Bab Puasa Fathul Muin
Judul kitab asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari Al-Malibari Al-Hindi
Nama di dunia Arab: (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah:
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i
Daftar isi
- Bab Puasa
- Rukun / Fardu Puasa
- Yang Membatalkan Puasa
- Hukum Tidak Puasa Ramadan
- Sunahnya Puasa
- Puasa Sunnah
- Kembali ke Terjemah kitab Fathul Muin
باب الصوم وهو لغة: الامساك. وشرعا: إمساك عن مفطر بشروطه الآتية. وفرض في شعبان، في السنة الثانية من الهجرة. وهو من خصائصنا، ومن المعلوم من الدين بالضرورة (يجب صوم) شهر (رمضان) إجماعا، بكمال شعبان ثلاثين يوما، أو رؤية عدل واحد، ولو مستورا هلاله بعد الغروب، إذا شهد بها عند القاضي، ولو مع إطباق غيم، بلفظ: أشهد أني رأيت الهلال، أو أنه هل. ولا يكفي: قوله: أشهد أن غدا من رمضان. ولا يقبل على شهادته إلا بشهادة عدلين، وبثبوت رؤية هلال رمضان عند القاضي بشهادة عدل بين يديه - كما مر - ومع قوله ثبت عندي: يجب الصوم على جميع أهل البلد المرئي فيه، وكالثبوت عند القاضي: الخبر المتواتر برؤيته، ولو من كفار، لافادته العلم الضروري، وظن دخوله بالامارة الظاهرة التي لا تتخلف عادة: - كرؤية القناديل المعلقة بالمنائر -
BAB PUASA
Menurut lughat, lafal الصوم artinya “menahan”. Sedang menurut istilah syarak
adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dengan
syarat-syarat yang dituturkan di bawah ini.
Perintah-perintah mengerjakan puasa difardukan pada bulan Sya’ban tahun ke-2
Hijriah. Puasa itu sendiri termasuk kekhususan umat Islam, dan ma’lum dharuri
(hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan sudah tidak menerima
interpretasi lagi, scbab dalilnya adalah “qadi’yah”. Sehingga orang yang
mcnentang kewajiban puasa bukumnya kafir -pen).
Secara ijmak, wajib mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, karena telah
berakhur — tanggal 30 Sya’ban atau terlihat tanggal 1 Ramadhan oleh seorang
yang adil, setelah terbenam matahari, sekalipun adilnya Mastur (orang yang
tidak mengerjakan kefasikan dan belum ditazkiyahkan -pen). Penglihatan bulan
tersebut sekalipun terjadi karena tertutup awan di langit Kewajiban tersebut
jika memang ia telah mempersaksikan di depan Qadhi, bahwa ia telab melhatnya
(syarat terakhir ini berkaitan dengan orang banyak/umum, kalau untuk dirinya
sendiri atau orang yang telah membenarkannya, maka penyaksiannya tersebut
tidak disyaratkan -pen).
Penyaksian tersebut dengan: “Saya
bersaksi, bahwa sungguh saya telah melihat hilal atau saya bersaksi bahwa
sungguh hilal telah tampak”. Belum cukup jika dengan kata-kata: “Saya
bersaksi, sungguh besok adalah bulan Ramadhan”. Penyampaian syahadah
(persaksian) tersebut tidak bisa diterima, kecuali disaksikan oleh dua orang
yang adil.
Setelah ada ketetapan hilal Ramadhan yang disaksikan oleh seorang yang adil di
depan Qadhi, seperti keterangan yang lewat, dan Qadhi menetapkan melalui
perkataannya: “Penglihatan hilal telah kuat di sisiku (atau aku telah
menguatkan persaksiannya)”, maka wajiblah berpuasa bagi segenap penduduk yang
hilalnya telah tampak.
Seperti balnya kekuatan hukum ketetapan Qadhi atas persaksian di depannya
tersebut, adalah berita mutawatir, bahwa hilal telah tampak, sekalipun berita
itu datang dari orangorang kafir. Sebab, berita mutawatir itu dapat membawa
pengetahuan yang dharuri (pasti, bukan rekayasa). Begitu juga kekuatan hukum
perkiraan, bahwa telah masuk Ramadhan dengan tanda-tanda cukup jelas, yang
biasanya tidak keliru. Misalnya, dengan melihat lampulampu yang digantung di
atas menara. Orang yang fasik, budak dan wanita wajib mengerjakan puasa sebab
mereka sendiri melihat hilal.
Begitu juga wajib berpuasa bagi orang yang mengiktikadkan kebenaran
pemberitaan orang fasik atau murahig (orang yang mendekati akil balig), bahwa
mereka telah melihat hilal dengan mata kepala sendiri, atau bahwa hilal telah
tampak di daerah lain, yang sama mathla’-nya . Kewajiban yang berpangkal dari
pemberitaan orang fasik dan seterusnya, adalah meliputi hubungannya dengan
awal ataupun akhir, demikianlah menurut pendapat Al-Ashah.
Menurut pendapat yang Muktamad: Hendaklah -bahkan wajibbagi : seseorang
berpedoman dengan tanda-tanda masuk bulan Syawal, jika ia meyakini kebenaran
tanda-tanda itu, sebagaimana difatwakan oleh dua Guru kita, Ibnu Ziyad dan
Ibnu Hajar (Al-Haitami), begitu juga pendapat segolongan ulama Muhaqqiqin.
Apabila penduduk daerah yang ada ketetapan awal Ramadhan berpuasa, sekalipun
berdasarkan dengan ru’yah seorang adil, maka setelah 30 hari mereka wajib
tidak berpuasa, sekalipun mereka tidak melihat tanggal 1 Syawal, serta tidak
ada awan di langit, sebab telah sempurna bilangan satu bulan berdasarkan Hujah
Syar’iyah.
Jika seseorang melakukan puasa berdasarkan ucapan orang yang dipercayai, lalu
setelah 30 hari ia tidak melihat tanggal 1 Syawal, padahal cuaca dalam keadaan
bersih, maka ia tidak boleh berbuka (berhari raya). Jika saksi ru’yah mencabut
persaksiannya setelah orang-orang berpuasa, maka mereka tidak boleh mencabut
puasanya (berbuka kembali).
Jika ru’yah telah terjadi di suatu daerah, maka hukumnya berlaku bagi daerah
yang berdekatan dengannya, bukan yang berjauhan. Tinjauan jauhnya adalah
ditetapkan dengan perbedaan Mathia’ (garis bujur) menurut pendapat Al-Ashah.
Yang dimaksudkan dengan perbedaan mathla’ adalah adanya dua daerah itu
berjauhan, sekira bilai dapat diru’yah dari daerah satu, tapi pada ghalibnya
tidak dapat diru’yah dari daerah lainnya: demikianlah yang dikatakan (oleh
Imam Al-Ardabili) di dalam kitab Al-Anwar.
Dalam hal ini Imam At-Tajut Tibrizi berkata, yang diakui oleh ulama lainnya:
Tidak mungkin terjadi perbedaan mathia’ dalara jarak 24 farsah. Imam As-Subki
memperingatkan, yang diikuti oleh nlama lainnya, bahwa jika ru’yah telah
terjadi di daerah timur, berarti ra’yah juga terjadi di daerah barat -bukan
sebaliknya-, sebab waktu malam datang dari daerah timur sebelum ke daerah
barat.
Kesimpulan dari pembicaraan fukaha. bahwa bila ru’yah telah terjadi di daerah
timur, maka selurah daerah barat terkena kewajiban melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan ru yah itu (berpuasa dan berhari raya), sekalipun berlainan
mathla’nya.
