Keabadian Jiwa Manusia secara Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kesembilan Belas: Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa Manusia Abadi Dan Mustahil Tiada Setelah Bereksistensi, Tidak Bisa Dibayangkan Kehancurannya
- Masalah Kedua Puluh: Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan Segala Yang Dijanjikan Allah
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KESEMBILAN BELAS: Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa Manusia Abadi Dan Mustahil Tiada Setelah Bereksistensi, Tidak Bisa Dibayangkan Kehancurannya
Untuk tesis ini para filsuf mendasarkan diri pada dua argumen:
PERTAMA
LENYAPNYA jiwa tidak lepas dari: (a) kematian tubuh, (b) terjadinya lawan jiwa
yang datang untuk menggantikan posisinya, atau (c) kekuasaan zat yang
berkuasa.
Tidak benar bahwa jiwa dapat lenyap karena kematian tubuh.
Sebab tubuh bukan substratum jiwa. Namun ia hanyalah instrumen yang
dipergunakan oleh jiwa dengan perantaraan fakultas-fakultas yang terdapat di
dalam tubuh. Kehancuran instrumen tidak menuntut kehancuran pengguna instrumen
tersebut, kecuali pengguna itu bertempat di dalamnya atau terpasang padanya,
seperti jiwa binatang atau fakultas-fakultas jasmani.
Dan karena
jiwa mempunyai dua tindakan: (1) memerlukan bantuan atau bekerja sama dengan
instrumen, dan (2) tidak memerlukan bantuan instrumen atau tidak perlu bekerja
sama dengannya.
Yang pertama contohnya imajinasi, sensasi, hasrat atau
kemarahan. Semuanya jelas akan rusak ketika tubuh rusak dan tentu akan menguat
bila tubuh menguat.
Yang kedua contohnya adalah tindakan jiwa dengan
dirinya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan tubuh. Misalnya
pengetahuan atau kognisi akan hal-hal terpikirkan yang tidak terkait dengan
materi terbentuk tanpa bantuan tubuh. Selama jiwa merupakan “yang mengetahui”
(mudrik) akan hal- hal yang dipikirkan (ma’qulat), ia tidak memerlukan tubuh
sama sekali. Sebaliknya, kesibukannya dengan tubuh menghalangi perhatiannya
dari objek-objek yang dapat dipikirkan (ma’qulat). Selama tindakan dan
eksistensi bukan merupakan tubuh, maka konstitusinya tidak bergantung pada
tubuh.
Demikian juga tidak benar mengatakan bahwa jiwa bisa lenyap karena
munculnya kebalikan atau lawannya. Karena substansi (jawhar) tidak mempunyai
kebalikan. Yang bisa lenyap di dunia hanyalah aksiden dan bentuk yang
bergantian melekat pada segala sesuatu . Bentuk air lenyap karena terjadinya
kebalikannya yaitu bentuk udara. Tetapi materi yang merupakan substratum dari
bentuk, secara mutlak tidak dapat lenyap. Dalam hal substansi yang tidak
berada pada substratum, kelenyapan karena terjadinya kebalikan juga tak dapat
dibayangkan. Sebab apa yang tidak berada di dalam substratum tidak mempunyai
kebalikan, sedang kebalikan-kebalikan (addad) itu terjadi secara bergantian
pada substratum yang sama.
Akhirnya, salah juga mengatakan bahwa
jiwa dapat lenyap karena kekuasaan. Sebab ‘adam (non eksistensi) bukanlah
sesuatu (syay), sehingga dapat terbayangkan kelenyapannya dengan kekuasaan.
Inilah
inti apa yang mereka katakan tentang masalah keabadian eksistensi alam. Kami
telah menetapkan masalah ini (dalil keempat para filsuf dalam masalah pertama)
dan telah membicarakannya secara panjang lebar (di masalah kedua).
Sanggahan
atasnya dari beberapa aspek:
Pertama, pandangan itu didasarkan pada tesis
bahwa jiwa tidal menjadi mati karena kematian tubuh. Sebab jiwa tidak terdapat
di dalam tubuh. Tesis itu didasarkan pada pandangan yang diambil oleh para
filsuf di dalam masalah sebelumnya (dalam masalah kedelapan belas). Dan kami
tidak bisa menerima pandangan tersebut.
Kedua, meskipun mereka tidak
menganggap jiwa berada di dalam tubuh, tetapi terbukti bahwa ada suatu
hubungan antara jiwa dan tubuh sehingga jiwa tidak terwujud kecuali dengan
terwujudnya tubuh. Pendapat ini diterima oleh Ibn Sina dan beberapa pemikir
lain yang memburu kebenaran melalui pemikiran bebas dan yang menyanggah tesis
Plato bahwa jiwa itu kekal (qadim) dan bahwa hubungannya dengan tubuh bersifat
aksidental. Pandangan mereka sebagai berikut:
‘’Apabila jiwa itu tunggal
sebelum eksistensi tubuh-tubuh, bagaimana ia dapat terbagi-bagi? Pembagian
sesuatu yang tidak mempunyai ukuran atau kuantitas tidak bisa diterima akal.
Tapi apabila dinyatakan bahwa jiwa tidak dibagi-bagi, maka pernyataan ini akan
tetap merupakan suatu pernyataan yang absurd. Karena jelas, jiwa Zayd lain
dari jiwa ‘Amr. Apabila kedua- duanya adalah satu, pastilah
pengetahuan-pengetahuan Zayd adalah juga pengetahuan-pengetahuan ‘Amr. Sebab
pengetahuan merupakan salah satu dari sifatsifat esensial jiwa, dan
sifat-sifat esensial masuk ke dalam semua hubungan-hubungan esensi. Jika jiwa
plural (tidak tunggal), apa yang menjadi sebab pluralitas tersebut? Sementara
jiwa tidak menjadi plural sebab materi, tempat, waktu, atau sifat. Karena
tidak ada sesuatu pun pada semuanya ini yang menuntut adanya perbedaan
kualitas jiwa. Hal ini tidak sama seperti keadaan jiwa setelah kematian tubuh.
Sebab menurut pendapat orang yang percaya akan imortalitas jiwa, jiwa yang
lepas memiliki kualitas beragam, sejauh ia memperoleh suatu kecenderungan yang
berbeda-beda dari tubuhnya. Tidak ada dua jiwa yang mempunyai kecenderungan
sama. Karena kecenderungan-kecenderungan itu timbul dari karakter moral. Dan
seperti fisiognomi eksternal (al-khalq az-zahir), karakter moral bagaimanapun
tak pernah bisa sama. Sebab apabila karakter moral atau fisiognomi Zayd dan
‘Amr sama, tentu sulit bagi kita membedakan antara Zayd dan ‘Amr.
Oleh
karena itu, dengan argumen ini terbukti bahwa jiwa adalah sesuatu yang
memiliki awal, yaitu ketika sperma memasuki rahim, dan karena konstitusi
fisiknya, sperma dipersiapkan menerima jiwa yang akan menjadi pengaturnya dan
bahwa ia tidak menerima jiwa hanya karena ia adalah jiwa belaka. Sebab sering
kali dua tetes sperma yang mencetak anak kembar sering tersedia di dalam satu
rahim: dan disaat yang sama untuk menerima jiwa. Maka dua jiwa
beremanasi-secara langsung atau melalui perantara-perantara-dari prinsip
pertama untuk dihubungkan dengan tubuh-tubuh embrionik. Maka . jiwa tubuh
“yang ini” tidak dapat menjadi pengatur tubuh “yang itu”, jiwa tubuh “yang
itu” tidak dapat menjadi pengatur jiwa tubuh “yang ini”. Hubungan khusus ini
hanya dapat. timbul dari afinitas yang sama antara suatu jiwa tertentu dengan
suatu tubuh tertentu. Sebab tanpa demikian, tubuh dari salah seorang anak
kembar tidak akan bisa lebih cocok daripada tubuh yang lain untuk menerima
jiwa tertentu ini. Karena di sana ada dua jiwa yang terwujud secara simultan
dan ada dua tetes sperma yang sama-sama siap untuk dituju oleh jiwa.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, apa sebab afinitas khusus antara suatu jiwa tertentu
dengan suatu tubuh tertentu? Jika afinitasnya adalah adanya jiwa yang
terpasang pada tubuh, maka eliminasi tubuh akan mengeliminasi jiwa pula.
Tetapi apabila ada sebab lain untuk menerangkan hubungan antara tubuh tertentu
ini dan jiwa tertentu ini-sehingga hubungan itu merupakan suatu syarat bagi
terwujudnya jiwa-maka bagaimana tidak diragukan bahwa setiap hubungan ini juga
harus merupakan syarat bagi kekekalan jiwa? Karenanya, ketika hubungan ini
diputuskan, jiwa akan lenyap. Dan eksistensinya tidak akan muncul kembali
hingga Allah menyebabkan kemunculannya kembali dengan cara pembangkitan dan
penyebaran kembali kehidupan, sebagaimana diajarkan agama dalam ajaran tentang
Kiamat.
Jika dikatakan:
Hubungan antara jiwa dan tubuh timbul dari
suatu kecenderungan alami atau kasih sayang instinktif yang diciptakan oleh
Allah secara khusus di dalam jiwa untuk suatu. tubuh yang telah ditentukan.
Kasih sayang ini menggambarkan jiwa hanya menyibukkan diri dengan tubuh yang
telah ditentukan tanpa peduli dengan yang lainnya dan tak sedetik pun ia
meninggalkan jiwa. Tapi ia terus menjaganya untuk menetap di dalam tubuh
tertentu, sehingga tidak ada tubuh lain yang menerima perhatiannya. Tetapi ini
tidak mengharuskan jiwa hancur karena kehancuran tubuh yang mempunyai kasih
sayang instinktif terhadapnya. Sering kali kasih sayang itu tetap abadi
meskipun jiwa telah berpisah dari tubuh, apabila di dalam kehidupan, kesibukan
jiwa dengan tubuh cukup kuat untuk memalingkan perhatiannya dari pengingkaran
hasrat-hasrat dan dari penyelidikan ke dalam objek-objek pikiran (ma’qulat).
Maka kasih sayang ini menyebabkan jiwa merasa sakit karena telah kehilangan
instrumen menjadi objek kasih sayangnya.
