Sejarah Ilmu Falak di Indonesia
Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Daftar isi
2. Sejarah Indonesia
Dalam lintasan sejarah, selama pertengahan pertama abad ke dua
puluh, peringkat kajian Islam yang paling tinggi hanya dapat dicapai di
Makkah, yang kemudian diganti di Kairo.” Sehingga kajian Islam
termasuk kajian ilmu falak tidak dapat lepas dari adanya “jaringan
ulama” (meminjam istilah Azyumardi Azra) Makkah (Jazirah Arab). Ini
terbukti adanya “jaringan ulama” yang dilakukan oleh ulama-ulama ilmu
falak Indonesia. Seperti Muhammad Manshur al-Batawi, ternyata dalam
lacakan sejarah kitab monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah hasil
dari “rihlah ilmiyyah” yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.“
Sehingga diakui atau tidak, pemikiran ilmu falak di Jazirah Arab seperti
di Mesir, sangat berpengaruh dalam pemikiran ilmu falak di Indonesia.
Begitu juga beberapa kitab ilmu falak yang berkembang di Indonesia
menurut Taufik?, banyak merupakan hasil cangkokan dari kitab karya
ulama Mesir yakni al-Mathla' al-Said ala Rasdi al-Jadid.& Sehingga
dalam
perjalanan sejarah ilmu falak di Indonesia tidak bisa lepas dari
sejarah
Islam di Indonesia yang memang merupakan hasil dari jaringan
ulama.
Dalam pemetaan sejarah Islam di Indonesia menurut
Karel A.
Steenbrink, terpilah menjadi dua periode yang harus mendapat
perhatian khusus, yakni periode masuknya Islam di Indonesia dan
periode zaman reformisme abad ke dua puluhan. P
Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam di
Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut
kalender Jawa Hindu atau tahun Soko yang dimulai pada hari Sabtu, 14
Maret 78 M yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono (Aji Soko). Dan
kalender inilah yang digunakan umat
Budha di Bali guna mengatur
kehidupan masyarakat dan agama,“
Namun sejak tahun 1043 H / 1633 M yang bertepatan dengan
1555
tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan dengan Hijriyah, kalau pada
mulanya tahun Soko berdasarkan peredaran Matahari, oleh Sultan
Agung diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran
bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Soko tersebut.”
Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam
di Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran ilmu falak, hal
ini ditandai dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai
kalender resmi. Dan patut dicatat dalam sejarah, bahwa prosesi tersebut
berarti merupakan prosesi penciptaan suatu masyarakat lama menjadi
baru yakni masyarakat kehinduan dalam masyarakat keislaman.
Setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi
pergeseran
penggunaan kalender resmi pemerintahan, semula kalender
Hijriyah
diubah menjadi kalender Masehi (Miladivyalt). Meskipun
demikian, umat
Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama
daerah kerajaan-
kerajaan Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh
pemerintah kolonial
bahkan penetapannya diserahkan kepada penguasa
kerajaan-kerajaan
Islam yang masih ada, terutama penetapan terhadap
hari-hari yang
berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti 1 Ramadhan, 1
Syawal, dan
10 Dzulhijjah." |
Sehingga jelas bahwa di
samping adanya upaya membumikan
kalender Hijriyah dengan adanya
asimilasi. sebagaimana telah penulis
kemukakan di atas bahwa jaringan
ulama dalam ilmu falak memang
benar-benar ada. Prosesi tersebut nampak
dengan adanya
perkembangan yang pesat sejak abad pertengahan yang
didasarkan
pada sistem serta tabel Matahari dan Bulan yang disusun oleh
astronom
Sultan Ulugh Beik Asmarakandi. Ilmu falak ini berkembang dan
tumbuh
subur terutama di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Sumatera.