Puasa Ramadhan itu hanya diwajibkan pada setiap orang Mukallaf, – yaita balig
yang berakal sehat – yang mampu melakukannya, secara kenyataan dan syarak.
Karena itu, tidak diwajibkan bezpuasa bagi anak kecil, orang gila dan orang
yang tidak mampu melakukannya, karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak
bisa diharapkan kesembuhannya. Adapun bagi arang yang tidak kuat ini, terkena
kewajiban membayar satu mud untuk setiap hari puasa: Tidak diwajibkan membayar
mud bagi wanita yang sedang haid atau nifas, sebab secara syarak mereka
dianggap mampu.
Makan sahur belum dianggap mencukupi sebagai niat, sckalipun dimaksudkan untuk kekuatan berpuasa. Begitu juga dengan perbuatan menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, karena khawatir jangan-jangan telah masuk fajar, selagi belum tergores di dalam hati untuk berpuasa dengan sifatsifat yang wajib dinyatakan (ta’arrudh) dalam berniat.
Niat itu harus dilakukan setiap hari berpuasa. Karena itu, jika seseorang berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka dianggap belum mencukupi untuk selain hari pertama. Guru kita berkata: Tapi hal itu sebaiknya dilakukan, agar pada hari di mana seseorang lupa berniat di malamnya tetap berhasil puasanya menurut Imam Malik (sebab beliau berkata, bahwa niat puasa tidak diwajibkan untuk tiap-tiap malam -pen). Sebagaimana disunah berniat di pagi hari bagi seseorang yang lupa berniat di malam harinya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Abu Hanifah.
Sudah jelas, bahwa keberhasilan puasa dalam hal itu adalah bagi orang yang bertaklid (kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah), kalau tidak, maka ia berarti mencampuradukkan ibadah yang fasad menurut iktikadnya sendiri. Untuk puasa fardu -sekalipun puasa nazar, membayar kafarat atau juga puasa yang diperintahkan oleh imam ketika akan salat Istisga’disyaratkan Tabyit, yaitu meletakkan niat di malam hari antara terbenam matahari hingga terbit fajar, sekalipun puasa itu dilakukan oleh anak Mumayiz.
Guru kita berkata: Jika seseorang meragukan atas terjadinya niat sebelum atau sesudah fajar, maka niatnya dihukumi tidak sah, sebab pada dasarnya niat tidak terjadi di malam hari. Sebab, dasar segala hal yang terjadi itu diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya apabila ia sudah berniat puasa, lalu meragukar “Sadah terbit fajar atau helum keuka berniat”, karena pada dasarnya fajar apa belum terbit. pijakannya adalah “ashal yang telah tersebutkan di atas” -habis(Perbedaan dua masalah di atas: Kalau pada contoh/ masalah pertama keraguan terjadi setelah nyata-nyata terbit fajar, sedang pada contoh kedua, keraguan terjadi sebelum nyata-nyata terbit fajar -pen).
Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah niat dan sebelum terbit fajar, adalah tidak membatalkan niat. Memang, tapi jika niat tersebut telah ia rusak : sebelum terbit fajar, maka dengan pasti membutuhkan perbaikan kembali
Disyaratkan dalam puasa fardu, yaitu Ta’yin (menentukan), misalnya berniat puasa “Ramadhan, nazar atau kafarat”, Yaitu dengan cara setiap malam berniat, bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, sekalipun tidak menyatakan sebab kafarat. Karena itu, jika seseorang berniat fardu puasa atau kefarduan waktu, maka belum dianggap cukup.
Memang, tapi jika seseorang mempunyai tanggungan qadha Ramadhan dua kali, nazar atau kafarat, yang keduanya dari berbagai sebab, maka Ta’yin tidak disyaratkan, karena kewajiban-kewajiban di sini adalah tunggal jenisnya (yaitu kemutlakan Ramadhan, nazar atau kafarat -pen).
Dikecualikan dari syarat Tabyit dalam puasa fardu, jika puasa itu adalah sunah. Karena itu, puasa sunah, sekalipun yang ditentukan waktunya, tetap niatnya dilakukan sebelum tergelincir matahari, demikian ini berdasarkan hadis sahih. Dengan adanya syarat Ta’yin pada puasa fardu, maka pada puasa sunah tidak menjadi syarat juga. Karena itu, puasa sunah, sekalipun ditentukan oleh waktu, adalah sah niatnya tanpa Ta’yin, sebagaimana pedoman yang tidak hanya dipegang satu ulama saja.
Memang, tapi Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ membahas syarat Ta’yin dalam puasa Rawatib, misalnya hari Arafah dan yang bergandingan dengannya: Maka puasa qadha, nazar atau kafarat tidak bisa berhasil bersama puasa Rawatib, sekalipun telah diniatkan. Bahkan yang sesuai dengan kias, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Asnawi, bahwa niat sekaligus dua puasa seperti dalam masalah di atas, adalah batal. Hal ini sama dengan masalah orang niat salat Zhuhur serta salat sunahnya, atau salat Zhuhur dengan sunah Asar.
Minimal niat yang dapat mencukupi dalam puasa: Aku niat berpuasa Ramadhan, sekalipun tanpa menyebutkan “fardu”, menurut pendapat Al-Muktamad, sebagaimana penyahihan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’, yang mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Sebab, puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang balig itu mesti fardu. Kesimpulan pembicaraan : Ar-Raudhah dan Al-Minhaj, menyebutkan fardu itu adalah wajib. Begitu juga, niat telah mencukupi tanpa menyebutkan “besok hari”. Kedua guru kita (Imam Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) berkata: Lafal “besok hari” itu sudah masyhur dalam pembicaraan ulama, dalam menafsiri Ta’yin.
Pada hakikatnya, penyebutan “besok hari” itu bukanlah terrnasuk batas ta’yin, karena itu, tidak wajib dijelaskan secara khusus, tetapi justru sudah telah tercakup maknanya dalam niat puasa, di mana penyebutan bulan sudah ada, Sebab, sudah berhasil ta’yin manakala disebutkan bulannya (Ramadhan). Akan tetapi kesimpulan pembicaraan Guru kita, seperti juga Imam Al-Muzjad, bahwa menyebutkan “besok hari” adalah wajib.
Niat yang paling sempurna adalah “Saya niat berpuasa besok hari, sebagai penunaian fardu Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala”. Lafal رمضان adalah dibaca jar, karena diidhafatkan pada lafal setelahnya. Secara sepakat, bahwa niat seperti di atas adalah sah. . Imam Al-Adzra’i membahas, bahwa jika seseorang masih mempunyai tanggungan puasa seperti yang akan dikerjakannya, misalnya qadha Ramadhan sebelumnya, maka hukumnya wajib menjelaskan tunai atau ta’yin tahun mana yang dimaksudkan.
Adalah batal puasa orang yang sengaja mengerjakan:Semacam jimak atau mqkan,
bukan yang sedang lupa, bahwa ia sedang berpuasa, sekalipun jimak, makan dan
sesamanya yang dilakukan adalah banyak. Orang tersebut mengerti, bahwa hal itu
membatalkan puasa, lain halnya jika ia tidak mengerti, bahwa yang dikerjakan
itu . dapat membatalkannya, karena baru saja mengenal Islam atau hidupnya di
hutan belantara yang jauh dari orang yang mengetahui hal itu. Orang tersebut
dalam keadaan bebas, bukan orang yang dipaksa, dan apa yang dilakukan bukan
merupakan maksud hati dan pikirannya, serta tidak enakenak dengan yang
dilakukannya. Batal puasa sebab melakukan jimak.
