Yakin Tidak Hilang oleh Karaguan
Kaidah fikih
“Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan”
Misalnya :
1. Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.
Nama kitab asal: Mabadi' Awaliyah fi Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (مبادئ أولية في أصول الفقه صش القواعد الفقهيه)
Pengarang: Abdul Hamid Hakim
Penerjemah: H. Sukanan S.Pd.I, Ust. Khairudin
Bidang studi: Kaidah dan Ushul Fikih madzhab Syafi'i
Daftar Isi
- KAIDAH KEEMPAT: ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر (Jika tidak disyaratkan menentukan secara global, dan tidak secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat)
- KAIDAH KELIMA: مقاصد اللفظ على نية اللافظ (Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya)
- KAIDAH KEENAM: اليقين لا يزال بالشك (Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan)
- KAIDAH KETUJUH: اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ (Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu)
- DOWNLOAD
- Kembali ke: Terjemah Kaidah dan Ushul Fikih (Mabadi Awaliyah)
KAIDAH KEEMPAT
ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
“Jika tidak disyaratkan menentukan secara global, dan tidak secara terperinci, maka ketika seseorang menyatakannya dan ia salah, maka hal itu tidak akan menjadikannya madharat”
Misalnya :
1. Kesalahan menyatakan tempat sholat, maka ketika seseorang niat sholat dzuhur di Mesir dan ternyata ia berada di Mekkah, maka tidaklah batal sholatnya, karena niat sholatnya sudah ada, dan ta‟yin (menyatakan) tempat itu bukanlah sambungan dari niat sholat baik secara global maupun terperinci.
2. Kesalahan dalam menyatakan masa sholat, maka ketika seseorang niat melaksanakan sholat „Ashar pada hari Kamis tapi ternyata hari Jum‟at, maka sholatnya itu tidak batal.
3. Kesalahan ta‟yin (pernyataan) Imam tentang ma‟mum yang ada dibelakangnya, maka jika seseorang berniat menjadi imamnya Zaid tapi ternyata yang jadi ma‟mum adalah umar, maka sholat imam itu tidak menjadinya madharat (tidak batal) hal itu karena tidak adanya syarat bagi imam untuk menentukan siapa ma‟mumnya, dan tidak juga niat untuk menjadi imam.
KAIDAH KELIMA
مقاصد اللفظ على نية اللافظ
“Maksud lafadz (ucapan) itu tergantung orang yang melafadzkannya (mengucapkannya)”
Misalnya :
1. Jika seseorang mempunyai istri bernama “Thaliq” (yang dicerai), atau mempunyai budak perempuan bernama “Hurroh” (yang merdeka) maka ketika ia memanggil istrinya “Ya Thaliqu” (Hai perempuan yang dicerai), atau memanggil budak perempuannya “Ya Hurrotu” (Hai budak yang merdeka), jika ketika ia memanggil bertujuan untuk menthalaq istrinya atau memerdekakan budaknya, maka terjadilah keduanya itu, tetapi jika hanya untuk memanggil saja maka tidaklah menjadi apa-apa.
2. Jika seseorang mengulang-ulang lafadz thalaq sebanyak tiga kali untuk menthalaq istrinya dengan tidak ada huruf athafnya, maka jika ia bertujuan mengulangi lafadz itu dengan memulai dari awal, maka jatuhlah thalaqnya tiga, tetapi jika hanya mentaukidkannya (memperkuat) saja maka thalaq nya hanya jatuh satu. 3. Jika seseorang membaca dalam sholat dengan bacaan Al-Qur‟an dan tidak berniat selain membacanya, maka itu hukumnya jelas, tetapi jika ia bertujuan untuk memberikan faham kepada orang lain saja, maka batal sholatnya, tetapi jika ia berniat dua-duanya maka sholatnya tidak batal, dan ketika seseorang memutlakannya maka Qaul yang lebih Shahih berpendapat bahwa sholatnya itu batal seperti firman Allah Swt dalam surat al-Hijr : 46
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
"Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh."
4. Ketika seseorang mengiringi niatnya dengan ucapan “Insya Allah” maka ketika ia berniat untuk menggantungkannya maka batallah niatnya itu, tetapi jika untuk mengharap berkah maka tidaklah menjadi batal, atau hanya memuthlakkannya saja (tidak menggantungkan tidak juga mengharap berkah), maka Qaul yang lebih shahih menentukan bahwa hukumnya batal.
Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
“Jika salah satu diantara kamu ragu dalam sholatnya dan tidak mengetahuinya apakah ia telah sholat 3 raka‟at atau 4 raka‟at, maka sebaiknya ia meninggalkan keraguan itu dan sebaiknya berpegang pada apa yang diyakininya.” (HR. Muslim)
KAIDAH KEENAM
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak akan hilang oleh keraguan”
Misalnya :
1. Barang siapa ragu-ragu dalam hitungan sholatnya apakah 3 atau 4 maka peganglah 3 karena itulah yang lebih meyakinkan.
2. Barang siapa yakin dalam keadan suci dan ragu-ragu mempunyai hadats maka ia adalah suci.
3. Barang siapa yakin mempunyai hadats dan ragu-ragu dalam keadan suci, maka ia adalah orang yang mempunyai hadats.
Dan kaidah yang lain menyebutkan :
أن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين
“Sesungguhnya sesuatu yang tetap dengan keyakinan itu tidak akan hilang kecuali dengan keyakinan pula”
KAIDAH KETUJUH
اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Misalnya :
1. Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan ragu-ragu telah muncul fajar, maka sah puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya malam.
2. Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad, dan ia raguragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya, karena sesungguhnya asalnya adalah masih tetapnya siang.
3. Kedua suami istri hidup susah dalam waktu yang cukup lama, kemudian istrinya menggugat suaminya tidak pernah memberikannya pakaian, dan nafkah, maka ucapan yang dipegang adalah ucapan si istri itu, karena pakaian dan nafkah itu berada pada tanggungan suaminya dan suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan nafkah)
4. Suami istri yang berselisih/berseteru tentang masalah tamkin (perlakuan istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah ucapan suami, karena asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib bagi suami untuk memberikan nafkah, karena nafkah itu wajib jika adanya tamkin.
5. Seseorang yang telah membeli air kemudian menggugat bahwa air itu najis, dan hendak mengembalikannya, maka ucapan yang mesti dipegang adalah ucapan si penjual, karena sesungguhnya asalnya air itu adalah suci.
6. Seseorang yang meragukan air suci yang berubah, apakah perubahan itu sedikit atau banyak, maka air itu masih tetap suci.[alkhoirot.org]