Kaidah Fikih 40
40 kaidah fikih. KAIDAH PERTAMA: اَلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya) KAIDAH KEDUA: مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ فَاْلخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ (Jika menyatakan sesuatu itu menjadi syarat, maka jika salah hukumnya batal.) KAIDAH KETIGA: مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
Jika syaratnya hanya menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta‟yinnya (menyatakannya) secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu akan menjadi madharat
Nama buku: Terjemah kitab Kaidah Fiqh dan Ushul Fikih Mabadi Awaliyah (Mabadi' Awwaliyyah)
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i
Daftar Isi
- KAIDAH FIKIH
- KAIDAH PERTAMA: اَلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya)
- KAIDAH KEDUA: مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ فَاْلخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ (Jika menyatakan sesuatu itu menjadi syarat, maka jika salah hukumnya batal.)
- KAIDAH KETIGA: مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ (Jika syaratnya hanya menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta‟yinnya (menyatakannya) secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu akan menjadi madharat)
- 4. Kaidah Keempat: مَا لاَ يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ. (Jika tidak disyaratkan menentukan secara global, dan tidak secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat)
- 5. Kaidah Kelima: مقاصد اللفظ على نية اللافظ (Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya)
- 6. Kaidah Keenam: اليقين لا يزال بالشك (Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan)
- 7. Kaidah Ketujuh: اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ (Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu)
- 8. Kaidah Kedelapan الاصل براة الذمة (Asalnya itu lepasnya tanggungan)
- 9. Kaidah Kesembilan الاصل العدم (Asalnya itu tidak ada)
- 10. Kaidah Kesepuluh الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه (Asalnya sesuatu perkiraan hukumnya adalah menghitung pada yang lebih dekat)
- 11. Kaidah Kesebelas المشقة تجلب التيسر (Kesulitan itu akan menghasilkan kemudahan)
- 12. Kaidah Kedua belas الاشياء اذا اتسع ضاقت (sesuatu itu jika dalam kondisi longgar maka ia akan menjadi sempit)
- 13. Kaidah Ketiga belas الضرر يزال(Kemadharatan itu dihilangkan)
- 14. Kaidah Keempat belas الضررلا يزال بالضرر (Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lain)
- 15. Kaidah Ke-15 الضرورات تبيح المحظورات (Darurat itu dapat membolehkan yang Haram)
- 16. Kaidah Ke-16 ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها (Yang dibolehkan dalam hal kemadharatan itu hanya ukuran perkiraan madharatnya)
- 17. Kaidah Ke-17 الحجة قد تنزل منزلة الضرورة (ajat itu terkadang berada diposisi dharurat)
- 18. Kaidah Ke-18 اذا تعارض المفسدتان روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما(Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya)
- 19. Kaidah Ke-19 درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Mendahulukan menolak keburukan dari pada mengambil kemashlahatan)
- 20. Kaidah Ke-20 الاصل فى الابضاع التحريم(Asalnya berjima‟ itu hukumnya haram)
- 21. Kaidah K-21 العادة محكمة(Adat itu bisa menjadi hukum)
- 22. Kaidah Ke-22 ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف (Sesuatu yang datang dalam hukum syara‟ secara muthlaq dan tidak ada yang menjadi landasannya dan tidak juga dengan definisi lughoh (bahasa) maka semua itu dikembalikan pada kebiasaan (adat) yang berlaku)
- 23. Kaidah Ke-23 الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد(Ijtihad itu tidak akan rusak dengan ijtihad yang lain)
- 24. Kaidah Ke-24 الإيثار بالعبادة ممنوع(Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah itu dilarang)
- 25. Kaidah Ke-25 الإيثار بغيرالعبادة مطلوب (Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan)
- 26. Kaidah Ke-26 تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة (Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan kemaslahatan)
- 27. Kaidah Ke-27 الحدود تسقط بالشبهات (Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat)
- 28. Kaidah Ke-28 ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب (Perkara yang membuat sempurnanya hukum wajib maka hukumnya wajib pula)
- 29. Kaidah Ke-29 الخروج من الخلاف مستحبٌّ (Keluar dari khilafiyah hukumnya sunnah)
- 30. Kaidah Ke-30 الرخصة لاتناط بالمعاصى (keringanan itu tidak berlaku dengan kemaksiatan)
- 31. Kaidah Ke31 الرخصة لاتناط بالشكّ (keringanan itu tidak berlaku dengan sebab keraguan)
- 32. Kaidah Ke-32 ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا (Yang banyak pekerjaannya maka banyak keutamaannya)
- 33. Kaidah Ke-33 ما لا يدرك كله لا يترك كله (yang tidak bisa dilakukan seluruhnya janganlah ditinggal seluruhnya)
- 34. Kaidah Ke-34 الميسور لا يسقط بالمعسور (Kemudahan itu tidak akan hilang oleh sebab kesukaran)
- 35. Kaidah Ke-35 ما حرم فعله حرم طلبه (Yang haram pekerjaannya, maka haram mencarinya)
- 36. Kaidah Ke-36 ما حرم اخذه حرم اعطاؤه (Yang haram mengambilnya maka haram untuk memberikannya)
- 37. Kaidah Ke-37 الخير المتعدي افضل من القاصر (Kebaikan yang berkesinambungan itu lebih utama daripada yang singkat)
- 38. Kaidah Ke-38 الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه (Ridha terhadap sesuatu itu ridha dengan apa yang terlahir darinya)
- 39. Kaidah Ke-39 الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما (Hukum itu beredar bersama dengan „illatnya (sebabnya) ada maupun tidak ada)
- 40. Kaidah Ke-40 الاصل فى الآ شياء الاءباحة (Asalnya sesuatu itu hukumnya boleh)
- DOWNLOAD
- Kembali ke: Terjemah Kaidah dan Ushul Fikih (Mabadi Awaliyah)
BAGIAN KEDUA Pembahasan Tentang Qawa‟idul Fiqhiyyah
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى
Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya semua perbuatan itu bersama dengan niatnya, dan untuk setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya (HR. Bukhari)
KAIDAH PERTAMA
الامور بمقاصدها
“ Setiap perbuatan itu bersama dengan tujuannya/niatnya “
Misalnya :
1. Berwudhu itu harus dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan puasa
2. Jika ia melakukan perbuatan yang hukumnya Mubah, tetapi ia beri‟tikad bahwa ia melakukan perbuatan yang tidak halal, seperti ketika seseorang menggauli seorang perempuan dan dalam hatinya menyatakan bahwa perempuan itu bukan istrinya, dan ia sedang melakukan perbuatan zina, walaupun ternyata perempuan itu adalah istrinya, maka perbuatan itu tetap haram.
