Hak Istri dan Kewajiban Suami
Nama kitab: Terjemah Uqudul Lujain (Syarah dari kitab Risalah ba'd al-Nasihin)
Judul versi terjemah: Etika Berumah Tangga
Nama yang dikenal di Arab: Nawawi bin Umar bin Ali Al-Bantani atau Nawawi Al-Jawi (محمد بن عمر بن على نووي البنتني الجاوي الإندونيسي)
Kelahiran: Banten, Indonesia
Meninggal: Makkah, 1316 H/ 1898 M
Penerjemah: Drs. Afif Busthomi dan Masyhuri Ikhwan
Bidang studi: Ilmu tasawuf, akhlak, etika berumah tangga
Daftar isi
BAB I : HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI
Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 19:
“Dan bergaullah dengan mereka (uianita) secara
patut."
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228, Allah Swt. juga
berfirman:
‘Dan mereka mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajiban
menurut cara yang ma’ruf. Akan
tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai
satu tingkat
(kelebihan) daripada mereka. ”
Yang dimaksud
dengan patut dalam firman Allah
Swt. yang pertama adalah bijaksana. Ini
dimaksudkan
bahwa laki-laki harus bijaksana dalam mengatur
waktu
untuk istri. Demikian pula dalam kaitannya
dengan masalah nafkah yang
merupakan bagian dari
hak istri. Hal lain yang terkait dengan masalah
kepatutan di sini ialah kehalusan dalam berbicara.
Mengenai
masalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban wanita, firman Allah Swt.
yang kedua itu
menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai
hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap
yang lain sebagai
suami istri, bukan dalam masalah
kelamin. Dalam hubungan ini, hak mereka
berbeda.
Karena laki-laki berhak untuk berpoligami. Adapun
yang
dimaksud dengan cara yang “ma’ruf ialah cara
yang baik menurut pandangan
agama, seperti berso-
pan santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat me-
lukai perasaan, baik bagi suami maupun istri, bahkan
sampai pada
batas berdandan. Sebab, hal itu merupa-
kan suatu cara yang ma’ruf.
Oleh karena itu, masing-masing dari keduanya
berkewajiban
untuk melakukannya, mengingat bah-
wa hal tersebut merupakan bagian dari
apa yang
dimaksud dalam ayat di atas. Itulah sebabnya Ibnu
Abbas
r.a. berkata:
“ Maksud dari cara yang ma’ruf itu ialah, bahwa
saya senang berdandan demi istri saya, sementara
diapun senang
berdandan demi diri saya. ”
Selain itu, ada hal lain yang perlu
disebutkan di
sini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-
laki, yakni suami mempunyai tingkat kelebihan
daripada istri. Hal
ini terkait dengan hak suami yang
diperolehnya atas tanggung jawab suami
itu sendiri
dalam memberikan maskawin dan nafkah bagi
istnnya.
Dalam hubungan ini, suami berhak mernper-
oleh ketaatan istri. Dengan
demikian, maka istri wajib
taat kepada suami sehubungan dengan tanggung
jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan istri, di
samping kesejahteraan hidup-
nya ditanggung suami.
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi
Muhammad Saw. ketika melakukan
ibadah haji
wada’, haji terakhir, beliau yang kala itu tepat pada
hari Jumat, menyatakan khotbah hari Jumat. Setelah
ucapan puji dan
syukur kepada Allah Swt. beliau
menyatakan:
“ Ketahuilah
olehmu bahwa kamu sekalian hendak-
nya melaksanakan wasiatku, yaitu
melakukan hal
yang terbaik bagi wanita. Mereka ' itu tertahan di
sisimu. Bagimu tidak ada pilihan lain dalam meng-
hadapi mereka
selain apa yang aku wasiatkan itu,
kecuali kalau mereka melakukan
fakhisyah 1 secara
jelas. Apabila mereka melakukannya, maka kamu
sekalian hendaknya menghindar dari mereka di
tempat peraduan dan
berikanlah pukulan yang
tidak memberatkan. Akan tetapi kalau mereka taat
kepadamu, maka kamu sekalian tidak boleh men-
cari jalan untuk
memukul mereka. Ketahuilah
bahwa kamu sekalian mempunyai hak atas
istrimu
dan mereka pun mempunyai hak atas dirimu.
Adapun hak
kalian atas mereka adalah bahwa
mereka itu tidak memperkenankan tilam
milikmu
tersentuh oleh orang lain yang tidak kamu sukai,
dan tidak
mengizinkan rumahmu dimasuki orang
lain yang tidak kamu sukaipula. Dan
ingatlah bah-
wa kamu sekalian harus menunjukkan kebaikanmu
terhadap mereka baik dalam memberikan sandang
maupun pangan. ”(HR.
Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadis di atas Nabi Muhammad Saw.
ber-
1 fakhisyah ialah nusyuz, yaitu meninggalkan kewajibannya
sebagai
istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suami,
membicarakan
kejelekan suami kepada orang lain dan sebagainya (Peneij).
maksud memberikan perhatian kepada kaum mus-
limin agar
mendengarkan apa yang diwasiatkan
kepada mereka dan selanjutnya
melaksanakan wasiat
itu. Dalam hal ini beliau menganjurkan agar kaum
muslimin berhati lembut terhadap istri serta
menunjukkan perilaku
yang baik dalam bergaul
dengan mereka. Itulah yang dimaksud dengan mela-
kukan hal yang terbaik bagi wanita. Sebab, wasiat
Nabi Muhammad
Saw. dalam hadis di atas sudah
barang tentu muncul karena faktor
lemahnya wanita,
termasuk di dalamnya kebutuhan wanita itu sendiri
terhadap keluhuran budi suami sebagai seorang yang
mampu
menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan
mereka.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw. menggambar-
kan istri itu
sebagai “wanita yang tertahan”. Di sini
beliau memandang insan yang
lemah itu sebagai
tawanan, karena mereka itu pada dasarnya ditahan
oleh suami kendatipun itu berlangsung di tempat
kediamannya. Akan
tetapi tawanan yang satu ini tidak
sama dengan tawanan pada umumnya,
karena di da-
lam riwayat yang lain Nabi Muhammad Saw. membe-
rikan perhatian bahwa istri adalah titipan Allah Swt.
yang
menuntut tanggung jawab yang sangat besar
dari suami. Apabila laki-laki
menerima titipan yang
amat mulia ini, berarti mereka telah menerimanya
sebagai amanat dari Allah Swt.
Sehubungan dengan hal
tersebut, laki-laki
dituntut untuk memiliki cara yang paling baik dalam
bergaul dengan istrinya sesuai dengan ajaran Nabi
Muhammad Saw.
yang luhur. Jika mereka melihat
adanya nusyuzyang secara riil dilakukan
istri, maka
hadis tersebut menunjukkan cara yang bijaksana,
yaitu
menghindari tempat peraduan dalam arti tidak
tidur beserta istri. Pola
sikap seperti ini dalam jangka
waktu yang tidak terbatas, karena yang
dimaksud
adalah pulihnya ihwal yang positif. Dengan demikian,
apabila menghadapi istri dalam nusyuznya, maka
suami dapat
mengambil sikap tersebut dalam rentang
waktu yang panjang, kendatipun
sampai dua tahun.
Setelah istri menyadari kekhilafannya dan kondisi
positif seperti yang diharapkan terwujud kembali
dalam diri sang
istri, pada saat itu suami tidak boleh
menghindar seperti sedia kala.
Selain itu, kiranya perlu disebutkan di sini, bahwa
sebagian
ulama ada yang mengemukakan pendapat-
nya mengenai batas waktu
menghindar bagi suami
Dalam pendapat tersebut dikatakan bahwa jangka
waktu untuk itu ialah satu bulan.
Andaikata ihwal istri
tidak berubah, padahal suami
telah melakukan cara yang amat bijaksana
seperti
apa yang diutarakan di atas, maka suami diperkenan-
kan
melakukan pukulan yang tidak memberatkan.
Hal ini dimaksudkan bahwa
istri memperoleh pela-
jaran lain berupa pukulan ringan yang sifatnya
tidak
meninggalkan bekas di tubuh. Jangan sampai terjadi
bahwa
pukulan itu begitu kuat sehingga membuat
noda pada anggota badan.
Apalagi sampai terjadi pe-
nyebab terjadinya cidera Itulah yang harus
diperha-
tikan dalam menerapkan sabda Nabi Muhammad
Saw.
yang menganjurkan agar suami memberikan
pukulan bagi istri. Dan ini
merupakan sangsi yang
dapat diwujudkan manakala istn tidak berubah
sikap,
kendatipun suami telah melakukan upaya seperti di
atas.
Akan tetapi jika istri taat kepada suami dalam
arti kembali melaksanakan
kewajiban sebagai istri
seperti apa yang diinginkan suami, maka sangsi
tersebut tidak boleh diterapkan. Sebab Nabi
Muhammad Saw. secara
tegas melarangnya Menurut
beliau, "Janganlah kamu sekalian mencan jalan
untuk
memukul mereka ” Dan itu sudah barang tentu setelah
istn mau
menunjukkan ketaatannya kepada suami.
Dengan demikian, suami harus
mampu menahan
diri menghadapi anjuran Nabi Muhammad Saw. da-
lam
kasus di atas. Sebab, anjuran ini dimaksudkan
sebagai tindak lanjut dari
ketentuan beliau sebe-
lumnya, yang pelaksanaannya terkait dengan pola
sikap istri yang tidak kunjung membaik setelah
adanya
pengejawantahan dalam ketentuan tersebut
dalam jangka waktu yang cukup
lama Kalau sampai
terjadi bahwa suami memukul istn yang telah kembali
membaik, yakni kembali taat kepada suami sesuai
dengan
kewajibannya sebagai istri, maka hal itu
merupakan suatu kezaliman. Oleh
karena itu, suami
harus berusaha memendam peristiwa yang telah
terjadi atau berlalu. Anggaplah bahwa hal itu tidak
pernah
terjadi. Sebab istri yang telah menyadari kesa-
lahannya dan bertobat
atas dosa-dosa yang pemah
dilakukannya terhadap suami laksana seorang
yang
tidak pemah berbuat dosa.
