Bab Shalat Fathul Muin
Judul kitab asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari Al-Malibari Al-Hindi
Nama di dunia Arab: (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah:
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i
Ingin belajar agama di Ponpes Terbaik? Kunjungi Pesantren Al-Khoirot Malang
Program
utama: 1. Santri reguler (pendidikan formal dan madrasah diniyah); 2.
Santri Dewasa; 3. Santri Kilat; 4. Tahfidz Quran; 5. Bahasa Arab modern dan klasik (kitab kuning).
Sistem: Salaf & Modern
Manhaj: Aswaja (NU)
Daftar isi
- Bab Sholat
- Pasal Tentang Syarat-Syarat Sholat
- Fasal Tenteng Sifat Salat
- Tentang Sunah-Sunah Ab'adh Salat Dan Penyebab Sujud Sahwi
- Pasal Tentang Yang Membatalkan Salat
- Pasal Tentang Azan Dan Ikamah
- Tentang Salat Sunah
- Salat Sunah Bagian Pertama
- Salat Sunah Bagian Kedua
- Pasal Tentang Salat Berjamaah
- Pasal Tentang Salat Jumat
- Salat Qashar Dan Jamak
- Pasal Tentang Salat Jenazah
- Kembali ke Terjemah kitab Fathul Muin
BAB SHALAT
Shalat menurut syara‘ adalah ucapan dan perbuatan yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām, dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap (pengertian kata) shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat yang difardhukan secara individual berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada Nabi kita Muḥammad s.a.w.. Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.
(Kewajiban melaksanakan shalat maktubah) yakni shalat lima waktu (hanya dibebankan kepada) setiap (orang muslim yang mukallaf) yaitu seorang muslim yang telah baligh, berakal, baik laki-laki maupun yang lainnya (dan orang suci). Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haidh dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun shalat hukumnya wajib bagi orang murtad dan orang yang ceroboh dalam hilangnya akal sebab mabuk.
(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang telah diwajibkan secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama‘) shalat fardhu tersebut, jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setela disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi sunnah menyuruh orang yang meninggalkan shalat untuk taubat, maka tidak wajib mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa. (Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan shalat sebab menentang kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.
Bersegera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadha’ shalat tersebut segera. Guru kita Syaikh Ibnu Ḥajar – semoga Allah mengasihnya – mengatakan: “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya mengganti shalat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam hal yang wajib, dan haram baginya melakukan kesunnahan. Sunnah bersegera mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh, begitu pula lupa.
Disunnahkan untuk mentartibkan shalat yang ditinggalkan, maka shalat Shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan begitu seterusnya. Disunnahkan mendahulukan shalat qadha’ atas shalat yang hadir yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika shalatnya ditinggalkan dengan sebab udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama‘ah dari shalat yang hadir menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan shalat qadha’ dengan mengakhirkan shalat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir – walaupun hanya sedikit – di luar waktunya maka wajib baginya mengawali shalat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan kehilangan tartib, sebab hukum tartib hanya sunnah sedang bersegera hukumnya wajib. Disunnahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur.
(Peringatan). Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardhu maka shalatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya. Sebagian pendapat mengatakan: Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti shalat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imām al-‘Ubādī menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Syafi‘i sebab adanya hadits tentang hal tersebut dan Imām Subkī dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai ganti shalat yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.
(Dan diperintahkan) kepada anak kecil lelaki maupun perempuan (yang telah tamyiz) yakni telah dapat makan, minum dan istinja’ sendiri. Maksudnya wajib bagi setiap dari kedua orang tua – walaupun ketingkat seatasnya – , kemudian orang diwasiati dan orang yang memiliki budak untuk memerintahkannya (mengerjakan shalat) walaupun shalat tersebut adalah shalat qadha’ dan dengan seluruh persyaratan shalat (ketika anak tersebut telah mencapai umur setelah tujuh tahun) maksudnya setelah sempurna umur tujuh tahun walaupun anak tersebut telah tamyiz sebelum umur tersebut. Dan sebaiknya besertaan memerintah juga disertai dengan menakut-nakuti. Wajib bagi orang-orang yang telah disebutkan di atas (untuk memukul anak tersebut) dengan pukulan yang tidak menyakitkan ketika ia (meninggalkan shalat) walaupun qadha’ atau meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat shalat (setelah sempurna mencapai umur sepuluh tahun) karena hadits yang shaḥīḥ: “Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan ketika berumur sepuluh tahun, maka pukullah anak tersebut saat meninggalkannya”. (Seperti halnya kewajiban memerintahkan puasa bagi anak yang telah mampu melaksanakannya) maka anak tersebut diperintahkan untuk melaksanakannya ketika berumur tujuh tahun dan dipukul saat meninggalkannya ketika berumur 10 tahun – seperti halnya shalat – . Hikmah dari hal tersebut adalah melatih untuk melakukan ibadah agar anak terbiasa hingga tidak meninggalkannya. Imām al-Adzra‘ī pernah membahas permasalahan budak kecil yang mampu mengucapkan kalimat syahadat bahwa anak tersebut sunnah untuk diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan puasa dengan motivasi tanpa pemukulan supaya anak tersebut terbiasa melakukan kebaikan setelah baligh, walaupun secara qiyas hukum sunnah tersebut ditolak.
Wajib pula bagi seorang yang telah disebutkan untuk mencegah seorang anak dari melakukan perkara yang diharamkan, mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sejenisnya yakni dari setiap syari‘at yang telah jelas walaupun itu sunnah seperti bersiwak. Hukum wajib memerintahkan anak tersebut adalah dengan melakukan syari‘at itu. Kewajiban yang telah lewat kepada orang-orang yang telah disebut tidak berakhir kecuali anak itu telah baligh dalam keadaan pandai. Sedangkan upah mengajarkan anak seperti mengajarkan al-Qur’ān dan etika itu dibebankan kepada harta sang anak, lalu ayahnya, lalu ibunya.
(Peringatan). Imām as-Sam‘ānī menyampaikan permasalahan seorang istri yang masih kecil yang masih memiliki kedua orang tua bahwa kewajiban yang telah lewat dibebankan kepada kedua orang tuanya (1616), kemudian suaminya. Dampak hukum dari itu adalah kewajiban memukul istri tersebut. Imām Jamāl-ul-Islām al-Bazarī menjelaskan kewajiban memukul sang istri walaupun istri tersebut telah dewasa. Guru kita mengatakan: Hal itu jelas, namun jika tidak ditakutkan terjadinya nusyuz, sedangkan Imām Zarkasyī memutlakkan hukum sunnah.
(Awal hal yang wajib) sampai pada kewajiban memerintahkan shalat seperti yang telah disampaikan oleh para ulama’ (kepada para ayah), kemudian kepada orang-orang yang telah disebutkan (adalah mengajarkan anak-anak) yang telah tamyiz (bahwa Nabi kita, Nabi Muḥammad s.a.w. diutus di kota Makkah), dilahirkan di kota tersebut, (dimakamkan di kota Madinah) dan wafat di kota Madinah pula.
Syarat adalah Suatu hal yang menjadikan sahnya shalat, namun bukan bagian dari shalat . Syarat-syarat shalat lebih didahulukan daripada rukun-rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan karena syarat adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus selalu ada dalam shalat. Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertam adalah suci dari hadats dan janabah. Bersuci secara bahasa adalah bersih dan lepas dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan penghalang yang berupa hadats atau najis.
Syarat Shalat Ke-1(Untuk yang pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara (berwudhu’). Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya bermakna menggunakan air pada anggota-anggota tertentu yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca fatḥah wāw-nya bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
وَ) غَيْرُ (مُتَغَيَّرٍ) تَغَيُّرًا (كَثِيْرًا) بِحَيْثُ يَمْنَعُ إِطْلَاقَ
اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ، بِأَنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ صِفَاتِهِ مِنْ طَعْمٍ أَوْ
لَوْنٍ أَوْ رِيْحٍ، وَ لَوْ تَقْدِيْرِيًّا أَوْ كَانَ التَّغَيُّرُ بِمَا
عَلَى عُضْوِ الْمُتَطَهِّرِ فِي الْأَصَحِّ، وَ إِنَّمَا يُؤَثِّرُ
التَّغَيُّرُ إِنْ كَانَ (بِخَلِيْطٍ) أَيْ مُخَالِطًا لِلْمَاءٍ، وَ هُوَ مَا
لَا يَتَمَيَّزُ فِيْ رَأْيِ الْعَيْنِ (طَاهِرٍ) وَ قَدْ (غَنِيَ) الْمَاءُ
(عَنْهُ) كَزْعَفَرَانٍ، وَ ثَمَرَ شَجَرٍ نَبَتَ قُرْبَ الْمَاءِ، وَ وَرَقٍ
طُرِحَ ثُمَّ تَفَتَّتَ، لَا تُرَابٍ وَ مِلْحِ مَاءٍ وَ إِنْ طُرِحَا فِيْهِ.
وَ لَا يُضَرُّ تَغَيُّرٌ لَا يَمْنَعُ الْاِسْمَ لِقِلَّتِهِ وَ لَوِ
احْتِمَالًا، بِأَنْ شَكَّ أَهُوَ كَثِيْرٌ أَوْ قَلِيْلٌ. وَ خَرَجَ
بِقَوْلِيْ بِخَلِيْطِ الْمُجَاوِرُ، وَ هُوَ مَا يَتَمَيَّزُ لِلنَّاظِرِ،
كَعُوْدٍ وَ دُهْنٍ وَ لَوْ مُطَيِّبَيْنَ، وَ مِنْهُ الْبُخُوْرُ وَ إِنْ
كَثُرَ وَ ظَهَرَ نَحْوَ رِيْحِهِ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. وَ مِنْهُ أَيْضًا مَاءٌ
أُغْلِيَ فِيْهِ نَحْوَ بُرٍّ وَ تَمْرٍ حَيْثُ لَمْ يُعْلَمِ انْفِصَالُ
عَيْنٍ فِيْهِ مُخَالِطَةً، بِأَنْ لَمْ يَصِلَ إِلَى حَدٍّ بِحَيْثُ لَهُ
اسْمٌ آخَرَ كَالْمَرَقَةِ، وَ لَوْ شَكَّ فِيْ شَيْءٍ أَمُخَالِطٌ هُوَ أَمْ
مُجَاوِرٌ، لَهُ حُكْمُ الْمُجَاوِرِ. وَ بِقُوْلِيْ غَنِيٌّ عَنْهُ مَا لَا
يُسْتَغْنَى عَنْهُ، كَمَا فِيْ مَقَرِّهِ وَ مَمَرِّهِ، مِنْ نَحْوِ طِيْنٍ وَ
طُحْلُبٍ مُتَفَتِّتٍ وَ كِبْرِيْتٍ، وَ كَالتَّغَيُّرِ بِطُوْلِ الْمُكْثِ
أَوْ بِأَوْرَاقٍ مُتَنَاثِرَةٍ بِنَفْسِهَا وَ إِنْ تَفَتَّتَتْ وَ بَعُدَتِ
الشَّجَرَةُ عَنِ الْمَاءِ. (أَوْ بِنَجَسٍ) وَ أَنْ قَلَّ التَّغَيُّرُ. (وَ
لَوْ كَانَ) الْمَاءُ (كَثِيْرًا) أَيْ قُلَّتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ فِيْ
صُوْرَتَيِ التَّغْيِيْرِ بِالطَّاهِرِ وَ النَّجَسِ.
(Dan) tidak (ada perubahan) dengan perubahan (yang banyak) sekira
perubahan tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan
yang terjadi pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya
walaupun perubahannya hanya secara perkiraan atau adanya perubahan sebab
sesuatu yang berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ.
Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan disebabkan oleh (sesuatu yang
mencampuri air) yakni mukhālith – mukhālith adalah benda yang tidak terlihat
berbeda dengan air – (yang bersifat suci) dan (air tersebut dapat terhindar
dari percampuran tersebut) seperti minyak za‘faran, buah dari pohon yang
tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan kemudian hancur di
dalamnya, bukan debu dan garam air walaupun dijatuhkan ke dalam air. Tidak
masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama air sebab
perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang yang
ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit. Dikecualikan dari ucapan
saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda yang terlihat berbeda
dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian. Sebagian
dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun sangat banyak
dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’. Sebagian
lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis gandum dan
kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang mencampuri
air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah. Kalau
seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir, maka
benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat
dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti
halnya kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat
mengalirnya air, seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan
seperti perubahan sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran
dengan sendirinya walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau
perubahan terjadi dengan sebab najis) walaupun perubahannya hanya sedikit
(dan walaupun adanya) air (tersebut banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua
contoh perubahan dengan menggunakan perkara yang suci dan najis.
(وَ) ثَانِيْهَا: (جَرِيُّ مَاءٍ عَلَى عُضْوٍ) مَغْسُوْلٍ، فَلَا يَكْفِيْ أَنْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ بِلَا جِرْيَانٍ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى غُسْلًا. (وَ) ثَالِثُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْعُضْوِ (مُغَيَّرٌ لِلْمَاءِ تَغَيُّرًا ضَارًّا) كَزَعْفَرَانٍ وَ صَنْدَلٍ، خِلَافًا لِجَمْعٍ. (وَ) رَابِعُهَا: (أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلى الْعُضْوِ حَائِلٌ) بَيْنَ الْمَاءِ وَ الْمَغْسُوْلِ، (كَنُوْرَةٍ) وَ شَمْعٍ وَ دُهْنٍ جَامِدٍ وَ عَيْنِ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ، بِخِلَافِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ – وَ إِنْ لَمْ يَثْبُتِ الْمَاءُ عَلَيْهِ – وَ أَثَرَ حُبْرٍ وَ حِنَّاءٍ. وَ كَذَا يُشْتَرَطُ – عَلَى مَا جَزَمَ بِهِ كَثِيْرُوْنَ – أَنْ لَا يَكُوْنَ وَسَخٌ تَحْتَ ظُفْرٍ يَمْنَعُ وُصُوْلَ الْمَاءِ لِمَا تَحْتَهُ، خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْهُمُ الْغَزَالِيُّ وَ الزَّرْكَشِيُّ وَ غَيْرُهُمَا، وَ أَطَالُوْا فِيْ تَرْجِيْحِهِ وَ صَرَّحُوْا بِالْمُسَامَحَةِ عَمَّا تَحْتَهَا مِنَ الْوَسَخِ دُوْنَ نَحْوِ الْعَجِيْنِ. وَ أَشَارَ الْأَذْرَعِيُّ وَ غَيْرُهُ إِلَى ضَعْفِ مَقَالَتِهِمْ. وَ قَدْ صَرَّحَ فِي التَّتِمَّةِ وَ غَيْرِهَا، بِمَا فِي الرَّوْضَةِ وَ غَيْرِهَا، مِنْ عَدَمِ الْمُسَامَحَةِ بِشَيْءٍ مِمَّا تَحْتَهَا حَيْثُ مَنَعَ وُصُوْلِ الْمَاءِ بِمَحَلِّهِ. وَ أَفْتَى الْبَغَوِيُّ فِيْ وَسَخٍ حَصَلَ مِنْ غُبَارٍ بِأَنَّهُ يَمْنَعُ صِحَّةَ الْوُضُوْءِ، بِخِلَافٍ مَا نَشَأَ مِنْ بَدَنِهِ وَ هُوَ الْعِرْقُ الْمُتَجَمِّدُ. وَ جَزَمَ بِهِ فِي الْأَنْوَارِ.
(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada anggota yang dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh. (Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan perubahan yang membahayakan seperti minyak za‘faran dan kayu cendana, sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota wudlu – dan bekas tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti merupakan dispensasi (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al-Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya sesuai dengan hal tersebut.
(Syarat wudhu’ yang kelima) adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang yang selalu hadats) seperti orang yang beser dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’ – seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk masjid, dan untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya tayammum Begitu pula wajib membasuh vagina dan mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya. Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah baginya.
وَ فُرُوْضُهُ سِتَّةٌ) أَحَدُهَا: (نِيَّةٌ) وُضُوْءٍ أَوْ أَدَاءِ (فَرْضِ
وُضُوْءٍ) أَوْ رَفْعِ حَدَثٍ لِغَيْرِ دَائِمِ حَدَثٍ، حَتَّى فِي
الْوُضُوْءِ الْمُجَدَّدِ أَوِ الطَّهَارَةِ عَنْهُ، أَوِ الطَّهَارَةِ
لِنَحْوِ الصَّلَاةِ، مِمَّا لَا يُبَاحُ إِلَّا بِالْوُضُوْءِ، أَوِ
اسْتِبَاحَةٍ مُفْتَقِرٍّ إِلَى وُضُوْءِ كَالصَّلَاةِ وَ مَسَّ الْمُصْحَفِ.
وَ لَا تَكْفِيْ نِيَّةُ اسْتِبَاحَةِ مَا يُنْدَبُ لَهُ الْوُضُوْءُ،
كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْحَدِيْثِ، وَ كَدُخُوْلِ مَسْجِدٍ وَ
زِيَارَةِ قَبْرٍ. وَ الْأَصْلُ فِيْ وُجُوْبِ النِّيَّةِ خَبَرُ، إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. أَيْ إِنَّمَا صِحَّتُهَا لِإِكْمَالِهَا. وَ
يَجِبُ قَرْنَهَا (عِنْدَ) أَوَّلِ (غَسْلِ) جُزْءٍ مِنْ (وَجْهٍ)، فَلَوْ
قَرَنَهَا بِأَثْنَائِهِ كَفَى وَ وَجَبَ إِعَادَةُ غَسْلِ مَا سَبَقَهَا. وَ
لَا يَكْفِيْ قَرْنُهَا بِمَا قَبْلَهُ حَيْثُ لَمْ يَسْتَصْحِبْهَا إِلَى
غُسْلِ شَيْءٍ مِنْهُ، وَ مَا قَارَنَهَا هُوَ أَوَّلُهُ، فَتَفُوْتُ سُنَّةُ
الْمَضْمَضَةِ إِنِ انْغَسَلَ مَعَهَا شَيْءٌ مِنَ الْوَجْهِ – كَحُمْرَةِ
الشَّفَةِ – بَعْدَ النِّيَّةِ فَالْأَوْلَى أَنْ يُفَرِّقَ النِّيَّةُ
بِأَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ كُلِّ مِنْ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ وَ الْمَضْمَضَةِ وَ
الْاِسْتِنْشَاقِ سُنَّةَ الْوُضُوْءِ، ثُمَّ فَرْضَ الْوُضُوْءِ عِنْدَ
غَسْلِ الْوَجْهِ، حَتَّى لَا تَفُوْتَ فَضِيْلَةُ اسْتِصْحَابِ النِّيَّةِ
مِنْ أَوَّلِهِ. وَ فَضِيْلَةُ الْمَضْمَضَةِ وَ الْاِسْتِنْشَاقِ مَعَ
انْغِسَالِ حُمْرَةِ الشَّفَةِ.
Rukun Wudhu’
(Kefardhuan wudhu’ ada enam). Yang pertama
adalah (niat) wudhu’ atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau mengerjakan
(kefardhuan wudhu’) atau menghilangkan hadats bagi selain orang yang
selalu hadats. Semua niat tersebut juga berlaku sampai di dalam
wudhu’ yang diperbaharui. Boleh juga berniat bersuci dari hadats, bersuci untuk sesamanya shalat
yakni dari setiap hal yang tidak diperbolehkan dilakukan kecuali dengan
wudhu’ atau berniat supaya diperbolehkan melakukan setiap hal yang
membutuhkan wudhu’ seperti shalat dan menyentuh mushhaf. Tidak cukup niat
supaya diperbolehkan melakukan hal yang disunnahkan untuk berwudhu’
seperti membaca al-Qur’ān dan hadits, dan tidak pula niat untuk
diperbolehkan masuk masjid dan ziarah qubur. Dasar dari kewajiban berniat
ini adalah hadits: Keabsahan sebuah amal hanyalah dengan kesempurnaan
niat. Wajib membarengkan niat (ketika mengawali membasuh bagian
wajah). Jika seseorang membarengkan niat di tengah pembasuhan bagian
wajah maka hal tersebut mencukupi dan wajib baginya mengulangi membasuh
bagian yang telah mendahului niat. Tidak cukup membarengkan niat dengan
anggota sebelum wajah sekira orang tersebut tidak melanggengkan niat
sampai membasuh bagian dari wajah. Anggota wajah yang dibarengi niat
adalah awal pembasuhan, maka kesunnahan berkumur akan hilang bila bagian
wajah – seperti bagian merah bibir – terbasuh saat berkumur setelah
berniat wudhu’. Oleh karenanya, yang lebih baik adalah memetakan niat
dengan berniat ketika membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan
menghirup air ke hidung dengan niat sunnah, kemudian disusul dengan niat
fardhu wudhu’ ketika membasuh wajah hingga kesunnahan melanggengkan niat
dari awal membasuh wajah tidak hilang, dan tidak hilang pula kesunnahan
berkumur dan menghirup air dari hidung dengan terbasuhnya bagian merahnya
bibir.
وَ) ثَانِيْهَا: (غَسْلُ) ظَاهِرِ (وَجْهِهِ) لِآيَةٍ: * (فَاغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ) * (وَ هُوَ) طُوْلًا (مَا بَيْنَ مَنَابِِت) شَعْرِ (رَأْسِهِ)
غَالِبًا (وَ) تَحْتَ (مُنْتَهَى لِحْيَيْهِ) – بِفَتْحِ اللَّامِ – فَهُوَ
مِنَ الْوَجْهِ دُوْنَ مَا تَحْتَهُ، وَ الشَّعْرِ النَّابِتِ عَلَى مَا
تَحْتَهُ، (وَ) عَرْضًا (مَا بَيْنَ أُذُنَيْهِ). وَ يَجِبُ غَسل شَعْرِ
الْوَجْهِ مِنْ هُدْبٍ وَ حَاجِبٍ وَ شَارِبٍ وَ عُنْفُقَةٍ وَ لِحْيَةٍ – وَ
هِيَ مَا نَبَتَ عَلَى الذَّقَنِ – وَ هُوَ مُجْتَمَعٌ اللَّحَيَيْنِ – وَ
عُذَارٍ – هُوَ مَا نَبَتَ عَلَى الْعَظْمِ الْمُحَاذِيْ لِلْأُذُنِ – وَ
عَارِضٍ – وَ هُوَ مَا انْحَطَ عَنْهُ إِلَى اللِّحْيَةِ -. وَ مِنَ
الْوَجْهِ حُمْرَةُ الشَّفَتَيْنِ وَ مَوْضِعُ الْغَمَمِ – وَ هُوَ مَا
نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرُ مِنَ الْجَبْهَةِ دُوْنَ مَحَلِّ التَّحْذِيْفِ
عَلَى الْأَصَحِّ، وَ هُوَ مَا نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرْ الْخَفِيْفُ بَيْنَ
ابْتِدَاءِ الْعُذَارِ وَ النَّزْعَةِ – وَ دُوْنَ وَتَدِ الْأُذُنِ وَ
النَّزْعَتَيْنِ – وَ هُمَا بَيَاضَانِ يَكْتَنِفَانِ النَّاصِيَةِ – وَ
مَوْضِعُ الصَّلَعِ – وَ هُوَ مَا بَيْنَهُمَا إِذَا انْحَسَرَ عَنْهُ
الشَّعْرُ -. وَ يُسَنُّ غُسْلُ كُلِّ مَا قِيْلَ إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ
الْوَجْهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ ظَاهِرِ وَ بَاطِنِ كُلِّ مِنَ الشُّعُوْرِ
السَّابِقَةِ – وَ إِنْ كَثَفَ – لِنُدْرَةِ الْكَثَافَةِ فِيْهَا، لَا
بَاطِنُ كَثِيْفِ لِحْيَةٍ وَ عَارِضٍ – وَ الْكَثِيْفُ مَا لَمْ تَرَ
الْبَشَرَةُ مِنْ خِلَالِهِ فِيْ مَجْلِسِ التَّخَاطُبِ عُرْفًا – وَ يَجِبُ
غُسْلُ مَا لَا يَتَحَقَّقُ غَسْلُ جَمِيْعِهِ إِلَّا بِغَسْلِهِ، لِأَنَّ
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ وَاجِبٌ.
Kefardhuan wudhu’ yang kedua adalah (membasuh bagian luar wajah)
(55) sebab telah dijelaskan dalam ayat al-Qur’ān: Maka basuhlah wajah kalian
semua. (Wajah) dari sisi lebarnya adalah (anggota di antara tempat
tumbuhnya rambut) (66) secara umumnya (dan) bagian bawah (tempat akhir dua tulang rahang).
Tulang rahang adalah termasuk dari bagian wajah, bukan bagian yang berada
di bawah tulang rahang dan rambut yang tumbuh di bagian bawah tulang
tersebut. Sedang wajah dari sisi lebarnya (adalah anggota di antara dua
kuping). Wajib membasuh rambut yang tumbuh di wajah seperti bulu mata,
alis, kumis, rawis, jenggot – yakni rambut yang tumbuh di bawah dagu
sedang dagu adalah tempat berkumpulnya dua tulang rahang – , rambut
ati-ati – yakni rambut yang tumbuh pada tulang yang melurusi kuping, –
rambut jabang – yakni rambut yang berada pada posisi akhir rambut ati-ati
sampai jenggot. Sebagian dari bagian wajah adalah merah dua bibir dan
tempat ghamam (sinom; jawa) – adalah tempat tumbuhnya rambut kening –
bukan tempat taḥdzīf (77) menurut pendapat yang ashaḥḥ – yakni daerah tumbuhnya rambut tipis di
antara awal rambut ati-ati dan tempat dua sisi dahi yang tak berambut – ,
dan bukan pasak telinga dan dua naz‘ah – dua naz‘ah adalah dua daerah
bebas rambut yang mengelilingi ubun-ubun – , dan bukan tempat botak –
yakni daerah di antara dua naz‘ah ketika rambut rontok – . Disunnahkan
untuk membasuh setiap anggota yang tidak disebut sebagai wajah. Wajib
membasuh bagian luar dan dalam setiap rambut-rambut yang telah lewat –
walaupun tebal – sebab hal tersebut jarang terjadi. Tidak wajib membasuh
bagian dalam rambut yang tebal dari jenggot dan jabang. Katagori tebal
adalah selama tidak terlihat dari sela-sela rambut di tempat perbincangan
secara umumnya. Wajib membasuh anggota yang tidak mungkin terbasuh
keseluruhannya kecuali dengan membasuhnya, sebab perkara yang tidak
mungkin sempurna kewajibannya kecuali dengan perkara tersebut, maka
hukumnya wajib.
وَ) ثَالِثُهَا: (غَسْلُ يَدَيْهِ) مِنْ كَفَّيْهِ وَ ذِرَاعَيْهِ (بِكُلِّ
مِرْفَقٍ) لِلْآيَةِ. وَ يَجِبُ غَسْلُ جَمِيْعِ مَا فِيْ مَحَلِّ الْفَرْضِ
مِنْ شَعْرٍ وَ ظُفْرٍ، وَ إِنْ طَالَ. (فَرْعٌ) لَوْ نَسِيَ لُمْعَةً
فَانْغَسَلَتْ فِيْ تَثْلِيْثٍ، أَوْ إِعَادَةِ وُضُوْءٍ لِنِسْيَانٍ لَهُ،
لَا تَجْدِيْدٍ وَ احْتِيَاطٍ، أَجْزَأَهُ. (وَ) رَابِعُهَا: (مَسْحُ بَعْضِ
رَأْسِهِ) كَالنَّزْعَةِ وَ الْبَيَاضِ الَّذِيْ وَرَاءَ الْأُذُنِ بَشَرٌ
أَوْ شَعْرٌ فِيْ حَدِّهِ، وَ لَوْ بَعْضَ شَعْرَةٍ وَاحِدَةٍ، لِلْآيَةِ.
قَالَ الْبَغَوِيُّ: يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُجْزِئَ أَقَلُّ مِنْ قَدْرِ
النَّاصِيَةِ، وَ هِيَ مَا بَيْنَ النَّزْعَتَيْنِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَمْسَحْ
أَقَلَّ مِنْهَا، وَ هُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ
تَعَالَى، وَ الْمَشْهُوْر عَنْهُ وُجُوْبُ مَسْحِ الرُّبُعِ. (وَ)
خَامِسُهَا: (غَسْلُ رِجْلَيْهِ) بِكُلِّ كَعْبٍ مِنْ كُلِّ رِجْلٍ،
لِلْآيَةِ. أَوْ مَسْحُ خُفَّيْهِمَا بِشُرُوْطِهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ بَاطِنِ
ثَقْبٍ وَ شَقٍّ.
(Fardhu yang ketiga) adalah (membasuh kedua tangan) yakni dari dua
telapak tangan dan dua lengan (besertaan setiap siku-siku) karena adanya
ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan. Wajib membasuh seluruh anggota yang
berada pada tempat yang wajib dibasuh dari rambut dan kuku, walaupun
kuku tersebut panjang.
(Cabang Masalah). Kalau seandainya
seseorang lupa tidak membasuh sedikit dari anggota wudhu’ lalu anggota
tersebut terbasuh pada basuhan yang ketiga atau saat mengulangi wudhu’
karena lupa, bukan karena memperbaharui wudhu’ dan berhati-hati maka hal
tersebut mencukupi. (Fardhu yang keempat) adalah (mengusap sebagian
kepala) – seperti daerah dua sisi dahi yang tak berambut dan warna putih
yang berada di belakang kuping – , yakni berupa kulit ataupun rambut yang
masih pada batasannya – walaupun sebagian satu rambut saja – sebab ayat
yang menjelaskan hal tersebut. Imām Baghawī mengatakan: Sebaiknya tidak
mencukupi sebuah usapan yang kurang dari kadar ubun-ubun yakni anggota
yang di antara dua naz‘ah sebab Nabi s.a.w. tidak pernah mengusap kurang
dari kadar tersebut, dan hadits tersebut adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imām Abū Ḥanīfah – semoga Allah mengasihinya – .
Pendapat yang masyhur dari madzhab Abū Ḥanīfah adalah wajib membasuh
seperempat dari kepala. (Fardhu yang kelima) adalah (membasuh kedua kaki)
besertaan setiap mata kaki dari setiap kaki karena ayat al-Qur’ān yang
telah menjelaskan, atau mengusap kedua muzah dengan syarat-syaratnya Wajib
untuk membasuh bagian tubuh yang berlubang dan robek.
فَرْعٌ) لَوْ دَخَلَتْ شَوْكَةٌ فِيْ رِجْلِهِ وَ ظَهَرَ بَعْضُهَا، وَجَبَ قَلْعُهَا وَ غَسْلُ مَحَلِّهَا لِأَنَّهُ صَارَ فِيْ حُكْمِ الظَّاهِرِ، فَإِنِ اسْتَتَرَتْ كُلُّهَا صَارَتْ فِيْ حُكْمِ الْبَاطَنِ فَيَصِحُّ وُضُوْؤُهُ. وَ لَوْ تَنَفَّطَ فِيْ رِجْلٍ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَجِبْ غُسْلُ بَاطِنِهِ مَا لَمْ يَتَشَقَّقْ، فَإِنْ تَشَقَّقَ وَجَبَ غَسْلُ بَاطِنِهِ مَا لَمْ يَرْتَتِقْ.
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya kaki seseorang tertancap duri dan
sebagian duri tersebut tampak, maka wajib untuk mencabutnya dan membasuh
bekas duri menancap sebab tempat tersebut dihukum menjadi anggota luar.
Jika semua duri terbenam maka duri dihukumi bagian dalam hingga sahlah
wudhu’nya. Kalau seandainya kaki atau anggota lain melepuh, mata tidak
wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama anggota itu tidak sobek. Jika
anggota tersebut sobek, maka wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama
belum melekat.
تَنْبِيْهٌ) ذَكَرُوْا فِي الْغُسْلِ أَنَّهُ يُعْفَى عَنْ بَاطِنٍ عَقْدِ
الشَّعْرِ أَيْ إِذَا انْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَ أُلْحِقَ بِهَا مِنِ ابْتُلِيَ
بِنَحْوِ طَبَّوُعٍ لَصَقَ بَأُصُوْلِ شَعْرِهِ حَتَّى مَنَعَ وُصُوْلَ
الْمَاءِ إِلَيْهَا وَ لَمْ يُمْكِنْ إِزَالَتُهُ. وَ قَدْ صَرَّحَ شَيْخُ
شُيُوْخِنَا زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيُّ بِأَنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهَا، بَلْ
عَلَيْهِ التَّيَمُّمُ. لكِنْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ – شَيْخُنَا -: وَ الَّذِيْ
يُتَّجَهُ الْعَفْوُ لِلضَّرُوْرَةِ.
(Peringatan). Para ulama menyebutkan dalam masalah mandi bahwa anggota
dalam dari rambut yang tersimpul diampuni – di-ma‘fuw – jika rambut
tersebut tersimpul dengan sendirinya. Disamakan dengan hal tersebut adalah
seseorang yang diuji dengan sejenis telur kutu yang melekat pada
pangkal-pangkal rambut hingga mencegah masuknya air ke tempat tersebut dan
tidak mungkin dihilangkan. Gurunya guru kita Syaikh Zakariyyā al-Anshārī
telah menjelaskan bahwa permasalahan itu tidak bisa disamakan, bahkan
orang tersebut harus bertayammum. Namun muridnya yakni guru kita Ibnu
Ḥajar mengatakan: Bahwa pendapat yang unggul adalah diampuni sebab hal itu
termasuk dalam keadaan darurat.
وَ) سَادِسُهَا: (تَرْتِيْبٌ) كَمَا ذُكِرَ مِنْ تَقْدِيْمِ غَسْلِ الْوَجْهِ
فَالْيَدَيْنِ فَالرَّأْسِ فَالرِّجْلَيْنِ لِلاتِّبَاعِ. وَ لَوِ انْغَمَسَ
مُحْدِثٌ، وَ لَوْ فِيْ مَاءٍ قَلِيْلٍ بِنِيَّةٍ مُعْتَبَرَةٍ مِمَّا مَرًّا
أَجْزَأَهُ عَنِ الْوُضُوْءِ، وَ لَوْ لَمْ يَمْكُثْ فِي الْاِنْغِمَاسِ
زَمَنًا يُمْكِنُ فِيْهِ التَّرْتِيْبُ. نَعَمْ، لَوِ اغْتَسَلَ بِنِيَّتِهِ
فَيُشْتَرَطَ فِيْهِ التَّرْتِيْبُ حَقِيْقًة، وَ لَا يَضُرُّ نِسْيَانُ
لُمْعَةٍ أَوْ لُمَعٍ فِيْ غَيْرِ أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ، بَلْ لَوْ كَانَ
عَلَى مَا عَدَا أَعْضَائِهِ، مَانِعٌ كَشَمْعٍ لَمْ يَضُرَّ – كَمَا
اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا -. وَ لَوْ أَحْدَثَ وَ أَجْنَبَ أَجْزَأَهُ
الْغُسْلُ عَنْهُمَا بِنِيَّتِهِ. وَ لَا يَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُوْمِ الْمَاءِ
جَمِيْعَ الْعُضْوِ بَلْ يَكْفِيْ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِهِ.
(Fardhu yang keenam) adalah (tartib) seperti keterangan yang telah
disebutkan yakni dari mendahulukan membasuh wajah, lalu kedua tangan,
kepala, lalu yang terakhir kedua kaki karena mengikuti Nabi s.a.w. Kalau
seandainya seseorang yang berhadats menyelam walaupun di dalam air yang
jumlahnya sedikit, dengan niat yang sesuai yakni dari niat yang telah
disebutkan, maka hal tersebut mencukupi dari wudhu’, walaupun orang
tersebut tidak diam di dalam air saat menyelam dengan kadar waktu yang
seandainya membasuh dengan niat menghilangkan hadats, maka diisyaratkan
harus tartib secara nyata. Tidak masalah lupa tidak membasuh sedikit
anggota atau beberapa anggota di selain anggota wudhu’ bahkan kalaupun
bila di selain anggota wudhu’ terdapat penghalang seperti lilin, maka hal
tersebut tidak masalah pula seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita.
Kalau seandainya seseorang hadats kecil dan junub maka mencukupi baginya
dair dua hal tersebut dengan niat mandi saja. Tidak wajib untuk meyakini
telah ratanya air pada seluruh anggota bahkan cukup baginya praduga kuat
tentang hal tersebut.
فَرْعٌ) لَوْ شَكَّ الْمُتَوَضِّئُ أَوِ الْمُغْتَسِلُ فِيْ تَطْهِيْرِ عُضْو قَبْلَ الْفِرَاغِ مِنْ وُضُوْئِهِ أَوْ غُسْلِهِ طَهَّرَهُ، وَ كَذَا مَا بَعْدَهُ فِي الْوُضُوْءِ، أَوْ بَعْدَ الْفِرَاغِ مِنْ طُهْرِهِ، لَمْ يُؤَثَّرْ. وَ لَوْ كَانَ الشَّكُّ فِي النِّيَّةِ لَمْ يُؤَثِّرْ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ، كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ لِشَيْخِنَا، وَ قَالَ: فِيْهِ قِيَاسُ مَا يَأْتِيْ فِي الشَّكِّ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ وَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ: أَنَّهُ لَوْ شَكَّ بَعْدَ عُضْوٍ فِيْ أَصْلِ غُسْلِهِ لَزِمَهُ إِعَادَتُهُ، أَوْ بَعْضَهُ لَمْ تَلْزَمْهُ. فَلْيُحْمَلْ كَلَامُهُمْ الْأَوَّلِ عَلَى الشَّكِّ فِيْ أَصْلِ الْعُضْوِ لَا بَعْضِهِ.
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ atau mandi ragu di dalam menyucikan anggota sebelum selesai dari wudhu’ atau mandinya, maka orang tersebut harus menyucikan anggota yang diragukan itu, begitu pula wajib disucikan anggota yang setelahnya di dalam kasus wudhu’Atau keraguan tersebut terjadi setelah selesai dari bersuci, maka hal itu tidak memberi dampak apapun. Kalaupun seandainya adanya keraguan di dalam niat, maka tidak memberi petunjuk pula menurut pendapat yang lebih unggul seperti penjelasan dalam Syaraḥ Minhāj milik guru kita. Guru kita berkata dalam Syaraḥ Minhāj: Penyamaan permasalahan yang akan ada nanti di dalam kasus keraguan setelah fātiḥah dan sebelum ruku‘ adalah bahwa bila keraguan seorang yang berwudhu’ terjadi setelah selesainya pembasuhan satu anggota di dalam asal pembasuhan, maka seorang tersebut harus mengulangi wudhu’nya atau keraguan terjadi ketika masih membasuh sebagian anggota, maka tidak wajib mengulanginya. Oleh karena itu, ucapan para ulama yang awal diarahkan pada kasus keraguan di dalam asal pembasuhan anggota bukan sebagiannya.
Membaca Basmalah menurut pendapat Imam Ahmad r.a., adalah wajib. Sebelum membaca Basmalah, sunah membaca Ta’awudz: dan sesudahnya sunah membaca dua kalimat syahadat serta Alhamdu lillahil ladzii ja’alal maa-a thahuran. (Segala puji milik Allah yang telah menjadikan air sebagai pencuci). Bagi yang lupa membaca Basmalah di permulaan wudunya, sunah di tengah wudunya membaca: Bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan menyebut nama Allah dari awal sampai akhir). Tidak sunah membacanya setelah selesai wudu.
Kesunahan dan tata cara membaca Basmalah di atas, juga berlaku dalam amal-amal kebaikan, misalnya makan, minum, mengarang dan memakai celak mata. Apa yang dipindah dari Imam Syafi’i dan beberapa sahabat Syafi’i, bahwa Basmalah adalah permulaan wudu. Seperti itu juga kemantapan Imam An-Nawawi dalam kitab Majmu’ serta imam lainnya. Karena itu, orang yang wudu hendaknya membaca Basmalah bersamaan ketika mencuci kedua tangannya, sementara itu hatinya niat wudu.
Segolongan ulama terdahulu berkata: Sebenarnya, awal kesunahan-kesunahan wudu, adalah bersiwak, sesudah itu membaca Basmalah
Sunah membaca Basmalah ketika mulai membaca Algur-an, walaupun dari tengah-tengah surah –di luar atau dalam salat–: disunahkan pula waktu akan mandi dan menyembelih binatang.Membasuh dua tepak tangan sampa: pergelangan secara bersama, yang diawali dengan membaca Basmalah, sementara hati niat wudu, meskipun berwudu dari tempat semacam kendi atau telah . meyakinkan atas kesucian kedua tangannya, karena hal ini berdasarkan ittiba’.Bersiwak; dengan melebar pas da gigi dalam dan luar serta memanjang pada lidah.
Berdasarkan sebuah hadis sahih: “Jika aku tidak takut memberatkan “umatku, niscaya aku memerintahkannya bersiwak setiap wudu.” Perintah yang dimaksudkan oleh beliau, adalah “wajib”, Bersiwak itu bisa dihasilkan kesunahannya dengan sesuatu yang kasar, meskipun berupa sobekan kain (gombal) atau kayu asynan (benalu). Yang utama adalah menggunakan kayu ‘ud (kayu garu).
Sedangkan yang lebih utama lagi adalah kayu ‘ud yang masih basah dan berbau wangi. Dari kayu tersebut yang lebih utama adalah kayu arak. Tidak disunahkan bersiwak dengan menggunakan jarijemari, meskipun berwujud kasar. Sementara itu, Imam An-Nawawi memilih kebalikan pendapat tersebut.
Bersiwak itu hukumnya sunah muakad, –walaupun bagi orang yang tidak bergigi-setiap berwudu, akan salat, baik salat fardu atau sunah, meskipun tiap dua rakaat salam atau sudah bersiwak waktu berwudu, dan sekalipun antara salat dan wudunya tidak terpisah sesuatu. (Hukum sunah muakad bersiwak untuk setiap akan salat ini), sekiranya tidak dikhawatirkan kenajisan mulutnya. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam AlHumaidi dengan sanad yang jayid: “Salat dua rakaat yang dikerjakan dengan bersiwak, adalah lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak lebih dahulu.” Jika lupa bersiwak di permulaan salat, maka ia sunah melakukan di tengah-tengahnya dengan perbuatan yang sedikit, sebagaimana memakai serban.
Bersiwak juga sunah muakad di waktu akan membaca Alqur-an atau Alhadis, ilmu agama, dan ketika mulut berbau busuk atau berubah warnanya akibat semacam tidur atau makanan yang berbau tidak menyenangkan: atau gigi Serwarna kuning, sesudah bangun tidur atau akan tidur, di kala hendak masuk mesjid atau rumah, sesudah waktu sahur dan akan dicabut nyawanya. Semua.isu sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Bukhari Muslim. Dikatakan, bahwa bersiwak (dalam keadaan sakratuk Maut) dapat mempercepat keluar roh dari jasad. Dari keterangan hadis tersebut dapat disimpulkan: Bersiwak hukumnya sunah muakad bagi, orang sakit.
Dalam bersiwak, harus niat mengerjakan kesunahan, –supaya dapat pahala–: hendaknya juga menelan ludah bekas bersiwak yang pertama, namun tidak perlu menyesap alat siwak. Sunah mencukil sisa-sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, baik dilakukan sebelum bersiwak ataupun sesudahnya. Bersiwak hukumnya lebih utama daripada mencukil, (tapi) pendapat ini berlawanan dengan pendapat ulama lainnya. Memakai alat siwak orang lain itu hukumnya tidak makruh, asal telah mendapat izin atau sudah diketahui akan kerelaannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya adalah haram, sebagaimana mengambil alat siwak tik orang lain. Demikian itu jika memang tidak berlaku kebiasaan melarang memakai siwak orang lain.
Orang yang berpuasa hukumnya makruh bersiwak sesudah matahari tergelincir ke arah barat, selagi mulutnya tidak berubah baunya akibat tidur misalnya.Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, karena ittiba’ kepada Nabi saw. Setidak-tidaknya: Memasukkan air ke mulut dan hidung.
Untuk memperoleh asal sunah, tidak disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan (mengeluarkan)nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa. Ini semua karena berdasarkan perintah melakukan keduanya.
Sunah mengumpulkan berkumur dan menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan mengshirup air.Meratakan usapan ke seluruh kepala. Karena ittiba’ kepada Rasul saw. dan menghindari perselisihan terhadap Imam Malik dan Ahmad r.a. Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun.
Cara mengusap yang lebih utama, adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu kembali lagi ke depan. Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja.
Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Karena ittiba’ kepada Nabi saw.Mengusap dua telinga secara merata, luar atau dalam serta dua lubangnya. Karena ittiba’. Mengusap leher hukumnya tidak sunah, sebab tidak ada satu pun dasarnya. ‘
Imam Nawawi berkata: Mengusap leher hukumnya adalah bid’ah, dan yang menerangkannya adalah Maudhu’ (palsu).Menggosok-gosok anggota. Yaitu menggosokkan tangan pada anggota setelah terkena air. Karena hal ini menghindari perselisihan ulama yang menetapkan wajib (Imam Malik).Menyela-nyela jenggot yang tebal. Cara yang lebih utama adalah dengan menggunakan jari-jari kanan, dimulai dari bawah serta mengurai dan dengan satu siuk khusus. Dasarnya adalah ittiba’. Jika diunggalkan adalah makruh.Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dengan berpanca dan jari-jari kaki dengan cara apapun.
Cara yang paling utama: Menyelanyelai jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Artinya, menyela-nyela jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri.Memanjangkan basuhan muka. Yaitu dengan cara membasuh muka serta bagian depan kepala, dua telinga dan dua lembar kuduknya.Memanjangkan basuhan kedua tangan dan kaki. Yaitu mengikutkan kedua bahu ketika membasuh kedua tangan: dan dua betis ketika membasuh kedua kaki. Batas maksimalnya adalah meratakan basuhan pada bahu dan betis.
Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim: “Sesungguhnya di hari Kiamat umatku dipanggil dalam keadaan wajah, dua langan dan kaki yang memancarkan sinar karena bekas-bekas wudunya. .Maka, barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan.” Imam Muslim memberj tambahan: “Dan memanjangkan basuhan kedua tangan serta kaki.” Maksud dari hadis di atas: Mereka nanti di hari Akhir dipanggil dalam keadaan wajah, tangan dan kaki bersinar. :
Paling tidak, memanjangkan basuhan bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah lewat.Mengulang tiga kali setiap basuhan, usapan, gosokan, selaselaan, bersiwak, Basmalah dan zikir setelah berwudu. Karena berdasarkan ittiba’ kepada Nabi saw.
Penigakalian bisa terjadi dengan umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit– lalu menggerakkannya dua kali dalam air itu. Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita (Ibnu Hajar AlHaitami). Penigakalian tidak bisa mencukupi (tidak sah), jika dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya.
Membasuh kurang dari tiga kali hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram.
Orang yang di tengah-tengah berwudu merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil yang di yakini dalam perkara yang wajib (seperti ragu dalam masalah basuhan pertama atau pemerataannya terhadap anggota. Maka dalam keadaan seperti ini, ia wajib menyempurnakan basuhan itu – pen), dan sunah ” mengambil perkara yang diyakini dalam hal yang sunah (misalnya dalam basuhan kedua atau ketiga – pen), Meskipun air yang di pergunakan berwudu adalah air wakaf.
Adapun ragu setelah selesai berwudu, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.Serba kanan. Yaitu: mendahulukan yang kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki. Sedang bagi orang yang putus anggotanya, serba kanannya pada semua anggota wudu.
Hal itu, karena Nabi saw. gemar mendahulukan yang kanan dalam bersuci dan tindak-tanduk yang tergolong positif, misalnya bercelak mata, memakai baju, sandal, memotong kuku, inemotong rambut kepala, mengambil, memberi, bersiwak dan menyela-nyelai. Meninggalkan serba kanan adalah makruh.
Pada perbuatan-perbuatan kebalikan tahrim (positif), disunahkan mendahulukan kiri. Yaitu segala perbuatan yang masuk kategori negatif dan kotor, misalnya istinja, mem. buang ingus, melepas pakaian dan sandal. Disunahkan memulai membasuhnya dari wajah bagian atas, dari ujung tangan dan kaki –walaupun berwudu dengan air yang dituangkan oleh orang lain–.
Sunah juga mengambil air basuhan wajah dengan dua tangan sekaligus, serta meletakkan wadah air yang diciduk pada sebelah kanan: dan wadah air yang dituangkan oleh orang lain, diletakkan di sebelah kiri.Sambung-menyambung di antara perbuatan-perbuatan wudu satu dengan lainnya, bagi . orang yang sehat. Caranya: Segera membasuh satu anggota sebelum basuhan anggota di depannya kering. Hal ini berdasarkan ittiba’ kepada Nabi dan menghindari khilaf ulama yang mewajibkannya (Imam Malik).
Sambung-menyambung hukumnya wajib bagi orang yang terkena penyakit beser.Berhati-hati dalam membasuh tumit, ekor mata, dua tepian mata yang letaknya dekat – hidung, pengelirik dan tepi mata yang lain, dengan menggunakan dua ujung telunjuk masing-masing. Hukum kesunahan di atas, jika pada tepian mata tidak terdapat tahi mata yang menghalangi air sampai ke tempat dasar.
Bila terdapat tahi matanya, maka berhati-hati menjaga tempat tersebut adalah wajib, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’ Membasuh dalam mata hukumnya tidak sunah. Bahkan sebagian ulama berkata, bahwa hal itu adalah makruh, sebab berakibat dharar (bahaya). (Wajib) membasuhnya, hanya kalau ada najis di situ, karena najis itu besar artinya.Menghadap kiblat selama berwudu.Tidak berbicara selama berwudu, kecuali mengucapkan zikir wudu, atau jika tidak ada hajat berbicara.
Memberi salam terhadap orang sedang berwudu, mengucapkan salam dan menjawab baginya, adalah tidak makruh.Tidak menyeka air yang ada pada anggota wudu, kecuali karena ada suatu uzur (misalnya karena dingin dan sebagainya – pen) karena ituba’ kepada Rasul saw.Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudu, jika (antara wudu dengannya) tidak lama waktu berselang menurut anggapan yang biasa.
(Caranya), orang yang berwudu menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan melihat ke langit -walaupun orang buta-seraya mengucapkan: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tiada yang menyekutukan-Nya, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya.
Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Rasulullah saw.: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan seterusnya …, maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, terserah dari mana saja ia masuk.” Imam At-Tirimidzi menambah: “Ya, Allah! Jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertobat dan suci.”
Diriwayatkan serta disahihkan oleh Imam Hakim: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Maha Suci Engkau. Ya, Allah dan dengan pujiMu saya bersaksi, bahwa. tiada Tuhan selain Engkau, saya mohon ampunan dan bertobat kepada Engkau, maka ditulis pada selembar kulit dengan cetakan yang tidak akan berubah sampai hari kiamat –seperti yang telah disahihkan oleh Imam Harim.” Maksudnya: Tidak akan dibatalkan sampai ia melihat pahala-Nya yang agung.
Setelah itu membaca selawar salam kepada Baginda Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau. Lalu membaca surat Al-Qadar sebanyak tiga kali, dengan menghadap kiblat tanpa mengangkat tangan. Mengenai doa yang dibaca pada basuhan tiap-tiap anggota, adalah dada dasarnya yang kuat. Karena itu, saya membuangnya, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Mazhab, Imam Nawawi.
Dikatakan: Setiap membasuh anggota, adalah disunahkan membaca: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan uada yang menyekutui-Nya, dan saya bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Mustaghfiri, dan ia mengatakan: Hasan tersebut adalah hadis Hasan Gharib.Meminum air dari sisa wudu. Berdasarkan sebuah hadis, bahwa air tersebut membawa obat untuk: segala penyakit. Memercikkan air sisa wudu pada pakaiannya. Hal ini dimaksudkan bila ia merasa ragu akan adanya kotoran pada pakaiannya (dan hal ini untuk menghilangkan was-was -pen), sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita. Adapun keadaan Rasulullah saw. memerckkan air sisa berwudu pada pakaian beliau, adalah diarahkan atas keraguan seperti itu.Melakukan salat dua rakaat setelah berwudu, asal waktunya belum berselang lama menurut ukuran umum.
Kesunahan salat dua rakaat di atas, menjadi hilang jika telah berselang lama menurut umum. Hal ini atas tinjauan beberapa wajah (bentuk) pendapat. Sedangkan menurut sebagian ulama: Hal itu bisa hilang sebab bermaksud tidak mengerjakan salat, menurut sebagian lagi: Sebab anggota wudu kering: dan menurut sebagiannya lagi: Sebab telah berhadas.
Dalam rakaat pertama sesudah membaca Fatihah, sunah membaca ayat: وَلَوْأَنَّهُمْ إِذْظَلَمّوُاأَنْفُسَهُمْ sampai ayat: رَحِيْمًا (Q.S. An-Nisaa: 64), sedangkan pada rakaat kedua, sunah membaca: وَمَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْيَظْلِمْ نَفْسَهُ sampai ayat: رَحِيْمًا (QS. AnNisaa’: 110).
Bersuci dengan air wakaf persediaan untuk minum, adalah haram, begitu juga dengan air yang belum jelas statusnya (untuk minum apa untuk bersuci), menuru tinjauan berbagai pendapat. Memindah air yang disediakan untuk minum ke tempat lain adalah juga haram.
Jika waktu sudah sempit untuk mengerjakan salat seluruhnya dalam waktu itu, maka wajib bagi orang yang berwudu membatasi diri pada basuhan atau usapan, karena itu, ia tidak boleh mengulang tiga kali dan tidak boleh melakukan kesunahankesunahan lain. Hal itu telah dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lainnya, serta diikuti oleh ulama-ulama akhir. Akan tetapi Imam Al-Baghawi dalam masalah tertinggal salat berfatwa: Seseorang boleh menyempurnakan kesunahan-kesunahan salat, meskipun akhirnya ia tidak menemukan satu rakaat dalam waktunya.
Dalam pada itu, Al-Baghawi membedakan (antara masalah wudu dengan salat), bahwa orang yang mengerjakan salat terleka pada suatu maksud (yaitu: salat). Maka dihukumi sebagaimana orang yang memanjangkan bacaan dalam salat (sehingga keluar dari waktunya). Atau bila persediaan air berwudu sedikit, yang perkiraannya hanya cukup untuk mengerjakan hal fardu.
Jika orang yang berwudu ada air yang tidak cukup untuk kesempurnaan bersuci –jika ia mengulang tiga kali atau melakukan kesunahan-kesunahan–, atau diperlukan sisa air untuk binatang dimuliakan syarak yang haus, maka baginya haram menggunakan air tersebut untuk melakukan kesunahan.
Begitu juga, masalah tersebut berlaku dalam mandi janabah. Orang yang berwudu hukumnya sunah membatasi pada hal-hal yang wajib saja, jika ia tergesa-gesa untuk mengikuti salat berjamaah, yang tiada jamaah selain itu.
Benarlah begitu. Untuk sunah wudu yang ada pendapat lain mengatakan wajib, misalnya menggosok (menurut Imam Malik hukumnya wajib), maka hendaknya didahulukan sebelum berjamaah. Hukum ini searah dengan penjelasan yang telah lewat tentang kesunahan mendahulukan salat tertinggal sebab uzur atas salat Ada’ (tunai),
Tayamum boleh dilakukan karena hadas besar atau kecil, jika tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya, dengan debu – yang suci menyucikan. Rukun Tayamum:Berniat memperoleh kewenangan melakukan salat fardu, secara bersamaan memindahkan debu ke muka.