Mengenai hubungan yang pasti
antara, katakanlah, tubuh dan jiwa Zayd pada taraf pertama dari eksistensinya,
jelas ia mempunyai suatu sebab yang dapat membuat jiwa dan tubuh sesuai satu
sama lain. Maka tubuh yang dimaksud menjadi lebih cocok daripada tubuh lain
untuk jiwa tersebut, karena adanya tambahan berupa kesesuaian antara keduanya.
Maka hubungan khusus antara jiwa dan tubuh tersebut terwujud. Tetapi,
mengetahui karakter yang pasti dari kesesuaian-kesesuaian itu adalah di luar
kekuasaan manusia. Namun apabila kita gagal untuk menyingkap rinciannya secara
detail, bukan berarti hal itu mesti mencabut keyakinan kita terhadap kebutuhan
mendasar pada sebab yang menentukan hubungan tersebut. Ia pun tidak akan
berdampak negatif atas pernyataan kita bahwa jiwa tidak mati karena kematian
tubuh.
Kami akan menjawab:
Selama kesesuaian mutual (munasabah) antara jiwa dan
tubuh tidak tampak pada kita, dunia menuntut hubungan yang pasti, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa munasabah yang tidak tampak ini berada dalam kondisi
yang membuat imortalitas jiwa bergantung pada imortalitas tubuh dan kehancuran
tubuh menyebabkan kehancuran jiwa. Apa yang tidak tampak (majhul) tidak
mungkin diputuskan apakah ia menuntut suatu interelasi yang seharusnya antara
jiwa dan tubuh, atau tidak. Barang kali, hubungan an tara jiwa dan tubuh
merupakan keharusan bagi eksistensi jiwa. Karenanya jiwa akan lenyap jika
hubungan ini lenyap. Maka jelas tidak ada keyakinan atas argumen yang telah.
dikemukakan oleh para filsuf.
Ketiga, bahwa tidak masuk mustahil
menyatakan bahwa kehancuran jiwa disebabkan oleh kekuasaan Allah, sebagaimana
secara kongklusif telah kami kemukakan di dalam masalah keabadian alam.
Keempat,
bahwa kami tidak bisa menerima bahwa ketiga cara kehancuran yang Anda
kemukakan tersebut menutup kemungkinan lain. Bagaimana Anda akan membuktikan
bahwa kehancuran dengan suatu cara tertentu selain dari tiga cara tersebut
tidak dapat dibayangkan? Pembagian ini, jika tidak berkuat pada negasi dan
afirmasi, maka tidak menutup kemungkinan untuk ditambah dengan cara kehancuran
keempat. Karenanya, barangkali kehancuran akan terjadi dengan cara yang
keempat atau bahkan dengan cara yang kelima, yang lain daripada ketiga cara
yang telah Anda sebutkan diatas. Anda membatasi jumlah sampai tiga tanpa
didukung dengan argumen yang memadai.
Kedua (yang merupakan aliran utama
mereka).
Mereka mengatakan bahwa kepunahan suatu substansi yang tidak
terdapat di dalam suatu substratum (mahal) adalah mustahil Bahkan,
entitas-entitas yang sederhana (al-basit) mutlak tidak akan punah.
Di
dalam argumen ini, hal pertama yang dibuktikan ialah bahwa lenyapnya tubuh
tidak mengharuskan punahnya jiwa. Alasannya telah dikemukakan di atas.
Selanjutnya dikatakan bahwa mustahil bagi jiwa untuk lenyap karena sebab apa
pun, selain kematian tubuh. Karena kalau sesuatu bisa hancur karena suatu
sebab, maka ia mesti secara potensial telah mempunyai kehancuran sebelum
kehancurannya secara aktual. Artinya kemungkinan punah mendahului kepunahan
aktual, sebagaimana dalam hal suatu peristiwa temporal, kemungkinan eksistensi
mendahului eksistensinya. Kemungkinan eksistensi (imkan al-wujud) disebut
potensialitas eksistensi (quwwah al wujud) dan kemungkinan punah (imkan
al-’adam) disebut potensialitas untuk hancur (quwwah al fasad). Sebagaimana
kemungkinan bereksistensi adalah suatu sifat relatif yang tidak bisa berdiri
sendiri tapi memerlukan sesuatu yang bisa menjadi sandaran, demikian pula
kemungkinan untuk punah sesuatu yang bisa membuatnya menjadi kemungkinan.
Karena itu, dikatakan bahwa setiap sesuatu yang temporal (hadis) membutuhkan
suatu materi yang mendahului sebagai tempat bagi kemungkinan eksistensi
sesuatu yang bersifat temporal atau tempat bagi kemungkinan potensial. Maka
materi yang menjadi tempat potensialitas eksistensi adalah penerima
eksistensi. Entitas yang menerima tidak identik dengan entitas yang diterima.
Karena itu, penerima dan yang diterima ada secara bersama-sama di dalam waktu
ketika entitas yang diterima bereksistensi. Maka demikian pula, bahwa penerima
non eksistensi harus ada ketika non eksistensi terjadi, sehingga sesuatu tiada
darinya, sebagaimana sesuatu menjadi ada di dalamnya. Maka, sesuatu yang
menjadi tiada tidak identik dengan sesuatu tetap ada. Dan apa yang tetap ada
(ma baqiya) adalah apa yang di dalamnya potensialitas ketiadaan (quwwah
al-’adam) reseptivitas atas ketiadaan (qabul al-’adam) dan kemungkinan
ketiadaan (imkan al-’adam). Hal itu sebagaimana sesuatu yang tetap ada di saat
terjadinya eksistensi tidak identik dengan sesuatu yang terjadi. Dan yang ada
di dalamnya adalah potensialitas untuk penerimaan kejadian.
Maka sesuatu
yang mengalami ketiadaan harus tersusun dari apa yang tidak bereksistensi dan
sesuatu yang menerima ketiadaan-yang tetap disaat terjadinya ketiadaan. Sebab
ia adalah pembawa potensialitas untuk ketiadaan sebelum terjadinya ketiadaan
tersebut. Pembawa potensialitas ini adalah materi, dan yang keluar darinya
menuju ketiadaan adalah bentuk.
Tetapi jiwa adalah entitas sederhana
(basit). Ia adalah bentuk tanpa susunan yang steril dari materi. Apabila
komposisi dari bentuk dan materi diandaikan padanya, maka kita akan berpindah
pembicaraan kepada materi yang merupakan akar atau asal pertama. Karena
mestilah rangkaian-rangkaian itu berakhir pada suatu prinsip dasar ini, yaitu
yang disebut jiwa, sebagaimana telah kami tunjukkan kemustahilan lenyapnya
prinsip tersebut. Sebab bagaimana pun, materi adalah kekal dan abadi. Bentuk-
bentuk bereksistensi di dalamnya dan lenyap darinya. Ia mempunyai
potensialitas bagi terjadinya bentuk-bentuk padanya dan potensialias bagi
punahnya bentuk-bentuk darinya. Karena ia sama-sama memiliki kemampuan
menerima dua hal yang berlawanan tersebut. Dari sini jelas bahwa setiap mawjud
yang beresensi tunggal mustahil untuk tiada atau lenyap.
Ini dapat
dipahami dengan cara lain, yaitu bahwa potensialitas eksistensi (quwwah
al-wujud) bagi suatu entitas ada sebelum keberadaan entitas itu. Karenanya, ia
lain daripada entitas itu, dan entitas itu tidak bisa merupakan potensialitas
eksistensi itu sendiri.
Penjelasannya, bahwa seorang yang mempunyai
penglihatan sehat dikatakan sebagai seorang yang bisa melihat secara potensial
(basir bi al-quwwah), artinya pada dirinya terdapat potensi penglihatan
(quwwah al-ibsar). Fakta ini berarti bahwa sifat-yang mesti dimiliki mata
supaya penglihatan sehat- bereksistensi. Namun, jika penglihatan aktual
tertunda, maka penundaan itu karena tertundanya syarat yang lain. Maka
potensialitas penglihatan terhadap kehitaman, misalnya, telah ada di mata
sebelum penglihatan aktual (ibsar bi ali’l) terhadap kehitaman. Ketika
penglihatan terhadap kehitaman secara aktual diperoleh, potensialitas
penglihatan terhadap kehitaman tidak akan ada bersama-sama dengan penglihatan
aktual terhadap kehitaman. Sebab ketika penglihatan terjadi, tidak mungkin
untuk dikatakan bahwa ia ada secara aktual serta secara potensial.
Jika
premis ini telah ditetapkan maka kami katakan, apabila sesuatu yang sederhana
(syai’ basit) menjadi tiada, kemungkinan untuk tiada dimiliki oleh sesuatu itu
sebelum ia menjadi tiada secara aktual. Dan itulah yang dimaksud dengan
potensialitas. Kemudian ia juga harus mempunyai kemungkinan untuk
bereksistensi. Sebab sesuatu yang mungkin ketiadaannya, tidak tergolong wajib
al-wujud. Tapi ia harus tergolong sebagai sesuatu yang mumkin al-wujud. Dengan
potensialitas untuk bereksistensi, kami hanya memaksudkannya sebagai
kemungkinan untuk bereksistensi. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat
ditarik dari sini adalah bahwa potensialitas untuk eksistensinya sendiri dan
pencapaian aktual dari eksistensinya dapat terkumpul di dalam satu entitas,
atau bahwa eksistensi aktualnya dapat identik dengan potensialitas bagi
eksistensinya. Namun kami telah menunjukkan bahwa potensialitas untuk melihat
yang ada di dalam mata adalah lain daripada penglihatan aktual. Ia tidak bisa
identik dengan penglihatan aktual. Sebab ia menunjuk pada makna eksistensi hal
yang sama secara aktual serta secara potensial, padahal keduanya merupakan
istilah yang secara mutual eksklusif atau saling bertentangan (mutanaqidan).
Bahkan jika suatu hal adalah potensial, maka ia tidak dapat menjadi aktual,
dan apabila ia adalah aktual, ia tidak dapat menjadi hal yang potensial. Maka
afirmasi atas potensialitas non-eksistensi dari suatu hal yang sederhana
sebelum non eksistensi aktual, pada dirinya sendiri, mengandung afirmasi akan
potensialitas untuk bereksistensi seperti terjadi pada keadaan eksistensi
aktual. Dan itu mustahil.
