Kemungkinan Tuhan lebih dari Satu menurut Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Ketujuh: Bahwa Mustahil Tuhan Bersama Yang Lain Dalam Genus Dan Berpisah Dari Diferensia, Dan Dia Bukanlah Genus Atau Diferensia
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KETUJUH: Bahwa Mustahil Tuhan Bersama Yang Lain Dalam Genus Dan
Berpisah Dari Diferensia, Dan Dia Bukanlah Genus Atau Diferensia
Para filsuf sependapat dalam hal ini, dan atas dasar itu muncul
tesis bahwa, jika tidak ada apa pun yang sama dengan Tuhan dalam genusnya,
maka Tuhan juga tidak bisa dipisah-pisah berdasar diferensia. Dengan demikian
Dia tak dapat didefinisikan. Sebab definisi mengandung genus dan diferensia,
sedangkan segala yang tidak mengandung komposisi (tarakkub) tidak bisa
didefinisikan. Dan ini merupakan jenis komposisi.
Mereka juga
mengatakan:
Perkataan seseorang-bahwa Tuhan sama dengan akibat yang
pertama (ma’lul awwal) dalam hal ada-Nya sebagai maujud, substansi (jauhar),
dan sebab (‘illah) dari hal-hal lain, meskipun tak boleh tidak Dia memang
mesti berbeda dari akibat yang pertama dalam segala hal-tidak menunjukkan
kebersamaan (musyarakah) dalam genus, tapi hanya keniscayaan yang umum (lazim
‘am). Sebagaimana dikenal di dalam logika, perbedaan antara genus dan
keniscayaan itu ada dasarnya dalam realitas, meskipun kedua-duanya bisa tidak
berbeda dalam hal kemurnian. (Sebabnya adalah) karena genus yang esensial
adalah sifat umum yang diperoleh dari jawaban atas pertanyaan “apa itu?” Dan
genus tidak masuk dalam kuiditas (mahiyah) sesuatu yang didefinisikan serta
menjadi unsur pokok bagi wujudnya. Misalnya, “adanya manusia sebagai makhluk
hidup” termasuk dalam kuiditas manusia, yakni kebinatangan (al-hayawaniyyah).
Karenanya, ia merupakan genus. Sebaliknya, “adanya sebagai sesuatu yang
dllahirkan atau yang diciptakan” adalah suatu hubungan yang niscaya dan tak
pernah tidak terjadi padanya, tetapi tidak termasuk dalam kuiditasnya—meskipun
itu merupakan suatu keniscayaan umum (lazim ‘am) yang ada pada semua manusia.
Persoalan bagaimana ini telah diketahui di dalam logika dan sesuatu yang tidak
perlu diperdebatkan.
Selanjutnya, mereka mengatakan:
Eksistensi
tak pernah termasuk dalam kuiditas benda- benda, tetapi berhubungan dengan dan
menjadi suplemen kuiditas—baik sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa
dipisahkan (seperti eksis tensi langit), atau sebagai sesuatu yang ada setelah
ia tidak ada (seperti eksistensi hal-hal yang temporal). Karenanya,
kebersamaan (musyarakah) dalam eksistensinya, bukan kebersamaan dalam
genusnya.
Mengenai kebersamaannya (dengan sebab-sebab lain) dalam
kapasitasnya sebagai sebab bagi yang lain—sebagaimana sebab-sebab yang lain,
hal itu hanya merupakan kebersamaan dalam hubungan dan suplementasi yang
niscaya (idafah lazimah) dan tetap tidak masuk dalam wilayah kuiditas.
