabat
yang ada pada prinsip pertama, niscaya zat-
zat yang ada dengan
sendirinya tidak berbeda dengan zat-zat yang
merupakan akibat dari
sebab-sebab yang lain. Atau, niscaya penge¬
tahuan tidak sesuai dengan
tabiat sesuatu yang menjadi objek pe¬
ngetahuan.
Menurut
mereka, semua itu mustahil.
***
233
Semua pernyataan dan jawaban yang disampaikan sangat
bersifat dialektis diplomatis. Padahal di dalam wacana ini, sebenar-
nya kita menginginkan pembahasan burham. Meskipun dengan ke-
terbatasan review seorang manusia terhadap makna-makna ini.
Tetapi, apabila terus berusaha, ia pasti akan tahu inti pengetahuan.
Ia tidak akan mengenal inti pengetahuan, sebelum mengenal inti
jiwa. Dan, ia tidak akan mengenal inti jiwa, sebelum mengenal inti
yang bernafas.
Maka sungguh tidak berarti membahas persoalan
makna-
makna ini dengan pandangan pemula, dengan pengetahuan-pe-
ngetahuan global dan tidak spesifik, juga tidak laik.
Jika
seseorang berbicara tentang makna-makna ini sebelum
mengetahui tabiat
pengetahuan ('aql), pasti pembicaraannya seperti
ungkapan orang yang
mengigau.
Oleh karena itu, maka Asy'ariyah—manakala menceritakan
pandangan-pandangan para filosof—selalu saja menjauh dari
pandangan 'orang-orang utama' di antara sekian mawujud-mawujud
yang ada ini.
***
[90]. Abu Hamid berkata:
Biarkan kita meninggalkan pengakuan keesaannya dari segala
sisi. Sebab, keesaan tersebut akan hilang oleh pluralitas semacam ini.
[90]. Saya katakan:
Apabila mereka menetapkan, bahwa
prinsip yang pertama
mengetahui zat-Nya, dan juga mengetahui bahwa
zat-Nya menjadi
sebab bagi wujud-wujud yang lain, maka mereka harus
menarik
bahwa Dia tidaklah esa dari segala sisi. Jika kemudian terbukti,
bahwa
Dia esa dari segala sisi. Inilah yang dia katakan sebagai mazhab
para filosof parepatetik, yang mereka tafsirkan sebagai mazhab
Aristoteles.
***
234
[91]. Abu Hamid berkata:
Apabila
dikatakan, bahwa prinsip yang pertama tidak me-
ngetahui selain zat-Nya,
dan pengetahuan akan zat-Nya adalah
identik dengan dzat itu sendiri.
Maka pengetahuan, yang berpe-
ngetahuan dan objek pengetahuan, semuanya
menjadi satu. Dia tidak
mengetahui selainnya.
Sebagai
jawaban kita kemukakan dari dua segi:
Pertama, mazhab ini sangat
raneu di mana Ibn Sina dan be-
berapa pemikir tidak bersimpati
kepadanya. Menurut mereka,
prinsip pertama itu mengetahui diri-Nya,
sebagaimana prinsip
emanasi semua yang mengalir dari-Nya. Dia juga
mengetahui
seluruh mawujud-mawujud beserta macam-macamnya secara uni¬
versal, bukan parsial.
Mereka merendahkan teori yang
mengatakan, bahwa yang
keluar dari prinsip pertama hanyalah satu
pengetahuan. Selanjutnya,
Dia tidak mengetahui apa yang bersumber
dari-Nya. Akibat yang
ditimbulkan oleh-Nya adalah pengetahuan. Dari
akibat tersebut ber¬
sumber pengetahuan lain, jiwa falak dan benda
falak. Akibat ter¬
sebut dapat mengetahui dirinya, juga ketiga akibat
yang ditimbul¬
kan olehnya. Sementara sebab yang menimbulkan akibat
itu—yang
merupakan prinsip baginya—sama sekali tidak mengetahui apa-
apa kecuali diri-Nya sendiri. Dengan demikian, berarti akibat lebih
terhormat dibanding sebab, karena sebab hanya bisa memunculkan
satu hal, sedangkan akibat bisa memunculkan tiga hal. Ditambah
juga, yang pertama tidak mengetahui kecuali diri-Nya sendiri.
Sedangkan yang kedua mengetahui dirinya sendiri, juga mengetahui
jiwa falak, benda falak, serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
dirinya.
Barangsiapa merasa puas dengan menjadikan
pernyataan-
nya, tentang Allah SWT. merujuk kepada strata seperti ini,
berarti
ia telah menjadikan-Nya lebih rendah dan lebih hina dari pada
mawujud yang dapat mengetahui dirinya sendiri, juga dapat
mengetahui diri-Nya.
Sesungguhnya yang dapat mengetahui
diri-Nya dan dapat
mengetahui dirinya sendiri, akan menempati kedudukan
yang lebih
235
terhormat dari-Nya,
sebab Dia tidak mengetahui kecuali diri-Nya
sendiri.
***
Mereka telah kehabisan akal untuk mengeksplorasi keagung-
an
Tuhan, sehingga yang terjadi justru menghancurkan seluruh pe-
ngertian
tentang keagungan-Nya. Mereka mengasimilasikan ke-
adaan Allah SWT.
dengan keadaan seorang yang mati, yang sama
sekali tidak dapat merasakan
sesuatu yang terjadi di dunia. Kecuali
satu hal yang membuat-Nya
berbeda, yaitu karena Dia mengetahui
diri-Nya sendiri saja.
Oleh sebab itu mengapa Allah SWT. mengutuk orang-orang:
1) yang menyimpang dari jalan-Nya,
2) yang berusaha
menumbangkan jalan-jalan petunjuk,
3) dan yang mengingkari
firman-Nya, "Ma asyhad-tu-hum khnlq
as samdwdt wa al-ardl, wa 'ala khalq
anfusi-him (Aku tidak menyeru
mereka supaya mempersaksikan penciptaan
langit-langit dan
bumi, atau penciptaan diri mereka sendiri)."
4) yang berprasangka buruk kepada Allah SWT.,
5) yang
meyakini bahwa persoalan-persoalan ketuhanan mampu
dieksplorasi oleh
kemampuan nalar insani,
6) yang tertipu oleh akal mereka,
7) yang merasa bebas untuk tidak mengikuti petunjuk rasul-
rasul-Nya.
Tetapi, adalah alami apabila mereka terpaksa
mengakui se¬
suatu yang dapat membuat seseorang takjub meski hanya
melalui
mimpi.
***
[91]. Saya katakan:
Siapa saja yang hendak menekuni persoalan-persoalan ini
hendaknya mengetahui, bahwa di dalam ketetapan ilmu-ilmu
nadhari
(bersifat teori; ilmu-ilmu yang masih bisa dipikirkan untuk
dicari
kebenaran lebih lanjut; kebalikan ilmu badihi) akan didapat
banyak hal
yang bertentangan dengan badi’ ar-ra'y (pendapat per-
236
tama). Juga, bahwa apa yang diketahui jumhur dari
semua itu sama
dengan apa yang diketahui seseorang yang bermimpi di
dalam
tidurnya, seperti dikatakan oleh Abu Hamid.
Akan
tetapi, mayoritas dari semua ini tidak lantas menafikan
proposisi-proposisi yang dipandang rasional oleh jumhur, sehingga
mereka merasa puas di dalam melihat makna-makna seperti ini.
Hanya
saja, tidak ada jalan lain untuk dapat meraih kepuasan ter-
sebut,
kecuali dengan jalan keyakinan—tentu bagi orang-orang yang
di dalam
usaha meraih pengetahuan menempuh jalan keyakinan.
Contohnya,
apabila dikatakan kepada jumhur —atau siapa saja
yang memiliki kedudukan
lebih tinggi dari mereka—bahwa mata-
hari yang tampak di mata seperti
kaki, sebenarnya seratus tujuh
puluh kali lipat ukuran bumi, niscaya
mereka akan berkomentar,
"Mustahil!" Pasti orang yang 'berandai-andai'
seperti itu, menurut
mereka tidak berbeda seperti seorang yang sedang
bermimpi.
Tentulah kita merasa kesulitan untuk bisa memuaskan
mereka
dengan pemikiran-pemikiran semacam ini, dengan proposisi-pro¬
posisi yang dapat membuat mereka menerima. Tetapi tidak ada cara
lain kecuali jalan pembuktian ( burhan )—tentu bagi orang-orang yang
di dalam upaya meraih pengetahuan menempuh jalan pembuktian.
Jika hal semacam ini bisa di dapat dalam ilmu matematika,
atau pengajaran secara umum, tentu hal semacam ini juga akan lebih
laik apabila ada di dalam ilmu-ilmu ketuhanan. Maksudnya, apabila
apa yang diteriakkan oleh jumhur dianggap jelek menurut pan-
dangan pertama ( badi' ar-ra'y), dan dianggap seperti mimpi, tentu
di dalam pengetahuan-pengetahuan seperti ini tidak akan pemah
ada
proposisi-proposisi yang lebih mulia, yang dapat memberikan
kepuasan
kepada akal badi' ar-ra‘y , maksudnya pengetahuan jumhur.
Sehingga, yang
demikian itu tidak berbeda dengan apa yang akhir-
nya tampak dalam
pengetahuan, semula dianggap mustahil olehnya.
Hal-hal semacam ini
adanya tidak hanya dalam teori, melain-
kan juga dalam praktik.
Meskipun, kita estimasikan sebuah ciptaan
telah hancur, lantas kemudian
masih kita anggap ada, tentu yang
demikian—menurut badi' ar-ra'y
—mustahil. Oleh sebatf itu, maka
banyak orang yang berpandangan bahwa
ciptaan-ciptaan ini adalah
237
pengetahuan yang tidak berasal dari manusia. Sebagian
mereka
menisbatkannya kepada jin, dan sebagian lain ada juga yang menis-
batkannva kepada para nabi. Sehingga Ibn Hazm berkesimpulan,
bahwa
dalil terkuat akan adanya nubuivah adalah adanya ciptaan-
ciptaan itu ,
112
***
Jika demikian, maka diharapkan kepada siapa
saja yang ber-
upaya mencari kebenaran, apabila mendapatkan beberapa
pernya-
taan yang dianggapnya buruk. Tetapi, tidak mendapatkan proposisi
yang lebih terhormat, yang dapat mengganti keburukan pernyataan
tersebut. Hendaknya tidak lantas berkesimpulan, bahwa pernyata¬
an
tersebut tidak benar. Semustinya ia terus menggali di mana saja
adanya
kebenaran itu, dengan menggunakan kurun waktu yang
cukup panjang dan
sistematika pembahasan, sebagaimana menjadi
sebuah keharusan dalam
masalah pembelajaran.
***
Apabila ini ada di
dalam pembahasan ilmu-ilmu ketuhanan,
maka makna ini juga lebih laik
adanya di dalam ilmu tersebut, oleh
karena jauhnya ilmu ini dari
ilmu-ilmu dalam bddi' nr-ra'y.
Jika demikian adanya, maka perlu
diketahui bahwa tidak
mungkin terjadi percekcokan di dalam genus ini,
seperti yang ter-
jadi pada pembahasan-pembahasan yang lain.
Perang pemikiran {brain war), adalah sesuatu yang mubah (di-
perbolehkan) dan bermanfaat di dalam beberapa ilmu. Tetapi haram
hukumnya di dalam ilmu ini. Oleh sebab itu, maka para pemikir ilmu
ini menyatakan semua ini sebagai adaptasi dalam substansi yang tidak
diadaptasi oleh pengetahuan-pengetahuan {'uqul). Sebab, apabila
akal atau pengetahuan tersebut mengadaptasi, niscaya pengetahuan
atau akal azali (abadi) akan menyatu dengan makhluk yang rusak.
Jika demikian adanya, maka Allah SWT. mengambil kebenar¬
an
dari orang-orang yang membicarakan masalah ini secara uni¬
versal, dan
mendebat beberapa persoalan ketuhanan dengan tanpa
berdasarkan ilmu. Abu
Hamid mengira para filosof tidak memiliki
238
otontas ilmu ketuhanan, sehingga beberapa pendapat
mereka di
bidang ini dianggap bersifat dhanni (hipotesis, praduga).
***
Tetapi yang jelas, kita ingin mendeskripsikan
beberapa masa-
lah utama, dengan proposisi-proposisi yang berlandaskan
ilmu, jika
tidak sebagai pembuktian.
Kita tidak
memperbolehkan yang demikian, keeuali karena
orang ini telah menganggap
ilmu yang terhormat ini sebagai kha-
yalan. Dan menggagalkan manusia
untuk meraih amal perbuatan
mulia yang dapat memberikan mereka
kebahagiaan. Biarlah Allah
SWT. yang mengurus dan membuat perhitungan
dengannya.
Sedangkan, kita bermaksud mendeskripsikan beberapa per-
soalan yang mendorong para filosof kepada kayakinan seperti ini
di
dalam kaitannya dengan prinsip pertama dan mawujud-mawujud
lain-Nya.
Juga puncak pemikiran insani mereka, serta keraguan-
keraguan yang
muncul.
Kita juga ingin mendeskripsikan metode yang mendorong
teolog kalam pada keyakinan serupa dalam kaitannya dengan prinsip
pertama dan mawujud-mawujud lain-Nya, keraguan-keraguan yang
muncul, serta puncak kebijaksanaan mereka.
Semua itu
dimaksudkan untuk membawa orang-orang yang
mencari kebenaran, dan
mendorong mereka berpikir menurut kon-
sep ilmu kedua kelompok tersebut.
***
Akan kita katakan, bahwa para filosof umumnya
mencari
pengetahuan akan mawujud-mawujud dengan bertopang pada daya
nalar (logika). Tidak bersandar kepada pernyataan yang mengajak
mereka menerima pernyataan tersebut, apa adanya tanpa pembuk¬
tian. Bahkan bisa jadi mereka berseberangan dengan persoalan-
persoalan indrawi.
Hal itu karena mereka melihat adanya dua
macam sesuatu
yang indrawi selain falak, yaitu (i) bernafas dan (ii)
tidak bemafas.
239
Mereka juga
menemukan seluruh ciptaan yang berasal dari-
nya, tercipta dengan
sesuatu yang mereka sebut shurah (bentuk).
[Inilah makna yang dengannya
sesuatu menjadi ada, setelah se-
belumnya tiada.] Juga yang berasal dari
sesuatu mereka sebut
mdddah (materi).
Mereka menyatakan,
bahwa setiap yang tercipta di sini berasal
dari mawujud yang lain.
Mereka menvebut ini mdddah (materi). Wujud
materi tersebut berasal dari
sesuatu. Maka mereka menyebutnya
fail (pelaku), dan untuk sesuatu yang
mereka sebut sebagai ghdyah
(tujuan). Akhirnya mereka menyimpulkan,
bahwa sebab-sebab itu
ada empat.
Mereka mendapatkan sesuatu
yang dengannya sesuatu yang
lain terbentuk. Maksudnya bentuk ( shurah )
sesuatu. Dan, sesuatu
yang terbentuk olehnya, yaitu al-fd'il al-qarib
la-hu (pelaku terdekat
baginya), menjadi satu, baik dalam spesies ( naw
'), maupun genus
(jins). Adapun yang satu dalam spesies, seperti manusia
melahirkan
manusia, atau kuda melahirkan kuda. Sedangkan yang satu dalam
genus, seperti bagal terlahirkan dari perkawinan silang antara kuda
dan keledai.
>k :fc :fc
Menurut mereka,
ketika sebab-sebab itu tidak bergulir tanpa
batas, mereka memasukkan
sebab sebagai fail pertama yang abadi.
Sebagian di antara mereka ada
yang mengatakan, bahwa sebab
dimaksud adalah benda-benda langit (
al-ajrdm as-samdwiyyah). Ada
juga yang bilang, bahwa sebab tersebut
adalah prinsip yang berbeda
dengan benda-benda langit. Ada pula yang
menyatakan, bahwa
prinsip ini adalah prinsip pertama. Bahkan sebagian di
antara mereka
juga ada yang menolak premis sebagai prinsip pertama, dan
me-
nyebutnva sebagai al-ajrdm al-basithah bi as-samdwat wa mabddi' al-
ajrdm as-samdwiyyah (benda-benda sederhana yang ada di langit dan
menjadi prinsip bagi benda-benda langit). Karena, ia juga mewajib-
kan mereka menjadikanbaginya sebab yang berfungsi sebagai pelaku.
240
Sedangkan selain benda
sederhana, di antara hal-hal yang
mengalami mutual keterbentukan yang
bemafas, mewajibkan mereka
memasukkan prinsip yang lain ditinjau dari
sisi kebernafasannya.
Dialah yang memberikan nafas, dan memberikan
bentuk, juga gerak
yang tampak adanya pada mawujud-mawujud. Hal seperti
itulah
yang oleh, Galen disebut sebagai al-quwwah al-mushawwarah
(kekuatan
atau kemampuan formatif).
Sebagian di antara
mereka ada yang menjadikan kekuatan
ini, sebagai prinsip yang berbeda (
mabda' mufaraq). Ada yang men-
jadikannya sebagai akal ^pengetahuan).
Ada yang menyebutnya
m f s (jiwa). Ada yang memanggilnya benda-benda
langit ( al-ajram
ns-smnnwi). Bahkan ada yang mengkategorikannya,
sebagai prinsip
pertama. Akan tetapi, Galen sendiri menamakannya sebagai
Sang
Pencipta. Lantas, apakah Dia Tuhan? Atau bukan?
***
Ini terjadi pada kelompok binatang dan tumbuh-tumbuhan
yang
berkembang biak. Sedangkan, pada kelompok tumbuh-tum¬
buhan dan binatang
yang tidak berkembang biak, tampaknya me-
nurut mereka, kebutuhan akan
masuknya prinsip ini jauh lebih banyak.
Inilah hasil puncak
pembahasan mereka seputar mawjudcit
selain langit.
***
Mereka juga membahas tentang langit-langit ( samawdt ),
hingga ada kesepakatan, bahwa langit tersebut adalah prinsip-prin-
sip bagi benda-benda yang indrawi. Di samping itu mereka juga
bermufakat, bahwa benda-benda langit adalah prinsip-prinsip bagi
benda-benda indrawi yang berubah-ubah, yang ada di sini. Juga
sebagai prinsip bagi spesies, baik tunggal, maupun bersama prinsip
yang lain.
***
Ketika membahas tentang
benda-benda langit, jelaslah bagi
mereka, bahwa benda-benda langit
tersebut tidak terbentuk (ghayr
241
mutakawwan), dengan pengertian benda-benda ini sebagai
sesuatu
makhluk dan rusak, maksudnya seperti selain benda-benda langit.
Hal itu menunjukkan, bahwa yang terbentuk dengannya (al-
mutakawwan bi-ha) adalah sesuatu yang terbentuk, yang tampak men-
jadi partikularitas dari alam indrawi. Dan bahwasanya keterbentuk-
annva itu tidak akan pernah sempurna, kecuali karena ia sebagai
partikularitas.
Dengan demikian, bahwa yang terbentuk
darinya (al-mutakaw-
wan min-ha) adalah terbentuk dari sesuatu, untuk
sesuatu, dan dengan
sesuatu, dalam suatu tempat dan waktu.
Mereka menjadikan benda-benda langit sebagai syarat ke-
terbentukannya, dari sisi bahwa benda-benda langit tersebut dipan-
dang sebagai sebab-sebab efisien yang jauh ( asbab fa'ilah ba'idah).
Apabila benda-benda langit terbentuk seperti ini, niscaya di sini
akan ada jisim-jisim lain yang lebih eternal, yang menjadi syarat
keterbentukannya, sehingga ia terbentuk sebagai partikularitas dari
alam lain. Akhirnya, di sini akan ada jisim-jisim samawi seperti jisim-
jisim ini. Jika yang demikian juga terbentuk, berarti masih ada jisim-
jisim samawi lain sebelum itu. Begitulah seterusnya.
***
Beberapa pandangan mereka ini diliputi oleh banyak aspek
salah satunya, bahwa benda-benda langit ( al-ajram as-samawiyyah )
tidak terbentuk dan tidak rusak, dalam pengertian sebagai makhluk
dan hancur. Sebab, yang terbentuk ( al-mutakazvioan ) tidak memiliki
batas dan rasm (deskripsi). Dan, tidak ada penjelasan serta pema-
haman selain ini.
Tampaknya, mereka beranggapan bahwa
ini—maksudnya
jisim-jisim samawi—juga memiliki prinsip-prinsip, sebagai
pangkal
tolak gerakan-gerakannya.
***
Ketika
mereka membahas prinsp-prinsip ini, maka diperoleh
hasil bahwa
keberadaan prinsip-prinsipnya yang menggerakkan-
242
nya musti merupakan mawjudat yang bukan jisim, juga
bukan
kekuatan yang ada di dalam jisim.
Sedangkan,
keberadaan prinsip-prinsipnya bukan sebagai
jisim. Sebab, keberadaannya
sebagai prinsip-prinsip pertama bagi
jisim-jisim yang meliputi alam.
Sedangkan, keberadaannya bukan sebagai kekuatan yang ada
di
dalam ajsdm al-ajsdm (suprajisim). Sebab, ia menjadi syarat keber¬
adaannya, seperti keadaan yang ada di dalam prinsip-prinsip yang
tersusun bagi binatang. Dan juga karena, menurut mereka kekuatan
di dalam jisim itu terbatas, maka ia akan terbagi seiring terbaginya
jisim tersebut. Mereka juga berpendapat, bahwa setiap jisim yang
memenuhi sifat-sifat sepe: ti ini tergolong makhluk dan rusak. Mak-
sudnya, tersusun dari hayuli dan bentuk ( shurah ). Hayuli merupakan
syarat eksistensi bentuk.
Apabila prinsip benda-benda langit
tidak jauh berbeda dengan
prinsip-prinsip ini semua, niscaya benda-benda
langit tersebut juga
tidak akan berbeda dengan semua ini. Ia akan
membutuhkan adanya
benda-benda ( ajram ) lain yang lebih eternal
darinya.
Ketika mereka mengambil keputusan dengan
kualifikasi
seperti ini—maksudnya bukan sebagai jisin, maupun kekuatan
yang
ada di dalam jisim—maka terputuskan juga—menurut kemampuan
berpikir manusia—bahwa bentuk memiliki dua eksistensi (wujud);
yaitu (i) zuujftd ma'qfil (eksistensi rasional), apabila lepas terpisah
dari hayuli, dan (ii) zuujftd utahsus (eksistensi indrawi), apabila
berada
di dalam hayuli.
Misalnya, batu memiliki bentuk
padat. Kepadatan tersebut
berada di dalam hayuli dan di luar nafs
(jiwa). Sedangkan, bentuk
adalah pengetahuan (idrdk) dan akal. Bentuk
tersebut terlepas dari
hayuli dan berada di dalam jiwa.
Menurut mereka, keberadaan mawjudat yang berbeda secara
absolut ini adalah akal semata. Karena apabila dibanding akal dengan
apa yang berbeda bagi lainnya, niscaya apa yang berbeda secara
absolut lebih pantas menjadi akal.
243
Begitu pula apa yang musti dipikirkan oleh akal-akal
ini. Me-
nurut mereka seharusnya bahwa bentuk-bentuk mawjudSt dan
keteraturan yang ada pada alam, seperti keadaan dalam akal insani.
Jadi, dengan demikian akal hanyalah pengetahuan akan bentuk-
bentuk mawjudat yang berada pada selain hayCdi.
Dari sudut
pandang ini, benar apa yang mereka kemukakan
bahwa mawjudat memiliki dua
eksistensi (wujud), yaitu (i) wujud
mahsus, dan (ii) wujud ma'qCtl.
Benar pula apa yang mereka katakan, bahwa penisbatan wujtid
mahsus terhadap wujud ma'qul tidak berbeda dengan penisbatan
ciptaan-ciptaan (mashnu'ah) kepada ilmu-ilmu sang pencipta (' ulum
ash- sham).
Dari sini mereka meyakini, bahwa benda-benda
langit itu
dapat memikirkan prinsip-prinsip ini. Dan, pengaturannya
terhadap
mawjudat yang ada di sini, karena ia termasuk dzawdt an-nafs
(yang
memiliki jiwa).
