Fiqih dan hisab praktis awal bulan qamariyah
Judul buku: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Dibrektorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.
Daftar isi
- Bab 4:Fiqih dan hisab praktis awal bulan qamariyah
- A. Fikih awal bulan Qamariyah
-
Referensi dan Catatan
- Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis
BAB IV FIQH DAN HISAB PRAKTIS AWAL BULAN QAMARIYAH
A. FIQH AWAL BULAN QAMARIYAH
1. Seputar Persoalan Awal Bulan Qamariyah
Berbeda dengan persoalan hisab rukyah dalam hal penentuan awal
bulan Qamariyah, terutama bulan Ramadhan, Syawal clan Dhulhijah, persoalan ini
seringkali memunculkan perbedaan, bahkan kadang menyulut adanya kiranya,
karena dua madzhab dalam hal figh hisab rukyah di Indonesia secara
institusi selalu disimbolkan pada dua organisasi kemasyarakatan Islam di
Indonesia. Di mana Nandlatul Ulama' secara institusi clisimbolkan
sebagai madzhab Rukyah sedangkan Muhamadiyyah secara institusi
disimbolkan sebagai madzhab Hisab. Sehingga persoalan yang semestinya
klasik ini, menjadi selalu aktual terutama di saat menjelang penentuan
awal bulan-bulan tersebut[128] Melihat fenomena seperti itu, kiranya tidak
luput apa yang dikatakan Snouck Hurgronje[129], seorang Orientalis dari
Belanda, yang menyatakan dalam suratnya kepada gubenur jenderal Belanda:
"Tak usah heran jika di negeri im hampir setiap tahun timbul
perbedaan tentang mual
dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu
terjadi antam kampung-kampung yang
berdekatan"[130]
Kemudian
mengenai persoalan hisab rukyah awal bulan gamariyah ini
pada dasarnya
sumber pijakannya adalah hadis-hadis hisab rukyah.[131] Dimana
berpangkal
pada zahir hadis-hadis tersebut, para Ulama' berbeda pendapat
dalam
memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Ada yang
berpendapat
bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal clan Dzulhijjah harus
didasarkan
pada rukyah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya.
Apabila rukyah tidak berhasil dilihat, baik karena hilal belum
bisa dilihat atau
karena mendung (adanya gangguan cuaca), maka penentuan
awal bulan tersebut
harus berdasarkan istikmal (disempurnakan 30 hari).
Menurut madzhab ini
rukyah dalam kaitan dengan hal ini bersifat
ta'abuddi — ghair alma'gul ma'na. Artinya
tidak dapat dirasionalkan —
pengertiannya tidak dapat diperluas dan
dikembangkan. Sehingga
pengertiannya hanya terbatas pada melihat dengan
mata telanjang. Dan
dengan demildan, secara mutlak perhitungan hisab falak
tidak dapat
digunakan.[132] Inilah yang dikenal dengan madzhab Rukyah.
Dan ada
juga yang berpendapat bahwa rukyah dalam hadis-hadis hisab
rukyah
tersebut termasuk ta'agguli ma'na— dapat dirasionalkan,
diperluas dan
dikembangkan. Sehingga ia dapat diartikan antara lain dengan
"mengetahui" — sekalipun bersifat zanni (dugaan kuat) tentang adanya
hilal,
kendatipun tidak mungkin dapat dilihat misalnya berdasarkan hisab
falaki.[133] Dan
inilah pendapat yang dipakai oleh madzhab Hisab.
Di samping itu, ada juga pendapat yang berupaya menjembatani kedua
madzhab tersebut, dalam hal ini seperti pendapat al-Qalyubi yang
mengartikan
rukyah dengan "imkanurrukyal" (posisi hilal mungkin
dilihat).[134] Dengan kata lain
bahwa yang dimaksud dengan rukyah adalah
segala hal yang dapat
memberikan dugaan kuat (zanni) bahwa hilal telah
ada di atas ufuk dan
mungldn dapat dilihat. Karena itu menurut
al-Oalyubi, awal bulan dapat
ditetapkan berdasarkan hisab gath'i yang
menyatakan demikian. Sehingga
kaftan dengan rukyah, posisi hilal dinilai
berkisar pada tiga keadaan,[135] yakni: a)
pasti idak mungkin dilihat
(istihalah ar-rukyah), b) mungkin dapat dilihat (imkarur
rukyah) , c)
pasti dapat dilihat (al-qath'u bir rukyah).[136]
Begitu pula dalam hal
keadaan hilal tidak dapat dirukyah disebabkan
gangguan cuaca, mendung
misalnya, para Ulama' juga berbeda pendapat, yang
pangkalnya juga karena
adanya perbedaan terhadap hadis-hadis hisab rukyah
dalam hal ini adalah
dalam fokus kata "Aduru lahu" (maka kadarkanlah). Menurut
madzhab
Rukyah, kata tersebut hams diartikan sempurnakanlah bilangan bulan
itu
menjadi tiga puluh hari, sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadis
hisab rukyah yang lain bahwa manakala rukyah tidak mungkin dilihat, maka
jalan
keluarnya bukan berpegang pada hisab tapi pada istikmal. Sedangkan
menurut
madzhab Hisab, kata tersebut harus diartikan "fa udduhu bil
hisab" (hitunglah
bulan itu berdasarkan hisab)[137]
Dan karena
kaitannya dengan masalah memulai dan mengakhiri puasa
Ramadhan, dan
ibadah haji, kiranya wajar jika persoalan hisab rukyah ini
mendapat
perhatian lebih (meminjam bahasa Wahyu Widiana: mempunyai greget
lebih)
dibanding dengan persoalan hisab rukyah yang lain, Sehingga pesoalan ini
selalu muncul ke permukaan wacana perbincangan dan perdebatan dalam
kalangan Ulama' di saat menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah.
