Bab 5: Dorongan dan motivasi
Nama kitab: Terjemah Kitab Minhajul ‘Abidin
Judul kitab asal:
Minhaj Al-Abidin ila Jannati Rabbil Alamin (منهاج العابدين إلى جنة رب
العالمين)
Pengarang: Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad al-Ghazali (Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad aṭ-Ṭūsiyy al-Ġazzālīy)
Nama
yang dikenal di Arab: أَبْو حَامِدْ مُحَمّد الغَزّالِي الطُوسِيْ
النَيْسَابُوْرِيْ الصُوْفِيْ الشَافْعِي الأشْعَرِيْ
Kelahiran: 1058 M/450
H, Tous, Iran
Meninggal: December 19, 1111 M/ 505 H, Tous, Iran
Penerjema
K.H.R. Abdullah bin Nuh
Bidang studi: Ilmu Tasawuf, Sufisme, Akhlaq
Daftar isi
Bab V: Tahapan Kelima Dorongan dan motivasi
Selanjutnya hendaklah Anda terus melangkah bila jalan telah
terbentang lurus, mudah ditempuh, berbagai rintangannya telah terangkat dan
cobaan yang datang mendadak telah hilang.
Anda tidak akan bisa
berjalan dengan lurus jika tidak memiliki rasa takut dan menaruh harapan kepada
Allah, memenuhi hak-hak dan sesuai dengan batasan yang dimiliki keduanya.
A. Rasa Takut (Khauf) dan Harapan (Roja)
Keharusan
merasa takut kepada Allah itu disebabkan dua hal:
Pertama, mencegah
kemaksiatan. Sebab nafsu yang selalu memerintahkan berbuat buruk, cenderung
mengajak ke arah keburukan, memandang perbuatan fitnah dan tidak mau berhenti
kecuali setelah ditakut-takuti dengan sesuatu yang sangat dahsyat dan diancam
dengan ancaman yang gawat karena nafsu tidak memiliki watak orang merdeka yang
mementingkan kesetiaan dan kekerasan hatinya bisa dicegah dengan rasa malu.
Nafsu,
seperti yang dikatakan oleh seorang penyair adalah:
(Nafsu) bagai seorang sahaya yang harus dipukul dengan tongkat,
sedangkan seorang yang merdeka cukup menggunakan celaan.
Untuk mengatur nafsu selamanya Anda harus memukulnya dengan cemeti
takhwif (membuatnya takut) yang berupa ucapan, tindakan dan pemikiran. Seperti
yang diceritakan dari seorang saleh bahwa nafsunya mengajak berbuat maksiat. Ia
segera pergi melepas pakaiannya dan menggulingkan diri di atas hamparan pasir
panas lalu berkata pada nafsunya: “Rasakan! Neraka jahannam itu lebih panas dari
ini, hai bangkai di malam hari dan pengangguran di siang hari.”
Kedua, agar tidak bangga dengan ketaatannya. Karena kebanggan itu
bisa merusak. Bahkan hal itu harus dikalahkan dengan hinaan, celaan, cacat dan
kekurangan yang ada di dalamnya seperti hal-hal buruk dan dosa-dosa yang
kesemuannya mengandung bermacam kekhawatiran dan sebagainya.
Hal itu seperti yang diceritakan dari Nabi Saw. bahwa beliau
bersabda:
Artinya: “Seandainya aku dan Nabi Isa a.s. disiksa karena sesuatu
yang dikerjakan, tentu kami berdua akan disiksa dengan sesuatu yang belum pernah
ditimpakan pada seorangpun di alam semesta ini.” Dan beliau memberi isyarat
dengan dua jari beliau.
Diceritakan dari Al-Hasan. Beliau mengatakan: “Salah seorang di
antara kita tidak akan merasa aman jika melakukan dosa lalu pintu ampunan
tertutup untuknya. Dia pun beramal tidak pada tempatnya.
Diceritakan dari Abdullah Ibnul Mubarak yang mencela dirinya
sendiri: “Wahai diriku! Kamu berkata menggunakan apan orang-orang yang zuhud.
Kamu berbuat seperti perbuatan ng-orang yang munafik dan kamu mengharapkan
surga. Hal teramat jauh bagimu. Surga sudah memiliki penduduk yang lain.
Perbuatan mereka tidak sama dengan perbuatanmu.
Hal semacam inilah yang harus diperingatkan bagi seorang hamba
kepada diri (nafsu)nya. Peringatan itu selalu diulang baginya agar tidak merasa
bangga dengan ketaatannya atau terjerumus ke dalam kemaksiatan. Hanya Allah
tempat memohon taufik.
Keharusan mengharap (raja’) ini disebabkan dua hal:
Pertama, mendorong berbuat taat. Sebab kebaikan adalah sesuatu yang
berat. Setan melarang hal itu dan hawa nafsu selalu mengajak berbuat sebaliknya
(keburukan). Orang awam yang lalai memiliki tabiat suka mengikuti nafsu secara
terang-terangan. Pahala yang diharapkan melalui ketaatan tidak nampak oleh mata,
sedangkan untuk mencapai pahala yang menjadi harapannya masih jauh.
Jika seperti itu keadaannya maka nafsu tidak akan terdorong berbuat
kebaikan, mencintai dengan benar, dan menyukainya kecuali karena sesuatu yang
sebanding dengan hal-hal yang menghalanginya atau bahkan yang melebihinya.
Sesuatu tersebut adalah raja’ (harapan) yang kuat untuk mendapatkan rahmat Allah
dan iming-iming yang menggiurkan berupa kebaikan pahala serta kebesaran
imbalannya.
Guru kami berkata: “Kesedihan bisa menghilangkan nafsu makan, rasa
takut bisa mencegah seseorang berbuat dosa, harapan bisa menguatkan seseorang
beribadah, dan ingat mati bisa membuat orang menjauh dari kelebihan dunia.
Kedua, memudahkan Anda menanggung bermacam kesulitan,
Ketahuilah! Sesungguhnya orang yang sudah mengetahui apa yang dicari
pasti mudah menyerahkan sesuatu. Orang yang telah merasakan manisnya sesuatu dan
mencintainya dengan sungguh-sungguh pasti mau menanggung kesulitan dan tidak
peduli dengan ongkos yang harus dikeluarkannya. Barangsiapa yang benar-benar
mencintai seseorang pasti dengan senang hati menanggung (menghadapi) ujiannya,
sampai-sampai dengan ujian tersebut dia merasakan berbagai macam kelezatan.
Apakah Anda tidak melihat bagaimana orang yang mengambil madu. Ia
tidak peduli dengan sengatan lebah karena ingat manisnya madu. Seorang buruh
tidak peduli bila harus menaiki tangga yang tinggi dengan beban berat sepanjang
hari yang panas karena ingat akan mendapat dua dirham pada sore harinya. Seorang
petani tidak memikirkan deritanya panas dan dingin serta menemui kemalangan
sepanjang tahun karena mengingat hasil panen.
Begitu juga para hamba Allah. Mereka adalah orang yang ahli berjuang
jika ingat pada surga dengan keindahan pemandangannya, berbagai macam
kenikmatannya, bidadari-bidadarinya, istananya, makanannya, minumannya,
perhiasannya dan semua yang dijanjikan Allah untuk para penghuninya. Mereka
merasa ringan dengan beban yang harus ditanggung, seperti lelahnya beribadah
atau apa yang hilang dari dunia mereka seperti kelezatan dan kenikmatan. Atau
bahaya yang harus mereka hadapi seperti hinaan, siksaan dan penderitaan untuk
mendapatkannya.
Telah diceritakan bahwa murid-murid Sufyan Ats-Tsauri membicarakan
beliau tentang apa yang mereka lihat seperti ketakwaan, kesungguhan dan keadaan
buruk beliau. Mereka berkata: Wahai ustadz! Seandainya Anda mengurangi semua iri
insya Allah Anda tetap mendapatkan apa yang Anda inginkan.” Sufyan menjawab:
“Bagaimana aku tidak bersungguh-sungguh, sementara aku telah mendengar bahwa
para pemilik (penghuni) surga berada di tempat tinggal mereka, lalu tampak
cahaya menerangi kedelapan surga. Mereka menyangka bahwa itu adalah cahaya dari
sisi Tuhan. Mereka pun menyungkur seraya bersujud. Lalu mereka diperintahkan
agar mengangkat kepala, karena yang kalian sangka Tuhan itu adalah cahaya
seorang wanita penghuni Surga yang tersenyum di hadapan suaminya.”
Kemudian beliau (Sufyan Ats-Tsauri) bersyair:
Orang yang memiliki tempat tinggal di surga firdaus tidak merasa
rugi
dengan beban yang ditanggungnya seperti kesengsaraan dan
kekurangan harta. Kamu melihatnya berjalan menuju masjid dengan perasaan susah,
khawatir dan takut. Ia berjalan dengan pakaian usang.
Hai nafsu! Kamu
tidak akan tahan dengan api yang menyala-nyala.
Sudah saatnya menghadap surga setelah kamu membelakanginya.
