Bab Jual Beli | Fathul Muin
Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.
Daftar Isi
- Bab Jual Beli
- Pasal: Tentang Khiyar Majelis, Syarat Dan Aib
- Pasal: Hukum Barang Jualan Sebelum Diterimakan Kepada Pembeli
- Pasal: Tentang Jual Beli Ushul (Pohon, Bumi, Rumah Dan Kebun) Dan Buah-Buahan
- Pasal: Tentang Perselisihan Antara Penjual Dan Pembeli
- Pasal: Tentang Utang Dan Gadai
- Pasal: Tentang Hijr
- Pasal: Tentang Hawalah (Pemindahan Tanggungan Utang)
- Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin
BAB JUAL BELI
- بَابُ الْبَيْعِ
Bai’ (jual beli) menurut bahasa artinya “menukarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain”, sedangkan menurut syarak adalah “menukarkan harta dengan
harta yang lain melalui cara tertentu (syarat-syarat yang akan dituturkan
nanti -pen).”
Dasar hukum jual beli sebelum terjadi ijmak
(konsensus) adalah ayat-ayat Alqur-an, seperti firman Allah Ta’ala yang
artinya: “.. dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. 2,
Al-Baqarah: 274), dan beberapa hadis Nabi saw. yang artinya: “Nabi saw.
ditanya: “Pekerjaan mana yang lebih utama?’, maka jawab beliau: “Pekerjaan
tangan seseorang dan setiap jual beli yang bersih’.”: Artinya, jual beli yang
tiada unsur penipuan dan pengkhianatan.
Jual beli dianggap sah
dengan Ijab (pernyataan menjual) dari penjual, sekalipun sambil bergurau Ijab
adalah kata-kata yang menunjukkan pemilikan yang jelas, misalnya, “Saya jual
barang ini kepadamu dengan harga sekian …”, “Barang ini untukmu dengan harga
sekian …”, atau “Barang ini kumilikkan/berikan kepadamu dengan harga sekian
….” Demikian juga dengan kata-kata: “Barang ini kujadikan untukmu dengan harga
sekian …”: jika diniati jual beli.
Juga dengan Qabul (pernyataan
membeli) dari pembeli, sekalipun sambil bergurau. Qabul adalah kata-kata yang
menunjukkan penerimaan hak milik dengan cara jelas, misalnya, “Kubeli barang
ini dengan harga sekian …”, atau “Aku menerima/setuju/memiliki barang ini
dengan harga sekian ….”.
Diadakan Ijab-Qabul (transaksi) seperti
itu, agar sempurna shighat (bentuk transaksi) yang merupakan syarat
ditunjukkan sabda Nabi saw..: “Jual beli bisa sah, hanyalah dengan saling
merelakan”: sedangkan rasa rela adalah hal yang tidak tampak, karenanya
diukurlah kerelaan itu dengan bukti ucapan.
Karena itu, jual beli
dianggap belum sah dengan serah terima (tanpa shighat atau Ijab-Qabul), tetapi
(AnNawawi) memilih hukum “sudah sah” pada serah-terima (mu’athah) setiap
barang yang menurut urf (kebiasaan) sudah dikenal sebagai jual beli, seperti
roti dan daging (barang remeh), bukan barang semacam binatang dan bumi
(berharga).
Karenanya, menurut pendapat pertama (menganggap belum
sah): Barang yang telah diterima dengan cara Mu’athah status hukum di dunia
sama dengan barang yang diterima dari transaksi jual beli yang tidak sah
(fasid), sedangkan di akhirat sudah tidak ada tuntutan terhadap barang yang
diterima dengan cara Mu’athah tersebut (karena kedua belah pihak sudah saling
merelakan, tetapi dalam masalah transaksi yang dikerjakan masih ada ‘uqubah
-pen).
Perselisihan ulama tentang Mu’athah (serah-terima) juga
berlaku pada transaksi-transaksi kehartaan yang lainnya. Gambaran Mu’athah.
Kedua belah pihak dari penjual dan pembeli sepakat mengenai harga dan
barangnya (lalu keduanya saling serah-terima), sekalipun tidak ditemui
pernyataan dari salah satunya.
Apabila orang ketiga berkata kepada
penjual, “Kau jual?” lalu dijawabnya “Iya!” atau “”Benar'”: dan ia berkata
lagi kepada pembeli, “Kau beli?” lalu diawabnya “Benar!” maka jual beli ini
dianggap sah.
Sah pula jawaban “iya” dari penjual dan pembeli atas
pertanyaan pembeli, “Adakah kau jual?”, dan pertanyaan penjual, ” Adakah kau
beli?”
Apabila ijab atau qabul bersamaan dengan huruf
Istigbal (penunjuk masa akan datang), misalnya “Akan kujual kepadamu”, maka
jual beli hukumnya tidak sah.
Guru kita berkata: Yang lahir adalah
dimaklumi kekeliruan orang awam semacam membaca fathah pada ta’ mutakallim.
Syarat Ijab dan Qabul
Adapun syarat sah antara keduanya, tidak dipisah dengan diam
dalam waktu yang lama: lain halnya jika hanya sejenak saja.
Tidak
ditengah-tengahi dengan kata-kata yang lain dari akad, sekalipun hanya
sedikit: misalnya kata-kata yang tidak ada kaitannya dengan bentuk transaksi
(akad), lagi pula bukan untuk kemaslahatannya.
Disyaratkan
lagi, kedua-duanya mempunyai makna yang bersesuaian, tidak harus dalam
lafalnya. Karena itu, jika penjual berkata, “Kujual barang imi kepadamu dengan
harga seribu”, lalu pembeli (dalam qabulnya) menambah atau mengurangi harga di
atas, pembeli berkata, “Kujual kepadamu dengan harga seribu kontan”, lalu
pembeli (dalam qabulnya) menempokan atau sebaliknya, Atau penjual mengatakan,
“… dengan masa tempo 1 bulan”, lalu pembeli (dalam qabulnya) memperpanjang
waktu tersebut, maka jual beli ini hukumnya tidak sah, dikarenakan ada
perselisihan makna.
Ijab dan qabul harus tidak
bergantungan. Karena itu, jika akad jual beli digantungkan dengan sesuatu,
maka hukumnya tidak sah. Misalnya: Jika ayahku sudah meninggal dunia, maka
kujual barang ini kepadamu.
Juga tidak dibatasi
waktu, misalnya, “Kujual kepadamu selama satu bulan.”
Syarat Penjual dan Pembeli
Disyaratkan bagi penjual dan
pembeli, yaitu:
Mukalaf: Karenanya, akad jual beli oleh anak kecil,
orang gila dan orang yang dipaksa, tidak semestinya adalah tidak sah, karena
tiada kerelaan dari hati orang yang terakhir ini.
Islam
untuk pemilikan (dalam membeli) budak muslim yang kemudian tidak dimerdekakan
atas pembeli itu.
Demikian juga disyaratkan
keislaman pembeli budak yang murtad menurut Al-Muktamad. Akan tetapi, menurut
Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah: Menjual budak murtad kepada pembeli kafir,
adalah sah hukumnya (pendapat daif).
Disyaratkan
juga keislaman pembeli Mushaf, Yaitu sesuatu yang bertuliskan Alqur-an,
sekalipun hanya satu ayat dan dicantumkan bukan untuk dipelajari, sebagaimana
yang dikatakan oleh Guru kita.
Disyaratkan juga
tidak ada permusuhan bagi pembeli alat peperangan, misalnya tombak, anak
panah, perisai, baju perang dan kuda perang.
Lain
halnya dengan selain alat perang, sekalipun dapat dibuat untuk itu, misalnya
besi, sebab besi itu belum tentu digunakan prasarana berperang.
Sah
menjual alat berperang kepada kafir Dzimmi yang berada di wilayah kita, kaum
muslimin.
Syarat Ma’qud ‘Alaih, baik itu barang
maupun mata uang:
Barang milik penjual dan uang
(perkara yang digunakan harga) adalah milik pembeli. Karenanya, tidaklah sah
jual beli fudhuli (penjual dan pembeli tidak mempunyai hak atas ma’qud
alaih).
Sah menjual harta yang jelas milik orang
lain, kemudian setelah penjualan ternyata menjadi miliknya, Misalnya menjual
harta Muwarrits (orang yang diterima hartanya dalam waris) dalam perkiraan
bahwa ia masih hidup dan ternyata ia sudah mati sebelum penjualan harta itu.
Hal ini dikarenakan harta itu telah menjadi miliknya, sebab prasangka yang
keliru jika yang benar telah tampak, adalah tidak ada pengaruhnya terhadap
akad, sebab yang menjadi ukuran (i’tibar) dalam akad adalah kenyataan perkara,
bukan prasangka (zhann) mukalaf.
Faedah:
Apabila dengan cara yang diperbolehkan agama
(seperti jual beli dan hibah), seseorang mendapatkan sesuatu milik orang lain
yang dikiranya halal, padahal sebetulnya haram (misalnya barang hasil curian),
maka jika secara lahiriah orang yang menerimakan barang itu (misal penjual)
adalah orang baik, maka kelak di akhirat tidak ada tuntutan, Jika secara
lahiriah ia adalah orang yang jahat, maka penerima barang itu akan dituntut di
akhirat. Demikianlah komentar Al-Baghawi.
Apabila
seseorang membeli makanan secara bon, lalu dilunasi dengan harta haram, maka
jika pihak penjual menyerahkan makanan itu kepada pembeli dengan suka rela
sebelum pelunasannya, maka bagi pembeli itu halal memakannya, Jika ia
menyerahkan makanan itu setelah pelunasan bon dan mengetahui bahwa harta yang
digunakan membayar itu haram, maka bagi pembeli juga halal memakan makanan
itu, jika penjual tidak mengetahui kalau harta yang digunakan melunasinya
adalah haram, maka pembeli haram memakannya sampai penjual membebaskan bon
tersebut atau ia melunasinya dari harta yang halal. Demikianlah komentar Guru
kita.
Kesucian Ma’qud Alaih atau bisa disucikan
dengan cara dicuci. Karenanya, tidaklah sah menjual barang yang najis seperti
khamar dan kulit bangkai sekalipun dapat disucikan dengan cara berubah menjadi
cuka atau disamak.
Tidak sah pula jual beli
barang yang terkena najis, yang tidak dapat disucikan, sekalipun berupa minyak
yang terkena najis, tetapi jika dihibahkan hukumnya sah.
Terlihatnya
Ma’qud Alaih, jika itu jual beli barang yang langsung (mu’ayyan, bukan pesan).
Karenanya, tidaklah sah jual beli barang Mu’ayyan, di mana penjual dan pembeli
tidak melihatnya, sebagaimana tidak sah menggadaikan atau menyewakannya,
dikarenakan ada unsur penipuan di dalamnya, yang dilarang dalam agama,
sekalipun telah dikemukakan sifat-sifat barang secara detail.
Penglihatan
terhadap ma’gud alaih sudah dianggap cukup dilakukan sebelum transaksi, jika
barang itu pada galib (kebiasaan)nya tidak mengalami perubahan sampai waktu
transaksi (akad).
Melihat terhadap sebagian
barang yang dijual sudah dapat dianggap cukup, jika dapat menunjukkan bahwa
yang lainnya pun seperti itu, misalnya luar tumpukan semacam gandum, permukaan
benda cair dan contoh barang yang sama bagianbagiannya, semacam
biji-bijian.
Atau bagian yang dilihat itu belum
dapat menunjukkan kesamaan yang lain, tetapi bagian itu berfungsi sebagai
pemelihara bagian-bagian yang lain: misalnya kulit delima, kulit telor dan
serabut semacam kelapa, maka cukuplah melihat kulit tersebut, sekalipun
penglihatan terhadap keadaan kulit tersebut belum dapat menunjukkan keadaan
bagian yang lain, sebab kebaikan keadaan dalam dapat terpelihara dengan
keutuhan bagian luar.
Akan tetapi belum cukup
dengan hanya melihat kulit luarnya, jika kulit dalamnya mengeras.
Ma’qud
alaih keadaannya dapat diserzhterimakan. Karena itu, tidaklah sah jual beli
budak yang melarikan diri, barang yang hilang dan digasab, di mana penjual
atau : pembeli tidak mampu mengambilnya. Demikian juga tidak sah jual beli
ikan di dalam kolam yang sulit menangkapnya.
Penting:
Barangsiapa mentasarufkan harta orang lain dengan cara jual beli
atau lainnya, di mana ia berprasangka bahwa perbuatannya adalah lalim, lalu
ternyata ia mempunyai kekuasaan terhadap harta tersebut, misalnya harta orang
yang mewariskan kepadanya dan sudah mati (sebelumia mentasarufkannya) atau
harta orang lain yang ternyata sudah memberinya izin: Atau ia mengira bahwa
tasaruf yang ia kerjakan kurang memenuhi syarat-syaratnya dan ternyata telah
terpenuhi, maka tasarufnya dianggap sah, sebab yang menjadi ukuran dalam akad
adalah kenyataan yang terjadi.
Sedangkan yang menjadi ukuran
(ibrah) dalam ibadah adalah kenyataan yang terjadi (nafsul amr) dan zhan
(prasangka) mukalaf. Karena itu, jika seseorang berwudu dan tidak berprasangka
bahwa air yang ia gunakan adalah air mutlak, maka wudunya tidak sah, sekalipun
ternyata air tersebut adalah air mutlak, sebab medan (ukuran) dalam masalah
ibadah ada pada prasangka mukalaf.
Perkataan kami
“dengan cara jual beli dan lainnya”, adalah mencakup pada mengawinkan,
membebaskan utang dan lain-lain. Karena itu, jika seseorang membebaskan hak
atas orang lain, di mana ja mengira bahwa dirinya tidak mempunyai wewenang
akan hal itu, lalu ternyata ja mempunyai wewenang, maka sah ibrahnya menurut
pendapat yang Muktamad.
Apabila seseorang
menikahkan wanita, di mana ia masih ragu akan hak kewalian dirinya, lalu
ternyata ja mempunyai hak wali terhadap wanita itu, maka pernikahannya adalah
sah, karena yang rhenjadi penilaian (ukuran/i’tibar) adalah kenyataan
perkara.
Syarat Jual Beli Barang Ribawi:
Barang Ribawi terbatas pada dua
perkara: 1. Makanan, misalnya biji gandum, syair, kurma, anggur, garam, beras,
jagung dan.ful: 2. Emas-perak, sekalipun belum tercetak, misalnya perhiasan
yang masih utuh. Dua macam barang ribawi dijual (ditukar) dengan jenis yang
sama, misalnya gandum dengan gandum dan emas dengan emas.