***
Seperti inilah tepatnya hal
serupa yang telah kami bicarakan di dalam masalah eternitas dan keabadian
eksistensi alam, dimana para filsuf telah mengarah kembali kepada asumsi
mengenai kemustahilan asal temporal materi dan unsur-unsur dan kemustahilan
ketiadaannya. Sumber kerancuannya adalah postulat mereka bahwa kemungkinan
merupakan sifat yang menuntut pada suatu subjek untuk menjadi tempatnya. Kami
telah mengemukakan watak khusus yang dikandung asumsi ini, dan kami tidak akan
mengulangi kembali kritik kami. Sebab masalahnya tetap sama dalam masalah ini
seperti masalah-masalah sebelumnya. Tidak ada bedanya apakah seseorang
membicarakan substansi materi atau substansi jiwa.
MASALAH KEDUA PULUH: Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad,
Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan Segala
Yang Dijanjikan Allah
MEREKA juga mengatakan bahwa semua itu adalah simbolsimbol yang
dibuat untuk orang awam dalam rangka memberikan pemahaman kepada mereka
tentang
pahala dan siksa psikis (ruhani), yang derajatnya lebih tinggi dari hal-hal
yang bersifat fisik (jasmani).
***
Pandangan ini bertentangan
dengan kepercayaan seluruh umat Muslimin. Pertama kali, kami hendak
mengemukakan apa yang dipercaya oleh para filsuf mengenai persoalan
eskatologis (umur ukhrawiyyah), lalu kami akan mengajukan sanggahan- sanggahan
terhadap semua unsur yang bertentangan dengan Islam.
Mereka
berkata:
Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam
keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena begitu besarnya, atau dalam
keadaan sengsara yang tak mungkin terlukiskan karena begitu dahsyatnya.
Kadang-kadang, kesengsaraan itu menjadi abadi, dan kadang-kadang menghilang
bersama perjalanan masa. Berkaitan dengan berbagai tingkatan kesengsaraan dan
kesenangan, manusia berkelompok-kelompok dan tak terhitung banyaknya,
sebagaimana mereka juga berbeda- beda dalam tingkatantingkatan duniawi dan
kesenangannya dengan perbedaan yang tak terhitung banyaknya. Maka:
•
Kesenangan kekal (abadi) adalah untuk jiwa-jiwa yang suci dan sempurna.
•
Kesengsaraan kekal adalah untuk jiwa-jiwa yang tidak sempurna dan kotor.
•
Kesengsaraan sementara adalah untuk jiwa-jiwa yang kotor tetapi sempurna.
Jiwa
dapat mencapai kebahagiaan absolut hanya dengan kesempurnaan (kamal) dan
kesucian (tazkiyah) atau kebersihan (taharah). Kesempurnaan diperoleh dari
pengetahuan, dan kesucian diperoleh dari perbuatan baik.
Pengetahuan
diperlukan karena fakultas rasional memperoleh makanan dan kesenangan dari
kognisi terhadap objek-objek pemikiran (ma’qulat), sebagaimana fakultas hasrat
mendapatkan kesenangan dari pemenuhan suatu keinginan, atau fakultas
penglihatan mendapatkan kesenangan dengan melihat kepada bentuk yang indah,
dan demikian seterusnya semua fakultas yang lain. Yang menghalanginya dari
tersingkapnya objek- objek pemikiran (ma’qulat) tidak lain adalah tubuh
(kesibukan- kesibukan fisiknya) dan indra-indra fisik. Sudah merupakan hak
jiwa bodoh untuk sengsara, bahkan sejak dalam kehidupan dunia ini, dengan
hilangnya kesenangan jiwa yang disebabkan kebodohannya. Tetapi kesibukannya
dengan tubuh membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri dan memalingkan
perhatiannya dari kesedihan, seperti seorang yang sangat takut tidak merasakan
sakit atau orang yang sangat kedinginan tidak merasakan panas api. Apabila
ketidaksempurnaan jiwa yang bodoh tetap ada hingga terputusnya hubungan dengan
tubuh, maka jiwa itu akan berada dalam keadaan yang sama seperti orang yang
sangat kedinginan. Ketika disentuhkan pada api, orang itu tidak merasakan
sakit yang diakibatkannya. Tetapi ketika rasa dingin yang keras itu lenyap,
dia tiba-tiba akan merasakan penderitaan (panas) yang mendalam.
Tidak
jarang, meskipun jiwa mengetahui objek-objek pikiran (ma’qulaf), kesenangan
yang ia peroleh dari pengetahuan itu sedikit dan terbatas pada apa yang
dituntut karakternya. Ini juga karena kesibukan-kesibukan tubuh dan
kecenderungan jiwa pada objekobjek nafsu birahi. Itu dapat diilustrasikan
dengan orang sakit yang di mulutnya ada rasa pahit dan merasa jijik pada
makanan baik yang manis dan berusaha untuk menjauhi setiap makanan yang
sebenarnya merupakan sesuatu yang paling cocok baginya untuk mendapat
kenyamanan. Maka, akibatnya, dia pun gagal untuk mendapatkan kenikmatan pada
makanan-makanan nikmat karena pengaruh penyakitnya.
Berbeda dengan jiwa
yang menjadi sempurna karena pengetahuan. Ketika kematian mengakhiri
kesibukan-kesibukan fisik, maka ia dapat diilustrasikan dengan orang yang
sembuh dari sakit. Penyakit menghalangi seseorang dari mengetahui kenyamanan.
Tetapi ketika penyakit itu lenyap, persepsi akan kenyamanan dan kesenangan
datang tiba-tiba membludak.
Atau perumpamaannya seperti seorang
pencinta. Anggaplah bahwa pencinta itu sedang tidur, pingsan atau mabuk, kala
kekasihnya menghampirinya. Pertama kali, dia tidak dapat menyadari sebab yang
dapat membuatnya senang. Tetapi ketika ia bangun, dia akan sadar pada
kesenangan pertemuan secara tiba- tiba, setelah lama berpisah. Hakikatnya,
semua kesenangan ini tak berharga jika dibandingkan dengan
kesenangan-kesenangan spiritual-rasional (al-lazzat ar-ru haniyyah
al-’aqliyyah). Tetapi manusia tidak mampu memahami kesenangan ini sehingga
harus disampaikan secara simbolik melalui contoh-contoh yang dapat mereka
saksikan dalam kehidupan seharihari.
Misalnya, kalau kita hendak membuat
seorang anak kecil atau orang yang impoten memahami nikmatnya hubungan
seksual, kita harus mengemukakan kepada anak kecil dengan referensi pada
permainan sebagai sesuatu yang paling menyenangkan padanya, dan bagi orang
yang impoten dengan referensi pada lezatnya makanan enak yang dirasakan karena
amat lapar. Maka si anak dan yang impoten itu akan mengetahui sifat dasar
kesenangan itu, meskipun dia akan tahu bahwa simbol representatif itu sendiri
bukanlah hakikat kenikmatan hubungan seksual, karena simbol (bagi orang yang
impoten) diketahui hanya melalui organ rasa.
Ada dua argumen untuk
membuktikan bahwa kesenangan- kesenangan intelektual lebih mulia daripada
kesenangan- kesenangan fisik.
Pertama, keadaan para malaikat lebih mulia
daripada keadaan binatang buas dan babi. Para malaikat tidak mempunyai
kesenangankesenangan fisik, seperti hubungan seksual dan makan. Mereka hanya
mempunyai kesenangan dari merasakan kesempurnaan dan keindahannya, yang
menjadi ciri khas di dalam dirinya karena penglihatan mereka terhadap
realitas-realitas segala sesuatu dan kedekatan mereka dari Tuhan alam semesta
dalam hal sifat-sifat, bukan dalam hal tempat dan tingkatan wujud. Sebab semua
beremanasi dari Allah di dalam tatanannya dan melalui perantara, maka jelas
bahwa perantara-perantara yang paling dekat kepada-Nya tentu mempunyai
tingkatan yang tertinggi.
Kedua, manusia sendiri sering kali memuliakan
kesenangankesenangan intelektual di atas kesenangan-kesenangan fisik.
Misalnya, orang yang ingin mengalahkan musuhnya dengan cara meninggalkan
kemewahan keluarga dan makanan. Bahkan, tidak jarang seseorang tidak makan
sepanjang hari karena berusaha menang main catur atau dadu. Meskipun
kemenangan seperti itu hanyalah suatu kemenangan sia-sia. Tapi dia tidak
merasakan rasa sakit yang ditim bulkan oleh lapar. Demikian pula, orang yang
suka menjaga nama baik dan prestisenya, ragu- ragu untuk berurusan dengan
kekasihnya sehingga diketahui orang lain. Akhirnya, dia memutuskan menjaga
gengsinya, dan meninggalkan nafsu keinginannya, agar nafsu-nafsu buruk tidak
mencoreng mukanya. Jelas, menjaga gengsi lebih menyenangkan baginya.
Bahkan
sering kali seorang pemberani menyerang gerombolan musuh yang amat banyak,
karena dia tidak peduli lagi dengan bahaya kematian dan penuh harap akan apa
yang akan diperoleh setelah mati seperti yang dibayangkan, berupa rasa senang
karena pujian dan rasa bangga menjadi pahlawan berkat keberaniannya.
Kesenangan-kesenangan
intelektual di Akhirat akan lebih mulia daripada kesenangan-kesenangan fisik
duniawi. Jika tidak demikian, Rasulullah Saw. tidak akan menyampaikan firman
Allah: “Aku telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh, apa-apa yang
tak terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak tebersit di hati
umat manusia.” Allah Swt. berfirman: ‘’Jiwa tiada mengetahui apa yang
menyenangkan mata yang tersembunyi bagi mereka.” (Q.S. as-Sajdah 32: 17)
Karena
inilah orang perlu pengetahuan. Dan di antara semua pengetahuan yang paling
bermanfaat adalah pengetahuan- pengetahuan intelektual murni (al-’ulum
al-’aqliyyah al-ma hdah), yaitu pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya,
malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan tentang cara bagaimana segala
sesuatu bereksistensi dari-Nya serta apa yang ada di balik itu. Mengenai
pengetahuanpengetahuan yang lain, ia akan berarti jika berfungsi sebagai media
untuk mencapai pengetahuan- pengetahuan intelektual murni tersebut. Jika tidak
berfungsi sebagai media bagi pengetahuan-pengetahuan murni, seperti nahwu
(gramatika bahasa Arab), filologi, syair atau ilmu-ilmu khusus lainnya yang
sangat beragam, maka ia hanya merupakan kesenian, metode, dan keterampilan
sebagaimana hal hal sejenis lainnya.