Perlu disebutkan di sini
suatu riwayat lain yang
berkaitan dengan apa yang dinyatakan Nabi
Muhammad Saw. dalam hadis di atas. Dalam riwayat
itu beliau
menyatakan hal-hal mengenai hak-hak istri
baik di bidang sandang maupun
pangan, di samping
hak-hak memperoleh pelajaran dari suami tatkala
melakukan nusyuz. Dalam hubungan ini beliau ber-
sabda:
“Hak wanita atas suaminya ialah bahwa suarni
memberikan
konsumsi pangan kepada istri apabila
dia mengkonsumsi bahan pangan. Di
samping itu,
memberikan sandang kepadanya apabila dia ber-
pakaian. Dan janganlah suami itu memukul bagian
wajah istn,
mengumpatnya serta menghindarinya
kecuali di dalam rumah ” (HR. Thabrani
dan
Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah)
Dalam kasus tertentu,
yaitu ketika istri melakukan
nusyuz, suami boleh memukul pada bagian
badan di
luar wajah istri Sebab, hal ini merupakan hak istri
itu
sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan
itu jelas dianjurkan oleh
Nabi Muhammad Saw. ken-
datipun harus dilakukan setelah upaya
“menghindar”.
Hal lain yang harus diperhatikan suami ialah
bahwa istri tidak berhak mendapatkan penghinaan
dari suami. Sebab,
Nabi Muhammad Saw. dengan
tegas melarangnya untuk mengumpat istri, yaitu
dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya,
seperti
mengatakan “dasar wanita jelek”.
Kemudian masalah “menghindar”
seperti yang
telah dimaklumi, Nabi Muhammad Saw. melarang
suami
untuk menghindar dari istri kecuali di dalam
rumah, yakni di tempat
peraduan Inilah ketentuan
yang boleh dilakukan oleh suami manakala istri
melakukan nusyuz. Adapaun hal lain di luar itu,
seperti menghindar
dalam konteks komunikasi secara
lisan, tidak diisyaratkan di dalam
hadis. Dengan
demikian, suami tidak boleh membungkam atau
membisu
dalam kasus im. Apabila hal itu dilakukan,
berarti suami telah berbuat
dosa, karena tindakan
itu haram, kecuali karena uzur. Sebagai seorang
suami, laki-laki wajib memperhatikan ajaran-ajaran
agama yang
terkait dengan segala sesuatu yang harus
dilakukan terhadap istrinya
Sebab, Nabi Muhammad
Saw. memberikan peringatan serius mengenai kewaji
bannya dalam merealisasikan hak-hak wanita yang
diperistrikannya.
Untuk menjelaskan hal itu, di sini
akan dikemukakan suatu riwayat yang
telah disam-
paikan oleh Thabrani, yaitu sebuah hadis yang me-
nyatakan:
“Rasulullah Saui. bersabda, ‘Jika seorang
laki-laki
memperistri seorang wanita dengan memberikan
maskawin
baik dalam jumlah besar atau kecil, se-
dangkan dalam dirinya tidak ada
kehendak untuk
memberikan hak-hak wanita itu, maka dia telah
mengkhianatinya. Apabila laki-laki itu mati padahal
belum
memberikan hak-hak tersebut, maka dia
akan menghadap Alllah Swt. di hari
kiamat dengan
menanggung dosa. (HR. Thabrani)
Maksudnya
bahwa laki-laki tersebut adalah seo-
rang pelaku zina, dan di hari
kiamat dia menghadap,
dengan menanggung dosa perzinaan.
Dalam hadis lain Nabi Muhammad Saw. mem-
berikan petunjuk
yang harus dilakukan oleh seorang
laki-laki dalam memberikan segala
sesuatu yang
merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin
dalam suatu hadis yang menyatakan:
“Rasulullah Saw.
bersabda, ‘Sesungguhnya orang-
orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan
paling lembut
sikapnya kepada keluarganya.
(HR. Turmudzi dan Hakim dari Aisyah
r. a.)
Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti
yang
luhur. Semua itu tentunya dimaksudkan sebagai
realisasi dari kewajiban
suami dalam mengejawantah-
kan hak-hak istri kendatipun hal ini
merupakan
konsep yang lebih khusus. Dengan demikian, walau-
pun
kata “keluarga” di sini memberikan pengertian
yang luas karena
melibatkan banyak unsur termasuk
di dalamnya anak-anak, suami, dan
kerabat dekat-
nya, istri sudah barang tentu mendapatkan prioritas
khusus. Sebab, dialah yang berfungsi sebagai pendu-
kung utama
bagi terciptanya sebuah keluarga. Oleh
sebab itu, kondisi etik yang
positif sebagaimana telah
disinyalir di dalam hadis tadi perlu
mendapatkan pe-
nekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewa-
jiban suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubung-
an dengan
fungsi itu sendiri seperti tersebut di atas.
Hadis yang senada
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban.
