Kemunculan Nama Abdullah di Akhir Abad 9 Hijriah
Judul buku: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Penulis: KH Imaduddin Utsman Al Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: Oktober 2022
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum
Bidang studi: sejarah Islam
Daftar isi
- Kemunculan Nama Abdullah di Akhir Abad 9 Hijriah
- Abad Sepuluh Nama Abdullah Dan Keturunannya Mulai Matang Walau Belum Disebut Ubaidillah
- Apakah Abdullah Abad 9 H Sama Dengan Abdullah Abad 10 H?
- Kembali ke buku: Menakar kesahihan Nasab Habib di Indonesia
KEMUNCULAN NAMA ABDULLAH DI AKHIR ABAD 9 H
Nama ubaidillah belum muncul di akhir abad Sembilan, tetapi ada
nama baru yang disebutkan oleh kitab An-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad
Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880) nama itu adalah Abdullah
bin Ahmad. Dari situ kita melihat bahwa nama Abdullah telah menghilang dari
radar para penulis nasab selama 543 tahun dihitung dari wafatnya Ahmad bin
Isa. Minimal dari kitab yang mulai mencatat nama Ahmad bin Isa yang penulis
sebutkan di atas ada tujuh kitab mulai abad kelima sampai kesembilan yang
tidak menyebutkan nama Abdullah sebagai nama anak dari Ahmad bin Isa. Kutipan
lengkap dari kita an-Nafhah adalah sebagai berikut:
فٙبعش ا ٌٝ ا شٌط فأٚ ذٌ ػ ١غٝ ٚ ٚ ذٌ ػ ١غٝ ا غٌ ١ذ اح ذّ ا زٌّٕم ا ٌٝ حؼش ِٛد.
ف ٚ ذٌ بٕ٘ن ا غٌ ١ذ اثٟ
ا غٌذ ٠ذ ثفزح ا غٌ ١ ٚوغش ا ذٌاي ا ٌّٙ خٍّ ٚعىٛ ا
١ٌبء ا ضٌّ بٕح رحذ ٚثؼذ ب٘ داي ا مٌبد ا ٌٝ ػذ فٟ ا ٠ب ا غٌّؼٛد ث ؽغزى ١ ثفزح ا
طٌبء ا ٌّٙ خٍّ ٚعىٛ ا غٌ ١ ا ؼٌّغ خّ ٚفزح ا زٌبء ا ضٌّ بٕح فٛق ٚ ٛٔ ثؼذ ا
١ٌبء
ا ضٌّ بٕح رحذ ٚا ىٌبف ا ىٌّغٛسح اث ا ٠ٛة ث شبرٞ ثفزح ا شٌ ١ ٚوغش ا
ذٌاي ا ؼٌّغ زّ ١ ع خٕ احذٞ ػششح
ٚعز بّئخ فزٛحش ا غٌّؼٛد لَ شِ بِ فمجؼ
ٚعٙض ا ٌٝ اسع ا ٌٙ ذٕ ص سعغ ا ٌٝ حؼش ِٛد ثؼذ ٚفبح
ا غٌّؼٛد. ف رس ٠ز ص خّ
ث ٕٛ اثٟ ػ ٍٛٞ ٚ ٛ٘ اثٛ ػ ٍٛٞ ث اثٟ ا غٌذ ٠ذ ث ػ ٍٟ ث محمد ث اح ذّ ث عذ ٠ذ
ثفزح
ا غٌ ١ ٚوغش ا ذٌاي ا ٌّٙ خٍّ ٚعىٛ ا ١ٌبء ا ضٌّ بٕح رحذ ٚ داي اخشٜ
ثؼذ ب٘ ث ػ ٍٟ ث محمد ث عذ ٠ذ ث ػجذ الله
ث اح ذّ ث ػ ١غٝ ا زٌّمذ ا زٌوش
)إ فٌحخ الَ جٔبس ٠خ فٟ ا غٔبة خ ١ش ا جٌش ٠خ:محمد وبظ ،ُ ص (ٕ٘
“Maka Muhammad an-Naqib berhijrah ke Kota Ros, maka ia mempunyai anak
Isa, dan sebagian dari anak Isa adalah Ahmad yang pindah ke Hadramaut. Maka
dari keturunannya di sana adalah Sayid Abul Jadid (dengan fatah jim, kasrah
dal yang tanpa titik, sukun ya yang bertitik dua di bawah, setelahnya hurup
dal) yang datang di Kota Aden di masa pemerintahan al-Mas’ud bin Togtokin
(dengan fatah hurup tho yang tanpa titik, sukun ghain yang bertitik satu,
fatah ta yang bertitik dua di atas, nun setelah ya yang bertitik dua di bawah
dan kaf yang dikasrah) bin Ayub bin Syadi (dengan fatah syin, kasrah zdal yang
bertitik keduanya ) tahun 611, maka al-mas’ud kemudian melakukan tindakan
kasar kepada al-Jadid karena suatu hal, maka ia menangkapnya dan menyiapkan
pemindahannya ke bumi India, kemudian ia kembali ke Hadramaut setelah wafatnya
al-Mas’ud. Maka dari keturunan al-Jadid ini adalah Bani Abu Alawi, yaitu Abu
Alawi bin Abul Jadid bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin
Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa yang telah disebutkan
sebelumnya."
