Mengkaji Kerawanan Posisi Hilal
Judul buku, kitab: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.
Daftar isi
- Mengkaji Kerawanan Posisi Hilal
- Fikih Sosial
- Kembali ke buku: Ilmu Falak dan Hisab Praktis
L. Mengkaji Kerawanan Posisi Hilal [166]
Ada penulis surat pembaca di sebuah surat kabar mewanti-wanti agar
tahun 2011 umat Islam melaksanakan Idul Fitri bersama-sama, tidak ada
perbedaan. Alasannya, perbedaan hari mengurangi syiar dan cenderung
mengundang perpecahan. Ia memberi solusi alternatif, bergantian memakai
prinsip penetapan Idul Fitri, misalnya tahun ini memakai aliran rukyah, tahun
depan aliran hisab, begitu seterusnya dengan prinsip imam dan makmum.
Dasar penetapan Idul Fitri sebenarnya berlandaskan pada hadis dan
pemahamannya memunculkan perbedaan pemahaman: aliran rukyah dan
aliran hisab. Hal ini wajar karena hadis tersebut memang masih mengandung
beberapa arti, di antaranya rukyah bil ini (yang melahirkan aliran hisab) dan
rukyah bil ain (yang melahirkan aliran rukyahj.
Bahkan di Indonesia ada banyak aliran, dampak dari perbedaan
pemahaman hadis hisab rukyah. Namun yang banyak mewarnai wacana
penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah hanya aliran rukyah satu
wilayah negara (rukyah f wilayatil hukmi) yang dipakai Nahdlatul Ulama, aliran
hisab wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah, dan hisab imkanurrukyah
yang dipakai pemerintah. Memang ada aliran yang baru "naik daun” dan
"naik publik” yakni rukyah internasional atau global yang dipakai oleh Hizbut
Tahrir dan aliran-aliran kecil seperti an-Nadir Gowa Sulawesi Selatan, Tarigah
Nagsabandi Padang. Masing-masing aliran sering mengeluarkan fatwa
sehingga wajar ada perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhujah.
Berdasarkan perhitungan hisab hakiki kontemporer yang diakui
keakuratannya, ijtima (konjungsi matahari dan bulan pada akhir Ramadan
1432 terjadi hari Senin Wage, 29 Agustus 2011/ 29 Ramadan 1432 pukul 10.04/
17.75 WIB. Situasi pada saat ghurub di Pantai Pelabuhan Ratu: matahari
terbenam pukul 17.54.26 WIB, ketinggian hilal Mar'i #01 derajat 53 menit 2
detik.
Untuk seluruh wilayah, dari Sabang sampai Merauke ketinggian lulal
mari masih di bawah 2 derajat. Namun data hisab di banyak kalender ada
yang menyatakan hilal sudah di atas 2 derajat. Penulis menduga para hasib
yang mencantumkan data ketinggian hilal sudah di atas 2 derajat
menggunakan metode tagribi.
Dari data hisab tersebut jelas bahwa hilal dalam posisi rawan,
Mengapa? Karena dengan data hisab tersebut maka secara gamblang aliran
hisab wujudul lulal yang dipegang Muhammadiyah berani menetapkan 1
Syawal 1432 H jatuh pada Selasa Kliwon, 30 Agustus 2011 karena menurut
perhitungan (hisab), hilal sudah ada yang di atas ufuk.
Fikih Sosial
Adapun Nahdlatul Ulama yang mendasarkan pada rukyatul lulal fi
wilayatil hukmi harus menunggu hasil rukyatul hilal pada Senin Wage, 29
Ramadan 1432/ 29 Agustus 2011. Dengan data hisab ketinggian hilal maril
dalam ketinggian yang "rawan" yakni masih di bawah 2 derajat, kiranya
sangat sulit untuk bisa melihat hilal. Apalagi menurut prakiraan BMG, seluruh
Indonesia saat itu dalam kondisi mendung. Karena itu, jika tidak berhasil
melihat hilal, tentunya Nahdlatul Ulama menentukan 1 Syawal 1432 H pada
Rabu Legi, 31 Agustus 2011, dengan menyempurnakan puasa Ramadan 30 hari
(dasar istikmal).
Namun jika NU menerima, ada yang menyatakan bisa melihat hilal,
penetapan 1 Syawal akan sama dengan Muhammadiyah, yaitu Selasa Kliwon,
30 Agustus 2011. Tapi ini kemungkinannya sangat kecil sekali. Begitu pula
pemerintah, jika memang konsisten memegang prinsip hisab mkanurrukyah,
tentunya menunggu hasil rukyatul hilal lebih dahulu. Apalagi kalau
pemerintah mendasarkan pada kriteria hisab imkanurrukyah tradisi Indonesia,
yakni ketinggian minimal 2 derajat, hilal baru dapat berhasil dilihat maka
dengan data hisab tersebut, tentunya pemerintah berani menetapkan 1 Syawal
1432 H jatuh pada Rabu Legi, 31 Agustus 2011, dengan menyempurnakan
puasa Ramadan 30 hari.
Idealnya, karena ini menyangkut masalah fikih sosial, jika kita sepakat
dan kompak, tidak akan terjadi perbedaan. Bahkan cukup satu ifta (fatwa)
dalam satu negara. Penetapan pemerintah menyelesaikan dan menghilangkan
perbedaan. Tidak seperti selama ini, masing-masing ormas mengeluarkan
fatwa. Lain halnya kalau masalah ini diserahkan kepada masyarakat
sebagaimana didengungkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sehingga
pemerintah tidak perlu memberikan ifta. Biarkan masyarakat ikut yang mana
sehingga dalam hal ini yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh,
toleransi, agree in disagreement - ittifa" fil ikhtilaf.
Catatan
166 Dimuat di Harian Suara Merdeka, Kamis 25 Agustus 2111