Dalam riwayat ini, hadis itu berbunyi:
Rasulullah Sau/. bersabda, ‘Orang yang terbaik di
antara
kamu sekalian adalah orang yang paling baik
terhadap keluarganya
Sedangkan diriku sendiri
lebih baik daripada kamu sekalian karena (ke-
baikanku) terhadap keluargaku.
(HR. Ibnu Hlbban)
Dalam hadis lain Nabi Muhammad cukup tegas
dalam
menganjurkan kewajiban etik seorang suami
terhadap istri:
"Orang yang terbaik di antara kamu sekalian adalah
mereka
yang paling baik terhadap istri, dan aku
sendiri lebih baik daripada
kamu sekalian atas
(kebaikanku) terhadap istriku,”
Dalam
menerapkan norma-norma akhlak di dalam
kehidupan rumah tangga, seorang
suami harus memi-
liki pedoman moral yang strategis. Untuk itu. Nabi
Muhammad Saw memberikan petunjuk agar seorang
suami bersabar hati
dalam menghadapi cobaan istri.
Dengan demikian, suami dapat melaksanakan
kewa-
jibannya secara baik sesuai dengan ajaran agama
untuk
memahami cobaan dari istri. Di sini akan dike-
mukakan sebuah hadis yang
menyatakan:
Diriwayatkan dari Nabi Saui. bahwa beliau
bersabda. Siapa yang sabar menghadapi kerendah
an pekerti
istrinya, maka Allah Swt. akan memben
kan pahala sebesar apa yang
diberikan kepada
Nabi Ayub a.s. sehubungan dengan cobaan beliau
Di
dalam hadis di atas disebutkan sesuai pahala
Nabi Ayub, hal ini
dikarenakan Nabi Ayub terkenal
sebagai seorang yang menderita. Pada
waktu terse-
rang penyakit yang hebat yang dapat mematikan dan
diderita selama bertahun-tahun, beliau selalu ber
sabar hati
menghadapi cobaan ini dan tetap menjalan-
kan ibadah. Demikian pula
dalam menghadapi co-
baan yang datang dari istri. Menurut suatu riwayat,
beliau memiliki seorang istri yang memiliki rambut
panjang yang
terurai indah, dan beliau pun menyukai
rambutnya yang terurai indah ini.
Suatu hari sang
istri bermaksud memotong rambut kesayangan Nabi
Ayub itu tanpa sepengetahuan beliau. Dipotonglah
rambut yang
anggun itu tanpa terlebih dahulu memo-
hon izin kepada sang suami. Tak
lama setelah itu.
Nabi Ayub mengetahuinya dan secara sepontan beliau
marah besar di dalam hatinya. Dalam kondisi seperti
itu, beliau
yang sangat kecewa itu berusaha menekan
amarahnya dengan intensitas
kesabaran yang tinggi
Dengr n nilai moral yang amat terpuji ini,
istri Nabi
Ayub tetap tabah mendampingi suaminya, dan bah-
kan
merasa rela berkurban demi kewajibannya seba-
gai seorang istri.
Allah Ta’ala telah memberikan ujian mental atau
cobaan
kepada Nabi Ayub a.s. empat perkara' habis
hartanya, habis anaknya,
tubuhnya menjadi bunk, dan
ditinggalkan seluruh manusia kecuali sstnnya.
Ber-
macam-macam harta kekayaan yang dimiliki Nabi
Ayub, seperti
unta, sapi, kambing, dan keledai. Beliau
memiliki 500 pasang sapi yang
dihalau 500 budak.
Setiap budak itu memiliki istri, anak, dan
harta
Ada tiga ajudan beliau yang telah beriman kepadanya
Ketiga
ajudannya gagah-gagah.
Iblis tidak terhalang apa saja yang ada di
langit,
se watu -waktu ia dapat melihatnya. Lalu iblis men-
dengar
para malaikat yang memohonkan ampunan
Nabi Ayub. Iblis merasa dengki
terhadap Nabi Ayub
seraya berkata kepada Allah, “Wahai Tuhanku! Aku
melihat hamba-Mu Ayub senantiasa bersyukur dan
memuji Engkau.
Andaikan Engkau menimpakan
bencana kepadanya, niscaya dia tidak akan
bersyukur
dan taat kepada Engkau.”
Aliah Ta’ala menjawab,
“Pergilah kamu kepada
Ayub, Aku izinkan kamu mengganggu harta kekaya-
annya.”
Iblis lalu pergi kepada Ayub bersama setan dan
jin ifrit. Iblis seraya berkata kepada setan dan jin,
“Aku telah
diizinkan oleh Allah untuk merusak harta
kekayaan Ayub.”
Iblis memerintahkan setan dan lfnt, “Datangilah
unta-unta
Nabi Ayub beserta penggembalanya dan
bakarlah semua.”
Lalu
iblis mendatangi Ayub ketika sedang salat.
Iblis berkata kepada Ayub,
“Seluruh untamu dan
penggembalamu sudah saya bakar ”
Sahut
Ayub, “ Alhamdulillah, Allah yang telah mem-
berikan unta-unta dan
penggembala kepadaku, dan
Dialah yang mengambilnya."
