Fiqih dan Hisab Praktis Arah Kiblat
Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak, ilmu hisab
Daftar isi
BAB II FIQIH DAN HISAB PRAKTIS ARAH KIBLAT
A. Fikih Arah
Kiblat
1. Pengertian Arah Kiblat
Masalah kiblat tiada lain adalah masalah arah, yaitu arah yang
menuju
ke Ka'bah (Baitullah), yang berada di kota Makkah. Arah ini dapat
ditentukan dari setiap titik di permukaan bumi. Cara untuk
mendapatkannya adalah dengan melakukan perhitungan dan pengukuran.
Perhitungan arah kiblat pada dasarnya untuk mengetahui dan menetapkan
arah menuju Ka'bah yang berada di Makkah.[55]
Para ulama'
sepakat bahwa menghadap kiblat dalam melaksanakan
shalat hukumnya adalah
wajib karena merupakan salah satu syarat sahnya
shalat, sebagaimana yang
terdapat dalam dalil-dalil syara”. Bagi orang yang
berada di Makkah dan
sekitarnya, persoalan tersebut tidak ada masalah,
karena mereka lebih
mudah dalam melaksanakan kewajiban itu, bahkan
yang menjadi persoalan
adalah bagi arang yang jauh dari Makkah,
kewajiban seperti itu merupakan
hal yang berat, karena mereka tidak pasti
bisa mengarah ke Ka'bah secara
tepat, bahkan para ulama' berselisih
mengenai arah yang semestinya.
Sebab mengarah ke Ka'bah yang
merupakan syarat sahnya shalat adalah
menghadap Ka'bah yang hagigi
(sebenarnya).
Sebab, banyak
persoalan tentang arah kiblat ini, seperti halnya orang
Suriname ketika
mereka melaksanakan shalat. Mereka ada yang menghadap
ke arah barat
serong ke utara, ada juga yang menghadap ke arah timur
serong ke utara.
Hal ini karena orang-orang Suriname kebanyakan berasal
dari Indonesia
dan mereka beranggapan ketika melakukan shalat, harus
mengarah agak ke
barat serong ke utara, sebagaimana yang pernah mereka
lakukan ketika
berada di Indonesia. Padahal posisi yang sebenarnya adalah
21” 43 50”
Timur-Utara (T-U).
Maka tidak perlu heran jika orang
mengatakan bahwa arah kiblat bagi
tempat yang berada di sebelah timur
Makkah menghadap ke barat, dan bagi
daerah yang berada di sebelah
selatan dari kota Makkah menghadap ke
utara. Sedangkan bagi daerah yang
berada di sebelah barat Makkah maka
menghadap ke timur, dan daerah yang
berada di sebelah utara maka daerah
tersebut menghadap ke selatan,
Hal ini dikarenakan mereka hanya melihat gambar atau yang sering
disebut dengan peta bumi. Namun, menghadap kiblat tidak semestinya
demikian, karena seperti halnya arah kiblat untuk kota San Fransisco
dengan lintang (H"): 37” 45 LU dan bujur (X"): -122” 30 BB adalah
sebesar 18”
45 3811" (U-T), ini berarti orang San Fransisco ketika
melaksanakan shalat
menghadap ke utara agak serong ke timur sebesar 15"
45 3811” (U-T).
Padahal San Fransisco berada di sebelah barat kota
Makkah. Semua ini bisa
terjadi karena pengaruh dari bentuk bumi yang
bulat, Sehingga
penentuannya menggunakan lingkaran besar (great circle)
dengan titik pusat
bumi sebagai acuan.
Kata kiblat berasal
dari bahasa Arab 34)! asal katanya ialah 44. ,
sinonimnya adalah 4-4
yang berasal dari kata 4p-le artinya adalah
keadaan arah yang dihadapi.
Kemudian pengertiannya dikhususkan pada
suatu arah, di mana semua orang
yang mendirikan shalat menghadap
kepadanya.[56]
Kata kiblat
berasal dari bahasa Arab, yaitu 24 salah satu bentuk
masdar (derivasi)
dari U4 , k& , 4 yang berarti menghadap.[57]
Kata kiblat dan
derivasinya dalam al-Jur'an mempunyai beberapa arti,
yaitu :
a, Kata kiblat yang berarti arah (Kiblat).
Firman
Allah SWT dalam OS. Sa PN ayat 142.
"Orang-orang yang kurang
akalnya di antara manusia akan berkata: “Apakah
yang memalingkan mereka
(umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Magdis) yang
dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah timur
dan barat: Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus”.
(GS. al-Bagarah (2): 142).
Beberapa ayat yang menerangkan tentang
kiblat dan memiliki arti arah,
terdapat dalam surat al-Bagarah ayat 143,
ayat 144 dan ayat 145.[58]
b. Kata kiblat yang berarti tempat shalat.
Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT dalam OS. Yunus (10) ayat 87.
"Dan Kami walyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambullah olehmu
berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan
jadikanlah olelumu rumah-rumalonu itu tempat shalat dan dirikanlah
olelmu shalat
serta gembirakanlah orang-orang yang beriman” (OS. Yunus
(10): 87).
Menurut istilah, pembicaraan tentang kiblat tidak lain
berbicara
tentang arah ke Ka'bah. Para ulama' bervariasi memberikan
definisi tentang
arah kiblat, meskipun pada dasarnya berpangkal pada
satu obyek kajian,
yaitu Ka'bah.