Ketika mereka menganalogikan antara
akal-akal pembeda ( al-
'uqul al-mufariqah) dengan akal manusia (
al-'aql al-insam), akhimya
mereka temukan, bahwa al-'uqul al-mufariqah
tersebut lebih mulia
dibanding al-'aql al-insdni. Meskipun, objek
pemikiran akal manusia
adalah bentuk-bentuk mawjudat. Dan juga, bahwa
satu per satu bentuk-
nya, adalah apa yang ia ketahui dari bentuk-bentuk
mazujudat dan
keteraturannya. Sebagaimana akal manusia hanya bisa
mengetahui
bentuk-bentuk mawjhdat dan keteraturannya.
Akan
tetapi yang membedakan keduanya adalah bahwa
bentuk-bentuk mawjudat
merupakan sebab adanya akal manusia.
Apabila ia menuntut kesempurnaan
darinya, sebagaimana sesuatu
yang mawujud menuntut kesempurnaan dari
bentuk-bentuknya.
Sedangkan, objek pengetahuannya ( ma'qCdah ) merupakan
sebab bagi
bentuk-bentuk maivjudat.
Hal itu bahwa
keteraturan ( nidhdm) dan sistematika ( tartib )
di dalam mawjudat,
merupakan sesuatu yang mengikuti dan lazim
bagi sistematika akal-akal
yang berbeda. Sedangkan sistematika
pada akal manusia, merupakan sesuatu
yang mengikuti apa yang
244
diketahuinya dari sistematika mawjudat dan
keteraturannya. Oleh
karena itu, maka ia sangat tidak sempuma. Sebab,
mayoritas siste¬
matika dan keteraturan di dalam niawjiidat tidak dapat
diketahui
oleh akal manusia.
$ ■>
Jika
demikian adanya, maka bentuk-bentuk mnwjudnt yang
indrawi memiliki
eksistensi yang bertingkat-tingkat. Salah satunya
yang paling rendah
adalah eksistensinya dalam materi. Kemudian,
eksistensinya dalam akal
manusia lebih tinggi dari eksistensinya
dalam materi. Dan, eksistensinya
dalam akal-akal yang berbeda lebih
tinggi dari eksistensinya dalam akal
manusia.
Dalam akal-akal itu, ia juga memiliki tingkatan-tingkatan
gra¬
dual yang utama dalam wujud. Semua itu ditentukan oleh keutama-
an masing-masing akal itu sendiri.
Ketika mereka berpikir
tentang benda-benda langit, hingga
akhirnya didapati sebuah hakikat
sebagai satu jisim yang menye-
rupai satu binatang (hayawan, makhluk
hidup), dan jisim tersebut
mempunyai satu gerak universal menyerupai
gerakan binatang yang
universal. Gerakan tersebut memindahkan jisim
dengan seluruh
jasadnya. Dan, gerak inilah yang terjadi sehari-hari.
Mereka juga meng-
hasilkan, bahwa benda-benda langit yang lain dan
gerakan-gerak-
annya yang parsial ( juz'iyyah ) menyerupai komunitas
parsial dari
binatang yang satu, juga menyerupai gerakan-gerakannya yang
parsial. Maka, mereka akhirnya meyakini—karena adanya mutual
keterikatan antara jisim-jisim ini satu sama lain, dan merujuknya
kepada satu jisim dan satu tujuan. Dan juga saling tolong menolong-
nya atas satu perbuatan, yaitu pengaturan alam semesta dan segala
isinya—bahwa benda-benda langit tersebut merujuk kepada satu
prinsip ( mabda '), seperti merujuknya ciptaan-ciptaan yang banyak
kepada satu ciptaan primer.
Selain itu mereka juga meyakini
bahwa:
245
m Prinsip-prinsip yang
paradoksal ( al-mabadi' al-mufarraqah),
semuanya merujuk kepada satu
prinsip yang menjadi sebab
bagi keseluruhan wujud yang ada.
_ Bentuk-bentuk, dan keteraturan ( nidham ), serta sistematika
(tnrtib) yang ada pada prinsip ini, merupakan wujud paling
utama
yang ada pada bentuk-bentuk tersebut. Juga pada ke¬
teraturan dan
sistematika yang ada pada semua mawjudat .
m Keteraturan dan sistematika
ini memunculkan keteraturan
dan sistematika lain pada selain prinsip
tersebut.
_ Akal-akal yang ada pada yang demikian itu
berlomba-lomba
mengklaim sebagai yang utama sesuai keadaan
masing-masing,
dari kedekatan (qurb) dan kejauhan ( bu'd ).
^ "s ^
Menurut mereka, prinsip pertama tidak
mengetahui kecuali
zat-Nya sendiri. Dengan pengetahuan-Nya akan zat-Nya
membuat
Dia mengetahui semua mawjudat, sebagai yang memiliki wujud
paling utama, sistematika paling utama, dan keteraturan paling utama.
Selain itu, substansinva merupakan akibat dari apa yang Dia
ketahui dari bentuk-bentuk, sistematika dan keteraturan yang ada
pada pengetahuan prinsip pertama. Dan tingkatan gradual keutama-
annya sesuai tingkatan gradual keutamaan dalam bingkai makna ini.
Berdasarkan hal ini, seharusnya—menurut mereka—apa yang
diketahui masing-masing dari keduanya tidak bisa didudukkan
dalam
satu tingkatan. Sebab jika demikian yang terjadi, pasti kedua¬
nya akan
menjadi satu, dan tidak berbilangan.
Dari sinilah mereka
menyatakan, bahwa prinsip pertama tidak
mengetahui kecuali zat-Nya
sendiri. Dan, yang menjadi mawujud
berikutnya dapat mengetahui prinsip
pertama. Juga tidak menge¬
tahui selain-Nya, sebab statusnya sebagai
akibat. Apabila ia menge-
tahuinya, niscaya status akibat akan berubah
menjadi sebab.
Mereka juga meyakini, bahwa apa yang diketahui
prinsip
pertama dari zat-Nya menjadi sebab bagi seluruh mawjudat. Dan,
setiap apa yang diketahui oleh masing-masing pengetahuan selain-
nya, sebagian ada yang menjadi sebab bagi mawjudat yang khusus
246
dengan pengetahuan itu—maksudnya
keterikatannya—sebagian
lagi ada juga yang menjadi sebab bagi zatnya,
yang secara umum
disebut akal (pengetahuan) insani.
***
Berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya konsep-konsep
para
filosof dimengerti dengan melihat sesuatu-sesuatu itu. Juga
dengan
melihat sesuatu di dalam alam yang menggerakkan mereka
pada keyakinan
semacam ini. Apabila semua itu terpikirkan, tentu
tidak akan lebih
sedikit memberikan kepuasan dibanding, sesuatu
yang menggerakkan teolog
kalam—maksudnya, pertama Muktazi-
lah, dan berikutnya Asy'ariyah—kepada
keyakinan yang mereka
pegang teguh—maksudnya, bahwa mereka meyakini
adanya dua
zat yang bukan jisim, dan kedua-duanya tidak berada dalam
jisim,
hidup, mengetahui, berkehendak, berkuasa, berbicara, mendengar
dan melihat.
Kecuali Asy'ariyah, tidak termasuk Muktazilah,
meyakini bahwa
zat-zat tersebut merupakah fa'il bagi semua mawjudat
tanpa per-
antara, dan mengetahuinya dengan ilmu yang tidak terbatas,
sebab
keberadaan mawjudat juga tidak terbatas. Mereka menafikan sebab-
sebab yang ada di sini.
Mereka (Asy'ariyah) juga meyakini,
bahwa zat-zat yang hidup,
yang mengetahui, yang berkehendak, yang
mendengar, yang me¬
lihat, yang berkuasa dan yang berbicara, ada bersama
setiap sesuatu
dan dalam setiap sesuatu. Maksudnya, berhubungan
dengannya
seperti layaknya hubungan sebuah wujud.
Ketetapan
ini dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Sebab,
jika demikian
kualifikasi sebuah mawujud, pastilah ia tergolong ge¬
nus jiwa (jins
an-nafs). Sebab jiwa adalah zat, bukan jisim, hidup, me¬
ngetahui,
berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan ber¬
bicara.
Mereka menetapkan prinsip bagi mawjudat sebagai jiwa uni¬
versal yang lepas terpisah dari materi. Akan tetapi mereka tidak
merasakan demikian.
***
247
Kita akan menyebutkan keraguan-keraguan dalam
ketetapan
ini.
Yang paling jelas adalah pernyataan tentang
sifat-sifat. Di-
sebutkan, bahwa di sini ada zat-zaf eternal yang
tersusun. Dengan
demikian, berarti di sini ada ketersusunan eternal.
Dan, hal itu ber-
tentangan dengan apa yang pemah ditetapkan oleh
Asy'ariyah, bahwa
setiap ketersusunan itu temporal. Sebab, ketersusunan
merupakan
aksiden ('nrdl). Dan setiap aksiden menurut mereka pasti
temporal
( muhdits).
Bersamaan dengan ini mereka juga
menetapkan perbuatan-
perbuatan yang boleh bagi semua maivjuddt. Mereka
tidak memper-
hatikan, bahwa di dalam mnwjudat ada sistematika ( tnrtib
), keter-
aturan ( nidhdm ), kebijaksanaan (hikmat) yang diperlukan oleh
tabiat
mnwjudat tersebut. Tetapi mereka justru meyakini, bahwa setiap
ma-
wujud, bisa jadi berbeda dengan apa yang ada padanya. Hal semacam
ini juga mereka terapkan di dalam akal (pengetahuan).
Bersamaan dengan ini pula mereka menetapkan adanya sis¬
tematika dan keteraturan pada ciptaan-ciptaan ( mashnu'dt ), yang
mereka asimilasikan dengan matrik-matrik {mashnu'dt). Yang demi¬
kian itu disebut hibnnh (kebijaksanaan), sedangkan Sang Pencipta
mereka sebut hakim (yang bijaksana).
Mereka mengasimilasikan
perbuatan alami ( al-af'dl ath-
fhabi'nyyat) dengan perbuatan yang
didasarkan atas kehendak (al-
af'dl al-irddiyyat). Mereka berkata,
"Semua perbuatan bersumber
dari pelaku yang berkehendak, yang berkuasa,
yang berkemauan,
yang hidup dan yang berpengetahuan. Tabiat perbuatan
memerlu-
kan hal semacam itu."
Untuk lebih memberikan
kepuasan, selanjutnya mereka ber¬
kata, "Selain yang hidup (hayy)
disebut jamdd (benda padat), ia ter-
masuk benda mati. Dan perbuatan
tidak bersumber dari sesuatu
yang mati. Berarti perbuatan hanya
bersumber dari yang hidup,
tidak dari selainnya."
248
Dengan premis itulah mereka kemudian menolak
bersumber-
nya perbuatan dari masalah-masalah alami. Bersamaan dengan
itu
pula, mereka menafikan adanya perbuatan pada sesuatu yang hidup
dalam kenyataan (syahid). Mereka berkata, "Semua perbuatan ini
muncul berhubungan dengan sesuatu yang hidup dalam kenyataan.
Akan
tetapi pelaku dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah se¬
suatu yang
hidup dalam kemayaan (gaib)."
Dengan demikian, mereka meniscayakan
tidak adanya ke-
hidupan dalam kenyataan. Sebab kehidupan hanyalah
menjadi se¬
suatu yang tetap adanya pada kenyataan, karena bersumber
dari
perbuatan-perbuatannya.
Lantas, darimana mereka
mendeduksi sebuah hukum atas
sesuatu yang gaib?
Adapun
metode yang mereka pergunakan di dalam menetap-
kan Sang Pencipta adalah
dengan ketetapan, bahwa setiap yang ter-
jadi ( muhdats ) pasti ada yang
menjadikan ( muhdits ). Dan, yang demi¬
kian itu tidak berlangsung terus
tanpa batas, melainkan terhenti
pada sesuatu eternal sebagai yang
menciptakan (muhdits qadim).
Ini memang benar. Tetapi di sini
tidak dijelaskan, bahwa se¬
suatu yang eternal tersebut tidak tergolong
jisim. Oleh karena itu,
maka perlu ditambahkan bahwa setiap jisim tidak
eternal.
Di sinilah mereka banyak mengundang keraguan.
*t* 'i* -k
Penjelasan mereka tentang hal tersebut
tidak cukup demikian.
Alam merupakan sesuatu yang temporal, tetapi
dikatakan bahwa
yang temporal padanya adalah jisim eternal yang tidak
mengandung
aksiden-aksiden yang dipergunakan sebagai dalil, sebab langit
ada¬
lah temporal, bukan dari perputaran, juga bukan dari selain itu.
Padahal, mereka menetapkan bahwa sesuatu yang tersusun
(murakkab)
adalah eternal (qadim).
Ketika mereka menetapkan, bahwa jisim
samawi terbentuk
(mukaunvan). Mereka ternyata menetapkannya tidak pada
sifat se-
perti yang lazim dipahami dari keterbentukan dalam kenyataan,
yang biasanya terdiri dari sesuatu (min syay'), berada dalam ruang
249
dan waktu (ft az-zximdn urn al-
makan), juga dalam salah satu sifat ( ft
shifah min ash-shifdh), bukan
pada universalitasnya. Sebab di dalam
kenyataan, tidak ada jisim yang
terbentuk dari bukan jisim.
Mereka juga tidak meletakkan pelaku
(fd'il ) bagi jisim tersebut
seperti layaknya pelaku pada kenyataan
(synhid). Yaitu bahwa pelaku
dalam kenyataan, perbuatannya adalah
mengalihkan mawujud dari
satu sifat ke sifat yang lain, bukan mengubah
dari ketiadaan ( ’ndmn)
menjadi ada ( mnwjud ). Tetapi mengganti sebuah
mnwjud kepada
bentuk dan sifat kejiwaan ( nl-shifnh nn nnfsiyyah) yang
membuat se-
suatu tersebut berpindah dari satu mavvujuwd kepada mawujud
kontrannya dalam substansi (jnwhnr), batasan (hadd), nama atau sebut-
an (ism) dan perbuatan (fi‘l). Allah SWT. berfirman, "ion la qnd khnlnq-
nd al-‘insdna min suldlat min thini. Tsummn ja'al-nd-hu mithfnt fiy
qnrdr
makin. Tsummn khalaq-na an-nuthfnt'nlnqnh. Fn khnlaq-nd nl-'nlaqnh
mudhghnh
(Dan telah Kami ciptakan manusia dari segumpal tanah liat. Ke-
mudian Kami jadikan kalian setetes air mani di dalam tempat yang
kuat. Kemudian dari air mani tersebut Kami ciptakan segumpal darah.
Maka dari segumpal darah itu Kami ciptakan segumpal daging)".
Oleh sebab itu, maka al-qudamd' berpendapat bahwa sebuah
mawujud absolut tidak terbentuk dan rusak.
Maka, meskipun
mereka menyatakan, bahwa langit itu tem¬
poral, tetapi mereka tidak bisa
menjelaskan bahwa langit tersebut
merupakan sesuatu yang temporal
pertama kali. Hal itu persis seperti
dijelaskan di dalam firman Allah
SWT., "Awnlam yarn al-ladzina kafaru
anna as-samawati wn al-ardl kdnntd
mtqd (Tidakkah orang-orang kafir
melihat, bahwa langit dan bumi keduanya
menjadi tambalan)". Juga
firman-Nya, "Wa kdna ‘arsyuhu 'aid al-md ' (Dan
singgasana-Nya di
atas air)". Serta firman-Nya, "Tsummn istawd iln
as-samd' wa hiya dukhan
(Kemudian membumbung ke langit berupa uap)".
***
Sedangkan , fd'il menurut mereka mengerjakan
materi dari
sesuatu yang terbentuk (al-mutakawwan) dan bentuk
(shurah)nya,
jika mereka percaya bahwa pelaku memiliki materi. Atau, me¬
ngerjakan globalitasnya, jika mereka percaya pelaku tersebut
250
sederhana (basith), sebagaimana
kepercayaan mereka di dalam
substansi yang tidak memiliki
partikularitas-partikularitas.
***
Jika demikian,
berarti perbuatan jenis pelaku seperti ini hanya
mengubah dari ketiadaan
menjadi ada—maksudnya keberadaan
substansi yang tidak terbagi, yang oleh
mereka disebut unsur atau
elemen jisim—atau mengubah yang ada menjadi
tiada ketika terjadi
kerusakan maksudnya ketika terjadi kerusakan pada
partikularitas
(juz ')yang tidak ber-partikularitas.
Jadi
jelas, sesuatu tidak akan berubah menjadi kontrarinya.
Jiwa ketiadaan
(nafs al-'adam) tidak akan berubah menjadi wujud,
sebagaimana jiwa
kepanasan (nafs al-hardrah) tidak akan berubah
menjadi dingin. Melainkan
sesuatu yang tidak ada ( ma'dum), yang
berubah menjadi ada; dan sesuatu
yang panas ( harr), yang dapat
berubah menjadi dingin {band), atau
sebaliknya.
Oleh sebab itu, maka Muktazilah berkata bahwa
ketiadaan
( adam) adalah zat sesuatu. Akan tetapi mereka menjadikan zat
ini
terlepas dari sifat wujud, sebelum terbentuknya alam.
Adapun pernyataan-pernyataan yang mereka estimasikan
sebagai
yang melazimkan tidak terjadinya sesuatu dari sesuatu
adalah tidak
benar. Yang paling memuaskan adalah pernyataan
mereka, bahwa apabila
sesuatu berasal dari sesuatu, niscaya hal
tersebut akan berlangsung
simultan tanpa batas.
Sebagai jawabannya, bahwa ini terlarang
sebatas pada apa
yang membuatnya istiqamah. Sebab ada wujud yang
benar-benar
terkait dengan sesuatu lainnya, dan berlangsung secara
simultan
tanpa batas. Sedangkan, perputaran ( dawr ) tidak terlarang,
seperti
terjadinya api dari udara, dan terjadinya udara dari api. Begitu
se-
terusnya berlangsung simultan tanpa batas, dan tanpa berhenti pada
objek yang azali.
Sesungguhnya sandaran mereka di dalam
pernyataan tempo-
ralitas global {huduts al-kull) antara lain:
251
m Bahwa yang tidak terlepas dari
temporalitas, maka ia ter-
golong temporal.
■■ Dan,
globalitas (kull) yang menjadi objek bagi hcnvadits (se-
suatu yang
temporal), yang tidak terlepas dari temporalitas,
maka ia tergolong
temporal.
Salah satu yang menimbuikan kerusakan bagi (pernyataan)
mereka, apabila proposisi ini diterima bahwa mereka tidak menolak
hukum, sebab sesuatu yang tidak terlepas dari temporalitas di dalam
kenyataan (si/dhid), maka ia tergolong temporal ( hddits ). Tetapi, ia
menjadi temporal yang berasal dari sesuatu, tidak dari bukan se¬
suatu (dari sesuatu yang ada, bukan dari ketiadaan).
Mereka
juga menetapkan, bahwa sesuatu yang global (kull)
terjadi dari bukan
sesuatu. Juga bahwa hal semacam itu oleh para
filosof disebut cil-mdddah
al-uld (materi pertama). Ia tidak terlepas
dari unsur-unsur jasmani.
Dan, sesuatu yang menjadi jisim absolut
menurut mereka tidak temporal.
Dengan demikian, maka proposisi yang menyatakan, bahwa
sesuatu yang tidak terlepas dari temporalitas adalah tergolong
temporal, sama sekali tidak benar. Kecuali, yang tidak terlepas dari
satu temporal saja. Sedangkan, yang tidak terlepas dari banyak tem¬
poral, dan temporal-temporal tersebut menjadi satu dalam genus,
tidak memiliki awal mula, lantas di mana letaknya sebagai sesuatu
yang temporal?
Oleh sebab itu, maka ketika teolog kalam dari
Asy'ariyah me-
rasakan hal ini, mereka pun kemudian menambah proposisi
pertama
dengan proposisi kedua. Yaitu, bahwa tidak mungkin ada sesuatu
yang temporal, yang tidak memiliki batas ." 3 Maksudnya, tidak me¬
miliki awal mula dan batas akhir.
Menurut para filosof, hal
seperti itu wajib hukumnya.
***
Hal-hal semacam ini
dan selainnya merupakan, keburukan-
keburukan yang timbul dari
pemyataan-pernyataan mereka. Dan
252
keburukan tersebut ternyata lebih banyak dari apa yang
ditim-
bulkan oleh para filosof.
]uga ketetapan mereka,
bahwa satu pelaku yang sendirian,
yang merupakan prinsip pertama, adalah
pelaku dari segala sesuatu
yang ada di alam, dengan tanpa perantara (
wasith; penengah). Hal
ini bertentangan dengan perbuatan sesuatu yang
terjadi secara
mutualistik satu sama lain. Menurut mereka, apabila
pelaku (fa'il)
juga berfungsi sebagai objek perbuatan (maf Cil), niscaya
hal tersebut
akan terus berlangsung tanpa batas. Hal semacam itu
meniscayakan
pelaku menjadi pelaku, karena ia menjadi objek perbuatan
(maf id),
dan penggerak menjadi penggerak karena ia menjadi sesuatu yang
bergerak ( mutaharrik ).
Sebenamya tidak demikian. Pelaku
menjadi pelaku karena ia
menjadi mawujud yang realistis. Sebab sesuatu
yang tidak ada
(; ma'dum ) sama sekali tidak dapat menghasilkan
perbuatan. Sehingga
hal ini meniscayakan terhentinya pelaku (fail ) yang
juga berfungsi
sebagai objek perbuatan ( maf id), kepada fa'il yang sama
sekali tidak
berfungsi sebagai maf HI. Tidak lantas fungsi fa'il dan maf
id terus
terbavva sampai ke atas, seperti anggapan suatu kaum.
v *»> »k
Juga, deduksi mereka yang lebih absurd
dari proposisi-pro-
posisi yang dikemukakan. Pernyataan mereka adalah,
bahwa prin¬
sip bagi seluruh mawjuddt berupa zat yang memiliki
kehidupan, pe-
ngetahuan, kekuasaan dan kemauan, dan sifat-sifat ini
merupakan
tambahan bagi zat. Sedangkan, zat itu sendiri bukan sesuatu
yang
bersifat jasmani, maka tentu tidak ada bedanya antara jiwa (nafs)
dan vvujud (eksistensi) ini. Kecuali, jika jiwa berada dalam jisim,
sedangkan mawjud adalah jiwa yang tidak berada di dalam jisim.
Jika demikian, pasti ia tersusun dari zat dan sifat. Dan setiap
yang tersusun ( murakkab ), pasti membutuhkan penyusun ( murakkib ).
Sebab tidak mungkin ada sesuatu yang tersusun dengan sendirinya,
sebagaimana tidak mungkin ada sesuatu yang terbentuk dengan
253
sendirinya. Karena, pembentukan
( takwln) yang merupakan per-
buatan pembentuk (tnukawwin), bukanlah
apa-apa selain ke-
tersusunan yang dibentuk (tarkibal mutakaivwan). Dan,
si pembentuk
tidak lain adalah penyusun.
Ringkasnya,
sebagaimana setiap objek memiliki subjek, maka
setiap yang tersusun juga
memiliki penyusun yang berfungsi sebagai
subjek, sebab ketersusunan
merupakan syarat adanya penyusun.
Tidak mungkin sesuatu menjadi sebab di
dalam syarat keberada-
annya, sebab yang demikian itu berarti sesuatu
menjadi sebab bagi
dirinya sendiri.
***
Oleh
karena itu, maka Muktazilah—di dalam menetapkan
sifat-sifat ini pada
prinsip pertama, mereka merujuk kepada zat,
bukan sebagai tambahan bagi
zat tersebut, sebagaimana adanya
banyak sifat-sifat dzatiyah pada-Nya
bagi banyak mawjuddt. Seperti
keberadaan sesuatu sebagai mazujud,
sebagai yang satu, sebagai yang
azali dan sebagainya—lebih mendekati
kebenaran dibanding
Asy'ariyah. Dan, di dalam kaitannya dengan prinsip
pertama ( mnbdn'
axvwal), mazhab para filosof sangat berdekatan dengan
mazhab
Muktazilah.
