Pencipta dan Penciptaan Alam dalam Perspektif Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kesepuluh: Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab
- Masalah Kesebelas: Perkataan Sebagian Filsuf Bahwa Tuhan Mengetahui Yang Lainnya Serta Pelbagai Spesies Dan Genus Secara Universal
- Footnote
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KESEPULUH: Ketakmampuan Para Filsuf Membuktikan Secara Rasional
Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab
Kami katakan:
rang yang berpendapat bahwa seluruh tubuh
diciptakan atau memiliki awal temporal (hadis) karena ia tidak pernah lepas
dari perubahan-perubahan, maka
pendapatnya dapat diterima akal sehat jika
dia mengklaim bahwa tubuh membutuhkan suatu sebab atau pencipta. Tetapi apakah
yang mencegah para filsuf dari mengatakan-sebagaimana kaum materialis
katakan-bahwa:
“Alam adalah kekal (qadim) dan tidak mempunyai sebab atau
pencipta. Suatu sebab hanya diperlukan oleh sesuatu yang bermula di dalam
lingkup waktu (hawadis). Tak satupun dari tubuh-tubuh di dunia bermula di
dalam waktu dan tidak akan hancur, sebab yang bermula di dalam waktu hanyalah
bentuk- bentuk dan aksidenaksiden (as-suwar wa al-a’rad). Tubuh-tubuh yang
berada di langit-langit adalah kekal (qadim). Dan unsur- unsur yang empat,
yang merupakan isi falak bulan serta tubuh- tubuh dan materinya adalah kekal.
Di atasnya, bentuk-bentuk saling berganti dengan melalui kombinasi dan
transformasi.
Kemudian jiwa manusia dan binatang serta jiwa tumbuh-
tumbuhan bermula dalam waktu. Seluruh rangkaian sebab dari segala sesuatu yang
bermula itu berakhir pada gerak putar. Gerak putar itu kekal, sumbernya
menjadi jiwa kekal bagi falak. Semua ini menunjukkan bahwa alam tidak
mempunyai sebab dan bahwa tubuh-tubuh di dalam alam tidak mempunyai pencipta.
Alam tetap seperti adanya, demikian pula tubuh-tubuh di dalam alam akan tetap
kekal, dan tidak mempunyai sebab.”
Lalu apa yang dimaksud oleh para
filsuf dengan mengatakan bahwa tubuh-tubuh eksistensinya memiliki sebab,
padahal ia adalah sesuatu yang kekal?
Apabila dikatakan:
Setiap
yang tak bersebab adalah wajib al-wujud. Sehubungan dengan sifat-sifat wajib
al-wujud, kami telah mengemukakan alasan mengapa tubuh tidak merupakan wajib
al-wujud.
Kami akan menjawab:
Dan kami pun telah menjelaskan
kesalahan dari apa yang Anda anggap sebagai sifat-sifat wajib al-wujud, sebab
telah kami tunjukkan bahwa demonstrasi rasional (burhan) tidak membuktikan
sesuatu apa pun kecuali kemustahilan rangkaian rantai sebab akibat tak
berujung, dan kaum materialis memotong- pada awal persoalan-rangkaian itu
dengan mengatakan bahwa:
“Tubuh-tubuh tidak bersebab. Adapun
bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden (al-a’rad), sebagian darinya adalah
sebab-sebab bagi yang lainnya sehingga akhirnya rangkaian itu berujung pada
gerak putar. Sebagian dari gerak putar merupakan sebab bagi gerak putar
lainnya-sebagaimana pemikiran yang dianut para filsuf-tetapi rangkaian kausal
itu berakhir pada gerak putar.”
Dengan demikian, orang yang memerhatikan
keterangan dan ulasan yang telah kami sebutkan akan melihat ketidakmampuan
semua orang yang memercayai eternitas tubuh untuk mengklaim bahwa tubuh itu
bersebab. Orang- orang ini secara konsisten terikat untuk menerima
materialisme dan ateisme, sebagaimana yang dinyatakan secara lantang oleh
beberapa pemikir, yang menyetujui asumsi-asumsi para filsuf.