Abdul Aziz Dahlan dan
kawan-kawan mendefinisikan kiblat sebagai
bangunan Ka'bah atau arah yang
dituju kaum muslimin dalam
melaksanakan sebagian ibadah.[59] Sedangkan
Harun Nasution, mengartikan
kiblat sebagai arah untuk menghadap pada
waktu shalat.[60] Sementara
Mochtar Effendy mengartikan kiblat sebagai arah
shalat, arah Ka'bah di kota
Makkah.[61]
Departemen Agama
Republik Indonesia mendefinisikan kiblat sebagai
suatu arah tertentu
bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya
dalam melakukan shalat.[62]
Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat
yaitu arah menuju Ka'bah
(Makkah) lewat jalur terdekat yang mana setiap
muslim dalam mengerjakan
shalat harus menghadap ke arah tersebut.[63]
Sedangkan yang dimaksud kiblat
menurut Muhyiddin Khazin adalah arah
atau jarak terdekat sepanjang
lingkaran besar yang melewati ke Ka'bah
(Makkah) dengan tempat kota yang
bersangkutan.[64]
Sedangkan Nurmal Nur mengartikan kiblat sebagai
arah yang menuju
ke Ka'bah di Masjidil Haram Makkah, dalam hal ini
seorang muslim wajib
menghadapkan mukanya tatkala ia mendirikan shalat
atau dibaringkan
jenazahnya di liang lahat.[65]
Dari berbagai
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kiblat adalah
arah terdekat
dari seseorang menuju Ka'bah dan setiap muslim wajib
menghadap ke
arahnya saat mengerjakan shalat.
Namun yang terjadi di negara
Indonesia saat ini adalah banyaknya
bangunan masjid yang dibangun secara
permanen baik masjid kuno
maupun masjid yang baru yang dibangun tidak
mengarah persis ke Ka bah
(Makkah). Sebagaimana yang pernah dimuat dalam
tulisan Totok
Roesmanto dalam kolom “Kalang” Harian Umum Suara Merdeka
Edisi
Minggu Tanggal 01 Juni 2003, telah memberikan gambaran jelas bahwa
arah
kiblat yang ada pada masjid-masjid (kuno) di Indonesia saat ini
banyak
yang tidak sesuai dengan arah kiblat yang sebenarnya.
Hal ini juga dibuktikan dari berbagai penelitian tentang arah
kiblat di
antaranya di Masjid Agung Yogyakarta, Masjid Agung Kota Gede
Yogyakarta, yang saat ini telah di ubah shaf/barisan shalatnya untuk
mengarahkan shafnya menuju arah kiblat. Hal ini muncul karena pada
zaman dahulu, orang menandai arah kiblat dengan arah mata angin dan
penentuan arah kiblat dilakukan dengan “kira-kira”.
Sedangkan pada zaman sekarang, hal tersebut timbul karena anggapan
remeh dan sikap acuh masyarakat, khususnya saat membangun masjid,
mushola maupun surau, mereka tidak meminta bantuan kepada pakar/ahli
yang mampu menentukan arah kiblat dengan tepat. Tetapi mereka
cenderung menyerahkan masalah penentuan arah kiblat ini sepenuhnya
kepada tokoh-tokoh dari kalangan mereka sendiri, Tak heran jika apa yang
diputuskan tokoh masyarakat itulah yang diikuti, meskipun pada akhirnya
diketahui bahwa penentuan arah kiblat kurang tepat. Hal ini biasanya
terjadi pada kelompok masyarakat yang cara berfikirnya belum begitu
terbuka, sementara ada figur yang berpengaruh, berwibawa dan
mempunyai kharisma tinggi.[66]
55 Ahmad lazuddin, Hisah Praktis Arah Kiblat dalam Materi Pelatihan Hisab
Rukyah Tingkat Dasar jawa Tengah Pimpinan Wilayah Lajnah Falakiyyah NU
Jawa Tengah, Semarang, 2002, dan baca juga Slamet Hambali, Proses
Penentuan Arah Kiblat, Pelatihan Hisab Rukyat tanggal 28- 29 Rajab 1428
H./12-13 Agustus 2007 M. yang diselenggarakan oleh PWNU Propinsi Bali Bali,
di Hotel Dewi Karya, Dempasar Bali.
56 Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Juz 1, Penerjemah: Anshori Umar
Sitanggal. Sermarang: CV, Toha Putra, 1993, hlm. 2.
57 Lihat Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamis Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1087-1088. Lihat Louwis Ma'luf, Opdit,
hlm. 606-647, Lihat Musthofa a-Ghalayatni, Jami ud Durusul "Arabiyyah,
Beirut Mansyuratul Maktabatul “Ishrivyah, £.th, hlm, 161.
58 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Juran dan Terjemalonya, Semarang :
Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 36-37.
59 Abdul Azis Dahlan, ef al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cet. Ke-1, 1996, hlm, 44.
60 Harun Masution,
ef al., Ensiklopedi Hukum Islami, Jakarta: Djambatan, 1992. hlm, 583,
61 Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filasafat, Vol. 5,
Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, Cet. Ke-1, 2001, htm.49.
62 Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama / IAIN, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV, Anda Utama, 1993, hlm.
629.
63 Slamet Hambali, Hore Falak 1 (Tentang Penentuan Awal Waktu Shalat dan
Penentuan Aro Kiblat Di Seluruh Dunia), tth., hlm, 84.
64
Muhyiddin Khazin. Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Buana
Pustaka. Cet. Ke-|, 2004, hlm, 3.
65 Murmal Mur, Ueru Falak
(Tekwalogi Hisah Rukyat Untuk Menentukan Arah Kiblat Amal Waktu Shalat
dan Awal Bulan Jamarial), Padang: TAIN Imam Bonjol Padang, 1997, hlm. 23.
66 Departemen Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelambagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Op, cit, hlm, 4-5.