Demikianlah gagasan seputar persoalan hisab rukyah
secara umum.[138] Dan 1
ulasan diatas, menjadi jelas bahwa
persoalan-persoalan hisab rukyah itu pada
dasarya dapat dibedakan
menjadi dua madzhab, yaitu: madzhab Hisab dan
madzhab Rukyah.[139] Walaupun
pembedaan dalam persoalan tersebut ada yang
sulit untuk dipilah secara
jelas karena adanya hubungan saling melengkapi, saling
melekat dan
saling membutuhkan (simbiosis mutualistik) antara keduanya. Oleh
karena
itu, karena persoalan penentuan awal bulan Camariyah lebih mempunyai
Breget - lebih potensial terjadi perbedaan antara madzhab rukyah dengan
madzhab hisab, maka wajar jika persoalan penentuan awal bulan Oamariyah
lebih
dikenal - lebih diplot sebagai persoalan hisab rukyah (figh hisab
rukyah) dari pada
lainnya.
Referensi dan Catatan
128 Sebagaimana dalam istilah Ibrahim Husain persoalan penentuan awal bulan
ini disebut sebagai "persoalan klasik nan aktual", baca Ibrahim Husain,
Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadan, Shawal,
Dhulhijjah, dalam Mimbar
Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, no. 06, Lth,
1992, hlm. 1-3.
129 Menurut sejarah, Snouck Hurgronje adalah
politikus Belanda yang pernah
menyatakan masuk Islam ketika berada di
Arab dengan nama Arab: "Ahdul Ghofur"
dan pengakuan Islamnya dikuatkan
oleh para ulama
130 Komentar Snouck Hurgronje tersebut sebagaimana
dikutip majalah Tempo,
26 Maret 1994 ketika kolom Tanggap-menanggapi
adariya perbedaan 1 Shawal
1414/1994 walaupun pemerintah sudah berusaha
keras, dalam Tempo, 26 Maret 19M,
him. 35.
131 An- Nasal,
Sunan an-Nasal, Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, jilid IV, cet. Ke-1,
383
H/1964 M, hlm, 113. Lihat juga Ad- Daruguthni, Sunan Darugutmi, Mesir: Bairut,
jilid II, cet. Ke-2 1403H/1982 M, hlm. 167, Lihat juga Muhyiddin Abdul
Hamid, Sunan
Abu jilid II, t:th, hlm. 302.
132 Slarnet Hambali dan Ahmad Iezuddin, "Awal Kamadan 1418 H dan validitas
ilmu Hisab Rukvah," dalam Wawasan, 30 Desember 1997, hlm. ?
133 ibid.
134 Shihabuddin al-Oalyubi, Hasyiah ai-Minhaj
al-Thalibin, Kairo: Mustafa al-Bab al-
Halabi, 1956, jilid IL, hlm. 49.
135 Sebagaimana dikemukakan oleh Masruhan Muhsin, Pengasuh Pondok
Pesantren Nunm' Amin, Jampes Kediri kepada Tim Perumus Bathsul Masail
PWNU
Jawa Timur path tgl 16-17 Mei 1998 di Pondok Pesantren
al-Munawariyah, Sidomoro
Bululawang, Malang bahwa tiga tingkah hilal
menurut bahasa ahli rukyah adalah
imtina' arrukyah (tidak dapat
dirukyah). gati'u arrukyah (pasti dapat dirukyah) dan jawaz
arrukyah
(mungkin dapat dirukyah). Sedangkan menurut bahasa abdi hisab adalah halatul
tstihalah (keadaan tidak mungkin dapat dirukyah), halatui (usr (keadaan
sulit dirukyah) dan
halatul yusr (keadaan mudah dirukyah).
136 lihat al-Syarwani, Hasyiah Syarwani, Kairo: Bairut, jilid DT,
tth., him. 373.
137 Ibn Rusyd, Op.cif, him. 208.
138 Persoalan hisab rukyah adalah
persoalan ubudiyyah umat Islam yang sangat
terkait dengan ilmu
astronomi, baca Thomas Jamaluddin, Visihtlitas Hilal Di Indonesia:
Sebuah Penelitian dalam Bidang Matahari dan Lingkaran Antariksa, Bandun:
Lapan, 9
Oktober 2000,
139 Dikotomi "madhab" Hisab dan
"madhab" Rukyah dalam persoaian ini sebagai-
mana dikemukakan oleh
Zalbawie Suyuti dalam makalahnya dalam usulan proyek
tehnologi rukyah
awal Ramadan, Shawal secara objektif dalam dislcusi panel:" Tehnologi
Rukyah" oleh ICMI orsat kawasan Puspitek yang bekerjasama dengan orsat
Pasar
Jurv'at Jakarta, Januari 1994.