Bab Jihad | Fathul Muin
Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.
Daftar Isi
- Bab Jihad
- Bab Peradilan
- Bab Dakwaan (Tuduhan) Dan Bayinah (Alat Bukti)
- Pasal: Jawaban Tuduhan Dan Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya
- Pasal: Syahadah (Kesaksian)
- Penutup: Tentang Sumpah
- Bab Memerdekakan Budak
- Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin
BAB JIHAD - بَابُ الْجِهَادِ
Jihad hukumnya fardu kifayah dalam setap tahun -sokalipun hanya
sekali-, bila orang-orang kafir berada di dalam daerah masing-masing, (tetapi)
bila mereka memasuki wilayah kita, maka jihad hukumnya fardu ain seperti yang
akan diterangkan nanti.
Hukum fardu kifayah adalah bila jihad telah
dilakukan oleh orang yang mencukupi persyaratan, maka lepaslah dosa orang yang
menunaikan dan segenap mushmin lainnya, (tetapi) bila dari segenap mereka
tidak ada yang melakukannya -sekalipun tidak mengerti-, maka seluruh muslimin
yang tidak uzur melakukannya, menanggung dosa.
Fardhu kifayah itu
banyak:
Misalnya menegakkan hujah-hujah agama, Yaitu dalil yang
menetapkan keberadaan sang Pencipta swt , sifat-sifat yang wajib dan muhal
bagiNya, dalil yang menetapkan kenabian dan sognla ajaran syarak, mulai dari
hari Kiamat, hisab dan sebagainya
Misalnya lagi Menegakkan
ilmu-ilmu syarak, misalnya ilmu tafsir, hadis dan fikih yang melebihi dari
yang diharuskan, dan ilmu-ilmu pelengkap ilmu syanat, sekira dapat digunakan
dalam pengadilan dan fatwa. karena dibutuhkan dua ilmu ini.
Misalnya,
menolak mudarat yang menimpa orang maksum, baik orang Islam, dzimmi, atau
musta’man, yang mengalami kelaparan sebelum sampai pada tingkat yang sangat
kritis, atau tidak berpakaian dan sebagainya.
Yang dibebani tugas
fardu kifayah lalah: Seluruh orang kaya yang mempunyai kelebihan biaya hidup
dirinya sendiri selama satu tahun dan kelebihan orang yang ditanggung
nafkahnya, ketika Baitulmal tidak ada atau diabaikan pembayaran zakat.
Misalnya
lagi: Amar makruf nahi mungkar, yaitu dipenuhinya kewajiban-kewajiban Allah
swt. dan dihindarkan hal-hal yang diharamkannya, tetapi medannya adalah wajib
atau haram yang sudah Mujma’ Alaih (disepakati) atau menurut iktikad pelaku
perbuatan wajib atau haram itu.
Yang dibebani
tugas ini adalah seluruh mukalaf yang tidak khawatir kemudaratannya terhadap
semacam anggota badan dan hartanya, sekalipun hanya sedikit dan tidak
mempunyai perkiraan kuat, bahwa pelaku kemungkaran dengan adanya nahi mungkar
darinya akan bertambah menentang, sekalipun dan kebiasaan telah diketahui,
bahwa amar makruf nahi mungkar tidak akan berfedah kepada pelaku
kemungkaran.
Amar makruf nahi mungkar tersebut,
yaitu dengan cara membetulkan pelakunya lewat semua cara yang mungkin bisa
ditempuh: Memakai kekuatan tangan, lisan, lalu meminta tolong kepada orang
lain. Bila kesemuanya sudah tidak mampu dilakukan, maka dengan cara
mengingkari perbuatan mungkar di dalam hati.
Seseorang
tidak diperbolehkan meneliti dan mengoreksi kesalahan orang lain serta
menyergap rumah orang lain berdasarkan berbagai prasangka. Tetapi, bila
seseroang diberi tahu oleh orang yang adil tentang keberadaan kemungkaran yang
tersembunyi, di mana perkara mungkar tersebut bila terlambat pencegahannya
akan terwujudkan misalnya: maka ia diwajibkan melakukan hal-hal di atas
(meneliti dan seterusnya).
Bila pencegahan
kemungkaran memerlukan ditangani sulthan (penguasa), maka tidak wajib
melaporkannya, sebab hal itu terdapat unsur merobek kehormatan dan
menghilangkan harta benda. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qasyairi.
Guru
kita berkata: Menurut Ibnul Qusyairi, ada alternatif kewajiban melaporkannya
kalau dengan cara itu saja kemungkaran dapat dicegah, dan im adalah pendapat
Al-Aujah. Sedang pembicaraan Ar-Raudhah dan lainnya dengan sharih
mengedepankan alternatif ini. Selesai.
Misal
fardu kifayah lagi: Tahammulusy Syahadah (pengambilan datadata persaksian)
bagi orang ahli untuk hal itu yang didatangi oleh Masyhud Alaih (orang yang
dipersaksikan atasnya) atau didatangkan olehnya karena ada halangan, misalnya
halangan salat jumat.
Misalnya lagi, memberikan
persaksian bagi orang yang telah Tahammul Syahadah, jika telah lebih dari
nisab saksi, (tetapi) bila belum nisabnya, maka memberikan persaksian hukumnya
fardu Ain.
Misalnya lagi, meramaikan Ka’bah
dengan melakukan haji dan umrah setiap tahunnya.
Contoh
yang lain adalah mengiring jenazah.
Misalnya yang
lain, menjawab salam sunah (dalam pengucapannya) adalah fardu kifayah bagi
segolongan orang, yaitu dua ke atas, karena kefarduan menjawab salam telah
gugur dari yang lain, dan pahalanya khusus di dapatkan yang hanya menjawab
salam.
Bila seluruh rombongan menjawabnya semua,
walaupun berurutan, satu per satu, maka kesemuanya mendapatkan pahala,
sebagaimana hal nya orang yang menyalati jenazah. Apabila satu rombongan
mengucapkan salam dengan berurutan kepada satu orang, lalu dijawabnya satu
kali dengan maksud buat keseluruhannya, begitu juga bila dijawab secara mutlak
menurut Al-Aujah, maka cukuplah sebagai jawaban untuk seluruhnya, selama tidak
ditengah tengahi masa atau waktu yang cukup panjang.
Masuk
di dalam ucapanku “salam sunah”, yaitu salam yang diucapkan seorang wanita
kepada wanita atau laki-laki mahram (suami). Begitu juga salam kepada waruta
tua renta yang sudah tidak menarik syahwat, karenanya wanita dalam contoh ini
wajib menjawab salam yang diucapkan laki-laki.
Adapun
yang masih menarik nafsu syahwat dalam keadaan sendirian (tidak bersama wanita
lain), adalah diharamkan menjawab salam laki-laki lain: demikian pula memulai
mengucapkan salam kepadanya.
Makruh juga
laki-laki tersebut menjawab salamnya, begitu juga memulai salam kepada wanita
tersebut.
Perbedaannya: Jawaban warita dan
ucapannya membuat laki-laki tersebut loba -karena kelobaan laki-laki kepada
wanita itu lebih besar-: lain halnya dengan ucapan salam dan jawaban
laki-laki. Demikaanlah kata Guru kita.
Bila
seorang laki-laki mengucapkan salam kepada rombongan wanita, maka salah
seorang dari mereka wajib menjawab salam itu, sebab dalam keadaan demikian ini
tidak dikhawatirkan timbul fitnah
Dikecualikan
dari kata-kataku “dari segolongan/rombongan”, yaitu satu orang: maka menjawab
salam baginya adalah fardu an, sekalipun yang memberi salam itu seorang anak
mumayiz.
Di dalam memulai dan menjawab salam
harus dijawab dengan suara keras, sekira dapat didengar dengan : jelas,
sekalipun pada pendengaran orang yang agak tuli.
Memang,
tapi bila orang yang mengucapkan salam (Musallim) melintasi orang yang diberi
salam (Musallam alaih) dengan berjalan cepat, yang sekira jawabannya tidak
sampai didengar oleh musallim, maka menurut pendapat Al-Azhhar yang dikatakan
oleh Guru kita, ia wajib mengeraskan jawaban salamnya dan tidak mengejar
(berlari) di belakang musallim.
Wajib bersambung
antara ucapan dan jawaban salam, sebagaimana halnya mengenar jab dengan gabul
dalam jual beli Tidak mengapa mendahulukan “Alaika”, dalam menjawab salam
orang yang tidak hadir di tempat, sebab pemisahan seperti iru tidak termasuk
kata-kata lain.
Apabila unsur “seketika dalam
menjawab salam” sudah hilang, maka tidak wajib menggadha, lain halnya dengan
kesan yang diberikan dalam pembicaraan Ar-Rauyani.
Dalam
menjawab salam kepada orang tuli, wajib mengumpulkan antara ucapan dengan
isyarat, dan si tuli tidak wajib menjawab salam. kecuali bila Musallimnya
mengumpulkan antara ucapan dan isyarat.
Memulai
mengucapkan satam ketika menghadap atau berpisah kepada orang muslim yang
bukan semacam fasik dan berbuat bid’ah -sekahpun ia anak mumayiz-, yang
sekalipun mempunya perkiraan bahwa salamnya tidak akan di jawab, hukumnya
adalah Sunah Ain bagi seorang dan Sunah Kifayah orang banyak, sebagaimana
hukum membaca Basmalah untuk makan. Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya
orang yang paling utama (mendapat rahmat Allah swt.) adalah orang yang memulai
mengucapkan salam.”
Al-Qadhi Husain mengeluarkan
fatwa, bahwa memulai mengucapkan salam adalah lebih utama, sebagai” mana
membebaskan utang adalah lebih utama daripada penunda penagihannya.
Shighat
permulaan pengucapan salam adalah “Assalamu’alaikum”, atau “Salamun ‘alaikum”‘
begitu Juga” ‘Alaikumus salam”, atau “Alaikum salam”, tetapi untuk terakhir
ini makruh, sebab ada dalil yang melarangnya, dan sekalipun makruh pengucapan
salam dengan shighat tersebut, tetapi menjawabnya adalah kewajiban.
Lain
halnya dengan ucapan: “Wa alaikum salam”‘, sebab kalimat ini tidak patut untuk
permulaan salam.
Dalam memulai dan menjawab
salam, yang lebih utama adalah dengan menggunakan bentuk “jamak”, sekalipun
kepada atau bagi satu orang, sebab agar mencakup malaikat dan demi
menghormati.
Menambah: “Wa rahmatullahi wa
barakatuhu wa maghfiratuh”.
Bentuk mufrad belum
mencukupi (sebagai salam yang ditujukan) untuk orang banyak.
Apabila
satu dengan lainnya mengucapkan salam secara bergantian, maka ucapan kedya
sebagai jawaban dari pertama: yaitu selagi yang kedua tidak. dimaksudkan untuk
memulai mengucapkan salam sendiri, sebagaimana yang dibahas oleh sebagian
ulama.
Apabila tidak bergantian atau bergantian,
tetapi masing masing bermaksud memulai salam, maka masing-masing wajib
menjawab salamnya
Beberapa Cabang:
Sunah
menginmkan salam buat orang yang tiada di tempat, dan orang yang dititipi
salam harus menyampaikannya, sebab hal itu sebagai amanat yang wajib
ditunaikan.
Kewajiban menyampaikan salam di atas,
bila orang yang dititipi salam rela membawa amanat itu, (tetap) bila ia
menolakmenyempaikannya, maka ia tidak wajib menyempaikannya, Begitu juga bila
ia hanya diam saja.
Sebagian ulama berkata: Orang
yang diwasiati salam wajib menyampakannya. Kewajian ini menurut Guru kita,
jika ia menerima wasiat dengan lafal yang menunjukkan arti pemegang amanat
salam.
Mursal ilaih (orang yang dikirimi salam)
wajib secara seketika dengan menjawab salam yang dikirimkan dengan ucapart,
dan wajib menjawab salam dengan ucapan atau tulisan atas salam yang dikinmkan
kepadenya dengan tulisan
Sunah menjawab salam
orang yang menyampaikannya dan memulai jawaban buatnya, maka Mursal ilaih
berkata: “‘Alaika wa ‘alaihis salam” (semoga bagimu dan buatnya terlimpah
keselamatan), sebab berdasarkan hadis masyhur.
Sebagian
ulama menceritakan ada kesunahan memulai jawaban salam buat pengirimnya. Haram
memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dzimmi, dan wajib mengecualikan
orang dzimnmi dalam hati, jika dammi tersebut bersama orang Islam.
Sunah
mengucapkan salam bagi orang yang memasuki tempat kosong, dengan ucapan: ”
‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin”.
Tidak
disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah membuang air kecil, air
besar, bersetubuh atau beristinja: Begitu juga kepada orang yang sedang minum
atau makan yang di dalam mulutnya masih terdapat makanan, sebab merepotkan
mereka.
Tidak sunah kepada orang fasik, bahkan
sunah tidak mengucapkan salam kepada orang yang jelas-jelas mengerjakan
hal-hal yang fasik, orang yang melakukan dosa besar, yang belum bertobat atau
orang yang berbuat bid’ah, kecuali bila ada uzur atau khawatir akan terjadi
mafsadah (bila tidak diucapkan salam kepada mereka).
Tidak
disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang tengah mengerjakan salat,
bersujud, azan, ikamah, berkhotbah dan mendengarkankhotbah.
Mereka
semua (orang yang tengah buang air besar dan seterusnya) tidak berkewajiban
menjawab salam, kecuali orang yang tengah mendengarkan khotbah, ia wajib
menjawab salam orang mengucapkan kepadanya.
Bahkan
orang yang tengah buang air besar atau kecil, bersetubuh dan beristinya makruh
menjawab salam.
Orang yang sedang makan
disunahkan menjawab salam, sekalipun mulutnya sedang berisi makanan. Memang,
disunahkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang makan setelah menelan
dan sebelum meletakkan makanan ke dalam mulutnya, dan ia wajib menjawab salam
tersebut.
Disunahkan menjawab salam bagi orang
yang sedang berada di dalam kamar mandi dan orang yang sedang membaca
Talbiyah, dengan memakai lafal (ucapan): dan bagi orang yang sedang salat,
azan dan ikamah dengan menggunakan isyarat dalam menjawab salam, Kalau tidak
memakai isyarat, maka menjawabnya selesai salat, jika tenggang waktunya hanya
sebentar. Kepada mereka semua, tidak diwajibkan menjawab salam.
Sunah
di waktu bertemu, orang kecil (muda) mengucapkan salam kepada orang yang tua,
orang yang berjalan kepada orang yang diam, orang yang naik kendaraan kepada
mereka semua (orangtua, yang berjalan dan yang diam) dan rombongan yang kecil
kepada yang besar.
Beberapa Faedah:
Membungkukkan
punggung hukumnya makruh, sedangkan kebanyakan ulama mengatakan haram.
An-Nawawi
berfatwa mengenai kemakruhan menundukkan kepala dan menciuni semacam kepala,
tangan atau kaki, lebih-lebih kepada orang kaya sebab berdasarkan hadis:
“Barangsiapa bertakwa kepada orang kaya (lantaran kekayaannya), maka hilanglah
2/3 agamanya”.
Sunah mencium seperti di atas
kepada orang saleh, alim dan mulia, sebab Abu Ubadah mencium tangan sahabat
Umar r.a.
Sunah berdiri (demi menghormat) kepada
orang yang jelas-jelas mempunyai fadilah kesalehan dan kealimannya,
sebagaimana orang yang melahirkan dirinya atau karena jabatan yang dipegang
orang itu, dengan cara tulus ikhlas. Ibnu Abdiis Salam berkata: Atau kepada
orang yang diharapkan kebaikan atau dikhawatirkan gangguannya, sekalipunitu
orang kafir yang dikhawatirkan dharar besar darinya.
Haram
bagi seseorang merasa senang karena orang-orang lain berdiri
menghormatinya.
Sunah mencium orang yang baru
datang dari bepergian dan memeluknya, sebab ittiba’ kepada Rasul saw.
(Termasuk
sunah kifayah), adalah mendoakan orang yang bersin, yang sudah balig dan
memuji kepada Allah swt., dengan mengucapkan ” Yarhamukallah”, atau
“Rahimakumullah”, Sunah juga mendoakan kepada anak mumayiz yang bersin, dengan
doa: “Ashlahakallah” (semoga Allah menjadikanmu sebagai orang saleh).
Karena
mendoakan seperti itu hukumnya sunah kifayah, jika segolongan orang yang
mendengar, dan sunah ain, bila hanya seorang yang mendengarnya.
Bila
orang mumayiz bersin dan membaca Hamdalah setelah bersinnya -yaitu setelah
bersin tenggang waktu melebihi tarik nafas atau terengah-engah-, maka setelah
bersinza disunahkan membaca “AlHamdulillah”, dan yang lebih utama
“Al-Hamdulllahi Rabbil ‘Alamin”, dan yang lebih utama dari itu:
“Al-Hamdulillah ‘ala kulli halin” (segala puji bagi Allah atas segala hal).
Dikecualikan
dari ucapanku “yang memuji Allah”, bila setelah bersin tidak memuji Allah:
maka tidak disunahkan mendoakan kepadanya.
Apabila
orang yang mau mendoakan ragu, maka ucapkan saja “Yarhamullahu man hamidah”
(semoga Allah merahmati orang yang memuji-Nya).
Disunahkan
mengingatkan orang yang bersin, agar membaca Hamdalah.
Apabila
bersin terjadi berulang kali, maka disunahkan mendoakan kepadanya pada bersin
yang ketiga kalinya, lalu mendoakan sembuh. Orang bersin di tengah salatnya,
disunahkan membaca Hamdalah secara pelan-pelan.
Orang
yang sedang disibukkan dengan semacam buang air kecil atau bersetubuh, bila
bersin disunahkan membaca Hamdalah di dalam hati.
Hamdalah
dan doa untuk orang yang bersin, disyaratkan dibaca dengan suara keras, sekira
dapat didengar oleh temannya.
Sunah bagi orang
yang bersin, meletakkan sesuatu pada mukanya, merendahkan suara bersin
serendahnya, dan menjawab orang yang telah mendoakan kepadanya dengan semacam:
“Yahdikumullah wa yushlihu balakum”, (semoga Allah memberi kalian petunjuk dan
memperbaiki kepribadian kalian), atau dengan “Yaghfirullahu lakum” (semoga
Allah mengampuni kalian), sebab ada perintah penjawaban seperti ini.
Sunah
bagi orang yang menguap, menahan penguapannya semampu mungkin, dan menutup
mulutnya dengan tangan kirinya, walaupun di tengah-tengah salat.
Sunah
menjawab panggilan dengan “Labbaik” (Baiklah).
Hukum
Jihad adalah fardu kifayah bagi setiap orang Islam yang mukalaf -yaitu balig
dan berakal sehat, sebab lepas beban dari selain dua orang ini-, dan
laki-laki, sebab pada galibnya warita tidak mampu melakukan jihad, serta
merdeka. Karena itu, jihad tidak wajib bagi budak, sekalipun Mukattab atau
Muba’adh yang telah mendapatkan lan dan tuannya, dan mampu ber. Jihad serta
mempunyai senjata.
Karena itu, jihad tidak
diwajibkan atas orang yang tidak mampu, misalnya buntung, buta, hilang
sebagian besar jari-jari tangannya, pincang yang tampak jelas, sakit parah,
orang yang tidak mempunyai biaya atau kendaraan dalam perjalanan sejauh
Qashrush shalah, yang pembiayaan itu lebih dari pembiayaan orang yang wajib
ditanggung, sebagaimana dalam masalah haji, dan tidak diwajibkan atas orang
yang tidak mempunyai senjata, sebab orang seperti ini tidak mungkin kemenangan
di tangannya.
Bepergian untuk berjihad atau
lainnya, walaupun jaraknya dekat, dan tidak mengkhawatirkan atau untuk
menuntut ilmu, adalah diharamkan bagi orang yang utang, kaya dan masa
pembayarannya sudah tiba, di mana ia tiadak mewakilkan kepada orang lain untuk
membayarkan utangnya atas nama dirinya dan hartanya yang berada di tempat. Hal
ini karena untuk. menjaga hak orang lain.
Dan
segi im, tersebut di dalam hadis Muslim: “Mati dalam sabilillah adalah dapat
menghapus segala tanggungan, selain utang.”
Kepergian
tersebut tanpa seizin pemiutang atau dugaan ada kerelaan darinya, di mana
pemiutang termasuk orang yang berhak memberikan izin, sekalipun ia kafir
dammi, utangnya ada barang gadai yang bisa diandalkan atau penjamin yang
kaya.
Di dalam A/-Muhummat, Al-Asnaw berkata
Sesungguhnya diam pemiutang adalah belum cukup sebagai memperbolehkan
bepergian. Ucapan ini berpedoman dari pemahaman terhadap pembicaraan dua Guru
(Rafi’i dan Nawawi) di sini.
Ibnu Rif’ah Qadhi
Abu Thayyib, Al-Bandaniji dan Al-Qazwini berkata: Untuk keharaman bepergian,
harus ada larangan yang jelas.
Perkataan ini
dinukil oleh Qadhi Ibrahim bin Zhahirah.
Bila
pengutang tersebut mlarat atau tanggungan utangnya belum tiba pembayarannya,
sekalipun telah dekat pembayarannya, maka ia tidak diharamkan bepergian,
-bahkan tidak terlarang-, dengan syarat utangnya masih dalam status muajjal
ketika ia sampai ke tempat yang dihalalkan menggashar salat.
Haram
bepergian untuk jihad dan haji sunah tanpa seizin orangtua yang Islam yaitu
ayah/ibu terus ke atas, sekalipun telah mendapatkan izin dari kerabat yang
lebih dekat hubungannya daripada orangtua yang ada saat itu.
Demikian
pula, tanpa seizin orangtua, diharamkan bepergian untuk berdagang yang ada
kemungkinan besar bisa selamat.
Tidak diharamkan
bepergian untuk menuntut ilmu fardu, walaupun fardu kifayah, misalnya belajar
ilmu Nahwu dan derajat fatwa. Orang yang menuntut ilmu tersebut tidak
diharamkan, sekalipun tidak diizini oleh orangtuanya.
Bila
orang-orang kafir sudah memasuki daerah kita, kaum muslimin, maka jihad
hukumnya fardu ain bagi segenap penduduk daerah itu: Maksudnya, seluruh
penduduk wajib ain mengadakan pembelaan sedapat mungkin.
Pembelaan
ada dua tingkatan:
Pertama, dalam keadaan yang
memungkinkan, penduduk di situ berkumpul menjadi satu serta mengadakan
persiapan perang. Maka, dalam situasi seperti ini, seluruh penduduk wajib
mengadakan pembelaan menurut kekuatan masing-masing, termasuk juga orang yang
semestinya tidak terkena kewajiban jihad, misalnya orang fakir, anakanak,
orang yang masih mempunyai utang, budak dan wanita yang mempunya kekuatan,
yang kesemuanya tanpa menunggu izin dari orang-orang yang tersebut di atas
(orangtua, pemiutang dan seterusnya).
Tanpa izin
dari mereka dalam kondisi seperti ini bisa diampuni, karena menghadapi perkara
baru yang tiada alasan lagi untuk dibiarkan.
Kedua,
dalam keadaan penduduk telah terkepung oleh orang-orang kafir dan mereka tidak
mungkin berkumpul serta mengadakan persiapan perang. Karena itu, barangsiapa
diserang oleh satu orang kafir atau lebih dan mempunyai keyakinan bahwa bila
ia tertangkap akan dibunuh, maka ia wajib mengadakan pembelaan terhadap
dirinya menurut kemampuan, sekalipun ia tidak termasuk orang yang terkena
kewajiban jihad, karena bagi orang Islam ada larangan menyerah kepada orang
kafir.
Beberapa Cabang:
Apabila
tidak mungkin mengadakan persiapan perang dan ia memperkirakan bisa ditahan
atau dibunuh, maka baginya boleh mengadakan perlawanan dan boleh menyerah,
bila ia berkeyakinan bahwa bila menolak menyerahkan diri, maka ia akan dibunuh
dan yakin pula bahwa kaum wanita akan aman dari pemerkosaan bila sampai
tertangkap, Kalau tidak berkeyakinan tentang dua hal ini, maka wajib
mengadakan jihad.
Karena itu, barangsiapa
berkeyakinan atau berprasangka bahwa bila dirinya ditangkap pasti dibunuh,
maka ia dilarang menyerahkan diri, sebagaimana keterangan yang telah lewat.
Bila
orang kafir menawan orang Islam, maka bagi setiap muslim yang mampu
melepaskannya -jika bisa diharapkan kelepasannya- wajib untuk bangkit
menghadapi orang-orang kafir itu.
Apabila seorang
muslim berkata kepada orang kafir: “Lepaskanlah tawananmu, maka aku melepaskan
sekian,” lalu ia melepaskannya, maka si muslim wajib membayar tebusan itu.
Selanjutnya, ia tidak boleh minta ganti kepada orang yang terlepas tersebut,
kecuali bilaia telah memberinya izin memberikan tebusan dirinya, maka muslim
tersebut boleh meminta ganti, sekalipun penebus tidak mensyaratkan ada
permintaan ganti.
Jihad fardu ain bagi orang yang
bertempat tinggal di dalam radius sejauh perjalanan qashar salat dari daerah
yang dimasuki, sekalipun penduduk daerah itu sendiri sudah mencukupi, sebab ia
dihukumi sebagaimana penduduk daerah itu.
Fardu
ain juga bagi orang yang berada di luar jarak perjalanan gashar salat, jika
penduduk daerah dan orang-orang yang berada di sekeliling daerah belum
mencukupi.
Maka, jihad menjadi fardu ain bagi
orang yang berada dalam jarak perjalanan gashar salat, dan fardu kifayah bagi
orang yang lebih jauh dari jarak tersebut.
Haram
bagi orang yang terkena kefarduan jihad, berpaling dari barisan kaum muslimin
ketika terjadi pertempuran dengan barisan musuh, sekalipun ia memperkirakan
kemungkinan besar dirinya akan terbunuh bila masih berada di tempat, sebab
Rasulullah saw. menganggap lan dari barisan perang, adalah salah satu dari
tujuh dosa besar yang merusakkan amal kebaikan.
Apabila
senjatanya hilang dan memungkinkan menyerang musuh dengan melempar batu, maka
ia tidak boleh keluar dari barisan. Dalam masalah iri terdapat pertentangan
hukumnya.
Sebagian ulama memantapi, bahwa apabila
ia memperkirakan kemungkinan besar bila ia masih tetap berada di barisan akan
terbunuh tanpa dapat membunuh dan melumpuhkan musuh, maka ia wajib lari dari
barisan.
(Keharaman tersebut di atas), apabila
jumlah musuh tidak melebitu dua kali lipat jumlah tentara kita. Sebagai
dasarnya, adalah ayat Alqur-an. :
Hikmah
diwajibkan tabah dalam menghadapi musuh yang jumlahnya dua kali lipat, bahwa
orang muslim itu berperang atas dua kebaikan, yaitu mati syahid atau menang
dengan memperoleh harta rampasan perang, sedang orang kafir berperang hanya
untuk memperoleh kemenangan dunia.
Adapun bila
jumlah musuh melebihu dua kali lipat, misalnya 201 melawan 100, maka
diperbolehkan berpaling dari barisan perang secara mutlak.
Segolongan
ulama Mujtahid mengharamkan secara mutlak melarikan diri dari barisan perang,
bila jumlah tentara muslimin mencapai 12.000 orang, sebab disebutkan dalam
suatu hadis: “Dua belas ribu tentara tidak akan dikalahkan dari yang sedikit:
Ayat Alqur-an di atas di-takhshish oleh hadis ini.
Pendapat
Mujtahidin di atas dijawab, bahwa yang dimaksudkan dengan hadis ini adalah
pada galibnya bilangan besar dapat mengalahkannya: karena itu: tiada petunjuk
dalam hadis, bahwa melarikan diri dan barisan perang hukumnya haram atau tidak
haram, sebagaimana hal itu sudah jelas.
Keharaman
berpaling dani barisan perang di atas, bilamana kita (pasukan muslimin) sedang
menyerang musuh, kecuali berpalingnya untuk siasat perang atau menggabungkan
diri dengan pasukan muslimin yang lain, guna meminta bantuannya untuk melawan
musuh: sekalipun pasukan itu Jauh tempatnya.
Dengan
cara penawaran, semua anak turun dan budak-budak -sekalipun budak-budak ini
muslim-, menjadi budak, sebagaimana dijadikan budak pula orang kafir harbi
yang dikalahkan oleh harbi untuk dijadikan budak. Artinya Dengan keadaan
penawaran itu sendiri, maka mereka semua menjadi budak kita dan diperlakukan
sebagaimana harta ghanimah lainnya.
Termasuk
dalam arti “anak turun (anak cucu)”, adalah anak-anak kecil dan para
wanita.