Melakukan onani, sekalipun dengan tangan sendiri atau istri/ wanita amatnya,
atau dengan persentuhan tanpa tabir yang dapat membatalkan puasa. Puasa tidak
batal sebab mencium atau memukul wanita dengan bertabir, sekalipun berulang
kali, syahwat dan tabirnya tipis. Karena itu, jika laki-laki merangkul atau
mencium wanita tanpa terjadi persentuhan badan, karena ada tabir yang
menghalangi keduanya, lalu mengeluarkan sperma, maka puasa tidak batal,
sebagaimana keluar sebab bermimpi di waktu tidur atau keluar mani sebab
pandangan atau melamun.
Jika seorang laki-laki menyentuh wanita mahramnya atau rambut seorang wanita,
lalu keluarlah sperma, maka puasanya tidak batal, sebab wudu tidak batal sebab
hal itu. Keluar air madzi tidak membatalkan puasa, lain halnya dengan pendapat
ulama-ulama Malikiyah.
Sengaja bermuntah-muntah, walaupun tidak sedikit pun muntah yang kembali masuk
perutnya, misalnya ia sengaja membuat muntah dengan cara menungging, Kalau ada
yang masuk ke perut dengan sengaja, maka puasanya menjadi batal, sebab
kesengajaannya memuntah itu sendiri sudah membatalkan.
Adapun bila muntah itu terjadi tanpa bisa diatasi lagi (ditahan), serta tidak
ada yang masuk ke perut atau tidak ada air ludah yang terkena najis sebab
bercampur muntah itu kembali setelah melewati batas daerah luar (tidak ada
muntahan yang kembali ke perut sama sekali, atau ada yang kembali, tapi
sebelum muntah itu melewati daerah luar -pen), atau ada yang masuk, tapi tanpa
diusahakan (terpaksa), maka puasa dalam keadaan yang seperti itu tidak batal.
Hal ini berdasarkan hadis sahih.
Puasa tidak batal sebab sengaja mengeluarkan lendir dahak perut atau dahak
otak ke daerah luar, jika dikcluarkannya karena keadaan membutuhkan antuk
berbuat demikian. Adapun jika lendir itu setelah sampai ke daerah luar, latu
ditelan lagi, padahal ia mampu untuk mendahakkannya, maka secara pasti
puasanya menjadi batal. Batas daerah luar adalah makhraj huruf kha’.
Jika ada lalat masuk ke perut orang yang berpuasa, maka secara mutlak (baik
akan membahayakan atau tidak dengan keberadaan lalat tersebut di dalam perut
-penj dengan mengeluarkannya kembali mengakibatkan puasanya menjadi batal, Ia
diperbolehkan mengeluarkan lalat tersebut, jika dengan tetapnya di dalam pcrut
mengakibatkan bahaya, serta ia wajib mengqadha puasanya. Demikian menurut
fatwa Guru kita.
Kemasukan benda yang tampak (bukan udara), sekalipun hanya sedikit -ke dalam
bagian yang disebut jauf (rongga dalam) orang yang tersebutkan di atas
(sengaja, tahu hukumnya dan tidak terpaksa). Contohnya ke dalam rongga perut,
hidung, saluran air kemih atau aur susu, sekalipun tanpa melewati kepala zakar
atau punting susu. Sampainya jari wanita di kala istinja hingga melewati
bagian vagina yang tampak ketika dalam posisi jongkok adalah membatalkan
puasa: Demikian juga dengan sampainya sebagian ujung jari hingga mencapai otot
lingkar. Begitulah yang dimutlakkar oleh Imam Al-Qadhi Husen.
Imam As-Subki membatasi, bahwa membatalkan puasa adalah sampainys sebagian
ujung jari ke otot lingkar (masrabah) yang berongga. Lam halnya dengan sampai
pada bagian depannya yang mengatup, maka tidak bisa disebut jauf: Ia
menyamakan hukum bagian depan masrabah dengan bagian depan saluran air kemih
laki-laki ketika digerakkan, malah masalah saluran air kemih ini lebih tidak
membatalkan puasa.
Putra Imam As-Subki berkata: Perkataan Imam
Al-Qadhi “untuk lebih hati-hati, hendaknya buang air besar di malam hari”,
maksudnya: melakukannya di malam hari adalah lebih utama daripada di siang
hari, agar tiada sesuatu yang masuk ke masrabahnya: bukan berarti diperintah
mengakhurkan berak sampai malam hari, sebab seseorang tidak akan diperintah
melakukan sesuatu yang membahayakan badannya.
Jika otot lingkar orang yang berpenyakit bawasir keluar, maka puasanya tidak
menjadi batal sebab kembali masuk otot tersebut: Demikian juga jika
memasukkannya dengan jari-jarinya, sebab hal itu karena keterpaksaan. Dengan
dasar keterpaksaan itu -sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita-, bahwa bila
ia terpaksa memasukkan jari tangannya beserta otot lingkar itu ke bagian
rongga dalam, maka puasanya tidak batal: Kalau tidak karena terpaksa, maka
puasanya batal, lantaran jari sampai ke rongga dalam.
Tidak termasuk “benda tampak”, yaitu bekas, seperti sampainya rasa makanan
pada tenggorokan orang yang mencicipinya. Tidak termasuk “orang sengaja yang
tahu hukumnya serta tidak terpaksa”, yaitu orang yang lupa bila sedang
berpuasa, bisa dimaklumi ketidaktahuannya, bahwa sampainya sesuatu ke rongga
dalam, adalah dapat membatalkan puasa, dan orang dipaksa: maka puasa mereka
tidak batal, lantaran sampainya sesuatu ke dalam rongga dalam, sekalipun
perkara yang dimakan terhitung banyak.
Jika ia mengira bahwa makan karena terpaksa adalah membatalkan puasa, Jalu ia
makan lagi karena tidak tahu atas kewajiban meneruskan puasanya, maka puasanya
adalah batal. Jika ia sengaja membuka mulutnya di dalam air, lalu ada air yang
masuk ke jaufnya, atan menaruh air ke dalam mulutnya, lalu terlanyur masuk ke
jaufnya, maka batallah puasanya: Atau sengaja meletakkan sesuatu dalam
mulutnya, lalu menelannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Puasa tidak
batal sebab sampainya sesuatu ke batang hidung, kecuali telah melewati pangkal
hidung (janur irung -jawa).
Puasa tidak batal sebab menelan ludah yang masih murni kesuciannya, yang
ditelan dari sumbernya -yaitu seluruh daerah mulut-, sekalipun setelah
terlebih dahulu dikumpulkan dalam mulut -demikian menurut pendapat Al-Ashah-,
dan sekalipun pengumpulannya itu dilakukan setelah dirangsang dengan mengunyah
semacam kemenyan mustaka. Jika menelan air ludah yang terkumpul sendiri, maka
secara pasti tidak membatalkan puasa.
Dikecualikan dari “yang suci”, jika air ludah itu terkena najis dengan semacam
darah gusi, maka kalau ditelan, puasanya menjadi batal, sekalipun ludah tampak
jernih, dan pada umumnya tidak ada bekas campuran tersebut. Sebab, dengan
adanya larangan menelannya itu, maka statusnya seperti benda tanipak, yang
berasal dari selain dirinya.