Kemudian iblis berbuat seperti itu juga terhadap
kambing-kambing Nabi Ajaib serta penggembalanya,
la mendatangi
Ayub seraya berkata, “Angin keras telah
mengahancurkan tanamanmu.”
Jawab Aj/ub dengan memuji dan menyanjung Allah
Iblis lalu
berkata kepada Allah, “Ya Aliah' izinkan aku
merusak anak anak Ajaib.”
Allah menjawab, “Pergilah
kamu, Aku izinkan merusak anak-anak Ayub.”
Selanjutnya iblis merusak anak-anak Aju b. Ru-
mah
panggungnya diguncang dan merobohi anak-
anak Ayub. Mereka tewas
seketika. Reaksi Ayub
berikutnya hanya benstighfar kepada Allah Ta’ala
Iblis berkata, “Wahai Tuhanku, izinkanlah aku
merusak tubuh
Ayub.”
Allah menjawab, “Aku izinkan kamu merusak tu-
buhnya,
kecuali hati dan akalnya.”
Iblis segera pergi mencari Ayub yang
sedang
bersujud kepada Allah
Ia datang di hadapannya seraya
meniup kedua
lubang hidung Ajaib. Seketika itu tubuh Ajaib menjadi
panas dan gatal, sehingga terus menerus Ayub meng-
garuk-garuk
dengan kukunya sampai kukunya ron-
tok semua. Lalu dikukur dengan kain
kasar, dan terus
d garuk-garuk dengan kepingan genting dan batu.
Ayub tak henti-hentinya menggaruk-garuk karena
sangat
gatalnya. Kondisi tubuhnya semakin rontok
dan berbau bacin. Akhirnya
Ayub diusir penduduk
untuk keluar dari desanya Dia dibuatkan tempat me-
netap di rumah gubug. Ayub ditempatkan di dalam-
nya, lalu
ditinggalkan penduduk desa, kecuali istrinya
yang bernama Rahmah.
Istrinya tetap setia melayani
apa yang menjadi keperluan Ayub, seperti
makanan.
Ayubjuga ditinggalkan tiga orang yang telah beriman,
tetapi mereka tidak meninggalkan agamanya.
Diriwayatkan, ada
seorang lelaki datang kepada
Umar bin Khaththab r. a. dengan maksud
mengadu-
kan kejelekan istrinya. Lelaki itu berdiri di depan
rumah
Umar menunggu beliau keluar. Kebetulan ia
mendengarkan istri Umar yang
sedang menjelek-
jelekkan Umar dengan ucapannya. Sedangkan Umar
bin Khaththab diam saja tidak menjawab.
Lelaki itu kembali
seraya berkata, “Kalau keadaan
Amirul Mukminin seperti ini, apalagi
saya.”
Tak lama kemudian Umar keluar melihat lelaki
itu
mundur kembali, lalu dipanggil dan ditegur, “Apa
keperluanmu?”
Jawab lelaki itu, “Wahai Amirul Mukminin, saya
datang untuk
mengadukan kejelekan istriku yang
sangat menyakitkan saya. Lalu saya
tahu ternyata
istrimu juga demikian, apalagi keadaanku.”
Sahut Umar, “Wahai saudaraku! Aku mi butuh uca-
pan
jelek istriku karena hak-hak istriku yang mesti aku
cukupi. Istriku
memasak makanan, membuat roti untuk-
ku, mencuci pakaianku, dan menyusui
anakku. Hatiku
tenteram karena terhindar dari perkara haram lantaran
pelayanan istriku. Maka dialah sebagai jaminannya ”
Lelaki
itu berkata, “Andai didiamkan wahai sau-
daraku, itu hanya sebentar lagi
mudah.”
Disebutkan dalam hadis:
“Siapa yang bersabar
atas kejelekan suaminya,
maka Allah memberikan pahala seperti pahala
Asiyah istrj Fir’aun . "
siyah istn Fir’aun adalah Syaikh
Muzahim. Asal-
nya, ketika Nabi Musa a. s. mengalahkan tukang-tu-
kang sihir Fir’aun, Asiyah benman kepada Nabi Musa.
Setelah
Fir’aun mengetahui istrinya beriman, ia
menancapkan empat buah tonggak
di tanah untuk
mengikat kedua tangan dan kedua kaki Asiyah
Fir’aun
mengikatnya pada keempat tonggak itu. Setiap
anggota tubuhnya diikat
dengan tali dan dihadapkan
pada matahari. Jika Fir’aun dan kaumnya
berpaling,
maka pura malaikat menaungi Asiyah Setelah kaum
Fir’aun
membawa batu besar, Asiyah berkata, “Wahai
Tuhanku, semoga Engkau
berkenan membangunkan
untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya.”
Ini disebutkan
di dalam Al-Quran:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai
perumpamaan bagi orang-orang yang beriman,
ketika ia berkata, ‘Ya
Tuhanku, bangunlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya,
serta
selamatkanlah aku dari kaum yang zalim."
(QS. QS At-Tahrlm: 11)
Seketika itu Asiyah melihat rumah yang dibangun
dengan marmer
putih lalu ruhnya keluar. Setelah
keluar ruhnya, batu besar itu
ditimpakan pada
jasadnya yang sudah tak bernyawa itu sehingga
Asiyah tidak merasakan sakit.