Apabila
dikatakan:
Argumen kami: apabila tubuh-tubuh ini diandaikan merupakan
wajib al-wujud, maka ia akan menjadi absurd. Dan apabila tubuhtubuh merupakan
sesuatu yang mungkin, maka setiap yang mungkin membutuhkan sebab.
Kami
akan menjawab:
Kata wajib al-wujud (sesuatu yang niscaya ada) dan mumkin
alwujud (sesuatu yang mungkin ada) di sini tidak bisa dipahami. Semua
kerancuan yang ditimbulkan oleh para filsuf terletak pada kedua kata ini. Mari
kita lihat kembali pemahaman mereka, yaitu negasi sebab (nafy al-’illah) dan
afirmasinya. Seakan-akan mereka mengatakan, tubuh-tubuh ini dapat mempunyai
sebab atau tidak? Kaum materialis pun mengatakan bahwa tubuh-tubuh tidak
mempunyai sebab. Mengapa para filsuf harus menyalahkan kaum materialis itu?
Dan apabila yang dimaksud dengan kemungkinan (imkan) adalah sesuatu yang
memiliki sebab, maka kami akan mengatakan bahwa tubuh adalah sesuatu yang
wajib, bukan mungkin. Jika mereka mengatakan bahwa mustahil tubuh merupakan
wajib, (berarti) mereka telah mengemukakan asumsi yang tidak berdasar sama
sekali.
Apabila dikatakan:
Tak seorang pun dapat menyangkal
bahwa tubuh mempunyai bagian-bagian, bahwa keseluruhan (kull) terdiri dari
bagian-bagian, dan bahwa bagian-bagian secara esensial mendahului
keseluruhan.
Kami akan menjawab:
Biarlah begitu. Biarlah
keseluruhan (kull) terbentuk dari bagianbagian dan kombinasi dari
bagian-bagian itu. Bahkan, biarlah bagianbagian dan kombinasinya merupakan
sesuatu yang kekal dan tanpa sebab efisien. Para filsuf tidak mungkin dapat
membuktikan kemustahilan asumsi-asumsi ini, kecuali mereka mempergunakan
argumen yang mereka kemukakan untuk membuktikan kemustahilan pluralitas pada
maujud pertama. Dan kami telah menyanggah argumen itu (dalam masalah kelima)
dan tak ada cara lain untuk membantahnya.
Jelaslah bahwa orang yang tidak
memercayai keberawalan tubuh, maka keyakinannya tentang pencipta tidak
memiliki dasar sama sekali.
MASALAH KESEBELAS: Perkataan Sebagian Filsuf Bahwa Tuhan Mengetahui Yang
Lainnya1 Serta Pelbagai Spesies Dan Genus Secara Universal
Kami katakan:
agi umat Muslimin, pembagian wujud ke dalam
wujud yang temporal dan yang kekal merupakan suatu pembagian yang sempurna.
Dan menurut mereka,
tiada yang kekal selain Allah dan sifat-sifat-Nya.
Karena apa pun selain Dia, eksistensinya memiliki awal temporal (hadis),
berada di bawah pengaruh Allah dan kehendakNya. Dari pendapat semacam ini,
pengetahuan Tuhan, sebagaimana yang mereka kemukakan, harus merupakan suatu
premis yang niscaya (muqaddimah daruriyyah). Sebab objek kehendak mesti
diketahui oleh orang yang berkehendak. Dari sini, mereka kemudian menyimpulkan
bahwa seluruh alam semesta (kull) diketahui oleh-Nya, karena alam semesta
dikehendak-Nya dan menggantungkan asal-mulanya pada kehendak-Nya. Alam semesta
berasal dari kehendak-Nya. Dan bila telah terbukti bahwa Dia adalah yang
berkehendak dan yang mengetahui apa yang Ia kehendaki, terbuktilah bahwa Dia
juga harus disebut Yang Hidup (Hayy). Setiap wujud hidup yang mengetahui yang
lainnya, maka pengetahuan tentang dirinya tentu lebih jauh. Maka, alam
semesta-menurut pandangan umat Muslim-menjadi objek pengetahuan Tuhan. Mereka
juga dapat menerima teori ini setelah jelas bagi mereka bahwa Tuhan
berkehendak untuk menciptakan alam.
