Akhlak Murid pada Gurunya
Akhlaq orang yang menuntut ilmu (murid, santri, pelajar) ketika bersama–sama dengan gurunya ada dua belas macam budi pekerti, yaitu :
Pertama, Berangan-berangan, berfikir yang mendalam kemudian melakukan shalat istikharah, kepada siapa ia harus mengambil ilmu dan mencari bagusnya budi pekerti darinya. Jika memungkinkan seorang pelajar, hendaklah memilih guru yang sesuai dalam bidangnya, ia juga mempunyai sifat kasih sayang, menjaga muru’ah (etika), menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan mertabat
Nama buku: Terjemah kitab Adabul Alim wa Al-Muta'allim
Judul versi terjemah: 1. Pendidikan Akhlak untuk Pengajar dan Pelajar; 2. Pendidikan Karakter Khas Pesantren (Adabul Alim wal Mutaallim)
Nama kitab asal: Adabul Alim wal Muta'allim (آداب العالم والمتعلم)
Pengarang: Hadratusy Syekh Kyai Haji Hasyim Asy'ari
Nama Ibu: Nyai Halimah
Penerjemah: Ishom Hadziq (?)
Bidang studi: Akhlaq dan Tasawuf
Daftar Isi
- Bab III: Akhlaq Seorang Pelajar Terhadap Gurunya
- Download
- Kembali ke: Terjemah Adabul Alim wal Muta'allim
BAB KETIGA Akhlaq Seorang Pelajar Terhadap Gurunya
Akhlaq orang yang menuntut ilmu (murid, santri, pelajar) ketika bersama–sama dengan gurunya ada dua belas macam budi pekerti, yaitu :
Pertama, Berangan-berangan, berfikir yang mendalam kemudian melakukan shalat istikharah, kepada siapa ia harus mengambil ilmu dan mencari bagusnya budi pekerti darinya. Jika memungkinkan seorang pelajar, hendaklah memilih guru yang sesuai dalam bidangnya, ia juga mempunyai sifat kasih sayang, menjaga muru’ah (etika), menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan mertabat seorang guru.Ia juga seorang yang bagus metode pengajaran dan pemahamannya.Diriwayatkan dari sebagian ulama’ salaf: “Ilmu iniadlah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil atau belajar agama kalian”.
Kedua, Bersungguh-sungguh dalam mencari seorang guru, ia termasuk orang yang mempunyai perhatian khusus terhadap ilmu syari’at dan termasuk orang-orang yang dipercaya oleh para guru-guru pada zamanya, sering diskusi serta lama dalam perkumpulan diskusinya, bukan termasuk orang-orang yang mengambil ilmu berdasarkan makna yang tersurat dalam sebuah teks dan tidak dikenal guru-guru yang mempunyai tingkat kecerdasan tinggi. Imam kitaAl-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang mempelajari ilmu fiqh hanya memahami makna–makna yang tersurat saja, maka ia telah menyia-nyiakan beberapa hukum”.
Ketiga, Menurutterhadap gurunya dalam segala hal dan tidak keluar dari nasehat-nasehat danaturan-aturannya. Bahkan, hendaknya hubungan antara guru dan muridnya itu ibarat pasien dengan dokter spesialis. Sehingga ia minta resep sesuai dengan anjurannyadan selalu berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh ridhanya terhadap apa yang ia lakukan dan bersungguh sungguh dalam memberikan penghormatan kepadanya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara melayaninya. Hendaknya seorang pelajar tahu bahwa merendahkan diri di hadapan gurunya merupakan kemulyaan, kertundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan dan tawadlu’ dihadapannyamerupakan keterangkatanderajatnya.
Empat, Memandang guru dengan pandangan bahwa dia adalah sosok yang harus dimuliakan dan dihormati dan berkeyakinan bahwa guru itu mempunyai derajat yang sempurna. Karena pandangan seperti itu paling dekat kepada kemanfaatan ilmunya.Abu Yusuf berkata: “Aku mendengar para ulama’ salaf berkata: “Barang siapa yang tidak mempunyai sebuah (I’tiqad) keyakinan tentang kemulyaan gurunya, maka ia tidak akan bahagia. Maka bagi pelajarjangan memanggil guru dengan menggunakan ta’ khitab (baca: kamu) dan kaf khitab (mu), ia juga jangan memanggil dengan namanya. Bahkan ia harus memanggil dengan: ” yaa sayyidi” , wahai tuanku atau “yaa ustadzi”, wahai guruku. Juga ketika seorang guru tidak berada ditempat, maka pelajar tidak diperkenankan memanggil dengan sebutan namanya kecuali apabila nama tersebut disertai dengan sebutan yang memberikan pengertian tentang keagungan seorang guru, seperti apa yang di ucapkan pelajar:”Al Syekh Al Ustadz berkata begini,begini“atau “guru kami berkata”dan lain sebagainya.
