Bab Nikah Talak Rujuk | Fathul Muin
Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.
Daftar Isi
- Bab Nikah
- Pasal: Kafa'ah (Kesetaraan sosial)
- Pasal: Menikahi Budak Perempuan
- Pasal: Shidaq (Maskawin / Mahar)
- Pasal: Gilir Dan Nusyuz (membangkang suami)
- Pasal: Khuluk (Talak Tebus)
- Pasal: Talak (Perceraian)
- Pasal: Rujuk
- Pasal: Ila' (sumpah tidak menjimakistri)
- Pasal: Zhihar
- Pasal: Iddah (Masa Tunggu)
- Pasal Tentang Nafkah
- Pasal Tentang Hadhanah (Pengasuhan Anak)
- Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin
BAB NIKAH - بَابُ النِّكَاحِ
Nikah menurut bahasa artinya “berkumpul menjadi satu”. Termasuk
arti tersebut, adalah ucapan orang Arab “pepohonan itu saling bernikah”, jika
satu sama lain saling bercondong dan berkumpul.
Sedang
menurut syariah, adalah “akad yang berisikan pembolehan melakukan persetubuhan
dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij”. Menurut pendapat Ash-Shahih,
bahwa kata “nikah” itu menurut makna hakikat adalah “akad”, sedang majaznya
adalah “persetubuhan”.
Sunah melakukan nikah bagi
orang yang sangat butuh untuk bersetubuh -sekalipun dia masih disibukkan oleh
ibadahnyadan ia mampu memikul biaya untuk mahar, pakaian musim dh mana istri
telah menyerahkan dirinya kepada suami (tamkin) dan nafkah harian (serta
malam)nya.
(Hukum sunah tersebut) didasarkan
pada beberapa hadis yang tertera di dalam kitab Sunan, di mana sejumlah dari
hadis-hadis tersebut kusampaikan di dalam kitabku, Ihkamu ahkamin Nikah. Di
samping itu, karena melakukan nikah dapat menjaga agama seseorang dan
melanggengkin keturunan.
Adapun orang yang sangat
butuh bersetubuh dan ia tidak mampu memikul biaya di atas, maka yang lebih
utama baginya adalah tidak melaksanakan nikah dulu, dan ia (dapat)
menanggulangi gejolak seksualnya dengan cara melakukan puasa, bukan
menggunakan obat. Makruh menikah bagi orang yang tidak ada hasrat bersetubuh
dan ia tidak mampu menanggung biaya di atas. Nikah itu sekira dihukumi sunah,
maka jika sebab nazar hukumnya menjadi wajib.
Setelah
ada kebulatan tekad melakukan nikah dan sebelum pinangan, bagi kedua belah
pihak (calon mempelai laki-laki dan perempuan) sunah saling melihat anggota
badan masing-masing, selain bagian aurat yang telah ditetapkan di dalam
syarat-syarat sah salat.
Karena itu, bagi
laki-laki hanya boleh melihat wanita yang bukan budak, pada bagian mukanya,
untuk mengetahui kecantikan dan pada telapak tangannya -baik dalam ataupun
luarnya- untuk mengetahui kehalusan kulit badannya. Bila wanita itu budak,
maka seluruh bagian tubuhnya boleh dilihat, kecuali antara tali pusat dan
lututnya. Kedua wanita tersebut boleh melihat bagian anggota badan selain
keduanya.
Untuk kehalalan menonton ini, harus ada
keyakinan, bahwa wanita itu tidak berada dalam ikatan nikah atau idah, serta
laki-laki tersebut tidak mempunyai perkiraan yang kuat bahwa pinangannya nanti
tidak akan diterima.
Bagi laki-laki yang tidak
dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, sunah mengutus seorang perempuan
untuk (melihat calon pinangan) dan mrengangan-angan serta menggambarkan
keadaan wanita tersebut kepadanya.
Dari kata-kata
“melihat”, dikecualikan memegang wanyta itu: maka hukumnya haram, lantaran
tidak ada hajatnya.
Penting:
Haram
bagi laki-laki -sekalipun sudah tua bangka-, sengaja melihat pada bagian
anggota badan wanitalain -baik wanita merdeka ataupun budakyang sudah pada
batas disyahwati, sekalipun wanita itu buruk mukanya atau tua, sekalipun
memandangnya tanpa disertai nafsu syahwat dan aman dari fitnah menurut
pendapat Al-Muktamad, Begitu juga sebaliknya, wanita haram melihat laki-laki
lain, Lain halnya dengan pendapat yang ada dalam Al-Hawi (ringkasan dari
Fathul Aziz, oleh Al-Quzwam) sebagaimana pula pendapat Ar-Raf’i.
Tidak
haram melihat pada bayangan semacam cermin, sebagaimana yang telah difatwakan
oleh tidak hanya seorang ulama.
Kata Al-Asnawi
dengan mgngikuti Ar-Raudhah (Raudhatuth Thalibin milik An-Nawawi) tentang
kehalalan melihat muka dan kedua telapak tangan wanita lain ketika aman dani
fitnah, adalah pendapat yang lemah (daif) Denuksan pula dengan hasil pilihan
Al-Adzra’i dari ucapan segolongan ulama tentang kehalalan melihat muka wanita
tua ketika aman dan fitnah.
Dengan cara pasti,
melihat leher dan kepala wanita merdeka lain (Al-Ajnabiyah) hukumnya tidak
halal. Ada yang mengatakan: Melihat wanita amat tanpa syahwat dan khawatir
terjadi fitnah -selain pusat perut dan lutut, karena iri auratnya ketika
salat-, hukumnya adalah halal, tetapi masih makruh.
Suara
tidak termasuk aurat, karena itu, mendengarkannya tidak haram, kecuali jika
dikhawatirkan terjadi fitnah atau merasa lezat dengan suara itu, sebagaimana
yang dibahas oleh Az-Zarkasyi,
Sebagian fukaha
Mutaakhirin berfatwa tentang diperbolehkan anak laki-laki melihat para wanita
dalam acara-acara walimah atau resepsi-resepsi yang lai
Menurut
Al-Muktamad dari kedua Guru kita (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi): Tidak boleh
melihat alat kelamin wanita kecil yang belum disyahwati. Ada yang mengatakan:
Hal itu hukumnya makruh. Al-Mutawali mentasbihkan kehalalan melihat alat
kelamin anak kecil sampai batas tamyiz, dan pendapat ini dimantapi oleh ulama
yang lainnya. Ada yang mengatakan: Hukumnya adalah haram.
Bagi
seorang semacam ibu boleh melihat alat kelamin anak laki-laki atau perempuan
di masa menyusui atau mengasuhnya, karena darurat.
Bagi
budak laki-laki yang adil boleh memandang tuan putrinya yang adil juga, selain
bagian di antara pusat dan lutut, begitu juga sebaliknya.
Bagi
mahram -sekalipun fasik atau kafir- boleh melihat bagian anggota selain pusat
dan-lutut wanita mahramnya, begitu juga sebaliknya. Bagi mahram atau sesama
jenis kelamin boleh menyentuh anggota badan selain pusat dan lutut.
Tetapi
memegang punggung wanita mahram atau betisnya -misal ibu atau anak
perempuannya-, adalah tidak dihalalkan, kecuali karena ada hajat atau belas
kasihan. Begitu juga sebaliknya.
Sekira anggota
badan itu haram dilihat, maka haram juga disentuh tanpa ada penghalang, karena
memegang itu lebih lezat daripada melihat. Tetapi secara mutlak, haram
memegang muka wanita lain.
Semua anggota badan
laki-laki atau wanita yang haram dilihat ketika masih bersambung, adalah haram
dilihat ketika sudah terpisah, misalnya potongan kuku tangan/kaki, rambut
wanita dan rambut kelamin. laki-laki. Kesemuanya wajib ditanam jika sudah
terpisah dan badan.
Wajib bagi wanita muslimah
menutupi dirinya dari wanita kafir. Begitu juga, bagi wanita yang terpelihara
jiwanya dari pandangan wanita fasik, sebab lesbian, zina atau berangkul,
Haram
dua laki-laki atau perempuan tidur secara telanjang di dalam satu potong
pakaian, sekalipun tidak bersentuhan atau saling berjauhan, tetapi masih dalam
satu selimut, lain halnya dengan pendapat As-Subki.
Pembahasan
mengenai pengecualian (tidur) dengan ayah/ibu karena didasarkan beberapa
hadis, adalah sangat jauh dan kebenaran.
Wajib
memisahkan anak laki-laki yang telah berusia 10 tahun dari ayah/ibu dan
saudara-saudaranya
(laki-laki maupun perempuan) di waktu tidur, sekalipun sebagian ulama ada yang
berpandangan bahwa kewajiban tersebut cuma dalam kaitan pemisahan dengan
ayah/ibu.
Sunah berjabat tangan bagi dua
laki-laki atau perempuan jika bertemu. Namun haram berjabat tangan dengan anak
kecil laki-laki (amrad) yang cakep, sebagaimana juga memandangnya dibarengi
birahi.
Makruh berjabat tangan dengan orang yang
berpenyakit, misalnya sopak atau lepra.
Boleh
memandang muka wanita tatkala bermuamalah (jual beli) atau lainnya, karena
hajat untuk mengetahunya, dan di kala mengajarkan pelajaran yang wajib
dipelajari, misalnya Fatihah: bukan hal-hal yang sunah menurut pendapat
Al-Aujah.
Juga di kala memberi persaksian untuk
wanita atau atasnya, sengaja melihatnya demi persaksian adalah tidak apa-apa,
sekalipun dengan mudah bisa didapatkan para wanita atau mahram yang mau
memberikan persaksian menurut beberapa pendapat.
Sunah
bagi wali sebelum mengijabkan nikah, mengucapkan khotbah nikah.
Karena
itu, bagi calon mempelas laki-laki sebelum qabul, ia tidak disunahkan
mengucapkan khotbah, sebagaimana yang telah ditashih oleh An-Nawawi di dalam
AI-Minhaj, bahkan khotbah tersebut sunah ditinggalkan, lantaran menghundan
perselisihan dengan ulama yang membatalkan akad nikah dengan khotbah tersebut,
sebagaimana yang diterangkan oleh Guru kita dan Guru beliau, Zakana rhm.,
tetapi menurut yang termaktub dalam Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, khotbah
calon mempelai laki-laki tersebut, hukumnya sunah dilakukan.
Sunah
berkhotbah pula sebelum acara pinangan (khitbah) dan sebelum penerimaan
lamaran (pinangan).
Untuk semua khotbah itu, si
khatib memulai khotbahnya dengan puji dan puja kepada Allah, lalu membaca
salawat salam kepada Rasulullah saw, dan wasiat takwa,: kemudian dalam khotbah
pinangannya, ja berkata: “Aku datang kepada kalian karena mencintai wanita/
pemudimu yang mulia”. Kalau ia sebagai wakil saja, maka yang diucapkan:
“Muwakilku datang kepada kalian/atas nama Muwakil aku datang kepada kalian
untuk meminang wanitamu yang mulia.”
Kemudian si
wali atau penggantinya berkhotbah seperti di atas, lalu mengucapkan: “Aku
senang kepadamu”.
Sunah bagi wali/wakilnya
sebelum melaksanakan akad rikah mengucapkan: “Saya akan mengawinkanmu atas
perintah Allah Azza wa Jalla, agar dijaga dengan baik atau dilepas dengan baik
juga.”
Cabang:
Haram
meminang secara terangterangan (tashrih) terhadap wanita yang masih dalam
idah, bukan dari dirinya, baik idah dari talak raj’i ataupun bain, ataupun
fasakh maupun kematian suaminya.
Melontarkan
sindiran pinangan (ta’ridh) terhadap wanita yang beridah selain raj’1 hukumnya
boleh: misalnya: “Kamu adalah wanita yang cantik”, dan “Masih banyak laki-laki
yang mencintaimu”.
