Bab Zakat Fathul Muin
Judul kitab asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari Al-Malibari Al-Hindi
Nama di dunia Arab: (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah:
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i
Daftar isi
- Bab Zakat
- Zakat Fitrah
- Pembayaran Zakat
- Syarat Menunaikan Zakat
- Pembagian Harta Ghanimah
- Kembali ke Terjemah kitab Fathul Muin
Lafal الزكاة menurut Lughat, berarti membersihkan dan berkembang, sedang menurut istilah syarak, adalah nama sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan, dengan ketentuan di bawah ini.
Zakat mal difardukan pada tahun kedua Hijriah, yaitu sesudah zakat Fitrah. Zakat mal (harta) wajib ditunaikan pada delapan macam: emas, perak, binatang ternak, buah kurma dan anggur, dan diberikan kepada delapan golongan.
Bagi orang yang menentang hukum wajib zakat, adalah kafir, yang enggan menunaikannya, harus di perangi dan diambil zakat darinya secara paksa, sekalipun ia tidak memerangi. Wajib zakat bagi setiap orang Islam, sekalipun tidak mukalaf. Maka bagi walinya yang berkewajiban menge. luarkan zakat dari harta orang yang tidak mukalaf.
Dikecualikan dari ketentuan “muslim”, jika pemilik harta itu seorang yang kafir asli. Karena itu, baginya tidak berkewajiban mengeluarkan zakat, sekalipun setelah Islam. Yang jelas merdeka: Karena itu, zakat tidak wajib bagi seorang budak, karena ia tidak mempunyai hak milik. Begitu juga budak Mukatab, karena dianggap lemah status pemilikannya, serta kewajiban zakat tidak dibebankan atas sayid (tuan)nya, sebab ia sudah tidak menjadi pemilik atas harta Mukatab.
Di dalam emas yang jumlah muminya mencapai 20 mitsqal (96 gr) menurut timbangan Mekah, dengan batas pasti, sekalipun belum dimasak, hal ini masih ada perselisihan dengan ulama yang mengkhususkan wajib zakat pada emas yang sudah dimasak.
Jika dalam suatu timbangan belum mencapai jumlah tersebut, (tapi) pada timbangan yang lain sudah mencapai, maka tidak wajib mengeluarkan zakat, sebab ada keraguan. Satu mitsqal adalah seberat 72 biji syair dengan ukuran sedang.
Asy-Syekh Az-Zarkasyi berkata: Timbangan nisab emas menurut timbangan Al-Asyrafi adalah: 25+2/7+1/9=25 25/63. Kemudian murid beliau, yaitu Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami) mengomentari: Yang dimaksud dengan Al-Asyrafi adalah raja Al-Qaitabai.
(Dan wajib zakat) atas perak yang jumlahnya sudah mencapai 200 dirham, menurut timbangan Mekah. Yaitu seberat 550 biji sya’ir. 10 dirham sama dengan 7 mitsqal. Dalam masalah emas dan perak adalah tidak ada suatu kemurahan pada peniadaan zakat terhadap kelebihannya. Hal ini sebagaimana juga atas barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/10, maka dari emas 20 mitsqal, perak yang mencapai 200 dirham dan selebihnya, sekalipun hanya separo biji sya’ir. (Emas dan perak) itu, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 — 2,5%
Logam satu (emas atau perak) adalah tidak bisa disempurnakan nisabnya dengan logam yang lain, tetapi bisa disempurnakan nisabnya dengan cara menjumlahkan dari berbagai macam dalam satu jenis logam. Boleh mengeluarkan logam yang berkualitas bagus dan utuh, dari nisab logam yang berkualitas buruk dan pecah-pecah. Bahkan sikap semacam ini adalah lebih utama, tetapi jika dibalik adalah tidak boleh.
Dikecualikan dari ketentuan “murni”, jika logam tersebut ada campurannya Karenaitu, tidak terkena zakat, kecuali jumlah murninya telah mencapainisab. Sebagaimana juga wajib mengeluarkanzakatnya sebesar 1/40 dari harta dagangan yang telah mencapai nisabnya pada akhir tahun, sekalipun pada permulaannya harta dimiliki kurang dari nisabnya.
Laba yang diperoleh di pertengahan tahun harus dikumpulkan dengan harta pokok (modal) dalam penjumlahannya, jika tidak menjadi emas-perak, Jika laba tersebut berwujud emas-perak hingga akhir tahun, maka laba itu tidak boleh dijumlah bersama harta modal, akan tetapi masing-masing dikeluarkan zakatnya berdasarkan tahun tersendiri: dan jika labanya sudah sempurna tahunnya, maka juga harus dizakati sendiri.
Harta dagangan statusnya menjadi harta simpanan, sebab ada niat menyimpan, Karena itu, Haulnya jadi putus dengan semata-mata niat menyimpan tersebut: Tetapi tidak sebaliknya (harta simpanan tidak bisa menjadi harta perdagangan dengan ada niat berdagang -pen).
Orang yang mengingkari wajib zakat harta perdagangan adalah tidak dihukumi kafir, sebab kewajiban zakat dalam harta ini masih diperselisihkan (misalnya Imam Abu Hanifah tidak mengatakan wajib zakat atas harta perdagangan -pen). Syarat wajib zakat emas-perak bukan dalam harta perdagangan: Nisab emas-perak sempurna selarha satu tahun penuh. Artinya, dalam masa satu tahun, barang tersebut tidak pernah berkurang dari jumlah hisab di atas.
Tentang zakat harta dagangan, kesempurnaan nisab dalam satu tahun tidak menjadi persyaratan, tetapi hanya disyaratkan pada akhir tahun, karena di sinilah masa wajibnya. Haul terputus sebab terjadi hilang status pemilikan di tengah-tengah tahun, baik lantaran penukaran (yang selain wujud berdagang) atau lainnya.
Memang, tapi jika seseorang memiliki nisab emas-perak, lalu setelah 6 bulan diutangkan, maka Haulnya tidak bisa dihukumi putus: Jika ia seorang yang kaya atau nisab itu kembali padanya, maka ia wajib mengeluarkan zakat di akhir tahun, sebab hak miliknya tidak hilang secara total, sebab masih ada penggantinya pada tanggungan di pengutang.
Harta yang terkena beban zakat, hukumnya makruh menghilangkan pemilikannya dengan cara dijual atau menukar, di mana hal itu bertujuan Hilah (merekayasa). Yaitu penghilangan hak milik tersebut bertujuan menghindari kewajiban zakat, sebab perbuatan ini berarti menyingkir dari ibadah.
(Imam Ibnu Hajar) dalam kitab AlWajiz menyatakan haram perbuatan tersebut. Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ menambahkan: Secara batin tanggungan zakat bagi Orang tersebut belum bebas, dan ini termasuk fikih yang tidak membawa kemanfaatan.
Imam Ibnush Shalah berkata: Dosanya terletak pada tujuannya, bukan pada perbuatannya. Guru kita berkata: Jika penghilangan hak milik itu tidak bertujuan Hilah, tapi ada kebutuhan, atau karena ada kebutuhan dan menghindari, maka hukumnya tidak makruh.
Tukang tukar uang (Shairafi) yang menukarkan uang yang ada di tangannya di pertengahan tahun dengan mata uang lain, sekalipun bertujuan berdagang, dalam jenis mata uang yang sama atau tidak, adalah tidak dikenakan zakat. Begitu juga tidak wajib zakat bagi ahli waris yang menerima harta perdagangan dari orang yang menerimakannya (mayat), sehingga ahli waris itu sendiri menjalankan harta perdagangan itu dengan niat berdagang: maka dalam hal ini, ia mulai lagi Haulnya.
Perhiasan yang mubah, tidak dikena. kan zakat, sekalipun perhiasan tersebut dimiliki oleh laki-laki bertujuan untuk tidak dipakai atau lunnya, disewakan atau dipinjamkan kepada wanita.
Kecuali jika perhiasan tersebut dimiliki dengan niat disimpan. Karena itu, perhiasan seperti ini wajib dizakati.
Bagi laki-laki boleh memakai cincin dari perak. Bahkan hukumnya adalah sunah memakainya pada jari kelingking kanan atau kiri, sebagai tindak ittiba’ kepada Nabi saw. Memakainya di kanan itu lebih utama.
Imam Al-Adzra’i membenarkan kesimpulan dari pembicaraan Ibnur Rif’ah, bahwa cincin perak itu harus kurang dari satu mitsqal beratnya, sebab ada larangan memakainya lebih dari satu mitsqal. Sanad hadis tersebut adalah hasan, tapi oleh Imam An-Nawawi dikatakan daif. Maka menurut pendapat Al-Aujah: Cincin perak itu tidak dibatasi dengan satu mitsqal, tetapi yang penting tidak sampai dianggap berlebihan menurut ukuran umum. Guru kita berkata: Berpijak dengan pendapat tersebut, maka ukuran penilaiannya adalah ‘urf di kalangan orang-orang yang setingkat dengan si pemakai cincin itu.