Adapun amal baik dan ibadah
dibutuhkan untuk kesucian jiwa. Sebab berhubungan dengan tubuh, jiwa
terhalangi dari mengetahui hakikat segala sesuatu. Bukan karena ia terpasang
pada tubuh, tetapi karena kesibukannya dengan tubuh dan kecenderungannya pada
nafsu berikut kerinduannya pada tuntutan tubuh. Kecenderungan atau kerinduan
ini menunjukkan kecondongan pada tubuh, yang menghunjam di dalamnya dan
menguat karena perhatiannya dalam rentang waktu yang panjang terhadap
hasrat-hasrat dan kesukaan yang terus-menerus kepada sebab-sebab indriawi dari
kesenangan. Konsekuensinya, meskipun tubuh sudah mati, karakter tersebut tetap
bersemayam dalam jiwa dan dapat menimbulkan dampak negatif karena dua
alasan:
Pertama, karena ia menghalangi jiwa dari mencapai kesenangannya
yang spesifik, yaitu kesatuan dengan para malaikat dan pengetahuan kepada
hal-hal indah yang Ilahi. Dan tubuh membuat jiwa sibuk pada saat sebelum mati
akan ada di sana untuk memalingkan perhatiannya dari kesengsaraannya.
Kedua,
karena jiwa tetap menaha kecenderungannya kepada sebab-sebab kesenangan
duniawi. Tetapi setelah menghilangkan instrumennya-yaitu tubuh yang dilalui
jiwa dalam usahanya untuk mencapai kesenangan-kesenangan itu-kondisinya
menjadi sangat menyedihkan. Hal itu dapat diandaikan dengan seorang laki-laki
yang mencintai istrinya, sayang pada anak-anaknya, senang pada hartanya dan
bangga dengan kedudukannya. Lalu anggaplah bahwa kekasihnya terbunuh, ia turun
dari kedudukannya, anak- anaknya dipenjara, hartanya diambil oleh
musuh-musuhnya, dan kebanggaannya jatuh sama sekali. Orang tersebut pasti
mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Namun, selama dia masih hidup, dia
boleh tidak putus asa untuk mendapat kembali segala yang pernah dimilikinya
itu. Karena alam selalu bergerak dari hari ini ke esok. Tetapi apa yang bisa
dilakukan jiwa, bila harapannya terputus karena kematian memisahkannya dari
tubuh?
Pelepasan dari kecondongan-kecondongan fisik tersebut adalah tidak
mungkin, kecuali menahan jiwa dari nafsu, memalingkan diri dari keduniawian
dan memfokuskan diri pada usaha-usaha keras untuk memperoleh pengetahuan dan
mencapai ketakwaan. Jika itu bisa dilakukan, maka ketika ia masih berada di
dunia, hubungannya dengan perkara-perkara duniawi akan terputus, sedangkan
hubungannya dengan soal-soal Akhirat tumbuh menguat. Ketika kematian tiba,
jiwa akan mengalami rasa bebas seperti seorang tawanan ketika dibebaskan. Lalu
ia akan memperoleh apa yang dicarinya, yaitu Surga.
Tetapi tidak mungkin
membuang atau menghapus semua sifatsifat fisik pada jiwa. Karena
keniscayaan-keniscayaan fisik menarik jiwa ke arah diri fisik. Yang mungkin
terjadi adalah melemahkan hubungan dengan tubuh tersebut. Inilah alasan Allah
Swt. berfirman: “Setiap orang dari kalian akan mendekatinya, inilah keputusan
Tuhanmu yang tak bisa dielakkan.” (Q.S. Maryam19: 71) Ketika hubungannya
dengan tubuh telah melemah, penderitaan yang disebabkan oleh perpisahan jiwa
dari tubuh tidak akan begitu besar. Sebaliknya jiwa akan belajar untuk
menikmati hal-hal Ilahi itu yang akan tersingkap setelah kematian tubuh. Ini
akan segera menghapus efek-efek perpisahannya dari alam dan kecenderungannya
yang melekat kepada hal-hal duniawi. Analogi kondisi jiwa dapat ditemukan pada
seorang laki-laki yang keluar dari tanah airnya sendiri menuju kawasan lain di
mana ia dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar.
Perpisahan dari keluarganya dan tanah tumpah darahnya menyusahkan jiwanya, dan
dia rasa tidak bahagia. Tetapi efek- efek ini akan hilang ketika dia terbiasa
pada kesenangan yang dia peroleh dari keagungan kekuasaan dan otoritas.
Negasi
penuh sifat-sifat fisik adalah tidak mungkin. Karenanya, agama memerintahkan
kita memilih jalan tengah antara dua kutub yang bertentangan dalam hal moral
(akhlaq). Seperti halnya air hangat-hangat kuku, ia tidak panas dan tidak
dingin, seolah bebas dari dua sifat yang berlawanan. Seseorang hendaknya tidak
menimbun harta kekayaan dan tidak menggunakannya dengan boros dan sia-sia.
Sebab yang satu menimbulkan ketamakan, sedangkan yang lain membuatnya menjadi
pemboros. Demikian pula, orang semestinya tidak sama sekali menjauhkan diri
dari segala hal, atau tidak pula turut campur sepenuhnya. Karena yang pertama
adalah pekerjaan seorang pengecut, sedang yang terakhir adalah kebiasaan
seorang yang sembrono. Dalam hal yang pertama, hendaknya dia mengusahakan
kedermawanan yang berarti sikap antara kikir dan boros. Dalam hal yang kedua,
hendaknya seseorang mengupayakan keberanian yang dalam arti sikap antara
pengecut dan sembrono. Demikian seterusnya semua sifat-sifat moral yang
lain.
Ilmu akhlak begitu luas dan syariat Islam telah membicarakannya
secara detail. Reformasi akhlak tidak mungkin terwujud tanpa memerhatikan
aturan syariat. Apabila egoisme menjadi dasar tingkah-laku, subjeknya akan
seperti seseorang yang “menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”.
Sebaliknya, seseorang yang taklid terhadap Syara’, dia bertindak dan tidak
bertindaknya sejalan dengan petunjuk syariat, tidak dengan ikhtiarnya. Hanya
dengan demikian, akhlaknya akan tertata kembali.
Orang yang tidak
mempunyai pengetahuan dan akhlak yang mulia adalah terkutuk. Karenanya, Allah
berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. 91: 9-10).
Mereka adalah orang
yang memadukan antara dua keutamaan ilmiah dan amaliah. Dialah ‘arif ‘abid.
Pahalanya akan merupakan kebahagiaan yang absolut. Tapi orang yang hanya
mempunyai keutamaan ilmiah, tanpa keutamaan amaliah, maka dia adalah seorang
‘alim fasiq. Dia akan disiksa untuk sementara waktu (tidak selamanya). Karena
jiwanya telah menjadi sempurna dengan ilmu pengetahuan. Meskipun bertentangan
dengan substansi jiwanya, aksiden-aksiden fisik (‘awarid badaniyyah) telah
mengotorinya. Hanya saja kekotoran ini dapat lenyap bersama peredaran waktu.
Karena pada tingkat eksistensi jiwa tersebut, sebab-sebab aksidental dari
kekotoran tidak melahirkan kekotoran-kekotoran baru. Sedang orang yang
mempunyai keutamaan amaliah tanpa keutamaan ilmiah akan selamat dan bebas dari
rasa sakit, namun tidak akan mencapai kebahagiaan sempurna.
Kemudian
(para ftlsuf mengatakan), begitu seseorang mati, maka kiamat bermula baginya.
Adapun hal-hal yang disebutkan di dalam syariat, yang berupa ungkapan-ungkapan
indriawi, maka itu dimaksudkan sebagai suatu alegori (amsal), karena
terbatasnya pemahaman manusia untuk memahami kesenangan-kesenangan spiritual
ini. Karena itu, ia dikemukakan melalui simbol-simbol, tetapi di saat yang
sama juga disebutkan bahwa kesenangan- kesenangan spiritual yang sebenarnya,
masih jauh dari apa yang bisa diungkap dalam bentuk deskripsi. Inilah teori
para filsuf.
Kami akan menjawab:
Sebagian besar dari masalah ini
tidak berseberangan dengan agama (Syara). Kami tidak menolak bahwa kesenangan-
kesenangan di Akhirat lebih tinggi daripada kesenangan- kesenangan duniawi.
Kami juga tidak mengingkari imortalitas jiwa yang terpisah dari tubuh. Tetapi
kami mengetahui masalah ini berdasarkan otoritas agama, sebagaimana yang
dijelaskan dalam ajaran tentang kebangkitan (al-ma’ad). Kebangkitan
eskatologis benar-benar tidak dapat dipahami tanpa immortalitas jiwa. Tetapi
kami akan menyanggah, sebagaimana sebelumnya, pernyataan mereka bahwa akal
semata dapat memberi pengetahuan final tentang persoalan ini. Namun, ada
beberapa unsur dalam tesis para filsuf yang bertentangan dengan ajaran agama,
yaitu: (1) penolakan terhadap kebangkitan tubuh, (2) penolakan pada
kesenangan-kesenangan fisik di Surga, (3) penolakan atas adanya rasa sakit
secara fisik di Neraka, dan (4) penolakan terhadap eksistensi Surga dan
Neraka, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran.
Apa yang mencegah
seseorang untuk menerima kemungkinan terpadunya dua kebahagiaan: fisik
(jasmani) dan spiritual (ruhani), seperti juga kesengsaraan fisik dan
spiritual?
Allah berfirman:”Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S.
as-Sajdah 32: 17)
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah berfirman: “Aku
persiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, apa yang tak terlihat oleh mata,
tak terdengar oleh telinga, dan tak tebersit dalam hati manusia.” Demikianlah
eksistensi hal-hal agung tersebut dan penjelasan itu tidak menunjukkan negasi
terhadap yang selainnya. Bahkan menggabungkan yang bersifat spiritual dan
fisik adalah lebih sempurna, sementara yang dijanjikan Allah adalah hal-hal
yang paling sempurna, dan hal itu mungkin. Karena itu, membenarkan eksistensi
tersebut sesuai dengan yang dijabarkan agama adalah sesuatu yang wajib.