Tidaklah dikenakan had, jika penjarah,
ayah atau tuannya menjimak wanita amat jarahan, sekalipun sebelum diadakan
pemilihan pemilikan, sebab ada syubhat pemilikan terhadap amat itu.
Orang
yang menjimaknya harus ditakzir bila mengetahui keharaman perbuatan yang
dilakukan, (tetapi) tidak bisa diterapkan pada orang bodoh bila kebodohannya
dirasa uzur, lantaran masih muda keislamannya atau hidupnya jauh dari
ulama.
Cabang:
Tawanan
yang belum balig dihukumi Islam secara lahur dan batin, lantaran mengikuti
penawan yang Islam: sekalipun penawanan tersebut berserikat dengan orang
kafir, dan adakalanya lantaran mengikuti salah satu ayah/ibunya, sekalipun
Islamnya telah terjadi sebelum pengandungan anak itu.
Lalu,
bila orang yang dihukumi keislamannya tersebut berikrar kafir setelah ia
balig, maka sejak inilah dihukumi murtad.
Bagi
imam (kepala negara) atau Amir (panglima tinggi angkatan bersenjata) mempunya
hak khiyar di dalam memperlakukan tawanan yang kamil (balig, berakal sehat,
laki-laki dan merdeka) antara empat perkara:
Membunuh
orang dengan cara memenggal kepalanya, bukan cara lainnya:
Membebaskannya:
Tukar-menukar
tawanan perang atau meminta menebus dengan harta . -maka harta seperti ini
wajib menjadi seperlima-, atau meminta mengembalikan persenjataan orang
Islam.
Senjata mereka bisa ditebus dengan
mengembalikan tawanan kita yang pada mereka -menurut pendapat Al-Aujah-, bukan
dengan memberikan harta kepada mereka,
Memperlakukan
mereka sebagai budak. Untuk itu, imam atau wakilnya harus memperlakukan cara
mana saja yang menurut ijtihadnya lebih menguntungkan (bermanfaat) buat kaum
muslimin.
Barangsiapa yang membunuh tawanan yang
tidak kamil, maka ia wajib menanggung harganya, atau kalau membunuh tawanan
yang kamil sebelum imam menentukan pilihan penuliknya, maka ia harus ditakzir
saja.
Orang kafir kamil yang kita tawan, bila; a
memeluk Islam, maka dapat memelihara nyawanya dan dibunuh, sebab tersebut di
dalam hadis Bukhari-Muslim: “Aku diperintah . memerangi manusia sekalian,
sehingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah: Maka bila
mereka telah mengucapkan persaksian itu, adalah berarti memelihara dariku akan
nyawanyawa dan harta mereka, kecuali dengan cara yang sebenarnya (misalnya
karena membunuh setelah memeluk Islam dan hartanya dipungut sebagai zakat).
Pengarang
di sini tidak menyebutkan “dan dapat memelihara hartanya”, sebab keislamannya
setelah ditawan tidak dapat memelihara hartanya bila imam memilih agar dinnya
dijadikan budak: Tidak juga menyebutkan. “anak-anak kecilnya”, sebab telah
diketahui bahwa keislamannya mereka mengikuti orangtuanya sekalipun mereka
menjadi budak ketika berada di daerah musuh.
Apabila
mereka mengikuti keislaman orangtuanya dan mereka adalah anak-anak yang
merdeka, maka mereka tidak boleh dijadikan budak, sebab keterhalangan
pembudakari. terhadap orang yang keislamannya terjadi dalam keadaan dirinya
merdeka.
Dan segi ini, para ulama sependapat,
bahwa orang muslim merdeka yang berada di daerah musuh adalah tidak boleh
ditawan dan dijadikan budak. Atau kalau anak-anak yang mengIkuti keislaman
salah satu orangtuanya tadi budak, maka status kebudakannya tidak menjadi
rusak.
Dari segi ini, apabila kafir harbi
memiliki budak kanak-kanak yang dihukumi Islam lantaran mengikuti salah satu
orangtuanya, adalah boleh ditawan dan dijadikan budak.
(Keislamannya
musuh yang tere tawan adalah menyelamatkan dam dibunuh) dan imam atau wakilnya
masih mempunyai hak khiyar mengenai pembebasan, penebusan atau menjadikannya
budak.
Masalah diperbolehkan penebusan dengan
maksud masih tetap tinggal di daerah musuh, adalah jika orang itu masih
mempunyai keluarga di sana, yang nyawa dan agamanya terjamin dalam hidup di
tengah-tengah keluarganya.
Masuk Islam orang
kafir sebelum kita (kaum muslimin) turun tangan menawannya, adalah bisa
menyelamatkan dirinya dari semua yang disebut di atas dan menyelamatkan
seluruh hartanya, baik yang berada di daerah kita maupun daerah musuh.
Demikian
pula dapat menyelamatkan anak turunnya yang merdeka dan kecil serta yang gila
ketika ditawan, dari pembudakan.
Tidak bisa
menyelamatkan istrinya: Karena itu, bila istrinya ditawan, maka ikatan
pernikahannya terputus seketika, sekalipun pernah dijimak.
Apabila
sepasang suami-istri atau salah satunya tertawan, maka akad nikahnya fasakh,
karena berdasarkan hadis riwayat Muslim: “Sesungguhnya setelah para sahabat
enggan menjimak para tawanan wanita yang bersuami di Perang Authas, maka
turunlah ayat: ‘Dan (diharamkan mengawini) wanita-wanita yang telah bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki’. (Q.S. An-Nisa’: 24)”, Maka yang
diharamkan oleh Allah swt. adalah wanita-wanita yang bersuami, , kecuali
warita-waruta tawanan.
Cabang:
Apabila
tawanan perang yang telah dijadikan budak mendakwakan, bahwa dirinya telah
memeluk Islam sebelum tertawan, maka tidak dapat diterima mengenai pembudakan
dirinya, dan dihukumi muslim semenjak itu, serta dakwaannya bisa ditetapkan
berdasarkan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan.
Apabila
seorang tawanan mendakwa bahwa dirinya muslim (sebelum ditawan), jikaia
terambil dari daerah kita, maka dapat dibenarkan dengan sumpahnya, kalau
diambil dari daerah musuh, maka tidak bisa.
Apabila
seorang kafir harbi telah dijadikan budak dan ia masih mempunyai tanggungan
utang kepada seorang muslim atau dzimmi, maka tanggungannya tidak menjadi
gugur, dan menjadi gugur bila utangnya kepada kafir harbi.
Apabila
kafir harbi berutang kepada kafir harbi atau lainya, atau membeli sesuatu
darinya, kemudian kedua belah pihak atau salah satunya memeluk Islam, maka
tidak gugur, sebab ketetapannya dengan akad yang sah.
Apabila
seorang kafir harbi rusakkan atau menggasab barang milik kafir harbi lainnya,
lalu keduaduanya masuk Islam atau yang merusakkan saja yang memeluk Islam,
maka tiada kewajiban menanggung, sebab ia tidak mengikat suatu akad yang
akibat hukumnya dapat berjalan terus, dan karena kafir harbi bila merusakkan
sesuatu milik orang muslim atau dzimmi, adalah tidak wajib menanggung: maka
lebihlebih harta milik kafir harbi.
Cabang:
Apabila
kafir harbi mengalahkan pemiutang, sayid, istri atau suaminya (yang kesemuanya
juga kafir), maka ia dapat memiliki kafir yang dikalahkan dan gugurlah
utangnya, hulanglah sifat budak yang ada pada dirinya dan tanggallah ikatan
nikahnya, sekalipun kafir yang dikalahkan tersebut kamil (laki-laki merdeka,
balig dan berakal sehat).
Demikian juga, bila
yang mengalahkan tersebut adalah orangtua atau anak, tetapi ia tidak dapat
menjual orang yang dikalahkan (orangtua atau anaknya), sebab mereka merdeka
setelah di tangannya, Lain halnya dengan pendapat As-Samhudi.
Penting:
Guru
kita berkata di dalam Syarhul Minhaj: Benar-benar telah banyak perselisihan
orang-orang dan karangan mereka yang berkaitan dengan warita-wanita atau
laki-laki budak yang diperoleh dari Romawi dan India.
Hasil
kesimpulan pendapat Muktamad dalam mazhab kita: Orang yang diketahui bahwa
dirinya termasuk ghanimah yang belum dibagi lima dan belum dibagi, adalah
dibeli dan segala macam pentasarufan terhadapnya, serta bisa jadi penawan
pertama yang menjualnya adalah seorang kafir harbi atau dzimmi sebab harta
gharnimah yang berada di tangan harbi/dzimmi tidak terkena kewajiban membagi
menjadi lima. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi, bukan hal yang
langka.
Apabila telah dengan jelas diketahui
bahwa yang mengambil tawanan tersebut adalah orang muslim, dengan cara semacam
dicuri atau dijambret, maka tidak boleh dibeli, kecuali menurut pendapat
(Al-Wajhu) yang daif, yang menyatakan bahwa yang tertawan itu tidak boleh
dibagi lima.
Maka menurut pendapat segolongan
ulama Mutakaddimin: “Menurut lahir Alqur-an, Alhadis dan ijmak, adalah
terlarang menjimak waruta tawanan yang diperoleh dari Romawi dan India,
kecuali imam telah mengangkat pejabat pembagi ghanimah dan ia telah bekerja
dengan adil”, adalah nyata diterapkan budak wanita yang diketahui bahwa
penawannya adalah orang Islam serta Amir mereka sebelum pengambilan ghanimah
tidak berkata: “Barangsiapa yang menganbil sesuatu maka itu menjadi miliknya”,
sebab perkataan Amir seperti itu menurut imam tiga (Hanafi, Maliki dan Hambali
rhm.) adalah diperbolehkan, Begitu juga di dalam suatu perkataan Syafi’i
rhm.
Bahkan At-Tajul Fazari mempunyai praduga,
bahwa imam (kepala negara) tidak berkewajiban membagi harta ghanimah dan
membagi limakan, dan ia boleh menghalangi sebagian dari para pengambil
ghanimah (ghanimin), tetapi pendapat ini ditolak oleh pengarang kitab ini dan
lainnya, lantaran menyalahi ijmak.
Jalan keluar
agar ghanimah tidak, dibagi menajdi lima bagi orang yang mendapatkannya:
Mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya bila diketahui (lalu setelah ia
dapat membelinya dengan akad baru dan setelah itu halal dijimak), Bila
pemiliknya tidak diketahui, maka diserahkan kepada qadhi, sebagaimana harta
yang tersia-sia (mal dhai’), yaitu yang tidak bisa diharapkan pemiliknya. Jika
pemiliknya tidak bisa diharapkan, maka menjadi milik Baitulmal, Karena itu,
barangsiapa yang mempunyai hak atas harta itu dan Baitulmal, bolehlah
mengambilnya Demikian menurut pendapat Al-Muktamad.
Dari
situ, maka pendapat yang Muktamad seperti yang telah lewat, bahwa barangsiapa
yang mendapatkan sesuatu dari Baitulmal, yang memang ikut berhak padanya, maka
halal mengambilnya, sekalipun orangorang lain dizaliminya.
Memang,
tapi untuk kewarakan bagi orang yang menjimak wanita amat seperti itu,
hendaklah membelinya kembali dan wakal Baitulmal, karena pada galibnya belum
dibagi lima dan harapan untuk mengetahui pemiliknya sudah tidak ada lagi: yang
karenanya menyadi milik Baitulmal. -Selesai perkataan Guru kita-.
Penyempurna:
Budak
milik kafir harbi apabila melarikan diri, lalu memeluk Islam sekalipun sebelum
terjadi gencatan senjata, atau masuk Islam kemudian melankan sebelum gencatan
senjata, adalah dihukumi merdeka, sekalipun ia tidak hijrah ke daerah kita.
Sebaliknya,
tidak bisa dihukumi merdeka yaitu apabila ia memeluk Islam setelah gencatan
senjata, lalu melarikan diri, tetapi tidak bisa dikembalikan lagi kepada
sayidnya.
Kemudian, bila sayidnya tidak mau
memerdekakannya, maka imam wajib menjualnya kepada orang muslim dan
menyerahkan kepada sayidnya sebesar harganya yang diambilkan dari jatah
kemaslahatan muslimin, lalu imam memerdekakannya atas nama kaum muslimin serta
wala’ mereka bersama.
Bila setelah terjadi
gencatan senjata dan di situ disyaratkan ada pengembalian siapa pun yang
datang kepada kita dari mereka (orang-orang kafir), datang kepada kita seorang
mukalaf yang muslim, maka jika di daerah musuh tidak mempunyai keluarga yang
memberikan koamanan kepada mukalaf tersebut, maka ia tidak boleh dikembalikan
kepada mereka, Kalau mempunyai, maka atas permintaan mereka, bisa dikembalikan
dengan melepaskan antara dirinya dan orang yang menuntut, tanpa dipaksa
kembali bersama-sama yang meminta (menuntut) nya.
Demikian
pula, tidak dikembalikan anak kecil dan orang gila, baik mengucapkan syahadat
atau tidak: begitu juga dengan wanita dan banci, mereka tidak boleh
dikembalikan kepada orang-orang kafir, sekalipun kepada semacam ayah, sebab
kelemahan mereka semua.
Mereka wajib membayar
kepada kita harga budak yang murtad, bukan orang merdeka yang murtad.
BAB PERADILAN - بَابُ الْقَضَاءِ
Lafal Al-Qadha’ dibaca mad (panjang), yang artinya “menghukumi
sesama menusia”.
Dasar hukumnya sebelum ijmak adalah firman Allah
swt.: “Dan hendaklah kalian menghukumi di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah.” (Q.S. AlMaidah: 49), dan firman-Nya: “maka hukumlah di
antara mereka dengan adil.” (Q.S. Al-Maidah: 42).
Beberapa hadis,
misalnya hadis riwayat Bukhani-Muslim: “Apabila seorang hakim hendak
memutuskan suatu hukum, lalu berijtihad dan ijtihadnya benar. maka ia
memperoleh dua pahala, dan bila hendak menghukumi, lalu berijtihad dan salah
dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala.
Dalam riwayat
yang lain sebagai ganti dari kalimat pertama tersebutkan: “.., maka ia
memperoleh sepuluh pahala.” ,
Imam An-Nawawi berkata di dalam
Syarah Muslim: Kaum Muslimin sudah berijmak, bahwa yang dimaksud dengan hakim
di sini adalah hakim yang alim lagi pula mujtahid. Adapun hakim yang tidak
begitu, maka ia berdosa dalam semua putusan hukumnya sekalipun benar, sebab
kebenarannya hanyalah ketetapan saja.”
Tersebut di dalam hadis
sahih: “Qadhi itu ada tiga macam, satu masuk ke surga dan yang dua masuk ke
neraka.”
Yang pertama ditafsiri dengan qadhi yang mengetahui kebenaran, lalu
menghukumi dengan Yang benar itu, sedang dua yang lainnya adalah qadhi yang
tahu kebenaran dan menyimpang darinya, dan qadhi yang menghukumi dengan
kebodohannya.
Mengenai hadis yang memberikan
peringatan terhadap jabatan qadhi, misalnya: “Barangsiapa diangkat menjadi
qadhi, maka ia betul-betul disembelih tanpa menggunakan pisau”, adalah
dihubungkan dengan arti besar bahaya di dalam jabatan itu, atau kepada orang
yang makruh/ haram memegang jabatan itu.
Penerimaan
jabatan sebagai qadhi oleh beberapa orang yang patut menjabatnya dalam suatu
wilayah keqadhian adalah fardu kifayah, bahkan termasuk golongan fardu yang
utama, sehingga Al-Ghazali : berkata, bahwa menjabat menjadi qadhi adalah
lebih utama daripada berjihad. Karena itu, jika mereka yang patut menjabat
menjadi qadhi kesemuanya menolak, maka berdosa semua.
Adapun
pengangkatan oleh imam/ wakilnya terhadap seorang di antara mereka yang patut
menjabatnya dalam-satu kawasan wilayah, adalah fardu ain bagi pemegang
kekuasaan (Dzi Syaukhah).
Dalam setiap radius
jarak Adwa tidak boleh kosong dari seorang qadhi (jarak Adwa adalah suatu
jarak bila seseorang berangkat dengan menaiki unta yang bermuatan sejak fajar
terbit dan rumahnya menuju ke tempat qadhi, bisa kembali lagy ke rumahnya pada
hart Itu juga setelah secukupnya mengajukan dakwaan, jawaban, pengemukakan
bayinah yang ada di tempat dan penyidikannya)
Cabang:
(Untuk
menjabat sebagus qadhi) harus ada pengangkatan dar imam atau orang yang diben
ian untuk mengangkat, sekalipun untuk seseorang yang dirinya terkena hukum
fardu Ain menjabat sebagai qadhi.
Apabila tidak
ada imam, maka pengangkatannya dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi (yaitu semacam
anggota DPR dar MPR) di daerah setempat atau sebagian dari mereka atas
kerelaan anggota yang lain.
Apabila qadhi
diangkat oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi salah satu penjuru dani suatu daerah, maka
ia sah untuk qadhinya penjuru tersebut, bukan penjuru yang lain.
Di
antara pernyataan pengangkatan yang sharih adalah: “Aku mengangkatmu sebagai
qadhi/ Aku serahkan kepadamu jabatan qadhi”. Sedang di antara pernyataan
kinayahnya: Aku berpegang/berpedoman kepadamu dalam masalah keqadhian.
Disyaratkan
ada qabul secara lafal: demikian pula disyaratkan dengan seketika bagi orang
yang berada di tempat dan ketika berita pengangkatan dirinya diterima bagi
orang yang tidak berada di tempat. Segolongan ulama Muhaqqiqun berkata:
Syaratnya adalah tidak ada penolakan jabatan.
Barangsiapa
dirinya terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi di suatu wilayah, maka
ia wajib menerimanya, Demikian pula wajib menuntutnya, sekalipun dengan
memakan biaya dan mengkhawatirkan dirinya akan menyimpang.
Bila
dirinya tidak terkena hukum fardu ain di situ, maka bagi Mafdhul (orang yang
di bawah lebih utama) menyanggupi dan memintanya bila yang lebih utama
menjabat menolak Haram meminta jabatan qadhi dengan memecat orang yang patut
menjabatnya, sekalipun yang terpecat itu Mafdhul.
Syarat
qadhi adalah orang yang dapat memegang syahadah (persaksian), Yaitu laki-laki
muslim, mukalaf, adil, merdeka, dapat mendengar -sekalipun dengan dikeraskan
suararryadan yang dapat melihat.
Karena itu,
orang yang tidak memenuhi syarat di atas tidak dapat diangkat menjadi
qadhi.
Orang yang buta adalah orang yang melihat
sesuatu, tetapi tidak dapat membedakan apa dan siapanya (samar), sekalipun
dekat. Lain halnya orang yang dapat membedakan rupa bila berada di jarak dekat
dengan yang dilihat, yaitu sekira dapat mengenalinya, sekalipun dengan usaha
sungguh dan meneliti yang cukup lama, sekalipun tidak dapat membaca
tulisan.
Ada pendapat yang dipilih mengenai
kesahan pengangkatan qadhi terhadap orang buta.
(Disyaratkan
lagi) mumpuni untuk memegang jabatan qadhi. Karena itu, pelupa dan orang yang
rusak pikirannya sebab tua atau sakit, adalah tidak dapat diangkat menyadi
qadhi.
Juga disyaratkan harus seorang mujtahid.
Karena itu, tidak sah mengangkat orang yang bodoh dan orang yang taklid,
sekalipun hafal terhadap mazhab imamnya, sebab ketidakmampuan seorang mugallid
memecahkan hal-hal yang rumit di dalam mazhabnya sendiri.
Mujtahid
adalah: Orang yang mengetahui hukum-hukum Alqur-an, dari segi Am dan Khashnya,
mana yang Mujmal dan yang Mubayyan, mana yang Mutlak dan Mugayyad, Nash dan
Zhahir, mana yang Nasikh dan yang Mansukh, serta yang Muhkam dan mana yang
Mutasyabih
Mengetahui hukum-hukum hadis dan segi
Mutawatir, yaitu hadis yang banyak jalur nwayatnya, Ahad, yaitu hadis yang
bukan Mutawatir, yang Muttashul, -yaitu hadis yang rawinya bersambung sampai
pada Rasulullah saw. dan ini disebut Marfu’, atau bersambung sampai para
sahabat dan iru berstatus Mauquf-, dan yang Mursal, -yaitu ucapan tabiin:
“Rasulullah saw. bersabda begiru atau berbuat begini”-.
Mengetahui
keadaan rawi hadis dari segi yang kuat dan lemahnya.
Adapun
hadis yang mencapai derajat Mutawatir dan para ulama salaf sepakat untuk
menerimanya, adalah tidak perlu dibahas lagi keadilan perawinya.
Seorang
Mujtalud cukup berpegang dengan pen-ta’dil-an (penilaian bahwa perawi itu
adil) yang telah diberikan oleh ahli hadis, yang mana Mujtahid tersebut
mengetahui kesahan mazhab yang diikuti oleh ahli hadis tersebut dalam masalah
Tajrih (penilaian ketidakadilan perawi) dan ta’dil.
Di
saat menemukan dalil yang bertentangan (Ta’arudh), maka
dimenangkan’/didahulukan dalil yang Khash atas Am, dalil Muqayad atas Mutlak,
dalil Nash atas Zhahir, dalil Muhkam atas Mutasyabih, Nasikh/ Muttashil/Qawi
atas kebalikannya.
Hukum-hukum seperti itu yang
dimaksud tidaklah cukup hanya dengan 500 ayat Alqur-an dan 500 hadis, Jain
halnya dengan pendapat yang menduga kecukupannya.
Mengetahui
kias dengan tiga macam: Kias Jali, yaitu sesuatu yang dapat dipastikan tidak
ada perbedaan antara Asal dan furuk (cabang), misalnya memukul orangtua
djkiaskan dengan berkata kasar kepadanya, Kias Musawi, Yaitu kias yang di situ
jauh adanya pembeda, misalnya membakar harta anak yatim dikiaskan dengan
memakannya, dan Kias Adwan, Yaitu kias yang tidak jauh di situ ada pembeda,
misalnya jagung dikiaskan dengan gandum dalam masalah riba, samasama bentuk
makanan.
(Syarat Mujtahud lagi) mengetahui hahasa
Arab dari segi Balaghah, nahwu, Sharaf dan Lughat.
Mengetaui
kaul-kaul ulama dari kalangan para sahabat dan sesudahnya, sekalipun dalam
masalah pembicaraan yang berkaitan dengan keqadhian saja, agar pendapatnya
nanti tidak bertentangan dengan mereka.
Ibnush
Shalah berkata: Terkumpulnya semua syarat di atas hanyalah bagi Mujtahid
Mutlak yang akan berfatwa dalam seluruh Bab Fikih.
Adapun
Mujtahid Muqayad yang tidak melewati dari mazhab imamnya, maka dia hanya
disyaratkan mengetahui kaidah-kaidah imam mazhabnya, dan hendaknya di dalam
menghadapi kaidah-kaidah tersebut dia memperhatikan hal-hal yang telah
diperhatikan oleh Mujtahid Mutlak dalam menghadapi undang-undang syarak.
Hubungan Mujtahid Muqayad terhadap Mujtahid Mutlaknya adalah sebagaimana
hubungan Mujtahid Mutlak terhadap nash-nash syarak.
Karena
itu, bagi Mujtahid Muqayad tidak boleh menyimpang dari nash: imam mazhabnya,
sebagaimana Mujtahid Mutlak tidak diperbolehkan menyimpang dari nash syarak.
Selesai.
Kemudian, bila sultan walaupun kafir
atau Dzu Syaukhah selain sultan pada suatu daerah, sebagaimana suatu daerah
berada di tangan Dzu Syaukah mengangkat qadhi yang bukan ahlinya, misalnya
Muqallid, bodoh atau fasik, sedangkan ia mengetahui kefasikannya, atau dengan
memperkirakan keadilannya, di mana bila ia mengetahui kefasikannya pasti tidak
mengangkatnya, maka menurut Guru kita adalah hukum yang diputuskan oleh qadhi
seperti itu tidak berlaku, dan demikian pula bila kefasikannya bertambah atau
mengerjakan kefasikan yang lainnya, di siri masih diragukan masalahnya.
Selesai.
Sebagian fukaha ada yang memantapi,
bahwa pengangkatan terhadap qadhi yang fasik adalah berjalan terus, sekalipun
Sultan/Dzu Syaukah yang mengangkatnya tidak mengetahui kefasikannya. Begitu
juga berjalan terus pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah
terhadap budak, wanita dan orang buta, sekalipun di daerah tersebut terdapat
seorang Mujtahid yang adil, menurut pendapat Muktamad.
Karena
itu, sebab darurat agar kemaslahatan orang banyak tidak terbengkalai, maka
putusan hukum qadhi yang diangkat tersebut bisa berlaku, sekalipun banyak
ulama yang menentangnya dalam kaitan dengan qadhi fasik, dan secara
panjang-lebar mereka menguraikannya, serta dibenarkan oleh Az-Zarkasyi.
Guru
kita berkata: Berlakunya pengangkatan yang dilakukan oleh Sultan/Dzu Syaukah
terhadap Muqallid terhadap kaitannya adalah bila di daerah situ ada seorang
Mujtahud, (tetapi) bila di situ terdapat seorang Mujtahid, maka pengangkatan
terhadap gadlu yang Muaallid bisa berlaku, sekalipun yang melaksanakan
(melantik) adalah bukan Dzu Syaukah, Demikian pula pelantikan terhadap qadhi
fasik Bila di situ terdapat orang yang adil, maka disyaratkan pengangkatannya
oleh Dzu Syaukah dan kalau tidak terdapat, maka tidak disyaratkan.
Rincian
di atas sebagaimana yang diambil dari ucapan Ibnur Rif’ah: Yang benar, bahwa
apabila di situ tidak terdapat orang yang patut menjabat sebagai qadhi, maka
secara pasti adalah sah pengangkatan terhadap orang yang tidak patut.
Menurut
pendapat Al-Aujah: Qadhi yang terangkat karena darurat, adalah bisa menghukumi
berdasarkan pengetahuannya, berhak memelihara harta anak yatim dan menulis
surat kepada qadhi lain, Lain halnya menurut pendapat Al-Hadhrami.
Segolongan
ulama Mutaakhirin menjelaskan, bahwa qadhi darurat itu dalam segala putusan
hukumnya adalah harus berdasarkan pedoman, dan tidak bisa diterima ucapannya:
“Kuputuskan hukumnya begini”, tanpa menyebutkan dasar yang digunakan
memutuskan.
Apabila si terdakwa memohon kepada
qadhi untuk dijelaskan siapa para saksi yang menguatkan dakwaan atas dirinya,
maka qadhi wajib menjelaskan semua, kalau tidak, maka putusan yang diberikan
tidak berlaku.
Cabang:
Sunah
bagi imam (kepala negara) apabila mengangkat seorang qadhi, hendaknya
mengizinkan pula untuk mengangkat pembantunya.
Bila
pengangkatan oleh imam diberikan secara mutlak, maka qadhi yang terangkat
diperbolehkan mengangkat pembantu untuk menangani urusan-urusan yang dirinya
tidak mampu menanganinya, bukan urusan selain itu, menurut pendapat
Al-Ashah.
Penting:
Qadhi
yang Mujtahid bisa menghukumi berdasarkan ijtihadnya sendin, atau berdasarkan
ijtihad imam yang ditaklidi jika ia seorang muqallid.
Kesesuaian
pembicaraan Guru kita, bahwa qadhi mugallid tidak boleh memutuskan hukum
berdasarkan selain mazhab yang ditaklidi. Imam Al-Mawardi dan lainnya berkata:
Boleh.
Ibnu Abdis Salam, At-Adzra’i dan lainnya
mengompromikan dua perdapat di atas, dengan menerapkan pendapat pertama kepada
qadhi yang belum sampai pada derajat Mujtahid di dalam mazhab imamnya: dengan
kata lain, bahwa dia adalah muqallid murri yang tidak mampu meneliti dalam
mazhab yang diikuti, sedang pendapat kedua diterapkan kepada qadhi yang mampu
untuk melakukan hal tersebut.
Ibnur Rif’ah
menukil dari Ashhabusy Syafi’i bahwa seorang hakim . mugallid apabila
nyata-nyata hukum yang diputuskan itu menyelisihi nash imam mazhabnya, maka
hukumnya rusak. Pendapat ini cocok dengan pendapat An-Nawawi di dalam
ArRaudhah, begitu juga oleh As-Subki.
Al-Ghazali
berkata: Hukumnya tidak rusak: pendapat ini diikuti oleh Ar-Rafi’i dalam
pembahasan di tempat yang lain dan oleh Guru kita di dalam sebagian
kitab-kitab beliau.