¥ *t»
Kita sudah menyebutkan
persoalan-persoalan yang meng-
gerakkan kedua kelompok pada keyakinan
semacam ini, di dalam
kaitannya dengan prinsip pertama. Juga sudah kita
jelaskan ke-
burukan-keburukan yang terjadi pada mereka masing-masing.
Sementara keburukan para filosof sudah banyak disinggung oleh
Abu
Hamid. Sebagian sudah mendapat jawaban, sebagian lainnya
akan
disampaikan kemudian. Adapun keburukan-keburukan teolog
kalam, dengan
sendirinya sudah tersirat di dalamnya.
** *
Hal itu
kita maksudkan agar masing-masing yang membaca
dapat menentukan martabat
setiap pernyataan yang disampaikan
254
orang ini di dalam kitabnya, juga menakar kebenarannya
seperti
yang kita inginkan.
Namun, dengan sangat terpaksa
kita menyampaikan per-
nyataan-pernyataan excellent yang menggerakkan
para filosof pada
keyakinan semacam itu di dalam kaitannya dengan
prinsip-prinsip
global ( mnbncii' al kull), karena dari
pernyataan-pernyataan tersebut
dapat diintisarikan jawaban bagi
musuh-musuh yang telah men-
jelek-jelekkan mereka.
Kita juga
menyebutkan keburukan-keburukan pandangan
teolog kalam, karena sebagai
wacana yang fair dan adil. Mereka juga
seharusnya menyampaikan
hujjah-hujjah atas pandangan mereka,
jika mereka memang memiliki itu
semua. Dan sebagai aktualisasi
keadilan—sebagaimana disebutkan oleh para
hukamd' —hendaknya
seseorang memberikan hujjah kepada iawan-lawannya,
sebagaimana
ia memberikan hujjah kepada dirinya sendiri. Maksudnya,
hendak¬
nya seseorang bersungguh-sungguh di dalam memberikan hujjah
kepada lawan-lawannya, sebagaimana ia bersungguh-sungguh di
dalam
mencari hujjah bagi mazhabnya sendiri, serta menerima
hujjah-hujjah
mereka sebagaimana ia menerima hujjahnya sendiri.
Maka kita
katakan, salah satu bentuk keburukan mereka
adalah pada pernyataan
mereka, bahwa apabila prinsip pertama
tidak mengetahui selain zat-Nya
sendiri, ia pasti menjadi bodoh
(tidak mengetahui) segala apa yang telah
diciptakan-Nya. Premis
tersebut dapat dibenarkan apabila apa yang Dia
ketahui dari zat-
Nya, merupakan sesuatu selain mawjudat secara mutlak.
Akan tetapi,
apa yang mereka tetapkan adalah apa yang Dia ketahui dari
zat-
Nya merupakan mawjud yang memiliki wujud termulia, yaitu akal
yang menjadi sebab bagi adanya mawjudat, tidak karena ia menge¬
tahui mawjudat dari sisi karena ia sebagai sebab bagi akalnya seperti
keadaan di dalam akal manusia.
Maka, pernyataan mereka dapat
disimpulkan, yaitu Dia tidak
mengetahui maivjuddt selain diri-Nya. Atau,
Dia tidak mengetahui
mawjudat tersebut seperti pengetahuan kita
terhadapnya, bahkan
dari sisi yang sama sekali tidak diketahui satu
mawujud yang
berakal pun selain Allah SWT. Sebab, apabila mawujud
tersebut
255
dapat mengetahui
seperti pengetahuan-Nya, tentu pengetahuan
mawujud tersebut akan
menyamai pengetahuan-Nya. Mahatinggi
Allah SWT. dari semua itu, inilah
sifat khusus Allah SWT.
Oleh karena itu, maka sebagian teolog
kalam ada yang me-
nyatakan bahwa Allah SWT. memiliki sifat khusus
selain sifat-sifat
yang tujuh, yang mereka afirmasikan terhadap-Nva.
Maka, pengetahuan Allah SWT. tidak boleh disifati sebagai yang
global (kulli) maupun parsial {juz'i). Sebab, pengetahuan yang glo¬
bal maupun parsial, kedua-duanva sama-sama merupakan akibat (uw lid)
dari. Dan, kedua pengetahuan tersebut menjadi makhluk yang rusak.
Kita akan membahas lebih banyak lagi. Apakah Dia menge¬
tahui partikularitas-partikularitas ( juz'iyyat ) atau tidak,
sebagaimana
kebiasaan mereka meniscayakan masalah ini? Kita juga akan
men-
jelaskan, bahwa yang demikian itu mustahil terjadi pada Allah SWT.^
yang Mahatinggi.
Masalah ini terfokus pada dua bagian utama:
Salah satunya, apabila Allah SWT. mengetahui mawjudat yang
menjadi sebab bagi pengetahuan-Nya, niscaya pengetahuan-Nya
menjadi makhluk yang rusak ( kh'infdsid ). Dan, Yang Lebih Mulia akan
meminta kesempurnaan kepada yang hina dina.
Dan apabila
zat-Nya tidak mengetahui sesuatu dan keter-
aturannya, pasti di sini ada
pengetahuan ( acjl ) lain, tidak berupa
pengetahuan akan bentuk-bentuk
mawjudat yang memiliki sis-
tematika dan keteraturan.
Apabila kedua hal ini mustahil, maka apa yang diketahui oleh
zat-Nya merupakan mawjudat yang memiliki wujud (eksistensi) lebih
mulia dibanding sebuah wujud yang menjadi mawujud karenanya.
Dan yang menyaksikan, bahwa satu yang ada dengan sen-
dirinya memiliki tingkatan-tingkatan wujud. Tingkatan tersebut
tampak dari persoalan wama. Sesungguhnya, pada wama dapat kita
temukan adanya tingkatan-tingkatan wujud, salah satunya lebih
tinggi dari yang lain.
256
Dan yang paling rendah adalah wujudnya dalam
hayuli. Ia
juga memiliki wujud yang lebih tinggi dari ini, yaitu
wujudnya dalam
penglihatan ( bashar ). Wujud ini adalah wujud warna yang
menge-
tahui zatnya sendiri. Sedangkan, yang terdapat di dalam hayuli
ada¬
lah wujud jamad, tidak mengetahui dzatnya sendiri.
Di
dalam ilmu jiwa juga dijelaskan, bahwa warna juga memiliki
wujud dalam
kekuatan imajinal ( al-quwwah al-khayaliyyah). Yang demi-
kian itu,
tingkatannya lebih tinggi dari wujud di dalam kekuatan
yang melihat
(al-zvujud al-bdshirah).
Demikian juga dijelaskan, bahwa di dalam
kekuatan yang
mengingat ( al-quwwah adz-dzdkirah), ia memiliki wujud
yang lebih
tinggi tingkatannya dibanding wujudnya, di dalam kekuatan
ima¬
jinal (i al-quwwah al- khaydliyyah).
Dan di dalam akal,
ia memiliki wujud yang lebih tinggi ting¬
katannya dari semua wujud
tersebut di atas.
***
Kita juga meyakini, bahwa
di dalam zat alam pertama, ia
memiliki wujud yang lebih tinggi
tingkatannya dari semua wujud-
wujudnya. Yaitu, wujud yang tidak mungkin
ada lagi wujud lain
yang lebih tinggi tingkatannya darinya.
***
Adapun apa yang diceritakan oleh Abu Hamid,
tentang kon-
sep para filosof akan proses emanasi prinsip-prinsip yang
para-
doksal ( al-mabadi' al-mufdraqah) darinya, dan juga tentang
totalitas
apa yang mengalir dari setiap mabda' dari prinsip-prinsip
tersebut
adalah sesuatu yang hasil dan batasannya tidak dapat
dibuktikan.
Oleh sebab itu, maka batasan yang disebutkan di dalam kitab
al-
qudamd' tidak bisa dinafikan.
***
Adapun
keberadaan semua prinsip—baik yang paradoksal
maupun yang tidak
paradoksal, yang mengalami proses emanasi
dari prinsip pertama, dan
bahwa dengan emanasi tersebut membuat
alam dan segala isinya menjadi
satu serta mengikat seluruh par-
257
tikularitas-partikularitasnya, sehingga semua
menimbulkan satu
perbuatan seperti keadaan di dalam badan satu binatang
yang ber-
beda kekuatan (quwwah), anggota (a'dla') dan perbuatan
(nfnl)-se-
sungguhnya yangdemikian itu—menurut nl- qudmnd '—menjadi
satu,
dan mawujud dengan satu kekuatan yang ada di dalamnya, yang
kekuatan tersebut bersumber dari prinsip pertama.
Inilah
persoalan yang mereka sepakati. Karena dalam pan-
dangan mereka, langit
dan segala isinva sederajat dengan satu bina¬
tang. Dan, gerakan-gerakan
sehari-hari bagi langit, tidak berbeda
dengan gerakan universal binatang
(makhluk hidup) di dalam se-
buah tempat. Sedangkan, gerakan-gerakan
partikularitas-parti-
kularitas langit tidak berbeda dengan gerakan
parsial (al-harakah
al-juz iyyah) anggota binatang.
Terbukti
sudah bahvva di dalam binatang ada satu kekuatan,
yang dengan kekuatan
tersebut binatang tersebut menjadi satu.
Dan, dengan kekuatan tersebut
pula semua kekuatan menghasilkan
satu perbuatan, yaitu keselamatan
binatang.
Kekuatan ini berhubungan dengan kekuatan yang mengalir
dari prinsip pertama. Jika tidak demikian, maka partikularitas-
partikularitasnya pasti akan bercerai-berai, tidak tersisa sedikit pun.
Apabila keberadaan satu kekuatan ruhani yang mengalir di
semua partikularitas-partikularitas satu binatang merupakan sebuah
keniscayaan, maka (i) pluralitas kekuatan dan jisim yang ada di
dalamnya juga menjadi satu. Sehingga, jisim-jisim yang ada di
dalamnya dapat dianggap sebagai satu jisim. Juga kekuatan-
kekuatan yang terkandung di dalamnya dapat dikatakan sebagai
satu
kekuatan, dan (ii) penisbatan partikularitas-partikularitas
mawjudat
kepada alam secara keseluruhan, seperti penisbatan dari
satu binatang
kepada satu binatang yang lain. Dengan demikian,
otomatis keberadaannya
di dalam partikularitas-partikularitas
kebinatangannya, dan di dalam
kekuatan nafsani dan 'aqliyyah-
nya yang menggerakkan, tidak akan
berbeda dengan keadaan ini.
Maksudnya, bahwa di dalamnya terdapat satu
kekuatan ruhani yang
mengakomodir keterikatan semua kekuatan ruhani dan
jasmani.
Kekuatan tersebut mengalir satu kali pada setiap kekuatan yang
258
ada. Jika tidak demikian, maka
di sini tidak akan ada keteraturan
(nidhdm ) dan sistematika ( tartib ).
Atas dasar ini semua, maka benar pendapat yang menyatakan,
bahwa Allah SWT. adalah pencipta ( khalicj ) segala sesuatu. Dialah
yang memegang dan memeliharanya. Hal semacam itu termaktub
di
dalam firman-Nya; "Inna Allah yumsiku as samdivat wa al-ardl an Id
tazula (Sesungguhnya Allah memegang langit dan bumi agar ke-
duanva tidak hilang)''.
Mengalimya satu kekuatan di dalam
banyak hal tidak lantas
berarti kekuatan tersebut banyak. Sebagaimana
diestimasikan orang
yang berpendapat, bahwa prinsip pertama dari-Nya
mengalir satu
kekuatan pertama kali, selanjutnya dari yang satu tersebut
mengalir
banyak kekuatan yang lain. Hal semacam ini akan menjadi sebuah
kelaziman apabila pelaku (fa'il) yang terdapat di dalam hayuli di-
samakan dengan pelaku yang terdapat di selain haytili. Oleh sebab
itu, maka apabila penggunaan sebutan fa'il di dalam hayuli tidak
dibedakan dengan pada selain haytili. Hal ini menjelaskan bagi Anda
diperbolehkannya pluralitas bersumber dari satu. Juga, bahwa wujud
prinsip-prinsip lain yang paradoksal hanyalah tergambar darinya.
Tidaklah terlarang, apabila ia menjadi sesuatu yang satu dengan
sendirinya, yang darinya tergambar banyak sesuatu dengan gam-
baran yang beraneka ragam. Sebagaimana juga tidak terlarang
menggambarkan pluralitas menjadi satu.
Bisa jadi kita akan
mendapatkan benda-benda langit ( al-ajram
as samdwiyyah) dan falak
bintang-bintang yang tetap (falak al-kawakib
ats-tsdbitah) tergambar
menjadi satu dengan sendirinya. Sebab
semuanya digerakkan oleh satu
penggerak, yaitu penggerak falak
bintang-bintang yang tetap. Kita juga
mungkin mendapatkan
gerakan-gerakan yang beraneka ragam yang khusus
baginya.
Sehingga, gerakan-gerakannya wajib berasal dari dua penggerak;
(i) berbeda pada satu sisi, dan (ii) menyatu pada sisi yang lain. Yang
demikian itu, dari sudut pandang keterikatannya dengan gerak falak
pertama, sama sebagaimana, jika salah satu anggota atau kekuatan
binatang dianggap terangkat, maka terangkat pulalah seluruh
259
anggota dan kekuatan binatang
tersebut. Begitu pula yang terjadi
pada falak,
partikularitas-partikularitasnya, juga pada kekuatan
penggeraknya.
Ringkasnya, di dalam prinsip-prinsip alam dan
partikulari-partikularitasnya, serta keterhubungannya dengan
prinsip pertama satu sama lain.
5|; Jfc 5*!
Menurut mereka, alam tidak berbeda dengan suatu kota. Jika
kota di bawah kekuasaan satu pemimpin, yang di bawahnya ada
banyak
pemimpin-pemimpin lain yang dikomandoi oleh pemimpin
pertama, maka alam
juga demikian. Semua pemimpin yang ada di
kota tersebut berhubungan
dengan pemimpin pertama, atas dasar
bahwa pemimpin pertama tersebut
merupakan satu-satunya posisi
di antara pemimpin-pemimpin yang ada, yang
menjadi tujuan ada-
nya pemimpin-pemimpin itu, dan sistematika perbuatan
yang musti
dilakukan untuk mencapai tujuan.
Begitu pula
tentang 'pemimpin' pertama pada alam, dan hu-
bungannya dengan
'pemimpin-pemimpin' yang lain.
***
Jelas menurut
mereka, bahwa yang memberikan tujuan (ghayah )
kepada mawjudat yang
paradoksal dengan materi adalah dia yang
memberikan wujud. Sebab dalam
hal ini, bentuk ( shurah) dan tujuan
(ghayah) menjadi mawujud yang satu.
Maka yang memberikan tujuan
dalam mawjiiddt ini adalah yang memberikan
bentuk (shurah).
Dan, yang memberikan bentuk adalah (pelaku), maka
yang
memberikan tujuan di dalam mawjudat ini adalah fa'il.
Oleh karena itu, jelas bahwa prinsip pertama merupakan prin¬
sip bagi semua prinsip, yaitu terdiri dari, (i) pelaku (fa'il), (ii)
bentuk
(shurat), dan (iii) tujuan (ghayah).
***
Adapun keadaan mawjudat indrawi, ketika dia yang memberi¬
kan keesaan, dan keesaan yang terdapat di dalamnya menjadi sebab
adanya pluralitas yang diikat oleh keesaan tersebut. Maka pelaku,
bentuk, dan tujuan menjadi prinsip bagi ini semua. Dan
semua
mawjudat meminta tujuannya dengan bergerak kepadanya. Dan,
gerak tersebut adalah gerak yang meminta tujuan, yang karena
tujuan tersebut ia diciptakan.
Dengan semua itu semakin
jelas, bahwa pola hubungan dengan
semua mawjudat terjadi secara alamiah
( biath-thab '), sedangkan dengan
manusia terjadi berdasarkan kehendak
(bi al-irddah). Oleh karena
itu, maka manusia menjadi mukallaf
(dibebani) yang juga mu'taman
(dipercaya) di antara mawjudat yang lain.
Inilah makna firman Al¬
lah SWT. yang berbunyi, "Irma
'aradl-na'l-amanata 'aid as samaiudt wa'l-
ardl zud'l-jibdl
(Sesungguhnya telah aku limpahkan amanah kepada
langit-langit, bumi dan
gunung-gunung)".
Mereka membantah pernyataan kaum dan berkata,
bahwa
pemimpin-pemimpin yang ada di alam ini, meskipun semuanya ber-
sumber dari Prinsip Pertama—bahwa sebagian bersumber dari-Nya
tanpa perantara, dan sebagian yang lain bersumber dari-Nya dengan
perantara, yaitu ketika berjalan dan naik dari alam terendah menuju
alam tertinggi akan tetapi mereka juga mendapatkan partikulari-
tas-partikularitas falak yang sebagian bergerak, karena gerak se¬
bagian yang lain. Maka, kemudian mereka menisbatkan sebagian
tersebut kepada yang pertama, sehingga semuanya sampai kepada
yang
pertama secara mutlak.
Jadi, tanpa ada keteraturan lain bagi
mereka, juga adanya
perbuatan, di mana seluruh mawjudat dapat
berpartisipasi secara
bersama-sama.
Para pemikir sulit bisa
mengetahui bagaimana, sistematika
saat naik menuju pengetahuan prinsip
pertama. Adapun yang bisa
ditangkap akal manusia adalah, bahwa semua itu
bersifat global
(; mujmal ).
Tetapi yang membut kaum
meyakini, bahwa mawjudat tersebut
tersistematisasi dari prinsip pertama
sesuai urutan falak-falaknya
di tempat lain. Yaitu, karena mereka
melihat bahwa falak tertinggi
(al-falakal-a'la) lebih mulia dibanding
falak di bawahnya. Dan bahwa
261
semua falak mengikuti geraknya. Maka atas dasar ini.,
mereka me-
yakini apa yang diceritakan oleh Abu Hamid dari para filosof
ten-
tang sistematika berdasarkan tempat.
***
Seseorang berkata, barangkali sistematika di sini berdasarkan
perbuatan, bukan berdasarkan tempat.
Hal itu karena ketika
perbuatan bintang-bintang ini—maksud
saya planet-planet dan
gerakannya—yang terjadi demi (min ajli)
matahari, bisa jadi
penggerak-penggerak lainnya mengikuti gerak
matahari. Dan gerak matahari
berasal dari prinsip pertama.
Untuk mengetahui hal-hal semacam
ini, tidak hanya cukup
mengandalkan proposisi-proposisi yang meyakinkan.
Tetapi, juga
perlu dicari mana yang lebih utama dan lebih bermoral. Jika
hal ini
sudah ditemukan, maka kita boleh memilih jalan mana yang hendak
kita lalui.
***
[92]. Abu Hamid berkata:
Jawaban kedua, yaitu bahwa orang yang berpendapat jika
prinsip pertama tidak mengetahui kecuali diri-Nya sendiri,
sesungguhnya ia takut akan peniscayaan pluralitas. Karena, apabila
Dia mengetahui sesuatu yang lain, pasti dikatakan bahwa penge-
tahuan-Nya akan diri-Nya sendiri tidak sama dengan pengetahu-
an-Nya akan yang lain.
Hal ini sesuatu yang lazim pada
akibat pertama. Maka, dia
tidak mengetahui kecuali dirinya sendiri.
Karena, apabila akibat
pertama mengetahui selain dirinya, ia pasti bukan
zatnya, dan ia
tidak memerlukan sebab selain sebab zatnya sendiri. Serta
tidak
ada sebab lain selain sebab yang mengadakan dirinya sendiri, yaitu
prinsip pertama. Dengan demikian akibaj pertama tidak mungkin
dapat mengetahui selain dirinya sendiri. Dan pluralitas dari sudut
pandang ini sudah terbantahkan.
262
Apabila dikatakan, suatu ketika akibat pertama
terwujud,
dan mengetahui zatnya sendiri, maka tidak boleh tidak ia musti
mengetahui prinsipnya.
Kita akan menjawab, apakah hal
tersebut terjadi dengan
sebab, atau tanpa sebab?
Apabila
dikatakan dengan sebab, maka sesungguhnya tidak
ada sebab lain selain
Prinsip Pertama. Prinsip tersebut hanya satu,
maka tidak tergambarkan
akan muncul dari Yang Satu tersebut
kecuali satu. Dan itu sudah terjadi,
yaitu zat akibat pertama. Lantas,
bagaimana akibat kedua bisa bersumber
dari-Nya?
Apabila dikatakan dengan tanpa sebab, maka dari wujud
pertama akan muncul mawujud-mawujud yang sangat banyak. Dan,
dari
hal itulah pluralitas merupakan suatu keniscayaan.
Apabila konsep
pluralitas seperti ini dianggap tidak rasio-
nal dengan pertimbangan,
bahwa wajib al-wujud (yang wajib ada)
hanya satu, dan bahwa tambahan
atas yang satu adalah suatu yang
mungkin, sedangkan yang mungkin
membutuhkan sebab—maka
demikian pula pada akibat yang pertama. Karena
apabila pengetahu-
an akibat pertama tersebut merupakan keniscayaan,
maka per-
nyataan para filosof adalah, wajib al-wujud hanya satu tidak
bisa di-
terima. Tetapi jika pengetahuan tersebut bersifat mungkin,
berarti
ia membutuhkan sebab. Karena, Dia tidak memiliki sebab, maka
Dia tidak mengetahui wujud-Nya.
Hal semacam itu hanya lazim
terjadi pada akibat pertama,
sebab wujud akibat pertama bersifat
mungkin. Dan, setiap akibat
pasti merupakan wujud yang mungkin.
Adapun keberadaan akibat yang mengetahui dengan sebab,
tidak
musti membuat zatnya menjadi wujud. Sebagaimana keber¬
adaan sebab, yang
mengetahui akibatnya juga tidak musti menjadi-
kan zatnya sebuah wujud.
Pengetahuan, lebih merupakan keniscaya¬
an bagi akibat dibanding sebab.
Dengan demikian jelas, bahwa pluralitas yang dihasilkan dari
pengetahuan-Nya akan prinsip adalah sesuatu yang mustahil. Sebab
263
Dia tidak memiliki prinsip.
Otomatis Dia juga bukan wujud zat
akibat.
[92] . Saya
katakan:
Inilah hujjah orang yang meniscayakan prinsip pertama
mengetahui dzat-Nya, padahal Dia tidak memiliki sebab. Karena
ia
berkata, "Apabila Dia tidak mengetahui diri-Nva sebagai prinsip,
berarti
Dia mengetahui zat-Nya secara tidak sempurna."
Adapun sanggahan
Abu Hamid atas ini bermakna, apabila
Dia mengetahui prinsip yang
dimiliki, maka yang demikian hanya
bisa terjadi: (i) untuk sebab (//
al-'illah) dan (ii) untuk selain sebab
(li ghayr al-'illah).
Apabila untuk sebab, berarti prinsip pertama memiliki sebab.
Padahal prinsip pertama tidak memiliki sebab. Jika untuk selain
sebab, pasti dari-Nya akan bersumber pluralitas, meskipun Dia tidak
mengetahuinya.
Apabila pluralitas bersumber dari-Nya,
berarti Dia bukan
wdjib al-wujud, karena yang tergolong wdjib al-ivujud
hanyalah satu.
Sedangkan yang bersumber dari-Nya lebih dari satu,
semua
itu tergolong wujud-wujud yang mungkin. Wujud-wujud yang mung-
kin tersebut membutuhkan sebab.
Dengan demikian berarti
tidak benar apa yang mereka kata¬
kan, bahwa prinsip pertama adalah
wdjib al-wujud, dan Dia menge¬
tahui akibat-Nya.
[93] . Abu
Hamid berkata:
Apabila keberadaan akibat yang mengetahui sebab,
bukan
dari keniscayaan wujudnya, maka terlebih lagi keberadaan sebab
yang mengetahui akibatnya juga bukan dari keniscayaan wujudnya.
[93]. Saya katakan:
Ini pemyataan sophistik.
Sesungguhnya apabila kita menis¬
cayakan sebab memiliki pengetahuan, dan
mengetahui akibatnya,
yang demikian itu tidak lantas menjadikan
pengetahuan tersebut
untuk sebab tambahan bagi zatnya, akan tetapi untuk
zatnya sendiri.