Guru kita berkata: Jelaslah adanya kemakluman (ma’fu) bagi orang yang
mengalami penyakit pendarahan pada gusinya, sekira tidak mungkin dapat
memisahkan antara air ludah dengan darah: Sebagian ulama berkata: Bila orang
yang terkena penyakit tersebut menelannya, di mana ia tahu hal itu terjadi,
tapi ia tidak dapat menghindarinya, maka puasanya adalah sah.
Tidak termasuk “air ludah yang mumi”, yaitu air ludah yang telah tercampuri
benda cair lainnya: Maka puasa menjadi batal, jikalau ia menelan ludah yang
telah berubah sifatnya sebab bercampur semacam daun sirih (daun untuk susur),
sekalipun rasanya sulit untuk menghilangkannya, atau tercampur naftal benang
yang dipintal menggunakan mulutny. Tidak termasuk “dari sumbernya”, yaitu air
ludah yang telah keluar dari daerah mulut -bukan yang ada di lidahnya-,
sekalipun hanya keluar pada daerah bibir luar, lalu dijilat kembali dan
ditelannya.
Atau (kalau) ia membasah: benang atau siwak dengan ludahnya atau air, lalu
mengembalikan (menelan) ke mulutnya, dan ada basah-basah yang terlepas dari
benang atau siwak tersebut, lalu ditelannya, maka puasanya menjadi batal. Lain
halnya jika tidak ada basah-basab yang terlepas daripadanya, maka menelannya
tidak membatalkan puasa, karena basah-basah yang ada pada benang itu terlalu
sedikit atau benang dan siwak itu sudah diperas atau kering. Masalah ini sama
halnya dengan air bekas berkumur, sekalipun-dimungkinkannya untuk meludahkan
(mengeluarkan)nya, sebab menjaga air bekas berkumur itu rasanya sulit, kareni
itu seseorang tidak terbebani menyeka mulut dari air bekas berkumurnya.
Jika terdapat sisa makanan di sela-sela gigi orang yang berpuasa, lalu ikut
tertelan bersama ludah sebagaimana kebiasaannya -bukan sengaja menelannya-,
maka puasanya tidak batal, jika ia tidak bisa memisahkan makanan tersebut dan
mengeluarkannya. Sekalipun karena di malam hari ia tidak mencokilnya dan
mengetahui masih ada slilit makanan yang akan ikut tertelan bersama ludah di
siang hari. Karena terkena kewajiban memisahkan slilit dan mengeluarkannya
ketika berpuasa, jika memang kuasa melakukannya. Akan tetapi, sunah muakkad
mencukilnya, adalah setelah sahur.
Adapun jika ia mampu meludahkan, atau bila ia sengaja menelannya, maka secara
pasti puasanya batal. Perkataan sebagian ulama: “Wajib mencuci mulut dari apa
pun yang termakan di malam hari”, adalah ditolak oleh Guru kita. Puasa tidak
batal sebab terlanjur kemasukan air ke dalam jauf orang yang mandi semacam
janabah, misalnya haid dan nifas, bila mandinya dilakukan tanpa menyelam ke
air.
Karena itu, jika ia membasuh dua telinga ketika mandi janabah, lalu air masuk
ke jauf salah satu telinga itu, maka puasanya tidak batal, sekalipun (ia dapat
menghindari hal itu) dengan memiringkan kepalanya atau mandi sebelum terbit
fajar. Masalah ini seperti halnya air terlanjur masuk ke rongga orang yang
menyangatkan pencucian mulutnya yang kena najis, sebab penyangatan
(mubalaghah) dalam pencucian mulut di sini hukumnya wajib.
Lain halnya jika mandinya dilakukan dengan menyelam ke air, lalu terlanjur ada
air yang masuk ke jauf telinga atau hidung, sekalipun dalam mandi wajib, maka
puasanya batal, sebab menyelam itu adalah hukumnya makruh: Sebagaimana halnya
dengan keterlanjuran air kumur masuk ke jauf sebab mubalaghah, di mana ia
ingat sedang berpuasa dan mengerti bahwa hal situ tidak diperintahkan dalam
syarak (maka puasanya batal), Lain halnya jika keterlanjuran ar kejauf bukan
sebab mubalaghah ketika berkumur.
Tidak termasuk “mandi semacam janabah”, yaitu mandi sunah dan mandi untuk
menyegarkan badan, maka keterlanjuran air ke dalam di sini membatalkan puasa,
sekalipun tidak dilakukan sebab menyelam.
(فروع) يجوز للصائم، الافطار بخبر عدل بالغروب، وكذا بسماع أذانه، ويحرم للشاك الاكل آخر النهار حتى يجتهد ويظن انقضاءه، ومع ذلك الاحوط: الصبر لليقين. ويجوز الاكل إذا ظن بقاء الليل، باجتهاد أو إخبار، وكذا لو شك، لان الاصل بقاء الليل، لكن يكره، ولو أخبره عدل طلوع الفجر: اعتمده، وكذا فاسق ظن صدقه. ولو أكل باجتهاد أولا وآخرا فبان أنه أكل نهارا، بطل صومه، إذ لا عبرة بالظن البين خطؤه، فإن لم يبن شئ: صح. ولو طلع الفجر وفي فمه طعام فلفظه قبل أن ينزل منه شئ لجوفه: صح صومه، وكذا لو كان مجامعا عند ابتداء طلوع الفجر فنزع في الحال - أي عقب طلوعه - فلا يفطر وإن أنزل، لان النزع ترك للجماع. فإن لم ينزع حالا: لم ينعقد الصوم، وعليه القضاء والكفارة
Boleh berbuka berdasarkan berita dari seorang laki-laki adil, bahwa matahari sudah terbenam, demikian Juga berdasarkan pendengaran azan orang adil.
Haram bagi orang yang meragukan (siang telah berakhir), melakukan buka puasa di akhir siang hari, sampai ia telah berijtihad, serta dengan ijtihadnya itu ia berprasangka, bahwa siang hari telah berakhir, (Sekalipun ia boleh makan/ berbuka) dengan prasangkanya tersebut, yang lebih hati-hati adalah bersabar untuk mendapatkan keyakinan.
Boleh makan bila mempunyai perkiraan, bahwa malam masih ada berdasarkan ijtihadnya atau berita seorang laki-laki adil. Demikian juga jika masih ragu akan keberadaan malam, sebab dasar asalnya adalah malam masih ada, tapi makan dalam kasus seperti ini hukumnya adalah makruh. Kalau ada seorang laki-laki adil memberitakan atas terbit fajar, maka orang yang mendapatkan berita itu harus memegang teguh, dan demikian juga jika yang memberitakan adalah orang fasik yang diperkirakan kebenarannya.
Apabila berdasarkan ijtihadnya, seseorang lalu makan sahur atau berbuka, kemudian ternyata hal itu terjadi di siang hari, maka puasanya dihukumi batal, sebab perkiraan yang jelas-jelas keliru adalah tidak dapat dibuat dasar, Kalau ternyata tidak jelas kesalahannya, maka puasanya dihukumi sah.
Apabila fajar telah terbit, sedang di mulut seseorang masih tersisa makanan, kemudian ia mengeluarkannya sebelum ada yang masuk ke jauf, maka puasanya tetap sah. Demikian juga bila fajar mulai terbit, sedangkan ia masih dalam petsetubuhannya, lalu seketika itu ia melepaskannya, maka puasanya tidak batal, sekalipun injal (ejakulasi), sebab dengan dilepasnya, berarti meninggalkan persetubuhan, Kalau tidak dilepas seketika, maka puasanya tidak sah, serta ia wajib mengqadhanya dan membayar kafarat.
