Pemikiran Hisab Rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi
Judul buku, kitab: Ilmu Falak Praktik
Penulis dan Penerbit:
Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat
Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah
Direktokrat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Bidang studi: Ilmu falak,
Nama lain dari ilmu falak: ilmu hisab, ilmu rashd, ilmu miqat, ilmu haiah.
Daftar isi
BAB VII PEMIKIRAN HISAB RUKYAH TRADISIONAL
(Telaah Pemikiran Muhammad Mas Manshur Al-Batawi, Zubaer Umar Al-
Jaelany, Abdul Djalil Kudus, Dan Syekh Yasin Al-Padangi)
A. Pemikiran Hisab Rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi
Menurut lacakan sejarah, setidaknya sejak abad ke-17 hingga akhir
abad ke-19, para pelajar muslim Melayu termasuk Indonesia menjadikan
Haramayn ( Makkah-Madinah ) sebagai tumpuan rihlah ilmiah atau thalab
al-ilm mereka.[167] Malah dalam dasawarsa 1920-an, banyak orang
Indonesia yang tinggal bertahun-tahun ( mukim y di Makkah. Di antara
banyak bangsa yang berada di Makkah, orang “Jawah” ( sebutan orang
Asia Tenggara ) merupakan salah satu kelompok yang terbesar.[168]
Bahkan menurut suatu naskah Jawa yang ditemukan di Kediri
pada pertengahan abad ke-19, tercatat bahwa Aji Saka yang dikenal
sebagai pencipta kalender Jawa ( kalender Saka j pernah melakukan tapak
tilas intelektual (meguru) ke Makkah.[169] Dari sini nampak bahwa kajian
keislaman termasuk kajian hisab rukyah di Asia Tenggara khususnya di
Indonesia tidak lepas adanya “jaringan ulama” (meminjam istilah
Azyumardi Azra) ke Timur Tengah terutama ke Haraimayn (Makkah -
Madinah). Jaringan ulama ini nampak dari ada tapak tilas intelektual
(meguru) yang dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia semisal ulama-
ulama hisab rukyah Indonesia ke Jazirah Arab dengan bermukim
bertahun-tahun. Sebagaimana yang dilakukan Muhammad Mas
Manshur
al-Batawi yang melahirkan karya monumentalnya Sullamun
Nayyirain —
Mizanul Utidal dan Zubaer Umar al-Jaelany Salatiga dengan
karya
monumentalnya Al-Khulashatul Wafiyah. Begitu pula kitab-kitab
hisab
rukyah lainnya yang ternyata juga merupakan hasil adanya rihlah
ilmiah
para ulama di Jazirah Arab terutama ke Haramayn (Makkah-
Madinah).
Sebagaimana dikatakan pakar Hisab Rukyah, Taufik bahwa
pemikiran hisab
rukyah di Indonesia merupakan hasil cangkokan dari
pemikiran hisab
rukyah di Mesir, seperti hasil cangkokan dari kitab Al-
Mathla" al-Said
ala Rasdi al-jadid dan al-Manahijul Hamidiyyah.[170] Oleh
karena itu,
diakui atau tidak, pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab
(Haramayn)
sangat mewarnai tipologi pemikiran hisab rukyah di
Indonesia.
Indikator adanya jaringan ulama tersebut, nampak dari adanya
Makkah tetap digunakan sebagai markaz hisab oleh ulama-ulama hisab
rukyah di Indonesia, walaupun ada pula yang sudah mengganti dengan
markas sesuai dengan daerah di mana ulama tersebut berada. Seperti Al-
Khulasatul Wafiyahnya Zubaer Umar Al-Jaelany dengan markas Makkah,
dan Sullamun Nayyirain — Mizenul Vtidalnya Muhammad Mas Manshur
al-Batawi yang sudah dirubah dengan markas Betawi (Jakarta).
Dari dua contoh tersebut nampak bahwa proses pencangkokan
pemikiran hisab rukyah di Indonesia terpola dalam dua tipologi
pencangkokan, yakni pencangkokan dengan tidak merubah mabda'
(epoch) dan markas hisabnya dan pencangkokan dengan meubah mabda'
(epoch) dan markas hisabnya.