Karena akibat yang bersumber darinya, merupakan sesuatu
yang
mengikuti zatnya. Apabila bersumbemya akibat darinya tidak untuk
sebab, melainkan untuk zatnya, yang demikian itu tidak lantas me-
264
lazimkan bersumbemya pluralitas.
Karena yang demikian itu, me-
nurut kaidah-kaidah dasar mereka, merujuk
kepada zatnya.Yakni,
apabila zatnya tunggal, maka yang bersumber juga
tunggal. Namun
apabila zatnya plural, maka yang bersumber juga ikut
plural.
***
Adapun pernyataannya, bahwa setiap akibat
merupakan
wujud mungkin. Yang demikian itu, hanya tepat apabila
diperuntuk-
kan akibat yang tersusun (al-ma'lul al-murakkab) . Maka,
tidak mung¬
kin ada sesuatu yang tersusun sebagai yang azali.
Semua wujud yang bersifat mungkin, menurut para filosof,
tergolong temporal ( muhdits ). Hal seperti ini sudah sangat jelas di-
suarakan oleh Aristoteles pada salah satu bukunya. Kita bahkan juga
akan membicarakannva lebih banyak, nanti saat membicarakan ten-
tang wajib al-wujud.
Sedangkan sesuatu yang tergolong mumkin
al-wujud versi Ibn
Sma masih mengandung hujjahitas. Oleh karena itu,
maka kebutuh-
annya akan pelaku (fd'il ) tidak sejelas sesuatu yang
mungkin.
[94]. Abu Hamid berkata:
Sanggahan ketiga,
apakah pengetahuan akibat akan prinsip
pertama merupakan zatnya sendiri,
atau identik dengan zatnya,
atau selainnya? Jika dikatakan identik
dengan zatnya, tentu mus-
tahil. Sebab, pengetahuan ('/7m) tidak sama
dengan objek penge¬
tahuan ( ma'lum ). Jika dikatakan selainnya, tentu
prinsip juga demi¬
kian. Maka darinyalah bersumber pluralitas. Dan jika
selain zatnya,
jadi ia tidak mengandung tarbf (pelipatanempat) atau
tastlits (peli-
patantiga) seperti anggapan mereka.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah zatnya, pengetahuan
akan dirinya, dan pengetahuan akan prinsipnya. Dan ia juga merupa¬
kan mumkin al-wujud dengan sendirinya. Bahkan bisa ditambahkan,
bahwa ia merupakan zudjib al-wujud, yang kewajibannya diperoleh
dari sumber eksternal. Maka, di sinilah muncul takhmis (pelipatan-
lima). Sehingga dari sini juga akan diketahui betapa membingung-
kannva pernyataan-pemyataan para filosof tersebut.
***
265
[94]. Saya katakan:
Dalam kaitannya dengan pengetahuan-pengetahuan, pem-
bicaraan di sini terbagi menjadi dua; (i) tentang sesuatu yang dike¬
tahui, dan (ii) tentang sesuatu yang tidak dapat diketahui. Inilah
masalah yang telah lama diperbincangkan oleh al-qudamn'.
Adapun pembicaraan tentang apa yang bersumber darinya,
sesungguhnya Ibn Sina telah menyampaikan pernyataan-per-
nyataan
para filosof, bahkan dia sendiri pula yang membuat sang-
gahannva.
Pernyataan Ibn Sina tersebut—meminjam terma Abu
Hamid tadi—sungguh
sangat membingungkan. Sebab tidak seorang
pun dari al-Cjudamd' yang
menyatakan demikian, yaitu pernyataan
yang tidak berdasarkan bukti,
hanya sebatas estimasi dan hipotesis,
bahwa tidak ada yang bersumber
dari satu kecuali satu. Premis ini
tidak berlaku bagi pelaku yang
merupakan bentuk di dalam materi,
sebagaimana keadaan di dalam pelaku
yang merupakan bentuk ter-
pisah dari materi.
Menurut
mereka, itu bukanlah zat pengetahuan akibat, ke¬
cuali apa yang
diketahui dari prinsipnya. Di sini juga tidak ada dua
hal, salah satunya
zat, dan yang lain makna tambahan bagi zat. Karena
jika demikian, pasti
ia akan tersusun. Padahal sesuatu yang sederhana
(basith) tidak menjadi
tersusun ( murakkab ).
Adapun perbedaan antara sebab dan akibat,
yaitu bahwa
sebab pertama menjadi wujud dengan zatnya—maksudnya dalam
bentuk-bentuk paradoksal—sedangkan, wujud sebab kedua di-
sandarkan kepada wujud sebab pertama, karena wujud sebab kedua
tersebut berstatus sebagai akibat. Sebab kedua adalah substansinya
sendiri, bukan merupakan makna tambahan atas substansinya,
seperti
keadaan di dalam objek pengetahuan ( ma'qulah ) yang bersifat
material.
Misalnya, bahwa wama (lawn) adalah sesuatu yang menjadi
mawujud di dalam jisim dengan zatnya (dengan sendirinya). Ia men¬
jadi sebab bagi penglihatan ( bashar ), karena ia sesuatu yang disandar-
kan atau dihubungkan ( mudlaf ). Penglihatan ( bashar ) tidak memiliki
266
wujud (eksistensi), kecuali
dalam hubungan seperti ini. Oleh sebab
itu, maka apa yang terpisah dari
hayuli adalah substansi karena tabiat-
nya sebagai mudldf Maka, sebab
dan akibat menyatu di dalam bentuk-
bentuk paradoksal ( al-shuwar
al-mufdraqah ) yang terdapat dalam
materi. Juga karena, bentuk-bentuk
indrawi ( al-shuwar al-hissiyynh)
tergolong mucilaf, sebagaimana juga
dijelaskan di dalam ilmu jivva.
***
[95]. Abu
Hamid berkata:
Sanggahan keempai, akan dikatakan, pelipatantiga (
tastlits)
tidak cukup terjadi pada akibat pertama. Sesungguhnya benda
langit
pertama—yang menurut anggapan mereka hanya terdiri dari satu
makna—sebenarnya memiliki prinsip yang di dalamnya ada tiga
komposisi:
Salah satunya, ia terkomposisi dari bentuk dan
hayuli. Begitu
pulalah setiap jisim terkomposisi menurut mereka. Maka,
setiap
sesuatu pasti memiliki prinsip.
Bentuk berbeda dengan
hayuli. Masing-masing, menurut mazhab
mereka, bukanlah sebab independen
(' illah mustaqillah) bagi yang lain,
sehingga salah satunya menjadi ada
dengan perantaraan yang lain,
tanpa adanya sebab tambahan lain atasnya.
[95]. Sava katakan:
Adapun Abu Hamid mengatakan, bahwa
jisim samawi me¬
nurut mereka terkomposisi dari materi ( maddah ),
bentuk (shurali),
dan jiwa (nafs). Maka, akal kedua ( al-'aql ats-tsani)
yang darinya ber-
sumber falak harus memiliki empat makna:
Pertama, darinya bersumber bentuk ( shurah).
Kedua,
darinya bersumber hayiili (materi pertama). Karena,
salah satu dari
kedua ini bukan sebab independen bagi yang lain,
melainkan materi (
maddah ) menjadi sebab bagi bentuk ( shurali) di
satu sisi. Sedangkan,
bentuk ( shurah ) menjadi sebab bagi materi
(maddah) di sisi yang lain.
Ketiga, darinya bersumber jiwa (nafs).
Keempat,
darinya bersumber penggerak falak kedua (muharrik
li al-falak
ats-tsani).
267
Dengan demikian,
pasti terjadi pelipatanempat ( tarbi).
***
Adapun
pernyataannya, bahwa jisim samawi terkomposisi
dari bentuk (shurah) dan
hay (ill (materi pertama) sebagaimana jisim-
jisim yang lain. Yakni,
kesalahan mterpretasi Ibn Sina terhadap per-
nyataan para filosof
parepatetik. Karena menurut mereka, benda
langit tergolong jisim
sederhana (jism basitli). Apabila tersusun ( murakkab ),
menumt mereka,
pasti ia akan rusak. Oleh karena itu, mereka me-
nyatakan bahwa benda
langit bukanlah makhluk dan tidak rusak.
Dan tidak ada kekuatan di
dalamnya atas dua hal yang berlawanan.
Apabila wujud benda langit
seperti yang dikatakan Ibn Sina,
pasti ia akan tersusun seperti
binatang. Kalau ini diterima, maka
pelipatanempat (tcivbT) adalah
sesuatu yang lazim bagi yang mengata-
kan, bahwa tidak ada yang
bersumber dari yang satu kecuali satu.
Kita sudah mengatakan,
bahwa sisi yang menjadikan bentuk-
bentuk ini sebagai sebab satu sama
lain, dan keberadaannya sebagai
sebab bagi benda-benda langit serta
selainnya, maupun keberadaan
sebab pertama sebagai sebab bagi semua
wujud yang ada, tidak se¬
perti ini semua.
[96]. Abu Hamid
berkata:
Komposisi kedua, benda langit tertinggi memiliki batas
ke-
besaran spesifik. Spesifikasi kadar tersebut termasuk di antara
sekian
kadar-kadar yang bersifat tambahan atas wujud zatnya. Oleh karena
itu, maka zatnva mungkin untuk menjadi lebih kecil atau lebih besar
dari ukuran tersebut.
Maka di sini musti ada mukhashshish
(pelaku pengkhususan)
bagi spesifikasi kadar benda langit, yang
merupakan makna tam¬
bahan atas makna sederhana yang wajib bagi
wujudnya. Hal ini
tentu berbeda dengan wujud pengetahuan {'aql). Sebab,
wujud pe-
ngetahuan hanvalah wujud semata, tidak terspesifikasi oleh
kadar-
kadar tertentu yang sepadan dengan kadar-kadar lainnya. Maka
boleh dikatakan, ia tidak membutuhkan sesuatu kecuali sebab yang
sederhana.
268
[96]. Saya
katakan:
Adapun makna dari pernyataan ini, adalah apabila mereka
berkata bahwa jisim falak merupakan makna ketiga yang muncul,
dan
ia sendiri bukan sesuatu yang sederhana—maksudnya tergolong
jisim yang
mempunyai kuantitas—maka di dalamnya terkandung
dua makna, yaitu (i)
memberikansifat jasmani substansial ( jismiyyah
jaivliariyyah), dan (ii)
memberikan sifat kuantitatif terbatas ( katnmiy -
yah niahdudah).
Dengan demikian, maka pengetahuan yang darinya ber-
sumber
jisim falak harus memiliki lebih dari satu makna, sehingga
sebab kedua
tidak dilipatkan tiga, melainkan dilipatkan empat.
Ini semua tentu
tidak benar, sesungguhnya para filosof tidak
pernah mempercayai, bahwa
jisim dan seluruh komponennya ber-
sumber dari kontrari atau paradoksnya
( mufariq ). Tetapi mereka mem¬
percayai, bahwa yang bersumber darinya
adalah bentuk-bentuk
substansial ( ash-shurnh al- jaiuhnriyyah).
Sedangkan beberapa kadar
partikularitasnva, menurut mereka, disesuaikan
dengan bentuk-bentuk
tersebut. Akan tetapi, semua ini menurut mereka
hanya terjadi pada
bentuk-bentuk materi pertama (ash-shurah
al-hayulaniyyah), juga pada
benda-benda langit yang sederhana ( al-ajram
as-samawiyyah al-basUhah),
yang tidak memiliki kuantitas besar atau
kecil. Sedangkan, peletakan
bentuk dan materi sebagai yang bersumber
dari prinsip paradoksal,
sungguh merupakan pernyataan yang sangat jauh
dari kaidah-kaidah
dasar para filosof.
Menurut para filosof,
pelaku (fd'il) hakiki di dalam makhluk-
makhluk yang rusak (kd'indt
fdsiddt), tidak menjadikan bentuk dan
hayidi sebagai objek perbuatan,
melainkan menjadikan kedua-dua-
nya yang tersusun sebagai sumber
perbuatan. Maksudnya yang ter-
susun dari bentuk dan hayuli. Karena
apabila fd'il menjadikan bentuk
dan hayidi sebagai objek perbuatan,
niscaya ia akan menjadikannya
sebagai objek perbuatan dalam sesuatu,
bukan dari sesuatu. Yang
demikian itu, bukan pendapat para filosof.
.269
[97]. Abu Hamid berkata
menjawab para filosof:
Apabila benda langit dikatakan lebih besar,
niscaya ia tidak
akan diperlukan di dalam menghasilkan keteraturan
universal.
Tetapi, apabila lebih kecil, tentu keteraturan yang
diinginkan tidak
akan bisa tercapai.
[97] . Saya katakan:
Pernyataan ini tidak dimaksudkan agar para filosof tidak
semustinya berpendapat, bahwa benda langit boleh lebih besar atau
lebih kecil dari ukuran yang semustinya. Karena, apabila benda langit
tersebut mengalami salah satu kualifikasi ini, pasti keteraturan yang
diinginkan di alam ini tidak bisa diwujudkan. Begitu pula upaya meng-
gerakkan benda langit tersebut tidak akan bersifat alami, melainkan
sebagai tambahan atas penggerakan ini, atau malah menjadi ber-
kurang. Masing-masing dari keduanya (bertambah atau berkurang)
sama-sama berakibat pada kerusakan mcizvjudat. Bukan justru per-
ubahan yang membesar membuatnya memiliki keutamaan, sebagai-
mana
anggapan Abu Hamid. Melainkan pembesaran maupun pe-
ngecilan, keduanya
sama-sama berakibat pada kerusakan alam.
***
[98] .
Abu Hamid berkata menjawab para filosof:
Kita akan menjawab,
apakah penentuan arah keteraturan ( nidhdm )
cukup hanya pada wujud yang
memiliki keteraturan? Atau ia mem-
butuhkan sebab yang menjadikannya
sebagai wujud? Apabila diang-
gap cukup, berarti kalian tidak memerlukan
penetapan adanya sebab-
sebab. Maka kalian harus memutuskan, bahwa
keberadaan keter¬
aturan pada mawjudat meniscayakan adanya maiojudat ini
tanpa
sebab-sebab tambahan. Apabila hal tersebut tidak cukup, melainkan
masih membutuhkan sebab, maka begitu pula ia tidak cukup untuk
sebuah spesifikasi (ikhtishdsti) dengan kadar-kadar tertentu, tetapi
masih membutuhkan sebab bagi ketersusunan ( tnrkib ).
[98].
Saya katakan:
Inti pernyataan ini adalah melazimkan mereka, bahwa
di
dalam jisim terdapat banyak hal, yang tidak mungkin hanya ber-
sumber dari satu pelaku (fd'il). Kecuali, apabila mereka mengatakan
270
bahwa dari peiaku yang satu
dapat bersumber perbuatan-perbuatan
yang banyak. Atau, meyakini bahwa
banyak hal yang mengikuti
jisim (lawdhicj al-jism) lazim bersumber dari
bentuk jisim tersebut.
Dan, bentuk jisim bersumber dari fa'il (peiaku).
Berdasarkan pendapat ini, maka aksiden-aksiden pengikut jisim
yang terbentuk dari pelakunya, tidak bersumber sebagai yang pertama,
melainkan dengan perantaraan bersumbernya bentuk darinya.
Ini pernyataan yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah dasar
para filosof, juga bertentangan dengan ushul para mutakallimin.
***
Saya kira Muktazilah juga berpendapat, bahwa
di sini ada
banyak hal yang tidak bersumber dari peiaku sesuatu sebagai
yang
pertama, sebagaimana pandangan para filosof.
Sedangkan
menurut kita, sebenarnya sudah dijelaskan dalam
pemvataan-pernyataan
kita, bagaimana yang satu menjadi sebab
bagi wujud sebuah keteraturan?
Juga wujud banyak hal yang mem-
bawa keteraturan? Maka, saya kira tidak
perlu untuk diulangi lagi.
[99], Abu Hamid berkata:
Argumen ketiga, yaitu bahwa falak tertinggi terbagi kepada
dua titik, yang kedua-duanya merupakan kutub. Kedua kutub ter¬
sebut berada pada tempat yang tetap dan tidak pemah meninggal-
kannya. Sedangkan, tempat bagi bagian-bagian zona berbeda-beda.
Maka, tidak menutup kemungkinan semua bagian-bagian falak ter-
ti
n §gi adalah sama. Sehingga, tidak perlu lagi ada penentuan dua titik
di
antara titik-titik yang lain, karena kedua titik tersebut menjadi
kutub,
dan kedua bagiannya berbeda-beda. Sebagian yang satu me-
miliki
spesifikasi yang tidak dimiliki sebagian yang lain.
Lantas, apa
prinsip ( tnabda') dari perbedaan-perbedaan ter¬
sebut? Padahal benda
tertinggi ( al-jarm al-aqsha) tidak bersumber,
kecuali dari satu makna
yang sederhana. Dan sesuatu yang seder-
hana hanya bisa mengeluarkan
bentuk yang sederhana pula, yaitu
bulat. Sesuatu yang sederhana juga
memiliki makna yang sama,
yaitu terlepas dari spesifikasi yang
membedakan ( al-khawash al-mu-
mayyiznh), Sungguh ini suatu dilema yang
sulit dipecahkan.
271
[99]. Saya
katakan:
Sesuatu yang sederhana itu memiliki dua makna:
Pertama, tidak tersusun dari partikularitas-partikularitas yang
plural, yaitu tersusun dari bentuk ( shurah ) dan materi ( maddah ).
Atas
dasar itu, dalam kaitannya dengan jisim-jisim yang empat, mereka
mengatakan bahwa semua itu sederhana.
Kedua, kesederhanaan
disandangkan kepada sesuatu yang
tidak terdiri dari bentuk dan materi,
yaitu benda-benda langit (al-
ajram as-samdwiyyah). Kesederhanaan juga
disandangkan, kepada se¬
suatu vang bersumber darinya kull (global) dan
juz' (parsial) menjadi
satu, meskipun ia tersusun dari unsur-unsur atau
elemen yang empat.
Adapun kesederhanaan yang disandangkan kepada
benda-
benda langit, kiranya tidak terlalu jauh apabila bagian-bagiannya
ada dan berbeda-beda, sebagaimana kanan dan utara bagi falak dan
kutub-kutub.
' Sedangkan bola, karena ia bulat, maka harus
memiliki kutub-
kutub dan poros tertentu, yang membuat setiap bola
berbeda-beda.
Keberadaan bola yang memiliki sisi-sisi tertentu tidak
lantas men-
jadikannya tidak sederhana. Akan tetapi, ia menjadi
sederhana,
karena ia tidak tersusun dari bentuk dan materi yang
sama-sama
memiliki kekuatan. Juga tidak sama, atas pertimbangan, bahwa
bagi-
an yang menjadi tempat kedua kutub bukan sembarang tempat pada
bola, tetapi jelas-jelas merupakan tempat tertentu di dalam setiap
bola.
Jika tidak demikian, maka bola tentu tidak akan
memiliki poros,
yang dengan poros tersebut membuatnya berbeda-beda. Maka
dalam
makna ini, ia tidak sama.
Jika, dalam makna ini ia
dinyatakan tidak sama, yang demi¬
kian itu tidak lantas melazimkannya
tersusun dari jisim-jisim yang
memiliki tabiat berbeda-beda. Juga tidak
melazimkan keberadaan
fa'il tersusun dari kekuatan-kekuatan yang plural,
karena setiap bola
hanya satu.
272
Juga tidak benar apa yang mereka katakan, bahwa setiap
titik pada bola yang mana saja, memungkinkan untuk menjadi poros.
Tetapi, hal tersebut dibuat khusus oleh pelaku (fa'il). Tdak demi-
kian, sebab hal tersebut, hanya dapat terjadi pada bola buatan («/-
akr ash shina iyyah), bukan bola alami ( al-akr ath-athabi' iyyah).
Tidak lazim apabila, setiap tempat pada bola dapat menjadi
poros, sebagaimana juga tidak lazim jika pelaku yang membuatnya
khusus. Sebab, yang demikian meniscayakan pelaku berbilangan,
kecuali ditetapkan bahwa tidak ada satu apa pun dalam kenyataan
(sydhid) yang dari satu pelaku bersumber satu pelaku yang lain.
Karena apa yang ada dalam kenyataan terdiri dari al-ma’quldt al-
'asyr (sepuluh macam kategori yang dikemukakan oleh Aristoteles).
Dengan demikian, maka masing-masing yang ada di sini membutuh-
kan
sepuluh pelaku. Semua ini pemikiran konyol dan igauan belaka,
seperti
pemikirannya dalam bidang ilmu ketuhanan.
Dalam kenyataan, satu
ciptaan hanya diciptakan oleh satu
pencipta, meskipun di Sana terdapat
al-ma'quldt al-'asyr. Sungguh dusta
premis ini, yang menyatakan bahwa
yang satu hanya menciptakan
satu, apabila dipahami sesuai pemahaman Ibn
Sma, Abu Nashr,
dan Abu Hamid di dalam kitab 'al-Misykdt'-nya.
***
[100], Abu Hamid berkata:
Apabila dikatakan, jika di dalam prinsip terdapat banyak
macam pluralitas yang lazim padanya, meskipun pluralitas tersebut
tidak muncul dari prinsip. Akan tetapi, kita hanya mengetahui tiga
atau empat macam, sedangkan yang lain belum kita ketahui. Justru
ketidaktahuan tentang macam-macam pluralitas tersebut tidak
menggoyahkan keyakinan kita, bahwa prinsip pluralitas memang
plural, dan dari yang satu tidak bersumber pluralitas.
***
[lOOJ.Saya katakan:
Apabila penyataan ini benar
disampaikan oleh para filosof,
niscaya mereka harus meyakini bahwa pada
akibat pertama (al-
273
ma'lul
al-awwal) terdapat pluralitas yang tiada terbatas. Jika demi-
kian,
seharusnya dipertanyakan kepada mereka, dari mana ber-
sumbemya
pluralitas pada akibat pertama? Bukankah mereka me¬
ngatakan, bahwa
pluralitas tidak bersumber dari yang satu? Maka
hal itu berarti
pemyataan, bahwa tidak ada yang bersumber dari
yang satu kecuali satu,
bertentangan dengan pemyataan kalian. Dari
yang satu pertama bersumber
sesuatu yang mengandung pluralitas.
Kecuali, apabila mereka menyatakan
bahwa pluralitas yang terdapat
pada akibat pertama, semuanya merupakan
yang pertama. Namun,
jika demikian yang terjadi, berarti yang pertama
itu banyak.
***
Yang paling aneh adalah bagaimana
mungkin hal semacam
ini tidak dilemparkan kepada Abu Nashr dan Ibn Sina.
Padahal mereka
berdualah orang pertama yang mengeluarkan pemyataan
tersebut,
dan kemudian menisbatkannya kepada para filosof.
Karena apabila mereka mengatakan, bahwa pluralitas yang
terdapat pada prinsip kedua adalah apa yang mengetahui dari zat-
nya. Dan yang mengetahui dari selain zatnya, niscaya mereka harus
mengakui bahwa zat prinsip pertama memiliki dua tabiat—mak-
sudnya
dua bentuk. Mana yang berasal dari prinsip pertama? Dan
mana yang tidak
berasal dari-Nya?
Begitu pula apabila mereka mengatakan, bahwa
prinsip kedua
merupakan sesuatu yang mungkin dari zatnya, dan sesuatu
yang
wajib dari selain zatnya—karena tabiat yang mungkin musti menjadi
bukan tabiat yang wajib, yang diambil dari wajib al-wujud —maka
sesungguhnya tabiat yang mungkin ( al-thabi'ah al-mumkinah) tidak
mungkin berubah menjadi wajib. Kecuali, apabila tabiat sesuatu yang
mungkin (al-thabi'ah al-mumkinah) bisa berubah menjadi tabiat yang
wajib
Oleh karena itu, maka pada tabiat yang wajib sama
sekali
tidak terdapat kemungkinan, baik ia menjadi wajib dengan zatnya,
maupun menjadi wajib dengan selain zatnya.
***
274
Semua ini tergolong kurafat, dan
pemyataan-pemyataan yang
lebih lemah dari pemyataan para mutakallimin.
Semua terasa asing
dalam filsafat. Tidak terdapat di dalam kaidah-kaidah
para filosof.
Dan, semua tidak sampai pada taraf kepuasan dialektika (
al-iqna 1
al-khithabl), kaiau tidak disebut diplomats (jaddli ).
