Empat Jenis Air
Dari segi bisa tidaknya air untuk menyucikan najis atau menghilangkan hadas, maka air dibagi menjadi empat jenis. Hanya dua jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci dari najis atau hadas. Sedangkan dua jenis air lainnya tidak dapat berfungsi secara syariah.
Dari segi bisa tidaknya air untuk menyucikan najis atau menghilangkan hadas, maka air dibagi menjadi empat jenis. Hanya dua jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci dari najis atau hadas. Sedangkan dua jenis air lainnya tidak dapat berfungsi secara syariah.
Daftar Isi
- Empat Jenis Air menurut Syariat Islam
- Download Kitab Al-Tahdzib
- Kembali ke: Terjemah Kitab Tahzhib Syarah Taqrib
EMPAT JENIS AIR MENURUT SYARIAH ISLAM
ثم المياه على أربعة أقسام:
1 - طاهر مطهر غير مكروه وهو الماء المطلق (2)
2 - وطاهر مطهر مكروه وهو الماء المشمس (3)
3 - وطاهر غير مطهر وهو الماء المستعمل (4) والمتغير بما خالطه من الطاهرات (5)
4 - وماء نجس
وهو الذي حلت فيه نجاسة، وهو دون القلتين (6)، أو كان قلتين فتغير (7).
Kemudian air itu terbagi menjadi empat kategori: (a). air yang suci dan mensucikan tidak makruh, disebut dengan: air mutlak (aseli) (1)(b). air yang suci dan mensucikan tetapi makruh, yakni air yang terjemur di panas matahari(2), (c). air yang suci tetapi tidak mensucikan, yakni air bekas dipakai untuk bersuci (3) atau air yang sudah berobah sifatnya karena bercampur dengan zat suci lainnya(4), (d) air najis, yakni air yang di dalamnya terdapat najis, di mana air tersebut volumenya kurang dari dua qullah(5), atau dua qullah tetapi air tersebut berubah sifatnya. (6)
CATATAN
(1) والأصل في طَهُوريَّة الماء المطلق: ما رواه البخارى (217) وغيره عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قام أعرابي فبال في المسجد، فقام إليه الناس ليقعوا به، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (دَعُوهُ وهَريقوا عَلى بَوْلِهَ سَجْلاً مِن مَاء - أو: ذَنوبا مِنْ مَاءْ - فَإتمَا بُعِثْتُمْ مُيسَرِينً وَلَمْ تُبعَثُوا مُعَسرِينَ). [ليقعوا به: ليزجروه بالقول أو الفعل. سجلا: دلواً ملأى بالماء، ومثله الذنوب].
(2) المسخن في إناء من معدن بحَر الشمس، وكراهته لما قيل: من أنه يسبب مرض البرص أو يزيده. ولا يكون مكروهاً إلاَّ إذا استعمل في البدن وكان في قطر حار كالحجاز.
(3) في رفع حدث، ودليل كونه طاهراً: ما رواه البخاري (191) ومسلم: (1616) عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال: جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودُني وأنا مريض لا أعْقِلُ، فتوضأ وصب عَليَّ منْ وَضُوئِهِ.
[لا أعقلَ: أي في حالة غيبوبة من شدة المرض. وضوئه: الماء الذي توضأ به] ولو كان غير طاهر لم يصبه عليه.
ودليل كونه غير مطهر: ما رواه مسلم (283) وغًيره: عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في المَاءِ الدائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ). فقالوا: يا أبا هريرة، كيف يفعل؟ قال: يتناوله تناولاً.
أفاد الحديث: أن الاغتسال في الماء يخرجه عن طهوريته؛ وإلا لم ينه عنه؛ وهو محمول على الماء القايل. وحكم الوضوء في هذا حكم الغسل، لأن المعنى فيهما واحد، وهو رفع الحدث.
(4) الأشياء الطاهرة التي يستغني عنها الماء عادة، والتي لا يمكن فصلها عنه بعد المخالطة، كالمسك والملح ونحوهما. وكونه غير مطهر لأنه أصبح لا يسمى ماء في هذه الحالة.
(5) روى الخمسة عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو يُسْأل عن الماء يكون بالفَلاة من الأرض، وما يَنُوبُه من السباع والدواب؟ فقال: (إذا كَانَ المَاءُ قُلتَينِ لَمْ يَحْملِ الخَبَثَ) وفي لفظ لأبي داود (65): (فإنه لا يَنْجُسُ).
[بالفلاة: الصحراء ونحوها. بنوبهْ: يرد عليه. السباع: كل ما له ناب يفترس به من الحيوانات].
ومفهوم الحديث: أنه إذا كان أقل من قلتين ينجس ولو لم يتغير، ودل على هذا المفهوم: ما رواه مسلم (278) عن أبى هريرة رضى الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا استَيْقَظَ أحَدُكُم مِنْ نَومه فَلاَ يغْمِسْ يَدَهُ في الإنَاء حَتى يغسلَهَا ثَلاثاً، فَإنهُ لا يَدرِيً أينَ بَاتَتْ يَدُهُ). فقد نهى المستيقظ من نومه عن الغمس خشية تلوث يده بالنجاسة غير المرئية، ومعلوم أن النجاسة غيرَ المرئية لا تغير الماء، فلولا أنها تنجسه بمجرد الملاقاة لم ينهه عن ذلك.