Menyapu muka. Menyapu kedua tangan.
Jika seseorang merasa yakin mendapat air di akhir waktu, maka baginya lebih baik menanti. Kalau tidak punya keyakinan, yang lebih utama adalah bersegera mengerjakan tayamum. Jika anggota seseorang tercegah menggunakan air, maka baginya wajib bertayamum, membasuh anggota yang sehat dan mengusapkan air pada pembalut yang berbahaya jika dilepas. Bagi orang junub tidak wajib tertib antara tayamum dan membasuh anggota yang sehat. Jika yang tidak bisa terkena air itu dua anggota, maka tayamum wajib dilakukan dua kali.
Dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali salat fardu, sekalipun sala nazar. Dan hukumnya adalah sah, sz kali tayamum untuk melakuk salat fardu dan salat Jenazah.
Sebab-sebab yang membatalkan wudhu’ ada empat. Yang pertama adalah (yakin keluarnya sesuatu) yang selain spermanya sendiri baik berupa benda atau angin, basah ataupun kering, yang telah lumrah keluar seperti air kencing atau jarang seperti darah bawasir atau yang lainnya, terpisah ataupun tidak seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya lantas kembali lagi. (dari salah satu dari dua jalan) orang yang berwudhu’ (yang masih hidup) baik itu anus ataupun alat kelamin. (Walaupun) perkara yang keluar adalah (penyakit bawasir) yang tumbuh di dalam anus, lalu penyakit itu keluar atau semakin keluar, namun seorang yang sangat alim yakni Imām al-Kamāl ar-Raddād berfatwa bahwa keluarnya penyakit bawasir sendiri tidaklah membatalkan wudhu’, namun yang membatalkan adalah dengan sebab sesuatu yang keluar dari efek penyakit itu seperti darah. Dari Imam Malik: Tidaklah batal wudhu’ dengan sebab benda yang jarang keluar.
(Yang) keduanya adalah (hilangnya akal) maksudnya adalah kesadarannya dengan sebab mabuk, gila, epilepsi atau tidur sebab hadits yang shaḥīḥ: Barang siapa tidur, maka berwudhu’lah. Dikecualikan dengan hilangnya kesadaran adalah mengantuk dan permulaan mabuk, maka dua hal tersebut tidak membatalkan wudhu’ seperti ketika seorang ragu apakah telah tertidur atau hanya mengantuk. Sebagian dari tanda mengantuk adalah masih mendengar pembicaraan orang yang ada walaupun tidak faham. (Tidak) dengan hilangnya kesadaran (sebab tidur) dengan posisi duduk (yang menetapkan pantatnya di tempat duduknya) walaupun ia bersandar pada suatu benda sekira benda tersebut hilang, maka ia akan ambruk, atau walaupun ia tidur dengan posisi memeluk lutut sedang di antara tempat duduk dan menetapnya tidak ada renggang. Batal wudhu’nya seorang yang menetapkan pantatnya yang tersadar setelah kondisi pantat tidak pada tempat menetapnya. Tidak batal wudhu’nya orang yang ragu apakah menetapkan pantat atau tidak?, apakah kedua pantatnya tidak pada kondisi di tempat menetapnya sebelum sadar atau setelahnya? Yakin bermimpi besertaan tidak ingat tidur tidaklah memberi dampak sama sekali. Berbeda bila ketika ragu tentang hal itu sebab yakin bermimpi merupakan hal yang lebih diunggulkan dari salah satu dari dua sisi keraguan.
Yang ketiganya adalah menyentuh kemaluan manusia atau tempat terpotongnya walaupun milik mayit atau anak kecil, baik kemaluan tersebut kelamin atau anus, masih menempel atau sudah terputus (88) kecuali anggota yang terputus di saat khitan. Anggota yang batal disentuh dari anus adalah dua bibir lubang anus dan dari kelamin wanita adalah dua bibir vagina, tidak bagian selain dari keduanya seperti tempat khitan. Benar tidak membatalkan, namun disunnahkan berwudhu’ dari menyentuh sejenis bulu kemaluan, bagian dalam pantat, dua testis, rambut yang tumbuh di atas dzakar, pangkal paha, menyentuh wanita kecil, menyentuh lelaki tampan yang belum berkumis, menyentuh orang berpenyakit lepra, menyentuh orang Yahudi, setelah bekam, melihat dengan syahwat, walaupun pada mahramnya, mengucapkan maksiat, marah, membawa mayit dan menyentuhnya, memotong kuku dan mencukur kumis, dan mencukur rambut. Dikecualikan dari manusia adalah kemaluan hewan sebab hewan tidaklah menimbulkan nafus oleh karena itu diperbolehkan untuk melihat kemaluannya. (Menyentuh yang dapat membatalkan adalah bila dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan) sebab sabda Rasūl s.a.w.: Barang siapa menyentuh kemaluan – dalam satu riwayat – Barang siapa menyentuh dzakar, maka berwudhu’lah. Batin telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan, batin jari-jari, dan anggota yang membengkok ke arah keduanya ketika ditelangkupkan dengan sedikit menekan, bukan ujung jari-jari dan anggota yang berada di antara jari-jari dan sisi telapak tangan.
(Yang) keempatnya adalah (bertemunya kulit lelaki dan perempuan) walaupun dengan tanpa syahwat, dan walaupun salah satunya dipaksa satu mayit namun wudhu’nya mayit tidaklah batal. Yang dikehendaki dari kulit dalam bab ini adalah selain rambut, gigi dan kuku seperti yang telah disampaikan guru kita dan selain batin mata. Hal itu karena firman Allah: Atau kalian semua menyentuh wanita. Kalau seandainya seseorang ragu apakah ia menyentuh rambut atau kulit, maka wudhu’nya tidak batal seperti kasus ketika tangannya berada di atas kulit, namun ia tidak tahu apakah kulit tersebut milik lelaki atau wanita atau seseorang ragu, apakah ia menyentuh mahram atau wanita lain. Guru kita mengatakan dalam Syaraḥ ‘Ubāb: Kalau seandainya ada seorang yang adil memberi kabar bahwa yang ia sentuh adalah wanita lain atau kabar tentang kentut saat tidur dengan menetapkan pantatnya, maka wajib untuk mengindahkan ucapannya.
(Besertaan keduanya telah dewasa), maka tidak membatalkan dengan sebab pertemuan dua kulit anak kecil atau salah satunya sebab tiadanya tempat praduga timbulnya syahwat. Yang dimaksud anak kecil adalah anak yang belum menimbulkan nafsu secara umumnya. (Tidak batal) bertemunya dua kulit yang di antara keduanya (terdapat sifat mahram) dengan sebab jalur pernikahan karena tidak adanya kecurigaan timbulnya syahwat. Kalau seandainya mahramnya serupa dengan wanita lain yang dapat terhitung jumlahnya kemudian ia menyentuh salah satu wanita itu maka wudhu’nya tidak batal. Begitu pula bila dengan wanita lain yang tak terhitung menurut pendapat yang unggul. (Keyakinan telah berwudhu’ atau telah hadats tidaklah dapat hilang dengan dugaan sebaliknya) dan juga tidak dengan keraguan dengan pemahaman yang lebih utama. Maka orang itu harus mengambil hukum yang yakin sebagai upaya untuk melanggengkan hukum semula.
Haram sebab janabah berdiam di dalam masjid, menyengaja membaca al-Qur’ān walaupun sebagian ayat sekira terdengar diri sendiri walaupun anak kecil, berbeda dengan fatwa Imām Nawawī. Haram dengan sebab sesamanya haid tidak dengan sebab keluarnya darah saat melahirkan. – untuk melakukan shalat, membaca al-Qur’ān dan puasa. Wajib untuk mengqadha’ puasa dan tidak wajib mengqadha’ shalat, bahkan haram hukumnya menurut pendapat yang lebih unggul.
(Bersuci yang kedua adalah mandi). Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedang secara syara‘ adalah mengalirkan air pada seluruh tubuh disertai dengan niat. Tidak wajib untuk segera mandi walaupun sebab yang mengharuskan mandi itu adalah maksiat berbeda dengan najis yang sebabnya adalah maksiat. Pendapat yang masyhur dalam pembicaraan ulama’ fiqh adalah dengan membaca dhammah ghain lafazh al-ghuslu, namun dengan membaca fatḥah akan lebih fasih. Dengan membaca dhammah berarti memiliki makna pekerjaan mandi dan air yang digunakan.
(Hal yang mewajibkan mandi) ada empat. Yang pertama adalah (keluarnya mani seseorang; yang pertama). Air mani dapat diketahui dengan salah satu dari tiga sifatnya khususnya: Merasa nikmat sebab keluarnya, keluar dengan tercurat, berbau adonan roti saat basah dan putih telur ketika kering. Jika tidak dijumpai kekhususan ini, maka tidaklah wajib untuk mandi. Benar tidak wajib mandi, namun kalau seandainya seseorang ragu pada sesuatu apakah itu mani ataukah madzi? maka diperbolehkan baginya untuk memilih walaupun sekehendak hatinya. Jika ia mau, boleh menjadikannya mani dan wajib mandi atau menjadikan madzi dan membasuhnya lalu berwudhu’. Kalau seandainya seseorang melihat mani yang kering di bajunya maka wajib untuk mandi dan mengulangi setiap shalat yang diyakini telah dikerjakan setelah melihat mani tersebut selama mani tersebut tidak ada kemungkinan secara adatnya milik orang lain. (Yang) kedua adalah masuknya (kepala penis) atau kadar dari kepala penis yang terpotong, dari hewan atau dari mayit. (ke dalam kemaluan) baik kelamin ataupun anus (walaupun milik hewan) seperti ikan laut ataupun mayit. Mandinya mayit tidak perlu di ulangi sebab tanggungannya terhadap hukum syari‘at telah terputus.
وَ) رَابِعُهَا: (نِفَاسٌ) أَيِ انْقِطَاعُهُ، وَ هُوَ دَمُ حَيْضٍ مُجْتَمِعٍ يَخْرُجُ بَعْدَ فِرَاغِ جَمِيْعِ الرَّحْمِ، وَ أَقَلُّهُ لَحْظَةً، وَ غَالِبُهُ أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا، وَ أَكْثَرُهُ سِتُّوْنَ يَوْمًا. وَ يَحْرُمُ بِهِ مَا يَحْرُمُ بِالْحَيْضِ، وَ يَجِبُ الْغَسْلُ أَيْضًا بِوِلَادَةٍ وَ لَوْ بِلَا بَلَلٍ، وَ إِلْقَاءِ عَلَقَةٍ وَ مُضْغَةٍ، وَ بِمَوْتِ مُسْلِمٍ غَيْرِ شَهِيْدٍ.
(Yang) ketiganya adalah (berhentinya haid). Haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita di waktu-waktu tertentu. (Minimal wanita dapat mengalami haid adalah wanita yang sempurna berumur sembilan tahun Qamariyyah). Benar minimalnya sempurna sembilan tahun, namun jika ada seorang wanita yang belum sempurna umur tersebut dengan kurang 16 hari, maka itu namanya haid. Minimal haid adalah satu hari satu malam dan maksimalnya adalah 15 hari seperti minimal suci di antara dua haid. Diharamkan dengan sebab haid hal-hal yang diharamkan sebab junub, dan ditambah dengan keharaman menyentuh anggota di antara pusar dan lutut. Sebagian pendapat mengatakan hal itu tidaklah haram selain bersetubuh. Pendapat tersebut dipilih oleh Imām Nawawī dalam kitab Taḥqīq-nya sebab hadits yang diriwayatkan Imam Muslim: Lakukanlah segala sesuatu selain bersetubuh. Ketika darah telah terputus maka halal bagi wanita tersebut sebelum mandi untuk melakukan puasa, tidak bersetubuh, berbeda dengan pendapat yang telah dibahas oleh al-‘Allāmah Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī semoga Allah mengasihinya –
(Yang) keempatnya adalah (berhentinya nifas). Nifas adalah darah haid yang terkumpul setelah kosongnya seluruh rahim. Minimal dari nifas adalah satu tetes, umumnya 40 hari, dan maksimalnya 60 hari. Haram sebab nifas (adalah sama dengan) semua keharaman sebab haid. Dan juga wajib untuk melakukan mandi sebab melahirkan (88) walaupun tanpa cairan basah, sebab mengeluarkan segumpal darah, segumpal daging (99) dan sebab matinya orang muslim yang tidak syahid.
(Kefardhuan mandi) ada dua hal. Yang pertama adalah (niat menghilangkan hukum janabah) bagi orang junub, menghilangkan hukum haid bagi orang haid (atau) berniat (menunaikan kefardhuan mandi), menghilangkan hadats, niat bersuci dari hadats atau niat menunaikan mandi, begitu pula berniat mandi untuk shalat, tidak berniat mandi saja. Niat haruslah (dibarengkan dengan permulaan mandi) maksudnya adalah awal anggota yang dibasuh walaupun dari anggota tubuh bagian bawah. Jika seseorang berniat setelah membasuh satu bagian tubuh, maka wajib mengulangi membasuh anggota tersebut. Jika setelah berniat menghilangkan janabah dan membasuh sebagian tubuhnya lalu tidur kemudian bangun dan meneruskan anggota tubuh yang lain, maka tidak perlu untuk mengulangi niatnya.
(Yang) kedua adalah (meratakan air ke seluruh anggota luar badan) sampai pada kuku-kuku, anggota yang berada di bawahnya, (seluruh rambut) luar dalam walaupun tebal, anggota yang terlihat dari tempat tumbuhnya rambut yang terlepas sebelum membasuhnya, lubang kuping, vagina wanita saat duduk jongkok, anggota tubuh yang robek dan bagian dalam bisul yang terbuka ujungnya, tidak batin luka yang telah sembuh dan kulitnya telah hilang dan tidak tampak sesuatu di bawahnya. Haram hukumnya menyobek jari-jari yang rekat. (Kewajiabn tersebut sampai pada anggota yang berada di bawah kuncup bagi lelaki yang belum khitan). Maka wajib untuk membasuh bagian dalamnya sebab kuncup tersebut harus dihilangkan, tidak batin rambut yang terikat dengan sendirinya walaupun banyak. Tidak wajib berkumur dan menyerap air dari hidung, akan tetapi hukumnya makruh meninggalkan keduanya. (Dengan menggunakan air yang suci mensucikan). Telah lewat penjelasan tentang bahayanya perubahan air dengan perubahan yang dapat merusak kesucian air, walaupun dengan sebab sesuatu yang berada pada anggotanya sendiri, berbeda dengan pendapat segolongan ‘ulama’. (Cukup adanya praduga telah ratanya air terhadap kulit dan rambut) walaupun tidak meyakinkannya. Maka tidak wajib baginya untuk yakin telah ratanya air, bahkan cukup dengan praduga saja seperti halnya wudhu’.
(Cabang Masalah). Kalau seandainya seseorang melakukan mandi junub dan semacam mandi Jum‘at dengan niat keduanya, maka keduanya dapat dihasilkan, walaupun yang utama adalah menyendirikan setiap satu mandi. Atau berniat salah satunya, maka yang hasil hanyalah satu saja. Kalau seandainya seseorang berhadats kemudian junub, maka cukup melakukan satu mandi walaupun ia tidak berniat wudhu’ besertana mandi itu. Dan tidaklah ada hukum tartib di antara anggota-anggotanya.
(Syarat yang kedua) dari shalat adalah (sucinya badan), sebagian dari badan adalah bagian dalam mulut, hidung, dan kedua mata, (sucinya pakaian) dan selainnya, yakni dari setiap hal yang dibawa walaupun tidak ikut bergerak dengan gerakannya. (Dan tempat) shalatnya (dari najis) yang tidak dapat diampuni. Maka tidak sah shalat besertaan dengan najis tersebut atau tidak mengerti dapat membatalkannya najis terhadap shalat. Hal itu sebab firman Allah ta‘ālā: Dan sucikanlah pakaianmu, dan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhar-Muslim. Tidak masalah sejajarnya najis terhadap badannya, namun hukumnya makruh seperti menghadap najis atau benda yang terkena najis. Melurusi terhadap atap yang najis hukumnya juga makruh jika atap tersebut dekat dengannya, sekira orang tersebut dianggap melurusinya secara umumnya.
Najis menurut syarak: Segala kotoran yang menghalangi kesahan salat yang dikerjakan dalam keadaan tiada keringanan.
Seperti: 1-2 Tinja (tahi, facces), Air kemih (urine), sekalipun keluar dari burung, ikan, belalang dan binatang yang berdarah tidak mengalir, ataupun dari binatang yang dagingnya halal dimakan, menurut pendapat yang Ashah.
Al-Ashthakhri dan Ar-Rauyani, dari kalangan ulama Syafi’iyah, sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad, berkata: Tinja dan air kemih dari binatang yang halal dimakan hukumnya adalah suci. Andaikata ada binatang berak atau memuntahkan biji-bijian, maka jika biji tersebut keras, dalam arti kalau ditanam masih bisa tumbuh, adalah dihukumi seperti barang yang terkena najis: kalau tidak keras, dihukumi najis.
Dalam pada itu, para fukaha tidak menjelaskan hukum selain bijian.
Guru kami menjelaskan: Yang jelas, jika pada selain bijian itu terdapat perubahan dengan keadaan sebelum ditelan, meskipun sedikit, maka hukumnya adalah najis: kalau tidak, hukumnya adalah barang yang terkena najis.
Di dalam kitab Al-Majmu’ dari penjelasan Imam Asy-Syekh Nashr dikatakan, bahwa air kemih sapi penggiling yang mengenai bijian yang digiling, adalah diampuni adanya (sebab darurat).
Dari penjelasan Imam Al-Juwaini, tampaklah akan begitu pengingkarannya untuk membahas . dan menyuakan barang tersebut.
Menurut pembahasan Imam Al: Fazari, bahwa tinja tikus jika masuk ke benda cair dan hal itu sudah menjadi bencana yang umum, adalah diampuni adanya.
Mengenai apa yang kita lihat pada lembaran-lembaran daun, seperti buih, adalah najis. Sebab perkara tersebut keluar dari perut ulat, sebagaimana yang telah kita saksikan sendiri.
‘Anbar bukanlah termasuk tinja –berbeda dengan pendapat yang mengategorikannya–, tapi ia adalah tumbuhan yang tumbuh di laut.Madzi: dengan dititik dalnya — dengan alasan adanya perintah membasuh zakar darinya.
Ia adalah barang cair yang berwarna putih atau kuning, yang biasanya keluar sewaktu nafsu seks bergejolak tidak begitu kuat.Wadi, tertulis dengan dal tidak bertitik. Yaitu: Air putih, kotor dan kental yang biasa keluar setelah buang air kencing, atau ketika membawa sesuatu yang berat.Darah, sekalipun hanya percikan yang masih tertinggal pada semacam tulang. Hanya saja darah yang semacam itu hukumnya maju.
Para fukaha mengecualikan: hati, limpa, misik –sekalipun yang terjadi dari kijang mati-segumpal darah bibit bayi, segumpal daging bibit bayi, air susu yang keluar berwarna darah dan darah telur yang masih segar, belum busuk.Nanah, karena ia merupakan darah yang telah mengalami perubahan. Jug# nanah darah, yaitu cairan tidak kental yang bercampur darah.Air luka, air bisul, air koreng, jika telah berubah, kalau tidak . berubah, maka air tersebut suci seperti semula.Muntahan dari perut, sekalipun tidak berubah dari keadaan aslinya.
Muntahan adalah makanan yang keluar kembali setelah sampai ke dalam perut, sekalipun berupa air.
Mengenai makanan yang keluar lagi sebelum sampai dalam perut, –baik diyakinkan atau dimungkinkan–, maka bukan termasuk najis bukan juga benda terkena najis, lain halnya dengan pendapat Imam Al-Qaffal.
Guru kami berfatwa: Sesungguhnya bayi yang sakit sering muntah, muntahnya yang mengena puting susu ibu yang masuk dalam mulutnya adalah dima’fu: lain halnya dengan muntah yang mengena pada waktu mencium atau memegang mulutnya.Empedu, air susu binatang yang tidak halal dimakan, selain manusia dan makanan kunyahan kedua kalinya dari semisal unta (binatang pemamah biak).
Mengenai air sperma, hukumnya adalah suci, lain halnya dengan pendapat Imam Malik r.a.
Termasuk suci lagi, liur dahak selain yang keluar dari perut, seperti dari kepala atau dada, dan lendir dari mulut orang tidur, sekalipun berbau busuk juga menguning, selagi tidak jelas keluar dari perut: selain lendir orang yang berpenyakit selalu mengeluarkan lendir perut, maka lendir semacam ini dima’fu, sekalipun jumlahnya banyak.
Air farji (kelenjar bartholini) termasuk suci, yaitu air putih bersifat tengah-tengah antara madzi dan keringat, keluar dari bagian dalam farji yang tidak wajib dibasuh, Air ini menurut pendapat yang Ashah hukumnya adalah suci secara pasti tanpa ada perselisihan). Berbeda dengan yang keluar dari dalam farji yang wajib dibasuh. Air yang keluar dari dalam bilik farji, secara pasti air ini hukumnya najis, hukumnya seperti segala sesuatu yang keluar dari dalam farji, (kecuali telor. dan bayi), dan seperti air yang keluar bersamaan atau menjelang bayi lahir. Menurut pendapat yang Muktamad: Air yang ada dalam farji tersebut, semua adalah tidak ada perbedaan antara sudah terpisah atau belum dari farji:
Sebagian ulama berkata: Perbedaan antara air farji yang suci dan najis, adalah terletak pada terpisah atau tidaknya. Dalam kitab Al-Kifayah dari pendapat Imam Al-Haramain, bahwa air yang terpisah hukumnya najis.
Tidak wajib membasuh zakar setelah bersetubuh, telor dan anak yang baru lahir.
Guru kami berfatwa, bahwa basaban bawasir (cairan tran, sudasi plasma) itu diampuni bagi orang yang terkena penyakit tersebut.
Termasuk suci lagi: Telor binatang yang tidak halal dimakan dagingnya, -telor binatang ini menurut pendapat Ashah adalah halal dimakan-, rambut dan bulu binatang yang halal dimakan, jika telah dicabut waktu hidupnya. Jika diragukan, apakah rambut (bulu) tersebut dari binatang yang halal dimakan atau haram: atau apakah terpisah dari binatang yang masih hidup atau bangkai, maka hukum rambut (bulu) tersebut adalah suci.
Dalam hal ini, tulang dapat dikiaskan hukumnya dengan bulu. Seperti itulah yang dijelaskan dalam kitab Al-Jawahir.
Telor bangkai itu jika sudah mengeras, hukumnya adalah suci, kalau masih lunak, hukumnya adalah najis.
Air sisa minuman dari binatang yang suci, adalah suci juga. Andaikata moncongnya terkena najis, lalu menjilat air yang sedikit atau benda cair lainnya, maka hukumnya: Jika waktu minum itu setelah pergi jauh dalam tempo yang memungkinkan untuk menyucikan moncongnya, kembali dengan mencelupkan ke air yang banyak atau air mengalir, maka air yang sedikit tersebut adalah tetap suci, sekalipun binatang itu adalah kucing, kalau tidak habis pergi seperti tersebut di atas, maka hukum air sedikit itu adalah najis.
Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami, sebagaimana Imam As-Suyuti berkata –dengan mengikuti Ulama Mutaakhirin–: Sesungguhnya najis yang sedikit menurut penilaian umuin adalah dima’fu, yaitu rambut najis, selain najis mughallazhah, asap benda najis, najis yang terdapat di kaki lalat meskipun terlihat oleh mata, kotoran yang tertinggal pada pintu pelepasannya (anus), kotoran burung, najis yang ada pada moncongnya, kotoran binatang yang tumbuh dalam air (misalnya lintah) atau kotoran binatang kecil yang hidup di selasela daun nyiur yang dianyam untuk menahan air hujan di atap rumah, sekira sulit menyelamatkan air dari kotoran tersebut.
Segolongan ulama berpendapat: Termasuk najis yang diampuni adanya, yaitu najis yang terbawa oleh tikus dari kamar-kamar WC, jika najis itu meratai, Pendapat ini dikuatkan oleh pembahasan Imam Al-Fazari.
Syarat najis-najis tersebut diampuni, jika najis tersebut tidak sampai mengubah air. -selesai-.
Binatang musang kasturi adalah suci. Sedang najis yang ada di beberapa helai bulunya, umpama tiga helai, diampuni adanya. Para ulama tidak menjelaskan: Apakah yang dimaksudkan dengan rambut yang sedikit itu yang diambil dari musang ataukah yang tertinggal di dalam wadah tempat musang tersebut diambil minyaknya.
Dalam hal. ini, Guru kami menerangkan: Pendapat yang jelas alasannya adalah yang awal (rambut yang diambil dari musang), jika bahan minyak kasturi tersebut sudah padat. Sebab yang ditinjau dalam kepadatan adalah pada tempat najis saja (dasarnya: Hadis yang berkaitan dengan masalah tikus yang jatuh ke dalam bubur saman pen).
Jika najisnya banyak dan berada pada satu tempat, maka tidak diampuni adanya di tempat tersebut (benda padat): kalau najisnya sedikit, diampuni. Lain halnya dengan benda cair, sebab jumlah keseluruhannya seperti barang tunggal.
Jika rambut yang berada dalam benda cair itu sedikit, maka diampuni adanya: kalau tidak demikian, tidak diampuni. Dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan rambut musang yang diambil dalam keadaan minyak kasturi berupa cair.
Imam Al-Muhib Ath-Thabari menukil sebagai pegangannya, dari Ibnu Shabagh, bahwa makanan yang dikeluarkan untuk dikunyah kedua kali oleh unta dan binatang lainnya (pemamah biak), adalah tidak menajiskan air yang diminumnya.
Ia juga menyamakan hukum. mulut binatang pemamah biak, seperti anak lembu dan biri-biri, waktu menyesap puting induknya, dengan masalah di atas.
Ibnu Shalah berkata: Sesuatu yang terkena sedikit kotoran dari mulut sang bayi, yang jelas – jelas najis adalah diampuni adanya. Selain Ibnu Shalah menyamakan hukum mulut orang-orang gila dengah mulut anak kecil di atas. Seperti ini, Imam Az-Zarkasyi telah memegang kuat.(Termasuk benda najis lagi): Bangkai, meskipun sejenis bangkai lalat, yaitu binatangbinatang yang berdarah tidak mengalir. Pendapat ini bertentangan dengan Imam AlOaffal dan ulama yang mengikutinya, tentang kesucian binatang sejenis lalat dengan alasan tidak ada darah busuk padanya, hal ini seiring dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik r.a.
Oleh karena itu, bangkai adalah najis, sekalipun tidak berdarah mengalir (darah dingin). Begitu juga rambut, tulang dan tanduknya. Pendapat tersebut berbeda dengan Imam Abu Hanifah r.a. Beliau berpendapat: Rambut bangkai dan seterusnya adalah suci, jika tidak terdapat lemak padanya (jika ada lemaknya, maka hukumnya najis).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (ulama yang terkenal ahli hadis) mengeluarkan fatwa, bahwa salat orang yang membawa bangkai lalat adalah sah, jika ia berada di tempat yang sulit untuk menghilangkannya.
Selain bangkai manusia, ikan dan belalang. Dengan alasan, ikan dan belalang adalah halal dimakan. Mengenai bangkai manusia, berdasarkan firman Allah swt.: “Dan sungguh telah Kami muliakan manusia”, Dan di antar2 bentuk memuliakannya, adalah menghukumi akan ke- udaknajisannya sebab mati.
Dan selain binatang hasil buruan. yang mati sebelum disembelih (misalnya mati sebab binatang pemburu atau alat tajam). Begitu juga janin binatang yang mati : sebab induknya disembelih.
Hukumnya adalah halal, ulat yang ikut termakan bersama perkara yang menyertainya (misalnya buah-buahan), juga tidak wajib mencuci mulut setelah memakannya.
Dinukil dari beberapa Ashhabus Syafi’iyah dalam kitab Al-Jawahsy, bahwa hukumnya tidak halah memakan ikan asin sebelum dibersihkan kotoran-kotoran yang berada dalam perutnya.
Menurut lahir penJapat tersebut, “adalah tidak ada perbedaan antara ikan besar dan kecil.
Akan tetapi, Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) mengemuka“kan kebolehan memakan ikin asin kecil bersama kotoran yang berada di dalam perutnya, karena sulit membersihkannya.Barang yang memabukkan, Artinya, segala yang dapat memabukkan, termasuk di sini setetes barang yang bisa memabukkan.
Yang cair, misalnya arak, yaitu minuman yang terbuat dari anggurdan .nabidz,. yaitu minuman yang memabukkan. yang terbuat dari selain anggur.
Kata-kata “cair”, terkecualikan sejenis pohon ganja dan rumput.
Khamar dapat menjadi suci setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa dicampuri benda lain –sekalipun tidak mempengaruhi dalam perubahannya menjadi cuka, misalnya krikil-wadahnya menjadi suci juga, sekalipun arak mendidih dan membuih, lalu sebab pendidihan surut ke bawah lagi.
Jika pembuihan khamar tersebut bukan karena pendidihan, tetapi sebab dikocok umpama, maka khamar tersebut tidak dihukumi suci. Sekalipun dituangkan arak lain di atas wadah sebelum atau sesudah kering, atas dasar beberapa peninjauan, seperti yang dipegang teguh oleh Guru kami.
Menurut apa yang dipegang oleh Guru kami, Al-Muhaggig Abdur Rahman bin Ziyad: Arak menjadi suci jika penuangan arak lain sebelum kering arak bagian atas, bukan yang kering setelahnya.
Kemudian beliau berkata: Jika arak dituangkan dalam wadah dan diambil kembali, Talu setelah kering wadah itu dituangi arak lain dan wadah belum dicuci, maka arak ini tidak bisa suci, sekalipun arak itu baru berubah setelah dipindahkan ke tempat lain. -Selesai-.
Tanda-tanda yang menunjukkan kalau khamar itu menjadi cuka, adalah rasanya masam, meskipun belum benar-benar masam dan masih membuih.
Kulit bangkai yang najis bisa menjadi suci: Dengan cara disamak sampai bersih: sekiranya tidak akan busuk dan hancur setelah itu, jika direndam dalam air.Termasuk najis: Anjing, babi, dan keturunan masing-masing dalam tunggal jenis atau berkawin dengan binatang (suci) lainnya.
Ulat bangkai anjing dan babi adalah suci. Begitu juga benang laba-laba: menurut pendapat yang masyhur, seperti yang dikemukakan oleh Imam As: Subki dan Imam Al-Adzra’i.
Pengarang kitab AlUddah dan AlHawi memantapkan atas najis benang laba-laba dan perkara yang keluar dari kulit, semacam ular hidup, sebagaimana hukum keringatnya. Hal ini telah difatwakan oleh sebagian ulama.
Akan tetapi Guru kami berpendapat: Dalam masalah tersebut, ada tinjauan khusus. Yang lebih mendekati kebenaran, bahwa perkara yang keluar dari semacam ular hidup adalah najis, sebab merupakan bagian yang terbentuk sendiri, yang terpisah dari binatang hidup, maka hukumnya sebagaimana bangkai.
Guru kami berpendapat lagi: Jika seekor anjing atau babi menyetubuhi wanita, lalu melahirkan bayi manusia, maka bayi itu hukumnya adalah najis. Di samping itu, ia termasuk mukalaf yang wajib salat dan lain-lainnya. Yang jelas, persentuhan (orang lain) dengan anak tersebut dalam keadaan terpaksa, adalah diampuni.
Sesungguhnya dia sah menjadi imam salat –sebab dia tidak wajib mengulangi salatnya-boleh masuk mesjid untuk berjamaah dan lain-lainnya, sekira badannya kering.
Mencuci barang yang terkena najis Ainiyah, adalah dengan membasuhnya sampai hilang sifat-sifat najis, baik rasa, bau dan: warngnya. : :
Warna bekas najis atau baunya yang sulit dihilangkan –sekalipun dari najis mughallazhah–, adalah tidak menjadi masalah.
Jika masih terdapat warna dan baunya, maka benda tersebut belum suci.
Barang yang terkena najis hukmiyah –seperti air kencing yang telah kering dan hilang semua sifat-sifatnya–, cukup disucikan dengan merigalirkan air satu kali. Jika barang tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasak dengan barang najis, atau pakaian yang diwarna dengan benda najis, maka dalamnya bisa menjadi suci dengan menyiram luarnya, seperti halnya pedang yang ditempa dengan benda najis, maka cukup disiram bagian luarnya, sucilah seluruhnya.
Disyaratkan agar suci tempat yang terkena najis, hendaklah air yang sedikit sampai pada tempat najis.
Jika barang yang terkena najis sampai (dicelupkan) pada air sedikit, bukan banyak, maka air sedikit tersebut hukumnya menjadi najis, sekalipun air tidak mengalami perubahan. Karena itu, air tersebut tidak bisa menyucikan barang lain.
Air yang mendatangi (mengairi) pada tempat yang terkena najis, tidak gama dengan lainnya (batang terkena najis, yang mendatangi/memasuki air), sebab air yang ada pada bentuk pertama dengan kekuatannya bisa menolak najis (pada diri dan lainnya).
Jika mulut seseorang terkena najis, maka cukuplah mengambil air dengan tangan lalu membasuhnya, sekalipun udak mencucurkan air dari atas mulutnya, sebagaimana pendapat Guru kami.
Di samping itu, dha wajib mencua bagian luar mulut, meskipun sekadar memutarkan air dengan tangannya.
Sebagaimana menuangkan air dalam wadah yang terkena najis, lalu memutar-mutarkannya ke samping kun-kanan (hal wu sudah mencukupi atas kesuaan wadah tersebut –pen).
Bagi orang seperu di mas, udak boleh menelan sesuatu sebelum mulutnya sua kembali, meskupun sekadar membolak-balik dalam kerongkongan.
Cabang:
Jika sejengkal tanah terkena semacam air kencing dan telah kering, lalu pada tempat itu dituangkan air sampai merata, maka tanah tersebut sudah menjadi sua, sekalipun air tidak masuk dalam pori-pori tanah, baik tanah itu keras ataupun gembur.
Jika tanahnya tidak dapat meresap najis yang mengenainya, maka sebelum menuangkan air yang sedikit, harus dihilangkan benda najisnya, sebagaimana jika najis itu berada di suatu tempat.
Jika najis itu keras dan telah hancur, lalu bercampur dengan debu, maka tempat yang terkena najis tidak bisa menjadi suci sebab dengan menuangkan air “sebagaimana debu yang tercampur sejenis nanah berdarah–, tetapi semua tanah (debu) yang tercampuri najis itu harus dihilangkan.
Sebagian fukaha memfatwakan kewajiban membasuh Mushaf yang terkena najis yang tidak ma’fu, sekalipun menyebabkan rusak, atau milik anak yatim.
Guru kami berkata: Bahkan membasuh Alqur-an yang terkena najis dihukumi fardu ain. Lain halnya jika najisnya hanya mengenai pada sejenis sampul atau tepian Mushaf.
Air bekas basuhan barang yang terkena najis –sekalipun najis ma’fu, seperti setitik darah adalah suci hukumnya. Jika air telah pisah (dari tempat yang dicuci), sedangkan materi dan sifat-sifat najis telah hilang, air tidak berubah, timbangannya tidak bertambah setelah diperhitungkan air yang meresap pada baju (yang dicuci) dan air tambahan dari kotoran, serta tempat yang terkena najis (baju) yang suci kembali.
Guru kami berkata: Yang jelas, untuk perhitungan banyaknya air yang terserap dan yang tambahan dari kotoran, adalah cukup dengan persangkaan saja.
Cabang:
Umpama ada seekor tikus jatuh di tengah-tengah makanan yang padat, misalnya bubur samin, lalu mati, maka cukuplah diambil serta membuang bagian sekelilingnya yang terkena. Sedangkan sisanya tetap suci.
Batas makanan disebut padat adalah bila diambil sebagian, maka bagian kiri-kanannya tidak meleleh ke bagian yang terambil tadi.
Cabang:
Jika air perigi yang sedikit terkena najis, maka tidak bisa suci dengan cara dikuras. Tapi harus dibiarkan lebih dahulu, agar air bertambah banyak dari sumbernya, atau dengan menambah air yang lain:
Kalau air perigi itu banyak, tetapi telah berubah lantaran najis tersebut, maka air itu tidak bisa menjadi suci sebelum perubahan itu hilang.
Jika dalam air perigi yang banyak ini masih tertinggal najis, misalnya bulu tikus, sedangkan 2ir udak berubah, maka air tersebut dihukumi suci, dan menyucikan namun tidak bisa digunakan (dengan diambil menggunakan timba atau lainnya -pen).
(Air tersebut tidak bisa dipergunakan) sebab timba penciduknya senantiasa terkena ramLut najis itu.
Hendaknya air yang berada dalam perigi dikuras dulu semuanya.
Jika seseorang menciduk sebelum air dikuras, serta ia tidak meyakini ada rambut tikus yang ikut, maka tidaklah mengapa (air tetap suci), bahkan meskipun ia mempunyai persangkaan rambut (bulu) ikut terciduk: terikutnya rambut, dasarnya adalah mele: takkan prinsip mendahulukan asal dari pada hukum lahir.
Barang yang terkena najis semacam anjing (najis mughallazhah) bisa suci kembali dengan mencucinya tujuh kali basuhan, setelah materi najisnya hilang, sekalipun baru hilang setelah beberapa basuhan, dalam hal ini banya dihitung sekali. Salah satu di antara basuhan tersebut dicampur dengan debu yang sah digunakan tayamun, yang dicampur dengan air, sekira menjadi keruh dan ada bekasnya di air itu, serta ketujuh basuhan tersebut meratai tempat yang terkena najis.
Jika barang yang terkena najis dimasukkan dalam air yang tidak mengalir, maka cukuplah dengan menggerakkan sebanyak tujuh kali.
Guru kami berkata: Dalam hal ini telah jelas, bahwa gerakan ke sana dihitung sekali, dan kembali lagi dihitung satu kali lagi.
Jika dimasukkan dalam air yang mengalir, cukuplah dengan lewatnya tujuh kali aliran air. Jika di tanah yang berdebu, maka air tidak usah dicampur dengan debu lagi (maksudnya tanah yang terkena najis ini, lalu disucikanpen).
Cabang:
Jika seseorang menyentuh anjing dalam air yang banyak, maka tangannya tidak menjadi najis. Jika anjing mengangkat kepalanya dari wadah yang terisi air (sedikit) dan mulutnya basah, tetapi tidak diketahui ia telah menyentuhnya, maka air tersebut tidak dihukumi najis. Imam Malik dan Imam Dawudr.a. berkata: Anjing itu hukumnya sua (begitu juga menurut Imam Malik, babi itu hukumnya suci -pen). Air sedikit yang terjilat anjing tidak menjadi najis. Hanya saja wadah yang terjilat anjing wajib dibasuh, semata-mata karena penekanan ibadah (bukan karena najis).
Najis yang diampuni (ma’fu) adanya:1. Semacam darah nyamuk, termasuk segala serangga yang berdarah tidak mengalir (darah dingin), misalnya mrutu dan kutu. Kalau kulitnya tidak termasuk diampuni.Darah sejenis kudis, misalnya bisul api (udun semat), darah luka-luka, nanah dan nanah darah (nanah uwuk: Jawa). Sekalipun darah nyamuk dan kudis itu banyak dan mengalir bersama-sama keringat. Untuk yang pertama (darah nyamuk), meskipun sampai meratai pakaian –menurut nukilan. nukilan yang dapat dipegangi–. (Dengan syarat) darah-darah tersebut bukan diusahakan oleh orang yang bersangkutan.
Jika darah-darah tersebut banyak karena diusahakan, misalnya sengaja membunuh nyamuk pada pakaiannya, memeras kudis, memakai pakaian yang berlumuran darah nyamuk misalnya, lalu dipakai salat, atau tikar yang dipakai salat berlumuran darah, atau memakai pakaian tambahan yang berdarah tanpa tujuan sebagaimana berhias, maka darah semacam ini tidak diampuni adanya, kecuali jika darah itu hanya sedikit –sebagaimana yang dikatakan oleh pendapat yang Ashah–
Hal di atas sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Tahqiq dan Al-Majmu’, Meskipun pembicaraan “kitab” Ar-Raudhah menetepkan, babnya darah sejenis kudis sekalipun diperas dan jumlahnya banyak, adalah dumpuni adanya: Di mana Ibnu Nagib dan Al-Adzra’i berpegangan kitab Ar-Raudhah tersebut. Status ampunan dalam masalah ini dan yang akan dituturkan nanti, adalah terletak pada penggunaan salat, bukan pada semacam air yang sedikit, karena hal ini menjadikan air najis, sekalipun jumlah najis yang mengenai sedikit.
Tidak mempengaruhi bagi badan yang dalam keadaan basah terpercik darah sedikit yang diampuni adanya, lagi pula udak | wajib menyeka badan, sebab hal tersebut sulit dilakukan,Darah sedikit yang timbul dari orang lain, yang bukan najis mughallazhah. Lain halnya jika najis berjumlah banyak. Termasuk kategori darah orang lain, misalnya yang dikatakan oleh Imam Al-Adzra’i, adalah: Darah sendiri yang telah terpisah, lalu mengenai pada badannya.Darah sedikit jenis haid dan darah hidung, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu’ Dikiaskan dengan keduanya, adalah darah semua lubang tubuh selain lubang jalan najis, seperti cloaca (lubang anus atau dubur). Dasar penilaian sedikit dan banyak, adalah kebiasaan yang berlaku.
Sesuatu yang masih disangsikan akan banyaknya, adalah dihukumi sedikit. Jika ada darah berceceran di berbagai tempat, seandainya dikumpulkan jumlahnya banyak, menurut Imam Al-Haramain, darah itu dihukumi sedikit. Sedangkan menurut Imam AlGhazali, Al-Mutawalh dan lainnya, adalah dihukumi darah banyak. Pendapat yang terakhir ini telah dikuatkan oleh sebagian fukaha.Darah yang keluar sebab tusuk jarum dan bekam, sekalipun banyak, selagi masih berada di tempatnya.
Salat dihukumi sah, bagi orang yang gusinya berdarah sebelum dicuci, selagi ia belum menelan ludah ketika salat. Sebab, darah gusi itu dima’fu adanya, dalam arti bila bercampur dengan air ludah sendiri. Jika seseorang mulai mengeluarkan darah hidung sebelum salat dan terus-menerus keluar darahnya,. maka jika dapat diharapkan pendarahannya selesai dalam waktu salat masih luas, hendaknya ia menanti berhentinya, kalau tidak, hendaknya disumbat sebagaimana orang yang beser kencing, membalut penisnya. Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan, bahwa orang itu wajib menanti berhenti pendarahan, sekalipun waktunya terlewat, sebagaimana salat harus ditunda lantaran mencuci pakaian yang terkena najis, sekalipun waktunya terlewat.
Masalah hidung yang berdarah dengan pencucian pakaian, haruslah dibedakan, sebab dalam masalah pencucian pakaian yang terkena najis, adalah adanya kemampuan menghilangkan najis dari asalnya (sebelum mengerjakan salat): Lain halnya dengan masalah pendarahan hidung (sebab orang yang – berdarah hidungnya tidak mampu menghilangkan darah tersebut -pen).Sedikit lumpur tempat air berlalu yang telah diyakini najisnya, sekalipun berupa najis mughallazhah. Sebab, rasanya berat untuk menghindarinya. (Tetapi) selagi materi najisnya tidak tampak dengan jelas.
Jika suatu najis sudah dipastikan datang dari jalanan, maka tidak diampuni adanya, sekalipun jalanan anjing, bahkan meratai jalan. Hal ini berdasarkan berbagai tinjauan pendapat. Guru kami berfatwa tentang jalan yang tidak berlumpur, tetapi di situ terdapat kotoran manusia, anjing dan binatang-binatang lain, lalu terkena air hujan, maka najis tersebut diampuni adanya, di kala sulit menghindarinya.
Yaitu: Sesuatu yang asalnya suci, lalu diperkirakan menjadi najis dengan alasan, bahwa barang yang semacam itu pada umumnya najis, dalam masalah seperti ini ada dua pendapat yang terkenal dengan asal dan lahir atau ghalib.
Yang lebih kuat dari kedua pendapat, adalah barang tersebut hukumnya suci, dengan dasar “Asal keyakinan yang telah ada”, di mana hal ini lebih tepercaya daripada “kebiasaan kejadian” yang selalu berbeda menurut keadaan dan masa.
Hal itu dapat dicontohkan dengan pakaian pembuat khamar (arak), orang yang haid, anakanak, tempat pemeluk agama yang ajarannya menggunakan barang najis, dedaunan yang pada ghalibnya jatuh di tempat najis, air liur bayi, sutera jukh yang terkenal dibuat dari lemak babi, keju Syam (Siria) yang terkenal terbuat dari perut besar babi.
(Landasan yang menguatkan asal-pen) Rasulullah saw. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu beliau makan sebagian, serta tidak bertanya dari apa keju tersebut dibuat.
Demikianlah sebagian besar kaidah yang dituturkan oleh : Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) dalam Syarah Mimhaj.Bekas tempat Istijmar (bersuci/ istinja dengan batu), noda . kotoran lalat, air kemih dan kotoran kelelawar, jika mengena pada tempat salat, pakaian dan badan, meskipun banyak, sebab hal itu sulit untuk menjaganya.Kotoran segala burung jika mengena pada suatu tempat, dengan syarat: Tempat tersebut memang kepadatan kotoran itu dan sudah kering. Bahkan menurut kesimpulan dari pembicaraan kitab Al-Majmu’ (milik Imam Nawawi), termasuk diampuni juga, jika kotoran tersebut mengena pada pakaian dan badan. ,
Kotoran tikus sekalipun sudah kering, adalah tidak diampuni adanya –atas dasar beberapa peninjauan pendapat.
Akan tetapi, Guru kami Ibnu Ziyad telah mengeluarkan fatwa sebagaimana pendapat sebagian ulama Mutaakhirin, bahwa kotoran tikus itu diampuni adanya, jika memang sudah Meratai, sebagaimana kotoran burung yang sudah merata.
Tidaklah sah, salat seorang yang menggendong orang beristinja dengan batu, membawa binatang yang pada pintu pelepasan (cloaca) terdapat najis, binatang disembelih yang telah dibersihkan tempat penyembelihannya, tetapi kotoran dalam perutnya belum dibuang, atau bangkai suci, misalnya manusia atau ikan yang belum dibersihkan kotoran dalam perutnya, atau membawa telor mandul yang di dalamnya terdapat darah.
Tidak sah pula, salat seseorang ‘ yang membawa sesuatu, di mana ujungnya terkena najis, sekalipun ujung tersebut tidak bergerak sebab geraknya.
Jika seseorang melihat orang lain akan mengerjakan salat, padahal di pakaiannya terdapat najis yang tidak dima’fu, maka baginya wajib memberi tahu akan hal itu.
تتمة: يجب الاستنجاء من كل خارج ملوث بماء. ويكفي فيه غلبة ظن زوال النجاسة، ولا يسن حينئذ شم يده، وينبغي الاسترخاء لئلا يبقى أثرها في تضاعيف شرج المقعدة، أو بثلاث مسحات تعم المحل في كل مرة، مع تنقية بجامد قالع. ويندب لداخل الخلاء أن يقدم يساره، ويمينه لانصرافه، بعكس المسجد. وينحي ما عليه معظم، من قرآن واسم نبي أو ملك، ولو مشتركا كعزيز وأحمد إن قصد به معظم. ويسكت حال خروج خارج ولو عن غير ذكر وفي غير حال الخروج عن ذكر. ويبعد ويستتر. وأن لا يقضي حاجته في ماء مباح راكد ما لم يستبحر. ومتحدث غير مملوك لاحد، وطريق. وقيل: يحرم التغوط فيها. وتحت مثمر بملكه، أو مملوك علم رضا مالكه، وإلا حرم. ولا يستقبل عين القبلة ولا يستدبرها، ويحرمان في غير المعد وحيث لا ساتر. فلو استقبلها بصدره وحول فرجه عنها ثم بال، لم يضر، بخلاف عكسه. ولا يستاك ولا يبزق في بوله. وأن يقول عند دخوله: اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث. والخروج: غفرانك، الحمد لله الذي أذهب عني الاذى وعافاني. وبعد الاستنجاء: اللهم طهر قلبي من النفاق وحصن فرجي من الفواحش. قال البغوي: لو شك بعد الاستنجاء هل غسل ذكره لم تلزمه إعادته.
Istinja
Penyempurnaan:
Istinja memakai air hukumnya wajib, setelah mengeluarkan setiap yang meleleh basah. Istinja sudah dianggap mencukupi, setelah diperkirakan, bahwa najisnya telah hilang. Dengan demikian bagi seseorang tidaklah disunahkan membau (mencium) tangannya. Wajib istinja itu dilakukan dengan mengendorkan anggota badan, agar sisa-sisa najis tidak ada yang tertinggal di lipatanlipatan tepian lubang dubur (cloaca). Istinja itu juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda keras yang dapat meresap, dengan cara tiga kali usapan, yang masing-masing meratal tempat najis dan membersihkannya.
Disunahkan bagi orang yang masuk WC, agar mendahulukan kaki kiri, dan mendahulukan kaki kanan jika mau keluar. Hal ini kebalikan masuk/keluar mesjid. Sunah juga agar melepas sesuatu yang ada suratan agung, misalnya Alqur-an, nama Nabi dan Malaikat, sekalipun namanama tersebut digunakan juga menamai yang lain, misalnya Aziz dan Ahmad, jika nama-nama tersebut dikehendaki sebagai nama yang agung.
Disuriahkan pula diam pada saat kotoran sedang keluar, sekalipun bukan berupa zikir: kalau di luar saat tersebut, hendaknya meninggalkan bentuk zikir saja. Hendaknya mengambil tempat yang jauh dari manusia, serta membuat penutup. Hendaknya tidak membuang hajat di perairan umum yang tidak mengalir, juga tidak menyumber, di tempat bercanda milik umum: di jalanan –ada pendapat yang mengatakan hukum untuk ini adalah haram–: di bawah pohon berbuah yang tumbuh di tanah milik sendiri, atau tanah milik orang lain yang sudah diketahui kerelaannya, jika belum diketahui kerelaan buang hajat di situ, maka hukumnya adalah haram.
Hendaknya tidak menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Maka hal ini hukumnya haram, jika dilakukan di tempat yang tidak disediakan untuk buang hajat serta tidak bertabir. Jika dadanya menghadap kiblat dan alat kelaminnya dipalingkan, lalu kencing, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Lain halnya jika melakukan kebalikan dari itu.
Sunah juga tidak bersiwak dan meludahi kencingnya. Hendaknya berdoa di saat masuk WC: Allahumma … dan seterusnya (Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan jantan ‘ dan betina).
Ketika keluar berdoa:. Alhamdulillahilladzi… dan seterusnya. (Aku mohon ampun kepada-Mu. Segala puji milik Allah, Dzat yang telah menghilangkan penyakit dariku dan menganugerahkan kesehatan kepadaku). Lalu setelah istinja membaca: Allahumma … dan seterusnya. (Ya, Allah, sucikanlah hatiku dari sifat munafik, dan bentengilah farjiku dari bentuk perbuatanperbuatan keji).
Al-Baghawi berkata: Jika setelah beristinja merasa ragu: Sudah membasuh zakar atau belum? Maka baginya tidak wajib mengulanginya.
Yaitu mulai pusat hingga lutut! bagi laki-laki, sekalipun kanak-kanak, dan sekalipun mukatab atau ummu walad, meskipup menyepi di tempat gelap. Berdasarkan sebuah hadis sahih: “Allah tidak akan menerima salat orang balig, kecuali dengan memakai tutup kepala (bagi seorang wanita).”
Wajib menutup bagian dari pusat dan lutut, agar nyata, bahwa aurat telah tertutup. Dan menutup seluruh badan, selain muka dan kedua tapak tangan sampai pergelangan, bagi wanita merdeka sekalipun kanak-kanak. Penutupnya adalah sesuatu yang tidak bisa menampakkan warna kulit dalam percakapan. Demikianlah, batasan yang telah diberikan oleh Ahmad bin Musa bin ‘Ujail. Boleh menutup aurat dengan suatu pakaian yang menampakkan bentuk badan, tetapi hal ini khilaful aula. Kewajiban menutup, adalah dari bagian atas dan samping, bukan dari bawah.
(Wajib menutup itu) jika masingmasing dari laki-laki, wanita merdeka dan amat, mampu menutupnya. Mengenai orang yang tidak mampu menutup aurat, ia wajib salat dengan telanjang dan tidak wajib mengulangi salatnya, sekalipun ia masih punya penutup yang terkena najis, di mana ia berhalangan mencucinya. Lain halnya jika ia mampu untuk menyucikannya, (maka ia tidak boleh salat secara telanjang, tapi wajib mencucinya) sekalipun sampai keluar waktu (salat). Jika seseorang hanya mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutupnya dengan sesuatu yang ada. Dalam.hal ini, agar mendahulukan menutup kubul dan dubur: jika tidak cukup, maka menutup kubul saja, kemudian dubur. Jika yang dimiliki adalah pakaian dari sutera, maka tidak boleh salat . dengan cara telanjang, tapi wajib memakai sutera itu. Sebab, memakai sutera manakala ada hajat, hukumnya adalah boleh. Bila tidak mempunyai pakaian, ia wajib melumuri auratnya dengan lumpur atau sejenisnya. Orang yang memakai pakaian, sah salatnya bermakmum kepada orang yang telanjang. (Sekalipun akan salat) secara telanjang, baginya tetap tidak boleh ghasab pakaian untuk salat.
Bagi orang yang salat, disunahkan mengenakan pakaian yang paling bagus, berselendang, memakai serban, baju kurung dan baju toga. Jika seseorang hanya memiliki dua pakaian salat, maka yang satu : dipakai dan yang satu lagi disampirkan (diselendangkan), jika memang di situ sudah ada sutrah (batas yang ada di hadapan untuk salat), jika belum ada sutrah, maka yang satu tersebut hendaknya digunakan sajadah salat, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kami.
Menutup aurat seperti tertuturkan dj atas, diwajibkan juga di luar galat, sekalipun dengan pakaian najis atau sutera, jika hanya itu yang ditemukan, walaupun ia berada di tempat sepi. Hanya saja di tempat sepi yang wajib bagi seorang laki-laki, adalah menutup kubul dan dubur, sedang bagi selain laki-laki, wajib menutup mulai pusat sampai lutut.
Boleh hukumnya, membuka aurat hanya untuk keperluan kecil, meskipun di dalam mesjid, misalnya untuk mendinginkan badan, menjaga pakaian dari kotoran dan debu ketika menyapu rumah, mandi atau sejenisnya.
Yaitu, mengetahui waktu salat telah tiba,” dengan penuh keyakinan atau perkiraan. Barangsiapa melakukan salat tanpa mengetahui waktu masuknya, maka salatnya tidak sah. Sekalipun ternyata dilakukan dalam waktunya. Sebab, penilaian suatu ibadah adalah perkiraan si mukalaf dan kenyataannya. Sedangkan penilaian suatu akad, adalah keadaan akad itu sendiri.