Maka, kiranya tidak berlebihan apabila Abu di dalam salah
satu kitabnya menyatakan, bahwa pengetahuan mereka akan
masalah-masalah ketuhanan hanya bersifat dhanni dan estimatif.
***
[101]. Abu Hamid berkata:
Kita
katakan, apabila kalian menerima ini, maka katakan
bahwa semua mawjuddt
dengan pluralitasnya yang telah mencapai
ribuan bersumber dari akibat
pertama. Maka, tidak perlu lagi di-
fokuskan kepada benda falak
tertinggi ( farm al-falak al-aqshd) dan
jiwanya. Melainkan darinya boleh
saja bersumber seluruh jiwa-jiwa
falak dan manusia, juga seluruh
jisim-jisim bumi dan langit dengan
macam-macamnya yang plural, termasuk
yang tidak mereka ke-
tahui.
[101].Saya katakan:
Ini benar, khususnya menjadikan perbuatan yang bersumber
dari prinsip pertama adalah keesaan ( wahdaniyyah ), yang dengan
keesaan tersebut akibat pertama menjadi mawujud yang satu, ber-
sama pluralitas yang dikandungnya.
Sesungguhnya, apabila
mereka memperbolehkan adanya
pluralitas yang tidak terbatas pada akibat
pertama, maka pluralitas
tersebut bisa jadi lebih sedikit dari totalitas
mawjuddt, atau lebih
banyak darinya, atau bisa juga sama. Apabila
temyata pluralitas
tersebut, lebih sedikit dari totalitas mawjuddt, pada
pada saat itu
mereka harus memasukkan yang ketiga, atau sesuatu akan
terjadi
tanpa sebab. Namun, apabila temyata sama atau lebih banyak, maka
mereka tidak harus memasukkan yang ketiga, akan tetapi piurali-
tas yang bersumber di dalamnya merupakan tambahan (fadll).
***
275
[102]. Abu Hamid
berkata:
Selanjutnya, maka akibat pertama tidak perlu ada. Sesung-
guhnya, jika lahimya pluralitas dianggap mungkin tanpa sebab, dan
ia bukan suatu keniscayaan pada wujud akibat pertama, maka
pluralitas tersebut bisa saja diestimasikan ada bersamaan dengan
akibat pertama, dan menjadi sebuah wujud tanpa sebab. Selanjutnya
akan dikatakan bahwa pluralitas itu musti ada, tetapi totalitasnya
tidak diketahui.
Dan, setiap kali wujud pluralitas
dilukiskan tanpa sebab, dan
bersamaan dengan wujud akibat pertama, maka
yang demikian juga
bisa dilukiskan pada akibat kedua.
Sungguh tiada bermakna pernyataan kita tentang wujud
pluralitas yang bersamaan dengan akibat pertama, maupun ber-
sama
dengan akibat kedua. Sebab, akibat pertama dan kedua—
berdasarkan asumsi
di atas—tidak terpisahkan oleh waktu dan
tempat. Dan, sesuatu yang tidak
terpisahkan oleh waktu dan tempat,
lebih-lebih dianggap bisa menjadi
mawujud tanpa sebab, niscaya
tidak mungkin untuk dikatakan salah satu
berhubungan dengan
yang lain.
[102].Saya katakan:
Ia katakan, bahwa jika adanya pluralitas pada akibat pertama
dimungkinkan tanpa sebab—karena sebab pertama tidak memun-
culkan
pluralitas—maka mungkin pula mengestimasikan pluralitas
bersamaan dengan
wujud sebab pertama. Dalam hal ini, wujud sebab
kedua atau akibat
pertama tidak lagi diperlukan. Apabila wujud
sesuatu yang bersamaan
dengan sebab pertama, dan tanpa sebab,
dianggap mustahil, maka yang
demikian juga tentu mustahil terjadi
pada sebab kedua. Bahkan, tiada
bermakna kita menyebutnya se-
bagai sebab kedua, karena ia menyatu dalam
makna dengan sebab
pertama, dan tidak salah satu dari keduanya
dipisahkan oleh waktu
dan tempat. Apabila mungkin terjadinya sesuatu
tanpa sebab, maka
sesuatu tersebut tidak perlu dikhususkan kepada salah
satu dari
kedua sebab yang ada—maksudnya, sebab pertama atau sebab
276
kedua—melainkan cukup ada pada
salah satu, dan tidak dikaitkan
dengan yang lain.
[103]. Abu
Hamid berkata menjawab para filosof:
Apabila dikatakan, pluralitas
sesuatu telah mencapai ribuan.
Tetapi, pluralitas pada akibat pertama
jauh kemungkinan untuk men¬
capai batas jumlah sebanyak ini. Oleh sebab
itu, maka kita mem-
perbanyak perantara-perantara.
Selanjutnya Abu Hamid berkata menjawab para filosof, per-
nyataan kalian tentang 'jauhnya kemungkinan' untuk mencapai batas
jumlah sebanvak pluralitas sesuatu merupakan pelemparan keragu-
raguan yang tidak tegas memutuskan hukum pada objek penge-
tahuan
(ma'qulah). Berbeda dengan jika kalian mengatakannya 'mus-
tahil'.
Tetapi walaupun kahan mengatakan mustahil, kita akan mem-
pertanvakan,
mengapa mustahil? Apa standar dan patokannya? Kalau
kita telah melampaui
yang satu, dan dari yang satu tersebut muncul
akibat pertama yang tidak
dari sebab, maka yang kedua dan ketiga
juga akan demikian. Lantas, apa
yang mustahil jika yang keempat dan
kelimajugaseperti itu? Begitu
seterusnya sampai seribu. Barangsiapa
mengambil keputusan hukum tidak
dengan kadar yang jelas, pasti
tiada jalan kembali baginya setelah
melampaui satu. Hal ini sudah
sangat jelas.
[103].Saya
katakan:
Apabila Ibn Sina dan para filosof yang lain memberikan
jawab-
an, bahwa akibat pertama pasti mengandung pluralitas, dan hanya
ada satu yang bersumber dari setiap pluralitas, yang dengan kesatu-
an tersebut meniscavakan pluralitas merujuk kepada yang satu. Dan
kesatuan yang telah menjadikan pluralitas merupakan makna seder-
hana, sehingga dari yang satu tersebut muncul sesuatu yang tunggal
dan sederhana (miifrnd basith), niscaya mereka akan terlepas dari
sanggahan-sanggahan Abu Hamid, juga terlepas dari keburukan-
keburukan ini.
Sementara Abu Hamid, ketika mendapatkan
pemyataan-per-
nvataan ngawur, yang dinisbatkan kepada para filosof,
kemudian
277
tidak seorang pun yang
dapat memberikan sanggahan secara benar,
ia tentu sangat berbangga.
Selanjutnya, ia akan semakin gencar me-
nyerang mereka. Jika Abu Hamid
mengetahui, bahwa sebenarnya
ia tidak menyanggah para filosof (oleh
karena pemyataan-pemyata-
an ngavvur tersebut hanya dinisbatkan kepada
mereka oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab), niscaya ia tidak
akan mem-
busungkan dada.
Adapun letak kesalahan dalam
pernyataan ini adalah, bahwa
tidak ada yang bersumber dari yang satu
kecuali satu. Tetapi kemu-
dian mereka menyatakan, bahwa dari yang satu
tersebut bersumber
pluralitas. Dengan demikiar, akhirnya mereka
menyatakan bahwa
pluralitas tersebut menjadi wujud tidak dengan sebab.
Sedangkan pernyataan mereka, bahwa pluralitas terbatas dan
membutuhkan dimasukkannya prinsip ketiga dan keempat bagi
zmijud
al- mawjuddt, yaitu sesuatu yang pasti, yang tidak memerlukan
bukti.
Ringkasnya, ketetapan ini tidak sama dengan ketetapan
pada
prinsip pertama dan kedua. Hal itu dengan dikatakannya,
bagaimana
mungkin pluralitas akan ada pada sebab kedua tanpa
sebab pertama. Semua
ini omong kosong dan kurafatbelaka. Sumber
semua ini karena mereka tidak
mengerti bagaimana yang satu men¬
jadi sebab, menurut mazhab Aristoteles
dan para filosof parepatetik.
Di akhir makalah ia memuji-muji dan
memberitahu, bahwa setiap al-
qudanid' tidak mampu berkata apa-apa
tentang hal itu.
***
Berdasarkan ini semua, menurut
apa yang kita ceritakan tentang
mereka, maka premis yang menyatakan
bahwa tidak ada yang ber¬
sumber dari yang satu kecuali satu adalah
benar. Dan, bahwa dari
yang satu bersumber pluralitas juga benar.
***
[104]. Abu Hamid berkata:
Selanjutnya kita katakan, bahwa pernyataan ini tidak benar
bila dikaitkan dengan akibat kedua. Karena darinya bersumber falak
278
bintang-bmtang, yang di dalamnya
memuat seribu dua ratus lebih
gugusan bintang yang berbeda-beda dalam
ukuran, bentuk, posisi,
wama, pengaruh, kemalangan, dan kebahagiaannya.
Sebagian ber-
bentuk sapi betina, sapi jantan, dan singa. Dan sebagian
yang lain
berbentuk manusia. Pengaruhnya di satu tempat pada alam
terendah
berbeda-beda dalam hal pendinginan, pemanasan, kebahagiaan, dan
kemalangan. Begitu pula kadar-kadar zatnya berbeda-beda.
***
*
Maka berdasarkan perbedaan-perbedaan ini, tidak
mungkin
untuk dikatakan bahwa semua bintang-bintang ini homogen. Jika
mi dl benarkan, mscaya akan boleh juga untuk dikatakan, bahwa
seluruh jisim-jisim alam homogen dalam ketubuhannya ( jismiyyah ),
sehingga dengan demikian ia hanya membutuhkan satu sebab.
Namun apabila perbedaan-perbedaan sifat, substansi dan
tabiatnya menunjukkan wujudnya yang heterogen, maka demikian
pula
yang terjadi pada bintang-bintang. Masing-masing dari wujud
yang
heterogen tersebut membutuhkan sebab tersendiri bagi bentuk-
nya, dan
sebab bagi materi pertama (hayuh) nya, juga sebab bagi
spesifikasi
tabiatnya—apakah ia termasuk sesuatu yang dipanaskan
atau didmginkan,
dan yang berbahagia atau malang—dan spesi¬
fikasi tempatnya, kemudian
bagi spesifikasi penciptaannya dengan
bentuk-bentuk binatang yang
beraneka ragam.
Apabila pluralitas semacam ini dapat dibayangkan
pada akibat
kedua, demikian pula halnya pada akibat yang pertama.
[104], Saya katakan:
Sesuai makna pluralitas dalam bab
ini, berarti keraguan sudah
dapat dihilangkan. Dan, jika Anda bisa
menerima jawaban seperti
yang telah kita sebutkan dari mereka, maka
kemustahilan-kemus-
tahilan ini akan sima.
Akan tetapi,
apabila pernyataan bahwa sesuatu yang ber-
bilangan satu dan sederhana
tidak bersumber darinya, kecuali se¬
suatu yang berbilangan satu dan
sederhana, dimengerti sebagai tidak
ada yang berbilangan satu di satu
sisi, dan tidak ada yang berbilangan
banyak di sisi yang lain. Dan bahwa
kesatuan yang bersumber dari-
279
nya merupakan, sebab bagi wujud pluralitas. Keraguan
seperti ini
pasti senantiasa akan menghantui.
***
Demikian pula, menurut para filosof, sesuatu akan menjadi
plural tergantung pada pengetahuan-pengetahuan substansi (al-
'uijiil al- jawhariyyah). Adapun perbedaan yang terjadi pada aksiden-
aksiden sesuatu, —baik yang bersifat kuantitatif ( kammiyyah ), mau-
pun kualitatif (kayfiyyah), atau macam-macam kategori (al-mn'qulat)
yang lain—menurut mereka, tidak meniscayakan perbedaan pada
substansinya.
Sedangkan jisim-jisim samawi, seperti sudah
kita katakan,
tidak tersusun dari bentuk dan materi. Ia juga tidak
memiliki spesies
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menurut mereka,
jisim-jisim ter-
sebut tidak berada pada satu genus. Sebab, jika ia
berada pada satu
genus, ia pasti akan menjadi tersusun ( murakkabah ).
Dan, sesuatu yang
tersusun bukan sesuatu yang sederhana ( basithah ).
Hal ini sudah kita perbincangkan. Maka tidak akan ada artinya
jika diulangi lagi.
[105]. Abu Hamid berkata:
Sanggahan kelima, yaitu akan kita katakan, meskipun kita me-
nerima postulat-postulat yang dingin dan asumsi-asumsi yang rusak
ini, tetapi mengapa kalian tidak malu untuk mengatakan, bahwa
keberadaan akibat pertama sebagai wujud yang mungkin ( mumkin
al-wujud), meniscayakan wujud benda falak tertinggi (jarm al-falak
al-nqsha) bersumber darinya? Dan, pengetahuan akan dirinya menis¬
cayakan wujud jiwa falak (nafs al-falak) bersumber darinya? Juga,
pengetahuannya akan prinsip pertama meniscayakan wujud pe¬
ngetahuan yang bersumber darinya? Kemudian, apakah perbedaan
antara ini semua dengan seseorang yang mengatakan, bahwa ia
mengetahui wujud manusia yang gaib, dan wujud manusia tersebut
merupakan wujud yang mungkin, mengetahui dirinya sendiri dan
penciptanya. Sehingga, ia mengatakan keberadaannya sebagai
280
wujud yang mungkin melazimkan
wujud falak. Lantas ia diper-
tanyakan, mana yang lebih tepat;
keberadaannya sebagai wujud yang
mungkin, atau wujud falak yang
bersumber darinya? Begitu pula
keberadaannya yang mengetahui dirinya
sendiri dan penciptanya,
lazim bersumber darinya dua hal lain. Apabila
hal ini dikatakan
ada pada manusia, tentu yang demikian hanya mengundang
tawa.
Begitu pula, jika dikatakan ada pada mawujud yang lain. Karena
kemungkinan wujud adalah premis yang tidak berbeda seiring per-
bedaan yang terdapat pada zat sesuatu yang mungkin. Apakah ia
berupa manusia, malaikat atau falak sekalipun?
Saya sendiri
tidak habis pikir bagaimana jiwa seseorang yang
gila bisa merasa puas
dengan postulat-postulat semacam ini? Apalagi
yang mengklaim sebagai
kaum pemikir, mengapa dapat menelorkan
teori-teori objek pengetahuan
yang membelah-belah rambut?
[105]. Saya katakan:
Semua
ini adalah pemyataan Ibn Sina. Barangsiapa mengikuti
pemyataan tersebut,
berarti ia telah mengikuti pemyataan yang ke-
liru, m yang tidak
terdapat di dalam kaidah-kaidah dasar para filosof.
Akan tetapi,
meskipun demikian, pemyataan-pernyataan tersebut
tidak lantas dihukumi
sebagai yang sama sekali tidak memberikan
kepuasan dan gambaran hakiki,
seperti disinyalir oleh Abu Hamid.
Hal itu sesungguhnya manusia
yang diniscayakan, sebagai
mumkin al-wujud dari zatnya, dan wajib
al-wujud dari selain zatnya,
serta mengetahui dirinya dan penciptanya.
Hal ini hanya tepat di-
asosiasikan dengan sebab kedua, apabila manusia
ini berfungsi se¬
bagai pelaku bagi mawujud-mawujud yang ada. Baik dari
sisi zatnya
maupun pengetahuannva, sebagaimana fungsi yang dinisbatkan
ke-
pada prinsip kedua oleh orang-orang yang mengikuti pemyataan
Ibn Sina.
Apabila manusia diposisikan demikian, pasti
darinya akan
bersumber dua hal. Salah satunya mengetahui zatnya sendiri,
dan
yang lain mengetahui penciptanya. Karena apabila manusia dinis¬
cayakan sebagai pelaku dari sisi pengetahuan, yang juga tidak jauh
berbeda peniscavaannya sebagai pelaku dari sisi zatnya, pasti orang
itu (Abu Hamid) akan berkata, sesungguhnya yang lazim pada manusia
281
sebagai mumkin al-wujud, tidak
sama dengan yang lazim padanya
sebagai zvajib al-wujud, meskipun kedua
sifat ini sama-sama menjadi
mawujud bagi zatnya.
Jadi,
perkataan ini tidak keji, menurut versi yang diinginkan
oleh orang ini.
Sehingga, dengan pemyataan tersebut jiwa-jiwa pun
berpaling dari
pemyataan para filosof, kemudian menjelek-jelekkan
mereka di kalangan
kaum pemikir.
Maka tidak ada bedanya antara pemyataan ini dan
pemyata¬
an seseorang yang berkata, jika kalian menetapkan sebuah ma¬
wujud yang hidup dengan kehidupan, berkemauan dengan ke-
hendak,
berilmu dengan pengetahuan, mendengar, melihat, dan
berbicara dengan
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan. Dan
semua alam lazim
bersumber dari mawujud tersebut, niscaya dari
manusia yang hidup, yang
berpengetahuan, yang mendengar, yang
melihat dan berbicara, semua alam
juga akan bersumber darinya.
Sebab apabila sifat-sifat ini meniscayakan
wujud alam, maka wajib
tidak adanya perbedaan pada setiap mawujud yang
tersifati
olehnya.
***
Apabila orang ini
bermaksud menyampaikan kebenaran, tetapi
kemudian melakukan kesalahan,
berarti ia masih bisa dimaafkan.
Akan tetapi jika ia sudah mengetahui
penyimpangan yang terjadi
di dalam pemyataan-pemyataannya, tetapi ia
masih saja menyam-
paikannya, lebih-lebih dalam kondisi terpaksa (
dlarurah ), maka bagai-
manapun juga ia tidak bisa dimaafkan.
Apabila semua ini dimaksudkan agar diketahui, bahwa ia
tidak
memiliki pemyataan-pemyataan burhani yang dapat dijadikan
sandaran bagi
masalah-masalah ini—maksudnya masalah dari mana
pluralitas
berasal?—sebagaimana yang tampak pada salah satu
perkataannya, "Ia benar
dalam hal itu," sebab orang tersebut
memang tidak memiliki otoritas
keilmuan yang memadai—hal ini
memang tampak pada beberapa
pernyataannya-—dan salah satu
penyebabnya karena ia tidak melihat,
kecuali pernyataan-per-
282
nyataan
sepihak di dalam kitab-kitab Ibn Sina. Maka dalam hal ini
tentu ia
kurang bisa bersikap bijak. 115
[106]. Abu Hamid berkata:
Apabila ada seseorang yang berkata, jika kalian menolak
mazhab para filosof, lalu kalian sendiri apa yang hendak dikatakan?
Apakah kalian akan beranggapan dua hal yang berbeda, akan ber-
sumber dari sesuatu yang satu, sehingga dengan demikian, kalian
berseberangan dengan realitas rasional? Atau, apakah kalian akan
berkata, bahwa pluralitas terdapat pada prinsip yang pertama, se¬
hingga dengan demikian, kalian mengingkari ajaran tauhid? Atau,
kalian akan menafikan pluralitas di alam ini, sehingga dengan demi¬
kian kalian mengingkari fakta indrawi? Atau justru akan berkata,
bahwa pluralitas tersebut ada dengan perantara-perantara, se¬
hingga dengan demikian kalian terpaksa mengakui apa yang di¬
katakan oleh para filosof?
Kita akan menjawab, memang kita
tidak mendalami seluruh
isi kitab ini secara merata. Tujuan kita hanya
untuk mengacaukan
dogma-dogma para filosof. Dan itu sudah berhasil.
Meskipun demi¬
kian, tetap akan kita katakan, bahwa pendapat yang
menyatakan
bersumbemya dua hal berbeda dari yang satu bertentangan
dengan
realitas rasional, atau penyifatan prinsip pertama dengan
sifat-sifat
eternal dan azali bertentangan dengan ajaran tauhid.
Kedua-dua-
nya merupakan pendapat yang tidak benar, dan tidak beralasan.
Sesungguhnya kemustahilan bersumber pada dua hal dari yang
tidak
diketahui. Sebagaimana diketahui kemustahilan satu orang
berada di dua
tempat. Ringkasnya, tidak dapat diketahui secara
pasti, maupun
berdasarkan pertimbangan nalar.
Kemudian, apa yang menolak
dikatakannya prinsip pertama
sebagai Yang Berpengetahuan, Yang Berkuasa,
Yang Berkemauan,
berbuat apa saja yang dikehendaki, dan menghukum apa
saja yang
disukai. Dia juga yang menciptakan makhluk-makhluk sejenis
mau¬
pun yang berbeda-beda, sebagaimana yang Dia kehendaki. Kemus¬
tahilan ini semua tidak bisa diketahui secara pasti, maupun ber-
dasarkan pertimbangan nalar. Namun demikian, para nabi yang di-
283
bekali mukjizat telah
menjelaskan kebenaran semuanya. Jadi, hukum-
nya wajib menerima ajaran
para nabi tersebut.
Adapun pembahasan bagaimana perbuatan
bersumber dari
Allah SWT., sungguh merupakan intervensi dan kerakusan
yang
tidak proporsional. Sedangkan, mereka yang rakus mencari penge-
tahuan secara proporsional, maka hasil pemikiran mereka merujuk
kepada, bahwa akibat pertama, oleh karena statusnya sebagai mum-
kin al-wujud, maka darinya bersumber falak. Dan, karena statusnya
yang mengetahui dirinya sendiri, maka darinya bersumber jiwa
falak. Akan tetapi semua ini tampak sebagai ketololan.
Oleh
karena itu, maka kita menerima prinsip-prinsip bagi
masalah ini yang
bersumber dari para nabi Shnlawat Allah 'alay-him.
Marilah
mempercayainya, karena akal nyata-nyata tidak bisa mem-
bantahnya.
Tinggalkanlah pembahasan tentang bagaimana, berapa
dan apa. Karena
yangdemikian itu di luarbatas kemampuan manusia.
Oleh sebab itu, maka
shdhib asy-syar' (Rasulullah saw.) bersabda, "Ber-
pikirlah kalian
tentang ciptaan Allah, dan janganlah (sekali-kali)
berpikir tentang zat
Allah."
[106].Saya katakan:
Adapun pemyataan Abu
Hamid, bahwa setiap apa yang tidak
mampu dijangkau oleh daya nalar
manusia, semuanya harus dikem-
balikan kepada syariat, itu benar. Oleh
karena itu, maka ilmu yang
datang melalui wahyu bersifat melengkapi ilmu
hasil nalar akal
manusia. Artinya, setiap akal manusia mengalami
kebuntuan,
namun Allah SWT. masih memberikan jalan keluar bagi manusia,
yaitu melalui wahyu.
Ketidakmampuan untuk menjangkau
pengetahuan-penge-
tahuan dlaruri yang diketahui di dalam kehidupan
manusia dan
wujudnya, sebagian merupakan ketidakmampuan mutlak, yaitu
akal sama sekali tidak bisa mengetahuinya. Atau, ketidakmam¬
puan
sesuai kapabilitas manusia yang bersangkutan. Kedua macam
ketidakmampuan
ini, dapat terjadi karena sudah menjadi fitrah asal
manusia yang
bersangkutan, atau karena faktor-faktor ekstemal,
semisal tidak mau
belajar dan sebagainya.
284
Sedangkan ilmu yang datang melalui wahyu, tentu akan
men-
jadi rahmat bagi seluruh jenis manusia.
***
[107]. Adapun pemyataan Abu Hamid, "Sesungguhnya tujuan kita hanya
ingin mengacaukan dogma-dogma para filosof. Dan itu sudah ber-
hasil."
[107].Sesungguhnya tujuan seperti ini sama sekali
tidak layak, bagi se-
seorang sekaliber dia. Tujuan seperti ini
merupakan salah satu ke-
salahan besar seorang yang berilmu.
Sesungguhnya seorang yang
alim itu biasanya senantiasa mencari
kebenaran, bukan malah
menimbulkan keraguan dan membingungkan akal.