Tidak halal meminang wanita
yang telak ditalak sendiri tiga kali, sebelum wanita itu fahallul dan habis
idahnya dari laki-laki (suami) kedua (Muhallil), jika laki-laki kedua ini
menalak raj’i. Tetapi, jika tidak talak raj’i, maka dalam masa idahnya dengan
Muhallil tersebut, laki-laki pertama boleh melontarkan sindiran pinangan.
Haram
bagi laki-laki meminang wanita yang sudah ia ketahui telah dipinang orang lain
dan diterima, serta pinangan tersebut, adalahpinangan yang ‘diperbolehkan,
sedang pinangan telah diterima dengan ucapan yang jelas, sekalipun pihak
wanita tidak menyukai keberadaan pinangan tersebut, kecuali setelah mendapat
izin dari peminang, tidak karena takut atau malu, atau peminang tersebut sudah
berpaling dari wanita itu, sebagaimana masa pinangan sudah cukup lama setelah
ada penerimaan. Termasuk i’radh, adalah kepergian peminang ke tempat yang
jauh.
Bila seseorang diajak bermusyawarah
mengenai semacam laki-laki yang mau menunang (anak putrinya) atau mengenai
semacam orang alim yang mau dhayak ikatan kerja, maka orang tersebut wajib
menuturkan kejelekan-kejelekan penunang alim dengan sejujur-jujurnya, sebagai
nasehat yang wajib diberikan.
Wanita yang kuat
agamanya (Daniah) dan yang mempunyai sifat adil, adalah lebih utama dinikahi
daripada wanita yang fasik, sekalipun bukan karena perbuatan zina, karena
hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim: “Ambillah yang kukuh dalam memegang
agamanya”
Wanita Nasibah, -yaitu wanita mulia
lantaran dikerahu dari keturunan ulama atau
orang-orang saleh-,
adalah lebih utama dimkahi daripada yang lainnya, karena hadis Nabi saw.:
“Pilihkanlah tempat yang bagus untuk air spermamu dan janganlah kamu letakkan
di tempat penyemaian yang tidak pantas!”
Makruh
menikahi wanita hasil perzinaan dan wanita anak orang fasik.
Wanita
cantik itu lebih utama dinikahi, karena berdasarkan hadis: “Wanita yang paling
bagus, adalah yang menyenangkan jika dipandang.”
Wanita
kerabat jauh dari nasab sendiri, adalah lebih utama daripada kerabat dekat
atau wanita lain, karena nafsu birahinya terhadap wanita yang dekat
kekerabatannya itu lemah, yang akhirnya mengakibatkan anakeyang lahir
kurus.
Wanita yang dekat kekerabatannya, adalah
wanita yang masih menjadi saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu.
Wanita
bukan kerabat, adalah lebih utama dari kerabat dekat, hal ini tidak menjadi
musykil dengan pernikahan Nabi saw. dengan Zainab r.a., yang menjadi putn
pamannya sendiri, lantaran beliau menikahinya untuk menjelaskan kebolehan
hukum nikah seperti itu. Begitu juga perkawinan Ali r.a. dengan Fatimah r.a.,
sebab ia termasuk kerabat jauh, yaitu putri anak laki-laki paman Ali r.a.,
(cucu paman), bukan putri paman.
Wanita gadis
lebih utama dinikahi daripada janda, lantaran diperintahkan dalam hadis-hadis
sahih, alat kelaminnya lemah untuk memecahkan selaput dara.
Wanita
yang banyak keturunannya (walud) dan besar rasa kasih sayangnya (wadud) adalah
lebih utama, karena berdasarkan perintah Nabi saw.: “Wanita gadis bisa
diketahui akan banyak keturunannya dengan melihat kerabatnya”.
Yang
lebih utama lagi, hendaklah wanita itu berakal cerdas dan berbudi baik, tidak
mempunyai anak dari suami terdahulu, kecuali karena ada kemaslahatan, tidak
berkulit bule, tidak terlalu tinggi dan tidak kurus, lantaran ada larangan
dari Nabi saw. menikahi seperti itu.
Terjadinya
keutamaan pada wanita di atas (kecuali Daniah), adalah jika sifat Iffah (sifat
dapat menjaga harga diri dalam urusan agama) tidak dimiliki oleh wanita selain
mereka, tetapi jika sifat Iffah tersebut justru dimiliki oleh wanita-wanita
kebalikan mereka, maka yang lebih utama adalah menikahi wanita yang mempunyai
sifat Iffah ini.
Guru kita (Ibnu Hajar) berkata
di dalam Syarhul Minhaj: Jika persilangan sifat-sifat tersebut pada wanita,
maka yang Zhahir secara mutiak yang didahulukan untuk dipilih adalah wanita
yang kuat agamanya, berakal cerdas, berbudi baik, lalu bernasab baik, gadis,
cantik, kemudian yang lebih jelas kemaslahatannya menurut perhitungannya
sendiri. Selesai.
Di dalam Syahrul Irsyad
(Al-Imdad) Guru kuta memantapkan mendahulukan kemampuan melalurkam dari
kecerdasan akal.
Sunah bagi wali menawarkan
putrinya kepada laki-laki yang berbudi pekerti baik.
Dalam
melakukan nikah, sunah diniati mengikuti sunah (prilaku) Rasulullah saw. dan
menjaga agamanya. Nikah mendapat pahala, jika dimaksudkan sebagai perbuatan
ketaatan kepada Allah swt., baik menjaga kesucian diri atau mendapatkan anak
yang saleh.
Sunah akad nikahkah dilaksanakan di
dalam mesjid, hari Jumat, pagi hari, bulan Syawal dan sunah pula menyenggama
istrinya di bulan itu.
Rukun Nikah Ada Lima:
Calon istri, calon suami, wali, 2
saksi dan shighat nikah.
Shighat disyaratkan ada
ijab dari wali dengan semisal ucapan: “Zawajtuka/Ankahtuka” (Aku kawinkan
kunikahkan) dengan wanita perwalianku si Fulanah.
Karena
itu, ijab tidak sah dengan lafal selain kedua di atas, karena berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Takwalah kalian kepada Allah dalam
kaitannya dengan para wanita, karena kalian memungut mereka dengan dasar
amanat Allah swt. dan membuat halal farji mereka dengan kalimat-Allah.” Yaitu
kalimat yang termaktub di dalam kitab Alqur-an, (yaitu kata-kata nikah pada
surah An-Nisa’: 3 dan tazwij pada surah Al-Ahzab: 37). Di dalam Alqur-an tidak
ada kata untuk menghalalkan farji, selain kedua kata tersebut.
Menurut
pendapat Al-Aujah, adalah tidak sah ijab dengan “Uzawwijuka/ Ankahtuka”
(Engkau akan kukawinkan/kunikahkan). Tidak sah pula kinayah, misalnya: “Engkau
kuhalalkan atas anak putriku/Dia kuakadkan untukmu.”
Disyaratkan
ada qabul dari calon suami bersambung dengan ijab. Misalnya:
“Tazawwajtuha/nakahtuha” (Kukawin dia/kunikah dia). Di dalam qabul di sini
disyaratkan ada kata yang menunjukkan calon istri, baik semacam menyebutkan
namanya, dhamir (kata ganti) atau isyarah (kata tunjuk).
Atau
dengan kata-kata: “Qabiltu nikahaha/tazwijaha”‘ (Kuterima
nikahnya/perkawinannya), atau “Radhitu nikahaha/tazwijaha” (Aku rela dengan
nikahnya/ perkawinannya), menurut pendapat Al-Ashah: lain halnya menurut
pendapat As-Subki. Atau sah juga menurut pendapat Al-Muktamad dengan
kata-kata: “Qabiltu nikah/ tazwij” (Kuterima nikah itu/ perkawinan itu).
Tetapi qabul tidak sah dengan: “Fa’altu nikahaha/ tazwijaha”‘ (Kyalani
pernikahannva/perkawinannya).
Qabul secara mutlak
seperti ini: “Qabiltu (Kuterima)/Qabiltuha (Kuterima dia yang dinikahkan)”,
adalah tidak sah. Begitu juga tidak sah, qabul seperti ini: “Qabiltuhu”
(Kuterima nikah itu).
Qabul yang lebih utama,
adalah ucapan: “Qabiltu Nikahaha” (Kuterima nikahnya), sebab inilah qabul yang
hakiki.
Sah akad nikah dengan menggunakan
terjemah dari shighat di atas (ijab dan qabul) dengan bahasa apa saja,
sekalipun dilakukan oleh orang yang pandai dalam berbahasa Arab, dengan syarat
bahwa bahasa asing tersebut dinilai sebagai shighat nikah yang sharih, menurut
ahli bahasa yang bersangkutan. Hukum sah ini jika memang kedua belah pihak
(wali dan calon suami) serta kedua saksi memahami bahasa asing yang digunakan
dalam ijab dan qabul tersebut.
Al-Allamah
Taqiyyuddin As-Subki berkata di dalam Syarhul Minhaj: Apabila kalimat
terjemahan shighat nikah itu oleh para ahli bahasa di daerah yang bersangkutan
disepakati sebagai tidak sharih, maka akad nikah menggunakan kalimat
terjemahan tersebut hukumnya tidak sah Selesai.
Yang
dimaksudkan dengan terjemah da sim adalah “terjemah makna nikah menurut
lughat”, misalnya kumpul. Karena itu, lafal-lafal yang telah masyhur di
sebagian daerah untuk menikahkan (yang tidak sebagai terjemahan nikah menurut
lughat) adalah tidak sah digunakan, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru
kita, Al-Muhaqqiq Az-Zamzami.
Apabrla seorang
qadhi mengakadkan rikah seorang non-Arab dengan bahasa Arab yang tidak ia
ketahui makna aslinya, tetapi ia mengetahui bahwa kalimat tersebut digunakan
untuk akad nikah, maka sahlah akad tersebut, sebagaimana yang telah difatwakan
oleh Guru kita dan Syekh Athiyah.
Dalam Syarhul
Irsyad dan Minhaj, Guru kita berkata: “Tidak menjadi masalah ada oahn
(ketidakbenaran dalam ucapan) pada ucapan orang awam: misalnya membaca fathah
ta’. dhamir mutakallim dan mengganti huruf jim dengan zay, atau sebaliknya.
Akad
nikah orang bisu sudah menjadi sah dengan isyarat, yang memahamkan.
Ada
yang mengatakan: Akad nikah tidak sah dengan bahasa selain Arab. Jika kita
berpijak dengan pendapat ini, maka bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab,
ia wajib mempelajari atau menyerahkan akad nikahnya. Pendapat ini diceritakan
dari Ahmad rhm.
Dari kata-kataku “yang
bersambung”, dikecualikan jika antara ijab dengan qabul ditengah-tengahi lafal
lain yang tidak bersangkutan dengan nikah sekalipun, jumlahnya hanya sedikit.
Misalnya: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku: maka wasiatilah ia dengan
baik”.
Tidak menjadi masalah ada khotbah pendek
dari calon suami yang menengah-nengahi ijab dengan qabul, sekalipun kita
berpendapat bahwa khotbah tersebut hukumnya tidak sunah. Lain halnya dengan
pendapat As-Subki dan Ibnu Abisy Syarif yang mengatakan, bahwa khotbah
tersebut menjadikan akad tidak sah. Tidak menjadi masalah lagi di
tengah-tengahi dengan “…, maka katakanlah: ‘Kuterima nikahnya”, karena kalimat
tersebut : ada penyesuaiannya dengan akad.
Apabila
sebelum qabul diucapkan, sang wali yang telah mengijabkan menarik ijabnya,
calon istri menarik kembali izinnya atau ia gila atau murtad, maka ijab tidak
boleh dilakukan.
Cabang:
Apabila wali
berkata: “Kukawinkan kamu dengan putri perwalianku dengan maskawin sekian”,
lalu calon suami menjawab: ” Kuterima nikahnya” tanpa menyebutkan maskawinnya,
maka sah akad rikah dengan kewajiban membayar maskawin mutsil, lain halnya
dengan pendapat Al-Barizi yang mengatakan tidak sah.