Faedah: Bermazhab
Apabila
seorang awam (‘Ami) berpegang pada suatu mazhab tertentu, maka ia wajib
bersesuaikan dengannya. Kalau tidak berpegangan dengannya, maka ia wajib
bermazhab dengan salah satu dari keempat mazhab, bukan lainnya.
Kemudian,
sekalipun telah mengamalkan satu mazhab, baginya boleh pindah ke mazhab yang
lainnya dalam secara totalitas atau beberapa masalah saja, dengan syarat tidak
mengambil mana yang ringan darisetiap mazhab, sebab dengan cara – memilih
seperti ini dihukumi fasik menurut-pendapat Al-Aujah.
Tersebut
di dalam kitab Al-Khadim (milik Az-Zarkasyi) yang dinukil dari sebagian ulama
yang lebih berhati-hati: Yang lebih utama bagi orang yang mempunyai penyakit
was-was, adalah mengambil pendapat yang lebih ringan dan rukhsah dari setiap
mazhab, agar dengan begitu penyakitnya tidak bertambah parah dan tidak keluar
dari aturan syarak, sedang bagi yang tidak waswas, adalah mengambil pendapat
yang berat, agar tidak keluar dari status diperbolehkan.
(Syarat
untuk berpindah mazhab lagi) tidak mengumpulkan dua kaul (talfiq) satu.
hakikat ibadahnya, di mana kedua kaul (mazhab) tidak sependapat mengenai
hukumnya (misalnya, taklid kepada Imam Syafi’i dalam mengusap sebagian kepala
ketika berwudu dan taklid kepada Imam Malik mengenai kesucian anjing, untuk
satu salat).
Tersebut di dalam Fatawi Guru kita:
Barangsiapa bertaklid kepada seorang imam mazhab dalam satu masalah, maka
baginya diwajibkan mengikuti imam tersebut di dalam masalah tersebut dan
hal-hal yang bersangkut-paut dengan masalah itu.
Karena
itu, orang yang berpaling dari Ainul Ka’bah dan mengerjakan salat dengan
menghadap arah (jihat) Ka’bah karena mengikuti Abu Hanifah, maka di dalam
berwudu orang tersebut wajib mengusap kepala seukur ubun-ubun, setelah berwudu
badan orang tersebut tidak pendarahan dan sebagainya (yaitu syarat-syarat sah
salat dan yang membatalkannya menurut Abu Hanifah), Kalau mengikuti aturan di
atas kesepakatan dua mazhab. Karena itu, hendaknya diperhatikan hal ini!
Selesai.
Pendapat seperti itu dicocoki oleh
Al-Allamah Abdullah Abu Makhramah Al-Adani, dan beliau mbnambahi dengan
perkataannya: Syarat yang telah kami tuturkan tersebut benar-benar telah
dijelaskan tidak hanya seorang ulama saja dari kalangan Muhqqiqin Ahli Ushul
Fikih dan Fikih: Di antaranya: Ibnu Daqiqul ‘Id dan As-Subuki, dan di dalam
At-Tamhid, An-Nawawi menukil dari Al-Iraqi, Aku berkata, bahwa Ar-Rafi’i
menukilnya dari. Al-Qadhi Husain di dalam kitab Al-Aziz. Selesai.
Guru
kita Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad berkata di dalam Fatawinya: Sesungguhnya apa yang
kami pahami dari contoh-contoh yang diberikan fukaha, bahwa penggabungan dua
mazhab yang merusakkan sistem taklid itu hanya dalam penerapannya pada satu
qadhiyah saja (misalnya wudu satu qadiyah dan talat satu qadhiyah)
Di
antara contoh-contoh yang mereka kemukakan: Apabila seorang laki-laki berwudu
dan menyentuh kulit wanita yang bukan mahram karena bertaklid kepada Abu
Hanifah, lalu berbekam sebab bertaklid kepada Syafi’i, setelah itu mengerjakan
salat, maka salatnya batal, sebab kedua imam tersebut sudah sama-sama
menghukumi kebatalan wudu tersebut. Demikian pula bila ia berwudu, lalu
memegang kulit wanita sebab taklid kepada Imam Malik, (tetapi) ketika berwudu
ja tidak menggosok -karena taklid kepada Imam Syafi’i-, lalu mengerjakan
salat, maka salatnya tidak sah, sebab kedua imam tersebut samasama menghukumi
kebatalan thaharah seperti itu.
Lain halnya bila
penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah, maka menurut yang lahir hal itu
tidak mencacatkan (merusak ) taklid, misalnya orang yang berwudu dengan
mengusap sebagian kepala (karena bertaklid kepada Imam Syafi’i), lalu
mengerjakan salat dengan menghadap jihat (arah) kiblat -karena bertaklid
kepada Abu Hanifah-, maka menurut pendapat yang lahur, salat orang tersebut
tetap sah, sebab dalam menghukumi kebatalan wudu orang itu.
Karena
perselisihan Imam Syafi’i dengan Imam Hanafi dalam hal wudu di atas yang
berdikari sendinsendiri, tidaklah dapat dikatakan bahwa mereka berdua sepakat
dalam kebatalan salat orang tersebut, sebab kami berpendapat: Kesepakatan ini
adalah timbul dari penggabungan dua mazhab dalam dua qadhiyah (dua penerapan
ibadah, yaitu wudu dengan salat), sedang yang kami pahanu bahwa hal seperti
itu tidak merusak kesahan taklid.
Adapun yang
semisal dengan itu adalah: Bila seseorang bertaklid kepada Imam Ahmad (mazhab
Hambali) dalam masalah aurat, yaitu qubul dan dubur, dan (dalam berwudu)ia
tidak berkumur, menyesap air ke dalam hidung dan membaca Basmalah yang semua
ini menurut Imam Ahmad hukumnya wajib, maka menurut yang lahir bahwa salat
yang dikerjakan oleh orang di atas adalah sah bila ia bertaklid kepada Imam
Ahmad dalam masalah aurat saja, sebab kedua imam (Syafi’i dan Ahmad bin
Hambali) tidak sepakat atas kebatalan wudu orang tersebut, yang mana wudu itu
satu qadhiyah, dan kesepakatan dua imam tersebut atas kebatalan salat tidaklah
merusakkan taklidnya, sebab penggabungan dua mazhab di sim pada dua qadhiyah
(wudu dan salat), di mana hal iri tidak merusak taklid, sebagaimana yang kami
pahami dari contoh-contoh yang Dipaparkan mereka.
Sungguh
aku telah melihat/mengetahu di dalam Fatawi Al-Bulqini Keterangan yang cocok,
bahwa penggabungan dua mazhab dalam dua gadinyah adalah tidak merusak taklid
-Selesai perkataan Ibnu Ziyad secara nngkas
Penyempurnaan:
Wajib
bagi orang yang memerlukan mengetahui suatu hukum, untuk memohon fatwa orang
alim yang adil lagi punya kepandaian berfatwa. Kemudian, bila menemukan dua
orang ahh fatwa, maka jika ia mempunyai keyakinan bahwa salah satunya lebih
alim, maka ia wajib mendahulukannya.
Imam Nawawi
di dalam Ar-Raudhah berkata. Bagi Mufti dan pengamal di dalam mazhab kita,
dalam masalah yang mempunyai beberapa wajah atau dua kaul, tanpa
diperselisihkan lagi, bahwa ia tidak diperbolehkan berpegangan pada salah satu
pendapat (kaul/wajah)tersebut tanpa meneliti terlebih dahulu, akan tetapi ia
wajib membahas mana yang lebih rajih dengan semacam kelebihakhuran kaul/wajah
tersebut, sekalipun dua kaul/wajah itu mulik satu imam Selesai.
Diperbolehkan
dua orang mengangkat Muhakkam (orang yang dimintai memutuskan hukum) kepada
seorang laki-laki yang mempunyai kecakapan memutuskan hukum, sekalipun bukan
karena telah terjadi percekcokan, sebagaimana di dalam masalah nikah.
Bukan
hanya orang tertentu yang ahli dalam kondisional saja Lain halnya dengan
pendapat segolongan ulama Mutaakhkhirun. Pengangkatan tersebut sekalipun di
situ terdapat seorang qadhi yang ahli, lan halnya dengan pendapat yang ada di
dalam Ar-Raudhah.
Adapun orang yang tidak
mempunyai keahlian, maka tidak boleh diangkat menjadi Muhakkam, bila di situ
sudah ada seorang qadhi yang ahli. Kalau tidak terdapat, maka boleh
mengangkatnya sekalipun dalam masalah rukah dan di situ terdapat seorang
mujtahid, sebagaimana yang dimantapi oleh Guru.kita di dalam kitab Syarah
Minhaj dengan mengikuti Guru beliau, Syekh Zakana Al-Anshari.
Tetapi
menurut fatwa Guru beliau di atas, bahwa Muhakkam yang adil adalah tidak boleh
mengijabkan nikah, kecuali bila qadhi tidak ada yang walaupun bukan ahli.
Secara
mutlak tidak boleh mengangkat seorang yang tidak adil menjadi Muhakkam.
Hukum
yang diputuskan oleh Muhakkam tidak berlaku, kecuali dengan ada kerelaan dari
kedua belah pihak yang bersengketa dalam hukum itu secara lafal, bukan dengan
diam. Karena itu, dipertimbangkanlah kerelaan suami-istri bersama-sama dalam
masalah nikah. Memang, telah cukuplah dengan diam seorang gadis sewaktu
dimintai izinnya dalam pengangkatan Muhakkam.
Tidak
boleh mengangkat Muhakkam dalam keadaan wali rukah tidak ada di tempat,
walaupun melebilu jarak gashar salat, jika di situ terdapat seorang qadhi
-lain halnya dengan pendapat Ibnul Imad-, sebab qadhi adalah sebagai ganti
dari wali, lain halnya dengan Muhakkam.
Muhakkam
diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya sendiri, menurut
pendapat Al-Aujah (yaitu menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, sedang menurut Ramli
adalah tidak boleh).
Qadhi dihukumi terlepas darr
jabatannya karena telah sampai berita pemecatan dirinya, sekalipun berita dari
seorang laki-laki yang adil.
Naib qadhi
(pengganti qadhi) dalam masalah umum ataupun khusus, adalah terlepas dari
jabatannya karena telah sampai padanya berita pemecatan dirinya oleh qadhi
yang mengangkatnya sebagai naib, atau telah sampai padanya berita pemecatan
oleh imam kepada qadhi yang telah mengangkat dirinya, bila imam memberikan
izin kepada qadhi itu mengangkat seorang naib dani dinnya, atau memberikan
izin secara mutlak.
Tidak terpecat, bila Naib
qadhi adalah sebagai Naib imam, misalnya imam berbakat: “Angkatlah pengganti
dariku”, maka dengan terpecatnya qadhi, naib qadhi tidak ikut terpecat.
Hanya
saja qadhi dan narbnya mulai terlepas jabatannya dengan sampainya berita
kepadanya, sebagaimana yang dipahami dari kata-kata: “Qadhi dihukimu lepas
dari jabatannya” di atas, bukan sebelum sampai berita kepadanya, sebab besar
mudarat yang terjadi dalam rusaknya keputusan hukum, andaikata dihukumi lepas
jabatan (terpecat), sebelum berita pemecatan sampai kepadanya.
Lain
halnya dengan wakil, maka ia terpecat dari status wakil sejak dinyatakan
terpecat, sekalipun berita itu belum sampai kepadanya.
Barangsiapa
mengetahui keterpecatan seorang qadhi, maka putusan hukumnya terhadap orang
itu tidak berlaku, kecuali bila rela/menerimanya (ini pun) dalam hal-hal yang
bisa di-Tahkim-kan penyelesaian hukumnya
Qadhi
dan naib qadhi dihukum terpecat dari jabatannya dengan salah satu dari
beberapa hal Mengundurkan diri, sebagaimana pula sang wakil.
Terkena
penyakit gila atau ayan, sekalipun hanya sebentar masanya.
Berbuat
kefasikan. Maksudnya, qadhi yang imam/Dzu Syaukah waktu mengangkatnya tidak
mengetahui, bahwa si qadhi itu fasik atau tambahan dari kefasikannya, maka
bisa lepas jabatannya dengan kefasikannya.
Apabila
hal-hal di atas (gila, ayan atau fasik) hilang, maka jabatannya tetap tidak
bisa kembali lagi, kecuali karena ada pengangkatan baru, menurut pendapat
Al-Ashah.
Imam boleh memecat qadhi yang tidak
terkena hukum fardu ain dalam jabatan keqadhiannya, jika telah nyata ada
kecacatan yang tidak sampai mengharuskan untuk memecatnya, misalnya banyak
orang yang resah karenanya, sebab ada qadhi yang lebih utama, dan demi
mengambil langkah maslahatnya, misalnya untuk memadamkan fitnah, baik qadhi
memecatnya dengan menggantikan qadhi yang setingkat atau di bawahnya.
Bila
tidak terdapat sebab seperti di atas, maka bagi imam tidak boleh memecatnya,
sebab pemecatan seperti ini adalah main-main, namun pemecatan tetap
berlaku.
Adapun bila jabatan qadhi yang dipegang
itu hukumnya fardu an baginya, misalnya di situ tidak ada orang yang patut
menjabatnya selain dirinya, maka imam/Dzu Syaukah haram memecat dan pemecatan
tdak berlaku. Demikian pula tidak berlaku pengunduran dirinya.
Lan
halnya dalam masalah yang bukan seperti itu, maka pengunduran dinnya berlaku,
sekalipun orang yang mengangkatnya tidak mengetahuinya
Qadhi
tidak menyadi terpecat sebab meninggal atau terpecat imam A’zham (kepala
negara), sebab sangat besar mudarat yang terjadi dengan mengabaikan
peristiwaperistiwa baru yang terjadi.
Dikecualikan
dari “imam”, bila yang meninggal adalah qadhi: maka seluruh naib qadhi
terpecat karena meninggal si qadhi.
Ucapan
seorang qadhi yang masih menjabat: “Kuputuskan hukumnya begini …”, di mana ia
mengucapkan di luar wilaydh kekuasaannya yang tidak menjadi jangkauan
tugasnya, adalah tidak bisa diterima, sebab ia tidak mempunyai hak menghakimi
di luar wilayah kekuasaannya, mika ikrar mengenai hukum itu pun tidak
berlaku.
Dari lahirnya pembicaraan ulama,
Az-Zarkasyi mengambil kesimpulan bahwa seorang qadhi diangkat dalam suatu
daerah Balad, maka kekuasaannya tidak mencakup daerahdaerah persawahan dan
perkebunan Karena itu, bila qadhi yang berada di salah satu persawahan atau
perkebunan mengawinkan wanita yang berada di daerah Balad, atau sebaliknya,
rikahnya tidak sah Ada yang mengatakan Di siru perlu ada penelitian
Guru
kita berkata: Penelitian ini adalah jelas, bahkan pendapat yang berwajah,
bahwa kalau diketahui ada adat keikutsertaan daerah persawahan/perkebunan pada
daerah Balad/tidak ikut, maka itulah yang dipegangi: Kalau tidak diketahui,
maka apa yang dikemukakan oleh Az-Zarkasyi, adalah pendapat yang ber-wajah,
karena mencukupkan dengan nash Syafi’i dalam masalah wilayah.
Ucapan
Al-Minhaj memberikan kepahaman, bahwa qadhi yang tengah berada di luar
kekuasaan adalah seperti terpecat, Tasaruf yang menjadi wewenangnya menyadi
tidak berlaku: misalnya menyewakan harta wakaf yang nazhirnya dipegang oleh
qadhi, menjual harta anak yatim dan menetapkan tugas seseorang Kata Guru kita
Kepahaman tersebut sudah jelas.
Sebagaimana pula
tidak dapat diterima, ucapan ” Saya memutuskan hukum begini”, yang diucapkan
oleh qadhi setelah terpecat: atau muhakkam setelah pisah dari majelis hukum,
sebab dalam keadaan seperti Ini ia tidak mempunyat hak mengeluarkan putusan
hukum. Dengan demikian, ikrarnya mengenai hukum pun tidak dapat diterima.
Tidak
dapat diterima pula persaksian dari qadhi yang telah terpecat/ muhakkam
setelah pisah dari majelis, mengenai keputusan hukumnya, sebab berarti
memberikan persaksian terhadap dirinya sendiri, kecuali bila ia memberikan
persaksian mengenai keputusan hukum dani seorang hakim serta qadhi (yang
menangani persaksian ini) tidak mengetahw kalau putusan hukum adalah putusan
mantan qadhi/ Muhakkam, maka kesaksian (syahadah)nya dapat diterima bila ia
tidak fasik.
Bila qadhi yang menangani
persidangan in mengetahui kalau itu adalah hukum keputusan mantan
qadhi/muhakkam, maka syahadahnya tidak dapat diterima, sebagaimana kalau
secara jelas ia menyebutkannya (mengakuinya).
Mengenai
ucapan qadhi: “Kuputuskan hukum begini”, yang sebelum dirinya terpecat dan di
dalam wilayah kekuasaan hukumnya, adalah bisa diterima, sekalipun ia berkata
“menuyut pengetahuanku”, sebab dalam kondisi seperti ini, dia berhak
mengeluarkan keputusan hukum.
Sehingga andaikata
atas jalan penentuan hukum ia berkata: “Wanita-wanita Mahshurah -misalnya 100
ini-, di kampung ini adalah terjatuhkan talaknya”, maka tetap bisa diterima:
kalau qadhi itu seorang mujtahid, sekalipun mujtahid mazhab.
Qadhi
sidak boleh mengikuti putusan hukum qadhi sebelumnya (yang walaupun) patut
memegang jabatan qadhi.
Qadhi wajib memperlakukan
secara sama antara pihak terdakwa dan pendakwa, di dalam menghormatinya,
sekalipun antara keduanya tidak sama dalam status sosial, dalam menjawab
salam, memandang, dan memperhatikan ucapan, mimik muka qadhi itu sendiri dan
berdiri untuk menghormati mereka.
Karena itu,
qadhi tidak boleh mengistimewakan di antara mereka dalam hal-hal tersebut di
atas.
Apabila salah satu pihak mengucapkan salam
kepadanya, makaia wajib menunggu salam yang satunya, di waktu tenggang antara
salam dengan jawab diampuni adanya karena darurat: atau ia memerintahkan
kepada yang satu: “Ucapkan salam”, guna menjawab salam mereka bersama-sama.
Qadhi
diperbolehkan bergurau dengan salah satu dari mereka, sekalipun mempunyai
kemuliaan yang melebihinya lantaran ilmu atau kemerdekaan (bukan budak ).
Yang
lebih utama adalah mempersilakan duduk kedua belah pihak di depan qadhi.
Cabang:
Apabila
banyak pendakwa yang lapor kepada qadhi, maka baginya wajib mendahulukan
penanganannya kepada orang yang lebih dulu datangnya, lalu yang dahulu sesudah
itu, sebagaimana pula kewajiban seorang mufti dan guru: ia wajib mendahulukan
orang yang dahulu datangnya.
Bila kedatangan
mereka bersamasama, atau tidak bisa diketahui mana yang lebih dahulu, maka dia
wajib mengundi mereka. Guru kita berkata: Sudah jelas, bahwa orang yang
meminta fatwa/pelajarari masalah fardu ain, sedangkan waktunya telah sempit
pelaksanaannya, maka ia wajib didahulukan, sebagaimana dengan seorang
musafir.
Sunah ruang persidangan itu keadaannya
luas dan terbuka jelas.
Makruh menjadikan mesjid
sebagai pengadilan umum, karena demi menjaga dari keramaian dan suara keras.
Memang, bila satu atau dua kasus (dihadapkan kepadanya) bertepatan ia berada
di dalam mesjid, maka tidak mengapalah bila diselesaikan di situ.
Haram
bagi qadhi menerima hadiah dari seseorang yang sebelum ia menjadi qadhi tidak
terbiasa mem. berikan hadiah kepadanya atau telah terbiasa, tetapi sekarang
menambah ukuran atau keadaan hadiahnya, jika itu dilakukan di dalam daerah
kekuasaannya.
Haram juga menerima hadiah dari
orang yang tengah menanggung urusan di bawah tangannya atau dari orang yang
menurut perasaan qadhi sendiri adalah akan menghadapi urusan, sekalipun
pemberian hadiah itu sudah terbiasa, sebab hadiah pada cantoh yang akhir ini
akan membuat kecondongan qadhi kepadanya dan pada contoh pertama disebabkan
oleh kekuasaannya.
Benar-benar sahih, hadis yang
menerangkan keharaman hadiahhadiah untuk para pejabat.
Bila
sudah terbiasa memberikan kepada pak qadhi -sekalipun hanya sekali sebelum ia
menjabat qadhi-, atau hadiah itu diterima dari (orang) yang berada di luar
kekuasaannya, atau pemberian hadiah tidak melebihi kebiasaan yang telah
diberikan, di mana pemberi hadiah tidak tengah menghadapi suatu kasus/akan
menghadapinya, maka dalam contoh seperti ini qadhi boleh menerimanya.
Apabila
seseorang mengutus utusan untuk menghaturkan hadiah kepada qadhi dan orang itu
tidak mempunyai urusan pengadilan. maka tentang kebolehan qadhi menerima, ada
dua pendapat (wajah), dan sebagian pensyarah kitab Syarhul Minhaj menghukumi
haram.
Dari keterangan yang telah lewat dapat
diketahui, bahwa qadhi tidak diharamkan menerima hadiah dari luar wilayah
kekuasaannya, sekalipun pemberi hadiah tersebut termasuk penduduk wilayah
kekuasaannya, selama tidak dirasa bahwa pemberian hadiah tersebut demi
melicinkan urusan permusuhannya. Apabila hadiah diberikan setelah qadhi
memutuskan hukum, maka baginya haram juga menerimanya, Jika itu merupakan
imbalan buatnya, (tetapi) bila tidak sebagai imbalan, maka tidak haram
menerimanya. Demikianlah yang dimutiakkan oleh sebagian pensyarah kitab
Al-Minhaj.
Guru kita berkata: Ketentuan itu harus
dihubungkan kepada orang yang telah biasa memberinya hadiah, yang kini
memberikan hadiah setelah pemutusan hukum.
Sekira
qadhi diharamkan menerima dan mengambil hadiah, maka apa yang telah diambil
itu dapat dimilikinya, Karenanya harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika
orangnya dapat ditemukan, (tetapi) kalau tidak dapat, maka diserahkan kepada
Batuimal
Sebagaimana hukum hadiah, yaitu Hibah
dan jamuan makanan, dan demikian pula sedekah menurut pendapat Al-Aujah.
As-Subki
ds dalam Al-Halabiyatnya memperbolehkan bagi gadki meneriman sedekah dari
orang yang tdak sedang bermasalah dan tidak terbiasa memberinya Di dalam
Tafsir-nya, As-Subki mengkhususkan hal itu bila pemberi sedekah mengetahw
kalau yang diberi itu adalah seorang qadhi.
Selain
As-Subki ada yang membahas pasti tentang kehalalan qadhi menerima harta
zakat.
Guru kuta berkata: Seyogianya kehalalan
ini juga dibatasi seperti yang telah dituturkan oleh As-Subki di atas.
As-Subki
mengatakan ada ketidakjelasan mengenai pemberian wakaf kepada qadhi dan orang
yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, Menurut pendapat yang berwajah di
dalam wakaf dan nazar, adalah bila orang itu menjelaskan nama qadhi dan kita
mensyaratkan keberadaan gabul, maka adalah sebagimana memberikan hadiah
kepadanya.
Sah membebaskan utang atas qadhi oleh
orang yang berada di wilayah kekuasaannya, sebab dalam Ibra’ tidak disyaratkan
ada gabul.
Makruh bagi qadhi menghadiri walimah
yang dikhususkan untuk dirinya sendiri -sebagian ulama mengatakan’haram-, atau
juga bersama-sama rombongan orang lain dan yang seperti ini tidak terbiasa
sebelum ia menjabat sebagai qadhi.
Lain halnya
bila walimah itu tidak dibuat khusus untuknya, sebagaimana misalnya walimah
itu ditujukan untuk para tetangga dan ulama, di mana ia termasuk di dalamnya,
atau dibuat untuk umum, seluruh manusia.
Di dalam
Al-‘Ubab, Muzayjad berkata Bagi selain qadhi diperbolehkan menenma hadiah
dalam penikahan, jika memang hadiah itu ndak disyaratkan kepada suami
Demikian
juga, qadhi boleh menerima hadiah sebab pernikahan (misalnya dirinya menjadi
wali nikah mempelai wanita), sekira dirinya diperbolehkan menghadiri pemberian
hadiah, dirinya tidak mensyaratkan hadiah itu kepada pihak suami dan dirinya
tidak memintanya. Selesai. Di sini perlu ada peninjauan.
Peringatan:
Bagi
qadhi yang menerima gaji dari Baitulmal dan sumber-sumber yang lain, sedangkan
dirinya tidak termasuk terkena hukum fardu ain menjabat sebagai qadhi dan
pekerjaannya sudah termasuk pantas menerima upah, adalah diperbolehkan
mengatakan: “Aku tidak mau menghukum kalian berdua, bila aku tidak diberi upah
atau gaji.” Demikian menurut perkataan segolongan ulama.
Ulama
yang lain berkata Adalah haram berkata seperti di atas Pendapat ini lebih
hati-hati, sedang pendapat yang pertama adalah lebih mendekati kebenaran.
Wajib
bagi qadhi mencabut keputusan hukum dani dirinya sendiri atau qadhi lain, bila
keputusan itu bertentangan dengan Alqur-an, Alhadis, nash imam yang ditaklidi
dan Kuas Jali -yaitu kias yang dengan pasti bisa disamakan hukum cabang dengan
hukum asal-.
Atau bertentangan dengan ijmak,
termasuk di sini adalah hukum yang berselisih dengan syarat yang diberikan
oleh pewakaf As-Subka berkata: Hukum yang bertentangan dengan keempat mazhab,
adalah seperti bertentangan dengan ijmak.
Atau
juga terputus hukumnya dengan pendapat yang marjuh di dalam mazhab qadhi
itu.
Maka, hukum-hukum yang berselisih dengan hal
tersebut di atas, sekalipun qadhi tidak mendapat laporan, ia wajib secara
jelas mencabutnya dengan semacam ucapan: “Kucabut/Kubatalkan hukum itu”.
Peringatan:
Al-Iraqi
dan Ibnush Shalah menukil ijmak yang menyatakan, bahwa qadhi tidak
diperbolehkan memutuskan hukum yang bertentangan dengan pendapat yang rajih
(unggul) di dalam suatu mazhab.
As-Subki
mengemukakan hal itu segara jelas di dalam fatwa-fatwanya dan menguraikannya
secara panjanglebar, dan selanjutnya beliau memasukkan sistem pemutusan hukum
seperti itu, seperti memutuskan hukum yang berselisih dengan yang telah
diturunkan oleh Allah swt., sebab Allah swt. mewajibkan para mujtahid agar
berpegangan pada: yang rajih dan mewajibkan kepada selain para mujtahid, agar
kewajiban berpedoman dalam perbuatanperbuatan mereka sendiri.
Al-Jalal
Al-Bulqini menukil dari ayahnya, bahwa sesungguhnya apabila hakim memutuskan
suatu hukum yang tidak sahih di dalam mazhabnya, maka hukum tersebut harus
dirusak.
Al-Burhan bin Zhahirah berkata: Sesuai
dengan fatwa ini, adalah demikian adanya, tidak ada perbedaan antara yang
diputuskan dengan dikuatkan oleh pilihan atau pembahasan sebagian fukaha
Mutaakhkhirin, dengan yang tidak dikuatkan.
Peringatan
Kedua:
Ketahuilah, bahwa pendapat yang Muktamad
di dalam Mazhab Syafi’i untuk memutuskan hukum dan berfatwa, adalah pendapat
yang telah disepakati oleh Rafi’i dan Nawawi (Syaikhan), lalu menurut yang
dimantapi oleh Nawawi, Rafi’i, dan yang dirajihkan oleh kebanyakan fukaha,
lalu yang dirajihkan oleh orang yang paling alim, kemudian yang dirajihkan
oleh orang yang paling wira’i.
Guru kita berkata:
Aturan kemuktamadan seperti itu, adalah menurut yang disepakati oleh ulama
Muhaggig golongan akhir, dan adalah aturan yang diwasiatkan oleh guru-guru
kita agar dipegangi.
As-Samhudi Berkata:
Guru-guru kita senantiasa mewasiatkan kepada kita agar berfatwa menggunakan
hukum yang disepakati oleh Syaikhan, dan menghindari kebanyakan yang kita
selisihi hukumnya.
Guru kita, Ibnu Ziyad,
berkata: Pada galibnya kita wajib berpedoman hukum yang dirajihkan oleh
Syaikhan, sekalipun ada dinukilkan dari kebanyakan ulama, suatu pendapat yang
berselisih dengannya.