Kalau begitu keadaannya, maka menurutku (Al-Ghazali) urusan ibadah
itu berkisar pada dua hal, yaitu berbuat taat dan menjauhkan diri dari maksiat.
Keduanya tidak akan sempurna dengan adanya nafsu yang selalu mengajak berbuat
buruk di sisinya kecuali dengan targhiib (iming-iming) dan tarhiib
(menakut-nakuti), memberi harapan dan memberi rasa takut. Sebab hewan tunggangan
yang beringas membutuhkan seorang penuntun yang mengarahkannya dan seorang
penggiring yang memberinya semangat. Jika ia nyaris masuk ke kadang ia harus
dicambuk dengan cemeti di satu sisi dan di sisi lain diperlihatkan pada gandum
sampai ia bangkit dan selamat dari apa yang akan menimpanya.
Anak kecil yang membandel tidak akan pergi ke sekolah kecuali dengan
harapan yang diberikan oleh orang tuanya dan rasa takut yang diberikan oleh
seorang guru. Begitu juga dengan nafsu. Ja adalah kendaraan beringas (nakal)
yang hampir jatuh ke jurang dunia. Khauf (rasa takut) adalah cemeti dan
penuntunnya sedangkan raja’ (harapan) adalah gandum dan penggiringnya.
Nafsu bagaikan anak kecil yang nakal, dibawa ke sekolah, ibadah dan
takwa. Sedangkan menyebutkan neraka dan siksaan adalah untuk membuatnya takut
dan menyebutkan surga beserta pahalanya adalah harapan dan iming-iming
baginya.
Begitu juga seorang hamba yang ingin beribadah dan melatih diri
harus merasakan dua hal pada nafsunya, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’
(harapan). Jika tidak, maka jangan harap nafsu mau menolong ibadah Anda.
Dalam hal ini Al-Qur’an selalu mendatangkan dua hal yang berkumpul
di satu tempat seperti janji yang menjadi satu dengan ancaman dan iming-iming
yang menjadi satu dengan hal yang menakutkan. Allah mendatangkan keterangan yang
berlebihan. Dia menggambarkan pahala dengan sesuatu yang setiap orang tidak
sabar ingin meraihnya dan menggambarkan neraka dengan sesuatu yang setiap orang
tidak mampu mengalaminya.
Kalau begitu keadaannya, maka hendaklah Anda selalu berpegang teguh
pada dua hal (raja’ dan khauf) ini, niscaya akan Anda dapatkan keinginan untuk
beribadah dan merasa ringan menanggung beban yang berat.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan anugerah dan rahmat-Nya.
Jika Anda berkata: “Apa hakekat raja’ dan khauf serta bagaimana
hukum keduanya?”
Ketahuilah! Menurut ulama kita khauf dan raja’ ini kembali pada
gerakan hati (khanthir). Sedangkan seorang hamba hanya mampu menguasai
muqaddimah (tahapan awal)nya saja. Mereka berkata: “ Khauf adalah gemuruh di
dalam hati yang muncul karena menyangka akan mengalami (mendapatkan) sesuatu
yang tidak disukai.
Khasyyah (takut) juga hampir sama dengan khauf, akan tetapi perasaan
ini menghendaki semacam pengagungan dan rasa kagum. Lawan kata “khauf” adalah
“jara’ah” (berani), tapi bisa juga dengan kata “rasa aman” seperti orang yang
mengatakan “penakut” sebagai lawan kata dari “orang yang merasa aman” atau
“takut” dan “aman”. Sebab orang yang merasa aman adalah orang yang berani
(menentang) kepada Allah. Jadi, yang benar lawan kata “khauf’ adalah “jara’ah”
(keberanian).
Mukadimah (tahapan awal) dari khauf ada empat:
Mengingat banyaknya dosa yang telah lalu dan banyaknya musuh, yaitu orang-orang
yang terus menerus berbuat zalim. Sedangkan Anda sudah tergadai dan tidak
mungkin bisa terlepas setelah itu.
Mengingat pedihnya siksaan Allah Swt.
yang tidak mampu Anda tanggung.
Mengingat kelemahan diri Anda saat harus
menanggung siksaan.
Mengingat kekuasaan Allah terhadap diri Anda, kapan dan
di mana Dia menghendaki.
Sedangkan raja’ adalah perasaan senang di dalam hati setelah
mengetahui anugerah Allah dan mencari kesenangan pada keluasan rahmat-Nya. Dan
raja’ semacam ini termasuk gerak hati yang tidak dikuasai seorang hamba.
Ada lagi raja’ yang mamnu dikuasai oleh seorang hamba, yakni
mengingat anugerah Allah dan keluasan rahmat-Nya.
Mengharapkan sesuatu yang mengkhawatirkan dengan disertai
pengecualian juga bisa dinamakan raja’.
Yang diinginkan dalam bab ini adalah yang pertama, yaitu ingatan
yang sesuai dengan perasaan senang dan mengharapkan kesenangan.
Kebalikan (lawan) kata “raja” adalah “ya’s” (putus asa), yaitu
mengingat hilangnya rahmat Allah dan anugerah-Nya serta memutuskan harapan di
dalam hati. Putus asa ini termasuk kemaksiatan yang murni.
Raja’ menjadi wajib bila seorang hamba tidak memiliki jalan lain
untuk mencegah keputusasaan. Jika ia memiliki jalan lain maka raja’ ini menjadi
sunat baginya setelah meyakini anugerah dan keluasan rahmat Allah secara
global.
Mukadimah raja’ ada empat:
Mengingat anugerah Allah yang diberikan kepada Anda semenjak dahulu tanpa adanya
amal yang mendahului serta orang yang menolong.
2 Mengingat anugerah
yang dijanjikan allah berupa pahala yang berlimpah dan kemuliaan yang agung,
yang diukur dengan anugerah dan kemuliaan-Nya, tidak diukur dengan hak yang Anda
miliki karena suatu amal. Sebab jika anugerah tersebut diukur sesuai amal, tentu
anugerah itu sangat sedikit dan sangat kecil.Mengingat banyaknya kenikmatan
Allah yang diberikan kepada Anda berupa urusan agama dan dunia dengan seketika
seperti bermacam pertolongan dan kelembutan yang diberikan tanpa menuntut hak
dan memintanya.
Mengingat keluasan rahmat Allah yang mengalahkan
kemurkaan-Nya. Dan sesungguhnya Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kaya,
Maha Mulia dan mengasihi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Jika Anda senantiasa mengingat dua hal ini, maka ingatan tersebut
akan membawa Anda pada perasaan raja’ dan khauf dalam segala keadaan.
Hanya Allah yang menguasai taufik dengan karunia dan
anugerah-Nya.
B. Rasa takut dan harapan: jalan tengah yang menyelamatkan
Pada tahapan ini hendaknya Anda melewatinya dengan sangat
berhati-hati, menjaga diri dan menggunakan batas-batas aturan yang ada. Sebab
tahapan ini sangat sulit ditempuh dan penuh bahaya karena jalan tersebut berada
di antara dua jalan yang menakutkan dan merusak, yaitu rasa aman dan putus asa.
Raja’ dan khauf adalah jalan tengah di antara dua persimpangan.
Jika perasaan raja’ lebih mendominasi diri Anda sehingga tidak
merasa takut sama sekali berarti Anda telah tergelincir ke jalan “rasa aman”.
Padahal tidak ada yang merasa aman dari makar (tipu daya) Allah melainkan
orang-orang yang merugi.
Jika perasaan khauf lebih mendominasi diri Anda sehingga tidak
memiliki harapan (raja’) sama sekali berarti Anda telah tergelincir ke jalan
“putus asa”. Padahal tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah selain
orang-orang kafir.
Jika Anda berjalan di antara khauf dan raja’ serta menjaga diri dari
keduanya, itulah jalan tengah yang lurus, yaitu jalan yang dilalui para wali
(kekasih) Allah dan orang-orang pilihan-Nya, yakni orang-orang yang Dia sifati
dengan firman-Nya:
Artinya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka pun berdoa
kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang
khusyuk kepada Kami.” (Q.S. Al Anbiya’: 90)
Dengan begitu, tampak jelas bagi Anda bahwa tahapan ini memiliki
tiga jalan:Rasa aman dan berani (kepada Allah).
Putus asa.
Takut dan
berharap, yang terbentang di antara keduanya.
Jika Anda selangkah menyimpang ke kanan atau ke kiri, maka Anda
telah terjerumus ke jalan yang membinasakan dan akan binasa bersama orang-orang
yang binasa.
Kemudian yang harus diperhatikan adalah bahwa jalan menyimpang yang
membinasakan itu lebih luas diameternya, lebih banyak hal yang menarik perhatian
dan lebih mudah ditempuh ketimbang jalan tengah yang lurus. Sebab jika Anda
melihat ke arah rasa aman, Anda akan melihat keluasan rahmat Allah, anugerah
yang banyak, dan kemurahan yang teramat Sangat. Sesuatu yang sedikitpun tidak
meninggalkan rasa takut Sehingga Anda mengandalkan hal itu dan merasa aman.