(Disyaratkan):
1. Kontan.
Serah-terima
sebelum berpisah. Jika penjual dan pembeli serah-terima sebagian saja, maka
yang sah sebagian itu saja.
Jumlah barang yang ditukar sama besarnya secara yakin, dalam takaran untuk
barang yang ditakar dan timbangan untuk barang yang ditimbang.
Hal
itu berdasarkan sabda Nabi saw.: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, kecuali sama besar, kontan dan saling serah-terima.
Dan jika semua di atas dijual dengan jenis ribawi yang tidak sama, maka
juallah dengan sekehendakmu, asal menyerahterimakannya.”
Ar-Rafi’i
rahimahullah berkata: Agar dapat menyerahterimakan dalam hal ini, harus kootan
pada galibnya.
Karena itu, tidaklah sah jual beli
barang ribawi dengan jenis yang sama secara borongan atau dengan mengira telah
sama jumlahnya, sekalipun ternyata telah sama. Untuk jual beli barang ribawi
dengan jenis ribawi yang tidak sama, seperti gandum putih dengan merah atau
emas dengan perak, maka disyaratkan:
kontan, dan 2. serah-terima, tidak harus sama besar jumlahnya. Karena itu,
batallah jual beli barang ribawi yang udak sarna jenisnya, jika Udak saling
serah-terima dalam majelis akad.
Bahkan jual beli
dalam dua contoh di atas (sama jerusnya dan lain jenis) jika ada satu syarat
yang tidak dipenuhi, hukumnya adalah haram Para ulama sudah sepakat, bahwa
dosa tersebut termasuk dosa-dosa besar, karena tersebutnya laknat terhadap
pemakan riba, pemberi dan penulisnya.
Dari
keteraugan di atas, dapat diketahui, bahwa jika jenis makanan dijual dengan
lainnya, semisal dengan emas-perak atau pakaian, atau selain makanan dijual
dengan makanan, maka tidak disyaratkan tiga syarat di atas.
Syarat
Salam (pesan), yaitu: Jual beli barang yang masih dalam tanggungan dengan cara
disifati barang itu, di samping syarat-syarat jual beli yang telah disebutkan
di atas selain ma’qud alaih harus terlihat.
Penyerahan
atau penerimaan uang (harga barang yang dipesan) dengan ditunjukkan langsung
atau masih dalam tanggungannya (dzimmah) ketika di majelis khiyar: yaitu
sebelum berpisah dari tempat bertransaksi: sekalipun harga pembayaran (ra’sul
mal) itu berupa kemanfaatan (jasa).
Bagi muslam
ilaih (orang yang dipesani) dapat menerima ra’sul mal dengan sendirinya (tanpa
ada penyerahan dari muslim) dan mengembalikan lagi kepada muslim (pemesan),
sekalipun atas perhitungan utang muslam ilaih pada pemesan.
Disyaratkan
Muslam fih (barang yang dipesan) adalah utang tanggungan muslam ilaih -baik
nantinya diberikan secara kontan maupun angsuran-, karena dengan keadaannya
sebagai utang itulah, maka akad ini disebut Salam (pesan).
Karena
itu, pernyataan “Aku pesan kepadamu dengan Rp 1.000,untuk harga barang yang
sudah ada ini”, atau “Aku pesan kepadamu dengan uang ini untuk barang ini”,
adalah tidak dapat disebut akad Salam, karena tidak memenuhi syarat Salam
(yaitu keberadaan muslam fih harus berupa utang/tanggungan), juga bukan
jual beli (bai), karena katakata yang disebutkan bukan jual beli. Jika
seseorang berkata: “Aku membeli pakaian darimu yang sifatnya begini dengan
harga dirham ini”, lalu dijawab: “Kujual kepadamu”, maka menurut An-Nawawi dan
Ar-Rafi’i adalah akad jual beli, karena melihat kata yang diucapkan. Ada yang
mengatakan “akad Salam”, karena melihat makna yang terkandung dalam perkataan
tersebut. Pendapat yang kedua inilah yang dipilih segolongan ulama
Muhaqqiq.
Disyaratkan keberadaan muslam fih dapat
diserahkan pada waktu penyerahannya. Karena itu, tidak sah memesan barang yang
tidak dapat diserahkan pada masa penyerahannya, misalnya memesan kurma basah
untuk musim penghujan.
Disyaratkan keberadaan
muslam fih diketahui ukurannya dengan takaran untuk yang ditakar, dengan
timbangan untuk yang ditimbang, dengan panjang-pendek untuk yang
dipanjangpendekkan dan dengan bilangan untuk yang dibilang.
Sah
memesan semacam buah kelapa dan badam dengan ukuran timbangan. Muslam fih yang
diukur dengan timbangan dipesan dengan takaran yang dapat ditentukan
jumlahnya, dan sah juga muslam fih yang ditakar dipesan dengan timbangan.
Tidak
boleh memesan satu butir telor dan semacamnya, karena untuk kesahan memerlukan
penuturan bentuk dan timbangan telor sekaligus, maka hal seperti ini jarang
sekali dapat dipenuhi.
Disyaratkan juga agar
dijelaskan tempat penyerahan barang pesanan, jika transaksi salam terjadi di
tempat yang tidak sepatutnya untuk penyerahan barang (misalnya di tengah laut)
atau untuk membawa barang itu membutuhkan biaya.
Jika
pemesan telah memperoleh barang pesanannya dari muslam ilaih di selain tempat
penyerahannya setelah datang waktu penyerahan, dan untuk membawa barang (dari
tempat penyerahan) menuju tempat yang ia peroleh membutuhkan biaya (dan
pemesan tidak mau menanggungnya), maka muslamilaih (orang yang dipesani
barang) tidak wajib menyerahkannya dan tidak dapat dituntut akan harga muslam
fih.
Sah salam secara kontan dan berangsur dalam
masa tertentu -hukan masa yang udak ditentukan/majhul-. Salam yang dinyatakan
secara mutlak, berarti kontan. Penyebutan muslam fih secara mutlak, adalah
menunjukkan barang yang bagus.
Riba
-keterangannya baru saja disebutkan di atas- hukumnya adalah haram. Riba itu
bermacam-macam:
Riba Fadhl: Yaitu selisih barang
pada salah satu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya. Termasuk dalam
macam ini adalah Riba Qardh. Yaitu jika dalam utang disyaratkan kemanfaatan
yang kembali kepada pihak pemberi utang (pemiutang).
Riba
Yad: Yaitu jika salah satu dari penjual dan pembeli berpisah dari akad sebelum
serah-terima.
Riba Nasa’: Yaitu jikamensyaratkan
ada penundaan penyerahan dua barang (ma’gud alaih) dalam penukarannya (jual
beli).
Kebatalan semua bentuk riba di atas,
adalah sudah diijmaki.
Kemudian jika barang
ribawi yang dijualbelikan itu sama jenisnya, maka disyaratkan 3 macam syarat
di atas (misalnya emas dengan emas dan perak dengan perak): Jika jenisnya
tidak sama tetapi masih ada ilat riba -yaitu jenis makanan dan emasperak(misal
beras ditukar dengan emas/perak), maka dua syarat di atas harus dipenuhi.
Guru
kita Ibnu Ziyad berkata: Orang yang memberi riba Fadhl karena terpaksa,
misalnya jika ia tidak memberi riba, maka ia tidak akan mendapatkan utangan,
adalah tetap tidak dapat terlepas dari dosa, sebab ia masih mempunyai jalan
untuk memberi tambahan, yaitu dengan cara bernazar atau tamlik (sematamata
memberi). Lebih-lebih jika kita berpendapat, bahwa nazar itu tidak perlu ada
qabul dengan ucapan, dan ini adalah pendapat Al-Muktamad.
Guru
kita (Ibnu Hajar) dalam hal ini berpendapat: Dosa orang di atas dapat terlepas
karena darurat.
Faedah:
Cara menghindari akad riba bagi orang yang
menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum atau beras,
dengan beras, yang dilakukan dengan penukaran yang tidak sama besarnya, adalah
hendaklah satu sama lain menghibahkan haknya atau saling mengutangkannya, lalu
saling membebaskannya.
Cara menghindari akad riba
dalam menjual perak dengan emas atau beras dengan gandum tanpa ada
serah-terima barang sebelum berpisah dari tempat akad, adalah dengan saling
mengutangkan.
Haram memisahkan budak perempuan
-sekalipun ia rela atau orang kafir dengan anak-anaknya yang belum tamyiz,
sekalipun mereka lahir dari hubungan zina, di mana ibu dan anak tersebut
menjadi milik satu orang. Pemisahan tersebut dengan cara semacam dijual,
misalnya dihibahkan dan pembagian harta kepada seseorang, di mana budak
tersebut kemudian tidak dimerdekakan atas orang itu.
Berdasarkan
sebuah hadis: “Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dengan anaknya, maka
Allah akan memisahkan dia dengan kekasihnya di hari Kiamat.”
Akad
yang berkaitan dengan riba dan pemisahan ibu-anak hukumnya adalah batal.
Al-Ghazali
dalam beberapa fatwanya yang diakui oleh lainnya mengatakan, bahwa hukum
memisahkan dengan cara disuruh pergi, sama dengan memisahkan dengan cara
dijual-belikan. Beliau juga memberlakukan hukum haram tersebut pada pemisahan
istri dengan anaknya, sekalipun ia adalah wanita yang merdeka. Lain halnya
jika lantaran istri itu ditalak (dicerai). Ayah ke atas dan nenek ke atas
-sekalipun dari jalur ayahadalah sama dengan ibu, jika ibu tidak ada.
Adapun
jika anak itu sudah tamyiz, maka memisah hukumnya tidak haram, sebab ia sudah
tidak butuh lagi perawatan (hadhanah), sebagaimana tidak haram memisah
lantaran wasiat, memerdekakan dan menggadaikan.
Memisahkan
anak binatang dengan induknya hukumnya boleh, jika anak itu sudah tidak
membutuhkan induknya lantaran sudah ada air susu dan lainnya, tetapi hukumnya
tetap makruh jika binatang itu masih menyusu, sebagaimana anak manusia yang
sudah tamyiz tapi belum balig dari ibunya.
Jika
anak binatang itu belum cukup dengan air susu yang lain, maka hukum memisahnya
adalah haram dan akad yang berkaitan dengan tafrig (pemisahan, misalnya
dijual), hukumnya adalah batal, kecuali tafrig tersebut karena disembelih.
Tetapi As-Subki membahas, bahwa menyembelih induk binatang yang anaknya masih
hidup, hukumnya adalah haram.
Haram juga menjual
semacam anggur kepada orang yang diyakini atau diperkirakan akan dibuat
minuman yang memabukkan, atau menjual budak laki-laki kecil kepada orang yang
telah diketahui berbuat lacur, menjual ayam jago untuk disabung, kambing untuk
diadu atau menjual sutera kepada laki-laki yang akan dipakai sendiri.
Demikian
juga (haram) menjual minyak misik kepada orang kafir yang dibelinya untuk
meminyaki berhala, atau menjual binatang kepada orang kafir yang diyakini akan
memakannya tanpa dipotong, karena menurut pendapat Al-Ashah bahwa orang-orang
kafir itu juga terkena khitab melaksanakan cabang-cabang syariat sebagaimana
orang-orang Islam. Begitulah pendapat Al-Ashah yang ada dalam mazhab kami,
Syafi’iyah, lain lagi menurut pendapat Abu Hanifah yang mengatakan tidak
dikenakan khitab atas orang-orang kafir terhadap furu’usy syari’ah. Karena
itu, tidak boleh menolong mereka untuk proses terjadinya meminyaki berhala dan
memakan daging hewan tanpa dipotong.
Haram juga
mengerjakan semua bentuk tasaruf yang mengakibatkan terjadi kemaksiatan, baik
secara yakin maupun perkiraan.
Dalam keadaan
haram seperti yang dituturkan di atas, jual belinya masih sah hukumnya.
Makruh
menjual semua yang telah dituturkan di atas (anggur dan seterusnya) kepada
orang yang dicurigai akan mengarah ke situ (dijadikan minuman keras dan
sebagainya). Makruh menjual senjata kepada semacam pemberontak dan pembegal,
dan makruh bermuamalah dengan orang hartanya bercampur antara halal dengan
haram, sekalipun yang haram lebih banyak daripada yang halal.
Memang!
Jika diketahui bahwa barang yang diakadi adalah bagian yang haram, maka hukum
muamalah di sini adalah haram dan akadnya pun batal.
Haram
menimbun bahan makanan pokok, misalnya kurma dan anggur serta segala bahan
makanan yang mencukupi dalam zakat fitrah.
Ihtikar
(menimbun) adalah menahan bahan makanan dari pembelian di waktu harga mahal
-bukan sewaktu harga murah-, untuk dijual kembali dengan harga di atasnya
ketika penduduk setempat atau orang-orang : lain sangat membutuhkannya,
sekalipun di waktu membeli bukan bertujuan menjual dengan harga yang lebih
tinggi.
Tidak termasuk Ihtikar, jika menahan
bahan makanan pokok itu untuk keperluan diri sendiri atau keluarganya, atau
untuk dijual dengan harga yang sepadan dengan harga pembelian. Tidak termasuk
pula, jika yang ditahan adalah hasil panen bumi sendiri.
Al-Ghazali
menyamakan bahan makanan pokok dengan segala makanan penolongnya, misalnya
daging. Al-Qadhi Husain menjelaskan hukum makruh menimbun pakaian.
Haram
menawar barang yang sudah ditawar orang lain setelah ada ketetapan harga atas
kerelaannya, sekalipun dianggap tidak wajar adanya harga rendah di bawah nilai
barang, karena ada dalil yang melarang perbuatan tersebut.
Yaitu
dengan cara menaikkan harga penawaran orang lain (penawar pertama yang sudah
ada persetujuan harga), memberikan barang kepada pembeli dengan harga yang
lebih murah daripada harga barang penjual pertama, atau mempengaruhi pemilik
barang (pembeli) agar menarik kembali barangnya dan ia akan membelinya dengan
harga yang lebih tinggi.
Keharaman di atas lebih
besar lagi jika dilakukan setelah terjadi akad jual beli dan belum terlaksana
(luzum), karena’ masih ada khiyar.