Memakai cincin lebih dari satu hukumnya fidak boleh, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama yang mengatakan boleh, asal tidak berlebihan. Boleh menghiasi alat perang dengan perak, asal tidak berlebihan.
Misalnya: pedang, tombak, perisai, sarung pedang -ikat pinggang yang diikatkan di perut-, bayonet -bukan pisau dapur, pisau pemotong dan pisau pemotong kuku-. Sebab hal itu dapat menggetarkan pihak musuh.
(Kalau) menghiasinya dengan emas, hukumnya ridak boleh, sebab sangat berlebihan dan angkuh. Sedangkan hadis yang memperbolehkannya, oleh Imam Ibnul Qaththan dianggap daif, sekalipun oleh Imam At-Turmudzi dianggap hasan.
(Boleh bagi laki-laki) menghiasi Mushhaf dengan perak. Guru kuta berkata: Yang dimaksud adalah sesuatu yang ada tulisan Qur-annya, sekalipun untuk tabarruk, musalnya sampul Mushhaf,
Menulis Mushhaf dengan emas adalah baik, sekalipun bagi laki-laki. Tidak boleh menghiasi kitab selain Alqur-an, sekalipun menggunakan perak. Menyepuh secara pasu, hukumnya haram secara mutlak (baik itu alat perang atau bukan, laki-laki atau wanita, dan baik dengan emas atau perak -pen).
Kemudian, jika proses penyepuhan itu ditempa di atas api dengan menghasilkan sesuatu (lelehan yang bernilai), maka haram membiarkan barang itu tersepuh: Kalau tidak, maka tidak haram, sekalipun barang itu mengena pada badan. Hal ini masih ada perselisihkan dengan segolongan ulama.
Halal secara ijmak menggunakan emas-perak bagi wanita atau kanakkanak, pada semacam gelang, keroncong, sandal dan kalung. Menurut pendapat Al-Ashah: Halal juga memakai pada pakaian yang ditenun. Halal memakai mahkota bagi kaum wanita -sekalipun tidak biasa-, dan kalung yang bertetes dinar secara pasti. Begitu juga dinar-dinar yang dilubangi.
Kewajiban zakat tidak dikenakan pada kalung dan sebagainya. Adapun memakai barang-barang yang tersebut di atas secara berlebihan, adalah tidak dihalalkan, misalnya memakai keroncong emas yang berat keseluruhannya mencapai 20 mitsqal, Karena itu, dalam hal semacam ini dikenakan zakatnya.
Wajib juga bagi orang di atas (muslim dan merdeka): Pada pemilikan makanan pokok di waktu ikhtiyar (stabil), baik berupa biji-bijian, misalnya gandum, syair (Jawa: centhel), beras, jagung, kacang putih, jagung kecil, kacang dan biji dagsah, maupun berupa buah-buahan, misalnya kurma dan anggur, yang kesemuanya sudah mencapai jumlah 5 wasaq (720 kg), yaitu tertakar 300 sha’: satu sha’=4 mud, satu mud =1 1/3 liter.
Dalam keadaan yang bersih dari jerami dan kulit yang tidak biasa dimakan. Ketahuilah! Bahwa padi yang disimpan beserta kulitnya yang tidak ikut dimakan, adalah wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai jumlah 10 wasaq.
Zakat yang harus dikeluarkan dari barang-barang tersebut di atas adalah 1/10, jika pengairannya tanpa biaya, misalnya dengan air hujan. Jika pengairannya memakai biaya, misalnya gerbong air (tengki umpamanya), maka wajib dizakati separo dari 1/10 (1/20 atau 590). Besar zakat yang dikeluarkan harus dibedakan, disebabkan beratnya biaya di sini dan ringannya biaya pada yang pertama.
Demikian ini, baik tumbuh dengan cara ditanam atau kebetulan, seperti keterangan dalam Al-Majmu’ yang mengemukakan, bahwa hukum seperti itu adalah merupakan ke sepakatan ulama. Berdasarkan keterangan yang ada dalam Al-Majmu’, dapatlah diketahui kelemahan pendapat Imam Syekh Zakariyya dalam At-Tahrir yang mengikuti kitab asalnya: Disyaratkan untuk zakat biji-bijian/buahbuahan, harus ditanam oleh pemilik atau wakilnya, berarti jika tumbuh dengan sendirinya, adalah tidak wajib dizakati, atau ditanam oleh orang lain yang tidak mendapat izin dari pemaliknya.
Satu jenius tidaklah bisa dikumpulkan bersama jenis lainnya, guna menyempumakan nisabnya: lain halnya dengan macam kualitas, maka wajib dikumpulkan guna menyempumakan nisab (misalnya padi IR.9 dengan IR.20 dan seterusnya -pen). Hasil dua penuaian (panen) harus dikumpulkan dalam penghitungan nisab, jika keduanya terjadi dalam satu tahun.
Harta Baitulmal adalah tidak dikenakan zakat, begitu juga dengan hasil dari barang wakaf -misalnya pohon kurma atau bumiyang diwakafkan untuk kepentingan umum, misalnya orang-orang fakir, para fukaha dan mesjid, sebab pemiliknya tidak tertentu.
Wajib dikenakan zakat bagi hasil wakaf, apabila Mauquf ‘Alaih adalah seseorang atau golongan tertentu, misalnya anak-anak Zaid, Demikianlah, sebagaimana yang tertera dalam Al-Majmu’.
Sebagian fukaha berfatwa, bahwa barang wakaf untuk imam mesjid atau guru harus dizakati, seperti halnya wakaf untuk orang tertentu. Guru kita (Ibnu Hajar) berkata: Pendapat Al-Aujah adalah kebalikan dari itu, sebab tujuan dari wakaf tersebut adalah “jihah” (kepentingan bersama), bukan orang tertentu.
وتجب الزكاة لنبات الارض المستأجرة مع أجرتها على الزارع. ومؤنة الحصاد والدياس على المالك. (و) تجب على من مر للزكاة (في كل خمس إبل شاة) جذعة ضأن لها سنة، أو ثنية معز لها سنتان، ويجزئ الذكر، وإن كانت إبله إناثا، لا المريض إن كانت إبله صحاحا (إلى خمس وعشرين) منها. ففي عشر شاتان، وخمسة عشر ثلاث، وعشرين إلى الخمس والعشرين أربع، فإذا كملت الخمس والعشرون (فبنت مخاض) لها سنة، هي واجبها إلى ست وثلاثين. سميت بذلك لان أمها آن لها أن تصير من المخاض - أي الحوامل -. (وفي ست وثلاثين) إلى ست وأربعين (بنت لبون) لها سنتان. سميت بذلك لان لها أمها آن لها أن تضع ثانيا، وتصير ذات لبن. (و) في (ست وأربعين) إلى إحدى وستين: (حقة) لها ثلاث سنين، وسميت بذلك لانها استحقت أن تركب، ويحمل عليها، أو أن يطرقها الفحل. (و) في (إحدى وستين: جذعة) لها أربع سنين. سميت بذلك لانها يجذع مقدم أسنانها، أي يسقط.
Di dalam Hasyiyah Ar-Raudhah, Imam Al-Jalal Al-Bulqini yang mengikuti Al-Majmu’ berkata: Penghasilan bumi yang dimiliki atau diwakafkan kepada orang tertentu, jika bibitnya dari pemilik atau penerima wakaf, baginya wajib mengeluarkan zakat hasil bumi tersebut.
Jika bijinya dari pihak penggarap tanah, di mana kita menghukumi kebolehan akad “Mukhabarah”, maka yang wajib mengeluarkan zakat adalah penggarapnya, sedang pihak pemilik tidak terkena sama sekali, sebab hasil yang ia terima itu merupakan ongkos dari penyewaan tanah. Jika bibitnya dari penggarap tanah (akad Muzara’ah), lalu sebagian hasilnya ia diberikan kepada penggarap, maka penggarap tidak wajib menzakati, sebab yang diterima merupakan upah pekerjaannya. -Habis. Yang wajib membayar zakat serta upahnya dari hasil bumi yang disewakan, adalah pihak penanam. Biaya pengetam dan penumbuk adalah tanggungan pemilik tanaman
Wajib atas orang tersebut (muslimmerdeka): Untuk 5 ekor unta, mengeluarkan zakat seekor domba berumur 1 tahun atau kambing jawa berumur 2 tahun: dan boleh saja mengeluarkan kambing jantan, sekalipun untanya betina. Tapi jika unta yang dimiliki sehat-sehat, ia mengeluarkan zakat berupa kambing sakit. Kewajiban tersebut berlaku sampai jumlah unta 25 ekor, Maka, untuk 10 ekor unta, zakatnya 2 ekor kambing: 15 ekor unta, zakatnya 3 ekor kambing: dan untuk 20-25 unta, zakatnya 4 ekor kambing.