Jika Anda melihat ke arah khauf, maka Anda akan melihat besarnya
kekuasaan Allah, pengaturan-Nya, banyaknya kemegahan, kejelian dan
ketelitian-Nya terhadap para kekasih dan pilihan-Nya sehingga nyaris tidak ada
harapan lalu Anda berputus asa.
Saat itulah Anda tidak hanya perlu melihat keluasan rahmat Allah
sehingga mengandalkan hal itu dan merasa aman. Atau melihat kebesaran, kehebatan
dan ketelitian Allah saja sehingga berputus asa. Akan tetapi Anda juga perlu
melihat keduanya secara keseluruhan, mengambil sebagian dari yang satu dan
sebagian lagi dari yang lain, menapak jalan kecil yang rumit di antara keduanya,
kemudian berjalan di atasnya agar selamat.
Jalan nya’ yang murni itu mudah, lebar dan lapang (datar), tapi
akhirnya mengantar Anda ke tempat rasa aman dan kerugian. Jalan khauf yang murni
juga lebar dan lapang tapi akhirnya mengantar Anda pada kesesatan. Sedangkan
jalan tengah antara keduanya, yaitu jalan khauf dan raja’ meskipun kecil dan
sulit ditempuh, namun jalan itu yang membuat selamat, jalan lurus yang mengantar
Anda kepada ampunan dan kebaikan, kemudian sampai ke surga dan keridaan serta
bertemu dengan Raja yang Maha Pengasih. Apakah Anda tidak mendengar firman Allah
tentang orang-orang yang menempuh jalan ini yang berbunyi:
Artinya: “Sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut
dan mengharap.” (Q.S. As-Sajdah: 16)
Kemudian Dia juga berfirman:
Artinya: “Dan seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan
untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata
sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. As-Sajdah:17)
Camkanlah semua keterangan ini dengan sungguh-sungguh. singsingkan
lengan baju dan ingatlah segala sesuatunya karena itu bukanlah hal mudah. Hanya
Allah tempat memohon taufik.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Anda tidak bisa melewati jalan ini
sambil membawa nafsu yang nakal, malas berbuat baik dengan cara menjauhi
kesenangannya dan berusaha menjalankan ketaatan yang dirasanya berat kecuali
dengan memelihara tiga hal pokok dan selalu mengingatnya secara terus menerus
serta sedikitpun tidak boleh berhenti atau lengah.
Pertama, mengingat firman-firman Allah yang berisi hal-hal
menyenangkan (iming-iming) dan hal yang menakutkan.
Kedua, mengingat pekerjaan yang dilakukan Allah pada saat menyiksa
dan mengampuni.
Ketiga, mengingat balasan yang diberikan-Nya untuk para hamba di
hari kiamat berupa pahala dan siksaan.
Perincian setiap pasal dari ketiganya membutuhkan lembaran-lembaran
yang teramat banyak. Untuk itu kami telah menyusun sebuah kitab bernama “Tanbrih
Al-Ghaafiliin.”
Di dalam kitab ini kami hanya menerangkan beberapa kalimat yang bisa
mengantar Anda ke tempat tujuan, insya Allah. Dan hanya Allah tempat memohon
taufik.
Pokok Pertama, Firman Allah Swt.
Renungkanlah firman-firman Allah yang ada di dalam kitab Al-Qur’an
berupa ayat-ayat menyenangkan (iming-iming), menakut-nakuti, memberi harapan dan
membuat takut (khawatir).
Di antara ayat yang memberi harapan adalah:
Artinya: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.” (Q.S. Az-Zumar: 53)
Artinya: “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
Allah.” (Q.S. Ali Imran: 135)
Artinya: “Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (Q.S,
Al-Mu’min: 3)
Artinya: “Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
memaafkan kesalahan-kesalahan.” (Q.S. Asy-Syuura: 25)
Artinya: “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.”
(Q.S. Al-An’aam: 54)
Artinya: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan
Kutetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-A ‘raaf: 156)
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia.” (Q.S. al-Baqarah: 143)
Artinya: “Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”
(Q.S. Al-Ahzaab: 43)
Inilah ayat-ayat yang berisi raja’ (harapan).
Di antara ayat-ayat yang menimbulkan rasa takut (khauf) adalah:
Artinya: “Maka bertakwalah kepada-Ku, wahai para hamba-Ku.” (Q.S.
Az-Zumar: 16)
Artinya: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami?” (Q.S. Al-Mukminuun: 115)
Artinya: “Apakah para manusia mengira bahwa dia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa dimintai pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al-Qiyaamah: 36)
Artinya: “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu dan
tidak pula menurut angan-angan para ahli kitab. Barangsiapa mengerjakan
kejahatan, niscaya ia akan dibalas dengan kejahatan , itu dan 1a tidak akan
menemukan pelindung dan penolong selain Allah.” (Q.S. An-Nisaa’: 123)
Artinya: “Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat
sebaik-baiknya.” (Q.S. Al-Kahfi: 104)
Artinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah
mereka perkirakan sebelumnya.” (Q.S. Az-Zumar: 47)
Artinya: “Dan Kami hadapi apa yang telah mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqaan: 23)
Kami memohon kepada Allah agar Dia berkenan menyelamatkan kita semua
dengan rahmat-Nya.
Di antara ayat yang mencakup khauf dan raja’ secara bersamaan
adalah:
Artinya: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Al-Hijr: 49)
Lalu Dia melanjutkan ayat tersebut:
Artinya: “Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang teramat
pedih.” (Q.S. Al-Hijr: 50)
Firman di atas dimaksudkan agar jangan sampai Anda dikuasai oleh
raja’ (harapan). Firman Allah yang lain:
Artinya: “Maha keras hukuman-Nya.” (Q.S. Al-Mu’min: 3)
Lalu Dia melanjutkan lagi dengan firman:
Artinya: “Yang memiliki karunia, tiada Tuhan selain Dia.” (Q.S.
Al-Mu’min: 3)
Firman di atas dimaksudkan agar Anda tidak dikuasai oleh khauf
(perasaan takut).
Yang lebih menakjubkan lagi adalah firman-Nya berikut ini:
Artinya: “Dan Allah memperingatkan kamu dari diri (siksa)-Nya.”
(Q.S. Ali Imran: 30)
Lalu Dia melanjutkan dengan firman-Nya:
Artinya: “Dan Allah sangat penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (Q.S.
Ali Imran: 30)
Ada lagi ayat yang lebih menakjubkan yaitu:
Artinya: “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pengasih
sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya).” (Q.S. Qaaf: 33)
Allah menyandarkan perasaan takut seorang hamba dengan asma
“Ar-Rahmaan” (Maha Pengasih) tidak pada asma “AlJabbaar” (Maha Gagah),
“Al-Muntaqiim” (Maha Membalas), ” Al Mutakabbir” (Maha Sombong) dan sejenisnya,
agar perasaan takut tersebut bersatu dengan mengingat kasih sayang-Nya. Dengan
begitu rasa takut tersebut tidak menerbangkan hati Anda, tapi membuat takut
disertai rasa aman atau menggerakkan sesuatu sambil menenangkan. Sama halnya
jika Anda berkata: “Apakah kamu merasa takut kepada seorang ibu yang penuh kasih
sayang? Apakah kamu merasa takut kepada seorang ayah yang penuh belas kasih?
Atau apakah kamu merasa takut kepada seorang raja yang dermawan?”
Yang diinginkan di sini adalah jalan tengah, jadi jangan sampai Anda
memilih jalan “rasa aman” atau jalan “putus asa.”
Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mau berpikir
tentang ayat-ayat yang bijaksana ini dan bisa mengamalkan apa yang terkandung di
dalamnya. Sesungguhnya Dia Maha Memberi dan Maha Pemurah. Tiada daya dan upaya
melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur lagi Maha Agung.
Pokok Kedua, Perbuatan Allah dan Pergaulan-Nya
Jika dilihat dari sisi khauf (rasa takut), ketahuilah bahwa
sesungguhnya iblis telah beribadah selama delapan puluh ribu tahun. Menurut
sebuah pendapat ia tidak pernah meninggalkan sejengkal tanahpun kecuali setelah
bersujud kepada Allah satu kali di tempat itu. Lalu ia menolak satu perintah.
Kemudian Allah melemparkannya dari pintu (hadapan)-Nya. Allah melemparkan
(membuang) ibadah yang ia lakukan selama delapan puluh ribu tahun ke wajahnya.
Dia melaknatnya sampai hari kiamat dan menyiapkan siksa yang pedih untuk
selama-lamanya.
Bahkan diceritakan bahwa Rasulullah Saw. melihat malaikat Jibril
a.s. bergelayut pada kelambu ka bah sambil berdoa dengan keras: “Ya Tuhanku!
Janganlah Engkau mengubah namaku dan mengganti tubuhku.”
Kemudian Nabi Adam a.s. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan juga
nabi-Nya. Allah menciptakannya dengan “tangan – Nya, memerintahkan malaikat
untuk bersujud dan memikulnya di pundak mereka untuk sampai ke hadapan-Nya. Lalu
beliau memakan satu makanan yang tidak diizinkan-Nya, kemudian diumumkan:
“Ingatlah! Orang yang durhaka kepada-Ku tidak boleh tinggal di dekat-Ku.”