Najsy
Haram berbuat Najsy, karena ada dalil yang melarangnya dan
menyakitkan hati pembeli.
Yaitu menambah harga
barang bukan bertujuan ingin membelinya, tetapi agar Orang lain terbujuk
karenanya, sekalipun tambahan itu dalam harta mahjur ‘alaih, dai dilakukan
ketika harga barang di bawah standar umum, menurut pendapat Al-Aujah.
Bagi
pembeli tidak mepunyai hak khiyar jika mengalami penipuan seperti ini,
sekalipun penjual telah melakukan persetujuan dengan najisy (calo), karena
pembeli gegabah, mengapa ia tidak mau berpikir dan bertanya-tanya.
Memuji
barang dengan cara berbohong, agar disenangi pembeli. adalah hukumnya sama
derigan membuat banjet (najsy/calo).
Semua itu
(ihtikar, menawar tawaran orang lain dan sebagainya) dihukumi : haram, jika
dilakukan setelah mengerti hukum larangan padanya, hingga dalam masalah najsy.
Dalam keadaan haram ini, akad jual beli tetapsah.
PASAL: TENTANG KHIYAR MAJELIS, SYARAT DAN AIB
Khiyar Majelis (hak pilih untuk meneruskan jual beli atau tidak,
ketika masih ada di majelis akad) terdapat dalam semua jual beli, hingga dalam
jual beli barang ribawi dan salam (pesan). Begitu juga berlaku dalam hibah
berimbalan menurut pendapat Al-Muktamad.
Kata-kata
“dalam semua jual beli”, adalah mengecualikan selain jual beli, misalnya ibra’
(membebaskan tanggungan utang), hibah tidak berimbalan, perserikatan, qiradh,
rahn (gadai), hiwalah, kitabah dan ijarah yang sekalipun masih dalam
tanggungan atau ditentukan dengan waktu. Karena itu, tiadalah hak khiyar dalam
semua itu, karena semua akad ini tidak dinamakan jual beli.
Habis
khiyar orang yang memilih dijadikan jual beli, baik penjual atau pembeli,
misalnya mereka berdua berkata: “Kita jadikan jual beli kita”, atau “Kita
teruskan saja akad jual beli kita”, maka khiyar mereka ini sudah habis.
Atau
bisa pula habis khiyar salah satunya, misalnya salah satu dari penjual/pembeli
berkata “Aku memilih untuk dijadikan saja akad kita”, maka khiyarnya sudah
habis, sedangkan pihak yang lainnya masih ada, sekalipun dia seorang
pembeli.
Khiyar kedua belah pihak habis sebab
kedua-duanya atau salah satunya memisahkan diri menurut penilaian umum dari
mejelis akad, sekalipun karena lupa atau tahu hukumnya.
Karena
itu, apa yang dianggap berpisah orang banyak, maka berstatus jadi akadnya, dan
yang belum disebut berpisah, maka belum demikian.
Jika
penjual atau pembeli berada di dalam ruang kecil, maka dianggap telah
berpisah, jika salah satunya telah keluar darinya. Jika mereka berada di dalam
ruangan besar, maka dianggap berpisah, jika salah satu dari mereka berpindah
ke bilik yang lain. Jika mereka berada di halaman bebas atau pasar, maka
dengan salah satunya berpaling dan berjalan sedikit, sekalipun ia masih
mendengar omongan temannya.
Khiyar Majelis masih
tetap ada, selagi mereka belum berpisah, sekalipun mereka sudah lama tinggal
di tempat, sekalipun sudah bertahuntahun dan berjalan ke sana-kemari.
Khiyar
belum habis lantaran salah satu penjual atau pembeli mati, akan tetapi hak
khiyar berpindah kepada ahli waris yang berkeahlian.
Orang
yang mengatakan tidak berpisah atau akad tidak fasakh (rusak) sebelum
berpisah, adalah yang diambil sumpahnya. Sebagaimana dua belah pihak datang
bersama mengadu (di majelis hukum), Yang satu mengaku telah berpisah (sebejum
kedatangan mereka di majelis hukum) dan yang satu mengingkarinya dengan maksud
agar akad menjadi fasakh, atau keduanya sepakat berpisah (furqah), (tetapi)
yang seorang mengaku akad telah fasakh sebelum berpisah, sedangkan yang satu
lagi mengingkarinya: maka dalam kedua kasus ini yang dibenarkan adalah yang
menginkari, karena pengingkarannya itu yang mencocoki asal (tidak furqah dan
tidak fasakh)
Boleh bagi penjual dan pembeli atau
salah satunya saja, mengikat Khiyar Syarat dalam semua bentuk jual beli yang
ada Khiyar Majelisnya, keculi Jual beli perkara yang kemudian sedianya
dimerdekakan (misalnya membeli budak yang berupa ayah/ anak): maka tiada
Khiyar Syarat bagi pembeli, karena akan terjadi pertentangan (antara khiyar
dengan memerdekakan).
Terkecuali juga dalam jual
beli barang ribawi dan salam (pesan). Karena situ, untuk dua hal ini tidak
boleh mensyaratkan ada khuyas bagi salah satu dari kedua belah pihak, sebab
dalam dua hal ini disyaratkan ada penerimaan ma’qud alaih di mujelis akad
Khiyar
syarat itu paling lama adalah 3 bari semenjak mengikat syarat. baik tu
disyaratkan di dalam akad ataupun majelis akad. Lain halnya jika syarat yang
disebutkan adalah secara mutlak atau persyaratan tersebeut melebihi 3 hari,
maka akadnya tidak sah Hak milik barang jualan berikut
kemanfaatan-kemanfaatannya di waktu khiyar berlangsung, adalah pada pihak yang
masih mempunyai khiyar, baik itu penjual atau pembeli. Jika khiyar itu
dimiliki mereka berdua, maka status barang jualan tersebut adalah mauquf
(vakum): Jika jual beli telah terlaksana dengan sempurna, maka nyatalah bahwa
barang tersebut milik pembeli semenjak diadakan transaksi, Jika jual beli
tidak jadi terlaksana dengan sempurna, Inaka barang tersebut tetap milik
penjual.
Fasakh jual beli (pembubaran transaksi)
dalam masa khiyar sudah dapat terwujudkan dengan semacam ucapan:
“Kurusak(kububarkan) jual belinya”, sebagaimana ucapan: “Barang jualan kutarik
kembali”. Adapun untuk pelestarian jual beli dalam masa khiyar, dapat terwujud
kan dengan semacam ucapan “Kulestarikan jual belinya”, sebagaimana “Kuteruskan
jual belinya”.
Pentasarufan (penggunaan) barang
jualan dengan cara disetubuhi (atas budak amat), memerdekakan, menjual,
menyewakan dan mengawinkan yang dikerjakan oleh penjual di masa khiyar,
berarti menfasakh akad, sedangkan jika dikerjakan oleh pembeli, berarti
penerusan/pelestarian akad pembelian.
Bagi
pembeli yang tidak mengetahui’ ada cacat sejak semula pada barang yang dapat
menurunkan nilai harganya, dia mempunyai hak khiyar untuk mengembalikan barang
tersebut (dinamakan Khiyar ‘Aib).
Begitu juga ada
hak khiyar bagi penjual karena ada cacat sejak semula pada barang yang dibuat
alat pembayaran.
Para ulama hanya mengutamakan
yang pertama (khiyar aib bagi pembeli) dalam pembahasannya, karena pada
galibnya, barang yang digunakan pembayaran itu lebih terjelaskan, karenanya,
sedikit sekali ada cacat.
Cacat sejak semula
adalah cacat yang berbarengan dengan akad atau terjadi sebelum diterima barang
jualan dan masih ada sebelum fasakh akad. Karena itu, keberadaan cacat terjadi
setelah barang diterima, maka bagi pembeli tidak ada hak khiyar.
Cacat
itu misalnya: Berpenyakit Iistihadhah, sudah menikah bagi budak perempuan,
atau budak lakilaki atau perempuan itu pernah mencuri, melarikan diri atau
berzina, sekalipun tidak berulang-ulang dan telah bertobat, masih suka kencing
di tempat tidurnya, padahal telah berumur 7 tahun, atau mulut (ketiak)nya
berbau busuk.
Termasuk kecacatan budak: Suka
mengadu domba, mengumpat, berdusta, merhakan lumpur, meminum semacam khamar,
meninggalkan salat -selagi belum bertobat-, tuli, tolol, berkaki pengkor
(jawa: gathik), farjinya tertutup daging atau hamil bagi budak perempuan
-bukan untuk binatang-, perempuan tidak dapat haid padahal sudah berumur 20
tahun, atau buah dadanya besar Sebelah.
Termasuk
cacat: Keadaan binatang sukar ditunggangi (nakal), suka menggigit atau
menyepak, keberadaan rumah ditempati serdadu atau jin yang mengganggu
penghuninya, atau bumi itu banyak keranya yang suka memakan tanaman.
Khiyar
aib itu juga hak pembeli karena ada perlakuan szaghrir (penipuan), dan berlaku
seperti itu hukumnya adalah haram lantaran membuat tidak jelas dan mudarat.
Contohnya adalah tashriyah, yaitu membiarkan air susu mengendap dalam kantong
susu binatang selama beberapa waktu, sebelum binatang itu dijual, agar pembeli
mengira bahwa binatang tersebut banyak air susunya, atau dengan cara
mengeriting rambut budak perempuan.
Tiada khiyar
aib lantaran kerugiannya sendiri: misalnya pembeli mengira kaca itu adalah
mutiara, karena kegabahannya sendiri dengan bertindak yang menuruti
prasangkanya tanpa meneliti terlebih dahulu.
Khiyar
aib–sekalipun karena. tashriyahadalah harus dilaksanakan seketika. Karena itu,
hak khiyar menjadi batal lantaran menunda tanpa ada uzur.
Seketika
ini adalah diukur menurut penilaian adat. Karena itu, tidaklah menjadi masalah
bila ditengahtengahi dengan salat dan makan yang memang sudah waktunya, buang
hajat, atau ucapan salam pembeli kepada penjual: Lain halnya dengan percakapan
mereka. Jika pembeli mengatakan ada cacat di wakte malam, maka baginya boleh
menunda pengembalian barang hingga pagi hari.
Pembeli
yang menunda pengembalian barang lantaran tidak tahu diperbolehkan
mengembalikan barang karena ada cacat, adalah dianggap uzur, jika ia adalah
orang yang baru dalam memeluk Islam ats hidup jauh dari ulama. Demukian juga
dianggap uzur, karena ketidaktahuannya atas keharusan mengembalikan barang
tersebut secara seketika, jika memang masalah us sangat pelik (rumit)
baginya.
Kemudian, jika penjual itu berada &
daerah yang sama (dengan pembeh) maka pembeli sendiri atau wakilnya yang harus
mengembalikan barang cacat tersebut.
Jika penjual
(wakil)nya tidak ada di daerah yang sama, maka pembeli tersebut wajib melapor
kepada hakim, ia tidak boleh menunda sampai penjual kembali ke daerahnya.
Jika
ia tidak dapat mengadukan masalahnya kepada hakim lantaran sedang sakit, maka
baginya wajib mempersaksikan atas kefasakhan akad. Jika tidak dapat
mempersaksikannya, maka baginya tidak wajib mengucapkan kata-kata fasakh,
(tetapi) ia wajib meninggalkan pemakaian barang pembelian tersebut.
Jika
ia meminta budak yang dibeli agar. melayani dirinya, sekalipun dengan
perkataannya “minumilah aku”, “ambilkan pakaian untukku”, atau “tutupkan
pintu”, maka ia tidak dapat dikatakan mengembalikan barang itu (budak) secara
terpaksa, sekalipun budak itu tidak melaksanakan perintah tersebut. Jika budak
itu melaksanakan sesuatu tanpa ada suruhan terlebih dahulu, maka tidak mengapa
(tidak membatalkan hak khiyar pembeli).
Cabang:
Jika
seseorang menjual hewan atau lainnya dengan syarat ia bebas dari tanggungan
kecacatan atau barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi (jika
ada cacatnya), – maka sah akad itu. Untuk selanjutnya, penjual nanti terlepas
dari kecacatan batin hewan yang sudah ada ketika akad, di mana pembeli tidak
mengetahuinya, (tetapi) untuk barang jualan selain binatang, penjual tidak
bisa bebas dari tanggungan cacat batin, begitu juga dengan cacat lahir
binatang.
Jika kedua belah pihak berselisih
tentang keberadaan cacat semula atau baru terjadi, dan kedua belah pihak dapat
dimungkinkan kebenarannya, maka yang dibenarkan adalah pembeli dengan
bersumpah, bahwa cacat itu baru terjadi, karena asal suatu akad adalah
kelestariannya. Dikatakan: …, karena asal suatu barang yang dijual, adalah
tidak ada cacat sewaktu berada di tangan penjual.
Jika
terjadi cacat baru yang tanpa ada cacat tersebut cacat yang lama tidak dapat
diketahui, maka pembeli boleh mengembalikan barang itu dan ja tidak terkena
denda kerugian yang baru tadi, misal: Telor atau kelapa yang pecah dan buah
semangka yang busuk.
Dalam mengembalikan barang
pembelian lantaran cacat, tambahan yang tidak dapat dipisahkan dari barang itu
harus ikut dikembalikan, misal: semakin gemuk, kecakapan (kepandaian)
-sekalipun dididik dengan biaya-, dan kandungan yang berbarengan akad jual
beli.
Tambahan yang terpisah tidak wajib ikut
dikembalikan, misal anak, buah atau kandungan yang terwujud sewaktu menjadi
milik pembeli. Semua ini menjadi milik pembeli, jika barang belian
dikembalikan kepada penjual lantaran ada cacat.
PASAL: HUKUM BARANG JUALAN SEBELUM DITERIMAKAN KEPADA PEMBELI
Barang jualan sebelum diterimakan kepada pembeli, adalah
tanggungan penjual. Artinya, akad menjadi gagal (fasakh) lantaran barang itu
rusak atau dirusak penjual, dan ada hak Khiyar bagi pembeli, karena barang itu
menjadi cacat sendiri, dicatatkan penjualan atau orang lain.
Karena
itu, jika barang itu meng: alami kerusakan lantaran suatu kejadian atau oleh
penjual, maka rusaklah akad jual belinya.
Perusakan
barang jualan yang dilakukan oleh pembeli, adalah penerimaan atas barang itu,
sekalipun ia tidak mengetahui kalau yang dirusakkan adalah barang jualan.