Waktu salat Zhuhur, adalah mulai matahari condong ke arah barat, sampai panjang bayang-bayang menyamai bendanya, setelah memperkirakan bayang-bayang istiwak yaitu bayang-bayang yang terjadi pada waktu matahari sedang berkulminasi (berada tepat pada titik tertinggi/titik zenit), bila bayang-bayang istiwak wujud
Diberi nama “zhuhur”, sebab pertama sekali salat dilakukan dengan jelas (dalam agama Islam). Waktu salat Asar, adalah mulai waktu zhuhur habis, sampai seluruh busur matahari terbenam di ufuk. Waktu salat Magrib, adalah mulai matahari terbenam, sampai teja merah lenyap.
Waktu salat Isyak, adalah mulai teja merah lenyap. -Dalam hal ini, Guru kami berpendapat: Sebaiknya, sunah mengakhirkan salat Isyak, sampai teja kuning dan putih lenyap, atas dasar menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya-, sampai fajar shadik terbit. Waktu salat Subuh, adalah mulai terbit fajar shadik -bukan fajar kadzib- sampai matahari terbit sebagian busurnya. Salat Asar itulah yang dinamakan salat “Wustha”, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis sahih.
Safat Asar, adalah salat yang paling utama, lalu secara berurutan di bawahnya, yaitu Subuh, Isyak, Zhuhur lalu Magrib. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Guru kami dari beberapa dalil. Hanya saja, para ulama melebihkan jamaah salat Subuh dan Isyak, sebab di sini lebih terasa berat untuk melakukannya.
Imam Ar-Rafi’i berkata: Salat Subuh, adalah salat Nabi Adam a.s., Salat Zhuhur, adalah salat Nabi Dawud a.s.: Salat Asar, adalah salat Nabi Sulaiman a.s.: salat Magrib, adalah salat Nabi Ya’quba.s.: dan salat Isyak, adalah salat Nabi Yunus a.s.
Ketahuilah! Salat adalah wajib. dikerjakan pada awal waktunya, sebagaimana kewajiban yang diluaskan waktu pelaksanaannya. Karena itu, seseorang boleh menundanya sampai pada waktu yang diperkirakan masih cukup untuk salat, dengan syarat ia mempunyai ‘azm (maksud yang kuat) mengerjakan salat, pada awal waktunya.
Jika seseorang masih mendapatkan waktu salat untuk satu rakaat (penuh), maka salatnya dianggap salat ada’, Kalau tidak bisa mendapatkan satu rakaat, maka salatnya dianggap kadha. Mengerjakan sebagian salat di luar waktunya, adalah berdosa, sekalipun masih mendapatkan satu rakaat.
Memang begitu! Kalau seseorang : telah memulai salat, selain salat Jumat, di mana waktunya masih Juas, maka ia boleh -tanpa makruhmemanjangkan salat dengan bacaan ayat atau zikir, sehingga lewat waktunya, bahkan sekalipun tidak sempat meletakkan satu rakaat salat dalam waktunya, menurut pendapat yang Mu’tamad.
Jika mulainya pada waktu di mana sudah tidak dapat memuat salat atau salat Jumat, maka baginya tidak boleh memanjangkan bacaannya. Tidak disunahkan meringkas rukun-rukun salat saja, hanya karena meletakkan rakaat-rakaat salat di dalam waktunya.
Cabang:
Disunahkan agar bersegera mengerjakan salat -sekalipun salat Isyakpada awal waktunya. Berdasarkan hadis: “Perbuatan yang paling utama, adalah mengerjakan salat pada awal waktunya.” Sunah menurida salat dari awal waktunya, karena berkeyakinan akan menemukan jamaah salat di tengah-tengah waktunya, sekalipun penundaan semacam Int kurang baik. Kesunahan di atas, selagi waktunya belum Sempit.
Sunah juga menunda salat dari awal waktunya, karena menduga akan didirikan salat jamaah, jika tidak tampak kurang baik menurut ukuran umum. (Kalau meragukan keberadaan jamaah), maka tidak disunahkan menunda salat secara mutlak (baik tampak kurang sopan ataupun tidak). Salat berjamaah dengan sedikit pengikutnya di awal waktu, itu lebih utama daripada banyak orang di akhir waktu.
Bagi orang yang ihram haji, wajib mengakhirkan salat Isyaknya, lantaran khawatir tertinggal ibadah haji, sebab tertinggal wukuf di. Arafah -kalau ia melakukan salat dahulu secara sempurna syarat-rukunnya-, sebab mengadha. ibadah haji adalah lebih sulit. Salat di sini diakhirkan, sebab kesulitannya lebih ringan daripada haji. Dalam hal seperti ini, ia tidak diperbolehkan salat secara “khauf”. Wajib mengakhirkan salat pula, bagi seorang yang mengetahui semacam orang yang tenggelam atau tertawan, jika ia menolongnya, maka akan kehabisan waktu salat.
Dimakruhkan tidur setelah masuk waktu salat, sedangkan ia belum mengerjakannya, kalau ia mengira bisa bangun sebelum waktu tinggal sedikit, atas dasar kebiasaan atau ada orang lain yang membangunkannya.Jika tidak ada perkiraan seperti itu, maka tidurnya adalah haram.
Dimakruhkan secara tahrim melakukan salat. yang tidak mempunyai sebab, misalnya salat sunah Mutlak (salat sunah yang waktunya tidak ditentukan), umpama salat Tasbih: atau melakukan salat yang sebabnya ada di belakang, misalnya dua rakaat Istikharah dan dua rakaat sebelum ihram. Yaitu: Setelah mengerjakan salat Subuh hingga matahari naik setinggi tombak: setelah salat Asar hingga terbenam matahari, dan di waktu istiwak selain hari Jumat.
Tidak termasuk di sini, salat-salat ‘ yang mempunyai sebab berada di depannya, misal: Dua rakaat setelah berwudu, sesudah Thawaf, Tahiyatulmesjid, ‘ Gerhana dan salat Jenazah, sekalipun gaib, mengulangi salat secara berjamaah, sekalipun menjadi imam, kadha salat fardu atau sunah tanpa ada maksud menundanya, sampai masuk waktu-waktu di atas, atau melanggengkan untuk mengerjakannya di waktu tersebut.
Jika seseorang sengaja menunda “salat yang tidak berwaktu” pada waktu yang dimakruhkan tersebut, dengan tujuan agar makruh, maka hal ini dihukumi haram, baik salat itu mempunyai sebab atau tidak. Di samping itu, salat pun tidak sah, sekalipun salat tersebut adalah salat Faaitah (tertinggal dari waktunya) yang wajib dikadha dengan seketika. Sebab, perbuatan semacam ini (berusaha/sengaja mengerjakan salat di waktu makruh), adalah menentang syarak.
و) يجب (على ماش إتمام ركوع وسجود) لسهولة ذلك عليه، وعلى راكب إيماء بهما. (واستقبال فيهما وفي تحرم) وجلوس بين السجدتين، فلا يمشي إلا في القيام والاعتدال والتشهد والسلام، ويحرم انحرافه عن استقبال صوب مقصده عامدا عالما مختارا إلا إلى القبلة. ويشترط ترك فعل كثير - كعدو وتحريك رجل بلا حاجة - وترك تعمد وطئ نجس - ولو يابسا - وإن عم الطريق، ولا يضر وطئ يابس خطأ، ولا يكلف ماش التحفظ عنه. ويجب الاستقبال في النفل لراكب سفينة غير ملاح.
Cabang:
Dimakruhkan secara tahrim melakukan salat. yang tidak mempunyai sebab, misalnya salat sunah Mutlak (salat sunah yang waktunya tidak ditentukan), umpama salat Tasbih: atau melakukan salat yang sebabnya ada di belakang, misalnya dua rakaat Istikharah dan dua rakaat sebelum ihram. Yaitu: Setelah mengerjakan salat Subuh hingga matahari naik setinggi tombak: setelah salat Asar hingga terbenam matahari, dan di waktu istiwak selain hari Jumat.
Tidak termasuk di sini, salat-salat ‘ yang mempunyai sebab berada di depannya, misal: Dua rakaat setelah berwudu, sesudah Thawaf, Tahiyatulmesjid, ‘ Gerhana dan salat Jenazah, sekalipun gaib, mengulangi salat secara berjamaah, sekalipun menjadi imam, kadha salat fardu atau sunah tanpa ada maksud menundanya, sampai masuk waktu-waktu di atas, atau melanggengkan untuk mengerjakannya di waktu tersebut.
Jika seseorang sengaja menunda “salat yang tidak berwaktu” pada waktu yang dimakruhkan tersebut, dengan tujuan agar makruh, maka hal ini dihukumi haram, baik salat itu mempunyai sebab atau tidak. Di samping itu, salat pun tidak sah, sekalipun salat tersebut adalah salat Faaitah (tertinggal dari waktunya) yang wajib dikadha dengan seketika. Sebab, perbuatan semacam ini (berusaha/sengaja mengerjakan salat di waktu makruh), adalah menentang syarak.
Syarat Salat Keenam: Mengetahui Kefarduan Salat
Dapat juga membedakan mana yang fardu dan yang sunah salat.Memang begitu! Jika orang yang buta terhadap hukum Islam ataupun alim -atas beberapa tinjauanmempunyai iktikad semua perbuatan salat adalah fardu, maka salatnya sah: Atau berIktikad, bahwa semua perbuatan salat adalah sunah, maka salatnya tidak sah. Juga harus mengetahui cara salat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Insya Allah.
و) تجب (نية فرض فيه) أي في الفرض، ولو كفاية أو نذرا، وإن كان الناوي صبيا، ليتميز عن النفل. (كأصلي فرض الظهر) مثلا، أو فرض الجمعة، وإن أدرك الامام في تشهدها. (وسن) في النية (إضافة إلى الله) (تعالى)، خروجا من خلاف من أوجبها، وليتحقق معنى الاخلاص. (وتعرض لاداء أو قضاء) ولا يجب وإن كان عليه فائتة مماثلة للمؤداة، خلافا لما اعتمده الاذرعي. والاصح صحة الاداء بنية القضاء، وعكسه إن عذر بنحو غيم، وإلا بطلت قطعا لتلاعبه، (و) تعرض (لاستقبال وعدد ركعات) للخروج من خلاف من أوجب التعرض لهما. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه. ولو شك: هل أتى بكمال النية أو لا ؟ أو هل نوى ظهرا أو عصرا ؟ فإن ذكر بعد طول زمان، أو بعد إتيانه بركن - ولو قوليا كالقراءة - بطلت صلاته، أو قبلهما فلا.
و) ثانيها: (تكبير تحرم) للخبر المتفق عليه: إذا قمت إلى الصلاة فكبر. سمي بذلك لان المصلي يحرم عليه به ما كان حلالا له قبله من مفسدات الصلاة، وجعل فاتحة الصلاة ليستحضر المصلي معناه الدال على عظمة من تهيأ لخدمته حتى تتم له الهيبة والخشوع، ومن ثم زيد في تكراره ليدوم استصحاب ذينك في جميع صلاته. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به، بل لا بد أن يستحضر كل معتبر فيها مما مر وغيره. كالقصر للقاصر، وكونه إماما أو مأموما في الجمعة، والقدوة لمأموم في غيرها، مع ابتدائه. ثم يستمر مستصحبا لذلك كله إلى الراء. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله. وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة. وقال ابن الرفعة: إنه الحق الذي لا يجوز سواه. وصوبه السبكي، وقال: من لم يقل به وقع في الوسواس المذموم. وعند الائمة الثلاثة: يجوز تقديم النية على التكبير بالزمن اليسير. (ويتعين) فيه على القادر لفظ: (الله أكبر) للاتباع، أو الله الاكبر. ولا يكفي أكبر الله، ولا الله كبير، أو أعظم، ولا الرحمن أكبر. ويضر إخلال بحرف من الله أكبر. وزيادة حرف يغير المعنى، كمد همزة الله، وكألف بعد الباء، وزيادة واو قبل الجلالة، وتخلل واو ساكنة ومتحركة بين الكلمتين، وكذا زيادة مد الالف التي بين اللام والهاء إلى حد لا يراه أحد من القراء. ولا يضر وقفة يسيرة بين كلمتيه، وهي سكتة التنفس، ولا ضم الراء.
Rukun-rukun Salat: Disebut juga dengan fardu-fardu salat. Dengan menghitung masing-masing thuma’ninah sebagai satu rukun tersendiri, maka jumlah rukun salat ada empat belas.
Niat Yaitu menyengaja (mengerjakan sesuatu) dalam hati. Hal ini berdasarkan hadis: “Bahwasanya sah amal itu harus disertai niat” Dalam melakukan niat, diwajibkan meletakkan unsur “kesengaja-. an mengerjakan salat”, agar salat terpisahkan dengan perbuatanperbuatan lain, Dan ta’yin (pernyataan jenis salat) -Zhuhur atau lainnya-, agar dapat terpisahkan Zhuhur dengan yang lain.
Karena itu, belumlah cukup hanya niat menunaikan kefarduan waktu (secara umum, tanpa pernyataan jenis salat). Jika salatnya adalah salat sunah yang bukan mutlak -misalnya, salat sunah Rawatib dan yang ditentukan dengan waktu atau sebab-, maka selain ta’yin diwajibkan menyandarkan pada sesuatu yang ditentukannya, misalnya, untuk salat sunah Zhuhur, disebutkan Qobliyah atau Ba’diyah, sekalipun sunah-Qabliyah itu dilakukan sesudah salat Zhuhur.
Demikian juga, dilakukan pada salat yang mempunyai sunah Qabliyah dan Ba’diyah, salat hari Raya Akbar (Adha) atau hari Raya Fitri (kecil). Karena itu belum Cukup dengan niat “salat hari raya saja”. Termasuk juga salat Witir, baik ditunaikan satu rakaat atau lebih. Dalam masalah ini cukup dengan niat “witir”, tanpa menyebutkan bilangannya: Jumlah bilangan yang tidak ditentukan. dalam niat, adalah dijuruskan (diserahkan) pada maksud pelaku itu sendiri –menurut beberapa tinjauan hukum-—.
Menurut apa yang dikuatkan oleh Guru kami (Ibnu Hajar) dalam kitab Fatawinya, bahwa dalam niat salat Awabin itu wajib ta’yin, sebagaimana salat Dhuha. Dalam salat fardu, wajib niat “fardu”, sekalipun fardu Kifayah atau Nazar, dan sekalipun pelakunya adalah anak-anak, agar bisa terpisahkan (terbedakan) dengan salat sunah.
Contoh niat: Aku niat salat fardu Zhuhur -umpama-, atau salat fardu Jumat, sekalipun menemui imamnya ketika sedang bertasyahud. Dalam niat, disunahkan menyandarkan kepada Allah Ta’ala. Dasarnya adalah menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Di samping itu, dengan cara tersebut, tampak jelas arti ikhlas. Disunahkan pula memaparkan salat ada’ atau kadha.
Memaparkan itu hukumnya tidak wajib, sekalipun orang yang mengerjakan salat masih mempunyai tanggungan salat faitah, yang sama dengan salat yang dilakukan. Lain halnya dengan (pendapat yang dipegangi oleh Imam Al-Adzra’i. Menurut pendapat yang Ashah, bahwa salat ada’ dengan niat kadha atau sebaliknya, adalah sah, jika suasana terhalangi semisal awan. Jika tidak terganggu semisal awan, maka niat semacam itu adalah tidak sah, sebab mempermainkannya.
Sunah pula menjelaskan (memaparkan) kata-kata menghadap kiblat dan jumlah rakaat, atas dasar menghindari ulama yang mewajibkannya. Sunah juga mengucapkan niat sebelum bertakbir, agar lisan dapat membantu hatinya, dan karena menghindari perselisihan dengan ulama yang menetapkan wajib.
Jika seseorang merasa ragu: Sudahkah ia niat dengan sempurna atau belum, apakah niat salat Zhuhur ataukah salat Asar, maka jika ia ingat kembali setelah tempo yang cukup lama (menurut ukuran umum) atau sesudah menunaikan satu rukun salat, sekalipun yang berupa rukun gauli, misalnya membaca Al Fatihah, maka batallah salatnya,: Atau ingatnya sebelum semua itu, maka salatnya tidak batal.
Takbiratul Ihram. Berdasarkan sebuah hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Jika kamu hendak berdiri mengerjakan salat, maka bertakbirlah!” Takbir ini disebut Takbiratul ihram, sebab orang yang mengerjakan salat,diharamkan melakukan sesuatu yang sebelumnya halal dilakukan, yaitu perbuatanperbuatan yang membatalkan salat.
Takbir dijadikan pembukaan salat, agar orang yang mengerjakan salat nencamkan maknanya, yang menunjukkan keagungan Dzat yang ia telah siap mengabdi kepada-Nya, sehingga akan sempurnalah rasa takut dan khusyuknya. Berangkat dari situ, maka takbir .selalu disebut berulang kali dalam salat, agar rasa takut dan khusyuk kepada Allah swt. selalu bersama di dalam semua salatnya. Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan niat salat. Sebab, ia sebagai rukun salat yang pertama, yang berarti wajib bersamaan niat salat.
Bahkan dalam niat itu wajib mencamkan (menghadirkan) unsur-unsur penting niat, yang telah tertuturkan (qasdul fili, ta’yin dan fardhiyah) dan lainnya, misalnya gashar bagi orang yang menggashar salat, menjadi imam atau makmum dalam salat Jumat, bermakmum pada selain jamaah, Jumat, yang semua itu telah dicamkan di awal takbiratul ihram yang berlangsung terus sampai mengucapkan huruf ra’ di akhir takbiratul ihram.
Menurut pendapat yang telah dibenarkan oleh Imam Ar-Rafii, semua unsur yang disebutkan di atas, adalah cukup dicamkan bersamaan pada awal takbiratul ihram Menurut pendapat yang dipilih Imam Al-Ghazali, yang tersebut dalam kitab Al-Majmu’ dan Tanqihul Mukhtar: Bagi orang awam, bersamaannya itu, adalah cukup dengan ukuran umum, sekira sudah disebut mencamkan bentuk salat (menurut ukuran umum, Al-istikhdhar al-‘urfi-pen).
Imam Ibnur Rifah berkata: Pendapat ini adalah satu-satunya yang benar. Imam As-Subki juga membenarkannya.Imam As-Subki berkata: Barangsiapa tidak mengatakan atas ketercukupan prakuk seperti itu, maka ja akan terjerumus dalam was-was tercela ini. Menurut pendapat Imam Mazhab yang tiga (selain Imam Syafi’i): Boleh mendahulukan niat atas . takbiratul ihram dalam selang waktu yang pendek.
Bacaan takbiratul ihram bagi orang yang mampu, adalah ditentukan dengan kalimat: “Allaahu Akbar“, sebagai ittiba’ kepada Nabi saw., atau boleh juga “Allahul Akbar“ Ketika takbir, tidak boleh mem. baca: “Akbarullaah, Allaahu Kabiir (A’zham), atau Arrahmaanu Akbar. Merusak satu huruf pada lafal “Allaahu Akbar“, menjadi masalah. Demikian pula menambah satu huruf yang dapat mengubah makna kalimat tersebut.
(Menambah huruf) misalnya: Memanjangkan hamzah pada lafal. اللهُ (sebab, kalimat tersebut akan berbentuk istifham (pertanyaan): Apakah Allah Maha Besar? -pen), menambah huruf alif setelah ba’ (maknanya: Beberapa genderang – pen): menambah huruf wawu sebelum lafal اللهُ (kahryat tersebut akan berbunyi وَاللهُ اكْبَرْ Hal ini menjadi masalah, sebab faedah huruf wawu adalah ‘athaf, di mana kalimat tersebut belum didahului oleh kaiimat lain -pen), meletakkan wawu, baik mati atgu hidup di antara. اللهُ dan, اَكْبَرُ demikian Pula memperpanjang bacaan ai di antara lam dan ha’ di mana perpanjangan tersebut tidak ada ahli qiraah yang memperbolehkannya.
Tidak menjadi masalah, berhenti sebentar bernapas di antara Allah dan Akbar, atau membaca dhammah huruf ra’.
Andaikata seseorang melakukan takbiratul ihram berulang kali dengan niat memulai salat pada masing-masing takbir, maka ia dianggap sah memasuki salat ketika takbir nomor ganjil dan keluar dari salat ketika takbir nomor genap. Masalahnya, ketika ia telah memasuki salat pada takbir pertama, maka dengan melakukan takbir kedua, berarti ia keluar dari salat. Sebab niat memulai salat dengan takbir kedua itu, berarti ia memutus yang telah diniatkan pada takbir pertama. Demikian seterusnya.
Jika tidak niat seperti itu, lagi pula antara takbir satu dengan lainnya tidak terdapat hal-hal yang membatalkan salat, misalnya mengulangi lafal niat, maka takbir setelah yang pertama adalah zikir yang tidak membawa pengaruh apa-apa. Wajib mengeraskan suara takbir sampai terdengar diri sendiri, jika memang orang tersebut adalah sehat pendengarannya dan di situ tidak terdapat penghalang semacam kegaduhan suara. Begitu juga wajib mengeraskan suara untuk rukun-rukun yang berupa ucapan (qauliyah), yaitu Al-Fatihah, tasyahud dan salam. Bacaan yang hukumnya sunah, supaya mendapatkan kesunahan salat, hendaknya dibaca dengan suara keras sampai terdengar diri sendiri.
Disunahkan membaca jazam (sukun) pada huruf ra’ ketika takbir, karena menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya Khusus bagi imam salat, hukumnya sunah mengeraskan suara takbir, sekalipun berupa takbir peralihan rukun (intiqal) unah mengangkat dua telapak tangan atau salah satunya, jika sulit untuk mengangkat keduanya, dalam keadaan terbuka -jika tertutup, hukumnya makruh-, serta jari-jarinya sedikit renggang antara satu dengan lainnya, setinggi (sejajar) dua pundak.
Praktiknya, ujung jari sejajar dengan ujung telinga, ibu jari sejajar dengan putik telinga, dan kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak, karena ittiba’ kepada Nabi saw. Cara seperti inilah yang disunahkan. Pengangkatan tangan dilakukan secara bersamaan, mulai awal: takbiratul ihram, dan menurunkan kembali dengan berakhir bacaan takbir. Demikian pula waktu rukuk, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. yang tersebutkan dari beberapa riwayat, dan waktu berdiri dari rukuk: juga bangun dari tasyahud pertama, sebagai tindak ittiba’: kepada Nabi saw. juga.
Sunah juga meletakkan kedua tangan di bawah dada dan di atas pusat, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw., serta pergelangan kuri dipegang tangan kanan. Kembali dengan meletakkan dua tangan dh bawah dada dan di atas pusat (bersedekap) setelah mengangkat tangan bangun dan rukuk, adalah lebih utama daripada melepaskan tangan lurus ke bawah, lalu bersedekap lagi.
Imam Al-Mutawalli berpendapat, yang kemudian dipegangi oleh ulama lainnya: Sebelum takbirarul ihram serta mengangkat tangannya, sebaiknya melihat ke tempat sujud, menundukkan kepala, lalu mengangkatnya . kembali idan bagi orang yang salat, disunahkan menundukkan kepala, sebab hal ini lebih mendekatkan sikap khusyuk pen).
3. Berdiri:
Wajib bagi orang yang mampu berdiri sendiri atau atas pertolongan orang lain, berdiri pada salat fardu, sekalipun salat nazar atau mengulang salat. Berdiri itu bisa terwujud (sah) dengan meluruskan ruas-ruas tulang punggungnya, sekalipun dengan bersandar sesuatu, jika tidak ada ia akan jatuh. Dan bersandar pada sesuatu itu hukumnya makruh. Tidak sah berdiri dengan cara – membungkuk, jika cara tersebut mendekati. paling sedikit melakukan rukuk, apabila dia mampu untuk berdiri tegak.
Bagi orang yang sulit berdiri, salatnya dilakukan dengan cara duduk, yaitu sekira ia amat payah atau Juar biasa untuk berdiri. Masagat tersebut oleh Imam AlHaramain dibatasi dengan: Keadaan yang dapat menghilangkan kekhusyukan salatnya jika berdiri. Begitu juga pengendara perahu yang khawatir pusing jika berdiri serta orang yang beser kenang, – yang tidak mungkin menahan hadasnya, kecuali dengan cara duduk (mereka boleh salat sambil duduk)
Bagi orang yang melakukan salat dengan duduk, waktu rukuknya supaya membungkuk sedikit, sehingga kening sejajar dengan ujung lututnya.
Cabang:
Guru kami (Ibnu Hajar) berkata: Orang sakit yang mampu berdiri jika salat sendirian, tetapi tidak mampu berdiri jika salat berjamaah, kecuali sebagian dari salatnya harus duduk, maka baginya boleh salat berjamaah dan duduk dalam sebagian salatnya. Sekalipun yang lebih utama adalah salat sendirian.
Demikian pula bagi orang yang kalau membaca Al-Fatihah saja bisa dilakukan tanpa duduk, tapi jika disambung dengan surah terpaksa harus salat dengan duduk, maka ia boleh membaca surah dengan cara duduk. Sekalipun yang lebih utama adalah tidak membaca surah. -Selesai-.
Yang lebih utama bagi orang yang salat dengan duduk, urutannya adalah sebagai berikut: duduk Iftirasy (duduk seperti ketika tasyahud awal), bersila, kemudian duduk tawarruk (duduk seperti ketika tasyahud akhir). Jika masih tidak mampu salat dengan duduk, maka boleh salat dengan berbaring miring: muka dan bagian badannya menghadap kiblat. (Tetapi) jika miringnya ke arah kiri, adalah makruh hukumnya bila tanpa uzur.
(Jika dengan cara berbaring masih tidak mampu), maka salatnya dengan tidur telentang, yaitu dua telapak kakinya menghadap kearah kiblat. Bagi orang tersebut, wajib meletakkan semacam bantal di bawah kepala, agar wajahnya dapat menghadap kiblat.
Ketika rukuk, ia wajib memberi isyarat (kode) ke arah kiblat, dan ketika sujud isyaratnya harus lebih ke bawah daripada rukuk, jika tidak mampu rukuk dan sujud. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, hendaknya dengan pelupuk mata: kalau masih tidak mampu, maka cukuplah melakukan pekerjaanpekerjaan salat di dalam hatinya.
Bagi orang yang sakit, salat tidak bisa lepas darinya, selama masih mempunyai akal. Para fukaha mengakhirkan . (dalam penuturan rukun salat) berdiri daripada niat dan takbiratul ihram, padahal berdiri itu justru lebih dahulu dilakukan orang yang salat, sebab niat dan takbiratul ihram merupakan rukun dalam setiap salat, sekalipun salat sunah, sedang berdiri menjadi rukun dalam salat fardu saja.
Seperti halnya orang yang melakukan salat sunah, ia boleh melakukan salat dengan cara duduk atau berbaring, padahal ia mampu berdiri atau duduk. Bagi yang melakukan dengan berbaring, ia wajib duduk waktu rukuk dan sujud. Mengenai orang yang salat sunah dengan telentang, padahal ia mampu salat dengan berbaring, maka salatnya tidak sah. Dalam kitab Al-Majmu’ disebu kan: Memperpanjang berdiri adalah lebih utama daripada memperbanyak rakaat.
Di dalam kitab Ar-Raudhah: Memperpanjang sujud adalah lebih utama daripada memperpanjang rukuk.Membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, di bagian berdirinya. Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Tidaklah sah orang yang tidak membaca Al-Fatihah“, maksudnya dalam setiap rakaat.
Kecuak rakaat makmum masbuk. Karena itu, ia tidak wajib membaca Al-Fatihah, bila tidak mendapat tempo cukup untuk membacanya, keuka imam masih berduri. Sekalipun hal tersebut terjadi pada setiap rakaat. Sebab terlambat dari imamnya pada rakaat pertama dan tertinggal imam (dalam rakaat selain pertama) -sebab terlalu sesak, lupa atau gerakannya lambat sehingga setiap bangun dari sujudnya, imam selalu sudah rukuk untuk rakaat berikutnya
Dalam hal ini, imam yang suci dapat menanggung Fatihah atau sisanya yang belum terbaca dalam rakaat selain tambahan (jika ia mengerti, bahwa rakaat yang ia ikuti adalah rakaat lebihan -umpama dalam salat Asar imam berdiri lagi setelah mendapat 4 rakaat-, maka imam yang semacam ini tidak bisa menanggung Fatihah makmum masbuk, tapi ia wajib mengerjakan satu rakaat “pen).
Jika makmum masbuk tertinggal bukan karena terieka melakukan kesunahan, tapi karena menyempurnakan Fatihah-nya, sehingga imam iktidal, maka rakaatnya tidak sah
Basmalah harus dibaca beserta Fatihah. Sebab Basmalah termasuk ayat daripadanya, Nabi saw. juga membacanya, kemudian diikuti dengan Fatihah, dan menghitungnya termasuk ayat dari Fatihah. Demikian juga Basmalah, termasuk dalam rangkaian setiap surah dalam Al Quran selain surah Al-Bara’ah.
Berikut tasydid-tasydidnya yang berjumlah 14. Sebab huruf yang bertasydid itu dihitung dua huruf: karena itu, jika tasydid dihilangkan, berarti menghilangkan satu huruf. Demikian juga harus memperhaukan huruf-hurufnya. Jika lafal مَلِكِ dibaca pendek, maka jumlah huruf dalam Al-Fatihah ada 141. Jika huruf bertasydid dihitung dua huruf, maka jumlah huruf Al-Fatihah ada 155. Juga harus memperhatikan makhrajnya. Seperti halnya makhraj huruf dhad dan huruf-huruf lainnya.
Karena itu jika seseorang mampu membaca dengan benar atau belajar, lalu mengganti satu huruf Al-Fatihah dengan huruf lain, sekalipun dhad dengan zha’, atau beraksi-aksian (pepilon: Jawa) membaca yang sampai mengubah makna kalimatnya, misalnya, membaca kasrah atau dhammah huruf ت pada اَنْعَمْتَ mengarah huruf. ك pada. اِيَّاكَ -jika huruf tersebut dibaca dhammah, tidak mengubah makna, tapi kalau sengaja dilakukan dan mengerti akan keharamannya, maka salatnya menjadi batal. Jika tidak mengerti atau tidak sengaja, maka yang batal hanya bacaan Al-Fatihah (salatnya tidak batal).
Memang begitu! Jika ia mengulangi untuk membenarkannya sebelum berselang lama, maka sempurna bacaannya. Mengenai orang yang tidak mampu membaca dengan benar, dan tidak mungkin mempelajarinya, maka bacaannya tidak dihukumi batal.
Demikian pula tidak batal, bagi orang yang aksi-aksian membaca, tetapi tidak sampai mengubah makna, misalnya membaca fat-hah huruf د pada نَعْبُدُ. Tetapi kalau hal itu sengaja dilakukan, hukumnya haram: kalau tidak, hukumnya makruh. Ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin berselisih pendapat tentang membaca الْهَمْدُللهِ dengan huruf ha’, dah membaca huruf ق dengan makhraj antara ق dan ك Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj memantapkan terhadap dua bacaan tersebut sebagai yang batal, kecali ketika masih belajar.
Tetapi guru beliau, Imam Zakariya, memantapkan kesahan bacaan kedua. Begitu juga Imam Al-Gadhi Husain dan Imam Ibnur Rifah memantapkan kesahan bacaan pertama. Jika seseorang mampu membaca dengan benar atau udak mampu lantaran tidak mau belajar, menghilangkan tasydid suatu huruf, misalnya membaca الَرَّحْمنُ denganاَلْ رَحْمنُ(tidak idgham), maka salatnya batal, bila sengaja melakukan dan mengeru akubat hukumnya. Kalau tidak sedemikian, maka yang batal adalah bacaan kalimat tersebut.
Jika ia menghilangkan (membaca ringan) tasydid yang ada pada lafal اِيَّاكَ dengan sengaja dan mengerti maknanya, maka dihukumi kafir. Sebab maknanya menjadi “sinar matahari”. Kalau tidak demikian, maka 1a cukup bersujud sahwi. Jika ia menasydid huruf yang udak bertasydid, maka tetap sah. Tetapi hal itu haram hukumnya yka disengaja, misalnya berhenti sebentar di antara sin dan ta’ pada lafal نَسْتَعِيْنُ Wajib memperhatikan pula sambung-menyambung dalam membaca Al-Fatihah. Dalam hal ini, harus dibaca secara bersambung antarkalimatnya, tidak berjarak lebih lama dari menghirup udara pernapasan atau berhenti karena tersengal-sengal.
Karena itu, bacaan Al-Fatihah harus diulang lagi apabila di tengah-tengahnya diselingi zikir “lain yang tidak-ada kaitannya dengan salat, sekalipun hanya sedikit -misalnya menyelipkan sepotong ayat lain, . bacaan hamdalah orang yang bersin, walaupun hal ini hukumnya sunah bila di luar salat-, sebab penyelipan semacam ini dapat memalingkan dari bacaan semula. Jika perkara yang diselipkan itu ada kaitannya dengan salat, maka bacaan Al-Fatihah tidak wajib diulangi lagi, misalnya membaca amin, sujud tilawah, doa baik karena permohonan anugerah atau perlindungan dari siksa, dan ucapan “Bala wa ana…. (Benar, kami ikut menyaksikan itu semua).
Keterkaitan bacaan tersebut dengan salat, karena imam membaca Fatihah, ayat Sajdah atau ayat lain yang karena ayat tersebut disunahkan bagi pembaca, pendengar, makmum atau bukan, di dalam salat atau di luarnya, agar membaca bacaan itu. Jika orang yang salat membaca atau mendengar ayat yang memuat nama Nabi Muhammad saw., baginya tidak disunahkan membaca selawat, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Imam An-Nawawi
Fatihah tidak perlu diulang Juga, jika seorang makmum Mengingatkan imamnya yang terhenti karena lupa sambungan ayat yang dibacanya, asal ia niat membaca dan bahkan diserta’ Mengingatkan. Hal ini dilakukan, -seperti dikemukakan oleh Guru kami
jika imam sudah diam, jika ia belum diam, maka peringatan tersebut dihukumi memutus. bersambungnya (bacaan Fatihah makmum).
Mendahulukan bacaan “Subhanallah” sebelum mengingatkan bacaan, adalah memutus Fatihah -menurut beberapa tinjauan pendapat-. Sebab, tasbih tersebut diucapkan bertujuan mengingatkan
Bacaan Al-Fatihah harus diulangi lagi, jika dalam membacanya terputus dengan diam yang cukup lama, sekira melebihi diam bernapas, jika hal ini dilakukan tanpa ada uzur, berupa tidak mengerti atau lupa. Karena itu, jika zikir kalimat lain atau berdiam yang lama itu dilakukan di tengah-tengah Fatihah sebab lupa atau bodoh, atau diamnya karena untuk mengingat ayat seterusnya, maka hal ini tidak menjadi masalah.
Sebagaimana halnya tidak batal, jika ia mengulangi suatu ayat dari Fatihah yang terletak pada tempat berhentinya, sekalipun tanpa ada uzur, atau mengulangi bacaan ayat sebelumnya, lalu dibaca terus sampai akhir atas dasar beberapa tinjauan pendapat.
تحري مقارنة الامام إلا هذا. وإذا لم يتفق له موافقته أمن عقب تأمينه. وإن أخر إمامه عن الزمن المسنون فيه التأمين أمن المأموم جهرا. وآمين اسم فعل بمعنى استجب، مبني على الفتح، ويسكن عند الوقف.
Jika di tengah-tengah Fatihah, seseorang merasa ragu, Sudahkah membaca Basmalah? Lantas ia meneruskan bacaannya hingga selesai, dan akhirnya ingat, bahwa ia telah membaca Basmalah, maka ia wajib mengulang seluruh surah Al-Fatihah, – menurut beberapa tinjauan pendapat.
Keraguan atas peninggalan satu huruf atau lebih dari Fatihah, satu ayat atau lebih, setelah pembacaan Fatihah selesai, adalah tidak ada pengaruh apa-apa. Sebab secara lahir Fatihah telah dibaca secara sempurna. Wajib mengulang Fatihah dari awal, jika keraguan itu terjadi sebelum sempurnanya, Seperti halnya masalah keraguan: Sudah membaca Fatihah atau belum. Sebab menurut asal, ja belum membaca.
Masalah-masalah yang berkenaan dengan Fatihah di atas, adalah berlaku juga pada rukun-rukun salat yang lain. Karena itu, jika merasa ragu: Sudah bersujud atau belum? Maka wajib bersujud, Atau ragu setelah sujud: Apakah telah meletakkan sejenis telapak tangan atau belum? Maka ia tidak wajib mengulang sujudnya. Jika seseorang membaca surah Fatihah dalam keadaan lupa, dan ia sadar setelah sampai di ayat صِرَاطَ الَّذِيْنَ serta tidak yakin akan bacaan sebelumnya, maka baginya wajib mengulangi Fatihah dari permulaan.
Wajib membaca Al-Fatihah secara tertib, seperti yang tertera susunannya dalam Alqur-an yang kita maklumi bersama. Tertib tidak wajib dalam membaca tasyahud, asal saja tidak merusak maknanya (jika mengubah Maknanya membatalkan salat -pen). Namun disyaratkan menjaga (memperhatikan) tasydid dan sambung-menyambungnya, sebagaimana dalam Fatihah.
Barangsiapa tidak bisa membaca seluruh surah Al-Fatihah dan tidak memungkinkan mempelajarinya sebelum sempit waktu salat atau membacanya lewat semacam Mushhaf, maka bagirrya wajib membaca 7 ayat (dari Alguran), sekalipun secara terpisah urutannya, asal tidak kurang dari jumlah huruf Al-Fatihah. Jumlah huruf Al-Fatihah dengan menghitung Basmalah dan hurufhuruf bertasydid adalah 156, serta dengan cara menetapkan alif lafal مالك
Jika ia hanya mampu membaca separo (sebagian) Al-Fatihah, maka ia wajib mengulang-ulangnya sampai mencapai ukuran Al-Fatihah tersebut. Jika ia tidak mampu membaca 7 ayat Alqur-an yang sebagai ganti Fatihah, maka baginya wajib membaca bentuk zikir yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf Al-Fatihah. Jika membaca zikir masih tidak mampu, maka cukup berhenti dalam tempo seukuran membaca Al-Fatihah.
Sunah hukumnya -ada yang mengatakan wajib- sesudah takbiratul ihram pada salat fardu ataupun sunah, selain ketika salat Jenazah, membaca doa Iftitah dengan suara pelan. Hal ini jika tidak khawatir kehabisan waktu salat dan bagi makmum, mempunyai perkiraan penuh masih bisa mengikuti rukuk sang imam. kesunahan itu selagi seseorang tidak tergesa-gesa dalam membaca ta’awudz atau Fatihah, sekalipuh lupa: atau ia tidak mulai bermakmum dalam keadaan duduk bersama imam. Kesunahan di atas sekalipun makmum telah membaca amin bersama imamnya.
Bahkan sekalipun makmum khawatir kehabisan waktu untuk membaca yang disunahkan baginya, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Guru kami dalam kitab Syarah ‘Ubab. Beliau berkata: Karena mendapatkan Iftitah, adalah hal yang sudah “nyata, sedangkan ketertinggalannya membaca surah adalah belum jelas, dan bahkan kadang-kadang udak terjadi.
Doa Iftitah yang ada sebenarnya banyak sekali, tapi yang paling utama adalah riwayat Imam Muslim berikut: Wajjahtu wajhiya… (Kuhadapkan wajahku -maksudnya badanku-ke hadirat Pencipta langit dan bumi dengan patuh, artinya dengan menghindari agama-agama non-Islam demi agama yang benar, yaitu Islam, dengan sikap tunduk, serta aku bukan masuk golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku, adalah milik Allah, Tuhan Penguasa alam semesta. Tiada penyekutu bagi-Nya, seperti itulah aku diperintah, lagi pula aku termasuk golongan orang-orang Islam). Sunah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya, agar mempercepat dalam membaca doa Iftitah.
Doa Iftitah seperti di atas, sunah ditambah lagi doa yang sampai kepada kita dari Nabi saw., bagi orang yang salat sendirian (munfarid), imam salat jamaah yang mahshur (jumlahnya terbatas) yang bukan (terdiri dari) budak-budak dan warita-wanita bersuami yang semuanya rela untuk diperpanjang lafal-lafal salat, ‘serta tiada makmum lain yang datang menyusul, meskipun hanya sedikit, di samping itutempat salat tersebut bukan. merupakan jalanan orang.
Termasuk doa yang datang dari Nabi saw., adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Allahumma ba’id baini….. dan seterusnya. (Ya, Allah, jauhkanlah antara diri dan kesalahanku sejauh timur dan barat. Ya, Allah bersihkan (sucikanlah) kesalahan diriku sebersih pakaian putih dari kotoran. Ya, Allah, bersihkanlah kesalahan diriku, sebagaimana pakaian yang dicuci dengan air salju dan embun)
Sesudah membaca doa Ifutah dan bertakbir pada salat Id, kalau memang dilakukan, hukumnya sunah membaca Ta’awudz, walaupun dalam salat Jenazah, dibaca dengan suara pelan, sekalipun, dalam salat Jahriyah (sunah mengeraskan suara), dan bahkan mulai salat dalam keadaan duduk bersama imam: Doa Ta’awudz tersebut dibaca pada setiap rakaat, selagi tidak tergesa-gesa. (sebab waktu sudah sempit) dalam bacaan yang sekalipun karena lupa. Pembacaan Ta’awudz pada rakaat pertama, adalah lebih sunah muakkad, dan meninggalkannya adalah makruh.
Sunah wakaf di depan setiap ayat dalam Fatihah, sekalipun di akhir Basmalah: Segolongan ulama berbeda pendapat. Meskipun ayat tersebut masih berkaitan dengan ayat setelahnya (dalam. hal makna), sebab hal ini ittiba’ kepada Nabi saw. Yang lebih utama adalah tidak wakaf pada ayat” أنعمت عليهم “, sebab tiada wakaf di sini, dan menurut pendapat kami (Asy-Syafi’iyah) ayat tersebut bukan akhir ayat. Jika terpaksa wakaf pada ayat itu, maka tidak disunahkan mengulang dari awal ayat.
Sunah membaca “Amin” dengan: dibaca panjang tanpa tasydid, – serta akan lebih baik jika di: tambah lafal “Rabbal ‘alamin'”,sesudah membaca Fatihah: sekalipun di luar salat, setelah berhenti sebentar, selagi belum mengucapkan sesuatu selain “Rabbighfirlii“. Sunah pula mengeraskan suara dalam membaca amin pada salat Jahnyah, sehingga bagi makmum dapat mengikuu bacaan imamnya. Bagi makmum pada salat Jahriyah, sunah membaca amin bersama-sama imamnya, jika memang ia mendengar bacaannya. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Jika imam membaca amin, maka bacalah amin kalian semua. Karena, barangsiapa membaca amin bersamaan bacaan malaikat, maka semua dosa (dosa-dosa kecil) yang telah lewat diampuni”.Sepanjang pendapat kami (Syafi’iyah), yang disunahkan agar berusaha berbarengan antara makmum dengan imam, hanyalah dalam hal pembacaan amin saja.
Jika ia tidak bisa bersamaan amin imam, maka hendaknya membacanya setelah bacaan amin imam.Jika iman menunda Ta’min sampai di luar waktu yang semesunya disunahkan, maka ruakmum supaya membaca amin dengan suara keras. Lafal امين adalah isim fil, yang maknanya: “Kabulkanlah”, dengan dimabnikan fat-hah, serta dibaca sukun jika wakaf (berhenti),
Bagi imam dalam salat Jahriyah, sunah diam sebentar setelah membaca amin, seukuran makmum membaca Fatihah, jika ia mengerti, bahwa makmum dalam waktu tersebut membaca Fatihah, seperti yang lahir (jelas).
Selama diam tersebut, hendaknya imam terleka dengan berdoa atau lebih utama lagi membaca – ayat-ayat lain (secara pelanpelan), Guru kami berkata: Sekarang jelaslah, bahwa bagi imam sunah, memperhatikan ketertiban dan sambung-menyambung ayat yang dibaca selama diam dengan ayat sesudahnya.
فائدة) يسن سكتة لطيفة بقدر سبحان الله، بين آمين والسورة، وبين آخرها وتكبيرة الركوع، وبين التحرم ودعاء الافتتاح وبينه وبين التعوذ وبينه وبين البسملة. (و) سن آية فأكثر، والاولى ثلاث (بعدها) أي بعد الفاتحة. ويسن لمن قرأها من أثناء سورة البسملة. نص عليه الشافعي. ويحصل أصل السنة بتكرير سورة واحدة في الركعتين، وبإعادة الفاتحة إن لم يحفظ غيرها، وبقراءة البسملة لا بقصد أنها التي هي أول الفاتحة، وسورة كاملة - حيث لم يرد البعض، كما في التراويح - أفضل من بعض طويلة وإن طال. ويكره تركها رعاية لمن أوجبها. وخرج ببعدها ما لو قدمها عليها فلا تحسب، بل يكره ذلك. وينبغي أن لا يقرأ غير الفاتحة من يلحن فيه لحنا يغير المعنى. وإن عجز عن التعلم، لانه يتكلم بما ليس بقرآن بلا ضرورة. وترك السورة جائز. ومقتضى كلام الامام: الحرمة. (و) تسن (في) الركعتين (الاوليين) من رباعية أو ثلاثية، ولا تسن في الاخيرتين إلا لمسبوق بأن لم يدرك الاوليين مع إمامه فيقرؤها في باقي صلاته إذا تداركه ولم يكن قرأها فيما أدركه، ما لم تسقط عنه لكونه مسبوقا فيما أدركه، لان الامام إذا تحمل عنه الفاتحة فالسورة أولى. ويسن أن يطول قراءة الاولى على الثانية، ما لم يرد نص بتطويل الثانية. وأن يقرأ على ترتيب المصحف، وعلى التوالي، ما لم تكن التي تليها أطول ولو تعارض الترتيب، وتطويل الاولى كأن قرأ الاخلاص، فهل يقرأ الفلق نظرا للترتيب ؟ أو الكوثر نظرا لتطويل الاولى ؟ كل محتمل، والاقرب الاول. قاله شيخنا في شرح المنهاج. وإنما تسن قراءة الآية (ل) - لامام ومنفرد و (غير مأموم سمع) قراءة إمامه في الجهرية فتكره له. وقيل: تحرم. أما مأموم لم يسمعها، أو سمع صوتا لا يميز حروفه، فيقرأ سرا. لكن يسن له كما في أوليي السرية تأخير فاتحته عن فاتحة إمامه إن ظن إدراكها قبل ركوعه، وحينئذ يشتغل بالدعاء لا القراءة. وقال المتولي، وأقره ابن الرفعة: يكره الشروع فيها قبله ولو في السرقة، للخلاف في الاعتداد بها حينئذ، ولجريان قول بالبطلان إن فرغ منها قبله.
Sunah diam sebentar, sepanjang bacaan “Subhanallah” antara amin dan surah: antara akhir surah dengan takbir rukuk, antara takbiratul ihram dengan doa Iftitahs antara doa Iftitah dengan Ta’awudz, dan antara Ta’awudz . dengan Basimalah. Sunah juga membaca satu ayat atau lebih setelah membaca Al-Fatihah. Yang lebih utama adalah tiga ayat.
Bagi yang membaca dari tengah-tengah surah, tetaplah sunah membaca Basmalah. Demikianlah yang telah dinash oleh Imam Syafii.Pokok kesunahan di sini sudah bisa terwujud dengan cara mengulang sebuah surah dalam dua rakaat, dengan mengulangi pembacaan Al-Fatihah lagi, jika tidak hafal yang lain, dan dengan membaca Basmalah tanpa bertujuan sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah.
Membaca satu surah penuh -bila tidak ada riwayat dari Nabi saw. membaca sebagian surah, seperti dalam salat Tarawih (dalam salat Tarawih ada riwayat dari Nabi, bahwa yang sunah adalah menyelesaikan sampai khatam -pen)-, adalah lebih utama daripada . membaca sebagian surah, sekalipun ayat yang dibacanya panjang (bila dibandingkan dengan satu surah penuh).
Makruh meninggalkan membaca ayat Our-an setelah membaca Al–Fatihah (dalam salat selain salat Jenazah dan salat orang tidak menemukan air dan debu, di mana ja adalah orang sedang junub -pen). Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga perselisihan dengan ulama yang menghukumi wajib membaca surah. Terkecualikan dari ketentuan “dibaca setelah Fatihah“, apabila ayat tersebut dibaca sebelumnya, hal ini tidak terhitung mendapatkan kesunahan, bahkan dihukumi makruh.
Sebaiknya, bagi orang yang jika membaca selain Fatihah mengalami lahn (aksi-aksian) yang sampai mengubah makna, sekalipun terjadi sebab tidak bisa belajar, agar tidak membaca selain ayat Fatihah itu. Karena ia akan mengucapkan sesuatu yang bukan Our-an, padahal. tidak terdapat unsur keterpaksaan.
Hukum tidak membaca Surah itu boleh. (Tapi) menurut kesimpulan ‘ dari pembicaraan Imam Al Haramain, adalah haram mem:baca selain Al-Fatihah bagi orang seperti di atas. Membaca surah itu sunah dilakukan hanya pada rakaat pertama dan kedua dalam salat yang berakaat empat atau tiga.
Tidak disunahkan membaca ayat (surah) pada dua rakaat yang akhir (ke-3 dan ke-4), kecuali bagi makmum masbuk yang tidak mendapatkan rakaat ke-1 dan ke-2 bersama imamnya. Ia sunah membacanya pada rakaat ke-3 dan ke-4, di mana ia tidak sempat membacanya bersama imam, selagi pembacaan ayat tersebut tidak gugur atas dirinya, (jika sudah gugur, maka ia tidak sunah . membacanya), sebab ia adalah makmum masbuk. atas yang ditemukan pada imamnya.Sebab, imam itu dapat menanggung Fatihah makmum masbuk: apalagi bacaan surahnya.
Sunah memperpanjang bacaan surah pada rakaat pertama dari rakaat kedua, selagi tidak terdapat Nash Nabi saw. yang menganjurkan memperpanjang bacaan surah pada rakaat kedua. Sunah juga membaca surah secara tertib, seperti yang ada dalam Mushhaf (sebagaimana membaca . surah Al-Falaq, lantas An-Nas -pen) dan beruntun, selagi surah yang berada di belakangnya tidak: lebih panjang.
Jika membaca surah secara tertib akan menyebabkan terjadi bacaan pada rakaat ke-2 lebih panjang daripada rakaat ke-1, misalnya pada rakaat ke-1 membaca surah Al-Ikhlash, lantas untuk rakaat ke-2 apakah membaca surah Al-Falaq, karena menitikberatkan aturan “tertib”, atau membaca surah Al-Kautsar, karena menitikberatkan “memperpanjang rakaat pertama”. Kedua: masalah di atas masih sama-sama ihtimal (serba kemungkinan). Tapi yang lebih mendekati kebenaran, adalah yang pertama, seperti yang dikomentarkan oleh Guru kami dalam kitab Syarah Mimhaj
Mengenai makmum yang tidak mendengarkan bacaan imamnya atau dapat, tetapi hurulf-huruf:nya tidak jelas, maka disunahkan membacanya secara pelan-pelan. Namun baginya disunahkan sebagaimana pada dua rakaat pertama salat Sirriyah -meletakkan Fatihah sesudah imamnya, Jika ia mengira masih cukup untuk membaca Fatihah sebelum rukuk. Sementara dalam waktu menanti imamnya, baginya sunah terleka dengan membaca doa, bukan membaca Alqur-an.
Imam Al-Mutawalli berkata, kemudian ditetapkan oleh Imam Ibnur Rifah: Bagi makmum, makruh membaca Fatihah sebelum imam memulainya, sekalipun hal itu pada salat Sirriyah, sebab masalah sah Fatihah yang sedemikian itu masih diperselisihkan, dan ada pendapat, bahwa hal tersebut menyebabkan batal salatnya. jika makmum selesai membaca Fatihah sebelum imamnya.
Sunah bagi makmum yang sudah selesai membaca Fatihah pada rakaat ke-3, ke-4, atau selesai membaca tasyahud awal sebelum imamnya selesai, agar berdoa atau membaca Alqur-an: sedang yang terakhir, adalah lebih utama daripada berdoa.
Bagi orang yang menghadiri salat Jumat dan Isyak malam Jumat (pada rakaat ke-1 dan ke2), sunah membaca surah Al-Jum’ah lalu Al-Munaafiquun, atau Al-A’la lalu Al-Ghaasyiyah, dan pada salat Subuhnya -jika waktunyacukup-, sunah membaca surah Alif Laam Tanzil As-Sajdah lalu Hal Ataa (Ad-Dahr), dan pada salat Magribnya, sunah membaca surat Al-Kaafiruun lalu Al-Ikhlaash. :
Dua surah (Al-Kafiruun dan Al-Ikhlaash) sunah dibaca pada salat Subuh hari Jumat dan hari lainnya, bagi orang yang sedang bepergian: juga dibaca pada salat qabliyah Subuh, Maghrib, Thawaf, Tahiyatul mesjid, Istikharah dan Ihram, sebagai sikap ittiba’ kepada Nabi saw. dalam kesemuanya Itu.
فيقرأ في ثانيته - إذا قام بعد سلام الامام - الم تنزيل. كما أفتى به الكمال الرداد وتبعه شيخنا في فتاويه. لكن قضية كلامه في شرح المنهاج أنه يقرأ في ثانيته إذا قام هل أتى، وإذا قرأ الامام غيرها قرأهما المأموم في ثانيته. وإن أدرك الامام في ركوع الثانية فكما لو لم يقرأ شيئا فيقرأ السجدة وهل أتى في ثانيته. كما أفتى به شيخنا.
Jika seseorang meninggalkan bacaan satu dari dua surah yang telah ditentukan di atas pada rakaat pertama, maka pada rakaat ke-2 hendaknya dibaca kedua-duanya, kalau pada rakaat pertama membaca surah yang mestinya sunah dibaca pada rakaat ke-2, maka pada rakaat ke-2 membaca surah yang mestinya dibaca pada rakaat pertama. Jika ia terlanjur membaca surah yang bukan ditentukan di atas, sekalipun karena lupa, maka sunah memotongnya dan ganti membaca surah yang ditentukan di atas.
Dalam keadaan waktu telah mendesak, membaca dua surah yang pendek-pendek adalah lebih utama daripada potongan dua surah panjang-panjang yang telah ditentukan di atas, lain halnya dengan pendapat Imam Al-Fariqi. Jika hafalnya hanya sebuah surah saja dari yang telah ditentukan, maka hendaknya surah itu dibaca dan yang lainnya diganti dengan surah yang dihafal, sekalipun akan menyebabkan tidak berurutan.
Jika misalnya seseorang mulai bermakmum pada rakaat ke-2 salat Subuh hari Jumat dan mendengarkan imam membaca surah Hal Ataa (Ad-Dahr), maka : setelah imam salam dan ia meneruskan salatnya satu rakaat lagi, supaya membaca surah Alif Laam Tanzil, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Imam AlKamal Ar-Radad, yang diikuti oleh Guru kami dalam kitab Fatawa-nya.
Namun, kesimpulan dari pembahasan beliau dalam kitab Syarah Minhaj, bahwa orang tersebut supaya membaca surah Hal Ataa (Ad-Dahr), juga pada rakaat kedua-duanya.” :Jika imamnya tadi tidak membaca surah Ad-Dahr, maka nanti pada rakaat kedua makmum supaya membaca surah Alif Laam Miim Sajdah dan Ad-Dahr.
Jika seorang makmum menemukan imam dalam keadaan rukuk pada rakaat ke-2, maka seperti halnya imam, baginya tidak membaca apa-apa (sehingga imam tidak bisa menanggung bacaan surah makmum – pen), karena itu pada rakaat kedua-duanya supaya membaca surah Ad-Dahr dan Alif Laam Miim Sajdah, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kami.