Sayid Al-Habib Abdullah
Alhaddad berkata,
“Seorang lelaki sempurna adalah yang toleransi dalam
hak-haknya, dan tidak toleransi dalam hak-hak Allah
Ta’ala.
Sedangkan seorang laki-laki yang kurang
sempurna agamanya adalah yang
keadaannya
sebaliknya.”
Sayid Al-Habib Abdullah Alhaddad
adalah ahli
tarekat yang terkenal dan penuh asrar Sementara
itu, negara membuat istilah bahwa keturunan
Rasulullah Saw. itu
kalau laki-laki disebut “Habib”,
jika wanita disebut “Hababah”.
Sementara itu banyak
kaum muslimin banyak menyebut “Sayyid” dan
“Sayyidah”. Lelaki yang sempurna maksudnya adalah
sempurna dalam
agamanya. Tetapi tidak mempermu-
dah hak-hak Allah, seperti kewajiban
salat dan
menyambung rambut. Sebab hal itu adalah haram.
Sedangkan
lelaki yang kurang sempurna agamanya
adalah yang keadaannya sebaliknya.
Yaitu orang yang
mempermudah hak-hak Allah Ta’ala, tetapi tidak
berbuat kelonggaran pada hak-hak dirinya sendiri.
HIKAYAT
Sementara itu, orang-orang saleh ada yang mem-
punyai
saudara yang saleh. Ia mengunjunginya seta-
hun sekali. Suatu hari ia
datang seraya mengetuk
pintunya. Istri orang yang saleh bertanya dari
balik
pintu, “Siapa?”
Sahutnya, “Saudara suamimu, karena
Allah aku
datang untuk berkunjung.”
Ucap wanita itu,
“Suamiku pergi mencari kayu,
semoga tidak dikembalikan lagi ke sini oleh
Allah.”
Lalu wanita tadi benar-benar mencaci maki sua-
minya.
Di tengah-tengah wanita itu mencaci maki
suaminya, tiba-tiba suaminya datang membawa
sebongkok kayu yang
diletakkan di punggung macan.
Kayu itu lalu diturunkan dari punggung
macan sambil
berkata kepada macan, “Kembalilah kamu! semoga
Allah
memberkatimu.” Kemudian ia memasukkan
saudaranya yang berkunjung setelah
mengucapkan
salam menunjukkan kegembiraan kedatangan
saudaranya,
terus minta pulang dan merasa kagum
dengan kesabaran saudaranya terhadap
istrinya,
karena se patah katapun ia tidak menjawab ucapan
caci
maki istrinya itu.
Pada tahun yang kedua, saudaranya datang lagi
mengetuk pintu. Tanya wanita itu, “Siapa?”
Sahutnya, “Aku
saudara suamimu datang untuk
berkunjung.”
Jawabnya,
“Baiklah, selamat datang, silakan.”
Wanita itu benar-benar
menyanjung orang yang
datang mengunjungi suaminya seraya mempersilakan
menunggu. Tak lama kemudian, saudaranya datang
memanggul kayu pada
punggungnya. Lalu ia dipersi-
lakan masuk dan dijamu makanan. Ketika
tamu itu
akan pulang, ia sempat menanyakan keadaan wanita
tadi dan
wanita yang dahulu serta seekor macan yang
membawakan kayunya. Jawabnya,
“Wahai saudara-
ku, istriku yang jelek ucapannya itu sudah mati, aku
selalu sabar menghadapi kejelekan ucapannya. Lalu
Allah
menundukkan macan kepadaku karena
kesabaranku menghadapi istriku dahulu.
Kemudian
aku menikah dengan wanita salehah ini. Aku merasa
enak
dan tenang beserta wanita ini. Maka macan yang
dahulu itu telah terputus
danku. Sehingga aku mem-
bawa kayu pada punggungku, karena aku merasa
tenteram dan enak beserta istri wanita salehah ini.
FAEDAH
Ada beberapa hal di mana suami diperbolehkan
memukul istri:
1. Suami boleh memukul istri karena suami meng-
hendaki
istri berhias dan bersolek, sedangkan istri
tidak mengindahkan kehendak
suami itu. Juga
karena istri menolak diajak ke tempat tidur.
2. Suami boleh memukul istri karena keluar dan rumah
tanpa
izin, memukul anaknya menangis, menyobek-
nyobek pakaian suami, atau
karena memegang
jenggot suami seraya berkata, “Hai keledai, hai goblok,”
sekalipun suami memaki istri terlebih dahulu.
3. Suami boleh
memukul istri karena membuka mu-
kanya dengan lelaki bukan muhrimnya,
berbin-
cang-bincang dengan laki-laki lam, bicara dengan
suami
agar orang lain mendengar suaranya, mem-
berikan sesuatu dan rumah istri
yang tidak wajar
dibenkan, atau karena tidak mandi haid.
Di
dalam hal memukul istri karena meninggalkan
salat ada dua pendapat. Yang
lebih baik, suami hen-
daknya memukul istri karena meninggalkan salat,
jika
tidak mau melakukan salat karena diperintah.