Pentasarufan
terhadap barang jualan, misalnya dengan dijual lagi, dihibahkan, disewakan,
digadaikan dan diutangkan -sekalipun dilakukan kepada penjual-, di mana barang
itu belum diterima pembeli, adalah batal hukum pentasarufan tersebut.
Tasaruf
atas mabi’ tidak batal dengan semacam memerdekakan, mengawinkan atau
mewakafkannya, lantaran Syari’ (Allah swt. atau Nabi saw.) mempunyai keinginan
besar untuk kesahan ‘itqu (pembebasan budak) tidak didasarkan atas kemampuan
menyerahkannya: buktinya: Memerdekakan budak yang melarikan diri hukumnya
adalah sah. Dengan memerdekakan itu, maka berarti pembeli dianggap sudah
menerima mabi’ (barang yang dijual), (tetapi) ia belum dianggap menerimanya,
jika tasaruf berupa mengawinkannya,
Qabdh
(penerimaan) terhadap mabi’ yang berupa benda tak bergerak -baik itu bentuk
bumi, rumah atau pohon-, adalah dengan menyerahkan kepada pembeli: yaitu
pembeli mempersilakan penjual untuk menguasai barang itu dengan memberikan
kunci dan mengosongkan barang-barang yang bukan milik pembeli.
Qabdh
terhadap mabi’ bergerak -baik berupa perahu atau binatang-, adalah “ dengan
cara memindahkan barang itu dari tempatnya ke tempat lain, dan mengosongkan
isinya, jika mabi’ berupa perahu.
Qabdh juga
sudah dianggap terwujudkan dengan cara penjual meletakkan mabi’ bergerak di
hadapan pembeli, sekira tangannya dapat sampai pada barang itu, jika ia
mengulurkannya, sekalipun ia berkata: “Aku tidak menghendaki barang itu”
Untuk
qabdh (pengambilan atau penerimaan) mabi’ yang tidak ada di tempat akad,
disyaratkan lewatnya waktu secukup berjalan sampai ke tempat mabi’ menurut
kebiasaan, di samping syarat mendapatkan izin dari penjual.
Bagi
pembeli boleh menerima atau mengambil mabi’ dengan sendinnya, jika harga
pembayaran mabi’ secara berangsur atau kontan.
(Bagi
penjual) boleh meminta ganti penukaran (isribdal) atas harga pembayaran yang
berupa emasperak atau lainnya pada selain jual beli ribawi dengan ribawi yang
sama jenisnya.
Hal itu berdasarkan hadis riwayat
Ibnu Umar r.a.: “Aku menjual unta dengan mata uang dinar, lalu aku meminta
uang dirham sebagai gantinya. Di lain waktu aku menjual dengan uang dirham,
lalu aku meminta uang dinar sebagai gantinya. Kemudian aku datang kepada
Rasulullah saw. dan menanyakan hal itu, maka jawab beliau: Tidak mengapa, asal
kamu berdua berpisah setelah saling serah-terima’.”
Istibdal
juga boleh dilakukan atas pembayaran utang, upah dan maskawin, tetapi tidak
boleh atas Muslam Fih, karena keadaannya belumtetap.
Jika
(penjual) meminta ganti atas harga pembayaran yang ilat ribawinya sama,
misalnya minta ganti dirham dari dinar (ilat ribawinya: mata uang), maka
disyaratkan penerimaan gantinya di tempat akad itu juga, lantaran
dikhawatirkan jatuh dalam riba. Hal ini tidak disyaratkan lagi, jika meminta
ganti atas pembayaran yang tidak sama ilat ribawinya, misalnya minta ganti
makanan dari dirham.
Jenis muslam fih dan mabi’
dalam tanggungan yang diakadi dengan selain lafal salam (pesan), adalah tidak
boleh diganti macam yang lain, sekalipun dua pergantian tersebut masih
jenisnya, misalnya gandum putih meminta ganti yang kehitam-hitaman, karena
mabi’ dengan ketentuannya adalah tidak boleh dijual lagi sebelum diterimanya,
dan lebih-lebih jika mabi’ itu masih berada dalam tanggungan penjual.
Memang,
tetapi menggantinya dengan yang lebih bagus, adalah boleh, Begitu juga dengan
yang lebih jelek jika sudah merelakan.
PASAL: TENTANG JUAL BELI USHUL (POHON, BUMI, RUMAH DAN KEBUN) DAN
BUAH-BUAHAN
يدخل في بيع أرض وهبتها ووقفها والوصية بها مطلقا لا في رهنها والإقرار بها ما
فيها
Masuk dalam jual beli tanah, memberikan, mewakafkan dan mewasiatnya secara
mutlak tidak dalam menggadaikannya dan mengakuinya adalah sesuatu yang di
tanah
من بناء وشجر رطب وثمره الذي لم يظهر عند البيع وأصول بقل تجز مرة بعد أخرى كقثاء
وبطيخ
Seperti bangunan, pohon yang basah dan buahnya yang belum tampak ketika jual
beli, dan pohon sayur yang dipanen berkali-kali seperti mentimun dan
semangka
لا ما يؤخذ دفعة كبر وفجل لأنه ليس للدوام والثبات فهو كالمنقولات في الدار
Tidak sesuatu yang di ambil sekali seperti gandum dan lobak, karena itu tidak
untuk selamnya dan tetap, maka itu seperti perabot dalam rumah yang dapat
dipindah
ويدخل في بيع بستان وقرية أرض وشجر وبناء فيهما
Dan masuk dalam jual beli kebun dan desa adalah tanah, tanaman dan bangunan
yang berada di kebun dan desa
لا مزارع حولهما لأنها ليست منهما
Tidak termasuk tanaman samping kebun dan desa, karena tanaman itu tidak
termasuk kebun dan desa
وفي بيع دار هذه الثلاثة أي الأرض المملوكة للبائع بجملتها حتى تخومها إلى الأرض
السابعة والشجر المغروس فيها وإن كثر والبناء فيها بأنواعه وأبواب منصوبة
وأغلاقها المثبتة
Dan masuk dalam jual beli rumah tiga ini, maksudnya tanah yang dimiliki
penjual, secara keseluruhan, mulai batasnya sampai bumi ketujuh, dan pohon
yang di tanam di situ, walau banyak, dan bangunan yang berada di situ, dan
pintu-pintu yang terpasan dan kunci-kuncinya yang tetap
لا الأبواب المقلوعة والسرر والحجارة المدفونة بلا بناء
Tidak masuk pintu-pintu yang dapat di lepas, tempat tidur dan batu yang
terpendam tanpa bangunan
لا في بيع قن ذكر أو غيره حلقة بأذنه أو خاتم أو نعل
Tidak masuk dalam jual beli budak laki-laki atau lainya ring yang di
telinganya atau cincin atau sandal
وكذا ثوب عليه خلافا للحاوي كالمحرر وإن كان ساتر عورته
Begitu juga baju, berbeda bagi kitab Hawi seperti Muharror, walaupun penutup
auratnya
وفي بيع شجر رطب بلا أرض عند الإطلاق عرق ولو يابسا إن لم يشرط قطع الشجر بأن شرط
إبقاؤه أو أطلق لوجوب بقاء الشجر الرطب
Dan masuk dalam menjual pohon yang basah tanpa tanah ketika dimutlakkan akar
walaupun kering , jika tidak di syaratkan memotong pohon , seperti syarat
membiarkan pohon atau dimutlakkan, karena wajib membiarkan pohon basah
ويلزم المشتري قلع اليابس عند الإطلاق للعادة
Pembeli wajib mencabut yang kering ketika di mutlakkan karena adar
فإن شرط قطعه أو قلعه: عمل به
jika disyaratkan memotongnya atau mencabutnya maka syarat itu dilaksanakan
أو إبقاؤه: بطل البيع
Atau disyaratkan menetapkannya maka jual beli batal
ولا ينتفع المشتري بمغرسها
Dan pembeli tidak boleh memanfaatkan tempat tanamnya
وغصن رطب لا يابس والشجر رطب لان العادة قطعه وكذا ورق رطب لا ورق حناء على
الأوجه
Dahan yang basah tidak yang kering, dan pohon yang basah karena adat itu
memotongnya, begitu juga daun yang basah , tidak daun pacar menurut pendapat
aujah
لا يدخل في بيع الشجر مغرسه فلا يتبعه في بيعه لان اسم الشجر لا يتناوله
Tidak masuk dalam jual beli pohon tempat tanamnya, maka tidak masuk dalam jual
beli, karena istilah pohon itu tidak mencakup tempat tanam
ولا ثمر ظهر: كطلع نخل بتشقق وثمر نحو عنب: ببروز وجوز: بانعقاد
Dan tidak masuk buah yang sudah tampak seperti mayang kurma dengan membelah,
dan buah anggur dengan tampak, dan kacang kenari dengan menjadi
فما ظهر منه: للبائع وما لم يظهر: للمشتري
Maka yang sudah tampak itu milik penjual , dan yang belum tampak milik
pembeli
ولو شرط الثمر لأحدهما: فهو له عملا بالشرط: سواء أظهر الثمر أم لا
Jika buah disyaratkan untuk salah satunya maka buah milik dia, karena
menjalankan syarat, baik buah sudah tampak atau belum tampak
ويبقيان أي الثمر الظاهر والشجر عند الإطلاق
Dan buah yang tampak dan pohon di biarkan ketika di mutlakkan
فيستحق البائع تبقية الثمر إلى أوان الجداد فيأخذه دفعة لا تدريجا
Maka penjual berhak membiarkan buah sampai waktu panen, maka ia mengambil
sekali tempo tidak sedikit-sedikit
وللمشتري تبقية الشجر ما دام حيا فإن انقلع فله غرسه إن نفع لا بد له
Dan pembeli boleh membiarkan pohon selama pohon masih hidup, jika pohon
tumbang maka ia boleh menanamnya
ويدخل في بيع دابة حملها المملوك لمالكها
Dan masuk dalam jual beli hewan sekedupnya yang dimiliki pemilik hewan
فإن لم يكن مملوكا لمالكها لم يصح البيع كبيعها دون حملها وكذا عكسه
Jika tidak dimiliki pemilik hewan maka jual beli tidak sah, seperti menjual hewan tanpa sekedupnya , begitu juga sebaliknya.
PASAL: TENTANG PERSELISIHAN ANTARA PENJUAL DAN PEMBELI
Jika terjadi perselisihan dua pihak yang mengadakan transaksi
sekalipun keduanya menjadi wakil atau ahli waristentang sifat tukar-menukar,
misalnya jual beli, pesan, qiradh, ijarah atau maskawin, misalnya kadar ukuran
mabi’, harga pembayaran, jenis pembayaran, sifat pembayaran, masa pembayaran
atau ukuran masa pembayarannya, sedangkan semula akadnya itu telah sah karena
ada kesepakatan dari kedua belah pihak atau sumpah dari penjual, dan dalam
perselisihan tersebut salah satu dari mereka tidak mempunyai bukti penguat
dakwaannya, atau kedua-duanya mempunyai bukti penguat, tetapi bukti tersebut
saling bertentangan: sebagaimana keduanya tidak bertanggal, yang satu tidak
bertanggal dan yang satu lagi bertanggal atau keduanya bertanggal sama -kalau
tanggalnya tidak sama, maka yang dihukumi menang adalah yang tanggalnya
terlebih dahulu-, maka kedua belah pihak diambil sumpahnya (di depan hakim,
karena kedua belah pihak sama-sama berstatus terdakwa), di mana masingmasing
bersumpah mengingkari dakwaan lawannya dan sekaligus menetapkan dakwaan
sendiri.
Misalnya penjual berkata, “Aku tidak
menjual dengan harga sekian .. tetapi dengan harga sekian …”, dan pembeli
berkata, “Aku tidak membelinya dengan begitu, tapi begini ….”.
Mereka
berdua harus bersumpah, karena kedua-duanya adalah pendakwa dan terdakwa.
Menurut
pendapat Al-Aujah, adalah belum cukup dengan perkataan, “Aku tidak menjualnya
kecuali begini …”, sebab sekalipun unsur meniadakan adalah jelas, tetapi unsur
menetapkan hanya dari mafhumnya (karena sumpah itu tidak cukup hanya dengan
mafhum, tetapi harus sharih atau jelas).
Kemudian,
jika salah satu dari mereka telah rela dengan kekalahannya atau mau memaklumi
dakwaan lawannya, maka lestarilah akadnya dan tidak tercabut kembali.
Kemudian,
jika mereka masih bercekcok terus, maka bagi masingmasing dari mereka atau
hakim boleh memfasakh (menggagalkan) akad, sekalipun mereka tidak memintanya,
karena untuk melerai perselisihan mereka. Dalam memfasakh, akad tidak harus
dilakukan seketika.
Kemudian, setelah akadnya
fasakh, mabi’ dikembalikan kepada penjual beserta tambahan-tambahan yang
bergandengan dengannya (misalnya gemuk dan sebagainya). Jika mabi’ itu
mengalami kerusakan secara konkret (hissi) atau syar’i, misalnya mabi’ telah
diwakafkan atau dijual lagi, maka pembeli wajib mengembalikan barang yang
sepadan dengannya, jika memang mabi’ berupa barang mitsli atau mengembalikan
seharga barang yang tidak ada persamaannya (mutaqawwam).
Pembeli
wajib mengembalikan kepada penjual berupa harga budak yang melarikan diri dari
pembeli, di mana akad jual belinya difasakh. Yang lahir (nyata) penentuan
harga, adalah terhitung pada hari melarikan diri.
Jika
salah satu dari dua orang yang bertransaksi mendakwa jual beli, sedang yang
satunya mendakwa gadai atau hibah, misalnya yang satu berkata, “Aku menjualnya
kepadamu dengan harga 1.000,-“, lalu yang satunya berkata, “Tidak begitu,
tetapi engkau menggadaikan atau menghibahkannya kepadaku”, maka mereka berdua
tidak boleh saling sumpah-menyumpah, karena tiada kesepakatan terhadap satu
akad.
Akan tetapi masing-masing pihak menyumpahi
lawannya untuk mentadakan dakwaan lawan (tidak sampai menetapkan
pengakuannya/itsbat), karena asal permasalahannya adalah tidak ada dakwaan
Kemudian pihak yang mendakwa jual beli harus mengembalikan uang 1.000
tersebut, karena hal itu yang diakui, dan menarik kembali barang berikut
tambahannya, baik yang bergandengan maupun terpisah.
