Wujud Allah dalam Pandangan Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/ 19 December 1111- Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kedelapan: Teori Bahwa Wujud-Nya Sederhana; Murni, Tanpa Kuiditas, dan Al-Wujud Al-Wajib Bagi-Nya Seperti Kuiditas Bagi Wujud Lainnya
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KEDELAPAN: Teori Bahwa Wujud-Nya Sederhana; Murni, Tanpa
Kuiditas, dan Al- Wujud Al- Wajib BagiNya Seperti Kuiditas Bagi Wujud
Lainnya
Kami akan membicarakan teori ini dari dua sudut pandang:
Pertama,
tuntutan akan sebuah argumen. Mestinya dipertanyakan kepada mereka: Bagaimana
Anda tahu itu? Tahu secara daruri atau melalui kajian teoretis rasional?
Itu
jelas bukan pengetahuan yang bisa diketahui secara daruri. Karenanya, Anda
harus mengemukakan dasar-dasar teoretisnya.
Jika dikatakan:
Apabila
Dia mempunyai suatu kuiditas (mahiyah), eksistensiNya harus menjadi suplemen
(mudaf), subordinat (tabi’) dan sesuatu yang niscaya (lazim) atas
kuiditas-Nya. Tetapi, subordinasi hanya suatu akibat. Konsekuensinya, al-wujud
al- wajib mesti merupakan suatu akibat. Dan ini merupakan hal yang
kontradiktif.
Kami akan menjawab:
Dengan mempergunakan
kata al-wujud al-wajib, Anda kembali kepada sumber kerancuan. Kami katakan
bahwa Tuhan mempunyai suatu esensi dan kuiditas. Esensi itu merupakan suatu
hal yang diadakan (maujudah)—dalam arti bahwa ia bukan sesuatu yang ditiadakan
(ma’dumah) atau dinegasikan. Eksistensinya disandarkan pada esensiNya. Apabila
mereka suka menyebut esensi tersebut sebagai suatu keniscayaan atau suatu
subordinat, nama-nama itu tidak begitu menjadi persoalan— setelah diketahui
bahwa eksistensi tesebut tidak mempunyai pencipta (fa’il), tetapi eksistensi
itu masih tetap qadim tanpa suatu sebab efisien. Apabila dengan kata-kata
‘subordinat’ dan ‘akibat ‘, mereka memaksudkan suatu yang mempunyai suatu
sebab efisien, maka kata-kata ini tidak dapat diaplikasikan kepada eksistensi-
Nya. Tetapi apabila dengan kata-kata itu mereka maksudkan suatu pengertian
yang lain, pengertian itu akan diterima, dan tidak akan mengalami kontradiksi.
Sebab pembuktian rasional tidak membuktikan sesuatu apa pun selain terminasi
rangkaian- rangkaian dari sebab sebab dan akibat-akibat. Dan adalah mungkin
memutus rangkaianrangkaian itu dengan suatu esensi yang maujud dan kuiditas
yang terdefinisikan. Karena itu, dalam terminasi itu tidak diperlukan
pembuangan kuiditas.
Jika dikatakan:
Dengan demikian,
kuiditas merupakan sebab bagi eksistensi yang menjadi subordinat pada
kuiditas. Karena itu, eksistensi merupakan akibat dan agendum-nya (maf’ul).
Kami
akan menjawab:
Kuiditas pada hal-hal yang memiliki awal temporal
(hawadis) bukanlah sebab bagi eksistensi. Bagaimana (kuiditas itu menjadi
sebab bagi) wujud yang qadim, apabila sebab berarti suatu pencipta (fa’il)?
Namun, apabila sebab mereka artikan sebagai sesuatu yang lain (sesuatu yang
tidak diperlukan), maka kuiditas dapat merupakan sebab bagi eksistensi
tersebut, tanpa mengandung suatu kemustahilan di dalamnya. Sementara
kemustahilan hanya ada dalam rangkaian sebab yang tak berujung. Apabila
(rangkaian) ini terputus, kemustahilan tentu tidak ada. Sedangkan hal yang
selain itu tidak diketahui kemustahilannya. Karena itu; untuk membuktikan
kemustahilannya diperlukan bukti dan argumen demonstratif (burhan). Sedangkan
seluruh bukti dan argumen yang dikemukakan oleh para filsuf hanyalah asumsi
semena-mena (tahkimat) yang didasarkan pada: (a) penggunaan kata wajib
al-wujud dalam arti bahwa ia memiliki hal-hal yang niscaya baginya (lawazim),
dan (b) asumsi bahwa bukti rasional telah membuktikan wajib al-wujud sesuai
dengan deskripsi mereka. Tetapi-seperti telah dikemukan di atas-hal ini tidak
demikian.
