Cara Niat dalam Ibadah
Nama kitab: Terjemah Kitab Kasyifatus Syaja Syarah Safinatun Naja
Judul
kitab asal: Kasyifat al-Saja Syarah Safinat al-Naja (كاشفة السجا شرح سفينة
النجا)
Pengarang: Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Nama
yang dikenal di Arab: محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي
Kelahiran:
1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Penerjemah:
Bidang
studi: Fiqih
- BAGIAN KEDELAPAN: HUKUM-HUKUM NIAT
- 1. Hakikat Niat
- 2. Tempat Niat
- 3. Waktu Niat
- 4. Hukum Niat
- 5. Kaifiah Niat
- 6. Syarat Niat
- 7. Tujuan Niat
- Kembali ke Terjemah Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja
BAGIAN KEDELAPAN HUKUM-HUKUM NIAT
فصل) في بيان أحكام النية وهي سبعة لكن ذكر منها ثلاثة فقال (النية) أي حقيقتها
شرعا (قصد الشيء مقترنا بفعله) فإن تراخى الفعل عن ذلك القصد سمي ذلك القصد عزما
لا نية وأما لغة فهي مطلق القصد سواء قارن الفعل أو لا
Fasal ini menjelaskan tentang hukum-hukum niat.
Hukum-hukum niat ada 7
(tujuh), tetapi Syeh Salim bin
Sumair al-Khadromi hanya menyebutkan 3
saja. Beliau berkata;
[Niat,] pengertiannya menurut istilah adalah [menyengaja
sesuatu
bersamaan dengan melakukan sesuatu tersebut.] Apabila
menyengaja
melakukan sesuatu, tetapi sesuatu tersebut akan
dilakukan di masa
mendatang, maka penyengajaan ini disebut
dengan ‘azm, bukan niat.
Adapun
niat menurut bahasa maka berarti mutlak
menyengaja perbuatan, baik
penyengajaannya bersamaan dengan
melakukan perbuatan itu atau tidak
bersamaan dengannya.
ومحلها القلب والتلفظ ا سنة) ليعاون اللسان القلب وسمي القلب قلبا لتقلبه في
الأمور كلها أو لأنه وضع في الجسد مقلوبا كقمع السكر وهو لحم صنوبري الشكل أي
شكله على شكل الصنوبر قاعدته في وسط الصدر ورأسه إلى الجانب الأيسر
[Tempat niat adalah di hati. Sedangkan melafadzkan
atau mengucapkan niat
adalah kesunahan] agar lisan membantu
hati.
Kata “ القلب ”
yang berarti hati bisa disebut dengan “ ”القلب
karena “ تَ قَ ل ب ” atau
terbolak-baliknya hati dalam segala macam
perkara atau urusan, atau
karena “ القلب ” atau hati diletakkan oleh
Allah di dalam tubuh dengan
posisi “ مَ قْ ل وب ” atau terbalik, seperti
gumpalan gula. Istilah “
القلب ” ini adalah daging yang bentuknya
seperti buah sanubar. Dasar
daging tersebut berada di tengah dada
dan ujungnya berada agak ke arah
kiri.
ووقتها) في الوضوء عند غسل أول جزء من الوجه) هكذا عبارة بعضهم بتقديم لفظ غسل
على لفظ أول وهو مرضى الشرقاوي نظرا إلى أن الواجب مقارنتها للفعل وعبارة بعضهم
بالعكس وهو مرضى البيجوري نظرا إلى أن المعتبر قر ا بأول الغسل
[Waktu melakukan niat] dalam wudhu adalah [ketika
membasuh pertama kali
bagian dari wajah.] Demikian ini adalah
pernyataan sebagian ulama yang
mengibaratkan waktu niat dalam
wudhu dengan mendahulukan kata membasuh
dan mengakhirkan
kata pertama kali. Pernyataan ini adalah pernyataan yang
disetujui
oleh Syeh Syarqowi karena melihat sisi pemahaman bahwa yang
wajib
adalah menyertakan niat dengan melakukan perbuatan.
Ulama lain
mengibaratkan dengan sebaliknya, yaitu
mendahulukan kata pertama kali dan
mengakhirkan kata membasuh
sehingga pernyataannya adalah “ketika pertama
kali membasuh
bagian dari wajah.” Pernyataan ini adalah yang disetujui
oleh Syeh
Baijuri karena melihat sisi pemahaman bahwa yang menjadi
titik
poin adalah menyertakan niat dengan pertama kali basuhan.