Bagi selain makmum, disunahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah dengan suara keras pada rakaat ke-1 dan ke-2 dalam salat Subuh, Magrib, Isyak, Jumat dan kadha yang dikerjakan antara terbenam Matahari dan terbitnya kembali, salat dua hari raya –dalam hal ini Guru kami berpendapat: Sekalipun salat hari raya itu kadha-, salat Tarawih, Witir Ramadhan dan Gerhana Bulan (sedang salat Gerhana Matahari adalah sunah membaca secara sirri/pelan-pelan -pen).
Bagi makmum dimakruhkan membacanya dengan suara keras, sebab ada larangan. Bagi orang yang salat dan lainnya (misalnya orang yang memberi nasihat, pembaca dan pengajar -pen), tidak diperbolehkan mengeraskan suara, bila mengganggu semacam orang yang sedang tidur atau salat. Karena di dalam kitab Al-Majmu’, dinyatakan makruh.
Sebagian fukaha membahas adanya larangan bersuara keras dalam membaca Algur-an atau lainnya, yang ada di hadapan siapa saja secara mutlak (baik menganggu ataupun tidak -pen). Sebab mesjid itu pada asalnya diwakafkan untuk orang-orang salat, bukan untuk ahli pidato dan qiraah. Dalam salat sunah Mutlak di malam hari, sunah mengeraskan suara. Sunah bagi orang yang salat sendirian, imam dan makmum, agar bertakbir setiap turun dan bangun kembali, sebagai sikap ittiba’ kepada Nabi saw.
Kecuali waktu bangun dari rukuk di sini tidak disunahkan bertakbir, tapi membaca: Sami’allah…. dan seterusnya (Allah SWT. mendengar orang yang memuji-Nya).Sunah memanjangkan takbir sampai masuk pada rukun baru, sekalipun antara rukun baru dengan rukun sebelumnya di: pisah dengan duduk istirahat.
Sunah mengeraskan suara takbir pindah rukun, seperti ketika Yakbiratul ihram, bagi imam dan Mubalig (penyambung suara Imam), kalau memang diperlukan adanya. Tapi hukum sunah Jni, jika diniati sebagai: zikir (saja) atau zikir sambil memberi pendengaran, Kalau tidak sedemikian adanya, maka batal salatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj.
Makruh mengeraskan suara takbir bagi orang selain tersebut di atas, yaitu bagi orang yang salat sendirian dan makmum. Sebagian fukaha berkata: Penyambungan suara imam itu hukumnya adalah Bid’ah Munkarah atas kesepakatan empat mazhab, selama suara imam masih dapat didengar oleh para makmum.
Rukuk. Yaitu membungkukkan badan, sehingga kedua telapak tangan -bukan jari-jari- dapat: mencapai pada lutut. Karena itu, belumlah cukup hanya meletakkan pucuk jari pada lutut, jika mau meletakkan tapak tangan pada lutut. Hal itu jika anggota badan se.seorang wajar (normal kejadiannya). Demikian ini adalah batas minimal dalam rukuk.
Sunah waktu rukuk: Meratakan punggung dengan kuduk. Yaitu : dengan cara menarik ruas-ruas persendiannya sedemikian rupa, sehingga menjadi seperti sehelai lembaran, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Memegang dua lutut yang dalam keadaan tegak (tidak bengkok) tidak berhimpitan, dengan dua telapak tangan yang terbuka dan jari-jarinya agak merenggang satu sama lainnya.
Membaca: Subhanallah….. dan seterusnya 3x (Maha Suci Tuhanku, Maha Agung dan dengan pujian. Nya), sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.Bacaan tasbih dalam rukuk serta sujud, setidaknya sekali: sekalipun dengan subhanailah, dan paling banyak 11 kali.
Orang yang tersebut di atas (munfarid dan imam salat jamaah mahshurin), sunah menambahkan dengan: Allahumma raka’tu… dan seterusnya. (Ya, Allah, aku rukuk ke hadirat-Mu, beriman kepada-Mu, berserah diri kepadaMu, pendengar, penglihatan, sumsum, tulang, urat, rambut dan kulilku, semua tunduk kepada-Mu, dan semua yang ada di badanku adalah milik Allah, Tuhan semesta alam).
Waktu rukuk dani sujud. disunah| kan membaca: Subhaanaka…. dan seterusnya. (Ya, Allah, Maha Suci Engkau, Ya, Allah, dengan pujuan kepada Engkau, ampunilah aku). Jika seseorang ingin-mencukupkan bertasbih atau berzikir, maka tasbih adalah lebih utama. Membaca. tasbih sebanyak tiga kali yang diteruskan dengan bacaan Allahumma laka raka’tu seterusnya, adalah lebih utania daripada membaca tasbih sam: pai 11 kali (tanpa ditambah Allahumma dan seterusnya.)
Makruh melakukan rukuk dengan batas minimal saja, demikian juga keterlaluan menundukkan kepala dibawah garis lurus punggung. Sunah bagi laki-laki merenggangkan kedua sikunya dengan lambung dan perut dari paha ketika rukuk dan sujud. Bagi selain laki-laki, sunah menghimpitkannya ketika rukuk dan sujud.
Waktu turun untuk rukuk, wajib tidak dimaksudkan untuk hal lain. Jika turunnya untuk sujud Tilawah, lalu setelah sampai pada batas rukuk (ia tidak jadi sujud), tapi rukuk, maka rukuknya tidak sah. Tapi ia harus berdiri tegak dulu, baru rukuk. Begitu juga dalam masalah iktidal, sujud dan duduk antara dua sujud (disyaratkan tidak bertujuan selainnya).
Jika selain makmum (imam dan munfarid) ketika sujud merasa ragu: Apakah ia sudah rukuk atau belum?, maka secara spontan ia wajib berdiri tegak lalu rukuk, tidak boleh bangkit dengan posisi rukuk.Iktidal, sekalipun pada salat sunah, menurut pendapat Muktamad. Iktidal dapat dinyatakan dengan berdiri kembali dari rukuk, seperti posisi semula sebelum rukuk, baik posisi berdiri atau duduk (bagi orang yang salat dengan duduk).
Jika ragu, sudahkah beriktidal dengan sempurna? Maka selain makmum wajib spontan kembali melakukannya. Kalau tidak, maka salatnya batal. Kalau orang yang ragu tersebut adalah makmum, maka setelah salam imam ia menambah satu rakaat.Ketika sedang bangkit dari rukuk, sunah mengucapkan: Sami’allah… dan seterusnya. (Allah menerima pujian orang yang memujiNya). Ucapan tersebut sunah diucapkan oleh imam dan mubalig dengan suara keras, sebab bacaan itu ter-: masuk zikir untuk pindah rukun.
Setelah berdiri tegak, sunah mengucapkan: Rabbana lakalhamdu ….. dan seterusnya. (Ya, Allah, bagi-Mu-lah ujian sepenuh langit dan bumi serta sepenuhnya segala kehendak-Mu setelah itu), maksudnya seperti Al-Kursy dan ‘Arsy. Lafal مِلْءُ adalah dibaca rafa’, berstatus sebagai sifat bisa juga dibaca nashab, berstatus sebagai keterangan hal, berarti dengan mengira-ngirakan الثَّنَاءُ lafal (pujian) sebagai jisim.
Bagi orang di atas (munfarid dan imam jamaah mahshurin), sunah ‘ menambah dengan Ahlatstsana’…… dan seterusnya. (Wahai, ahli Pemangku pujian dan keagungan, yang paling benar untuk diucapkan oleh hamba. Kita semua adalah. hamba Engkau, Tiada penghalang atas apa yang telah Engkau berikan, tiada pemberi atas apa yang telah Engkau halangi, dan tiada berguna keagungan yang dimiliki oleh manusia: dari sisi Engkau-lah sumber keagungan itu.
Sunah berdoa Qunut ketika salat Subuh, yakni ketika iktidal pada rakaat kedua, setelah membaca zikir termaktub, hal ini berdasarkan beberapa tinjauan. Zikir tersebut sampai pada lafal من شيءبعد Sunah juga pada iktidal rakaat terakhir salat Witir pada Separo terakhir Pulan Ramadhan, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Makruh qunut pada separo buian ” Ramadhan awal (tanggal 1-15), sebagaimana halnya makruh nada salat-salat sunah lainnya.
Disunahkan berqunut Nazilah sebabada bencana yang menimpa orang-orang Muslim, sekalipun seorang saja, di mana ia bermanfaat untuk umum, misalnya ada orang alim atau pemberani yang tertawan oleh musuh, ketika salat fardu lima waktu, ketika ikudal rakaat terakhir, sekalipun bagi makmum masbuk yang sudah berqunut bersama imamnya. Hal itu berdasarkan Ittiba’ kepada Nabi saw. Dalam masalah bencana itu, baik berupa gentar menghadapi musuh, sekalipun sesama Muslim, : kelaparan atau wabah penyakit menular.
Dengan kata-kata “salat fardu”, Maka terkecualikan salat sunah, Sekalipun salat hari Raya dan Nazar. Karena itu, doa Qunut tidak disunahkan pada kedua salat tersebut. Qunut dibaca dengan mengarigkat kedua tangan setinggi pundak, sekalipun sedang membaca pujian, sebagaimana dalam doa-doa lain, hal ini sebagai tidak ituba’ kepada Nabi saw.
Di kala berdoa untuk menghasilkan sesuatu, misalnya menolak bencana selama umurnya, supaya menjadikan bagian dalam telapak tangan . ditengadahkan ke arah langit (atas), dan di kala berdoa untuk menghilangkan bencana yang menimpa, supaya membalik telapak tangannya. Bagi khotib makruh mengangkat tangannya di kala berdoa.
Jenis doa Qunut adalah: Allaahummahdinii fiiman hadait … dan seterusnya. (Ya, Allah, tunjukkanlah daku seperti orang yang telah Engkau tunjukkan, sejahterakanlah daku seperti orang yang telah Engkau : beri kesejahteraan, kasihanilah daku seperti orang yang telah Engkau kasihi, -maksudnya, masukkanlah daku ke golongan orang-orang yang Engkau kasihi, Berikanlah anugerah Engkau padaku, jagalah daku dari takdir jelek Engkau, karena sesungguhnya Engkau-lah Pemasti dan tidak dapat dipastikan, Tiada hina bagi orang yang Engkau angkat, Tiada mulia bagi orang yang telah Engkau musuhi: Maha Suci Engkau, wahai, Tuhanku, dan Maha Tinggi Engkau, Bagi Engkau semua keputusan Engkau, daku mohon ampun dan tobat kepada Engkau).
Setelah doa di atas, sunah membaca salawat-salam buat. Baginda Nabi saw. dan keluarganya, di mana hal ini tidak disunahkan pada awal doa Qunut.
Bagi orang yang salat munfarid (sendirian) dan imam jamaah’ Mahshurin, sunah menyambung doa di atas dengan qunut yang dibaca sahabat Umar r.a. ketika salat Subuh, yaitu: Allaahumma innaa…dan seterusnya (Ya, Allah, sesungguhnya kami mohon pertolongan ampunan dan hidayah-Mu, kami beriman dan berserah diri kepada-Mu, kami memuji-Mu dengan segala kebaikan, kami bersyukur dan tidak kufur kepada-Mu, serta kami tidak kenal dan meninggalkan orang yang lancang kepada-Mu. Ya, Allah, hanya kepada-Mu-lah kami beribadah, salat dan sujud, hanya kepada-Mu kami bergegas dan berlari, kami mengharap rahmat dan takut siksa dari-Mu, Sesungguhnya siksa-Mu adalah hal benar terjadi pada orang-orang kafir).
Kemudian, karena qunut yang pertama tadi ditetapkan oleh Nabi saw., maka lebih didahulukan daripada qunut sahabat Umar ini. Karena itu, bagi orang yang mencukupkan diri dengan satu qunut, maka bacalah qunut yang pertama tadi.
Kalimat-kalimat doa Qunut itu tidak ditentukan susunan redaksinya. Karena itu, sudah cukup doa Qunut dengan membaca ayat Alqur-an yang berisikan doa, jika dimaksudkan untuk qunut, misalnya akhir surah Al-Baqarah. Begitu juga, qunut ilu cukup dengan membaca segala bentuk doa, sekalipun tidak bersumber dari Nabi saw. Guru kami berpendapat: Pendapat yang jelas argumentasinya, bahwa Qunut Nazilah ‘itu dilakukan setelah membaca qunut salat Subuh, lalu ditutup dengan memohon supaya bencana yang sedang menimpa itu lenyap.
Dalam membaca qunut. bagi imam sunah mengeraskan suaranya, sekalipun dalam salat sirriyah. Sedang bagi makmum yang tidak mendengar qunut imam dan orang yang salat sendirian, mereka tidak diperintah mengeraskan suara, tapi hendaknya membaca pelanpelan secara mutlak Bagi makmum yang mendengar qunut imam, ia sunah membaca amin dengan suara keras, karena berdoa atas ‘ bacaan Imamnya.
Termasuk doa, adalah membaca salawat atas Nabi saw. Karena itu, makmum agar membaca amin atas bacaan itu, menurut beberapa tinjauan pendapat. Mengenai isi doa qunut yang. berisi pujian, yaitu mulai kalimat فَإِنَّكَ تَقْضِىsampai akhir, makmum supaya membaca sendiri dengan suara pelan-pelan. Sedang bagi makmum yang tidak mendengar qunut imam atau mendengar, tapi tidak paham, supaya membaca qunut dengan suara pelan.
Bagi imam makruh mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri, -maksudnya dalam doa qunut-, sebab ada larangan bagi imam untuk mengkhususkan dirinya seperti ini. Imam supaya membaca اِهْدِنَا dan semua lafal yang di-athafkan dengannya diucapkan dengan bentuk dhamir jamak. Pada dasarnya, hal yang semacam ini berlaku dalam semua bentuk doa.
Yang jelas, kemakruhan mengkhususkan dirinya dalam berdoa di atas, adalah diarahkan pada doa yang tidak datang dari Nabi saw. dengan bentuk Ifrad, padahal beliau seorang imam dan hal ini justru banyak sekali (kalau doa itu datang dari Nabi saw. dengan bentuk mufrad, maka bagi imam tidak dimakruhkan mengkhususkan dirinya dengan doa itu -pen).
Di antara Ulama Huffazh (ahli ilmu Hadis) berkata: Sesungguhnya semua doa Nabi adalah dengan bentuk Ifrad (tunggal). Berangkat dari sini, sebagian dari mercka mengkhususkan berdoa dengan bentuk jamak hanya dalam berqunut saja.Sujud dua kali untuk tiap-tap rakaat, pada sesuatu yang bukan bawaan orang yang salat, sekalipun ikut bergerak sebab gerak orang itu: dan sekalipun bersujud di atas balai-balai (ranjang) yang turut bergerak sebab geraknya.
Sebab, barang tersebut bukan termasuk bawaannya. Karena itu, sujud di atas tempat semacam itu tidak ada masalah, sebagaimana bersujud di atas bawaannya, tetapi tidak bergerak atas gerak orang itu, nya, pucuk selendang yang panjang. Tidak termasuk dalam keterangan “pada sesuatu yang bukan bawaannya”, bila sujud pada bawaannya yang turut bergerak atas gerak orang yang salat, seperti bersujud pada pucuk serban, maka sujud ini hukumnya tidak sah.
Sujud di atas pucuk serban itu membatalkan salat, jika disengaja dan mengerti akan keharamannya. Kalau tidak sedemikian rupa, maka cukuplah mengulang sujudnya. Sah sujud di atas tangan orang lain atau semacam sapu tangan yang dipegang tangannya sendiri, sebab barang ini dihukumi sebagai terpisah.
Jika bersujud pada sesuatu yang kemudian melekat pada keningnya, adalah sah saja, dan wajib menghilangkan barang tersebut ketika sujud kedua (barang itu seperti kertas dan sebagainya -Pen). Sujud itu dilakukan dengan menyungkur. Yaitu bagian pantat dan sekitarnya berada pada posisi lebih tinggi daripada kepala: Dasarnya adalah ittiba’ kepada Nabi saw.
Jika kepala lebih tinggi daripada pantat dan sekitarnya, atau sejajar, maka belumlah bisa dianggap cukup. Memang begitu, (tapi) jika . ternyata pada badan orang itu ada suatu ciri (cacat) yang tidak memungkinkan untuk bersujud kecuali dengan cara demikian, maka hal itu sudahlah mencukupinya.(Sujud) dilakukan dengan meletakkan sebagian keningnya-dengan keadaan terbuka.
Jika pada keningnya terdapat Penghalang semacam pembalut, maka sujudnya tidak sah. Kecuali balutan luka yang sulit antuk dilepas, maka sujud bukaan keadaan seperti ini hukumnya sah. Dan dengan menekankan keningnya pada tempat salat, sehingga tempat itu dapat terbebani dengan berat kepala. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Al-Haramain.
Juga dengan meletakkan sepasang lutut, telapak tangan, dalam jari-jari tangan, dan sebagian jari-jari kaki, bukan yang lain, misalnya: tepi jari, ujung jari dan jari samping luarnya. Jika jari kaki telah hilang, tetapi dapat meletakkan bagian dalam saja, maka hal ini tidak wajib dilakukan, sebagaimana kesuupulan dari pembahasan Guru kami berdua (Imam AnNawawi dan Imam Ar-Raft’i). ,
Tidaklah wajib pula (tapi sunah), menekankan anggota-anggota selain kening tersebut di atas, sebagaimana sunah membuka selain kedua lutut (untuk lutut hukumnya makruh membukanya -pen). Ketika sujud, sunah meletakkan hidung, bahkan karena sebuah hadis sahih, hal itu hukumnya sunah muakkad. Dari hadis tersebut ada pendapat yang mewajibkannya.
Sunah memulai bersujud dengan meletakkan sepasang lutut secara merenggang, kirakira sejarak satu jengkal, lalu dua telapak tangan sejajar pundak dengan lengan terangkat di atas tanah dan jari membentang (tidak menggenggam), tapi saling berhimpitan serta menunjuk ke arah kiblat. Lalu meletakkan kening bersama-sama hidungnya. Juga sunah merenggangkan kedua tumit sejarak satu jengkal, menegakkannya untuk jari-jari menghadap kiblat, dan mengeluarkan tumit dari pakaian bagian bawah
Di kala sujud, sunah membuka mata, seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu ‘Abdis Salam, yang kemudian dikukuhkan oleh Imam Az-Zarkasyi. Tidak menuruti tata tertib di atas, adalah makruh hukumnya. Juga makruh, jika tidak meletakkan hidung pada tanah (tempat bersujud).
Dalam bersujud, sunah membaca: Subhaana … dan seterusnya tiga kali (Maha Suci Tuhanku dengan pujian-Nya) sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Bagi munfarid dan imam jamaah Mahshurin, sunah menambahkannya: Allaahumma… dan seterusnya. (Ya, Allah, kepada-Mu kami bersujud, beriman dan berserah diri, wajahku/semua anggota badanku bersujud kepada Penciptanya, yang membentuk rupa, yang melengkapinya dengan mata dan telinga, dengan upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebagai sebagus-bagus pencipta).
Sunah memperbanyak doa dalam sujud. Di antara doa yang datang dari Nabi saw. adalah: Allaahumma innii … dan seterusnya. (Ya, Allah, aku berlindung dari murka-Mu dengan ridha-Mu, di bawah kesejahteraan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung dengan-Mu “dari murka-Mu, tak sanggup rasanya aku menghitung pujian untuk-Mu sebagaimana Engkau memuji atas Dzat-Mu. Ya, Allah, ampunilah semua dosaku, yang lembut dan besar, yang awal dan akhir, yang tampak jelas dan yang samar). Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah: Memperpanjang sujud lebih utama daripada memperpanjang rukuk.Duduk di antara dua sujud, sekalipun pada salat sunah, menurut pendapat Yang Muktamad.
Waktu duduk, wajib tidak dimaksudkan untuk selain duduk dengan bangun dari sujud. Karena itu, jika ia mengangkat (bangun dari sujud) karena kesakitan sengatan semacam binatang kala, maka ia harus kembali pada posisi sujud. Diperbolehkan selama duduk tangannya masih tetap melekat di tanah (tempat sujud) sampai sujud yang kedua, hal ini sudah disepakati ulama. Lain halnya dengan ulama yang berpendapat sebaliknya (salat semacam itu hukumnya batal -pen).
Untuk duduk dan iktidal, supaya tidak diperpanjang. Sebab keduanya bukanlah dimaksudkan dengan perbuatan itu sendiri, tapi hanya dilakukan sebagai pemisah saja. Karena itu, cukuplah dikerjakan dengan pendek.Jika ia memperpanjang melebihi zikir yang telah ditentukan di situ, seukuran bacaan Fatihah dalam ikudal, dan seukuran bacaan tasyahud pendek dalam masalah duduk (di antara dua sujud), padahal ia mengerti dan tahu, maka batal salatnya.
Sunah dalam duduk di antara dua sujud, dalam tasyahud awal, duduk istirahat dan tasyahud akhir yang diikuti sujud sahwi, agar duduk iftirasy. Yaitu duduk di atas tumit kaki. kiri yang dilipat sedemikian rupa, Sehingga bagian atas (luar) menempel tanah. Tapak tangan diletakkan pada kedua paha, sehingga ujung jari sejajar dengan ujung lutut dalam keadaan jari-jari terbentang tidak mengepal.
Sambil mengucapkan: Rabbighfirlii … dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah daku, kasihanilah daku, tambahlah kekuranganku, angkailah daku, anugerahilah daku rezeki, berilah daku hidayah dan kesejahteraan), Sebagai tindak ittiba” kepada Nabi.
Makruh mengucapkan اِغْفِرْلِىْ tiga kali Sunah duduk istirahat sepanjang duduk di antara dua sujud, -sebagai ittiba’sekalipun pada salat sunah, dan sekalipun sang imam tidak mengerjakannya, berbeda dengan pendapat Guru kami. (Kesunahan duduk tersebut) karena akan berdiri dari sujud, selain sujud Tilawah. Sunah untuk berdiri dari sujud atau duduk, agar berpegangan dengan telapak tangan.
Thuma’ninah pada setiap rukuk, dua sujud, duduk di antara dua sujud dan iktidal, sekalipun pada salat sunah. Lain halnya dengan pendapat (Imam Al-Ardabili?) dalam kitab Al-Anwar. (Redaksi kitab tersebut: Jika seseorang meninggalkan iktidal atau duduk di antara. dua sujud pada salat sunah, maka salatnya tidak batal -pen).
Batasan thuma’ninah adalah: Berhentinya kembali anggotaanggota badan, sehingga dapat terpisahkan antara perbuatan salat yang sudah dan yang akan dilakukan (diam setelah dua gerak, yaitu gerak dari rukun yang akan dikerjakan -pen).
Tasyahud Akhir. Paling tidak yang dibaca dalam tasyahud, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i dan At-Tirmidzi ialah: Attahiyyaatw hilash … dan seterusnya. (Segala penghormatan bagi Allah. Salam seyahtera dan rahmai-Nya semoga lerlmpahkan kepadamu, wahm, Nah. Salam untuk Irta semua dan sekalian hamba Allah yang saleh-saleh. Aku bersaksi, bahwa hada Tuhan selam Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah).
Sunah bagi setiap orang salat (munfarid, makmum dan imam) menambahnya dengan:. المباركات الصلوات الطّيّبات (Yang diberkah:, salawat dan kebagusan-kebagusan), menambah lafal. وأشهد , pada keduanya, dan memakrifatkan lafal السلام pada dua tempatnya. Tidak disunahkan membaca Basmalah terlebih dahulu. Tidak boleh mengganti kata-kata dalam redaksinya yang pendek di atas, sekalipun dengan sinonimnya. Misalnya lafal diganti dengan الرَّسُوْلِ atau sebaliknya: dan lafal محمد diganti dengan. أحمد atau lainnya lagi.
Bacaan وَأَنَ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ adalah sudah mencukupi (sah). Sedangkan وَأَنَ مُحَمَّدًا رَسُوْلُهُ tidak mencukupi (tidak sah). Wajib memperhatikan tasydidtasydidnya: jangan sampai mengganti huruf dengan lainnya: wajib sambung-menyambung antara satu dengan lainnya, tertib tidak wajib, selama tidak merusak maknanya.
Jika membaca izhhar nun yang diidghamkan ke dalam lam pada lafal. أَنْ لاَإِلهَ إلاَّالله , maka membatalkan bacaan (dan membatalkan salat, jika bacaan tersebut tidak diulangi dengan benar, tapi diteruskan sampai salam -pen). Sebab di situ meninggalkan tasydid pada huruf lam. Sebagaimana halnya tidak mengidghamkan dal lafal مُحَمَّدٍ ke dalam ra’ lafal. رَسُوْلُ الله boleh lafal اَلنَّبِىِّ dibaca juga dengan gengan bamzah, juga tasydid seperu itu.Salawat Nabi saw. setelah membaca tasyahud akhir. Berarti tidak boleh dibaca sebelumnya.
Salawat paling tidak yang harus dibaca: اَللهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ (Ya, Allah, berikanlah rahmat atas Nabi Muhammad), atau. صلى الله على محمد/ على رسوله/ على النبى (Semoga Allah memberikan rahmat kepada Nabi Muhammad/RasulNya/Nabt): tidaklah cukup dengan menggunakan lafal احمد Sunah -ada yang mengatakan wajib-, pada tasyahud akhir ditambah membaca salawat kepada keluarga Nabi saw.
Untuk menjalankan kesunahan di atas, paling tidak dengan menambah/menyambung والهِ sesudah salawat yang paling tidak harus dibaca di atas.
Penambahan itu tidak disunahkan pada tasyahud awal, menurut pendapat Ashah, sebab tasyahud awal, dikerjakan secara ringan (cepat). Bahkan ada suatu pendapat: Penambahan yang terjadi pada tasyahud awal adalah pemindahan rukun gauli, yang hal ini membatalkan salat. Kemudian dipilihlah pendapat yang berlawanan dengan Ashah (yaitu: menambah: salawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud awal adalah sunah -pen), dengan dasar hadishadis sahih.
Sunah membaca selawat yang paling sempurna pada tasyahud akhir. Yaitu: Allaahumma Shalli …… dan seterusnya. (Ya, Allah, berilah selawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Berkahilah Nabi Muhammad dan keluarganya, seperti Engkau berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sungguh Engkau adalah Yang Terpuji dan Yang Agung).
Tentang salam kepada Nabi telah disebut (dibaca) dalam tasyahud di atas. Kalau toh di sini (selawat) tidak disebutkan (dibaca), hal ini bukan berarti memisahkan salawat dari salam. Tidaklah mengapa menambah. kan lafal سَيِّدِنَ (Tuan kita) di depan lafal. محمد Sunah pada tasyahud akhir memanjatkan doa, setelah membaca bacaan tasyahud seluruhnya.
Mengenai tasyahud awal, dimakruhkan berdoa, sebab justru dibuat ringan. Kecuali jika sang makmum selesai sebelum imamnya, di sinilah baru disunahkan berdoa. Sedang doa yang paling utama, adalah doa yang datang dari Nabi saw. Yang paling kuat, adalah doa yang diwajibkan oleh sebagian ulama sebagai berikut: Allaahumma innii… dan seterusnya. (Ya, Allah sungguh aku berlindung diri kepada Mu dari Siksaan kubur, siksa neraka, fitnah hidup, mati dan Masihid dajal).
Dimakruhkan tidak membaca doa tersebut. Di antara lagi: Allaahummaghfirlii … dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa saya yang dulu, akhir, yang saya sembunyikan dan tampakkan, yang saya melampawi batas dan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada saya, Engkau Yang Pendahulu dan Yang Terakhir, tiada Tuhan selain Engkau).
Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim. Di antaranya lagi: Allaahumma innii … dan seterusnya (Ya, Allah, sungguh saya telah berbuat zalim pada diri saya dengan sebesar dan sebanyak-banyaknya. Padahal tiada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau. Karena itu, ampunilah saya dengan pengampunan dari sisi Engkau. Sungguh Engkau Maha penyayang) Hadis riwayat Bukhari.
Sunah bagi doa imam, hendaknya lebih pendek: daripada bacaan tasyahud dan salawat atas Nabi saw. yang harus dibaca, ukuran minimal. Guru kami berpendapat: Makruh membaca salawat kepada Nabi saw. setelah doadoa tasyahud.
Duduk untuk tasyahud dan salawat serta salam.
Sunah duduk tawarruk pada tahiyat (tasyahud) akhir, yaitu tasyahud yang bersambung dengan salam. Karena itu, bagi makmum masbuk tidak disunahkan duduk tawarruk pada tasyahud akhir imam, Begitu juga orang yang nanti akan bersujud sahwi.
Praktik duduk tawarruk itu seperti duduk iftirasy, tapi kaki kiri dikeluarkan lewat kaki kanan dan pantat ditempelkan ke tanah. Waktu duduk dua tasyahud, sunah meletakkan dua tangan pada pinggir dua lutut, sehingga lutut sejajar dengan ujung jari, dalam keadaan jarijari terbentang merapat, dan yang kanan mengepal, kecuali jari telunjuk. Lafal adalah dengan dibaca kasrah ba’nya. Yaitu jar yang berada di sebelah ibu jan, di mana pn telunjuk tersebut diluruska. Sunah mengangkat jari telunjuk dengan sedikit miring kcuka membaca hamzah lafal sebagai ittiba’. Sunah juga mengacungkan terus, sampai akan berdiri atau salam. Yang lebih utama, ibu jari digenggam, ujungnya berada di bawah telunjuk dan di tepi telapak tangan, sehingga seperti membentuk angka 53.
Jika tapak tangan kanan diletakkan pada selain yang ber.dekatan dengan lutut (seperti pada tanah atau paha), maka ketika mengucapkan jari telunjuk supaya diacungkan. Tidak disunahkan mengacungkan jari tersebut ketika membaca lafal itu di luar salat. Sunah memusatkan pandangan pada jari telunjuk ketika mengacungkannya, sekalipun tertutup dengan semacam lengan baju, sebagaimana pendapat Guru kami.13. Mengucapkan salam pertama. Paling tidak harus mengucapkan: “Assalaamu’alaikum” sebagai ittiba’.
Sedangkan mengucapkan Salam dengan: Alaikumus salam, adalah makruh. Mengucapkan “Salaama’alaikum” adalah belum mencukupi dalam salam salat. Begitu juga dengan “SalaamuIlaah atau Salaami ‘alaikum“. Bahkan hal ini dapat membatalkan salat, jika disengaja dan tahu hukumnya, seperti yang termaktub dalam kitab Syahrul Irsyad, karangan Guru kami.
Sunah mengucapkan salam kedua, sekalipun imamnya tidak membacanya. Salam kedua haram dilakukan, begitu setelah salam pertama terjadi hal-hal yang membatalkan salat, misalnya: hadas ketika habis waktu salat Jumat dan hilang penutup aurat.
Sunah menambah kedua salam tersebut dengan ucapan ورحمة الله tanpa وبركاته sebagaimana yang sesuai dengan hadis, untuk selain salat Jenazah. Namun, tetap dihukumi: sunah menambah lafal tersebut pada salam selain salat Jenazah, karena berdasarkan berbagai jalan riwayat hadis, hal ini ditetapkan. Dalam kedua salam tersebut, disunahkan menoleh sampai terlihat pipi kanan ketika salam pertama, dan pipi kiri ketika salam kedua.
Sunah bagi setiap orang salat, baik imam, makmum dan munfarid dalam salam pertama, berniat salam pada orang yang ada di kanannya, dan ketika salam kedua, berniat memberi salam kepada malaikat dan orang-orang mukmin, baik berupa manusia ataupun jin.
Dan dengan salam yang mana saja, buat orang yang berada di belakang dan di depannya. Namun dengan salam yang pertama, adalah lebih utama. Bagi makmum, hendaknya berniat menjawab salam imamnya, dengan salam mana saja terserah, bila bertempat di belakangnya: dengan salam kedua, jika ia berada di samping kanan imam, dan dengan salam pertama, jika ia berada di arah kirinya.
Sunah bagi makmum, agar saling niat menjawab salam antara satu dengan lainnya. Untuk. itu, orang yang di sebelah kanan supaya dengan salam keduanya berniat menjawab salam orang yang ada di sebelah kirinya (sebab orang yang memberi salam itu berniat memulai salamnya pada salam pertama -pen): dan orang yang berada di sebelah kiri, supaya berniat menjawab salam orang yang berada di sebelah kanan dengan salam pertamanya: orang yang berada di belakang musallin atau depannya, berniat menjawab salam dengan salamnya yang mana saja, tapi yang lebih utama adalah dengan salam pertama.
Beberapa cabang:
Hukum niat keluar dari salat adalah sunah dengan salam pertama, sebab menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.Juga sunah bersegera (tidak memperlambat) salam. Sunah juga memulai mengu. capkan salam dengan menghadap ke arah kiblat, dan mengakhirinya dalam keadaan menoleh yang sempurna. Sunah bagi makmum, memulai salamnya setelah selesai kedua salam imam.Tertib dalam melakukan rukun-rukun salat, sebagaimana yang tersebut di atas.
Karena itu, jika dengan sengaja Melanggar tata tertib, yaitu dengan mendahulukan rukun Perbuatan (fi’li), misalnya sujud sebelum rukuk, maka batal salatnya. (Tapi) kalau MC dahulukan rukun qauli (perkataan), maka tidak ada masalah, kecuali berupa salam. Urutan di antara sunah-sunah, seperti membaca surah sesudah Fatihah dan doa sesudah tasyahud serta salawat, adalah syarat untuk mendapatkan kesunahan salat (bukan syarat sah salat).
(Karena itu), apabila selain makmum (imam dan munfarid) lupa dalam masalah tertib, yaitu dengan meninggalkan rukun, misalnya bersujud sebelum rukuk atau sesudah rukuk tetapi belum membaca Fatihah, maka apa yang dilakukan itu tiada gunanya sampai ia mengerjakan rukun yang tertinggal tersebut. Kemudian, jika ia ingat sebelum sampai rukun serupa tertinggal pada rakaat berikutnya, maka (wajib seketika) mengerjakan rukun yang tertinggal itu: kalau tidak ingat, maka masalah ini akan dijelaskan di belakang.
Atau selain makmum merasa ragu atas suatu rukun: Apakah sudah mengerjakan atau belum, misalnya ketika ia merasa ragu, apakah sudah membaca Al-Fatihah atay belum?, atau ketika bersujud merasa ragu, apakah sudah rukuk (iktidal) atau belum?, maka ia wajib seketika menger. jakan rukun yang diragukan tersebut, jika memang ke’raguan tersebut terjadi sebelum sampai pada rukun yang sama dengan yang diragukan pada rakaat berikutnya.
Jika orang itu lupa (ragu) hingga ia sudah mengerjakan rukun yang sama dengan yang diragukan (dilupakan) pada rakaat berikutnya, maka rukun yang sedang dikerjakan tersebut sudah mencukupi dari rukun yang dilupakan (diragukan) dan rukun-rukun yang dikerjakan di antara yang ditinggalkan (diragukan) dan yang sama pada rakaat berikutnya, adalah tidak dianggap (dihitung). Semua ini, bila ia yakin terhadap rukun yang ditinggalkan dan di mana tempatnya (seperti terjadi di rakaat pertama atau kedua -Pen).
Jika tidak tahu rukun yang ditinggalkan, tetapi ia mempunyai persangkaan besar, bahwa rukun tersebut adalah niat atau takbiratul ihram, maka batal salatnya. Di sini tidak ada syarat harus berselang lama atau telah diselingi dengan rukun lain. Atau berprasangka besar, bahwa rukun yang ditinggalkan adalah salam, maka supaya mengucapkannya, sekalipun sudah berselang lama, atas beberapa tinjauan.
Atau selairi niat, takbiratul ihram dan salam, maka supaya mengambil yang lebih hatihati. (Jika telah yakin, bahwa ia meninggalkan di antara rukunrukun salat dan berkemungkinan’besar, rukun tersebut satu sujud atau dua sujud, maka ia harus bersikap yang paling hati-hati, yaitu meninggalkan dua sujud -pen), lalu meneruskan pekerjaan salatnya – (umpama, di saat bersujud ia berkemungkinan besar, bahwa ja telah meninggalkan bacaan Al-Fatihah, maka ia harus langsung berdiri dan membacanya, lantas rukuk, iktidal dan seterusnya -pen).
Lalu meneruskan rakaat salatnya. Benar! Jika yang dikerjakan itu perbuatan yang tidak ada persamaan dengan rukun salat, misalnya sujud Tilawah, maka perkara tersebut (dalam contoh adalah sujud tilawah) tidak bisa mencukupi rukun yang tertinggal. (Umpama: Meninggalkan sujud pada rakaat salat terakhir, lantas berdiri dan membaca Qur-an yang memuat ayat Sajdah, kemudian bersujud tilawah, maka sujud tilawah itu tidak bisa mencukupi sujud rukun salat yang tertinggal tersebut -pen).
Mengenai makmum yang mengetahui atau ragu yang terjadi sebelum dan sesudah rukuk imam, bahwa ia belum membaca Al-Fatihah, maka ia wajib membacanya dan segera mengejar salat imamnya (dalam hal ini dia diampuni atas ketertinggalan tiga rukun yang panjang-panjang -pen): atau kedua-duanya sudah rukuk, maka makmum tidak boleh berdiri untuk membaca Fatihah, tetapi ia harus mengikuti salat imam, dan setelah salam imam, ia harus menambah satu rakaat.
Cabang:
Sunah masuk salat dengan gesit. Sebab Allah swt. mencela orang-orang yang meninggalkan salat dengan firman: Nya yang artinya: “Apabila mereka melakukan salat, maka mereka mengerjakannya dengan bermalas-malus.” Dan dengan hati yang terlepas dari urusan-urusan dunia. Sebab hal itu lebih mendekatkan pada kekhusyukan. Sunah selama dalam salat, berhati khusyuk, yaitu jangan sampai berangan-angan selain salat, sekalipun berupa masalah akhirat.
Juga dengan badan yang tenang, jangan sampai satu anggota badan pun yang bergerak tanpa guna. : Yang demikian itu, karena pujian Allah swt. dalam kitabNya melalui firman-Nya (yang artinya): “Sungguh beruntung orang-orang Mukmin, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam menunaikan salatnya” Juga karena salat tidak berpahala, jika dikerjakan tanpa khusyuk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa hadis Sahih, serta kita punya pendapat yang dipilih oleh segolongan ulama (misalnya Imam Al-Ghazali), bahwa khusyuk adalah merupakan syarat sah salat.
Di antara perkara yang bisa membawa arah khusyuk, adalah konsentrasi, bahwa ia sedang berhadapan dengan . Raja Maha Diraja Yang Mengetahui apa yang samar dan paling samar, dalam pada tu ia mengadu kepada-Nya. Di samping itu, bisa juga Dia dengan jelas dapat menurunkan siksa-Nya (atas orang. yang Udak khusyuk -pen), lantaran tidak dipenuhi hak-hak-Nya sebagai Tuhan, lalu Dia tidak Mau menerima salatnya.
al-Quthb Al-Arif Billah. Muhammad Al-Bakri r.a. berkata: Sebenarnya termasuk faktor pembawa khusyuk, adalah memperpanjang rukuk dan sujud. Sunah mencamkan makna bacaan-bacaan salat. Allah swt. telah berfirman: “Adakah mereka tidak mencamkan Alqur-an“, dan dengan cara tersebut maksud khusyuk menjadi sempurna. Sunah mencamkan makna zikir dalam salat, karena dikiaskan dengan giraah (bacaan salat).
Sunah agar selalu memandang ke tempat sujud, sebab dengan cara demikian lebih mendekatkan khusyuk. Meskipun orang yang salat itu buta, sekalipun di sisi Ka’bah, di kegelapan atau dalam salat Jenazah. Memang benar, tapi ketika tasyahud dan mengangkat jari telunjuk, sunah memandang ke arah jari tersebut, karena berdasarkan hadis sahih. Tidak makruh (tapi khilaful aula) memejamkan mata, jika tidak khawatir akan bahaya.
Faedah:
Makruh bagi orang yang salat, baik laki-laki atau perempuan (imam, makmum dan munfarid), meninggalkan suatu kesunahan salat. Guru kami berkata: Penetapan secara umum tersebut perlu peninjauan. Menurut pendapat yang beralasan: Kemakruhan meninggalkan kesunahan di atas, adalah untuk kesunahan yang ada larangan ditinggalkan, atau bertentangan (khilaf) dengan ulama yang menetapkan hukum wajib padanya.
Setelah salat, sunah membaca Zikir dan doa dengan suara pelan-pelan. Maksudnya, sunah melakukan dengan suara pelan bagi munfarid, makmum dan imam yang tidak bermaksud menuntun hadirin atau memperdengarkan doanya, agar diamini oleh mereka. Banyak hadis yang menerangkan doa dan zikir, yang banyak kami, sebutkan dalam kitab kami, Irsyadul ‘Ibad, maka silakan membacanya, karena: hal ini sangat pening.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Umamah, ia berkata: “Ditanyakan kepada Rasulullah saw.: Manakah doa yang lebih terkabulkan?” Jawab beliau: “Yaitu doa yang dipanjatkan di tengah malam dan setelah tiap-tiap salat wajib lima.” Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abi Musa, ia berkata: “Kami sedang bersama Nabi saw.: Ketika dekat dengan lembah, maka kami bertahlil, bertakbir dan mengeraskan suara”
Maka bersabdalah Nabi saw.: “Wahai, manusia, kasihanilah dirmu!, sebab engkau semua tidak berdoa kepada Dzat Yang Tuli, tidak pula kepada Dzat Yang Tidak Hadir. Sesungguhnya Dia Maha Bijaksana dan Maha Dekat.” Dengan hadis di atas, Imam Al-Baihaqi dan lainnya berhujah, agar pelan-pelan dalam membaca zikir dan doa. Imam Asy-Syafi’i dalam kital Al-Um berkata sebagai berikut: Kami memilih, bagi imam dan makmum, agar berzikir setelah salam dari salatnya: zikir tersebut dilakukan dengan suara tidak keras, kecuali bagi imamyang bermaksud mengajar jamaahnya, karena itu, ia agar mengeraskan suaranya, setelah mengetahui, bahwa makmumnya telah mengikuti, lalu ia kembali pelan-pelan. Sebab Allah swt. berfirman:. “Janganlah engkau bersuara keras dalam berdoa dan jangan pula dengan terlalu pelan.” Maksudnya: Allah swt. Maha Mengetahui doa, jangan engkau ucapkan dengan suara keras sampai terdengar oleh orang lain, dan jangan terlalu pelan sampai engkau sendiri tidak mendengarnya. -Selesai-.
Guru kami berkata: Mengenai mengeraskan dengan sangat suara zikir dan doa dalam mesjid yang sampai mengganggu orang yang sedang salat, maka seyogianya dihukumi haram.
Sunah memulai doa dengan hamdalah dan salawat atas Nabi saw., serta menutupnya dengan kedua lafal tersebut dan amin. Sunah bagi makmum yang mendengar doa sang imam, sekalipun ia sendiri hafal akan doa itu, mau membaca amin. Sunah mengangkat kedua tangan yang suci ketika berdoa, yang sejajar dengan kedua bahunya, lalu menyapukan ke muka selesai berdoa. Sunah menghadap kiblat di kala zikir dan berdoa, jika ia seorang munfarid atau makmum.
Bagi imam, jika tidak berdiri dari tempat salatnya, di mana berdiri adalah lebih utama baginya, maka yang lebih utama menjadikan arah kanannya di hadapan makmum dan samping kirinya di arah kiblat. Guru kami menambahkan: Sekalipun pada saat berdoa. Kepindahan imam dari tempat salatnya, adalah tidak menghapus kesunahan zikir sesudah salat, sebab ia dapat melakukannya di tempat yang dipindahi. Dan kesunahan zikir itu tidak hilang (habis) sebab telah melakukan salat Rawatib. Hanya yang hilang, adalah kesempurnaannya, bukan yang lain.
Kesimpulan dari pembicaraan ulama, bahwa zikir tetap berpahala, sekalipun orang itu tidak mengerti akan maknanya. Dalam hal ini Imam Al-Asnawi berpendapat lain: Masalah zikir ini tidaklah dapat disamakan dengan membaca Algur-an, sebab membacanya adalah suatu ibadah, sehingga orang yang membacanya akan mendapat pahala, sekalipun ia tidak mengerti maknanya. Lain halnya dengan zikir, agar bisa mendapat pahala, harus mengerti maknanya, sekalipun tidak mendetail (misalnya mengerti bahwa tasbih, tahmid . dan sesamanya adalah tujuan untuk mengagungkan Allah dan memuji-Nya -pen) -selesai-.
Sunah berpindah dari tempat salat pertama, karena mau mengerjakan salat fardu lain ataupun salat sunah, agar tempat yang baru ini ikut menyaksikannya, kalau memang tidak bertentangan keutamaan, semacam telah berada di – barisan awal (depan). Jika tidak mau berpindah tempat, supaya memisah dua salat itu dengan berbicara dengan orang lain.
Bagi selain orang yang beriktikaf, salat sunahnya yang lebih utama adalah dikerjakan di rumah, jika ia tidak khawatir akan kehabisan waktu atau mengabaikannya, kecuali bagi salat sunah orang yang berpagipagian ke salat Jumat atau salat yang Nabi melakukan di mesjid, seperti salat Dhuha. Makmum disunahkan berpindah setelah pindah imam.
Sunah bagi orang yang salat: Menghadap sejenis dinding atau tiang. Yaitu segala sesuatu yang tingginya 2/3 hasta ke atas: dan jaraknya dengan tumit paling jauh tiga hasta. Jika tidak memungkinkan, supaya menghadap semacam tongkat yang ditancapkam, misalnya perkakas. Jika masih tidak menemukannya, maka supaya membentangkan alas salat, semacam sajadah.
Jika masih juga tidak bisa, maka supaya menggaris tempat di depannya sepanjang tiga hasta, baik melintang atau membujurnya. Yang demikian ini lebih utama, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud: “Apabila seseorang hendak mengerjakan salat, supaya meletakkan. sesuatu di depannya, kalau tidak bisa, supaya menancapkan tongkat, jika tidak mendapatkannya, maka hendaknya menggaris.” Kemudian, apa yang melintas di luar batas tersebut, tidaklah menjadi masalah.
Alas salat dikiaskan hukumnya dengan garis (yang ada dalam hadis), namun dari segi tertibnya, didahulukan daripada menggaris, sebab lebih jelas dari maksud hadis tersebut. Tertib penggunaan sutrah (batas) yang tertutur di atas, adalah menurut pendapat yang Muktamad. Lain halnya dengan pembicaraan Imam Ibnul Mugri yang menetapkan tidak ada sunah tertib penggunaan sutrah tersebut. Manakala berpindah ke tingkatan sutrah bawah, padahal ia mampu menggunakan sutrah yang ada di tingkatan atas, maka penggunaan seperti itu sama halnya tidak bersutrah.
Sunah sutrah itu tidak diletakkan tepat di depannya, tetapi agak ke sebelah kanan atau kirinya. Setiap baris, adalah sutrah bagi barisan yang ada di belakang, jika jarak antara kedua baris tersebut berdekatan (3 hasta ke bawah). Imam Al-Baghawi berkata: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum (yang menyebelahinya). -Selesai-.
Jika berlawanan antara memakai sutrah (tapi berjauhan dengan imam) dengan dekat imam (tapi tidak memakai sutrah): dan berlawanan antara memakai sutrah dengan berada, di barisan pertama, mana yang didahulukan penggunaannya?
Guru kami berkata: Kesemua nya Adalah sama sama me mungkinkan (mendekati) ke benaran. Sedang lahir ucapan ulama: “Mendahulukan saf awal bila salat di dalam mesjid Nabi saw., sekalipun saf tersebut berada di luar mesjid yang khusus berlipat ganda pahalanya” -adalah mendahulukan saf (baris) awal (dekat dengan imam). -Selesai-.
Jika seseorang salat dengan menggunakan tabir tersebut di atas, maka baginya dan orang lain sunah mencegah orang yang lewat daerah antaranya dengan tabir yang telah memenuhi syarat-syaratnya. (Karena) dengan lewat itu, ia dianggap orang yang melampaui batas (bila termasuk) orang yang mukalaf (menurut Imam Ramli: Tiada perbedaan antara yang mukalaf dan lainnya -pen).
Haram melewati di depan orang yang sedang salat sejauh pembatas, selagi baginya ada kesunahan mencegahnya, sekalipun yang lewat itu tidak menemukan jalan lain, selagi orang yang salat tidak melakukan kesalahan dengan berdiri di jalanan atau di baris depannya masih longgar. Untuk itu, bagi yang akan menempati tempat longgar, boleh menerjang barisan salat, sekalipun banyak, sehingga yang longgar itu dapat terpenuhi.
Makruh di kala sedang salat tanpa ada hajat, memalingkan wajah (menoleh). Ada yang mengatakan haram, dan bahkan pendapat ini yang dipilih, berdasarkan sebuah hadis sahih: “Allah selalu menghadap hamba yang sedang di tempat salatnya -artinya, dengan limpahan rahmat dan ridha-Nyaselagi hamba itu tidak menoleh. Jika ia menoleh, maka Allah berpaling darinya.” Tiada makruh memalingkan wajah jika ada hajat, sebagalmana hukumnya sekadar melirikkan mata.
Makruh memandang ke langit dan hal-hal yang dapat melangahkan salat, misalnya memakai pakaian yang bergambar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Bagaimana tingkah kaum, mereka membelalakkan matanya ke arah langit (atas) ketika mengerjakan salat?” Lalu Nabi menyangatkan sabdanya: “Menghentikan hal itu atau ingin disambar matanya.” Dari hadis tersebut, dimakruhkan salat dengan memakai pakaian yang bergaris-garis, baik ada di: depannya atau digunakan sebagai alas salat, sebab hal itu bisa merusak kekhusyukan salat.
Makruh meludah, baik ketika sedang salat atau di luar ke arah depannya, sekalipun bagi orang yang berada di luar mesjid tidak menghadap kiblat, sebagaimana yang dimutlakkan oleh Imam Nawawi, juga makruh meludah ke arah kanan, bukan kiri. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Apabila seseorang di antara kamu sedang mengerjakan salat, berarti ia sedang mengadu kepada Tuhannya Azza wa Jalla, maka jangan sekalikali meludah ke depan dan kanannya, tapi meludahlah ke arah kirinya, bahwa kaki kiri atau pada pakaian di sebelah kirinya, yang terakhir inilah yang lebih utama.”
Guru kami berkata: Agar dapat lebih jauh menghargai Malaikat kanan bukan yang kiri, sebagaimana memuliakan yang kanan. Jika hanya di sebelah kirinya terdapat manusia, maka supaya meludah di sebelah kanan, jika baginya tidak memungkinkan mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tidak meludah ke arah kanan dan tidak ke kiri.
Haram meludah di dalam mesjid, jika sampai tampak zatnya -tidak yang bisa hilang dengan semacam air kumur lagi pula ludah itu mengenai bagian dari mesjid, bukan sekadar mengenai atapnya saja. Pendapat yang menetapkan, sekalipun meludah pada atapnya itu haram, adalah jauh sekali dan tidak dapat dijadikan pegangan. Tidak haram juga meludah pada debu mesjid yang tidak termasuk wakaf mesjid. Dikatakan: Tidak haram meludahi tikar-tikar mesjid. Tetapi dari segi pengotoran terhadap mesjid, maka hal itu diharamkan, sebagaimana yang telah jelas. -Selesai-.
Wajib ain hukumnya, membuang najis dengan seketika, yang berada dalam mesjid, bagi orang yang mengetahuinya, sekalipun telah tersedia pegawai yang digaji untuk membersihkannya, sebagaimana kemutlakannya yang disimpulkan oleh fukaha. Haram kecing di dalam mesjid, sekalipun dimasukkan ke dalam semacam ember, memasukkan sandal bernajis yang tidak lepas dari lumurannya, membuang bangkai seekor kutu dan membunuhnya di dalam mesjid, sekalipun hanya berdarah sedikit.
Tentang membuang kutu atau menanamnya hidup-hidup dalan mesjid, dari segi lahir fatwa Imam An-Nawawi adalah halal. (Tapi) dari segi lahir pembicaraan kitab Al-Jawahir adalah haram, hukum inilah yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Yunus. Makruh tusuk jarum, berbekam yang darahnya dimasukkan ke bejana yang dilakukan di dalam mesjid, bersuara lantang, mengadakan semacam jual beli dan melakukan pertukangan (industri). Makruh membuka kepala, pundak dan memakai selendang, sekalipun dipakai di luar baju (yang dilakukan di dalam mesjid -pen).
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ berkata: Nabi saw. tidak pernah mengenakan kembali jika selendangnya jatuh :maksudnya kecuali jika ada uzur, Begitu juga masalah serban dan sebagainya. Makruh melakukan salat dengan keadaan menahan. hadas, seperti kencing, berak atau kentut, berdasarkan hadis yang akan datang nanti. Karena hal itu merusak kekhusyukan salat. Bahkan segolongan ulama mengatakan: Jika penahan tersebut menghilangkan kekhusyukan salat, maka salatnya adalah batal.
Sunah mengosongkan diri dari hadas sebelum menunaikan salat, sekalipun akan tertinggal jamaah. Namun, ia tidak boleh membatalkan salat fardu, lantaran (tidak mau) menahan hadas yang baru terjadi ketika salat, dan tidak boleh menunda-nunda salat fardu, manakala waktunya sudah sempit. Letak kemakruhan mengekang hadas tersebut, adalah terjadinya hal itu ketika takbiratul ihram.
Sebaliknya, masalah penahanan yang terjadi padanya sebelum takbiratul ihram, lalu hilang dan ia mengetahui, bahwa berdasarkan kebiasaannya, hal itu terjadi lagi ketika salatnya, adalah dapat di-ilhaq-kan (disamakan) dengan masalah penahanan hadas yang terjadi ketika takbiratul ihram (sama hukum maknuhnya). Makruh melakukan salat di dekat makanan atau minuman yang merangsangnya. Berdasarkan hadis yang dirwayatkan oleh Imam Muslim: “Tiada salat -yang sempurnapke berada dekat makanan, dan hade salat itu sempurna dengan menahan dua hadas, yaitu kencing dan berak.”
Makruh melakukan salat di. jalanan gedung yang tiada manusianya, di tempat perjudian dan pekuburan yang belum nyata telah digali (sebab, jika belum nyata pernah digali, tempat itu suci, tapi jika memang pernah digali, maka hukumnya adalah tidak sah salatnya -pen), baik menghadap ke kubur, di atas atau di sebelahnya, seperti yang telah dinash (dijelaskan) oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Um. . Haram salat dengan menghadap makam Nabi atau semacam wali, dengan tujuan mencari berkah atau mengagungkannya.
Imam Zainul ‘Iragi membahas, bahwa hukum salat di mesjid adalah tidak makruh, di mana penanaman mayat yang ada di sekitarnya terjadi setelah pembuatan mesjid. Hukum salat di bumi hasil gasab adalah haram, sedang salatnya adalah sah, tapi tiada pahalanya. Hal ini seperti salat dengan memakai pakaian hasil gasab. Haram pula, tapi sah, jika masih ragu akan kerelaan pemilik barang itu. Lain halnya jika ia sudah mempunyai prasangka akan kerelaannya dengan adanya suatu bukti: maka salat tersebut tidak haram. Dalam kitab Al-Jaili disebutkan: Jika waktu salat sudah sempit, padahal ia berada di bumi gasab, maka ia harus bertakbiratul ihram secara berjalan. Pendapat ini telah ditarjih oleh Imam Al-Ghuzzi.