Jika unta genap berjumlah 25 ekor, maka wajib mengeluarkan zakat seekor unta betina berumur 1 tahun (bintu makhadh). Kewajiban ini berlaku sampai seseorang memiliki unta sejumlah 36 ekor. Unta tersebut dinamakan .bintu makhadh, karena induknya saat itu telah hamil.
Bagi unta yang berjumlah 36-46 ekor, zakatnya seekor unta betina, bintu labun, berumur dua tahun. Dinamakan demikian, sebab induknya telah sampai waktu melahirkan yang kedua dan mempunyai air susu. Bagi unta berjumlah 46-61 ekor, zakatnya seekor unta betina, hiqqa, berumur 3 tahun. Dinamakan demikian, sebab unta itu sudah pantas untuk dikendarai, dibebani muatan atau dikawini pejantan. Bagi unta berjumlah 61 ekor, zakatnya seekor unta betina Jadz’ah, berumur 4 tahun. Dinamakan demikian, sebab gigi depannya sudah – mulai tanggal. Bagi unta berjumlah 76 ekor, zakatnya 2 ekor bintu labun. Bagi unta berjumlah 91 ekor, zakatnya 2 ekor unta hiqqah. Bagi unta berjumlah 121 ekor, zakatnya 3 ekor unta bintu labun.
Kemudian (setelah ada pertambahan 9 ekor, lalu 10 ekor dari jumlah 121, maka hitungan zakatnya mengalami perubahan sebagai berikut:) untuk 40 ekor unta, zakatnya. satu unta bintu labun, dan bagi 50 ekor unta, zakatnya satu unta higgah (jumlah unta sebanyak 130 ekor= 40+40-50, berarti zakatnya 2 ekor bintu labun dan 1 ekor hiqqah: Sedang bagi unta berjumlah 140 ekor = 50 + 50 + 40, berarti zakatnya: 2 ekor hiqqah dan 1 ekor bintu labun -pen).
Adapun 30-40 ekor lembu, wajib mengeluarkan zakat seekor anak lembu berumur 1 tahun (tabi’). Dinamakan demikian, sebab ia masih mengikuti induknya. Bagi 40-60 ekor, zakatnya seckor lembu betina berumur 2 tahun (musinnah), Dinamakan demikian, sebab giginya sudah sempurna tumbuhnya,
Bagi 60 ekor lembu, zakatnya 2 ekor tabi’. Kemudian (setelah bilangan di atas mengalami perubahan sebagai berikut:) Bagi 30 ekor lembu, zakatnya seekor tabi’s dan bagi setiap 40 ekor lembu, zakatnya seekor lembu musinnah (jumlah 70 ekor lembu = 30+40, berarti zakatnya adalah 1 ekor lembu tabi’ dan 1 ekor lembu musinnah, 80 ekor = 40+40, berarti zakatnya adalah 2 ekor musinnah, jumlah 90 ekor lembu = 30+30+30, berarti zakatnya adalah 3 ekor tabi’ dan seterusnya -pen).
Bagi 40-121 ekor kambing, zakatnya 1 ekor kambing, Bagi 121-200 ekor, zakatnya 2 ekor kambing, Bagi 201300 ekor, zakatnya 3 ekor kambing: Bagi 400 ekor, zakatnya 4 ekor kambing. Kemudian, bagi setiap 100 ekor, zakatnya 1 ekor kambing (domba) berumur 1 tahun atau kambing jawa berumur 2 tahun.
Selisih di antara dua nisab, disebut Waqash (kemurahan).Tidak boleh diambil sebagai zakat, binatang yang bagus, misalnya yang sedang hamil, gemuk untuk dimakan atau baru saja beranak selang setengah bulan dari masa kelahiran, kecuali atas kerelaan pemiliknya.
Disebut zakat fitrah, sebab diwajibkan telah berbuka puasa, Zakat tersebut. difardukan sebagaimana difardukan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun ke-2 Hijriah, Perkataan Imam Ibnul Luban, bahwa zakat fitrah hukumnya tidak wajib, adalah suatu kesalahan, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Raudhah.
Imam Waqi’ berkata: Zakat fitrah terhadap puasa bulan Ramadhan, adalah bagaikan sujud Sahwi terhadap salat, artinya ia bisa menambal kekurangan puasa sebagaimana kekurangan salat: Perkataan ini dikuatkan oleh hadis sahih yang menyatakan, bahwa zakat fitrah itu dapat membersihkan orang yang berpuasa dari lelahan (perbuatan sia-sia) dan perkataan keji.
(Wajib) atas orang yang merdeka, Karena itu, zakat fitrah tidak wajib bagi dirinya budak sendiri, tetapi menjadi kewajiban tuannya. Begitu juga (tidak wajib) atas seorang istri. Bahkan jika ia seorang wanita amat, maka yang kewajiban mengeluarkan zakat atasnya adalah tuannya: jika ia bukan seorang istri yang bertatus. amat, maka kewajiban zakat adalah atas dirinya sendiri (bukan kewajiban suaminya yang berupa budak), seperti keterangan berikut ini. Zakat Fitri juga tidak wajib atas seorang budak Mukatab, sebab pemilikannya dianggap lemah. Karena itu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, juga dalam masalah nafkah terhadap kerabatkerabatnya. Juga karena kebebasan dirinya, maka zakat fitrah tidak dibebankan atas sayidnya. Kewajiban zakat fitrah tersebut mulai terbenam matahari akhir Ramadhan, yaitu dengan mendapatkan akhir bulam Ramadhan dan awal Syawal.
Karena itu, kewajiban zakat fitrah tidak dikenakan terhadap orang yang baru setelah terbenam matahari, baik berupa anak, nikah, memiliki budak, kaya ataupun Islam, Tidak bisa . gugur juga kewajiban zakat dari perkara yang terjadi setelah matahari terbenam, baik itu berupa kematian, kemerdekaan budak, perceraian maupun sesuatu yang menghilangkan hak milik.
Waktu pembayarannya adalah mulai waktu wajib (terbenam matahari) hingga terbenam matahari pada Idul Fitri. Karena itu, bagi orang merdeka yang tersebutkan di atas, wajib membayar zakatnya sebelum terbenam matahari Idul Fitri.
Atas nama setiap muslim yang wajib ditanggung nafkahnya waktu terbenam matahari, lantaran sebagai istri, pemilikan atau kerabat, sekalipun istri tersebut sudah ditalak Rajii atau tertalak Ba’in dalam keadaan hamil, sekalipun merupakan istri Amat: Karena itu, zakat fitrah mereka berdua (tertalak Raj’i dan Ba’in dalam keadaan hamil), sebagaimana memberi nafkah kepadanya.
Bagi suami tidak berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah atas istri yang nusyuz (purik), sebab kewajiban nafkahnya sudah gugur atas seorang suami. Tetapi zakat fitrah wajib atas dirinya sendiri, jika ia seorang istri yang kaya. Zakat fitrah istri merdeka yang kaya dan tidak nusyuz, adalah tidak wajib bagi suami merdeka yang melarat. Kewajiban tidak dibebankan kepadanya, sebab ia tidak mampu, begitu juga tidak menjadi beban istri itu sendiri, sebab ia secara sempurna telah menyerahkan dirinya pada sang suami.
Zakat fitrah anak kecil yang kaya tidak menjadi beban ayahnya, tapi zakat tersebut diambilkan dari harta anak itu. Jika seorang ayah mengeluarkan zakat fitrah anak itu dari hartanya sendiri, maka hukumnya boleh dan ia nanti boleh meminta ganti dari harta anaknya, jika waktu pembayaran ia berniat minta ganti rugi. Zakat fitrah anak hasil perzinaan, adalah menjadi beban ibunya. Zakat fitrah anak yang sudah besar dan sudah bekerja, tidak menjadi tanggungan ayahnya. Zakat fitrah tidak dikenakan atas budak yang kafir, dan atas orang murtad, kecuali bila telah kembali ke Islam.
Bagi suami wajib mengeluarkan zakat fitrah atas pembantu istri, jika pembantu itu adalah amatnya sendiri atau amat sang istri yang iaperintahkan untuk melayaninya. Menurut pendapat yang Muktamad: Zakat fitrah pelayan yang digaji atau wanita yang menemani istri, adalah tidak menjadi beban suaminya, sekalipun wanita yang menemani istri itu sudah seizin suami.