***
Sedangkan pemyataannya, "Kemustahilan bersumbernya
dua
hal, dari satu, tidaklah diketahui sebagaimana diketahuinya kemus¬
tahilan keberadaan satu orang di dua tempat." Maka apabila ke-
benaran dua proposisi tersebut tidak bisa disejajarkan, niscaya tidak
akan ada proposisi yang juga menyatakan bahwa tidak ada yang
bersumber dari yang satu dan sederhana, kecuali satu yang seder-
hana. Proposisi-proposisi tersebut tidak bisa mencapai taraf ke-
yakinan dalam kenyataan ( syahid ). Sebab, proposisi yang meyakin-
kan biasanya saling mengungguli, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab ' al-Burhan '. Sebab itu semua, apabila proposisi yang meyakin-
kan didukung oleh imajinasi, maka semakin kuatlah tingkat keper-
cayaan kepadanya. Namun apabila tidak didukung imajinasi, maka
ia
akan melemah. Imajinasi bukanlah sesuatu yang berarti, kecuali
dalam
pandangan jumhur. Oleh sebab itu, maka bagi seseorang
yang berlatih
dengan hal-hal rasional ( ma'qulah ), sembari me-
lemparkan imajinasi,
niscaya ia akan melihat penyejajaran dua pro¬
posisi di atas sebagai
sebuah kebenaran. Proposisi semacam ini akan
semakin memperkuat
keyakinan apabila seseorang berjumpa dengan
mawjudat yang tercipta dan
rusak. Maka pada yang demikian itu,
ia akan melihat bahwasanya
mawujud-mawujud tersebut hanyalah
berbeda nama-nama dan batas-batasnya
dibanding perbuatan-
285
perbuatannya. Dan, apabila mawujud apa saja bersumber
dari
perbuatan apa saja, niscaya pelbagai zat dan batasannya akan
bercampur, dan pengetahuan menjadi tidak benar. Misalnya jiwa,
ia
berbeda dari, benda-benda jamad, karena perbuatannya yang
spesifik yang
bersumber darinva. Sedangkan, benda-benda jamad
berbeda satu sama lain
karena perbuatannya yang spesifik.
Demikian juga dengan jiwa.
Apabila dari satu kekuatan bersumber perbuatan yang
banyak, sebagaimana bersumbernya perbuatan yang banyak dari
kekuatan yang tersusun (al-quwwah al-murakkabah), niscaya tidak
akan ada beda antara dzat sederhana (adz dzdt al-basithah) dengan
yang tersusun ( al-murakkabah ).
Demikian juga jika, dari
dzat memungkinkan bersumbernya
perbuatan yang banyak, niscaya juga
mungkin terjadinya perbuat¬
an tanpa adanya yang berbuat (fa'il). Hal
itu sebenarnya mawujud
hanya ada dan berasal dari satu zat yang mawujud,
bukan dari se-
suatu yang tidak ada ( ma'dtim ). Oleh karena itu, maka
tidak mungkin
sesuatu yang tidak ada menjadi ada dengan sendirinya.
Apabila penggerak bagi sesuatu yang tidak ada, dan yang
mengeluarkannya dari potensialitas ( bi al-quwwah) kepada realitas
(bi al- fi'l), hanya mengeluarkannya dari sisi ia sebagai realitas,
maka perbuatan yang terkandung di dalamnya wajib seperti per¬
buatan yang mengeluarkannya dari ketiadaan menjadi ada.
Apabila objek perbuatan ( maf til ) apa saja bisa keluar dari
fa'il apa saja, maka tidak menutup kemungkinan maf til-maf til yang
lain akan mengeluarkan perbuatan dari zatnya, bukan dari fa'il yang
telah membuat maf til- maful menjadi wujud.
Apabila dari
satu fa'il bisa keluar banyak sisi dari potensialitas
menuju realitas,
maka wajib di sana terjadi pluralitas. Maksudnya
sisi-sisi yang banyak.
Karena, apabila darinya hanya keluar satu sisi,
maka apa yang keluar
dari sisi-sisi yang lain adalah keluar dari diri-
nya tanpa ada yang
mengeluarkan.
***
286
Tidak semustinya seseorang berkata, bahwa syarat
sebagai
fa il hendaknya memiliki perbuatan mutlak, bukan perbuatan spe-
sihk. Jika demikian yang teijadi, maka fail tersebut akan membuat
mawujud apa saja, dan perbuatan apa saja, sehingga mawjudat akan
bercampur.
Juga, sesungguhnya mawujud mutlak—maksudnya
mawujud
universal lebih mendekati ketiadaan ('adam) dibanding wujud
hak.ki. Oleh karena itu, maka pemyataan mawujud mutlak dan
warna
mutlak dinafikan oleh orang-orang yang menyatakan pe-
naf.an keadaan.
Sedangkan orang yang mengafirmasikan per-
nyataan-pernyataan tersebut
mengatakan, bahwa sesungguhnya
ia tidak mawjudat (ada), juga tidak
ma'dumdt (tidak ada).
Jika ini benar adanya, maka benar pulalah
keadaan-keadaan
itu menjadi sebab bagi mawjudat. Juga bahwa satu
perbuatan ber-
sumber dari yang satu. Pada alam kenyataan hal
tersebut menjadi
semakin jelas.
Sesungguhnya ilmu
pengetahuan menjadi banyak seiring
banyaknya objek-objek pengetahuan
seseorang yang berpenge-
tahuan (' ahm ). Karena, ia hanya mengetahuinya
dari sisi sebagai
mawujud, yang menjadi sebab pengetahuannya. Tidak
mungkin pe-
ngetahuan-pengetahuan yang banyak dapat diketahui dengan
satu
pengetahuan, sebagaimana satu pengetahuan tidak mungkin men¬
jadi sumber lahimya pengetahuan-pengetahuan yang banyak. Misal-
nya, pengetahuan tentang Sang Pencipta akan apa yang bersumber
dari-Nya contohnya lemari-tentu tidak sama dengan pengetahu¬
annya
akan kursi yang bersumber dari-Nya. Akan tetapi, dalam
hal mi,
pengetahuan zat yang eternal, tentu berbeda dengan pe¬
ngetahuan zat
temporal. Begitu pula pengetahuan pelaku eternal
akan berbeda dengan
pengetahuan pelaku temporal.
***
Abu Hamid
berkata, "Apa yang kamu katakan dalam masa-
lah ini, berarti menolak
mazhab Ibn Sina tentang sebab-sebab
plurahtas. Maka apa yang Anda
katakan dalam masalah ini, se-
287
benarnya beberapa kelompok filosof menjawab dengan
salah satu
dari tiga jawaban berikut:
Pertama, ada yang
berpendapat, bahwa pluralitas bersumber
dari hayuli.
Kedua,
ada yang berpendapat bahwa pluralitas bersumber
dari instrumen (alat).
Ketiga, ada yang berpendapat bahwa pluralitas bersumber
dari
perantara-perantara. Aristotelian juga mengakui bersumber-
nya
pluralitas dari perantara-perantara."
Saya akan menjawab, rasanya
tidak mungkin saya memberi-
kan jawaban-jawaban burhani di dalam kitab
ini. Tetapi yang jelas,
saya belum pernah mendapatkan beberapa
pernyataan tersebut
berasal dari Aristoteles. Juga tidak dari para
filosof parepatetik ter-
dahulu yang termasyhur, kecuali dari Porphyry.
Meskipun demi-
kian, ia tidak tergolong filosof yang cukup pandai.
Pelbagai per¬
nyataan tersebut, hanya dinisbatkan kepada mereka.
Menurut sepengetahuan saya akan kaidah-kaidah dasar para
filosof, sebab-sebab pluralitas merupakan akumulasi dari tiga sebab,
yaitu: (i) mediator atau perantara (al-mutawassithat); (ii) persiapan
atau rencana ( al isti'dadat); dan (iii) instrumen atau alat (al-dldt).
Semua
ini sudah saya jelaskan bagaimana disandarkan dan merujuk kepada
yang satu, apabila wujud masing-masing sebab di atas dianggap se-
bagai sebab pluralitas. Hal itu seakan-akan menjadikan sebab plu¬
ralitas akal-akal pembeda ( al-'ucjul al-mufariqah ) berbeda dengan
tabiat-
tabiatnya, yang mengetahui dari prinsip pertama. Juga dari
keesa-
an-Nya bersumber satu perbuatan dalam dirinya, tetapi banyak
seiring banyaknya qawabil (penerima)-nya. Hal itu seperti keadaan
seorang pemimpin, yang di bawahnya juga masih banyak pe-
mimpin-pemimpin lainnya, atau ciptaan yang di bawahnya juga
masih
banyak ciptaan yang lain. Jika memungkinkan untuk dicari
kejelasannya,
hal ini perlu dibahas, tetapi tidak di sini. Jika tidak,
berarti semua
ini harus dikembalikan kepada wahyu.
***
288
Sedangkan, perbedaan yang terjadi karena perbedaan
sebab-
sebab yang empat, hal itu sudah jelas. Yang demikian terjadi
karena
adanya perbedaan falak-falak yang disebabkan oleh: (i) perbedaan
P en gg era knya; (ii) perbedaan bentuk dan materinya (apabila ia me-
miliki materi); dan (iii) perbedaan perbuatan-perbuatannya yang
spesifik di dalam alam (meskipun menurut mereka bukan karena
perbuatan-perbuatan ini).
Adapun perbedaan yang tampak
pertama kali pada jisim-
jisim sederhana selain falak adalah perbedaan
materi, yang ditentu-
kan oleh perbedaannya dalam jauh dan dekatnya dari
penggerak-
penggeraknya—yaitu benda-benda langit ( al-ajram as
samdwiyyah )—
seperti perbedaan api dan tanah, ringkasnya, bertentangan.
Adapun sebab perbedaan pada dua gerakan besar—yaitu
pelaku
keterjadian (fa'ilah li al-kawn), dan pelaku kerusakan (fa'ilah
li
al-fasad )—-adalah perbedaan benda-benda langit dan perbedaan
gerakan-gerakannya. Sedangkan, sebab perbedaan yang berasal
dari
benda-benda langit sama dengan perbedaan yang berasal dari
perbedaan
alat.
Jika demikian, maka menurut Aristoteles, sebab-sebab per¬
bedaan yang berasal dari pelaku yang satu ada tiga. Merujuknya
masing-masing kepada yang satu seperti makna yang sudah di-
jelaskan, yaitu keberadaan yang satu sebagai sebab pluralitas.
***
Sedangkan pada selain falak bulan, terdapat
perbedaan yang
berasal dari empat sebab, yaitu: (i) perbedaan kedua
pelaku; (ii)
perbedaan materi; (iii) perbedaan alat; dan (iv) keberadaan
per¬
buatan-perbuatan yang bersumber dari prinsip pertama dengan
perantaraan selainnya. Yang terakhir ini seakan-akan mendekati per¬
bedaan alat.
***
Contoh dari perbedaan yang
berasal dari qawdbil ( receiver , pe-
nerima), dan keberadaan sesuatu
yang berbeda menjadi sebab bagi
perbedaan yang lain adalah wama. Wama
yang terjadi di udara.
289
tidak
seperti yang terjadi di jisim. Wama yang terjadi di jisim, juga
tidak
sama dengan yang terjadi di penglihatan. Wama yang terjadi
di
penglihatan, tentu berbeda dengan yang terjadi di udara. Wama
yang
terjadi di akal sehat, ( common sense, sensus communis) bukan
yang
terjadi di mata. Wama yang terjadi dalam imajinasi, tidak
sepadan dengan
yang terjadi di akal sehat. Wama yang terjadi di
kekuatan ingatan (
al-quwwah al-hafidhah) atau kemampuan
mengenang, ( al-quwwah
al-dzakirah) jelas berbeda dengan yang
terjadi dalam imajinasi (khayal).
Semua ini sudah jelas dibicarakan
di dalam ilmu jiwa. □
Catatan Kaki
1 Terjemahan ini dinukil dari kitab
'Lhjun al-Anba’fi Thabaqdt al-Athibbd' karya Dr.
Muwaffiq ad-Din Abi
al-'Abbas Ahmad ibn al-Qasim ibn Khalifah ibn Yunus as-Sa'di al-
Khazriji, yang dikenal sebagai Ibn Abi Ushaybi'ah. Kitab tersebut
dicetak oleh Mathba'ah
al-Wahabiyyah, 1299 H, bertepatan dengan tahun
1882 M, diambil dari halaman 75 dan
seterusnya di dalam juz II. Koleksi
ini terdapat di perpustakaan Universitas al-Azhar
asy-Syarif dengan
nomor khusus 4007, dan nomor umum 52986.
2 Apakah kitab dimaksud
adalah kitab Biddyah al-Mujtahid wa Nihdyah al-muqtashid ?
Atau kitab
lain yang diberi judul serupa?
3 Topik pembahasan dalam kitab
Tahdfut at-Tahafut banyak bersumber dari kitab
ini.
4 Inilah
batas akhir nash yang dinukil dari kitab ‘Uyun al-Anba’ fi thabaqah al-
Athibba'.
5 Hal. 74 cetakan ketiga, diterbitkan oleh Dar
al-Ma'arif
6 Tahdfut al-Faldsifah, hal. 144, cetakan III, Daif
al-Ma'arif.
7 Ibid., hal. 82
8 Ibid., hal. 74
9 Baca ungkapan selengkapnva di halaman depan.
10
Dalam kamus disebutkan mubarsam bermakna sebab yang membuat meng-
igau
(' illah yahdzifi-ha), yaitu keadaan tidak sadar di waktu sakit sehingga si
penderita
mengigau.
11 Lihat pada pembahasan masalah ketiga
di dalam kitab Tahdfut at-Tahafut, karya
Ibn Rusyd.
12 Bagi
kita tidaklah terasa aneh apabila Ibn Rusyd menggunakan kata-kata
'terpaksa' bagi Allah SWT. Ibn Rusyd 'kepepet' karena tidak menemukan
kata lain yang
terasa lebih pas, walau sebenamya kata tersebut tidak
laik bagi-Nya. Mahatinggi Allah
dari sifat seperti itu.
Maka
terkadang juga akan didapatkanbahwa Ibn Rusyd menukil pembicaraan
yang
berasal dari syara' bukan dari Allah. Maka dengan demikian, 'terpaksa' yang
berbicara di sini adalah syara' bukan Allah.
290
Akan tetapi kalaupun Ibn Rusyd telah dua kali
menyatakan 'berbicara dari
syara" yang terangkum di dalam nash-nash
Alquran, sebenamya yang dimaksudkan
adalah shalub nsy-syar', yaitu Allah
SWT.
13 Itulah spesifikasi kitab mereka yang diberi judul Al-Kutub
al-Mawdhit'ah ‘ala
ath-Thanq al-Burhani.
14 Maksudnya
al-Ghazali
15 Maksudnya al-Ghazali
16 Lihat nash
selengkapnya di pembahasan masalah keenam.
17 Kini buku tersebut
dalam proses cetak di Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah,
milik Isa al-
Banni dan kompanyonnya (Co).
18 Kitab At-Tamhivd,hal. 152,
dipublikasikanoleh Lajnat at- ta'liyf wa at tarjamat
wa an nasyr.
14 Berarti ilmu itu sendiri merjadi yang mengetahui, padahal ia
menjadi sifat
Tuhan. Ilmu tidak hidup, maka itu berarti ilmu adalah
sifat yang tidak hidup.
10 Ibid., hal. 155
21 Hal. 333
Juz I dari kitab Asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh; Bayna al-Falasifah wa al-
Kdlamiyyin (Syaikh Muhammad 'Abduh; Antara para Filosof dan Teolog
Kalam), Dar
Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyat
22 Halaman 355 dari
kitab "Asy-Syifa"', bagian "Al-Ilahiyyat (3)", diterbitkan oleh
Al-Hay'ah al- 'Ammah li asy-Syu'un al-Mathabi' al-Amiyriyyah, tahun 1380
H.
23 Adapun yang membuat Ibn Rusyd segera memberi respon dalam
konteks
wacana dialogis ini, karena al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut
al-Faldsifah telah
menentukan maksud-maksudnya, yang dapat simpulkan
sebagai berikut..
Pertama, berkait erat dengan pembatasan
tema-tema yang mengundang
polemik antara dirinya dengan para filosof.
Dalam hal ini ia berkata, "Supaya diketahui,
bahwa pertentangan yang
terjadi di antara mereka (filosof) dengan lainnya meliputi
tiga hal; (1)
Perbedaan pendapat seputar lafdh mujarrad (absoluditas), semisal mereka
menyebut Sang Pencipta alam semesta sebagai jawhar (kami tidak bermaksud
'menghakimi' pendapat ini). (2) beberapa mazhab mereka yang tidak
bertentangan
dengan teologi Islam (ushul ad-din) (Sekali lagi, kami
tidak bermaksud 'menghakimi');
(3) perbedaan pendapat yang sangat erat
kaitannya dengan dasar-dasar agama, seperti
pendapat tentang kebaharuan
alam dan dibangkitkannya (ba'ts) jasad dan badan, yang
ditentang oleh
mereka. Beberapa gagasan dan pemikiran yang ada dalam buku ini,
diharapkan dapat menguak kesalahan berpikir mereka, tanpa ada
maksud-maksud
lain." (Lihat al-Muqaddimah ats-Tsdniyah\). Dalam hal ini,
jelas-jelas dapat dipahami bahwa
al-Ghazali meng-counter
pendapat-pendapat filosof sebatas pada apa yang menyalahi
ushfd al-Islam
(teologi ke-Islaman), bukan nushush al-Islam.
Ada perbedaan yang
cukup mendasar antara nash dengan ashl (bentuk tunggal
dari ushul). Nash
adalah ungkapan (' ibarah) yang tidak menutup kemungkinan untuk
ditakwilkan. Bahkan al Ghazali berpendapat—dalam al-muqaddimah yang
disebutkan
tadi—bahwa jika nash bertentangan dengan akal, maka wajib
hukumnya untuk
ditakwilkan.
Sedangkan ash! adalah
dasar-dasar yang tidak bisa ditinggalkan secara mutlak.
Contoh;
kevakinan akan adanya Allah, diutusnya para Rasul, hari kebangkitan, tang-
gung jawab dan ganjaran. Semua itu adalah ushul al-Islam, yang sama
sekali tidak boleh
ditinggalkan.
291
Pelanggaran para filosof atas ushill al-Isldm
merupakan sumber yang me-
mancarkan api polemik disputif antara
al-Ghazali dengan mereka.
Persoalannya, apakah kemudian al-Ghazali
berpegang teguh pada batas-batas
perhelatan?
Orang-orang
akan dengan mudah mendapatkan isi kitabnya, dan dari daftar isi
dapat
dilihatbeberapa hal berikut:
.Masalah Keempat; tentang
ketidakmampuan mereka (filosof) untuk mem-
buktikan adanya Sang Pencipta
(itsbnt as-shani'). Dalam hal ini, para filosof meyakini
adanya Sang
Pencipta alam semesta. Namun, dalam pandangan al- Ghazali, mereka
tidak
dapat membuktikan pendapatnya tersebut. Hal ini tidak dapat dimasukkan pada
apa yang disebut al-Ghazali sebagai pelanggaran ushuluddin.
Masalah Kelima; tentang ketidakmampuan para filosof, untuk
mengemukakan
bukti dan dalil-dalil yang rasional tentang argumen yang
menganggap ada dua Tuhan.
Dalam hal ini, para filosof mengingkari adanya
banyak Tuhan. Tetapi menurut pan¬
dangan al-Ghazali, mereka tidak mampu
memberikan argumen ketidakpercayaannya
dengan bukti-bukti. Meskipun hal
ini tidak termasuk dalam apa yang disebutnya sebagai
pelanggaran atas
ushuluddin.
Kedua, terkait dengan kealamiahan dalil-dalil yang
dipergunakan para filosof
tentang ilmu ketuhanan, dan beberapa ilmu
alam. Dalil-dalil tersebut—dalam pandang¬
an al-Ghazali—belum mampu
memberikan tingkat keyakinan tertinggi. Ia mengatakan,
"Andaikata ilmu
ketuhanan mereka disertai bukti-bukti yang nieyakinkan, tidak bersifat
estimatif sebagaimana ilmu hitung, pasti mereka tidak akan berdebat
sebagaimana
tidak memperdebatkan validitas ilmu hitung." (Lihat
al-muqaddimat nl-uwln.)
Al-Ghazali juga mengatakan, "Dalam buku
ini, kita juga akan melihat sesuai kaca
mata bahasa mereka, yaitu mantiq
(logika). Kita akan perjelas, bahwa apa yang mereka
syaratkan untuk
memperoleh sahnya qiyas (analogi) dalam bingkai pembuktian me¬
nurut
spektrum logika
Selanjutnva dia berkata, "Mereka mengatakan bahwa
langit, adalah hewan dan
memiliki nafs. Penisbatan nafs tersebut kepada
badan langit tidak ada bedanya dengan
nafs dalam tubuh kita. Kalau badan
kita bisa digerakkan oleh iradah yang dimotori nafs,
maka langit pun
juga demikian, perputarannya merupakah ibadah kepada Tuhan alam
semesta".
"Dalam masalah ini, ada beberapa sekte yang tidak
mengingkari adanya
kemungkinan tersebut dan menyatakan kemustahilannya.
Sesungguhnya Allah ta'ala
Mahakuasa untuk menciptakan kehidupan pada
setiap jisitn. Besarnya jisim tidak
menghalangi adanya kehidupan, juga
bentuk bulatnya, karena bentuk-bentuk tertentu
bukan suatu syarat
terciptanya kehidupan itu. Semua bentuk haymvanat (hewan; ter-
minologi
dalam perspektif ilmu mantiq-ed), apa pun bentuk dan ukurannya, sama-sama
memiliki tingkat kemungkinan yang sepadan untuk ditumbuhi kehidupan".
"Tetapi, kita mempercayai bahwa mereka tidak mampu memberikan
bukti-
bukti logis atas pengetahuan tersebut. Karena sesungguhnya
masalah ini, jika benar
adanya, tentu tidak akan pernah datang kecuali
kepada para Nabi skalawatullah 'alaihim,
melalui perantara ilham atau
wahyu dari Allah SWT. Analogi akal tidak mampu mem¬
berikan pembuktian
atas semua itu." Lihat masalah ketidakmampuan mereka mem¬
berikan dalil,
bahwa langit adalah hayawan yang taat beribadah kepada Allah dengan
rotasinya.
292
Menurut
al-Ghazali, selama eksperimen para filosof belum mencapai batas yang
dapat memverifikasikan hal langit, dan selama akal—sebagaimana
dijelaskan olehnya
dalam kitab Tahafut al-Faldsifat —dalam hal ini belum
bisa mengutarakan secara definitif,
maka wahyulah yang berbicara apabila
dua metode tersebut tidak bisa berbuat apa-
apa.
***
Kelemahan inilah yang dirasakan al-Ghazali pada dalil-dalil yang
diutarakan
para filosof secara umum,—baik yang dipergunakan mereka untuk
'menghantam'
ushuluddin, seperti pengingkaran akan dibangkitkannya jasad
(manusia). Juga peng-
ingkaran akan ilmu Allah atas juz'iyydt (sesuatu
yang terinci, detail, parsial), maupun
yang tidak dipergunakan untuk
menghantam ushuluddin, justru dipergunakan untuk
membangun ( iqdmnt )
pilar-pilar agama, seperti tentang keberadaan Sang Pencipta
(Shdni ')
dan kemustahilan pluralitas bilangan-Nya—mengundang kritik al-Ghazali
terhadap cara pandang mereka terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Al-Ghazali
melihat, kebenaran ( al-haqq ) ada pada para filosof karena
beberapa hal; (1) Mereka tidak
mengetahui, kecuali dengan perantaraan
agama, seperti keyakinan akan dibang¬
kitkannya jasad (manusia), atau
(2) karena agama telah menuntun pada konsep yang
sahih seperti termaktub
dalam firman-Nya; "Dialah Allah yang mengeluarkan yang
hidup dari
kematian, dan mengeluarkan yang mati dari kehidupan." "Dan di antara
tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, juga
perbedaan bahasa
dan warna kulit kalian." Sehingga tidak ada tempat bagi
konsep 'wajib dan mungkin',
juga konsep hierarki yang selalu mereka
gembar-gemborkan.
Kritik ini menjadi sumber penyebab semakin
meruncingnya perhelatan yang
terjadi pada al-Ghazali-filosof seputar
masalah dalil-dalil yang diyakini masing-masing,
meskipun inti persoalan
( al-mustadall ) yang sebenarnya tidak menimbulkan perbedaan
pandangan.