Guru kami berkata: Pendapat yang beralasan, orang yang seperti itu tidak diperkenankan salat Khauf, dan ia wajib meninggalkan dahulu sampai keluar dari daerah tersebut. Hal ini sebagaimana kebolehan meninggalkan harta benda yang diambil oleh orang. Bahkan masalah meninggalkan salat di bumi gasab adalah lebih dari itu.
Sunah melakukan dua kali sujud sahwi sebelum salam, skalpun telah banyak mengalami kelupaan. Dua kali sujud sahwi dan duduk di antaranya, adalah seperti kedua sujud salat serta duduknya, dalam arti kewajiban tiganya (thuma’ninah, sujud dengan tujuh anggota bertulang dan dalam keadaan duduk -pen), dan dalam hal kesunahannya yang telah tertuturkan di atas, misalnya zikir di dalamnya.
Dikatakan: Tasbih yang dibaca ketika sujud sahwi adalah, Subhaana man… dan seterusnya. (Maha Suci Dzat yang tidak bdur dan tidak pernah lupa): di mana bacaan ini lebih sesuai dengan keadaan. Dalam bersujud sahwi, wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudah berniat mengerjakan sujud sahwi.
(Sujud sahwi) dikerjakan karena meninggalkan satu sunah di antara sunah-sunah Ab’adh, sekalipun secara sengaja ditinggalkannya. Jika sujud itu dilakukan karena meninggalkan selain sunah ab’adh, di mana ia mengerti dan sengaja, maka batal salatnya. Yang termasuk sunah ab’adh:Tasyahud awal, yaitu bacaan yang wajib dibaca pada ‘tasyahud akhir atau sebagiannya, sekalipun hanya satu kata.
Duduk tasyahud awal. Praktik hanya meninggalkan duduk, adalah sama dengan meninggalkan berdiri untuk qunut, yaitu ketika seseorang tidak bisa – memperbaiki membaca tasyahud dan qunut. Dalam keadaan demikian, ia disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Karena itu, jika ia meninggalkan salah satunya, maka sunah bersujud sahwi. Qunut Ratib atau meninggalkan sebagian doanya. Yaitu qunut ketika salat Subuh dan Witir separo di bulan Ramadhan, bukan qunut Nazilah. Berdiri ketika qunut.
Orang yang meninggalkan qunut, karena mengikuti imamnya yang bermazhab Hanafi (di mana menurut mazhab Hanafi, hukum qunut adalah tidak sunah -pen), atau bermakmum kepada orang yang salat sunah Subuh, menurut beberapa peninjauan hukum, mereka sunah bersujud sahwi. (Pendapat tersebut adalah sesuai dengan yang diterangkan oleh Imam Ramli, tapi menurut Imam Ibnu Hajar, dalam masalah kedua di atas, orang tersebut tidak sunah bersujud sahwi. Alasannya: Imam sudah menanggungnya serta di situ terdapat kecacatan dalam salatnya -pen).Salawat atas Nabi saw. setelah tasyahud awal dan qunut.Salawat atas keluarga Nabi setelah tasyahud akhir dan qunut. Gambaran sujud sahwi karena meninggalkan salawat atas keluarga Nabi di tasyahud akhir adalah makmum mempunyai keyakinan, bahwa imamnya meninggalkannya, di mana keyakinan tersebut terjadi setelah salam imam, sedang ia belum salam, atau berkeyakinan imamnya meninggalkannya setelah salam, tetapi belum lama berselang.
Sunah-sunah di atas disebut Ab’adh, sebab mendekati pada rukun dengan ditambah mengerjakan sujud sahwi. Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu terhadap sebagian (sunah ab’adh) yang telah lewat di atas, misalnya qunut, sudah melakukan atau belum? Sebab menurut hukum asal, adalah belum mengerjakannya.
Jika seorang (munfarid) atau imam lupa melakukan sunah ab’adh, misalnya tasyahud awal atau qunut, sedangkan mereka telah mengerjakan perbuatan fardu, baik berupa berdiri atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali lagi untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut (sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah -pen).
Jika kembali untuk mengulangi sunah ab’adh yang dilupakan, setelah berdiri tegak atau meletakkan keningnya, dengan sengaja dan mengerti akan keharaman hal itu, maka batal salatnya, sebab ia telah memutus fardu hanya untuk melakukan sunah.
Jika kembalinya, sebab tidak mengerti atas keharamannya, sekalipun ja adalah orang yang bercampur (bergaul) dengan para ulama kita, maka salatnya tidak batal. Sebab masalah ini adalah hal yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang awam.
Demikian pula, salat tidak batal, jika ia lupa, bahwa dirinya sedang mengerjakan salat, sebab hal ini termasuk uzur. Ia wajib kembali dengan seketika, ketika mengerti atau ingat, pada posisi sebelumnya. Tetapi baginya sunah bersujud sahwi, karena menambah duduk atau iktidal pada yang tidak semestinya.
Tidak batal, jika yang mengulangi di atas adalah seorang makmum, di mana ia berdiri dengan tegak atau bersujud. (Bahkan jika berdiri atau sujudnya karena lupa, maka ia wajib kembali ke tasyahud atau qunut, sebab ia harus mengikuti imamnya. Tapi jika berdiri atau sujudnya dengan disengaja, maka sunah hukum, nya mengikuti imamnya -pen).
(Berdiri atau sujudnya tersebut), karena lupa (lain halnya jika dilakukan dengan sengaja, seperti yang telah kami terangkan -pen), akan tetapi makmum wajib kembali pada tasyahud atau qunut, sebab untuk memenuhi kewajiban mengikuti imamnya. Jika ja tidak kembali pada hal yang telah dituturkan tersebut maka salatnya batal, apabila ia tidak berniat mufaraqah (berpisah dari imamnya).
Jika ia sengaja berdiri tegak atau bersujud, maka tidak wajib kembali pada tasyahud dan qunutnya, namun hanya sunah saja, seperti halnya makmum rukuk sebelum imamnya rukuk (jika rukuknya sebelum imam karena lupa, maka ia tidak wajib kembali pada rukuk, juga tidak sunah, tapi boleh memilih antara rukuk lagi dan tidak -pen).
Jika makmum yang lupa tersebut belum ingat kembali (kalau dirinya telah meninggalkan tasyahud) hingga imam sudah berdiri, maka ia tidak boleh kembali bertasyahud (jika kembali, di mana ia mengerti, bahwa hal itu tidak diperkenankan, maka salatnya batal -pen).
(Dalam hal ini) Imam Al-Baghawi berkata: Bacaan (Al-Fatihah) yang ia baca sebelum imam berdiri, adalah tidak dianggap (karena itu, ia wajib mengulang Fatihahnya -pen). Pendapat tersebut diikuti oleh Imam Zakariya.
Di dalam kitab Syarah Minhaj, Guru kami (Ibnu Hajar Al-Haitami) berkata: Dari situ dapatlah diketahui, bahwa orang yang sujud karena lupa atau tidak mengerti, sedangkan imam masih membaca qunut, maka pekerjaan yang dilakukan oleh orang itu tidak terpakai (dianggap), karena itu, ia wajib beriktidal, sekalipun ia telah berniat mufaragah. Hal ini didasarkan atas perkataan fukaha: Apabila makmum masbuk mengira, bahwa imamnya sudah salam, lalu berdiri, lantas ia mengetahui kalau imam belum salam, maka ia wajib duduk kembali untuk mengawali berdirinya dari duduk nanti.
Kewajiban duduk kembali ini tidak bisa menjadi gugur dengan niat mufaragah, sekalipun hal ini dapat terjadi (tapi tiada faedah apa-apa), sebab berdirinya terhitung sebagai main-main. Oleh karena itu, jika makmum masbuk tersebut tetap meneruskan salatnya (tidak duduk kembali) karena tidak mengetahui, maka sia-sialah apa yang dikerjakan: ia harus mengulangi perbuatan itu dan nanti disunahkan sujud sahwi.
(Dalam masalah makmum yang sujud karena tidak mengerti di atas), dan jika dirinya ingat kembali atau mengetahui (kalau dirinya tidak qunut), sedangkan imam masih berqunut, serta ia tidak berniat mufaraqah, maka jelaslah ia wajib kembali iktidal, atau (ingat dan mengerti) ketika imam sudah bersujud pertama, maka ia wajib kembali ke iktidal dan sujud bersama-sama imam, atau ketika imam sudah berada pada rukun setelah sujud pertama, maka menurut pendapat yang lahir, ia wajib mengikuti imamnya, dan setelah imam salam ia menambah satu rakaat. (Kesim.pulan dari perkataan Ibnu Hajar tersebut: Jika makmum niat mufaragah, maka secara mutlak ia wajib kembali iktidal, baik imam dalam keadaan qunut, sujud pertama atau kedua. Dan jika ia tidak mufaragah, maka ia wajib kembali ke iktidal, jika imam dalam keadaan qunut atau sujud pertama, kalau sudah berida pada sujud kedua atau seterusnya, maka ia tidak boleh kembali lagi ke iktidal. tapi wajib mengikutinya -pen). -Selesai-.
Imam Al-Qadhi Husain berkata: Termasuk suatu hal yang sudah tidak ada perselisihan lagi adalah perkataan fukaha: Jika makmum bangun dari sujud pertama sebelum imam bangun -karena ia menyangka, bahwa imam telah bangun, lalu ia sujud kedua, juga mengira imamnya sujud kedua, lantas jelaslah, bahwa imam sedang sujud pertama, maka sujud dan duduk makmum seperti itu dianggap tidak ada, dan ia pun harus mengikuti (dalam duduk dan sujud keduanya). Dimaksudkan: Jika apa yang ia lakukan karena tidak mengerti (kalau imam dalam keadaan sujud pertama) tapi tahu-tahu imam sudah berdiri (untuk rakaat berikutnya) atau duduk (untuk tasyahud), maka ia setelah salam imam wajib menambah satu rakaat.
Terkecualikan dari perkataanku “dan orang salat yang lupa atas sunah ab’adh itu sudah menunaikan perbuatan fardu”, apabila ia (selain makmum/ imam dan munfarid) belum menunaikan fardu, maka ia sunah kembali lagi menunaikan ab’adh sebelum berdiri tegak (dalam masalah tasyahud awal) atau meletakkan kening (untuk masalah qunut), maka nanti sunah bersujud sahwi, jika ia telah mendekati keadaan berdiri dalam contoh meninggalkan tasyahud awal atau telah sampai pada keadaan batas rukuk untuk contoh meninggalkan qunut.
Apabila selain makmum sengaja meninggalkan sunah ab’adh, lalu mengulanginya, sedangkan ia mengetahui hal itu, maka batal salatnya, jika telah mendekati atau sampai keadaan yang telah lewat di atas: lain halnya dengan masalah kalau dia sebagai makmum.
(Sunah bersujud sahwi) karena memindah bacaan salat yang tidak membatalkan salat, bukan pada tempatnya, sekalipun karena lupa, baik itu berupa bacaan rukun, misalnya Al-Fatihah, tasyahud atau. sebagian darinya, atau bukan merupakan rukun, misalnya memindah bacaan surah pada selain berdiri (misalnya rukuk, iktidal atau sujud -pen), atau qunut pada sebelum rukuk, atau rukuk dipindah sesudahnya, untuk salat Witir di selain setengah yang akhir bulan Ramadhan. Karena itu semua, maka disunahkan sujud sahwi.
Adapun memindah semacam perbuatan salat, jika hal itu disengaja, maka salatnya batal. Terkecualikan dari perkataanku “kepindahannya tidak membatalkan salat”, jika kepindahannya membatalkan salat, misalnya salam dan takbiratul ihram -sebagaimana ia bertujuan takbiratul ihram dan takbir lainnya.
(Sujud sahwi sunah dilakukan) karena lupa melakukan perbuatan yang andaikan sengaja dilakukan dapat membatalkan salat, tapi jika tidak sengaja, tidak membatalkannya, misalnya memanjangkan rukun salat yang pendek, sedikit (sekelumit) perkataan atau makan, dan menambah rukun fi’li (perbuatan).
Sebab Nabi saw. pernah melakukan salat Zhuhur sebanyak 5 rakaat, lalu bersujud sahwi. Selain dari itu, (seperti makan yang membatalkan salat jika disengaja) dapat dikiaskan dengan kelupaan Nabi yang ada dalam hadis tersebut.
Terkecualikan dari “perbuatan jika disengaja membatalkan salat”, perbuatan yang jika karena lupa juga membatalkannya, misalnya perkataan yang banyak: dan segala perbuatan yang tidak membatalkan salat, jika dilakukan karena lupa atau disengaja, misalnya perbuatan yang sedikit atau menoleh, karena itu, tidaklah disunahkan bersujud sahwi kalau mengerjakan perbuatan tersebut.
(Sujud sahwi sunah dilakukan) karena ragu telah menambah rakaat salat yang dikerjakannya. Sebab, jika ternyata ia telah menambahnya, sujud sahwi dilakukan karena penambahan itu: dan kalau tidak, maka sujud sahwi karena keraguan yang justru dapat melemahkan niatnya.
Jika seseorang merasa ragu dalam salatnya, misalnya baru tiga ataukah sudah empat rakaat?, maka baginya wajib menambah satu rakaat (salatnya dihukumi baru 3 rakaat), sebab menurut asal adalah belum melakukan yang satu rakaat itu, lalu sunah bersujud sahwi, sekalipun keraguannya hilang sebelum salam, misalkan ia telah ingat sebelum salam, bahwa salatnya sudah 4 rakaat. Sebab, sujud sahwi tersebut dilakukan karena ada keraguan tentang penambahan rakaat.
Baginya dalam melakukan rakaat tambahan yang diragukan tersebut, tidak boleh berdasarkan atas prasangkanya, pada perkataan atau perbuatan orang lain, sekalipun mereka jumlahnya banyak sekali, selagi belum mencapai tingkatan “tawatir”.
Mengenai keraguan yang tidak berhubungan dengan tambah. an, misalnya merasa ragu terhadap rakaat salat Ruba’iyah, apakah yang dilakukan itu rakaat ketiga atau keempat, ‘ lalu sebelum berdiri untuk rakaat yang keempat ja ingat, bahwa rakaat yang baru saja dilakukan adalah rakaat ketiga, maka ja tidak sunah sujud sahwi, Sebab rakaat keempat yang ia Jakukan dengan keraguan tersebut memang sudah sewajarnya dalam setiap perkiraan.
Jika ingatnya setelah berdiri untuk melakukan rakaat keempat, maka sunah sujud sahwi, sebab keraguannya terhadap tambahan rakaat pada waktu berdiri itu. Bagi makmum, sunah melakukan dua sujud karena kelupaan imam yang suci (kesengajaannya), kelupaan imamnya imam, sekalipun kelupaan terjadi sebelum makmum tersebut mengikutinya, mufaraqah dengannya, salat imam batal setelah kelupaannya, atau imam tidak melakukan sujud sahwi. Hal itu dimaksudkan untuk menambah kekurangan salat imam. Karena itu, makmum sudah bersujud setelah imamnya salam.
Ketika imam melakukan sujud sahwi, maka bagi makmum masbuk dan muwafik wajib mengikutinya, sekalipun ia tidak mengetahui, bahwa imamnya lupa. Kalau ia tidak mengikuti sujud imam, maka batal salatnya, jika mengetahui dan sengaja tidak mengikutinya.
Bagi makmum masbuk, di akhir salatnya (sebelum salam) sunah mengulangi sujud sahwi. Sujud sahwi tidak sunah baginya karena lupa, yang terjadi ketika mengikuti imam. Sebab, kelupaannya dapat ditanggung oleh imam yang: suci, bukan yang berhadas dan mempunyai najis yang tidak tampak (najis hukmiyah).
Lain halnya dengan kelupaan yang terjadi setelah kesahan. imam, maka imam tidak bisa menanggungnya, karena ia sudah tidak bermakmum kepadanya. (Karena itu), jika makmum karena mengira imamnya sudah salam, maka ia ikut salam, lalu mengetahui, bahwa imam belum salam, maka ia harus salam sekali lagi bersamanya (sesudahnya) dan ia tidak disunahkan bersujud sahwi, karena kelupaan tersebut terjadi ketika ia masih bermakmum.
Cabang:
Jika seorang makmum di kala bertasyahud ingat, bahwa ia telah meninggalkan rukun salat selain niat atau takbiratul ihram, atau ia merasa ragu akan hal itu, maka setelah imam salam, ia wajib menambah satu rakaat dan tidak sunah bersujud sahwi, dalam hal yang berkaitan dengan ingat, sebab kelupaan tersebut terjadi ketika masih bermakmum. Berbeda dengan masalah keraguan, karena ia melakukan rakaat tambahan atas perkiraannya, setelah salam imam (karena keraguan yang terjadi setelah ia tidak bermakmum, disunahkan bersujud sahwi -pen).
Dari alasan tersebut, jika ia ragu mengenai mendapatkan rukuk bersama imam, apakah ia salat bersama imam dengan sempurna atau ada kekurangan satu rakaat?, maka ia wajib menambah satu rakaat dan sunah bersujud sahwi. Hal ini karena keraguannya terjadi setelah tidak bermakmum, di mana adanya keraguan itu menetapkan sujud sahwi.
Kesunahan bersujud sahwi itu berakhir, jika seseorang dengan sengaja salam, sekalipun belum lama waktu berselang, atau salamnya karena lupa (tidak sengaja) dan waktunya berselang menurut ukuran umum cukup lama. (Apabila tidak sengaja salam, dan waktu berselangnya masih pendek), jika bersujud, maka berarti ia masuk kembali ke salat. Karena itu, ia wajib mengulangi salamnya.
(Imam yang setelah salam karena tidak sengaja/lupa), ketika imam kembali sujud, maka bagi makmum yang lupa wajib mengulanginya. Kalau tidak ikut bersama imam, maka batal salatnya, jika disengaja tidak mengulangi dan mengetahuinya.
Bagi makmum masbuk yang telah berdiri untuk menyempurnakan rakaatnya (setelah imam salam karena lupa -pen), jika imamnya kembali sujud, maka makmum wajib kembali (ke duduk untuk sujud -pen), karena mengikutinya.
Jika imam melakukan sujud sahwi setelah makmum muwafik selesai membaca batas minimal tasyahud (serta salawat atas Nabi), maka ia wajib mengikuti sujud imamnya itu. Atau imam sujud sahwi sebelum bacaan minimal tasyahud makmum selesai, makmum juga wajib mengikuti imam bersujud, lalu ia harus menyempurnakan tasyahudnya sesudah sujud.
Jika seseorang sesudah salam timbul keraguan, kekurangan syarat atau meninggalkan fardu, selain niat dan takbiratul ihram, maka hal itu tidak membawa akibat apa-apa. Jika tidak dihukumi begitu, niscaya akan sulit dan mems beratkan masalah tersebut (buat manusia), dan memang menurut lahir, salat itu telah terlaksana dengan sah.
Mengenai keraguan terhadap niat atau takbiratul ihram, maka hal ini membawa pengaruh, menurut pendapat Muktamad (yakni, ia wajib meng Ilangi salatnya, selagi ia belum ingat, bahwa niat atau takbiratul ihram itu telah dilakukan -pen). Lain halnya dengan pendapat yang memperpanjang pembahasan masalah ini, sampai meniadakan perbedaan.
Terkecualikan dari “ragu”, jika ja memang telah yakin meninggalkan fardu setelah salam, Dalam hal ini ia wajib memenuhi kembali (mengerjakan : rukun salat tersebut dan seterusnya -pen), selagi belum selang waktu yang lama, atau menginjak najis, sekalipun ia sudah berpaling dari kiblat, berbicara, atau berjatan sedikit.
Asy-Syekh Zakariya dalam Syarah Raudhi berkata: Sekalipun ia sudah keluar dari mesjid. Tentang panjang-pendek selang waktu, adalah menurut ukuran umum. Dikatakan: Ukuran pendek di sini, adalah disesuaikan dengan hadis yang menceritakan sahabat Dzul Yadain. Sedangkan ukuran panjangnya, adalah yang melebihi dari itu. Sedangkan dalam hadis diterangkan: (Mengenai ukuran pendek, mulai) Nabi saw. berdiri, lalu berjalan ke pinggir mesjid, dan Nabi menanyakan Dzul Yadain dan sahabatsahabat lainnya. -Selesai-
Imam Ar-Rafi’i telah menceritakan dari Imam AlBuwaiti: Ukuran pisah yang panjang, adalah pisah yang melebihi seukuran satu rakaat. Seperti ini pula pendapat Imam Abu Ishaq. Riwayat dari sahabat Abi Hurairah: Berselang panjang adalah seukuran lama salat yang dikerjakan waktu itu (dua, tiga atau empat rakaat).
Kesempurnaan:
Sunah melakukan sujud Tila: wah bagi pembaca atau pendengar bacaan semua ayat Sajdah. Orang yang salat, selain : makmum, sunah melakukan sujud tilawah, karena bacaannya sendiri, tetapi bagi makmum harus sujud tilawah. Karena itu, jika imam melakukan sujud dan makmum. tidak mau mengikuti sujud, atau imam tidak sujud lalu makmum melakukan sujud, maka batal salatnya.
Jika makmum tidak mengerti sujud imam, tahu-tahu imam sudah mengangkat kepalanya dari sujud, maka tidaklah batal salat makmum dan tidak boleh sujud, tetapi cukup menanti imam dengan berdiri. Atau ia mengetahui imam sedang sujud, tapi imam belum mengangkat kepalanya, maka ta harus ikut turun untuk sujud bersamanya. Kemudian, apabila belum sampai ia sujud, imam sudah mengangkat kepalanya, maka ja harus bangkit bersama imam dan tidak boleh bersujud.
Sunah bagi imam salat sirriyah, agar mengakhirkan sujud tilawah hingga selesai salat.Bahkan dalam kitab Al-Jawami’l Izham, di situ dibahas atas kesunahan mengakhirkan sujud pada salat jahriyah, karena agar tidak membingungkan para makmum.
Apabila seseorang membaca ayat Sajdah dalam salatnya, lalu ia rukuk yang sudah sampai batas minimalnya, tapi ternyata ia teruskan untuk sujud tilawah, maka ini tidak diperbolehkan, sebab tempat
Dalam sujud tilawah sunah berdoa: Sajada wajhiya ……. dan seterusnya. (Wajahku bersujud ke hadirat Dzat Pencipta, Perupaan, Pelengkap pendengaran dan penglihatannya, dengan upaya dan kekuatan-Nya. Maka, Maha Suci Allah, sebagus-bagus Pencipta).
Haram membaca Alqur-an dengan tujuan untuk melakukan sujud tilawah saja, pada waktu mengerjakan salat atau makruh. Salat yang seperti itu, hukumnya batal. Lain halnya, jika di samping tujuan sujud tilawah juga ada tujuan lain, yaitu halhal yang berkaitan dengan bacaan (sunah dalam membaca Algur-an atau salat -pen), maka secara mutlak tidak ada kemakruhan. ”
Tidak halal (haram) taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan sujud yang tanpa ada sebab apa-apa, sekalipun dilakukan setelah salat. Secara sepakat, bahwa sujud di hadapan guru-guru, seperti yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, hukumnya adalah haram.
فصل في مبطلات الصلاة (تبطل الصلاة) فرضها ونفلها لا صوم واعتكاف (بنية قطعها) وتعليقه بحصول شئ ولو محالا عاديا. (وتردد فيه) أي القطع، ولا مؤاخذة بوسواس قهري في الصلاة كالايمان وغيره، (وبفعل كثير) يقينا من غير جنس أفعالها إن صدر ممن علم تحريمه أو جهله ولم يعذر حال كونه (ولاء) عرفا في غير شدة الخوف ونفل السفر، بخلاف القليل كخطوتين وإن اتسعتا حيث لا وثبة، والضربتين. نعم، لو قصد ثلاثا متوالية ثم فعل واحدة أو شرع فيها بطلت صلاته، والكثير المتفرق بحيث يعد كل منقطعا عما قبله. وحد البغوي بأن يكون بينهما قدر ركعة ضعيف، كما في المجموع.
Salat menjadi batal -baik salat fardu atau sunah, tidak termasuk di sini puasa dan iktikaf (puasa dan iktikaf tidak menjadi batal sebab perkara yang akan dituturkan nanti -pen)-, yaitu: Niat memutuskan atau menggantungkannya dengan terjadinya sesuatu, sekalipun perkara itu biasanya mustahil terjadi. Merasa ragu, bahwa salat telah terputus. Tetapi, salat tidak batal sebab was-was yang mesti menimpanya dalam salat, sebagaimana halnya dengan imam dan lainnya
3. Sebab perbuatan yang banyak, selain jenis perbuatan salat, di mana semua itu dipandang secara yakin. Jika hal itu dilakukan oleh orang yang mengerti atas keharamannya, atau tidak mengerti, tetapi ketidaktahuannya tidak dianggap sebagai uzur. Lagi pula perbuatan banyak tersebut dilakukan secara sambung-menyambung menurut penilaian umum, dan perbuatan itu terjadi pada salat selain Khauf atau salat sunah dalam perjalanan.
Lain masalah, jika perbuatan itu sedikit, seperti dua kali melangkah, sekalipun jauh, asal tidak melompat, atau dua kali pukulan. Memang! Tetapi jika dua langkah atau pukulan tersebut dimaksudkan untuk tiga kali yang sambungmenyambung atau melakukan tiga kali perbuatan, tapi baru dilakukan satu kali saja, maka batal salatnya (sebab ia sudah bertujuan membatalkan salatnya -pen).
Yang dimaksud dengan banyak tetapi terpisah-pisah, adalah asal perbuatan yang satu sudah dipandang pisah dari perbuatan sebelumnya. (Perbuatan yang banyak tetapi sudah terpisah-pisah, adalah tidak membatalkan salat. Sebab, Nabi saw. pernah salat dengan menggendong ‘Umamah. Ketika sujud, anak itu beliau letakkan, dan ketika berdiri, digendong lagi -pen). Dalam hal ini, batasan yang diberikan oleh Imam Al-Baghawi, bahwa antara perbuatan satu dengan yang berikutnya, ada jarak kira-kira seukuran satu rakaat, adalah pendapat yang daif (lemah), sebagaimana yang termatub dalam kitabAl-Majmu’ (milik Imam Nawawi).
Banyak perbuatan di atas sekalipun terjadi karena lupa, (adalah tetap membatalkan salat -pen). Perbuatan banyak itu seperti tiga kali kecapan mengunyah, tiga kali melangkah yang sambungmenyambung, sekalipun hanya sepanjang satu langkah yang diampuni adanya, atau seperti halnya menggelengkan kepala dan menggerak-gerakkan dua tangan.
Lafal dengan dibaca fat-hah kha’nya, adalah Masdar Marrah (kata benda jadian yang digunakan untuk menerangkan banyak perbuatan), sedangkan yang dimaksudkan di sini, adalah kepindahan kaki seseorang ke sebelah depannya atau ke tempat lain. Kemudian, jika kaki yang lain ikut bergerak, sekalipun tidak bersambung, maka dihitung dua langkah. Tetapi Guru kami Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Syarah Al-Irsyad dan lainnya, mengukuhkan, bahwa kepindahan kaki satu lagi ke batas yang sejajar dengan sambung-menyambung adalah dihitung satu langkah saja.
Jika memindahkan kedua kaki dengan cara sambung-menyambung, adalah dihitung dua langkah, tanpa ada pertentangan di antara fukaha. Apabila seseorang merasa ragu: Apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk sedikit atau banyak, maka hal ini tidak membatalkan salatnya. Salat menjadi batal sebab melompat, sekalipun tidak banyak jumlahnya.
Salat tidak batal sebab gerakangerakan ringan, sekalipun berjumlah . banyak dan sambung-menyambung, namun hanya makruh. Misalnya, menggerak-gerakkan jari-jari tangan untuk menggaruk atau memutar tasbih dengan telapak tangan tanpa bergeser, menggerakkan pelupuk nyata, bibir, batang zakar atau lidah, sebab kesemuanya itu mengikuti tempat masing-masing, seperti halnya yang terjadi pada jari-jari. Dari keterangan tersebut, sebagian fukaha membahas masalah gerakan lidah, bahwa bergeraknya lidah jika sampai bergeser dari tempatnya (mulut) dalam tiga kali gerakan, adalah membatalkan salat. Guru kami berkomentar: Hal tersebut masih belum pasti (Muhtamal).
Telapak tangan adalah dikecualikan dari jari-jari. Karena itu, menggerakkan tapak tangan sebanyak tiga kali secara sambung-menyambung, adalah membatalkan salat, kecuali bagi orang yang terjangkit gatal-gatal, yang biasanya sudah tidak tahan lagi jika tidak menggaruknya, maka hal ini tidak membatalkan salat, karena ada unsur darurat (keterpaksaan). Guru kami berkata: Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa orang yang tertimpa suatu penyakit selalu bergerak, yang memaksanya untuk menimbulkan banyak perbuatan, adalah dimaklumi adanya.
Menggarukkan tangan dan mengembalikan lagi secara bersambung, dihitung satu kali gerakan. Demikian pula mengangkat tangan dari dada dan meletakkannya pada tempat yang digaruk, adalah satu kali gerakan. Demikian itu, jika satu dengan lainnya bersambung, kalau tidak demikian, maka masingmasing dihitung satu kali gerakan, demikian itu seperti yang dijelaskan oleh Guru kami (Ibnu Hajar).
Berucap dua huruf jika sambung-menyambung, di mana ucapan tersebut memang disengaja, sekalipun karena dipaksa, demikian itu seperti yang dijelaskan oleh Guru kami, Lain halnya jika yang diucapkan itu berupa Qur-an, zikir atau doa, yang kesemuanya itu tidak bertujuan memberi kepahaman terhadap seseorang. Misalnya orang yang minta izin masuk, lantas oleh orang yang sedang salat diucapkan: Udkhuluha …. dan seterusnya. (Silakan masuk dengan selamat dan sentosa). Jika bacaan tersebut dimaksudkan sebagai bacaan Qur-an atau zikir saja, atau giraah (zikir) disertai peringatan, maka salatnya tidak batal.
Demikian juga tidak batal, jika dibaca secara mutlak, sebagaimana yang dikemukakan oleh segolongan fukaha, Tetapi Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahqiq dan Ad-Daqaaiq, mengatakan akan kebatalan salat, jika Qur-an atau zikir tersebut dibacanya secara mutlak (tidak ada tujuan apaapa): dan inilah yang Muktamad.
Keempat tersebut (gira’ah, zikir, giraah/zikir bersamaan tanbih, dan mutlak) dapat terjadi dalam mengingat awal bacaan imam (yang lupa), baik dengan Qur-an atau zikir, dan bisa terjadi dalam mengeraskan suara bacaan takbir intgal bagi imam atau mubalig (penyambung suara). Salat menjadi batal sebab mengucapkan dua huruf, sekalipun huruf tersebut terucap bersamaan dengan berdeham yang tidak dianggap uzur dalam bacaan wajib salat, misalnya membaca Al-Fatihah.
Seperti halnya Al-Fatihah, adalah setiap bacaan wajib, seperti tasyahud. akhir dan salawat Nabi saw. Salat tidak batal sebab melontarkan dua huruf bersamaan berdehamdeham, karena uzur dalam bacaan rukun salat. Atau juga batal sebab terlontarnya dua huruf tersebut bersamaan dengan sepadannya, misalnya batuk, tangis, bersin dan tertawa. Tidak termasuk ketentuanku “yang tidak dianggap uzur dalam bacaan wajib”, apabila dua huruf tersebut terlontar bersamaan dengan deham karena uzur dalam bacaan sunah, misalnya: surah, qunut, atau membaca keras surah Al-Fatihah. Karena ini semua, batal salatnya.
Imam Az-Zarkasi membahas atas dibolehkan berdehamdeham dalam salat bagi orang yang sedang berpuasa, guna mengeluarkan liur dahak yang dapat membatalkan puasanya (jika ditelan). Guru kami berkata: Kebolehan hal itu diarahkan juga untuk orang yang tidak berpuasa, karena bertujuan mengeluarkan liur dahak yang bisa membatalkan salatnya. Sebagaimana liur dahak itu sudah mengalir ke bagian luar (makhraj. huruf ح -pen), dan tidak mungkin mengeluarkannya, kecuali dengan berdeham.
Jika imam berdeham dan dari dehamnya terlontar dua huruf, maka tidak wajib mufaragah dengannya. Sebab menurut pandangan lahirnya ia dapat menjaga hal yang membatalkan salat. Memang! Jika ada alasan yang menunjukkan ketidakuzuran imam, maka hukum mufaragah adalah wajib, menurut hasil pembahasan Imam As-Subki.
Jika seseorang tertimpa penyakit terus-menerus batuk, sehingga tidak ada waktu yang terluang sepanjang melakukan salat tanpa berbatuk yang bisa membatalkan salat, Guru kami menjawab hukumnya: Yang jelas, batuk-batuk tersebut diampuni adanya, dan nanti setelah sembuh, ia tidak wajib mengadha salatnya.
Atau salat itu batal sebab berucap satu huruf yang memahamkan, seperti huruf قِ (jagalah), huruf عِ (sadarlah), huruf فِ (patuhilah), atau satu huruf yang terbaca panjang, sebab huruf yang terbaca panjang pada dasarnya adalah dua huruf.
Salat tidak batal sebab mengucapkan bahasa Arab, di mana ‘ ibadah itu menjadi sah dengan . mengucapkannya, misalnya: Nazar dan memerdekakan “budak. Misalnya kata-kata: Nadzartu ….. dan seterusnya (aku nazar memberi uang Rp 1.000,untuk Zaid atau saya memerdekakan si Fulan).
Lain halnya melafalkan niat puasa atau iktikaf, karena niat untuk hal itu tidak tergantung sahnya pada lafal, nvaka tidak butuh untuk diucapkan: dan tidak batal pula sebab mengucapkan doa yang jaiz, sekalipun untuk orang lain. (Yang mana ibadah dan doa tersebut) tidak digantungkan adanya dan tidak dikhitabkan kepada makhluk.
Karena itu, salat menjadi batal, bila ucapan ibadah atau doa tersebut digantungkan, misalnya: In Syafa…. dan seterusnya (jika Allah menyembuhkan sakitku, maka aku akan memerdekakan seorang budak) atau berdoa: Allaahummaghfirlii…. dan seterusnya (Ya, Allah, ampunilah diriku jika berkenan). Demikian juga, salat akan batal jika ucapan . ibadah atau doa tersebut dikhithabkan kepada makhluk selain Nabi saw., sekalipun di saat dia (mushalli) mendengar nama Nabi saw. tertuturkan menurut beberapa tinjauan. Misalnya: Nadzartu dan seterusnya (Saya nazarkan begini kepadamu, atau semoga Allah merahmati engkau), sekalipun yang dikhithabi adalah orang mati.
Sunah bagi orang yang salat, yang diucapi salam oleh orang lain, agar menjawabnya dengan isyarat tangan atau kepala, sekalipun dalam keadaan membaca, lalu setelah salat, salam tersebut dijawab dengan ucapan. Bagi orang yang salat, boleh salam dengan ucapan: “Wa ‘alaihis salam”, sebagaimana kebolehan mendoakan orang yang sedang bersin dengan ucapan “Rahimahullah”. Sunah bagi selain orang yang salat, menjawab salam yang diucapkan oleh orang yang sedang salat. Sunah bagi orang yang bersin dalam salat, supaya membaca Hamdalah dengan suara pelan, cukup terdengar oleh dirinya sendiri.
Sedikit berdeham menurut ukuran umum, karena tidak mampu menahannya adalah tidak membatalkan salat.. Tidak batal juga sebab sedikit berbicara, menurut ukuran umum, seperti dua atau tiga kata. Guru kami berkata: Jelaslah, bahwa batasan kalimat (kata) di sini, adalah menurut umum. Perkataan yang sedikit tersebut-terjadi karena tidak sengaja (lupa), kalau dirinya sedang menunaikan salat.
Karena Rasulullah saw. ketika selesai salam dua rakaat, beliau berbicara sedikit dengan keyakinannya, bahwa salatnya telah selesai. (Ketika beliau menanyakan kepada sahabat perihal yang ditanyakan oleh sahabat Dzul Yadain -pen), para sahabat menjawabnya dengan sepatah kata pula, di mana mereka mengira, bahwa salat (yang berakaat empat) sudah dinasakh (menjadi dua rakaat), kemudian beliau dan sahabatsahabat meneruskan salat yang dua rakaat itu.
Jika orang yang salat mengira, . bahwa dengan sedikit berbicara tanpa disengaja itu dapat membatalkan salat, lalu berbicara dengan panjang: lebar, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai uzur Tidak termasuk dalam ketentuan “sedikit terpaksa berdeham” dan “sedikit berbicara yang tidak sengaja”, apabila berdeham dan berbicara itu banyak. Karena itu, salat menjadi batal sebab banyaknya kedua hal itu, sekalipun terjadi karena terpaksa, lupa dan sebagainya. Atau salat tidak batal sebab sedikit berbicara yang terjadi sebab lisan terlanjur.
Atau tidak mengerti, kalau berbicara ketika salat adalah haram: sebab baru masuk Islam, sekalipun ia berkumpul dengan masyarakat muslim, atau karena jauh dari ulama, yaitu orang yang mengetahui hukum yang berkaitan dengan masalah di atas. Jika ia mengucapkan salam karena lupa, kemudian berbicara sepatah, atau ia tidak mengerti bahwa apa yang ia lakukan adalah haram, namun mengerti jenis berbicara yang haram dalam salat, atau tidak mengetahui, bahwa berdeham adalah dapat membatalkan salat, namun ia mengetahui : bahwa berbicara dalam salat adalah haram, maka salatnya tidak haram. Masalah tersebut masih belom banyak diketahui oleh masyarakat awam.
Sesuatu masuk pada perut yang dapat membatalkan puasa, sekalipun hanya sedikit. Batal juga sebab makan yang banyak, karena lupa, sekalipun hal ini tidak dapat membatalkan puasa. Apabila seseorang menelan liur dahak yang keluar dari kepala ke bagian luar mulutnya, atau menelan ludah yang bernajis karena tercampur darah dari gusinya, sekalipun berwarna putih atau sedikit kemerahmerahan seperti warna buah tanbal, maka batal salatnya.
Mengenai makan sedikit menurut umum -di sini tidak dibatasi seukuran biji-bijianyang dilakukan karena lupa atau bodoh yang tidak dianggap uzur, atau dilakukan karena terpaksa, misalnya, jika air liur dahak keluar ke bagian luar dan tidak bisa ditepisnya, atau jika air liur mengalir bersama makanan yang terselip di antara gigi, serta ia tidak mampu memisahkannya, lalu membuang (memuntahkan)nya, maka yang seperti itu tidak mempengaruhi apa-apa sebab ada uzur.
Sengaja menambah rukun fi’li, yang tidak dalam keadaan bermakmum, misalnya menambah rukuk atau sujud, sekalipun tidak dengan thuma’ninah di dalamnya. Termasuk yang membatalkan salat, seperti yang dikatakan oleh Guru kami, ialah bila dalam keadaan duduk, seseorang membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan lututnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk atau iftirasy, yang kedua-duanya disunahkan. Sebab, melakukan perbuatan yang membatalkan salat itu tidak dapat diampuni adanya, demi melakukan perbuatan sunah. Diampuni adanya, duduk sejenak, seukuran duduk istirahat, sebelum sujud, setelah sujud tilawah, dan bagi makmum masbuk, sesudah salam imam yang tidak bertepatan dengan tasyahud awal makmum itu.
Adapun penambahan yang terjadi karena lupa atau tidak mengerti, maka dianggap sebagai uzur, maka tidak mempengaruhi atas kesahan salat, sebagaimana halnya menambah kesunahan, semacam mengangkat. kedua tangan di tempat yang tidak semestinya, atau menambah rukun gauli, misalnya Al-Fatihah: atau rukun fi’li dalam keadaan bermakmum, misalnya rukuk atau sujud sebelum imamnya, lalu kembali lagi. Yakin atau mengira fardu salat sebagai sunah, sebab hal ini dianggap main-main.
Tidak batal, jika seorang Yang Ami (buta hukum) meyakinkan perbuatan-perbuatan suna salat sebagai fardu: atau 14 mengerti, bahwa dalam salat Itu ada perbuatan fardu dan sunah, tetapi tidak bisa membedakan antara yang sunah dengan yang fardu, serta tidak dimaksudkan fardu tertentu sebagai yang sunah. Tidak batal juga, jika orang buta hukum itu meyakinkan semua perbuatan dalam salat sebagai fardu.
Peringatan!
Termasuk membatalkan salat: Hadas, sekalipun tidak disengaja. Terkena najis yang tidak dima’fu (pada badan, pakaian atau tempat orang yang sedang salat -pen), kecuali najis itu Gibuang seketika. Terbuka aurat, kecuali jika aurat itu terbuka sebab angin, lalu dengan seketika ditutup lagi. Sengaja meninggalkan rukun.
Merasa ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu, padahal salat sudah berjalan satu rukun gauli atau fi’li, atau telah lama masa keraguan, (Melampaui) sebagian rukun gauli yang terjadi dengan masa keraguan yang panjang atau pendek, tetapi bacaan yang dibaca dalam keraguan tersebut tidak dianggap apa-apa, adalah seperti halnya melampaui keseluruhannya
Apabila seseorang diberi tahu oleh orang yang adil riwayatnya, bahwa dia terkena najis atau terbuka auratnya yang sampai membatalkan salat, maka wajib baginya menerima berita itu, Tapi, jika yang diberitakan adalah semacam pembicaraan yang dapat membatalkan salat, maka baginya tidak wajib menerima (mempercayai) berita itu. (Perbedaan adil dalam riwayat: dengan adil dalam Syahadat: Kalau yang pertama mencakup budak dan wanita, sedangkan yang kedua khusus dilakukan oleh orang merdeka, serta laki-: laki -pen).
Sunah bagi orang yang salat sendirian (munfarid), yang mengetahui, bahwa salat jamaah sedang dikerjakan, supaya membalik salat fardu ada yang sedang dilakukan bukan salat kadhamenjadi salat sunah mutlak, lalu bersalam setelah dua rakaat, jika waktu itu ia tidak berdiri untuk rakaat ketiga, kemudian mengikuti salat jamaah.
Memang! Jika ia merasa khawatir, tertinggal jamaah kalau menyempurnakan salat dua rakaat itu, maka disunahkan meinutus salatnya, lalu memulai lagi dengan berjamaah. Seperti inilah yang dituturkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.
Imam Al-Bulgini membahas: Hendaknya ia mengucapkan salam, sekalipun baru satu rakaat. Adapun jika baru bertepatan berdiri untuk rakaat ketiga, hendaknya rakaat itu disempurnakan, jika tidak khawatir tertinggal jamaah, lalu mengikuti jamaah.
Azan dan Ikamah menurut logat, berarti: Memberitahukan. Sedangkan menurut syarak: Bacaan berupa kalimatkalimat yang masyhur diketahui dalam azan dan ikamah (kalimat Allahu Akbar dan seterusnya).
Dasar hukum azan dan ikamah, adalah ijmak yang didahului oleh impian Abdullah bin Zaid yang masyhur di suatu malam, di mana para sahabat Nabi saw. sedang sibuk bermusyawarah mengenai cara mengumpulkan manusia untuk menunaikan salat.
Impian tersebut sesuai dengan turun wahyu pada Nabi saw. Jadi, ketetapan hukum tersebut adalah berdasarkan wahyu, bukan impian itu -pen). Impian tersebut seperti yang termaktub di dalam kitab Sunan Abi Dawud sebagai berikut: Dari Abdullah, dia berkata: “Begitu Nabi saw. memerintahkan memukul lonceng untuk mengumpulkan manusia agar menunaikan salat, di tengah-tengah saya tidur, melintaslah seorang lakilaki yang membawa lonceng di tangannya.
Maka saya bertanya kepadanya: “Wahai, hamba Allah! Apakah lonceng itu akan Saudara jual?’ Ia menjawab: ‘Akan Saudara gunakan apa?’ Saya pun menjawabnya: ‘Saya akan menggunakannya untuk memanggil manusia agar menunaikan salat.’ Ia berkata: ‘Maukah Saudara aku tunjukkan cara yang lebih baik dari itu?’
Saya menjawab: ‘Mau dan terima kasih.’ Ia pun lalu berkata: ‘Ucapkanlah: Allahu Akbar… : dan seterusnya sampai akhir lafal azan.’ Kemudian dia pergi meninggalkan saya, tidak begitu jauh, lalu dia berkata: ‘Dan jika akan dilaksanakan salat, maka ucapkanlah: Allahu Akbar ….. sampai lafal ikamah’.”
Demikianlah, setelah pagi hari saya datang kepada Nabi saw. dan memberitahukan mengenai mimpi saya kepada beliau. Lalu beliau bersabda: “Benar its adalah impian yang benar. Insya Allah. Temuilah saudara Bilal, dan sampaikan impianmu berazan, karena dialah yang mempunyai suara lebih keras daripada engkau.” Saya pun lalu menemuinya dan menyampaikan impianku ke. padanya, kemudian dia berazan.
Sahabat Umar bin Al-Khaththab yang berada di rumah mendengar suara azan sahabat Bilal, lalu keluarlah seraya menyeret selendengnya dan berkata: “Wahai, Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh saya telah bermimpi seperti mimpi Abdullah bin Umar.” Oleh beliau dijawab: “Segala puji milik Allah.”
Dikatakan: Ada belasan sahabat Nabi saw. bermimpi seperti mimpi Abdullah tersebut. Azan itu sungguh disunahkan pula pada selain akan menunaikan salat, seperti azan untuk orang yang sedang tertimpa kesusahan, orang yang tidak sadarkan diri (karena terganggu jin), sedang marah, azan karena perbuatan manusia atau binatang yang tidak baik, ketika terjadi kebakaran, dan ketika ada amukan hantu, yakni jin.
Azan dan ikamah disunahkan juga dikumandangkan pada kedua telinga bayi yang baru lahir (azan di telinga kanan, sedang ikamah dibaca di telinga kiri -pen), dan di kala seseorang akan berangkat bepergian . Sunah kifayah -yaitu cukup dilakukan oleh sebagian orangmelakukan azan dan ikamah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim: jika telah tiba waktu salat, hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan azan.” :
Bagi laki-laki, sekalipun anak kecil, salat sendirian (munfarid), dan sekalipun sudah mendengar azan orang lain, menurut pendapat yang Muktamad, Lain halnya dengan yang termaktub dalam Syarah Muslim. Memang! (Tapi) jika dia telah mendengar azan salat jamaah dan ingin salat berjamaah bersama mereka, maka menurut beberapa tinjauan, dia tidak disunahkan mengerjakan azan sendiri.
(Kesusahan azan dan ikamah di atas) hanya untuk salat Maktubah (salat fardu lima waktu) sekalipun salat kadha, bukan untuk salat-salat sunah, salat Jenazah dan salat Nazar. Jika seseorang ingin mencukupkan salah satu dari azan dan ikamah, karena semisal waktu telah sempit, maka yang lebih utama adalah melaksanakan azan.
Sunah melakukan azan dua kali pada waktu Subuh, yaitu sebelum terbit fajar dan yang satu lagi setelah fajar. Kalau Ingin nrelakukan salah satunya saja, maka yang lebih utama melakukan azan setelah fajar. Sunah azan dua kali untuk salat: Jumat, yaitu pertama setelah khotib naik ke mimbar, sedang yang lainnya sebelum itu.
Hanya saja azan dua kali untuk salat Jumat itu, yang pertama kali melaksanakan adalah sahabat Utsman bin Affan r.a., setelah kaum muslimim semakin banyak. Dengan begitu, kesunahan dua kali azan tersebut jika memang dibutuhkannya, sebagaimana kehadiran mereka bergantung adanya azan itu. Kalau tidak demikian, maka yang lebih utama adalah melakukan azan sekali saja sebagai ittiba’ kepada Rasul (yaitu azan ketika khotib berada di atas mimbar -pen).
Sunah melakukan satu azan saja, untuk salat yang pertama bagi salat-salat yang sambungmenyambung dalam pelaksanaannya. Misalnya salat-salat kadha, dua salat jamak, salat kadha dengan salat ada’ yang waktunya sudah masuk, sedangkan azan belum dilakukannya. Sunah ikamah untuk setiap salat yang tersebut di atas, dasarnya adalah ittiba’ kepada Rasul saw. Bagi wanita, sunah melaksanakan ikamah dengan suara pelan, begitu juga bagi banci. Tidak makruh bagi wanita melakukan azan untuk kaum wanita, dengan suara pelan: jika dilakukan dengan suara keras, maka hukumnya adalah haram.
Sunah juga dikumandangkan panggilan untuk salat sunah yang diatur pelaksanaannya secara berjamaah, misalnya salat Id, Tarawih dan Witir di bulan Ramadhan yang dikerjakan tersendiri dari Tarawih, din salat Gerhana. dengan panggilan: “Ash-Shalata Jami’ah. Lafal اَلصَّلاَةَ bisa dibaca nashab sebagai susunan /ghra’, dan bisa dibaca rafak sebagai mubtada’, Sedang lafal جامعة bisa dibaca nashab sebagai Haal, dan bisa dibaca rafa’ sebagai khabar Mubtada’ tersebut. Sudah mencukupi dengan Panggilan “Ash-Shalah Ash–Shalah” atau “Halummuu ilash shalah” Ayo, tunaikanlah salat!). Dan makruh dengan panggilan “Hayya alashshalah” (Ayo, tunarkanlah salat)”
Panggilan di atas, hendaknya dikumandangkan setelah waktu salat tiba dan diulangi ketika akan melaksanakannya, agar dapat mengganti kedudukan azan dan ikamah. Tidak termasuk dalam ketentuan kami “untuk jamaah”, apabila salat sunah tersebut tidak disunahkan berjamaah pelaksanaannya, salat sunah yang dikerjakan secara sendirian, misalnya salat Nazar dan salat Jenazah.
Syarat Azan dan Ikamah
Tertib, yaitu membaca kalimat azan dan ikamah secara tertib, seperti yang telah diketahui, demikian ini berdasarkan ittiba’ kepada Rasul saw.
Jika kalimat-kalimat azan terbalik, sekalipun tidak sengaja (lupa), maka azannya : tidak sah (Dan jika dia membalik kalimat azan dan ikamah), maka dia boleh meneruskan urutan kalimatkalimatnya. Jika sebagian kalimat tertinggal, maka supaya kalimat yang tersebut dibaca, serta kalimat yang ada sesudahnya diulangi (hal ini jika waktunya tidak berselang lama -pen). Sambung-menyambung antara kata demi kata. Memang! (Tetapi) tidaklah mengapa jika antara kata dengan kata yang lainnya ditengah-tengahi (disela-selai) sedikit pembicaraan atau diam sebentar, sekalipun di sengaja.
Sunah membaca Hamdalah: dengan suara pelan bila bersin (di kala azan atau ikamah), dan menunda menjawab salam serta mendoakan orang yang sedang bersin sampai azan atau ikamah selesai. Bersuara keras, jika melaksanakan azan dan ikamah untuk salat jamaah. Karena itu, (untuk hasil pokok kesunahan) semua kalimat azan dan ikamah boleh terdengar oleh seorang saja. Adapun azan dan ikamah untuk dirinya sendiri, cukuplah suara bisa didengar oleh dirinya sendiri (sebab tujuannya adalah zikir).
Telah masuk waktu salat selam salat Subuh. Sebab tujuan azarr (ikamah) adalah memberitahukan, karena itu tidak boleh, bahkan tidak sah dilakukan sebelumnya. Mengenai azan Subuh, maka sah sejak separo malam. Sunah bertatswib dua kali, untuk dua azan Subuh. Yaitu mengucapkan: Ash-Shalatu Khoirum minan naum (Bangun bergegas untuk menunaikan salat adalah lebih utama daripada kenikmatan tidur) sebanyak dua kali, dibaca setelah membaca “Hai’alatain” (Hayya alash shalah dan Hayya alal falah).
Tatswib sunah dilakukan pula pada azan salat kadha Subuh, untuk selain salat Subuh hukumnya makrub. Sunah melakukan Tarji’ yaitu membaca dengan suara pelan untuk dua kali kalimat syahadat, sebelum membaca kedua kalimat tersebut dengan suara keras. Membaca dengan suara pelan, adalah sekira secara umum, Orang yang ber. sda dekat dengannya bisa mendengar. Demikian ini, berdasarkan ittiba’ kepada Rasul saw. Namun azan tetap sah, walaupun tanpa tarji’.
Sunah meletakkan ujung kedua jan telunjuk tangan pada masing“masing lubang telinga di kala azan, bukan ikamah, sebab hal ini dapat mengumpulkan suara. Dalam hal ini Guru kami berkata: Jika memang orang yang berazan ingin mengeraskan suaranya. Jika sebelah tangannya terhalang, maka tangan satunya lagi tetap melakukannya, atau Jari telunjuknya yang berhalangan, maka jari-jari lainnya yang digunakan. Sunah di kala azan dan ikamah:Berdiri, melakukan azan di lempat yang tinggi. Jika suatu mesjid tiada menaranya, maka sunah melakukan azan di loteng (jika tidak ada), maka sunah di pintunya.
2. Menghadap kiblat: Jika tidak menghadap kiblat, maka hukumnya makruh. Memalingkan wajah -bukan dada-, di kala azan, ke sebelah kanan untuk masingmasing dua kali membaca Hayya alash shalah, lalu menghadap kiblat lagi: dan ke sebelah kiri untuk masingmasing dua kali Hayya alal falah, lalu menghadap kiblat lagi: Demikianlah, sekalipun untuk azan menjelang khotbah dan azan diri sendiri . Waktu Tatswib tidaklah disunahkan memalingkan muka, sebab masalah ini ada pertikaian di antara fukaha.
Peringatan:
Sunah mengangkat suara waktu azan, di atas pendengaran sendiri bagi munfarid. Sedang bagi azan untuk salat jamaah, sunah dapat terdengar salah satu dari mereka. Kedua orang tersebut sunah mengangkat suara setinggitingginya, sebab hal ini diperintahkan. Sunah merendahkan suara azan, jika dilakukan di mushalla yang sedang dilaksanakan salat . berjamaah dan orang-orangnya telah bubar.
Dalam azan sunah tartil, dan cepat-cepat dalam ikamah. Mensukun huruf ra’ pada takbir yang pertama: Jika tidak membaca sukun, maka menurut pendapat Al-Ashah adalah membaca dhammah. Juga sunah membaca idgham huruf dal lafal مُحَمَّدٍ ke dalam ra’ lafal رَسُوْلُ الله , sebab meninggalkan itu, adalah termasuk “Lahn khafi” (kesalahan baca yang tersembunyi). Sebaiknya, mengucapkan fia’ lafal الصلاة (pada kedua Hayya).
Makruh azan dan ikamah bagi orang yang dalam keadaan hadas, anak kecil dan orang fasik. Dan tidak sah menyerahkan (azan dan ikamah) kepada anak kecil dan orang fasik. Azan dan ikamah, adalah lebih utama daripada Imamah, dasarnyai adalah firmah Aliah swt.: “Tiada yang lebih bagus daripada orang yang menyeru kepada Allah (dengan tauhid)”. Dalam hal ini, Aisyah menjelaskan: Mereka adalah orang yang azan. Dikatakan: Imamah (menjadi imam) adalah lebih utama daripada azan dan ikamah. Dalam pada itu, tanpa diperselisihkan lagi, bahwa menjadi imam salat adalah lebih utama daripada melakukan azan atau ikamah saja.