Zakat fitrah amat yang dikawinkan dengan suami yang melarat, adalah beban sayidnya, Zakat fitrah wanita merdeka dan kaya yang bersuami seorang budak, adalah beban ia sendiri, bukan suaminya, sekalipun sang suami seorang yang kaya. Imam Ar-Rauyani dalam kitab Al-Bahr berkata: Apabila seorang suami sedang bepergian, maka bagi sang istri boleh berutang untuk biaya nafkahnya sebab darurat, akan tetapi berutang untuk zakat fitrahnya tidak boleh, sebab suanuilah yang dibebani mengeluarkan zakat. Begitu juga boleh berutang bagi orangtua atau anak yang ditinggal pergi oleh penanggung nafkahnya.
Kewajiban membayar zakat fitrah atas orang-orang yang disebutkan di atas, jika harta zakat itu merupakan kelebihan dari: (1) Makanan pokok untuk diri sendiri dan orang yang wajib ditanggung nafkahnya selama sehari-semalam, (2) Pakaian, tempat tinggal dan pembantu, yang diperlukan oleh diri sendiri atau orang yang dinafkahi: (3) Membayar utangnya, menurut pendapat yang Muktamad, yang diperselisihkan dalam Al-Majmu’. Ukuran zakat fitrah untuk satu orang adalah 1 sha’ (2,4 kg) makanan pokok yang umum pada daerah orang yang menunaikan zakat. 1 sha’ = 4 mud (1 mud = 6 ons, berarti 1 sha’ = 6 ons x 4 = 24 ons -pen).
Menurut segolongan ulama, perkiraannya adalah sepenuh dua tapak tangan yang sedang.
Karena itu, zakat fitrah belum cukup dari selain makanan pokok orang yang dizakati, orang yang menunaikannya atau negara itu, sebab selera nafsu orang-orang yang menerima zakat itu pada makanan pokok yang umum di daerahnya. Karena itu juga, zakat fitrah harus diberikan kepada orang-orang fakir di daerah orang yang dizakati: Kalau daerahnya tidak diketahui, misalnya ia sedang minggat, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat: (1) Zakat fitrah tetap harus dikeluarkan seketika (pada malam dan hari Idul Fitri): (2) Tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah, kecuali ia sudah datang: dan (3) Tidak wajib mengeluarkan zakatnya.
(فرع) لا تجزئ قيمة ولا معيب ومسوس ومبلول - أي إلا إن جف وعاد لصلاحية الادخار والاقتيات -، ولا اعتبار لاقتياتهم المبلول إلا أن فقدوا غيره، فيجوز. (وحرم تأخيرها عن يومه) أي العبد - بلا عذر، كغيبة مال أو مستحق. ويجب القضاء - فورا - لعصيانه. ويجوز تعجيلها من أول رمضان، ويسن أن لا تؤخر عن الصلاة العيد، بل يكره ذلك. نعم، يسن تأخيرها لانتظار نحو قريب أو جار ما لم تغرب الشمس.
Cabang:
Zakat fitrah tidak dianggap cukup, jika yang dikeluarkan adalah harga dari sha’ itu, barang yang cacat, dimakan bubuk, atau yang basah -kecuali jika telah kembali kering dan menjadi kuat untuk disimpan dan patut dimakan-. Sedangkan kebiasaan memakan makanan yang basah adalah tidak bisa menjadi ukuran, kecuali jika memang yang ada hanya yang basah, maka boleh digunakan untuk zakat fitrah.
Haram menunda pengeluaran zakat fitrah sampai melewati hari Idul Fitri, bila tiada uzur, misalnya harta atau mustahik tidak ada. Jika ia menunda pengeluarannya tanpa ada uzur, maka ia wajib mengqadha seketika itu, sebab ia dianggap durhaka.
Boleh men-ta’jil pembayaran zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Sunah ‘ tidak menundanya sampai selesai salat Idul Fitri, bahkan penundzi an tersebut hukumnya makruh. memang, tapi jika penundaannya untuk menunggu kedatangan semacam kerabat atau tetangga adalah sunah, selama tidak melewati terbenamnya matahari (di hari Raya Fitri).
فصل (في أداء الزكاة) (يجب أداءها) أي الزكاة، وإن كان عليه دين مستغرق حال لله أو لآدمي، فلا يمنع الدين وجوب الزكاة - في الاظهر - (فورا) ولو في مال صبي ومجنون، حاجة المستحقين إليها (بتمكن) من الاداء. فإن أخر أثم، وضمن، إن تلف بعده. نعم، إن أخر لانتظار قريب، أو جار، أو أحوج، أو أصلح، لم يأثم، لكنه يضمنه إن تلف، كمن أتلفه، أو قصر في دفع متلف عنه، كأن وضعه في غير حرزه بعد الحول، وقبل التمكن.
Wajib membayarkan zakat dengan seketika, sekalipun mempunyai tanggungan utang kontan yang harus dibayar, yang sampai menghabiskan nisab, baik untuk Allah (misalnya kafarat nazar -pen) atau manusia. Karena itu, adanya utang tidak bisa menghalangi kewajiban zakat, menurut pendapat Al-Azhhar. Sekalipun harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta anak kecil, sebab kebutuhan penerima-penerima zakat (mustahik -pen) pada zakat seketika itu. Kewajiban tersebut setelah ada kemampuan untuk membayarnya.
Apabila seseorang menunda pembayaran zakat (setelah mampu/ada kesempatan), maka berdosa, dan ia wajib menanggung jika terjadi kerusakan, setelah kesempatan itu. Tapi, jika penundaannya untuk menanti semacam kerabat, tetangga, orang yang lebih memerlukan, atau orang yang lebih patut menerimanya, maka tidak berdosa, tapi ia tetap harus menanggung kalau ada kerusakannya, Tak ubahnya dengan orang yang merusakkan harta zakat atau lalai dalam memberikannya, misalnya ia meletakkan harta itu di tempat yang tidak selayaknya, setelah cukup Haul. dan sebelum tamakkun.
Tamakkun (mampu untuk membayarkan zakat), adalah terjadi dengan “adanya harta yang bergerak”, yang tadinya tidak ada atau telah beradanya “harta tak bergerak” di tempat yang sulit terjangkau: Kalau harta tersebut belum hadir, maka tidak wajib menunaikan zakat dari harta yang berada di tempat lain, sekalipun kita berpendapat, bahwa memindah harta zakat itu hukumnya boleh.
Telah hadir pihak penerima zakat, atau sebagian dari mereka sudah ada, maka seseorang dalam hal seperti ini sudah dianggap tamakkun pada jumlah yang sebagian itu, sehingga jika ia merusakkan harta itu, maka ia wajib menanggungnya. Tamakkun/kesempatan menunaikan zakat di atas, setelah lepas dari keperluan akhirat (misalnya telah selesai melakukan salat) atau dunianya, misalnya makan dan pergi ke kamar kecil. Tamakkun terjadi juga dengan telah datangnya masa pembayaran piutang, baik berupa emas-perak atau harta dagangan (dari pihak pengutang).
Di mana ia mampu untuk menagih piutang itu, misalnya: Pihak pengutang adalah orang kaya yang mau membayar serta tidak bepergian, pengutang tidak mengaku berutang tapi ada bayyinah, tidak ada bayyinahr, tapi pihak Qadhi mengerti kalau ia memang berutang: atau dia mampu membereskan kasus tersebut, Maka dalam hal seperti ini dia wajib mengeluarkan zakat dengan seketika, sekalipun dia sendiri belum menerima piutang itu, sebab ia kuasa untuk menerimanya.
Adapun jika dia tidak mampu untuk menagih piutang itu, lantaran pihak pengutang dalam keadaan melarat, mengulur-ulur waktu pembayaran, pengutang tidak ada, atau terjadi pengingkaran utang, sedang ia sendiri tidak punya bayyinah, maka harta yang seperti ini hukumnya sama dengan harta yang digasab. Artinya, ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali setelah menerimanya.
Harta yang digasab atau sedang tidak ada di tempatnya, hukumnya wajib dizakati, tapi penyerahan zakatnya setelah mampu, yaitu dengan kembalinya harta itu.
Apabila seorang suami memberikan Mahar kepada seorang istri sebanyak nisab emas/perak, sekalipun masih dalam tanggungannya atau senisab binatang ternak tertentu, maka wajib mengeluarkan zakatnya tatkala telah sempurna satu tahun (haul) terhitung sejak pemberiannya, sekalipun sang istri belum menerima dan belum pernah dijimak.
Tapi, jika emas/perak yang menjadi maskawin tersebut berada dalam tanggungan (dzimmah), maka disyaratkan harus kuasa untuk menerimanya, yaitu dengan keadaan sang suami yang kaya dan hadir (ada di tempat).