Selanjutnya dalam perjalanan
historis, pemikiran-pemikiran hisab
rukyah tersebut ternyata sangat
mewarnai diskursus pemikiran hisab
rukyah di Indonesia. Di mana ternyata
banyak juga terjadi
pencangkokan kembali (re-transplanting) terhadap
pemikiran hisab
rukyah yang berkembang setelahnya. Sebagaimana diakui
sendiri oleh
Noor Ahmad SS Jepara bahwa kitabnya Nurul Anwar sebagai
cangkokan
dari kitab al-Khulasatul Wafiyah yang juga merupakan kitab
cangkokan
dari kitab Manahijul Hamidiyah.
Pemikiran hisab
rukyah di Indonesia dapat diklasifikasikan sesuai
dengan
keakurasiaannya, sebagaimana hasil dari seminar sehari Hisab
Rukyah pada
tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat. Dalam
pertemuan tokoh
tersebut dihasilkan kesepakatan paling tidak ada tiga
klasifikasi
pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Tiga klasifikasi itu
adalah:
Pertama, Pemikiran hisab rukyah yang keakurasiannya rendah,
yakni hisab
hakiki tagribi dan masih tradisional. Yang termasuk dalam
klasifikasi
ini adalah Sullamun Nayyirain (Muhammad Manshur al-Batawi),
Tadzkiratul
Ikhwan (Dahlan Semarang), Al-Oawaidul Falakivyah (Abdul
fatah),
Asysyamsu wal Oomar (Anwar Katsir), Risalah Gomarain (Nawawi
Muhammad),
Syamsul Hilal (Nor Ahmad) dan masih banyak lagi. Kedua,
Pemikiran hisab
rukyah yang keakurasiannya tinggi namun klasik
yakni hisab hakiki
tahkiky. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
Al-Khulashatul
Wafiyyah (Zubaer Umar al-Jaelany), Al-Matla al-Said (Husain
Zaid ),
Nurul Anwar (Noor Ahmad), dan masih banyak lagi. Ketiga,
Pemikian hisab
rukyah kontemporer yang keakurasiannya tinggi, seperti
Almanak Nauttka
(TNI AL Dinas hindro Oscanografi), Ephemeris (Depag RI),
Islamic
Calender (Muhammad Ilyas) dan masih banyak lagi sistem-sistem
kontemporer lainnya,[171]
Di sisi yang lain, wilayah Islamic
Studies persoalan pemikiran hisab
rukyah di Indonesia cukup
memprihatinkan, karena kajian hisab rukyah
nyaris terabaikan sebagai
sebuah disiplin, Di Indonesia kajian hisab
rukyah hanya merupakan kajian
minor[172] Bahkan sampai kini, belum ada
seorang guru besar yang bergelut
dalam pemikiran hisab rukyah.
Padahal perkembangan keilmuan tidak lepas
dari keberadaan guru
besar yang handal dan karya ilmiah yang
spektakuler.
Dalam realita di masyarakat masih digunakan sebagai
dasar
penetapan awal bulan sebagai acuan ibadah secara Syar'i, walaupun
dalam klasifikasi hisab hakikv tagriby. Tidak diklasifikasikan dalam
katagori hisab urfi yang dianggap tidak layak untuk acuan ibadah secara
syar'i, padahal! masih menggunakan prinsip geosentris yang secara
ilmiah sudah tumbang dengan prinsip yang baru yakni prinsip
heliosentris.
Di samping itu, jika dilihat dalam kitab
Mizanul Itidal, ternyata
Muhammad Mas Manshur al-Batawi dalam kajian
hisab rukyah tidak
hanya sekedar hisab murni, namun juga dikemukakan
pemikiran-
pemikiran Ia tentang figh hisab rukyah dengan
mengkomparasikan
pemikiran ulama-ulama yang lain. Di antaranya tentang
had (batasan)
imkanurrukyah, had (batasan) mathla'urrukyah, persaksian
hilal dan masih
banyak lagi yang lain. Bahkan juga dibahas kajian figh
yang sedikit
melebar dari kajian hisab rukyah, seperti tentang shalat
Iid, musafir,
puasa dan lain-lain.