Sunah bagi yang mendengarkan azan atau ikamah -dengan pendengaran yang dapat membedakan huruf-hurufnya, jika tidak demikian, maka tidak dianggap mendengar, menurut pendapat Guru kami agar ikut mengucapkan seperti ucapan azan dan ikamah (yang diucapkan muazin), sekalipun dia tidak punya wudu, sedang junub atau haid: -menurut Imam As-Subki, orang junub dan haid tidak sunah – menjawabnyaatau sedang istinja (jika tidak di dalam WC), menurut pendapat yang lahir, jika memang kesemuanya itu tidak sampai terjadi aksi-aksian yang dapat mengubah makna azan atau ikamah.
Untuk itu, begitu selesai kalimat azan atau ikamah diucapkan, supaya segera menirukannya, sekalipun dalam tarji’ yang dia sendiri tidak mendengarnya. Jika seseorang hanya mendengar sebagian kalimat azan, maka hendaklah menirukannya dan menirukan yang tidak dia dengar. Jika azan itu dilakukan oleh para muazin berkali-kali secara tertib, maka sunah menjawab “ kesemuanya, sekalipun ia sendiri telah menunaikan salat. (Namun) makruh jika tidak menjawab azan yang pertama.
(Jika orang yang mendengarkan azan) sedang terleka membaca Algur-an, zikir atau doa, maka sunah memutusnya untuk menjawab azan. Makruh bagi orang yang sedang bersetubuh dan mendatangi hajat, menjawab azan, akan tetapi mereka agar menjawabnya sesudah selesai. Sebagai. mana halnya dengan orang – yang sedang salat, semua itu jika masa yang memisahkan belum begitu lama.
Tidak makruh menjawab azan bagi orang yang berada di kamar mandi dan orang yang badannya, bukan mulutnya, terdapat najis, sekalipun ia menemukan perkara yang dipergunakan menyucikan. (Menirukan sesuai kalimat azan dan ikamah), kecuali pada kalimat-kalimat Hayya. Untuk itu, orang yang menjawab, hendaknya membaca Hauqalah, yaitu mengucapkan: Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhiim, yaitu: Tiada daya untuk menyingkir dari maksiat, dan tiada upaya untuk berbuat taat, kecuali atas pertolongan Allah.
Hendaklah ber-tashdiq, yaitu membaca “Shadaqta wa barirta” sebanyak dua kali (Engkau benar dan banyak memangku kebagusan), di saat muazin, bertatswib waktu Subuh. Ketika diucapkan dua kalimat ikamah (Qadqamatish shalah), supaya pendengar membaca Agamahallah wa adamaha ….. dan seterusnya. (Semoga Allah berkenan menegakkan dan melanggengkan salat, “juga menjadikanku termasuk golongan orang-orang yang saleh dalam mengemban salat).
Sunah bagi kesemuanya, baik muazin, orang yang ikamah dan pendengarnya, membaca salawat salam kepada Nabi saw. setelah selesai masing-masing azan dan ikamah. Maksudnya, setelah masing-masing azan dan ikamah dikumandangkan, jika di antara keduanya berselang waktu yang lama. Kalau tidak demikian, cukuplah untuk keduanya diucapkan satu doa saja. Lalu mereka meneruskan dengan menengadahkan kedua tangan dan berucap: Allahumma ……. dan seterusnya. (Ya, Allah, Tuhan Pemilik panggilan yang selamat -azan dan ikamahdan salat yang akan didirikan, datangkanlah pada Nabi Muhammad wasilah dan fadhilah dan utuslah beliau pada derajat yang terpuji, yang telah Engkau janjikan).
Wasilah adalah derajat yang tertinggi di dalam surga, sedangkan Maqamul Mahmudah adalah suatu derajat syafaat di. hari kiamat waktu pemutusan hukum. Sunah membaca sesudah azan Magrib: Allahumma …, dan seterusnya. (Ya, Allah, inilah permulaan malam-Mu, penutup sang-Mu dan suara-suara orang yang memanggil ke jalan-Mu, maka ampunilah dosaku!).
Sunah sebelum ikamah, membaca selawat kepada Nabi saw., sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarah Al-Wasith, yang kemudian dibuat pegangan oleh Guru kami, Ibnu Ziyad. Kemudian beliau menambahkan: Adapun pembacaan salawat sebelum azan, saya tidak pernah menemukan dasar hukum sama sekali. Asy-Syekh Al-Kabir Al-Bakri berkata: Pembacaan salawat adalah disunahkan sebelum azan dan ikamah, dan tidak disunahkan membaca Muhammad Rasulullah sesudahnya.
Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Bahr berkata: Sunah membaca ayat Kursi di antara azan dan ikamah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Sungguh orang yang mau membaca ayat Kursi di antara azan dan “ikamah, maka dosa-, dosa yang terjadi antara dua salat tidak akan dicatat.”
Cabang:
Imam Al-Bulqini mengeluarkan fatwa tentang
orang yang selesai berwudu dan bertepatan dengan selesai azan muazin, bahwa
orang tersebut hendaknya membaca zikir wudu, sebab ini adalah ibadah
tersendiri, lalu membaca zikir azan.
Beliau berkata lagi: Yang baik, hendaknya dia membaca dua kalimat syahadat
wudu dulu, kemudian disambung dengan doa azan, sebab doa ini berkaitan
langsung dengan Nabi saw., baru berdoa untuk dirinya.
SHALAT SUNAH
فصل في صلاة النفل وهو لغة: الزيادة. وشرعا: ما يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه. ويعبر عنه بالتطوع والسنة والمستحب والمندوب. وثواب الفرض يفضله بسبعين درجة، كما في حديث صححه ابن خزيمة. وشرع ليكمل نقص الفرائض بل وليقوم في الآخرة لا في الدنيا مقام ما ترك منها لعذر، كنسيان، كما نص عليه. والصلاة أفضل عبادات البدن بعد الشهادتين، ففرضها أفضل الفروض، ونفلها أفضل النوافل. ويليها الصوم، فالحج، فالزكاة، على ما جزم به بعضهم، وقيل: أفضلها الزكاة. وقيل: الصوم. وقيل: الحج. وقيل غير ذلك . والخلاف في الاكثار من واحد - أي عرفا - مع الاقتصار على الآكد من الآخر، وإلا فصوم يوم أفضل من ركعتين.
Ditetapkan nafl adalah untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan di dalam mengerjakan fardu, bahkan agar di akhirat kelak -bukan di dunia-, bisa mengganti kedudukan fardu yang ditinggalkan karena ada Uzur, misalnya lupa, Begitulah seperti ya! telah dinash. Salat adalah ibadah badan yang paling utama setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena itu, salat fardu adalah paling utamanya dan salat sunah adalah paling utama di antara perbuatan sunah lainnya.
Urutan keutamaan di bawah salat, adalah puasa, haji, lalu zakat: seperti inilah yang telah dikukuhkan oleh sebagian ulama. Ada yang mengatakan: Paling utama adalah zakat. Ada yang mengatakan, adalah puasa, Ada juga yang mengatakan haji, Juga ada yang mengatakan bukan itu semua. Perselisihan di sini, adalah jika suatu ibadah tersebut banyak dikerjakannya, menurut pandangan umum, sedangkan ibadah yang satunya hanya dikerjakan yang muakad saja. : Kalau tidak demikian, maka puasa sehari lebih utama daripada salat dua rakaat.
Salat sunah ada dua macam: Pertama, tidak disunahkan berjamaah, seperti salat Rawatib yang mengikuti salat-salat fardu yang keterangannya akan diterangkan di bawah ini.Disunahkan berdasarkan hadis-hadis sahih di dalam kitab Sunan (Sunan Abi dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi):
Empat rakaat sebelum Asar. Empat rakaat sebelum salat Zhuhur, dan empat rakaat sesudahnya. Dua rakaat sesudah salat Magrib. Di sini disunahkan pula agar disambung pelaksanaannya, dengan salat fardu (Magrib). Fadhilah penyambungan terSebut tidaklah bisa hilang sebab dipisah dengan zikir yang ma’tsur, yang dibaca. Setelah salat lima waktu. Dua rakaat yang ringan (pendek) setelah salat Isyak.
Dua rakaat sebelum Isyak, jika ternyata tidak terleka dengar menjawab azan. Karena itu, jika antara azan dan ikamah ada waktu luang untuk mengerjakan 2 rakaat, hendaknya dilakukan, jika tidak ada, maka ditunda sesudah salat fardu. Dua rakaat sebelum salat Subuh. Dalam melakukan salat ini, disunahkan diperpendek, dan di dalam rakaatnya membaca surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlash. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
Tersebut pula, bahwa yang dibaca di sini adalah surah Al–Insyirah dan Al-Fiil. Sungguh, barangsiapa membiasakan salat dengan membaca kedua surah tersebut, maka hilanglah penyakit bawasir. Demi menampakkan yang datang dari Nabi saw., maka sunah mengumpulkan kesemua surah di atas (rakaat pertama membaca surah Al-Insyirah dan Al-Kafirun, rakaat kedua membaca surah Al-Fiil dan Al-Ikhlash). Hal itu berdasarkan yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam masalah membaca “Innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa kabiiraa“. (yaitu dikiaskan dengan masalah pembacaan ayat yang sampai dengan lafal كثيرا dan كبيرا Maka antara kedua lafal tersebut sunah dikumpulkannya -pen).
Perlakuan seperti tersebut, tidak dianggap sebagai memperpanjang rakaat yang sampai melampaui ukuran sunah dan ittiba’, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami, Ibnu Hajar dan Ibnu Ziyad. Sunah berbaring miring antara dua rakaat sunah Subuh dengan salat fardunya, jika salat sunahnya tidak diakhirkan dari fardunya, sekalipun ia tidak bertahajud. Yang lebih utama (dalam berbaring itu) adalah pada sisi kanan badannya
Jika ia tidak menginginkan demikian itu, hendaklah memisah antara kedua salat tersebut dengan semacam pembicaraan atau berpindah tempat.
Boleh mengakhirkan salat Rawatib gabliyah setelah salat fardunya, hal ini tetap masih dianggap ada’. Kadang-kadang penundaan seperti ini justru disunahkan, . seperti ketika seseorang baru hadir, di mana salat sudah didirikan, atau waktu sudah menjelang ikamah, sehingga jika ia melakukan (salat) dua rakaat terlebih dahulu, maka tertinggal takbiratul ihram imamnya. Dalam keadaan semacam inj, baginya makruh mengerjakan salat sunah dahulu.
Tidak boleh mendahulukan sunah ba’diyah atas salat fardu yang berkaitan dengannya, lantaran belum masuk waktu melakukannya. Demikian juga setelah keluar waktu pelaksanaannya, begitulah menurut beberapa tinjauan. Jumlah Rawatib Muakad ada sepuluh rakaat. Yaitu: Dua rakaat sebelum salat Subuh, dua rakaat sebelum salat Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah salat Magrib dan dua rakaat setelah salat Isyak.
Salat Witir setelah salat Isyak, berdasarkan hadis: “Salat Witir itu hak bagi setiap orang muslim.” Salat Witir itu lebih utama jika dibandingkan dengan semua salat Rawatib yang ‘ telah tertuturkan, karena ada perselisihan dalam wajibnya. Paling sedikit rakaatnya adalah satu rakaat, sekalipun tidak didahului dengan salat sunah: Isyak atau lainnya.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Batas sempurna yang paling minimum adalah 3 rakaat, 5 rakaat dan di atasnya lagi adalah 9 rakaat. Salat Witir paling banyak adalah 11 rakaat. Karena itu, tidak boleh melebihi batas ini. Demikianlah salat Witir dilakukan selalu dengan rakaat ganjil.
Jika seseorang pada saat takbiratul ihram tanpa niat bilangan rakaat, maka sah takbirnya, dan ia boleh melakukan salat Witir dengan rakaat yang dikehendaki, menurut beberapa tinjauan. Seakan-akan pembahasan sebagian fukaha: Menyamakan (menganalogikan/meng-ilhaq-kan) masalah seorang yang salat Wiur dengan niat bilangan tertentu, baginya boleh menambah atau mengurangi ketentuan tersebut -dengan masalah salat sunah mutlak-, adalah suatu kesalahan dan yang benar-benar jelas salahnya.
Penjelasan mereka juga, bahwa: Sesungguhnya didapati dalam kalam Imam Al-Ghazali dari Imam Al-Faurani seperti pendapat di atas, ini juga adalah kesalahan, sebagamana yang dapat diketahui dari kitab Al-Basith . Ketentuan tidak boleh menambah dan mengurangi rakaat tersebut, berlaku pula bagi orang yang bertakbiratul ihram niat salat sunah Zhuhur sebanyak 4 rakaat secara bersambung (satu kali salam). Karena itu, ia tidak boleh memisah dengan dua rakaat salam, sekalipun ia telah niat memisah sebelum mengurangi rakaat, Hal ini masih ada perselisihan dengan sebagian fukaha yang memperbolehkannya juga. -Selesai-.
Bagi orang yang melakukan salat Witir boleh lebih dari satu rakaat untuk memisah salatnya dengan cara dua rakaat salam. Bahkan cara tersebut lebih utama daripada disambung terus, dengan bertasyahud sekali atau dua kali pada dua rakaat yang terakhir. Tidak boleh menyambung salat Witir sampai melebihi dua kali bertasyahud (sebab Nabi saw. tidak pernah mengerjakannya -pen).
Menyambung pada selain tiga rakaat adalah khilaful aula, sedangkan menyambung tiga rakaat itu hukumnya makruh, sebab dalam hadis terdapat larangan melakukannya: “Janganlah kalian semua menyerupakan salat Witr dengan salat Magrib”. (Washal/Menyambung: mengumpulkan rakaatrakaat salat Witir dengan sekali takbiratul ihram. Jadi, antara rakaat terakhir dengan sebelumnya tidak dipisah dengan takbiratul ihram. Sedang Fashl/memisah adalah: Memisah rakaat salat Witir dengan takbiratul ihram, umpama setiap dua rakaat salam sekali, atau antara rakaat yang terakhir dengan rakaat sebelumnya dipisah takbiratul ihram -pen).
Sunah bagi orang yang melakukan salat Witir 3 rakaat, membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakaat kedua dan Al–Ikhlaash, An-Naas, Al-Falaq pada rakaat ketiga sebagai tindak ittiba’ kepada Rasul saw.
Jika seseorang melakukan salat. Wjitir lebih dari 3 rakaat, maka disunahkan membaca surah di atas pada 3 rakaat terakhir, jika rakaat jitu dipisahkan dengan rakaat sebelumnya: Jika tidak dipisahkan, maka tidaklah membaca surah tersebut, sebagaimana fatwa Imam Al-Bulqini.
Sunah bagi orang yang melakukan salat Witir lebih dari 3 rakaat, pada rakaat pertama dan kedua membaca surah Al–Ikhlaash, baik itu dipisah antara rakaat-rakaatnya ataupun disambung. Setelah salat Witir disunahkan membaca doa: “Subhanal malikil quddus” (Maha Suci Raja Yang Suci) 3x, pada ketiga kalinya suara dikeraskan, lalu membaca: Allahumma …….. dan seterusnya. (Ya, Allah, aku berlindung diri dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan kesejahteraan-Mu dari siksa-Mu, dan dengan-Mu, dari-Mu tidak dapat aku menghitung berapa banyak pujian kepada-Mu sebagaimana kamu memuji diri-Mu sendiri).
Waktu salat Witir adalah seperti waktu salat Tarawih, yaitu antara salat Isyak, sekalipun dilakukan setelah salat Magrib dalam salat jamak taqdim, hingga terbit fajar. Jika waktu tersebut sudah habis, maka tidak boleh mengadhanya sebelum waktu Isyak, sebagaimana halnya dengan salat Rawatib ba’diyah. Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha yang berpendapat dengan memenangkan kebolehannya.
Jika telah jelas, bahwa salat Isyak yang dikerjakan adalah batal, padahal salat Witir atau Tarawih telah dikerjakannya, maka salat ini dihukumi sebagai salat sunah Mutlak.
Bagi orang yang mempunyai kepercayaan, bahwa ia dapat bangun sendiri sebelum waktu fajar atau dibangunkan oleh orang lain, maka ia disunahkan mengakhirkan salat Witir keseluruhannya (pada akhir malam) -kalau salat Tarawih tidak sunah diakhirkandari awal malam, sekalipun penundaan seperti ini menyebabkan tertinggal jamaah Witir di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim yang artinya: “Jadikanlah salat Witir itu di akhir malam salatmu.”
Sunah meletakkan salat Witir di belakang semua salat Lail yang dilakukan malam itu.
Bagi orang yang tidak mempunyai kepercayaan, bahwa dirinya dapat bangun sebelum fajar, maka sunah mengerjakan salat Witir sebelum tidur. Kemudian, (jika ternyata bisa bangun) ia tidak disunahkan mengulangi .
Kemudian, jika ia melakukan salat Witir setelah bangun tidur, maka baginya mendapat pahala sunah Tahajud juga (sebab salat Tahajud adalah salat yang dikerjakan sesudah bangun tidur -pen). Kalau dilakukan sebelum tidur, maka akan mendapatkan pahala salat Witir saja.
Ada yang mengatakan: Yang lebih utama adalah mengerjakan Witir sebelum tidur secara mutlak (baik punya keyakinan bisa bangun sebelum terbit fajar ataypun tidak -pen), lalu bangun dan bertahajud. Hat ini berdasarkan perkataan sahabat Abi Hurairah: Rasulullah memerintahkan aku supaya melakukan salat Witir sebelum tidur -HR. Bukhari-Muslim-.
(Perselisihan tersebut) karena sahabat Abu Bakar r.a. salat Witir sebelum tidur, lalu bangun tidur dan bertahajud, Kalau sahabat Umar r.a. tidur dahulu sebelum salat Witir, setelah bangun lalu bertahajud dan salat Witir.
Kemudian, masing-masing di antara mereka melaporkan perbuatannya kepada baginda Rasulullah saw. Lantas beliau menjawab: “ini (yakni Abu Bakar) melakukan karena hati-hati, dan yang ini (Umar) melakukannya dengan penuh kekuatan.”
Diriwayatkan, bahwa sahabat Utsman bin Affan ra. melakukan seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar r.a., sedangkan sahabat Ali r.a. melakukan seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar r.a.
Al-Ghazali dalam kitab AlWasth berkata: Imam AsySyafi’i r.a. memilih yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar r.a. Sedangkan dua rakaat sesudah Witir seperti yang dilakukan orang-orang dengan duduk, adalah tidak termasuk sunah Nabi saw., sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Jaujari dan Asy-Syekh Zakariya.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Janganlah anda terbujuk dengan keyakinan seseorang, bahwa hal itu sunah dilakukari dan menyuruh melakukannya. Sebab hal itu berangkat dari kebodohannya terhadap hukum. Salat Dhuha, berdasarkan firman Allah swt.: “Mereka membaca Tasbih di waktu sore dan isyraq”. Ibnu Abbas menjelaskan: Salat Isyraq adalah salat Dhuha.
Imam Bukhari-Muslim meriwayatkan hadis dari sahabat Abu Hurairah, ia berkata: Aku diberi wasiat oleh kekasihku, yaitu Nabi saw. dengan tiga perkara: 1. Puasa tiga hari setiap bulan: 2. Salat Dhuha dua rakaat, 3. Salat Witir sebelum tidur. Imam Abu Dawud meriwayatkan, bahwa Nabi saw. mengerjakan salat Dhuha, dan beliau salam setiap dua rakaat.
Paling sedikitnya adalah dua rakaat, dan paling banyaknya adalah 8 rakaat, sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Tahqiq dan Al-Majmu’ (kedua : nya milik Imam An-Nawawi). Seperti itu juga sebagian besar ulama. Karena itu, hukumnya haram menambah rakaat lebih dari yang sudah ditentukan di atas.
Delapan rakaat tersebut adalah paling utama, seperti yang tersebut dalami kitab Ar-raudhah dan aslinya. Berarti (menurut pendapat ini), menambah bilangan dari jumlah. rakaat tersebut dengan niat salat Dhuha sampai 12 rakaat adalah boleh saja.
Waktu salat Dhuha, adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincirnya ke arah barat. (Namun) memilih waktu yang baik untuk mengerjakan salat Dhuha adalah ketika telah terlewatkan seperempat waktu siang, berdasarkan sebuah hadis sahih.
Jika terjadi perlawanan antara mengakhirkan salat Dhuha sampai seperempat siang dengan fadhilah (keutamaan) mengerjakannya di dalam mesjid bila tidak mengakhirkannya (umpama, jika se: seorang mengakhirkan salat Dhuha sampai seperempat slang, maka tidak bisa melakukannya di dalam mesjid: dan umpama ia melakukan dalam mesjid, ia tidak bisa ‘ mengakhirkan sampai seperempat siang), maka yang lebih utama adalah mengakhirkannya sampai seperempat siang, sekalipun akhirnya tidak bisa mengerjakannya di dalam mesjid. Sebab, fadhilah yang berkaitan dengan waktu itu lebih utama untuk dipelihara (diperhatikan) daripada yang berkaitan dengan tempat.
Dalam salat Dhuha sunah membaca surah As-Syams dan Adh-Dhuha. Sementara dalam hadis yang lain menyebutkan surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlaash. Menurut pendapat yang lebih beralasan: Dua rakaat salat Isyraq adalah termasuk dari salat Dhuha. Lain halnya dengan pendapat Imam Al-Ghazali dan pengikutnya.
Salat Tahiyatul mesjid, sekalipun ia telah berulangulang masuk ataupun tidak menghendaki duduk dalam mesjid. Lain halnya dengan pendapat Asy-Syekh Nashr, yang kemudian diikuti oleh Asy-Syekh Zakariya dalam kitab Syarah Mmhaj dan Tahrir melalui perkataannya: Jika memang orang tersebut berkehendak duduk dalam mesjid, (maka sunah melakukan salat Tahiyatul mesjid, jika tidak, maka tidak sunah -pen), karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Apabila seseorang di antara kalian masuk ke mesjid, maka janganlah duduk terlebih dulu, sebelum mengerjakan salat dua rakaat”.Kesunahan Tahiyatul mesjid berakhir dengan sendirinya, bila telah duduk lama, begitu juga dalam waktu yang pendek, Jika tidak lupa atau tidak tahu.
Disamakan dengan kedua duduk itu -menurut beberapa tinjauan-, apabila seseorang . karena dahaga butuh minum, lalu duduk sebentar untuk minum, kemudian menunaikan salat Tahiyatul masjid. Kesunahan di sini tidak bisa berakhir sebah berdiri yang cukup lama, atau sudah berpaling disi untuk tidak mengerjakannya. Bagi orang yang bertakbiratul Ihram salat tahiyatul mesjid, boleh meneruskan salatnya dengan duduk.
Makruh meninggalkan salat Tahiyatul mesjid tanpa ada halangan, Memang begitu, jika ternyata telah dekat pelaksanaan salat Jumat atau lainnya, dan ia khawatirkan tertinggal fadhilah takbiratul ihram jika ia melakukan salat Tahiyatul mejid, maka hendaklah menunggu dengan berdiri.
Bagi orang yang tidak memungkinkan mengerjakan salat Tahiyat, sekahpun karena hadas, sunah mengucapkan: Subhaanallaahi…. dan seterusnya 4x (Maha Suci Allah, segala puji milik Allah tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar dan tiada daya dan upaya, kecuali dengan pertolankan Allah Yang Maha Agung)
Salat Tahiyatul mesjid itu makruh dilakukan oleh khotub yang masuk mesjid setelah masuk waktu khotbah, dan bagi orang yang akan tawaf setelah masuk Masjidil Haram. Namun tidak makruh bagi seorang pengajar. Lain halnya dengan pendapat sebagian fukaha.
10-13. Dua rakaat salat Istikharah, Ihram, Tawaf dan salat sesudah wudu. Salat Tahiyatul mesjid dan yang sesudahnya itu ikut tertunaikan dengan sendirinya, sebab melakukan dua rakaat atau lebih dari salat fardu atausunah lainnya, sekalipun tidak disertakan dalam berniat. Maksudnya, perintah untuk melakukan salat-salat tersebut jadi gugur sebab salat fardu atau sunah yang lain.
Tentang mendapat pahala atau tidak: Satu pendapat mengatakan: Dapat pahala jika berniat, berdasarkan sebuah hadis yang artinya: “Sesungguhnya sah amal itu bergantung dengan adanya niat”. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama Mutaakhirin, kemudian dijadikan pegangan oleh Guru kami.
Tetapi, menwut lahirnya perkataan Ashhabu Syafi’i (ulama fikih periode Mutagadimin), adalah tetap mendapatkan pahala, sekahpun tidak disertai niat. Seperti itulah kesimpulan perkataan dalam kitab Al-Majmu’.
Sunah surah yang dibaca pada rakaat pertama salat Wudu, ayat “Walau Annahum ….” dan seterusnya (An-Nisa’: 64), dan pada rakaat kedua membaca ayat “Wa mayya’mal” dan seterusnya (An-Nisa’: 110). Termasuk salat sunah yang tidak disunahkan berjamaah, adalah salat Awwabin. yaitu sebanyak 20 rakaat sesudah Magrib dan sebelum Isyak.
Ada sebuah riwayat yang mengatakan: Rakaatnya sebanyak 6, 4 dan 2 rakaat: ini adalah yang paling sedikit. Salat Awwabin sudah berhasil (tertunaikan) dengan sendiri. nya, karena ada salat kadha. Lain halnya dengan pendapat Guru kami. Yang lebih utama, adalah mengerjakannya setelah zikir salat Magrib.
(Termasuk salat sunah yang tidak disunahkan berjamaah adalah) salat Tasbih, yaitu: Empat rakaat dengan satu kali salam atau dua kali. Hadis yang menerangkannya adalah hadis Hasan, karena banyak jalur periwayatannya. – Pahala salat tasbih tiada terhingga. Dari sini, sebagian ulama ahli tahkik berkata: Semua mengatakan gtas keagungan salat tersebut, dan tiada orang yang akan meninggalkannya, kecuali orang yang menyepelekan urusan agamanya.
(Tata caranya) untuk tiap-tiap satu rakaat membaca “Subhanallah …” dan seterusnya 75x (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah: Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Agung). (Dengan rincian) 15 kali sesudah membaca Al-Fatihah, 10 kali pada waktu rukuk, ikudal, sujud dua kali dan duduk di antara dua sujud, yang kesemuanya itu dibaca setelah masing-masing zikir yang berlaku di situ, dan membaca Tasbih 10 kali ketika duduk istirahat.
(Letak) takbir, adalah (sesudah bangkit dari sujud kedua) dan ketika mulai duduk istirahat, tidak ketika bangkit dari duduk istirahat. Ketika duduk untuk bertasyahud sebelum membaca tasyahud, membaca Tasbih sebanyak 10 kali. Boleh juga membaca tasbih sebanyak 15x, dibaca sebelum Al-Fatihah (dan membaca surah). Berarti bacaan Tasbih yang mestinya dibaca ketika duduk istirahat, dibaca setelah membaca Al-Fatihah.
Apabila ketika iktidal teringat, bahwa ia belum membaca Tasbih di waktu rukuk, maka ia tidak boleh kembali ke rukuk, dan tidak boleh membaca Tasbih tersebut pada iktidal, sebab iktidal adalah rukun yang pendek. Akan tetapi, bacaan Tasbih tersebut dibaca ketika sujud. Sunah dalam setiap minggu atau bulan, tidak meninggalkan salat Tasbih.
Bagian kedua, salat sunah yang pelaksanaannya disunahkan berjamaah.
Salat Idul Fitri dan Adha. Waktunya: Di antara terbit matahari dan tergelincirnya ke arah barat. Jumlah rakaatnya, adalah dua rakaat. Sunah bertakbir sebanyak 7x sesudah membaca doa Iftitah pada rakaat pertama -sekalipun salat kadha, menurut beberapa tinjauan-: dan 5x takbir pada rakaat kedua.
Takbir-takbir tersebut dilakukan sebelum membaca Ta’awudz pada rakaat pertama dan kedua: dan sunah mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir. Kesunahan bertakbir ini jika belum membaca Al-Fatihah. Jika pada rakaat pertama Takbir tidak dilakukan, maka pada rakaat kedua tidak sunah ditemukan (dilakukan)nya.
Sunah membaca takbir dengan suara keras pada malam hari Raya Fitri dan Adha, sejak terbenam matahari hingga imam masuk untuk takbiratul ihram salat Id
Setiap selesai salat, sekalipun “salat Jenazah, sejak Subuh hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah) hingga salat Asar tanggal 13 Zulhijah: juga pada tanggal 10 Zulhijah tatkala melihat inatang ternak atau men. ngar suaranya Salat Gerhana Matahari dan Rembulan Paling sedikitnya adalah dua rakaat, sebagaimana salat sunah Zhuhur. Kesempurnaan yang paling minimal, adalah menambah berdiri, membaca Al-Fatihah dan rukuk pada tiap-tiap rakaat.
Yang lebih sempurna, membaca surah Al-Baqarah pada rakaat pertama atau seukuran dengannya, dan pada rakaat kedua membaca sepanjang 200 ayat Al-Baqarah, rakaat ketiga 150 ayat, sedangkan pada rakaat keempat 100 ayat Al-Baqarah.
Kemudian, pada waktu rukuk dan sujud rakaat pertama membaca tasbih sepanjang 100 ayat Al-Bagarah, rakaat kedua sepanjang 80 ayat, rakaat ketiga 70 ayat dan rakaat keempat 50 ayat. Kemudian, setelah salat diikuti dengan dua khotbah. Maksudnya, sunah melakukan dua khotbah sesudah salat Idul Fitri dan Adha, sekalipun salat itu dikerjakan pada keesokan harinya menurut keterangan yang lahir dan sunah melakukan dua khotbah sesudah salat Gerhana.
(Dalam khotbah) khotib membuka khotbah pertamanya untuk salat hari raya -bukan Gerhanadengan bertakbir 9 kali, sedang khotbah kedua dengan bertakbir 7 kali, yang kesemuanya dilakukan secara sambung-menyambung. Sebaiknya, antara kedua khotbah tersebut dipisahkan dengan bertakbir, dan memperbanyak pembacaan takbir di sela-sela khotbah, demikian yang dikatakan oleh Imam As-Subki,
Tidak disunahkan bagi orang-orang yang hadir ikut bertakbir seperti khotib di atas, Salat Istsqa’, di kala membutuhkan air, baik karena tidak ada air, ada tapi asin atau karena hanya sedikit, yang tidak mencukupi kebutuhan. Tata cara salat Istisqa’ adalah seperti salat hari Raya FitriAdha. Hanya saja khotib membaca istigfar sebagai ganti dari takbir ketika berkhotbah, dan menghadap kiblat waktu berdoa di tengah-tengah khotbah kedua, yaitu kurang-lebih setelah khotbah kedua berjalan sepertiganya. Salat Tarawih, sebanyak 20 rakaat dengan 10 kali salam, dalam tiap-tiap malam Ramadhan.
Berdasarkan sebuah hadis: Barangsiapa menjaga bulan Ramadhan (salat Tarauih dan badah-ibadah lainnya) dengan iman dan mengharapkan pahala, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.” Dalam praktik salat Tarawih, wajib salam dalam seuap dua rakaat. Karena itu, jika salam dalam tiap empat rakaat. maka tidak sah salatnya. Hal ini berbeda dengan salat sunah Zhuhur, Ashar, Dhuha dan Witir.
Dalam pelaksanaannya, hendaklah seseorang niat salat Tarawih atau menjaga Ramadhan (Qiyamur Ramadhan). Melakukan di awal waktu, adalah lebih utama daripada di tengah-tengah malam setelah bangun dari tidur. Lain halnya dengan pengaburan Imam AlHulaimi (pendapat yang belum jelas). Dinamakan Tarawih, sebab mereka yang melaksanakannya merasa rilek (istirahat) setelah dua kali salam, lantaran mereka telah berdiri lama.
Rahasia 20 rakaat adalah: Salat Rawatib Muakad di luar Ramadhan berjumlah 10 rakaat, maka di bulan Ramadhan dilipatkan menjadi dua kali, sebab Ramadhan adalah waktu bersungguh-sungguh dan bersiap siaga.Mengulang bacaan surah Al-Ikhlash sebanyak tiga kali dalant rakaat terakhir salat Tarawih, adalah bid’ah tidak baik. Sebab, hal ini menyelisihi sunah Nabi saw., menurut pendapat Guru kami.
Sunah salat Tahajud atas dasar ijmak. Tahajud adalah salat sunah setelah bangun dari tidur. Firman Allah Ta’ala: “Dan di’ antara malam itu, bertahajudlah engkau sebagai ibadah sunah bagimu!” Tentang keutamaan salat Tahajud, banyak hadis yang Sampai pada kita. Bagi orang yang sudah meimbiasakannya, maka makruh meninggalkan salat Tajahud tanpa suatu darurat.
Sunah muakad untuk setiap malam sesudah bangun tidur, tidak meninggalkan salat sunah, sekalipun hanya dua rakaat. Sebab fadhilahnya besar sekali. Bilangan rakaat salat Tahajud tiada batasnya. Dikatakan: rakaatnya sebanyak 12. Sunah memperbanyak doa dan istigfar di malam hari. Hal itu lebih utama lagi jika dilakukan pada separo malam yang akhir. Yang lebih utama di waktu sahur, sebagaimana firman Allah: “Dan di waktu sahur, mereka membaca Istigfar”.
Sunah muakad membangunkan orang yang berkeinginan mengerjakan salat Tahajud. Salat sunah muakad (yang ditentukan waktunya), jika tertinggal, sunah untuk di. kadha. Seperti salat id, Rawatib dan Dhuha. Tidak demikian untuk salat sunah yang mempunyai sebab, misalnya salat Gerhana, Tahuyatul mesjid dan sesudah wudu.
Barangsiapa meninggalkan salat sunah mutlak yang menjadi kebiasaannya (wiridnya), maka baginya sunah mengadha. Begitu juga mengadha wirid yang bukan berupa salat. Salat sunah Mutlak (salat sunah yang tidak terikat dengan waktu ataupun sebab) jumlah rakaatnya tidak terbatas. Bagi orang yang melakukan salat sunah Mutlak, hanya boleh melakukan satu rakaat langsung tasyahud, terus salam. Hal ini hukumnya tidak makruh.
Apabila ia niat melakukan di atas satu rakaat, baginya boleh bertasyahud pada setiap dua, liga, empat rakaat dan seterusnya. Atau dia niat melakukan dalam bilangan tertentu, maka baginya boleh menambah atau menguranginya, jika memang diniatkan sebelumnya, kalau tidak begini, maka batal salatnya.
Apabila berniat melakukan dua rakaat, kemudian karena lupa ia berdiri lagi untuk rakaat ketiga, latu ingat, maka ia wajib duduk, dan kalau ingin menambah rakaat baginya, boleh berdiri lagi. Lantas di aklur salatnva, sunah bersujud sahwi. Jika tidak menghendaki menambah rakaat, baginya cukup duduk, bertasyahud dan bersujud sahwi, lantas salam.
Sunnah bagi orang yang melakukan salat sunah Mutlak, bauk di malam atau siang hari, agar bersalam setiap dua rakaat. Berdasarkan sebuah hadis vang disepakati Imam Bukhari-Muslim: “Salat malam itu dua rakaat: dua rakaat.” Dalam riwayat sahih lainnya: “dan salat sunah di siang hari”,
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Mempctpanjang berdiri itu lebih utama daripada memperbanyak jumlah rakaat. Kata beliau lagi dalam Al-Majmu”, Urutan keutamaan salat-salat sunah sebagai berikut: “Idul Adha, Fitri, Gerhana Matahari, Rembulan, Istisqa’, Witir, dua rakaat sebelum salat Subuh, semua salat Rawatib -semua ada pada satu tingkatan-, Tarawih, Dhuha, dua rakaat Tawaf, Tahiyatul mesjid, Ihram, lantas salat sunah setelah wudu.
Tentang salat yang terkenal di malam Raghaib (yaitu, salat 12 rakaat antara Magrib-lsyak : pada malam Jumat pertama bulan Rajab -pen), salat Nisfu Sya’ban dan salat malam ‘Asyura (10 Muharam), ini semua adalah bid’ah gabihah (bid’ah yang tercela), dan hadishadis yang dijadikan dasar adalah hadis mandhu’ (palsu), Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami, yang senada dengan Imam Ibnu Syuhbah dan lainnya.
Yang lebih buruk lagi, adalah seperti yang dijadikan tradisi di suatu daerah, yaitu salat lima rakaat di malam Jumat terakhir bulan Ramadhan sesudah salat Tarawih, dengan maksud agar dapat menebus salat yang ditinggalkan selama satu tahun atau seumur hidup. Hal ini adalah haram dilakukan.
وقيل إنها فرض عين - وهو مذهب أحمد - وقيل شرط لصحة الصلاة، ولا يتأكد الندب للنساء تأكده للرجال، فلذلك يكره تركها لهم، لا لهن. والجماعة في مكتوبة - لذكر - بمسجد أفضل، نعم، إن وجدت في بيته فقط فهو أفضل، وكذا لو كانت فيه أكثر منها في المسجد - على ما اعتمده الاذرعي وغيره -.
Salat berjamaah ditetapkan di Madinah. Jamaah itu paling sedikit terdiri dari imam dan seorang makmum. Tingkat keutamaan jamaah, adalah sebagai berikut: Jumat, salat Subuh hari Jumat, Salat Subuh, Isyak, Asar, Zhuhur, kemudian Magrib.
Salat berjamaah pada salat ada lima waktu -bukan salat Jumathukumnya adalah sunah mua- kad. Berdasarkan hadis Muttafag ‘alaih: “Salat berjamaah itu lebih utama dari salat sendirian, selisih dua puluh tujuh derajat.” Kelebihan seperti yang ditunjukkan oleh hadis, adalah. menetapkan kesunahan saja. Hikmah kelebihan 27 derajat, adalah bahwa berjamaah mengandung faedah sebesar itu, yang melebihi salat sendirian.
Tidak masuk dalam ketentuan “ada’ (tunai)”, adalah salat maktubah itu dikerjakan secara kadha. Tetapi, jika antara makmum dengan unam dalam mengerjakan salat kadha itu sama, maka hukumnya sunah berjamaah.
Jika tidak sama, maka hal itu menyelisihi keutamaan (khilaful aula), seperti halnya salat ada bermakmum dengan salat kadha atau sebaliknya, salat fardu dengan imam salat sunah atau sebaliknya, dan salat Tarawih bermakmum dengan imam salat Witir atau sebaliknya.
Tidak masuk dalam ketentuan “Maktubah”, adalah salat nazar dan salat sunah. Untuk jtu tidak sunah berjamaah, tapi juga tidak dimakruhkan melakukannya Imam An-Nawawi berkata. Al-Ashah, bahwa salat berjamaah hukumnya fardu kifayah atas laki-laki bahg, merdeka dan bermukim, untuk salat ada’ saja. Demikian itu dimaksudkan agar dapat menambah syiar di tempat didirikan jamaah.
Dikatakan: Hukum berjamaah adalah fardu ain, dan ini adalah . pendapat Imam Ahmad. Dikatakan lagi: Hukumnya adalah merupakan syarat sah salat. Kemuakkadan sunah berjamaah bagi wanita, tidak sekuat bagi laki-laki. Karena itu, kemakruhan meninggalkan jamaah hanya bagi laki-laki, bukan wanita.
Berjamaah salat maktubah di mesjid bagi laki-laki, adalah lebih utama. Memang! Jika jamaah. hanya didapati di rumahnya saja, maka inilah yang lebih utama. Demikian juga, di rumah lebih utama, Jika jamaahnya lebih banyak daripada di mesjid. Demikian inilah yang di: pegangi oleh Imam Al-Adzra’i dan Jainnya. Guru kami berkata: Ditinjau dari berbagai wajah, adalah kebalikannya.
Jika terjadi perlawanan antara fadhilah salat di dalam mesjid (tanpa berjamaah) dengan salat di luar mesjid (tapi dengan berjamaah), maka yang didahulukan adalah mana yang lebih jelas fadhilahnya (yaitu berjamaah). Karena fadhilah yang berkaitan dengan keadaan ibadah itu sendiri lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempat atau masanya. Sedangkan fadhilah yang berkaitan dengan masa itu lebih utama daripada yang berkaitan dengan tempatnya.
Disunahkan mengulangi salat maktubah (karena ada jamaah), dengan syarat jamaah tersebut berada pada waktunya, dan pengulangannya tidak lebih dari satu kali dalam hal ini guru dari Guru kami, yaitu Imam Abil Hasan Al-Bakri berpendapat lain (pengulangannya tanpa batas -pen), sekalipun salat yang pertama dilakukan secara berjamaah bersama orang lain, meskipun hanya seorang, baik dia mengulangi salatnya sebagai orang yang menjadi imam atau makmum dalam salat yang pertama atau kedua, dan dengan syarat-berniat fardu, sekalipun salat ini nanti menjadi sunah. Karena itu, ia harus berniat mengulangi salat yang difardukan.
Imam Al-Haramain memilih ketentuan, bahwa dalam hal ini hendaknya dijelaskan, salat Zhuhur atau Asar misalnya, tidak wajib menjelaskan kata. fardu. Demikianlah pendapat yang diunggulkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah. Tetapi, pendapat pertamalah yang diunggulkan Oleh kebanyakan ulama.
Yang dianggap salat fardu, adalah salat yang pertama Walaupun telah jelas, bahwa Salat pertama rusak (batal), Maka salat kedua tidak cukup Menjadi penggantinya, Menurut pendapar yang dipegangi Oleh Imam Nawawi dan Guru kami.
Lain halnya dengan pendapat guru beliau, yaitu Imam Zakariya, yang mengikuti Imam Al-Ghazali dan pendapat Imam Ibnul ‘Imad (mereka berpendapat, bahwa salat kedua tersebut bisa mengganti yang pertama -pen), Maksudnya, Jika dengan salat fardu.
Berjamaah dengan jamaah yang banyak, adalah lebih utama daripada jamaah yang sedikit pesertanya, berdasarkan sebuah hadis “.. lalu mana yang lebih banyak, itulah yang lebih disenangi “Allah swt.”,
Kecuali imam yang peserta jamaahnya melakukan bid’ah, misalnya ia beraliran Rafidhi atau melakukan kefasikan, sekalipun hanya sekadar dakwaan orang: Maka jamaah yang sedikit pesertanya adalah lebih utama. Bahkan salat sendirian adalah lebih utama (daripada berjamaah dengan imam yang melakukan bid’ah -pen). Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Guru kami dengan mengikuti guru beliau, Imam Zakariya r.a.
Demikian pula jika imam yang peserta jamaahnya banyak itu tidak beriktikad wajib atas sebagian dari rukun-rukun atau syarat-syarat salat (misalnya imam Hanafi, yang tidak beriktikad terhadap kewajiban membaca basmalah dan menghadap ‘Ainul giblah menurut persyaratan, tapi cukuplah dengan Jihatul giblah -pen), sekalipun dia sendiri melakukannya. Karena yang demikian ini berarti ia melakukan kewajiban yang dimaksudkan sebagai kesunahan, di mana hal ini dapat membatalkan salat menurut mazhab kita (Syafi’i). Atau (lebih utama jamaah yang sedikit pesertanya) jika yang sedikit itu dilaksanakan di dalam mesjid yang diyakini kehalalan tanah atau harta pembangunannya.
Atau karena mesjid -yang dekat dari tempat jamaah atau jauh menjadi kosong lantaran dia tidak hadir di situ, sebab dia menjadi imamnya atau orang-orang tidak mau hadir bilamana dia tidak hadir. Karena itu, jamaah di mesjid lebih utama daripada jamaah di tempat lain, sekalipun pesertanya banyak.
Bahkan sebagian ulama membahas, bahwa salat sendirian di mesjid yang menjadi kosong sebab kepergiannya, adalah lebih utama daripada berjamaah di lainnya. Menurut pendapat yang lebih beralasan, adalah kebalikannya. Apabila imam yang ada pada jamaah sedikit pesertanya itu lebih utama sebagai imam, misalnya karena ilmunya, maka ikut berjamaah dengan dia adalah lebih utama.
Apabila berlawanan antara khusyuk dengan berjamaah (jika salat sendirian bisa khusyuk, tapi jika berjamaah tidak bisa khusyuk -pren), maka yang didahulukan adalah berjamaah. Karena para ulama sepakat, bahwa fardu kifayah itu lebih utam daripada sunah. :
Imam Al-Ghazali menge uarkan fatwa, yang kemudian diikuti oleh Imam Abul Hasan Al-Badri dalam Syarah Kabir alal Minhaj, bahwa yang lebih utama adalah salat sendirian bagi orang yang tidak dapat khusyuk dengan berjamaah dalam sebagian besar salatnya.
Guru kami berkata: Memang demikian, jika kekhusyukan dalam salat hilang semua, maka salat sendiri adalah lebih utama (tapi dalam kitab Tuhfah dan Fat-hul Jawab, milik Guru kami tersebut, beliau tetap mengatakan yang lebih utama adalah jamaah -pen). Sedangkan fatwa Imam Ibnu Abdis Salam, bahwa khusyuk yang lebih utama secara mutlak, adalah fatwa yang bertitik tolak pada pendapat bahwa jamaah hukumnya sunah.
Apabila bertentangan antara bisa mendengarkan. bacaan Algur-an dari imam dengan jamaah yang pesertanya sedikit, tanpa dapat mendengarkan bacaannya, tapi pesertanya banyak, maka yang lebih utama adalah yang pertama,
Bagi orang yang salat sendirian, boleh niat bermakmum dengan imam di kala ia berada di tengah-tengah salatnya, sekalipun berselisih bilangan rakaat antara dia dengan imamnya. Namun, hal itu makruh hukumnya, kecuali bagi makmum yang keluar dari jamaah salat, karena semisal imamnya berhadas. Kalau demikian, tidaklah makruh ikut berjamaah dengan yang lain (baru).
Apabila mulai niat bermakmum di tengah-tengah salatnya, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imam. Kalau: ternyata imam telah: selesai terlebih dahulu, maka ia menyempurnakan salatnya seperti makmum masbuk. Jika imamnya tidak selesai dahulu, maka yang lebih utama adalah menantinya (daripada mufaraqah -pen). Hukum mufaraqah tanpa ada uzur adalah boleh, tapi makruh, karena itu, fadhilah jamaah terlepas.
Mufaraqah sebab ada uzur, misalnya ada kemurahan meninggalkan jamaah, karena imam meninggalkan kesunahan magsudah (sunah yang jika ditinggalkan disunahkan sujud sahwi, atau perbuatan sunah tersebut masih diperselisihkan akan kesunahan dan kewajibannya -pen), misalnya tasyahud awal, qunut dan membaca surah, atau karena imam memperpanjang salat, padahal makmumnya dalam keadaan lemah atau masih punya kesibukan, semua itu tidak menghilangkan fadhilah jamaah.
Terkadang mufaraqah itu hukumnya wajib. Misalnya terjadi sesuatu yang membatalkan salat imam, maka bagi makmum wajib mufaraqah seketika. Jika tidak, maka salatnya menjadi batal, sekalipun ia tidak mengikutinya. Hal ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Majmu’.
Fadhilah salat berjamaah bisa diperoleh bagi orang yang salat selain pada salat Jumat, selagi imam belum membaca salam. Maksudnya, helum sampai mengucapkan huruf mim pada lafal “alaikum” dalam salam Pertama, sekalipun ia tidak sempat duduk bersama Imam misalnya imam salam setelah ia bertakbuatul ihram,
Demikian itu, karena ia masih mendapatkan rukun bersama imam (yaitu takbiratul ihram ypen), karena itu, ja mendapat semua pahala berjamaah dan fadhilahnya. Tetapi di bawah keutamaan orang yang mendapatkan imam sepanjang salatnya.
Barangsiapa mendapatkan sebagian salat imam dari yang awal, kemudian karena ada uzur ia mufaraqah, atau imamnya keluar dari salat karena semacam hadas, maka makmum tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Tentang salat Jumat, adalah belum dianggap mendapatkan rakaat, kecuali telah mendapatkan satu rakaat, seperti akan diterangkan nanti.
Sunah bagi kelompok yang baru hadir, sedangkan imam telah selesai rukuk yang terakhir, agar mereka sabar sampai dengan imam salam, kemudian mereka mulai bertakbiratul ihram (berjamaah), jika memang waktu salat belum, sempit.
Sunah bersabar pula, bagi orang yang baru tertinggal sebagian salat imam, serta ia mengharap akan didirikan jamaah lain yang dapat ia ikuti keseluruhannya. Tetapi, Guru kami dalam hal ini berpendapat: Kesunahan di atas, jika dengan penantian itu tidak menghilangkan fadhilah awal waktu atau waktu ikhtiar, baik ia mengharap atau berkeyakinan akan didirikan jamaah lain. Sebagian ulama berfatwa: Apabila seseorang bermaksud mengikuti jamaah, tetapi ia tidak bisa menemukannya, maka baginya tetap ditulis pahala berjamaah, berdasarkan sebuah hadis.
Fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan dengan kedatangan makmum pada waktu imam sedang melakukannya, dan dia pun mengikutinya setelah itu tanpa menunda-nunda. Jika waktu imam bertakbiratul ihram makmum belum datang atau sudah datang, tapi ia menunda-nunda waktu, maka hilanglah fadhilah takbiratul ihram. Memang! Tetapi bisa diampuni apabila hal itu karena sedikit was-was.
Mendapatkan takbiratul ihram bersama imamnya, adalah suatu fadhilah tersendiri, yang diperintahkan pencapaiannya. Demikian ini karena hal itu merupakan pilihan dalam salat, dan karena orang yang bisa : melakukan terus-menerus selama empat puluh hari, baginya ditulis sebagai orang yang terbebas dari api neraka dan lepas dari nifak, sebagaimana tersebut dalam hadis. Dikatakan: Bahwa fadhilah takbiratul ihram bisa didapatkan, sebab mendapat sebagian berdiri imam.
Sunah tidak tergesa-gesa (waktu berangkat/berjalan berjamaah) sekalipun khawatir akan tertinggal takbiratul ihram. Demikian pula akan tertinggal jamaah menurut pendapat yang Ashah, kecuali salat Jumat: karena itu, wajib berjalan sekuatnya, jika berharap dapat menemukan takbiratul ihram sebelum imam membaca salam.
Sunah bagi imam dan yang salat sendirian, menanti orang yang baru masuk salat dengan maksud bermakmum, di saat rukuk atau tasyahud akhir: demikian itu mereka lakukan hanya karena Allah Ta’ala dan tanpa memperpanjang atau membeda-bedakan antara orang-orang yang masuk, sekalipun hal ini didasarkan atas ilmu yang dimiliki.
Sunah pula menanti di saat sujud kedua, dimaksudkan agar makmum muwafik bisa menyusulnya, guna menyempurnakan bacaan Al-Fatihah.
Tidak sunah menanti orang yang berada di luar tempa salat, sekalipun mesjidnya berbentuk kecil. Tidak sunah juga orang yang memang mempunyai kebiasaan lambat dan mengakhirkan takbiratul ihram sampai imam rukuk. Bahkan yang sunah adalah tidak menantinya sebagai pengajaran kepadanya. Imam Al-Faurani berkata: Haram menantinya, berdasarkan sifat cinta (bukan karena Allah).
Sunah bagi imam agar meringankan salatnya, karena masih melaksanakan sunah ab’adh dan haiat, asal jangan sampai mencukupkannya dengan mengerjakan “batas yang harus dilakukan” dan jangan mengerjakan yang paling sempurna, kecuali mahshur yang rela untuk diperpanjang.
Makruh bagi imam memperpanjang salatnya, sekalipun bertujuan agar orang-orang yang lain bisa menyusulnya. Jika orang yang sedang. salat (munfarid, imam maupun makmum) melihat semacam kebakaran, hendaklah mempercepat salatnya. Dalam hal ini, wajib ataukah tidak?
Di sini terdapat dua pendapat, pendapat yang beralasan mengatakan wajib, adalah karena menyelamatkan binatang yang dinilai mulia: dan baginya boleh mempercepat salat karena ingin menyelamatkan semacam harta benda.
Begitu juga, boleh mempercepat salat bagi orang yang mengetahui ada binatang muhtaram akan dianiaya oleh orang yang zalim: atau binatang itu akan tenggelam, maka wajib menyelamatkannya dan mengakhirkan salat atau membatalkannya bila ketepatan sedang salat: Kalau yang dianiaya orang zalim itu berupa harta, maka menyelamatkannya adalah boleh dan makruh jika meninggalkannya.
Makruh melakukan salat sunah setelah ikamah dikumandangkan, sekalipun tanpa seizin imam.: Apabila seseorang tersebut bertepatan masih dalam salat sunahnya, maka sunah menyempurnakannya jika ia tidak khawatir akan tertinggal dari jamaah. Apabila khawatir, maka yang sunah adalah memutusnya, lalu Mengerjakan (mengikuti) : Jamaah, jika ia sudah tidak mengharap akan didirikan Jamaah lain.
Jika ia hanya mencukupkan takbiratul ihram, maka takbir itu harus dimaksudkan untuk takbiratul ihram saja. Makmum masbuk juga menyempurnakan takbiratul ihramnya, sebelum imam berada pada posisi batas minimal rukuk. Kalau tidak bisa menyempurnakan sedemikian rupa, maka rakaatnya belum termasuk, kecuali bagi makmum yang belum mengerti hal itu, maka salatnya sebagai salat sunah.
Lain halnya jika masbuk itu niat untuk rukuk saja (maka rakaat/ salatnya tidak jadi), sebab di situ tidak terdapat takbiratul ihram, atau begitu juga niat rukuk dibarengkan takbiratul ihram (maka tidak jadi), sebab menyekutukan (antara fardu dengan sunah) atau juga kalau memutlakkan (tidak niat rukuk dan tidak niat takbiratul ihram, maka juga tidak jadi), sebab terjadi pertentangan dua garinah, yaitu garinah-takbir untuk iftitah dan turun melakukan rukuk.
Karena itu, wajib niat takbiratul ihram agar bisa terbedakan dengan takbir lawannya, yaitu takbir untuk rukuk. Kedua, dengan mendapatkan rukuk bersama imam yang sudah dapat dianggap cukup (sebagaimana imamnya adalah orang yang suci -pen). Sekalipun hal itu dilakukan oleh makmum secara gegabah, yaitu misalnya tidak segera mengerjakan takbiratul ihram hingga imam sudah rukuk.
Tidak masuk dalam kata “rukuk”, apabila makmum masbuk menemui imamnya pada selain rukuk, misalnya iktidal, juga dikecualikan dengan kata “rukuk yang mencukupi,bagi imam”, apabila rukuk imam tidak dianggap Cukup, seperti rukuk imam yang menanggung hadas (atau najis) dan rukuk imam pada rakaat tambahan (yang terjadi karena ia lupa, lantas berdiri -pen).
Terdapat di dalam kaidahkaidah Imam Zarkasi, yang kemudian dinukil oleh Imam Al-‘Allamah Abus Su’ud bin Zhuhairah di dalam. Hasyiyah Al-Minhaj, bahwa disyaratkan juga adanya imam harus Ahlit tahammul (menanggung). Karena itu, jika ia seorang anak kecil, maka bagi makmum masbuk di atas tidak bisa mendapatkan rakaat, sebab anak kecil itu bukan ahli tahammul.