Apabila
dikatakan:
Apa yang kita dapatkan di dalam teks-teks suci (Syara) hanya
suatu allegori yang ditampilkan sesuai dengan keterbatasan kepahaman
masyarakat awam, sebagaimana ayat-ayat dan hadis- hadis tentang tasybih
(antropomorfis) adalah alegori-alegori yang dipergunakan karena terbatasnya
kepahaman masyarakat awam. Sifat-sifat Ilahi itu terlalu suci dari apa yang
dibayangkan masyarakat awam.
Jawaban:
Menyamakan antara
keduanya adalah suatu kerancuan tiranik. Ada dua alasan mengapa keduanya harus
tetap terpisah.
Pertama, kata-kata yang terdapat di dalam ayat-ayat
Alquran dan hadis-hadis Nabi Saw., yang mengandung tasybih memungkinkan takwil
berdasarkan prinsip yang sama seperti berlaku di dalam metafora-metafora
konvensional dalam bahasa Arab. Tetapi deskripsi tentang Surga dan Neraka
berikut penjelasan rinciannya menerangkan suatu batas yang menutup kemungkinan
takwil. Apa yang tertinggal hanyalah bahwa seseorang dapat mengatakan bahwa
teks teks tersebut tak lebih dari sekadar omong kosong, dengan memberikan
gambaran imajinatif yang bertentangan dengan kebenaran dan kemaslahatan orang
banyak. Tapi justru Nabi Saw. disucikan dari membawa berita bohong dan omong
kesong sebagaimana di atas.
Kedua, argumen-argumen rasional telah
membuktikan kemustahilan hal-hal seperti ruang, dimensi, bentuk fisik, tangan
organik, mata organik, atau kemampuan untuk gerak dan diam bagi Tuhan. Maka
kebutuhan terhadap takwil dengan argumen-argumen rasional merupakan suatu
kewajiban. Tetapi hal-hal yang menyangkut masalah eskatologis (ukhrawi) yang
dijanjikan kepada kita tidak merupakan hal yang mustahil bagi kekuasaan Allah.
Karenanya, kita harus memahaminya dalam kerangka eksplisit pernyataan, bahkan
memberikan pengertian dimensi yang memberikan pengertian jelas.
Jika
dikatakan:
Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan akan
kemustahilan kebangkitan kembali tubuh- tubuh. Bahkan argumen-argumen itu
telah membuktikan kemustahilan sifat-sifat antropomorfis bagi Allah.
Maka
kami menuntut mereka menjelaskan dalil-dalil argumentatifnya. Dalam hal ini
mereka memiliki dua titik pijak.
Pijakan Pertama
Mereka
menyatakan bahwa pengandaian kembalinya jiwa ke tubuh mengandung tiga
alternatif:
Pertama, dapat dikatakan-sebagaimana telah dikatakan oleh
beberapa teolog [mutakallimun]-bahwa (a) manusia adalah tubuh, dan bahwa
kehidupan hanyalah suatu aksiden (‘ard); (b) jiwa yang diandaikan berdiri
sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan (3) kematian berarti
tidak berlangsungnya kehidupan, atau terhalangnya Pencipta dari penciptaan
kehidupan. Kehidupan menjadi lenyap, demikian pula badan-fisik. Sedang
kebangkitan kembali berarti: (a) perbaikan kembali, oleh Allah, atas tubuh
yang telah lenyap; (b) pengembalian eksistensi tubuh; dan (c) perbaikan
kembali Kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapat dikatakan bahwa materi tubuh
tetap sebagai tanah dan bahwa kebangkitan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah
ini akan dikumpulkan dan disusun menjadi manusia, sebagaimana kehidupan
manusia diciptakan untuk pertama kalinya. Inilah salah satu alternatif itu.
Kedua,
dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah
kematian tubuh, tetapi ia akan dikembalikan pada saat kebangkitan-kepada tubuh
yang asli ketika semua bagian tubuh itu telah terkumpul. Ini merupakan
alternatif yang lain.
Ketiga, dapat dikatakan bahwa jiwa akan kembali
kepada suatu tubuh, baik ia tersusun dari bagian-bagian yang sama sebagaimana
aslinya atau tersusun dari beberapa bagian yang lain. Konsekuensinya, yang
hidup kembali adalah orang tersebut, sejauh jiwanya adalah jiwa orang itu
sendiri. Materi bukan merupakan sesuatu yang relevan di sini, karena manusia
tidak menjadi manusia karena materinya, tetapi karena jiwanya.
***
Ketiga
alternatif ini semuanya salah
Alternatif yang pertama jelas salah. Karena
ketika kehidupan serta tubuh telah tiada, penciptaannya kembali akan merupakan
suatu penciptaan hal yang sama dengan apa yang telah ada, tetapi bukan hakikat
(‘ayn) yang telah ada sebelumnya. Tetapi kata “kembali” (‘awd) seperti yang
kita pahami, mengimplikasikan pengandaian keabadian satu hal serta kebaruan
hal yang lain. Misalnya, seperti dikatakan bahwa seseorang telah kembali kaya,
artinya bahwa orang yang kaya itu abadi, tetapi telah meninggalkan kekayaan
kemudian kembali kepadanya. Artinya dia kembali kepada sesuatu yang secara
generik (bi al-jins) sama seperti apa yang telah ia punya pada asalnya, tetapi
berbeda kuantitas dan jumlahnya. Karena “kembali” bukan berarti harus pada
yang asal itu sendiri, tetapi kepada sesuatu yang mirip dengannya. Sekali
lagi, ketika seseorang dikatakan kembali ke suatu kota, artinya ialah bahwa
dia kembali berada di bagian mana saja dari kota tersebut, dan bahwa semula ia
berada di kota itu dan kini ia mengembalikan eksistensinya di kota yang sama
seperti keadaan asal sebelumnya. Apabila di kota tersebut tidak ada sesuatu
yang tetap ada (baqa’) dan-sebaliknya-jika ada dua hal yang sama (mutamasil)
tetapi secara angka berbeda-beda (muta’addid) yang dipisah oleh suatu waktu,
maka syarat-syarat yang dibutuhkan untuk aplikasi kata ‘kembali’ tidak bisa
sempurna. Seseorang dapat melepaskan diri dari konsekuensi ini dengan
mengatakan apa yang dikatakan Muktazilah-bahwa yang ditiadakan (ma’dum)
sesuatu yang tetap (Sabit) dan bahwa eksistensi (wujud) adalah suatu keadaan
yang terjadi pad ma’dum sebagai suatu aksiden (‘ard), suatu saat terputus dan
di saat yang lain kembali. Maka arti kata ‘kembali ‘akan direalisasikan dengan
referensi pada tetap adanya suatu entitas (zat). Tetapi ini berarti eliminasi
konsep mengenai “tiada-absolut” (‘adam mutlaq) yang merupakan negasi murni
(nafy al-mahd), dengan mengafirmasi suatu entitas permanen yang merupakan
tempat kembali eksistensi. Hal itu merupakan sesuatu yang mustahil.
Apabila
pendukung alternatif ini dengan liciknya mencoba untuk mempertahankannya
dengan mengatakan bahwa debu tubuh tidak hancur (fana’), dan karenanya debu
ini menjadi abadi sehingga kehidupan kembali kepadanya, maka akan kami jawab,
bahwa dalam hal demikian, benar untuk mengatakan bahwa debu kembali hidup
setelah beberapa lama kehidupan terputus darinya. Dan hal ini tidak akan
merupakan perwujudan kembalinya manusia atau kemunculannya kembali dengan
hakikat (‘ayn) dirinya sendiri. Karena seorang manusia menjadi manusia bukan
karena materinya dan debu yang merupakan bahan formasi dirinya. Semua bagian
fisik atau sebagian besar darinya terus mengalami perubahan karena faktor
makanan, dan manusia itu tetap manusia sebagaimana sebelumnya, karena ruh dan
jiwanya. Jika kehidupan dan ruh menjadi tiada, maka kembalinya segala yang
telah tiada tidak masuk akal. Yang bisa terjadi hanyalah penciptaan kembali
sesuatu yang sepertinya. Selama Allah menciptakan kehidupan manusiawi di dalam
debu yang terbentuk dari tubuh pohon-pohonan atau tumbuh- tumbuhan, maka itu
merupakan permulaan penciptaan manusia.
Kembalinya sesuatu yang sama
sekali tidak ada adalah tidak masuk akal. Entitas yang kembali adalah suatu
hal yang memang bereksistensi. Artinya ia kembali pada keadaannya yang
sebelumnya, kembali pada kondisi yang sama dengan kondisi sebelum itu. Maka
entitas yang kembali adalah debu-kembali kepada sifat kehidupan.
Tetapi
manusia bukan manusia karena tubuhnya. Karena sering kali tubuh kuda menjadi
makanan bagi manusia, sehingga darinya tercipta sperma yang menjadi bahan
terciptanya manusia. Namun tak bisa dikatakan bahwa kuda itu telah berubah
menjadi seorang manusia, tetapi kuda itu adalah kuda karena bentuknya, bukan
karena materinya. Bentuk itu telah lenyap dan yang tertinggal hanyalah
materi.
Kemudian kami kemukakan alternatif yang kedua, yaitu
pengandaian keabadian jiwa dan kembalinya pada tubuh, tempat asalnya. Apabila
hal tersebut diperhatikan, ia akan tetap disebut “kembali”; ia akan berarti
pembukaan lagi oleh jiwa atas fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah
darinya karena kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi
debu, atau dimakan ulat, burung burung, dan berubah menjadi darah, asap atau
udara, dan bercampur dengan udara, asap dan air yang ada di alam, sehingga tak
mungkin terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain.
Apabila hal tersebut
diandaikan sebagai kepasrahan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh
tidak:
Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang
ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak ia akan mengarah kepada
kebangkitan kembali orang-orang yang anggota badannya telah lepas, yang
telinga dan hidungnya putus, atau yang anggota tubuhnya cacat, dalam bentuk
yang sama persis seperti adanya ketika masuk ke dalam kehidupan di dunia.
Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang Surga, meskipun mereka diciptakan
dalam keadaan cacat di awal fitrah (penciptaan). Maka pengembalian mereka
kepada apa yang telah ada pada mereka di saat kematian merupakan suatu lelucon
yang sangat menggelikan. Karena itu, ini merupakan suatu kesulitan, apabila
pengandaian kembalinya itu dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang
ada di saat kematian.
Atau bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun
kembali dengan yang belum pernah ada di masa seseorang masih hidup. Hal ini
mustahil karena dua alasan:
Pertama, karena apabila manusia makan
manusia lain (kebiasaan yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan yang
sering kali terjadi saat paceklik), maka kebangkitan kembali kedua-duanya akan
sangat sulit karena materinya akan sama, karena tubuh dari orang yang dimakan
akan terserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak mungkin
untuk mengembalikan dua jiwa kepada satu tubuh.
Kedua, karena akan
merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya dikembalikan lagi sebagai
liver dan hati, tangan dan kaki sekaligus. Karena telah dibuktikan oleh ilmu
kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari sisa
makanan organ yang lain. Bagian-bagian hati menyediakan makanan bagi liver,
dan demikian seterusnya dengan bagian-bagian yang lain. Maka apabila kita
mengandaikan beberapa bagian khusus yang telah merupakan materi dari semua
organ, maka akan dikembalikan ke mana bagian yang telah lenyap dan menjadi
bagian dari organ yang lain tersebut?
Bahkan seseorang tidak perlu
pernyataan kemustahilan yang disebutkan di dalam sanggahan yang pertama.
Apabila Anda melihat pada suatu tempat di atas tanah, Anda akan mengetahui
bahwa pada partikel-pertikel debu terdapat unsur-unsur dari tubuh manusia.
Maka dalam perjalanan waktu, ketika tanah itu diairi dan ditanami, debu itu
menumbuhkan pepohonan dengan buah-buahannya serta hijau-hijauan yang dimakan
oleh binatang. Debu itu pun menjadi daging. Dan ketika binatang-binatang
dimakan oleh kita, debu itu akhirnya menjadi tubuh kita. Maka semua materi
yang tertentu telah menjadi tubuh manusia. Ia berubah-ubah: dari abu tubuh
orang mati ke pohon-pohonan, dari pohon-pohonan ke daging, dan dari daging ke
makhluk hidup.
Konsekuensi-konsekuensi dari keterangan ini sating
meruntuhkan alasan yang lain (yang ketiga) mengenai kemustahilan kebangkitan.
Yaitu, jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh-tubuh adalah tidak terbatas
jumlahnya, sedangkan jumlah tubuh-tubuh terbatas. Karenanya, materi-materi
manusia yang telah diciptakan disaat kebangkitan tidak akan dapat
dijumlahkan.
Akhirnya, alternatif yang ketiga, yaitu pengembalian jiwa
kepada tubuh manusia dari materi apa pun juga. Hal ini mustahil karena dua
alasan:
Pertama, materi-materi yang menerima kondisi keberadaan (kawn)
dan kehancuran (fasad) dibatasi pada lembah falak bulan, yang tak mungkin
terdapat penambahan padanya dan mereka terbatas jumlahnya. Sebaliknya,
jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh tidak terbatas jumlahnya. Karenanya,
materi-materi tidak akan dapat menampung seluruh jiwa.
Kedua, debu selama
tetap berupa debu tak dapat menerima pengaturan dari jiwa. Agar penerimaan
tersebut terwujud, maka tidak boleh tidak-unsur-unsur tertentu harus dicampur
satu sama lain, sehingga campuran itu menyerupai komposisi sperma. Bahkan kayu
dan besi tidak bisa menerima pengaturan (tadbir) dari jiwa. Ia pun tak mungkin
dapat menyebabkan manusia bangkit kembali sementara tubuhnya terdiri dari kayu
atau besi. Bahkan ia tidak akan pernah menjadi manusia, kecuali anggota-
anggota tubuhnya terdiri dari daging, tulang-belulang, dan berbagai organ
dalam perut. Meskipun tubuh dan campuran itu “bersedia untuk menerima” jiwa,
tubuh dan campuran memiliki hak atas penciptaan (hudus) jiwa dari
prinsip-prinsip pemberi jiwa-jiwa. Konsekuensinya, dua jiwa akan secara
simultan datang pada satu tubuh.
Tentu hal ini mustahil. Dan
sanggahan terhadap hipotesa itu juga akan menolak matempsikosis atau
transmigrasi/ reinkarnasi jiwa (mazhab at-tanasukh). Hipotesa ini benar- benar
sama seperti dengan mazhab tersebut, karena mazhab itu didasarkan pada asumsi
bahwa setelah terpisah dari tubuh, jiwa akan sibuk menguasai tubuh lain yang
bukan tubuh asalnya. Maka argumen yang menunjukkan kesalahan hipotesa ini juga
menunjukkan kesalahan mazhab matempsikosis.
Sanggahan terhadap pandangan
di atas sebagai berikut:
Bagaimana Anda dapat menolak orang yang memilih
alternatif terakhir dan berpendapat bahwa jiwa adalah tetap ada pasca kematian
dan merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri (qa’im bi nafsih)? Itu
tidak bertentangan dengan agama (Syara), bahkan teks agama menunjukkannya di
dalam firman Allah :’’Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuannya dengan mendapat
rezeki, mereka dalam keadaan gembira.. .” (Q.S. Ali ‘Imran 3: 169)
Kemudian
dalil lain yang dikemukakan adalah sabda Nabi Muhammad Saw: “Ruh-ruh orang
saleh berada pada serombongan burung-burung hijau yang bergelantungan di bawah
‘Arsy.”
Ada juga tradisi-tradisi (akhbar) lain yang berbicara tentang
ruhruh yang sadar dan merasakan kebajikan-kebajikan, sedekah- sedekah yang
diberikan atas nama mereka, pertanyaan (malaikat- malaikat) Munkar dan Nakir,
siksa kubur dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan immortalitas jiwa.
Namun,
pada saat yang sama, agama mengajar kita untuk memercayai kebangkitan kembali
(ba’i wa nusyur) yang dibarengi dengan kemunculan kembali kehidupan. Yang
dimaksudkan kebangkitan adalah kebangkitan tubuh-tubuh. Dan ini dimungkinkan
dengan mengembalikan jiwa kepada tubuh, baik tubuh itu dibuat dari materi
serupa, seperti yang asli atau dibuat dari materi tubuh lain, atau juga dari
suatu materi yang belum pernah dicipta sebelumnya. Karena jiwalah yang membuat
kita adalah kita, bukan tubuh. Semua bagian dari tubuh kita terus- menerus
berubah dari masa kecil ke masa tua dengan kurus dan gemuknya karena perubahan
yang ditimbulkan oleh makanan. Semua perubahan ini membuat keadaan jasmani
kita berbeda- beda dari satu bagian hidup kita ke yang lain. Padahal kita
masih tetap menjadi diri kita seperti adanya, sebagai manusia. Kebangkitan
kembali merupakan wilayah kekuasaan Allah, dan ini merupakan prosesi “kembali”
ke tubuh yang menjadi tempatnya semula bagi jiwa itu. Dengan hilangnya alat
(tubuh), ia terhalang dari mengalami berbagai bentuk kesengsaraan dan
kesenangan fisik. Lalu alat yang serupa diberikan kepadanya sekali lagi dan
itulah yang disebut dengan “kembali” menurut pengertian yang sebenarnya.
Pernyataan
mereka bahwa ketakterhinggaan jiwa dan
keterhinggaanmaterimembuatkemustahilankebangkitankembali menjadi absurd dan
tak berdasar. Ia didasarkan pada eternitas alam dan pergantian terus-menerus
dari gerak putar. Tetapi orang yang memercayai eternitas alam menganggap
kuantitas jiwa yang terpisah dari tubuh adalah terhingga dan tidak lebih
banyak daripada seluruh materi yang bereksistensi. Meskipun pendapat bahwa
kuantitas total seluruh jiwa lebih banyak daripada materi diterima, Allah
tetap kuasa untuk menciptakan materi-materi baru. Sebab mengingkari kekuasaan
tersebut berarti mengingkari bahwa Dia kuasa untuk menciptakan sesuatu.
Pendapat itu telah disanggah di dalam persoalan keberawalan alam (hudus
al-’alam).
Tentang alasan kalian yang kedua tentang kemustahilan-
yaitu, kesamaan dengan mazhab matempsikosis-kita mesti tidak memperdebatkan
problem kata-kata. Apa saja yang diajarkan agama kepada kita harus kita
percaya, meskipun itu ajaran matempsikosis. Namun, kami menolak ajaran itu
sejauh kata ini diperhatikan. Tetapi kebangkitan kembali tak dapat kami tolak,
apakah ia merupakan hal yang sama dengan Matempsikhosis, atau tidak.
Pernyataan
Anda-bahwa setiap keadaan jasmani yang dipersiapkan untuk menerima jiwa,
dikembalikan kepada keberawalan jiwa dari prinsip-prinsip-mengimplikasikan
bahwa ia adalah watak alami, bukan kehendak. Pendapat ini telah disanggah
dalam masalah keberawalan alam (hudus al-alam). Lalu bagaimana!! Sementara
tidak mustahil dalam cara pikir mazhab kalian untuk mengatakan bahwa
keberawalan jiwa bisa terwujud jika di sana tidak ada jiwa yang telah
bereksistensi. Dengan demikian, kemunculan jiwa itu merupakan sesuatu yang ada
pertama kali.
Yang tersisa adalah pertanyaan mengapa Anda tidak
menghubungkannya dengan keadaan-keadaan jasmani yang dipersiapkan untuk
menerima jiwa di dalam rahim-rahim, sebelum kebangkitan, bahkan di dunia kita
ini?
Jawabannya adalah: barangkali jiwa-jiwa yang berpisah menuntut
persiapan-persiapan dalam bentuk lain, dan sebab- sebab dari
persiapan-persiapan tersebut tidak bisa terpenuhi sampai waktu kebangkitan
tiba. Dan tidak diragukan bahwa persiapan yang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa-yang
sempurna telah terpisah dari tubuh-tubuhtidak berbeda dari persiapan yang
dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang telah terwujud pertama kali, lebih mengetahui
syarat dan sebabnya berikut waktu-waktu kedatangannya. Teks-teks agama telah
memberikan penjelasan tentang persoalan tersebut. Dan itu adalah sesuatu yang
mungkin. Karenanya kita wajib membenarkannya.