Menta’liq
nikah hukumnya tidak sah, sebagaimana jual beli, bahkan salam ta’liq nikah
mempunyai nilai lebih ketidaksahannya, karena ada kekhususan penambahan
sikap
hati-hati. Misalnya seorang ayah berkata: “Jika putriku telah
dicerai dan habis idahnya, maka kamu kukawinkan dengannya”, lalu orang lain
tersebut, qabul, kemudian ternyata wanita tersebut telah idah dan memberi
izin, maka akad nikah di siri tidak sah, lantaran sighat nikah mengalami
kerusakan sebab ta’liq.
Sebagian fukaha membahas
kesahan Ijab seperti ini: “Jika si Fulanah menjadi wanita perwalianku, maka
kamu kunikahkan dengannya”, dan “Kamu kunikahkan jika kamu menginginkan”,
sebab di sini pada hakikatnya tidak ada ta’liq, sebagaimana di dalam jual
beli.
Nikah tidak sah dengan dibatasi berlakunya,
baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak, sebab ada kesahihan larangan
dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin yang dibatasi waktu
pertaliannya, sekalipun seribu tahun.
Tidak
termasuk nikah yang dibatasi waktunya, bila wali berkata: “Kukawinkan kamu
selama masa hidupmu atau hidup wanita perwaliannya”, karena masa itulah tempo
pertalian akad rikah, bahkan akibat rukah itu ada yang sampai setelah mati
(misalnya, memandikan dan pewarisan harta pusakanya).
Dalam
nikah Mut’ah, pihak laki-laki yang menyetubuhi wanitanya wajib membayar Mahar.
Bertemunya nasab anak yang dilahirkan dan bagi pihak wanitanya diberlakukan
masa idah.
Dalam nikah Mut’ah pihak suami tdak
dapat dikenai had, jika dinikahkan dengan menggunakan wali dan 2 saksi. Bila
akad nikah dilakukan hanya antara laki-laki dan wanita, maka ia wajib dihad.
Adapun jika hukum had dikenakan padanya, maka kewajiban membayar mahar
ditiadakan, begitu pula hubungan nasab dan masa idah untuk wanita tersebut.
Akad
nikah tetap sah tanpa menyebutkan mahar ketika akad, tetapi penuturan mahar
ketika akad hukumnya sunah, dan makruh jika : tidak menyebutkannya. Tetapi,
jika seseorang mengawinkan budak perempuannya dengan budak laki-lakinya
sendiri, maka tidak sunah menuturkannya ketika akad.
Syarat
calon istri: Tidak menyadi istri orang lain dan tidak berada dalam masa idah
dengan suami yang lain.
Disyaratkan pula Ta’yin
(menentukan) terhadap calon istri. Karena itu, ijab dengan semacam: “Kamu
kunikahkan dengan salah satu anak-anak putriku”, adalah tidak sah, sekalipun
disertai isyarat.
Penentuan sudah bisa dianggap
cukup dengan menyebutkan sifat atau isyarat: misalnya: “Kamu kukawinkan dengan
putriku”, sedang ja hanya mempunyai satu putri itu saja, atau “.., yang ada di
dalam rumah”, sedang yang di dalam hanya putrinya itu saja, atau “… wanita
iri”, sekalipun dalam ketiga contoh tersebut nama wanita yang disebutkan nama
sesungguhnya.
Lain halnya dengan: “Kamu
kukawinkan dengan Fatimah” (tanpa menyebutkan “anak putriku”), sekalipun
Fatimah itu nama anak putrinya, kecuali jika kedua belah pihak (wali dan calon
suami) meniatkan Fatimah yang menjadi anak putrinya.
Bila
wali berkata: “Kamu kunikahkan dengan anak putriku yang tua”, dan menyebutkan
nama anak putrinya yang muda, maka akad rukah untuk yang tua, sebab “tua” itu
sifat yang berdiri pada dirinya, berbeda dengan “nama”: Karena itu, bisa
dimenangkan daripada “nama”.
Bila wali berkata:
“Kamu kunikahkan dengan anak putriku, Khadijah” dan ternyata Khadijah itu cucu
dari anak laki-lakinya, maka akad nikah hukumnya sah, jika kedua belah pihak
berniat Khadijah yang menjadi cucunya, menentukan dengan Isyarat, atau cucunya
hanya Khadijah. Kalau tidak begitu, maka akad nikah tidak sah.
Disyaratkan
pula bagi calon istri, tidak ada hubungan mahram antara dia dan peminang
dengan pertalian nasab.
Karena itu, jika ada
pertalian nasab, maka haram mengawini wanita-wanita kerabat yang selain masuk
dalam derajat saudara sepupu dari pihak ayah atau ibu, karena berdasarkan
ayat: “Diharamkan atas kamu…” (Q.S. An-Nisa’: 23).
Kalau
begitu, haram menikahi: 1. Ibu, yaitu wanita yang melahirkanmu, atau wanita
yang melahirkan ayah atau ibumu (nenek dari ayah atau ibu), 2. Anak perempuan,
yaitu wanita yang kamu lahirkan, atau wanita yang lahur dan anak laki-laki/
perempuanmu (cucu), Tidak haram menikahi anak perempuan dari hasil perzinaan
sendiri: 3. Saudara perempuan, 4. Keponakan perempuan dari saudara laki-laki,
5. Keponakan perempuan dari saudara perempuan, 6. Bibi dari ayah, yaitu wanita
yang menjadi saudara perempuan laki-laki yang melahirkanmu, dan 7. Bibi dari
ibu, yaitu wanita yang menjadi saudara perempuan yang melahirkanmu.
Cabang:
Apabila
seorang laki-laki mengawiri wanita yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah
sang suami tersebut mengaku bahwa wanita itu adalah anak perempuannya, maka
status kenasabannya tertetapkan, tetapi ikatan pernikahannya tidak rusak, jika
suami mendustakan pengakuan ayahnya. Begitu juga sebaliknya, misalnya, seorang
wanita kawin dengan laki-laki yang tidak diketahui nasabnya, lalu ayah wanita
itu mengaku bahwa laki-laki tersebut adalah anaknya, sedang anak putrinya
tidak membenarkan pengakuan tersebut.
Atau
pertalian susuan (radha’). Karena itu, semua wanita yang diharamkan dinikahi
sebab nasab, adalah diharamkan sebab radha”, berdasarkan hadis Muttafaq Alaih:
“Dari pertalian radha’ diharamkan sebagaimana pertalian nasab”.
Maka,
wanita yang menyusuimu, yang menyusul wanita yang menyusuimu, wanita yang
menyusui ayah/ibu dari nasab atau susuan, setiap wanita yang melahirkan wanita
yang menyusuimu, atau melahirkan suami wanita yang menyusuimu, adalah ibu
radha’mu. Wanita yang menyusu kepada isgrimu/istri anak turunmu -baik dari
nasab atau radha’ dan -anak perempuan wanita tersebut, baik dari pertalian
nasab atau radha’, sampai ke bawah, adalah anakmu. Wanita yang menyusu kepada
salah satu ayah/ibumu -baik dari pertalian nasab atau radha’-, adalah saudara
wanitamu.
Wanita-wanita mahram sebab nasab yang
lainnya, kiaskan dengan contoh radha’ ini.
Wanita
yang tidak haram kamu nikahi sebab pertalian radha’: 1. Wanita yang menyusu
saudara laki-lakimu (atau perempuan), 2. Wanita yang menyusui cucu-cucumu, 3.
Ibu wanita yang menyusui anakmu. Begitu juga tidak haram menikahi saudara
perempuan (kakak atau adik perempuan) saudara laki-lakimu yang seayah/seibu,
baik dari segi nasab atau radha’.
Peringatan:
Susuan
yang dapat mengharamkan wanita dinikahi, adalah dengan sampainya air Susu
Wanita usia hard -sekalipun hanya setetes dalam tiap tegukan atau bercampur
benda lan, sekalipun hanya sedikitke rongga dalam anak yang secara yakin belum
mencapai usia 2 tahun, sebanyak 5 kali tegukan secara yakin menurut
kebiasaan.
Apabila anak yang menyusu (radha’)
melepaskan susuannya dengan berpaling -sekalipun tidak terieka dengan
perbuatan lain- atau diputus oleh wanita yang menyusuinya, lalu dengan
seketika kembah menyusu lagi, maka dihitung dua kali tegukan.
Atau
radha’ memutus dengan semacam lergah -misalnya tidur sebentar-, lalu kembali
menyusu lagi dengan seketika, tidurnya-cukup lama, tetapi puting susu masih
berada di mulutnya, atau ia berpindah susu satu ke lainnya, -sekalipun yang
memindahkan. adalah wanita Murdhi’ah-, atau diputus oleh Murdhi’ah untuk suatu
perbuatan ringan, kemudian menyusu kembali, maka semua itu tidak terhitung.
Wanita
yang menyusui anak kecil, statusnya adalah menjadi ibunya dan suaminya menjadi
ayahnya.
Kemahraman menjalar dari anak yang
disusw kepada orangtua, anak dan nasab sampingan (saudara laki/ perempuan
paman laki/perempuan) suami dan istri yang menyusu anak tersebut, baik dan
pertalian nasab atau radha’.
Kemahraman di atas
tidak dapat menjalar kepada orangtua radhi’ dan nasab sampingan
(hawasyi)nya.
Apabila calon suami dan istri
sebelum melaksanakan akad nikah berikrar, bahwa di antara mereka berdua ada
hubungan saudara dari segi radha’ dan hal itu mungkin adanya, maka perrikahan
mereka hukumnya haram, sekalipun mereka berdua mencabut kembali ikrarnya.
Kalau
ikrar tersebut setelah akad nikah, maka akad nikahnya batal dan mereka berdua
harus berpisah.
Kalau yang berikrar itu pihak
pria, lalu pihak wanita mengingkarinya, maka ia dapat dibenarkan dalam
hubungannya dengan haknya dan mereka wajib dipisahkan.
Kalau
yang berikrar itu pihak wanita, bukan pria, maka jika ikrar tersebut setelah
wanita menentukan laki-laki yang akan mengawini dalam izin yang ia berikan
atau setelah ia mempersilakan suami menyetubuhi dirinya, maka ucapan wanita
itu tidak dapat diterima, tetapi jika tidak seperti itu semua, makaia dapat
dibenarkar dengan sumpahnya.
Adalah tidak dapat
diterima, dakwaan semisal ayah tentang keberadaan hubungan mahram sebab radha’
antara suami dengan istri.
Hubungan radha’ dapat
ditetapkan berdasarkan persaksian satu orang laki-laki dan dua wanita atau 4
wanita, sekalipun salah satu dari keempat tersebut ada ibu murdhi’ah sendiri,
jika ia memberikan persaksian secara hisbah (persaksian atas dasar kemauan
sendiri, tanpa diminta) yang tidak didahului ada dakwaan, sebagaimana halnya
dapat diterima persaksian ayah atau anak laki-laki seorang wanita mengenai
talaknya, jika dilakukan secara hisbah.
Persaksian
murdhi’ah bersama 3 wanita yang lain dapat diterima, jika ja menyusui anak
laki-laki tanpa menunta ypah, sekalipun ia merryebutkan perbuatannya sendiri:
misalnya: “Aku memberikan persaksian, bahwa aku telah menyusuinya”.
Disyaratkan
dalam persaksian radha’, menyebutkan waktu penyusuan, bilangan dan
berpisah-pisahnya, berapa kali tegukan dan sampainya air susu ke rongga dalam
bayi yang disusui pada tiap tegukan.
Sampainya
air ke dalam rongga dapat diketahui dengan melihat air susu yang diperah, lalu
disuapkan dan tertelan, atau dengan berbagai petunjuk, misalnya keberadaan.
radhi” menyesap puting susu dan ‘ kerongkongannya bergerak-gerak, setelah
(saksi) mengetahui bahwa murdhi’ah mempunyai air susu, Kalau ia tidak
mengetahui, makaia tidak halal memberikan persaksian, karena asal masalahnya
adalah air susu itu tidak ada.