Dari kutipan di atas, penulis kitab an-Nafhah al-Anbariyah,
Syekh Muhammad Kadzim, ia sendirian tanpa referensi dari kitab nasab yang
telah disebutkan: pertama ia sendirian tentang kepindahan Muhamad an-Naqib ke
Kota Ros, hal itu tidak disebutkan oleh para ahli nasab sebelumnya, yang kedua
ia sendirian tentang pindahnya Ahmad ke Hadramaut, tidak ada ahli nasab dalam
kitabnya menyebutkan seperti itu. Ketiga ia sendirian tentang nama Abdullah
sebagai anak Ahmad bin Isa, baru muncul setelah 543 tahun setelah kematian
ayahnya yaitu Ahmad bin Isa. Keempat ia sendirian tentang urutan nasab yang
menyebut Bani Abi Alawi, urutan nasab itu sangat membingungkan ketika nanti
dikatakan bahwa Abdullah adalah nama lain dari Ubaidillah yang mempunyai anak
alwi yang menjadi datuk Ba Alawi Indonesia yang akan penulis bahas nanti.
ABAD SEPULUH NAMA ABDULLAH DAN KETURUNANNYA MULAI MATANG WALAU BELUM
DISEBUT UBAIDILLAH
Dalam kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man Yantasibu Ila Abdillah
wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996)
disebutkan seperti berikut:
ٚا بِ اح ذّ ث ػ ١غٝ ث محمد ث ا ؼٌش ٠ؼٟ فمبي اث ػ جٕخ اثٛ محمد ا حٌغ ا ذٌلَي ث
محمد ث ػ ٍٟ ث محمد ث اح ذّ
ث ػ ١غٝ ا شٌٚ ِٟ ٚ ذٌ ٚعىذ ػ غ ١ش .ٖ ل ذٍ سا
٠ذ فٟ ثؼغ ا زٌؼب ١ٌك بِ طٛسر لبي ا حٌّممٛ ثٙزا ا فٌ ا ا ١ٌ ٚحؼش ِٛد وبلَ بِ اث
ع شّح ٚالَ بِ ا غٌ ذٕٞ ٚالَ بِ ا فٌزٛحٟ طبحت وزبة ا زٌ خٍ ١ض ٚالَ بِ حغ ١ ث
ػجذ ا شٌح الَ ذ٘ي ٚالَ بِ اثٟ ا حٌت ا جٌشػٟ ٚالَ بِ فؼ ث محمد ا جٌشػٟ ٚالَ بِ
محمد ث اثٟ ثىش
ث ػجبد ا شٌب ِٟ ٚا شٌ ١خ فؼ الله ث ػجذ الله ا شٌغشٞ ٚالَ
بِ ػجذ ا شٌح ث حغب :ْ خشط ا غٌ ١ذ ا شٌش ٠ف ث ػ ١غٝ ٚ ؼِ ٚ ذٌ ػجذ الله فٟ ع غّ
الَٚلَد ٚا مٌشاثبد ٚالَطحبة ٚا خٌذ ا جٌظشح ٚا ؼٌشاق ا ٌٝ
حؼش ِٛد ٚاعزمش
غِى رس ٠ز ٚاعزطبي ف ١ٙ ثزش ٠ ثحؼش ِٛد ثؼذ ا زٌ مٕ فٟ ا جٌ ذٍا ٚا زٌغشة ػ
الَٚؽب حى خّ ا هٌٍّ ا بٌّٕ .ْ فأٚ ذٌ ػجذ الله ػ ٍٛ ٠ب ٚػ ٍٛٞ اٚ ذٌ محمدا ٚمحمد
اٚ ذٌ ػ ٍٛ ٠ب ٚػ ٍٛٞ اٚ ذٌ ػ ١ٍب خب غٌ لغ ٚػ ٍٟ
خب غٌ لغ اٚ ذٌ محمد طبحت
شِثبؽ ٚاٚ ذٌ محمد طبحت شِثبؽ ػ ٍٛ ٠ب ٚػ ١ٍب فب بِ ػ ٍٛٞ ف اسثؼخ اٚلَد اح ذّ ٚ
ػمت ٚػجذ الله ٚلَ ػمت ٚػجذ ا بٌّ هٌ ٚػمج فٟ ا ٌٙ ذٕ ٚػجذ ا شٌح ٚ ػمت. ٚا بِ ػ
ٍٟ ف ا فٌم ١ ا مٌّذ محمد
ٚ ػمت وض ١ش )رحفخ ا طٌب تٌ ث ؼّشفخ ٠ زٕغت ا ٌٝ