Namun, setelah al-Ghazali menyingkap kesalahan-kesalahan mereka
yangber-
kaitan dengan isu sentral semacam pengingkaran mereka akan ilmu
Allah atas juz’iyynt,
maupun metode pembuktian seperti kelemahan mereka
untuk membuktikan adanya
Sang Pencipta. Ia kemudian kembali
berkonsentrasi 'menelanjangi' kesalahan-
kesalahan pada tema, bukan
sebatas metode pembuktian belaka. Maka di akhir
kitabnya ia berkata,
Penutup: Jika seseorang berkata, "Setelah mendapat kejelasan
tentang
kedudukan mereka, apakah kalian akan memutuskan untuk mengkafirkan
mereka? Apakah kalian akan melakukan pembunuhan bagi orang-orang yang
mengikuti mazhab mereka?"
Kita katakan, "Mereka dikafirkan
karena tiga perkara; (1) Masalah eternalitas
alam ( qidain al-‘dlam ),
(2) Pendapat mereka bahwa Allah tidak berilmu atas nl- juz'iyydt
al-haditsah. (3) Pengingkaran mereka atas dibangkitkannya
jasad...."
*>*
Selanjutnya, kita akan memberikan
batasan-batasan makna pernyataan Ibn
Rusyd, "Adapun tujuan dari
pernyataan ini adalah untuk mendeskripsikan derajat
constant opinions
yang terdapat dalam kitab Tahafut al-Falasifat, karya Abu Hamid. Semua
itu dalam rangka justifikasi ( tashdiyq ), kepuasan untuk menerima
(iqna’), dan sebagian
besar tidak mencapai tingkat keyakinan dan
pembuktian yang sempuma."
Apa yang dimaksud Ibn Rusyd dengan
constant opinions dalam kitab tahafut al-
faldsifat ? Apa pula makna
'tidak mencapai tingkat keyakinan dan pembuktian'?
293
Apakah Ibn Rusyd bermaksud menerangkan posisi
al-Ghazali dari dalil-dalil
para filosof?
Jika benar
demikian adanya, berarti ia tidak bersikap adil. Sesungguhnya orang
yang
mendebat dalil-dalil gugatan, berarti ia banyak menyangsikannya. Padahal
dalil-
dalil yang bersifat hipotesis tidak dapat menghasilkan gugatan.
Maka atas dasar itu,
kiranya tidak tepat mempertanyakan dalil-dalil
tersebut mencapai tingkat keyakinan.
Semustinya, biarkan dalil-dalil
tersebut mengandung kesangsian.
Inilah yang diingatkan
al-Ghazalidalam pernyataannya, "Dengan menerangkan
sisi-sisi kerancuan
mereka, kita ingin mengingatkan agar mereka tidak menyanjung
keyakinan
bert'ilsafat dan mengira jalan yang ditempuh terlepas dari persoalan-
persoalan yang kontradiktif. Oleh karena itu, saya tidak 'menyerang'
mereka, kecuali
sebagai seorang murid yang tidak mengakui, bukan hakim
yang memutuskan." (Lihat
al-nwqaddimat ketiga!)
Seorang
murid yang tidak mengakui, cukup baginya menyampaikan sisi-sisi
kegelapan kesangsiannya sembari berharap ada secercah cahaya yang
meliputi ruang
sekitar.
Atau, apakah Ibn Rusyd berasumsi
bahwa persoalan dibangkitkannya jasad
atau ilmu Allah atas juz'iyyat
misalnya, bukan tergolong gugatan sebagai dasar-dasar
agama (ushCduddin)
yang harus mencapai tingkat keyakinan tertinggi?
Jika dimaksudnya
benar demikian, maka inilah starting point sebagai awal
munculnya
ekstrimisme, radikalisme dan penyelewengan. Sesungguhnya kitab yang
diturunkan Allah kepada khatam ar-Rusul telah menjelaskan beberapa
permasalahan
tersebut dengan jelas tanpa rancu. Di antaranva ada yang
berhubungan dengan ilmu
Allah. Dia berfirman, "Mereka tiada mengerti
ilmu Allah kecuali yang Din kehendaki".
"Di sisi-Nya lah kunci segala
misteri. Tak seorang pun yang tahu kecuali Dia. Dan Dia
Maha Mengetahui
segala apa yang ada di darat dan di laut. Tak satu pun dari daun, biji,
kurma yang kering dan basah, yang jatuh di tengah kegelapan, kecuali
Allah mengetahui-
nya." "Dia mengetahui segala yang tidak ditangkap oleh
pandangan mata dan semua
yang tersembunyi di dalam dada." "Dia
mengetahui segala rahasia yang tersembunyi."
Meskipun penjelasan
dan penekanan dalam ayat tersebut demikian, juga pada
beberapa ayat dan
hadits lain, kita temukan Ibn Sina melepaskan diri dari arti nash-
nash
tersebut dengan usaha dialektis yang dibangun atas dasar bahwa ilmu itu selalu
mengikuti sesuatu yang telah pasti (ma'lum). Sesuatu yang parsial (
juz'iyyat ) akan
senantiasa berubah-ubah. Apabila ilmu Allah berhubungan
dengan sesuatu yang juz'i,
maka ia akan senantiasa berubah seiring
perubahan yang terjadi pada sesuatu yang
juz'i tersebut. Ilmu adalah
bagian dari shifdt dzatiyyat (personality). Perubahan yang
terjadi pada
ilmu berdampak pada perubahan dzat. Dan, perubahan pada dzat Allah
adalah sesuatu yang mustahil. (Lihat at- irsyddat wa at tanbiyhal\)
Dengan usaha semacam ini—jika menunjukkan pada sesuatu, tentu
mengindikasikan, bahwa Ibn Sina telah memberikan otoritas pada akalnya
yang tercipta
(makhluk) untuk mengambi! keputusan menyangkut beberapa
persoalan jlimet Sang
Khaliq. Perumpamaan seperti itu tidak berbeda
orang yang hendak menimbang gunung
dengan neraca tukang emas yang
jelas-jelas hanya mampu menanggung kapasitas
beberapa durayhamdt
(kepingan dirham)—,Ibn Sina ingin 'bebas' dari otoritas wahyu
Langit,
sebab tersebut diturunkan kepada semua manusia bukan pada sekelompok
orang. Dan atas dasar itu, ia menganggap tunduk pada pemahaman diri
tiada berdosa.
294
meskipun
bertentangan dengan kitdbullah yang sahih dan tidak membutuhkan inter-
pretasi, jelas, tidak rancu, dan pasti tidak mengandung keraguan.
Supava apa yang kami utarakan tentang pendapat Ibn Sina di sini
tidak me-
ngundang pretensi negatif, berikut ini kami hadirkan cuplikan
naskah yang memuat
pendapatnva seputar masalah tersebut.
Ibn
Sina berkata dalam kitab al-Najdt, dalam judul Fashl fi Itsbdt an mibfiwnt wa
kayfiyydt ad-dakwat an nabiy iln Allah wa al-ma'dd sebagaimana berikut:
[....tidak seniustinya bagi para nabi membebani umat manusia di
dalam me-
ngenal Allah, kecuali sebatas mengetahui bahwa Dia benar-benar
tunggal dan tidak
ada yang menyerupaiNva.
Adapunjika terlaiu
membebani mereka untuk mempercayai wujudNya, bahwa
Dia tidak menetap di
suatu tempnt, tidak bersumpah dengan kata-kata, tidak berada di
luar
atau di dalam alam semesta, tidak memiliki jenis kelamin. Semua itu tentu
terasa
berat bagi mereka, mengganggu kestabilan agama yang dianutnya,
bahkan bisa men-
jerumuskan mereka hingga tidak terselamatkan, kecuali
beberapa orang yang beruntung
saja. Itu pun jumlahnya tidak banvak.
Mereka tidak bisa menggambarkan hal-hal ter¬
sebut dengan sangat
sempurna. Bisa-bisa malah mengingkarinya.
Jika para Nabi memiliki
kebenaran (al-haqq) yang disembunyikan dari umat
manusia, maka hal itu
tidak benar. Tetapi juga tidak benar, jika ia dengan 'sembarangan'
menyampaikannya kepada mereka. Seharusnya, para Nabi mengajari umat
manusia
akan keagungan dan kebesaran Allah SWT. dengan rumus-rumus dan
contoh-contoh
yang mereka miliki. Dengan semua itu barulah bisa
diterangkan bahwasanya Allah
Mahakuasa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Begitu pula terkait dengan kehidupan akherat (ma'ad), para Nabi
hendaknya
memberikan penjelasan kepada umat manusia hingga mereka bisa
membayangkan
bagaimana hal tersebut terjadi, yang dengan demikian jiwa
mereka menjadi tentram.
Kemudian juga mencarikan pelbagai
perumpamaan yang melukiskan ke-
bahagiaan dan kesengsaraan sesuai
pemahaman mereka.
Kenvataannya, masalah-masalah tersebut
disampaikan oleh Nabi secara glo¬
bal. Hal tersebut tidak terlihat mata
dan terdengar telinga (ma Id ‘ayn rat wa Id udzun so.mi'at),
serta pada
hari itu ada kenikmatan yang luar biasa dan siksa yang teramat pedih.]
Dalam kitab risdlat adlliawiyyat ft amri al-ma'dd Ibn Sina juga
berkata:
Hal. 44 [Adapun masalah syariat hendaknya hanya ada satu
qdnuwn (kompilasi),
agama yang keluar dari lisan para Nabi hendaknya
dimaksudkan untuk disampaikan
kepada umat manusia.
Kemudian,
sebagaimana diketahui tahqiyq yang diharapkan, hendaknya merujuk
kepada
kebenaran tauhid, dari penentuan Sang Pencipta yang tunggal dan suci dari
pelbagai pertanyaan; berapa, bagaimana, di mana, kapan. Dengan demikian
mereka
akan mempercayai, bahwa Dia adalah dzat tunggal yang tidak
mungkin memiliki
sekutu, juga bagian yang konkrit ( wujudiy) maupun
abstrak ( ma'nawiy).
Tidak mungkin pula dzat itu berada di luar
atau dalam alam, dan sekiranya tidak
benar jika ada isyarat ke sana.
Hal-hal tersebut seharusnya tidak disampaikan kepada
masyarakat. Apabila
beberapa persoalan tersebut disampaikan kepada orang-orang
Arab
al-'Aribah, atau orang-orang Ibrani dan Ajlaf, pasti mereka akan menentangnya.
Kemudian mereka bersepakat, bahwa keimanan yang diserukan kepada mereka
adalah iman kepada sesuatu yang nyata-nyata tidak ada.
295
Atas dasar itu, maka tauhid
selalu bersandar pada tasybiyh (perumpamaan).
Alqur'an tidak membahas
masalah-masalah fundamental seperti itu, dan tidak
memaparkan secara
sharih apa-apa yang dibutuhkan tawhiyd secara mendetail. Yang
ada dalam
Alqur'an hanyalah beberapa perumpamaan, dan hal lain berupa pensucian
(tanziyh) secara mutlak. Isinva sangat luas, tidak ada spesifikasi atau
interpretasi],
Hal. 49 [Demi hidupku, apabila Allah membebani
beberapa Rasul untuk
menyampaikan hakikat masalah-masalah yang berkaitan
dengan indrawi kepada umat
yang kasar perangainya dan memiliki waham
yang tidak stabil, kemudian
membebaninya untuk menjadikan iman dan
ijabah sebagai penyelamat mereka, juga
membebaninya untuk memimpin
riyndlnt (pelatihan) manusia tanpa terkecuali agar
siap menerima sernua
itu, pasti Dia telah membebani sesuatu yang tidak mungkin,
melakukan
sesuatu di luar kemampuan manusia],
Hal. 50 [Dan bagaimana sisi
luar syariat menjadi liujjali dalam bab ini. Jika kita
diwajibkan
menggali masalah-masalah ukhrawi yang tidak kasat mata, yang hakikatnya
jauh tak tergapai kemampuan akal, maka jalan yang harus ditempuh syariat
untuk
berdakwah kepadanya dan memperingatinya bukanlah dengan
dalil-dalil, melainkan
dengan pelbagai ungkapan dan perumpamaan yang
mendekatkan pada pemahaman].
Hal. 50 [Tampak dari sernua ini bah
wa agama datang berdialog dengan manusia
sesuai pemahaman mereka,
mendekatkan apa yang tidak mereka mengerti kepada
pemahaman melalui
tasybiyh dan tamtsiyl (perumpamaan dan asimilasi).
Di luar itu,
agama akan tidak pernah dimengerti].
***
Inilah posisi
antara para filosof yang tidak melihat adanya hujjah pada nash-
nash
Langit dengan kelompok lain yang melihat itu, sebagai tindak kebohongan kepada
Allah, Rasul dan kitab-Nya. Dalam konteks yang rentan mengundang bahaya,
maka
terjadi perselisihan antara filosof dengan kaum teolog.
Semoga dalam kesempatan ini kami bisa memberi batasan-batasan
substansi
perhelatan yang terjadi antara al-Ghazalidi satu sisi, dengan
Ibn Sina dan Ibn Rusyd di
sisi yang lain.
Dalam pembatasan
ini, selain kehati-hatian, kami berharap agar apa yang ter-
kandung
dalam kitab ini diukur secara adil sesuai kapasitas akal.
Meskipun demikian, jangan lupa, bahwa di depan sernua itu
masih terbentang
perhelatan-perhelatan Ibn Rusyd - al-Ghazali, atas
tuduhannya menyalahgunakan dalil-
dalil filsafat atau memutarbalikkan
doktrinitas para filosof.
4 Apa maksud dari pernyataan Ibn Rusyd
yang demikian? Sesungguhnya ia
telah memvonis bukti-bukti yang
dilontarkan al-Ghazali kepada para filosof, dengan
argumen yang tidak
meyakinkan. Apa dosa al-Ghazali terhadap dalil-dalil filosof atas
gugatan mereka tidak mencapai tingkat keyakinan? Barangkali Ibn Rusyd
ingin
mengatakan bahwa al-Ghazali telah menyelewengkan dalil sehingga
tidak dapat
menghasilkan keyakinan.
25 Tampaknya, inilah
yang menjadi 'rumah inti' (bayt al-qdshid ) pembahasan
dilematis antara
Ibn Rusyd dan Al-Ghazali dalam masalah ini.
296
d 6 Dl Slm ' Ibn Rus y d membedakan antara kemauan
(iradah) dan ketetapan had
[ aZm) ' Bagln - va ' keterlambatan antara
objek dengan kemauan boleh-boleh saja. Tetapi
keterlambatan antara objek
dengan ketetapan had tidak boleh.
Sementara al-Ghazali menggunakan
isdlah maksud ( qashd) sebagai pengganti
dan juga ketetapan had
yazm). la berkata, ".apa yang dicapai oleh maksud
kita tidak
terlambat dan maksud bersamaan dengan adanya maksud tersebut, kecuali
ada penghalang Mm')-Jika maksud sudah digariskan, dan kemampuan telah
tersedia
)uga tidak ada mam ' yang menghalangi, maka keterlambatan
maksud menjadi tidak
rasional. ’
Hal tersebut hanya
mungkin terjadi pada 'azm, karena 'azm tidak qualified untuk
menghasilkan adanya tindakan."
7 -1 -t S f‘ U , Hal yang
PedU dungat ' bahwa wacana ' nzm dan qashd terdapat dalam kitab
Tahnfut
al-Falasi/at sebagai kridk para filosof terhadap al-Ghazali, bukan kritik
al-Ghazali
terhadap mereka.
Pembicaraan hal ini sangat
stpele. Yang sulit justru memahami maksud per-
nyataan Ibn Rusyd, bahwa
keragu-raguan (syak) senantiasa ada. Dari sisi mana ia melihat
adanya
sesuatu yang meragukan atas apa yang dilontarkan al-Ghazali?
Al-Ghazali dengan tegas telah berupaya mempertahankan adanya
iradah qadimat,
yang mengmginkan kekekalan alam dalam ketiadaan sampai
batas waktu tertentu.
Dan pada waktu yang bersamaan juga menginginkan
keluamya alam dari ketiadaan
menuju ada, ketika telah mencapai
batasan-batasan ini.
Apakah Ibn Rusyd ingin mengatakan, bahwa jika
keterlambatan boleh terjadi
antara iradah dan objek pada waktu-waktu
tertentu, maka keterlambatan tersebut juga
boleh terus berlangsung
kecuali jika sesuatu yang baru terjadi. Namun, apabila tidak
terjadi
sesuatu yang baru, berarti ia akan senantiasa tiada?
Jika memang
demikian yang diinginkan Ibn Rusyd, berarti ia alpa bahvoa iradah
qadimat yang definitif, pada titik tertentu telah membuat batasan yang
jelas antara ada
dan tiada.
Apabila alam telah mencapai
titik ini, berdasarkan iradah qadimat yang definitif
tersebut ia beralih
dari ketidakadaan menuju ada.
Jika tidak, saat ia membutuhkan
sesuatu yang temporal, tambahan atas iradah
qadimat tersebut manakala
telah mencapai titik, maka apa yang memastikan iradah
qadimat bukan lagi
dengan iradah qadimat.
Apabila hingga sampai pada titik tersebut
alam temyata tidak sesuai iradah yang
definitif, bisa jadi sebelum dan
sesudah titik tersebut alam tidak ada yang sesuai d eiradat.
Dan, iradah
an sich temyata tidaklah cukup untuk membuat sesuatu menjadi ada.
- Kelihatannya ini tergolong peniadaan (nafy), bahwa tindakan
subjek tidak
memmbulkan perubahan mendasar pada subjek. Dan jika pada
subjek tidak terjadi
perubahan, pasti tidak ada alasan untuk membahas
tentang perubah. Hal tersebut
diperkuat karena sebagian naskah telah
menetapkan tindakan. Memastikan sebatas
estimasi (sampai) wajib baginya
adanya perubah dari unsur eksternal.
:s Kelihatannya ini bagian
dari persoalan kedua, meskipun bukan secara
keseluruhan. Adapun
persoalan pertama adalah tindakan subjek tidak memastikan
adanya
perubahan pada subjek. Sehingga dipertanyakan, "Apa sebab perubahan yang
Persoalan kedua menjadi akumulasi dua hal:
297
Pertama, ada perubahan-perubahan yang terjadi
disebabkan oleh dzat perubah,
tanpa adanya sebab-sebab lain.
Kedua, perubahan-perubahan tersebut bisa saja terjadi pada sesuatu
yang eter¬
nal ( qadim).
Dan, jelas sekali jika
masing-masing dari dua hal tersebut tidak tepat untuk
menjadi persoalan
kedua secara sendiri-sendiri.
Berikutnya, apakah Ibn Rusyd
bermaksud agar al-Ghazali mengetahui cara
yang benar untuk meng-counter
balik dalil-dalil filosofis seputar dahulunya alam?
Kelihatannya memang
demikian. Ringkasnya, al-Ghazali telah menempuh cara keliru
dalam
pemalsuan premis dahulunya alam, sementara di sisi lain, Ibn Rusyd mengenal
betul metodologi pemalsuannya vang benar.
Meskipun demikian,
bagi seseorang pencari kebenaran, personal orang seperti
al-Ghazali
bukanlah apa-apa. Karena, ia menghendaki kebenaran semata, maka bisa
saja ia mengambilnya dari Ibn Rusyd.
n Pertentangan antara
al-Ghazali dan para filosof.
311 Sulit bagi para filosof untuk
menetapkan masing-masing dari dua hal yang
cukup fundamental ini.
31 Menurut 'ulama nl-wunadharat, ini termasuk jalan yang tidak
benar. Akan
lebih nwlfl (utama) bagi Ibn Rusyd untuk menetapkan
gugatannya, bukan mengelak
darinya dan memunculkan gugatan baru yang
sulit dijelaskan, kemudian menggempur
gugatan sang lawan.
32
Yaitu al-Ghazali
33 Ini perkataan Ibn Rusyd, bukan al-Ghazali.
34 Diakui oleh Ibn Rusyd, bahwa masalah ini telah jelas dengan
sendirinya,
bukan karena kita berusaha mencari kejelasan. Inilah akar
persoalannya. Al-Ghazali
mengakui absurditas rotasi falak yang berputar
sekali setiap tiga puluh tahun, dengan
rotasi falak yang berputar sekali
dalam sehari.
Dan Ibn Rusyd berkata, sekiranya tidak diadakan
penisbatan seperti ini di antara
sesuatu yang keduanya tiada terbatas.
Karena sesungguhnya adanya persamaan atau
tidak adanya bisa diketahui
pada sesuatu yang terbatas, bukan yang tiada terbatas.
Persoalannya seperti yang anda liha t, sedikit rumit, bukan jelas
dengan sendirinya
35 Sebuah premis prepositif yang menuntut
kejelian dan kehati-hatian berpikir.
36 Sudah kami ingatkan pada
catatan kaki sebelumnya, bahwa tujuan al-Ghazali
dengan kitabnya Tahafat
al-falasifat bukanlah untuk menetapkan sebuah ideologi (aqidah),
melainkan mempertanvakan ( insykiyk ) dalil-dalil yang disampaikan
mereka, yang
mereka klaim telah mencapai tingkat keyakinan matematis.
Sudah kami sodorkan
pula kepada sidang pembaca ungkapan al-Ghazali,
"Mana yang menganggap bukti-
bukti ke-Tuhanan—yaitu para filosof—eksak
seperti dalil-dalil ilmu hitung?"
Maka tidak sewajarnya kalau Ibn
Rusyd menunggu ketetapan-ketetapan dari
kitab Tahafut nl-Falasifat. Dan
tidak sewajarnya apabila ia memancing-mancing pernyataan
al-Ghazali
dengan mengatakan tidak mencapat derajat keyakinan.
37 Jelas
sekali nash ini menggambarkan maksud dan tujuan Ibn Rusyd di dalam
menulis kitab 'Taliafut at-Tahafiit'. Di sini ia membeberkan maksud dan
tujuan tersebut
antara lain; penegasan bahwa dalil-dalil yang
diungkapkan al-Ghazali tentang ajaran
para filosof tidaklah mencapai
derajat keyakinan.
298
Selanjutnya
kita bertanya-tanya maksud dari ungkapan yang pemah disam-
paikan Ibn
Rusyd, "Dan dalil-dalil yang dimasukkan dan dihikayatkan oleh al-Ghazali
tentang para filosof telah mencapai tingkat pembuktian ( maratib
Alburhan )?"
Sesungguhnya pernyataan dimasukkan dan dihikayatkan'
mengisyaratkan
adanya dalil-dalil yang diintervensikan oleh al-Ghazali
sendiri setelah sekian lama
mengkaji secara kontinyu dan
berkesinambungan dengan mengingat semua yang
musti ia utarakan.
Di situ juga ada dalil-dalil yang sengaja dinukil oleh al-Ghazali
dari para filosof.
Dan, Ibn Rusyd telah menghakimi keduanya tidak
mencapai derajat keyakinan.
Untuk jenis yang pertama, saya secara
pribadi sepakat dengan Ibn Rusyd. Tetapi
saya kira Ibn Rusyd tidak
menggiring vonis hukum yang diambilnya sebagai premis
universal (
qndliyyat kuUiyyat). Hal tersebut jelas terlihat di dalam ungkapannya yang
ada di awal buku ini, "Adapun tujuan diterbitkannya buku ini adalah
untuk menjelaskan
pemyataan-pemyataan afirmatif ( aqwdl mutsbitat,
constant opinions) yang terdapat di
dalam kitab Tahafnt al-Faldsifat ,
dalam rangka justifikasi (tashdiyc]), kepuasan untuk me-
nerima (iqna ),
dan sebagian besar tidak mencapai tingkat keyakinan dan pembuktian
yang
sempurna."
Dari sisi ini, dengan jelas saya bisa melihat posisi
al-Ghazali sangat lemah, meski-
pun saya belum membaca kitab 'Tahafnt
at-Taliafit’.
Adapun masalah keterpautan jatuhnya talak dengan
masuk rumah atau
datangnya hari esok, sebenamya telah disampaikan oleh
Ibn Rusyd sebelum saya mem¬
baca bukunya.