Cabang:
Jika muwakkil berkata, “Juallah kepada orang tertentu, misalnya Zaid”, maka bagi wakil tidak boleh menjual kepada selain Zaid, sekali-pun orang itu wakil Zaid. Kalau ia berkata, “Juallah dengan harga harta tertentu, misalnya: dinar”, maka wakil tidak boleh menjual dengan uang dirham: begitulah menurut pendapat Al-Muktamad. Kalau ia berkata, “Juallah di tempat tertentu”, atau “juallah di masa tertentu, misalnya bulan anu.,, atau di hari anu…, maka wakil tidak boleh menjual sebelum dan sesudah waktu-waktu tersebut, sekalipun dalam “perwakilan talak dan tidak berkaitan dengan suatu maksud, lantaran menjalankan izin muwakkil.
Jika setelah berjalan satu tahun sang suami berkata kepada istri: Jika
engkau bebaskan aku dari maharmu, maka engkau tertalak, lalu sang istri
benar-benar membebaskan, maka tidak bisa jatuh talaknya terhadap istri,
sebab suami tidak bebas dari seluruh mahar tersebut, tapi bebas dari selain
jumlah besar zakat. Jalan pembebasan yang sah di sini (sehingga jatuh talak
benar-benar terjadi -pen) adalah sang suami memberikan mahar sebesar
zakatnya, lalu istri membebaskannya.
Jual beli atau gadai dalam kadar zakat saja, hukumnya adalah batal, jika pemilik harta yang dizakati melakukan jual beli atau gadai terhadap jumlah sebesar nisab atau sebagiannya setelah cukup haul, maka akad jual beli atau gadai itu hukumnya sah, tapi untuk yang sejumlah kadar zakat yang harus Dikeluarkan, akad tersebut tidak sah (ini berpedoman pada pendapat yang mengatakan, bahwa Tafriqush Shufgah hukumnya boleh -pen), sebagaimana halnya dengan harta-harta perserikatan -demikianlah menurut pendapat Al-Azhhar.
Memang, tapi jual beli/gadai pada jumlah kadar zakat suatu barta perdagangan adalah sah, Kalau hibah, maka tidak sah.
Cabang:
Pembayaran zakat dan semacamnya adalah dilaksanakan terlebih dahulu daripada Tirkah penanggungan utang pada orang lain (hak Adami) yang kurang mencukupi, guna memenuhi sekalian kewajibannya, baik berupa hak-hak adami ataupun hak Allah, misalnya kafarat, haji, nazar dan zakat, sebagaimana halnya yang harus dilakukan bila dua hak tersebut berkumpul pada Mahjur Alaih
Syarat menunaikan zakat ada dua:Niat di dalam hati, bukan dengan ucapan. Misalnya: Intlah zakat hartaku -sekalipun tidak menyebutkan “fardu”, sebab dengan zakat di sini berarti sudah fardu-, “Inilah sedekah fardu”, atau “Inilah zakat fardu untuk hartaku”.
Belum cukup niat “Inilah fardu hartaku”, sebab kefarduan harta itu bisa berupa kafarat, juga bisa nazar.
Dalam berniat, tidaklah wajib menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya, Kalau ia menentukannya, maka zakat yang dikeluarkan tidak bisa melimpah pada yang lain, sekalipun ternyata yang ditentukan itu harta yang rusak, sebab ia tidak meniatkan terhadap harta yang lain tersebut.
Dari sini, jika ia berniat: “(Ini adalah zakat dari harta) bila ternyata harta yang dizakati itu rusak, maka harta ini sebagai zakat dari hartaku yang jain”, kemudian ternyata benar, bahwa harta tersebut rusak, maka zakat itu bisa melimpah untuk harta yang lain. Lain halnya jika ia berniat. “Ini adalah zakat hartaku yang gaib, jika masih ada atau inilah sedekah hartaku”, sebab tidak ada kemantapan dalam menunaikan fardu.
Jika ia berkata: “(Ini adalah zakat hartaku yang tidak di tempat jika masih ada), dan jika telah rusak, maka ini adalah sedekah”, kemudian ternyata hartanya telah,rusak, maka menjadi sedekah, atau ternyata masih ada, maka menjadi zakat.
Jika seseorang mempunyai tanggungan zakat, tapi ia merasa ragu: Sudah menunaikannya atau belum? Lantas ia mengeluarkan suatu harta dan berniat: “Jika memang aku. masih punya tanggungan zakat, maka barang ini sebagai zakatnya, dan jika sudah tidak punya tanggungan, maka barang ini sebagai sedekah sunah”, kemudian, jika ternyata ia masih punya tanggungan zakat, maka barang yang ia keluar: kan tersebut sudah mencukupi sebagai zakatnya, Kalau sudah tidak punya tanggungan, maka barang tersebut menjadi sedekah sunah, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.
Secara pasti, tidaklah cukup sebagai zakat, pemberian harta kepada Mustahiggin (orang-orang yang berhak) tanpa niat. Tidak disyaratkan bersamaan antara niat dengan penyerahan harta. Bahkan telah cukup bila sudah niat sebelum menyerahkannya. Yaitu di saat memisahkan harta zakat dari harta yang dikeluarkan zakatnya, atau berniat di kala menyerahkan harta kepada wakil atau imam. Yang lebih utama lagi: Wakil dan imam di kala membagikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak, mereka berniat. Atau (cukup) jika niat telah dilakukan setelah memisahkan hatta dari harta yang dizakati atau menyerahkan kepada wakil, tapi belum dibagibagikan, sebab rasanya berat bersama-sama antara niat dengan penyerahan zakat kepada seorang penerima zakat (mustahik).
Bila seseorang berkata kepada orang lain: “Sedekahkanlah harta ini”, kemudian ia berniat sebelum harta tersebut disedekahkan oleh wakil (orang lain itu), maka harta itu cukuplah menjadi zakat. Bila ia berkata kepada orang lain: “Ambilkan piutangku yang berada di tangan si Fulan dan itu sebagai zakatku untuk dirimu”, maka hal itu belum cukup sebagai zakat, sampai ia sendiri berniat setelah piutang diterima oleh orang lain tersebut, lalu ia memberi izin padanya untuk mengambil zakat.
Sebagian fuqaha berfatwa: “Sesungguhnya mewakilkan mengeluarkan zakat secara mutlak, adalah berarti pula mewakilkan dalam niatnya.” Dalam hal ini Guru kita berkata: Fatwa tersebut perlu untuk diteliti, bahkan menurut pendapat yang Muttajah, pemilik harta zakat wajib berniat atau menyerahkan niatnya kepada si wakil.
Imam Al-Mutawalli dan lainnya berkata: Wakil wajib berniat, jika kefarduan zakat Muwakkil menggunakan harta wakil. Misalnya Muwakkil berkata kepada Wakil: “Tunaikanlah zakatku dari hartamu”. Hal ini dimaksudkan supaya yang dikerjakan oleh si wakil untuk kewajiban Muwakkil. Ucapan Muwakkil seperti itu adalah menyimpan izin kepada wakil dalam berniat.
Imam Al-Qaffal berkata: Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Utangilah aku sejumlah lima (Rp 50.000, umpama pon) dan bayar. kanlah jumlah tersebut gobagai gakatku”, lantas orang itu malakaana kannya, maka sah gakatnya. Dalam hal ini Guru kita berkata: Maanlah tersebut didasarkan pada pendapat Imam Al-Qaffal, bahwa adanya penerima dan penyerah barang terdiri dari satu orang adalah boleh.
Boleh bagi setiap teman perserikatan untuk mengeluarkan zakat harta perserikatan tanpa izin yang lain, seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Jurjani dan mendapat pengakuan dari ulama lainnya. Hal tersebut diperbolehkan karena syarak memberi izin tindakan itu. Menurut pendapat Al-Aujah, adalah sudah cukup dengan niat dari penyerah zakat sebagai hiat teman sekutu: yang lain.
Boleh mewakilkan kepada orang kafir atau anak kecil untuk menyerahkan zakat kepada orang yang telah ditentukan, yaitu orang yang akan diberi zakat telah ditentukan, bukan secara mutlak. Akan tetapi tidak sah menyerahkan niatnya kepada mereka berdua, sebab mereka tidak sah dalam berniat. Boleh mewakilkan kepada selain mereka untuk menyerahkan zakat beserta niatnya.