Rukuk yang dilakukan oleh makmum masbuk tersebut harus sempurna. Misalnya harus berthuma’ninah sebelum imam kembali dari rukuknya dalam ukuran minimum, yaitu batas di mana dua telapak tangan telah sampai pada kedua lutut.
Demikian itu, mabuk harus berkeyakinan telah thuma’ninah bersama imamnya pada waktu rukuk. Apabila makmum masbuk tidak bisa berthuma’ninah dalam rukuknya sebelum imam kembali berdiri dari rukuk, atau masbuk merasa ragu atas pelaksanaan thuma’ninah, maka dia tidak bisa dihukumi mendapatkan rakaat.
(Setelah masbuk yang ragu tersebut menambah satu rakaat setelah imam salam), maka dia sunah bersujud sahwi -sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Al-Majmu’-, sebab keraguannya terjadi setelah salam imam, tentang bilangan rakaat yang berarti imam tidak bisa menanggungnya.
Dalam hal ini, Imam Al-Asnawi mengemukakan pembahasannya, bahwa hukumnya wajib mengikuti imam yang sedang rukuk, karena untuk mendapatkan satu rakaat dalam waktu salat. (Contoh masalah: Jika waktu salat sudah sempit, seseorang menemukan orang yang salat dalam keadaan rukuk: jika ia bermakmum dengannya, maka ia masih menemukan satu rakaat dan jika ia salat sendirian, maka Udak mendapatkan satu rakaat dalam waktunya, maka dalam keadaan seperti ini ia wajib mengikutinya -pen).
(Jika masbuk menemukan Imamnya sudah bertakbir intigal dari rukuknya -pen), bagi masbuk sunah ikut bertakbir intigal bersamanya. Karena itu, jika ia menemukan imamnya dalam keadaan iktidal, maka ia harus bertakbir untuk turun dan kepindahan rukun-rukun seterusnya, (Sedang apa yang dikerjakan tidak dihitung rakaatnya -pen): kalau mendapatkan imam dalam keadaan sujud, umpama -selain sujud tilawah-, maka ia tidak boleh ikut bertakbir untuk turun bersujud.
Sunah bagi masbuk mengikuti imamnya dalam membaca zikir yang ditemuinya bersama imam, yaitu membaca tahmid, tasbih, tasyahud dan doa. Demikian juga dalam hal membaca selawat atas keluarga Nabi saw., sekalipun pada tasyahud awal makmum, sebagaimana yang dikemukakan, oleh Guru kami (Ibnu Hajar).
Sunah membaca takbir bagi masbuk ketika akan berdiri sesudah sang imam dua kali salam, apabila duduk yang dilakukan bersama imam duduk tasyahud akhir itu tepat dengan duduk masbuk. ika ia salat sendirian, misalnya masbuk mulai masuk salat pada rakaat ketiga dalam salat yang berakaat empat atau kedua pada salat Magrib.
Kalau tidak bertepatan seperti itu, maka baginya tidak sunah bertakbir untuk berdiri. Sunah mengangkat tangan bagi makmum masbuk sebagai mengikuti imamnya yang hendak berdiri dari tasyahud awal, sekalipun hal ini tidak bertepatan dengan duduk tasyahud masbuk. Bagi masbuk tidak disunahkan duduk tawaruk pada selain duduk tasyahud akhirnya.
Sunah baginya tidak berdiri dahulu, kecuali setelah imamnya mengucapkan dua kali salam: dan haram baginya diam setelah kedua salam imam. Jika duduk tersebut bukan merupakan tempat duduknya (andaikata dia salat sendirian, yaitu daduk tasyahud awal -pen). Karena itu, jika dia diam dengan disengaja dan mengerti akan keharamannya, maka batal salatnya.
Masbuk tidak boleh berdiri sebelum salam imam (yang pertama). Kalau hal itu dilakukan dengan sengaja dan tanpa niat mufaragah, maka batallah salatnya. Yang dimaksudkan dengan mufaragah di sini, adalah mufaragah dari batas duduk. Tetapi, jika hal itu dilakukan karena lupa atau memang tidak mengerti akan masalah tersebut, maka semua perbuatan salatnya setelah berdiri itu tidak dianggap, sehingga ia kembali duduk, kemudian berdiri untuk meneruskan salatnya, setelah sang imam salam.
Sewaktu ia mengerti (atau ingat, bahwa ia berdiri sebelum sang imam salam -pen) dan ia tidak mau kembali duduk, maka batalah salatnya. Masalah ini berbeda dengan makmum yang berdiri meninggalkan imam dengan sengaja pada tasyahud awal. Makmum yang semacam ini, semua bacaan yang dibaca sebelum imam bediri (dari tasyahud awalnya), adalah dianggap sah, sebab ia tidak wajib kembali duduk lagi.
Syarat-syarat menjadi makmum itu, antara lain: Niat mengikuti imam, berjamaah atau bermakmum dengan imam yang hadir, niat salat bersamanya atau juga niat menetapkan diri menjadi makmum, yang niat itu semua wajib disertai takbiratul ihram. Karena itu, jika niat igtida’ tidak bersamaan takbiratul ihram, maka kalau yang dilakukan itu salat Jumat menjadi tidak sah, karena dalam pelaksanaan salat Jumat harus berjamaah, maka salat tetap sah sebagai salat sendirian, bukan jamaah.
Jika niat seperti tersebut ditinggal atau merasa ragu atas penunaiannya dan ia tetap mengikutkan perbuatan salatnya kepada orang lain, misalnya orang itu turun rukuk, ia mengikutinya atau mengikuti salam orang lain tanpa maksud iqtida’ serta menanti perbuatan atau salam (karena untuk ikut) dengan waktu yang cukup lama menurut ukuran umum, maka batal salatnya.
Niat menjadi imam atau berjamaah bagi imam selain salat Jumat hukumnya sunah, hal itu agar bisa memperoleh fadhilah jamaah, dan menghin-dari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya (Al-Khuruj minal khilaf, mustahab -pen). Niat menjadi: imam yang dilakukan bersamaan takbiratul ihram adalah sah,sekalipun di belakangnya hanya ada seorang jika ia percaya, bahwa orang tersebut akan berjamaah -menurut beberapa tinjauan-, sebab ia akan menjadi imam.
Imam yang tidak berniat menjadi imam, sekalipun karena tidak mengerti kalau ada beberapa orang yang mengikutinya, maka fadhilah jamaah bagi makmum-makmum tersebut tetap diperoleh, namun untuk sang imam tidak. Jika ia berniat menjadi imam di tengah-tengah salat, maka sejak itulah ia memperoleh fadhilah jamaah.
Mengenai imam dalam salat Jumat, maka niat menjadi imam hukumnya adalah wajib, sejak bertakbiratul ihram. Makmum tidak berada di tempat yang lebih depan daripada imam, dengan tumit yang dipandang secara yakin, sekalipun jari-jari makmum melebihi imamnya.
Tentang merasa ragu atas lebih maju, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa. Demikian juga tidak ada masalah, jika antara imam dan makmum bersejajar, tapi hal itu hukumnya makruh. Sunah mengambil tempat di arah kanan imam bagi laki-laki, ‘ sekalipun anak kecil, jika tidak ada makmum yang hadir lainnya.
Jika makmum tersebut tidak berdiri di sebelah kanan imam, maka bagi sang imam sunah memindahkan ke arah kanannya (tanpa mengerjakan perbuatan yang banyak -pen) sebab hal itu mengikuti Nabi. Tempat makmum tersebut agak ke belakang sedikit dari imam, sebagaimana jari-jari nakmum berada di belakang tumit sang imam.
Tidak masuk ketentuan lakilaki, apabila makmum adalah Wanita. Maka bagi wanita, hendaklah mengambil tempat di belakang imam dengan lebih membelakang. Kemudian, jika ada laki-laki lain yang baru datang, hendaknya mengambil tempat sebelah kiri imam dengan sedikit ke belakang.
Kemudian, setelah bertakbiratul ihram, dua orang makmum tersebut sunah mundur ketika masih berdiri atau rukuk, sehingga mereka membentuk barisan di belakang imam (jika kedua makmum tidak mau mundur, maka imam yang sunah maju atau ke depan -pen).
Sunah bagi dua orang makmum laki-laki yang kebetulan ” datang bersama atau beberapa orang laki-laki yang bermaksud igtida kepada imam, hendaknya berbaris di belakang imam.
Sunah mengambil tempat di baris pertama, yaitu baris yang tepat di belakang imam, sekalipun terhalangi oleh mimbar atau tiang, kemudian barisan setelah’ yang pertama dan seterusnya. Bagian setiap baris yang paling utama, adalah bagian kanan imam.
Jika dihadapkan antara berdiri sebelah kanan imam (tapi tidak pada baris pertama) dengan berdiri di barisan pertama (tapi tidak berada di sebelah kanan imam), maka hendaklah mendahulukan mana yang jelas fadhilahnya (yaitu barisan pertama). Dan jika dihadapkan antara berdiri di sebelah kanan imam (tapi jauh darinya) dengan berdiri di sebelah kiri, tapi dekat jaraknya dengan. imam, maka yang lebih utama adalah sebelah kanan imam.
Mendapatkan baris terdepan, adalah lebih utama daripada mendapatkan rukuk rakaat selain terakhir. Adapun mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir, adalah lebih utama jika dibandingkan bermaksud mendapatkan barisan pertama yang mengakibatkan tidak mendapatkan rukuk imam rakaat terakhir itu.
Makruh bagi makmum menyendiri di luar barisan yang tunggal jenisnya, jika ternyata baris tersebut masih ada lowongan, akan tetapi (yang sunah), adalah memasuki tempat itu.
Makruh memasuki barisan di mana barisan depannya belum penuh. Begitu juga makruh bagi laki-laki yang sendirian berdiri di sebelah kiri atau belakang imam, bersejajar atau ke belakang jauh. Semua kemakruhan di atas dapat menghilangkan fadhilah berjamaah, sebagaimana yang dijelaskan oleh fukaha. Sunah antara barisan satu dengan lainnya dan antara barisan pertama dengan imam, jaraknya tidak melebihi tiga hasta.
Sunah bagi makmum laki-laki berbaris di belakang imam, kemudian di belakang mereka adalah anak-anak, lalu wanita. Anak laki-laki tidak boleh dipindah ke belakang, kemudian ditempati laki-laki yang sudah balig. sebab mereka sama jenisnya.
Mengetahui gerak perpindahan salat imam, baik dengan melihat langsung atau melihat sebagian barisan, mendengar suara Imam atau penyambungan Suara Imam yang dapat dipercaya. Imam dan makmum berkumpul di tempat, demikian itu seperti diketahui pada jamaah-jamaah di masa yang telah lewat.
Karena itu, jika makmum dengan imam berada dalam mesjid, maka hukum igtida’ adalah sah, sekalipun jarak antara keduanya melebihi 300 hasta atau masing-masing bertempat di lain bangunan dalam mesjid tersebut. Termasuk di sini, dinding. atau serambi, yaitu tempat (daerah) di luar mesjid, tetapi dikilung Untuk memperluas mesjid. Baik serambi itu sudah diketahui akan status kewakafannya itau tidak, sebab melakukan lahir, yaitu “dikilung”. Asal tidak diyakinkan, bahwa serambi tersebut dibangun setelah pembangunan mesjid atau serambi itu bukan mesjid. Tidak termasuk dari mesjid adalah harim mesjid.
Yaitu tempat yang bersambung dengan mesjid dan disediakan untuk kemaslahatan mesjid, misalnya pancuran air dan tempat meletakkan sandal. Igtida’ menjadi sah, sekalipun jarak di antara: kedua beian pihak melebihi 300 hasta ataupun bertempat di lain jenis bangunan dalam mesjid itu. Lain halnya dengan orang yang berada dalam bangunan mesjid yang pintunya tidak dapat terus (menembus) ke tempatnya, seperti pintu tersebut dipaku, atau dia berada dalam loteng yang tidak bertangga, maka bermakmum yang demikian itu hukumnya tidak sah, sebab mereka dianggap tidak berkumpul.
Seperti tidak sah orang-orang di balik jendela dinding mesjid, yang dari tempat itu tidak bisa berjalan ke tempat imam, kecuali dengan berputar atau memuelok, misalnya ia mesti membelok dari. arah kiblat jika hendak masuk ke tempat imam.
Jika salah satunya berada di dalam mesjid, dan satu lagi berada di luarnya, maka disyaratkan: jarak antara orang yang berada dalam mesjid dan yang di luarnya, tidak melebihi 300 hasta dengan perhitungan kira-kira (jarak 300 hasta dihitung dari akhir mesjid dengan makmum -pen) dan di antara mereka tidak terdapat penghalang seandainya menuju pihak lainnya atau penghalang pandangan mata.
Atau dengan cara ada orang di antara para makmum yang bertempat di hadapan lubang pada tabir itu, jika mereka berdua berada dalam dua bangunan, misalnya yang berada di tengah rumah, sedangkan yang satu lagi berada di terasnya.
Atau bila yang satu berada dalam suatu bangunan dan yang satu lagi berada di tanah lapang, maka mereka disyaratkan juga seperti syarat yang telah lewat (jaraknya tidak jauh, tiada penghalang atau ada orang yang berdiri di lubang/jalan tembus -pen).
Apabila di antara keduanya terdapat penghalang yang dapat mencegah lewat ke arah mereka, misalnya jendela atau menghalangi pandangan mara, misalnya pintu yang tertutup, sekalipun tidak terkunci, karena dapat menghalangi untuk menyaksikan, dan sekali pun tidak menghalangi makmum untuk berjalan ke tempat imam semisal juga tabir yang terurai, atau tidak ada orang yang berdiri di jalan tembus (lubang), maka igtida’ ini tidak sah.
Apabila terdapat seorang yang berdiri di hadapan lubang (pintu) tembus hingga dapat melihat imam atau makmum yang salat bersama dalam bangunan imam, maka sah salat makmum yang berada di tempat lain dengan cara mengikuti orang yang menyaksikan tersebut.
Orang yang berdiri tersebut kedudukannya sebagai imam bagi makmum yang berada di tempat lain tadi, yang dengan demikian mereka tidak boleh mendahuluinya dalam posisi berdiri atau takbiratul ihramnya. Tapi mendahului dalam perbuatan salatnya, tidak mengapa.
Kebatalan salatnya tidak mempengaruhi salat makmum itu, asal hal ini terjadi setelah mereka bertakbiratul ihram .menurut beberapa wajah pendapat-. Masalah ini sebagaimana bila pintu tertutup oleh angin di tengah-tengah salat. Demikian ini karena: Sesuatu yang tidak bisa diampuni karena baru mulai, adalah dapat diampuni karena hanya meneruskan.
Apabila imam berdiri lagi untuk rakaat tambahan -misalnya rakaat kelima- sekalipun karena lupa, maka bagi makmum tidak boleh mengikutinya, walaupun ia berstatus makmum Masbuk, atau ja sangsi atas rakaatnya. Akan tetapi, makmum tersebut memisahkan diri dan salam atau menunggu imam (dalam tasyahud), menurut pendapat yang Muktamad.
Tidak sah bermakmum dengan orang yang berstatus menjadi makmum, sekalipun hanya diragukan adanya menjadi makmum yang sekalipun jelas berstatus menjadi imam.
Tidak termasuk dalam ketentuan “orang yang berstatus menjadi makmum”, apabila orang itu telah berakhir menjadi makmum. Misalnya makmum masbuk yang berdiri setelah imam salam, lantas ada orang lain bermakmum dengannya, maka salat orang ini adalah sah. Atau para makmum masbuk berdiri dan sebagian bermakmum kepada sebagian yang lain, maka ini pun sah menurut pendapat yang Muktamad, Tetapi hukumnya makruh.
Tidak sah qari’ bermakmum kepada imam yang umi, yaitu orang yang merusak bacaan Fatihahnya, baik sebagian, seluruhnya ataupun hanya satu huruf saja darinya. Misalnya, secara keseluruhan ia tidak bisa membacanya, atau tidak bisa membaca yang sesuai makhraj atau tasydid, sekalipun hal itu karena ia sudah tidak mungkin untuk belajar, karena makmum tidak mengerti atas keadaan imamnya. Demikian ini, karena ia tidak bisa menanggung bacaan Fatihah makmum, jika ia menemuinya dalam keadaan rukuk.
Sah bagi makmum yang gari’ bermakmum kepada imam yang disangka (dimungkinkan) seorang yang umi, kecuali imam tersebut pada salat jamaah jahriyah tidak mau membaca dengan suara keras. Untuk itu, ia wajib mufaragah dengannya. Jika ia masih terus bermakmum dalam keadaan tidak mengetahui kalau imamnya seorang yang umi, hingga salam, maka ia wajib mengulangi salatnya, selagi tidak tampak jelas, kalau imamnya adalah qari’.
Masalah ketidaksahan bermakmum kepada umi adalah jika tidak sama-sama uminya, antara imam dan makmum, dalam huruf Fatihah yang tidak mereka mampui. Misal, makmumnya yang dapat membaca dengan baik, atau salah satu pihak dapat membaca dengan baik terhadap huruf-huruf yang pihak lainnya tidak bisa.
Termasuk umi adalah “Aratta”, yaitu orang yang lantaran mengganti huruf, ia mengidghamkan huruf yang tidak semestinya. Juga “Altsagh”, yaitu orang yang mengganti huruf dengan huruf lain. Orang-orang tersebut jika ada kemampuan untuk belajar, tapi mereka tidak mau belajar, maka salatnya tidak sah. Kalau tidak mungkin, maka salatnya sah saja, sebagaimana sah pula imam-makmum sama-sama umi.
Makruh bermakmum kepada imam yang selalu mengulang huruf ta’ (dalam Fatihah) dan imam yang selalu mengulang huruf fa’ (dalam bacaan tasyahud), juga dengan imam lahn (aksi-aksian) yang tidak sampai mengubah makna, misalnya membaca,dhammah pada lafal لِلّهِ atau membaca fathah dalnya lafal. نعبد , Apabila lahn itu sampai mengubah makna dalam Fatihah, seperti أَنْعَمْتِ membaca kasrah atau dhammah pada lafal. أَنْعَمْتَ maka salat orang yang mampu untuk belajar, tapi tidak mau belajar adalah batal. Sebab yang dibaca itu bukan Qur-an lagi. Memang, jika waktu salat telah mendesak, maka ia tetap wajib salat demi menghormati waktu, dan nanti ia wajib mengulangi. nya, sebab ia berbuat ke salahan (dengan meninggalkan belajar).
Guru kami berkata: Yang jelas, orang yang lahn tersebut. bukan berarti membaca kalimat yang dimaksudkan sebenarnya, sebab apa yang dibaca dengan bacaan lain, pasti bukan Qur-an lagi. Karena itu, kesahan salat tidak digantungkan terhadap kalimat yang dilahnkan, tetapi pada sengaja melahn, sekalipun kejadian yang seperti ini juga dapat membatalkan salat.
Kalau lahn itu terjadi bukan pada Fatihah, maka salatnya tetap sah, begitu juga makmum dengannya. Kecuali bisa membaca secara tidak lahn, mengetahui hukum serta sengaja melakukannya, maka salatnya tidak sah, sebab berarti ia berkata berupa ucapan lain. Apabila salat menjadi batal lantaran lahn pada selain Fatihah ini, maka batal pul bermakmum dengannya. Namun, menurut. Imam Al Mawardi, yang batal hanyala bagi makmum yang mengerti keadaannya.
Imam As-Subki memilih pendapat yang sesuai dengan pendapat Imam Al-Haramain: Bagi orang seperti di atas, tidak boleh membaca selain Fatihah, sebab ia nanti akan mengucapkan perkataan yang bukan Qur-an, yaitu perbuatan yang membatalkan salat tanpa ada darurat, secara mutlak (baik ia dapat mengucapkan hal itu dengan benar ataupun tidak mampu -pen).
Apabila bermakmum pada seseorang yang dikira berhak menjadi imam, tetapi ternyata tidak, misalnya dikira gari’, bukan makmum, orang lakilaki atau berakal sehat, tetapi ternyata mereka adalah umi, bermakmum, wanita, atau orang gila, maka ia wajib mengulangi salatnya. Demikian ini, karena kelalaian tidak mau meneliti dahulu. Tidak wajib mengulanginya bagi orang yang bermakmum kepada imam yang dikira suci, tetapi ternyata menanggung hadas -sekalipun hadas besar-, atau membawa najis yang samar, sekalipun hal itu terjadi pada salat Jumat, bila telah melebihi 40 orang.
Sekalipun sang imam mengerti akan hadas dan najis pada dirinya, sebab tiada kelalaian pada makmum, karena tiada tanda akan najis dan hadas yang dapat diketahuinya. Dari sini, maka bagi makmum tetap mendapat fadilah jamaah. Apabila imam yang dikira suci tersebut menanggung najis yang lahir (kelihatan), maka makmum wajib mengulangi salat, karena kelalaianya.
Najis lahir adalah najis yang terdapat di luar baju, sekalipun : antara imam dan makmum terdapat penghalang. Pendapat yang Aujah dalam mengatasi najis lahir, adalah najis yang apabila makmum mau memperhatikan benarbenar, maka akan melihatnya. Sedangkan najis yang samar, adalah sebaliknya. Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahpg membenarkan untuk tidak wajib mengulangi salat secara mutlak (baik najis lahir maupun khafi).
Sah orang yang sehat bermakmum pada imam yang beser kencing, madzi atau kentut. Orang yang berdiri sah bermakmum pada imam yang salat duduk, orang yang berwudu pada imam yang tayamum, yang mana imam ,tersebut tidak wajib mengulangi salatuya sebab tayamum itu.
Makruh bermakmum pada imam yang fasik dan yang berbuat bid’ah, misalnya orang Rafidhi, sekalipun tidak terdapat imam selainnya. Hal ini jika memang tidak khawatir terjadi fitnah kalau tidak: bermakmum dengan mereka. Ada yang mengatakan: Bermakmum dengan mereka hukumnya tidak sah.
Makruh juga bermakmum pada imam yang was-was dan quluf. Tidak makruh bermakmum pada imam hasil zina, tetapi hal ini menyelisihi keutamaan. Iman As-Subki .dan pengikutnya memilih, bahwa bermak. mum pada imam-imam tersebut, tidak makruh lagi, jika memang hanya mereka saja yang ditemukan. Bahkan jamaah dalam keadaan.seperti itu, adalah lebih utama daripada salat sendirian.
Guru kami dengan kuat masih tetap menghukumi makruh dalam keadaan tersebut, bahkan yang lebih utama adalah salat sendirian. Sebagian Ash-habus Syafi’i berkata: Menurut pendapat yang Aujah bagiku, adalah apa yang dikatakan oleh Imam As-Subki ra.
Uzur jamaah, begitu juga salat Jumat:Hujan yang sampai membasahi pakaian, berdasarkan Sebuah hadis sahih, bahwa Nabi saw. memerintahkan agar Melakukan salat di pondokan Tasing-masing di waktu hujan lang. sampai membasahi bagian bawah sandal.
Lain halnya jika hujan tidak sampai membasahinya. Memang begitu, namun tetesan air dari atap-atap rumah di tepi jalan, sekalipun tidak sampai membasahinya, adalah dianggap suatu uzur, lantaran kemungkinan besar air itu membawa najis atau kotoran. Jalan berlumpur, sehingga sulit menghindari pengotorannya ketika berjalan atau tergelincir. Amat panas, sekalipun menemukan naungan untuk berjalan. Amat dingin. Amat gelap di malam hari.
Sakit parah, sekalipun belum boleh duduk dalam melakukan salat fardu. Tidak termasuk uzur, adalah sedikit pusing kepala. Menahan hadas, baik itu air kencing, berak atau kentut. Maka, makruhlah salat dengan menahan hadas, sekalipun khawatir tertinggal jamaah bila memenuhi hadasnya terlebih dulu/mengosongkan dirinya dari hadas, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan ulama. Penahanan hadas di tengahtengah melakukan salat fardu, adalah tidak diperbolehkan memutus salat itu.
Masalah penahanan hadas termasuk uzur ini, jika waktu salat masih longgar, kira-kira bila digunakan untuk mengosongkan diri dari hadas, masih cukup salat dengan sempurna.Kalau waktu sudah sempit, maka haram menunda salat sampai selesai, kemudian hadas terlebih dahulu. Tidak menemukan pakaian yang pantas, sekalipun menemukan penutup aurat.
Teman-teman bepergian bagi orang yang akan bepergian yang mubah telah berangkat, sekalipun akan aman jika sampai bepergian sendirian. Hal ini karena ada masagat kesepian dalam perjalanan. Takut terhadap orang zalim, bagi orang yang berhak untuk dilindungi (ma’shum), baik yang dikhawatirkan itu berupa harga diri, jiwa ataupun harta. Bagi pengutang yang belum dapat membayar, takut akan ditahan oleh pihak pemiutangnya.
Merawat orang yang sakit, sekalipun bukan sanak kerabatnya yang tidak ada orang yang merawatnya, sanak kerabatnya yang sakit keras: atau tidak sakit keras, tapi merasa gembira atas rawatannya. Sangat mengantuk pada waktu menunggu jamaah Sangat lapar dan dahagaز Buta, jika tidak ada penuntun jalan yang mau digaji dengan harga umum, sekalipun dapat berjalan dengan menggunakan tongkat.
Semua uzur di atas dapat menghapus kemakruhan meninggalkan jamaah, sekira dihukumi sunah, dan menghilangkan dosanya, sekira dihukumi wajib berjamaah. (Bagi orang yang meninggalkan jamaah sebab uzur), ia udak bisa mendapat fadilah jamaah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam AnNawawi dalam Al-Majmuk.
Selain Imam An-Nawawi memilih pendapat sebagaimana pendapat segolongan ulama Mutakadimin, bahwa fadilah jamaah tetap didapatkan, jika bermaksud melakukan jamaah andaikata tidak ada uzur.Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Sunah bagi orang yang meninggalkan Jumat tanpa uzur, agar bersedekah satu dinar atau setengah dinar, sebagaimana yang diterangkan hadis Abu Dawud dan lainnya.
Mengerjakan salat Jumat hukumnya fardu ain, jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Perintah melakukannya turun di Mekah. Namun di Mekah sendiri tidak diselenggarakan kala itu, karena belum cukup bilangan kaum.muslimin, atau karena syiarnya harus ditampakkan, sedangkan Nabi Muhammad saw. di Mekah masih sembunyi-sembunyi. Orang yang pertama kali mendirikan salat Jumat di Madinah sebelum Nabi saw. hijrah adalah As’ad bin Zurarah. Yaitu diselenggarakan di desa (kampung) yang ber’dekatan dengan kota Madinah.
Salat Jumat itu salat yang paling utama. Dinamakan dengan salat Jumat, karena banyak orang-orang yang berkumpul guna mengerjakan salat Jumat, atau karena Nabi Adam a.s ber: kumpul dengan Hawa di Muzdalifah pada hari Jumat. Dan karena itu, Muzdalifah dinamakan Jam’an.
Salat Jumat Itu wajib atas setiap orang Mukalaf, yaitu balig, berakal sehat, Jaki-laki dan merdeka, Karena itu, salat Jumat tidak wajib atas wanita, khuntsa dan budak, sekalipun budak Mukatab, Scbab mereka semua dianggap punya kekurangan.
Yang bertempat tinggal di tempat diselenggarakannya salat Jumat, Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah. Mereka tidak sedang uzur, misalnya sakit atau uzur-uzur lain, seperti yang ada dalam masalah salat jamaah. Karena itu, salat Jumat tidak wajib bagi Orang sakit yang tidak bisa hadir di tempat di selenggarakan Jumatan setelah matahari tergelincir ke arah barat.
Salat Jumat tetap sah, jika dikerjakan oleh orang yang punya uzur. Salat Jumat wajib dikerjakan oleh orang yang bermukim (sekalipun) didirikan salat, misalnya orang yang bermukim tetapi mereka tidak bisa mensahkan Jumat daerah tersebut -pen).
Salat Jumat juga tidak bisa terlaksana, dengan dipenuhi oleh budak atau anak-anak, tetapi salat mereka sah. Hanya saja mereka (mukim bukan mutawathin, mukim mutawathin, budak dan anak-anak) wajib menunda takbiratul ihram sampai sesudah takbir 40 orang yang sah Jumatnya dengan kepenuhan mereka ini, demikian yang disyaratkan oleh segolongan ulama Muhaggigin, sekalipun banyak ulama yang menentangnya.
Syarat Sah Jumat
وقيل: تجوز نية الظهر. وأفتى به البلقيني وأطال الكلام فيه. (و) ثانيها: وقوعها (بأربعين) ممن تنعقد بهم الجمعة، ولو مرضى، ومنهم الامام. ولو كانوا أربعين فقط وفيهم أمي واحد أو أكثر قصر في التعلم، لم تصح جمعتهم، لبطلان صلاته فينقصون. أما إذا لم يقصر الامي في التعلم فتصح الجمعة به - كما جزم به شيخنا في شرحي العباب والارشاد، تبعا لما جزم به شيخه في شرح الروض - ثم قال في شرح المنهاج: لا فرق هنا بين أن يقصر الامي في التعلم، وأن لا يقصر. والفرق بينهما غير قوي. انتهى. ولو نقصوا فيها بطلت، أو في خطبة لم يحسب ركن فعل حال نقصهم، لعدم سماعهم له. فإن عادوا قريبا عرفا جاز البناء على ما مضى، وإلا وجب الاستئناف، كنقصهم بين الخطبة والصلاة، لانتفاء الموالاة فيهما.
Syarat Sah Jumat Di samping syarat-syarat salat yang lain, salat Jumat juga disyaratkan atas enam perkara:
Harus dilaksanakan secara berjamaah, pada rakaat pertama, imam berniat menjadi imam dan makmum berniat bermakmum yang bersamaam dengan takbiratul ihram. Krena itu, salat Jumat a Mudah terpenuhi bilangan Jmaahnya (40 orang), adalah Tidak sah jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri (tidak berjamaah).
Pada rakaat keduanya disyaratkan harus berjamaah. Karena itu, jika imam pada rakaat pertama berjamaah dengan makmum 40 orang, lalu imam berhadas, lantas mereka meneruskan salatnya sendirisendiri, atau imam tidak berhadas, tetapi mereka memisah dari imam (mufaraqah) pada rakaat kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka sah Jumatannya. Memang! Orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada sampa mereka semua salam, sehingga apabila salah satu dari keempat Puluh Orang tersebut berhadas Sebelum salamnya, sekalipun Makmum yang lainnya sarah Salam, maka batallah sala Jumat mereka.
Apabila makmum masbuk mendapatkan rukuk imam pada rakaat kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salam, maka ia harus menambah satu – rakaat (sunah) dengan bacaan keras, dan salat Jumat sudah dianggap sempurna, jika Jumatan imam tadi sah. Demikian juga sempurna salat Jumat makmum masbuk lainnya, yang bermakmum kepada masbuk di atas dan ia masih mendapatkan satu rakaat bersamanya, demikianlah menurut fatwa Guru kami.
Orang yang baru mengikuti imam setelah rukuk imam rakaat kedua, menurut pendapat yang Ashah wajib niat salat Jumat, sekalipun yang harus dikerjakan adalah salat Zhuhur. Pendapat lain mengatakan, bahwa orang tersebut boleh berniat salat Zhuhur. Seperti ini pula Imam Al-Bulgini memfatwakan dan menguraikan secara panjang-lebar.
Salat Jumat harus dikerjakan oleh 40 orang termasuk imamnya, di mana mereka ini adalah orang-orang yang menjadikan kesahan Jumat, sekalipun sedang menderita sakit. Andaikata orang-orang yang sedang mendirikan salat Jumat itu 40 orang saja dan di antara mereka terdapat seorang atau lebih yang ummi, di mana ia malas untuk belajar, maka salat Jumat mereka tidak sah, sebab salat si ummi batal, yang berarti bilangan 40 orang menjadi berkurang.
Namua, jika si ummi tidak tagshir dalam meninggalkan belajar (sebagaimana ia tidak menemukan pengajar atau memang sangat bodoh/tumpul otaknya -pen), maka sah salat Jumat mereka, sebagaimana pendapat yang dipegang teguh oleh Guru kami dalam kitab Syarhul ‘Ubab dan Al-Irsyad, dengan mengikuti pendapat yang telah dimantapkan oleh gurunya dalam kitab Syarhur Raudh.
Kemudian dalam Syarhul Minhaj, Guru beliau berkata: Dalam masalah ini, tiada perbedaan antara ummi atau tagshir, atau tidak dalam hal belajar. Perbedaan yang ada di sini tidaklah kuat -selesai-.
Jika bilangan 40 itu berkurang di waktu salat (yaitu, pada . rakaat pertama), maka salat Jumat menjadi batal, kalau kurangnya di waktu khotbah, maka rukun khotbah yang dilakukan waktu bilang berkurang, adalah tidak dianggap, karena rukun tersebut tidak : didengarkan oleh mereka.
Jika dalam waktu dekat menurut ukuran umum, bilangan penuh lagi, maka boleh meneruskan rukun khotbah mulai dari rukun yang dikerjakan sebelum bilangan kurang tadi. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khotbah harus diulangi dari permulaan, sebagaimana jika bilangan berkurang antara khotbah dan salat, lantaran hilangnya sambung-menyambung antara khotbah dengan salat.
Seseorang yang mempunyai dua tempat tinggal pada dua daerah, maka yang dipandang sebagai tempatnya adalah yang banyak didiami, kalau keduanya sama, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami oleh keluarga dan harta bendanya. :
Jika di satu tempat terdapat keluarganya, dan di tempat yang satu lagi terdapat harta bendanya, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami keluarganya, Apabila masing-masing terdapat keluarga dan hartanya, maka yang dianggap sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami di waktu terselenggara salat Jumat.
Salat Jumat tidak jadi (tidak sah) dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang 40. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah r.a., menurut beliau salat Jumat tetap sah dengan jumlah empat orang (dengan imamnya), sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musafir.
Menurut pendapat kita (Syafiyah), penyelenggaraan salat Jumat itu tidak disyaratkan harus mendapat ijin dari penguasa (pemerintah’/sultan) dan tempatnya tidak harus di mishr (kota). Lain halnya dengan pendapat linam Abu Hanifah yang menyaratkan kedua hal di atas. Imam Al-Bulqini ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan salat Jumat atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan salat Zhuhur, menurut mazhab Syafi’i.
Segolongan ulama memperbolehkan mereka (yang kurang dari 40 orang) melakukan salat Jumat, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut, maka bolehlah, dan salat Jumatnya adalah sah. kalau ingin hati-hati, hendaknya mereka melakukan salat Jumat, lalu mengerjakan salat Zhuhur, Hal itu adalah baik.
Diselenggarakan salat Jumat pada tempat yang termasuk balad (baik itu wilayah ibukota, daerah ataupun desa -pen), sekalipun daerah padang (tanah lapang) yang masuk wilayahnya. Sebagaimana salat Jumat sejauh jarak yang tidak diperkenankan menggasar salat, sekalipun tidak bersambung dengan bangunan. Lain halnya tempat yang sudah tidak wilayahnya, yaitu tempat jauh yang kalau seseorang pergi ke sana sudah diperbolehkan menggashar salat.
Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan salat Jumat. Bahkan menurut pendapat yang Muktamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah, yang sekalipun ia masih mendengar panggilan salat Jumat dari daerah lain tersebut.
Imam Ibnur Rifah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat Mendengar panggilan salat Jumat dari Mishr (kota, yaitu tempat yang terdapat hakim syar’i, hakim Syurthi/hakim yang menangani tindak kriminal, dan terdapat pasar untuk muamalah -pen), maka boleh memilih antara pergi ke balad (tempat yang hanya terdapat sebagian dari yang ada pada mishr -pen) untuk menunaikan salat Jumat atau menyelenggarakannya di desanya sendiri.
Apabila mereka pergi ke desa (dalam masalah di atas), maka mereka tidak bisa menyempurnakan bilangan kesahan Jumat, sebab berkedudukan sebagai musafir. Jika di desanya sendiri tidak ada golongan yang mendukung kesahan salat Jumat -sekalipun dengan memper- hitungkan di antara mereka ada yang tidak mau pergi salat Jumat-, maka mereka wajib menunaikan salat Jumat di desa sebelahnya, yang mereka masih mendengar panggilan salat Jumat dari tempat itu.
Imam Ibnu ‘Ujail berkata: Apabila ada beberapa tempat (desa) yang berdekatan, serta masing-masing mempunyai nama tersendiri, maka dihukumi sebagai tempat tersendiri (jika sudah mencapai bilangan 40 orang penduduknya, maka wajib menyelenggarakan salat Jumat -pen). Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.
Apabila penguasa memaksa penduduk suatu desa agar berpindah dari desanya dan membangun tempat di daerah yang baru, yang kemudian tinggal di situ, tetapi mereka bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal yang pertama bila Allah swt. telah melonggarkannya, maka mereka tidak wajib menunaikan salat Jumat di tempat tersebut (tempat baru). Bahkan belum cukup Syarat sah salat Jumat bagi mereka, sebab mereka tidak mutawathin (penduduk daerah Itu).
Salat Jumat diselenggarakan Pada waktu Zhuhur. Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan salat Jumat dan kedua khotbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus mengerjakan salat Zhuhur.
Jika dengan yakin atau hanya mengira waktu salat sudah habis, sedang mereka ada di tengah-tengah mengerjakan salat Jumat -sekalipun sebelum/ hampir saja salam-, jika hal itu atas berita orang yang adil: (menurut pendapat yang Aujah), maka mereka wajib meneruskan salatnya sebagai salat Zhuhur, dengan meneruskan apa yang sudah berlangsung, dan salat Jumat sudah tertinggal. Lain halnya jika hanya mengira/ragu, bahwa waktu Zhuhur sudah habis (tetap wajib mengerjakan salat Jumat), sebab pada dasarnya waktu masih ada (belum habis).
Termasuk syarat sah salat Jumat, adalah tidak didahului salat Jumat (lain) dengan takbiratul ihram atau dibarenginya di tempat terselenggara salat Jumat di tempat itu . Kecuali jika penduduk tempat tersebut banyak dan sukar dikumpulkan jadi satu tempat sekalipun tidak di mesjiddengan tanpa terjadi sesuatu yang menyakitkan di tempat itu, misalnya panas atau dingin sekali. Maka dalam keadaan seperti ini, boleh menyelenggarakan salat Jumat di beberapa tempat itu, dengan memandang kebutuhannya.
Cabang:
Orang yang tidak beruzur, adalah tidaklah sah mengerjakan salat Zhuhur sebelum imam salat Jumat salam. Jika hal ini dilakukan karena tidak mengerti, maka salat yang dilakukan jadi salat sunah.
Jika semua penduduk suatu daerah hanya mengerjakan salat Zhuhur, tanpa salat Jumat, maka salat mereka tidak sah, selagi masih ada untuk mengerjakan dua khotbah dan salatnya, sekalipun telah diketahui bahwa mereka pada kebiasaannya tidak mendirikan salat Jumat.
Salat Jumat diselenggarakan setelah dua khotbah yang dikerjakan sesudah tergelincir — matahari, berdasarkan hadis Imam Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah saw. salat Jumat selalu setelah dua khutbah. Maksudnya, salat Jumat tersebut diselenggarakan setelah dua khotbah beserta rukun-rukunnya yang akan dituturkan di bawah ini.
Rukun khotbah salat Jumat ada lima perkara: Memuji kepada Allah swt.
2, Membaca salawat kepada baginda Nabi saw. keduanya (masing-masing khotbah) dikerjakan dengan lafal yang khusus. Yaitu untuk puji-pujian, seperti:.الحمدلله atau احمدلله Karena itu tidaklah mencukupi dengan mengucapkan: الشكرلله, الحمد للرحمن, الثناءلله, الحمدللرحيم,
Untuk salawat contohnya: اللهم صلى, صلى الله, أصلى على محمد, احمد, الرسول, النبي Atau juga dengan nama Nabi saw. yang lain lagi.
Karena itu, tidaklah mencukupi dengan membaca: اللهم سلّم على محمدوارحم محمد atau صلى الله عليه hanya menggunakan isim dhamir, sekalipun tempat kembali dhamir sebelumnya sudah diturunkan, sebagai mana yang dijelaskan oleh segolongan ulama Muhaqqiqun. Imam Al-Kamalud Damiri berkata: Banyak sekali para khatib yang melupakan hal ini (yaitu membaca salawat hanya menggunakan Isim Dhamir) -selesai-. Karena itu, anda janganlah tertipu dengan penggunaan isim dhamir dalam pembacaan salawat di sebagian khotbah-khotbah AnNabatiyah yang bisa anda temukan sudah tertulis itu, hal ini berselisih dengan pendapat ulama Muhaggigun golongan Mutaakhir (pembacaan salawat seperti ini tidak cukup).
Wasiat takwa kepada Allah. Kata-kata dan panjangnya tidak ditentukan, namun cukuplah dengan mengucapkan semisal: أطيعواالله yaitu kalimat yang mengandung anjuran untuk taat kepada Allah atau larangan mendurhakai-Nya. Karena. wasiat itulah maksud diadakan khotbah.
Karena itu, tidaklah cukup hanya menakut-nakuti dari bujukan dunia, memperingatkan kematian, ketidakenakan dan kesakitan sesudah mati. Imam Ibnur Rifah berkata: Wasiat cukup dengan kalimat yang mengandung Perintah, agar bersiap-siap menyambut kematian. Ketiga rukun diatas disyaratkan harus dibaca pada masingmasing dua khotbah Jumat.
Sunah bagi seorang khatib, agar menertibkan dalam mengerjakan ketiga rukun tersebut dan rukun-rukun setelahnya. Sebagaimana 1a pertama membaca Hamdalah, salawat, wasiat, membaca Algur-an, lalu membaca doa.
Membaca Alqur-an yang memberi kepahaman, pada salah satu dua khotbah. Yang lebih utama adalah dibaca pada khotbah pertama. Sunah setiap hari Jumat Membaca surah Qaaf, atau Sebagian dari surah itu setelah Salat Jumat -sebagai tindak Ittiba’ kepada Rasul. Doa Ukhrawi, untuk sekalian orang-orang mukmin.Doa telah sah, sekalipun tidak menyebutkan mukminat (wanita-wanita mukmin), lain halnya dengan pendapat Imam AlAdzra’i.
Sah juga, sekalipun hanya dengan mengucapkan: رحمكم الله (Semoga Allah merahmati kalian” semua), de mikian pula dengan ucapan: اللهم أجرنامن النار ” (Ya, Allah, selamatkan kami dari panas api neraka), jika memang yang dimaksudkan dengan “kita” adalah hadirin sekalian. Doa tersebut ‘harus dibaca pada khotbah kedua, sebagai tindak mengikuti ulama salaf dan khalaf.
Doa khusus untuk sultan (penguasa), ulama sepakat tidak disunahkan. Kecuali jika khawatir akan terjadi fitnah, maka doa untuk sultan wajib dikerjakannya. Kalau tidak khawatir akan terjadi fitnah, maka mengerjakannya tidaklah mengapa, selama tidak berlebih-lebihan dalam menyebut sifat sultan. Tidak boleh menyebutkan sifat sultan yang tidak semestinya kecuali jika terpaksa harus begitu.
Sunah berdoa untuk para wali/ penguasa dari golongan sahabat Nabi saw. secara pasti, begitu juga doa untuk penguasa muslim dan tentaranya, dengan dipanjatkan kemaslahatan, pertolongan, dan berlaku adil. Menyebut kebaikan-kebaikan (keistimewaan) penguasa, adalah tidak akan memutus sambung-menyambung: khotbah, selama penyebutan itu tidak dapat dianggap berpaling dari khotbah.
Dalam kitab At-Tawasuth (yaitu At-Tawasuth bainar Raudhah wasy-Syarh, ulasan terhadap kitab Ar-Raudhah. Kitab tersebut ditulis oleh Imam AlAuza’i -pen) disebutkan: DiSyaratkan agar tidak memperpanjang khotbah yang sampai dapat memutus sambung-menyambungnya (doa untuk Para penguasa pemerintahan disyaratkan agar tidak diperpanjang, sehingga dapat memutus muwalah, yaitu seukur dua rakaat -pen), sebagaimana yang banyak dilakukan oleh khatib-khatib yang bodoh.
Guru kami berkata: Apabila telah selesai khotbah merasa ragu tentang meninggalkan rukunnya, maka tidak bernengaruh atas ” kesahan khotbah, sebagaimana tidak adanya pengaruh jika setelah salat atau wudu meragukan meninggalkan fardunya.
Syarat-syarat Dua Khotbah
Disyaratkan dalam dua khotbah: Terdengar oleh 40 orang. Maksudnya oleh 39 orang selain seorang khatib, yang kesemuanya adalah orangorang yang menjadi pendukung kesahan salat Jumat. Yang harus terdengar tersebut, adalah rukun-rukun khotbah, bukan seluruh isi khotbah.
Guru kami berkata: Tidak wajib menunaikan salat Jumat bagi 40 orang, yang sebagiannya ada yang buta, salat Jumat tidak sah, jika terjadi keributan yang dapat membuat rukun khotbah tidak terdengar, menurut pendapat yang Muktamad. Sekalipun pendapat tersebut ditentang oleh segolongan ulama yang hanya mensya ratkan menghadiri khotbah saja, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan dua guru kami (Imam Rafi’i dan Nawawi) pada beberapa tempat.
(Di waktu mendengarkan khotbah, udak disyaratkan bahwa 40 orang iu harus berada di tempat salat dan tidak harus memahami apa yang mereka dengar, Khotbah disyaratkan harus dengan berbahasa Arab (maksudnya rukun-rukun khotbah), sebagai mengikuti jejak ulama salaf dan khalaf
Faedah khotbah harus berbahasa Arab -padahal hadirin tidak mengetahuinya/tidak paham-, adalah agar mereka mengerti secara garis besar bahwa apa yang dikhotbahkan adalah nasihat, demikianlah menurut yang dikatakan oleh lmam Al-Qadhi Husen.
Jika tidak memungkinkan mempelajari khotbah dengan bahasa Arab, padahal waktu sudah mendesak, maka salah scorang dari mereka harus berkhotbah dengan bahasa daerah yang bersangkutan. Jika mereka memungkinkan untuk mempelajari khotbah berbahasa Arab (sebelum waktu mendesak), maka bagi mereka hukumnya fardu Kifayah untuk mempelajarinya.
Khatib yang mampu berdiri harus berdiri. Suci dari hadas besar dan kecil, serta pakaian, badan atau tempat juga harus dicuci dari najis yang tidak dima’fu. Menutup aurat. Duduk di antara dua khotbah: dengan thuma’ninah. . Sunah duduk ini dilakukan seukur membaca surah Al-Ikhlas, dan sunah membacanya.
Bagi khatib yang karena uzur, sehingga dia berkhotbah dengan duduk, maka dia wajib memisah dua khotbah dengan diam sebentar.
Tersebut dalam kitab Al-Jawahir: Apabila antara dua khotbah khatib tidak duduk, maka dua khotbahnya dihitung satu khotbah. Karena itu, ia harus duduk lagi dan meneruskan khotbah yang ketiga. Sambung-menyambung antara dua khotbah, antara rukun-rukunnya, dan antara dua khotbah dengan salat: sebagaimana tidak terpisah panjang menurut ukuran umum.
Dalam keterangan yang akan datang, bahwa hilangnya muwalah (sambung-menyambung) antara dua rakaat yang dijamak (dalam jamak takdim) adalah dengan melakukan dua rakaat, bahkan juga bisa terjadi dengan dua rakaat yang sudah mencukupkan kesahan salat (sebagaimana seseorang hanya mengerjakan rukun-rukunnya saja -pen).
Batasan tersebut, tidaklah jauh. untuk diterapkan pada masalah muwalah dua khotbah di sini, yang sekaligus menjadi keterangan mengenai “ukuran amum”
Kesunahan bagi orang yang akan menghadiri salat Jumat, sekalipun ia tidak wajib menghadirinya: Mandi. Yaitu meratakan air ke seluruh badan dan kepala. Jika tidak dapat mandi, maka sunah bertayamum dengan niat mandi.
(Waktu) mandi adalah setelah terbit fajar. Seyogianya (sunahnya) bagi orang yang berpuasa, yang kalau mandi dia khawatir puasanya menjadi batal, agar tidak usah mandi Jumat, begitu juga dalam hal mandi-mandi sunah. Mandi yang dikerjakan dekat dengan pergi salat Jumat, adalah lebih utama.
Jika terjadi Pertentangan antara mandi dahulu (tapi tidak bisa berangkat Jumat pagi-pagi) dengan tabkir (berangkat salat Jumat pagi-pagi, tapi tidak bisa mandi), maka yang lebih utama adalah mandi lebih dahulu, sebab menghindari perselisihan dengan ulama yang menghukumi wajib mandi Jumat. Dari segi ini, meninggalkan mandi hukumnya adalah makruh. Termasuk mandi-mandi sunah, adalah Mandi dua Hari Raya, Gerhana Matahari atau Bulan, Istisga’, mandi-mandi sunah di waktu beribadah haji, setelah memandikan mayat, akari Iktikaf, di setiap malam bulan Ramadhan, setelah berbekam, di kala badan berbau tidak sedap dan orang kafir manakala masuk Islam, karena ada perintah melakukannya (dari Nabi, orang seperti ini).
Orang kafir yang baru masuk Islam tidak diwajibkan mandi karena banyak sekali orangorang kafir masuk Islam, mereka (oleh Nabi saw.) tidak diperintahkan mandi. Hal ini jika memang di kala kafir tidak terjadi perkara yang mewajibkan mandi, misalnya janabah atau lain-lainnya. Jika di kala kafir terjadi hal seperti itu, maka mandi baginya adalah wajib, sekalipun di kala kafir ia sudah mandi, sebab niatnya dianggap batal. Di antara mandi-mandi di atas, yang paling kuat kesunahannya adalah mandi Jumat, lalu mandi setelah memandikan mayat.
Guru kami berkata: Sunah hukumnya mengadha mandi Jumat dan mandi-mandi lainnya. Kalau seseorang dianjurkan mengadha, karena jika ia mengerti kalau meninggalkan diperintahkan mengadha, maka ia akan terus mengerjakannya dan menjauhi dari mengabaikannya.
Berangkat salat Jumat pagipagi, selain khatib. yaitu setelah terbit fajar. Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim, bahwa sesungguhnya orang yang berangkat salat Jumat setelah mandi seperti mandinya sesudah janabah, adalah pendapat yang mengatakan: Memang mandi janabah hakiki setelah bersetubuh (lantas berangkat salat Jumat), sebab bersetubuh di malam atau hari Jumat hukumnya sunah, apabila pergi salat Jumat pada waktu pertama, maka mendapat pahala sebesar kurban seekor unta, waktu kedua sebesar sapi, waktu ketiga sebesar kambing gibas yang bertanduk, waktu keempat sebesar jago, waktu kelima sebesar burung emprit, waktu keenam sebesar butir telor. Yang dimaksudkan dengan waktu-waktu tersebut : antara terbit fajar hingga khatib keluar dari rumah itu dibagi menjadi enam bagian yang sama, baik di kala hari itu panjang ataupun pendek.
Bagi sang imam, sunah berangkat akhir hingga waktu khotbah, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi s aw.Sunah pergi ke tempat salat berjalan kaki dengan tenang melewati jurusan jalan yang jauh, kemudian pulangnya lewat jalan lain yang lebih dekat. Hal ini pula berlaku untuk ibadah-ibadah yang lain.
Hukumnya makruh lari waktu pergi salat Jumat dan juga ibadah-ibadah lainnya, kecuali waktu telah mendesak, maka wajib berlari, kalau tidak demikian akan tertinggal.Berhias diri dengan memakai pakaran yang paling bagus. Yang paling utama adalah pakaian putih. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah pakaian yang pewarnaannya sebelum di tenun. (Dalam hal ini) Gury kam berkata: Makruh memakai pakaian yang pewarnaannya (pencelupannya) sesudah ditenun, sekalipun tidak dengan warna merah.
Haram memakai pakaian dari sutera, sekalipun sutera “quz” yaitu jenis sutera berwarna kelabu, dan memakai pakaian yang kadar suteranya lebih banyak dari segi timbangannya, bukan tampaknya. Tidak haram jika kadar sutera lebih sediki atau yang sama, banyaknya. Apabila diragukan tentang lebih banyak suteranya, Maka asal hukumnya adalah halal dipakai menurut beberapa tinjauan pendapat.
Halal memakai sutera berperang, jika tidak ada Pakaian yang lain, atau tidak ada penggantinya sebagai Penolak pedang (senjata):
Imam Ibnur Rif’ah dalam kitab Kifayah, membenarkan pendapat segolongan ularna yang memperbolehkan memakai baju kurung atau lainnya dari sutera yang patut untuk berperang, sekalipun masih ada yang bukan sutera, karena untuk menggentarkan orangorang kafir, sebagaimana diperbolehkannya menghiasi pedang dengan perak, atau memakai sutera karena suatu kebutuhan, misalnya gatalgatal, di mana memakai selain sutera, terasa sakit, atau pada sutera itu justru terdapat kemanfaatan yang tidak dapat ditemukan pada lainnya, atau kutu seperti banyak kutunya yang tidak dapat diberantas dengan selain sutera: dan boleh digunakan (dipakai) oleh wanita, sekalipun untuk alas, namun tidak halal untuk alas orang laki-laki tanpa ada pemisahnya.
Halal bagi laki-laki menggunakan sutera untuk tali tasbih, kancing baju, kantong Mushhaf atau tempat dirham (uang), tutup serban atau bendera di ujung tombak, Tidak halal untuk kuncung di pucuk tasbih.
Wajib bagi laki-laki memakai sutera untuk menutup aurat, jika tidak ada yang lainnya, sekalipun di ternpat persepian. Boleh memakai pakaian yang dicelup dengan apa pun warnanya, kecuali yang dicelup dengan za’faran. Juga boleh memakai pakaian najis di luar salat, asal tidak basah.
Tidak boleh memakai kulit bangkai tanpa ada darurat, – sebagaimana tidak boleh beralas dengan kulit binatang – buas, misalnya singa. Boleh memberi makan semisal burung, bukan kepada orang kafir, dengan makanan bangkai, begitu Juga 7 memberi: makan pada ternak dengan makanan yang terkena najis.
Halal, namun makruh, memakai gading gajah yang tidak basah di atas kepala dan pada, jenggot: membuat penerangaik dengan benda bernajis yang bukan najis mughalladhah selain di mesjid, sekalipun hanya sedikit asapnya, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama (mereka mengatakan, bahwa menerangi mesjid dengan benda najis hukumnya adalah tidak haram). Begitu juga (halal) merabuk tanah dengan najis. Tidak halal memelihara anjing selain bertujuan untuk berburu atau menjaga keamanan harta benda.
Makruh, sekalipun bagi wanita, menghiasi selain Ka’bah, misal: nya makam orang yang saleh, dengan kain selain sutera, kalau dengan sutera, hukum-. nya adalah haram (Kalau untuk Ka’bah, hukumnya halal menghiasi dengan sutera -pen). Memaka: serban, Berdasarkan sebuah hadis yang Artinya: “Sesungguhnya Allah suk, dan madaikat-Nya membacakan salawat kepada orang-arang yang memaka: serban di hari Jumat.” Memakai serban, sunah juga di semua salat.