Ringkasnya, argumen para filsuf dalam hal ini mengacu kepada
argumen-argumen mengenai negasi sifat-sifat dan negasi pembagian
genus-diferensia, meskipun itu lebih rancu dan lebih lemah. Sebab pluralitas
(yang yang menjadi sasaran kritik di sini) hanya ada di dalam kata-kata.
Sebenarnya, pengandaian kuiditas yang tunggal dan maujud, secara intelektual
dapat diterima. Apabila mereka katakan: “Setiap kuiditas yang merupakan suatu
maujud adalah sesuatu yang plural. Sebab di sana terdapat eksistensi (wujud)
di samping kuiditas (mahiyah).” Pandangan ini hanya menampakkan ketololan yang
berlebihan, sebab pada setiap kasus, maujud yang tunggal—dalam segala
hal—dapat dibayangkan dalam akal. Dan tidak ada maujud yang tanpa esensi riil
(haqiqah). Tetapi adanya aqlqah tidak menafikan kesatuan (wihdah).
Kedua:
kami akan mengatakan:
Eksistensi tanpa kuiditas atau esensi riil adalah
sesuatu tidak masuk akal, sebagaimana kita tidak memahami ketiadaan (‘adam,
noneksistensi) yang terlepas sama sekali dari maujud (mursal), kecuali jika
dihubungkan dengan maujud yang dapat diandaikan ketiadaannya, demikian pula
kita tidak akan dapat memahami eksistensi mursal, kecuali jika dihubungkan
dengan suatu haqiqah tertentu. Apa lagi eksistensi menetapkan satu esensi,
bagaimana ia dapat menentukan satu (esensi tertentu) yang membedakan dari
sesuatu yang lain-padahal ia tidak mempunyai suatu realitas? Meniadakan
kuiditas berarti meniadakan realitas (haqiqah). Dan apabila realitas dari
sesuatu yang maujud ditiadakan, tentunya eksistensinya pun tidak akan dapat
dimengerti. Apa yang para filsuf katakan sama seperti perkataan: “Wujud
(eksistensi) tanpa maujud (bereksistensi) adalah kontradiktif.”
Hal
tesebut dapat dibuktikan dengan dalil bahwa jika wujud dapat diterima akal,
maka dalam akibat-akibat bisa jadi terdapat wujud yang tidak punya realitas
(haqiqah), yang menyamai Tuhan dalam kapasitasnya sebagai wujud yang tidak
memiliki realitas dan kuiditas, namun berbeda karena ia punya sebab sedangkan
Tuhan tidak. Lalu, mengapa ini tidak bisa terbayangkan dalam akibat-akibat
(ma’lulat)? Apakah ia mempunyai suatu sebab, tetapi tidak dapat dipahami
dengan sendirinya? Sesuatu yang dengan sendirinya tidak dapat dipahami, maka
sesuatu itu tidak akan pernah dapat dipahami, apabila sebab-sebabnya
ditiadakan. Dan apa-apa yang dapat dipahami tidak akan menjadi demikian,
apabila ia diandaikan bergantung kepada suatu sebab.
Dengan melampaui
batas ini dalam perkara-perkara yang dapat dipahami (ma’qulat), tampak betapa
sesat para filsuf terjerumus ke dalam kegelapan. Mereka mengira telah dapat
membersihkan diri dari kesalahan dalam pemahaman mengenai Tuhan. Namun, hasil
puncak dari upaya penyelidikan mereka adalah negasi-murni (annafy
al-mujarrad). Apabila realitas ditiadakan, maka yang tertinggal hanya kata
‘eksistensi’, sebagai sesuatu yang tidak bisa berhubungan dengan apa pun,
kecuali ia dihubungkan dengan kuiditas (mahiyah).
Jika
dikatakan:
Realitas-Nya adalah bahwa Dia adalah wajib al-wujud .
Maka
inilah kuiditas tersebut.
Kami akan jawab:
Kata wajib
hanya berarti peniadaan sebab. Dan itulah suatu negasi yang tidak dapat
menegakkan haqiqah suatu zat. Di samping itu, negasi sebab dari haqiqah adalah
sifat dari haqiqah. Maka haqiqah harus dapat dipahami, sehingga ia dapat
diberi sifat dengan “tak bersebab” dan “tidak terproyeksi ketiadaannya”. Sebab
wajib tidak mempunyai arti selain dari pengertian “wujud yang tak
disebabkan”.
Di samping itu, apabila wujud ditambahkan pada
eksistensi, maka pluralitas akan hadir. Apabila ia tidak ditambahkan,
bagaimana ia akan menjadi kuiditas? Padahal eksistensi bukanlah kuiditas.
Karena itu, ia tidak ditambahkan kepadanya.