3. Ketika seseorang berniat dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam beribadah, maka ia akan mendapatkan pahala, jika tidak diniati maka ia tidak akan mendapatkan pahala.
4. Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk dijadikan cuka atau khamer (minuman keras)
5. Tidak berbicara dengan orang lain diatas 3 hari itu hukumnya haram, jika diniati, tapi kalau tanpa ada niat untuk itu maka hukumnya tidak haram.
6. Tidak memakai wewangian dan berhias diri diatas 3 hari karena berkabung atas kematian seseorang yang bukan suaminya itu hukumnya haram, jika ia bertujuan untuk turut berduka cita, jika tidak ada niat itu, maka tidak apa-apa.
7. Jika seseorang mengambil harta orang lain yang punya hutang kepadanya dengan niat untuk bayar hutang orang itu kepadanya dan juga dengan niat maling, maka ia tidak terkena hukuman potong tangan untuk niat yang pertama, tetapi hanya pada niat yang kedua.
8. Tentang Kinayah (sindiran) Thalaq dan selain thalaq, ketika seorang suami berkata pada istrinya : “Kamu adalah perempuan yang tidak punya suami”, jika ia berniat untuk menjatuhkan thalaq maka jatuhlah thalaqnya itu kepada istrinya, namun jika tidak, maka tidak apa-apa.
KAIDAH KEDUA
مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ فَاْلخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
“Jika menyatakan sesuatu itu menjadi syarat, maka jika salah hukumnya batal.”
Misalnya :
1. Kesalahan dalam melakukan sholat dzuhur ke „ashar dan sebaliknya, maka ketika ia melakukan sholat dzuhur dan berniat sholat „ashar maka hukumnya tidak sah.
2. Kesalahan dalam niat dari Kafarat Dzihar ke Kafarat Membunuh.
3. Kesalahan dalam niat dari Sholat Sunnah Rawatib Dzuhur ke Rawatib „Ashar
4. Kesalahan dalam niat dari Sholat „Idul Fitri ke „Idul Adlha dan sebaliknya.
5. Kesalahan dalam niat dari Sholat dua raka‟at Sunnah Ihram ke dua raka‟at sunnah Thawaf dan sebaliknya.
6. Kesalahan dalam niat dari puasa „Arafah ke puasa „Asyura dan sebaliknya.
KAIDAH KETIGA
مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
“Jika syaratnya hanya menentukan secara global, dan tidak disyaratkan ta‟yinnya (menyatakannya) secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu akan menjadi madharat”
Misalnya :
1. Niat menjadi ma‟mum pada Zaid ternyata yang jadi imam adalah Umar, maka tidak sah berjama‟ahnya karena ia telah menghilangkan niat ma‟mum kepada Umar dengan niat menjadi ma‟mumnya Zaid, maka ketika ternyata ia menjadi ma‟mum dari Umar maka ia tidak berniat menjadi ma‟mum. Dan dalam berjama‟ah tidak disyaratkan menyatakan siapa imamnya, tetapi hanya disyaratkan untuk niat berjama‟ah, tidak yang lain.
2. Niat mensholati mayyitnya Bakar, ternyata yang disholatinya adalah mayyit Khalid, atau niat sholat untuk mayyit laki-laki tapi ternyata mayyitnya perempuan, atau sebaliknya, maka semua itu tidak sah. Karena dalam sholat Janazah itu tidak wajib ta‟yin (menyatakan) siapa mayyit yang disholatinya, hanya cukup berniat sholat terhadap mayyit saja. 3. Barang siapa melaksanakan sholat untuk mayyit yang jumlahnya banyak, maka dalam sholat ini tidak diwajibkan melakukan ta‟yin (menyatakan) jumlah dari mayyit-mayyit itu, maka ketika beri‟tiqad bahwa jumlah mayyitnya 10 orang tapi ternyata lebih banyak, maka sholatnya mesti diulangi (i‟adah).
4. Tidak disyaratkan ta‟yin (menyatakan) bilangan raka‟at, maka ketika seseorang niat sholat dzuhur lima raka‟at atau tiga raka‟at, maka sholatnya tidak sah.
5. Jika seseorang telah menyatakan mengeluarkan zakat untuk hartanya yang ghaib (tidak ada disampingnya) dan ternyata harta yang ghaib itu telah rusak/hilang, maka zakat untuk harta yang ghaib itu tidak bisa dijadikan sebagai zakat harta
yang masih ada.