Pandangan Filsafat Apakah Tuhan itu berbentuk Fisik atau Bukan
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kesembilan: Tentang Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan Melalui Argumen Rasional Bahwa Tuhan Bukan Tubuh (Jisim)
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KESEMBILAN: Tentang Ketidakmampuan Para Filsuf Untuk Membuktikan
Melalui Argumen Rasional Bahwa Tuhan Bukan Tubuh (Jisim)
Kami akan mengatakan:
Orang yang berpendapat bahwa tubuh (jisim)
diciptakan dalam lingkup waktu, karena itu ia tidak bebas dari perubahan dan
semua perubahan membutuhkan entitas yang menciptakan perubahan itu di
dalam lingkup waktu, adalah orang yang secara konsisten mengatakan bahwa Tuhan
bukan tubuh. Tetapi Anda telah menerima ide tentang tubuh kekal— yang tak
berpermulaan, meski demikian ia selalu tidak bebas dari perubahan-perubahan.
Lalu, mengapa Anda tidak bisa menerima bahwa Prinsip Pertama adalah
tubuh—misalnya matahari, atau falak yang tertinggi dan lain sebagainya?
Jika
dikatakan:
Alasannya adalah karena tubuh mesti tersusun dari yang dapat
dibagi: (a) secara kuantitatif ke dalam dua bagian; (b) secara konseptual, ke
dalam bentuk dan materi, dan (c) ke dalam sifat-sifat yang secara khusus
dimiliki suatu tubuh-sehingga membedakannya dari tubuh-tubuh yang lain. Sebab
jika tidak, maka semua itu akan sama dalam posisi sebagai tubuh. Tetapi wajib
al-wujud adalah sesuatu yang tunggal dan tidak dapat dibagi-bagi seperti semua
ini.
Kami akan menjawab:
Kami telah menyanggah argumen Anda
ini dan menjelaskan bahwa yang dapat Anda buktikan hanyalah bahwa: apabila
beberapa bagian dari suatu komposisi membutuhkan bagian-bagian lainnya, maka
komposisi itu pasti merupakan akibat. Kami telah membicarakan masalah ini, dan
mengemukakan bahwa, apabila tak dapat dipertahankan untuk mengandaikan suatu
maujud yang tidak mempunyai entitas yang menyebabkan kewujudannya, tidak dapat
dipertahankan pula untuk mengandaikan: (a) sesuatu yang tersusun (murakkab)
tanpa entitas yang menyebabkan ketersusunannya; dan (b) beberapa maujud yang
tanpa penyebab bagi wujudnya. Sebab negasi terhadap jumlah dan dualitas
mengharuskan Anda untuk menegasikan komposisi (tarkib); dan penolakan terhadap
komposisi didasarkan pada penolakan terhadap suatu kuiditas— tidak terhadap
eksistensi. Kami telah menyanggah penolakan Anda terhadap kuiditas-yang
merupakan dasar pokok dari teori Anda—dan menjelas kan betapa kacau asumsi
Anda.
Jika dikatakan:
Apabila tubuh tidak memiliki jiwa, ia
tidak akan menjadi sebab efisien. Tetapi apabila ia memiliki jiwa, maka jiwa
akan merupakan sebab baginya. Dengan demikian, tubuh tidak dapat menjadi Sebab
Pertama.
Kami akan menjawab:
Kita bukan sebab bagi wujud tubuh
kita. Dan, menurut Anda, jiwa falak dengan sendirinya bukan sebab bagi wujud
tubuh falak. Tetapi tubuh dan jiwa wujud karena ada sebab eksternal. Jika
eksistensi tubuh dan jiwa bisa menjadi kekal, maka ia boleh tidak memiliki
sebab sama sekali.
Apabila dikatakan:
Tetapi bagaimana
jiwa dan tubuh bisa berpadu?
Kami akan menjawab:
Pertanyaan
ini seperti pernyataan seseorang: bagaimana Wujud Yang Pertama terjadi?
Sebagai tanggapan atas pertanyaan ini, harus dikatakan bahwa pertanyaan ini
harus berkaitan dengan hal yang memiliki awal temporal (hadis). Maka jika
terkait dengan sesuatu yang tetap ada tanpa mengenal awal tidak bisa
dipertanyakan dengan pertanyaan, “Bagaimana ia terjadi?” Karenanya, demikian
pula, apabila jiwa dan tubuh masih eksis tanpa mengenal waktu, mengapa harus
mustahil bahwa ia merupakan pencipta?
Apabila dikatakan:
Alasannya
adalah karena tubuh, qua tubuh, tidak dapat menciptakan yang lainnya. Dan jiwa
yang terkait dengan tubuh hanya dapat berbuat melalui perantara tubuh.
Sedangkan tubuh tidak dapat menjadi perantara bagi jiwa
untuk tujuan: (a)
Kerancuan Filsafat (Tahafut
Al-Falasifah)
penciptaan tubuh-tubuh yang lain, (b) penciptaan
jiwa-jiwa yang lain, dan (c) penciptaan halhal yang tidak berhubungan dengan
tubuh.