Allah memerintahkan para malaikat yang menyangga tempat duduk beliau
untuk menurunkannya dari langit hingga mereka meletakkan beliau di atas bumi dan
Allah tidak menerima tobat beliau.
Menurut sebuah riwayat beliau menangisi hal itu selama seratus
tahun.
Beliau menjadi hina dan mengalami berbagai cobaan yang Juga
dirasakan oleh keturunan beliau untuk selamanya.
Kemudian Nabi Nuh a.s. Beliau adalah tetua para rasul. Orang yang
menanggung beban perintah agama. Beliau tidak berkata Salah selain satu kalimat
yang tidak pada tempatnya saat kemudian diumumkan:
Artinya: “Janganlah kamu meminta kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya Aku memberi nasehat kepadamu agar
kamu tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”
Sampai-sampai diceritakan bahwa beliau tidak mengangkat kepala ke
arah langit selama empat puluh tahun karena merasa malu kepada Allah.
Lalu Nabi Ibrahim a.s., kekasih Allah. Beliau tidak melakukan dosa
selain sebuah kesalahpahaman. Lalu berulangkali beliau merasa takut dan
merendahkan diri sambil berdoa:
Artinya: “Demi Tuhan yang kuharapkan akan mengampuni kesalahanku
kelak di hari kiamat.”
Sampai-sampai diceritakan bahwa beliau menangis karena sangat
takutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat Jibril kepada beliau. Jibril berkata:
“Wahai Ibrahim! Apakah Anda pernah melihat seorang kekasih yang menyiksa
kekasihnya sendiri dengan api?” Beliau menjawab: “Wahai Jibril! Bila mengingat
dosaku, maka aku pun lupa dengan belas kasih-Nya.”
Lalu Nabi Musa bin Imran a.s. Beliau tidak melakukan kesalahan
selain satu tamparan untuk seseorang. Berulangkali beliau merasa takut,
merendahkan diri dan meminta ampun. Beliau berkata:
Artinya: “Ya Tuhan! Sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada
diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.”
Di masa (Nabi Musa a.s.) itu pula hidup seorang Bal am bin Ba’ura
yang jika memandang ke langit ia dapat melihat Arasy, Dialah yang dimaksud dalam
firman Allah:
Artinya: “Dan bacakanlah untuk mereka kisah tentang seseorang yang
Kami beri tanda-tanda kebesaran Kami dan ia melepaskan diri darinya.” (OQS.
Al-A’raaf: 175)
Dia tidak melakukan kesalahan selain hanya merasa condong kepada
dunia dan penghuninya serta meninggalkan (tidak menghormati) seorang kekasih-Nya
(yakni Nabi Musa a.s.) Lalu Allah mencabut kemakrifatannya dan menjadikannya
seperti seekor anjing yang terusir.
Lalu Allah berfirman:
Artinya: “ Perumpamaannya (Bal’am) adalah seekor anjing. Jika kamu
mengejarnya maka iaakan menjulurkan lidahnya.” (Q.S. Al-A’raaf: 176)
Allah menjerumuskannya ke dalam lautan kesesatan dan kehancuran
untuk selamanya. Sampai pernah kudengar seorang ulama mengatakan bahwa pada
mulanya jika Bal am mengajar di suatu majlis, di situ terdapat dua belas ribu
tempat tinta yang dipergunakan oleh murid-muridnya untuk menulis ilmu darinya.
Lalu dia menjadi orang pertama yang mengarang sebuah kitab yang di dalamnya
tertulis bahwa dunia ini tidak ada yang membuat.
Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kemurkaanNya, siksaan
yang pedih dan penghinaan dari-Nya yang kita semua tidak akan mampu
menanggungnya.
Kemudian lihatlah keburukan dunia. Dengan apa mereka menarik para
ulama pada khususnya.
Ingatlah bahwa urusan dunia ini sangat mengkhawatirkan, sedangkan
usia ini amatlah pendek. Di dalam amal banyak terdapat kekurangan sedangkan yang
Maha Mengintai selalu mengawasi.
Jika Allah mengakhiri amal-amal kita dengan kebaikan dan menghapus
kesalahan-kesalahan kita, maka hal itu tidaklah sulit bagi-Nya.
Kemudian kisah Nabi Daud a.s. yang menjadi khalifah Allah di muka
bumi. Beliau melakukan sebuah kesalahan lalu beliau menangisi hal itu
sampi-sampai tumbuh rumput dari air matanya. Beliau berkata: “Ya Tuhanku! Adakah
Engkau tidak merasa kasihan dengan tangis dan tadharru’ (perendahan diri)ku?”
Lalu ucapan tersebut dijawab: “Wahai Daud! Kamu melupakan dosamu dan
mengingat tangismu.” Kemudian tobat beliau tidak diterima oleh Allah selama
empat puluh hari. Bahkan ada yang mengatakan empat puluh tahun.
Lalu kisah Nabi Yunus a.s. Beliu satu kali merasa marah yang tidak
pada tempatnya dan Allah mengurung beliau dalam perut ikan di dasar laut selama
empat puluh hari. Kemudian beiau memanggil-manggil:
Artinya: “Sesungguhnya tiada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau.
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
Para malaikat mendengar suara beliau dan mereka berkata: “Ya Tuhan
kami! Kami mendengar suara yang telah kami kenal dari sebuah tempat yang tidak
kami ketahui.”
Allah berfirman: “Itu adalah suara hamba-Ku Yunus.” Lalu ara
malaikat memohonkan pertolongan untuk beliau. Dan karena itu semua, Allah
mengubah nama beliau dengan nama “DzunNuun”. Sebuah nama yang disandarkan pada
tempat di mana beliau dikurung. Lalu Allah berfirman:
Artinya: “Lalu ia (Yunus) ditelan ikan, sedangkan ia dicela (karena
melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya). Seandainya ia tidak termasuk orang
yang mensucikan Tuhannya, niscaya ia akan tinggal di dalam perut ikan sampai
hari semua orang dibangkitkan.”
Setelah itu Allah menyebutkan kenikmatan dan karunia-Nya. Dia
berfirman:
Artinya: “Seandainya ia tidak tersusul oleh kenikmatan dari
tuhannya, niscaya ia akan dibuang di tempat yang kosong dan menjadi orang
tercela.”
Lihatlah siasat semacam ini, hai orang yang perlu dikasihani!
Begitulah yang terjadi, sampai apa yang terjadi pada penghulu
(pemimpin) para rasul, makhluk Allah yang paling mulia. Allah berfirman kepada
beliau:
Artinya: “Istiqamahlah sebagaimana kamu diperintahkan. Orang-orang
yang bertobat ada bersamamu dan janganlah kamu semua melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
Bahkan Nabi Saw. pernah bersabda:
Artinya: “Surat Huud dan sejenisnya membuat kepalaku beruban.”
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi Saw. adalah ayat
ini dan yang sejenisnya di dalam Al-Qur’an.
Kemudian Allah berfirman:
Artinya: “Dan mohonlah ampunan dari dosamu.” (Q.S. Al-Mu’ min:
55)
Sampai kemudian Allah mengaruniakan ampunan untuk beliau dan
berfirman:
Artinya: “Dan kami hilangkan darimu dosa yang memberati punggungmu.”
(Q.S. Al-Insyiraah: 2-3)
Dia juga berfirman:
Artinya: “Supaya Allah mengampuni dosa yang telah kamu kerjakan dan
yang akan kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Fath: 2)
Setelah kejadian itu
beliau selalu melakukan salat malam sampai kedua kaki beliau membengkak.
Para sahabat bertanya: “Kenapa Anda melakukan semua in wahai
Rasulullah. Padahal Allah telah mengampuni dosa yang telah Anda kerjakan dan
yang belum Anda kerjakan.”
Beliau menjawab: “ Apakah aku tidak pantas menjadi seorang hamba
yang bersyukur? Lalu beliau bersabda:
Artinya: “Seandainya aku dan Isa bin Maryam a.s. disksa lantaran dua
orang ini, tentu kami akan disiksa dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan
pada seorangpun di seluruh jagad raya ini.”
Beliau menjalankan salat malam, menangis dan berdoa:
Artinya: “Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu, dengan
rida-Mu dari kemarahan-Mu. Dan aku berlindung kepadaMu dari siksa-Mu. Tidak
terhitung pujianku untuk-Mu seperti Engkau memuji pada Dzat-Mu.”
Perhatikan juga para sahabat yang hidup pada masa yang paling baik
dan berada di tengah umat terbaik pula. Mereka tidak banyak bercanda. Kemudian
turunlah firman Allah:
Artinya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman
untuk tunduk dalam hati mereka karena mengingat Allah?” (Q.S. Al-Hadiid: 16)
Kemudian Allah menciptakan batas-batas aturan dan kesopanan untuk
umat yang dipenuhi rahmat ini sampai-sampai Yunus bin Ubaid berkata: “Jangan
merasa aman dari hukuman potong tangan disebabkan mencuri lima dirham, karena
hukuman hukuman perbuatan itu kelak juga seperti ini.