Pijakan Kedua
Di luar
kekuasaan manusia untuk mengubah besi menjadi suatu pakaian yang teranyam
sehingga dapat dipergunakan sebagai surban. Hal tersebut tidak akan terjadi
sampai bagian-bagian dari besi itu dihancurkan menjadi elemen-elemen melalui
sebab-sebab yang menguasai besi sehingga ia diubah menjadi elemen-elemen yang
sederhana. Elemen-elemen itu harus dikumpulkan lagi dan diproses melalui
berbagai fase penciptaan sehingga menjadi bentuk kapas (katun). Kapas
membutuhkan bentuk benang. Benang menurut suatu tekstur khusus, yaitu tekstur
sehelai kain. Adalah absurd untuk mengatakan bahwa besi dapat menjadi surban
yang dibuat dari kapas, tanpa mengubahnya melalui proses-proses dan fase-fase
tersebut di atas.
Memang, boleh terbersit di benak seseorang bahwa
transformasi gradual melalui beberapa fase ini dapat berlangsung dalam waktu
singkat, di luar yang bisa dibayangkan manusia. Karenanya lalu ia menduga
bahwa peristiwa tersebut terjadi seketika dan sekaligus.
Jika hal ini
dapat diterima akal sehat, tentulah bila tubuh manusia yang bangkit hanyalah
terbuat dari sebuah batu, yakut, mutiara, atau debu murni, tubuh itu tidak
akan menjadi manusia. Bahkan tubuh itu tidak akan terbayangkan dapat menjadi
manusia, kecuali bila dibentuk dengan bentuk khusus, tersusun dari tulang
belulang, uraturat syaraf, daging, tulang rawan, berbagai organ dalam dan
bagianbagian sederhana yang mendahului bagian-bagian yang tersusun. Tubuh
tidak akan ada tanpa anggota-anggota tubuh. Anggotaanggota tubuh yang tersusun
itu tidak akan ada jika tulang, daging dan syaraf-syaraf tidak ada.
Anggota-anggota tubuh yang sederhana tidak akan ada bila organ dalam tidak
ada. Organ dalam atau isi-isi perut tidak akan ada bila makanan tidak ada,
yang merupakan materinya. Makanan tidak akan ada bila binatang atau
tumbuh-tumbuhan (daging dan dedaunan sebagai hasilnya) tidak ada. Binatang dan
tumbuh-tumbuhan tidak akan ada, bila unsur-unsur yang empat tidak ada
semuanya, tercampur dengan syarat-syarat khusus yang lebih banyak daripada
yang telah kami uraikan di atas.
Jika demikian, tubuh manusia tidak akan
membaru, sehingga jiwa kembali kepadanya, kecuali dengan adanya hal-hal
tersebut. Dan ia mempunyai banyak sebab.
Apakah. mungkin suatu tubuh
menjadi manusia dengan hanya mengatakan kata “jadilah” (kun) atas tubuh itu?
Ataukah sebabsebab transformasi gradual yang melalui berbagai fase harus mulai
berjalan? Sebab-sebab itu adalah: (a) fertilisasi rahim dengan suatu tetesan
yang keluar dari sumsum tubuh manusia,
(b) tetesan ini
dibantu oleh darah haid dan dengan makanan untuk beberapa lama, (c) sehingga
ia tumbuh menjadi gumpalan,
(d) lalu gumpalan menjadi
darah beku; (e) lalu menjadi sebuah embrio, (f ) lalu menjadi seorang bayi,
(g) menjadi pemuda, (h) lalu tua. Maka tidak masuk akal bahwa semuanya itu
dicapai hanya dengan mengatakan “jadilah”. Sebab tidak ada kata-kata yang
dapat dikemukakan pada debu dan menjadikannya sebagai seorang manusia tanpa
melalui fase-fase ini adalah sesuatu yang mustahil. Prosesi dan perjalanan
kejadian melalui fase-fase ini tanpa pelaksanaan sebab-sebab tertentu adalah
mustahil. Karena itu, kebangkitan kembali manusia secara fisik adalah
mustahil.
Sanggahan:
Kami setuju bahwa transformasi
gradual melalui fase-fase ini merupakan suatu keniscayaan, sehingga debu
menjadi tubuh manusia, sebagaimana itu merupakan keharusan ketika besi akan
dijadikan sebuah surban. Karena apabila besi tetap besi, ia tidak akan dapat
menjadi selembar pakaian. Ia harus menjadi kapas yang dipintal dan ditenun.
Tetapi perubahan itu dapat terjadi dalam waktu sesaat atau dalam beberapa
lama. Tidak diterangkan kepada kita apakah kebangkitan akan terjadi sesingkat
mungkin atau dalam waktu yang lama. Pengumpulan tulang-tulang, lalu
membungkusnya dengan daging, dan menyebabkan segalanya tumbuh, akan terjadi
dalam waktu yang lama. Maka ini bukan merupakan suatu persoalan yang harus
didiskusikan.
Yang harus diperhatikan adalah apakah kemajuan melalui
fase-fase ini dapat dicapai hanya melalui kekuasaan (qudrah Allah) yang
beroperasi tanpa perantara-perantara, ataukah dengan salah satu dari
sebab-sebab alami. Bagi kami, kedua-duanya adalah mungkin, sebagaimana telah
kami kemukakan di dalam masalah pertama mengenai fisika, di mana kami
mendiskusikan watak sebab-sebab regular dari peristiwa-peristiwa dengan
mengklaim bahwa hal-hal yang tampak saling berhubungan satu sama lain tidak
harus berhubungan dan bahwa keluar dari kebiasaan peristiwa adalah mungkin.
Ini semua dapat dicapai dengan kekuasaan Allah Yang Mahatinggi, tanpa ada
sebab-sebabnya. Ini yang pertama.
Kedua, kami harus mengatakan
bahwa meskipun hal-hal ini bergantung pada suatu sebab, tetapi bukan merupakan
syarat bahwa sebab ia harus diketahui. Bahkan, gudang kekuasaan Allah memuat
hal-hal misterius yang aneh-aneh dan yang tidak terungkap oleh manusia.
Eksistensi hal-hal misterius dan luar biasa itulah yang diingkari oleh orang
yang beranggapan bahwa tak ada eksistensi apa pun selain yang dapat diketahui
atau disaksikan. Hal-hal ini seperti penolakan seseorang terhadap sihir, ilmu
tenung, ilmu-ilmu talismanik, dan mukjizat-mukjizat serta berbagai bentuk
kekeramatan para nabi dan wali. Semua ini secara benar adanya-sebagaimana
disepakati banyak orang-dan merupakan fakta-fakta yang jelas, yang berasal
dari sebab-sebab misterius yang tak terungkap oleh semua manusia.
Bahkan
seandainya ada seorang manusia yang tak pernah melihat bagaimana seorang
megnetis menarik besi. Apabila hal itu dikatakan kepadanya, dia tak
memercayainya. “Karena,” katanya, “tak dapat dibayangkan bahwa sehelai besi
dapat ditarik kecuali bila ada benang yang diikatkan padanya lalu ditarik.”
Itulah apa yang dia pahami mengenai penarikan dari pengalamannya. Tetapi
ketika dia menyaksikan sendiri atraksi magnetis, dia pun takjub. Lalu dia
menyadari bahwa pengetahuannya terbatas untuk mengetahui akibat-akibat
misterius dari kekuasaan Tuhan (qudrah).
Demikian pula, ketika kaum
atheis ini, yang menolak kebangkitan, akan dibangkitkan juga dan mampu melihat
keajaibankeajaiban yang diciptakan oleh Allah, mereka akan menyesali
keingkaran mereka. Tapi penyesalan itu tidak ada gunanya lagi bagi mereka.
Allah berfirman kepada mereka: “Inilah apa yang kalian dustakan.” (Q.S.
al-Mupffifin 83: 17)
Mereka seperti orang yang mendustaka
peristiwa-peristiwa unik dan hal-hal yang aneh-aneh.
Andaikan bahwa
seorang manusia diciptakan dengan akal yang cerdas sejak lahir. Lalu dikatakan
padanya:”Tetesan sperma yang kotor dan bagian-bagiannya bersifat homogen ini
akan berkembang-di dalam rahim-menjadi berbagai organ yang. terbuat dari
daging, urat-urat syaraf, tulang belulang, otot- otot, tulang rawan, dan
lemak. Ia akan mempunyai mata yang terdiri dari tujuh strata keadaan jasmani,
lidah, dan gigi-geligi yang kelembutan dan kekerasannya berbeda-beda satu sama
lain, meskipun berbaris rapat, dan sebagainya berupa berbagai keajaiban dan
keunikan dalam sifat dasar (fitrah) manusia.”
Mendengar semuanya ini, ia
akan menolak informasi itu lebih keras daripada yang dilakukan oleh kaum
atheis yang mengatakan: “Apakah kami akan dihidupkan kembali, setelah kami
telah menjadi tulang-tulang yang busuk?” (Q.S. an-Nazi’at 79: 11). Orang yang
menolak kemungkinan ba’s (kebangkitan kembali) tidak berpikir lebih jauh, dari
mana ia tahu bahwa sebab-sebab eksistensi terbatas pada apa yang dia ketahui
saja. Tidak diragukan bahwa cara penghidupan kembali tubuh-tubuh tidak akan
seperti yang telah dia saksikan. Beberapa sumber hadis menginformasikan bahwa
saat ba ‘s hujan akan turun mengguyur, yang tetesan-tetesannya menyerupai
tetesantetesan sperma. Maka tetesan-tetesan ini akan bercampur dengan debu
(turab) yang menjadi tubuh-tubuh manusia. Tidak mustahil bahwa sebab-sebab
Ilahi mengandung hal semacam ini, yang tidak kita ketahui. Sebab-sebab Ilahi
tersebut memungkinkan kebangkitan tubuh-tubuh dan kesiapannya menerima jiwa
yang dikumpulkan kembali. Adakah dasar untuk menolak kemungkinan tersebut,
yang lain dari sekadar asumsi ketidakmungkinan semata?