Wajib bagi’ wali meniatkan zakat harta anak kecil atau orang gila. Jika ja menasarufkan zakat mereka tanpa niat, maka ia wajib menanggungnya, sebab ia gegabah. Bila pezakat menyerahkan zakatnya kepada imam tanpa niat, lagi pula ia tidak memberi izin kepadanya dalam niat, maka niat imam belum dianggap mencukupi. Memang, tapi telah dianggap cukup niat si imam, jika harta itu diambil oleh imam secara paksa dari orang yang membangkang mengeluarkan zakat, sekalipun pemilik harta tidak berniat.
Bagi pemilik harta -bukan bagi waliboleh menta’jil zakat sebelum sempurna Haul, Kalau menta’jil zakat sebelum sempurna nisab untuk selain harta dagangan, adalah tidak boleh: Juga tidak boleh mentajil zakat untuk masa dua tahun, demikianlah menurut pendapat Al-Ashah. Bagi seseorang boleh menta’jil zakat Fitrah sejak permulaan bulan Ramadhan. Adapun ta’jil terhadap harta perdagangan, sekalipun belum sempurna ‘nisabnya, adalah boleh. Ketika ta’il, ia harus niat ta’jil, misalnya: “Ini adalah ta’jil zakatku”.
Haram menunda zakat setelah masa haul dan tamakkun, dan ia wajib menanggungnya jika terjadi kerusakan setelah tamakkun, yaitu setelah harta dan mustahiknya hadir, atau harta itu rusak setelah masuk haul, walaupun sebelum tamakkun, seperti keterangan yang telah lewat. Diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, Yaitu orang yang termasuk dari 8 golongan, seperti yang tertuturkan dalam ayat Alqur-an (At-Taubah: 20), yang artinya: “Sedekah (zakat) itu hanya diberikan kepada orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mukalaf, budak, orang yang utang, sabilillah dan ibnus sabil ….”
Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang ditanggung biaya hidupnya.
Status fakir tidak terhalang lantaran seseorang memiliki rumah, beberapa pakaian yang sekalipun digunakan untuk berhias di hari-hari tertentu, punya buku-buku yang diperlukan, budak yang dibutuhkan untuk melayaninya, harta yang berada di tempat sejauh dua Marhalah, harta di tempat yang tidak dapat diambilnya karena terhalang scsuatu, punya piutang yang belum sampai waktu pembayarannya, atau pekerjaan yang tidak layak baginya. Sebagian ulama berfatwa: Perhiasan wanita yang patut dan dibutuhkan untuk berhias secara biasa, adalah tidak menghalangi status kefakirannya fatwa ini dibenarkan oleh guru kita.
Miskin ialah orang yang memiliki harta atau pekerjaan untuk menutup kebutuhannya, tapi tidak mencukupinya, misalnya seseorang kebutuhannya 10 tetapi hanya mempunyai 8, dan tidak mencukupinya, sekalipun ja memiliki harta lebih dari nisab, karena itu bagi imam berhak mengambil zakatnya lalu memberikan kepadanya.
Masing-masing fakir dan miskin, jika biasa berdagang, maka mereka diberi zakat sejumlah modal yang biasanya dapat menghasilkan laba yang bisa memenuhi kebutuhannya, Kalau biasanya menjadi pekerja, maka mereka diberi seharga alatnya, Sedang bagi yang tidak bisa bekerja atau berdagang, maka mereka diberi zakat sejumlah yang mencukupi kebutuhannya yang wajar sepanjang umur.
Orang yang mengaku fakir, miskin atau tidak mampu, sekalipun tubuhnya kuat perkasa, adalah bisa dibenarkan tanpa disumpah. Tetapi Orang yang mengaku kerusakan hartanya tanpa saksi adalah tidak bisa dibenarkan.
Amil ialah, seperti halnya pengusaha zakat: yaitu orang yang diutus oleh imam untuk rhengambil (menulis, menghitung, membagi, dan menjaga zakat -pen): dan seperti halnya pembagi dan pengumpul zakat, bukan seperti halnya qadhi.
Muallaf ialah orang yang masuk Islam, sedang niatnya masih lemah, atau orang Islam yang mempunyai kewibawaan, dengan diberi zakat, akan menarik Islam yang lain.
Riqab ialah budak-budak Mukatab “yang dijanjikan merdeka dengan akad Kitabah yang sah: Mukatab atau tuannya dengan seizinnya, diberi zakat sejumlah tunggakan angsuran tebusan kemerdekaannya, jika ia tidak mampu melunasinya, sekalipun ia seorang pekerja. Akan tetapi kalau diberi zakat dari tuannya, tidak boleh, sebab ia masih milik tuannya.
Gharim ialah orang yang berutang untuk dirinya, yang tidak digunakan untuk maksiat. Karena itu, ia diberi zakat, jika tidak bisa melunasi utangnya, sekalipun ia seorang pekerja. Sebab, kerja itu tidak bisa menutup kebutuhan untuk melunasi utangnya, bila telah tiba masa pembayaran.
Kemudian, jika Gharim tersebut tidak memiliki apa-apa, maka ia diberi sejumlah utangnya. Kalau masih memiliki harta, maka bila ia menutup utang dengan hartanya, lalu menjadi miskin, maka disisakanlah hartanya yang cukup untuk kebutuhan yang wajar sepanjang umur -menurut penjelasan Guru kita-, lalu ia diberi bagian zakat sejumlah kekurangan utangnya. Atau Gharim (itu bisa juga) orang yang berutang untuk keperluan mendamaikan percekcokan. Maka orang ini diberi bagian zakat sejumlah utang tersebut, sekalipun ia orang yang kaya. Adapun jika ia tidak berutang, tapi membiayai dengan hartanya sendiri, maka ia tidak boleh diberi bagian zakat.
Orang yang berutang untuk keperluan umum, misalnya menjamu tamu, membebaskan tawanan, atau meramaikan/memperbaiki mesjid, adalah boleh diberi bagian zakat. Atau Gharim (itu bisa juga) orang yang berutang untuk keperluan menanggung utang orang lain. Jika penanggung dan yang ditanggung sama-sama melarat, maka penanggung diberi bagian zakat sejumlah pelunasannya.
Atau apabila yang ditanggung itu kaya, sedang penanggungnya melarat, maka penanggung diberi bagian zakat seukuran utangnya, jika ja menanggung tanpa seizin yang ditanggung: Bila yang ditanggung melarat, sedang yang menanggung melarat, maka yang ditanggung diberi bagian (secukup utangnya kepada penanggung), sedang penanggung tidak boleh diberi bagian zakat. Jika penanggung telah melunasi utangnya dari bagian Gharim, ia tidak boleh menagih kepada yang ditanggung, sekalipun ia menanggungnya seizin yang ditanggung. Harta zakat sama sekali tidak boleh dipergunakan mengafani mayat atau membangun mesjid.
Barangsiapa memberikan zakatnya kepada pengutang dengan syarat diserahkan lagi sebagai pelunasan utangnya, hukumnya tidak boleh, dan pelunasan utang seperti itu tidak sah: Kalau keduanya berniat seperti itu tanpa ada syarat, maka boleh dan sah pembayarannya. Begitu juga boleh, jika pengutang berjanji membayar utangnya (jika telah menerima zakat), namun hal itu tidak menjadi syarat, dan dalam masalah ini pengutang tidak wajib menepati janjinya. (Contoh: Pengutang berkata kepada pemiutang: Berilah aku dari zakatmu, nanti aku akan membayar utangku -pen).
Bila pemiutang berkata kepada pengutang: Piutang yang ada di tanganmu, aku jadikan zakat dariku, maka belum mencukupi, menurut pendapat Al-Aujah. Kecuali ia telah menerimanya, lalu menyerahkannya kepada pengutang tadi.
Bila seseorang berkata: “Takarlah sekian makanan milikku yang ada padamu untuk dirimu”, serta berniat mengeluarkan zakat, lalu perintah tersebut dilakukan: apakah sudah mencukupi dalam berzakat atau belum? Di sini ada dua pendapat: Merurut lahir pembicaraan Guru kita, adalah memenangkan pendapat yang mengatakan belum cukup.
Sabilillah ialah: Pejuang sukarelawan Islam, sekalipun kaya. Mereka diberi bagian zakat sebagai nafkah, pakaian, dan untuk keluarganya, selama berangkat dan pulang. Demikian juga diberi biaya untuk alat peperangan.
Ibnus sabil ialah: Musafir yang melewati daerah zakat atau memulai perjalanan yang dianggap boleh dalam syarak dari daerah zakat tersebut, sekalipun untuk bertamasya atau bekerja. Lain halnya bepergian dengan tujuan maksiat, kecuali jika telah bertobat, atau musafir yang berjalan tanpa tujuan, misalnya pengelana. Ibnus sabil diberi bagian zakat secukup kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tangungannya. Artinya, semua kebutuhan mereka selama pergi dan pulangnya, baik itu nafkah atau pakaiannya. Hal ini jika di tengah perjalanan atau tempat tujuannya tidak memiliki harta.