Selanjutnya, kita
hendak menafsirkan makna yang terkandung dalam per¬
nyataan, bahwa
dalil-dalil yang dihikayatkan oleh al-Ghazali dari para filosof tidak
mencapai tingkat keyakinan.
Apakah hal tersebut dimaksudkan
sebagai eufimisme, bahwa al-Ghazali telah
memelintir dan menvelewengkan
atau ia tidak memahami dalil-dalil tersebut? Dalam
maqam ini, kita
berharap Ibn Rusyd tidak memodifikasi dalil-dalil yang dihikayatkan
oleh
al-Ghazali. Karena modifikasi cenderung bersifat subjektif, sesuai pemahaman
Ibn Rusyd sendiri. Padahal, seperti diketahui, al-Ghazali adalah
pendahulunya. Se-
mustinya ia menilik dalil-dalil yang dilontarkan oleh
Ibn Sina atau al-Farabiy. Karena
mereka berdualah yang dikritik oleh
al-Ghazali. Jika temyata Ibn Rusyd menemukan
dalil-dalil Ibn Sina atau
al-Farabiy yang lebih kuat dari apa yang diutarakan al-Ghazali,
bisa
jadi hal tersebut berarti penipuan al-Ghazali atas mereka berdua, atau menurut
estimasi minimal, merupakan ketidak-mampuan al-Ghazali di dalam memahami
dalil-
dalil tersebut secara benar.
Tetapi bila Ibn Rusyd
mengesampingkan penjelasan hal itu, dan ia berusaha
mendeskripsikan
dalil-dalil para filosof dalam wacana yang lebih banyak memiliki ke-
kuatan dan lebih argumentatif, maka berarti ia tidak mendakwa al-Ghazali
38 Dlamiyr merujuk pada al-Ghazali
39 Sepertinya upava
melukiskan mazhab al-Ghazali tidak seperti biasanya.
40 Barangkali
ia bermaksud mengkritik Ibn Sina
41 Kelihatannva, pernyataan
tersebut dimaksudkan bahwa tiada jalan penye-
barannya dalam kitab ini.
Dengandemikian, kitab ‘Tahafnt at-Tahafut' bukanlah termasuk
kitab yang
sengaja disimpan untuk kalangan tertentu saja. Kitab ini bisa dinikmati secara
umum oleh mereka yang punya spirit belajar ( muta'allimiyn ).
299
Ini yang kami paparkan tentang
'Tahafut al-Falasifat' dalam kitab kami 'Al-
haqiyqat fi Nadhar
al-Ghazali', juga dalam mukadimah 'Tahafut al-Falasifat'.
4 -. Ini
tuduhan yang berbahaya. Kita ingin mengetahui justifikasi dan legali-
sasinya. Kita tidakbermaksud mengisolir yang tidak ma'shum
(terpelihara). Akan tetapi
karena merupakan gugatan, maka harusada
bukti. Semoga saja maksud Ibn Rusyd,
bahwa al-Ghazali di dalam
kitab-kitabnya yang dinamai madlnitn bilia 'ala ghayri ahliha
seperti
pemikiran-pemikiran yang dipakai menyerang dalam kitabnya ‘Tahafut
al-Falasifat'.
Semoga saja Ibn Rusyd telah mengetahui bahwa
persoalan yang terkait dengan
al-Ghazali—seperti yang telah kita pahami
dari kajian yang telah lama—terkait erat
dengan persoalan dua maqam:
Pertama, maqam at-'arifiyn, yaitu maqam persaksian ( musyahndat).
Al-Ghazali ber-
sikap sangat hati-hati, untuk tidak menjelaskan kepada
orang-orang yang belum men-
capai tingkatan maqam ini. Terbayang maqam
ini dalam dirinva saat penyair berkata,
"Yang ada biarlah ada. Aku tidak
menyebutnya atau anggaplah baik, dan jangan ber-
tanya tentang khabar."
Dalam maqam ini—sebagaimana dituturkan oleh al-Ghazali—semua akan
tersingkap pada semua 'arif sesuai derajat dan tingkatannya. "Dia umpan,
diberi nafkah
sesuai kadar rizki."
Kedua, maqam al-'dlimiyn,
yaitu maqam eksplorasi [bahts) dan konsiderasi (nadhar).
Ketika
al-Farabiv dan Ibn Sina yang keduanya didebat al-Ghazali dalam kitab 'Tahafut
al-Falasifat' telah menempuh jalan bahts dan nadhar di dalam penetapan
masalah ini yang
menjadi sumber perhelatan dalam kitab 'Tahafut
al-Faldsifat'. Al-Ghazali berpendapat,
bahwa keduanya bukanlah wasilah
yang menjamin dan dapat diandalkan untuk mencapai
tingkat keyakinan.
Dalam masalah ini al-Ghazali menantang untuk mengungkapkan
kepalsuan
wasilah ini, dan membuktikan bahwa jika persoalannya sebatas eksplorasi,
konsiderasi dan pembuktian, maka tidak ada para filosof yang mampu
mencapai inti
persoalan ini.
Ini di satu sisi. Sedangkan di
sisi lain, selama maqam al-‘arifiyn menjadi maqam
super khusus
(khashshat al-khashshat), sedangkan selain mereka menempuh jalan ideologi
( mu'taqadat) yangdidukungdalil-dalil 'aqliy dan naqliy secara
bersamaan, dan keluarnya
mereka dari maqam tersebut sebagai upaya keluar
dari batas yang sesuai bagi mereka
dan keluar dari pembebanan ( takliyf)
yang musti ditanggung oleh mereka. Maka, al-
Ghazali menantang untuk
melindungi sekelompok orang ini dari pemikiran-pemikiran
yang memelintir
dalil aqliy dan naqliy, sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam
kitab 'Tahafut al-Faldsifat.
Jadi, menurut pemahaman kita,
persoalan ini bukan persoalan hipokrasi ( nifaq)
dan pemalsuan. Tetapi
ia telah mendudukkan persoalan secara proporsional.
43 Maksudnya
para filosof.
44 Batasan makna irddah secara leksikal.
45 Untuk kedua kali Ibn Rusyd berharap agar al-Ghazali tidak
banyak meng-
umbar bukti. Lihat sebelumnya!
46 Ibn Rusyd
menghindar atau berhati-hati di dalam memberikan pembuktian
dalam kitab
ini. (Lihat hal. 117-121)
47 Untuk ketiga kalinya Ibn Rusyd
mengikrarkan untuk tidak sembarang mem¬
berikan bukti seperti kaum
mubarsamiyn. (Lihat halaman sebelumnya)
48 Ibn Rusyd menuduh
dalil-dalil yang dipergunakan al-Ghazali lemah.
300
J? Ini salah satu wama perdebatan yang maksudnya
jelas, salah satu pihak me-
nuduh pihak Iain bersandar pada sesuatu yang
keliru, tetapi dianggapnya benar
30 An 88 n P lah daIam masalah
ini al-Ghazali benar-benar telah maiakukan tahafut.
Tetapi apakah dengan
demikian, Ibn Rusyd bisa menghukumi seluruh isi kitab ini sama
engan
sebagian kecil yang dianggap rancu? Bagaimana dengan pernyataan Ibn Rusyd
di awal kitabnya (Adapun tujuan diterbitkannya buku ini adalah untuk
menjelaskan
pemyataan-pemyataan afirmatif (aqwal mutsbitah, constant
opinions) yang terdapat dalam
kitab Tahafut al-Falasifat' karya Abu
Hamid, dalam rangka justifikasi (tashdhjq), kepuasan
untuk menerima
(iqnd'), dan sebagian besar tidak mencapai tingkat keyakinan dan
pembuktian yang sempurna).
Apakah hal itu juga berarti dalam
kitab 'Talwfut al-Falasifat' juga ada bagian-
bagian tertentu yang
memenuhi kadar keyakinan dan pembuktian? Sebaiknya kibdral-
mufakkmyn
(ahli pikir terkemuka) tidak menyampaikan hukum begitu saja, melainkan
mengikatnva dengan ikatan-ikatan yang lazim, agar pernyataan mereka
ditakar dan
diambil I'tibdr sebagai pernyataan pemimpin ahli pikir.
Ibn Rusyd mengisyaratkan, bahwa perdebatan ini mengarah pada
pertikaian
(Lihat hal. 117,120,121)
52 Maksudnya memiliki
batas-batas tertentu
Sekali lagi Ibn Rusyd menya'akan tidak perlu
mengumbar bukti dalam kitab¬
nya ini.
54 Jika tuduhan mi
benar, la akan menjadi senjata ampuh untuk menohok al-
Ghazali.
Inilah inti kritik yang telah kami paparkan pada catatan kaki
halaman 139. Di
dalamnya mengandung penjelasan sebab-sebab pertikaian,
yaitu karena al-Ghazali
menyitir dalil-dalil para filosof, akan tetapi
dalil-dalil tersebut-menurut pandangan
Ibn Rusyd—tidaklah cukup untuk
memperkuat pernyataannya.
57 Sisi kritik Ibn Rusyd terhadap
al-Ghazali.
153 Ungkapan ini mengisyaratkan adanya pertentangan
terhadap al-Ghazali
158 Hanya bagi Ibn Rusyd, tidak bagi Ibn Sina.
60 Hal tersebut jelas mengisyaratkan, bahwa kitab ini tidaklah
disusun untuk
mengidentifikasi bukti-bukti. Sebagaimana mengisyaratkan,
bahwa Ibn Rusyd meng-
himbau orang-orang yang menempuh mazhab
pembuktian untuk memenuhi kuali-
fikasi tertentu
61
Pembicaraan seputar kemungkinan telah memasuki babak baru. Ia telah ber-
alih kepada pembicaraan tentang kemungkinan pada qabil (sesuatu yang
muncul
berikutnya) dan kemungkinan pada subjek. Sebelumnya, tidak ada
indikasi al-Ghazali
akan mengarak kepada hal semacam ini.
Interpretasi kalimat mungkin, wajib dan mustahil versi al-Ghazali.
63 Makna shadiq (benar).
Ini bagian, dari ketiga dalil
yang dipakai al-Ghazali untuk menunjukkan bahwa
kemungkman itu tidak
menghendaki sesuatu mawujud. Dalil pertama sudah disebutkan
sebelumnya.
Interpretasi kata mungkin versi Ibn Rusyd. Bandingkan dengan
interpretasi
al-Ghazali!
* Apakah itu berarti kalau Ibn
Rusyd sependapat dengan Muktazilah di dalam
menginterpretasikan makna
'mungkin'?
301
67 Para filosof dan
Muktazilah sama-sama sependapat, bahwa wujud itu tidak
serta merta
terjadi dari sesuatu yang tidak ada
“ Ini adalah dalil ketiga yang
dipergunaknn oleh al-Ghazali di dalam menyatakan,
bahwa kemungkinan
(ebelitas) itu tidak menghendaki adanya sesuatu yang mawujud.
M
Ibn Rusyd menyikapi al-Ghazali sebagai seornng jahat atau bodoh.
70 Menurut saya, kelihatannya masalah keterpaksaan bisa dipahami
di kalangan
filosof. Sebab, perhatiannya adalah ilmu filsafat,
pengukuhan danpembelaan kepadanya,
sehingga jika dirasa ada lingkungan
yang tidak sesuai, mungkin ia memicu keadaan
sepihak dengan
memperlihatkan sesuatu yang tidak tersembunyi, seperti mengumbar
kebencian terhadap filsafat atau melemparkan kritik terhadap lawannya.
Tetapi, bagi orang yang perhatian utamanya adalah ilmu-ilmu
syari'ah. Apabila
secara tiba-tiba membaca filsafat dan mengkritiknya,
sungguh tidak dapat dipahami,
jika dituduh mengkritik semata untuk
mencari muka. Karena, orang yang demikian
sebenarnya bisa saja untuk
tidak menulis tentang filsafat, baik berupa pengukuhan
maupun kritik.
Tetapi, dia tetap saja bisa menikmati kedudukan di antara umat manusia
sebagai seorang ahli ilmu syara', sebab dr.lam ilmu syara' ia memiliki
depa yang panjang
dan kaki yang tertancap kokoh.
71 Ibn
Rusyd mempersalahkan al-Ghazali.
72 Ibn Rusyd menuduh Abu Hamid
melakukan tindak kesalahan.
73 Ibn Rusyd menuduh al-Ghazali
mengeluarkan pernyataan konyol.
74 Ibn Rusyd menyatakan pernyataan
al-Ghazali tidak absah.
73 Buku yang diberi nama 'Qawn'id nl-nid'
benar-benar ada. la merupakan salah
satu bab di dalam kitab iliyn' yang
memiliki popularitas mendunia.
70 Al-Ghazali melihat adanya
beberapa masalah yang oleh para filosof dipecahkan
dengan kemampuan
nalar, padahal sebenarnya tidak bisa diketahui kecuali dengan
tuntunan
syara'.
77 Menurut Ibn Rusyd, syara' telah menetapkan alam sebagai
sesuatu yang
huduts. Tetapi ketetapan tersebut tidak bermakna, seperti
yang diinginkan Asy'ariyah.
77 Pernahkah Ibn Rusyd mengatakan,
bahwa mated tidak mungkin untuk tidak
ada, atau mustahil menjadi tidak
ada? Jadi apa maksud 'kemungkinan' pada pernyataan
tersebut?
78 Dalam pandangan Ibn Rusyd, matahari itu tergolong hewan.
78 Ibn Rusyd menyebut matahari dengan langit.
80
Mengapa hal itu mustahil?
81 Menurut Ibn Rusyd ada juga beberapa
pendapat para filosof yang tidak ar-
gumentatif.
82 Yaitu
karena yang demikian itu, menunjukkan siklus yang tidak logis ( bathil).
Hendaknya diperhatikan, bahwa generalisasi pada penggunaan kata
'sesuatu' tidaklah
benar, sebab sesuatu yang wajib tidak menjadi syarat
bagi wujud dirinya sendiri. Per¬
nyataan ini sudah pernah diungkapkan
dalam mukadimah kitab mantiq ‘Al-lsynraV.
83 Mazhab para filosof
tentang ketiadaan mated. Lihat hal. 234, 250.
84 Sikap adil Ibn
Rusyd terhadap al Ghazali.
85 Gambaran orang-orang bijak terhadap
knyfiyynt (bagaimana) pengadaan dan
peniadaan. Lihat hal. 248, 252.
88 Pengertian anihilisasi (ketiadaan) alam menurut para filosof.
302
1,7 Jadi apa pengertian
kemungkinan? Kemungkinan tidak lain bermakna,
penerimaan terhadap wujiid
dan 'admit. Dan sesuatu yang dihakimi mungkin bukanlah
bentuk alam dan
fenomena-fenomena yang melingkupinya,melainkan alam itu sendiri,
baik
bentuknya maupun fenomena-fenomena yang melingkupinya. Bentuk dan
fenomena tersebut menempati materi itu sendiri. Lihat interpretasi
terhadap makna
kemungkinan, seperti yang telah dipaparkan terdahulu.
“ • |adi a P a pengertian kemungkinan? Kemungkinan tidak lain
bermakna,
penerimaan terhadap witjudd an 'admit. Dan sesuatu yang
dihakimi mungkin bukanlah
bentuk alam dan fenomena-fenomena yang
melingkupinya, melainkan alam itu sendiri,
baik bentuknya maupun
fenomena-fenomena yang melingkupinya. Bentuk dan
fenomena tersebut
menempati materi itu sendiri. Lihat interpretasi terhadap makna
kemungkinan, seperti yang telah dipaparkan terdahulu.
1
embebasan atas pcnafian irndnh terhadap Allah SWT. Menurut para filosof,
tampaknya pernyataan tersebut tidak oriented, sebab bisa saja dipaparkan
menurut
versi para mutakallimun, bahwa kebutuhan Allah akan dzat
alam—menurut mazhab
kalian sama artinya dikatakan bahwa yang membutuhkan
berkurang darinva (tidak
memiliki) apa yang dibutuhkan, dan yang
memerlukan berkurang darinya apa yang
diperlukan. Apabila memang tidak
berkurang dari-Nya sesuatu, niscaya Dia tidak
akan membutuhkan dan
memerlukannya.
Jika dikatakan, Dia membutuhkan dan memerlukannya
bukan untuk kepen-
tingan pribadi-Nya, melainkan untuk kepentingan
selain-Nya."
Yang menjadi pertanyaan berikutnya, Apakah
melestarikan kepentingan se¬
lain-Nya lebih sempurna dari-Nya? Atau
tidak lebih sempurna?''
Jika dikatakan, "Tidak lebih sempurna",
berarti ia telah melakukan sesuatu
yang bertentangan.
Jika
dikatakan, Lebih sempurna", berarti Dia membutuhkannya, sama seperti
yang diungkapkan para Mutakallimun.
Begitu pula dalam
yang dipilih (nmkhtdr) dan pilihan (ikhhydr).
Jika para filosof
mengatakan, al-iiiukhtdr adalah yang memilih salah satu yang
lebih utama
untuk dirinya . Kita bisa menjawabnya, "Sesungguhnya yang mem¬
butuhkan
dan memerlukan hanyalah memerlukan apa yang dapat menyempurnakan
dirinya. Jika tidak, maka ia tidak akan membutuhkan dan memerlukannya.
Apa yang
dibutuhkan dan diperlukan pasti lebih utama dari yang
membutuhkan dan memerlukan,
juga lebih utama dari selain keduanya, serta
ketiadaan keduanya.
Rusyd tidak memposisikan dirinya sebagai
pembela Ibn Sina dan al-
Farabi semata. Dia melihat bahwa al-Ghazali
termasuk dari sekian yang menyerang
Aristoteles. Bahkan ketika
al-Ghazali menyerang Ibn Sina dan al-Farabi. Dia mengata¬
kan, bahwa
kedua filosof tersebut merupakan bayang-bayang Aristoteles.
Bagi
Ibn Rusyd, Aristoteles lebih berharga ketimbang Ibn Sina dan al-Farabi.
Oleh sebab itu, ketika al-Farabi dan Ibn Sina berbeda pandangan dengan
Aristoteles,
maka Ibn Rusyd memihak kepada al-Ghazali di dalam menyerang
al- Farabi, atau Ibn
Sina. Hal itu bukan karena kecintaannya kepada
al-Ghazali. Akan tetapi, karena
pandangan al- Ghazali, dalam hal ini,
senada seirama dengan pandangan Aristoteles,
yang merupakan makhluk yang
paling digandrungi Ibn Rusyd dalam dunia filsafat.
303
91 Ini jelas memaparkan kemungkinan penciptaan sesuatu
dari yang bukan apa-
apa. Tapi coba lihat juga pendapat Ibn Rusyd hal.
252.
92 Secara harfiah kata 'isti'arat' bermakna pinjaman. Dalam
ilmu Balaghah isti'arat,
dimaksudkan sebagai sebuah ungkapan dengan
meminjam kata-kata yang diper-
gunakan tidak pada tempatnya-pe/ier/.
93 Ibn Rusyd menduga al-Ghazali telah mengatakan sesuatu yang
dianggap
berasal dari para filsul, padahal sebennrnya tidak.
9 -< Barangkali inilah yang disebut dengan temporalitas
essensial (huduts dzatiy)
bagi alam. Takwil semacam ini dalam pandangan
Plato telah memancing al-Ghazali
menulis dalam kitabnya ‘Tnhdfut
al-falasifnt' sebagai berikut:
"Plato berkata, "Alam itu
diciptakan (mukawwan) dan diadakan (muhdnts)." Di
antara mereka ada yang
mentakwilkan pernyataannya itu, dan menolak kepercayaan
alam sebagai
sesuatu yang temporal."
95 Apakah kemustahilan ini karena kitab
tersebut tergolong kitab yang dapat
dibaca banyak orang, bukan yang
hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu? Atau,
karena pembahasan yang
mendetail akan membutuhkan banyak waktu untuk dapat
mencapai tujuan?
96 Ibn Rusyd mempersalahkan Ibn Sina.
97 Ibn Rusyd
melemparkan tuduhan berbahaya kepada Ibn Sina dan pengikutnya.
Bahwa
mereka telah memutar-balikkan mazhab kaum seputar ilmu ketuhanan sehingga
lebih bersifat dhannt (estimatif).
98 Ibn Rusyd menuduh Ibn
Sina dan Abu Nashr tidak mengerti mazhab para
filosof terdahulu.
99 Ibn Rusyd mengkritik Ibn Sina.
100 Makna khalq,
ikhtira' dan tak/iyf menurut para filosof.
101 Pernyataan ini
ditujukan oleh Ibn Rusyd kepada Ibn Sina yang dituduh telah
menyelewengkan mazhab para filosof.
102 Hal ini
mengindikasikan bahwa kitab ini tidak termasuk golongan 'kitab
hitam',
yang terlarang, selama kepada para pembacanya masih ditetapkan syarat-
syarat tertentu. Padahal, untuk dapat membaca kitab tahafut at-tahafat
tidak diberikan
syarat-syarat.
lu3 Pandangan Ibn Rusyd
terhadap Aristoteles dan Plato.
105 Metode afirmatif terhadap
wujud (eksistensi) Allah menurut pandangan para
filosof.
106 Ibn Rusyd mengkritik metode afirmatif terhadap wujud Allah
SWT. dengan
perantaraan temporalitas alam.
1117 Tampaknya
Ibn Rusyd selalu menggunakan ungkapan 'yang dieeritakan (inn
hakahii)'
dari apa yang dikatakan al-Ghazali, untuk menyanggah para filosof. Ungkapan
ini tidak sehalus 'apa yang dikatakan (md qdlalm).
108 Salah
satu bentuk tuduhan Ibn Rusyd kepada al- Ghazali.
lu9 Ibn Rusyd
menuduh Ibn Sina melakukan kesalahan.
110 Pendapat para filosof
tentang pengetahuan Allah SWT.
1,1 Apakah ini pertanda wihdat
al-wujud ?
112 Dalil terkuat akan adanya nubuwat menurut Ibn Hazm
1,3 Ibn Rusyd mengkritik dalil teolog kalam atas wujud Allah SWT.
114 Ibn Rusyd mengkritik pernyataan Ibn Sina.
1,5 Hal
ini menunjukkan kurangnya kebijaksanaan Ibn Sina.
304
Indeks
A
AbuHamid, 48,
49, 51, 53. 65, 72, 75
79, 89
Abu Hudzayl al-‘Allaf, 144
Abu Ja'far al-Dzahabi, 4
Abu Marwan ibn Zahr, 1
Abu
Muhammad‘Abd Allah, 4
Abu Muhammad ibn Rizq, 1
Abu Nashr, 207
Abu Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad ibn Rusy, 1
Ahlal-jidal, 21
Ahlussunnah, 25
al Haramaynal-Juwaym, 35
al Jalal ad-Duwam, 36
al-ahwal, 27
al-BaqilanT, 29, 31, 34
Al-GhazalT, 8, 10, 11, 13, 14. 16, 19,
21, 22, 24, 36, 50
al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn
Thayyib, 26
Al-Imam
al-BaqilanT, 27
AI-Maghrib al-Aqsha (Maroko), 47
al-Manshur, 2
al-mujab, 55
Aristoteles, 14, 109, 116, 208, 265
Asy’ariyah, 51, 163, 247
D
dzann, 83
E
eternal, 242
F
fadlTlah, 13
G
Galen, 151, 241
ghumaral-fudlala\ 14
H
harakah, 83
hayawan, 83
hujahen, 22
I
ibn al-BaqilanT, 26
Ibn Rusyd, 4, 9, 10,
16, 19, 21, 24,
25, 36
IbnSTna, 37, 67, 114, 207
imtidad, 114
Imtina’, 130
Iradah, 52, 74, 78
305
K
Karamiyyah,
161
kiyasah, 21
M
Manthiq, 24, 56
mawjudat, 243, 244
mubarsamm, 17
mudlaf, 8
Muktazilah, 131, 159, 251, 254
mumkin 'aqallT, 49
mumkin aktsari. 49
mumkin tasawl, 49
mustarsyid, 23
Mu'tazilah, 25
P
Q
qudama’, 90
s
Socrates, i4
Sophis, 50, 75
sophistik,
67
T
takhshTsh, 80
talaththuf, 21
taqlidilfi, 14
u
ubudiah, 14
w
Plato, 14
Porphyry, 288
Wajibal-wujud, 38, 43
306