Boleh Berbuka Puasa Wajib (Boleh Tidak Berpuasa Wajib):
Sebab
sakit yang berbahaya dalam ukuran yang diperbolehkan bertayamum, sebagaimana
khawatir sakitnya bertambah parah jika ia berpuasa.
Dalam perjalanan yang diperbolehkan qashar salat, bukan perjalanan yang kurang
dari ukuran boleh qashar salat dan bukan safar (perjalanan) maksiat. Puasa
musafir yang tidak menjadikan mudarat adalah lebih baik daripada berbuka.
Sebab khawatir kerusakan (sakit atau binasa) jika berpuasa, baik dari haus
ataupun laparnya, sekalipun ia seorang yang sehat dan berada di rumah
(mukim).
Imam Al-Adzra’i mengemukakan, bahwa buruh-buruh tani dan sesamanya, mereka
wajib melakukan tabyit niat berpuasa (berniat puasa di malam hari), lalu jika
dari mereka mendapatkan masyagat yang sangat di siang harinya, maka mereka
boleh berbuka: dan jika tdak, maka tidak boleh berbuka puasa.
Wajib mengqadha puasa wajib yang belum terpenuhi, sekalipun karena uzur,
misalnya puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, yang kesemuanya lantaran sakit,
bepergian, tertinggal niatnya, haid atau nifas. Tidak wajib mengqadha puasa
sebab gila atau mabuk yang bukan akibat kesalahan.
Termaktub dalam kitab Al-Majmu’: Sesungguhnya mengqadha puasa hari syak (yaitu
tanggal 30 Sya’ban, yang ternyata telah masuk 1 Ramadhan) adalah wajib
seketika, sebab dalam keadaan seperti itu wajib imsak (menahan perkara-perkara
yang membatalkan puasa). Dalam hal ini segolongan fukaha meninjau, bahwa
secara pasti hukum orang yang meninggalkan niat puasa wajib imsak, akan tetapi
hukum mengqadha puasa di sini adalah tidak . harus seketika.
Wajib imsak bagi orang yang batal puasa Ramadhannya -bukan pada puasa nazar
atau qadha-, bila dibatalkannya ity tanpa ada uzur sakit atau bepergian Atau
batal sebab kekeliruan yang dilakukan, misalnya seseorang makan karena
menyangka masih malam (belum terbit fajar), lupa berniat puasa di malam hari,
atau berbuka di siang hari syak dan ternyata telah masuk bulan Ramadhan.
Kewajiban imsak yang tertutur di atas, adalah untuk menghormati kemuliaan
bulan Ramadhan.
Orang yang telah melakukan imsak seperti dalam kasus di atas, adalah belum
memenuhi puasa secara syariat, namun perbuatan itu mendapatkan pahala,
sehingga jika ia melakukan persetubuhan, maka hukumnya berdosa, tapi tidak
wajib membayar kafarat. Apabila di tengah hari orang yang sakit sembuh,
musafir tiba di rumah dan wanita haid telah suci, maka disunahkan agar
imsak.
Orang yang merusak puasanya dengan persetubuhan yang dianggap dosa sebab
sedang berpuasa, adalah wajib mengqadha puasanya dan membayar kafarat dengan
berlipat ganda, berapa hari puasa yang dirusaknya, sekalipun yang dirusak
kemarin belum dipenuhi kafaratnya. Kewajiban ini tidak terbebankan atas orang
yang merusak puasanya dengan onani atau makan (ia hanya wajib mengqadha puasa
saja),
Kafarat di sini adalah: memerdekakan seorang budak mukmin: kalau tidak mampu,
maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut: kalau tidak mampu berpuasa,
sebab sakit atau lanjut usia, maka wajib memberi makan 60 orang fakir atau
miskin sebesar 1 mud makanan pokok yang lumrah bagi setiap orang. Kewajiban
tersebut harus diniati membayar kafarat.
Tidak boleh memberikan kafarat kepada orang yang wajib ditanggung biaya
hidupnya.
Wajib bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena uzur, yang tidak bisa
diharapkan habisnya, misalnya lanjut usia atau sakit yang sudah tidak bisa
diharapkan kesembuhannya, memberi 1 mud makanan per hari, jika ia adalah orang
kaya, dan tidak wajib mengqadha puasanya, sekalipun setelah itu ia mampu
(kuat) berpuasa kembali, sebab di kala itu ia tidak terkena khithab berpuasa.
Karena itu, fidyah 1 mud tersebut merupakan kewajiban asal, bukan sebagai
ganti dari meninggalkan puasa.
Wajib fidyah dan qadha puasa bagi wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan
puasa karena mengkhawatirkan keadaan anak (atau kandungan, Jika yang
dikhawatirkan keadaan diri wanita itu, maka kewajibannya hanya qadha puasa
saja -pen).
Wajib membayar mud bagi orang yang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga
datang. bulan Ramadhan berikutnya, tanpa ada uzur -misalnya tidak ada safar
atau sakit yang ditanggungnya-. Satu mud itu untuk satu hari qadha puasa dalam
satu tahun penundaan, sehingga pembayaran mud menjadi berlipat ganda karena
penundaan qadha dalam beberapa tahun, begitulah menurut pendapat yang
Muktamad.
Terkecualikan dari ucapan kami “tanpa ada uzur”, yaitu jika penundaan qadha
puasa sebab ada uzur, misalnya terus-menerus dalam perjalanan, sakit atau
menyusui hingga masuk Ramadhan berikutnya, Karena itu, ia tidak dikenakan
kewajiban fidyah selama uzur itu, sekalipun sampai bertahun-tahun.
Jika seseorang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga datang Ramadhan
berikutnya, padahal ia sudah mampu menunaikannya, kemudian ia meninggal dunia,
maka dari harta peninggalan mayat harus diambil 2 mud untuk 1 qadha puasa,
yakni 1 mud sebagai ganti dari qadha dan yang 1 mud lagi sebagai fidyah
penundaan, Hal ini jika puasa ita tidak diqadhakan oleh kerabat atau orang
yang telah diberi izin oleh si mayat, Kalau puasa sudah diqadhakan, maka yang
wajib hanya 1 mud per hari sebagai fidyah penundaan saja.
Menurut kaul Jadid Imam As-Syafi’i: Tidak diperbolehkan mengqadhakan puasa
orang mati tersebut secara mutlak (baik sudah berkesempatan mengqadha atau
belum, dan baik dalam meninggalkan puasa tersebut sebab ada uzur atau tidak
-pen), tapi cukup dikeluarkan fidyah 1 mud per hari qadha dari harta
peninggalannya. Demikian pula berlaku untuk puasa nazar dan kafarat.
Imam An-Nawawi sebagaimana dengan golongan ulama Muhaqqiqin, berpendapat
membenarkan pendapat kaul Qadim yang menyatakan, bahwa tidak ditentukan harus
membayar fidyah bagi orang yang mati, tapi bagi sang wali boleh melakukan
puasa qadha atas mayat itu, kemudian, jika si mayat meninggalkan harta, maka
wajib mengerjakan salah satunya (mengqadha atau membayar fidyah), kalau tidak
meninggalkan harta benda, maka baginya sunah mengerjakan salah satunya.
Fidyah-fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin: dan baginya boleh
memberikan seluruh mudnya kepada seorang saja.