Muhammad Muhammad Mas
Manshur al-Batawi nama
lengkapnya adalah Muhammad Manshur bin Abdul
Hamid bin Muhammad
Damiri bin Habib bin Pangeran Tjakradjaja Temenggung
Mataram, lahir di
Jakarta pada tahun 1295 H / 1878 M. Bermula dari
didikan orang tuanya
sendiri, Abdul Hamid, dan saudara-saudara orang
tuanya seperti Imam
Mahbub, Imam Tabrani, dan Imam Nudjaba Mester, dia
sudah nampak
tertarik dengan ilmu falak.[173]
Ketika usia 16
tahun atau tepatnya pada tahun 1894 M, dia pergi
ke Makkah bersama
ibunya untuk menunaikan ibadah haji dan
bermukim di sana selama empat
tahun. Di sana dia belajar ilmu dengan
banyak guru besar, di antaranya
guru Umar Sumbawa, guru Muhtar, guru
Muhyidin, Syeh Muhammad Hajat,
Sayyid Muhammad Hamid, Syeh Said
Yamani, Umar al-Hadramy dan Syeh Ali
al-Mukri.[174] Ini merupakan salah
satu bukti bahwa memang pada masa itu
masih banyak orang Indonesia
yang melakukan ibadah haji sekaligus
melakukan rihlah ilmiah-meguru
dengan bermukim di Makkah.
Menurut catatan sejarah dari keluarganya, Mas Manshur Al-Batawi
meninggal pada hari Junvat, 2 Shafar 1387 / 12 Mei 1967 jam 16.40
dimakamkan di Pemakaman Masjid Jami al-Manshur Kampung Sawah
lembatan Lima Jakarta.[175]
Sebagai buah dari petualangan
intelektualnya, Muhammad mas
Mansur telah menghasilkan beberapa karya.
Di antaranya kitab
Sullamun Nayyirain, Chulashal al-Jadwal, Kaifiyah
Amal Ijtima', Khusuf dan
Kusuf, Mizanul Itidal, Washilah al-Thulab,
Jadwal Dawairul Falakiyah,
Majmu Arba Rasail fi Masalah Hilal, Jadwal
Faraid, dan masih banyak lagi
yang intinya masalah ilmu falak dan
taraid.
Di antara banyak kitab tersebut, yang dapat penulis
temukan
sampai sekarang hanya Sullamun Nayyirain, Kaifiyah Amal Ijtima',
Khrusuf
dan Kusuf, dan Mizanul Uhndal.
Merujuk pada kitabnya
yakni Sullamun Nayyirain, Kaifiyah Amal
Iitima', Khusuf dan Kusuf, dan
Mizanul Itidal tersebut nampak bahwa
pemikiran hisab rukyah Mas Manshur
pada dasarnya menggunakan
angka-angka Arab “Abajadun Hawazun Khathayun
Kalamanun Sa'afashun
Oarasyatun Tsakhadhun Dhadlagun”[176] yang menurut
lacakan merupakan
angka yang akar-akarnya berasal dari India, sehingga
menunjukkan
keklasikan data yang dipakainya. Dengan angka-angka itu,
sistem
hisabnya bermula dengan mendata al-alamah, al-hishah,
al-khashshah, al-
markas dan al-auj yang akhirnya dilakukan ta'dil
(interpolasi) data.
Sehingga dengan berpangkal pada waktu ijtima
rata-rata. Interval
ijtima rata-rata menurut sistem ini selama 29 hari
12 menit 44 detik.