Prinsipialitas (mabda’iyyah) dan eksistensi, salah satunya, tidak
mempokokkan esensi. Tetapi masing-masing secara niscaya terkait pada
esensi itu setelah esensi itu tegak melalui bagian-bagian kuiditasnya. Maka,
kebersamaan dalam hal itu hanya merupakan kebersamaan dalam keniscayaan umum
yang keniscayaannya mengikuti esensi, bukan dalam genus. Itulah sebabnya
mengapa hal-hal itu tak dapat didefinisikan kecuali dengan mengacu kepada
unsur- unsur pokoknya (muqawwimat). Apabila hal-hal itu didefinisikan dengan
mengacu kepada keniscayaan-keniscayaan (lawazim), ia hanya akan merupakan
suatu deskripsi (yang berguna) untuk membedakan sesuatu, bukan untuk
melukiskan realitasnya. Misalnya, di dalam definisi sebuah segitiga, tidak
bisa dikatakan sebagai sesuatu yang semua sudutnya sama dengan kedua sudut
tegaknya, meskipun (definisi) itu merupakan suatu keniscayaan umum bagi tiap
segitiga. Tapi mestinya dikatakan bahwa sebuah segitiga adalah suatu bentuk
yang dikelilingi oleh tiga sisi (dal’).
Demikian pula halnya dengan
kebersamaan dalam keberadaannya sebagai substansi (jauhar). Yang dimaksud
substansi ialah maujud yang bukan ada pada subyek (maudu’). Sedang maujud
bukan termasuk genus. Tidak karena adanya hubungan suplementatif dengan
sesuatu yang negatif (salabi)— yaitu “tidak terletak dalam subyek”—lalu ia
menjadi suatu genus yang menyangga. Bahkan, kalau pun aspek positif (ijabi)
dihubungkan dengannya—yaitu, ketika ia disebut suatu maujud pada suatu
subyek—ia takkan menjadi genus per accidens. Hal itu karena orang yang
mengetahui substansi melalui definisinya— bahwa ia adalah ‘suatu maujud bukan
terdapat pada subyek”— yang merupakan tujuan dari suatu deskripsi tentang
substansi, tidak dapat mengetahui sesuatu pun tentang wujudnya, kecuali bahwa
ia bisa berada pada suatu subyek atau tidak. Ketika hendak mengemukakan
substansi, kita katakan bahwa substansi adalah suatu maujud yang tidak ada
pada subyek, artinya adalah bahwa substansi merupakan suatu realitas yang,
jika mampu, bisa didapatkan tidak pada subyek. Kami tidak memaksudkan
pengertian substansi bahwa substansi secara aktual merupakan suatu maujud di
saat perumusan definisi. Maka kebersamaan dalam substansi tidak berarti
kebersamaan dalam genus. Tapi kebersamaan dalam unsur-unsur pokok kuiditaslah
yang merupakan kebersamaan dalam genus, yang sebagai konsekuensinya, menuntut
perbedaan berdasarkan diferensia. Tapi Tuhan tidak mempunyai kuiditas yang
lain daripada wujud niscaya (wajib al-wujud). Maka wujud al-wajib adalah
karakter dasar (tabi’ah) dan realitas (haqiqah) serta merupakan kuiditas pada
diri-Nya sendiri yang hanya dimiliki oleh-Nya dan tidak oleh yang lain. Sebab
wajib al-wujud hanya merupakan milik-Nya sendiri, maka tak ada sesuatu
lain-Nya bersekutu (musyarakah) dengan-Nya. Karena itu, tak satu pun yang
dapat dibedakan dari- Nya dengan suatu pembedaan spesifik. Dengan demikian,
Tuhan tak dapat didefinisikan.
Semuanya ini dikemukakan untuk menjelaskan
pemahaman tentang ajaran dan berbagai tesis para filsuf. Perbincangan tentang
itu semua berpijak dari dua sudut pandang:
(1) sudut
pandang seorang penanya, dan (2) sudut pandang seorang penyanggah.
Di
dalam mempertanyakan, hendaknya dikatakan:
Inilah ulasan mazhab para
filsuf. Lantas, bagaimana Anda mengetahui kemustahilan penerapan ajaran mereka
tersebut terhadap Tuhan, sehingga Anda mendasarkan peniadaan dualitas Tuhan
atas mazhab tersebut, di mana Anda katakan bahwa “yang kedua” harus bersekutu
dengan-Nya dalam satu hal dan berbeda dalam hal yang lain. Padahal sesuatu
yang mengandung apa yang berserikat dan (sekaligus) apa yang tidak berserikat
merupakan komposisi (murakkab), sementara komposisi adalah mustahil bagi
Tuhan?