Menurut pendapat segolongan ulama Mujtahidin, bahwa salat itu harus diqadha atas nama mayat, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan lainnya. Dari sini pendapat tersebut lantas dipilih oleh segolongan dari ulama-ulama kita (mazhab Syafi’i). Qadha salat atas mayat pernah dikerjakan oleh Imam As-Subki kepada kerabatkerabatnya. Imam Ibnu Burhan menukil pendapat kaul Qadim, bahwa bagi sang wali berkewajiban mengerjakan salat atas (qadha) mayat, sebagaimana mengqadha puasanya, jika si mayat meninggalkan harta.
Berdasarkan pendapat Asy-Syafi’iyah, dan pendapat ini menjadi pedoman kebanyakan ulama, bahwa bagi sang wali bolch membayar 1 mud untuk fidyah satu salat. Imam Al-Muhib Ath-Thabari berkata: Semua ibadah, baik wajib atau sunah yang dikerjakan atas nama mayat, adalah pahalanya bisa sampai kepadanya.
Dalam kitab Syarhil Mukhtar, pengarangnya berkata: Menurut pendapat Ahlusunah, bahwa bagi manusia dapat menjadikan amal dan salatnya kepada orang lain, dan pahalanya bisa sampai kepadanya.
Sunnahnya Puasa (Perkara yang sunnah dilakukan saat puasa)
Sunah bagi orang yang berpuasa Ramadhan atau lainnya:
Makan sahur dan melakukannya di akhir waktu, selagi tidak terjadi waktu syak
(keraguan atas terbit fajar). Kesunahan makan sahur tersebut adalah dengan
buah kurma, berdasarkan hadis. Kesunahan makan sahur juga sudah bisa
didapatkan dengan meminum seteguk air.
Kesunahan makan sahur waktu mulai tengah malam. Sedangkan hikmahnya, adalah
menghimpun kekuatan menyelisihi perbuatan ahli kitab, di sini ada dua
pendapat. Menggunakan harum-haruman di Waktu sahur (baik di bulan Ramadhan
ataupun lainnya).
Tajil buka (segera berbuka puasa) bila diyakini sudah terbenam matahari.
Terbenam matahari di tempat ramai atau padang belantara yang bergunung-gunung
bisa diketahui dengan kelenyapan berkas sinar matahari dari atas pagar atau
puncak gunung.
Berbuka terlebih dahulu sebelum mengerjakan salat Magrib, jika seseorang tidak
khawatir akan tertinggal jamaah atau takbiratul ihram.
Berbuka puasa dengan memakan buah kurma, sebab hal ini diperintahkan, dan yang
lebih sempurna : adalah makan tiga butir. Kalau tidak bisa mendapatkan buah
kurma, maka yang disunahkan berbuka dengan beberapa teguk air, sekalipun
berupa air zamzam.
Kemudian, jika bertentangan antara bersegera buka dengan air dan mengakhirkan
buka dengan kurma, maka menurut penjelasan Guru kita, yang lebih baik adalah
bersegera buka dengan air. Beliau juga berkata: Jelaslah bahwa antara berbuka
dengan buah kurma yang banyak syubhatnya dan dengan air yang sedikit
syubhatnya, adalah lebih utama dengan air.
Dua Guru kita (Imam Rafi’i dan Nawawi) berkata: Tiada hidangan berbuka yang
lebih utama setelah kurma dan air, Maka ucapan Imam Ar-Rauyani, bahwa manisan
itu lebih utama daripada air, adalah pendapat yang lemah, sebagaimana ucapan
Imam Al-Adzra’i, bahwa buah anggur itu sepadan dengan kurma. Imam Al-Adzra’i
berkata demikian karena pada ghalib (kebiasaan)nya buah anggur itu mudah
didapatkan di Madinah.
Sesudah berbuka berdoa: Allahumma … dan seterusnya (Ya, Allah, untuk-Mu-lah
kami berpuasa, dan dengan rezeki-Mu-lah kami berbuka). , Bagi yang berbuka
dengan air, adalah sunah menambah doanya: Dzahaba … dan seterusnya (Haus telah
hilang, urat-urat telah segar kembali, dan pahala puasa ada di sisi-Mu, insya
Allah Ta’ala). Melakukan mandi semacam janabah sebelum terbit fajar, agar
dengan begitu tidak terjadi ada air yang masuk ke jauf semacam telinga atau
dubur.
Guru kita (Ibnu Hajar) berkata: Kesesuaian alasan tersebut adalah sampainya
air ke dalam ronggarongga tersebut dapat membatalkan puasa, sebagaimana yang
dapat kita tangkap pemahamannya (bukan secara umum). Hal ini berdasarkan
keterangan yang telah lewat, bahwa keterlanjuran air semacam berkumur yang
diperintahkan syarak atau air pencuci mulut yang terkena najis, adalah tidak
membatalkan puasa, sebab dianggap suatu uzur. Karena itu, masalah sampai air
ke rongga hidung atau dubur membatalkan puasa, adalah diarahkan pada
mubalaghah (penyangatan) yang dilarang adanya.
Sunah menghindari makanan yang syubhat, dan menahan diri dari menuruti
kehendak hawa nafsu yang mubah, baik berupa suara, pandangan mata, menyentuh
bau-bauan atau membaunya. Jika terjadi pertentangan antara kemakruhan
menyentuh harumharuman bagi orang yang sedang berpuasa dengan kemakruhan
menolak (hadiah) harum-haruman, maka yang lebih utama adalah menghindari
menyentuhnya, sebab kemakruhan memegangnya dapat mengurangi pahala puasa.
Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Hilyah berkata: Yang lebih utama bagi orang
yang sedang berpuasa .adalah tidak memakai celak mata.
Makruh bersiwak setelah tergelincir matahari dan sebelum matahari terbenam,
sekalipun baru bangun dari tidur atau setelah makan makanan yang berbau busuk
karena lupa. Dalam hal ini segolongan ulama berkata: Bersiwak dalam hal ini
adalah tidak makruh, dan bahkan disunahkan jika mulut berbau busuk, karena
semisal bangun dari tidur.
Termasuk sunah muakkad bagi orang yang berpuasa, adalah menjaga lisan dari
perkara yang diharamkan, misalnya berdusta, menggunjing dan memaki-maki, sebab
perbuatan itu dapat menghilangkan pahala puasa, sebagaimana yang diterangkan
oleh para ulama dan ditunjukkan oleh beberapa hadis sahih, yang telah dinash
oleh Imam Asy-Syati’i dan Ashhabnya, serta diakui oleh Imam Nawawi dalam kitab
Al-Majmu’.
Berdasarkan penjelasan ulama di atas, maka tertolaklah pembahasan Imam
Al-Adzra’i, bahwa pahala puasa tetap bisa didapatkan, namun menanggung dosa
dari perbuatan maksiat itu. Sebagian para ulama berkata: Ucapan haram
seseorang dapat membatalkan puasanya, yaitu sebagai hukum kias terhadap mazhab
Ahmad mengenai hukum mengerjakan salat di tempat hasil gasab.
Jika seseorang yang berpuasa dimaki Oleh orang lain, maka hendaknya ia
mengatakan (dalam hati) -sekalipun puasa sunah-: “Sungguh aku sedang
berpuasa”, sebanyak dua atau tiga kali, sebagai peringatan yntuk dirinya
sendiri. Bisa juga diucapkan dengan lisannya, sekira ia tidak disangka riya.
Jika ia ingin mencukupkan salah satunya, maka yang lebih utama adalah
diucapkan secara lisan.