Qadhi tidak boleh
memutuskan hukum yang berselisih dengan pengetahuannya, sekalipun hukum itu
telah dikemukakan bayinah, misalnya bayinah memberikan persaksian tentang
perbudakan, ikatan per-kawinan atau kemilikan pada orang, di mana qadhi
mengetahuinya, bahwa orang itu adalah merdeka, tertalak bain atau tidak
mempunyai hak milik, sebab la telah memastikan kebatalan hukum dengan
persaksian yang telah dikemukan oleh bayinah, sedangkan menghukumi dengan
sesuatu yang batal adalah haram.
Bagi qadhi
-sekalipun qadhi darurat menurut Al-Aujah- adalah diperbolehkan memutuskan
hukum berdasarkan pengetahuannya, bilaia menghendaki: artinya, dengan dugaan
kuatnya yang telah memperbolehkan kepadanya untuk mengemukakan persaksian
dengan berpedoman dugaan itu, sekalipun pengetahuan dalam arti seperti itu
(dugaan tersebut) ia peroleh sebelum menjabat menjadi qadhi.
Memang,
(tetapi) qadhi tidak diperbolehkan memutuskan hukum berdasarkan pengetahuannya
di dalam masalah Had atau Takzir, yang keduanya menjadi hak Allah swt.,
misalnya had zina, pencurian atau minum minuman keras, sebab ada kesunahan
menutupi penyebabpenyebab had tersebut.
Adapun
had-had yang menjadi hak manusia, maka bagi qadhi diperbolehkan memutuskan
hukum berdasarkan pengetahuannya, baik yang berkaitan dengan harta, qawad atau
had qadzaf.
Apabila qadhi memutuskan hukum
berdasarkan pengetahuannya, maka ja harus mengemukakan secara sharih apa yang
ia perbuat dalam memutuskan hukum tersebut: Karena itu, ia harus berkata:
“Saya mengetahui, bahwa apa yang ia dakwakan kepadamu adalah memang begitu”,
atau mengatakan: ” Kuputusi/Kuhukumi dirimu dengan pengetahuanku”.
Apabila
qadhi meringgalkan salah satu dari kedua kalimat di atas, maka keputusan
hukumnya tidak berlaku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Mawardi.
Qadhi
tidak boleh menangani pengadilan yang menvangkut orangtua atau anak
keturunannya sendiri, tidak boleh pula yang menyangkut teman perserikatannya
dalam kasus harta persenkatan
Kepada mereka,
pengadilan ditangaru selainnya, baik itu oleh imam atau qadhi lain, sekalipun
naibnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kecurigaan.
Apabila
qadhi/saksi melihat lembar kertas yang bertuliskan keputusan
hukum/persaksiannya, maka hanya dengan berdasarkan kertas tersebut ia tidak
diperbolehkan meneruskan keputusan hukum/persaksiannya, sebelum ia ingat apa
isi keputusan hukum/persaksiannya, sebab bisa dimungkinkan ada penulisan yang
didustakan atau keserupaan penulisan, dan hal ini belum cukup hanya dengan
ingatannya, bahwa itu adalah tulisannya.
Dalam
masalah penerusan keputusan hukum/persaksian ada pendapat yang memperbolehkan,
jika keputusan/persaksian yang ia berikan ditulis di atas kertas yang
tersimpan di sisinya dan dapat dipercayai, bahwa apa yang ada ini adalah
memang tulisannya serta tidak ada kesangsian (keraguan) mengenai hal itu.
Bagi
seseorang diperbolehkan bersumpah untuk menyatakan haknya atas orang lain atau
telah dilunasinya hak orang lain atas dirinya dengan berpedoman pada
pemberitaan orang adil atau tulisannya sendiri menurut pendapat Al-Muktamad,
atau tulisan orang yang telah diizinkan menulis, wakil, teman perserikatannya
atau tulisan mayat yang memberikan kepadanya, bila orang tersebut di atas
yakin, bahwa penulisanpenulisan tersebut tidak berbuat gegabah dalam
memperlakukan hak-. hak orang lain, dengan cara berpedoman pada qarinah.
Peringatan:
Hukum
yang diputuskan atas data-data yany tidak benar, adalah berlaku secara lahir
(hukum dunia), tidak sccara batin. Karena itu, hukum tersebut tidak dapat
menghalalkan barang yang haram, begitu pula sebaliknya.
Apabila
seorang qadhi memutuskan suatu hukum berdasarkan dua saksi palsu yang
lahiriahnya adalah adil, maka dengan hukum tersebut tidak bisa terjadi
kehalalan secara batin, baik hukum bersangkutan dengan harta maupun nikah.
Adapun
hukum yang terputuskan atas data yang benar, maka hukumnya bisa berlaku
kehalalan di akhirat secara pasti.
Tersebut di
dalam suatu hadis: “Saya disuruh agar menghukumi secara lahiriah, dan Allah
sendirilah yang menguasai hati manusia.”
Tersebut
di dalam Syarah Al-Minhaj milik Guru kita: Bagi seorang wanita yang telah
diputuskan hukum nikahnya yang tidak bcnar, adalah wajib lari dari laki-laki
yang telah diputuskan kemcnangannya -bahkan membunuh laki-laki itu-, jika ia
mampu melakukannya, Hal Ini sama halnya dengan pemerkosa, dan masalah ini
tidak ada tinjauan sehubungan dengan iktikad pihak laki-lakinya mengenai
kebolehan dirinya menyetubuhi wanita itu hukum yang telah diputuskan. Bila
wanita tersebut dipaksa disetubuhi, maka tiada dosa baginya.
Pemutusan
hukum atas orang yang tengah tidak hadir di daerah setempat, sekalipun tengah
berada di daerah yang tidak termasuk wilayah kekuasaan qadhi pemutus atau atas
orang yang tidak berada di majelis sidang lantaran bersembunyi atau merasa
gagah, adalah diperbolehkan dalam hal selain ugubah (baik had maupun takzir)
yang menjadi hak Allah swt.
Bila pihak pendakwa
cukup hujah (alasannya) dan ia tidak berkata. “Terdakwa yang tengah tidak
hadir berikrar atas hak”, akan tetapi ia menuduh keingkaran terdakwa dan dia
(pendakwa) wajib menyerahkan barang dakwaan (Mudda’a Bih) kepadanya sekarang
serta ia telah ditagihnya untuk menyerahkan.
Karena
itu, bila pendakwa berkata: “ia sudah berikrar dan saya kini mengemukakan
hujah”, hal itu ia lakukan demi jelasnya lantaran khawatir terdakwa akan
ingkar, atau agar si qadhi mengirim surat kepada qadhi penguasa daerah
terdakwa yang tengah di sana, maka hujahnya tidak diterima karena secara
sharih ia telah mengemukakan sesuatu yang menghapus bisa diterima hujah (yaitu
ikrar terdakwa), sebab hujahnya tidak berfaedah lagi dengan keberadaan
ikrar.
Memang, (tetapi) bila terdakwa yang tengah
tiada di tempat tadi mempunyai harta yang ada di tempat dan pendakwa
mengajukan bayinah atas piutangnya, bukan agar qadhi mengirim surat mengenai
ketetapan hak piutangnya kepada hakim penguasa daerah tempat terdakwa berada,
agar dilunasi piutangnya dari harta itu, maka bayinah itu bisa diterima,
sekalipun ia mengatakan “dia telah berikrar”. Juga bisa diterima bila, ia
mengemukakan dakwaan secara mutlak.
Apabila
dakwaan itu berupa piutang, sesuatu benda, sah akad atau pembebasan utang
pendakwa oleh “ terdakwa yang gaib (tidak berada di tempat), sebagaimana
terdakwa yang gaib menghiwalahkan utangnya agar dibayar oleh pendakwa yang
berutang kepadanya dan hadir dh tempat, lalu pendakwa mendakwakan kalah bahwa
terdakwa tersebut telah membebaskan utangnya, maka hakim wajib menyumpah
pendakwa setelah bayinah diajukan, dengan sumpah istizhhar (yaitu sumpah yang
tidak berkekuatan menetapkan keberadaan hak, tetapi untuk hatihati) bila
terdakwa yang gaib tersebut bukan lantaran bersembunyi atau menentang (merasa
gagah), di mana bayinah dan sumpah tersebut menyatakan bahwa pada contoh
pertama (dakwaan piutang) masih tetap menjadi tanggungan terdakwa sampai
sekarang. Penyumpahan ini dilakukan untuk mengambil sikap hati-hati terhadap
terdakwa yang gaib, yang terkena putusan hukum, sebab bila ia hadir di tempat
pengadilan, bisa juga ia mendakwakan sesuatu yang dapat membebaskan dirinya
(misalnya utangnya telah dibebaskan atau dilunasi).
Di
samping pendakwa wajib disumpah seperti di atas, dan pernyataan-pernyataan
tersebut juga disyaratkan ia harus berkata: “Sesungguhnya ia wajib
menyerahkannya kepada saya”, dan “Sesungguhnya ia tidak mengetahui ada
kecacatan pada saksi-saksi”, misalnya cacat lantaran kefasikan atau
permusuhan.
Guru kita berkata di dalam Syarhul
Minhaj: “Lahur sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bulqini, bahwa kewajiban
sumpah istizhhar yang menyatakan “hak piutang masih tetap menjadi
tanggungannya sampai sekarang”, adalah tidak terjadi dalam “dakwaan sesuatu
benda (misalnya benda titipan atau pinjaman dan seterusnya), tetapi dalam
kasus ini pendakwa wajib bersumpah dengan yang sesuai kasus dakwaannya, dan
demikian pula dalam kasus dakwaan Ibra’.
Adapun
bila terdakwa yang gaib lantaran bersembunyi atau menentang, maka qadhi bisa
memutuskan hukum atas pendakwa, sebab kegegabahannya. Sebagian fukaha berkata:
Bila terdakwa itu tidak hadir dan ia mempunyai wakil yang hadir, maka qadhi
tidak boleh memutuskan hukum terhadap terdakwa tersebut dan tidak wajib
mengainbil sumpah seperti di atas.
Bandingannya
adalah bila seorang mengajukan dakwaan atas semacam anak kecil yang tidak
mempunya wali atau atas mayat yang tidak mempunyai ahli waris khash yang
hadir, maka pendakwa wajib bersumpah istizhhar, karena alasan seperti yang
telah lewat
Adapun bilamana semacam anak
kecil/mayat mempunyai wali/ahli waris yang khash dan hadir serta kamil, maka
kewajiban pengambilan sumpah pada pendakwa terletak pada diri wali/ahli waris
tersebut, jika ia diam tidak meminta supaya bersumpah lantaran tidak
mengetahurrya, maka hakim harus memberinya pengetahuan. Kemudian bila ternyata
ia tidak meminta agar pendakwa disumpah, maka hakim bisa memutuskan hukum
tanpa menyumpah pendakwa.
Cabang:
Apabila
wakil dari orang yang gaib mendakwakan sesuatu kepada orang yang gaib juga,
semacam anak kecil atau mayat, maka pendakwa tidak wajib bersumpah, tetapi
qadhi memutuskan hukum berdasarkan bayinah yang diajukan, sebab sumpah yang
diberikan oleh wakil itu tidak mempunyai kekuatan untuk menghakimi sesuatu,
begitu juga wakil tidak bisa bersumpah yang memberikan kekuatan kemilikan hak
orang yang mewakilkan kepadanya. Karena, bila kasus tersebut dibiarkan
sementara, sampai muwakkil datang sendiri, maka pengambilan hak tidak bisa
dilakukan melalui wakil.
Apabila terdakwa yang
gaib itu datang dan berkata kepada wakil pendakwa: “Muwakkilmu telah
membebaskan tanggunganku/Aku telah melunasinya, maka undurlah penagihannya
sampai ia datang agar bersumpah kepadaku bahwa ia tidak membebaskannya”, maka
permintaan itu tidak dapat dipenuhi dan qadhi tetap memerintahkan agar
menyerahkan barang yang didakwakan pada wakil pendakwa, kemudian ada
pembebasan tanggungan bisa tertetapkan setelah itu, jika terdakwa bisa
mengajukan hujah atas hal itu, sebab bila perkara ini dibiarkan sementara,
maka pengambilan hak tidak dapat dilakukan melalu para wakil.
Memang
(tetapi) bila terdakwa yang telah datang tadi mendakwahkan kepada wakil, bahwa
si wakil itu sendiri telah mengetahui ada pembebasan tanggungan, maka terdak
wa” berhak menyumpah wakil, bahwa wakil tidak mengetahui ada pembebasan
tanggungan dari muwakkil misalnya agar dakwaan kepadanya menjadi sah.
Apabila
tertetapkan oleh hakim ada tanggungan harta atas orang yang gaib atau mayat,
sedang ia juga mempunyai harta yang berada di tempat dalam wilayah kekuasaan
sang qadhi atau mempunyai piutang pada orang lain yang ada di tempat dalam
daerah kekuasaannya, maka hakim membayarnya dari harta tersebut, jika pendakwa
menuntut tanggungan seperti dimaksud, sebab hakim adalah menduduki kedudukan
orang yang gaib/mayat tersebut.
Apabila qadhi
menjual harta orang yang gaib untuk membayar utangnya, lalu orang itu datang
dan membatalkan ada tanggungan utang dengan menetapkan ada perlunasan atau
kefasikan saksi, maka qadhi wajib menarik kembali apa yang telah diambil oleh
lawan (pendakwa), dan penjualannya menjadi batal karena kebatalan tanggungan
utang menurut pendapat Al-Aujah, Lain halnya menurut Ar-Rauyani.
Kalau
orang yang gaib di atas tidak mempunyai harta yang ada di dalam wilayah
kekuasaan hakim atau hakim tidak menghukumi ada tanggungan harta atas si gaib
itu, maka jika pendakwa meminta untuk ‘Inhaul Hal (yaitu penginman proses
ferbal termasuk di sini keterangan para saksi atau keputusan hukum bila telah
terjadi, dari seorang qadhi kepada qadhi lain daerah wilayah) kepada qadhi
penguasa daerah di mana terdakwa berada, maka hakim wajib mengirimkan data
keterangan. bayinah yang telah ia dengar, kepada qadhi yang dimaksud
-sekalipun qadhi yang dikirimi ini adalah qadhi darurat-, agar memutuskan
hukum berdasarkan data yang ada, lalu meminta pelunasan hak yang dituntut,
sebab untuk mempercepat memenuhi hak pendakwa. Kemudian, bila qadhi/hakim yang
mengirimkan proses ferbal di atas telah menyatakan keadilan para saksi, maka
pihak yang dikirimi tidak pertu menyelidiki keadilannya, (tetapi) bila belum
melakukannya, maka qadhi/hakim yang dikirimi harus menyelidiki keadilan para
saksi.
Tidak termasuk “bayinah”, adalah
pengetahuan qadhi, maka qadhi tidak bisa mengirimkan data pengetahuannya,
sebab dengan begitu ia berstatus sebagai saksi bukan qadhi Demikianlah yang
dituturkan oleh Al-qadhi Sharih dalam kitab Al-Uddah, As-Sarkhasi
menentangnya, tetapi Al-Bulqini berpedoman padanya, sebab pengetahuan qadhi
adalah sebagaimana kekuatan bayinah.
Menurut
Al-Aujah, bahwa qadhi boleh meng-inha’-kan data yang ia dengar dari para
saksi, agar qadhi yang dikirimi memperdengarkannya kepada saksi lain atau
merryumpah kepada pendakwadan memutuskan hukum.
Atau
meng-inha’-kan hukum yang telah dia putuskan kepada qadhi penguasa daerah
terdakwa berada, agar qadhi yang dikirimi ini melaksanakan penagihan
pelunasannya, sebab ada hajat untuk melaksanakan ini.
Inha’
adalah mempersaksikan seorang qadhi kepada dua orang laki-laki adil (selain
saksi-saksi yang ada dalam kasus) mengenai apa yang dilaksanakan, baik itu
berupa ada penetapan suatu status/hak atau: putusan hukum. Persaksian di sini
tidak cukup dengan saksi laki-laki yang kurang dari dua orang, sekalipun dalam
masalah harta atau hilal di awal Ramadhan.
Disunahkan
dalam surat Inha’ itu ditulis identitas orang yang terkena putusan hukum,
Yaitu nama, nasab, nama-nama para saksi dan tanggal penulisan surat itu.
Inha’
mengenai suatu hukum yang terputuskan. dari seorang hakim, adalah bisa berlaku
dengan pengiriman dalam jarak yang dekat maupun jauh.
Sedangkan
Inha’ mengenai pendengaran bayinah, adalah tidak bisa diterima (tidak berlaku)
kecuali kepada qadhi yang berada di atas dalam jarak Adwa, sebab pada jarak
yang dekat itu dengan mudah bayinah dapat didatangkan untuk didengar
keterangannya. Jarak Adwa adalah jarak sejauh orang berangkat dan rumahnya di
pagi hari sekali dan kembali lagi sampai di rumahnya dalam waktu permulaan
malam.
Karena itu, bila terasa sulit mendatangkan
bayinah dalam jarak yang dekatitu, lantaran tengah sakit, maka Inha’ bisa
diterima.
Cabang:
Al-Qadhi
Husen berkata dan diakui oleh fukaha, Apabila seorang pengutang datang dan
tidak mau menjual hartanya yang tiada di tempat guna melunasi utangnya yang
telah ditagihnya, maka qadhi boleh menjualnya untuk pelunasan tersebut,
sekalipun harta itu tidak berada di wilayah kekuasaannya.
Demikian
juga bila pengutang tidak berada di tempat, tetapi masih berada di wilayahnya:
Demikianlah yang dikemukakan oleh At-Tajus Subki dan Al-Ghuzzi. Beliau berdua
berkata: Lain halnya dengan masalah bila pengutang tadi di luar wilayah
kekuasaannya, sebab dalam keadaan seperti ini, qadhi tidak mempunyai wewenang
berbuat atas nama pengutang untuk melunasi utang tersebut.
Kesimpulan
pembicaraan beliau berdua qadhi diperbolehkan menjualnya, jika pengutang itu
atau hartanya berada di dalam daerah wilayah kekuasaan qadhi, dan tidak boleh
menjualnya bila kedua-duanya berada di luar kekuasaannya.
Penting:
Apabila
seseorang tiada di tempat tanpa memiliki wakil dan ia memiliki harta di tempat
itu, lalu disampaikan Inha’ kepada hakim yang menyatakan, bahwa jika hakim
tidak menjualnya, maka sebagian besar akan mengalami kerusakan, maka hakim
harus menjualnya, jika hal itu merupakan keharusan untuk bisa menyelamatkan
harta itu.
Ashhabus Syafi’i telah menjelaskan,
bahwa qadhi bisa menguasai harta orang-orang yang gaib bila harta itu berada
di ambang pintu tersia-siakan atau ada keperluan yang menyangkut harta itu
dalam kaitannya dengan hak orang lan yang sudah tertetapkan serta sedang tidak
berada di tempat.
Mereka juga berkata Kemudian
masalah tersia-siakan harta itu dirinci, jika ketidakadakan pemilik harta itu
terulur-ulur lama dan terasa sulit bagi hakim menyelidiki bagaimana keadaan
pemilik itu sebelum harta mengalami ketersia-siaan, maka hak diperbolehkan
mentasarufkannya,
Tidak termasuk arti
tersia-siakan, yaitu kerusakan harta yang tidak sampai mengalami kehancuran
dalam bagian yang lebih besar dan kerusakan seperti itu tidak bisa menghalangi
penjualan harta orang yang gaib, di mana penjualan dilakukan semata-mata demi
kemaslahatan. Kerusakan yang bisa membawa kehancuran sebagian besar harta
adalah termasuk arti tersia-sia.
Memang, (tetapi)
binatang boleh dijual semata-mata karena telah terjadi kerusakan, sebab
menghormati nyawanya dan karena binatang tersebut dapat dijual (oleh hakim)
atas nama pemjliknya dan di hadapannya bila ia tidak mau menafkahinya.
Apabila
pemilik yang tiada di tempat (gaib) tadi melarang hartanya ditasarufkan, maka
hakim terlarang mentasarufkannya selain harta yang berupa binatang.
Cabang:
Hakim
wajib menahan budak yang kabur bila menemuinya, sebab untuk menanti
pemiliknya. Lalu bila tuan/ sayidnya tidak muncul mencarinya, maka hakim bisa
menjual dan menyimpan uang hasil perjualannya, lalu bila pemiliknya datang,
maka uang tersebut saja yang bisa ia miliki.
BAB DAKWAAN (TUDUHAN) DAN BAYINAH (ALAT BUKTI) - بَابُ الدَّعوَى
وَالْبَيِّنَاتِ
Lafal “Da’wa” menurut bahasa arinya “tuntutan”, sedang alif yang
berada di akhir lafal tersebut adalah menunjukkan ta’nits
Sedangkan
menurut syarak artinya adalah laporan mengenai keberadaan ketetapan hak atas
orang lain di depan hakim. Lafal di atas dijamakkan menjadi “Da’awa/wi”,
sebagaimana lafal “Fatawa/wi”.
Bayinah adalah para saksi Mereka
disebut bayinah, sebab dengan merekalah suatu hak terbuktikan. Lafal “bayinah”
dijamakkan, sebab berbeda-beda macamnya.
Dasar hukum dakwaan dan
bayinah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim: “Kalau saja
manu-sia itu dituruti dakwaannya, maka niscaya mereka akan mendakwakan
nyawa-nyawa orang lain dan harta bendanya, tetapi Sumpah itu menjadi kewajiban
pihak Mudda ‘alaih (terdakwa)”, Di dalam riwayat lain “Bayinah adalah
kewajiban Mudda’i (pendakwa), sedang sumpah menjadi kewajiban orang yang
mengingkari tuduhan.”
Mudda’i adalah pihak yang
ucapanknya menyelisihi yang lahur. Lahir di sini adalah lepas atau tidak suatu
tanggungan. Sedang Mudda’alaih adalah pihak yang ucapannya bersesuaian dengan
yang lahir.
Syarat keduanya adalah taklif dan
terkena ketetapan hukum agama. Karena itu, kafir harbi tidak terkena
hukum-hukum agama, lain halnya dengan kafir dzimmi.
Kemudian,
bila dakwaan itu berkaitan dengan masalah qawad atau takzir, maka wajib
melaporkannya kepada qadhi, dan bagi orang yang berhak memberikan hukuman
tersebut, tidak diperbolehkan melaksanakannya sendiri, karena besar bahaya
yang ditimbulkan. Demikian pula yang berhubungan dengan segala akad dan
fasakh, misalnya nikah, rujuk, cacat nikah dan jual beli.
Al-Mawardi
mengecualikan orang yang bertempat tinggal jauh dari Sultan, maka orang ini
boleh melaksanakan Had qadzaf dan takzir.
Seorang
yang tidak mengkhawatirkan tertimpa fitnah pada dirinya atau orang lain,
adalah boleh mengambil hartanya tanpa melalui qadhi dani orang yang berutang
kepadanya, yang telah berikrar mempunyai utang itu, di mana si pengutang
menunda-nunda pembayarannya atau mengingkari keberadaan tanggungan utang,
bersembunyi atau enggan melunasinya (lantaran merasa kuat/berani), sekalipun
pengutang yang menentang itu mempunyai bayinah atau pemiutang berharap ikrar
pengutang, kalau saja dilaporkan kepada qadhi.
Hal
itu didasarkan dengan pemberian Rasulullah saw kepada Hindun setelah lapor
kepada beliau mengenai kekikiran Abu Sufyan, di mana beliau mempersilakan
Hindun untuk mengambil harta Abu Sufyan dengan baik, secukup biaya hidup
Hindun dan anaknya Karena, untuk melaporkannya kepada qadhi ada kesulitan dan
membutuhkan biaya.
Hanya saja diperbolehkan
mengambil sendiri hartanya adalah mengambil harta yang sejenis dengan harta
(hak)nya semula, dan bila tidak bisa, maka boleh mengambil harta lainnya.
Untuk mengambil harta yang bukan jenisnya ini, ia wajib mendahulukan mengambil
yang berupa emas/perak. daripada yang lain.
Kemudian,
bila yang diambil itu sejenis dengan hartanya, maka ia langsung memilikinya
dan mentasarufkannya sebagai ganti haknya.
Jika
tidak sejenis hartanya, maka ia (yang dalam hal ini disebut Zhafir) wajib
menjualnya sendiri atau utusan orang yang ia beri izin kepada orang lain,
bukan kepada dirinya sendiri -hukum ini ittifak-, dan tidak boleh juga dijual
kepada mahjur (orang yang berada di bawah ampunannya), sebab terlarang
menangani atas nama dua pihak (penjual dan pembeli) dan karena ada
kecuringaan.
Kebolehan menjual barang itu dengan
sendirinya, adalah jika tidak dengan mudah qadhi mengetahui atas hak Zhafir di
atas lantaran Zhafir memang tidak mengetahui kasus itu dan tdak ada bayinah,
atau mengetahui ada bayinah, tetapi untuk melaporkannya membutuhkan biaya dan
kesulitan Kalau tidak begitu, maka disyaratkan harus ada izin penjualan dan
gadhu dan Zhafir tidak boleh menjualnya, kecuali dengan uang yang berlaku di
daerah setempat.
Kemudian, bila uang itu adalah
jerus hak semula, maka si Zhafir bisa memilikinya, (tetapi) bila tidak jerus
haknya semula, maka dengan uang itu ia belikan barang yang sejenis dengan
hartanya dan ia memulikinya.
Apabila pengutang
itu keadaannya Mahjur Alaih (orang yang diampu) lantaran pailit atau orang
mati yang masih mempunyai tanggungan utang kepada selain Zhafir, maka ia tidak
boleh mengambilnya selairi hanya sebesar bagiannya dalam hasil pembagian
kepada seluruh pemilik hak, jika ia mengetahui berapa besarnya, tetapi kalau
tidak mengetahuinya, maka berprinsiplah hati-hati.
Selaku
Zhafir, ia diperbolehkan mengambil harta dari orang yang berutang kepada orang
yang berutang kepada dirinya (misalnya: B utang kepada A dan C berutang kepada
B, maka selaku Zhafir, A boleh mengambil harta dari si C), jika orang itu (A)
tidak berhasil mengambil harta dari orang yang berutang kepadanya (B) dan
orang yang berutang kepada orang yang berutang kepadanya (C) mengingkari ada
tanggungan utang atau menunda-nunda pembayarannya.
Bila
selaku Zhafir diperbolehkan mengambil harta, maka ia diperbolehkan memecah
pintu/gembok dan membobol tembok pengutang, bila hanya dengan cara seperti
itu1a dapat mengambil harta, sekalipun Zhafir mempunyai bayinah. Maka ia wajib
menanggung kerusakannya, sebagaimana halnya menghadapi Shail.
Bila
pemiutang tersebut (Zhafir) mengkhawatirkan ada mafsadah yang membawa pada
keharaman misalnya hartanya akan diambil kembali jika diketahui, maka ja wajib
melaporkan perkaranya kepada qadhi atau lainnya, sebab kemungkinan keselamatan
harta dengan cara seperti ini.
Apabila piutang
itu pada orang yang enggan melunasinya, maka pemiutang menagihnya sesuai
dengan kewajiban pelunasannya. Karena itu, pemiutang tidak dihalalkan
mengambil sesuatu milik pengutang yang berkesanggupan melunasi tersebut, sebab
ia dapat melunasi utangnya, dengan harta yang mana ia kehendaki.
Karena
itu, bila pengutang mengambil sesuatu milik pengutang, maka ia wajib
mengembalikannya, dan wajib menanggung kerusakan yang terjadi, selama belum
mencukupi persyaratan diperbolehkan balasmembalas utang satu kepada yang lain
(yaitu utang satu kepada yang lainnya sama besar, jenis dan sifat
keadaannya).
Cabang:
Pemiutang
dapat menagih pelunasan piutangnya kepada pengutang yang mengingkari utangnya
(yang tanpa saksi), dengan menggunakan para saksi utang lain, kepadanya, di
mana utang yang nda saksinya telah dibayar oleh pengutang tanpa sepengetahuan
mereka (misalnya A mempunyai piutang pada B sejumlah Rp 1000,tanpa bayinah,
dan Rp 1000 lagi dengan bayinah).
Seseorang
diperbolehkan mengingkan (tidak mau membayar utangnya) orang lain yang ingkar
kepadanya, bilamana hak atas orang yang mengingkari jumlahnya sepadan atau
lebih besar: maka di sini terjadi balas-membalas.
Apabila
hak atas orang yang mengingkarinya di bawah jumlah hak orang lain itu atasnya,
maka ia diperbolehkan mengingkari utangnya sejumlah piutang yang ada pada
orang lain itu.