Dalam memberikan
(menyampaikan) persaksian, tidaklah cukup dengan sekadar mengemukakan petunjuk
– petunjuk, tetapi petunjuk tersebut dijadikan pedoman untuk memantapkan
persaksiannya.
Bila saksi radha’ kurang cukup
nisabnya (4 perempuan atau 1 laki-laki dan 2 perempuan), terdapat keraguan
tentang kesempurnaan jumlah tegukan, mengenai umur dua tahunnya, atau mengenai
sampainya air susu ke dalam rongga radhi’, maka nikahnya tidak diharamkan,
tetapi yang wara’ (hati-hati) adalah menghindari pernikahan, sekalipun yang
memberikan kabar hanya seorang wanita.
Tetapi,
jika ia membenarkan ucapan satu orang wanita itu, maka ia wajib menjadikan
pedoman berita tersebut.
Ikrar tentang radha’
tidak dapat tertetapkan, kecuali dengan keberadaan saksi dua laki-laki yang
adil.
Atau dengan pertalian Mushaharah
(perjodohan).
Karena itu, haram menikahi istri
orang tua, baik itu ayah atau kakek dari ayah/ibu dan terus ke atas, dari segi
nasab atau radha’. Haram juga istri anak turun, baik itu anak atau cucu terus
kebawah.
Juga haram menikahi ibu istri terus ke
atas, baik dari segi nasab atau radha’, sekalipun istri itu belum dikumpuli,
karena berdasarkan ayat Alqur-an di atas.
Hikmah
diharamkan ibu mertua dinikahi, karena seorang suami dalam mengatur istrinya
sebagian besar tidak dapat lepas dalam perbincangan dan berduaan (khalwah)
dengan ibu mertuanya, maka ibu mertua dan anak menantunya haram untuk dinikahi
karena akad nikah dengan anak putrinya telah dilaksanakan, agar si suami
dengan mudah dapat melaksanakan tugasnya.
Ketahuilah,
bahwa syarat diharamkan anak menikahi istri orangtuanya, orangtua menikahi
menantunya dan seorang menantu menikahi ibu istrinya ketika mereka belum
mengumpuli istri (haram menikahi wanita-wanita tersebut, sebab keadaan akad),
adalah akad rukah yang sah.
Begitu juga haram
menikahi keturunan istri dari segi nasab atau radha’, sekalipun telah
ditengahtengahi suatu generasi, baik anak turun tersebut berupa cucu perempuan
dari garis laki-laki atau perempuan sampai ke bawah, jika memang si istri
telah disetubuhi, sekalipun pada lubang anus dan sekalipun akad nikah yang
dilaksanakan adalah akad yarg batal.
Kalau suami
belum pernah menyetubuhi istrinya (ibu anak tiri), maka anak perempuan
istrinya tidak haram dinikahi ayah tirinya, lain halnya dengan ibu
mertuanya.
Tidak haram menikahi anak perempuan
suami ibu (anak perempuan bawaan ayah tiri), ibu dari ibu tri dan ibu mertua
anak laki-laki (besan).
Barangsiapa menyetubuhi
wanita sebab pemilikan (budak perempuan) atau sebab syubhat -misalnya wanita
syubhat, adalah menyetubuhi dalam akad nikah/pembelian budak perempuan yang
fasid, atau karena dikira istrinya, maka ibu-ibu dan anak perempuar wanita
tersebut haram baginya dan wanita tersebut haram bagi ayah-ayah dan anak-anak
laki-laki orang tersebut, sebab persetubuhan terhadap budak wanita yang
dimiliki, adalah berkedudukan seperti persetubuhan dalam akad nikah. Akibat
hukum dari persetubuhan syubhat ini adalah: Bertemu nasab anak yang lahir
dengannya dan diwajibkan idah wanita tersebut, karena dimungkinkan terjadi
hamil itu dani dirinya, baik syubhat juga terjadi pada wanita tersebut
(masalnya dikira suaminya dan sebagainya) atau tidak terjadi.
Tetapi,
bagi laki-laki yang menyetubuhi wanita dengan wanita syubhat, adalah haram
memandang dan menyentuh ibu dan anak perempuan wanita yang disetubuhi (sebab
hubungan mahram ndak bisa ditemukan dengan laki-laki tersebut).
Cabang:
Apabila
ada wanita mahram seorang bercampur di tengah-tengah kaum wanita yang tidak
dihitung jumlahnya dengan mudah, misalnya 1000 wanita, maka menurut pendapat
Al-Arjah, ia boleh menikahi mana saja di antara wanita-wanita tersebut hingga
jumlah mereka tinggal seorang, sekalipun ia dapat menikahi -dengan mudah-
wanita yang diyakini kehalalannya (misalnya wanita di luar kalangan
mereka).
Kalau bercampurnya di tengah-tengah kaum
warnta yang dapat dihitung satu per satunya dengan mudah, misalnya 20 atau
bahkan 100 wanita, maka ia tidak boleh menikahu satu pun dari jumlah
tersebut.
Tetapi, jika ia dapat membedakannya
dengan pasti, misalnya wanita yang menjadi mahramnya berkulit hitam bercampur
dengan wanita-wanita yang tidak berkulit hitam, maka selain yang berkulit
hitam boleh dinikahi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita.
Peringatan:
Ketahuilah,
bahwa disyaratkan pula keberadaan calon istri, adalah wanita muslimah atau
kitabi yang murni (wanita Yahudi atau Nasrani), baik dzimmi atau harbi).
Karena
itu, hukumnya halal, tetapi makruh, menikahi wanita Israiliyat, dengan syarat
tidak diketahui bahwa nenek moyang awal kenasaban wanita tersebut masuk ke
agama itu (Yahudi/Nasrani) setelah diutus Nabi Isa a.s., sekalipun masuknya
(nenek moyang) ke agama diketahui setelah terjadi perombakan kitab Taurat.
Halal
juga tapi makruh, menikahi wanita Kitabiyah selain Israiliyat, dengan syarat
diketahui bahwa nenek moyang kenasabannya memeluk agama sebelum bi’tsah,
sekalipun setelah terjadi perombakan Kitab, jika mereka menjauhi perombakan
yang palsu.
Jika seorang suami kitabi memeluk
Islam, sedang istrinya seorang Kitabiyah, maka pernikahannya tetap langgeng,
sekalipun memeluk Islam sebelum menyetubuhi istrinya.
Bila
seorang suami Watsani (penyembah batu atau lainnya) memeluk Islam sebelum
menyetubuhi istrinya, dan istrinya yang beragama Watsam tidak mau ikut masuk
Islam, maka seketika itu ikatan nikah mereka terputus. Kalau masuk Islamnya
setelah menyetubuhi dan istrinya memeluk Islam sebelum idahnya habis, maka
ikatan nikahnya langgeng, tetapi jika istri tersebut tidak ikut masuk Islam,
atau ia masuk Islam setelah idahnya habis, maka putusnya ikatan permikahan
dihutung semenjak suaminya Islam.
Bila istri
orang kafir memeluk Islam dan suami masih dalam kekafirannya, maka jika
(sebelum istri memeluk Islam) suami pernah menyetubuhinya dania memeluk Islam
ketika istri masih dalam idahnya, maka ikatan pernikahan tidak terputus,
tetapi jika ia tidak memeluk Islam ketika istrinya masih dalam idah, maka
terputus ikatan pernikahannya terhitung semenjak istri memeluk Islam.
Bila
ikatan pernikahan suami-istri kita hukumi tidak terputus, maka kerusakan akad
nikah yang pernah mereka langsungkan sebelum Islam, adalah tidak menjadi
masalah, jika kerusakan itu bisa hilang dengan keislamannya: Maka, ketika
istri (ketika belum Islam) distatuskan rikah dalam idah, jika idah itu bisa
habis dengan keislaman, dan penggasaban kafir Harbi terhadap “perempuan kafir
Harbiyah bisa distatuskan nikah, jika mereka beriktikad bahwa penggasaban
tersebut sebagai nikah. Sebagaimana gasab, yaitu perempuan Harbiyah melayani
kemauan laki-laki Harbi dengan suka rela (kehendak sendiri ). Begitulah yang
dikatakan oleh Guru kita.
Menurut pendapat sahih:
Nikah orang. orang kafir hukumnya sah. Menurut – sebagian ulama Mutaakhirin,
bahwa menikahi jin wanita hukumnya tidak sah, sebagaimana sebaliknya.
Disyaratkan
bagi calon suami:
Ta’yin, Karena itu, ijab
seperti ini: “Kukawinkan anak putriku dengan salah satu dari kamu berdua”
adalah tidak sah, sekalipun memakai syarat.
Suami
tidak mempunyai istri yang ada hubungan mahram -baik dari nasab atau radha’
dengan calon istrinya (pinangan), misalnya antara istri dengan calon istri
hubungannya kakak-adik, atau keponakan dengan bibi dan ayah/ibu. Sekalipun
istrinya sudah berada dalam idah raj’iyah, sebab wanita yang berstatus talak
raj’i seperti status istri dengan bukti masih dapat mewaris,
Bila
seorang mengawini dua wanita yang masih ada hubungan mahram (jika
dikumpulkan), dengan satu akad, maka akad nikah batal untuk kedua-duanya,
karena tidak ada alasan yang memenangkan salah satunya: Tetapi, kalau dalam
dua kali akad, maka akad kedua hukumnya batal.
Batasan
dua wanita yang haram dikumpulkan dalam ikatan per-kawinan adalah: Setiap dus
warnta yang ada hubungan nasab atau radha’, di mana diharamkan pernikahan
antara mereka, andaikata salah satu dari mereka itu laki-laki.
Disyaratkan
lagi: Suami tidak mempunyai 4 istri, sekalipun salah satu dari keempat berada
dalam idah raj’iyah, karena wanita dalam idah raj’iyah dihukumi sebagaimana
Seorang istri.
Bila seorang laki-laki merdeka
menikahi 5 wanita berturut-turut, maka nikah yang kelima hukumnya batal, Kalau
dilakukan sekaligus dalam satu akad, maka semuanya batal. Jika seorang
laki-taki budak menambah dari 2 wamta, maka batal, seperti peraturan di
atas.
Apabila istri yang menjadi mahram calon
istri atau salah satunya dari 4 istrinya berada dalam idah talak Bain, maka
menikahi mahram istri/ wanita kelima adalah sah hukumnya, karena wanita yang
sudah tertalak bainstatusnya orang lain.
Disyaratkan
bagi dua orang Saksi:
Ahli sebagai saksi,
sebagaimana Syarat-syarat yang akan dituturkan dalam Bab Syahadah nanti, Yaitu
merdeka secara sempurna, jelas kelaki-lakiannya dan adil. Di antara keharusan
adil: Islam, taklif, mendengar, berbicara dan melihat, sebab apa yang akan
diterangkan di belakang nanti, bahwa ucapanucapan tidak dapat ditetapkan
adanya, kecuali secara nyata terucapkan dan terdengar telinga.
Mengenai
persaksian orang buta, ada satu pendapat yang memperbolehkan, karena ia
termasuk Ahlusy Syahadah dalam arti seluruhnya. Pendapat Al-Ashah: Syahadah
orang buta idah sah, sekalipun ia tetap mengenal Calon suami dan istri.
Orang
yang berada di tempat yang sangat gelap, hukumnya sepert orang buta.
Disyaratkan
lagi: Dua saksi mengetahui bahasa yang digunakan wali nikah dan calon suami
(bahasa dalam ijab dan qabul).
Disyaratkan pula.
Kedua-duanya/ salah gatunya tidak berstatus menjadi wali.
Karena
itu, akad nikah tidak sah dengan saksi 2 orang budak/2 wanita/2 orang fasik/2
orang tuli/2 orang bisu/2 orang yang tidak memahami bahasa orang yang berijab
dan qabul/orang yang menjadi wali:
Apabila
seorang ayah/saudara lakilaki yang hanya seorang mewakilkan ijab nikah, talu
ia sendiri datang bersama saty orang lagi (untuk menjadi saksi), maka akad
nikah tidak sah, sebab. ia berstatus wali yang mengakadkan, karena itu, ia
tidak dapat menjadi saksi.