Sunah Muakkad di bulan Ramadhan -utamanya di tanggal 10 yang akhir-, agar
memperbanyak sedekah, memberi. kelonggaran kepada keluarga dalam biaya,
berbuat kebajikan kepada kerabat dan tetangga, karena mengikuti tindak Nabi
saw.: Sunah juga memberi buka pada orang-orang yang berpuasa, jika mampu, dan
jika tidak mampu, maka cukuplah dengan memberi semacam minuman.
Sunnah muakkad memperbanyak bacaan Alqur-an selain bila berada dalam kamar
kecil, sekalipun di tengah jalan.
Sunah muakkad memperbanyak bacaan Alqur-an selain bila berada dalam kamar
kecil, sekalipun di tengah jalan. Waktu siang yang paling utama untuk membaca
Alqur-an, adalah setelah Subuh: Sedang untuk malam hari, adalah waktu sahur,
kemudian waktu antara Magrib dan Isyak, Membaca di malam hari adalah lebih
utama.
Sebaiknya orang yang membaca Alqur-an adalah menghayati isinya. Imam Abul
Laits berkata dalam kitab Al-Bustan (Bustanul ‘Arifin): Sebaiknya seseorang
mengkhatamkan Qur-an dua kali pertahun, jika memang tidak bisa lebih dari
itu.
Imam Abu Hanifah berkata: Barangsiapa yang setiap tahun mengkhatamkan Alqur-an
sebanyak dua kali, maka ja telah memenuhi hak Alqur-an. Imam Ahmad berkata:
Makruh mengulur waktu sekali mengkhatamkan Alqur-an sampai melebihi 40 hari
tanpa uzur, Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Umar.
Sunah muakkad memperbanyak mengerjakan ibadah dan iktikaf karena mengikuu
undak Nabi saw. Terutama pada 10 hari yang akhir: karena itu, menjadi muakkad
kesunahannya memperbanyak tiga hal di atas, karena ituba’ dengan Nabi saw,
Lafal. سِيَّمَا adalah dibaca tasydid ya’nya. Kadangkadang tidak ditasydid,
yang lebih ashah adalah lafal yang jatuh setelahnya dibaca (dii’rabi) jar,
serta diawali dengan huruf (لا سيما)لاsedang ما adalah huruf zaidah. Lafal
سيما menunjukkan bahwa hal yang terletak sesudahnya, adalah lebih utama
daripada yang sebelumnya.
Sunah melakukan iktikaf hingga waktu salat Idul Fitri, juga sunah sebelum
menginjak 10 hari akhir Ramadhan.
Sunah muakkad dalam 10 hari tersebut, memperbanyak ketiga macam ibadah
tersebut, karena mengharapkan bisa bertepatan dengan hikmah, keutamaan dan
kemuliaan malam Lailatul Qadar. Beramal di malam yang ada Lailatul Qadarnya,
adalah lebih bagus daripada ibadah 1000 bulan yang tidak ada Lailatul
Qadarnya.
Lailatul Qadar menurut pendapat kita (mazhab Syafi’iyah) adalah terbatas,
yaitu turun pada 10 hari tersebut: Yang paling bisa diharapkan, adalah pada
malam yang gasal: Menurut Imam Syafi’i: Tanggal gasal yang bisa diharapkan
turunnya, adalah tanggal 21 dan 23. Sedangkan Imam Nawawi dan lainnya memilih
pendapat yang mengatakan, bahwa malam Lailatul Qadar bisa pindah dari 10 hari
tersebut ke malam lainnya, dan Lailatul Qadar adalah satu-satunya malam yang
paling utama sepanjang tahun.
Sahlah hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa mengerjakan taat di malam Lailatul
Qadar dengan membenarkan bahwa Lailatul Qadar itu hak dan taar, dan karena
memohon rida serta pahala Allah Ta’ala, maka diampuni semua dosa yang telah
terjadi”: menurut sebuah riwayat: “… dan dosa yang akan terjadi.”
Imam Al-Baihagi meriwayatkan hadis, yang artinya: “Barangsiapa selalu
berjamaah salat Magrib dan Isyak sampai habis bulan Ramadhan, maka sungguh
berarti ia telah mengambil bagian Lailatul Qadar dengan sempurna.” Beliau
meriwayatkan hadis lagi, yang artinya: “Barangsiapa mengikuti salat Isyak-yang
akhir dalam Jamaah di bulan Ramadhan, maka ia telah mendapatkan Lailatul
Qadar.” Pendapat yang mengatakan, bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada
tanggal 15 Sya’ban, adalah menyimpang (syadz).
Disunahkan iktikaf pada waktu kapan saja. Iktikaf ialah: Diam lebih lama sedikit daripada thuma’ninah salat di dalam mesjid atau rahbah (serambi)nya yang tidak diyakini terbangun setelah pembangunan mesjid atau bahwa serambi itu tidak termasuk mesjid, di mana diamnya itu dengan niat iktikaf, (sekalipun iktikaf sambil ke sana-ke mari).
Apabila orang tersebut keluar dari mesjid, sekalipun ke WC, di mana ia tidak mengkhususkan waktu iktikaf sunah atau nazar, dan keluarnya tidak ada niat kembali lagi, maka ia harus memperbarui niatnya jika menginginkan iktikaf lagi. Demikian juga wajib memperbarui niatnya jika ingin iktikaf kembali, bagi orang yang menentukan batas iktikafnya, misalnya 1 hari, setelah keluar dari mesjid untuk selain semacam ke WC (kamar kecil). Apabila keluar dengan niat akan kembali lagi, lalu ia kembali, maka ja tidak wajib memperbarui niatnya.
Tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap iktikaf seseorang, yang berniat melaksanakan iktikaf secara berturut-turut, misalnya niat iktikaf selama satu minggu atau satu bulan sambung-menyambung, di mana keluarnya karena untuk buang air -sekalipun tidak begitu hajatatau untuk mandi janabah atau mencuci najis -sekalipun dua hal ini bisa dilakukan di dalam mesjid, Hal ini karena untuk menjaga harga diri orang itu dan kehormatan mesjid. Atau keluarnya dari mesjid untuk makan (ini pun tidak membawa akibat apaapa), karena makan di dalam mesjid adalah memalukan, Baginya juga boleh berwudu setelah buang air, karena mengikuti hukumnya.
Sengaja keluar untuk berwudu atau mandi sunah adalah tidak diperbolehkan (berarti memutus sambung-menyambung iktikaf). Tidaklah memutus sambungmenyambung iktikaf, karena keluar dari mesjid (untuk buang hajat dan sebagainya) di tempat yang jauh: Kecuali ada tempat buang air yang lebih dekat atau yang jauh itu tidak seyogyanya, maka keluar dari mesjid dalam masalah ini adalah memutus sambung-menyambung iktikaf, selama tempat yang dekat masih patut untuk buang air bagi dirinya.
Orang tersebut tidak diharuskan berjalan (ketika akan buang hajat) yang bukan menjadi sikap kebiasaannya. (Ketika keluar dari mesjid) ia boleh melakukan salat Jenazah, jika memang tanpa menunggu terlebih dahulu.
Boleh keluar dari mesjid di tengah sedang beriktikaf yang sambungmenyambung, untuk keperluan yang dikecualikan (misalnya aku nazar beriktikaf selama satu bulan berburut-turut, tapi dengan syarat jika aku dihadapkan suatu keperluan, maka aku akan keluar mesjid -pen), baik berupa keperluan duniawi, misalnya menemui pejabat, atau keperluan ukhrawi, misalnya berwudu, mandi sunah, menjenguk orang sakit, takziah orang yang terkena musibah atau mengunjungi orang yang baru datang dari bepergian.