Dengan pertimbangan bahwa gerak matahari dan bulan
tidak rata, maka
diperlukan koreksi gerakan anamoli matahari (ta'dil
markas) dan geraka
anamoli bulan (ta'dil khashshah), yang mana ta'dil
khashshah dikurangi
ta'dil 'markas.Koreksi markas kemudian dikoreksi
lagi dengan
menambahnya ta'dil markas kali lima menit, Kemudian dicari
wasat
(longitud) matahari dengan cara menjumlah markas matahari dengan
gerak auj (fitik eguinox) dan dengan koreksi markas yang telah dikoreksi
tersebut (mugawwam). Lalu dengan argumen, dicari koreksi jarak bulan
matahari (dagaig ta'dil ayyan). Seterusnya dicari waktu yang dibutuhkan
bulan untuk menempuh busur satu derajat (ishshatusa'ah). Terakhir
dicari waktu ijtima sebenarnya yaitu dengan mengurani waktu ijtima
rata-rata tersebut dengan jarak matahari bulan dibagi hisasatussa'ah).[177]
Sistem hisab ini nampak sekali lebih menitik beratkan pada
penggunaan astronomi murni, di dalam ilmu astronomi dikatakan
bahwa bulan baru terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan
konjungsi (ijtima). Dalam sistem ini menghubungkan dengan
perhitungan awal hari adalah terbenamnya matahari sampai terbenam
matahari berikutnya, sehingga malam mendahului siang yang dikenal
dengan sistem ijtima gablal ghurub.[178] Sehingga dikenal sebagai
penganut kaidah “ Ijtima'unnayyirain istbatun barna al-syahrain” .
Data hisab Muhammad Mas Manshur Al-Batawi dalam lacakan
sejarah menggunakan Zaij Ulugh beik al-Samarkand (wafat 804 M) yang
ditalhis ( dijelaskan | ayahnya Abdul Hamid bin Muhammad Damiri Al-
Batawi dari Syeh Abdurahman bin Ahmad al-Misra[179] Zaij Ulugh beik ini
disusun berdasarkan teori Ptelomeus yang ditemukan Claudius Ptolomeus
(140 M),[180] Jadwal tersebut dibuat oleh LUlugi: Beik (1340-1449 M) dengan
maksud untuk persembahan kepada seorang pangeran dari keluarga
Timur Lenk, cucu Hulagho Khan.[181]
Dalam perjalanan sejarah,
teori Geosentris tersebut tumbang oleh
teori Heliosentris yang
dipelopori oleh Nicalass Copernicus (1473-1543). Di
mana teori yang
dikembangkan adalah bukan bumi yang dikelilingi
matahari, tetapi
sebaliknya dan planet-planet serta sateliti-satelitnya
juga mengelilingi
matahari.[182] Teori ini pernah dilakukan uji kelayakan
oleh Galileo Galilie
dan John Keppler walaupun ada perbedaan dalam
lintas planet mengelilingi
matahari. Di mana menurut lacakan sejarah
hisab rukyah Islam,
berkembang wacana bahwa yang mengkritik dan
menumbangkan teori
geosentris adalah al-Biruni.[183]
Menurut lacakan penulis, kemahiran
Muhammad Mas Manshur al-
Batawi dalam bidang ilmu falak kiranya tidak
banyak dari hasil rihlah
ilmiahnya di Makkah. Tapi dari rihlah ilmiah
yang dilakukan Syelt
Abdurrahman al-Misra ke Betawi (Jakarta) dengan
membawa data Ulugh
Beik - zaij Ulugh Beik. Dengan melihat Betawi
terdapat tempat rukyah
yang layak, sehingga dalam waktu yang tidak lama,
Syeh Abdurrahman
al-Misra mengadakan penyesuaian data dengan merubah
markas data
dari bujur Samarkand menjadi bujur Betawi. Lalu la memberi
pelajaran
kepada para kyai-kyai Betawi, termasuk Abdul Hamid bin
Muhammad
Damiri (ayah Mas Manshur Al-Batawi)[184], Dari sinilah cikal bakal
pemikiran hisab rukyah yang ada dalam kitab Sullamun Nayyirain karya
monumental Mas Manshur Al-Batawi.