Lalu akan kami pertanyakan, dari mana Anda tahu bahwa bentuk
komposisi (tarkib) ini mustahil? Tak ada buktinya, kecuali pernyataan yang
Anda lontarkan mengenai negasi sifat-sifat, yaitu:
(1)
bahwa komposisi genus dan diferensia melahirkan sejumlah bagian-bagian, (2)
bahwa apabila eksistensi suatu bagian atau seluruh bagian adalah benar adanya,
tanpa ada ketergantungan pada yang lain, maka eksistensi itu akan merupakan
wajib al- wujud, dan (3) bahwa apabila eksistensi bagian-bagian itu tidak
benar atau tidak bisa eksis tanpa agregat (kumpulan bagian- bagian), padahal
suatu agregat tidak akan ada tanpa bagian-bagian, maka masing-masing akan
merupakan “akibat yang dibutuhkan” (ma’lul muhtaj) (sehingga keduanya saling
membutuhkan dan tidak bisa berdiri sendiri).
Kami telah mengemukakan
argumen ini dalam masalah sifatsifat, dan telah menerangkan—dalam persoalan
determinasi rangkaian sebab-sebab—bahwa ini tidak mustahil. Yang dapat
dibuktikan secara rasional hanyalah terminasi (qata’) rangkaian tasalsul.
Mengenai hal-hal besar yang telah Anda ciptakan di dalam keniscayaan menyifati
wajib al-wujud, tidak ada argumen yang membuktikan kebenarannya. Apabila wajib
al-wujud adalah sebagaimana yang telah mereka terangkan—yaitu, bahwa tiada
pluralitas (kasrah) padanya dan bahwa, karenanya, ia tak tergantung pada apa
pun selain dirinya sendiri untuk eksis—maka tak ada argumen untuk membuktikan
wajib al-wujud tersebut. Argumen yang ada hanyalah yang diperuntukkan bagi
terminasi tasalsul saja dan hal ini telah kami terangkan dalam masalah
sifat-sifat.
Dalam masalah ini, pendapat kamilah yang lebih valid. Sebab
untuk membagi sesuatu ke dalam genus dan diferensia tidak seperti membagi yang
disifati (mausuf) ke dalam esensi dan sifat. Sifat bukan esensi, dan esensi
bukan sifat. Tetapi spesies (nau’) sama dengan genus (jins) dalam segala
seginya. Ketika kami menyebut spesies, yang kami maksudkan adalah genus plus
suatu faktor tambahan. Maka ketika kami berbicara tentang manusia, kami
maksudkan binatang plus faktor tambahan berupa potensi rasionalitas (nutq).
Untuk mempertanyakan apakah kemanusiaan (insaniyyah) dapat lepas dari
kebinatangan (hayawaniyyah) seperti mempertanyakan apakah kemanusiaan dapat
lepas dari dirinya sendiri, ketika sesuatu hal ditambahkan kepadanya. Karena
itu, ia lebih jauh terpisah dari pluralitas dibanding sifat dan yang disifati
(mausuf).
Mengapa mustahil bagi rangkaian-rangkaian sebab dan akibat
untuk berhenti pada dua sebab—yang satu menjadi sebab bagi sejumlah langit
(‘illah as-samawaf) dan yang lain sebagai sebab bagi sejumlah unsur, atau
salah satunya sebagai sebab bagi akal-akal dan yang lainnya bagi semua tubuh?
Padahal antara keduanya terdapat perbedaan dan dapat dipisahkan secara
konseptual. Misalnya antara kemerahan dan panas. Keduanya adalah dua hal yang
berbeda secara konseptual, tanpa kita mengandaikan komposisi genus-diferensia
di dalam kemerahan sehingga ia dapat dianalisis. Bahkan apabila padanya
terdapat pluralitas, maka ia merupakan bentuk pluralitas yang pasti cocok bagi
kesatuan esensi. Lalu mengapa ini harus mustahil dalam hal sebab-sebab? Dan
ini menunjukkan bagaimana mereka telah gagal untuk mempertahankan penolakan
mereka akan kemungkinan dua Tuhan yang berfungsi sebagai pencipta.