Untuk kesahan suatu dakwaan bisa
didengarkan dan dijawab, adalah . pada dakwaan mengenai emas-perak murni atau
bercampur dengan logam lain, atau mengenai utang mutsli atau Mutaqawwam,
menyebutkan jenis emas/perak, macamnya, utuh atau telah pecah jika dua hal in
mengandung perbedaan maksud, dan menyebutkan kadar ukurannya, misalnya 100
dirham perak Asyrafiyah yang murni atau bercampur dengan logam lain, yang saya
tuntut sekarang.
Karena syarat dakwaan adalah
maklum (bisa diketahui).
Barang yang sudah bisa
diketahui timbangannya, misalnya. dinar, adalah tidak disyaratkan menjelaskan
penyebutan timbangannya, dan tidak disyaratkan menyebut nilai harga emas/perak
yang tidak murni.
Dakwaan pemiutang kepada Muflis
(pengutang yang pailit) yang telah tertetapkan kepailitannya, bahwa si muflis
sekarang sudah mempunyai harta, adalah tidak bisa diterima, sebelum pendakwa
menjelaskan sebab-sebab didapatkan harta itu, misalnya dari penerimaan warisan
atau hasil kerja, dan menjelaskan jumlah harta yang telah dimuliki si muflis
itu.
Mengenai dakwaan sesuatu benda selain
emas-perak (disebut ain) yang bisa dibatasi dengan sifat-sifatnya, nusalnya
binatang dan biji-bijian, disyaratkan menyebutkan sifatsifatnya sebagaimana
dalam penyifatan pada akad salam, dan pendakwa tidak wajib menyebutkan
harganya.
Apabila ain yang didakwakan itu rusak,
di mana ain itu merupakan benda Mutaqawwam, maka wajib menyebutkan nilai harga
berserta jenisnya, misalnya “… budak laki-laki harganya sekian ….”
Untuk
dakwaan barang Agar (barang yang tidak bergerak), maka disyaratkan menyebutkan
arahnya, tempat berada dan batas-batas segi empatnya. Karena itu, tidak cukup
hanya menyebutkan batas segi tiganya, bila tidak dapat diketahui kecuali
dengan menyebutkan keempat segi tersebut.
Bila
diketahui dengan satu segi batasnya saja, maka cukup dengan menyebutkan satu
saja, Bahkan kalau sudan masyhur sehingga tidak perlu lagi disebutkan
batas-batasnya, maka tidak wajib menyebutkan batas-batasnya
Untuk
dakwaan mengenai pernikahan kepada seorang wanita, maka disyaratkan menyebut
kesahan nikah itu dan syarat-syaratnya, yaitu berupa wal: dan dua orang saksi
lakilaki yang adil, juga menyebutkan keberadaan kerelaan hati waruta jika
untuk kesahan nikah itu sendyi disyaratkan ada kerelaan -sebagaimana wanita
itu tidak dapat dipaksa-, Karena itu, dakwaan di sini tidak cukupsecara mutlak
–
Apabila istri yang didakwa itu budak, maka
pendakwa diwajibkan menyebut ketidak mampuannya membayar mahar untuk wanita
merdeka, kekhawatirannya berbuat zina dan dia tidak beristrikan wanita
merdeka
Untuk pendakwaan mengenai suatu akad
kebendaan, misalnya jual beli dan hibah, maka disyaratkan menyebut kesahan
akad Di sini tidak diperlukan rincian sebagaimana yang ada dalam nikah, sebab
dalam pernikahan itu hukumnya ditentukan secara hati-hati daripada akad
kebendaan.
Dakwaan yang bertentangan adalah tidak
bisa diterima, misalnya ada persaksian para saksi berselisih dengan dakwaan,
misalnya seorang mendoakan adanya kemilikan dari suatu sebab, lalu para saksi
memberikan keterangan derigan sebab yang tidak sama dalam dakwaan, maka
dakwaan tidak bisa diterima, karena persaksian menghapus dakwaan itu.
Konsekuensinya,
apabila persaksian diulangi dengan sesuai dakwaan, maka dakwaan bisa diterima.
Demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Hadhrami, dan sesuai dengan pembicaraan
ahli fikih lainnya.
Dakwaan tidak menjadi batal,
lantaran ucapan pendakwa: “Para saksiku orang-orang yang fasik atau tidak
benar”, maka pendakwa bisa mengajukan bayinah dan bersumpah.
Terdakwa
yang pendakwanya telah mengajukan bayinah mengenai haknya, adalah tidak boleh
menyumpah pendakwa mengenai penghakannya terhadap apa yang ia dakwakan dengan
benar, karena hal itu berarti membebani agar mengemukakan hujah setelah hujah,
yang mana ini sama dengan mencacat para saksi.
Memang,
tetapi pemiutang berhak menyumpah pengutang yang mendakwa melarat pada dirinya
dan ada bayinah, sebab bisa dimungkinkan ia mempunyai harta yang tidak
kelihatan.
Apabila terdakwa balik mendakwa
sesuatu yang menggugurkan hak pendakwa, misalnya mendakwakan bahwa ia telah
melunasi utangnya, pendakwa telah membebaskannya atau barang itu ia beli dari
pendakwa, maka pendakwa diambil sumpahnya mengenai ketidakbenaran dakwaan yang
diajukan oleh terdakwa, sebab bisa jadi apa yang didakwakan adalah benar.
Demikian
pula bila terdakwa membalas mendakwakan, bahwa si pendakwa mengetahui
kefasikan atau kebohongan para saksi.
Secara
pasti, sumpah tidak bisa dihadapkan kepada saksi atau qadhi, yang mann
terdakwa mendakwakan kebohonyan persaksian/hukumnya, karena hal itu dapat
mendatangkan kerusakan secara umum.
Apabila
pendakwa yang terkena kewajiban sumpah (dalam tiga contoh di atas) tidak mau
bersumpah, maka terdakwa yang diambil sumpahnya, dan batallah persaksian
itu.
Apabila terdakwa yang telah terbuktikan
keberadaan bayinah itu memohon penundaan pelaksanaannya, maka qadhi wajib
memberikan masa penundaan selama tiga hari untuk mengambil bayinah penolak
tuduhan: yaitu bayinah yang menyatakan semacam telah melunasi atau dibebaskan
dari tanggungan, dan qadhi wajib memberi kelonggaran untuk mendatangkan
bayinah, jika masa kepergiannya tidak melebihi tiga hari, karena masa tiga:
han itu tidak mendatangkan mudarat yang besar. Akan tetapi penundaan itu
diberikan dengan adanya Kafil (penjamin) atau dengan pengawasan dari tangan
qadhi, jika dikhawatirkan.terdakwa akan melarikan diri.
Apabila
seseorang mendakwakan adanya kebudakan pada seorang yang sudah balig, berakal
dan tidak diketahut nasabnya, Jalu terdakwa berkata “Saya adalah merdeka sejak
semula”, dan sebelum itu ia belum pernah berikrar kepada pendakwa tentang
keberadaan kebudakan pada dirinya, di mana ia adalah orang yang rasyid, maka
terdakwa tersebut harus bersumpah.
Dengan
sumpahnya itu, maka dakwaan kemerdekaan dirinya bisa dibenarkan, sekalipun
telah diperlakukan sebagai khadim pendakwa di atas, sebelum ada pengingkaran
atas kebudakannya dan sekalipun telah mengalami berkali-kali diperjualbelikan
atau berkali-kali berpindah-pindah tangan, sebab perkataan yang mencocoki
dengan keasalan, yaitu merdeka.
Dari dasar asal
itu, maka bayinah yang menyatakan kebudakan adalah dimenangkan danpada bayinah
yang menyatakan kemerdekakan, sebab bayinah pertama membawa tambahan
pengetahuan, yaitu kepindahan status dari kemerdekaan menuju kebudakan.
Tidak
termasuk dalam arti ucapanku “sejak semula”, yaitu apabila terdakwa
mengatakan: “Engkau telah memerdekakan diriku”, atau “Orang yang menjual
diriku kepadamu telah memerdekakanku”, maka dakwaan kemerdekakan dirinya tidak
bisa dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah.
Apabila
telah, tertetapkan kemerdekaan dirinya sejak semula itu, maka pembelinya
meminta kepada orang yang menjualnya, sekalipun pembeli telah berikrar ada
kemilikannya, sebab ikrar ini didasarkan atas kenyataan yang diterimanya.
Atau
apabila seseorang mendakwakan kebudakan seorang anak kecil atau orang dewasa
gila, di mana di tangan pendakwa dan orang yang menguasainya mengingkari
dakwaan tersebut, maka dakwaan kebudakan tidak bisa diterima, kecuali ada
hujahnya yang berupa pengetahuan qadhi atau sumpah mardudah (yaitu sumpah yang
diajukan kepada pendakwa setelah terdakwa tidak mau bersumpah), sebab dasar
asalnya adalah tidak ada status perbudakan.
Karena
itu, bila anak kecil berada di bawah kekuasaan tangan pendakwa atau orang Lain
dan membenarkan dakwaan situ, maka perdakwa diambil sumpahnya karena masalah
kemerdekakan itu bahaya, selama tidak diketahui bahwa anak Itu hasil lugathah.
Sedang pengingkaran anak itu setelah dewasa, tidak berpengaruh terhadap status
sekarang, sebab kekuasaan adalah sebagai hujah.
Apabila diketahui
bahwa anak itu hasil Lugathah, maka dakwaan tentang kebudakannya tidak bisa
dibenarkan, kecuali dengan mengajukan bayinah
Cabang:
Dakwaan
mengenai keberadaan utang yang belum sampai masa pelunasannya, adalah tidak
bisa diterima, sebab di situ terdapat unsur penetapan dan tuntutan di masa
sekarang.
Ucapan penjual “Barang yang dijual itu barang wakaf”,
adalah bisa diterima sebagai dakwaan, demikian pula bayinah, hal itu jika
penjual di waktu menjual tidak menjelaskan bahwa barang tersebut adalah
miliknya (bukan wakaf) Kalau menjelaskan seperti stu, maka bisa diterima untuk
mengambil sumpah dari pembeli yang menyatakan bahwa penjual adalah menjualnya
dan barang itu adalah miliknya.
PASAL: JAWABAN TUDUHAN DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGANNYA
Apabila terdakwa telah berikrar (mengakui kebenaran dakwaan),
maka tertetapkanlah keberadaan hak tanpa melalu ijtihad hukum.
Apabila
terdakwa diam saja, maka hakim memerintahkannya untuk menjawab, sekalipun
pendakwa tidak menuntut untuk menjawabnya. Apabila tetap diam, maka ia adalah
ingkar, lalu diajukan sumpah padanya Apabila masih tetap diam tidak mau
bersumpah dan tidak jelas mengapa ia tidak mau bersumpah, maka ia adalah orang
yang membangkang sumpah (Nakil): maka qadhi mengambil sumpah pendakwa.
Apabila
terdakwa mengingkari keberadaan dakwaan, maka disyaratkan ingkarnya itu
mengenai seluruh yang didakwakan kepadanya dan bagian-bagiannya, jika barang
itu terbagi menjadi beberapa bagian
Apabila pendakwa mendakwakan
sepuluh kepada terdakwa misalnya, maka, jawaban pengingkaran terdakwa tidak
cukup’dengan katakata: “Aku tidak mempunyai tanggungan sepuluh itu”, sehingga
menyambung dengan “… dan tidak pula sebagian darinya”.
Demikian
pula pencakupan sumpah jika dihadapkan kepadanya, karena pendakwanya
mendakwakan seluruh bagian dari 10, maka mau tidak mau pengingkaran dan sumpah
cocok dengan dakwaan
Apabila terdakwa mengucapkan sumpah meniadakan
jumlah 10 dan hanya begitu saja, maka berarti ia membangkang (nakil) mengenai
jumlah di bawah sepuluh. Karena itu, pendakwa bisa bersumpah mengenai jumlah
di bawah 10, lalu mengambilnya, sebab membangkang sumah sama halnya dengan
ikrar.
Atau apabila pendakwa mendakwakan suatu
harta dengan menyebutkan sebabnya, misalnya ” Saya membenmu utang sekian .”,
maka dalam jawaban terdakwa cukup dengan kata-kata “Kamu tidak berhak
mendapatkan jumlah tersebut dariku”, atau “Saya tidak berkewajiban menyerahkan
sesuatu kepadamu”.
Apabila ia mengakuinya dan
mendakwa balik adanya sesuatu yang menggugurkan hak itu, maka ja dituntut
mengajukan bayinah yang menyatakan penggugur tersebut.
Apabila
didakwakan barang wadiah kepadanya, maka untuk merjawab dakwaan tidak cukup
dengan katakata: “Saya tidak. wajib menyerahkan sesuatu”, tetapi harus dengan:
“Kamu tidak berhak sesuatu pun padaku”.
Terdakwa
juga bersumpah sebagaimana jawaban seharusnya, supaya sumpah itu cocok dengan
jawaban.
Apabila seseorang didakwa mengenai
sesuatu harta padanya, lalu ia mengingkannya dan meminta agar bersumpah, lalu
ia berkata. “Aku tidak mau bersumpah”, dan ia menyerahkan harta, maka pendakwa
tidak wajib menerimanya tanpa ada Ikrar, Pendakwa juga bisa menyuruh terdakwa
untuk bersumpah.
Cabang:
Bila
seseorang didakwakan mengenai sesuatu barang, lalu ia berkata: “Barang itu
bukan milikku”: “Barang itu milik seseorang yang tidak kukenal”: “… milik anak
kecilku”: “..wakaf untuk para miskin”, atau “untuk mesjid ini …”, dan terdakwa
itu adalah nazhirnya, maka menurut pendapat Al-Ashah, bahwa urusan perkawinan
itu tidak bisa lepas dari terdakwa dan barang itu tidak bisa diambil dari
terdakwa.
Tetapi pendakwa bisa menyumpah
terdakwa, bahwa ia tidak wajib menyerahkan barang itu, dengan harapan agar
terdakwa mau ikrar atau membangkang sumpah, lalu pendakwa boleh bersumpah, dan
tertetapkanlah barang tersebut sebagai milik pendakwa dalam dua jawaban di
atas (yaitu: “Bukan milikku” dan “milik seseorang yang tidak kukenal”), dan
tertetapkanlah ganti untuknya, karena terhalang pengambilan barang itu pada
jawaban-jawaban selain yang dua tersebut.
Atau
pendakwa bisa mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu adalah
miliknya.
Apabila terdakwa terus-menerus berdiam
diri dan tidak mau menjawab tuduhan (dakwaan), maka ia dianggap membangkang
(Nakil), jika qadhi telah menghukuminya sebagai nakil.
Apabila
masing-masing dari dua orang mendakwakan memiliki suatu barang yang sama pada
tangan ketiga, di mana orang ini tidak menyatakan pemilik salah satu dari
kedua orang di atas, baik sebelum atau sesudah pendakwa mengajukan bayinah,
dan masing-masing dari mereka mengajukan bayinah, maka gugurlah kedua bayinah
tersebut, karena terjadi pertentangan di antara kedua bayinah itu dan tidak
ada murajjih-nya (pemenang di antara dua bayinah), maka hukumnya seperti tidak
ada bayinah.
Apabila pemegang baran itu rkrar
tentang kenulikan di antara dua pendakwa di atas, baik sebelum atau sesudah
bayinah diajukan, maka dimenangkan bayinah pendakwa yang menurut pemegang
adalah yang memilikinya.
Atau apabila dua orang
mendakwakan barang yang sama, di mana barang berada di kedua orang tersebut
dan masing-masing mengajukan bayinah, maka barang itu menjadi hak mulik mereka
bersama, sebab tidak ada yang lebih berhak memiliki barang dari keduanya.
Adapun
apabila barang itu tidak berada di tangan keduanya, dan masing-masing bayinah
kedua pendakwa menyatakan pemilikan pada pendakwanya, maka barang itu menjadi
milik mereka berdua (masalah iri sama dengan alenia di atasnya).
Masalah
di mana dua bayinah itu saling menggugurkan, adalah apabila terjadi
pertentangan makna, sekira salah satunya tidak bisa dimenangkan dengan
keberadaan murajjih, (tetapi) kalian bisa dimenangkan dengan murajjih, maka
yang dimenangkan adalah yang ada murajjihnya.
Murajihnya
di sini adalah ada keterangan mengenai pemindahan hak milik, lalu keberadaan
pendakwa itu memegang barang atau ada pendakwa yang diikran pemegang bahwa
barang itu miliknya, atau ada perpindahan hak milik dari pemegang barang
kepada pendakwa, kemudian dua saksi musalnya, dimenangkan atas bayinah yang
satu saksi tambah sumpah saja. Kemudian keberadaan salah seorang di antara dua
pendakwa itu lebih dahulu memiliki barang, yang hal itu diketahui dengan
menyebutkan masanya atau ada keterangan bahwa barang itu (misalnya budak)
lahir dari miliknya sendiri misalnya, dengan menyebutkan sebab
kemilikannya.
Atau (apabila) dua orang
mendakwakan memiliki sesuatu yang hak tasarufnya atau kenyataan barang itu
berada di salah seorang dari keduanya, maka yang dimenangkan adalah bayinah
pemegang barang itu (pemegang barang disebut Dakhil sedang pihak lain disebut
Khuruj) tanpa bersumpah, walaupun tanggalnya lebih akhur atau berupa saksi
seorang saja tambah sumpah, sedang bayinah Kharijy dua orang saksi, tidak
menyebutkan sebabsebab kemilikannya berupa pembelian atau lainnya, atau
walaupun bayinah kharij menerangkan sebab kemilikannya, sebagaimana
memenangkan bayinah pihak pemegang barang, walaupun sebelum diajukan bayinah
dakhil adalah dihukum! dengan bayinah kharij.
Memang,
(tetapi) apabila bayinah si Kharij memberikan persaksian bahwa Kharij membeli
barang dari si Dakhul atau dari orang menjual pada si Dakhil misalnya, maka
yang dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab dalam keadaan seperti iri
kekuasaan memegang barang bagi Dakhil adalah batal.
Apabila
si Kharij mengajukan bayinah yang dinyatakan bahwa si Dakhil ikrar atas
pemilikan Kharij terhadap barang, maka bayinah ini dimenangkan dan bayinah
Dakhit yang menyatakan kemilikannya menjadi tidak berarti, kecuali bila ia
menuturkan kepidahan hak milik yang mungkin terjadinya dari si Kharij kembali
kepada Dakhil.
Dimenangkan bayinah si Dakhil
seperti di atas, adalah apabila Dakhil mengemuakan bayinahnya setelah bayinah
Kharij, lain halnya bila dikemukakan sebelum bayinah Kharij, sebab bayinah si
Dakhil bisa diterima setelah bayinah Kharij, lantaran asal hujahnya tidak
beralih dari hujah itu selagi masih mencukupi.
Beberapa
Cabang:
Apabila sebab bayinah yang diajuan oleh
si Kharij, dilepaskanlah kekuasaan memegang barang oleh Dakhil, lalu si Dakhil
pun mengaju(kan bayinah yang menyatakan kemilikan dirinya sejak sebelum.
barang itu dilepaskan dari kekuasaannya, dania (Dakhil) mengemukakan alasan
ketidakhadiran para saksi atau ia tidak mengetahui mengenai mereka, maka bisa
diterima dan dimenangkan, sebab hak memegang barang tidak bisa hilang selain
dengan tidak ada hujah, sedang hujah di sini bisa diajukan. Maka rusaklah
putusan hukum (yang menyatakan lepas hak barang). Tetapi bila Kharij berkata:
“Barang itu adalah milikku yang kubeli darimu (Dakhul)”, dan Dakhuil menjawab:
“Justru itu milikku”, dan kedua-duanya mengajukan bayinah yang sesuai dengan
ucapan mereka itu, maka yang didahulukan (dimenangkan) adalah si Kharij,
karena pada bayinah terdapat per tambahan pengetahuan mengenai kepindahan hak
milik
Demikian pula -dimenangkan bayinah si
Kharij, kalau menyatakan bahwa barang itu miliknya, hanya saja
dititipkan/disewakan/dipinjamkan kepada si Dakhil, atau si Dakhil/orang yang
menjual kepadanya telah menggasab barang itu dari si Kharij, sedang bayinah
Dakhil menyatakan kemilikannya secara mutlak.
Apabila
dua orang saling mendakwakan kalau dirinya memiliki binatang/bumi/rumah, di
mana salah satu dari kedua orang tersebut memiliki barang muatan/tanaman/
barang-barang di dalam yang mereka dakwakan di atas, maka bayinah pendakwa
yang memiliki barang muatan dan seterusnya, dimenangkan atas bayinah yang
menyatakan kemilikan secara mutlak, karena ada kelebihannya dengan
memanfaatkan barang-barang tersebut, yang mana kekuasaan memegang adalah
padanya. Karena itu, apabila barang-barang tersebut berada di dalam bilik
tertentu, maka kekuasaan pemegangnya adalah orang yang di situ terdapat barang
tersebut.
Apabila terjadi perselisihan antara
suami-istri mengenai barang-barang rumah tangga, sekalipun terjadi setelah
perceraian, dan di antara mereka tidak ada yang mengajukan bayinah serta tidak
ada kekhususan memegang kekuasaan, maka di antara mereka saling menyumpah.
Kemudian,
apabila kedua-duanya berani mengucapkan sumpah, maka barang menjadi milik
mereka berdua, sekalipun pantasnya milik salah satunya saja, (tetapi) bila
yang bersumpah hanya salah satunya, maka barang menjadi miliknya, sebagaimana
bila salah satunya memegang kekuasaan terhadap barang itu.
Suatu
bayinah ditarjih (dimenangkan) dengan penyebutan tanggal yang lebih dulu.
Karena
itu, apabila ada dua orang yang mempercekcokan kemilikan suatu barang yang
berada di tangan mereka berdua/tangan orang ketiga/ tidak berada di tangan apa
pun, dan bayinah salah satunya menyatakan kemulikan orang yang ia berikan
persaksiannya mulai satu tahun hingga sekarang, sedangkan bayinah yang satunya
lagi memberikan persaksian bahwa orang itu dimiliki orang (pendakwa yang
satunya) sejak lebih lama daripada tahun yang diajukan oleh bayinah pertama
sampai sekarang, maka yang dimenangkan adalah pendakwa yang bayinah
menyebutkan tahun yang lebih dahulu (lama), sebab bayinah ini menyatakan
penetapan pemilikan pada suatu waktu yang bayinah lain tidak menentangnya.
Bagi
pihak yang memiliki bayinah yang tanggalnya lebih tua, adalah berhak
mendapatkan uang sewa dan keuntungan-keuntungan yang terjadi, terhitung sejak
hari pemilikannya berdasarkan persaksian bayinah, sebab hasil-hasil itu adalah
miliknya.
Apabila pihak yang bayinahnya
bertanggal muda itu memegang kekyasaan terhadap barang dan tidak diketahui
kalau penguasaannya atas barang tersebut adalah aniaya, maka menurut pendapat
Al-Ashah adalah dimenangkan bayinahnya.
Apabila
seseorang mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang lain, bahwa
ia membelinya dari Zaid sejak dua tahun, lalu Dakhil megnajukan baysnah yang
menyatakan bahwa ia membeli barang itu dari Zaid sejak satu tahun, maka yang
dimenangkan adalah bayinah Kharij, sebab bayinah itu menetapkan bahwa
kekuasaan pemegang (Dakhul) adalah didapatkan dengan cara yang tidak benar
(zalim), yaitu dengan membeli barang itu dari Zaid yang telah bukan
miliknya.
Bila kedua bayinah menyebutkan tanggal
yang sama/kedua-duanya tidak menyebutkan tanggal/salah seorang dari keduanya
saja yang menyebutkan tanggal, maka yang dimenangkan dakwaannya adalah
pemegang barang.
Apabila kesaksian kemilikan
barang waktu itu kemarin dan tidak menerangkan hingga sekarang, maka
kesaksiannya tidak bisa diterima, sebagaimana tidak bisa diterima dakwaan yang
seperti itu, sehingga bayinah menyatakan “dan hak miliknya belum hilang”, atau
“kita ndak tahu ia telah melepaskan hak miliknya”, atau bayinah itu
menjelaskan sebab kemilikannya, sebagaimana ia mengatakan: “Ia membelinya dan
pihak lawannya”, atau pihak lawan mengakui (ikrar) pembeliannya dari dirinya,
sebab dakwaan kemilikan waktu yang telah lewat adalah tidak bisa diterima,
demikian pula dengan bayinah.
Apabila pemegang
barang berkata: “Barang ini kubeli dari Fulan sejak satu bulan”, dan ia
mengajukan bayinah yang menyatakan hal itu, lalu istri Fulan tersebut berkata:
“Barang ini adalah milikku yang kudapatkan dari Fulan (suamiku) dengan
penukaran sejak dua bulan dan ia mengajukan bayinah yang menyatakan hal ini,
maka jika tertetapkan bahwa barang itu berada di tangan suami waktu diadakan
penukaran tersebut, maka dihukumi barang itu sebagai milik istri, (tetapi)
kalau tidak, maka barang itu dihukumi sebagai milik orang yang memegangnya.
Suatu
bayinah yang terdiri dari 2 orang laki-laki/ 1 laki-laki ditambah 2
perempuan/4 perempuan dalam masalah yang bisa disaksikan oleh empat perempuan,
adalah dimenangkan atas yang terdiri satu laki-laki ditambah sumpah pendakwa,
sebab keberadaan ijmak, diterimanya kesaksian kelompok-kelompok di atas, bukan
yang terdiri seorang saksi ditambah sumpah.
Bayinah
tidak dimenangkan lantaran kelebihan semacam keadilan atau bilangan (di luar
batas yang ditentukan dalam kesaksian) para saksinya, tetapi kedua bayinah
tetap diadu, sebab apa yang telah ditetapkan oleh syarak, adalah tidak
dianggap berbeda dengan yang berlebihan banyak/kurang banyak. Yang terdiri
dari 2 laki-laki adalah tidak dimenangkan atas yang terdiri dari seorang
laki-laki yang ditambah 2 perempuan, dan demikian pula yang terdiri dari 4
perempuan.
Tidak dimenangkan pula bayinah yang
bertanggal atas bayinah mutlak, yaitu yang tidak mengemukakan masa kemilikan,
sekira salah satu pihak pendakwa tidak sebagai pemegang barang dan
kedua-duanya sama-sama terdiri dani dua orang saksi serta bayinah yang kedua
tidak menjelaskan sebab kemilikannya, maka kedua bayinah yang seperti ini
tetap diadu.
Memang, (tetapi) apabila salah satu
bayinah menyatakan ada utang, sedang bayinah yang satunya menyatakan ada
pembebasan utang, maka yang dimenangkan adalah yang menyatakan pembebasan,
sebab bayinah ini menyatakan hal yang terjadi setelah ada ketetapan utang,
sedang dasar asalnya adalah bahwa utang tidak terjadi Berkali-kali.
Apabila
suatu bayinah menyatakan 1.000,sedang bayinah yang satunya menyatakan 2.000,-,
maka wajib 2.000,-
Apabila seseorang menyatakan
keberadaan Zaid berikrar bahwa berutang kepadanya, lalu Zaid menyatakan bahwa
ikrar orang itu (pendakwa) berisi “Ia (Zaid) tidak berutang kepadanya”, maka
pernyataan (penetapan) Zaid tidak membawa pengaruh sama sekali, sebab bisa
jadi setelah itu Zaid memang berutang lagi.
Beberapa
Cabang:
Apabila seseorang mengajukan bayinah
memiliki binatang atau pohon tanpa menyebutkan kemilikan yang dahulunya dengan
cara menyebutkan tanggal, maka ia tidak berhak memiliki buah yang telah
keluar/ anak yang lahir sejak kesaksian. Namun ia berhak memiliki buah/
kandungan yang tidak tampak ketika kesaksian, sebagai mengikuti kemilkan
terhadap induk/pohonnya.
Lalu, apabila bayinah
itu menyebutkan kemilikan dahulunya yang waktu itu buah dan anak telah ada,
maka bisa memilikinya.
Apabila seseorang membeli
sesuatu barang, lalu barang itu diambil oleh orang lain dari tangannya dengan
suatu hujah, bukan karena ikrar, maka pembeli tersebut berhak meminta kembali
uang yang telah ia serahkan kepada penjual barang yang tidak dibenarkan oleh
pembeli tentang kemilikannya terhadap barang itu serta penjual tidak
mengajukan bayinah yang menyatakan, bahwa barang itu dibeli dari pendakwa lalu
dijual, sekalipun setelah diputuskan hukum tersebut.
Lain
halnya bila diambil berdasarkan ikrar pemegang sesuatu barang tadi atau dengan
sumpah pendakwa (pengambil barang) setelah pemegang tidak mau bersumpah,
sebabia berbuat gegabah.