Tetapi Anda telah menyatakan bahwa
alam kekal, dan bahwa alam tak pernah tercipta karena kehendak Tuhan. Karena
itu, bagaimana Anda mengetahui bahwa dia mengetahui segala sesuatu selain
diri-Nya? Anda harus membangun suatu argumen untuk membuktikannya.
Intisari
keterangan terperinci Ibnu Sina tentang masalah ini, sebagaimana dikemukakan
di dalam berbagai bagian dari filsafatnya, dapat diringkas dalam dua ulasan
berikut:
Pertama: Tuhan adalah suatu maujud yang bukan- dalam-materi.
Setiap maujud yang bukan dalam materi adalah akal murni. Semua objek akal
dapat diketahui olehnya. Yang menghalangi akal untuk mengetahui segala sesuatu
secara keseluruhan adalah keterkaitannya dan kesibukannya dengan materi. Jiwa
manusia sibuk dengan pengarahan materi, yaitu tubuh. Apabila kematian telah
mengakhiri kesibukannya, dan apabila tubuh tidak terkotori oleh libido badani
dan sifat-sifat buruk-yang bisa merasuk ke dalamnya seperti infeksi bagi
tubuh-flsik, maka realitas segala objek pemikiran (ma’qulat) akan tersingkap
sedemikian rupa. Demikian lah, disepekati pula bahwa semua malaikat mengetahui
segala objek pemikiran (ma’qulat) tanpa kecuali, karena semua malaikat juga
akal-akal murni yang tidak berada dalam materi.
Kami akan
menjawab:
Apabila yang Anda maksudkan dengan perkataan ‘Tuhan adalah
suatu maujud yang bukan dalam materi’ adalah bahwa dia bukan tubuh dan tidak
terpasang pada tubuh, tetapi berdiri sendiri secara independen, tanpa lokasi
atau dimensi tertentu, maka semua ini tak perlu diperdebatkan lagi. Maka
tinggal perkataan Anda bahwa sesuatu yang bersifat tersebut ini2 adalah akal
murni. Lalu, apa yang Anda maksud dengan akal? Jika yang Anda maksud dengan
akal adalah sesuatu yang mengetahui sesuatu, maka itulah masalah yang menjadi
perdebatan diantara kita. Bagaimana Anda memasukkannya ke dalam premis-premis
silogisme yang akan memberi Anda kesimpulan yang Anda cari? Namun, jika yang
Anda maksud dengan akal itu adalah sesuatu yang lainnya, misalnya, bahwa akal
adalah sesuatu yang mengetahui diri-Nya sendiri, maka barangkali itulah
pendapat yang akan diterima saudara-saudara Anda para filsuf. Tetapi
kesimpulan yang (sebenarnya) Anda tuju adalah bahwa zat yang mengetahui
dirinya sendiri juga mengetahui yang lain. Maka, pertanyaan untuk Anda:
mengapa Anda membuat pernyataan demikian? Pernyataan ini bukan merupakan
kebenaran daruri. Diantara semua filsuf, hanya Ibn Sina yang berpandangan
demikian. Karenanya, bagaimana Anda mengakui kesimpulan itu sebagai suatu
fakta yang terbukti secara daruri’? Namun, jika kesimpulan itu Anda anggap
pengetahuan teoretis, apa argumen Anda untuk membuktikannya?
Jika
dikatakan:
Akal yang murni mengetahui segala sesuatu. Materi adalah
penghalang untuk mengetahui segala sesuatu. Karenanya, begitu materi tak ada,
penghalang juga tak ada.
Kami akan menjawab:
Kami setuju bahwa
materi adalah penghalang. Tetapi kami tidak setuju kalau dikatakan bahwa
materi saja penghalangnya. Silogisme para filsuf, yang merupakan suatu
silogisme hipotetis (qiyas syarti), dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.
apabila entitas ini di dalam materi, ia tidak akan mengetahui segala
sesuatu.
2. tetapi ia tidak di dalam materi.
3.
karenanya, ia mengetahui segala sesuatu.