Jika
ada dua orang yang bertransaksi cekcok: Yang satu mendakwa bahwa akad yang
terlaksana adalah rusak lantaran kurang rukun atau syaratnya, misalnya salah
satu mendakwa telah melihat mabi’, sedangkan yang lain mengingkarinya, maka
pendakwa sah akad pada galibnya dimenangkan dengan disumpah, karena
mendahulukan lahir keadaan seorang mukalaf: – Yaitu keadaannya menjauhi dari
yang rusak-, atas pengasalan bahwa tidak ada sah akad, karena kesukaan Syari’
untuk melanjutkan akad.
Terkadang pendakwa
kerusakan akad dapat dibenarkan, misalnya penjual berkata, “Aku belum balig di
kala jual beli”, sedangkan pembeli mengingkarinya dan apa yang dikatakan oleh
pembeli mungkin benar, maka dialah yang dibenarkan dengan sumpahnya, karena
asal kejadian adalah ia belum balig.
Jika kedua
belah pihak berselisih: Apakah terjadi shuluh (perdamaian) atas suatu
pengingkaran atau pengakuan, maka yang dibenarkan adalah pendakwa ingkar,
karena ingkar itulah yang galib.
Barangsiapa da
waktu sakit menghibahkan sesuatu, lalu ahli warisnya mendakwa bahwa waktu itu
ia tidak berakal sehat, maka dakwaan ahli waris tersebut tidak dapat diterima,
kecuali diketahui bahwa sebelum hibah ia tidak berakal sehat dan ahli waris
mendakwakan bahwa ketidakwarasan itu berjalan terus sampai terjadi
penghibahan.
Dibenarkan juga orang yang
mengingkari terjadinya semacam jual beli.
Beberapa
cabang:
Jika pembeli mengembalikan mabi’ cacat
yang kontan (bukan dalam tanggungan), lalu penjual mengingkarinya sebagai
mabi’, maka penjual dapat dibenarkan dengan cara bersumpah, karena menurut
hukum asal, bahwa akad berjalan dengan selamat (tidak ada cacat).
Apabila
pembeli datang dengan membawa mabi’ yang ada bangkai tikusnya dan berkata:
“Aku telah menerima mabi’ dalam keadaan seperti ini”, lalu penjual
mengingkarinya, maka penjual dapat dibenarkan dengan cara disumpah.
Apabila
penjual menuangkan mabi ke dalam wadah pembeli, lalu tibatiba ada bangkai
tikusnya, dan masing-masing mendakwa bahwa bangkai tersebut bukan dari
pihaknya, maka yang dibenarkan adalah penjual dengan sumpahnya, jika mungkin
dapat dibenarkan, sebab dialah yang mendakwa sah akad dan karena menurut hukum
asal, bahwa setiap kejadian adalah diperkirakan terjadi pada waktu terdekat,
serta menurut hukum asal adalah lepasnya penjual dari tanggungan.
Jika
pengutang membayar utangnya kepada pemberi utang, lalu dikembalikan lagi
dengan keadaan cacat dan pembayar utang mengatakan: “Bukan ini yang telah
kuberikan kepadamu”, maka yang dibenarkan adalah pemberi utang, karena menurut
hukum asal: Pemberi utang adalah bebas dari tanggungan.
Penggasab
yang mengembalikan barang gasaban dan berkata, “Inilah barang yang kugasab”,
adalah dapat dibenarkan: Begitu jugawadi’ (orang yang dititipi barang).
PASAL: TENTANG UTANG DAN GADAI
Iqradh -yaitu memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji
harus mengembalikan sama yang diutangkan-, hukumnya adalah sunah, karena
termasuk menolong menghilangkan kesulitan (seseorang). Mengutangi (Iqradh)
termasuk dari sunah-sunah muakkad berdasarkan beberapa hadis yang masyhur.
Sebagaimana
Hadis riwayat Imam Muslim: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan
saudara (muslim)nya dari beberapa kesulitan dunia, maka Allah swi. akan
menghilangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitan di hari Kiamat: Dan Allah
akan selalu menolong hamba-Nya, selama ia mau menolong saudaranya.”
Hadis
sahih mengatakan: “Barangsiapa yang mengutangkan sebanyak dua kali karena
mengharapkan rida Allah swt., maka ia akan mendapatkan pahala sebesar
menyedekahkan salah satunya.”
Bersedekah itu
lebih utama daripada mengutangi, Lain halnya dengan pendapat sebagian
ulama.
Hukum sunah tersebut jika pengutang dalam
keadaan tidak terjepit, jika ia sudah dalam keadaan terjepit, maka memberi
utang kepadanya hukumnya wajib.
Haram berutang
bagi orang yang tidak dalam keadaan terjepit, di mana dari segi lahinnya ia
tidak dapat melunasi utangnya dengan seketika atas utang yang pelunasannya
secara kontan, dan melunasi setelah sampai waktu pembayarannya atas utang yang
diangsur pembayarannya.
Sebagaimana hukum haram
mengutangi terhadap orang yang diyakini atau diperkirakan, bahwa ia akan
menggunakan utangan tersebut untuk maksiat.
Iqradh
(mengutangi) dapat terwujudkan dengan ijab, misalnya, “Aku utangkan ini
kepadamu”, atau “Kumilikkan ini kepadamu dengan syarat kamu harus
mengembalikan sebesar itu”, “Ambillah ini dan kembalikan lagi gantinya”, atau
“Gunakan ini untuk kebutuhanmu dan kembalikanlah gantinya”.
Jika
kata-kata dan kembalikanlah gantinya dibuang, maka berlaku sebagai kinayah,
sedang perkataan hanya “Ambillah” adalah tidak jadi (nganggur), kecuali telah
didahului kata-kata: “Utangkanlah ini kepadaku”, maka sebagai utang, atau
didahului oleh kata-kata, “Berikanlah ini kepadaku”, maka sebagai hibah. Jika
menyingkat dengan katakata, “Kumilikkan ini kepadamu” dan tidak berniat
(bermaksud) minta gantinya, maka sebagai hibah, dan jika bermaksud minta
ganti, maka sebagai kinayah gardh.
Jika kedua
belah pihak bercekcok mengenai ada maksud penggantian atau tidak (dalam
ucapan, “Kumilikkan ini kepadamu”), maka yang dibenarkan adalah orang yang
menyerahkan barang, sebab dialah yang lebih mengetahui maksud hatinya, tetapi
jika yang dipercek-cokkan tentang ada atau tidak penuturan ganti, maka yang
dibenarkan adalah pihak penerima barang yang mendakwa tidak disebutkan
penuturan ganti, karena keadaan belum adalah merupakan asal kejadian yang ada
dan karena shighat (pertanyaan) adalah jelas dalam perkara yang didakwakan.
Jika
seseorang berkata kepada orang yang mudarat, “Aku memberimu makan dengan
maksud kamu harus menggantinya”, lalu orang itu mengingkarinya, maka yang
dibenarkan adalah orang yang memberi makan, karena untuk mendorong agar
orang-orang mau melakukan perbuatan terpuji ini.
Apabila
seseorang berkata, “Aku . telah hibahkan kepadamu dengan janji kamu harus
menggantinya”, lalu penerima mengatakan “gratis”, maka yang dibenarkan adalah
pihak penerima.
Jika seseorang berkata, “Belikan
aku roti dengan uang dirhammu”, lalu dibelikan, maka uang dirham tersebut
sebagai utang, bukan hibah, menurut pendapat Al-Muktamad.
Qiradh
bisa terwujudkan haru: dengan qabul yang bersambyng dengan ijab, musainya,
“Kuutang can barang ini”, atau “Aku tema pengutangan barang ini”.
Memang
demikian, tetapi Al-Qardhu Al-Hukmi (utang dari segi akibat hukumnya: yaitu
kewajiban mengembalikan dalam jumlah yang sama) adalah tidak membutuhkan
ijab-qabul, misalnya menafkahi bayi temuan yang membutuhkan nafkah, memberi
makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang telanjang.
Termasuk
Qardhul Hukmi adalah memerintah orang lain agar memberikan sesuatu miliknya,
di mana kepentingannya kembali kepada orang yang memerintah, misalnya
memerintah orang lain agar memberi sesuatu kepada penyair (agar penyair itu
tidak menghina orang yang memerintah), orang yang zalim, (agar tidak berbuat
jahat kepada orang yang memerintah), memberi makan orang yang fakir atau
menebus tahanan dan ucapan “perbaikilah rumahku”.
Segolongan
ulama berkata: Dalam utang tidak disyaratkan ada ijabqabul, Pendapat ini
dipilih oleh Al-Adzra’i dan katanya: Kebolehan Mu’athah dalam jual beli adalah
dikiaskan dalam utang (qardh).
Hanya saja
kebolehan utang-piutang itu (disyaratkan) dari pemberi utang (mugridh) yang
ahli tabarru’ (orang yang mempunyai wewenang mentasarufkan hartanya secara
suka rela) dalam barang yang sah digunakan muslam fih, baik berupa binatang
ataupun lainnya, sekalipun berupa emas-perak yang tidak mumi.
Memang
begitu, tetapi hukumnya sah utang roti, adukan roti dan ragi pemasam
(barang-barang ini tidak sah menjadi muslam fih). Menurut pendapat Al-Aujah:
Tidak diperbolehkan berutang ragi untuk membuat air susu yang telah masam
menjadi mengendap, hal ini dikarenakan kadar masam yang dimaksudkan.
Jika
seseorang berkata, “Utangilah aku sepuluh”, lalu pemberi utang menjawab,
“Ambillah itu dari si Fulan”: maka jika sepuluh tersebut adalah milik pemberi
utang yang ada pada Fulan (misal dititipkan), maka boleh dan sah akad gardhu
tersebut. Jika sepuluh tersebut bukan titipan yang ada pada Fulan, maka ia
hanya sebagai wakil untuk mengembalikannya, dan selanjutnya ia harus
memperbarui akad utang-piutangnya.
Tanpa ada
darurat, bagi wali dilarang mengutangkan harta maulinya. Akan tetapi bagi
hakim diperbolehkan mengutangkan harta mahjur alaih tanpa ada darurat, karena
banyak tugas yang dipikul olehnya. Dengan cacatan: Pengutang adalah orang yang
dapat dipercaya lagi kaya.
Pengutang sudah
dianggap memiliki harta itu atas izin pemberi utang, sekalipun ia belum
mentasarufkan, sebagaimana halnya dengan barang hibah. :
Kata
Guru kita: Menurut pendapat Al-Aujah, bahwa bingkisan-bingkisan yang biasa
diberikan pada hari bahagia, adalah hibah, bukan Utangan, sekalipun ada
kebiasaan mengembalikan yang sepadan.
Jika
seseorang menafkahi saudaranya yang sudah pandai (rasyid) atau keluarganya
selama beberapa tahun, sedang ia diam saja (tidak mengatakan sebagai utang),
maka ia tidak boleh minta gantinya, Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.
Bagi
Muqridh (pemberi utang) boleh menarik kembali barang yang ia utangkan, selagi
harta tersebut masih menjadi milik Muqtaridh (pengutang), sekalipun harta itu
sudah pernah lepas dari milik Muqtaridh dan kembali lagi kepadanya,
Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.
Lain
halnya jika barang tersebut sudah ada kaitannya dengan hak lazim -seperti
gadai dan kitabah-. maka ia tidak boleh menarik kembali harta itu. Akan
tetapi, jika barang itu oleh Muqtaridh hanya disewakan, maka bagi muqridh
boleh menariknya lagi.
Wajib bagi Muqtaridh
mengembalikan barang yang sepadan atas utang yang sepadan: Yaitu uang emas/
perak dan biji-bijian, sekalipun uang tersebut telah dibatalkan oleh penguasa,
karena dengan mengembalikan uang itulah yang lebih mendekati pada hak muqridh.
Wajib juga mengembalikan bentuk sepadan untuk utang barang Mutaqawwam, Yaitu
binatang, pakaian dan mutiara.
Bagi muqridh tidak
wajib mau menerima barang pengembalian, yang jelek dari utangan yang bagus:
Tidak wajib menerima barang pengembalian mitsli di lain tempat pengutangan,
jika ketidakmauannya ada tujuan yang dibenarkan, misalnya untuk mengangkut
barang tersebut dari tempat penyerahan ke tempat pengutangan dibutuhkan biaya,
sedang miuqtaridh tidak mau menanggungnya, atau tempat penyerahan tersebut
dikhawatirkan keselamatannya.
Bagi muqtaridh
tidak wajib menyerahkan Parang pengembalian utangnya di tempat selain tempat
berutang dahulu, kecuali untuk membawa barang tersebut tidak membutuhkan
biaya, atau ada biaya, tetapi pihak muqridh mau menanggungnya. (Sekalipun bagi
muqtaridh tidak wajib menyerahkannya di lain tempat pengutangan dahulu),
tetapi bagi muqridh boleh menuntut sejumlah harga barang yang diperhitungkan
di tempat ia mengutangkan dahulu, berdasarkan harga pada waktu penuntutan
tersebut atas barang yang membutuhkan biaya dalam pengangkutannya dan pihak
muqridh tidak menanggungnya, karena kebolehan meminta ganti barang yang
diutangkan.
Boleh bagi Muqridh menerima
kemanfaatan yang diberikan oleh Muqtaridh tanpa disyaratkan sewaktu akad:
misalnya kelebihan ukuran atau mutu barang pengembalian dan pengembalian lebih
bagus daripada yang diutangkan.
Bahkan melebihkan
pengembalian utang adalah disunahkan, berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian, adalah yang paling baik dalam
membayar utang.”
Bagi muqridh tidak makruh
mengambil kelebihan tersebut, sebagaimana halnya menerima hadiah, sekalipun
berupa barang ribawi.
Menurut pendapat Al-Aujah:
Sesungguhnya muqridh dapat memiliki tambahan tersebut tanpa mengatakan
sesuatu, karena tambahan itu cuma mengikuti yang lain, dan menyerupai hadiah.
Jika Muqtaridh yang mengembalikan lebih banyak daripada yang ia utang dan
mendakwa hal itu ia lakukan karena mengira bahwa utangnya memang sebanyak itu,
maka diambil sumpahnya, lalu boleh meminta kelebihan tersebut.