Apabila seseorang
membeli budak dan dia berikrar bahwa yang dibeli adalah budak, lalu budak itu
mendakwakan bahwa dirinya adalah merdeka sejak semula dan telah dihukumi
kemerdekaannya, maka pembeli bisa meminta kembali uangnya kepada penjual
sejumlah harga yang diberikan ketika membeli. Pengakuannya tentang kebudakan
seperti di atas tidak ada masalah, sebab ia (penjual) berpedoman pada yang
lahir.
Apabila seseorang mendakwakan membeli
sesuatu barang, lalu bayinah membuktikannya secara mutlak tentang kemilikan
itu (tidak menegaskan, bahwa kemilikan itu diperoleh dari pembeli), maka
bayinah bisa diterima, sebab ia memberikan kesaksiannya status yang dimaksud
dan tidak ada pertentangan, menurut pendapat Al-Ashah.
Demikran
pula apabila mendakwakan kemilikan secara mutlak, lalu bayinahnya memberikan
kesaksian dengan menyatakan sebab kemilikannya, maka tidak menjadi masalah,
(tetapi) bila mendakwakan sebab kemilikannya, sedang para saksi (bayinah)
menyebutkan sebab yang lain, maka pertentangan antara dakwaan dengan
pernyataan para saksi menjadi masalah.
Cabang:
Apabila
seorang menjual rumah, lalu terdapat bayinah yang menyatakan bahwa rumah itu
oleh ayahnya telah. diwakafkan kepada penjual, lalu kepada anak-anaknya, maka
rumah itu harus ditarik kembali dari tangan pembeli dan pembeli meminta
kembali sejumlah harganya dahulu kepada penjual, dan untuk selanjutnya
penghasilan rumah tersebut ditasarufkan penjual di atas, jika ia membenarkan
apa yang dinyatakan oleh para bayinah hisbah (tetapi) bila ia tidak
membenarkan, maka penghasilannya dibiarkan saja (tawaqqufkan)
Lalu,
bila penjual di atas meninggal duma dalam keadaan masih tidak membenarkannya,
maka penghasilan rumah tersebut ditasarufkan kepada kerabat terdekat pada
pewakaf, demikianlah yang dikatakan oleh Ar-Rafi’i sebagaimana juga
Al-Qaffal.
Cabang:
Persaksian
mengenai kemilikan waktu sekarang terhadap suatu barang yang didakwakan
berdasarkan anggapan berjalan terus status kemilikan yang telah ada di waktu
dulu, baik kemilikan itu didapatkan dari pewarisan, pembelian atau lainnya,
adalah diperbolehkan, bahkan persaksianitu wajib hukumnya bila hanya dia yang
mengetahuinya, karena berpedoman anggapan berjalan terus (Istishhab) status
dahulu lantaran dasar asalnya adalah. bahwa status itu masih ada, dan karena
dibutuhkan berpedoman dengan cara seperti itu.
Kalau
persaksian seperti itu tidak diperbolehkan, niscaya akan mengalami kesulitan
dalam memberikan kesaksiari mengenai hak milik yang diperoleh sejak dahulu,
apabila telah berjalan dalam masa yang lama.
Masalah
diperbolehkan persaksiannya seperti itu, adalah bila saksi tidak secara sharih
mengemukakan bahwa ia berpedoman pada anggapan berjalan terus status dahulu.
Kalau ia menjelaskan seperti itu, maka menurut kebanyakan ulama adalah tidak
diterima kesaksiannya.
Apabila ada dua orang
saling mendakwakan memiliki barang yang berada di tangan orang ketiga, maka
jika orang ketiga iri berikrar bahwa itu milik salah satu dari dua orang
tersebut, maka barang itu harus diserahkan kepadanya, dan pendakwa yang satu
dapat menyumpah orang ketiga yang berikrar tadi.
Apabila
ada dua orang saling mendakwakan barang yang berada di tangan orang ketiga,
dan masingmasing pendakwa mengajukan bayinahnya yang menyatakan bahwa barang
itu dibeli dari orang ketiga dan telah menyerahkan harganya, maka apabila
tanggal bayinahnya itu berbeda, dihukumi sebagai milik pendakwa yang
bayinahnya bertanggal lebih dahulu, sebab dengan bayinah inilah ada kelebihan
pengetahuan.
Kalau tanggalnya tidak berbeda yartu
kedua-duanya tdak bertangyal salah satunya saja atau keduanya menyebutkan
tanggal yang sama maka kedua bayinah itu menjadi gugur, sebab ketidakmungkinan
hal itu.
Kemudian, bila orang ketiga pemegang
barang itu berikrar bahwa barang itu milik kedua pendakwa atau salah satunya,
maka jelaslah masalahnya.
Kalau tidak berikrar,
maka orang ketiga diambil sumpahnya untuk dua pendakwa dan kedua pendakwa bisa
menarik kembali jumlah harga pembeliannya kepada orang ketiga, sebab
tertetapkan pembelian berdasarkan bayinah.
Apabila
dua pendakwa tersebut mengatakan: “Barang itu saya jual dengan harga sekian
dan kala itu barang menjadi milikku” (kalau tidak ditambah “dan kala itu
barang menjadi milikku”, maka dakwaan tidak bisa diterima), sedang barang di
tangan terdakwa, lalu terdakwa mengingkarinya dan dua orang pendakwa
mengajukan bayinah masing-masing yang menyatakan tuduhan itu serta kedua
pendakwa menuntut harga pembayarannya, maka bila kedua bayinah itu menyebutkan
tanggal yang sama, maka gugurlah kedua-duanya.
Apabila
masing-masing tanggalnya berbeda, maka terdakwa wajib membayar dua harga.
Apabila
pendakwa berkata: “Saya sewakan bilik itu kepadamu dengan harga sewa 10”,
misalnya, lalu dijawab: “Tetapi engkau sewakan seluruh rumah dengan harga sewa
10′, dan kedua-duanya mengajukan bayinah masing-masing, maka gugurlah kedua
bayinah itu, dan selanjutnya pendakwa dan terdakwa saling menyumpah, lalu akad
menjadi fasakh.
Peringatan: Dalam dakwaan
-sebagaimana juga persaksianbelum cukup menyebutkan pembelian kecuali dengan
disebutkan bahwa barang itu milik penjual, bilamana ia bukan pemegang barang,
atau disebutkan bahwa penjual adalah pemegang barang bilamana memang
pemegangnya dan bahwa barang itu terlepas dari tangan penjual dengan jalan
yang tidak benar.
Apabila seluruh atau sebagian
para ahli waris mendakwakan bahwa Muwarisnya yang mati itu memiliki suatu
barang, piutang atau manfaat suatu barang dan mereka mengajukan saksi mengenai
dakwaan itu, lalu sebagian di antara mereka bersumpah bersama saksinya, maka
yang bersumpah ini dapat mengambil harta tersebut sebesar bagian furudnya dan
harta yang diambil itu tdak disekutu’ kemilikannya dalam kayannya dengan para
ahli waris yang lainnya.
Karena hujah telah
sempurna dalam hak ahli waris yang bersumpah tersebut, sedang selainnya dapat
menyempurnakan hujahnya dengan bersumpah, dan dengan sumpah seorang, tidak
bisa orang lain yang diberinya.
Karena itu, bila dari sebagian ahli
waris ada yang masih kanak-kanak atau sedang tiada berada di tempat, maka ia
diambil sumpahnya setelah balig atau datang di tempat, dan selanjutnya dapat
mengambil bagiannya tanpa mengulangi proses pendakwaan dan persaksian.
Apabila
seseorang berikrar berutang kepada mayat, lalu sebagran ahli waris mengambil
sebesar bagiannya dari harta piutang itu, sekalipun tanpa melalui pendakwaan
dan tidak ada izin dari hakim, maka ahli waris yang lain ikut bersekutu dalam
kemilikannya terhadap harta yang terambil tersebut
Apabila (dalam
suatu persenkatan tersebut) ada salah satu dan para persenkatan kemilikan
suatu rumah atau kemanfaatan ruamh mengambil sebagian yang dikhususkan
buatnya, misalnya berupa uang sewanya, maka perserikatan yang lain tidak bisa
berserikat dalam memiliki bagian yang diambil tersebut, sebagaimana yang
dikatakan oleh Guru kita (Ibnu Hajar).
PASAL: SYAHADAH (KESAKSIAN)
Lafal “Syadat” adalah jamak dari “Syahadat”. Yang artinya
(menurut syara’) adalah: Pemberitahuan oleh seseorang dengan lafal tertentu
mengenai keberadaan hak yang berada pada tanggungan orang lain.
Kesaksian
mengenai ketetapan awal bulan Ramadan dalam kaitannya denga kewajiban berpuasa
saja, adalah harus dibenkan oleh sorang laki-laki, bukan perempuan atau
banci.
Kesaksian untuk keberadaan perzinaan dan
liwath adalah diberikan oleh empat laki-laki yang menyaksikan bahwa mereka
melihat pezina yang mukalaf dan tidak terpaksa, memasukkan kepala zakarnya ke
farji waruta dengan cara zina.
Guru kita berkata
Pendapat yang berwajah adalah di dalam kesaksian tentang perzinaan tidak
disyaratkan menyebutkan masa dan tempat perzinaan, kecuali bila salah satu
saksi telah menyebutkannya, maka bagi saksi yang lain wajib ditanya hal itu,
sebab bisa dimungkinkan terjadi perselisihan data yang menggugurkan kesaksian.
Tidak disyaratkan juga menyebutkan: “Kami melihat seperti batang celak masuk
ke wadah celak”, tapi cuma disunahkan saja.
Adapun
persaksian tentang ikrar seseorang bahwa dirinya telah berzina, adalah cukup
dengan dua orang, sebagaimana untuk ikrarikrar yang lainnya.
Untuk
kesaksian kehartaan (barang utang/kemanfaatan) dan sesuatu yang berlatar
belakang harta, baik itu akad kehartaan, misalnya jual beli, hawalah, dhaman,
wakaf, gardh, shuluh, khiyar dan masa pembayaran, adalah harus diberikan oleh
dua laki-laki/satu laki-laki ditambah dua perempuan/satu lakilaki
ditambah-sumpah pendakwa.
Tiada suatu persaksian
yang bisa ditetapkan dengan dua perempuan ditambah sumpah pendakwa.
Adapun
masalah-masalah selain di atas (bukan kehartaan dan bukan berlatar belakang
kehartaan), baik berupa uqubah hak Allah swt., misalnya had (hukuman) meminum
minuman keras dan pencurian, atau hak manusia misalnya qawad dan qadzaf serta
halangan status waris, -misalnya segenap ahli waris mendakwakan bahwa suami
yang mati telah mengkhuluk istri sehingga tidak bisa mewaris suami-, dan untuk
masalah-masalah yang pada galibnya diketahui oleh laki-laki, misalnya nikah,
rujuk, talak munayjaz maupun mu’allaq, fasakh nikah, kebaligan, kemerdekaan
budak, kematian, kemlaratan, qiradh, wakalah, kafalah, syirkah, wadi’ah,
wasiat, kemurtadan, habis masa idah dengan. perhitungan bulan, mengetahu bulan
selain bulan Ramadhan, persaksian terhadap persaksian atau ikrar mengenai
sesuatu yang tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dua orang laki-laki,
kesemuanya di atas harus diberikan oleh dua orang laki-laki, bukan seorang
laki-laki ditambah dua perempuan.
Sebagai
dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik, dari Az-Zuhri: Telah
ditetapkan dari Sunah Rasulullah saw., bahwa beliau tidak memperbolehkan
persaksian kaum wanita mengenai had, perniakhan dan talak.
Juga
segala sesuatu yang semakna dengan di atas, adalah dikiaskan dengannya.
Untuk
kesaksian mengenai perkara yang pada galibnya diketahui oleh kaum wanita,
misalnya kelahiran, haid, keperawanan, kejandaan, susuan dan cacat wanita yang
berada di bawah pakaiannya, adalah harus diberikan oleh 4 perempuan/2
laki-laki/1 laki-laki ditambah 2 perempuan.
Dasarnya
adalah hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah, dari Az-Zuhri: Telah ditetapkan dari
Sunah Rasul, bahwa belidu memperbolehkan persaksian kaum wanita mengenai
hal-hal yang selain mereka tidak terbiasa mengetahuinya, yaitu berupa
melahirkan dan kecacatan mereka.
Selain tersebut
di dalam hadis di atas adalah dikiaskan dengannya. Masalah-masalah tersebut
tidak bisa ditetapkan adanya dengan persaksian seorang laki-laki ditambah
sumpah pendakwa.
Sebagian dan Ashhabuna
Syafi’iyah ditanya mengenai apabila dua orang laki-laki memberikan kesaksian,
bahwa Fulan telah mencapai umur 16 tahun, lalu 4 perempuan memberikan
kesaksian bahwa perempuan Fulanah yang ayahnya telah mati dilahirkan pada
bulan yang sama dengan Fulan tersebut atau sebulan sebelumnya misalnya, atau
sebulan sesudahnya, maka apakah diperbolehkan menikahkannya (tanpa meminta
izin Fulanah, bila mungkin ia harus dimintai izinnya) dengan berpedoman
terhadap ucapan 4 wanita atau tidak diperbolehkan kecuali tertetapkan
kebaligannya dengan kesaksian 2 laki-laki?
Maka
beliau menjawabnya. Memang, Fulanah yang hari kelahirannya disaksikan oleh 4
perempuan tadi bisa ditetapkan kebaligannya, sebagaimana bisa pula ditetapkan
keberadaan nasabnya sebagai mengikuti persaksian kelahirannya. Karena itu,
wanita Fulanah di atas boleh dikawinkan berdasarkan izin darinya, sebab secara
syarak telah dihukumi balig. Selesai.
Cabang:
Apabila
seorang istri mengajukan saksi yang menyatakan, bahwa suaminya berikrar telah
menggaulinya, maka cukuplah dengan sumpah istri bersama saksi tersebut, dan
bisa ditetapkan maharnya.
Atau apabila suami
mengajukan seorang saksi yang menyatakan bahwa istrinya telah berikrar telah
digauli (dijimak), maka belum cukup sumpah suami bersama kesaksian saksi,
karena latar belakang dakwaan suami adalah adanya idah atau biasanya dirujuk,
yang mana keduanya bukan masalah kehartaan.
Saksi
disyaratkan keadaannya mukalaf, merdeka, bermuru’ah dan adil serta mengerti
secara saksama.
Karena itu, tidak bisa diterima
kesaksian anak kecil, orang gila, budak -karena ada kekurangannya-, orang yang
tidak mempunyai muru’ah -tidak mempunyai malu-, sedang orang yang tidak
mempunyai malu itu berkata semaunya. Muru’ah adalah orang yang menjaga diri
dan hal-hal yang oleh kebiasaan dinilai hina. Karena bagi selain orang pasaran
muru’ahnya jatuh lantaran makan, minum atau berjalan di pasar dalam keadaan
tidak menutup kepalanya. Gugur pula lantaran mencium wanita yang halal bagi
seseorang (istri/ amat) di depan orang banyak, terlalu banyak membual di depan
umum, bermain catur atau berjoget, lain halnya bila tiga di atas dilakukannya
tidak terlalu banyak. Persaksian juga tidak bisa diterima dari orang yang
fasik.
Segolongan fukaha, di antaranya
Al-Adzra’i, Al-Ghazali dan lain-lain memilih pendapat sebagian ulama
Malikiyah: Apabila keadilan (sifat adil) sudah tidak ada dan kefasikan
merajalela, maka sang hakim memutuskan hukum dengan persaksian orang yang
lebih patut, karena keadaan darurat.
Keadilan itu
bisa ternyatakan (terlihat) dengan sikap menjauhi segala dosa besar dengan
semua bentuknya, misalnya membunuh, berzina, menuduh zina, memakan riba,
memakan harta anak yatim, saksi palsu, mengurangi takaran atau timbangan,
memutuskan hubungan kerabat, lari dari barisan perang tanpa uzur, durhaka
kepada kedua orangtua, gasab sebesar 1/4 dinar, mengabaikan salat fardu,
menunda zakat dengan cara zalim, mengadu domba dan sebagainya: yaitu setiap
perbuatan maksiat yang memberitahukan bahwa pelakunya itu hanya sedikit
perhatiannya terhadap agama, bahwa hal itu menunjukkan kelemahan agamanya.
Ternyatakan
dengan menjauhi dari berterus-menerus melakukan satu dosa kecil atau
bermacam-macam, sebagaimana ketaatannya tidak dapat mengalahkan
kemaksiatannya.
Karena itu, apabila orang
melakukan dosa besar, maka batallah keadilannya secara mutlak (baik
ketaatannya mengalahkan kemaksiatannya ataupun tidak): atau (bila) melakukan
satu atau beberapa dosa kecil, baik terus-menerus atau tidak (asal ketaatannya
kalah dengan dosa kecil), lain halnya dengan pendapat yang membedakannya.
Bila
ketaatannya bisa mengalahkan kemaksiatannya (dalam melakukan dosa kecil), maka
orang itu tetap disebut adil. Kalau sama atau dosa-dosa kecilnya
(kemaksiatannya) mengalahkan ketaatannya, maka orang itu disebut fasik.
Dosa
kecil itu misalnya melihat atau memegang wanita lain, menggauli istri
(menyetubuhinya) dalam keadaan idah raj’iyah, tidak menegur-sapa kepada sesama
muslim lebih dari 3 hari, menjual khamar, orang laki-laki memakai pakaian dari
sutera, melakukan kebohongan yang tidak ada hadnya, melaknati walaupun pada
binatang atau orang kafir, menjual barang cacat tanpa menerangkan
kecacatannya, menjual budak muslim kepada orang kafir, buang air besar/kecil
dengan menghadapkan farjinya ke arah Ka’bah, membuka aurat di tempat sepi
tanpa ada hajat, bermain Nard (catur atau dam-daman)-karena ada dalil sahih
yang melarangnya-, menggunjing dan mendengarkan bila ada gunjingan.
Penukilan
sebagian ulama bahwa menurut ijmak, ghibah adalah termasuk dosa besar, karena
ada ancaman yang berat adalah dihubungkan dengan ghubah (menggunjing) kepada
ahli ilmu dan para penghafal Alqur-an. Ghibah adalah: Engkau menuturkan,
sekalipun dengan isyarat kejelekan orang lain yang menurut kebiasaan tidak
senang hal itu disebutkan dan orang lain itu tertentu dan terbatas Jumlahnya,
sekalipun di depan sebagian orang-orang yang diajak bicara.
Bermain
catur hukumnya makruh, jika tiada taruhan harta dari kedua belah pihak/salah
satunya, tidak menelantarkan salat -yang sekalipun karena terleka oleh
permainannya-, atau tidak bermain dengan mengiktikadkan keharamannya, (tetapi)
kalau begitu hukumnya haram.
Hadis yang
menyebutkan cercaan permainan catur dan seterusnya adalah dihubungkan pada
terjadinya hal-hal tersebut.
Gugurlah muru’ah
orang yang terusmenerus bermain catur, oleh karena Itu persaksiannya ditolak.
Bermain catur adalah haram, menurut ketiga imam secara mutlak.
Tidaklah
bisa diterima persaksian orang pelupa dan waras pikirannya, orang tuli dan
yang buta, sebagaimana yang akan diterangkan nanti.
Termasuk
“tahu secara saksama”, adalah bisa menghafal kata-kata Masyhud Alaih (orang
yang dipersaksikan atasnya) dengan persis huruf-hurufnya, tanpa kurang maupun
lebih.
Guru kita berkata. Dari situ, adalah tidak
boleh persaksian secara makna (tidak persis seperti kata-katanya), Memang,
(tetapi) tidak terlalu jauh (bila dikatakan) kebolehan mengemukakan syahadah
dengan menggunakan salah satu dari dua sinonim, sekira tidak membuat
kekaburan.
Saksi juga disyaratkan keadaannya
tidak dicurigai, bahwa persaksiannya itu akan menimbulkan suatu keuntungan
bagi diri orangtua/ anaknya atau akan tertolak suatu mudarat darinya.
Karena
itu, tidaklah bisa diterima persaksian seorang untuk budak mukatabnya, untuk
pengutang kepadanya yang telah mati, walaupun jumlah utang tersebut tidak
menghabiskan harta peninggalan: Lain halnya dengan persaksiannya untuk
pengutang yang kaya, demikian juga yang melarat, di mana kedua-duanya belum
mati, maka persaksian bisa diterima.
Ditolak juga
persaksian untuk sebagian dirinya sendiri, baik itu orangtua dan terus ke atas
maupun anaknya dan sekalipun ke bawah.
Tidak
tertolak persaksian atas sebagiannya sendiri mengenai sesuatu, sebab tiada
kecurigaan. Begitu juga persaksian atas ayah seseorang mengenai ketertalakan
istri pemadu ibunya yang masih menjadi istri ayahnya. Adapun talak raj’i, maka
persaksiannya bisa diterima secara pasti.
Semua
persaksian di sini diterima, adalah persaksian Hisbah atau setelah terjadi
dakwaan dari pihak istri pemadu ibunya (ibu tiri).
Karena
itu, bila ayah yang mendakwakan keberadaan talak itu karena tiada nafkah, maka
persaksiannya tidak bisa diterima, karena terdapat kecurigaan. Demikian pula
Ibunya sendiri yang mendakwakan keberadaan talak (terhadap istri
pemadunya).
Ibnush Shalah berkata: Apabila sang
anak mendakwakan atas orang lain mengenai adanya piutang untuk muwakkil, lalu
orang itu menging: karinya, tetapi ayah wakil bersama orang lain itu
memberikan kesaksian mengenai piutang itu, maka diterimalah persaksian
tersebut, sekalipun di situ terdapat unsur membenarkan anaknya.
Bisa
diterima persaksian masingmasing suami-istri, dua laki-laki berteman untuk
satunya.
Tertolaklah persaksian seseorang
mengenai objek pentasarufan suatu barang, misalnya ia menjadi wakil atau washi
harta itu, sebab dengan persaksian itu akan mengakibatkan penguasaan penuh
bagi dirinya sendiri atas barang yang dipersaksikan. Memang, tetapi bila
memberikan kesaksian setelah terlepas dari jabatannya dan sebelum itu ia tidak
pernah bersengketa mengenai harta itu, maka persaksian bisa di terima.
Demikian
pula tidak bisa diterima persaksian orang yang memegang barang titipan untuk
orang yang menitipkannya, persaksian pemegang gadai untuk penggadainya, karena
ada kecurigaan pemegang barang di tangan mereka.
Adapun
persaksian (wakil/washi) mengenai barang yang tidak menjadi objek perwakilan
atau pewasiatannya, maka adalah bila diterima.
Di
antara khilah-khilah untuk menjadikan sah persaksian wakil: Bila wakil itu
menjual barang (wakil untuk menjualnya), lalu pembeli mendakwakan bahwa ia
telah membayar harganya atau wakil pembelian membeli sesuatu, lalu ada orang
lain yang mendakwakan barang itu adalah miliknya, maka wakil dalam kedua
contoh bisa memberikan kesaksian untuk muwakkilnya, bahwa ia mempunyai hak
sekian yang menjadi tanggungan pembeli/ barang terbeli tersebut adalah milik
muwakkil, jika ternyata ia (wakil) dapat memberikan kesaksian mengenal barang
itu untuk penjual dan dalam kesaksiannya ta tidak menuturkan bahwa dirinya
adalah selaku wakil.
Al-Adzra’i membenarkan
kehalalan kesaksian tersebut secara batin, sebab di itu morupnkan penyampai an
suntu hak dengan jalan yang diperbolehkan.
Demikian
pula tidak bisa diterima persaksian mengenai kebebasan utang orang yang
utangnya ditanggung oleh saksi/orangtua/anak turun/budaknya, sebab dengan
persaksian seperti ini berarti saksi menolak tanggungan utang dari dirinya
sendiri atau pihak yang tidak bisa diterima persaksian untuknya.
Tidak
bisa diterima persaksian seseorang atas orang yang menjadi musuhnya dalam
permusuhan duniawi, (tepai) persaksian untuk musuhnya adalah tidak ditolak.
Musuh seseorang adalah orang yang merasa susah lantaran-orang itu berbahagia
dan sebaliknya.
Karena itu, apabila ada orang
memusuhi orang yang akan mengemukakan persaksian atasnya dan orang itu
mempertinggi pertikaiannya, lalu orang yang dimusuhi tersebut tidak
membalasnya, maka persaksia orang ini bisa diterima.
Peringatan:
Guru
kita berkata: Menurut lahir pembicaraan Nikaha, bahwa persaksian dari anak
sang musuh itu bisa diterima, Dalam hal ini bel,iau berpendapat, bahwa denga
keberadaan permusuhan sang ayah itu tidak bisa dipastikan anaknya turut
bermusuhan.
Faedah:
Menurut
hasil kesimpulan Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, bahwa orang yang menuduh zina
orang lain adalah tidak bisa diterima persaksian satu pihak atas yang lainnya,
sekalipun yang dituduh zina telah menuntut hadnya.
Demikian
pula tidak bisa, orang yang mendakwa orang lain bahwa orang ini telah
membegalnya di tengah jalan dan mengambil hartanya, maka persaksian satu pihak
atas yang lain tidak bisa diterima.
Guru kita
berkata: Dari pembicaraan Ar-Raudhah di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap
orang yang menyandarkan orang lain pada kefasikan yang bisa membawa akibat
permusuhan di antara mereka, maka persaksian satu atas lainnya tidak bisa
diterima.
Memang, (tetapi) belum ada ketegasan
hasil peninjauhan mengenai orang yang menggunjing orang lain dengan kefasikan
yang mestinya boleh digunjing, sekalipun orang di atas menetapkan sebab yang
memperbolehkan menggunying tersebut.
Cabang:
Persaksian
setiap pelaku bid’ah yang tidak kita hukumi kafir karena bid’ahnya, adalah
bisa diterima, sekalipun ia memaki-maki sahabat Nabi saw., sebagaimana yang
tertera di dalam Ar-Raudhah. As-Subki dan Al-Adzra’i. mendakwakan bahwa yang
demikian itu adalah keliru.
Persaksian orang yang
bersegera memberikannya sebelum dimintai persaksiannya, sekalipun setelah
terjadi proses pendakwaan, adalah tidak bisa diterima, sebab saksi seperti ini
bisa dicurigai. Memang, (tetapi) bila ia mengulangi persaksiannya itu kembali
di dalam majelis pengadilan setelah dimintai persaksiannya, maka bisa diterima
persaksiannya.
Kecuali dalam persaksian Hisbah,
yaitu persaksian yang dilatarbelakangi untuk mendapatkan ridha Allah swt. maka
sebelum dimintai persaksiannya, walaupun tiada terjadi dakwaan, bisa diterima
persaksian mengenai hak yang. dikuatkan untuk Allah swt., yaitu suatu hak yang
keberadaannya tidak terpengaruh dengan kerelaan manusia, misalnya talak raj’i
atau bain, kemerdekaan seseorang, kemustauladah-an, nasab, ampunan dari qawad,
masih berjalan masa idah atau telah habisnya, kebaligan, keislaman,
kekafiran,wasiat dan wakaf untuk semacam kepentingan umum, hak mesjid,
perbuatan meninggalkan salat/puasa/zakat, dan pemahraman radha’ atau
perbesanan.
Peringatan:
Hanya
saja persaksian Hisbah itu bisa diterima sebagai persaksian di kala
dibutuhkan. Karena itu, bila ada dua orang memebrikan persaksian bahwa si
Fulan telah memerdekakan budaknya atau bahwa si Fulan adalah laki-laki Fulanah
dari jalur susuan, adalah, belum cukup, sehingga dua orang saksi tersebut
berkata: “Sungguh, si Fulan itu memperlakukannya sebagai budak” atau “Sungguh,
si Fulan ingin menikahi Fulanah.
Tidak termasuk
ucapanku “dalam hak untuk Allah swt., yaitu hak manusia, misalnya qawad, had
qadzaf atau jual beli. Karena itu, persaksian hisbah dalam hal ini tidak bisa
diterima.
Persaksian hisbah bisa diterima Juga
dalam masalah had zina, pe begalan dan pencurian.
Bisa
diterima pula persaksian orang fasik yang telah bertobat sebelum sekarat dan
sebelum matahari terbit dari arah barat.
Tobat
ialah menyesali perbuatan maksiat dari segi kemaksiatan itu, bukan kaena takut
siksanya, andaikata diperlihatkan kepadanya dan bukan karena terbebani
tanggungan utang harta.
Dengan syarat melepas
kemaksiatan itu seketika, bila ia tengah melakukan atau terus-menerus
melakukannya. Termasuk arti melepas di siru, adalah mengembangkan barang hasil
gasab. Syarat (kedua) adalah mengukuhkan hati tidak akan mengulangi maksiat
sepanjang masih hidup. Syarat (ketiga) adalah menghindari berbuat zalim kepada
manusia, baik yang berupa harta ataupun lainnya.