Namun demikian, rihlah
ilmiah para ulama Indonesia ke Makkah
(termasuk yang dilakukan oleh
Abdul Hamid bin Muhammad Damiri
maupun Muhammad Mas Manshur al-Batawi )
kiranya tetap menjadi awal
munculnya pemikiran hisab rukyah di
Indonesia. Karena sangat tidak
mungkin, kedatangan Syeh Abdurrahman
al-Misra ke Betawi dalam acara
rihlah ilmiah tanpa diawali dengan
hubungan meguru (atau paling tidak
silaturahim) yang dilakukan oleh para
ulama Indonesia termasuk oleh
Abdul Hamid bin Muhammad Damiri ke sana
(Mesir).
Sebelum kitab Sullamun Nayyirain, di Betawi (Jakarta)
ternyata
sudah ada kitab hisab yang dipelajari dan diamalkan oleh
masyarakat
Betawi yakni kitab Jigazhun Niyam karya Sayyid Usman bin
Yahya.
Model perhitungan kitab ini, sama persis dengan kitab Sullamun
Nayyirain, hanya berbeda dalam ketentuan batas minimal hilal dapat
dilihat (dirukyah) yakni 7 derajat. Kitab ini banyak berkembang di
daerah bukit duri Puteran, Cikoko Pengadegan Jakarta Selatan,
Cipinang Muara dan sekitar tanah delapan puluh Klender Jakarta
Timur:[185]
Kebenaran keberadaan kitab Iigazhun Niyam karya
Sayyid Usman
bin Yahya di Betawi sebelum kitab Sullamun Nayyrrain nampak
dari
adanya “perdebatan” tentang batas imkanurrukyah antara Abdul Hamid
bin Muhammad Damiri dan para santri Syeh Abdurrahman al-Misra
dengan Sayyid Usman. Di mana menurut Abdul Hamid bin Muhamad
Damiri dan para santri Syeh Abdurahman al-Misra bahwa rukyah dalam
kondisi hilal di bawah 7 derajat adalah sulit bukan tidak mungkin
(istihalah). Sedangkan menurut Sayyid Usman, kondisi demikian tidak
mungkin dapat dilihat (istihalaturrukyah). Perbedaan ini muncul karena
memang Sayyid Usman tidak menggunakan dasar zaij Syeh
Abdurahman
al-Misra, tapi berdasarkan zaij dari gurunya Syeh
Rahmatullah al-Hindi
di Makkah. Sayyid Usman tidak pernah bertemu
dengan Syeh Abdurrahman di
Betawi, karena sejak kecil dia sudah
meninggalkan Betawi dan menetap di
Arab,[186]
“Perdebatan” ini sebagaimana diceritakan Mas Manshur dalam
kitab Mizanul I'tidal, ketika terjadi persoalan persaksian rukyah yang
dilakukan dalam penetapan awal Ramadan 1299, di mana pada malam
Ahad, hilal dalam ketinggian 2,5 derajat, salah satu murid Syeh
Abdurrahman yakni Muhammad Shaleh bin Syarbini Al-Batawi menyatakan
dapat melihat hilal.[187]
Dalam pemikiran hisab rukyah Muhammad
Mas Manshur al-
Batawi ternyata tidak hanya berasal dari seorang guru,
Syeh Abdurahman
al-Misra. Terbukti dengan banyak kitab Falak yang
menjadi rujukan
pemikirannya. Selain merujuk pada kitab Syarh al-Bakurah
lil-Khiyath,
Syarh al-Syily ala risalatih, dan al-Mukhlis karya Syeh
Abdurahman al-Misra,
juga merujuk banyak kitab hisab rukyah. Di
antaranya Durar al-Natwij karya
Ulugh Beik, syarh al-Jafny karya Jadi
Zadah al-Rumi, Hasyiah karya Maulana
Muhammad Abdul Alim, al-Darur
al-Taugigiyah dan al-Hidayah al-Abasiyah
karya Musthafa al-Falaki,
Kusyufat al-Adilah karya Judary, Syarh al-Tasyrih
karya al-Dahlawuy,
Syarh Natijatul Miigaat karya Marzugy, Wasilah al-Thulab
karya Muhammad
al-Khitab.
