Maulid Nabi Bentuk Syukur pada Allah
Maulid Nabi diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dariNya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulangkali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah
Maulid Nabi diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dariNya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulangkali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah
Nama kitab: Terjemah Husnul Maqshid fi Amalil Maulid
Judul kitab asal: Husnul Maqshid fi Amalil Maulid (حسن المقصد في عمل المولد)
Penulis: Imam Suyuthi
Nama lengkap: Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti
Penerjemah: Sya'roni As-Samfuriy
Bidang studi: Hukum syariah
Daftar Isi
- Profil Kitab Husnul Maqshid fi Amalil Maulid
- Karya Tulis Imam Suyuthi
- Mukaddimah Kitab
- Yang Pertamakali Mengadakan Maulid Nabi
- Pandangan Ulama Anti Maulid Nabi
- Maulid Nabi Bid'ah Mandubah (Dianjurkan)
- Kelahiran Nabi adalah Nikmat Terbesar
- Memuliakan Bulan Kelahiran Nabi
- Merayakan Maulid Nabi sebagai bentuk Syukur pada Allah
- Download Kitab
- Kembali ke: Terjemah Amal Maulid Suyuthi
MAULID NABI SEBAGAI BENTUK SYUKUR PADA ALLAH
Kemudian Ibnu al-Hajj berkata “Sebagian orang melakukan Maulid tidak untuk mengagungkan Nabi, tetapi karena ia memiliki harta yang tersebar di banyak orang yang pernah ia berikan dalam acara walimah dan sebagainya, sementara ia ingin agar hartanya kembali namun ia malu memintanya secara langsung. Maka diadakanlah Maulid untuk mengembalikan hartanya yang ada di orang lain. Ini jelas mengandung keburukan-keburukan, di antaranya ia memiliki sifat munafik, yaitu menampakkan hal-hal yang tidak sama dengan nuraninya. Sebab secara dzahir ia mengadakan Maulid untuk kepentingan akhirat, semetara dalam hatinya ingin mengumpulkan harta. Ada juga sebagian orang yang mengadakan Maulid untuk mencari harta atau pujian dari orang-orang. Ini juga bagian dari keburukan yang sudah tidak samar lagi.” Hal ini juga bagian dari yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa celaan dalam Maulid Nabi karena tidak adanya niat yang baik, bukan dari perayaan Maulidnya sendiri.
3. Syaikhul Islam al-Hafidz Ibnu Hajar [18] telah ditanya tentang amaliah Maulid Nabi, beliau menjawab:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا
“Pokok utama dalam amaliah Maulid Nabi adalah bid’ah yang tidak diriwayatkan dari ulama salaf ash-shalih dari tiga generasi (sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi'in).[19] Akan tetapi Maulid Nabi tersebut mengandung kebaikankebaikan dan sebaliknya. Maka barangsiapa yang berusaha meraih kebaikan dalam Maulid dan menjauhi yang buruk, maka termasuk bid’ah yang baik.[20] Jika tidak, maka disebut bid’ah yang buruk.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Telah jelas bagi saya dalam menggali dalil Maulid Nabi dari sumber dalil yang shahih. Yaitu hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء ، فسألهم فقالوا : هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى
“Ketika Rasulullah Saw. sampai di Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka. Mereka menjawab: “’Asyura adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari ‘Asyura sebagai bentuk syukur kepada Allah.”[21]
Dari hadits ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dariNya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulangkali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al-Quran.
Dan manakah nikmat yang lebih agung daripada kelahiran seorang Nabi, Nabi pembawa rahmat, di hari tersebut? Dari uraian ini dianjurkan untuk berusaha untuk mmenyesuaikan dengan hari kelahirannya agar sesuai dengan kisah Musa di hari ‘Asyura. Ulama yang tidak memperhatikan masalah ini, dia tidak mempedulikan di hari apa saja ia melakukan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal. Bahkan ada sekelompok ulama yang memberi kelonggaran untuk mengamalkan Maulid Nabi di hari apapun dalam satu tahun. Ini adalah terkait dalil Maulid Nabi.