Dari keterangan ini,
maka jika ada 3 orang saudara laki-laki, yang 2 menjadi saksi dan 1 orang
mengakadkan rukah tanpa perwakilan dari salah satu dua saudara tersebut, maka
akad nikahnya sah, tetapi jika la mengakadkan nikah atas nama wakil saudara
yang lain, maka nikah tidak sah.
Peringatan:
Minta
izin nikah dari wanita yang berhak memberikanizan tidak disyaratkan harus
dipersaksikan, sebab izinnya bukan rukun akad, tetapi syarat untuk sah akad,
baik wali mikahnya bukan hakim atau hakim, tetapi menurut pendapat Al-Ayjah:
Jika walinya hakim, adalah harus ada persaksian izin nikah dan wanita yang
akan dinikahkan.
Imam Ar-Rauyan di dalam Al-Bahr
menukil pendapat Ashhabusy Syafi ‘iyah: Boleh berpedoman pada anak kecil yang
diutus oleh wali kepada orang lain, agar mengawinkan wanita mauliyahnya, jika
orang yang diberi tahu oleh anak kecil tersebut membenarkan kata-kata yang
diucapkan.
Cabang:
Apabila
seorang wali menikahkan wanita mauliyahnya yang mempunyai wewenang memberi
izin, di mana izin belum sampai kepadanya, maka menurut pendapat Al-Aujah,
jika ternyata izin menikahkan telah dipersilakan oleh wanita terlebih dahulu
daripada akad nikah, maka akad nikah hukumnya sah, sebab ukuran penilaian akad
adalah kenyataan perkara itu sendiri (nafsul Amr), bukan berdasarkan perkiraan
(zhan) dari mukalaf.
Nikah hukumnya sah dengan
saksi 2 orang adil Mastur: yaitu orang yang tidak diketahui perbuatan
fasiknya, sebagaimana yang dinash oleh Asy-Syafi’i yang dipedomi oleh
segolongan fukaha dan dibicarakan secara panjang-lebar.
Kemasturan
keadilan menjadi batal sebab tarjih (penilaian fasik) dari orang yang adil.
Orang fasik yang telah bertobat tidak dapat disamakan dengan Mastur (artinya:
Fasik yang telah bertobat bisa menjadi saksi setelah lewat masa satu tahun
dani : tobatnya). Sunah menyuruh bertobat terhadap adil Mastur sebelum akad
dilaksanakan.
Apabila hakim mengetahui kefasikan
. 2 saksi, maka ia wajib memisahkan antara suami-istri, sekalipun belum saling
melaporkan kepadanya, menurut pendapat Al-Aujah.
Akad
nikah juga sah dengan 2 orang saksi dari putra suami dan istri atau 2 orang
yang menjadi musuh suami-istri. Terkadang ayah sah menjadi saksi, sebagaimana
putrinya berupa budak
Menurut lahir pembicaraan
Al-Hanathi -bahkan kejelasan pembicaraan-: Calon suami tidak wajib meneliti
keadaan wali dan para saksi. Kata Guru kita: Yang benar memang begitu, jika ia
tidak memperkirakan ada perkara yang merusak akad.
Nikah
jelas menjadi batal karena ada hujah (alasan) yang membatalkannya, baik berupa
bayinah ataupun pengetahuan hakim.
Atau karena
ada ikrar suami-istri tentang hak mereka mengenai ada hal yang mencegah sah
nikah, misalnya kefasikan saksi atau wali ketika akad berlangsung, keadaan
wali atau saksi sebagai budak atau kanak-kanak, dan seperti terjadi akad masih
dalam keadaan idah.
Kata-kata “hak mereka”,
mengecualikan hak Allah swt.: misalnya suami telah mencerai tiga talak,
kemudian mereka berdua sepakat bahwa akad nikahnya adalah fasid karena hal-hal
di atas (fasik dan lain-lain), lalu suami menghendaki membarui nikahnya, maka
ikrar mereka tentang keberadaan Tajdidun Nikah tidak dapat diterima, tetapi
harus ada Muhallil terlebih dahutu, karena di siri terdapat kecurigaan, dan
karena kemuhallilan itu hak Allah.
Bila
suami-istri mengajukan bayinah mengenai kerusakan akad, maka tidak dapat
diterima, tetapi jika yang diajukan adalah bayinah hisbah, maka dapat
diterima.
Memang! Ketidak terimaan ikrar mereka
tersebut adalah secara lahur, adapun secara batin, maka melihat kenyataan
perkara itu sendiri.
Akad nikah tidak nyata-nyata
batal dengan ikrar dua saksi mengenai keberadaan hal-hal yang menghalangi
kesahan rikah. Karena itu, ikrar tersebut tidak berpengaruh terhadap kebatalan
nikah, sebagaimana ikrar mereka mengenai kebatalan nikah setelah diterima
persaksian, Juga tidak membawa pengaruh, dan karena penghalangan kesahan nikah
bukan hak mereka, maka ucapan mereka tentang hal itu, tidak dapat diterima.
Adapun
bila yang berikrar hal itu pihak suami, bukan istri, maka suami-istri harus
dipisahkan, karena untuk menindaklanjuti dari pengakuan suami tersebut, Lalu,
suami wajib membayar separo maharnya, jika belum menyenggamai istrinya . dan
keseluruhannya jika telah menyenggamainya, karena ucapan suami. bahwa mahar
telah dibayarkan adalah tidak dapat diterima.
Lain
halnya bila yang berikrar hal tersebut adalah pihak istri, bukan pihak suami,
maka suami dibenarkan dengan sumpahnya, sebab pemeliharaan kelangsungan nikah
ada di tangannya, sedang istri ingin menghilangkannya: Karena itu, ia tidak
dapat menuntut maharnya kepada suami, jika ia dicerai sebelum dijimak, tetapi
jika sesudah dijimak, maka suami wajib membayar jumlah mahar lebih kecil
daripada Yang disebut ketika akad ( telah djtentukan) dan lebih kecil daripad
mahar mutsil.
Bila istri berikrar (mengakui)
telah memberikan izin nikah, lalu ia mendakwa bahwa izin yang ia berikan
dengan syarat ada sifat tertentu pada diri calon suami dan ternyata sifat
tersebut tidak ditemui. pada dirinya, dan suami mengingkari pengakuan
istrinya, maka menurut apa yang dizhahirkan oleh Guru kita, bahwa istri dapat
dibenarkan dengan cara disumpah.
Bila suami-istri
berselisih: Istri mendakwa bahwa dirinya adalah: mahram suaminya dari radha”,
tetapi suaminya mengingkati, maka dakwaan bisa diterima dan ia harus
bersumpah. Untuk selanjutnya, jelas nikahnya batal.
Kemudian
hakim harus memisahkan suami-istri tersebut, jika istri tidak rela dengan
suaminya ketika akad dan sesudahnya karena ada paksaan nikah atas dirinya atau
izinnya tanpa menentukan galon suami, dan setelah akad nikah dilangsungkan,
istri tidak rela dengan keadaan suaminya yang ia wujudkan dengan ucapan dan
tidak menyerahkan dirinya untuk dijimak, karena kemungkinan dakwaan istri
tersebut benar, di samping itu ada hal yang kebalikannya. Dakwaan ada hubungan
mahram di atas, misalnya seorang istri sebelum akad berkata: “Fulan … Itu
saudaraku dari radha’ “, maka la tidak dikawinkan dengan fulan itu.
Tetapi,
bila istri (ketika akad) rela – dengan suaminya, dan kerelaannya itu. tidak
diberi alasan, misalnya . karena lupa atau salah sikap, maka dakwaan mahram di
atas tidak dapat diterima.
Apabila istri yang
rela dengan suaminya tersebut memberikan alasan, maka dakwaan ada hubungan
mahram dapat diterima karena uzur, tetapi suaminya.disuruh sumpah Halif
(meniadakan dikwaan istri). Alasan mengapa ia rela dengan suaminya itu,
misalnya karena lupa atau salah sikap.
Syarat
bagi wali: Adil, merdeka dan mukalaf.
Karena itu,
orang fasik selain Imamul A’zham (kepala negara) tidak berhak menjadi wali,
karena kefasikan itu sifat kurang yang membuat kesaksian (syahadah) menjadi
tercela, oleh karena itu menghalangi kewalian sebagaimana dengan sifat budak
Pendapatinlah yang ada dalam mazhab Dasarnya adalah hadis sahih: “Nikah itu
tidak sah, kecuali dengan wali mursyid (adil).
Sebagian
fukaha berkata: Orang fasik dapat menjadi wali.
Pendapat
An-Nawawi -sebagaimana pendapat Ibnush Shalah dan As-Subki- adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh Al-Ghazali, bahwa hak kewahan tetap ds tangan fasik, jika
sekira dipindahkan malah dipegang oleh hakim yang fasik.
Bila
wali fasik itu bertobat secara baik, maka dengan seketika ia dapat
mengawinkan, menurut yang dipedomi Guru kita dan lainnya.
Tetapi
menurut pendapat Syaikhani (Rafi’i dan Nawawi): la belum merukahkan, kecuali
setelah istibra’ (membersihkan selama 1 tahun)
Pendapat
iri dipedomani oleh As-Subki.
Kewalian tidak
berhak dipegang oleh budak -baik budak mutlak atau muba’adh-, karena sifat
kekurangan, Begitu juga anak kecil dan orang gila, karena sifat kurang juga,
sekalipun gilanya terputus-putus, lantaran memenangkan masa gila atas masa
sembuh yang menyebabkan hulang ibadah. Karena itu, wali yang jauh boleh
menikahkan dalam tempo kegilaan wali saja serta tidak usah ditunggu masa
sembuhnya.
Tetapi, jika masa gila hanya sebentar
saja, misalnya sehari dalam tahunan, maka masa sembuh ditunggu.
Dihukumi
seperti orang gila, orang yang mempunyai penyakit yang membuatnya tidak normal
dalam memikirkan kemaslahatan, Orang yang pikirannya sudah tidak normal
lantaran lanjut usia, dan orang yang setelah sembuh dari penyakitnya masih
tertinggal bekas-bekas kekacauan pikirannya, sehingga membuat sikapnya tidak
normal.
Kebahkan dari syarat kewalian di atas
fasik, budak, kanak-kanak dan gilamemindahkan hak kewalian pindah kepada wali
yang lebih jauh -bukan kepada hakim-, sekalipun dalam Bab Wala’.
Selungga
bila seorang memerdekakan budak perempuannya, lalu orang Itu mati meninggalkan
anak kecil dan saudara laki-laki yang bahg, maka hak kewahan dipegang oleh
saudaranya tersebut -bukan hakim-, menurut pendapat Al-Muktamad.
Juga
tidak ada hak kewalian pada wanita. Karena itu, dia tidak boleh mengawinkan
dirinya sendiri atas izin walinya dan anak-anak perempuannya, Lain halnya
dengan pendapat Abu Hanifah.
Ikrar seorang wanita
mengenai pernikahannya yang dibenarkan oleh suaminya, adalah dapat diterima
-sekalipun walinya tidak membenarkannya-, karena ikatan permikahan adalah hak
suami-istri, makanya dapat dibenarkan ada ikatan tersebut berdasarkan
pengakuan mereka.
Wali nikah adalah dengan urutan
sebagai berikut Ayah, kalau ayah ndak ada -baik secara nil maupun formal-,
maka hak kewalian pindah kepada kakek dari garis ayah terus ke atas.
Ayah
dan kakek dapat merukahkan gadis atau janda yang belum pernah djimak -misalnya
hilang selaput dara lantaran dimasuki jan-jarttanpa serannya, sekira ndak ada
permusuhan nyata antara ayah/kakek dengan wanita tersebut.
Karena
itu, tidak disyaratkan ada izin dan si gadis -baik ia sudah balig atau belum-,
lantaran sifat kasih sayang ayah/kakek kepadanya yang sempurna, dan karena
hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni: “Janda itu lebih berhak atas dirmya
daripada walinya, sedangkan gadis dikawinkan oleh ayahnya (tanpa
seizinnya).”