(6) ودليله الإجماع، قال في المجموع: قال ابن المنذر: أجمعوا أن الماء القليل أو الكثير، إذا وقعت فيه نجاسة، فغيرت طعماً أو لوناً أو ريحاً، فهو نجس.
وأما حديث: (الماء طهور لاَ يُنَجسُهُ شيء إلا مَا غير طَعمَهُ أوْ رِيحَهُ) فضعيف سنداً، قال عنه النووي رحمه الله تعالى: لا يصح الاحتجاج به. وقال: ونقل الإمام الشافعي رحمه الله تعالى تضعيفه عن أهل العلم بالحديث. [المجموع: 1/ 160]
(7) أي ما يساوي مائة وتسعين ليتراً تقريباً، أو سعة مكعب طول حرفه 58 سم.
CATATAN
(1) Dasar tentang kesucian air mutlak adalah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (217) dan lainnya, dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Ada seorang Arab gunung berdiri dan kencing didalam masjid, maka orang sama berdiri untuk memarahinya/mencelanya, maka Nabi saw. bersabda: “Biarkanlah dia, dan tuangkan seember air di atas bekas temapt kencingnya. Sesungguhnya kalian diutus agar mempermudah bukan diutus untuk mempersulit”.
(2) Dipanaskan dalam bejana terbuat dari logam di terik panas matahari. Kemakruhannya berdasarkan suatu pendapat bahwa hal itu menyebabkan penyakit lepra atau lebih berat dari itu, dan tidak dimakruhkan keculai apabila dipergunakan untuk membersihkan badan, karena tetesan panasnya bagikan pengikat.
(3) Untuk menghilangkan hadats, dan sebagai dasar bahwa air tersebut masih suci adalah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (191) dan Muslim (1616) dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. datang mengunjungi saya, sedangkan saya dalam keadaan sakit tidak sadarkan diri, maka beliau berwudlu dan menuangkan air bekas wudlu beliau”. Kalu air tersebut tidak suci, tentu tidak mungkin disiramkan kepadanya. Adapun dasar yang menyatakan, bahwa air tersebut tidak mensucikan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (283) dan lainnya, dari Abi Hurairaoh ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu mandi di air yang menggenang (tidak mengalir), padahal dia dalam keadaan junub. Mereka bertanya: Wahai Abu Hurairaoh: Bagaimana cara mandinya? Ia menjawab: Mengambil air menggunakan gayung. Faedah hadits tersebut: bahwa mandi di dalam air tersebut menghilangkan kesuciannya, bila tidak demikian, maka tidak mungkin beliau melarangnya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa air tersebut hanya sedikit. Hukum berwudlu sama dengan hukum mandi, oleh karena maksudnya sama, yakni menghilangkan hadats.
(4) Sesuatu yang suci yang biasanya air bisa berobah karenanya, dan tidak mungkin untuk dipishkan kembali sesudah tercampur, seperti: minyak wangi, garam dan sebagainya. Keberadaannya menjadi tidak mensucikan, karena sudah dinamakan air dalam keadaan itu.
(5) Lima ahli perowi hadits meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. , ketika beliau ditanya tentang air yang berada di tanah lapang, dan yang sering di datangi oleh hewan buas (minum dll)? Maka beliau bersabda: “Apabila air tersebut ada dua qullah, maka tidak menjadikan air tersebut najis”. Berdasarkan hadits lafadh dari Abu Dawud (65): Maka sesungguhnya hal itu tidak membuat menjadi najis. Maksud dari hadits di atas: bahwa apabila air tersebut kurang dari dua qullah, maka manjadi najis sekalipun sifatnya tidak berubah. Yang menunjukkan pemahaman tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (278) dari Abu Hurairoh ra. bahwasannya Nabi saw. bersabda: “Apabila seseorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah langusng memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air sebelum dibersihkan terlebih dahulu, oleh karena dia tidak tahu di mana tangannya ketika dia tertidur”. Beliau melarang orang yang bangun dari tidur untuk memasukkan tangan ke dalam bejana karena dikhawatirkan tangannya terkena najis yang tidak terlihat secara jelas. Dan dimaklumi bahwa najis yang tidak tampak tidak akan merubah sifat air. Apabila tidak karena menajiskan disebabkan bertemunya tangan dengan air, mengapa beliau melarangnya berbuat demikian.
(6) Dasarnya adalah Ijmak (kesepakatan) ulama. Dalam kitab al Majmuk Ibnul Mundzir menyatakan: Ulama sepakat bahwa air sedikit atau banyak, apabila kejatuhan najis kemudian berubah rasa atau warna atau baunya, maka air tersebut menjadi najis. Adapun hadits yang menyatakan bahwa: “Air suci tidak bisa menjadi najis oleh sebab sesuatu zat, kecuali apabila berubah rasa atau baunya”, adalah hadits dloif sanadnya> An Nawawi berbicara tentang hali itu: Tidak sah berhujjah menggunakan hadits tersebut. Ia juga menyatakan: Imam As Syafi’ie menukil tentang kedloifan hadits tersebut dari ahli ilmu hadits (al Majmuk: 1/160).[alkhoirot.org]