Kelima, hendaknya pelajar mengetahu kewajibannya kepada gurunya dan tidak pernah melupakan jasa-jasanya, keagungannya dan kemulyaannya, serta selalu mendoakan kepada gurunya baik ketika beliau nmasih hidup atau setelah meniggal dunia.
Selalu menjaga keturunannya, para kerabatnya dan oerang-orang yang beliau kasihi, dan selalu menekankan terhadap dirinya sendiri untuk selalu berziarah kemakam belaiu untuk memintakan ampun, memberikan shadaqah atas nama beliau, selalu menampakkan budi pekerti yang bagus dan memberikan petunjuk kepada orang lain yangmembutuhkannya, disamping itu pelajar harus selalu menjaga adat istiadat, tradisi dan kebiasaan yang telah dilakukan oleh gurunya baik dalam masalah agama atau dalam masalah keilmuan, dan menggunakan budi pekerti sebagaimana yang telah dilakukan oleh gurunya, selalu setia, tunduk dan patuh kepadanya dalam keadaan apapun dan dimanapun ia berada.
Enam, pelajar harus mengekang diri , untuk berusaha sabar tatkala hati seorang guru sedang gundah gulana, marah, murka atau budi pekerti, prilaku beliau yang kurang diterima oleh santrinya.
Hendaklah hal tersebut tidak menjadikan pelajar lantas meninggalkan guru (tidak setia) bahkan ia harus mempunyai keyakinan, i’tiqad bahwa seorang guru itu mempunyai derajat yang sempurna, dan berusaha sekuat tenaga untuk menafsiri , menakwili semua pekerjaan-pekerjaan yang ditampakkan dn dilakukan oleh seorang guru bahwasanya yang benar adalah kebalikannya , dengan pena’wilan dan penafsiran yang baik.
Apabila seorang guru berbuat kasar kepada santrinya, maka yang perlu dilakukan pertamakali adalah dengan cara meminta ampuan kepada guru dan menampakkan rasa penyesalan diri dan mencari kerilaan, ridha dari gurunya, karena hal itu akan lebih mendekatkan diri pelajar untuk mendapatkan kasih akung guru ?
Delapan, apabila pelajar duduk dihadapan kyai, maka hendaklah ia duduk dihadapannya dengan budi pekerti yang baik, seperti duduk bersimpuh diatas kedua lututnya (seperti duduk pada tahiyat awal) atau duduk seperti duduknya orang yang melakukan tahiyat akhir, dengan rasa tawadlu’ , rendah diri, thumakninah (tenang ) dan khusu’.
Sang santri tidak diperbolehkan melihat kearah gurunya (kyai) kecuali dalam keadaan dharurat, bahkan kalau memungkinkan sang santri itu harus menghadap kearah gurunya dengan sempurna sambil melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian, selanjutnya ia harus berfikir, meneliti dan berangan-angan apa yang beliau sampaikan sehingga gurunya tidak perlu lagi untuk mengulagi perkataannya untuk yang kedua kalinya.
Pelajar tidak diperkenankan untuk melihat kearah kanan, arah kiri atau melihat kearah atas kecuali dalam keadaan dlarurat, apalagi gurunya sedang membahas, berdiskusi tentang berbagai macam persoalan.
Pelajar tidak diperbolehkan membutat keaduhan sehingga sampai didengar oleh sang kyai dan tidak boleh memperhatikan beliau, santrijuga tidak boleh mempermainkan ujung bajunya, tidak boleh membuka lengan bajunya sampai kedua sikutnya, tidak boleh mempermainkan beberapa anggota tubuhnya , kedua tangan, kedua kaki atau yang lainya, tidak boleh membuka mulutnya, tidak boleh menggerak-gerakkan giginya, tidak boleh memukul tanah atau yang lainya dengan menggunakan telapak tanganya ayau jari-jari tanganya, tidak boleh mensela-selai kedua tangannya dan bermain-main dengan mengunakan sarung dan sebagainya.
Santri ketika berada dihadapan sang kyai maka ia tidak diperbolehkan menyandarkan dirinya ketembok, ke bantal, juga tidak boleh memberikan sesiuatyu kepada nya dari arah samping atau belakang, tidak boleh berpegangan pada sesuatu yang berada diselakangnya atau sampingnya.. Santri juga tidak diperkenankan untuk menceritakan sesuatu yang lucu, sehingga menimbulkan tertawa orang lain, ada unsur penghinaan kepada sang guru, berbicara dengan menggunakan kata-kata yang sangat jelek, dan menampakkan prilaku dan budi pekerti yang kurang baik dihadapan gurunya.