Kitab-kitab ilmu hisab yang dikembangkan para ahli hisab di Indonesia
biasanya mabda' (epoch) dan markaznya disesuaikan dengan tempat
tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi Mahammad Yunus al-Kadiri
dengan karyanya Risalatul
Oamarain dengan markaz Kediri," Walaupun
ada juga yang tetap berpegang
pada kitab asal (kitab induk) seperti al-
Mathila'ul Said fi Hisabil
Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh Husain Zaid
al-Misra dengan markaz
Mesir.# Dan sampai sekarang, hasanah (kitab-
kitab) ilmu falak di
Indonesia dapat dikatakan relatif banyak, apalagi
banyak pakar falak
sekarang yang menerbitkan (menyusun) kitab falak
dengan cara mencangkok
kitab-kitab yang sudah lama ada di
masyarakat disamping adanya
kecanggihan teknologi yang
dikembangkan oleh para pakar astronomi dalam
mengolah data-data
kontemporer yang berkaitan dengan ilmu falak.8
Dengan melihat fenomena tersebut, Departemen Agama telah
mengadakan pemilahan kitab dan buku astronomi atas dasar
keakuratannya yakni hisab hakiki tagribi, hisab hakiki tahkiki, dan
hisab
hakiki kontemporer,$ Namun nampaknya pemilahan tersebut belum
(tidak) diterima oleh semua kalangan, karena masih ada sebagian
kalangan yang menyatakan bahwa kitab karyanya adalah sudah akurat.
Walaupun menurut pemilahan Departemen Agama (sebutan pada saat
dahulu, sekarang sudah diganti dengan Kementerian Agama) melihat
keakuratannya masih tagribi.
Sebagaimana dinyatakan di
atas, bahwa pada masa penjajahan
persoalan penentuan awal bulan yang
berkaitan dengan ibadah
diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang
masih ada. Kemudian
setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur
mulai terjadi
perubahan, Setelah terbentuk adanya Departemen Agama pada
tanggal
3 Januari 1946,“ persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hari
libur
(termasuk
penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah)
diserahkan kepada
Departemen Agama berdasarkan P.P. tahun 1946
No.2/ Um.7/Um.9/Um jo
keputusan Presiden No, 25 tahun 1967, No.
148 tahun 1968 dan No. 10
tahun 1971.
Walaupun penetapan hari libur telah diserahkan
pada Departemen
Agama (sekarang Kementerian Agama), namun dalam wilayah
etis
praktis saat ini masih (terkadang) belum seragam, sebagai dampak
adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada
dalam wacana ilmu falak.“
Memperhatikan fenomena
tersebut, nampak bahwa Kementerian
Agama berinisiatif untuk
mempertemukan perbedaan-perbedaan
tersebut. Sehingga dibentuklah Badan
Hisab Rukyat Kementerian
Agama dengan tim perumus: Unsur Kementerian
Agama: A. Wasit
Aulawi, H. Zaini Ahmad Noeh dan Sa'adoeddin Djambek,
dari Lembaga
Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium dan Santosa
Mitisastro.€ Berdasarkan keputusan Menteri Agama pada tanggal 16
Agustus 1972 M., maka terbentuklah Badan Hisab Rukyat Kementerian
Agama dengan diketuai oleh Sa'adoeddin Djambek.# Sampai sekarang,
Badan Hisab Rukyat tersebut masih ada yang secara ex officio ketua
dijabat Direktur Urusan Agama Islam Kementerian Agama Pusat setelah
Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap dengan Mahkamah
Agung.”
Pada dasarnya kehadiran Badan Hisab Rukyat
bertujuan untuk
menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah khususnya dalam
beribadah.
Hanya saja dalam dataran realistis praktis dan etika praktis,
masih
belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan seringkali terjadinya
perbedaan berpuasa Ramadhan maupun berhari raya Idul Fitri."
Melihat fenomena tersebut, penulis melihat bahwa perhatian
pemerintah dalam persoalan ilmu falak ini masih terkesan formalis
belum membumi dan belum menyentuh pada akar penyatuan yang baik.
Sehingga wajar kiranya di masa pemerintahan
Gus Dur, sebagaimana
disampaikan Wahyu Widiana bahwa Badan Hisab Rukyat
Kementerian
Agama akan dibubarkan dan persoalan ilmu falak ini akan
dikembalikan
pada masyarakat (umat Islam Indonesia)? Namun demikian,
nampak
bahwa eksistensi Badan Hisab Rukyat di Indonesia ini memberikan
warna tersendiri dalam dinamika penetapan awal bulan Uamariyah di
Indonesia.
Kemudian mengenai eksistensi kitab-kitab
ilmu falak di Indonesia sampai
saat ini, nampak masih mewarnai diskursus
ilmu falak di Indonesia.