Kami akan menjawab:
Mengapa tidak boleh bahwa, di
antara jiwa-jiwa, terdapat suatu jiwa yang dengan sifat khusus yang
dimilikinya mampu menjadi sumber bagi penciptaan tubuh-tubuh atau hal-hal yang
lain darinya? Kemustahilan tersebut bukanlah fakta yang terbukti dengan
sendirinya secara daruri. Tapi ia juga tidak dapat dibuktikan oleh
argumenargumen teoretis (burhan). Kami benar- benar tidak pernah
menyaksikannya dalam dunia tubuh-tubuh empiris ini. Tetapi tidak pernah
melihat bukan berarti sesuatu itu mustahil. Misalnya, para filsuf memberikan
sifat kepada maujud pertama, yang (sifat-sifat itu) sama sekali tidak pernah
diberikan kepada suatu maujud, dan belum pernah disaksikan di dalam maujud
yang lain. Tetapi tiadanya persaksian di dalam semua maujud yang lain tidak
menunjukkan kemustahilan (bahwa maujud-maujud itu berasal) dari-Nya. Demikian
pula halnya dengan jiwa tubuh dan tubuh itu sendiri.
Apabila
dikatakan:
Tubuh falak yang tertinggi, yaitu matahari atau tubuh lainnya
yang dapat diandaikan, mempunyai suatu kuantitas tertentu yang bisa lebih atau
kurang dari kuantitas yang mungkin dimiliki. Karenanya, pengkhususan tubuh
dengan suatu kuantitas memerlukan sebab niscaya bagi pengkhususan itu. Dan,
karenanya, tubuh tidak bisa menjadi Sebab Pertama.
Kami akan
menjawab:
Bagaimana Anda akan menyanggah pendapat: “adalah merupakan
keniscayaan—karena sistem universal—bahwa tubuh ini harus mempunyai kuantitas.
Ia tidak boleh lebih kecil atau lebih besar daripada kuantitas yang ada kini.
Ini seperti penjelasan Anda sendiri, bahwa:
“Tubuh falak yang tertinggi
beremanasi (faid) dari akibat yang pertama (al-ma’lul al-awwal). Tubuh (akibat
pertama) ini mempunyai suatu kuantitas tertentu. Dalam hal akibat yang
pertama, semua kuantitas adalah sama. Tetapi salah satu dari
kuantitas-kuantitas itu dispesifikasi—karena adanya sistem universal—untuk
menjadi kuantitas tubuh falak yang pertama. Karenanya, kuantitas yang secara
aktual ada (dalam tubuh falak pertama) adalah wajib, dan yang berbeda darinya
adalah ditolak. Maka, keterangan serupa dapat diperluas kepada yang bukan
merupakan akibat?”
Bahkan, seandainya mereka menetapkan sebuah prinsip
(mabda’) untuk menentukan spesifikasi dalam akibat pertama— yang merupakan
sebab tubuh yang tertinggi menurut mereka— seperti kehendak misalnya,
pertanyaannya tidak akan selesai. Sebab akan muncul pertanyaan: mengapa ukuran
ini yang dikehendaki, bukan yang lainnya? Pertanyaan seperti ini yang mereka
sampaikan kepada umat Islam kala mereka mensuplementasi sesuatu kepada
kehendak kekal. Kami telah mengembalikan persoalan tersebut kepada mereka
dalam persoalan penentuan arah gerakan langit (masalah pertama) dan dalam
masalah penentuan dua titik kutub (masalah pertama).
Apabila sudah jelas
bahwa mereka terpaksa membolehkan kemungkinan pembedaan (tamyiz)—karena suatu
sebab—antara satu hal dengan hal lain yang serupa, maka pembolehan (tajwiz)
terjadinya pembedaan dengan sebab ini harus sama seperti pembolehan terjadinya
pembedaan tanpa sebab. Karena tidak ada bedanya antara, apakah pertanyaan
diajukan mengenai sesuatu yang mempunyai suatu kuantitas (qadr) khusus, yaitu
mengapa ia memilikinya? Atau tentang sebab, yaitu mengapa ia memberi kuantitas
khusus? Apabila pertanyaan yang terakhir (tentang sebab) dapat dijawab dengan
mengatakan bahwa kuantitas ini tidak seperti kuantitas mana pun yang lainnya,
karena ia mempunyai hubungan dengan sistem yang tidak dimiliki oleh kuantitas
yang lain, maka pertanyaan yang sebelumnya (tentang sesuatu itu sendiri yang
mempunyai suatu kuantitas khusus) dapat dijawab dengan cara yang sama, tanpa
membutuhkan sesuatu sebab eksternal. Dan ini merupakan sikap yang tidak bisa
dihindari.
Jika kasus pada kuantitas yang telah terjadi itu sama dengan
kuantitas yang belum terjadi, maka pertanyaannya adalah: bagaimana suatu hal
dibedakan dari hal lainnya yang serupa? Pertanyaan itu secara khusus relevan
dengan prinsip-prinsip mereka, karena mereka tidak mengakui “kehendak yang
bisa membuat pembedaan” (iradah mumayyizah). Tetapi apabila suatu kuantitas
khusus, yang telah terjadi, tidak seperti kuantitas yang belum terjadi, maka
kemungkinan akan ditiadakannya kuantitas tidak akan terjadi. Bahkan dikatakan
kepada mereka bahwa— seperti yang mereka katakan—sebab kekal telah terjadi,
demikian pula tubuh—yang kami asumsikan sebagai sebab pertama, untuk
menyanggah mereka—juga terjadi secara kekal.
Pada diskusi ini, orang yang
sepakat dengan para filsuf harus mempergunakan sanggahan-sanggahan yang
dipergunakan oleh mereka dalam mempertanyakan kehendak kekal (iradah qadimah)
dan sanggahan-sanggahan balik yang kami kemukakan terhadap teori mereka
tentang kutub dan arah gerakan falak.
Dan ini menunjukkan bahwa orang
yang tidak memercayai asal temporal tubuh-tubuh tidak akan dapat membuktikan,
melalui argumen-argumen rasional, bahwa Prinsip Pertama sama sekali bukan
tubuh (jisim).