(Kebolehan menikahkan gadis tanpa
seizin darinya) kepada laki-laki yang seimbang dan mampu membayar mahar
mutsit.
Karena itu, jika wali Mujbir -ayah atau
kakek- mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang tidak kafa-ah
(seimbang), maka akad nikahnya tidak sah. Begitu juga tidak sah, jika
dikawinkan dengan laki-laki yang tidak dapat membayar mahar mitsil, menurut
pendapat yang dipedomi Syaikhani.
Tetapi menurut
pendapat pilihan segolongan ulama Mutakaddimun: Mengawinkan dengan laki-laki
yang tidak Japat membayar mahar mitsil hukumnya sah, dan pendapat ini dipegang
oleh Guru kita, Ibnu Ziyad.
Disyaratkan untuk
kebolehan -bukan sahnyawali Mujbir mengawinkan anak gadisnya tanpa seizinnya,
adalah dikawinkan dengan mahar mitsil yang kontan, berupa mata uang yang
berlaku di daerah setempat. Kalau syarat dua ini (mahar mitsil dan uang daerah
setempat) tidak didapatkan, maka akad nikah sah dengan kewajiban membayar
mahar mitsil berupa uang daerah setempat.
Cabang:
Jika
wali Mujbir berikrar telah menikahkan dengan laki-laki seimbang, maka ikrarnya
diterima -sekalipun si gadis mengingkannya-, karena orang yang berhak
menimbulkan kejadian, adalah berhak untuk berikrar: lam halnya dengan wali
selain Mujbir.
Ayah/kakek tidak boleh menikahkan
anak/cucu janda lantaran persetubuhan -sekalipun dalam perzinaan dan
kejandaannya ditetapkan berdasarkan ucapannya yang diikuti dengan bersumpah-,
kecuali setelah mendapat iznnya dengan cara diucapkan, di mana ia dalam
keadaan sudah balig. Dasarnya adalah hadis yang telah lewat.
Karena
itu, seorang janda yang belum balig, berakal dan merdeka, adalah tidak dapat
dikawinkan sampai ia menginjak balig, karena izinnya belum dapat dibuat
pegangan, Lain halnya dengan pendapat Abu Harufah.
Orang
wanita balig dapat dibenarkan tanpa disumpah, mengenai pengakuannya bahwa
dirinya masih gadis.
Juga dakwaan (pengakuannya)
sebelum akad, bahwa dirinya telah menjadi janda dengan cara disumpah,
sekalipun ia belum pernah bersuami dan ia hdak menuturkan sebab kejandaan
dirinya: karena ia tidak boleh ditanya tentang sebab kejandaan dirinya.
Kemudian,
setelah tidak ada wali dari pihak orangtua, maka yang menjadi wali adalah dari
pihak Ashabahnya, yaitu nasab wanita dari jalur samping.
Karena
itu didahulukanlah: 3. Saudara laki-laki sekandung, 4. Saudara laki-laki
seayah: 5. Anak laki-taki saudara laki-laki sekandung, 6, Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah.
Kemudian, jika tidak
ada: maka: 7. Paman sekandung, 8. Paman seayah: 9. Anak taki-laki paman
sekandung, “10. Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya.
Kemudian,
setelah Ashabah dari riasab tidak ada, maka Ashabah dari Wala’ dengan urutan
pewarisan mereka, Karena itu, didahulukanlah Mu’tiq (Orang yang memerdekakan),
lalu Ashabah Mu’tiq lalu Mu’tiqnya Mu’tiq, kemudian Ashabahnya dan
seterusnya.
Wali-wali di atas dalam urutan
kewaliannya, dapat mengawinkan wanita perwaliannya yang sudah balig, bukan
yang masih kecil -lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah tentang wanita
kecil-, dengan adanya izin secara lisan dari wanita perwalian yang sudah janda
sebab persetubuhan. Dasarnya , adalah hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni
di atas.
Perizitan wanita janda diperbolehkan
dengan kata-kata “perwakilan”: misalnya, “Kuwakilkan kepadamu untuk
mengawinkan djriku”, “Aku rela kawin dengan laki-laki yang diridai ayah dan
ibuku”, atau “Aku rela dengan apa yang Wilakukan ayahku”.
Tidak
sah dengan: “Aku rela dengan yang diperbuat ibuku”, sebab ibu tidak berhak
mengakadkafisjuga tidak sah dengan: “.., jika ayah dan ibuku merelakan”, sebab
ada ta’liq
Izin boleh dengan: “Aku at menjadi
suamiku/Aku rela dikawinkan/Aku memberinya izin untuk mengakadkanku”,
sekalipun untuk kalimat terakhir ini, pihak Wanita tidak menuturkan kata-kata
“nikah”, menurut pembahasan ulama.
Apabila
ditanyakan kepadanya: “Adakah kamu rela dikawinkan?” Lalu ia menjawab: “Aku
rela, maka sudah cukup sebagai izan.”
(Dan mereka
dapat mengawinkan) wanita perawan dengan diamnya -sekalipun tadinya budak dan
kini sudah merdeka-, setelahi ia dimintai izin dinikahkan dengan laki-laki
yang seimbang atau tidak, walaupun dia menangis, tetapi tidak sampai menjerit
atau memukul pipinya Dasarnya adalah sebuah hadis: Perawan itu diajak
berunding dalam nikahnya dan izinnya adalah diamnya.
Kata-kata
“janda karena persetubuhan”, dikecualikan jika hilang selaput daranya sebab
semacam dimasuki jari-jari: ia dihukumi sebagai gadis dalam hal diamnya, yang
dianggap sebagai izin setelah dimintai persetujuan.
Sunah
bagi ayah/kakek minta fan kepada gadis balig yang mau dikawinkan, demi
menenteramkan kekhawatiran hatinya.
Adapun wanita
yang belum balig (kecil), maka izinnya tidak dianggap (tinjauan hukum). Ada
sebagian yang membahas kesunahan minta izin dahulu kepada wanita yang sudah
tamyiz. Bagi selain ayah/ kakek, sunah mempersaksikan izin wanita
perwaliannya.
Cabang:
Apabila
ada sejumlah orang memerdekakan perempuan budak, maka disyaratkan kerelaan
kesemuanya lalu mereka mewakilkan kepada salah satu di antara mereka sendiri
atau orang lain.
Bila seorang di antara mereka
ingi mengawini wanita tersebut, maka yang mengawinkan adalah temannya yang
lain bersama sang qadhi. Bila semua temannya telah mati, makh cukup ada
kerelaan satu orang waris Ashabah dari tiap teman-teman.
Jika
berkumpul sejumlah waris Ashabah orang yang memerdekakas dalam satu derajat
(misalnya semug saudara laki-laki Mu’tiq dan sebagainya), maka diperbolehkan
salah satu dari mereka yang mengawinkan wanita bekas budak tersebut (‘atiqah)
dengan kerelaan wanita itu, sekalipun temannya yang lain tidak merelakan.
Kemudian,
bila Ashabah Nasab maupun Wala’ tidak ada, maka yang menyadi wali nikah adalah
qadhi atau penggantinya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.: “Sultan adalah wali
wanita yang tidak mempunyai wali” Maksud dari itu adalah: Orang yang memegang
kekuasaan; yaitu imam (kepala negara), para qadhi dan
pengganti-penggantinya.
Wali hakim dalam
mengawinkan wanita balig harus dengan laki-laki yang kufu (sepadan) -bukan
lainnya-, di mana wanita itu sewaktu gkad nikah berada di daerah kekuasaannya,
sekalipun wanita itu hanya melewati daerah kekuasaannya -tidak berdomisili di
daerahnya-, dan sekalipun izinnya yang diberikan kepadanya ketika wanita itu
berada di luar daerah kekuasaannya.
Adapun bila
sewaktu akad nikah, wanita tersebut berada di luar daerah kekuasaannya, maka
ia tidak boleh mengawinkannya, sekalipun diberi izin sebelum keluar dari
daerah tersebut dan sekalipun calon suami berada di daerah kekuasaan qadhi,
karena kewalian itu kaitannya adalah dengan wanita itu, bukan calon suami.
Kata-kata
“yang balig”, dikecualikan wanita yatim, maka seorang qadhi tidak dapat
mengawinkannya (jika tidak mendapatkan izin dari sultan), sekalipun qadhi. itu
bermazhab Hanafi yang tidak mendapatkan izin dari sultan yang bermazhab
Hanafi.
Wanita yang mendakwa dirinya telah balig
sebab haid atau keluar sperma, dapat dibenarkan tanpa disumpah, sebab yang
mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri, tetapi bila balignya dengan batas
usia, maka dakwaannya tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan mengajukan
bayinah yang memahami permasalahan dan ia menyebutkan bilangan tahun
usianya.
Wali Khas dari wanita yang balig -wali
nasab atau wala’jika tidak ada atau wali yang lebih dekat tidak berada di
tempat akad sejauh jarak dug marhalah (jarak diperbolehkan mengqashar salat),
serta tidak ada wakil dari wali yang datang di tempat perkawinan, maka yang
menjadi wali wanita tersebut adalah sang qadhi.
Wanita
yang mendakwa bahwa walinya tidak ada di tempat, dirinya tidak bersuami dan
tidak beridah, adalah dapat dibenarkan, sekalipun Ia tidak mengajukan
bayinah.
Sunah meminta bayinah kepadanya tentang
dakwaan tersebut, dan kalau ia tidak dapat mengajukan bayinah, maka sunah
untuk disumpah.
Apabila qadhi mengawinkan seorang
wanita lantaran wali tidak ada di tempat, lalu ternyata ketika : dilaksanakan
akad, sang wali berada di tempat yang dekat dengan akad, maka tidak jadi akad
nikahnya, jika kedekatan wali tersebut dapat dipastikan (dengan bayinah).
Karena
itu, ucapan wali yang hanya begini: “Aku berada di tempat yang dekat dengan
akad”, adalah tidak menimbulkan cacat sah nikah yang dilaksanakan qadhi,
tetapi ia harus mengemukakan bayinah, menurut beberapa pendapat, Lain halnya
dengan pendapat yang dinukil Az-Zarkasyi dan Syekh Zakariya dani Fatawa
A-Baghawi.
Atau keberadaan wali khas dengan calon
istri kurang dari dua marhalah, tetapi ia tidak dapat sampai ke tempat wali
lantaran khawatir ada pembunuhan, pemukulan atau perampasan harta di tengah
jalan.
Atau (bila) wali: khas itu tidak diketahui
tempatnya, hidup atau matinya setelah meninggalkan tempat, terjadi peperangan,
kapal laut pecah atau setelah ditawan musuh.
Wali
qadhi seperti ini, jika wali khas tersebut tidak dihukumi mati, tetap! jika
telah dihukumi matt, maka yang berhak mengawinkan calon istri adalah walinya
yang lebih jauh.
Atau (bila) wali -meskipun wali
Mujbir-, tidak mau menikahkan wanita mukalaf, balig dan berakal yang Minta
untuk dikawinkan dengan laki-laki yang kufu, sekalipun dengan mahar di bawah
standar mahar mitsil.
Beberapa Cabang:
Sang
qadhi tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan laki-laki pilihannya
sendin yang seimbang, jika wali Mujbir menolak mengawinkannya dengan laki-laki
tersebut, lantaran ia sudah mempunyai pilihan untuk calon suami anak putrinya
yang sudah seimbang, sekalipun keseimbangan pria pilihan wali di bawah
keseimbangan pilihan wanita tersebut.
Selain wali
Mujbir tidak boleh mengawinkan wanita mauliyahnya -sekalipun wali itu seorang
ayah/ kakek, misalnya anak sudah janda-, kecuali dengan laki-laki pilihan
wanita itu sendiri. Bila ia mengawinkan dengan laki-laki yang bukan pilihan
wanita, maka wali tersebut disebut Adhil (menolak, maka yang berhak menjadi
wali adalah Qadhih)
Bila sang wali menyembunyikan
dirt atau mengulur-ulur hari perkawinan, yang telah ditentukan, dan dua hal
tersebut telah: ditetapkan (dengan bayinah), maka hakim (qadhi) berhak
mengawinkannya.