Ketahuilah, sebaiknya suami itu melaksanakan
hal-hal sebagai
berikut kepada istri:
1. Memberikan wasiat, memerintahkan,
mengingat-
kan, dan menyenangkan hati istri. Di dalam hadis
disebutkan:
* Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada lelaki
yang berkata, ‘Hai ahliku, peliharalah salat, puasa,
zakat,
orang-orang miskinmu, anak yatim, dan te-
tanggamu. Semoga Allah
mengumpulkan kamu se-
mua bersama mereka di surga. ”
2.
Suami hendaknya memberikan nafkah istrinya
sesuai kemampuannya, usaha
dan kekuatannya.
3. Suami hendaknya dapat menahan diri, tidak mu-
dah marah apabila istri menyakitkan hatinya.
4. Suami
hendaknya menundukkan dan menyenang-
kan hati istri dengan menuruti
kehendaknya
dengan kebaikan. Sebab, umumnya wanita itu ku-
rang
sempurna akal dan agamanya.
Dalam hadis disebutkan:
“Andaikata Allah tidak menutupi wanita dengan
sifat malu,
niscaya ia tidak ada harganya, tidak
menyamai harga secakup tanah ”
5. Suami hendaknya menyuruh istrinya melakukan
perbuatan yang baik.
Syaikh Ramli mengatakan dalam kitab
Umdatur
Rabih, “Suami tidak boleh memukul istn karena
meninggalkan
salat. Maksudnya cukup memerin-
tahkan salat.”
6.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Athiyah,
“Suami hendaknya mengajar
istrinya apa yang
menjadi, kebutuhan agamanya, dari hukum-hu-
kum
bersuci seperti mandi haid, janabat, wudu dan
tayamum.
Haid,
maksudnya suami mengajarkan istri tentang
masalah-masalah yang
berhubungan dengan haid,
seperti menjelaskan salat yang wajib di qadha.
Sebab, wanita sewaktu darahnya telah terputus
sebelum Maghrib,
sekira waktunya cukup untuk
salat satu rakaat, maka ia wajib meng qadha
salat
Zhuhur dan Ashar. Dan sekiranya darah itu
terputus sebelum
Subuh, sekiranya waktunya
masih cukup untuk salat satu rakaat, maka
wanita
itu wajib menggadha salat Maghrib dan Isya.
Demikian ini
minimal pengertian yang harus
dipelihara oleh kaum wanita, seperti yang
tersebut
di dalam kitab Ihya’.
7. Suami harus mengajarkan
berbagai macam ibadah
kepada istri. Baik ibadah fardhu maupun ibadah
sunat, seperti salat, zakat, puasa dan haji.
Jika suami
dapat mengajar istrinya sendiri, maka
istri tidak boleh keluar rumah
untuk bertanya
kepada orang-orang alim atau ulama Jika sniiini
tidak dapat mengajar istri karena tidak tahu Inn
taran dangkalnya
ilmu, maka sebagai gaunnya
dialah yang harus bertanya kcpadu ulama lalu
menerangkan jawaban orang yang memberi fatwa
itu kepada istrinya.
Istri sendiri tidak boleh keluar.
Jika suami tidak sanggup bertanya
kepada orang
alim, maka istri boleh keluar, bahkan wajib keluar,
dan suami berdosa kalau melarangnya. Jika istri
telah mengetahui
tentang kewajiban-kewajibannya,
maka ia tidak boleh keluar mendatangi
majelis
pengajian kecuali dengan izin dan ridha dari
suaminya.
Allah Swt. berfirman dalam surat At-Tahrim:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan
keluargamu dari api
neraka ...” (Qs. At-Tahrim: 6)
Maksudnya orang-orang yang telah
menyatakan
beriman, wajib memelihara diri dan keluarganya,
yaitu
istri, anak-anak dan siapa saja yang disebut
keluarga, agar tidak masuk
neraka.
Juru bicara Al-Quran, Abdullah bin Abbas mem-
berikan komentar atas pengertian ayat tersebut,
“Kamu semua
hendaknya mengajar keluargamu
dalam urusan syariat-syariat Islam.”
8. Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik
kepada
keluarganya. Sebab, manusia yang sangat
berat siksanya pada hari kiamat
adalah orang di
mana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Is-
lam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dari
Nabi Saw. bahwa
beliau bersabda:
* Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dipertang-
gungjawabkan atas kepemimpinannya. Seorang
imam adalah pemimpin
dan dipertanggung-
jawabkan kepemimpinannya. Seorang suami men-
jadi pemimpin keluarganya dan dipertanggungja-
wabkan
kepemimpinannya. Seorang istri menjadi
pemimpin di rumah suaminya dan
dipertanggung-
jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang pelayan
adalah pemimpin harta tuannya dan dipertanggung-
jawabkan dari
kepemimpinannya. Seorang anak
menjadi pemimpin harta orang tuanya dan
dipertanggungjawabkan dari kepemimpinannya.