Ini adalah model
pengecualian (istisna) naqid muqaddim (kebalikan antiseden), yang—disepakati
bahwa—kesimpulannya tidak mengharuskan kemestian. Itu seperti perkataan:
1.
apabila ini adalah manusia, dia adalah hewan.
2. tetapi
ini bukan manusia.
3. karenanya, dia bukan hewan.
Di
sini kesimpulannya bukan merupakan sesuatu yang mesti (lazim). Sebab apabila
dia bukan manusia, dia mungkin kuda, dankarenanya-ia adalah hewan. Ya,
kebalikan daripada konsekuensinya (naqid at-tali) mengharuskan suatu
kesimpulan yang lazim dari pengecualian kebalikan antiseden, apabila suatu
syarat tertentu yang disebutkan di dalam logika dipenuhi-yaitu, apabila
terbukti bahwa konsekuen (tali) dan antiseden (muqaddim) saling bertentangan.
Dan ini dimungkinkan hanya apabila diantara para filsuf, semua alternatif
dibicarakan secara tuntas. Misalnya, para filsuf mengatakan:
1.
apabila matahari terbit, hari akan siang.
2. tetapi
matahari tidak terbit.
3. karenanya, hari tidak
siang.
Di sini kesimpulannya valid. Sebab hanya terbitnya matahari
saja yang menjadi penyebab adanya siang. Konsekuensi (tali) dan antiseden
(muqaddim) saling bertentangan. Lebih lanjut tentang uraian istilah-istilah
teknis ini akan dapat dilihat dalam buku Mi’yar al-‘Ilm, yang kami tulis
sebagai bagian tak terpisah dari buku ini.
Kedua: tesis Ibn
Sina dapat dikemukakan sebagai berikut:
Meskipun kami tidak mengatakan
bahwa Tuhan adalah yang berkehendak atas bermulanya alam, dan bahwa alam
semesta memiliki awal dalam kalkulasi rangkaian waktu, kami pun mengatakan
bahwa alam semesta adalah karya-Nya (i’luh), dan bahwa alam berasal dari-Nya.
Hanya, yang ingin kami katakan adalah bahwa Dia masih tetap mempunyai sifat
yang dimiliki oleh para pelaku (fa’ilun). Maka dia masih tetap merupakan
seorang pelaku (fa’i). Tetapi di luar semuanya ini, kami tidak sepakat dengan
yang lain. Dan sejauh pertanyaan fundamental “apakah alam merupakan karya
Tuhan” diperhatikan, mutlak tak ada perbedaan pendapat. Apabila telah
disepakati bahwa seorang pelaku harus mengetahui pekerjaannya, maka
semuanya-menurut keyakinan kami-berasal dari karya-Nya.
Jawabannya dari dua sudut:
Pertama, pebuatan ada dua macam: (a) perbuatan
yang disengaja atau memang dikehendaki (il iradi), seperti perbuatan hewan dan
manusia; dan (b) perbuatan alami seperti perbuatan matahari di dalam
menyinari, perbuatan api di dalam memanaskan, dan perbuatan air di dalam
mendinginkan. Pengetahuan tentang perbuatan adalah sesuatu yang niscaya dalam
konteks perbuatan yang disengaja saja. Misalnya, di dalam hasil karya seni
manusia. Tetapi dalam konteks perbuatan alami, tahu terhadap perbuatan yang
dilakukan adalah sesuatu yang tidak mesti (lazim). Sedangkan menurut Anda:
‘’Alam
adalah suatu karya Tuhan, yang terjadi sebagai suatu konsekuensi niscaya dari
esensi-Nya-secara alami, atau melalui paksaan dan tidak berdasar kehendak
serta ikhtiyar (kebebasan memilih untuk berbuat). Maka alam semesta niscaya
(lazim) berasal dari esensi-Nya, seperti sinar yang mesti berasal dari
matahari. Dan sebagaimana matahari yang tak mampu untuk manahan sinar, atau
sebagaimana api yang tak mampu untuk menahan panas (yang keluar darinya),
demikian juga Tuhan tidak mampu untuk menahan perbuatanperbuatan- Nya.”
Mahatinggi
Allah dari segala yang dikatakan oleh para filsuf di atas. Meskipun hal
tersebut boleh disebut sebagai suatu perbuatan, itu sama sekali tidak
mengharuskan pengetahuan dari pelakunya.