Kitab pembahasan tentang hilal di antaranya al-Minhah
karya
Dimyathy, Ilm al-Mansyur karya al-Subkhy, al-Irsyad karya Muthi'1,
Iigazhun
Niyam dan Tamziyulhag karya Sayyid Usman, Tanbih al-Ghafil
karya ibn
Abidin, Thiraz al-Lal karya Ridwan Afandi, Natijatul Miigaat
karya Mahmud
Afandi, Rasail al-Hilal karya Thanthawi.
Banyak
juga kitab-kitab yang berisi data-data bulan - matahari (
zaij ) yang
dirujuknya, di antaranya al-Zaij Ulugh Beik karya ibn al-
Syatir,
al-Zaij karya ibn al-Bina, al-Zaij karya Abi al-Fath al-Shufi, al-Zaij
karya Abdul Hamid al-Musy.[188]
Meskipun metode serta algoritma
(urutan logika berfikir)
perhitungan waktu ijtima yang digunakan dalam
pemikiran Muhammad
Mas Manshur al-Batawi sudah benar, tetapi
koreksi-koreksinya terlalu
sederhana. Sebagai contoh sebagai dalam
perhitungan irtifaul hilal
(ketinggian hilal), dimana iritafaul hilal
dihitung dengan hanya membagi
dua selisih waktu terbenam matahari dengan
waktu ijtima dengan dasar
bulan meninggalkan matahari kearah timur
sebesar 12 derajat setiap
sehari semalam ( 24 jam ).
Dari
sini nampak bahwa gerak harian bulan matahari tidak
diperhitungkan, hal
ini dapat dimengerti karena berdasarkan pada teori
Ptolomius. Padahal
sebenarnya busur sebesar 12 derajat tersebut adalah
selisih rata-rata
antara longitud bulan dan matahari, sebab kecepatan
bulan pada longitud
rata-rata 13 derajat dan kecepatan matahari pada
longitud sebesar
rata-rata satu derajat. Seharusnya irtifa tersebut harus
dikoreksi lagi
dengan menghitung mathla'ul ghurub matahari dan bulan
berdasarkan wasat
matahari dan wasat bulan.[189]
Di samping itu, sistem hisab ini tidak
memperhitungkan posisi
hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam
sudah terjadi ijtima
walupun hilal masih di bawah ufuk maka malam
harinya masuk bulan
baru. Sebagaimana diutarakan sendiri Muhammad Mas
Manshur al-
Batawi :
"Apabila terjadi ijtima sebelm matahari
terbenam maka malam hari berikutnya
termasuk bulan baru, baik terjadi
rukyal maupun tidak. Dan apabila ijtima itu
terjadi setelah matahari
terbenam maka malam itu dan keesokan harinya masih
bagian dari bulan
yang telah lalu atau belum masuk bulan baru/[190]
Dengan
kerangka pemikiran yang demikian, maka kiranya wajar
manakala pemikiran
hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi
selama ini diklasifikasikan
dalam pemikiran hisab rukyah yang
keakurasiannya rendah, yakni hisab
hakiki tagribi dan masih
tradisional. Kalau ditelusuri secara jeli dalam
akhir kitab Sullamun
Nayyirain, Muhammad Mas Manshur al-Batawi pada
dasarnya juga
mengakui secara jujur bahwa pemikirannya masih tagribi,
sebagaimana
dalam “tanbih” yang terdapat dalam akhir kitab tersebut
tertulis “Ini
sedikit kira-kira (tagribi). Hal ini diketahui dari gerak
bulan pada arbitnya
sehari semalam dengan satuan derajat dan jam.[191]
Namun demikian, pemikiran hisab rukyah Muhammad Mas
manshur
al-Batawi yang terakumulasi dalam kitab Sullamun Nayyirain,
Kaifiyah
Amal Ijtima', Khusuf dan Kusuf, dan Mizanul Yhdal sampai kini
masih
banyak dipergunakan dasar oleh masyarakat muslim Indonesia di
antaranya
keluarga besar Yayasan al-Khairiyah al-Manshuriyyah Jakarta
dan Pondok
Pesantren Ploso Mojo Kediri Jawa Timur.