Orang yang mengaku dirinya bepergian atau berperang dapat dibenarkan tanpa sumpah. Dan apa yang telah diterimanya harus ditarik lagi, jika ternyata mereka tidak jadi pergi atau berperang. ‘ Seseorang tidak bisa diberi zakat atas nama dua sifat (misalnya fakir dan gharim -pen). Namun, Seseorang yang fakir jika telah mengambil bagian atas nama gharim, lantas diberikan kepada pemiutangnya, maka ia boleh diberi lagi sebagai fakir, sebab sekarang ia memerlukannya.
Apabila pemilik harta telah membagikan zakat sendiri, maka untuk bagian Amil sudah tidak ada. Kemudian, jika orang-orang yang berhak menerima zakat itu terbatas, serta harta zakat mencukupi untuk mereka, maka mereka harus diberi secara rata. Kalau harta itu tidak mencukupi, maka tidak wajib meratakan mereka, sunah pun tidak. Tetapi wajib membagikan kepada tiga orang dari tiap-tiap golongan, sekalipun mereka tidak berada di daerah zakat waktu wajib pembayaran zakat. Memberi tiga orang yang merupakan penduduk daerah (warga tempat zakat dikeluarkan), adalah lebih utama.
Bila pezakat memberikan harta zakat hanya kepada dua orang, padahal orang yang ketiga ada, makaia wajib membayar sebesar harga minimal bagian semestinya kepada orang ketiga dari hartanya sendiri, sebagai utang terhadap orang ketiga tersebut. Apabila sebagian dari ketiga orang tersebut tidak ada, maka bagiannya – diberikan kepada orang lain dalam kelompoknya yang membutuhkan: Kalau teman kelompok itu tidak membutuhkannya, maka diberikan kepada kelompok lain.
Wajib menyamaratakan bagian di antara kelompok, sekalipun kebutuhan sebagian kelompok tersebut melebihi yang lain. Kalau menyamaratakan bagian di antara individu kelompok, hukumnya tidak wajib, tapi hanya sunah. Segolongan fukaha dari imam-imam mazhab Syafi’i memilih pendapat yang memperbolehkan memberikan zakat fitrah kepada tiga miskin atau mustahik yang lain.
Apabila pada waktu datang kewajiban memberikan zakat itu semua kelompok orang yang berhak terbatas masing-masing pada 3 orang atau kurang, maka mereka menghaki seluruh harta zakat: Dan jika hanya sebagian kelompok mustahik saja yang terbatas pada 3 orang atau kurang, maka mereka memperoleh bagian yang diperuntukkan mereka. Demikian ini dimilikinya sejak waktu kewajiban tersebut, karena itu tidaklah menjadi masalah terjadinya kaya. atau mati dari seseorang di antara mereka, tapi hak tetap ada di tangannya. Maka bagian yang mati diberikan kepada ahli warisnya, sekalipun ahli waris tersebut adalah pezakat itu sendiri. Sedang orang yang baru datang, tidak dapat bersekutu untuk : memilikinya, demikian juga dengan orang yang tidak ada pada waktu kewajiban pembagian zakat telah tiba.
Apabila para mustahik lebih dari 3 orang pada masing-masing kelompok atau sebagian kelompok, maka mereka tidak dapat memiliki harta, kecuali dengan cara pembagian (karena itu, jika seseorang di antara mereka mati, pergi atau kaya setelah membayar zakat dan sebelum harta dibagi, maka ia tidak mendapatkan apa-apa, Dan jika orang yang berkelana itu datang atau orang yang kaya pada waktu kewajiban menjadi miskin, maka pada pembagian harta tersebut, mereka boleh diberi -pen). Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tidak dapat mencukupinya (tidak sah).
Tidak diperbolehkan memberikan zakat dalam bentuk harga harta itu, kecuali pada harta perdagangan, Sedang pada harta dagangan, tidak boleh diberikan zakatnya dalam bentuk harta itu. Dinukil dari sahabat Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Hudzaifah r.a., bahwa memberikan zakat kepada satu kelompok adalah hukumnya boleh. Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah. Dia berkata: Boleh memindah zakat, namun makruh, boleh memberikan zakat dalam bentuk harga, dan boleh memberikan zakat harta dagangan dalam bentuk harta itu.
Apabila pezakat memberikan zakatnya -sekalipun zakat fitrahkepada orang kafir, budak sekalipun muba’adh yang bukan Mukatab, Bani Hasyim, Bani Muthalib atau budak milik mereka, maka pemberian tersebut tidak sah sebagai zakat.
Karena penerima zakat harus: Islam, merdeka, bukan dari Bani Hasyim atau Muthalib. Sekalipun Bani Hasyim atau Muthalib telah putus dari bagian 1/25 (dalam Ghanimah atau harta rampasan perang -pen). Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya zakat-zakat ini adalah kotoran manusia dan tidak halal diterima oleh Muhammad dan keluarganya.” Guru kita berkata: Setiap perkara yang wajib, misalnya nazar dan kafarah dihukumi sebagaimana zakat. Lain halnya pemberian sunah dan hadiah.
Atau (belum sah sebagai zakat) jika diberikan kepada orang kaya. Yaitu orang yang mempunyai biaya hidup selama seumur yang wajar, menurut pendapat Al-Ashah. Ada yang berpendapat, orang kaya adalah orang yang mempunyai biaya hidup selama satu tahun atau mempunyai pekerjaan halal yang patut baginya. Atau (belum cukup sebagai zakat) jika diberikan kepada orang yang telah dicukupi nafkahnya sebagai kerabat, baik termasuk orangtua, anak atau suami: Lain halnya orang yang dinafkahi oleh seseorang secara sukarela.
Itu semua belum mencukupi sebagai zakat dan kewajibannya dianggap belum selesai, jika yang memberi itu pemilik sendiri, sekalipun ia mengira, bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak menerima zakat.
Kemudian, jika yang memberikan adalah seorang imam atas perkiraannya bahwa mereka adalah orangorang yang berhak menerima zakat, maka pemilik (pezakat) bebas dari tanggungan, dan imam pun tidak wajib menanggungnya, tapi ia wajib menarik harta tersebut, lalu diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Adapun orang yang belum tercukupi dengan nafkah wajib dari suami atau kerabat, maka ia diperbolehkan menerima zakat dari pemberi nafkah atau lainnya, sehingga atas nama fakir. Bagi orang yang telah tercukupi nafkahnya, boleh menerima zakat atas nama selain fakir atau miskin, sekalipun menerima dari pemberi nafkah wajib padanya.
Sunah bagi istri memberikan zakatnya kepada suaminya, sebingga sampai atas nama fakir atau miskin, sekalipun zakat itu nanti oleh suami. dinafkahkan kepadanya. Guru kita berkata: Yang jelas: Kerabat yang kaya, jika ia tidak mau memberi nafkah kepada kerabatnya yang fakir, serta si fakir tidak mampu melaporkan hal itu kepada hakim, maka si fakir boleh diberi zakat, sebab telah nyata kefakiran atau kemiskinannya.
Imam An-Nawawi berfatwa tentang orang balig yang meninggalkan salat karena malas, bahwa ia boleh diberi zakat dan yang menerima hanyalah walinya, seperti halnya anak-anak dan orang gila. Zakat tidak boleh diberikan kepadanya, sekalipun walinya sedang tidak ada, Berbeda dengan ulama yang mengatakan boleh memberikan kepadanya, jika walinya tidak ada.
Lain halnya jika ia masih baru dalam meninggalkan salat atau mentabdzirkan sesuatu, di mana ia tidak di-hajr (dicegah dari menasarufkan harta), maka ia boleh menerima zakat sendiri. Boleh memberikan zakat kepada orang yang fasik, kecuali jika diketahui, bahwa ia menggunakan zakat itu untuk maksiat, maka zakat haram diberikan kepadanya, sekalipun zakat tetap sah.
Segala harta yang kita ambil dari kafir Harbi secara paksa, adalah disebut Ghanimah. Kalau yang kita ambil tidak dari kafir Harbi, atau pengambilannya tidak secara paksa, maka disebut harta Fai. Termasuk ghanimah juga, apa yang kita ambil dari daerah inusuh dengan menjambret atau mencuri, menurut Al-Ashah, Lain lagi dengan pendapat Imam Al-Ghazali dan Al-Haramain, di mana mereka berkata: Harta yang kita ambil dari daerah musuh dengan cara menjambret tersebut tidak usah dibagi lima. Sedang Imam Ibnur Rif’ah mendakwahkan atas ijmak perkataan tersebut.