Adapun
utang-piutang dengan disyaratkan ada kemanfaatan bagi muqridh, adalah tidak
sah (fasid), karena berdasarkan hadis Nabi saw.: “Setiap utang-piutang yang
menarik kemanfaatan untuk Muqridh adalah riba.” Kedaifan hadis tersebut bisa
ditambal dengan keberadaan hadis lain semakna dengannya, yang diriwayatkan
oleh segolongan sahabat Nabi saw.
Termasuk riba:
Mengutangi semisal orang yang menyewa miliknya dengan harga penyewaan yang
lebih tinggi lantaran utang tersebut, jika penyewaan itu sebagai syarat untuk
mendapatkan utangan, karena gardhu seperti ini hukumnya haram secara ijmak.
Kalau tidak menjadi syarat (ketika bertransaksi), maka menurut kami
(segolongan Syaff’iyah) adalah makruh hukumnya dan haram menurut kebanyakan
ulama, Demikianlah menurut penuturan As-Subki.
Boleh
mengutangi dengan syarat ada gadai atau penanggung. Jika seseorang berkata,
“Utangilah orang ini seratus dan akulah yang menanggungnya”, lalu mengutangi
seratus atau sebagiannya, maka menurut pendapat Al-Aujah orang tersebut adalah
penanggungnya: karena ada hajat untuk menanggungnya, scbagaimana bila berkata,
“Lemparkanlah barang-barangmu ke laut dan sayalah penanggungnya.”
Kata
Al-Baghawi: Jika pemilik harta mendakwakan sebagai utang dan pengambil
(penerima) mendakwakan sebagai titipan (di mana terjadi kerusakan pada harta
tersebut), maka yang dibenarkan adalah penerima harta, karena menurut asalnya
adalah tidak ada tanggungan. Lain halnya dengan pendapat yang ada
dalamAl-Anwar.
Rahn (gadai) ialah: Menjadikan
barang yang sah dijual sebagai kepercayaan utang, di mana akan dibayar
daripadanya, jika terpaksa tidak dapat melunasi utang. Karena itu, tidak sah
menggadaikan barang wakaf dan budak Ummu walad. Gadai dapat sah karena ada
ijab dan qabul, seperti: “Kugadaikan barang ini” dan “Kuterima penggadaian
barang ini”.
Sebagaimana yang telah lewat dalam
jual beli, di sini diisyaratkan pula ada persambungan antara ijab dan qabul,
serta kecocokan maknanya. Di dalam Bab Gadai juga terjadi perselisihan ulama
tentang Mu’athah.
Gadai (dapat dihukumi sah,
jika) dilakukan oleh ahli tabarru’. Karena itu, bagi ahli -baik itu ayah,
kakek, pemegang wasiat ataupun hakimtidak diperbolehkan menggadaikan harta
anak kecil atau orang gila, sebagaimana mereka tidak boleh menerima gadai atas
nama kedua orang tersebut, kecuali karena darurat atau ada keuntungan yang
jelas: Maka dalam keadaan seperti ini mercka boleh menggadaikan dan menerima
gadai.
(Contoh menggadaikan dan menerima gadai
karena darurat) adalah: Wali menggadaikan sesuatu (milik mauli) sebagai
jaminan utang yang akan dilunasi dari hasil bumi yang sedang ditunggu atau
pembayaran utang seseorang, Atau wali menerima gadai sebagai jaminan utang
yang diberikan atau barang milik maulinya yang dijual dengan harga berangsur
karena darurat perampokan atau lainnya, Sebab dalam keadaan seperti ini,
menerima gadai sudah menjadi kelaziman.
(Gadai
tetap sah), sekalipun barang yang digadaikan itu berupa milik sebagian yang
umum (belum ditentukan), atau barang pinjaman, sekalipun dalam akad
pinjammeminjam dahulu tidak dijelaskan lafalnya untuk digadaikan, misalnya
pemilik barang berkata, “Gadaikan pinjaman ini untuk jaminan utangmu”, karena
dengan barang itu telah dapat digunakan sebagai kepercayaan.
Sah
meminjamkan uang emas atau perak untuk digadaikan menurut beberapa pandangan,
sekalipun kita melarang meminjamkannya untuk selain itu.
Berarti
sah hukumnya menggadaikan barang pinjaman dengan seizin pemiliknya, dengan
syarat pemilik barang mengetahui penerima gadai, jenis dan jumlah utang.
Tetapi
tercatat dalam Al-Jawahir: Apabila pemilik berkata, “Gadaikanlah budakku
dengan seberapa besar utangmu”, maka sah digadaikan dengan harga di atas harga
budak itu: -habis-.
Apabila pemilik barang telah
menentukan jumlah utang, lalu barang itu digadaikan dengan nilai utang di.
bawah yang ditentukan, maka sah gadainya, dan bagi pemilik barang tidak boleh
menarik barangnya setelah penerima gadai mengambil barang gadai pinjaman
tersebut. Apabila barang itu rusak di tangan penggadai, maka ia wajib
menanggungnya, karena dalam hal ini ia sebagai peminjamnya, Begitulah ittifak
ulama. Kalau rusak di tangan penerima gadai, tidak wajib menanggungnya, karena
penerima gadai adalah orang yang dipercaya dan haknya tidak dapat gugur dari
tanggungan penggadai.
Tetapi, jika peminjam
barang tersebut menggadaikan dengan cara fasid akadnya, maka ia wajib
menanggung kerusakannya dengan menyerahkannya kepada murtahin, Demikianlah
yang dikatakan oleh tidak hanya satu ulama.
Barang
pinjaman yang telah dijadikan gadai dapat dijual setelah masa pembayaran utang
(sedang utang belum terbayar), dengan cara membicarakan terlebih dahulu
terhadap pemiliknya, lalu pemilik barang tersebut meminta sejumlah barang yang
telah terjual itu kepada orang yang menggadaikannya.
Rahn
(gadai) tidak sah jika di situ disyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai
atau penerima gadai, misalnya barang gadai tidak boleh dijual, padahal masa
pembayaran sudah tiba, atau boleh dijual hanya dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga umum.
Atau seperti syarat ada
kemanfaatan barang gadai pada penerima gadai Contohnya, kedua belah pihak
mentyaratkan bahwa tambahan tambahan yang terjadi -misalnya buah pohon
gadaiadalah jkut tergadaikan.
Maka, gadai dalam
keuga bentuk di atas hukumnya tidak sah.
Akad
gadai belum dianggap jadi -sebagaimana halnya dengan hibah-, kecuali setelah
murtahin menerima gada: sebagaimana penerimaan mabes dalam Bab Jual Beli yang
telah lewat, dan mendapat izin dari rahin yang ahli tabarru’.
Pencabutan
kembali atas gadai sebelum penerimaan murtahin terhadap barang gadai, dapatlah
terjadi dengan tasaruf yang dapat menghilangkan hak milik, nusainya hibah dan
penggadaian terhadap orang Jain, bukan dengan disetubuhi (bagi budak
perempuan), dikawinkan, yahin/murtahin mati dan marhun (barang gadai) yang
lari.
Kekuasaan atas marhun pada galibnya terjadi
setelah lestari akad adalah terletak di tangan murtahin, dan kekuasaan ini
adalah kepercayaan (amanat), sekalipun utang telah terlunasi,
Karena
itu, murtahin tidaklah berkewajiban menanggung (atas kerusakan marhun),
kecuali jika ia berbuat gegabah (lalim): misalnya ia tidak mau mengembalikan
marhun, padahal utang telah dilunasi.
Murtahin
-seperti halnya penyewadapat dibenarkan dengan sumpahnya atas pengakuan rusak
marhun, tetapi ja tidak dapat dibenarkan atas pengakuan bahwa ia telah
mengembalikan marhun, karena murtahin (penyewa) membawa barang untuk
kepentingan diri mereka sendiri, karenanya mereka laksana peminjam.
Lain
hainya dengan orang yang dititipi dan wakil. Dengan rusaknya marhun tersebut,
tiada sedikit pun piutangnya yang gugur.
Jika
murtahin Iupa tentang marhun, semacam kutab yang dimakan anai-anai (rayap),
atau diletakkan di tempat yang diperkirakan akan terjadi petaka tersebut, maka
ia harus menanggungnya lantaran gegabah.
Kaidah:
Hukum
akad fasid (rusak) yang dikerjakan oleh orang pandai berbuat (rasyid), adalah
seperti hukum akad yang sah dalam hubungan ada dan tidaknya tanggungan, karena
akad yang sah saja -misalnya jual beli dan qard jika sudah serah-terima barang
ada kewajiban menanggungnya, maka apalagi dengan akad yang rusak (fasid).
Atau
tidak ada kewajiban menanggung -misalnya barang gadai, sewaan dan hibah-, maka
dengan akad yang rusak, tidaklah mewajibkan penanggungan.
Cabang:
Jika
seseorang menggadaikan sesuatu dan mensyaratkan bahwa setelah satu bulan
barang tersebut dinyatakan telah terbeli oleh murtahin menerima penyerahannya,
. maka ia tidak wajib menanggung barang tersebut sebelum waktu berjalan satu
bulan, sekalipun. diketahui bahwa akad tersebut hukumnya rusak (fasid):
Demikianlah menurut pendapat Al-Muktamad.
Menanggungnya
setelah lewat satu bulan, sebab setelah masa tersebut status barang gadai
berubah menjadi jualan atau pinjaman yang rusak keduanya, kerena terjadi
kepindahan status gadai pada habis bulan itu.
Jika
seseorang berkata, ” Kugadaikan kepadamu dan jika aku tidak bisa melunasi
utangku di waktu pembayarannya, maka barang tersebut menjadi jualan untukmu”,
maka rusaklah akad jual beli, tetapi gadainya tetap sah menurut beberapa
tinjauan hukum, sebab rahin tidak mensyaratkan sesuatu dalam akad tersebut.
Bagi
murtahin, setelah sampai masa pelunasan utang berhak meminta dijual barang
gadai atau menagih piutangnya bila barang tidak dijual. Bagi rahin tidak harus
menjual barang tersebut, tetapi murtahin berhak menuntut kepadanya salah satu
dari dua hal tersebut setelah masa pembayaran utang.
Hanya
saja rahin boleh menjual marhun atas izin murtahin, jika memang ada hajat
untuk itu, karena sesungguhnya murtahin mempunyai hak atas barang itu. Pihak
murtahin diprioritaskan dalam penerimaan pembayaran utang dari harga barang
Itu (karena haknya berkaitan dengan barang tersebut) daripada pemberipemberi
utang yang lain.
Jika murtahin tidak mau memberi
izin penjualannya, maka kepada hakim berkata, “Izinkanlah ia menjual barang
itu atau bebaskanlah ia dari utangnya”.
Hakim
harus memaksa rahin -dengan memenjarakan atau lainnyaagar melakukan salah satu
dari dua alternatif di atas (menjual barang gadai untuk melunasi utangnya atau
melunasinya), jika ia membangkang.
Jika penggadai
masih membangkang atau ia tidak ada, sedangkan harta yang dimiliki untuk
melunasi utangnya hanyalah barang gadai itu, maka hakim harus menjual barang
tersebut dengah cara paksa setelah terbukti ja mempunyai utang, barang itu
miliknya, terjadi akad rahn (gadai) dan barang gadai ada dalam wilayah
kekuasaan hakim, lalu dari harga penjualan barang tersebut hakim melunasi
utang penggadai. Hal ini dilakukan karena untuk menolak mudarat atas diri
murtahin.
Jika sudah sampai waktu pembayaran
utang, bagi murtahin boleh menjual barang gadai dengan izin penggadai dan
penjualan dilakukan di depannya. Lain halnya dengan penjualan yang dilakukan
ketika penggadai tidak hadir.
Tetapi, jika
penggadai telah menentukan harga barang tersebut, maka secara mutlak sah jual
belinya, lantaran tidak ada kecurigaan.
Apabila
kedua belah pihak mensyaratkan agar yang menjual barang tersebut adalah pihak
ketiga sewaktu pembayaran utang telah tiba, maka. pihak ketiga boleh
menjualnya dengan harga umum secara kontan.
Dalam
hal ini, orang ketiga tidak disyaratkan membicarakan penjual dengan rahin
(penggadai), sebab menurut hukum asal bahwa izinnya tetap berjalan terus,
tetapi ia disyaratkan mengadakan pembicaraan dengan pihak murtahin, sebab
terkadang ia menangguhkan pembayaran piutang atau membebaskannya.
Bagi
pemilik marhun -baik itu rahin atau orang yang meminjamkannya wajib menanggung
biaya marhun, misalnya nafkah dan pakaian budak, makanan binatang, upah
mencari budak yang melarikan diri, sewa tempat menyimpan dan biaya perbaikan
(marhun): Demikianlah biaya menurut ijmak. Lain halnya dengan pendapat
Al-Hasan Al-Bashri yang syadz (langka)
Jika
pemilik itu tidak ada di tempat atau melarat, maka murtahin melaporkan pada
hakim, lalu atas ijin darinya, murtahin boleh membiayai marhun, agar marhun
sebagai gadai dari nafkah (pembiayaan marhun), di samping sebagai gadai dari
utang.
Jika murtahin berhalangan meminta izin
kepada hakim dan ia telah mempersaksikan pembiayaan tersebut guna dapat
meminta ganti pada rahin, maka ia nanti bisa mendapatkan ganti dari pembiayaan
itu. Kalau ia tidak mempunyai halangan untuk meminta izin kepada hakim
terlebih dahulu, maka nanti ia tidak bisa mendapatkan ganti pembiayaan
tersebut.
Setelah terjadi akad gadai, bagi
pemilik barang tidak diperbolehkan menjual, mewakafkan dan menggadaikannya
kepada orang lain, agar tidak terjadi perebutan murtahin. Tidak boleh pula
menyetubuhi budak perempuan yang digadaikan tanpa izin murtahin, sekalipun
tidak menyebabkan kehamilan, karena untuk menutup pintu persetubuhan secara
totalitas. Lain halnya dengan pemanfaatan-pemanfaatan seks yang lain, maka
adalah halal jika aman dari persetubuhan. Tidak boleh juga mengawinkan budak
perempuan yang digadaikan, sebab hal ini akan mengurangi harganya.
Jika
pengawinan tersebut dengan murtahin atau seizinnya, maka bagi rahin tidak
haram melaksanakannya.
Demikian juga tidak
diperbolehkan : menyewakannya kepada selain murtahin tanpa izin darinya, jika
masa penyewaan itu melampaui masa pembayaran utangnya.