Jika
dikatakan:
Hal ini mustahil, karena sesuatu yang ada pada dua wujud
berbeda harus ada pada setiap wajib al-wujud—apabila sesuatu itu merupakan
syarat bagi wujub al-wujud. Tetapi kemudian, antara keduanya tidak akan ada
perbedaan. Sebaliknya, apabila ia bukan merupakan syarat, dan yang lain juga
bukan syarat, maka setiap sesuatu yang tak disyaratkan di dalam wujub
al-wujud, wujudnya tidak dibutuhkan, dan wujub al-wujub akan bisa terjadi
tanpa adanya sesuatu itu.
Kami akan menjawab:
Ini sama
seperti yang Anda katakan dalam persoalan sifat dan kami telah
memperbincangkannya. Sumber kerancuan dalam semua ini terletak pada istilah
wajib al-wujud. Karena itu, istilah ini harus dibuang. Kami tidak bisa
menerima bahwa argumen-argumen rasional dapat membuktikan wajib al-wujud, jika
istilah itu tidak berarti “mawjiid kekal yang tak mempunyai sebab efisien”.
Tetapi apabila pengertian ini diterima, maka istilah wajib al-wujud harus
ditinggalkan dan Anda harus membuktikan bahwa pada suatu maujud yang tak
mempunyai sebab atau pencipta, jumlah atau komposisi adalah sesuatu yang
mustahil. Tetapi hal sudah jelas tak dapat dibuktikan.
Yang tersisa dari
persoalan mereka adalah bahwa pertanyaan apakah kondisi tanpa sebab dari wajib
al-wujud disyaratkan oleh sesuatu yang diandaikan secara umum ada pada banyak
wajib al-wujud. Ini adalah sesuatu yang lucu. Karena kami telah memperlihatkan
bahwa sesuatu yang tak bersebab adalah tidak disebabkan untuk menjadi
demikian, sehingga ia menuntut syaratnya. Ini bagaikan pertanyaan seseorang
apakah kehitaman adalah syarat bagi warna untuk menjadi warna. Jika memang
demikian (merupakan syarat), mengapa merah merupakan warna? Atas pertanyaan
ini, jawabannya sebagai berikut: Mengenai realitasnya—yakni, realitas
kewarnaan (launiyyah) sebagaimana terealisasi di dalam akal—baik kehitaman
maupun kemerahan bukan merupakan syarat. Tetapi sejauh eksistensinya (di luar
akal) diperhatikan, masing-masing bisa merupakan syarat, meskipun tidak hanya
satu. Artinya genus tidak mungkin ada tanpa memiliki diferensia. Maka demikian
juga orang yang mengafirmasi dua sebab (dua Tuhan) dan dengannya ia mengakhiri
rangkaian- rangkaian kausal (tasalsul). Ia dapat mengatakan bahwa keduanya
dapat dibedakan satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan. Salah satu
perbedaan itu adalah syarat yang seharusnya bagi eksistensi, tapi tidak secara
penuh.
Apabila dikatakan:
Ini mungkin terjadi dalam
warna. Sebab warna mempunyai wujud yang disuplementasikan pada kuiditas atau
ditambahkan padanya. Tetapi itu tak dapat diberlakukan pada wajib al-wujud.
Karena wujud tersebut tidak punya apa pun kecuali wujub al- wujud (keharusan
ada). Dan di situ juga tak ada kuiditas yang dapat menjadi tempat suplementasi
wujud. Sebagaimana-salah satu-diferensia kehitaman dan kemerahan bukan syarat
bagi kewarnaan dalam keberadaannya sebagai warna, tetapi hanya syarat bagi
eksistensinya yang lahir karena suatu sebab, demikian pula tidak boleh tidak
bahwa diferensia wajib al-wujud (yang niscaya-ada) harus bukan merupakan
syarat bagi wujub al- wujud (keniscayaan ada). Sebab al-wujud al-wajib bagi
wajib al- wujud bagaikan kewarnaan bagi warna, tidak seperti wujud yang
dihubungkan dengan atau disandarkan pada kewarnaan.