Sayangnya, dalam dataran Islamic Studies,
khususnya ilmu falak nyaris
terabaikan sebagai sebuah disiplin ilmu.
Bahkan ilmu falak hanya merupakan
disiplin minor.” Sementara itu
perkembangan ilmu astronomi di Indonesia
sangat pesat dan
menggembirakan.“ Ini nampak dari banyaknya pakar
astronomi yang muncul,
bahkan juga memiliki perhatian besar terhadap figh
ilmu falak, seperti
Prof. Dr. Bambang Hidayat, Prof. Ahmad Baiguni, MSc,
PhD, Dr. Djoni MN.
Dawanas, Dr. Moedji Raharto dan Prof. Dr. Thomas
Djamaluddin, M.Si.
Referensi Sumber Rujukan
33. Selengkapnya b Ha Mark R.Woodward, Jalan Baru Islam
Menetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi,
Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 1998
34. Ulasan tentang rihlah ilmiyyah
yang dilakukannya dapat dibaca dalam Birgrafi Muhammad Marshur
al-Batawi, yang diterbitkan oleh Yayasan al-Manshuriyvah Jakarta Timur. Di
mana Muhammad Manshur dalam lacakan sejarah pernah berguru pada Syekh
Abdurrahman bin Ahmad al-Misra Sedangk5.an mengenai adanya “jaringan
ulama” dapat dibaca dalam Ahmad uddin, Analais Kntis....., Lor. cat,
35 Taufik adalah pakar falak Indonesia, pernah menjabat sebagai
Direktur Badan Hisab Rukyat Indonesia, dan pada masa pemerintahan Gus ba
menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung.
36 Memarut
Taufik, kitab Khulashatul Waftah karya Zubair Umar al-Jailany, Hisab Hakiki
karya K. Wardan Diponingrat, Badiatul Mitsal karya Ma'sham Jombang dan
Almanak Menara Kudus karya Tuaraikhan Ajhuri, merupakan kitab cangkokan
dari kitab Mata” al-Said ala Kasdi al-Jadid, baca Taufik, Mengkaji Ulang
Metode Mmu Falak Sullan -al-Nayyiraini, makalah disampaikan pada
pertemuan tokoh Agama Islam / Orientasi Peningkatan Pelaksanaan Kegiatan
Ilmu falak PTA
Jawa Timur pada tanggal 9-10 Agustus 1997, di Hotel Utami
Surabaya, hlm. 1.
37 Karel A. Steenbiink, Beberapa. Aspek Tentang
Islam Of Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1, 1984,
hlm. 3.
38 Secara lengkap tentang kalender Aji Soko, baca Covarrubias
Miguel, Island of Bali, New
York: Alfred A. Knopt, 1947, hlm. 282-284.
Bandingkan juga H. G Den Hollander, Op, cit, hlm, 90-
32
39 Penggagasan dan pencetus pertama, penanggalan ini gabungan tersebut yang
selanjutnya dikenal dengan kalender Jawa (Islam) ialah Sri Sultan
Muhammad Sultan Agung Prabu Hanvakrakusuma (raja Kerajaan Mataram 11
1613 - 1645), lihat Muhammad Wardan, Hisah Urfi dan Hakika, Yogyakarta,
Cet. Ke-1, 1957, hlm. 12. Bandingkan juga dalam Marsito, Op. Cit, hlm.
TB.
40 Fenomena ini dapat dilihat secara utuh dalam
lehtijanto, Almanak Ilmu falak, Jakarta: Badan Hisab Rukyat Depag RI,
1981, hlm. 22
41 Seperti juga Sullamun Nayyirain karya Muhammad
Manshur dengan markaz Jakarta, lutawnl Falakiyyah karya Ousyairi dengan
markas Pasuruan, baca Sriyatin Sadik, Perkembangan (mu
Falak dan
Penetapan Atoal Bulan Comariyyah, dalan Menuju Kesatuan Hari Raya, Surabaya:
Bina Ilmu. 1995, hlm, 64-56,
42 Al-Khulasatul Wafiyah karya
Zubaer Umar al-Jailany dengan markaz Mesir, al-Hamihijul
Hamidiyah karya
Abdul Hamid Mursy dengan markaz Mesir, dan masih banyak lagi, Ibid., hlm. 67-
63,
43 Sebagaimana komentar Slamet Hambali dalam menanggapi
perkembangan hasanah kitab hisab di Indonesia, seperti kitab karya Noor
Ahmad SS (yakni Syamsul Hilal dan Nurul Ammar) yang merupakan cangkokan
dari kitab al-Klrulashah al-Wafyah.