Kami memohon kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Maha
Suci Allah. Semoga Dia tidak memperlakukan kita kecuali dengan kemurahan-Nya
yang murni. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih di antara orang-orang yang
mengasihi.
Jika dilihat dari sisi raja’ (harapan) maka bicaralah tentang rahmat
Allah yang teramat luas, karena hal itu bukanlah suatu hal yang berbahaya.
Siapa yang mengetahui ujung rahmat-Nya atau mengetahui sifat dan
penghabisan-Nya? Dialah yang menghapus kekufuran tujuh puluh tahun dengan
keimanan sesaat.
Allah berfirman:
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka mau
berhenti (dari kekufurannya), niscaya dosa-dosa mereka yang telah lalu akan
diampuni.” (Q.S. Al-Anfaal: 38)
Tidakkah Anda melihat bagaimana yang terjadi pada tukangtukang sihir
Firaun. Mereka datang untuk melawan Allah dan bersumpah demi keagungan Firaun
yang menjadi musuh-Nya, tak lain dan tak bukan. Setelah mereka melihat
tanda-tanda Nabi Musa dan mengetahui kebenaran, mereka pun berkata: “Kami
beriman kepada Tuhan semesta alam.” Dan Allah tidak menyebutkan bahwa setelah
itu mereka menambah amal.
Kemudian lihatlah! Berapa kali Allah mengulang kisah mereka dalam
bentuk pujian di dalam kitab-Nya yang mulia? Berapa banyak dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil mereka yang diampuni-Nya hanya karena keimanan sesaat, atau
bahkan hanya sekejap. Mereka hanya berucap: “Kami beriman kepada Tuhan semesta
alam.” Sebuah ucapan yang keluar dari hati yang benar.
Bagaimana Allah menerima mereka dan memberikan dosadosa yang telah
lalu. Bagaimana Dia menjadilan mereka pemimpin-pemimpin para syuhada di dulam
surga untuk selamanya?
Ini baru keadaan (kisah) orang yang mengenal dan mengesakan-Nya
dalam waktu yang tidak lama setelah melakukan sihir, kafir, sesat dan kerusakan.
Lalu bagaimana dengan orang yang menghabiskan umurnya untuk mengesakan-Nya dan
tidak melihat seorangpun selain Dia sebagai keluarga karena mengesakan-Nya?
Apakah Anda tidak melihat bagaimana keadaan para Ashaabul Kahfi dan
kekufuran mereka selama hidup?
Artinya: “Ketika mereka berdiri dan berkata, “Tuhan kami adalah
penguasa langit dan bumi. Kami tidak akan menjadikan Tuhan selain Dia.”
Mereka berlindung kepada-Nya.
Bagaimana Allah menerima mereka dan memberikan anugerah-Nya kepada
mereka, lalu memuliakan mereka?
Kemudian Allah berfirman:
Artinya: “Dan Kami (Allah) bolak-balikkan badan mereka ke arah kanan
dan ke arah kiri.” (Q.S. Al-Kahfi: 18)
Bagaimana Allah membesarkan penghormatan kepada mereka, mengenakan
pakaian kebesaran dan menakutkan pada mereka. Sampai-sampai Dia berfirman kepada
makhluk yang paling mulia (Nabi Muhammad Saw):
Artinya: “Seandainya kamu melihat mereka, niscaya kamu berpaling
dari mereka seraya berlari dan kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka.”
(Q.S. Al-Kahfi: 18)
Bahkan lihatlah bagaimana Dia memuliakan seekor anjing yang
mengikuti mereka. Sampai-sampai Dia menyebutnya di dalam kitab-Nya yang mulia
dengan berulang-ulang, kemudian menjadikannya di dunia bersama mereka dalam
keadaan haram lalu memasukkannya ke dalam surga dalam keadaan terhormat?
Begitulah anugerah Allah yang diberikan pada seekor anjing yang
melangkah beberapa kali mengikuti sekelompok orang yang makrifat kepada-Nya dan
mengesakan-Nya dalam beberapa hari tanpa beribadah ataupun melayani.
Lalu bagaimanakah anugerah yang Dia berikan kepada seorang hamba
yang beriman, yang melayani, mengesakan dan menyembah-Nya selama tujuh puluh
tahun? Dan bagaimana seandaiya hamba tersebut hidup selama tujuh puluh ribu
hari? Tentu yang menjadi tujuannya hanyalah ibadah.
Adakah Anda tidak melihat bagaimana Allah mencela Nabi Ibrahim a.s.
karena doa memohon kehancuran yang beliau panjatkan bagi orang-orang yang
berdosa? Bagaimana Allah mencela Nabi Musa a.s. mengenai Oarun? Dia berfirman:
“Oarun meminta pertolongan kepadamu dan kamu tidak mau menolongnya. Dan sumpah
demi keagungan-Ku seandainya dia meminta pertolongan kepada-Ku, niscaya Aku akan
menolong dan memaafkannya.”
Bagaimana ketika Allah mencela Nabi Yunus a.s. sehubungan dengan
kaumnya: “Sesungguhnya merasa susah karena sebuah pohon labu yang Kutumbuhkan
dalam waktu sesaat dan membuatnya kering dalam sesaat. Namun kamu tidak merasa
sedih atas seratus ribu orang atau lebih (dari pengikutmu).”
Kemudian bagaimana Dia menerima alasan mereka dan memalingkan siksa
atas mereka setelah sebelumnya Dia menyesatkan mereka?
Kemudian lihatlah bagaimana Allah mencela penghulu para rasul
(Muhammad Saw.) seperti pernah diceritakan bahwa beliau memasuki Masjidil Haram
lewat pintu Bani Syaibah. Lalu beliau melihat sekelompok orang yang sedang
tertawa. Beliau kemudian berkata kepada mereka: ” Kenapa kalian semua tertawa?
Semoga aku tidak melihat kalian tertawa lagi.” Kemudian sesampainya di Hajar
Aswad beliau melangkah mundur dan berkata kepada mereka: “Malaikat Jibril datang
kepadaku dan berkata: ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah berfirman kepadamu:
“Kenapa kamu memupus harapan hamba-hamba-Ku dari rahmat-Ku?
Artinya: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hijr: 49)
Kemudian
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya Allah lebih mengasihi hamba-hamba-Nya –
daripada seorang ibu yang teramat mengasihi anaknya.”
Di dalam hadis yang sudah masyhur Nabi Saw. juga bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat (belas kasih).
Kemudian satu di antara keseratus rahmat tadi Dia bagikan kepada jin, manusia,
dan binatang. Dengan rahmat satu rahmat itulah mereka saling mengasihi dan
menyayangi. Dan Dia masih menyimpan yang sembilan puluh sembilan (99) bagi
‘diri’-Nya sendiri untuk mengasihi hamba-hamba-Nya kelak pada hari kiamat.”
Dan ketika Allah benar-benar telah memberi Anda satu rahmat, yakni
segala pemberian yang mulia berupa makrifat kepada Allah dan termasuk umat yang
dikasihi serta mengetahui segala sunah nabi dan para sahabat, sampai
kenikmatankenikmatan lain yang ada di hadapan Anda baik yang lahir maupun yang
batin, maka yang juga harus kita harapkan dari anugerah-Nya yang agung adalah
semoga Dia berkenan menyempurnakannya. Sebab orang yang memberi sesuatu dengan
baik sudah semestinya menyempurnakannya. Dan semoga Dia memberikan bagian yang
banyak kepada Anda dari 99 rahmatNya. Dan kami memohon kepada Allah, semoga Dia
tidak menyianyiakan harapan kami akan anugerah-Nya yang agung. Sesungguhnya Dia
adalah Tuhan yang Pemurah dan Penuh belas kasih.
Pokok ketiga, Janji dan Ancaman di Hari Kiamat
Hendaklah kita mengingat lima hal yang ada hubungannya dengan janji
dan ancaman, yakni kematian, alam kubur, kiamat, surga dan neraka, termasuk apa
yang terjadi di dalamnya seperti kekhawatiran yang teramat sangat bagi
orang-orang yang taat, durhaka, lalai ataupun bersungguh sungguh.
Pertama, kematian.
Dalam membicarakan masalah kematian ini aku (Al-Ghazali) akan
mengemukakan kisah dua orang lelaki. Salah satunya adalah yang diceritakan dari
Ibnu Syabramah. Beliau berkata: “Aku pernah menjenguk sesorang yang sedang sakit
besama Asy-Sya bi. Di dekat orang tersebut ada orang lain yang mengajarinya
bacaan “Lan ilaaha Illallaahu wahdahu laa syariika lahu. Lalu Asy’Sya’ bi
berkata: “Ajarkanlah dengan perlahan” Si sakit berkata: “Anda ajarkan atau
tidak, aku tidak akan meninggalkan kalimat tersebut.”
Lalu ia membaca surat Al-Fath ayat 26 sebagai berikut:
Artinya: “Dan Allah menetapkan kalimat takwa, dan mereka adalah
orang yang berhak atas kalimat tersebut dan pantas memilikinya.”