Sedangkan apa sajakah yang harus diamalkan dalam Maulid Nabi? Maka dianjurkan untuk sekedar melakukan hal-hal yang difahami sebagai bentuk syukur kepada Allah sebagaimana yang telah dijelaskan. Yaitu membaca al-Quran, memberi makanan, sedekah,
melantunkan pujian tentang kenabian[22] dan syair-syair zuhud yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan amal untuk akhirat.[23]
CATATAN KAKI
18. Al-Hafidz Ibnu Hajar (773-852 H) adalah ulama ahli hadits yang sangat populer bahkan juga dikagumi oleh ulama Wahabi. Sejauh pengamatan kami hampir tidak tidak ada ulama Wahabi yang menentang pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar tentang dalil Maulid Nabi ini.
19. Al-Hafidz as-Sakhawi, murid al-Hafidz Ibnu Hajar, juga berkata bahwa amaliah Maulid Nabi baru dilakukan setelah generasi
kurun ketiga. Namun setelah itu umat Islam di penjuru negara dan kota besar melakukakn perayaan Maulid Nabi di bulan kelahirannya, dengan mengadakan resepsi yang mengandung hal-hal kebaikan, bersedekah di malam harinya dan menampakkan rasa suka cita. Mereka juga membaca kisah kelahiran Nabi dan tampak berkah menyelimuti mereka secara merata. (Shalih asy-Syami dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad juz 1 hlm. 362).
20. Senada dengan beliau, Abu Syamah, guru Imam an-Nawawi, berkata: “Diantara bid’ah yang paling baik pada masa kami saat ini
adalah perayaan yang dilakukan tiap tahun yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw., yang terdiri dari sedekah,
perbuatan baik, menampakkan kebahagiaan, berbuat baik kepada fakir miskin dan sebagainya adalah bentuk kecintaan kepada Nabi
Muhammad, pengagungan untuk beliau, dan rasa syukur kepada Allah atas diciptakannya Rasulullah Saw. sebagai pembawa rahmat
bagi seluruh alam.” (Al-Ba’its ‘ala Inkar Bida’i wa al-Hawadits, dan dikutip dalam I’anat ath-Thalibin oleh Syaikh Syatha ad-Dimyathi juz 3 hlm. 414).
21. HR. Bukhari No. 2943 dan Muslim No. 2712. Sabda Nabi Saw. dalam hadits tersebut: “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian. Maka berpuasalah pada hari ‘Asyura”. Hadits ini sekaligus membantah anggapan dari kelompok Anti Maulid yang
mengharamkan Maulid Nabi karena dianggap meniru tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran tuhannya. Justru dalam hadits ini
Rasulullah Saw. memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, padahal ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi, bahkan
oleh musyrikin Mekkah yang juga berpuasa pada hari itu. (HR. Bukhari No. 1893). Jika Maulid Nabi diharamkan karena tasyabbuh
(serupa) dengan agama lain, lalu kenapa puasa 10 Muharram tidak diharamkan, bahkan tasyabbuh dengan dua agama sekaligus?
22. Dalam tradisi perayaan Maulid Nabi di lingkungan Nahdliyin biasa dibacakan syair Maulid ad-Daiba’i. Di penghujung bacaan tersebut mereka serentak berdiri ketika menyebut kelahiran Nabi Muhammad Saw. Bagaimanakah hukumnya? Banyak ulama menilainya sebagai suatu hal yang baik, dan pernah dilakukan oleh Imam Taqiyuddin as-Subki beserta para ulama yang hadir di majelis
tersebut. (As-Sirah al-Halabiyah, Syaikh Ali bin Burhanuddin al-Halabi juz 1 hlm. 137 dan I’anat ath-Thalibin juz 3 hlm. 414).
23. Allah berfirman: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu…” (QS. Hud ayat 120). Ayat ini adalah dalil menceritakan kisah Nabi dalam Maulid Nabi. Jika Rasulullah saja diteguhkan
hatinya dengan kisah para nabi sebelumnya, maka umat Muhammad Saw. lebih butuh kisah Nabinya untuk keteguhan hati mereka.
(Dzikriyat wa Munasabat, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki hlm. 107).