Karena
itu, ia harus menunaikan kepada orang yang berhak menerimanya, mengembalikan
barang hasil gasab bila masih ada atau mengganti kepada pemiliknya bila telah
rusak, dan mempersilakan orang yang memuliki hak qawad atau had qadzaf untuk
melaksanakan haknya atau kalau mau membebaskannya.
Karena
berdasarkan hadis sahih: “Barangsiapa masih mempunyai kezaliman kepada saudara
Islamnya mengenai kehormatan atau harta, maka hendaklah ia meminta halalnya di
hari ini sebelum tidak terdapat dinar maupun dirham, jika ia mempunyai amal
kebajikan, maka diambillah kebajikan itu seukur kezalimannya, (tetapi) bila
fidak mempunyainya, maka amal kejelekan saudara yang dizalimi diberikan
kepadanya.” Amal kebajikan itu termasuk juga amal puasa, sebagaimana yang
dijelaskan oleh hadis riwayat Muslim: lain halnya menurut pendapat orang yang
mengecualikan amal puasa.
Lalu, bila ada uzur
untuk mengembalikan barang yang dizalimi kepada pemiliknya, maka ia bisa
mengembalikan kepada qadhi yang dapat dipercaya, Kalau juga tidak bisa, maka
ia dapat mentasarufkan barang tersebut dari siapa saja dari mashalihul
muslimin bila berita pemilik barang tersebut sudah terputus, dengan niat
menyerahkan gantinya bila ditemui pemiliknya. Apabila ia jatuh melarat, maka
ia harus berniat mengembalikan barang itu jika sudah kaya. Lalu, bila yang
melarat itu mati sebelum sempat mengembalikan barang tersebut, maka tiada
tuntutan lagi di akhirat, bila bukan maksiat dengan penetapannya sendiri. Maka
yang diharapkan dani anugerah Allah swt. yang luas adalah semoga Allah swt.
berkenan mengganti pemilik barang itu.
Untuk
kesahan menobati perbuatan mengeluarkan salat dari waktunya, disyaratkan
menggadhanya, sekalipun banyak, untuk perbuatan qadzaf, hendaknya orang itu
berkata: “qadzafku batal dan aku menyesalinya serta tidak akan mengulangi
lagi”, dan untuk perbuatan ghibah (menggunjing), hendaklah minta kehalalan
orang yang digunjing, jika ghibah itu sampai kepadanya, dan terhalang lantaran
orang yang digunjing telah mati atau ghibahnya panjang. Kalau berita ghibah
itu tidak sampai kepada orang yang digunjing atau ada halangan meminta
halalnya, maka cukuplah dengan menyesali perbuatannya sendiri dan memohonkan
ampunan kepada orang yang digunjing, bandingannya adalah sebagaimana orang
yang dengki (hasud).
Segolongan ulama
Mutaqaddimun mensyaratkan, bahwa untuk kesahan tobat dari segala maksiat harus
beristigfar kepada Allah swt. Ketentuan ini dipedomi oleh Al-Bulqini.
Sebagian
ulama berkata: Dalam menobati perbuatan zina, adalah butuh meminta halal
kepada suami perempuan yang diajak zina, jika tidak khawatir akan terjadi
fitnah: (tetapi) kaldu khawatir, maka: hendaklah memohon kepada Allah swt.
dengan kerendahan hati, semoga suami berkenan merelakan apa yang diperbuat
olehnya.
Sebagian ulama memasukkan perbuatan zina
ke dalam hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan hak Adami, maka untuk
menobatinya tidak perlu ada permintaan halal seperti di atas. Menurut pendapat
Al-Aujah adalah pendapat yang pertama.
Sunah bagi
pelaku zina -sebagaimana pula setiap orang yang melakukan maksiat-, agar
menutupi perbuatanitu: yaitu tidak menunjukkan agar dihad atau ditakzir, dan
tidak menceritakan perbuatannya dalam rangka menampakkan kenikmatan atau
keterbukaan, sebab sikap seperti ini secara pasti adalah haram hukumnya.
Demikian
pula, sunah bagi orang yang telah berikrar melakukan perbuatan di atas, agar
mencabut ikrarnya.
Guru kita berkata: Barangsiapa
yang meringgal dunia dalam keadaan masih mempunyai piutang yang belum ditagih
oleh ahli warisnya, maka dialah kelak yang akan menagihnya di akhirat, menurut
perndapat Al-Ashah.
Persaksian orang fasik bisa
diterima setelah bertobat dan setelah masa tstihra’, selama satu tahun,
terhitung mulas sejak tobat orang fasik yang tampak jelas kefasikannya itu,
karena tobat adalah perbuatan hati, sedang ia sendiri bisa berpura-pura
bertobat, agar bisa diterima persaksiannya dan kembali kekuasaannya Oleh
karena itu, diujilah dengan masa selama itu, agar kuat pengakuannya.
Hanya
saja sebagian besar ulama menentukan masa satu tahun, karena 4 musim (panas,
hujan, gugur dan semi) adalah mempunyai pengaruh terhadap gejolak syahwat
jiwa. Maka, apabila 4 musim itu telah terlewati, sedang ia masih tetap
keadaannya seperti semula, adalah menunjukkan kebaikan jiwanya.
Demikian
pula, masa istibra’ seperti ini wajib diterapkan kepada orang yang merobek
muru’ahnya, sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Ashhab.
Beberapa
Cabang:
Kebodohan saksi terhadap kefarduan
semacam salat dan wudu yang ia tunaikan, adalah tidak membuat kecacatan
persaksiannya. Begitu juga dengan ketidaktegasan saksi mengenai hal yang tidak
dipersaksikan (Masyhud Bih), jika ia , mengulangi dan penuh kemantapan, maka
ia harus mengulangi persaksiannya mulai awal.
Tidak
pula dengan adanya ucapan: . “Tiada data kesaksian padaku mengenai hal itu”,
jika ia mengatakan: “Aku lupa” atau ada kemungkinan terjadi hal yang ia
persaksikan itu-setelah ucapannya tersebut, sedang ketebalan mental agama
saksi di atas telah masyhur.
Qadhi tidak
diwajibkan meminta penjelasan lebih lanjut kepada saksi, jika si saksi telah
masyhur kuat hafalan dan mental agamanya, tetapi hal ini disunahkan
sebagaimana memisah-misahkan para saksi. Kalau saksi tidak masyhur seperti
itu, maka bagi qadhi wajib meminta penjelasan lebih lanjut.
Untuk
persaksian mengenai perbuatan, misalnya perzinaan, gasab, susuan dan
kelahiran, disyaratkan melihat sendiri perbuatan itu dan melihat pelakunya.
Karena itu, dalam masalah im tidak cukup hanya dengan dari orang lain.
Diperbolehkan
sengaja melihat farji dua orang. yang tengah melakukan zina untuk keperluan
Tahammulusy Syahadah (mengambil data persaksian), demikian pula sengaja
melihat farji wanita yang sedang melahurkan, demi keperluan tersebut.
Adapun
untuk persaksian mengenai. ucapan, misalnya akad, fasakh dan ikrar,
disyaratkan melihat orang: yang mengucapkannya dan mendengar waktu
mengucapkannya.
Karena itu, dalam masalah ucapan,
orang tuli yang tidak bisa mendengar, tidak bisa diterima sebagai saksi,
begitu juga dengan orang buta dalam masalah penglihatan, sebab jalan untuk
dapat membedakan tertutup baginya, karena bisa jadi keserupaan suara.
Seorang
saksi tidak cukup hanva dengan mendengar suara dani balik tabir sekalipun ia
telah mengenal suara itu, sebab sesuatu yang mungkin bisa dihasilkan dengan
salah satu pancaindera adalah tidak boleh memberlakukannya berdasarkan
kemungkinan besar dugaannya. sebab bisa juga terjadi keserupaan berbagai
suara.
Guru kita berkata: Memang, (tetapi) bila
mengetahuinya di dalam bilik sendirian dan tahu pula bahwa suara yang didengar
itu berasal dari orang yang berada di dalam bilik itu, maka diperbolehkan
memberikan persaksian dengan berpedoman terhadap suaru itu, sekalipun tidak
melihat orangnya. Demikian pula, kalau mengetahui ada dua orang di dalam bilik
dan tiada orang lain di situ, lalu mendengar dua orang tersebut mengikat akad
serta mengetahui siapa yang ijab dan yang qabul, lantaran ia telah mengetahui
pemilik barang yang diperjualbelikan atau hal yang lain, maka baginya
diperbolehkan mengemukakan kesaksian berdasarkan yang didengar dari mereka
berdua. Selesai.
Tidak sah mengambil data
kesaksian kepada wanit bertudung muka dengan berpedoman pada suaranya,
sebagaimana tidak sah mengambil datn kesaksian bagi orang yang dapat melihat
di tempat gelap dengan berpedoman pada suara, sebab bisa jadi terjadi
keserupan suara.
Memang, (tetapi) bila ia
mendengar suara wanita tersebut, lalu menggaetnya sampai ke depan qadhi dan
mengemukakan kesaksian atasnya, maka bolehlah -sebagaimana orang buta-, namun
dengan syarat wanita tersebut membuka penutup mukanya (di depan qadhi), agar
qadhi bisa mengetahui rupanya.
Segolongan ulama
berkata: Pernikahan wanita dalam keadaan memakai cadar, adalah belum sah,
kecuali bila kedua saksinya mengetahut nama, nasab atau rupa waruta
tersebut.
Seseorang, tanpa ada mu’aridh. (sesuatu
yang melawani) adalah bisa mengajukan kesaksian mengenai nasab, sekalipun dari
jalur ibu atau kabilah, kemerdekaan, kematian, wakaf, nikah dan kemilikan,
dengan berdasarkan Istifadhah, yatu kemasyhuran benita dari orang banyak yang
bisa dijamin, bahwa mereka tidak akan sepakat berbuat bohong lantaran jumlah
mereka yang begitu banyak, karena hal itu bisa menimbulkan keyakinan atau
perkiraan kuat mengenai kebenaran berita dari mereka.
Orang
banyak tersebut tidak disyaratkan harus orang-orang yang merdeka, dan tidak
pula harus laki-laki.
(Dalam hal ini) saksi belum
cukup dengan ucapannya: “Saya dengar orang-orang berkata begini”, tetapi
hendaklah ia berkata: “Saya berikan kesaksian, bahwa ia adalah putra si Anu…”,
misalnya.
Bagi seseorang, tanpa ada mu’aridh,
bisa mengajukan persaksian mengenai kemilikan berdasarkan istifadhah seperti
di atas,-atau bisa juga berdasarkan kekuasaan memegang barang itu dan
ditasarufkannya seperti kuasa pemilik, misalnya didiami, dibangun, digadaikan
dan disewakan, dalam jangka waktu yang menurut kebiasaan terhitung lama.
Karena
itu, belum cukup dalam persaksian mengenai kemilikan berdasarkan semata-mata
memegang barang itu, sebab pemegarigan barang itu tidak memastikan adanya
kemilikan. Tidak pula berdasarkan semata-mata tasaruf, sebab bisa juga hakl
tasaruf diperoleh dengan perwakilan. Tidak pula berdasarkan keberadaan tasaruf
dalam waktu yang pendek.
Memang, bila di samping
ada tasaruf itu terdapat pula istifadhah yang memberitakan bahwa barang itu
miliknya, maka persaksian mengenai kemilikan bisa diajukan, sekalipun masa
tasaruf yang telah terjadi itu hanya sebentar.
Tidaklah
cukup ucapan saksi: “Saya lihat tasaruf-tasaruf itu bertahun-tahun “
Para
ulama dalam masalah kebolehan mengemukakan persaksian mengenai keberadaan
kemilikan berdasarkan pemegangan barang (lan tasaruf dalam waktu yang lama di
atas, mengecualikan kemilikan pada budak, Maka di uni persaksian ndak
chperbolahkan berdasarkan ada Kekuasaan pemegangan serta tasaruf dalam waktu
lama, kecuali bila di samping itu juga didengar dari pemegang budak tersebut,
bahwa budak itu miliknya, sebagaimana yang tersebut di dalam Ar-Raudhah.
Hal
ini dimaksudkan berbuat hati-hati dalam menghadapi masalah kemerdekaan
manusia, dan karena banyak perlakuan terhadap orangorang merdeka selaku
pelayan.
(Bisa pula mengajukan persaksian
mengenai keberadaan kemilikan berdasarkan) anggapan berjalan terus status yang
telah ada dahulu, baik dari semacam pewarisan atau pembelian, walaupun bisa
jadi lepasnya kemilikan itu, karena ada keperluan yang mengajak untuk
meletakkan Isthishhab sebaga dasar dan karena dasar asalnya adalah, bahwa
status kemilikan itu masih berjalan terus.
Dalam
masalah persaksian berdasarkan Istifadhah, Ibnu Abid Dam mensyaratkan, bahwa
saksi tidak secara sharih menyebutkan kalau dasar pegangan persaksian itu
adalah Istifadhah, begitu juga dengan masalah Istishhab.
Kemudian
pendapat seperti itu dipilih dan diikuti oleh As-Subki dan lainnya: yaitu bila
saksi mengemukakan dasar pegangannya yang seperti itu untuk menguatkan
keyakinannya -mantap dengan kesaksiannya-, lalu ia berkata: “Dasar peganganku
adalah Istifadhah/ Istishhab”, maka tetap bisa diterima kesaksiannya, Kalau
tidak, misalnya ia berkata: “Kukemukakan kesaksian berdasarkan Istifadhah
begini…”, maka persaksian tidak bisa diterima, Lain halnya menurut
Ar-Rafi’.
Dengan ucapanku “tanpa ada mu’aridh”,
dikecualikan apabila misalnya dalam masalah persaksian nasab itu terdapat
celaan dari sebagian manusia, maka di sini persaksian berdasarkan Istifadhah
tidak diperbolehkan, sebab terdapat mu’aridh.
Peringatan:
Orang
yang mengemukakan kesaksian, ditentukan wajib memakai kata “Asyhadu”
(kuberikan kesaksian). maka tidaklah cukup dengan memakai sinonimnya, misalnya
“A’lamu” (aku yakin), sebab kata yang pertama tersebut lebih bisa mencapai
kejelasan.
Apabila saksi itu mengetahui sebab
kemilikan, misalnya ikrar, apakah ia bisa memberikan kesaksian keberadaan hak
mulik atau tidak? Di sini ada dua pendapat (wajah), yang lebih masyhur di
antara kedua pendapat adalah tidak bisa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnur
Rafi’ah dari Ibnu Abid Dam.
Ibnush Shabagh
-sebagaimana lainnyaberkata: Bisa diterima, dan imi adalah sesuai dengan
pembicaraan Rafi’i dan Nawawi.
Persaksian
mengenai kesaksian orang yang bisa diterima kesaksiannya, adalah bisa diterima
dalam masalah yang bukan uqubah hak Allah swt.
baik
berupa harta maupun bukan, misalnya keberadaan akad, fasakh, ikrar, talak,
rujuk, susuan, permulaan Ramadhan, wakaf untuk mesjid/ kemaslahatan umum,
qawad dan qadzaf.
Lain halnya dengan uqubah hak
Allah swt,, misalnya had zina, minum minuman keras dan pencurian.
Hanya
saja diperbolehkan memberikan kesaksian atas kesaksian dengan beberapa syarat:
Terasa sulit kesaksian itu diberikan oleh Ashal (saksi yang sekarang
kesaksiannya dipersaksikan), sebab berada di tempat yang jauh melebihi jarak
Adwa atau karena takut di tahan oleh pemjutangnya, sedang dirinya dalam
keadaan melarat, atau sakit yang berat untuk bisa hadir mengemukakan
kesaksiannya, demikian pula uzur karena mati atau gila.
Disyaratkan
lagi, atas permintaan saksi pertama demi menjaga dan memelihara kesaksiannya
kepada saksi kedua, agar menyampaikan kesaksian atas namanya (saksi pertama),
sebab kesaksian atas kesaksian adalah suatu penggantian, oleh karena itu di
situ diperlukan ada izin dari orang yang berfungsi sebagai ian.
Saksi
pertama (Asal) bisa berkata: “Saya adalah saksinya, bahwa begini .” dan “Saya
mempersaksikan kepadamu mengenai kesaksianku begiru” atau “Persaksikanlah
mengenai kesaksian begini”: Maka tidak cukup dengan perkataannya: ” Aku
mengetahui begini”.
Lalu, apabila saksi pertama
(Asal) tidak menggunakan kata “saksi” dan berkata: “Saya kabarkan kepadamu/
Saya beri tahukan kepadamu bahwa begiru”, maka belum cukup, sebagaimana
kalimat tersebut cukup penyampatan kesaksian di depan qadhi.
Dalam
Tahammul (mengambil data persaksian) belum cukup dengan mendengarkan
ucapannya: “Si Fulan mempunyai tanggungan sekian atas si Fulan”, atau dengan
ucapan saksi pertama: “Padaku ada kesaksian begini …”
Disyaratkan
lagi, di kala mengemukakan kesaksiannya, saksi kedua menegaskan cara Tahammul,
misalnya: “Saya menyaksikan bahwa si Fulan menyaksikan begini dan ia
mempersaksikan kepadaku mengenai kesaksian itu”, atau “… dan saya mendengar ia
menyaksikan seperti itu di depan qadhi “
Maka,
apabila saksi kedua tidak menegaskan cara Tahammulnya dan hakim telah
mempercayai dengan keilmuannya (mengenai syarat tahammul), maka ketegasan
tersebut tidak wajib: Oleh karena itu, cukuplah dengan perkataannya: “Saya
menyaksikan mengenai kesaksian si : Fulan begini”. karena telah bisa di dapat
maksud persaksian (yaitu menetapkan keberadaan hak).
Disyaratkan
lagi, saksi kedua menyebutkan saksi pertama dengan suatu sebutan yang dapat
membedakan dengan orang lain, sekalipun saksi pertama itu orang yang adil,
untuk bisa diketahw keadilannya. Karena itu, bila tidak menyebutkannya, maka
belumlah cukup, sebab terkadang hakim mengetahur kecacatan saksi pertama kalau
disebutkan.
Ada dua pendapat mengenai kewajiban
menyebut nama saksi yang kesaksian pertama adalah dani qadhi, dan Al-Adzra’i
membenarkan kewajiban penyebutannya pada masa-masa sekarang ini, karena ada
kebodohan dan kefasikan yangrtelah melanda pada para Qadhi.
Apabila
saksi pertama mengalami permusuhan (dengan Masyhud Alah) atau kefasikan, maka
kesaksian saksi kedua tidak bisa diterima. Kalau halangan-halangan itu telah
hilang, maka diperlukan tahammul baru lagi.
Cabang:
Tahammul
para wanita adalah tidak sah, sekalipun sesama wamta dalam masalah kelahiran,
sebab persaksian atas persaksian adalah biasanya diketahui oleh laki-laki.
Telah
cukup persaksian dua orang saksi, yang keduanya (bersamasama) atas persaksian
masing-masing dua orang saksi pertama. Karena itu, tidak disyaratkan
masing-masing dari dua saksi pertama harus disaksikan oleh dua orang saksi
kedua.
Tidak cukup satu saksi kedua menyaksikan
saksi pertama yang ini (satu saksi pertama) dan satu lagi saksi kedua
menyaksikan satu saksi pertama yang itu.
Demikian
pula tidak cukup, seorang saksi kedua menyaksikan seorang saksi pertama dalam
masalah tanggal pertama Ramadhan.
Cabang:
Apabila
para saksi mencabut kesaksiannya sebelum diputuskan hukumnya, maka pencabutan
itu mencegah pemutusan hukum: Atau (kalau) sesudah diputuskan, maka pencabutan
tersebut tidak dapat merusak putusan hukum.
Apabila
para saksi memebrikan kesaksian tentang talak bain atau hubungan mahram dari
jalur radha’ (antara suami-istri) dan qadhi menceraikan di antara mereka, lalu
para saksi mencabut kesaksian tersebut, maka perceraian tetap berjalan terus,
sebab ucapan mereka dalam pencabutan kesaksian, adalah mempunyai alternatif
benar/salah (muhtamal), sedang keputusan hukum tidak bisa ditolak lantaran
sesuatu yang muhtamal.
Sekira suami tidak
membenarkan kesaksian para saksi tersebut, maka para saksi berkewajiban
membayar mahar mitsil, sekalipun perceraian itu sebelum suami menjimak, atau
sesudah istri membebaskan suaminya dari mahar, sebab mahar mutsil itu sebagai
ganti dari farji yang mereka lepaskan dari suami dengan kesaksian yang mereka
kemukakan.
Kecuali bila ada ketetapan
(berdasarkan bayinah lain/ikrar/pengetahuan qadhi) bahwa antara suami-istri
itu tiada pertalian nikah (yang sah), lantaran semacam hubungan radha’, maka
tiada tanggungan utang (mahar mitsil) atas mereka, sebab mereka, tidak
melepaskan sesuatu pun dari suami tersebut.
Apabila
para saksi dalam masalah kehartaan mencabut kembali keSaksian mereka, maka
mereka wajib membayar gantinya kepada Mahkum Alaih (orang yang dikeriai hukum
atasnya) dengn dibagai rata sesama mereka, setelah Mahkum Alaih membayarkan
kepada Mudda’i, bukan sebelumnya, sekalipun mereka berkata: “Kami semua keliru
dalam memberikan kesaksian”.
Penyempurna:
Guru
dari para guru kita, yaitu Zakaria, sebagaimana Al-Ghazzi dalam masalah
Talfiqusy Syahadah berkata:
Apabila satu orang
saksi menyaksikan ikrar seseorang, bahwa dirinya : mewakilkan kepada orang
lain dalam masalah begini, lalu ada orang lain lagi menyaksikan orang tadi
mengizinkan kepada orang lain tadi pula untuk tasaruf/menyerahkan hak tasaruf
kepada orang lain tadi, maka dua kesaksian bisa dikumpulkan dan diamalkan,
sebab penukilan secara maknanya adalah seperti. secara lafalnya.
Lain
halnya apabila satu orang menyaksikan bahwa seseorang tadi berkata: “Saya
wakilkan kamu dalam masalah begini”, sedang orang lain lagi berkata, bahwa
seseorang tadi berkata: “Saya serahkan hal itu kepadamu”: atau apabila satu
orang menyaksikan, bahwa seseorang telah melunasi utangnya dan orang lain lagi
menyaksikan bahwa utang dibebaskan daripadanya, maka dua kesaksian dalam dua
contoh di atas tidak dapat di-talfiq-kan. Selesai.
Guru
dari para guru kita, yaitu Ahmad Muzjidi berkata: Apabila satu orang
menyaksikan, bahwa yang terjadi adalah penjualan dan orang lain menyaksikan,
bahwa terjadi ikrar karena penjualan, atau apabila satu orang menyaksikan
bahwa barang yang didakwakan itu milik si pendakwa dan orang lain menyaksikan
keberadaan ikrar pemegang barang (Dakhul), bahwa barang itu milik pendakwa,
maka dua kesaksian (dalam dua contoh)itu tidak dapat di-talfiq-kan.
Apabila
salah satu dari dua saksi itu mencabut kesaksiannya, lalu mengaJukan kesaksian
lagi yang sama dengan kesaksian yang lainnya, maka hal itu bisa diterima,
sebab ia diperbolehkan mengemukakan dua perkara.
Barangsiapa
mendakwakan memiliki 2.000,dan dikemukakan secara mutlak, lalu disaksikan oleh
satu orang secara mutlak juga, sedang saksi yang satunya lagi mengajukan
kesaksian, bahwa jumlah tersebut didapatkan dari utang, maka dakwaan kemilikan
tersebut bisa tertetapkan: Atau satu saksi mengajukan kesaksian bahwa
kemilikan 1.000, dari harga penjualan, sedang satu saksi yang lain mengajukan
kesaksian bahwa 1.000, dari utang, maka dua kesaksian seperti ini tidak dapat
di-talfiq-kan, dan si pendakwa bisa bersumpah sehubungan dengan dua persaksian
ini.
Apabila seorang saksi menyaksikan ada ikrar
dan saksi yang lain menyaksikan ada kemilikan berdasarkan Istifadhah dalam
cara yang bisa diterima, maka dua persaksian ini bisa di-talqiq-kan.
Selesai.
Syekh ‘Athiyah Al-Makiy rhm. ditanya
mengenai dua orang lakilaki, yang mana salah satunya mendengar seseorang
menjatuhkan talak tiga, sedang yang satunya lagi mendengar ada ikrar talak
tiga tersebut, maka apakah hal itu bisa di-talfiq-kan atau tidak?
Maka
jawab beliau: Bagi dua orang yang mendengar penjatuhan talak tiga, dan yang
mendengar ada ikrar talak, wajib mengemukakan kesaksian talak tiga yang
terjadi atas suami tersebut secara pasti, yaitu bukan yang satu mengemukakan
keberadaan penjatuhan talak dan satunya lagi mengemukakan ikrar mengenai talak
tersebut.
Dari segi apa pun (makna/lafal), masalah di atas bukan
termasuk kasus Talfiqusy Syahadah, tetapi (pada galibnya) gambaran penjatuhan
talak dan pengikrarannya adalah jadi satu, dan hukum bisa ditetapkan
berdasarkan terjadinya talak dalam apa pun latar belakangnya (berniat
menjatuhkan talak ataupun ikrar). Sedang sang qadhi wajib mendengarkan dua
persaksian di atas. Selesai.
PENUTUP: TENTANG SUMPAH
Suatu sumpah tidak bisa terwujudkan, selain dengan menggunakan
nama yang khusus untuk Allah swt. atau sifat dari sifat-sifat-Nya, milasnya
“Wallahi” (demi Allah), “Wa rahmani” (demi Zat Yang Maha Pengasih), “Wal
Ilahi” (demi Tuhan), “Wa Rabbil ‘Alamin” (demi Tuhan, Penguasa alam raya), dan
“Wa khaliqil Khaliqi” (demi Pencipta makhluk).
Apabila orang
berkata: “Wa kalamillahi”, (demi firman Allah), “Wakitaballahi” (demi kitab
Allah), “Wa Qur-anillahi” (demi Qur-an Allah), “Wat Taurat” (demi Taurat),
atau “Wal Injili” (demi Injil). maka semua itu menjadi sumpah. Demikian pula
dengan ucapan “Wal Mushhafi”, jika tidak bermaksud pada kertas dan sampulnya.
Apabila orang berkata: “Wa Rabbii” (demi Tuhanku) dan kebiasaan mereka berlaku
menamakan sayid (tuan) dengan Rabb, maka adalah kinayah sumpah. Kalau tiada
kebiasaan seperti itu, maka secara jelas adalah sebagai sumpah, jika tidak
bermaksud selain Allah swt.
Sumpah tidak bisa
terwujudkan dengan menggunakan makhluk, misalnya Nabi atau Ka’bah, sebab ada
hadis shahih yang melarang bersumpah atas nama para ayah dan memerintahkan
agar bersumpah dengan menggunakan nama Allah.
Al-Hakim
meriwayatkan hadis: “Barangsiapa bersumpah dengan menggunakan selain nama
Allah, maka sungguh ia telah berbuat kafir.”
Para
ulama mengakhirkan hadis di atas pada, apabila orang bermaksud mengagungkan
selain Allah sebagaimana mengagungkan Allah. Kalau tidak ada maksud seperti
ini, maka menurut kebanyakan ulama adalah berdosa, yaitu dengan mengikuti nash
Imam Syafi’i yang dengan sharih mengemukakan begitu. Demikian pula yang
dikemukan oleh sebagian ulama yang mengomentari kitab Al-Minhaj.
Keterangan
yang ada di dalam Syarah Muslim dengan menukil dari Al-Ashhab, adalah makruh
hukumnya dan inilah yang muktamad, sekalipun dalil di atas secara lahur
mengarah ke dosa. Sebagian ulama berkata: Pendapat yang sebaik-baiknya
diamalkan (dipegangi ) pada kegaliban beberapa masa, sebab pada galibnya orang
yang bersumpah dengan menggunakan nama makhluk adalah mengagungkan dan
menyamakan kepada Allah swt. Maha Suci Allah dari semua itu dengan kemuliaan
dan keagunganNya. –
Apabila ada orang bersumpah
menggunakan pernyataan yang bisa mewujudkan sumpah, lalu ia berkata: Saya
tidak bermaksud untuk bersumpah”, maka perkataan yang akhur ini tidak bisa
diterima.
Apabila di belakang sumpahnya,
seseorang berkata: “Insya Allah”, serta ia bermaksud pada lafal itu dan
mengecualikan dalam makna sumpahnya, sebelum selesai mengucapkan, dan
pengecualian Itu bersambung dengan sumpahnya, maka sumpah belum menjadi sah,
maka dari itu tidak terjadi pengkhuanatan (penerjangan) sumpah dan tidak
berkewajiban membayar kafarat.