Asy-Sya’ bi berkata: “Segala puji bagi Allah. Dialah Dzat yang
menyelamatkan sebagian dari kita.”
Yang satu lagi adalah kisah seorang murid Fudhail bin ‘Iyadh.
Menjelang kematiannya Fudhail menjenguk dan duduk di sisi kepalanya sambil
membaca surah “Yaasiin”. Murid tersebut berkata: “Wahai guruku! Janganlah Anda
membaca surah ini.” Fudhail pun diam. Lalu beliau mengajarinya bacaan tahlil
(laa Unaha illallaah). Ia berkata: “Aku takkan pernah membacanya sebab aku telah
cuci tangan dari hal itu.” Lalu ia pun mati dalam keadaan (kufur) seperti
itu.
Kemudian Fudhail masuk ke rumah beliau dan menangis Selama empat
puluh hari serta tidak keluar dari rumah. Setelah itu beliau melihat (murid)nya
di dalam mimpi sedang diseret ke neraka jahannam. Fudhail bertanya: “Apa
sebabnya Allah mencabut kemakrifatan itu darimu? Padahal kamu adalah muridku
yang terpandai.” Murid itu berkata: “Semua itu terjadi karena tiga hal:
Adu domba.
Aku mengatakan kepada teman-temanku sesuatu yang lain
dengan apa yang kuucapkan pada Anda.
Irihati.
Sebab aku sering merasa iri pada teman-temanku.
Aku menderita suatu penyakit. Kemudian kutanyakan penyakit itu kepada seorang
dokter. Dia mengatakan: “Setahun sekali Anda harus meminum semangkuk arak. Jika
hal itu tidak Anda lakukan maka penyakit tersebut tetap akan bersarang di tubuh
Anda.” Karena itulah sejak saat itu aku meminum arak”
Al-Ghazali berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari murka-Nya yang
tidak dapat kami pikul.”
Selanjutnya aku (Al-Ghazali) akan menceritakan dua orang lelaki lain
. Salah satunya adalah tentang Abdullah Ibnul Mubaarak rahimahullah. Saat
kematiannya hampir tiba beliau menengadahkan muka ke langit. Beliau pun tertawa
dan berkata: “Seharusnya orang-orang itu melakukan hal semacam ini.”
Aku juga mendengar bahwa Imam Haramain bercerita tentang Al-Ustadz
Abu Bakr. Sesungguhnya Abu Bakr berkata: “Pada masa belajar dulu aku memiliki
seorang teman yang sangat tekun belajar, bertakwa, dan beribadah. Dengan
kesungguhannya itu dia hanya berhasil mendapatkan sedikit pengetahuan. Aku pun
menjadi heran karenanya.
Suatu ketika ia sakit dan tetap tinggal di pemondokannya sendiri
yang berada di antara pondokan para wali (di dalam pesantren). Dia tidak masuk
rumah sakit dan tetap tekun belajar walaupun dalam keadaan sakit. Setelah
penyakitnya betul-betul parah aku pun duduk di dekatnya. Saat itulah tiba-tiba
ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata: “Wahai Ibnu Faurak! Seharusnya
oang-orang itu melakukan hal semacam ini.” Dan ia pun mati setelah mengatakan
hal itu.”
Yang satunya lagi adalah cerita dari Malik bin Dinar. Beliau
mendatangi seorang tetangga yang sedang sekarat (hampir meninggal dunia). Orang
tersebut berkata: “Wahai Malik! Di hadapanku kini terdapat dua buah gunung dari
api dan aku diharuskan mendaki keduanya.” Beliau berkata: “Mendengar itu aku
bertanya kepada keluarga (isteri dan anak-anaknya). Mereka berkata bahwa ia
memiliki dua takaran, satu untuk menimbang bagi orang lain dan yang satunya lagi
untuk menimbang dari orang lain. Lalu aku meminta kedua barang itu dan
memukulkan satu sama lain sampai keduanya pecah. Kemudian aku bertanya kepada
laki-laki tersebut. Dia menjawab: “Yang kuhadapi malah semakin bertambah
besar.”
Kedua, alam kubur dan kejadian yang dialami setelah kematian.
Dalam hal ini aku (Al-Ghazali) akan bercerita tentang dua orang
lelaki. Salah satunya adalah cerita seorang saleh yang berkata: “Aku bertemu
dengan Sufyan Ats-Tsauri di dalam mimpi setelah kepergian beliau. Aku berkata:
“Bagaimana keadaan Anda wahai Abu Abdullah?” Beliau pun berpaling dariku dan
berkata: “Saat ini belum waktunya memanggil dengan nama kuniyah (panggilan yang
menggunakan kata “abu” dan “ummu”). Kemudian aku berkata: “Bagaimana keadaan
Anda wahai Sufyan?” Maka beliau menjawab dengan sebuah syair:
Aku dapat memandang Tuhanku dengan jelas. Lalu Dia berfirman
kepadaku:
“Selamat. Kamu mendapatkan keridaan-Ku hai Abu Said! Kamu
beribadah bila malam telah gulita dengan penuh rindu dan cinta yang mendalam.
Ini
semua untukmu. Karena itu pilihlah istana mana yang kamu inginkan
dan
datanglah kepada-Ku karena Aku tiada jauh darimu.
Yang kedua adalah seorang lelaki yang dimimpikan (terlihat dalam
mimpi) oleh seorang saleh. Laki-laki tersebut berwajah pucat sedangkan tangannya
dibelenggu dengan lehernya. Kemudian ia ditanya: “Apa yang dilakukan Allah
terhadapmu?” Dia pun menjwab dengan sebuah syair:
Masa yang kupermainkan telah berlalu
dan saat ini masa
itulah yang mempermainkan aku.
Ada lagi kisah dua orang lelaki. Salah satunya diriwayatkan dari
seorang saleh. Ia berkata: “Aku memiliki seorang anak yang mati syahid dan belum
pernah melihatnya di dalam mimpi sampai pada suatu malam, saat Umar bin Abdul
Aziz wafat, aku melihatnya. Aku bertanya: “Wahai anakku! Bukankah kamu telah
mati?” Ja menjawab: “Tidak. Aku adalah orang syahid dan hidup di sisi Allah Swt.
serta diberi rezeki.” Aku berkata: “Apa yang membuatmu datang ke mari?” Dia
menjawab: “Ada pengumuman untuk para penduduk langit, Perhatian! Tidak boleh ada
seorang nabi, seorang Shiddiq, dan seorang syahidpun yang tidak menghadiri salat
(jenazah) Umar bin Abdul Aziz. Karena itulah, aku datang untuk menyalatkannya
dan menemuimu untuk mengucapkan salam.”
Yang kedua adalah lelaki yang diceritakan dari Hisam bin Hasan. Ia
berkata: “Aku memiliki anak yang mati muda. Setelah itu aku melihatnya dalam
mimpi sudah penuh uban dan kutanya, ‘Wahai anakku! Kenapa kamu beruban?’ Ia
menjawab, ‘Ketika si fulan datang kepadaku, neraka jahannam menyemburkan hawa
panas untuk menyambut kedatangannya. Tak seorangpun di antara kami yang tidak
beruban karena semburan tadi.”
Kami berlindung kepada Allah yang Maha Pemurah dari siksaan yang
pedih. Ketiga, kiamat.
Dalam hal ini renungkanlah firman Allah Swit.:
Artinya: “ (Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang
yang takwa kepada Tuhan yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat, dan
Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka jahannam dalam keadaan
dahaga.” (Q.S. Marayam: 85-86)
Lalu seseorang bangkit dari kuburnya. Tiba-tiba seekor Bourag telah
ada di atas kubur dengan membawa mahkota dan pakaian (kebesaran). Maka ia pun
segera berganti pakaian dan naik Bourag tersebut menuju surga yang penuh
kenikmatan. Karena kemuliaannya ia tidak diperkenankan pergi ke surga dengan
berjalan kaki.
Di lain tempat seseorang bangkit dari kuburnya. Tiba-tiba Malaikat
Zabaniyah telah menghadang dengan belenggu dan rantai di tangannya. Orang yang
celaka tidak akan dibiarkan pergi ke neraka dengan berjalan kaki melainkan
diseret ke tengahtengah neraka Jahim dengan tertelungkup.
Kami memohon perlindungan kepada Allah dari murka-Nya.
Aku pernah mendengar bahwa ada seorang ulama yang menceritakan
sebuah hadis dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
Artinya: “Bila hari kiamat telah terjadi, maka akan ada sekelompok
orang yang bangkit dari kubur. Mereka mempunyai onta yang dipergunakan sebagai
kendaraan. Onta-onta itu memiliki sayap yang berwarna hijau dan membawa mereka
terbang ke padang mahsyar sehingga ketika mereka sampai ke dekat dinding surga
dan dilihat oleh para malaikat, mereka (para malaikat) bertanya satu sama lain,
“Siapa mereka itu?” Yang lain menjawab, “Kami tidak tahu. Mungkin termasuk
pengikut Muhammad Saw.’ Lalu salah seorang malaikat datang dan bertanya kepada
mereka, “Siapakah kalian dan termasuk pengikut siapa?” Mereka menjawab, “Kami
adalah pengikut Muhammad Saw.’ Para malaikat bertanya, “Apakah kalian telah
dihisab?’ Mereka menjawab, “Tidak.” Para malaikat bertanya, ‘Apakah amal kalian
telah ditimbang?” Mereka menjawab, “Tidak. Para malaikat bertanya, “Apakah
kalian membawa buku (catatan amal) kalian?” Mereka menjawab, “Tidak.’ Para
malaikat berkata, ‘Kembalilah! Semua itu berada di belakang kalian’ Mereka
berkata, ‘Adakah Anda memberi sesuatu kepada kami untuk dihisab?.’”