44 Pemilahan tersebut muncul
dalam forum Seminar Sehari Ilmu Falak tanggal 27 April
1952 di Tugu
Bogor yang diselenggarakan oleh Departemen Agama., Sriyatin Sadik, Op.cit, hlm
45 Sebagaimana asumsi-asumsi pengikut setia kitab Sullamun
Nayyimin. Padahal dalam pelacakan teori yang digunakan adalah
menggunakan teori Geosentris oleh Ptolomeus yang telah ditumbangkan oleh
teori Heliosentris yang ditemukan oleh Copernicus. Asumsi tersebut diikuti
oleh Lajnah Falakiyyah Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, di
mana penulis sendiri pernah menyelami pendidikan hisab Salamun
Nauyiraimi dan seperti sebagian besar umat Islam di Jakarta Timur dan
Selatan, khususnya daerah pondok al-Mansyuriyyah.
46 Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Cet. Ke-1, 1992,
hlm,
47 Di mana hampir setiap organisasi masyarakat termasuk
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah selalu juga mengeluarkan
“Ketetapannya” walaupun dalam kemasan bahasa yang lain seperti fatwa dan
ikhbar. Baca Susiknan Azhari, Saaduddin Djambek (1911-1977) Dalam
Sejarah Pemikiran Hisah di Indonesia, Yogyakarta: LAIN Yogyakarta, 1999,
hlm, 15.
48 Jehtijanto, Op. cit, hbm. 23,
49 Hamdany
Ali, Himpunan Keputusan Menteri Agmma, Jakarta: Lembaga Lektur
Keagamaan, Cet. Ke-1, 1972, hlm. 241,
50 Mamun dalam dataran
praktis realistis, ternyata pembentokan Badan Hisab Rukyat sangat tergantung pada kebijakan daerah dalam hal ini propinsi terkait.
51
Sebagai contoh Hari Raya 1405 bertepatan tahun 1985, sebagian kaum muslimin
berhari raya pada hari Rabu 19 Juni 1985 dan ada yang berhari raya
Kamis, 20 Juni 1985 dan masih banyak lagi kasus-kasus perbedaan semacam
itu. Baca Nourourzaman Shidigi. Figh Indonesia Penggagas dan
Gagasanrtya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 201.
52 Wahyu Widiana menyampaikan hal tersebat ketika menjadi Key
Note Speech dalam acara Work Shop Nasional “Mengkaji Ulang Metode
Penetapan Awal Waktu Shalat" yang diselenggarakan UII Yogyakarta, 7
April 201. Dan bandingkan pernyatakan Syukd Ghozali: “Mengharap Kepada
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama agar memperhatikan masyarakat Islam
Indonesia, Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada
titik temu dari berbagai pendapat, maka ustha untuk mempersatukan
perulapat akan mengalami kegagalan”. A Wasit Aulawi, Laporan Musyawarah
Nasional Hisab dan Rukyat 1977, Jakarta: Ditbinpera, 1977, hlm. 4.
53 Di mana pada masa Dirjen Depag RI, Andi Rosydianah,
kebijakan-kebijakan sangat menghambat perkembangan figh ilmu falak,
misalnya dikeluarkannya mata kuliah ilmu talak dari kurikulum nasional,
baca Susiknan Azhari, Revitalisasi Studi Umu Falak di Indonesia, dalam al-Jami'ah, Pasca IAIN Yogyakarta, No. 65/VI/2000, him. 108. Bandingkan
pula Azryumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dari Moderrisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1999, him. 208,
dan bandingkan juga Depag RI, Himpunan Keputusan Musayawarah Hisab
Rukyat dari berbagai Sistem Tahun 1990-1997, Jakarta: Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet. Ke-1, 1999-2000, hlm. 97,
54 Lihat Bambang Hidayat, Under a Tropical Sky: A History of
Astronomy in Indonesia, dalam
Journal Of Astronomical History And
Heritage, Juru 2000, hlm. 45-58.