Bagi
pemilik barang (baik rahin sendiri atau orang yang meminjamkan) boleh
memanfaatkannya dengan mengendarai atau menempati, tetapi tidak boleh membuat
bangunan dan menanam di atas tanah yang tergadaikan. Tetapi jika utang itu
belum sampai waktu pelunasannya din ia berkata, “Akan kucabut bangunan atau
tanaman itu ketika telah datang pelunasan utang”, maka hal itu diperbolehkan
baginya.
Adapun persetubuhan murtahin dengan
budak perempuan sekalipun atas izin pemiliknya, adalah dihukumi zina, jika ia
telah mengetahui keharamannya. Karena itu, ia wajib dikenai hukuman had, dan
wajib membayar mahar, jika budak tersebut tidak menyerahkan diri dengan
sepenuhnya untuk disetubuhi dalam keadaan mengetahui keharamannya.
Mengenai
keterangan yang dikatakan riwayat Atha’, bahwa budak tersebut boleh disetubuhi
atas izin pemiliknya, adalah sangat daif (lemah). Bahkan ada yang mengatakan,
bahwa riwayat di atas adalah dusta.
Qadhi
Ath-Thayyib An-Nasyiri ditanya tentang hukum dari kebiasaan wanita yang
menerima gadai berupa perhiasan dengan izin memakainya, maka jawab beliau:
Bagi murtahin tersebut tidak wajib menanggung (kerusakan) atas pemakaian
barang tersebut, karena penerimaan gadai seperti itu dihukumi sebagai
sewa-menyewa yang fasid.
Hai itu berdasarkan
bahwa wanita yang memberi utang tersebut mau memberinya (mengutangkannya) jika
ia menerima gadai dan memakainya, maka pemberian utang itu sebagai penukar
yang rusak terhadap kebolehan memakai barang gadai yang berupa perhiasan
tersebut.
Jika terjadi percekcokan antara rahin
dengan murtahin mengenai terjadi atau tidak akad gadai, sebagaimana seseorang
berkata, “Engkau telah menggadaikan barang ini kepadaku”, lalu pihak yang lain
mengingkarinya, atau mengenai ukuran marhun, misalnya, “Engkau menggadaikan
bumi berikut pohonnya”, lalu pihak yang lain berkata, “Hanya buminya saja”,
atau mengenai utang yang dijamin dengan gadai tersebut misalnya, “dengan utang
2.000,-“, lalu pihak lain mengatakan, “dengan utang 1.000,-”, maka untuk semua
itu yang dibenarkan adalah rahin disertai sumpah, sekalipun barang gadai
(marhun) berada di tangan murtahin, karena menurut hukum asal adalah tidak
terjadi apa yang Didakwakan murtahin.
Jika
murtahin mendakwakan marhun yang ada di tangannya, bahwa ia mengambilnya
dengan seizin rahin, lalu rahin mengingkarinya dan berkata, “Engkau telah
menggasabnya”, “Barang itu kupinjamkan kepadamu”, atau “Kusewakan kepadamu”,
maka dengan cara bersumpah rahin dapat dibenarkan dalam perlawanan
tersebut.
Cabang:
Jika
ada orang mempunyai utang 2000, kepada orang lain. Adapun yang 1000, memakai
gadai, sedang yang 1000, lagi memakai penanggung, lalu ia membayar 1000,dan
berkata, “Yang kubayar adalah yang bergadai”, maka dia dapat dibenarkan dengan
sumpahnya, karena orang yang membayar itu lebih mengetahui maksud dan cara
pembayarannya.
Dari keterangan di atas, jika
pengutang menyerahkan sesuatu kepada pemberi utang dengan maksud pembayaran
utang, maka jadilah arahnya, sekalipun pemberi utang mengiranya sebagai
hadiah: Demikianlah kata para ulama.
Kemudian,
jika yang membayar 1000,di atas tidak dimaksudkan sesuatu di waktu
menyerahkannya, maka jumlah tersebut dapat dijadikan pembayaran, yang mana ia
sukai (yang bergadai maupun yang berkafil), karena penentuan diserahkan pada
dirinya.
Penyempurna:
Muflis
-yaitu orang yang mempunyai utang kepada orang lain, yang lebih banyak
daripada harta miliknya dan telah tiba masa pembayarannya, adalah dicegah
mentasarufkan hartanya atas permohonan, diri sendiri atau para pemberi
utang.
Dengan adanya pencegahan tersebut, maka
hak-hak para pemberi utang (pemiutang) bertalian dengan harta muflis. Karena
itu, ia tidak sah mentasarufkan hartanya pada hal-hal yang dapat merugikan
mereka, misalnya wakaf dan hibah, juga tidak sah jual belinya, sekalipun
terhadap para pemiutangnya dengan perhitungan utangnya kepada mereka tanpa
seizin hakim.
Sah ikrar (pengakuan) muflis atas
benda atau utang yang bertalian kewajibannya dengan sesuatu sebelum
dilaksanakan pengampuan.
Sunah bagi hakim
secepatnya menjual harta muflis -sekalipun berupa rumah dan budak pelayan
dirinya di hadapan dirinya dan para pemiutang, lalu membagi hasil penjualan
itu kepada mereka. Penjualan seperti ini sebagaimana menjual harta orang yang
tidak mau membayar hak orang lain yang wajib ditunaikan.
Bagi
hakim berhak memaksa orang yang enggan membayar kewajibannya dengan cara
ditahan atau lainnya dari bermacam-macam bentuk takzir.
Pengutang
mukalaf yang diketahui mempunyai harta, adalah boleh dipenjarakan. Ayah/ibu ke
atas dari jalur ayah/ibu tidak boleh dipenjara lantaran berutang pada anak
turunnya: Lain halnya dengan pendapat yang ada dalam kitab Al-Hawi
(Ash-Shaghir) yang mengikuti Al-Ghazali.
Jika
sudah ada ketetapan kemelaratan pengutang, maka jia tidak boleh dipenjara atau
ditagih terusmenerus, akan tetapi diundur sampai ia mampu membayarnya.
Pemberi
utang berhak menagih pengutang yang belum ada ketetapan kemelaratannya, selagi
pengutang tidak memilih dipenjara: Jika ia memilih dimasukkan penjara, maka
dituruti keinginannya itu. Tentang, biaya penahanan dan penjaga tahanan,
adalah menjadi beban pengutang.
Hakim berhak
melarang orang tahanan menghibur diri dengan percakapannya, menghadiri salat
Jumat dan bekerja sebagai buruh, jika berpendapat bahwa yang demikian itu
membawa maslahat.
Bagi pemberi utang tidak boleh
melaparkan perut pengutang dengan cara tidak memberinya makan, Demikianlah
seperti yang difatwakan oleh Guru kita, Az-Zamzami.
Bagi
pemiutang muflis yang diampu atau mati, boleh menarik harta dagangannya
seketika, jika masih ada pada milik muflis dan tidak ada kaitannya dengan hak
tetap orang lain (misalnya gadai) serta utang telah tiba masa pembayarannya,.
sekalipun dagangan itu berupa telor yang telah mulai menetas, biji-bijian yang
mulai tumbuh atau tanaman yang biji-bijinya sudah menua, karena
tambahan-tambahan tersebut terjadi dari hartanya sendiri.
Pencabutan
kembali akad jual beli sudah dapat terwujudkan dari pihak penjual -walaupun
tanpa qadhidengan semacam ucapan, “Kufasakh (kutarik) kembali mabi”, tetapi
tidak wujud dengan cara semacam menjual dan memerdekakan mabi’ tersebut.
PASAL: TENTANG HIJR
Orang yang gila dicegah mentasarufkan
hartanya (hijr) sampai sembuh kembali, sedangkan kanakkanak sampai balig:
yaitu tepat usia 15 tahun Qamariyah dengan dua orang saksi yang adil lagi
bijaksana atau setelah mengeluarkan air mani atau darah haid. Sedang
kemungkinan untuk mengalami dua hal ini adalah setelah usia sempurna 9
tahun.
Orang yang mengaku telah balig dengan
keluar mani atau haid, adalah dapat dibenarkan tanpa disumpah, sekalipun
pengakuan tersebut berada di tengah percekcokan, sebab kebaligan seperti itu
hanya dialah yang mengalami (mengetahui)nya.
Tumbuh
rambut kelamin yang lebat sekira membutuhkan untuk dipotong, adalah tanda
kebaligan orang kafir: berdasarkan usia atau ihrilam, baik itu laki-laki
maupun perempuan.
Tanda yang ada pada orang kafir
di atas juga diterapkan pada anak orang. yang tidak diketahui keislamannya,
(tetapi) orang yang tidak diketahui ‘ umurnya oleh orang lain, tanpa tanda di
atas (tumbuh rambut kelamin) tidak dapat diterapkan padanya (untuk menunjukkan
kebaligannya), Begitulah menurut beberapa tinjauan hukum (Al-Aujuh). Ada yang
mengatakan: Tanda di atas juga berlaku untuk orang Islam.
Para
ulama menyamakan rambut. ketika yang tumbuh lebat dengan rambut kelamin di
atas.
Jika anak kecil telah menjadi pintar
(cerdas), maka hartanya diserahkan kepadanya.
Yang
dimaksud Rusyd adalah kecakapan untuk berbuat kemaslahatan agama dan harta,
misalnya ia tidak melakukan perbuatan haram yang dapat menghilangkan
adalah-nya, dengan mengerjakan dosa besar atau kecil secara terus-menerus,
yang maksiatnya lebih dominan daripada taatnya, dan misalnya ia tidak
menyia-nyiakan hartanya dengan ‘bermuamalah yang mengakibatkan kerugian besar,
atau dengan membelanjakannya pada perkara yang diharamkan, sekalipun hanya
sepeser.
Adapun pentasarufannya dalam sedekah,
bentuk-bentuk kebaikan, (membeli) makanan, pakaian dan hadiah yang tidak
selayaknya untuk dirinya, adalah tidak dinamakan tabdzir.
Setelah
seorang gila sembuh kembali dan anak menjadi balig sekalipun belumrasyid, maka
menjadi sah Islam, talak, khuluk dan demikian juga tasaruf kehartaan, jika
dilakukan setelah rusyd.
Yang menjadi wali anak
kecil adalah ayahnya yang adil, kakek hingga ke atas, pemegang wasiatnya, lalu
hakim penguasa daerah di mana anak tersebut berada dan dapat dipercaya.
Kemudian, jika hartanya berada di daerah lain, maka wali hartanya adalah hakim
penguasa harta itu berada dalam hal: Penjagaan, penjualan dan menyewakannya,
jika dikhawatirkan terjadi kerusakan terhadap harta itu. (Kalau orang-orang
tersebut tidak ada), maka walinya adalah orang-orang saleh daerahnya.
Bagi
wali wajib mentasarufkan harta maulinya pada kemaslahatannya, ia wajib menjaga
harta dan mengembangkan secukupnya untuk nafkah, zakat dan biaya hidup
maulinya, jika memungkinkan untuk itu.
Bagi wali
diperbolehkan bepergian membawa harta maulinya lewat jalan yang iman ke tujuan
yang aman pula: yaitu-melewati daratan, bukan lautan, Membeli barang-barang
bumi yang hasilnya mencukupi keperluan maulinya, adalah lebih utama daripada
berdagang. Ia tidak boleh menjual pekarangan maulinya, kecuali ada hajat
(misalnya takut pada orang zalim dan lainlain) atau ada keuntungan yang
tampak.
Sebagian ulama berfatwa, bahwa
sesungguhnya wali berhak bershuluh untuk mengambil sebagian piutang maulinya,
jika cara itu dipastikan untuk menyelamatkan yang lainnya, Sebagaimana pula
boleh, bahkan wajib baginya memberikan sebagian harta maulinya untuk
keselamatan harta yang lain. Selesai.
Wali boleh
menjual harta maulinya dengan harga yang tidak kontan demi kemaslahatan, dan
ia wajib minta jaminan gadai seharga barang itu, jika pembelinya bukan orang
kaya.
Karena darurat, bagi wali boleh
mengutangkan harta mahjur ‘alaihnya.
Bagi hakim
boleh mengutangkan harta maulinya secara mutlak (baik darurat atau tidak),
dengan syarat pengutangannya adalah orang yang kaya dan dapat dipercaya.
Menurut
pendapat Al-Ashah, ibu dan kerabat jalur ibu tidak ada hak kewalian. Demikian
juga dengan kerabat Ashabah mauli (misalnya, paman, saudara laki-laki dan anak
laki-lakinya).
Tetapi kerabat ashabah
diperbolehkan membelanjakan harta anak kecil untuk biaya pendidikan dan
pengajarannya, karena jumlah itu hanya sedikit, karena itu, dapat dimaklumi,
jika tidak ada wali yang khusus.
Ayah atau kakek
dapat dibenarkan dengan sumpah atas pengakuannya, bahwa ia mentasarufkan harta
maulinya untuk kemaslahatan.
Demikian juga hakim
dapat dibenarkan tanpa disumpah, jika dia orang yang tepercaya, adil, terkenal
menjauhi hal-hal yang tidak baik dan berkepribadian baik.
Namun
bagi orang-orang berikut ini tidak dapat dibenarkan: Pemegang wasiat,
pemelihara harta (bukan wali) dan hakim yang fasik, bahkan yang dibenarkan
adalah mahjur ‘alaih sekira tidak ada bukti atas pengakuan mereka, karena
mereka terkadang mencurigakan.
Dari keterangan
tersebut, jika ibu menjadi pemegang wasiat, maka diperlakukan hukum seperti
ayah dan kakek. Demikian juga dengan ayah dari ibu tersebut.
Cabang:
Bagi
wali tidak boleh mengambil harta maulinya secara mutlak, jika jaorang yang
kaya (tugas perwaliannya mengganggu pekerjaannya atau tidak).
Jika
ia orang miskin dan karena tugas perwaliannya itu menjadi terputus dari
pekerjaannya, maka ia boleh mengambil nafkahnya (seukuran/sepadan upah umum)
dan setelah menjadi kaya, maka ia tidak wajib mengembalikan apa yang ia ambil
tersebut.
Kata Al-Asnawi: Demikian itu adalah
hukum bagi Washi dan orang kepercayaan memegang harta. Adapun ayah dan kakek
secara ittifak, boleh mengambil harta maulinya secukupnya, baik ia orang yang
kaya atau bukan.