Dalam
hadis lain dikatakan:
Artinya: “Mereka berkata, “Kami tidak memiliki sesuatu yang
menyebabkan kami berbuat adil atau menyeleweng, tapi kami beribadah kepada Tuhan
kami sampai kami semua dipanggil dan memenuhi panggilan-Nya.’ Kemudian terdengar
seruan, ‘Apa yang dikatakan hamba-hamba-Ku itu benar. Tidak ada jalan untuk
menahan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Adakah Anda tidak mendengar firman Allah:
Artinya: “Adakah orang yang dilempar ke dalam neraka itu lebih baik
ataukah oran, yang datang dengan aman di hari kiamat?” (Q.S. Fushshilat: 40)
Alangkah agurgnya orang yang menyaksikan semua peristiwa yang
mengerikan, menggemparkan dan peristiwa peristiwa lain tapi merasa aman. Tidak
ada perasaan takut dan berat di dalam hatinya.
Kami memohon kepada Allah agar Dia berkenan merasuk. kan kami ke
dalam golongan orang-orang yang beruntung seperti itu. Dan hal itu tidaklah
sulit bagi Allah (untuk melakukannya).
Keempat, surga dan neraka.
Dalam hal imi renungkanlah firman Allah Swt. yang tercantum di dalam
kitab-Nya.
Yang pertama adalah:
Artinya: “Dan Tuhan memberi mereka minuman yang bersih. Sesungguhnya
ini adalah balasan untukmu dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan).” (Q.S.
Al-Insaan: 21-22)
Allah juga menceritakan orang yang lain lagi dengan firman:
Artinya: “Ya Tuhan kami. Keluarkanlah kami dari padanya (dan
kembalikanlah kami ke dunia). Maka jika kami kembali berbuat kekufuran tentu
kami telah berbuat zalim. Dia Allah berfirman, “Tinggallah di dalamnya dengan
hina dan jangan bertncara lagi pada-Ku.” (Q.S Al-Mukminuun: 107-108)
Diceritakan bahwa pada saat itu mereka telah berubah menjadi
anjing-anjing yang saling menggonggong di dalam neraka. na’uzu billaahi, Tuhan
yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, dari siksa-Nya yang pedih.
Segala yang terjadi, menurut apa yang dikatakan oleh Yahya bin
Mu’adz Ar-Raazi adalah: Kami tidak tahu manakah musibah yang paling besar,
kehilangan surga ataukah masuk neraka. Sebab seseorang tidak sabar ingin segera
memasuki surga danjuga tidak sabar jika harus tinggal di dalam neraka. Apapun
keadaannya, kehilangan sebuah nikmat tentu lebih ringan daripada harus menahan
sakitnya siksaan neraka.
Kemudian bencana yang terbesar dan musibah yang paling berat adalah
keabadian dalam neraka. Karena apapun yang terjadi secara terpisah
(terputus-putus) tentu lebih mudah. Tapi yang terjadi saat itu adalah keabadian
yang tiada berujung. Hati siapa yang mampu menahannya? Perasaan siapa yang sabar
merasakannya? Karena itulah Nabi Isa a.s. berkata: “Ingatan tentang keabadian
orangrang yang abadi (dalam neraka) bisa memutuskan hati orang-orang yang
takut.”
Dikatakan kepada Hasan Al-Bashri bahwa manusia terakhir yang keluar
dari neraka adalah seorang lelaki yang bernama Hannad. Dia disiksa selama seribu
tahun seraya memanggilmanggil dengan kata Ya Hannan, Ya Mannaan (wahai Tuhan
Ynag Maha Pengasih, wahai Tuhan yang Maha Memberi anugerah). Mendengar itu Hasan
Al-Bashri berkata: “Alangkah senangnya seandainya aku menjadi Hannad.”
Orang-orang menjadi heran dengan hal itu. Hasan berkata: “Celaka. Bukankah suatu
hari ia bisa keluar (dari neraka)?”
Aku (Al-Ghazali) berkata: “Jadi, segala sesuatu bermuara pada satu
hal yang bisa membuat punggung menjadi patah, wajah memucat, hati menjadi
hancur, putus asa dan mengeluarkan air mata darah bagi para hamba, yakni
perasaan takut kehilangan makrifat (keimanan). Inilah puncak kekhawatiran
orang-orang yang merasa takut dan ditangisi oleh orang-orang yang menangis.
Seorang ulama berkata: ” Kesedihan itu ada tiga macam: Sedih dalam
berbuat taat karena takut taatnya tidak diterima, sedih melakukan maksiat karena
takut tidak diampuni, dan sedih tentang makrifat (keimanan) karena khawatir
dicabut.”
Orang-orang yang ikhlas (mukhlishuun) mengatakan bahwa Segala
kesedihan itu pada dasarnya hanya satu, yakni tercabutnya makrifat (keimanan).
Kesedihan yang lain dianggap remeh karena hal itu pasti akan berakhir.”
Kami juga telah mendengar bahwa Yusuf bin Al-Asbath berkata: “Aku
datang ke tempat Sufyan Ats-Tsauri dan Ia menangis sepanjang malam. Aku
bertanya, ‘Apakah Anda menangis karena mengingat dosa?” Yusuf berkata, ‘Bagi
Allah dosa-dosa itu lebih ringan daripada ini. Tapi yang lebih kutakutkan adalah
jika Allah sampai mencabut Islam dari hatiku.”
Kami memohon kepada Allah yang Maha Memberi anugerah semoga Dia
tidak menguji kami dengan musibah-Nya, agar Dia berkenan menyempurnakan
karunia-Nya dengan memberikan kenikmatan yang banyak dan mencabut nyawa kami
dalam keadaan beragama Islam. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang di antara para
penyayang.
Kami telah menyebutkan penyebab suu-ul khaatimah beserta
keterangannya di dalam kitab “Ihya Ulumiddin”. Karena itu, renungkanlah
keterangan yang ada di dalamnya. Sebab alam keterangan tentang itu di dalam
kitab ini akan menyebabkan bertele-tele. Renungkanlah keterangan yang global
ini. Semoga Anda mendapat petunjuk, sebab rinciannya lebih banyak dari apa yang
terlintas dalam benak dan disebutkan oleh seseorang. Semoga Anda beruntung
dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya.
Jika Anda bertanya: “Manakah yang lebih baik, menempuh jalan khauf
(takut) ataukah raja’ (mengharap)?”
Yang terbaik adalah jalan yang terbentang di antara keduanya. Orang
yang terlalu berharap akan menganggap bahwa dosa itu tidak berbahaya, bahkan
dikhawatirkan ia akan menganggap semua yang diharamkan oleh Allah boleh
dikerjakan, karena menganggap semua dosanya bakal diampuni. Orang yang terlalu
takut tidak akan memiliki harapan. Artinya ia menjadi putus asa. Jadi, yang
dimaksud di sini adalah jalan tengah, tidak boleh menitikberatkan pada salah
satunya. Karena pada hakekatnya harapan sejati tidak lepas dari rasa takut dan
ketakutan sejati tidak akan lepas dari berharap. Oleh karena itu, ada yang
mengatakan bahwa harapan itu hanya dimiliki oleh orang yang merasa nyaman dan
rasa takut hanya dimiliki oleh orang yang memiliki harapan, bukan orang yang
putus asa.
Jika Anda bertanya: “ Apakah salah satu dari keduanya lebih unggul
dari yang lain? Atukah salah satunya harus lebih banyak diingat karena suatu
keadaan tertentu?”
Ketahuilah! Jika seorang hamba berbadan sehat dan kuat, maka yang
terbaik baginya adalah rasa takut. Tapi jika ia sakit dan lemah, apalagi
menjelang kematiaannya, maka yang terbaik baginya selalu berharap.
Begitulah yang kudengar dari pembicaraan para ulama.
Menurutku (Al-Ghazali) pendapat seperti itu berdasarkan firman Allah
(dalam Hadis Qudsi):
Artinya: “Aku berada di sisi orang yang hatinya hancur karena takut
kepada-Ku”
Maka jadilah harapan lebih baik baginya pada saat itu, karena
hatinya telah remuk dan ketakutan yang dilakukannya telah ia jalani saat masih
sehat, kuat dan mampu. Karena itulah dikatakan kepada mereka: “Janganlah kalian
merasa takut dan bersedih hati.”
Jika Anda bertanya: “Bukankah telah banyak hadis yang menerangkan
tentang berbaiksangka kepada Allah dan imingiming dalam hal itu?”