Dalam sebuah hadis daif disebutkan fadilah membesarkan serban ). Seyogianya panjang-lebar serban diatur sesuai dengan yang memakainya, sebagai yang biasa dipakai pada masa dan tempat tersebut. Kalau melebihi, ykuran tersebut, hukumnya makruh. Harga diri (muruah) seorang ahli fikih hilang, lantaran memakai serban pasaran yang tidak patut baginya: sebaliknya, muruah bertambah jika memakai yang sesuai.
Para ahli hadis berkata: Mengenai panjang dan lebar serban Baginda saw., adalah tidak ada yang menerangkan seberapa. Imam Ar-Rafi’i dan An-Nawawi berkata: Bagi orang yang memakai serban, dia boleh Menambah sepotong kain di pucuk serban atau tidak, keduaduanya sama-sama tidak makruh.
Imam An-Nawawi menambah: Yang demikian itu, karena satu pun tidak didapati dasar yang sah tentang larangan tidak menambah kain di pucuk serban. -Habis-. Tetapi, tentang menambah kain di pucuk serban, terdapat hadis-hadis sahih dan hasan. Para fukaha menerangkan, bahwa pada dasarnya hukum memakai tambahan di pucuk serban adalah sunah.
Guru kami berkata, Menyelempangkan pucuk serban pada antara dua pundak, adalah lebih utama daripada hanya meletakkannya di kanan saja. Sedangkan penyelempangan di pundak kiri saja, adalah tidak ada dasarnya. Sesuai dengan hadis yang : sampai, paling tidak kain yang ada pada pucuk serban panjangnya empat jari, dan paling panjang satu hasta.
Imam Ibnul Hajj Al-Maliki berkata: Jangan sampai anda memakai serban sambil berdiri, dan memakai celana dengan duduk.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Makruh berjalan dengan memakai satu sandal, memakai sandal sambil berdiri, memakai kelintungan pada sandal, dan bagi orang yang sedang duduk, dimakruhkan berdiri untuk pergi sebelum zikir kepada Allah swt.
(Bagi orang yang akan pergi salat Jumat) memakai harumharuman, selain orang yang sedang berpuasa, menurut beberapa tinjauan pendapat. Hal ini berdasarkan sebuah hadis sahih, bahwa sesungguhnya mengumpulkan antara mandi, memakai pakaian yang bagus, memakai harumharuman mendengarkan khotbah secara saksama dan tidak melangkahi pundak orang lain, adalah dapat menghapus dosa-dosa (dosadosa kecil) yang ada di antara dua Jumat.
Menggunakan misik, adalah lebih utama. Ketika mencium misik, tidak disunahkan membaca salawat kepada Nabi saw., namun yang lebih baik adalah membaca Istigfar, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kami.
Sunah berhias dengan memotong kuku di kedua tangan dan kaki, kalau yang dipotong hanya salah satunya, hukumnya makruh, memotong rambut yang ada, semisal rambut ketiak dan kelamin, bagi selain orang yang akan berkurban pada tanggal 10 Zulhijah. Demikian itu adalah sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw.
Juga mencukur kumis sampai kelihatan warna merah bibir, dan menghilangkan bau busuk serta kotoran yang ada di badan. Menurut pendapat yang Muktamad, cara memotong kuku dua tangan, adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, setelah itu memotong kelingking kiri sampai ibu jari secara urut, sedangkan cara memotong kuku kaki, adalah dimulai dari kelingking kaki kiri secara urut. Setelah memotong kuku, seyogianya mencuci tempat yang dipotong.
Sunah melakukan pemotongan kuku, seperti yang tersebut di atas pada hari Kamis atau di pagi hari Jumat. Imam Al-Muhib Ath-Thabari menghukumi makruh mencabuti bulu hidung. Katanya: Akan tetapi, hendaknya digunting, karena berdasarkan hadis yang menjelaskan hal ini. Imam Asy-Syafi’i berkata: Barangsiapa bersih pakaiannya, maka sedikitlah susahnya, barangsiapa harum baunya, bertambahlah kecerdasannya.
6.Mendengarkan khotbah dengan saksama. Inshat seperti tersebut, adalah sunah dikerjakan, sekalipun bagi orang yang tidak mendengar khotbah. Memang! Tetapi yang lebih utama bagi orang yang tidak mendengar khotbah, adalah terleka dengan membaca Alqur-an atau zikir secara pelan-pelan.
Makruh hukumnya, berbicara ketika khotbah dibaca. Hal ini tidak sampai haram. Lain halnya dengan pendapat tiga imam (selain Imam Syafri). Tidak makruh berbicara sebelum khotbah dimulai, sekalipun si khatib sudah duduk di atas mimbar, selesai khotbah, di antara dua khotbah, ketika berdoa untuk raja, dan tidak makruh berbicara bagi orang yang masuk mesjid (di tengah-tengah khotbah), kecuali jika ia minta tempat dan duduk di situ.
Makruh bagi orang yang masuk mesjid (di tengah-tengah khotbah), mengucapkan salam, sekalipun tidak mengambil tempat untuk dirinya, sebab hal ini akan merepotkan hadirin Jumat yang diberi salam. Jika ternyata orang tersebut memberi salam, maka bagi mereka wajib menjawabnya.
Sunah memuji bagi orang yang bersin, menjawabnya, meninggikan suara -tidak terlalu tinggi-, dalam membaca salawat salam kepada Nabi saw., ketika sang khatib menyebut nama atau sifat beliau. Guru kami berkata: Tidaklah jauh disunahkan membaca Radhiyallah ‘anhu untuk para sahabat Nabi saw. tanpa meninggikan suara, demikian pula doa imam -selesai-.
Makruh Tahrim, sekalipun bagi seorang yang tidak wajib menunaikan salat Jumat, mengerjakan salat fardu, sekalipun kadha yang baru ingat waktu itu, dan sekalipun wajib dikerjakan seketika (seperti tertinggal salat tanpa udzur) atau salat sunah, di mana khatib sudah duduk di atas mimbar, sekalipun khotbah tidak terdengar dan ketika sang khatib sedang memanjatkan doa untuk sultan. Menurut pendapat yang Aujah, bahwa salat yang dikerjakan pada saat seperti di atas, adalah tidak sah, sebagaimana tidak sah melakukan salat di waktuwaktu yang dimakruhkan. Untuk ini malah lebih tidak sahnya.
Wajib bagi orang yang di tengah salatnya, sedangkan khatib sudah duduk di atas mimbar, agar mempercepat salatnya, dengan cukup mengerjakan perkara yang mengesahkan salat (yaitu rukun-rukun saja).
Makruh bagi Orang yang masuk mesjid, mengerjakan salat tahiyyatul mesjid, jika menyebabkan tertinggal takbiratul ihram dari imam salat Jumat, kalau tidak tertinggal, hukumnya tidak makruh, bahkan sunah untuk dilakukan. Namun, wajib dikerjakan seringan mungkin, sebagaimana ja hanya cukup mengerjakan ‘ yang wajib-wajib dalam salatnya, menurut apa yang dikatakan oleh Guru kami.
Makruh di waktu khotbah mengerjakan duduk sedekul dengan menalikan serban pada lutut dengan badan, karena terdapat larangan mengenai hal ini. Juga makruh menulis pada kertas di akhir bulan Ramadhan, bahkan jika yang ditulis itu nama-nama bahasa Suryani, yang tidak diketahui maknanya, adalah haram hukumnya.
Disunahkan:
1.Membaca surah Al-Kahfi di hari Jumat atau pada malam harinya, berdasarkan beberapa hadis. Membacanya di siang hari, dihukumi lebih muakad, dan paling utama, adalah membaCanya setelah Subuh, karena mempercepat mendapat kebaikan, dan sunah memper:banyak membaca surah Al-kahfi dan surah-surah Alqur-an yang lain, di malam dan hari Jumat.
Makruh membaca surah AlKahfi dan surah-surah lainnya dengan mengeraskan suara, jika hal ini dapat menganggu orang yang sedang salat atau tidur, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam AnNawawi dalam beberapa kitabnya.
Dalam Syarhul Ubab, Guru kami berkata: Seyogianya, hukum haram diterapkan pada bacaan “keras di dalam mesjid. Perkataan Imam An-Nawawi di atas adalah diterapkan dalam masalah gangguan yang ditimbulkannya hanya sedikit, atau pembacaannya berada di luar mesjid.
Memperbanyak membaca salawat kepada Nabi saw., baik di siang atau malam hari Jumat, karena berdasarkan hadis sahih, yang memuat perintah melakukannya.
Memperbanyak membaca salawat lebih utama daripada memperbanyak zikir atau membaca Alqur-an yang tidak secara khusus diterangkan dalam hadis Nabi, demikianlah menurut Guru kami.
Memperbanyak bacaan doa di hari Jumat, sebab berharap agar dapat bertepatan dengan waktu ijabah. Saat ijabah yang paling bisa diharapkan, adalah saat khatib duduk sampai selesai salat, dan saat tersebut sangat sebentar sekali.
Adalah sah pendapat yang .mengatakan, bahwa saat ijabah : adalah pada akhir setelah waktu Ashar. Sunah juga memperbanyak doa di malam hari Jumat, karena hadis yang sampai pada Imam Syafi’i, bahwa doa di malam hari Jumat adalah dikabulkan, di samping itu, beliau menyunahkan di malam Jumat untuk berdoa.
Sunah memperbanyak beramal kebaikan di malam atau siang hari Jumat, misalnya bersedekah atau lainnya, dan sunah terleka dengan membaca Qur-an atau zikir di sepanjang jalan dan pada kehadirannya di tempat salat.
Zikir yang paling utama, adalah membaca salawat kepada Nabi saw. sebelum khotbah dimulai atau ketika khotbah berjalan, jika tidak bisa mendengarkannya, sebagaimana keterangan di.atas, berdasarkan hadis-hadis yang menganjurkan hal itu.
Sunah sesudah salam salat Jumat, sebelum melipat kaki -riwayat yang lain mengatakan: sebelum berbicara-, membaca Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas, masingmasing sebanyak 7 kali.
Berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan, bahwa barangsiapa mau membacanya, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lewat dan akan datang, serta dianugerahi pahala sebanyak bilangan orang yang beriman kepada Ailah dan Rasulullah saw.
Penting:
Sunah membaca surah-surah di atas, ayat Kursyi, dan ayat Syahida…. (Aali Imran:18) setiap selesai salat fardu lima waktu, dan ketika akan tidur, lalu disambung dengan ayat akhir surah Al-Bagarah dan Al-Kafirun.
Sunah membaca akhir surah Al-Hasyr. لوانزلناهذاالقران , permulaan surah Ghafir حم تنزيل الكتاب الخ dan افحسبتم أنما خلقناكم عبثا (ayat 115-118), dibaca pada waktu pagi dan sore hari, lalu disambung dengan zikir-zikirnya. Sunah membiasakan membaca surah As-Sajdah, Yaa Siin, Ad-Dukhan, Al-Wagi’ah. Tabarak, Az-Zalzalah dan AtTakatsur pada setiap hari.
Sunah membaca surah Al-Ikhlash dan Al-Fajr sebanyak dua ratus kali pada setiap tanggal 10 Zulhijah. Sunah membaca surah Yaa Siin dan Ar-Ra’d pada orang yang sedang sakit keras.
Mengenai hukum haram ini, adalah sebagaimana yang dinukil oleh Imam Asy-Syekh Abu Hamid (Imam Al-Ghazali) dari nash Imam Asy-Syafri. Yang kemudian ini dipilih oleh Imam Nawawi dalam kitab ArRaudhah dan dipilih oleh mayoritas ulama. Namun pembicaraan Imam ArRafi’i dan An-Nawawi menentukan makruh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’.
Melangkahi tersebut hukumnya tidak haram, jika dilakukan oleh scorang yang dibaris depannya ada kelonggaran.
Karena itu, dia boleh melangkahi satu atau dua baris di depannya tanpa makruh. Demikian pula tidak haram, jika dilakukan oleh imam yang tidak menemukan jalan menuju mimbar, kecuali dengan melangkahi pundak. Demikian juga tidak haram, – jika dilakukan oleh selain imam, di mana mereka yang dilangkahi sudah memberi ijin, bukan karena malu, atas dasar beberapa tinjauan pendapat. Juga tidak haram melangkahi pundak, bagi orang yang dimuliakan dan sudah membiasakan tempat tertentu.
Makruh melangkahi pundak sekelompok manusia di luarsalat.
Haram menyuruh orang berdiri tanpa kerelaannya untuk ditempati tempatnya.
Makruh memberi prioritas kepada orang lain untuk menempati tempatnya, kecuali jika dengan itu, orang berpindah ke tempat sejajar atau lebih dekat pada imam. Begitu juga dalam ibadah-ibadah lainnya.
(Orang yang dibaris depannya masih kosong, dia boleh maju dan melangkahi pundak orang lain) dan ia boleh menyingkirkan sajadah orang lain di tempat itu dengan kaki atau lainnya dan melakukan salat di situ, namun tidak boleh mengangkat sajadah tersebut -sekalipun tidak dengan tangannya-, biar tidak masuk dalam tanggungannya.
Bagi orang yang berkewajiban melakukan salat Jumat, haram melakukan jual beli dan sebagainya -misalnya pertukangan-, sesudah dikumandangkan azan khotbah Jumat. Jika terpaksa melakukannya, maka akad tetap sah. Jual beli dan sebagainya, yang dilakukan sebelum azan Jumat, namun setelah tergelincir matahari, hukumnya adalah makruh.
(Keharaman tersebut) jika dilakukan setelah fajar hari Jumat. Kecuali jika dikhawatirkan akan terjadi madarat dengan ketidakpergiannya -misalnya tertinggal dengan teman-temannya-, maka tidaklah haram pergi seperti ini, jika kepergiannya bukan untuk maksiat, sekalipun waktu pergi setelah matahari tergelincir ke arah barat.
Makruh bepergian di malam Jumat, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dengan sanad daif, yang artinya: “barangsiapa bepergian di malam Jumat, maka ada dua malaikat yang mendoakan kerusakan kepadanya”.
Mengenai orang yang bepergian untuk maksiat, maka secara mutlak tidak gugur baginya. Guru kami berkata: Bagi orang yang haram bepergian tersebut, ia tidak berhak mendapat rukhshah (dispensasi/keringanan hukum) selama : belum jelas salat Jumat belum selesai (bubar).
Boleh bagi orang yang bepergian jauh melakukan salat gashar terhadap salat fardu ada’ yang berakaat empat, dan salat-salat kadha dalam perjalanan yang diqashar dalam perjalanan itu. Begitu juga boleh menjamak takdim salat Zhuhur-Ashar dan Magrib-Isyak: atau dengan jamak takhir.
(Qashar dan jamak tersebut) boleh dilakukan setelah seseorang keluar dari batas desanya yang khusus, sekalipun di situ terdapat tanah-tanah gersang atau sawah ladang. Jika batas tersebut mengumpulkan dua desa, maka tidak disyaratkan harus melewatinya, tetapi masing-masing desa dihukumi sendiri-sendiri. Atau setelah melewati tugu tapal batas desa, sekalipun di tengah-tengah dengan bumi gersang (rusak), sungai atau alun-alun.
Tidak disyaratkan harus melewati perkebunan, sekalipun mengitari atau bersambung dengan balad.
Dua desa yang menurut penilaan umum masih bersambung, dianggap sebagai satu desa, sekalipun namanya berlainan: Kalau sudah berpisah, sekalipun hanya sedikit, maka cukuplah musafir melewati desanya sendiri.
(Jamak dan gashar) tidak boleh dilakukan oleh musafir yang menempuh perjalanan, yang jaraknya kurang (tidak sampai) memakan waktu perjalanan sehari-semalam, dengan ukuran perjalanan membawa muatan (beban), juga menghitung waktu istirahatnya secara wajar, misalnya sekadar Istirahat, makan dan salat
Begitu juga tidak boleh bagi budak yang melarikan diri dari tugasnya (Sayid), musafir pengutang yang mampu melunasi utangnya, di mana perginya tanpa mendapat ijin dari pihak pemiutang: demikian pula tidak boleh bagi orang musafir yang perginya semata-mata ingin melihat negara, demikian menurut pendapat Al-Ashah.
Bepergian dianggap sudah berakhir, dengan sekembali musafir di tanah kelahirannya -sekalipun hanya lewat saja-, atau sampai di tempat tujuan lain dan berniat bermukim di sana dalam waktu tidak tertentu atau selama 4 hari penuh, atau dia mengetahui, bahwa di tempat tersebut kebutuhannya dapat terpenuhi dalam waktu 4 hari.
Karena itu, jika masih mengharap tujuannya akan berhasil sewaktu-waktu, maka dia boleh menggashar salat selama 18 hari.
Syarat-syarat Qashar
Tidak bermakmum -sekalipun hanya sebentarkepada orang yang tidak menggashar salatnya, sekalipun imam ini adalah juga musafir statusnya. Selama dalam salatnya, terhindar dari hal-hal yang membatalkan niat gashar. Selama salat, masih dalam keadaan bepergian (masih berstatus musafir).
Syarat-syarat Jamak Taqdim
Boleh -menurut pendapat yang dipilihmenjamak salat, baik takdim atau ta’khir sebab sakit. Dalam pelaksanaannya, hendaknya orang yang sakit memilih, mana yang dirasa lebih ringan. Jika penyakitnya selalu kambuh di waktu salat kedua umpama, ia hendaknya melakukan jamak takdim dengan syarat-syaratnya di atas, Kalau kambuhnya di waktu salat pertama, maka hendaknya dia mengerjakan salat dengan jamak ta’khir, dengan niat jamak di waktu salat pertama.
Segolongan ulama Mutaakhirin memberi batasan “arti sakit” di sini: Sakit yang sampai memayahkan untuk mengerjakan setiap fardu pada waktunya, sebagaimana kepayahan berjalan di waktu hujan, yaitu sekira hujan dapat membasahi pakaian.
Penutup:
Guru kami dalam kitab Syarah Minhaj berkata: Barangsiapa mengerjakan suatu ibadah yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang kesahan nya, sedangkan dia tidak bertaklid, terhadap ulama yang memperbolehkannya, maka dia wajib mengulanginya (untuk masalah taklidnya, boleh setelah mengerjakan ibadah itu -pen). Demikian tersebut (wajib mengulanginya), sebab dia berani mengerjakan ibadah itu secara main-main.
Salat Jenazah orang Islam yang bukan mati syahid, hukumnya adalah fardu kifayah, berdasarkan ijmak ulama dan beberapa hadis, sebagaimana memandikannya, sekalipun akibat tenggelam di dalam air, . sebab kita diperintah memandikannya. Dengan demikian, perintah memandikan belum gugur, sebelum kita sendiri yang memandikan, sekalipun kita sendiri menyaksikan, bahwa ada malaikat yang memandikan mayat itu.
Telah cukup sebagai memenuhi kewajiban, dengan adanya seorang kafir yang memandikannya. Paling tidak, memandikan mayat itu bisa terwujud dengan Cara sekali menyiramkan air yang dapat meratai badannya, sampai bagian di bawah kulit kepala zakar (glans penis) bagi mayat yang zakarnya masih berkulit kepala, menurut pendapat Al-Ashah, baik itu anak kecil atau sudah balig.
Imam Al-‘Ubadi dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat: Membasuh bagian di bawah kulit kepala zakar tersebut, hukumnya tidak wajib. Berpijak dengan pendapat yang rajih di atas (wajib), apabila dirasakan sulit membasuh bagian bawah kulit kepala zakar tersebut, sebagaimana kulit itu tidak bisa dibuka kecuali dengan melukainya, maka bagian itu wajib ditayamumi, Demikianlah menurut pendapat Guru kami, yang kemudian ditetapkan oleh lainnya.
Yang paling sempurna, adalah menyiramkan air tersebut diulang sebanyak tiga kali. Dalam memandikan mayat, hendaknya di tempat yang sepi dan berbaju kurung: di tempat yang lebih tinggi, dengan air dingin, kecuali ada keperluan, misalnya menghilangkan kotoran atau suasana dingin: Maka dalam keadaan seperti ini, menggunakan air panas adalah lebih utama. Sedang menggunakan air yang asin, adalah lebih utama daripada yang tawar.
(Sunah) segera memandikannya, jika telah diyakini sudah mati. Apabila masih diragukan akan kematiannya, maka wajib menundanya sampai benarbenar diyakini kematiannya, misalnya bau mayat berubah atau lainnya. Karena itu, para fukaha menuturkan tanda-tanda kematian seseorang yang banyak sekali, adalah berguna bagi yang .matinya sudah tidak diragukan lagi
Apabila setelah dimandikan, mayat mengerluarkan benda najis, maka kesuciannya tidak rusak, tapi hanya wajib dihilangkan saja, jika keluarnya sebelum dibungkus kafan, tidak wajib menghilangkannya, jika keluarnya setelah dibungkus kafan. Mayat yang tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, misalnya akan rontok, maka wajib ditayamumi.
Orang laki-laki berhak untuk memandikan mayat laki-laki, dan perempuan lebih berhak untuk memandikan mayat perempuan.
Orang laki-laki boleh memandikan mayat yang merupakan halilnya (istri atau wanita amat): sang istri -bukan amat-, boleh memandikan suaminya, sekalipun ia telah menikah dengan “laki-laki lain (misalnya istri melahirkan setelah suami mati, lantas dia kawin lagi sebelum ‘ suaminya dimandikan -pen), tanpa menyentuh mayat itu, akan tetapi tangannya (yang sunah) dibungkus dengan gombal (kain). Jika menyalahi aturan tersebut, maka mandinya tetap sah.
Apabila untuk mayat wanita hanya ada laki-laki lain atau untuk laki-laki hanya ada wanita lain, maka mayat cukup ditayamumi saja. Memang, tapi laki-laki atau wanita boleh memandikan mayat yang tidak menimbulkan syahwat, baik itu berupa anak laki-laki atau perempuan, lantaran mereka halal memandang juga menyentuhnya. Laki-laki yang lebih utama memandikan mayat, adalah laki-laki yang lebih berhak menyalatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Hukumnya juga fardu kifayah, membungkus mayat dengan kafan yang dapat menutup auratnya, dengan berbeda : batas-batas aurat antara lakilaki dan perempuan, dan tidak usah dibedakan antara mayat “budak dengan yang merdeka. Karena itu, wajib untuk mayat wanita -sekalipun budak-, kafan . yang dapat menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua tapak tangannya, dan untuk mayat laki-laki adalah kafan yang dapat menutupi antara pusat dan lutut. Menjalankan sekadar cukup dengan kafan yang dapat menutup aurat, adalah yang dibenarkan oleh Imam An-Nawawi di dalam kebanyakan kitabnya, di mana beliau menukilkannya dari mayoritas ulama, sebab yang demikian tersebut, adalah merupakan hak Allah swt.
Ulama-ulama lain berkata: Wajib menutup seluruh tubuh mayat, sekalipun laki-laki.
Bagi pemiutang, boleh melarang pemakaian kafan yang melebihi penutupan seluruh tubuh mayat -dia tidak boleh melarang penutupan yang melebihi menutup aurat-, sebab perintah untuk menutup melebihi penutupan aurat dan karena merupakan hak si mayat jika dinisbahkan kepada para pemiutang. Yang paling sempurna, kafan untuk laki-laki adalah tiga lapis, yang masing-masing menutup seluruh tubuh, dan masih boleh ditambah di dalamnya dengan baju kurung dan serban, untuk wanita adalah kebaya, baju kurung, penutup kepala dan dua lapis kafan.
Kafan mayat adalah sesuai dengan jenis kain yang boleh dipakai di waktu hidup, Kareng itu, boleh bagi wanita atau anak kecil dikafani dengan kain sutera dan yang dicelup dengan za’faran, namun hukumnya adalah makruh. Biaya perawatan mayat (upah memandikan, harga air, kafan, ongkos penggalian kubur dan memikulnya), adalah diambilkan dari harta peninggalan mayat (jika harta tersebut tidak berhubungan dengan hak lazim, misalnya rahn atau zakat: jika ada hubungan semacam ini, maka yang didahulukan adalah hak tersebut -pen). Kecuali yang mati itu istri atau pelayannya, maka pembiayaan ditanggung oleh suami yang kaya, yang wajib memberi nafkah kepada mereka.
Jika si mayat tidak meninggalkan harta, maka pembiayaan- nya dibebankan kepada penanggung nafkah, baik itu kerabat atau sayitnya, jika Mayat tidak ada penanggung nafkahnya, maka pembiayaan dipikul oleh baitulmal, kemudian jika baitulmal tidak ada, Maka orang-orang kaya dari Solongan muslimin harus Menanggungnya.
Haram membungkus (mengafani) mayat dengan kulit, bila masih ada yang lainnya, Begitu juga haram memakai lumpur atau rumput. Jika tidak ada pakaian, rnaka wajib membungkus dengan kulit, kalau tidak ada, maka memakai rumput, kalau tidak ada, maka memakai lumpur, demikian menurut pendapat yang dijelaskan oleh Guru kami.
Haram menuliskan lafal-lafal Algur-an atau Asma-asma Allah swt. dratas kafan mayat. Kalau ditulis menggunakan air ludah, maka tidaklah menjadi masalah, sebab hal ini tidak akan membekas. Imam Ibnush Shalah memberi fatwa, bahwa menutup mayat dengan kain sutera, sekalipun mayat wanita, adalah haram, sebagaimana halnya seorang wanita menghiasi rumahnya dengan sutera.
Pendapat tersebut ditentang oleh Imam Al-Jalalul Bulgini, di mana dia memperbolehkan hal itu untuk jenazah wanita dan kanak-kanak. Pendapat ini lantas dibuat pegangan oleh segolongan ulama, Mestinya, yang bisa dikiaskan (dengan masalah menghiasi rumah) adalah yang pertama (haram).
(Fardu kifayah) menanam mayat di dalam lubang yang setelah ditimbuni tanah kembali, sehingga bau mayat tidak tampak, serta aman dari binatang buas yang akan. memakannya.
Tidak masuk dalam ketentuan “di dalam lubang”, jika mayat diletakkan di atas tanah, kemudian dibangun sedemikian rupa di atasnya, sehingga bau mayat tidak tampak lagi dan aman dari pembongkaran binatang buas, selagi penggalian lubang tidak mendapat kesulitan.
Memang, tapi orang yang mati di atas perahu dan sulit didapatkan daratan, maka boleh melemparkan ke laut dan diberi beban, agar dapat tenggelam. Jika untuk mendapat kendaraan tidak sukar, Maka mayat tidak boleh dilemparkan ke laut.
Tidak termasuk ketentuan “yang dapat menghilangkan bau mayat serta mengamankan dari gangguan binatang buas”, jika lubang tersebut hanya berfungsi salah satunya, misalnya binatang buas di tempat tersebut pada kebiasaannya dapat membongkar mayat-mayat yang tertanam. Dalam keadaan seperti itu, maka wajib membangun kubur, sehingga binatang buas tidak mungkin dapat membongkar mayat-mayat tersebut. Lubang kubur yang paling sempurna, adalah yang luas dan dalamnya 41/2 dzira’ tangan.
Wajib membaringkan mayat dengan menghadap kiblat. Sunah menempelkan pipi mayat yang kanan pada tanah, setelah kafan dibuka, untuk menunjukkan betapa rendah dan hinanya, dan sunah membantali kepalanya dengan semacam batu.
Makruh meletakkan mayat dalam peti, kecuali karena memandang, bahwa tanah pekuburan mudah longsor, maka hukumnya menjadi wajib.
Haram menanam mayat tanpa sesuatu yang dapat mencegah longsor tanah.
Haram menanam dua mayat yang berlainan jenis kelamin, dalam satu lubang kubur, jika antara keduanya ” tiada hubungan mahram atau perjodohan, jika masih ada hubungan mahram atau suami-istri, maka hukumnya adalah makruh, sebagaimana halnya dengan mengumpulkan dua mayat yang tunggal jenis, tanpa ada hajat yang mengharuskan.
Haram juga menanam mayat pada lubang kubur yang sudah ditempati mayat lain, sekalipun tunggal jenisnya, selama mayat lama belum punah. Untuk mengetahui kepunahannya, adalah diserahkan kepada orang yang ahli tentang tanah.
Jika ada sepotong tulang mayat yang lama ditemukan sebelum selesai penggalian kubur untuk mayat baru, maka wajib menimbunkan tanah kembali: jika penemuannya setelah selesai penggalian, maka tidak wajib menimbunkan kembali, dan tulang tersebut boleh ditanam bersama dengan mayat baru itu. Tidaklah makruh menanam . mayat di malam hari, lain . halnya dengan pendapat Imam. Al-Hasan Al-Bashri. Sedang di siang hari, adalah lebih utama daripada malam hari.
Sunah timbunan kuburan ditinggikan kira-kira satu jengkal, – sedangkan membuat timbunan tanah, adalah lebih utama daripada membangun tembok di atasnya.
Sunah bagi orang (yang waktu penanaman mayat) berada di pinggir kubur, agar menaburkan debu sebanyak tiga kali. Untuk yang pertama mengucapkan: ومنهاخلقناكم taburan kedua membaca: وفيهانعيدكم dan untuk ketiga kali mengucapkan: ومنهانخرجكم تارة اخرى
Penting:
Sunah hukumnya, meletakkan pelepah kurma yang masih segar -sebagai tindak ittiba’, karena berkat tasbih pelepah tersebut, siksa orang yang berada dalam kubur diperingan. , Mengenai apa yang dibiasakan, yaitu menaburkan semacam bunga yang segar, adalah dikiaskan dengan pelepah kurma.
Haram mengambil pelepah: kurma atau bunga seperti yang tersebut di atas, sebelum kering, karena pengambilan : pelepah kurma, adalah memutuskan bagian mayat (yaitu diringankan siksanya) sebagaimana yang telah sampai dari: Nabi saw., sedang mengambil bunga yang masih basah adalah memutuskan hak mayat yang timbul sebab kepergian para malaikat yang turun untuk mencium bunga tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Guru kami, Ibnu hajar dan Ibnu Ziyad.
Makruh membangun tembok, baik untuk liang kubur atau di sekelilingnya -karena ada hadis sahih yang melarangnya-, tanpa ada hajat semisal khawatir terbongkar, penggalian binatang buas atau hanyut oleh air.
Makruh seperti itu, jika pembangunan kubur di miliknya sendiri.
Apabila membangun tembok liang kubur tanpa keperluan seperti di atas atau membangun semacam kubah di atas kubur di tanah milik pen“ duduk daerah yang memang disediakan untuk penguburan mayat, baik pemilik semula diketahui atau tidak, atau dilakukan di atas kuburan wakaf, maka hukumnya adalah haram dan wajib dibongkar.
Sebab, bangunan yang seperti itu akan menjadi permanen setelah mayat membusuk, yang demikian akan menyempitkan orang-orang Islam tanpa ada tujuan syarak.
Guru kami, Az-Zamzami berkata: Jika mayat (dalam kasus di atas) telah busuk, serta ahli ‘ warisnya membiarkan batubatu itu, maka boleh menanam mayat lain beserta batubatunya, jika memang sudah berlaku adat-istiadat tidak mempedulikan batu-batu. seperti itu, hal ini sama halnya masalah mengambil sisa-sisa – padi yang tertinggal di sawah.
Makruh menginjak makam orang muslim -sekalipun mayat itu tadi adalah orang yang halal dibunuh sebelum mayat membusuk, kecuali karena darurat, misalnya kalau tidak menginjaknya, maka seseorang tidak bisa mengubur mayat yang lain: begitu juga bagi peziarah, sekalipun bukan kerabatnya.
Mengenai penguatan yang ada dalam kitab Syarah Muslim (tulisan Imam Nawawi), sebagaimana pendapat fukaha yang lain, bahwa duduk di atas kubur hukumnya adalah haram, dengan dalih hadis yang menerangkan semacam ini, bahwa yang dimaksud dengan “duduk di atasnya”, adalah duduk untuk berak atau kencing, sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat lain.
Mayat yang ditanam dalam keadaan belum suci, makawajib : dibongkar guna dimandikan atau ditayamumi. Namun, jika mayat tersebut sudah berbau busuk, maka hukumnya haram membongkarnya.
(Demikian juga wajib dibongkar) karena ada harta orang lain yang ikut tertanam, misalnya mayat dibungkus dengan pakaian hasil ghasab, atau mayat ditanam di tanah ghasab, jika kedua pemilik menuntutnya, juga masih ada pakaian untuk membungkus dan tanah untuk menanam nya, jika tidak sedemikian rupa, maka pembongkaran tidak boleh dilakukan. Contohnya lagi: Ada harta berharga yang jatuh ke dalam kubur, sekalipun pemilik tidak menuntutnya.
Tidak boleh dibongkar lagi untuk sekadar membungkus mayat, jika mayat ditanam sebelum dibungkus, dan tidak boleh dibongkar untuk menyalatinya, setelah ditimbun tanah.
Mayat wanita yang hamil tidak boleh ditanam, sehingga benarbenar telah jelas, bahwa anak yang ada dalam kandungannya telah mati. Wajib melakukan pembedahan -: kandungan dan pembongkaran kubur, jika menurut ahli kandungan, bayi tersebut bisa diharapkan untuk hidup, karena telah berumur 6 bulan. Jika sudah tidak bisa diharapkan akan hidupnya, maka pembedahan itu: hukumnya haram. Namun penguburan harus ditunda sampai nyata kandungan telah mati, seperti dijelaskan di atas.
Tentang pendapat yang mengatakan, bahwa agar dibebankan sesuatu pada perut mayat wanita yang hamil, supaya bayinya mati, adalah pendapat yang benar-benar salah.
Bayi yang gugur dalam kandungan sebelum masanya (kluron: Jawa -pen) adalah wajib dibungkus memakai kain dan ditanam, sebagaimana halnya dengan anak orang kafir yang telah mengucapkan dua Syahadat, keduanya tidak wajib dimandikan, namun boleh dilakukan. Tidak termasuk pengertian “siqth”, jika yang keluar berupa gumpalan darah atau daging: untuk masalah ini sunah dikubur tanpa dibungkus.
Jika bayi seperti yang tersebutkan di atas lahir setelah kandungan berumur 4 bulan, maka wajib dimandikan, dibungkus dan dikubur. Apabila setelah lahir, bayi itu bisa bergerak-gerak atau bersuara, maka wajib pula disalati.
Dari sini dapat diketahui, bahwa segala yang wajib dilakukan pada niat salat-salat fardu, adalah wajib dilakukan di sini, misalnya niat bersamaan dengan takbiratul ihram dan menyatakan kefarduannya, sekalipun tidak harus mengucapkan fardu kifayah.
Tidak wajib menentukan mayat yang disalati dan tidak wajib mengetahuinya, tapi yang wajib adalah batas minimum yang dapat membedakan. Karena itu, cukuplah jika seseorang mengucapkan: اصلى فرض على هذاالمية (Saya salat fardu atas mayat ini).
Segolongan ulama berpendapat: Wajib menentukan mayat gaib, misalnya dengan menyebut namanya. Berdiri bagi orang yang mampu berdiri. Orang yang tidak mampu berdiri, boleh salat dengan duduk, kalau tidak bisa duduk, boleh salat dengan tidur miring/bersipinggang.
Takbir 4 kali termasuk takbiratul ihram, sebagain tindak ittiba’, jika dikerjakan dengan 5 kali takbir, maka salat tetap sah. Sunah mengangkat kedua tangan setinggi. pundak di waktu membaca takbir dan meletakkannya di bawah dada “(bersedekap) di antara dua takbir. Membaca surah Al-Fatihah. Jika tidak bisa, maka boleh mengganti dengan yang lainnya, kalau tidak bisa, maka boleh diam seukuran bacaan Al-Fatihah.
Menurut pendapat yang Muktamad: Pembacaan Al-Fatihah boleh dikerjakan setelah takbir yang bukan pertama, hal ini berbeda dengan yang ada dalam kitab Al-Hawi, seperti juga Al-Muharrar, sekalipun masalah di atas mengharuskan akan terjadi dua rukun berkumpul pada satu takbir dan setelah takbir pertama tidak ada zikir apa-apa.
Sunah membaca dengan suara rendah, kecuali ketika takbir dan salam, dan sunah membaca Ta’awudz, meninggalkan bacaan doa Iftitah dan surah, kecuali jika menyalati mayat yang gaib atau sudah ditanam. Membaca salawat kepada Nabi saw. sesudah takbir yang kedua. Karena itu, tidaklah cukup jika dibaca setelah takbir yang lan.
Sunah mengumpulkan salawat kepada Nabi saw. serta doa salamnya, Sunah berdoa untuk orang-orang mukmin dan mukminat setelah membaca salawat dan membaca hamda: lah sebelumnya. Berdoa khusus untuk mayat, sekalipun mayatnya adalah kanak-kanak.Misalnya mengucapkan:. اللهم اغفرله وارحمه
(Ya, Allah, ampunilah dan berilah rahmat mayat ini), yang dilakukan setelah takbir yang ketiga. Secara pasti, doa ini tidak mencukupi jika dibaca setelah takbir lainnya.
Sunah memperbanyak doa untuk mayat. Doa yang ma’tsur dari Nabi, adalah lebih utama. : Sedangkan yang lebih utama adalah doa riwayat Imam Muslim, yaitu: Allahummaghfir lahu…. (Ya, Allah, ampunilah dosanya, berilah dia rahmat, sejahterakan dirinya, muliakan tempatnya, luaskan jalan masuknya, mandikanlah dia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pakaian putih yang dibersihkan dari kotoran: gantikanlah untuknya rumah yang lebih baik daripada rumahnya, ahli yang lebih bagus daripada ahlinya, jodoh yang lebih bagus daripada jodohnya: masukkanlah dia ke surga, dan selamatkanlah dia dari siksa kubur, fitnahnya serta dari siksa api neraka).
Sunah doa tersebut ditambah: Allahummaghfir…. dan seterusnya. (Ya, Allah, ampunilah orang yang masih hidup dan yang sudah mati dalam golongan kami… dan seterusnya). Untuk mayat kanak-kanak, disamping doa tersebut, (sunah) ditambahkan: Allahummaj’alhu… (Ya, Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk bapak-ibunya simpanan, nasihat, ibarat dan penolong bagi kedua orangtuanya: beratkanlah timbangan amal mereka, limpahkanlah kesabaran dalam hati mereka: jangan Engkau turunkan fitnah pada mereka: dan janganlah Engkau halangi pahala mereka).
Guru kami berkata: Doa Allahummaj’alhu… dan seterusnya, adalah tidak cukup hanya itu saja sebagai doa khusus untuk mayat. Sebab, doa tersebut berisi permohonan sesuatu yang lazim terjadinya, di mana belum cukup sebagai syarat doa untuk mayat dalam salat Jenazah. Sebab, doa yang bersifat umum dan mencakup setiap individu saja, tidak Cukup sebagai doa untuk Mayat, maka lebih-lebih doa yang permohonannya lazim terjadi.
Untuk mayat wanita, dhamir yang ada dalam ctoa di atas, diganti dengan dhamir Muannats. Namun, juga boleh tetap mudzakkar seperti di atas, dengan menghendaki kembalinya dhamir pada lafal Al-Mayyit atau Asy-Syahsh.,
Untuk mayat kanak-kanak hasil zina, doanya diganti dengan ucapan:. اللهم اجعله فرطالا مّه (Ya, Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk ibunya). Yang dimaksud dengan “penggantian ahli dan jodoh” adalah penggantian dalam segi sifatsifatnya, bukan zatnya, Berdasarkan firman Allah yang artinya: “… dan Kamt temukan pada mereka keturunannya”, dan hadis yang diriwayatkan olch Imam Ath-Thabranj dan lain» nya: Bahwa wanin-wanita surga yang berasal dari wanita dunia, adalah lebih utama daripada bidadari surga.”-Habis-.
Salam -sebagaimana halnya dengan salat-salat lainsetelah takbir yang keempat. Sesudah takbrr ini, tidak ada zikir yang wajib selain salam.Tetapi (sebelum salam) sunah berdoa: Allahumma …. dan seterusnya. (Ya, Allah, janganlah Engkau menutup kami dari pahalanya -maksudnya adalah pahala menyalatinya atau pahala musibahdan janganlah Engkau turunkan fitnah setelahnya -maksudnya setelah melakukan maksiat-, dan ampumilah dosa kami dan dosanya).
Apabila dalam salat Jenazah ini, seorang tertinggal dari imam satu takbir tanpa ada uzur, sampai sang imam memulai takbir lainnya, maka batallah salat makmum tersebut.
Apabila sang imam telah memulai takbir berikutnya, sedang makmum masbuk belum sempat membaca Fatihah, maka harus mengikuti bertakbir, dan Fatihab gugur baginya. Setelah imamnya salam, maka bagi makmum masbuk tersebut harus menambah takbir-takbir yang belum ia kerjakan beserta zikirzikirnya.
Di dalam salat Jenazah -sekalipun mayatnya seorang wanitayang didahulukan untuk menjadi imam adalah dengan urutan sebagai berikut: Ayah atau gantinya -kakek dari garis laki-lakianak laki-laki mayat, cucu laki-laki dari garis lakilaki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, keponakan laki-laki dari kedua mereka, paman seayah, waris ashabah lainnya, orang yang memerdekakan mayat dwazil arham, kemudian suami.
Disyaratkan untuk salat kepada mayat, di samping syarat-syarat lain yang ada dalam selain salat Jenazah: Mayat disucikan terlebih dahulu, baik dengan air atau debu (jika tidak ada air). Karena itu, jika ada sescorang jatuh ke dalam jurang atau tenggelam dalam lautan yang sulit diambil dan disucikan, maka menurut pendapat Muktamad orang itu tidak wajib disalati. Orang yang menyalati tidak berada di depan mayatnya, jika mayat hadir, sekalipun berada dalam kubur. Jika mayatnya gaib, maka boleh saja keberaYaannya di belakang orang yang menyalati.
Sunah barisan dalam salat Jenazah dijadikan tiga baris atau lebih, berdasarkan hadis sahih, yang artinya: “Jenazah yang disalati oleh tiga baris, sungguh diampuni dosanya”. Tidak sunah menunda salat Jenazah, lantaran menunggu orang yang menyalati agar banyak, kecuali menunggu walinya. Sebagian ulama Muhaqqiqin memilih, bahwa selagi tidak dikhawatirkan mayatnya berbau, maka seyogianya menunggu 100 atau 40 orang yang bisa diharapkan kehadirannya, berdasarkan sebuah hadis yang menerangkan seperti ini.
Dalam kitab Hadis Muslim tersebutkan: “Mayat muslim yang disalati oleh golongan muslim yang jumlahnya mencapai 100 orang dan mereka memintakan syafaat, maka syafaatnya diterima.
Apabila ada mayat yang sudah disalati, lantas datang seseorang yang belum ikut salat, maka baginya sunah mengerjakannya, dan salat tersebut sah menjadi fardu kifayah. Karena itu, hendaknya ia berniat fardu pula, serta mendapatkan pahala salat. Sedangkan yang lebih utama, adalah mengerjakan salat sesudah mayat ditanam, karena mengikuti tindak Nabi saw.
Tidak sunah bagi orang yang telah menyalatinya sekalipun munfariduntuk mengulangi salatnya dengan berjamaah. Kalau terpaksa mengulanginya, maka salatnya menjadi salat sunah. (Bahkan) sebagian ulama berkomentar: Mengulangi salat Jenazah adalah khilaful aula hukumnya.
Sah hukumnya, menyalati mayat yang gaib dari daerah yang bersangkutan, sebagaimana mayat berada jauh dari daerah seseorang, yang menurut penilaian umum tidak bisa dikatakan masih daerahnya: berdasarkan perkataan Imam Az-Zarkasyi: Tempat di luar batas sebuah daerah, adalah seperti yang berada di dalamnya.
Tidak sah menyalati mayat yang tidak berada di tempat salat dan masih dalam lingkungan balad itu, sekalipun luas. Memang, jika dirasa sulit untuk hadit ke tempat di mana mayat berada, misalnya karena ditahan atau sakit, maka boleh salat yang dalam keadaan seperti ini, menurut beberapa tinjauan pendapat.
Sah menyalati mayat yang hadir dan sudah dikubur -walaupun sudah punah (tapi dengan syarat tidak berada di depan mayat, seperti yang telah diterangkan di atas -pen) selain Nabi. Karena itu, tidaklah sah salat Jenazah atas Nabi yang sudah berada dalam makamnya, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim.
Sah seperti ini, jika dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk melakukan fardu tersebut, di waktu kematian mayat. Karena itu, salat tidaklah dilakukan oleh orang kafir dan orang yang haid di saat kematian mayat tersebut, sebagaimana halnya dengan anak yang baru balig atau orang yang baru sembuh setelah kematian mayat, sekalipun belum dimandikannya. Demikianlah yang sesuai dengan perkataan Imam Rafi’i-Nawawi.
Hukum fardu-menyalati mayat menjadi gugur, karena sudah dikerjakan oleh seorang lakilaki, kanak-kanak yang mumayyiz, sekalipun ada orang yang balig, yang tidak hafal AlFatihah dan lainnya -bahkan dengan diam seukuran Fatihah dan sekalipun di situ ada orang yang hafal. Belum gugur fardu salat Jenazah sebab dikerjakan oleh wanita, padahal di situ ada laki-laki.
Hukumnya boleh menyalati mayat yang banyak dengan satu kali salat, yang berarti harus niat menyalati mereka semua. Haram menunda menyalati mayat sampai setelah penguburannya. Bahkan penundaan semacam itu akan menggugurkan kefarduan salat di atas kubur.Haram menyalati jenazah orang kafir, sebab berdoa memintakan ampunan kepadanya adalah haram.
(Beradasarkan) firman Allah swt. yang artinya: Janganlah engkau menyalati seseorang dari mereka untuk selama-lamanya.” Termasuk mereka di sini adalah anak-anak kecil orang kafir, baik mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat atau belum: Karena itu, menyalati mereka hukumnya haram (sebab mereka bisa dihukumi Islam setelah balig -pen).
Haram menyalati jenazah orang yang mati syahid. Lafal شَهِيْدٌ ikut wazan فَعِيْلٌ yang bermakna: مَفْعُوْلٌ karena ia akan disaksikan masuk surga, atau ikut wazan: فَاعِلٌ karenanyawanya menyaksikan surga sebelum nyawa orang lain. Lafal شهيد bisa . diterapkan pada orang yang berperang menjunjung tinggi agama Allah: dan orang ini disebut syahid dunia-akhirat, juga dapat diterapkan pada orang yang berperang bukan untuk membela agama Allah (tapi untuk tujuan lain), dan orang ini disebut syahid dunia.
Juga bisa diterapkan untuk orang yang terbunuh akibat suatu kezaliman yang menimpanya, orang yang mati sebab tenggelam, terbakar dan akibat penyakit perut, misalnya muntah atau diare, dan orangorang. seperti ini dinamakan “syahid akhirat”. – Begitu juga hukum memandikan orang yang mati syahid, adalah haram, sekalipun masih dalam keadaan junub, sebab Nabi saw. tiuak memandikan orang-orang yang mati dalan, Perang Uhud.
Haram mencuci darah orang yang mati syahid. Yaitu orang yang gugur di medan perang melawan orang-orang kafir atau seorang saja sebelum peperangan selesai -sekalipun terbunuh waktu mundur dari musuh-, yang matinya sebab peperangan tersebut. Misalnya terkena senjata temannya yang muslim, dibunuh oleh muslim dengan permintaan orangorang kafir, jatuh masuk ke sumur waktu berperang, atau tidak diketahui sebab kematiannya, sekalipun tidak terdapat bekas darahnya. Menurut pendapat yang Ashah: Tawanan yang dibunuh setelah selesai peperangan, adalah tidak termasuk mati syahid, sebab dibunuhnya bukan karena berperang.
Demikian pula, orang yang mati setelah perang berakhir dan masih mengalami hidup mustagirah (masih ada gerak yang disadari dengan beberapa alamat), sekalipun dapat dipastikan ja akan mati Setelah itu akibat luka yang diderita. Mengenai orang yang setelah perang masih dapat bergerak seperti gerak hewan yang disembelih, adalah dengan pasti dihukumi syahid. Hayat Mustagirah menurut pendapat Imam An-Nawawi dan Al-Umrani, adalah keadaan orang itu yang masih dimungkinkan untuk hidup barang satu atau dua hari.
Tidak termasuk syahid pula, orang yang tertangkap oleh orang-orang kafir, kemudian melarikan diri dan akhirnya dibunuh. Sebab kematiannya bukan karena berperang, sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleg Guru kami Ibnu Ziyad rahimahullah Ta’ala.Begitu juga orang yang dibunuh akibat bujukan orang kafir Harbi yang menelusup di tengah-tengah kita.
Memang begitu, jika terbunuhnya akibat mengadakan pertempuran, maka menurut pendapat As-Sayid As-Samhudi yang dinukil dari kitab Al-Khadim, orang seperti itu adalah Syahid. Orang yang mati syahid, sunah dibungkus dengan pakaian yang dipakai waktu mati, sedangkan yang berlumuran darah adalah lebih utama, karena ittiba’ dengan Nabi saw. Jika pakaiannya tidak mencukupi, misalnya belum menutup seluruh badannya, maka wajib menyempurnakan dengan menambah yang lain. Tidak boleh dikafani memakai pakaian dari sutera yang dipakai karena terpaksa waktu perang, karena itu, sutera yang dipakainya harus dilepas.
Sunah menalqin orang yang sedang sakit kerassekalipun baru mumayyiz, menurut beberapa tinjauan-, yaitu dengan bacaan: لاإله إلاّالله saja. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya: “Tuntunlah orang yang sedang sakit keras di antara kalian, dengan ucapan: Berdasarkan hadis sahih juga (yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud), yang artinya: “Barangsiapa yang di akhir ucapannya berupa لاإله إلاّالله maka ia masuk bersarma-sama orang-orang yang beruntung. Jika tidak diartikan seperti ini, maka toh setiap orang yang muslim pasti masuk surga, sekalipun fasik, dan meskipun terlebih dahulu disiksa lama sekali.
Tentang perkataan segolongan Ulama: Talqin mayat adalah kalimat محمدرسول الله pula, hal ini dimaksudkan supaya mati dalam keadaan Islam, sedang ia belum dikatakan muslim, jika belum mengucapkan dua kalimat tersebut, pernyataan ulama di atas adalah ditolak, sebab orang yang ditalgin itu sendiri sudah muslim. Sebetulnya, talgin itu bertujuan untuk mengakhiri ucapannya dengan kalimat: لاإله إلاّالله supaya mendapatkan pahala.
Mengenai pembahasan tentang menalqin mayat memakai “Ar-Rafiqul A’la” (derajat tertinggi), sebab kalimat tersebut adalah kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw. Pembahasan tersebut adalah ditolak, sebab akhir perkataan Nabi tersebut merupakan suatu perkara yang tidak ditemukan pada selain beliau, yaitu Allah swt. menyuruh Nabi memilih, lalu belidu ihemilih Rafiqul A’la.
Adapun orang kafir, secara pasti ditalqin memakai dua kalimat di atas,yang diawali memakai lafal: أشهد (saya bersaksi), sebab kata ini harus diucapkan seperti keterangan yang akan datang. Sebab, seseorang tidak bisa dikatakan muslim, kecuali dengan dua kalimat tersebut. Sunah sesudah mayat dimakamkan, segolongan peziarah berdiri sejenak di sekitar kubur untuk memohonkan ketetapan iman dan ampunan dosa.
Sesudah sempurna pemakaman, hukumnya sunah menalgin mayat yang sudah balig, sekalipun mati syahid, sebagaimana menurut ketetapan ulama, yang diselisihi Imam Az-Zarkasyi.
(Dalam praktiknya), seseorang di antara. peziarah duduk berhadapan dengan wajah mayat dan berkata: Ya, Abdallah ………….. dan seterusnya (Wahai, putra hamba wanita! Ingatlah janjimu yang engkau bawa dari alam dunia, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah, yang tiada menyekuti-Nya, Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, sungguh surga itu hak adanya, neraka adalah hak, kebangkitan dari kubur adalah hak, hari kiama: pasti akan . tiba yang tiada keraguan lagi, dan Allah akan membangkitkan orangorang yang berada dalam kubur.
Sesungguhnya engkau telah rela Allah swt. menjadi Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Nabi Muhammad say. sebagai Nabimu, Alqur-an sebagai anutanmu, Ka’bah sebagai kiblatmu, orangorang mukmin sebagai saudaramu, Tuhanku adalah Allah swt. Tiada Tuhan selain Allah, kepada-Nya saya berserah diri, dan Dia Penguasa ‘Arsy Yang Agung).
Guru kami berkata: Sunah mengulang talgin sebanyak tiga kali. Yang lebih utama adalah peziarah-peziarah berdiri, sedangkan orang yang menalgin duduk. Memanggil si mayat dalam talgin dengan menyebut nama ibunya -jika ibunya diketahui, jika tidak, maka dengan menyebut nama Hawaadalah tidak menafikan panggilan manusia di hari kiamat yang memakai nama ayahnya. Sebab keduanya merupakan pelajaran (ketentuan) dari syarak yang tidak dapat dimasuki penalaran pikiran.
Yang lahir, lafal العبد dalam menalgin mayat wanita diganti dengan lafal أمه begitu juga dhamir-dhamirnya diganti.dengan muannats. -Selesai-. Sunah bagi laki-laki untuk berziarah kubur, lain halnya wanita, ziarah kubur baginya hukumnya adalah makruh. Memang! Bagi wanita tetap disunahkan berziarah ke makam Nabi saw, sebagian ulama menambah: Demikian juga berziarah ke makam nabi. nabi yang lain, ulama dan para aulia.
Sunah -sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syaff’imembaca sebagian Algur-an yang terasa mudah di atas makam, lalu dengan menghadap kiblat dan berdoa untuk si mayat. Bagi orang yang berziarah, sunah mengucapkan salam untuk ahli kubur secara umum, lalu khusus yang dimaksudkan. Yaitu begitu masuk membaca: السلام عليكم دارقوم مؤمنين dan setelah sampai pada makam ayahnya misalnya, membaca: السلام عليك ياوالد Apabila ingin mencukupkan dengan salah satunya, maka yang dibaca adalah kalimat yang kedua tersebut, karena inilah yang lebih khusus pada tujuannya. Hal itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi saw. berucap: Assalamu’alaikum … dan seterusnya. (Semoga keselamatan buat kalian semua, wahar kaum mukmin. Dan insya Allah kami semua akan menyusul kalian).
Istitsna’ (ucapan insya Allah) di sini bertujuan mencari berkah, atau dimakamkan di tempat itu (insya Allah kami akan menyusul kalian dengan dimakamkan ditempat itu), atau mati dalam keadaan Islam.
Tersebut dalam hadis, bahwa orang yang mati di hari atau malam Jumat, adalah diselamatkan dari siksa dan fitnah kubur. Tersebut juga: Barangsiapa membaca surah Ikhlash (Qulhu .. dan seterusnya) 100 kali ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, maka di dalam kubur akan diselamatkan dari siksa kubur, dan melintasi Shiratal Mustagim dalam telapak malaikat.
Tersebut dalam hadis lagi, bahwa barangsiapa mau: membaca: “Laa Ilaahailla anta … dan seterusnya. (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh kami masuk golongan orang-orang yang zalim) sebanyak 40 kali di waktu sakit, lalu mati, maka ia akan mendapatkan sebagaimana orang yang mati syahid. Kalau ia sembuh, maka diampunilah dosanya.
Semoga Allah swt. berkenan mengampuni dosa kita, dan melindungi kita sekalian dari siksa dan fitnah kubur. Amin.[alkhoirot.org]