Orang yang mengumpulkan harta
untuk membebaskan tahanan umpamanya, hukumnya dapat dikiaskan dengan wali anak
yatim yang telah dituturkan di atas. Karena itu, jika ja.d0rang. yang fakir,
maka boleh memakan dani harta tersebut.
Bagi
ayah/kakek boleh memerintahkan anak mahjurnya melakukan suatu pekerjaan yang
tiada nilai imbalan upah, (tetapi) dia tidak boleh memukulnya agar mengerjakan
pekerjaan tersebut, lain halnya dengan pendapat ulama yang memantabkan bahwa
dia boleh memukulnya untuk itu.
An-Nawawi
berfatwa, bahwa jika seseorang memerintahkan cucu laki-laki dari anak
perempuan untuk melayani, maka ia wajib memberinya upah sampai anak tersebut
akil balig dan rusyd (cakap berbua), sekalipun ia tidak memaksanya. Jika anak
tersebut sesudah rusyd, maka ia tidak wajib memberinya upah, kecuali jika ia
memaksanya.
Hukum minta pelayanan ini juga
berlaku untuk selain kakek dari garis ibu (ayah dan kakek dari garis ayah).
Al-Jalal
Al-Bulqini berkata: Jika anak kecil memiliki harta yang tidak hadir di
tempatnya, lalu wali menafkahinya dengan hartanya sendiri dengan niat minta
ganti kembali setelah datangnya harta itu, maka bagi wali tersebut boleh
meminta ganti, jika dia itu seorang ayah/ kakek, karena dialah yang memegang
kekuasaan dua pihak (ijab dan qabul) Lain halnya jika wali tersebut selain
ayah/kakek, sekalipun hakim, Akan tetapi untuk selain ayah/kakek, ia harus
meminta izin kepada orang yang dinafkahi dan (setelah harta anak tersebut
hadir) ia boleh membayar (meminta ganti) dari harta itu.
Segolongan
ulama berfatwa: Orang yang berpiutang atas ayahnya, lalu ayahnya mengaku bahwa
utang tersebut digunakan untuk menafkahi orang itu, maka dengan bersumpah ayah
tersebut atau ahli warisnya dapat dibenarkan.
PASAL: TENTANG HAWALAH (PEMINDAHAN TANGGUNGAN UTANG)
Hawalah dapat menjadi sah dengan adanya shighat, Yaitu ijab dari
Muhil (pemindah tanggungan utang), misalnya: “Utangku kepadamu kupindahkan
tanggungannya kepada si Fulan”, “Hakmu padaku kupindahkan kepada si Fulan”,
atau “Hartaku pada si Fulan kujadikan untukmu”, dan qabul (pihak yang
piutangnya dipindahkan), di mana ada ijab_qabul tidak dita’liq, misalnya qabul
yang sah “pindahkanlah hakku”.
Ada juga kerelaan
muhil dan muhtal.
Untuk muhal alaih (pihak yang
terbebani limpahan utang), tidak disyaratkan kerelaannya.
Dengan
terjadi Hawalah, maka piutang muhtal pindah ke muhal alaih, muhil bebas
tanggungan utang dari, muhtal, dan muhal alash bebas dari tanggungan utang
kepada muhil.
Menurut ijmak ulama, (dengan
keberadaan hawalah), maka hak muhtal berpindah menjadi tanggungan muhal
alaih.
Jika muhtal tidak dapat mengambil
piutangnya dari muhal alaih, karena bangkrut -sekalipun telah ada sejak
diadakan hawalah-, karena muhal alaih mengingkari hawalah yang ada, karena
mengingkari yang berutang untuk menguatkan pengingkarannya, atau karena yang
lainnya, misalnya, kesewenang-wenangan muhal alaih dan kematian saksi-saksi
hawalah, maka bagi muhtal tidak boleh menagih piutangnya kepada. muhil,
sekalipun ia tidak mengetahui halangan-halangan di atas.
Muhtal
tidak boleh khiyar, jika jelas akhirnya ada muhal alaih adalah orang yang
melarat, sekalipun (waktu akad) disyaratkan ada kecukupan muhal alaih.
Jika
muhtal melakukan penagihan kepada muhal alaih, Jalu dijawab, “Muhil telah
membebaskan utangku sebelum akad hawalah”, dan ia memberikan bukti (Hayyinah),
maka bukti ini dapat diterima, sekalipun muhil berada dalam daerah setempat.
Kemudian menurut pendapat Al-Muttajih, bahwa bagi muhtal boleh menagih kembali
piutangnya kepada muhil, kecuali jika muhtal masih kukuh pendiriannya dalam
mendustakan muhal alaih.
Jika seseorang menjual
budak dan harga penjualannya dihawalahkan (pembek berstatus muhal alaih), lalu
penjual (muhil) dan pembeli (muhal alah) sepakat atas adanya kemerdekaan budak
tersebut, waktu jual bel: (begitu juga dengan pengakuan muhtal) atau
kemerdekaannya tersebut terbuku dengan adanya persaksian hisbah (sukarela)
atau dengan bayyinah yang diajukan oleh budak itu sendiri, maka hawalah
tersebut hukumnya tidak sah.
Jika muhtal tidak
mempercayai kesepakatan penjual dan pembeli tersebut tentang kemerdekaan
budak. yang dijual di atas tanpa mengemukakan bayyinah, maka masingmasing
penjual dan pembeli menyumpah muhtal, bahwa dirinya tidak tahu-menahu tentang
kemerdekaan budak itu dan hawalah tetap berjalan terus.
Jika
terjadi perselisihan antara pemiutang dengan pengutang tentang “Apakah
mewakilkan atau menghiwalahkan”, misalnya: pengutang berkata, “Aku menjadikan
dirimu sebagai wakilku untuk mengambilkan”, lalu pemiutang menjawab, “Nggak…,
tetapi engkau hiwalahkan”, atau pengutang berkata,” Aku telah
menghiwalahkanmu”, lalu dijawab oleh pemiutang “Nggak…, tetapi engkau hanya
mewakilkanku”‘, maka dengan cara bersumpah pihak yang mengingkari hawalah
dapat dibenarkan.
Maka dalam kedua contoh di
atas, pada contoh pertama yang dibenarkan adalah dakwaan pengutang, sedangkan
pada contoh kedua yang dibenarkan adalah pemiutang, karena menurut asal
permasalahan bahwa hak tersebut masih menjadi tanggungan penanggung
pembayarannya (pengutang).
Penyempurna:
Orang
mukalaf yang rasyid, sah menanggung utang yang sudah ada ketetapannya
(sekalipun dengan pengakuan penanggung), baik utang tersebut telah tetap
tanggungannya atas Madhmum Anhu (Orang yang ditanggung utangnya), misalnya
nafkah hari itu dan sebelumnya untuk istri, atau utang tersebut. belum tetap
tanggungannya (tetapi akan menjadi bebannya), misalnya harga mabi’ yang belum
diserahterimakan dan mahar sebetum terjadi persetubuhan.
Dhaman
tidak sah diberikan untuk kewajiban yang akan terjadi, misalnya utangnya akad
Qardhu yang akan terjadi atau nafkah istri untuk hari esok. Tidak sah pula
menanggung nafkah kerabat secara mutlak (hari yang telah lewat maupun yang
akan datang).
Tidak disyaratkan di sini ada
kerelaan pemiutang dan pengutang. Seorang budak sah menanggung. dengan
(syarat) mendapatkan izin dari tuannya.
Orang
mukalaf yang rasyid sah memberikan Kafalah (jaminan mengembalikan
barang/orang) atas barang yang ada dalam tanggungan, misalnya, barang yang
digasab atau dipinjam. Sah juga memberikan jaminan untuk mendatangkan yang
mempunyai kewajiban badir di tempat persidangan (karena berkaitan dengan hak
adami atau hak Allah yang berupa harta), dengan izin orang tersebut.
Kafil (penjamin) menjadi bebas tanggungannya dengan mendapatkan Makful (yang
dijamin), baik berupa barang atau manusia ke hadapan Makful Lah (yang
mempunyai hak yang mendapatkan jaminan), sekalipun makful datang sendin ke
tempat yang disyaratkan, dalam kafalah untuk mendatangkan makful: atau jika
tidak disyaratkan, maka ke tempat diadakan kafalah. Mendatangkan makful atau
kedatangannya sendiri ke hadapan makful lah tersebut berada tanpa penghalang
(antara makful) dengan makful lah, misalnya orang yang zalim.
Jika
makful tidak ada di tempat, maka kafil wajib mendatangkannya jika diketahui
tempat berada dan aman jalannya, kalau tidak, maka kafil tidak wajib
mendatangkannya.
Kafil tidak dapat dituntut dengan membayar harta,
sekalipun ia tidak dapat menghadirkan makful lantaran kematian maklul atau
lainnya.
Karena itu, jika disyaratkan kafil harus membayar harta,
sekalipun dengan kata-kata, “Jika memang ia tidak dapat menyerahkan makful”,
maka kafalah tersebut tidak sah.
Shighat penetapan Dhaman dan
Kafalah adalah seperti, “Aku yang menanggung piutangmu pada Fulan/ Aku
menanggungnya/Aku yang menjamin badannya/Aku penanggung atau menjamin atas
harta atau menghadirkan sesuatu”.
Jika seseorang berkata, “Akan
saya bayarkan harta” atau “Akan saya hadirkan seseorang”, maka itu adalah
janji menyanggupi sesuatu, sebagaimana kejelasan shighat tersebut.
Tetapi,
jika ada qarinah yang mengarahkan ke arti dhaman/kafalah, maka jadilah akad
dengan perkataan tersebut. Begitulah pembahasan Ibnur Rifah yang dipegangi
As-Subki.
Dhaman dan kafalah tidak sah dengan keberadaan syarat bebas Ashil (madhmun anhu dan makful) dari tanggungan atau digantungkan pada kejadian atau dengan dibatasi waktu.
Bagi pemilik hak (madhmun lah) boleh menagih piutangnya pada dhamin atau ashil. Jika ashil sudah bebas dari tanggungannya, maka bebas pula dhamin, tetapi tidak sebaliknya dalam masalah pembebasan tanggungan (jika madhmun lah membebaskan dhamin, tidak dengan sendirinya ashil terbebaskan dari tanggungannya), lain halnya dengan pembayaran tanggungan Gika dhamin telah bebas tanggungannya dengan menunaikan utangnya pada pemiutang/madhmun lah, maka ashil bebas dari tanggungannya).
Jika salah satu dari dhamin atau ashil mati, sedangkan utang belum terlunasi,
maka pelunasan menjadi kontan waktu itu atas yang mati. Jika dhamin telah
melunasi utang madhmun anhu (atas izinnya dan dengan hartanya sendiri, bukan
dari bagian gharimin dalam Bab Zakat), maka ia boleh minta ganti kepadaashil,
Jika dhamun telah berdamai dengan madhmun lah dengan membayar utang di bawah
jumlah semestinya (Shuluh Ibra’), maka ia tidak boleh minta ganti kepada
madhmun anhu, kecuali jumlah yang telah ia bayar.
Jika seseorang
membayar utang orang lan sewinnya, maka ia nanti boleh minta ganti kembali,
sekalipun permintaan ganti tersebut tidak disyaratkan kecuali jika ia membayar
utang orang tersebut dengan tujuan sedekah sukarela.
Cabang:
Segolongan ulama berfatwa: Jika dua orang berkata
kepada seseorang, “Kami berdua yang menanggung hartamu yang ada pada Fulan”,
maka ia boleh menagih kepada siapa saja di antara kedua orang tersebut dalam
keseluruhan jumlah harta.
Segolongan ulama Mutakadimin berkata: Ia boleh menagih separo piutangnya
kepada masing-masing. Pendapat inilah yang dicondongi oleh Al-Adzra’i.
Guru
kita berkata: Ucapan “lemparkanlah hartamu ke dalam laut, aku dan penumpang
kapal sekalian yang akan menanggungnya”, maka tanggungan dibagi rata, karenz
dhaman yang hakikat, tetapi ajakan untuk merusak harta demi kemaslahatan
bersama: karena itu menyebabkan adanya pembagian tanggung jawab yang rata,
agar manusia tidak menghindari sikap ini.
Suluh:
Ketahuilah, bahwa Shuluh itu dianggap sah jika telah
ada pengakuan terdakwa.
Berdamai dengan memperoleh sesuatu yang
bukan didakwakan disebut Shuluh Mu’awadhah. Adapun akibat hukumnya adalah jual
beli. Misalnya, seseorang berkata, “Aku damai denganmu tentang apa yang kamu
dakwakan, dan kini kuganti dengan pakaian ini.”
Berdamai dengan menggugurkan sebagian dari yang didakwakan disebut Shuluh Ibra’, jika yang didakwakan itu berupa utang piutang. Karena itu, jika pendakwa tidak mengatakan “kubebaskan tanggunganmu”, maka tidaklah. menjadi masalah.
Shuluh (damai) akan sia-sia jika pendakwa tidak mempunyai bukti (saksi 2
laki-laki, satu laki-laki dan 2 perempuan atau sumpah dan satu saksi), sedang
terdakwa mengingkan tuduhannya atau diam saja. Karena ilu, shuluh tidak sah
jika terdakwa masih mengingkari dakwaannya, sekalipun dipastikan bahwa yang
benar adalah pendakwa: Lain halnya dengan pendapat Aimmatits Tsalatsah (Imam
Malik, Imam Ibnu Hanbal dan Imam Abu Hanifah rahimahullah).
Tetapi,
dalam akad shuluh di mana terdakwa masih ingkar, bagi pendakwa yang benar
dengan dakwaannya, boleh mengambil barang yang diserahkan kepadanya.
Kemudian,
jika shuluh tersebut terjadi tanpa ada barang yang didakwakan, maka berarti ia
adalah Zhafir (pencekal) dan hukumnya akan diterangkan di belakang.
Cabang:
Haram bagi setiap orang menanam pepohonan atau
tempat berteduh di tengah jalan umum, sekalipun untuk kemanfaatan umum
orang-orang Islam dan sekalipun tidak membahayakan (mengganggu) orang-orang
yang melewati, sekalipun mudarat bisa dihilangkan seketika (ghayah terakhir
ini tidak ada faedahnya, sebab sudah dicukupi dengan ghayah sebelumnya -pen),
atau tempat berteduh tersebut dibangun di depan halaman rumahnya.
Halal
menanam pohon di depan mesjid demi kemaslahatan kaum muslimin atau pemanfaatan
hasilnya untuk mesjid, namun hukumnya adalah makruh.[alkhoirot.org]