قال البيجوري ومما يعتبر قرن النية به ما يجب غسله من شعوره ولو الشعر المسترسل
لا ما يندب غسله كباطن لحية كثيفة ولو قص الشعر الذي نوى معه لم تجب النية عند
الشعر الباقي أو غيره من باقي أجزاء الوجه ولا يكتفي بقرن النية بما قبل الوجه من
غسل
الكفين والمضمضة أو الاستنشاق إن لم ينغسل معها جزء من الوجه كحمرة
الشفتين وإلا كفته مطلقا وفاته ثواب السنة مطلقا انتهى
Syeh Baijuri berkata, “Bagian yang harus dibasuh dengan
disertai niat
adalah bagian yang wajib dibasuh, seperti; rambutrambut
meskipun rambut
yang terurai, bukan bagian yang sunah
dibasuh, seperti; bagian dalam pada
jenggot yang lebat. Apabila
seseorang yang berkumis telah berniat wudhu
dan membasuh
wajahnya, kemudian ia mencukur kumis yang telah ia
sertakan
dengan niat wudhu, maka ia tidak wajib lagi berniat wudhu
kembali
pada sisa rambut kumisnya atau bagian lain wajahnya yang telah
diniati
dengan niat yang pertama. Tidak cukup menyertakan niat
wudhu dengan
basuhan sebelum membasuh wajah, seperti
membasuh kedua telapak tangan,
berkumur, menghirup air ke dalam
hidung, dengan catatan apabila bagian
wajah tidak ikut terbasuh,
seperti merah-merah dua bibir. Apabila bagian
wajah tersebut sudah
ikut terbasuh bersamaan dengan berkumur dan lainnya
maka niatnya
sudah mencukupi secara mutlak dan pahala kesunahan
(pahala
berkumur dan lainnya) terlewatkan secara mutlak.”
ووقتها في غيره أول العبادات إلا في الصوم فإ ا متقدمة عليه لعسر مراقبة الفجر
والصحيح أنه عزم قام مقام النية
Waktu berniat selain dalam wudhu berada di awal ibadahibadah
kecuali
dalam puasa karena niat dalam puasa lebih dahulu
dilakukan sebelum
melakukan puasa itu sendiri karena sulitnya
mengetahui terbitnya fajar
secara pasti. Menurut pendapat shohih,
niat dalam puasa disebut dengan
‘azm yang menempati kedudukan
niat.
وأما حكمها فهو الوجوب غالبا ومن غير الغالب قد تندب كما في غسل الميت
Adapun hukum niat pada umumnya adalah wajib. Terkadang
juga dihukumi
sunah, seperti berniat memandikan mayit.
وكيفيتها تختلف باختلاف المنوي كالصلاة والصوم وهكذا
Kaifiah atau tata cara niat adalah sesuai dengan apa yang
diniatkan,
seperti; niat sholat, niat puasa, dan sebagainya.
وشرطها إسلام الناوي وتمييزه وعلمه بالمنوي وعدم إتيانه بما ينافيها بأن يستصحبها
في القلب حكما وأن لا تكون معلقة فإن قال إن شاء الله تعالى فإن قصد التعليق أو
أطلق لم تصح أو التبرك صحت
Syarat niat adalah bahwa orang yang berniat beragama
Islam, telah tamyiz,
mengetahui apa yang diniatkan, tidak melakukan
perkara yang dapat merusak
niat sekiranya ia melangsungkan terus
niat di dalam hati secara hukum,
tidak menggantungkan (ta’liq) niat,
misalnya ia berkata, “Apabila Allah
berkehendak maka saya berniat
(misal) menghilangkan hadas…” Apabila ia
menyengaja ta’liq atau
memutlakkan maka niatnya tidak sah. Adapun apabila
ia menyengaja
tabarrukan atau mengharap barokah maka niatnya sah.
والمقصود بها تمييز العبادة عن العادة كتمييز الجلوس للاعتكاف عن جلوسه للاستراحة أو تمييز رتبتها كتمييز الغسل الواجب من الغسل المندوب
Tujuan niat adalah untuk membedakan antara ibadah dan
kebiasaan, seperti
membedakan antara manakah yang namanya
duduk di masjid karena niatan
i’tikaf dengan duduk di masjid karena
beristirahat, atau untuk membedakan
tingkatan ibadah, seperti niat
melakukan mandi wajib atau mandi sunah.
