Terjemah Bidayatul Hidayah Al Ghazali
Nama kitab: Terjemah kitab Bidayatul Hidayah (Bidayah Al-Hidayah)
Judul kitab asal: بداية الهداية للإمام الغزالي
Penulis: Imam Ghazali.
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali Al-Thusi (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي)
Lahir: 1058 M / 450 H
Asal: Tous, Iran
Wafat: 19 Desember 1111 Masehi (usia 53) atau tahun 505 Hijriah
Bidang studi: Tasawuf, akhlak, sufi, tarekat
Ingin belajar agama di Ponpes Terbaik? Kunjungi
Pesantren Al-Khoirot Malang
Program utama: 1. Santri reguler; 2. Santri Dewasa; 3. Santri Kilat;
4. Tahfidz Quran; 5. Bahasa Arab.
Sistem: Salaf & Modern
Manhaj:
Aswaja (NU)
Daftar Isi
- Tentang Kitab Bidayatul Hidayah
- Download Terjemah dan Syarah Bidayah
- I. Risalah Nasihat
- II. Permulaan Hidayah
- A. Bagian Pertama: Amal-amal Ketaatan
-
B. Bagian Kedua: Menghindari Maksiat
- 1. Adab Mata
- 2. Adab Telinga
- 3. Adab Lisan
- Jaga Lisan dari Delapan Perkara
- Bohong
- Ingkar Janji
- Ghibah (Gosip)
- Debat (Jidal wal Munaqasyah)
- Menganggap Suci Diri Sendiri
- Mencela Ciptaan Allah
- Mendoakan Buruk Orang Lain (Menyumpah)
- Menghina Orang
- 4. Adab Perut
- 5. Adab Kemaluan
- 6. Adab Tangan
- 7. Adab Kaki
- C. Maksiat Hati
- 1. Dengki
- 2. Riya'
- 3. Ujub, Takabur, Bangga
- Hadits tentang Ujub Takabur Bangga
-
III. Adab (Etika) Bergaul
- 1. Adab (Etika) Seorang Alim (Guru)
- 2. Adab (Etika) Seorang Murid
- 3. Adab (Etika) Anak pada Orang Tua
- Jenis Pergaulan Ada tiga
- 1. Adab Bergaul Dengan Orang Awam (Bodoh)
- 2. Adab Bergaul dengan Saudara atau Teman
- Syarat Bergaul
- 1. Pintar
- 2. Akhlak Yang Baik
- 3. Saleh dan Taat (Bukan Pendosa)
- 4. Tidak Tamak terhadap Dunia
- 5. Jujur
- Manusia Ada Tiga Jenis
- Orang yang Bahagia
- Memperhatikan Hak Teman
- 3. Bergaul Dengan Teman Dekat
- Bergaul Dengan Teman Akrab (2)
- Kitab Tasawuf Lain
- Terjemah al-Hikam
- Terjemah Al-Munqidz Min al-Dhalal
- Terjemah Ayyuhal Walad
- Terjemah Bidayatul Hidayah
- Terjemah Durratun Nashihin
- Terjemah Idhotun Nasyi'in
-
Terjemah Ihya Ulumuddin
- Terjemah Irsyadul Ibad
- Terjemah Maroqil Ubudiyah
-
Terjemah Maulid Diba'
- Terjemah Minhajul ‘Abidin
- Terjemah Nashoihud Diniyah
- Terjemah Nashaihul Ibad
- Terjemah Risalatul Muawanah
- Terjemah Sullamul Munajat
- Terjemah Sullamut Taufiq
- Terjemah Ta'lim Muta'alim
- Terjemah Uqudul Lujain
- Terjemah Ushfuriyah
- Kembali ke Atas
TENTANG KITAB BIDAYATUL HIDAYAH
Kitab Bidayatul Hidayah adalah kitab karangan Imam Al-Ghazali.
Secara garis besar, kitab Bidayatul Hidayah memiliki dua komponen. Komponen pertama mencakup ketaatan (ibadah fi'liyyah), sedangkan komponen kedua mencakup langkah menjauhi maksiat (ibadah tarkiyyah). Kitab Bidayatul Hidayah juga dikenal sebagai catatan inti dari maha karya Imam Al-Ghazali yaitu Ihya Ulumiddin, sebab di beberapa penjelasan, penulis acapkali menyematkan redaksi agar pembaca merujuk pada kitab induk Ihya Ulumiddin.