Kami akan
menjawab:
Ini tak bisa diterima. Sebab wajib al-wujud harus mempunyai
realitas (haqiqah) yang disifati dengan eksistensi (wujud). Masalah ini akan
diterangkan di dalam kesempatan berikutnya. Sedangkan pendapat para filsuf
bahwa wajib al- wujud merupakan wujud tanpa kuiditas tak dapat masuk akal.
Kesimpulan dari keseluruhan diskusi ini adalah bahwa mereka menolak dualitas
berdasarkan penolakan atas komposisi genus- diferensia. Dan ini mereka
dasarkan pada penolakan terhadap kuiditas di luar eksistensi. Oleh karena itu,
ketika kami telah menghancurkan yang terakhir, yang merupakan dasar dari
dasar, keseluruhan bangunan pendapat dan argumentasi menjadi runtuh. Karena
bangunan itu tidak kokoh dan hampir sama dengan anyaman jaring sarang
laba-laba.
Metode kedua: sanggahan:
Kami katakan:Jika
eksistensi (wujud), substansialitas (jauhariyyah) dan prinsipialitas
(mabda’iyyah) bukan genus— karena tidak ada jawaban bagi pertanyaan: “Apa
itu?”—maka Tuhan menurut Anda adalah akal murni (‘aql mujarrad), sebagaimana
semua akal-akal lain (yang merupakan prinsip bagi eksistensi, yang oleh para
filsuf disebut “malaikat”, yaitu akibat-akibat [ma’lulat] dari Sebab Pertama)
juga merupakan akal-akal murni yang bebas dari materi. Maka realitas ini akan
mencakup Tuhan dan akibat-Nya yang pertama. Sebab akibat yang pertama juga
sederhana dan tidak punya komposisi, kecuali dari segi keniscayaannya (luzum).
Sebab keduanya tegak sejajar, sebab masing-masing merupakan akal yang bebas
dari materi. Dan ini merupakan suatu realitas generik (haqiqah jinsiyyah).
Karena itu, kapasitas sebagai akal murni bukan merupakan hal yang niscaya,
tapi merupakan kuiditas. Maka kuiditas ini akan menjadi sesuatu yang sama ada
pada Tuhan dan pada semua akal. Lalu jika Tuhan tidak dapat dibedakan dari
akal-akal, Anda tentu akan menerima secara rasional suatu dualitas tanpa
perbedaan. Tetapi apabila Dia dapat dibedakan, maka sesuatu yang menyebabkan
perbedaan itu harus lain daripada sesuatu yang menjadi milik bersama secara
rasional antara Tuhan dan akal-akal. Kepemilikan bersama (musyarakat) di sini
adalah bentuk kebersekutuan pada tataran riil (haqiqah). Karena, menurut
orang-orang yang memercayai pengetahuan Tuhan akan sesuatu yang lain daripada
diri-Nya, Tuhan mempunyai pengetahuan diri dan pengetahuan tentang yang
lain-Nya, berdasarkan keadaan-Nya sebagai akal yang bebas dari materi. Dan
demikian pula akibat yang pertama—yakni, akal yang pertama, yang telah
diciptakan oleh Allah tanpa perantara— bersekutu dengan Tuhan dalam konteks
ini. Argumennya adalah bahwa akal-akal—yang merupakan akibat-akibat yang
pertama— adalah spesies yang beragam. Ia bersekutu dengan Tuhan hanya dalam
kapasitasnya sebagai akal, dan tidak bersekutu dengan Tuhan sebab berbagai
diferensia selain itu. Maka demikian pula Tuhan bersekutu dengan seluruh akal
dalam kapasitasnya sebagai sama-sama akal.
Maka di sini para filsuf mempunyai alternatif: apakah kaidah yang mereka buat
akan dirusak, atau mereka kembali kepada pernyataan bahwa kapasitas sebagai
akal bukan merupakan esensi Tuhan. Tapi bagi mereka masing-masing alternatif
itu sama-sama tidak mungkin.[]