Iktikaf hukumnya batal sebab bersetubuh, sekalipun termasuk yang ia kecualikan atau dilakukan sewaktu buang air, (iktikaf) juga batal sebab keluar mani lantaran persentuhan kulit dengan syahwat seperti mencium. Boleh keluar dari mesjid bagi orang yang beriktikaf sunah, karena tujuan semacam menjenguk orang sakit.
Apakah keluar semacam ini lebih utama (daripada tetap berada dalam iktikafnya) atau dua-duanya sama saja? Menurut Al-Aujah, sebagarmana yang dibahas oleh Imam Al-Bulqini, bahwa keluar untuk menjenguk semacam kerabat, tetangga dan teman dekat adalah lebih utama (daripada masih tetap berada dalam mesjid). Imam Ibnush Shalah memilih pendapat yang tidak keluar dari mesjid, sebab Nabi saw. beriktikaf dan beliau tidak keluar dari mesjid untuk keperluan tersebut.
Penting:
Imam Yusuf Al-Ardabili di dalam kitab Al-Anwar berkata: Pahala iktikaf menjadi
hilang sebab memaki-maki, menggunjing atau memakan makanan haram.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, tersebutkan: “Barangsiapa berpuasa satu hari karena jihad fisabilillah, maka Allah akan memisahkan dirinya sejauh 70 tahun perjalanan dari neraka.”
Sunah muakkad puasa di hari Arafah (9 Zulhijah) bagi selain orang yang berhaji Sebab, puasa ini dapat menghapus dosa selama 1 tahun yang telah berjalan dan 1 tahun yang akan terjadi, Sebagaimana yang tersebutkan dalam hadis Imam Muslim. Hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah. Untuk berhati-hati, hendaklah pada tanggal 8 dan 9 Zulhijah berpuasa.
Dosa yang dihapus dalam hadis di atas, adalah dosa-dosa kecil yang tidak ada hubungannya dengan hak adami, sebab dosa besar tidaklah bisa dihapus, kecuali dengan tobat yang sahih, sedangkan hak adami terserah pada kerelaan orang yang diambil haknya.
Jika orang yang berpuasa itu tidak punya dosa kecil, maka kebajikankebajikannya ditambah.
Sunah muakkad berpuasa pada tanggal 8 Zulhijah. Dasarnya adalah hadis yang menunjukkan bahwa 10 hari di bulan Zulhijah (maksudnya tanggat 1 sampai 9 Zulhijah/9 hari) itu lebih utama dari 10 hari yang akhir di bulan Ramadhan.
Sunah muakkad berpuasa di hari ‘Asyura -yaitu tanggal 10 bulan Muharram. Sebab, sebagaimana yang diterangkan dalamhadis Muslim, bahwa berpuasa di hari itu dapat menghapus dosa 1 tahun yang telah berlalu. Sunah juga berpuasa di hari Tasu’a -yaitu 9 Muharram-, karena beraasarkan hadis Muslim, bahwa Napi saw. bersabda: “Jika ternvuta aku masih hidup sampai di tahun depan, pastilah aku akan berpuasa di tanggal 9 Muharram.” Ternyata beliau wafat sebelum sampai tanggal tersebut. Hikmah yang terkandung dalam berpuasa tanggal tersebut, adalah menyelisihi ibadah orang Yahudi.
Berdasarkan hikmah tersebut, maka bagi orang yang tidak berpuasa di hari Tasu’a, adalah disunahkan berpuasa di tanggal 11, bahkan sekalipun telah berpuasa di hari Tasu’a, berdasarkan hadis. Di dalam kitab Al-Um (milik Imam Syafi’i) disebutkan: Tidak makruh berpuasa hari ‘Asyura (10 Muharram) saja. Mengenai hadis yang menerangkan tentang bercelak mata, mandi dan memakai wangi-wangian di hari “Asyura, adalah hasil buatan para pendusta hadis (Maudhu’, seperti kata Imam Ibnu Hajar r.a. -pen).
Sunah muakkad berpuasa 6 hari setelah hari Idul Fitri (bulan Syawal). Hal ini berdasarkan hadis sahih, bahwa puasa pada hari-hari tersebut beserta puasa Ramadhan, adalah seperti puasa sepanjang ‘ masa. Menyambung puasa 6 hari dengan hari Idul Fitri adalah lebih utama, karena berarti bersegera , dalam melakukan ibadah.
Sunah muakkad berpuasa di hari baidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15, sebab terdapat hadis sahih yang menjelaskannya. Karena puasa tiga hari di hari-hari tersebut sama dengan puasa selama sebulan, sebab kebajikan itu dilipatkan 10 kali. Berdasarkan hal itu, maka kesunahannya bisa didapatkan dengan puasa 3 hari selain tanggal-tanggal di atas, tapi puasa di tanggal-tanggal yang tersebutkan di atas adalah lebih utama.
Menurut pendapat Al-Aujah: Untuk tanggal 13 Zulhijah, adalah diganti puasa pada tanggal 16 (sebab puasa tanggal 13 Zulhijah hukumnya haram). Imam Al-Jalalul Bulgini berkata: Tidaklah begitu, tapi kesunahannya menjadi gugur.
Sunah berpuasa di hari Sud (malam yang gelap), yaitu tanggal 28 dan dua hari berikutnya. Sunah berpuasa di hari Senen dan Kamis. Karena berdasarkan hadis hasan, bahwa Nabi saw. mementingkan untuk berpuasa di hari itu. Beliau bersabda: “Amal-amal itu dilaporkan pada hari Senen dan Kamis, maka aku senang bila amalku dilaporkan, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” Maksudnya: Amal itu dilaporkan kepada Allah swt.
Adapun amal-amal yang dibawa malaikat adalah sekali di malam hari dan Sekali di siang hari, Tentang dibawanya di bulan Sya’ban adalah diarahkan pengertian, bahwa amal satu tahun dibawanya secara keseluruhan. Puasa di hari Senen adalah lebih utama daripada hari Kamis, sebab adanya kekhususan yang banyak dituturkan oleh para ulama. Pendapat Imam Al-Halimi, bahwa puasa di hari Senen dan Kamis itu hukumnya makruh, adalah pendapat yang menyimpang (syadz).
Guru kita (Ibnu Hajar) berkata sebagaimana guru beliau: Menurut pendapat yang ber-wajah, bahwa jika di dalam puasa-puasa tersebut (Arafah dan sebagainya) diniati, maka puasa itu sebagaimana halnya dengan salat Tahiyatul mesjid, artinya jika seseorang juga berniat puasa sunah, maka berhasillah puasa kedua-duanya (fardu dan sunah), Kalau dia tidak berniat puasa sunah (cuma fardu), maka telah gugurlah tuntutan kesunahannya (sebab sudah masuk di dalam fardu).
Puasa pada tanggal 9 Zulhijah adalah lebih utama daripada hari Asyura (10 Muharram), di mana keduanya sunah ditunaikan.
Barangsiapa scdang berada di tengah-tengah mengerjakan puasa atau Salat sunah, baxinya boleh memutusnya (tidak mencruskannya), Kalau yang dikerjakan itu ibadah haji sunah, maka tidak boleh diputuskan.
Barangsiapa sedang berada di tengah mengerjakan qadha wajib, maka baginya haram memutus di tengah jalan, sekalipun qadhanya adalah luas waktunya.
Bagi seorang istri haram melakukan puasa sunah atau qadha wajib Muwassa’, sedang suaminya berada di sampingnya, kecuali atas izin suami atau diyakini kerelaannya.