Demikian pula, sang qadhi berhak
mengawinkan wanita tersebut, jika wali
menghalang-halangi
perkawinannya atau ia sendiri ingin mengawininya, misalnya walinya adalah anak
laki-laki paman dalam keadaan tidak ada lagi yang sederajat dengannya atau
wali adalah Mu’tiq.
Karena itu, dalam kasus-kasus
di atas, wali yang lebih jauh tidak boleh mengawinkan wanita tersebut, sebab
kewalian wali yang lebih dekat masih ada.
Hanya
saja, bila sang qadhi sendin atau anak laki-laki perwaliannya yang
menginginkan mengawini wanita yang tidak mempunyai wali khas, maka yang berhak
mengawinkan adalah qadhi lain yang ada dalam satu daerah kekuasaan qadhi/ anak
laki-laki kecil tersebut -jika wanita tersebut berada dalam wilayah qadhi yang
mengawinkan-, atau pengganti qadhi/anak laki-laki kecil yang mau kawin.
Bila
semua wali di atas tidak didapatkan, maka yang mengawinkan wanita adalah
Muhakkam (orang yang didudukkan sebagai hakim), merdeka serta diangkat oleh
calon istri dan suami untuk menangani perkawinan mereka -sekalipun Muhakkam
tersebut bukan seorang mujtahid-, jika memang di situ tidak ada seorang qadhi,
sekalipun bukan ahli.
Kalau di situ terdapat
seorang qadhi sekalipun tidak ahli, maka disyaratkan keberadaan Muhakkam harus
seorang mujtahid.
Guru kita berkata: Memang, bila
di situ hakim tidak mau mengawinkan kecuali dengan diberi dirham -sebagaimana
hakim-hakim sekarang ini-, maka wanita tersebut dapat mengangkat seorang yang
adil untuk menjadi walinya dalam keadaan masih ada hakim, sekalipun kita masih
berpendapat bahwa hakim tersebut tidak terpecat lantaran mengambil pungutan
dirham, jika orang yang memberi jabatan untuk menjadi hakim ketika itu
mengetahui sikap hakim seperti itu. Selesai.
Apabila
seseorang melakukan persetubuhan dalam ikatan yang tidak memakai wali
-misalnya
wanita mengawinkan dirinya sendiridan tidak ada hakim yang menghukumi sah atau
tida pernikahan itu, maka bagi laki-laki wajib membayar mahar mutsil -bukan
“mahar yang telah ditentukan dalam akad-, lantaran rusak akad nikahnya. Sedang
bagi orang yang mengiktikadkan haram persetubuhan tersebut, dikenakan ta’zir
(sanksi) serta hukum hadnya gugur.
Bagi qadhi
boleh mengawinkan wanita yang berkata: “Aku tidak bersuami dan tidak beridah”,
atau “Aku telah dicerai oleh suamiku dan idahku telah habis”, selama si qadhi
tidak mengetahui suaminya yang nyata.
Bila ia
mengetahui bahwa wanita itu masih mempunyai suami -baik dengan mengetahui
nama, pribadinya, atau pihak wanita telah menentukannya-, maka kesahan hakim
menikahkannya -bukan wali khas disyaratkan ada Itsbat (ketentuan) pisah suami,
dengan semacam talak atau mati, baik suaminya meninggalkan si wanita ataupun
tidak.
Para fukaha membedakan antara suami yang
diketahui dengan mu’ayyan (sehingga disyaratkan ada itsbat untuk perceraian
suami dengan yang tidak mu’ayyan padahal bidang permasalahannya adalah
diketahui ada atau tidak ikatan perkawinan, sehingga memungkinkan qadlu untuk
mengamalkan hukum asal pada keduanya (masih ada ikatan perkawinan pada kedua
masalah), sebab dengan kejelasan suami di depan qadhi, baik nama maupun
orangnya, maka mengharuskan dia berhati-hati dan berpedoman pada hukum asal,
bahwa ikatan perkawinan masih ada, yang makanya disyaratkan ada itsbat
perceraiannya (firaq sang Suami), dan karena dengan adanya sang istri
menta’yinkan nama suaminya, maka seakan-akan ia mengaku suaminya telah
menceraikannya.
Bahkan para fukaha menjelaskan,
bahwa bila wanita mengaku kalau telah mencerainya, maka harus ada penetapan
perceraran itu (dengan mengajukan bayinah).
Lain
halnya jika sang qadhi mengetahu ada ikatan perkawinan dengan cara global,
tanpa penta’yinan seperti di atas, maka cukup baginya dengan pemberitaan
wanita mengenai kelepasan dirinya dari hal-hal yang menghalangi nikah,
lantaran ucapan fukaha Mutakaddimun (Al-Ashhab): Sesungguhnya ukuran penilaian
segala akad adalah ucapan orang yang mengadakan akad itu sendiri .
Adapun
bagi wali khas, maka baginya dapat menikahkan wanita mauliyahnya, jika ia
membenarkan yang diucapkan, sekalipun ia mengetahui ada suami pertama, tanpa
terlebih dahulu ada itsbat cerai, ataupun sumpah wanita itu, tetapi disunahkan
adanya itsbat cerai sebagaimana yang berlaku pada qadhi yang tidak mengetahui
ada suami yang pertama.
Masalah suami yang
mu’ayyan dan yang tidak mu’ayyan, dibedakan untuk qadhi dengan wali khas,
lantaran qadhi harus lebih hati-hati di atas wali (ungkapan ini sama dengan
ungkapan di atas, yaitu: Para ulama membedakan – … dan seterusnya).
Bagi
wali mujbir -ayah/kakek boleh mewakilkan kepada laki-laki mu’ayyan yang sah
nikahnya sendiri, untuk menikahkan wanita mauliyahnya yang masih gadis tanpa
seizin dari si wanita, sekalipun di kala pewakilan si wali tidak menentukan
siapa calon suaminya.
Bila wali tidak menentukan
calon suami, maka bagi wakil wajib menjaga kemanfaatan dan hati-hati mengenai
urusan wanita tersebut. Karena itu, jika wakil mengawinkan wanita itu dengan
laki-laki yang tidak kufu atau sudah seimbang, maka perkawinannya tidak sah,
karena wakil menyimpang dari sikap hati-hati yang wajib ia laksanakan.
Boleh
bagi wali yang tidak Mujbir -misal bukan ayah/kakek untuk gadis, atau
ayah/kakek untuk jandaboleh mewakilkan rikah wanita tersebut setelah
mendapatkan izin mengawinkan darinya, jika si wanita tidak mencegah keberadaan
taukil.
Apabila wanita tersebut menentukan calon
suaminya kepada wali, maka bagi wali wajib menentukari itu pula kepada si
wakil: Kalau si wali tidak menentukan calon suami kepada pihak wakil, maka
perkawinan si wakil tidak sah, sekalipun dengan laki-laki hasil pilihan wanita
itu sendiri, karena perizinan yang diberikan secara mutlak, sedangkan yang
dituju mu’ayyan adalah menjadi fasid.
Dengan
kata-kataku “setelah wanita membenkan izin perkawinan kepada wali”,
dikecualikan jika wanita mewakilkan perkawinan sebelum mendapat izin darinya,
maka taukil dan nikah hukumnya tidak sah.
Tetapi,
bila wali mewakilkan pernikahan sebelum ia mengetahui ada izin dari
mauliyahnya, di mana pewakilan tersebut ia menyangka bahwa pewakilan sebelum
mendapatkan izin hukumnya boleh, lalu wakil mengawinkan, maka perkawinan
tersebut hukumnya sah, jika ternyata sebelum pewakilan si wanita telah
memberikan izin, sebab yang menjadi ukuran penilaian segala akad, adalah
kenyataan perkara itu sendiri, bukan persangkaan mukalaf tetapi, jika ternyata
tidak demikian, maka akad nikah tidak sah.
Beberapa
Cabang:
Bila seorang qadhi mengawinkan seorang
wanita sebelum ada ketetapan, bahwa dirinya menerima pewakilan dari si wanita,
tetapi cuma menerima berita dari seorang laki-laki yang adil, maka akad nikah
lestari dan sah, tetapi mengawinkan seperti ini hukumnya tidak boleh (haram),
sebab ia mengikat akad yang fasid dalam segi lahirnya. Demikianlah yang
dikatakan oleh sebagian Ashhabuna.
Bila ada
seorang perempuan menyampaikan izin mengawinkan dari wanita mauliyah kepada
walinya, dan wali pun membenarkan berita tersebut, lalu ia mewakilkan kepada
seorang qadhi, lalu qadhi mengawinkannya, maka pewakilan dan pengawinan
tersebut hukumnya sah.
Bila seorang wanita
berkata kepa walinya: “Kuizinkan kamu sekarang mengawinkan diriku dengan orang
yang bermaksud mengawiniku dan kuizinkan setelah aku tertalak nan serta habis
idahku”, maka deng izin sekarang, sah untuk pengawi keduanya.”
Bila
wali mewakilkan pengawinannya kepada orang lain dengan sifat seperti di atas,
maka sah pengawinan si wakil untuk yang kedua, karena walapun wali/wakil
ketika menerima Izin tidak mempunyai hak mengawinkan yang kedua, tetapi hak
pengawinan yang kedua mengikuti yang pertama, sebagaimana fatwa Ath-Thayyib
An-Nasyiri dan diakui oleh sebagian Ashhabuna.
Bila
sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada wanita yang mempunyai wali,
seorang qadhi memerintahkan orang lain agar mengawinkannya, lalu laki-laki
yang diperintah ini mergawinkan dengan jan dani wanita, maka sah nikahnya,
karena didasarkan pada Al-Ashah, bahwa permintaan mengganti pekerjaan tertenth
(dari qadhi) adalah istikhlaf (pemberian mandat), bukan pewakilan.
Cabang:
Bila
seorang qadhi menugaskan seorang ahli fikih agar mengawinkan wanita, maka
tidak crikup dengan surat tugas saja, tetapi qadhi, harus melafalkan ketika
Menulis Bara tersebut, dan bagi penerima surat. tugas tidak boleh berpedoman
tulisan dalam surat Ini (bagi penerima …) adalah keterangan yang ada dalam
Ashlur Raudhah.
Penganggapan daif oleh Al-Bulqini
atas keterangan yang ada dalam Ashlur Raudhah adalah tertolak dengan adanya
penjelasari fukaha, bahwa hanya dengan surat tugas saja belum mencukupi untuk
istikhlaf, tetapi harus dipersaksikan adanya kepada dua orang saksi. Hal ini
dikatakan oleh Guru kita dalam Syarhil Kabir.
Boleh
bagi calon suami mewakilkan qabul nikahnya.
Maka,
wakil wali berkat dalam ijab nikah: “Kukawinkan kamu dengan Fulanah binti
Fulan bin Fulan”, lalu disambung dengan “yang telah mewakilkanku/sebagai
pewakilan darinya”, jika calon suami atau 2 saksi tidak mengetahui ada
wakalah.
Bila calon suami atau 2 saksi – tahu
tentang wakalah tersebut, maka sambungan kata-kata tersebut disyaratkan,
sekalipun diketahui itu dari pemberitahuan wakil (sebelum akad
dilaksanakan).
Wali berkata kepada Wakil calon
suami: “Kukawinkan anak putriku dengan Fulan bin Fulan (nama calon suami)”
lalu wakil calon suami menjawab “Kuterima nikahnya untuk si dia”, sebagaimana
ucapan wali calon suami yang masih kecil ketika qabul nikah.
Bila
wakil calon suami tidak mengatakan “untuk si dia” dalam dua qabul tersebut
(wakil calon suami dan calon suami yang masih kecil), maka akad nikah tidak
sah, sekalipun wakil bermaksud untuk orang yang mewakilkan/anak kecil,
sebagaimana bila wali berkata kepada wakil calon suami: “Kukawinkan kamu”,
sebagai ganti dari “.. dengan si Fulan”, karena tidak ada penyesuaian.