ػجذالله ٚاثٟ ؽب تٌ، ا غٌ ١ذ محمد ث ا حٌغ ١ ا غٌ شّل ذٕٞ
- ) ا
“Adapaun Ahmad bin Isa bin Muhammad bin (Ali) al Uraidi maka Ibnu Anbah
berkata: Abu Muhammad al-Hasan al-Dallal bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Isa ar-Rumi adalah dari keturunan Ahmad bin Isa, ia (Ibnu Anbah)
diam tentang selain Abu Muhammad. Aku berkata (penulis kitab Tuhafatutolib):
Aku melihat dalam sebagian ta’liq (catatan pinggir sebuah kitab ditulis oleh
santri dipinggir kitab ketika mendengar keterangan guru) tulisan yang bunyinya
“Telah berkata al-muhaqqiqun dari cabang ilmu ini (nasab) dari ahli Yaman dan
Hadramaut, seperti Imam Ibnu Samrah, al-Imam al-Jundi, al-Imam al-Futuhi yang
mempunyai kitab at-Talkhis, al-Imam Husain bin Abdurrahman al-Ahdal, al-Imam
Abil Hubbi al-Bur’I, al-Imam Fadhol bin Muhammad al-Bur’I, al-Imam Muhammad
bin Abi Bakar bin Ibad as-syami, Syekh Fadlullah bin Abdullah as-Syajari, dan
al-Imam Abdurrahman bin Hisan bahwa Sayid Syarif Ahmad bin Isa pergi bersama
anaknya, Abdullah, dalam rombongan para anak, kerabat, teman-teman, para
pembantu dari Bashrah dan Iraq menuju Hadramaut setelah berpindah dari
berbagai daerah dan bersembunyi dari berbagai Negara, sebagai hikmah Tuhan
raja yang maha memberikan anugrah. Maka kemudian Abdullah mempunyai anak
bernama Alwi, dan Alwi mempunyai anak bernama Muhammad, Muhammad mempunyai
anak Alwi (lagi), Alwi mempunyai anak Ali Khali’ Qosam, Ali Kholi’ Qosam
mempunyai anak bernama Muhammad Shohib Mirbath, dan Muhammad Shohib Mirbath
mempunyai anak bernama Alwi dan Ali. Maka adapun Alwi maka mempunyai empat
anak: Ahmad dan ia berketurunan, Abdullah ia tidak berketurunan, Abdul Malik
keturunannya di India, dan Abdurrahman dan ia berketurunan. Dan adapun Ali
maka ia mempunyai anak al-Faqih al-Muqoddam Muhammad dan ia mempunyai banyak
keturunan. (Tuhfatuttolib, Sayid Muhammad bin al-Husain, h. 76-77)
Dimunculkan
pertama kali oleh Syekh Muhammad kadzim dalam kitabnya an-Nafhah al-Anbariyah
di akhir abad kesembilan, nama Abdullah muncul kembali pada abad ke sepuluh
dalam kitab Tuhfatuttolib setelah 116 tahun kitab an-Nafhah di tulis.