Di pengantar, al-Ghazali menyinggung beberapa hal seperti ulama su’ yang
hatinya terlena dengan hal-hal duniawi lebih buruk daripada kehadiran Dajjal
serta klasifikasi pencari ilmu sesuai orientasinya.
Kitab ini
berisi tiga bagian, yaitu adab tentang taat kepada Allah SWT, meninggalkan
maksiat, dan bagian terakhir adalah tentang muamalat atau pembahasan tentang
adab pergaulan manusia dengan penciptanya dan juga manusia dengan
sesamanya.
Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazal. Beliau dilahirkan pada
tahun 450 H atau 1058 M di Ghazalah sebuah desa pinggiran Kota Thus kawasan
Kurasan Iran.
Kitab Bidayatul Hidayah membahas tentang akhlak,
tasawuf, maupun ibadah. Kitab ini berisikan panduan hidup dari permulaan dan
akan berakhir pada hidayah.
I. Risalah Nasihat
Mukadimah
Aku mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup
Syaikh al-Imam az-Zahid. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau
dan memeliharanya dalam menjalankan risalah agamaNya. Sejarah perjalanan hidup
beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt.
karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang
saling mencinta.
Persaudaraan tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi
yang dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa
merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu
pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya
di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam
doa-doanya ketika sedang berkhalwat serta semoga beliau memintakan kepada
Allah agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi
kemampuan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi
kemampuan untuk menghindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk
memberikan keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar
landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.
Menasihati Diri
Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya.
Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau
pelajaran untuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia
akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan
alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya
bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu!
Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak,
malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua
pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah
kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa
yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati
orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun
membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan
dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran
merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta
merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa
yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak
akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat
kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa
yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).
Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala
sesuatu yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah
engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya
ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit
jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut
dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang
Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu
penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya
engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau
terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya
juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara
(Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian),
yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan
menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia
akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’
(Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia.
Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian
tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang
kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan
yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana
pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun?
Kemudian datang pada mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak
berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asySyuara:
205-206).”
Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan
darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang
dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih.
Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak
diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk
akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari
rida Allah Swt. sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana
ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu
kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat
sebagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia
begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai
mengumpulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian
barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya,
“Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama
waktunya lalu engkau membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar
ketahanan-mu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku,
“Bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka
dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.”
Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh
seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang
disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya
telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah.”
Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan
perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat
kematian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari
sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang
menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata
aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit
kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan
bahwa maut masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada
seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati
seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang
lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan
menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.
Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa
mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu
berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda
amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati
orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika
beliau bersabda,”Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan
dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat,
padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan
merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa
mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia
senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba.
Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena
aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya
rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa
hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.
Akidah Seorang Mukmin
Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata
“tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jika ia membenarkan
Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah
Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak
Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha
Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta
tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru.
Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya
sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil
yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq,
walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan
mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.
Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam,
kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang
qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai
diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan
ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia
juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang
salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Alquran adalah kalam
Allah, bukan makhluk, bahwa istiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan
tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu tidak diketahui.
Ia cukup beriman dengan apa yang dikatakan syariat secara global tanpa
mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga,
dimana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memungkinkan, hendaknya keraguan
tersebut dihilangkan dengan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat
dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu
pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa
dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sempurna kecuali
dengan memahami pertanyaan dan jawabannya. Bila sesuatu yang samar itu
disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menangkap
jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik
dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang-orang
salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan
untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.
Adapun orang-orang yang sibuk memahami berbagai hakikat, mereka memiliki
telaga yang sangat membingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada
orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena
takut tenggelam. Sedangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena mereka
mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang
lupa diri dan membuat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah
merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa mengetahui segala sesuatu dan
dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam
lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh
jalan para salaf dalam mengimani para rasul serta dalam membenarkan apa yang
diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Rasul-Nya dimana mereka tak
mencari-cari dalil dan argumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.
Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau
marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, “Apakah kalian
diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitabullah dengan
yang lain. Perhatikan! apa yang Allah perintahkan pada kalian kerjakanlah,
sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan.” Ini merupakan peringatan terhadap
manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa’id
al-Aqaa’id.[alkhoirot.org]
Download:
-
Terjemah Bidayatul Hidayah
(pdf)
-
Versi Arab
(pdf)
-
Maraqi Al-Ubudiyah Syarah Bidayah Al Hidayah (Arab)
(pdf)