Jikalau tidak
mengecualikan dengan lafal, tetapi berriat di dalam hati, maka secara lahir
tidak terelakkan ada pengkhianatan sumpah kafarat, tetapi di-Tadyin (yaitu
secara batin ia dihukumi menurut apa sebenarnya yang terjadi dalam
hatinya).
Apabila seseorang berkata kepada orang
lain: “Saya menyumpah engkau demi Allah …”, atau “Demi Allah saya ntemintamu
agar benarbenar melakukan begini”, dan ia bermaksud sumpah untuk dirinya
sendiri, maka jadilah sebagai sumpah.
Apabila
tidak bermaksud sumpah untuk dirinya sendiri, tetapi bermaksud memohon syafaat
kepada Allah swt./menyumpah orang yang diajak bicara/tidak bermaksud apaapa,
maka tidak menjadi sumpah, sebab ia dan orang yang diajak bicara tidak
bersumpah.
Makruh menolak permintaan orang yang
meminta dengan menggunakan nama Allah swt. atau Zat-Nya dalam hal yang tidak
dihukumi makruh. Demikian pula meminta dengan cara seperti itu.
Apabila
seseorang berkata: “Jika melakukan begini, maka aku Yahudi/Nashrarni”, maka
pernyataan itu bukan suatu sumpah, sebab tidak ada menyebut nama atau sifat
Allah swt., dania tidak berkewajiban membayar kafarat bila menerjangnya.
Memang,
ucapan seperti di atas haram diucapkan, tetapi tidak sampai kufur. Apabila ia
bermaksud menjauhkan dirinya dari kata-kata yang sah digunakan sumpah atau
tidak bermaksud apa-apa, maka hukumnya haram dan ia wajib bertobat.
Apabila
ia menggantungkan keterjadian ( Yahudi/Nashrani/dan sebagainya) atau bermaksud
kerelaan hal itu terjadi jika ia melakukan perbuatan Mu’allaq Alaih begini
tadi, maka seketika itu juga ia menjadi kafir.
Dalam
keadaan di mana ia tidak dihukumi kafir, maka ia disunahkan memohon ampun
kepada Allah swt dan mengucapkan. “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah
Rasul Allah”, Pengarang kitab Al-Istiqsha’ mewajibkan hal itu dilakukan (bukan
sunah).
Barangsiapa lisannyg terlanjur
mengucapkan sumpah, sedang ia tidak ada maksud untuk itu, misalnya “Tidak!
Demi Allah” dan “Ya, demi Allah” dalam keadaan semacam marah atau sebagai
penyambung pembicaraan, maka tidak menjadi sumpah.
Bersumpah
itu hukumnya makruh, kecuali di dalam pembaitan jihad, anjuran berbuat baik
dan dalam dakwaan yang benar.
Apabila seseorang
bersumpah untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan haram, maka ia
adalah bermaksiat, dan ia wajib menerjang sumpahnya serta membayar kafarat.
Atau
bersumpah untuk meninggalkan perbuatan sunah atau melakukan : perbuatan
makruh, maka disunahkan menerjangnya dan wajib membayar kafarat misalnya masuk
rumah dan memakan makanan, semisal ” Demi Allah, aku tidak akan makan”, maka
yang lebih utama adalah menerjang sumpahnya, karena melanggengkan pengagungan
nama Allah swt.
Atau bersumpah untuk meninggalkan
perbuatan mubah atau melakukannya.
Cabang:
Sunah
memberatkan sumpah dari pendakwa atau terdakwa, sekalipun pihak lawan tidak
memintanya dalam masalah nikah, rujuk, kemerdekaan budak, perwakilan dan dalam
harta yang mencapai jumlah 20 dinar, bukan yang di bawah jumlah tersebut,
sebab menurut pandangan syarak, terlalu hina jumlah ini.
Memang,
bila hakim berpendapat bahwa dengan diberatkan sumpah akan membawa maslahat,
karena semacam ada kesembarangan orang yang bersumpah, maka bisalah hakim
melakukannya.
Pemberatan tersebut dilakukan
dengan memulih waktu, yaitu setelah dengan waktu Ashar, dan waktu Ashar hari
Jumat adalah lebih utama, dan dengan memilih tempat untuk orang-orang muslim
dilakukan di sebelah mimbar, dan yang lebih utama adalah naik ke mimbar: Dan
dengan menambahkan nama dan sifat Allah swt.
Sunah
bagi orang yang akan bersumpah dibacakan ayat: Innallaadzina … dan seterusnya.
(Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpahsumpah mereka
dengan harta benda dunia yang sedikut….. (QS. Aali Imran: 77): dan hendaknya
diletakkan Mushaf di pangkuannya.
Apabila
mencukupkan pada ucapan “Wallahi”, maka telah cukup.
Ukuran
anggapan dalam sumpah adalah menurut ruat hakim yang mengambil sumpah. Karena
itu, dosa sumpah bohong tidak bisa terelakkan dengan semacam Taunyah, misalnya
menyebut pengecualian yang tidak teranaya oleh lawan sengketanya. Demikian
sebagaimana yang dibahas oleh Al-Bulqini,
Adapun
orang yang teraniaya oleh lawan sengketanya dalam hakikat perkara, misalnya
mendakwakan (memiliki sesuatu) terhadap orang yang melarat, lalu orang ini
bersumpah “… engkau tidak memiliki sesuatu atasku”, yang ia maksudkan adalah
“sesuatu yang harus diserahkan sekarang juga”, maka tauriyah dan takwilnya
bermanfaat bagi orang tersebut, sebab lawan sengketanya berbuat zalim, jika
telah mengetahui kemelaratannya terdakwa, atau lawan orang yang salah berbuat
bila belum mengetahuinya.
Bila seseorang
bersumpah sendiri (tidak karena kewajiban bersumpah) atau disumpah oleh selain
hakim (misalnya pendakwa), maka ukuran anggapannya adalah yang diatkan oleh
orang yang bersumpah (Halif) dan bisa bermanfaat ada tauriyah, sekalipun
tauriyah tersebut haram, yaitu yang sekira dengan sumpah itu maka terjadi
kebatalan hak orang yang mestinya berhak mendapatkannya.
(Kekuatan)
sumpah adalah dapat memutus persengketaan dengan seketika, bukan memutus hak
yang didakwakan Karena itu, tanggungan orang yang bersumpah tidak dapat bebas
bila ia berdusta dalam sumpahnya.
Maka, apabila
hakim menyumpah si terdakwa (di waktu tiada bayinah dari pendakwa), lalu
pendakwa mengajukan bayinah, maka ia harus memutuskan hukum dengan dasar
bayinah tersebut, sebagaimana bila terdakwa berikrar (mengenai kebenaran
dakwaan) setelah ia bersumpah (pengingkarannya).
Nukul
(pembangkang bersumpah dari terdakwa) adalah adanya perkataan terdakwa: “Saya
tidak may bersumpah”, atau qadhi berkatg kepada terdakwa: “Sumpahlah”/, lalu
jawabnya: “Saya tidak mau bersumpah”. Sedang yang disebut Yamin Mardudah
adalah sumpah yang diucapkan oleh pendakwa setelah terdakwa tidak mau
bersumpah.
Sumpah seperti ini mempunyai kekuatan
sebagaimana ikrar terdakwa, bukan sebagaimana kekuatanbayinah.
Karena
itu, bila Yamin Mardudah setelah diucapkan, terdakwa mengajukan bayinah yang
menyatakan, bahwa ia telah melunasi atau dibebaskan dari tanggungannya, maka
bayinah tidak bisa diterima, sebab ia sendiri tidak membenarkan bayinah
tersebut lantaran ikrarnya (yaitu lantaran sumpah mardudah yang berkekuatan
sebagai ikrar). Di dalam suatu tempat pembahasan, Rafi’i dan Nawawi berkata:
Dapat diterima. Al-Asnawi mensahihkan pendapat yang pertama, sedang Al-Bulqini
mensahuhkan yang kedua dan Guru kita berkata: Pendapat berwajah adalah yang
pertama.
Cabang:
Dalam
pembayaran kafarat sumpah, seseorang bisa memilih di antara (tiga hal):
Memerdekakan budak wanita yang sempurna kebudakannya, mukminah, yang tidak
mempunyai kecacatan yang dapat mengganggu dalam perbuatan dan kerjanya,
sekalipun budak itu semacam budak yang tiada di tempat yang diketahui masih
hidup, Memberi makan 10 orang miskin yang masing-masing satu mud biji-bijian
makanan pokok daerah setempat, Atau memberi mereka sesuatu yang dapat disebut
sebagai pakaian, misalnya baju kurung, kain sarung, telekung, sapu tangan,
atau baju kemeja, bukan sepatu.
Jika tidak mampu melaksanakan di,
antara tiga hal di atas, maka ia wajib berpuasa 3 hari yang tidak wajib
sambung-menyambung, Lain halnya dengan pendapat kebanyakan ulama.
BAB MEMERDEKAKAN BUDAK - بَابٌ فىِ الْاِعْتَاقِ
I’taq (memerdekakan budak) adalah melepaskan status kebudakan
pada diri manusia. Dasar hukum adalah firman Allah yang artinya: “(Yaitu)
melepaskan budak dari kebudakan” (Q.S. Al-Balad: 13).
Juga hadis nwayat Bukhari-Muslim: “Barangsiapa memerdekakan seorang budak
wanita yang mukmin -dalam riwayat lain ‘seorang budak muslim’-, maka Allah
memerdekakan anggota-anggota badan orang itu dari neraka dengan berbanding
setiap anggota badan budak tersebut, sehingga dimerdekakan farji orang itu
dengan farji budak.” Memerdekakan budak laki-laki adalah lebih utama.
Dinwayatkan
bahwa Abdurrahman bin Auf telah memerdekakan 30.000 orang budak.
Kami
tutup buku ini dengan Bab Memerdekakan Budak, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para Ashab Syafi’i, sebagai sikap Tafa’ul (dengan harapan semoga Allah
memerdekakan dari neraka, sebagaimana orang yang memerdekakan budak).
Sah
pemerdekaan oleh orang yang mempunyai hak tasaruf secara mutlak (balig,
berakal sehat serta pandai berbuat), yang memiliki kekuasaan atas budak yang
dimerdekakan, sekalipun itu orang kafir. Karena itu, pemerdekaan tidak sah
dilakukan oleh anak kecil, oran gila, orang yang diampu sebab dungu, atau
bangkrut, dan orang yang tidak mempunyai hak milik, sekalipun dengan cara
sebagai pengganti.
(Yaitu) dengan semacam ucapan:
“Kumerdekakan dirimu/Kubebaskan dirimu/Kulepaskan kebudakan drimu/Engkau
adalah orang yang dimerdekakan”.
Sah pula dengan
kinayah disertai rjat, misalnya: “Tiada kemilikan diriku atas dirimu/Tiada
jalan bagiku atas dirimu/Saya singkirkan kemilikanku dari dirimu/Engkau adalah
Tuanku.” Demikian juga ucapan “Wahai, tuanku”, menurut pendapat yang
dimenangkan.
Ucapan seseorang kepada budakrrya:
“Engkau adalah putraku/In atau dia adalah ayahku atau ibuku” adalah
memerdekakan, jika status itu mungkin terjadi mengingat usia yang ada,
sekalipun diketahui jalur keturunannya, sebab sebagai pengambilan tindakan
atas ikrarnya.
Atau “Wahai, anakku”, maka adalah
kinayah memerdekakan, karena itu, budak tersebut tidak dihukumi ‘merdeka,
kecuali tuan yang memanggilnya bertujuan memerdekakannya, sebab kekhususan
panggilan seperti itu digunakan dalam adat untuk suatu keakraban dan pergaulan
yang baik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita di dalam Syathul Minhaj
dan Syarhul Irsyad.
Tidak termasuk lafal ikrar
memerdekakan, ucapan seseorang: “Sungguh aku memerdekkan budakku si Fulan”,
sebab kalimat tersebut tidak patut digunakan sebagai ikrar maupun pernyataan
memerdekakan, sekalipun ada dalam kebiasaan digunakan sebagai lafal
memerdekakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita rhm.
(Pemerdekaan
sah seperti di atas) sekalipun dikemukakan dengan adanya penukaran. Karena
itu, bila seseorang berkata: “Kumerdekakan dirimu dengan penggantian 1.000
atau “Kujual engkau kepada dirimu dengan harga 1.000,-“, lalu dengan seketika
budak itu menyatakan qabul, maka merdekalah ia dan dalam dua contoh di atas,
ia wajib membayar 1.000, sedang walak berada di tangan tuan.
Apabila
memerdekakan budak yang hamil, baik ibu ataupun kandungannya menjadi miliknya,
maka kandungan mengikuti ibunya dalam kemerdekakan. sekalipun dikecualikan,
sebab kandungan merupakan bagian dari ibu.
Apabila
memerdekakan kandungan saja, maka jadilah merdeka bila telah bernyawa, bukan
sebelum bernyawa.
Apabila ibu milik serang
laki-laki dan kandungan milik orang lain, lantaran semacam wasiat, maka salah
satunya tidak menjadi merdeka lantaran yang lainnya merdeka.
Atau
(apabila) seseorang memerdekakan sepenuh budak yang dimili antara dirinya dan
orang lain, atau memerdekakan bagiannya saja dari persekutuannya, misalnya:
“Bagianku dari dirimu merdeka”, maka menjadi merdeka dalam bagian orang : itu
secara mutlak.
Pemerdekakan (kepada budak mulik
persekutuan) yang dilakukan oleh persekutuan yang kaya, bukan yang melarat,
adalah menjalar pada jumlah sekemampuannya (untuk menebus) teman sekutunya
atau sebagian dari bagian itu.
Penjalaran seperti
itu tidak terhalang ada utang yang menghabiskan harta orang yang memerdekakan
tersebut di atas yang bukan diampu.
Pemustauladahan
yang dilakukan oleh seorang yang kaya dari dua sekutu (dalam memiliki budak),
adalah menjalar pada milik teman persekutuannya, sebagaimana dalam
memerdekakan. Karena itu, ia wajib membayar seharga bagian temannya dan wajib
membayar seharga sejumlah bagian mahar mutsil teman persekutuannya, bukan
membayar seharga bagian teman persekutuannya pada anak budak Mustauladah.
Pe-Mudabbar-an
budak tidak dapat menjalar pada bagian’teman persekutuannya.
Apabila
seseorang memiliki budak, di mana budak itu adalah ayah atau anak
keturunannya, sekalipun telah jauh jenjang jalurnya, maka budak tersebut
menjadi merdeka atas nama pemilik tadi. Hal ini berdasarkan hadits riwayat
Muslim.
Tidak termasuk “orangtua/anak turun”,
yaitu yang bukan itu, misalnya saudaranya, maka tidak menjadi merdeka lantaran
dimiliki.
Barangsiapa berkata kepada budaknya:
“Engkau merdeka setelah aku mati”, “Bila saya mati, maka engkau merdeka” atau
“Engkau kumerdekakan setelah aku mati”: Demikian pula dengan berkata: “Bila
aku mati, maka engkau haram/bebas pergi” dengan disertai niat, maka menjadilah
budak Mudabbar: yaitu menjadi merdeka setelah tuannya mati dalam perhitungan
sepertiga dari harta tuannya setelah terpotong utangnya.
Pemudabbaran
menjadi batal sebab semacam budak Mudabbar itu dijual, oleh karena itu
kemudabbaran tidak bisa kembali lagi sekalipun dimulikinya untuk kedua
kali.
Sah hukumnya menjual budak Mudabbar,
Tidak
menjadi batal kemudabbaran, lantaran dicabut kembali dengan menggunakan lafal,
misalnya: “Saya fasakh pemudabbaran” atau “Saya rusak pemudabbaran”, dan tidak
batal pula lantaran pengingkaran ada pemudabbaran.
Seseorang
diperbolehkan menjimak budak wanita Mudabbarah, Apabila budak Mudabbarah itu
melahirkan anak perempuan dari suatu pernikahan/perzinaan, maka tidak bisa
ditetapkan hukum kemudabbbaran pada diri anak tersebut. Lalu, Mudabbar itu
hamil di kala kematian tuan pemiliknya, maka secara mantab Anak itu ikut
merdeka mengikut ibunya.
Apabila seseorang
memudabbarkan budaknya yang hamil, maka kemudabbaran tertetapkan pada
kandungannya lantaran mengikuti ibunya, jika memang tidak dikecualikan,
sekalipun kandungan itu lahir sebelum tuari pemiliknya mati. Tidak menjadi
merdeka, jika sang tuan membatalkan pemudabbaran ibunya sebelum anak itu
Iahir.
Budak Mudabbar adalah seperti budak penuh,
selama dalam kehidupan tuannya.
Sah memudabbarkan
budak Mukatab dan sebaliknya, sebagaimana sah pula menta’liq kemerdekakan
budak Mukatab.
Budak Mudabbar bisa dibenarkan
dengan bersumpah mengenai dakwaan (memiliki) sesuatu yang ada pada tangannya,
sebab kekuasaan pemegang berada di tangannya, misalnya si Mudabbar berkata
“Saya dapatkan dari hasil kerjaku setelah tuanku mati” dan ahli waris berkata
“Kau dapatkan sebelum ia mati.”
Kitabah:
Kitabah
menurut syarak adalah suatu akad pemerdekakan budak dengan menggunakan lafal
mukatabah yang terjadi digantungkan dengan pembayaran harta yang terangsur dua
tahap atau lebih. Sebagaimana pemudabbaran, kitabah hukumnya adalah sunah,
sekalipun atas permintaan budak dengan syarat ada permohonan dari budak yang
tepercaya dan yang bekerja dengan penghasilan mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri dan angsurannya.
Jika syarat-syarat
tersebut/salah satunya tidak dipenuhi, maka akad kitabah hukumnya mubah.
Agar
bisa sah akad kitabah, disyaratkan dengan lafal yang menunjukkan ada arti
kitabah.
Dalam ijab, misalnya: “Kumukatabkan
kamu/Dirimu adalah mukatab atas pembayaran 100 dengan cara diangsur sekian”,
bersambung dengan ucapan: “Bila engkau telah menunaikannya, maka kamu
merdeka”.
Dengan adanya qabul, misalnya:
“Kuterima pemukataban seperti itu.”
Dalam kitabah
disyaratkan ada penukar yang berupa utang atau kemanfaatan yang diberi tempo
penunaiannya, agar bisa diusahakan pencarian dan penunaiannya, yang diangsur
dan kali atau lebih, sebagaimana yang berlaku di kalangan para sahabat Nabi
saw., sekalipun itu dalam memukatabkan budak Muba’adh.
Di
samping juga diterangkah berapa besar penukaran dan sifatrrya, berapa kali
angsuran dan besar pembayaran. setiap kali angsuran.
Di
dalam kitabah yang sah, sebelum terjadi kemerdekakan, sang tuan wajib
menurunkan nilai harga penukaran, karena berdasar firman Allah surah An-Nur
ayat 33: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kalian.”
Pemberian dalam
ayat ini ditafsirkan dengan sebagaimana tersebut, karena hal itu adalah
dimaksudkan untuk menolong memperoleh kemerdekakan.
Yang
lebih utama, penurunan harga tersebut sebesar 25% sampai sepertujuh (14½%
kurang sedikit).
Si tuan tidak diperbolehkan
memfasakh kitabahnya, kecuali jika si mukatab itu tidak mampu membayar sepenuh
atau sebagian angsuran yang telah sampa saat pembayarannya, atau enggan
membayarnya, sedangkan ia mampu serta telah sampai waktu pembayarannya, atau
si Mukatab itu tiada di tempat sewaktu telah datang masa pembayaran, walaupun
mempunyai harta yang ada di tempat atau walaupun kepergiannya kurang dari
jarak diperbolehkan salat qashar.
Maka, bagi sang
tuan boleh memfasakh kitabahnya dengan diri sendiri dan bisa pula lewat hakim,
Jika ia menghendaki, karena terhalang penukaran dirinya, Dan sang hakim tidak
berhak membayarkan harta si mukatab yang tiada di tempat tadi.
Bagi
si mukatab berhak memfasakh sebagaimana halnya dalam masalah gadaian dalam
hubungannya dengan penerimaan gadai, maka si mukatab berhak tidak membayar
angsuran dan berhak pula memfasakh kitabah, sekalipun mempunyai kecukupan
biaya.
Sang tuan diharamkan tamattu’ terhadap
wanita mukatabahnya,: karena kemilikannya telah rusak. Dan dengan
pewathiannya, maka tuan dikenakan kewajiban membayar Mahar Mitsil, bukan had,
dan anak yang terlahirkan dihukumi merdeka.
Si
mukatab diperbolehkan membeli wanita-wanita budak amat untuk keperluan
berdagang, bukan untuk dikawini, kecuali dengan seizin tuannya, dan tidak
boleh pula mewathi amat miliknya, walaupun atas seizin tuannya.
Apa
yang terdapat pada suatu tempat sebagai pendapat dua syekh kita (An-Nawawi dan
Ar-Rafi’i) yang menyatakan diperbolehkannya dengan ada izin tersebut, adalah
didasarkan atas suatu dasar yang lemah, yaitu bahwa budak bukan mukatab itu
bisa memiliki dengan diberinya kemilikan oleh sang tuan.
Guru
kita berkata: Dan yang lahur, adalah si tuan juga tidak diperbolehkan
ber-istimta’, yang bukan berwujud wathi.
Bagi
mukatab diperbolehkan melakukan penjualan, pembelian dan penyewaan, (tapi)
tidak diperbolehkan hubah, tanpa seizintuannya.
Cabang:
Apabila
sang tuan mengatakan: “Saya fasakhkan Kitabah” setelah ia (pernah) menerima
harta angsuran Kitabah, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka dengan bersumpah
Mukatab dapat dibenarkan, karena dasar asalnya adalah tidak ada fasakh, sedang
bagi tuan diharuskan mengajukan bayinah.
Apabila
sang tuan mengatakan: “Saya memukatabkanmu dalam keadaan saya tengah
gila/diampu”, lalu si Mukatab mengingkarinya, maka sang tuan diambil sumpahnya
(dan dibenarkan dengan sumpah itu), Jika kondisi yang didakwakan itu diketahui
ada pada dirinya, Kalau tidak diketahui, maka yang diambil sumpahnya adalah si
Mukatab, karera dasar asalnya adalah, bahwa apa yang didakwakan tuan itu tidak
terjadi adanya.
Apabila laki-laki merdeka
membuahi kehamilan budak amat yang walaupun kemilikannya atas diri amat itu
hanya sedikit dan walaupun dalam keadaan bersuami atau diharamkan (bagi tuan
mewathinya, misalnya tengah masa Istibra’ dan sebagainya), lalu melahirkan
bayi dalam keadaan hidup ataupun mati, ataupun dalam keadaan berupa segumpal
daging telah bergambar sesuatu bentuk manusia, maka dengan kematian sang tuan
si amat tersebut menjadi merdeka dalam perhitungan harta pokok, yaitu
diperhitungkan lebih dahulu daripada perhitungan utang-utang dan wasiat (atas
harta tinggalan), sekalipun kehamilan terjadi dalam masa sakit pengantar
kematian sang tuan (tetapi diperhitugnkan seperti itu) tidak menjadi merdeka,
jika amat tinggalan si mayat yang menanggung utang itu dibuahi kehamilan oleh
seorang ahli warisnya yang kaya.
Sebagaimana
putra amat yang diyang lahir sesudah kelahiran putranya yang didapat dari
tuannya, maka putra tersebut (yaitu yang dari pernikahan atau perzinaan tadi),
menjadi merdeka dengan kematian sang tuan dalam perhitungan harta pokok,
sekalipun ibu amat itu telah mati sebelum sang tuan mati.
Bagi
sang tuan bisa mewathi ibu anak tadi (diramakan budak Ummu Walad) menurut
ijmak ulama, memperbudaki dan menyewakannya, dan demikian pula mengawinkannya
tanpa seizin darinya.
Tidak diperbolehkan
memindahmilikkan kepada orang lain dengan jalan dijual atau dihibahkan: oleh
karena itu, perlakuan tersebut haram dan tidak ayah, demikian pula
menggadaikannya.
Sebagaimana pula putranya yang
mengikuti kemerdekaannya dengan kematian sang tuan (yaitu putra yang lahir
dari selain pembuahan sang tuan setelah kelahiran putra yang dari sang tuan),
Maka, sebagaimana ibunya, anak ini tidak boleh dipindahmilikkan kepada orang
lain, bahkan apabila sang Qadhi menghukumi sah pemindahan kemilikan seperti
itu, maka hukumnya rusak, tidak berlaku, menurut yang dikemukakan oleh
Ar-Ruyani sebagaimana menukil dari para Al-Ashhab.
Adalah
sah juga memukatabkan budak Ummu Walad dan menjualnya kepada diri Ummu Walad
itu sendiri.
Apabila para ahli waris dari tuan
budak Ummu Walad tadi mendakwakan, bahwa sang tuan tadi memiliki harta di
tengah Ummu Walad itu sebelum kematiannya, lalu si Ummu Walad mendakwakan
bahwa harta telah rusak sebelum kematian itu terjadi. Maka dengan bersumpah si
Ummu Walad bisa dibenarkan, menurut apa yang bisa dibenarkan, menurut apa yang
dinukil oleh Al-Adzra’i, Jika si Ummu Walad mendakwakan kerusakannya setelah
kematian terjadi, maka dakwaan itu tidak dapat dibenarkan, sebagaimana yang
dikatakan oleh Guru kita, semoga Allah berkenan melimpahi beliau kerahmatan
seluas-luasnya.
Al-Qadhi Husain mengeluarkan
fatwa mengenai seorang laki-laki yang ikrar, bahwa telah mewathi budak
amatnya, lalu si amat mendakwakan bahwa dari pembuahan itu ia melahirkan dalam
keadaan gugur sesuatu yang bisa membuatnya menjadi Ummu Walad (misalnya
segumpal daging yang telah berwujud manusia), bahwa dengan bersumpah si amat
bisa dibenarkan, jika hal itu mungkin terjadinya (yaitu kelahirannya terjadi
setelah minimum 120 hari terhitung dari sejak diwathi). Maka apabila si tuan
telah mati, jadilah amat itu merdeka.”
Semoga
Allah swt. berkenan memerdekakan kita dari api neraka, mengumpulkan kita
termasuk rombongan orang-orang yang dekat kepada-Nya, yang menjadi pilihan
semua serta yang bagus-bagus, berkenan menempatkan kita di dalam surga
Firdaus, tempat kelanggengan serta berkenan menganugerahkan kepadaku dalam
karangan ini dan yang lainnya dengan diterimanya, dan diberikan kemanfaatan
yang merata serta ikhlas dalam mengerjakannya, agar menjadi tabungan buatku
bila telah datang hari Kiamat. dan menjadi sebab terlimpah rahmat Allah swt.
yang khusus dan yang umum.
Segala puji milik
Allah swt., pujian yang setimbang dengan nikmatnikmat-Nya dan yang sama dengan
penambahan-Nya. Salam sejahtera semoga tercurahkan kepada makhluknya yang
paling mulia dengan mohonkan salawat yang utama dan salam yang sempurna, yaitu
Nabi Muhammad saw., buat keluarga, sahabat-sahabat dan istri-istri beliau,
dengan salawat salam sejumlah pengetahuan dan sebanyak kalimat-Nya.
Hanya
Allah-lah Zat Yang Mencukupiku dan sebagus-bagus wakil, – tiada daya dan
upaya, serta tiada kekuatan selaia atas pertolongan Allah Yang Maha Agung.
Pengarang
kitab ini -semoga Allah swt , mengampuninya dan mengampuni dosa-dosa orangtua
serta guru-gurunya berkata.
Selesailah saya dalam
membersihkan (mengoreksi) salinan naskah syarah iri pada pagi hari Jumat,
tanggal 24 Ramadhan yang agung derajatnya, tahun 982 (H). Saya mengharap ke
hadirat Allah swt. Yang Maha Suci lagi Maha Mulia, semoga berkenan menerimanya
dan memberikan kemanfaatan yang merata, memberi kami keikhlasan dalam
mengerjakannya dan aku berharap dengan syarah im semoga Allah swt.,
menyelamatkan kami dari neraka Hawiyah, dengannya Dia memasukkan kami ke
surga-Nya yang tinggi, dan semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada
orang yang membacanya dengan pandangan keinsyafan, menemukan kesalahan di
dalamnya, lalu menunjukkannya kepadaku atau dengan baik-baik
membetulkannya.
Segala puji milik Allah swt.,
Tuhan seru sekalian alam. Ya, Allah! curahkanlah salawat salam kepada penghulu
kita Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya, setiap kali orang-orang
yang ingat menyebut-Mu dan setiap orang yang lupa itu lupa menyebut-Mu dan
tercurah pula buat kita bersama, dengan rahmat-Mu. Ya, Allah! Zat Yang Maha
Pengasih, melebihi siapa saja yang berpengasih.[alkhoirot.org]