وقد نظم تلك الأحكام السبعة بعضهم قيل هو ابن حجر العسقلاني وقيل التتائي من بحر الرجز في قوله: سبع شرائط أتت في ني ** تكفي لمن حوى لها بلا وسن حقيقة حكم محل وزمن ** كيفية شرط ومقصود حسن قوله: شرائط بالصرف للضرورة. وقوله: وسن بفتحتين معناه نعاس وهو تتميم للبيت، وكذا قوله حسن وفيه إشارة إلى أنه يحسن أن يقصد الإخلاص في العبادة.
Tujuh hukum niat di atas telah dinadzomkan oleh sebagian
ulama. Ada yang
mengatakan bahwa ia adalah Ibnu Hajar al-
Asqolani. Ada juga yang
mengatakan bahwa ia adalah at-Tatai.
Nadzom tersebut berpola bahar
rojaz;
Tujuh syarat yang ada dalam niat ** mencukupi seseorang yang
mengetahuinya
tanpa mengantuk.
[1] Hakikat [2] Hukum [3] Tempat [4] Waktu ** [5] Kaifiah atau tata cara
[7]
Syarat dan [6] Tujuan.
Perkataan dalam nadzom “ شرائط ” adalah dibaca
dengan
tanwin karena dhorurot. Perkataannya, “ وسَ ن ” adalah dengan
dua
fathah yang berarti kantuk. Lafadz “ وسن ” adalah pelengkap bait.
Begitu
juga lafadz “ حَسَن ” adalah pelengkap bait yang mengandung
indikasi
bahwa sebaiknya seseorang menyengaja ikhlas dalam
beribadah.
تنبيه) في الترتيب قال (والترتيب أن لا يقدم عضوا على عضو) بضم العين أشهر من
كسرها
وهو كل عظم وافر من الجسد أي حقيقة الترتيب وضع كل شيء في مرتبته
[TANBIH]
Dalam lafadz “ الترتيب ”, Syeh Salim bin Sumair al-Khadromi
berkata dalam
mendefinisikannya;
والترتيب أن لا يقدم عضوا على عضو
[Tertib adalah mutawaddik tidak mendahulukan anggota tubuh
yang
seharusnya diakhirkan dari anggota tubuh yang
seharusnya didahulukan.]
Lafadz
“ عضو ” dengan dibaca dhommah pada huruf / ع/ yang
lebih masyhur daripada dengan mengkasrohnya adalah setiap tulang
yang
utuh dari tubuh atau jasad. Maksudnya, pengertian tertib adalah
meletakkan
setiap sesuatu sesuai dengan tingkatannya. (Misalnya
apabila seseorang
berwudhu dengan membasuh kedua tangannya
terlebih dahulu, kemudian ia
baru membasuh wajah maka ia tidak
melakukan tertib).
قال الحصني وفرضيته مستفادة من الآية إذا قلنا الواو للترتيب وإلا فمن فعله وقوله
صلى الله عليه وسلّم إذ لم ينقل عنه عليه الصلاة والسلام أنه توضأ إلا مرتباً،
ولأنه عليه الصلاة والسلام قال بعد أن توضأ مرتبا هذا وضوء لا يقبل الله الصلاة
إلا به أي بمثله رواه البخاري
Syeh al-Hisni berkata, “Kewajiban tertib dalam wudhu
adalah berdasarkan
ayat al-Quran Surat al-Maidah ayat 6, yaitu
apabila kita mengatakan bahwa
huruf athof wawu dalam ayat
tersebut berfaedah tertib. Jika tidak dengan
perkiraan seperti ini,
maka berdasarkan perbuatan dan sabda Rasulullah
shollallahu
‘alaihi wa sallama karena belum pernah diketahui kalau beliau
tidak
berwudhu kecuali secara tertib dan setelah itu beliau bersabda,
“Ini
adalah wudhu yang Allah tidak akan menerima sholat kecuali dengan
wudhu,”
yang sama seperti ini. Hadis ini diriwayatkan oleh
Bukhari.”[alkhoirot.org]