Jika
dikatakan:
Di antara kedua kasus itu3 (alam semesta mesti
berasal dari esensi Tuhan dan sinar mesti berasal dari matahari) terdapat
perbedaan. Yaitu, seluruh alam (al-kull) timbul dari esensi-Nya karena
pengetahuan-Nya terhadap keseluruhan tersebut. Maka representasi ideal sistem
universal (tamassul an-nizam al-kulli) merupakan sebab bagi emanasi seluruh
alam, dan tidak ada sebab selain pengetahuan terhadap seluruh alam.
Pengtahuan-Nya tentang seluruh alam identik dengan diri-Nya sendiri. Apabila
dia tidak mempunyai pengetahuan tentang alam, maka alam tidak tercipta-berbeda
dengan emanasi sinar dari matahari.
Kami akan menjawab:
Dalam
hal ini, rekan-rekan Anda (para filsuf ) tidak sependapat dengan Anda. Mereka
mengatakan bahwa eksistensi alam semesta niscaya berasal dari esensi-Nya
sesuai dengan level- level realitasnya sebab karakter dasar (tabi’) dan
keterpaksaan (idtirar), tidak karena kapasitasnya sebagai “yang tahu” (al-
’alim) terhadapnya. Selama Anda sependapat dengan para filsuf lain di dalam
menolak kehendak, dan sebagaimana Anda tidak berpandangan bahwa pengetahuan
matahari terhadap sinar harus merupakan syarat bagi emanasi sinar dari
matahari- tetapi sebaliknya, bahwa sinar lazim berasal dari matahari-, maka
keterangan serupa harus diterapkan dalam konteks pengetahuan Tuhan. Sebab Anda
tidak punya alasan untuk tidak melakukannya.
3
Yakni, pertama bahwa alam semesta lazim berasal dari esensi Tuhan dan kedua
sinar lazim berasal dari matahari.
Kedua, para filsuf dapat
menerima tesis bahwa prosesi terwujudnya sesuatu dari pencipta (fa’il)
mengharuskan pengetahuan pencipta tentang sesuatu tersebut. Maka, menurut
mereka, perbuatan Tuhan adalah satu, yaitu akibat pertama yang berupa akal
sederhana (‘aql basit). Tuhan tidak mengetahui sesuatu kecuali akal sederhana
tersebut (sebagai akibat langsung). Alam semesta tidak diciptakan oleh Allah
sekaligus semuanya. Tetapi sebaliknya, melalui perantara dan secara tidak
langsung melalui perkembangan dan konsekuensi-konsekuensi. Karenanya, yang
berasal dari “sesuatu” yang berasal dari Tuhan tidak harus diketahui-Nya. Dan
dari-Nya hanya muncul satu hal (dan hanya itu yang Dia ketahui).
Bahkan
pengetahuan bukan kemestian bagi konsekuensi- konsekuensi tak langsung dari
perbuatan yang berdasar kehendak. Lalu bagaimana pengetahuan itu merupakan
kemestian bagi konsekuensi-konsekuensi tak langsung dari peristiwa alamiah?
Misalnya, gerakan sebuah batu dari puncak gunung, yang kadang-kadang
disebabkan oleh gerakan yang berdasar kehendak, harus mengetahui asal gerakan,
tetapi gerakan itu tidak harus mengetahui efek-efek sesudah gerakan tersebut,
yang berupa berbagai perkembangan kejadian yang menjadikan gerakan bertindak
sebagai perantara, semisal jatuhnya batu ke atas benda lain dan
memecahkannya.
Para filsuf tak bisa memberikan komentar balik atas
sanggahan ini.
Jika dikatakan:
Kalau kami menetapkan
bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya, tentu hal itu
sangat tidak bisa diterima. Sebab yang lain mengetahui dirinya sendiri dan
Tuhan serta dan hal-hal selain dirinya. Jika demikian, hal-hal yang lain lebih
terhormat daripada Tuhan. Tetapi bagaimana mungkin akibat (hal-hal lain) lebih
mulia daripada sebab (Tuhan)?