Termasuk harta fai, adalah upeti, 10% pajak perdagangan dan harta peninggalan orang murtad. Dalam pembagian gharumah, terlebih dahulu barang-barang rampasan dari terbunuh diberikan kepada pembunuh yang Muslim tanpa dibagi menjadi lima. Yaitu meliputi pakaian, senjata, kendaraan, gelang, ikat pinggang, cincin dan kalung terbunuh. Kemudian, didahulukan pula tanggungan biaya yang keluar, misalnya upah pengangkutan ghanimah.
Setelah itu, ghanimah dibagi menjadi 5 bagian, yang 4/5 diberikan kepada mereka yang ikut ke medan perang, sekalipun tidak ikut berperang. Satu sama lain tidak ada yang lebih unggul bagiannya. Pembagian tersebut, sekalipun ghanimah berupa pekarangan (barang tak bergerak).
Tidak diberikan kepada orang yang bertemu dengan mereka setelah peperangan berakhir, walaupun sebelum pengumpulan harta. Juga tidak diberikan kepada orang yang mati sebelum pengumpulan harta. Demikianlah menurut mazhab. (Kalau dalam harta fai pembagiannya) 4/5 diperuntukkan tentaratentara yang dipersiapkan berperang.
Bagian 1/5 harta ghanimah dibagi lagi menjadi lima bagian: 1/25 untuk kemaslahatan umum, misalnya membentengi, membangun benteng atau mesjid, gaji para Qadhi dan gaji orang-orang yang menghabiskan waktunya demi ilmu syariat dan ilmu pelengkapnya -sekalipun baru tahap awal belajar-, para penghafal Alqur-an, para imam mesjid dan muazin. Sekalipun mereka adalah orang-orang kaya, tetap diberi bagian sebesar kebijaksanaan imam (kepala negara).
Wajib mendahulukan kelompok terpenting di antara semua itu Adapun yang paling penting adalah yang pertama (membentengi daerah) Apabila sang imam menahan hak mereka dengan memberinya dari Baitulmal, dan salah satunya diberi daripadanya, maka boleh diambil, selagi tidak melebihi kecukupannya, menurut pendapat Muktamad. Berikutnya 1/25 diberikan kepada Bani Hasyim dan Muthalib, sekalipun mereka kaya. Adapun laki-laki bagiannya dua kali lipat bagian wanita. Berikutnya 1/25 diberikan kepada anak-anak yatim yang fakir. Berikutnya 1/25 diberikan kepada orang-orang miskin. Terakhir 1/25 diberikan kepada Ibnus sabil (musafir) yang fakir.
Empat kelompok yang akhir tersebut harus diberi secara rata, baik yang hadir atau yang tidak hadir di tempat pembagian harta. Memang, tapi tidak boleh menyamaratakan untuk masing masing individu yang tidak berkerabat, Tidak boleh juga membedakan antara kelompok satu dengan lainnya.
Kalau jumlah harta tersebut cuma sedikit, sehingga apabila disamaratakan tidak mencukupi, maka (bagi imam) harus mengkhususkan kepada yang lebih butuh, dan ia tidak boleh meratakan, sebab darurat, Jika salah satu di antara mereka (4 kelompok) tidak ada, maka bagiannya dibagi rata kepada kelompok ok yang lain (ada).
Menurut tiga imam (selain Imam Syafi’i), adalah boleh mentasarufkan seluruh bagian 1/5 fai pada kemaslahatan kaum Muslimin. Adalah tidak sah persyaratan sang imam, bahwa barangsiapa mengambil sesuatu dari barang rampasan (sebelum dibagi), adalah miliknya. Dalam sebuah pendapat: Syarat yang ditetapkan oleh imam tersebut hukumnya sah, Pendapat itu juga dipegang oleh ketiga imam. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat: Bagi sang imam boleh melebihkan bagian pada kelompok tertentu atas yang lain.
Apabila salah seorang penjarah memperoleh suatu barang dari hasil jarahannya sebelum dibagi menurut syariat, maka hukumnya tidak boleh mentasarufkannya. Sebab barang itu masih berserikat antara dia dengan Ahli Khumus yang lain, padahal bagi teman perserikatan tidak boleh mentasarufkan harta perserikatan tanpa seizin yang lain.
Sedekah Tathawu’ (Sukarela) Disunahkan sedekah Tathawu’. Berdasarkan-ayat Alqur-an yang artinya: “Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang bagus…” (QS. 2, Al-Baqarah: 245). Juga berdasarkan hadis-hadis yang telah masyhur. Terkadang sedekah tersebut hukumnya wajib, sebagaimana seseorang menjumpai orang yang dalam keadaan kesulitan, sedang ia mempunyai kelebihan harta yang bisa diberikan kepadanya.
Makruh bersedekah dengan barang yang buruk. Bersedekah dengan uang, pakaian bekas dan semacamnya adalah tidak termasuk bersedekah dengan barang yang buruk. Bahkan sebaiknya seseorang tidak perlu malu bersedekah dengan Jumlah yang sedikit. Bersedekah dengan air adalah lebih utama, kalau ternyata banyak dibutuhkan, Kalau kebutuhan terhadap air tidak begitu banyak, maka yang lebih utama adalah sedekah dengan makanan.
Apabila terjadi pertentangan antara memberi sebagai sedekah seketika dengan wakaf, maka jika waktu itu adalah waktu pailit dan kebutuhan yang mendesak, adalah sedekah lebih utama, Kalau tidak, maka yang lebih utama adalah memberi sebagai – wakaf, karena kemanfaatannya lebih banyak, Demikianlah perkataan Imam Ibnu Abdis Salam, yang . diikuti Imam Az-Zarkasyi. Dalam hal ini Imam Ibnur Rif’ah memutlakkan penarjihan yang pertama (lebih utama disedekahkan), karena dengan disedekahkan cara kontan, berarti telah melepas haknya dari yang menerima sedekah.
Sebaiknya bagi orang yang gemar beramal kebaikan, jangan sampai absen setiap hari dalam oersedekah yang sebisanya, sekalipun berjumlah sedikit.
Memberi sedekah dengan cara diamdiam, adalah lebih utama daripada dengan terang-terangan. Kalau dalam masalah zakat, secara ijmak, bahwa yang lebih utama adalah memberikannya secara terang-terangan. Memberi sedekah di bulan Ramadhan, lebih-lebih pada tanggal 10 hari yang terakhir, adalah lebih utama. Yang muakkad lagi, adalah memberi sedekah di waktu-waktu mulia, seperti tanggal 10 Zulhijah, Idul Fitri-Adha, Jumat, dan di tempat-tempat yang mulia, misalnya Mekah dan Madinah.
Memberi sedekah -setelah kepada kerabatkepada tetangga adalah lebih utama daripada lainnya. Karena itu, dapatlah diketahui, bahwa memberi sedekah kepada kerabat yang jauh rumahnya dari si pemberi, tapi masih satu daerah adalah lebih utama daripada bukan kerabat yang berdekatan rumahnya.
Tidak sunah bersedekah dengan barang yang dibutuhkan sendiri. Bahkan hukumnya haram menyedekahkan barang yang dibutuhkan sebagai nafkah atau biaya orang yang wajib ditanggung nafkahnya selama sehari-semalam:, atau yang dibutuhkan untuk membayar utang, sekalipun belum sampai waktu pembayarannya dan tidak ditagih: Hal ini selama tidak mempunyai persangkaan yang kuat, bahwa pemberi sedekah tersebut bisa mendapat barang sebesar itu dari jalan lain yang sudah jelas.
Karena kewajiban (dalam hal ini menafkahi) tidak boleh ditinggalkan hanya karena kesunahan (sedekah). Di mana sedekah dihukumi haram, jika orang yang diberi sedekah tidak berhak menerima barang itu: demikianlah yang difatwakan oleh Guru kita, Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad r.a. Tapi menurut pendapat yang dikukuhkan oleh Guru kita (Ibnu Hajar) dalam kitab Syarhi Minhaj, bahwa orang tersebut tetap bisa memiliki barang itu.
Mengumpat sedekah yang telah diberikan, hukumnya adalah haram dan menghapus pahala, sebagaimana dengan melukai hati penerima sedekah itu.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berkata: Makruh menerima sedekah dari seseorang antara halal dan haram, misalnya dari seorang penguasa yang tak jujur. Besar kecil kemakruhannya tinggal melihat besar-kecil barang syubhat hartanya. Menerima tersebut tetap tidak haram, selagi tidak diyakini bahwa barang yang diterima itu haram.
Pendapat Imam Al-Ghazali, bahwa menerima sedekah dari orang yang kebanyakan hartanya, berupa barang haram, adalah hukumnya haram: Begitu juga bermu’amalah dengannya, pendapat tersebut adalah syadz (menyimpang dari garis).