Ketahuilah bahwa termasuk di dalam berbaiksangka kepada Allah adalah
berhati-hati (menjauh) dari maksiat, takut mendapat siksa-Nya dan
bersungguh-sungguh dalam melayani-Nya?
Perlu pula diketahui bahwa dalam hal ini ada dua masalah yang sangat
prinsip dan juga keterangan yang penting. Banyak Sekali orang yang keliru
memahaminya, yakni perbedaan antara harapan” dan “hayalan”.
Harapan adalah sesuatu yang menyangkut persoalan yang mendasar,
sedangkan hayalan sama sekali tidak menyangkut masalah itu. Sebagai contoh ada
orang menanam padi. Ia bersungguh-sungguh dan mengumpulkan tempat mengerik padi
lalu berkata: “Aku berharap mendapatkan seratus karung darinya”. Maka bagi orang
tersebut ucapan itu adalah raja’ (harapan).
Ada lagi orang yang sama sekali tidak menanam padi, tidak
mengerjakan sesuatupun barang sehari, laluia pergi tidur. Ia lalai sepanjang
tahun dan bila tiba waktunya panen ia berkata: “Aku berharap mendapatkan seratus
karung dari tanaman tersebut.” Lalu orang itu ditanya: “Dari mana datangnya
harapanmu itu?” Sungguh ini adalah sebuah hayalan yang tidak mendasar.
Begitu juga seorang hamba. Jika ia bersungguh-sungguh dalam
beribadah kepada Allah, menjauhi maksiat dan berkata: “Aku berharap semoga Allah
menerima amalku yang sedikit ini, menyempurnakan kelalaianku, membesarkan pahala
dan mengampuni kesalahanku, Dan aku berprasangka baik kepadaNya.” Inilah yang
dinamakan raja’ (harapan) darinya.
Akan tetapi jika ia lalai dari ibadah, tidak berbuat taat, melakukan
kemaksiatan, tidak peduli dengan murka Allah, keridaan, janji dan ancaman-Nya,
lalu tiba-tiba ia berkata: “Aku mengharapkan surga dari Allah dan terbebas dari
neraka”. Maka itulah yang dinamakan hayalan. Tidak ada yang didapat darinya.
Sedangkan orang-orang menyebutnya sebagai harapan dan berbaiksangka. Sungguh itu
adalah sebuah kesalahan dan kesesatan,
Seorang penyair mengungkapkan artian semacam ini dengan syair
sebagai berikut:
Kamu berharap bisa selamat dan tidak menempuh jalannya,
Sungguh
tidak ada perahu yang berlayar di daratan.
Di antara yang menerangkan hal penting ini adalah hadis yang kami
riwayatkan dari Nabi Saw. Beliau bersabda:
Artinya: “Orang yang pandai adalah orang yang merendahkan diri
(nafsu)nya dan berbuat sesuatu sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang lemah
adalah orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan berhayal tentang Allah azza
wajalla.”
Dalam hal ini Hasan Al-Bashri berkata: “Banyak orang yang terlena
dengan hayalan tentang ampunan sampai mereka keluar dari dunia dalam keadaan
bangkrut dan sedikitpun tidak memiliki kebaikan. Kemudian salah satu di antara
mereka berkata: ‘Sesungguhnya aku telah berbaik sangka kepada Tuhanku. Dan Dia
telah berbohong.’ Seandainya ia benar-benar telah berbaiksangka kepada Tuhannya,
tentu ia memperbagus amal untuk-Nya.”
Kemudian Hasan Al-Bashri membaca ayat:
Artinya: “Barangsiapa ingin bertemu (menghadap) Allah maka hendaklah
ia beramal saleh.” (Q.S. Al-Kahfi: 110)
Diteruskan dengan membaca ayat:
Artinya: “Yang demikian itu karena kesalahanmu berprasangka kepada
Allah, yang akan mencelakakan dirimu. Maka kamu (orangorang yang berhayal)
termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Fushshilat: 23)
Diceritakan dari Ja’far Adh-Dhab’i rahimahullah. Beliau berkata:
“Aku melihat Abu Maisarah. Ia adalah seorang ahli ibadah dan terlihatjelas
tulang iganya karena sangat bersungguhsungguh. Aku berkata: ‘Semoga Allah
merahmatimu, karena rahmat Allah itu luas. Beliau marah dan berkata: ‘Adakah
kamu melihat tanda-tanda keputusasaan dari rahmat Allah pada diriku?
Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat bagi orang-orang yang berbuat baik.”
Ja’far berkata: “Yang membuatku menangis adalah ucapan beliau
seperti ini: Jika semua rasul, wali abdal dan para aulia seperti ini
kesungguhannya di dalam ketaatan dan menghindari maksiat dan juga mereka terus
bertahan, apakah mereka tidak memiliki baik sangka kepada Allah? Tentu, karena
mereka lebih tahu keluasan rahmat Allah dan lebih berbaiksangka terhadap
kemurahan-Nya daripada Anda. Akan tetapi mereka juga tahu bahwa semua itu tanpa
ijtihad hanya akan menjadi hayalan dan tipuan belaka.
Ambillah pelajaran dari semua keterangan ini, renungkanlah keadaan
mereka dan bangkitlah dari tidur Anda.
Hanya Allah yang menguasai semua taufik.
Kesimpulannya adalah: Jika Anda mengingat keluasan rahmat Allah yang
mendahului kemurkaan-Nya serta lebih luas dari segala sesuatu, mengingat bahwa
Anda termasuk umat yang mulia di sisi Allah, mengingat puncak karunia yang agung
dan kemurahan-Nya yang sempurna serta mulia, lalu Dia menjadikan permulaan
kitab-Nya yang mulia bagi Anda dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Mengingat banyaknya pemberian dan kenikmatan yang diberikan
kepada Anda, baik yang kelihatan maupun yang samar tanpa adanya pertolongan
atupun amal yang telah Anda lakukan.
Di sisi lain Anda juga mengingat kemegahan, keagungan, kebesaran
kerajaan dan kehebatannya. Mengingat dahsyatnya kemurkaan-Nya yang tidak mampu
dirasakan oleh langit dan bumi. Mengingat kelalaian Anda yang terlalu dan
banyaknya dosa serta kecerobohan di samping kelembutan urusan Allah, gawatriya
berhubungan dengan-Nya karena cakupan ilmu dan pandangamNya terhadap dosa-dosa
dan hal gaib. Mengingat kebaikan janji dan pahala-Nya yang tidak terbayangkan,
pedihnya ancaman dan siksaan yang tidak bisa diungkapkan dengan hati.
Suatu saat Anda melihat keagungan-Nya, dan di saat lain Anda melihat
siksa-Nya. Di satu saat Anda melihat kelemahlembutan dan rahmat-Nya, sedang di
saat lain Anda melihat diri dan keingkaran serta kesalahan yang diperbuatnya.
Dengan semua itu Anda akan sampai pada kedudukan khauf dan raja’.
Anda juga telah meniti jalan tengah yang lurus, menyimpang dari dua jalan yang
merusak yaitu rasa aman (dari siksa Allah) dan putus asa (dari rahmat Allah).
Anda tidak akan tersesat bersama orang-orang yang sesat dan binasa bersama
orang-orang-orang yang binasa. Anda meminum minuman yang telah dioplos dengan
benar sehingga tidak rusak karena dinginnya kemurnian raja’ dan panasnya
kemurnian khauf.
Sepertinya aku (Al-Ghazali) melihat bahwa Anda telah mencapai apa
yang diinginkan dengan membawa keuntungan, Sembuh dari dua penyakit dengan
selamat, nafsu Anda telah bangkit untuk berbuat taat dan mendekat untuk melayani
(Allah) Siang dan malam tanpa rasa jemu dan lengah. Anda telah menjauh dari
maksiat dan hal-hal yang hina serta meninggalkannya sama Sekali, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Nauf Al-Bukhali: “Sungguh jika Nauf ingat akan surga, dia
teramat merindukannya: Dan jika mengingat neraka dia akan kehilangan gairah
tidurnya.”
Dalam keadaan seperti ini Anda telah menjadi orang yang terpilih dan
istimewa serta menjadi golongan ahli-ahli ibadah, yakni orang-orang yang disebut
oleh Allah dengan firman-Nya:
Artinya: “Sesungguhnya mereka bersegera melakukan kebaikan dan
menyembah-Ku dengan rasa senang dan takut. Dan mereka khusyuk demi
keagungan-Ku.” (Q.S. Al-Anbiyaa’: 90)
Anda juga telah melewati tahapan berbahaya ini dan meninggalkannya
di belakang dengan izin Allah dan kebaikan taufik-Nya.
Anda akan merasakan banyak sekali rasa manis dan kebeningan hati di
dunia serta simpanan pahala yang melimpah di akhirat.
Hanya Allah tempat meminta. Semoga Dia berkenan memberikan
pertolongan dengan taufik dan pembenaran-Nya kepada kita semua. Sesungguhnya Dia
lebih mengasihi dan lebih pemurah di antara para pengasih dan para pemurah.
Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha
Agung. [alkhoirot.org]