Santri juga tidak boleh menertawakan sesuatu kecuali hal-hal yang kelihatan sangat menggelikan, lucu dan jenaka, ia tidak boleh mengagumi sesuatu ketika ia berada dihadapan gurunya.
Apabila ada sesuatu hal, peristiwa, kejadian yang lucu, sehingga membuat santri tertawa, maka hendaknya jikalau tertawa tidak terlalu keras, tidak mengeluarkan suara. Ia juga tidak boleh membuang ludah, mendehem selama hal itu bisa ditahan atau memungkinkan, namun apabila tidak mungkin untuk dilakukan maka seyogianya ia melakukannya dengan santun. Ia tidak boleh membuang ludah atau mengeluarkan riya dari mulutnya, namun yang paling baik adalah seharusnya itu dilakukan dengan menggunakan sapu tangan atau menggunkana ujung bajunya untuk dipakai sebagai tempat riya’ tersebut.
Apabila pelajar sedangbersin , maka hendaknya berusaha untuk memelankan sauranya dan menutupi wajahnya dengan menggunakan sapu tangan umpamanya. Apabila ia membuka mulut karena menahan rasa kantuk (angop) maka hendaknya ia menutupu mulutnya dan berusaha untuk tidak membuka mulut (angop).
Sebagai pelajar ketika sedang berada dalam sebuah pertemuan, dihadapan teman, saudara hendaknya memekai budi pekerti yang baik, ia selalu menghormati para sahabtnya, memulyakan para pemimpin, pejabat, dan teman sejawatnya, karena menampakkanbudi pekerti yang baik kepada mereka, berarti ia telah menghormati para kyainya, dan menghormati pada majlis (pertemuan). Hendaknya ia juga tidak keluar dari perkempulan mereka, majlis dengan cara maju ataupun mundur kearah belakang, santri (pelajar ) juga tidak boleh berbicara ketika sedang berlangsung pembahasan sebuah ilmu dengan hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan ilmu tersebut, atau mengucapkan sesuatu yang bisa memutus pembahas ilmu.
Apabila sebagian santri (orang yang mencari ilmu) itu berbuat hal hal yang idak kita inginkan ( jelek ) terhadap salah seorang , maka ia tidak boleh dimarahi, disentak-sentak, kecuali gurunya sendiri yang melakukan hal itu, kecuali kalau guru memberikan sebuah isyarat kepada santri yang lain utnuk melakukannya.
Apabila ada seseorang yang melakukan hal-hal yang negatif terhadap seorng syaikh, maka kewajiban bagi jamaah adalah membentak orang tersebut dan tidak menerima orang tersebut dan membantu syaikh dengan kekauatan yang dimiliki (kalau memungkinkan).
Pelajar tidak boleh mendahului gurunya dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab beberapa persoalan, kecuali ia mendapai idzin dari sang guru.
Termasuk sebagaian dari mengagungkan seorang kyai adalah santri tidak boleh duduk-duduk disampingnya, diatas tempat shalatnya, diatas tempat tidurnya. Seandainya sang guru memerintahkan hal itu kepada muridnya, maka jangan ia sampai melakukannya, kecuali apabila sang guru memang memaksa dan melakukan intimidasi kepada santri yang tidak mungkin untukmenolaknya, maka dalam keadaan seperti ini baru diperbolehkan untuk menuruti perintah sang guru, dan tidak ada dosa. Namun setelah itu ia harus berprilaku sebagaimana biasanya, yaitu dengan menjunjung tinggi akhlaqul karimah.
Dikalangan orang banyak telah timbul sebuah pertanyaan, manakah diantara dua perkara yang lebih utama, antara menjunjung tinggi dan berpegang teguh pada perintah sang guru namun bertentangan dengan akhlaqul karimah dengan menjunjung tinggi-tinngi nilai-nilai akhlaq dan me;lupakan perinyah sang guru ?.
Dalampermasalahan ini, menurut pendapat yang paling tinggi (rajih) adalah hukumnya tafsil; apabila perintah yang diberikan oleh guru tersebut bersifat memaksa sehingga tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk menolaknya, maka hukumya yang paling baik adalah menuruti perintahnya, namun bila perintah itu hanya sekedarnya dan bersifat anjuran , maka menjunjung tinggi nilai moralitas adalah diatas segala-galanya, karena pada satu waktu guru diperbolehkan untuk menampakkan sifat menghormati dan perhatian kepada santrinya (murid) sehingga akan wujud sebuah keseimbangan (tawazun) dengan kewajiban-kewajibannya untuk menghormati guru dan berprilaku, budi pekerti yang baik tatkala bersamaan dengan gurunya.[alkhoirot.org]