Referensi dan Catatan
167. Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual Dan Gerakan, Jakarta
: Kaja Grafindo Persada, &th,, hlm. 197, Lihat juga Karel Steenbank,
dalam Mark RE. Woodward, A New Paradigm : Recent Development iri
Indonesian Islamic Thoughit, Ihsan Ali Fauzi, terj, Bandung : Mizan, Cet.
ke-1, 1995,
168 Martin Van Bruinessen, Mencari Ilmu Dan Pahala di
Tanah Suci Orang Nusantara Naik Haji, dalam. Dick Dowwes dan Nico
Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta : INIS, 1997, hlm. 121.
169.
ibid., hlm. 123,
170. Taufik adalah pakar hisab rukyah Indonesia yang dulu pernah menjbat
sebagai Direktur Badan Hisab Rukyah Indonesia dan sekarang menjabat
sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Pendapat la, penulis temukan dalam
makalah Mengkaji Ulang Metode Hisah Rukyah Sullanrun Nayyirain dalam
Orientasi Hisab Rukyah yang diselenggarakan oleh PTA Jawa Timur, Tanggal
9-10 Agustus 1997,
171. Tugu Bogor Jawa Barat,” Hasil dari seminar sehari Hisab Rukyah” Tanggal
27 April 1992,
172. Di saat Andi Rusydianah sebagai Dirjen
Depag RL banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan seperti keluarknya
mata kuliah ilmu falak dari kurikulum nasional, lihat dalam Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradis dar Modernisasi menuju Melintem Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-1, 1999, hlm. 203.
173 Panitia haul ke-1 almarhum KH Mas Manshur, Bitonyat hidup Guru Besar KH.
M. Mansur, Jakarta, th, hlm. 2
174 ibid,
175.
Baca panitia haul ke-1 almarhum KH Mas Manshur, op, cit, hlm. 8
176. Annemarie Schimmel, The Mystery of Numbers, New York: Oxford
University Press, 1993.
177 Muhammad Manshur al-Batawi,, Op, cit,
178 ibid.
179 Ibid., hlm. 1,
180 Temuan Ptolomeus tersebut berupa catatan-catatan tentang: bintang-bintang
yang diberi nama Tabril Magesty yang berasumsi bahwa pusat alam terdapat
pada bumi yang tidak berputar pada sumbunya dan kelilingi oleh bulan,
merkurius, venus, matahari, mars, yupiter dan saturnus, yang dikenal
dengan teori geosentris.
181 Umar Amin Husein, Kultur Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1964, hlm. 115.
182 Menurut Copernicus berbentuk Bulat, sedangkan menurut John Klepper, berbentuk elips (bulat telor), baca Ahmad lezuddin, Figh Hisab Rukyah di Indonesia, Yogyakrata: Logung Pustaka, cet ke-1, 2009, hlm. 45-46.
183 Ahmad Baiguni, Al-Guran, mu Pengetahuan dan Tehnologi, Yogyakarta : Dana bakti Islam, Bandung : Rosdakarya, 2001, hlm. 122-124.
184 Muhammad Manshur al-Batawi, Mizanul Ptidal, Jakarta tth., hlm. 18.
185 Asadurhaman, Sistem Hisab dan Imkanurrukyah yang
berkembang di Indonesia, dalam Journal Hisab Rukyah, Depag RI, 20017,
hlm. 27 - 25.
186 Muhammad Manshur al-Batawi, loc. cit.
187 ibid.
188 ibid.
189 Taufik, “Perkembangan Ilmu Hisab di Indonesia,”
dalam Mimbar Hukum, 1992, hlm. 19-21.
190 Muhammad Manshur
Al-Batawi, Op.cit. hlm. 11.
191 ibid., hlm. 8.