Maka setiap kamu
adalah pemimpin dan bertang-
gungjawab atas kepemimpinannya. ”
Maksudnya, setiap kamu adalah orang yang diper-
caya untuk
berlaku baik terhadap apa yang diper-
cayakan kepada kamu semua. Maka
setiap diri ditun-
tut untuk berlaku adil dan mengurus kemaslaha-
tannya atas apa yang dipercayakan kepadanya.
Dipertanggungjawabkan dari kepemimpinannya,
maksudnya adalah
di akhirat kelak akan dimintai
tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.
Jika ia
mencukupi apa yang menjadi kewajibannya dalam
memimpin
atau memelihara, maka ia memperoleh
bagian yang sempurna. Jika tidak
dapat memenuhi,
maka setiap orang pada hari kiamat akan dituntut
haknya di akhirat.
Penguasa agung atau penggantinya adalah
orang
yang memimpin dan menjaga serta menguasai rak-
yatnya. Ia
akan diminta tanggung jawabnya dalam
memimpin rakyatnya, apakah sudah
menjaga hak-
hak rakyatnya atau belum.
Seorang suami menjadi
pemimpin keluarga, istri
dan anak-anaknya. Ia akan dimintai
pertanggungan
jawab atas keluarganya, apakah sudah memenuhi
hak-hak mereka atau belum. Seperti memberi pakai-
an, memelihara,
mengasuh, mendidik, dan yang lain
seperti bergaul dengan baik terhadap
mereka atau
tidak.
Seorang istri menjadi pemimpin di rumah
sua-
minya. Ia harus dapat mengatur penghidupan dengan
baik, harus
bersikap baik terhadap suami, serta me-
melihara harta suami dan
anak-anaknya. Istri juga
akan dimintai pertanggunganjawab atas kepemim-
pinannya, apakah sudah melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya
atau belum.
Seorang pelayan harus menjaga harta tuannya dan
menata apa yang menjadi kebaikannya. Pelayan juga
akan dimintai
tanggung jawabnya atas apa yang
dikuasainya, apakah ia telah memenuhi
kewajibannya
atau belum.
Seorang anak harus menjaga harta
ayahnya dan
mengaturnya dengan baik. Anak juga dimintai per-
tanggunganjawab atas apa yang dikuasainya, apakah
sudah memenuhi
atau belum.
Jadi, setiap kamu adalah pemimpin, dan akan
dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. “Fa” dari
kata “fakullukum”
menjadi jawab syarat yang ter-
buang. Kata itu bersifat umum. Ia dapat
memasuk-
kan seseorang yang hidup sendirian, belum beristri
dan
tidak punya pelayan. Sebab, orang seperti ini
dapat dikategorikan
sebagai pemimpin. Maksudnya,
orang yang menjaga anggota tubuhnya
sehingga mau
melakukan kewajiban yang diperintahkan dan
menjauhi
segala larangan. Hadis tersebut diriwayat-
kan oleh Imam Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud
dan Turmudzi. Rasulullah Saw. bersabda:
“Takutlah kamu semua kepada Allah, takutlah kepa-
da Allah
dalam urusan kaum wanita, karena mereka
adalah amanat Allah pada
kekuasaanmu. Maka sia-
pa yang tidak memerintahkan salat istrinya dan
ti-
dak menaaiarkrm
Ada tiga wasiat terakhir Rasulullah Saw.
yang di-
amanatkan kepada umatnya sewaktu beliau hendak
berpisah
meniggal dunia. Tiga wasiat itu diucap-
kan Rasulullah Saw. di saat
hendak menghembuskan
nafasnya yang terakhir, sehingga lisannya kurang
jelas dan samar-samar, yaitu sabdanya:
Jagalah salat ...
salat! Begitupun hamba sahaya-
mu. Kamu semua jangan membebani mereka
apa
yang tidak mampu mereka lakukan Takutlah kepa-
da Allah ,
takutlah kepada Allah dalam urusan wa-
nita, karena mereka adalah
seperti tawanan yang
ada pada kekuasaanmu. Kamu semua menguasai mereka
dengan amanat Allah, dan kamu meng-
halalkan farji mereka dengan
kalimat Allah "
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Thaha tentang
perintah salat lima waktu kepada keluarga serumah
pada para
pengikut kita:
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendi-
rikan salat.” (QS. Thaha: 132)
Diriwayatkan dari Nabi Saw.
bahwa beliau
bersabda:
“Tak seorangpun yang menghadap Allah
dengan
membawa dosa yang lebih besar daripada kebo-
dohan
keluarganya.”
Sementara itu, ulama mengatakan bahwa orang
yang pertama kali mengganduli seorang lelaki pada
hari kiamat
adalah keluarga dan anak-anaknya,
mereka seraya berkata, “Wahai Tuhan
kami! Ambil-
kanlah hak kami pada orang ini. Karena dia tidak
mengajarkan urusan agama kepada kami. Dia mem-
beri makan kami
dari yang haram, sedangkan kami
tidak tahu.” Orang itu lalu dipukul,
karena usahanya
yang haram, sehingga seluruh daging tubuhnya
terkelupas, kemudian dibawa ke neraka. Demildanlah
sebagaimana
disebutkan di dalam kitab Al-Jawahir
kaiya Imam Abu Laits As-Samarqandi.
[]