Kami akan menjawab:
Ketidaksetujuan
ini merupakan suatu konsekuensi niscaya dari kecenderungn filsafat untuk
menolak kehendak Tuhan ide bermulanya alam. Karena itu, Anda harus
melakukannya juga (harus menolak ide kalau Tuhan berkehendak bahwa alam
memiliki awal waktu), sebagaimana dilakukan semua filsuf yang lain. Atau, jika
tidak, Anda harus meninggalkan filsafat dan mengakui bahwa alam menggantungkan
asal-mulanya pada kehendak Tuhan.
Kemudian harus dipertanyakan kepada Ibn
Sina, bagaimana Anda bisa tidak sependapat dengan filsuf yang mengatakan bahwa
pengetahuan tidak terkait peringkat kemuliaan? Pengetahuan hanya merupakan
sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk dimanfaatkan sehingga bisa
memperoleh kesempurnaan. Dalam esensinya, ia tidak sempurna. Dan manusia,
menurut wataknya, tidak sempurna. Karenanya, dia membutuhkan pengetahuan
supaya menjadi sempurna. Dia memuliakan dirinya sendiri dengan pengetahuan
tentang objek-objek pemikiran (ma’qulat), baik untuk mengetahui sesuatu yang
baik baginya di dunia atau di Akhirat, atau untuk menyempurnakan esensi
dirinya yang “gelap” dan tak sempurna.
Demikian pula semua makhluk yang
lain. Tetapi zat Allah tidak memerlukan penyempurnaan. Bahkan kalau kita
mengandaikan bahwa Allah ingin sempurna dengan pengetahuan, tentu kita
menganggap esensi-Nya, sebagai esensi itu sendiri, adalah tidak sempurna.
Ini
sama seperti yang Anda katakan mengenai pendengaran, penglihatan dan
pengetahuan tentang partikularia- partikularia (aljuz’iyyat) yang berada dalam
lingkaran waktu. Anda setuju dengan para filsuf lain dalam mengatakan: (1)
bahwa Tuhan bebas dari semuanya ini, (2) bahwa hal-hal yang dapat berubah dan
berada dalam lingkaran waktu, serta yang terbagi ke dalam batasan waktu
‘telah’ dan ‘akan’ tidak dapat diketahui oleh-Nya. Karena pengetahuan terhadap
hal tersebut akan mengakibatkan perubahan dan pengaruh terhadap esensi- Nya.
Negasi terhadap pengetahuan semacam itu bagi Tuhan bukan merupakan bentuk
ketidaksempurnaan, namun justru merupakan bentuk kesempurnaan. Sebab
ketidaksempurnaan hanya terletak dalam dunia indra serta kebutuhan
terhadapnya. Seandainya tidak (karena) ketidaksempurnaan manusia, tentulah dia
tidak membutuhkan indra-indra agar dapat menjaga dirinya sendiri dari sesuatu
yang membuatnya menerima perubahan- perubahan.
Demikian pula pengetahuan
tentang peristiwa-peristiwa temporal partikular (hawadis juz’iyyah), seperti
Anda katakan yang menunjukkan ketidaksempurnaan. Maka apabila kita mengetahui
semua peristiwa temporal dan memahami semua hal yang dapat ditangkap indra
(al-mahsusat), sedangkan Tuhan tidak mengetahui partikularia partikularia
(juz’iyyat) dan tidak memahami hal-hal yang dapat ditangkap indra, dan apabila
ketidaktahuan Tuhan pada partikularia-partikularia tidak membuktikan
ketidaksempurnaan-Nya, maka pengetahuan tentang universalia-universalia yang
dapat dimengerti (al-kulliyyat al-’aqliyyah) mesti hanya boleh diafirmasikan
bagi halhal lain dan tidak bagi Tuhan. Dan ketidaktahuan Tuhan pada
universalia- universalia yang dapat dimengerti, tidak akan membuktikan
ketidaksempurnaan, karena tidak mengetahui partikularia- partikularia. Tak ada
jalan keluar dari masalah ini.[]
Footnote
1 Yakni segala sesuatu selain Tuhan.
2
Sesuatu yang dimaksud adalah tubuh dan yang terpateri pada tubuh, dan
seterusnya.