Jika dikatakan:
Tindakan Ilahi mempunyai satu pola yang berulang-ulang
dan tak berubah-ubah. Karenanya, Allah berfirman: “Dan perkara kami hanya satu
perbuatan seperti kedipan mata.” (Q.S. al-Qamar 54: 50) Lalu Allah berfirman:
“Kau tidak akan mendapatkan bagi kebiasaan Allah perubahan.” (Q.S. al-Al].zab
33: 62) Apabila sebab- sebab- yang Anda bayangkan sebagai sesuatu yang
mungkin-ada, maka sebab-sebab itu harus terjadi dan terwujud secara berulang-
ulang. Pengulangan ini tidak terbatas, dan sistem kemunculan (tawallud) dan
perkembangan (tawalud) yang terdapat di dalam alam semesta juga tidak akan
terbatas.
Setelah perulangan (takarrur) dan perputaran (dawr) diakui,
tidak diragukan lagi bahwa dalam setiap satu milenium, misalnya, terdapat
perbedaan pola dari hal-hal tersebut. Tetapi perubahan ini sendiri harus abadi
sepanjang satu garis yang sama. Karena sunatullah tidak akan berubah.
Hal
itu terjadi, karena perbuatan Ilahi berasal dari kehendak Ilahi. Kehendak
Ilahi tidak mempunyai arah khusus yang telah ditentukan. Jika ia mempunyai
suatu arah khusus, sistemnya akan berubah karena perbedaan arah-arah atau
dimensi-dimensi. Maka apa pun yang berasal darinya akan teratur menurut sistem
yang memadukan yang pertama dan yang terakhir pada satu cara tunggal,
sebagaimana kita lihat pada segala sebab dan akibat.
Maka jika Anda
menerima kemungkinan terus- menerusnya perkembangan (tawalud) dan kelahiran
(tanasul) berdasarkan apa yang disaksikan kini, atau menerima kemungkinan
kembalinya pola ini, meskipun setelah masa yang lama menurut hukum perulangan
dan kesinambungan (dawam), maka Anda akan menolak Kiamat dan Akhirat, serta
segala yang ditunjukkan oleh teks-teks eksplisit agama. Karena penerimaan ini
mengimplikasikan bahwa eksistensi diri kita ini muncul melalui beberapa kali
kebangkitan dan akan kembali berkali-kali. Demikianlah kebangkitan dan
kemunculan kembali secara tertib barangkali tanpa batas.
Tetapi jika Anda
katakan bahwa modus operandi (sunnah) Ilahi dapat berubah pada genus lain,
bahwa modus yang berubah ini tidak akan pernah kembali lagi, dan bahwa jarak
masa kemungkinan dapat dibagi-bagi ke dalam tiga periode, yaitu:
(1)
sebelum penciptaan alam, ketika Allah ada dan alam belum ada, (2) setelah
penciptaan alam, yang terjadi bersamaan dengan eksistensi Allah, (3) masa
terakhir, yaitu proses kebangkitan; maka keseragaman dan keteraturan menjadi
batal dan terwujudlah perubahan dalam sunatullah. Tetapi, itu mustahil. Itu
hanya mungkin terjadi dengan kehendak yang berubahubah atau berbeda-beda
sesuai dengan perubahan dan perbedaan keadaan. Sedang kehendak azaliah
mempunyai satu jalur tunggal yang tidak terbagi-bagi. Ia tidak akan mengenal
perubahan. Sebab perbuatan Ilahi mengambil bagian dalam watak kehendak Ilahi
yang mempunyai suatu bentuk operasi yang sama, yang tidak berubah karena
hubungan-hubungan temporal yang berubah- ubah.
Para filsuf lebih lanjut
menyatakan bahwa hal ini tidak bertentangan dengan penegasan kami bahwa Tuhan
Mahakuasa atas segala sesuatu. Kami katakan bahwa dia berkuasa untuk
menciptakan kebangkitan, kemunculan kehidupan dan semua hal-hal mungkin
lainnya, dalam arti bahwa apabila dia berkehendak, dia pasti akan berbuat.
Tidak menjadi syarat kehenaran pernyataan kami ini, bahwa Tuhan harus secara
aktual berbuat atau berkehendak. Hal ini seperti perkataan kami: “Si Anu
(Fulan) kuasa untuk memotong tengkuknya atau meledakkan perutnya sendiri.”
Pernyataan ini benar, dalam arti bahwa orang itu dapat berbuat demikian, bila
dia mau. Tetapi kita tahu bahwa dia tidak menghendakinya dan tidak juga
melakukannya. Ketika kita katakan bahwa dia tidak berkehendak dan tidak
berbuat, kita tidak menentang pernyataan semula bahwa dia mampu, dalam arti
bahwa dia dapat melakukannya bila ia mau. Sebagaimana diterangkan dalam logika
(mantiq), proposisi-proposisi kategoris (hamaliyyah) tidak bisa
dipertentangkan dengan proposisi- proposisi hipotesis (syartiyyah). Pernyataan
kami: “dia dapat melakukannya, bila dia menghendaki,” adalah suatu proposisi
hipotesis afirmatif (syarti mujab). Dan pernyataan kami: “dia tidak
berkehendak dan tidak berbuat,” merupakan dua proposisi kategori negatif.
Proposisi-proposisi negatif kategori (salibah
.syartiyyah) tidak
bertentangan dengan proposisi-proposisi positif afirmatif (mujabah
.syartiyyah).
Jika demikian, argumen (dalil) yang membuktikan bahwa
kehendak-Nya tidak berawal temporal (azali) dan tidak berubah- ubah juga
membuktikan bahwa garis perjalanan perbuatan-Nya mesti teratur (sistematis)
dengan pengulangan-pengulangan. Dan jika ia berbeda pada suatu waktu, maka
perbedaan itu sendiri mesti dalam keteraturan dan keseragaman, di dalam
berulang- ulang dan kembali secara terus-menerus. Sedangkan dasar yang lain
bagi keberagamaan ini adalah tidak mungkin.
Jawaban:
Hal
ini berakar pada teori eternitas (kekadiman) alam, yaitu bahwa kehendak Ilahi
adalah qadim. Karenanya alam harus juga qadim. Kami telah menyanggah teori ini
dan telah kami tunjukkan bahwa akal membenarkan asumsi tiga bagian yaitu:
•
Ketika Allah ada dan alam tidak ada.
• Ketika alam
tercipta-pertama-tama-sesuai dengan tatanan yang kita saksikan kini, kemudian
mempunyai tatanan baru yang dijanjikan akan ada di Surga dan Neraka.
•
Ketika segala sesuatu menjadi tiada, dan Allah sendiri yang tetap ada. Asumsi
ini sangat mungkin, meskipun agama mengindikasikan bahwa pahala dan siksa di
Surga dan Neraka tidak memiliki batas akhir.
Masalah ini,
bagaimana pun ia diputar-putar, tetap kembali pada dasar yang berupa dua
persoalan: (a) asal mula alam (hudus al-alam) dan kemungkinan emanasi hal yang
temporal (hadis) dari yang Qadim; dan (b) keadaan keluar dari kebiasaan-
kebiasaan, baik melalui penciptaan akibat-akibat yang tanpa sebab-sebab, atau
melalui originasi (ihdas) sebab-sebab berdasar pola yang tidak biasanya. Kami
telah membicarakan kedua masalah ini seluruhnya.Wa Allah a’lam. Allah
Mahatahu.
Jika seseorang berkata:
Kini Anda telah
menganalisis teori-teori para filsuf. Apakah Anda lalu mengkafirkan para
filsuf dan menyimpulkan bahwa orang yang memercayai teori-teori itu akan
dianggap sebagai orang kafir dan wajib dibunuh?
Kami akan menjawab:
• Mengkafirkan para filsuf adalah
sikap yang harus saya ambil, menyangkut tiga persoalan yaitu:
•
Masalah eternitas (qidam) alam, di mana mereka mengatakan bahwa semua
substansi (jawhar) adalah kekal.
• Pernyataan mereka
bahwa pengetahuan Allah tidak meliputi individualia-individualia (juziyyat)
yang berawal temporal.
• Pengingkaran mereka akan
kebangkitan kembali tubuh dan pengumpulannya.
Ketiga teori
ini sama sekali bertentangan dengan Islam. Orang yang memercayainya berarti
berkeyakinan bahwa para nabi-semoga rahmat dan salawat Allah senantiasa
tercurahkan kepada mereka semuaberbohong dan ajaran-ajaran mereka merupakan
suatu kemunafikan yang dirancang untuk menarik massa. Dan ini merupakan
kekufuran eksplisit (sarih) yang tidak diyakini oleh satu pun dari
aliran-aliran pemikiran umat Muslimin.
Tentang masalah
lainnya, seperti sikap mereka terhadap sifatsifat Tuhan, dan pendapat yang
mereka yakini mengenai tawhid dan sebagainya, maka mazhab para filsuf dekat
dengan mazhab Muktazilah. Kemudian teori para filsuf tentang keniscayaan
mutual (talazum) dari sebab-sebab alami adalah pendapat yang dinyatakan oleh
Muktazilah secara tegas dalam ajaran mereka tentang tawalud
(konsekuensikonsekuensi yang niscaya). Demikian pula semua yang telah kami
kutip tentang pendapat-pendapat para filsuf, di samping ketiga masalah
tersebut di atas.
Maka orang yang mengkafirkan ahli-ahli bid’ah dari umat
Muslim, akan mengkafirkan para filsuf pula dengan sebab tiga hal tersebut. Dan
orang yang ragu-ragu untuk melakukan (pengkafiran) terhadap para ahli bid’ah,
juga akan ragu-ragu pula untuk melakukan (pengkaflran) terhadap para
filsuf.
Dalam hal ini, kami tidak bermaksud menegaskan apakah para ahli
bidah dari umat Muslim masih Muslim, ataukah tidak. Kami pun tidak bermaksud
menyelidiki bagian mana dari (pendapat-pendapat) para ahli bid’ah yang benar
atau yang salah. Sebab hal itu akan membawa kita jauh keluar dari tujuan buku
ini. Dan Allah Swt. adalah pemberi tawiq untuk mencapai kebenaran.[]