Untuk
menyebutkan keturunan Ahmad bin Isa, pertama penulis kitab Tuhfatuttolib
mengutip pendapat Ibnu Anbah dalam kitab Umdatuttolib, dalam kitab umdah itu
ditulis bahwa Ahmad bin Isa mempunyai keturunan dari anaknya yang bernama
Muhammad. Penulis tuhfatuttolib memberi tambahan “wa sakata an gairihi”
artinya “Dan Ibnu Anbah diam dari keturunan lainnya”. Dari kalimat itu penulis
Tuhfah ingin mengatakan bahwa ada nama lain yang tidak disebutkan oleh Ibnu
Anbah karena Ibnu Anbah tidak tegas menyebutkan berapa jumlah anak Ahmad bin
Isa. Lalu ia berkata “bahwa aku menemukan sebuah ta’liq” yaitu catatan santri
pada sebuah kitab ketika mengaji dihadapan guru, dalam ta’liq itu terdapat
susunan garis keturunan Ba alawi, lalu tanpa di kroscek kitab sebelumnya
ta’liq itu dimasukan dalam kitabnya. Dari situlah mulai mashurnya marga Ba
Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
Penulis menduga bahwa penulis
Tuhfah belum membaca atau tidak mempunyai kitab as-Syajarah al-Mubarakah yang
ditulis Ar-razi abad ke enam yang menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya
tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Apabila ia mempunyai kitab itu maka mungkin ia
tidak akan memasukan ta’liq itu ke dalam kitabnya, karena akan terasa ganjil
apabila sebuah catatan sepotong kertas kemudian berbeda dengan sebuah kitab
nasab yang telah ditulis 390 tahun sebelumnya.
APAKAH ABDULLAH ABAD SEMBILAN SAMA DENGAN ABDULLAH ABAD SEPULUH?
Persamaan kitab an-Nafhah al-Anbariyah (abad 9) dengan kitab
Tuhfatuttolib (abad 10) adalah sama-sama menyebutkan nama Abdullah sebagai
anak Ahmad bin Isa. Persamaan kedua adalah mengenai Hadramaut. Namun ada
beberapa hal yang berbeda dari keduanya, pertama mengenai anak Abdullah bin
Isa, an-Nafhah menyebut anak Abdullah adalah Abul Jadid, sedangkan kitab
Tuhfattolib menyebutkan anak Abdullah adalah Alwi. Perbedaan kedua adalah
tentang Ba Alawi. Kitab an-Nafhah menyebut bahwa keturunan Abdullah adalah
Bani Abi Alwi, sedang kitab Tuhfatuttolib menyebutnya Bani Alwi tanpa abi.
Apakah keduanya sama?
Kitab an-Nafhah menyebut Bani Abi alwi itu
adalah nisbat kepada Abu Alwi yaitu Abu Alwi bin Abul Jadid, keturunan yang ke
sembilan dari Abdullah bin Isa, sedangkan kitab Tuhfatutolib menyebut Bani
Alawi itu adalah keturunan Alwi bin Abdullah bin Ahmad, keturunan yang pertama
dari Abdullah. Lalu Ba Alawi yang sekarang ada di Indonesia keturunan dari
siapa? Apakah dari Bani Abi alwi seperti kitab an-Nafhah atau Bani Alawi
seperti kitab Tuhfatuttolib? Atau bukan dari keduanya, karena nama yang
ditulis dalam keluarga Ba Alawi sekarang bukan Abdullah tapi Ubaidillah. Dari
mana saja mengambil maka keduanya ada masalah dalam ke-marfu’-an riwayat. Yang
pertama tiba-tiba muncul tanpa karana, yang kedua muncul bersyahidkan ta’liq
sepotong kertas menurut pengakuan penulis kitab. Kecuali mengambil bukan dari
keduanya maka mungkin ada riwayat yang lain yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiyah, namun yang demikian itu perlu dalil.