Bila
dalam masalah di ats, wakil calon suami/wali anak kecil tidak mengatakan “…
untuk si dia”, maka akad nikah untuk wakil/wali anak kecilitu sendiri,
sekalipun niat untuk orang yang mewakilkan.
Beberapa
Cabang:
Barangsiapa berkata: “ku menjadi wakil
untuk mengawinkan si Fulanah”, maka bagi orang yang membenarkan pernyataan
tersebut boleh qabul dari ijab nikahnya.
Bagi
orang yang diberi tahu oleh orang yang adil mengenai penalakan si Fulan, mati
atau pewakilannya, diperbolehkan berbuat berdasarkan berita tersebut dalam
kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut diri orang yang menerima berita
Demikian juga tulisan orang adil yang dipercayai sebagai tulisan yang
benar.
Adapun hubungannya dengan hak orang lain
atau hakim, maka tidak boleh berpedoman berita orang adil atau tulisan qadhi,
yang kedua-duanya ia bukan merupakan hujah syar’iyah (dua orang laki-laki).
Cabang:
Yang
berhak mengawinkan Atiqahnya (budak perempuan yang telah dimerdekakan) seorang
wanita yang masih hidup dalam keadaan wali nasab Atiqah tidak ada, adalah wali
wanita yang memerdekakan (mu’tiqah), karena mengikuti kewaliannya atas
mu’tiqah itu’ sendiri.
Karena itu, yang
mengawinkan Atiqah adalah ayah mu’tqah, lalu kakeknya menurut tertib tingkatan
para wali: Anak laki-laki Mu’tiqah tidak boleh mengawinkan Atiqah, selama
mu’tiqah masih hidup.
(Pengawinan tersebut)
dengan seizin Atiqah, sekalipun mu’tiqah merelakannya, lantaran mu’tiqah tidak
mempunyal wewenang kewalian.
Bila mu’tiqah telah
mati, maka yang berhak mengawinkan Atiqah adalah anak laki-laki mu’tiqah.
Yang
berhak mengawinkan budak perempuan (amat) seorang wanita yang sudah balig dam
rasyidah (pandai), adalah wali wanita pemilik itu sendiri dengan izinnya,
sebab dialah yang memiliki amat itu, karena izin dari amat tidak
diperhitungkan, sebab wanita pemilik berhak memaksa amatnya untuk menikah.
Disyaratkan
pengizinan tuan putri pemilik amat tersebut dengan ucapan, sekalipun dirinya
masih gadis.
Yang berhak mengawinkan amat milik
seorang wanita kecil yang masih gadis/anak laki-laki kecil, adalah ayah
pemilik tersebut, lalu kakek dari garis ayah, bila tujuan pengawinan tersebut
untuk suatu kemanfaatan, semisal memperoleh mahar atau nafkah.
Ayah/kakek
tidak boleh mengawinkan budak laki-laki milik anak/cucu yang masih
gadis/laki-laki kanakkanak yang belum balig, sebab akan menjadikan terputus
pekerjaan budak itu untuk anak/cucu tersebut: Lain halnya dengan pendapat
Malik: Boleh-…, jika nyata-nyata terdapat maslahat.
Juga
tidak boleh mengawinkan amat milik anak kecil yang janda, sebab ayah/kakek
tidak berkuasa atas pengawinan pemilik amat tersebut.
Qadhi
tidak boleh mengawinkan amat milik seorang yang sedang tiada di tempat (gaib),
sekalipun amat tersebut perlu menikah dan mendapat mudarat lantaran tidak ada
nafkah.
Memang, bila qadhi mempunyai keyakinan
bahwa dengan menjual amat itu akan membawa kemasTahatan, maka ia boleh
menjualnya, sebab justru pada penjualannya itu terletak kemujuran pemilik yang
tidak berada di tempat, yang berupa tanggungan nafkah atas amat itu.
Bagi
pemilik -sekalipun fasik- berhak mengawinkan perempuan amat yang seluruh
dirinya menjadi miliknya, sekalipun masih gadis belum balig/janda belum
balig/telah balig tetapi tanpa seizin dari amat tersebut Ia tidak berhak
mengawinkan amat yang dimiliki secara persekutuan tanpa ada kerelaan dari
seluruh teman persekutuannya, sekalipun amat tersebut didapat dari hasil
rampasan perang bersama ‘ segolongan teman sekutu.
(Sayid/pemilik
amat berhak mengawinkannya), karena nikah adalah dikembalikan pada kemanfaatan
farji, yang mana amat tersebut menjadi milik sayid.
Laki-laki
tersebut berhak memaksanya untuk dikawinkan, tetapi ia tidak boleh
mengawinkannya dengan lakilaki yang tidak kufu, sebab cacat yang menetapkan
khiyar (misalnya lepra atau kusta), atau sebab fasik pekerjaan yang rendah,
kecuali atas kerelaan amat tersebut.
Ia boleh
mengawinkannya dengan laki-laki budak atau yang bernasab rendah, sebab amat
itu tidak mempunyai nasab.
Budak Mukatab -bukan
sayidnya- berhak mengawinkan amatnya, sedang si sayid Mukatab memberi izin.
Bila
amat minta untuk dikawinkan, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya,
lantaran pengawinan amat dapat mengurangi nilai harga amat itu.
Guru
kita berkata: Yang berhak mengawinkan amat yang beragama Islam, yang menjadi
milik orang kafir,-adalah hakim dengan izin kafir, dan berhak mengawinkan amat
yang diwakafkan dengan izin Mauquf Alaih, jika jumlah mauquf alaih dapat
dihitung dan ditentukan (Mahshur): jika tidak Mahshur, maka menurut yang
lahir, amat tersebut tidak boleh dikawinkan.
Seorang
budak laki-laki -sekalipun Mukatab- tidak boleh menikah, kecuali seizin
sayidnya, sekalipun sayidnya seorang wanita, dan baik izinitu diberikan secara
mutlak atau dibatasi dengan wanita atau kabilah tertentu.
Karena,
ia dapat menikah sesuai izin yang diberikan, ia tidak boleh menyimpang dari
izin itu, karena demi menjaga hak tuannya. Bila ia menyimpang dari izin yang
telah diberikan, maka nikahnya tidak sah.
Bila
seorang budak laki-laki tanpa seizin tuannya, maka nikahnya batal dan wajib
diceraikan dari istrinya, lain halnya dengan pendapat Malik rahimahullah.
Bila
dalam nikah yang batal ini budak tersebut melakukan persetubuhan dengan
istrinya yang rasyidah dan tidak terpaksa, maka ia tidak terkena kewajiban apa
pun. Adapun bila istri yang ia setubuhi wanita bodoh atau belum balig maka ia
wajib membayar mahar mitsil.
Bagi budak
-sekalipun telah mendapat izin berdagang atau budak: Mukatab- tidak boleh
menggundik pada amat, sekalipun ia telah mendapat izin menikah, sebab ya
diizinkan untuk itu bukan berarti bisa memilikinya dan karena lemahnya hak
mulik pada budak Mukatab.
Bila budak laki-laki
minta nikah, maka bagi sayidnya tidak wajib menurutinya, sekalipun Mukatab.
Pengakuan
budak -baik laki-laki maupun perempuan- tentang ada kemerdekaan dirinya,
adalah tidak dapat dibenarkan kecuali dengan mengajukan bayinah yang dianggap
sah, sebagaimana yang akan diterangkan dalam Bab Syahadah.
Dapat
dibenarkan orang yang mengaku, bahwa dirinya merdeka sejak semula, selagi
tidak didahului ikrar tentang kebudakannya atau ketetapan kebudakannya, karena
menurut asal, orang itu merdeka.
PASAL: KAFA'AH (KESEIMBANGAN)
Kafa-ah adalah hal yang dianggap penting dalam rikah, bukan
syarat sah nikah, bahkan Kafa-ah itu hak calon istri dan walinya, karenanya,
mereka bisa menggugurkannya.
Wanita yang merdeka
sejak semula atau karena dimerdekakan, dan wanita yang tidak pernah terkena
kebudakan, orangtua atau kerabat dekatnya tidak pernah terkeng kebudakan,
adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak seperti itu, misalnya
laki-laki itu tidak seperti wanita di atas (laki-laki itu budak, wanitanya
merdeka sejak semula dan seterusnya).
Keterkenaan
kebudakan pada orangorang tua yang Wanita, adalah tidak membawa pengaruh
apa-apa.
Wanita yang bersih jiwanya (Afifah) dan
murni dalam beragama, adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki fasik dan
ahli bid’ah, Karena itu, laki-laki fasik imbangannya adalah wanita yang fasik,
Jika nilai fasiknya sama.
Wanita yang bernasab
Arab, Quraisy dan dari Bani Hasyim atau Muthalib, adalah tidak seimbang dengan
laki-laki yang bukan nasab seperti itu.
Maksudnya:
Wanita yang ayahnya berbangsa Arab, adalah tidak dapat diimbangi oleh
laki-laki yang ayahnya bukan Arab, sekalipun ibunya Arab, Wanita Quraisy tidak
bisa diimbangi oleh laki-laki Arab yang bukan Quraisy, Adapun wanita dari Bani
Hasyim/Muthalib adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki Quraisy yang bukan
dari Bani Hasyim/Muthalib.
Sahihlah hadis berikut
ini: “Kami dan Bani Muthalib adalah satu, maka kedua-duanya
berkeseimbangan.”
Laki-laki yang hanya dirinya
yang beragama Islam, adalah tidak seimbang dengan wanita yang ayahnya atau
kebanyakan orang tuanya muslim. Laki-laki yang ayah dan ibunya muslim, adalah
tidak seimbang dengan wanita yang tiga orang tuanya muslim, menurut yang
dijelaskan oleh para fukaha.
Tetapi Qadhi Abu
Thayib dan lainnya mempunyai pandangan lain: Dua tingkat di atas adalah
seimbang (antara laki-laki dengan wanita). Pendapat ini dipilih oleh Ar-Ruyani
dan dimantepi deh pemilik Al-Ubab (ringkasan dari kitab Raudhatuth Thalibin.
Pemilik tersebut adalah Al-Muzayjad).
Wanita yang
selamat dari pekerjaan: pekerjaan rendah -yaitu pekerjaan yang menjatuhkan
harga diri- adalah tidak dapat diimbangi oleh laki-laki yang tidak begitu.
–
Karena itu, laki-laki yang ayahnya menjadi
pembekam (tukang cantuk: jawa), tukang sapu atau penggembala, adalah tidak
seimbang dengan putri penjahit, Laki-laki putra penjahit tidak seimbang dengan
putri pedagang: yaitu pedagang apa saja tanpa terbatas jenis dagangan, atau
putri pedagang tekstil, Laki-laki putra pedagang dan pedagang tekstil, adalah
tidak seimbang dengan putri orang alim atau qadhi yang adil.
Ar-Ruyani
dan dibenarkan oleh Al-Adzra’i berkata: Laki-laki yang bodoh tidak seimbang
dengan wanita alim, Lain halnya dengan pendapat dalam Ar-Raudhah.
Menurut
Al-Ashah: Kekayaan tidak menjadi pedoman dalam kafa-ah, karena harta itu bisa
hulang dan tidak menjadi kebanggaan bagi para pemegang. muruah dan orang yang
mempunyai pandangan hati.
Wanita yang ketika akad
terhindar dari cacat yang menyebabkan khiyar nikah bagi suami yang tidak
mengetahui keberadaan cacat tersebut waktu itu, adalah tidak dapat diimbangi
oleh laki-laki yang berpenyakit seperti itu, sebab orang, itu merasa jijik
bercampur dengan orang yang berpenyakit. Penyakit yang menyebabkan khiyar,
misalnya: Gila, sekalipun terputus-putus dan hanya sedikit -yaitu penyakit
hilang kesadaran jiwa-. Lepra yang telah menetap -yaitu penyakit yang membuat
anggota badan menjadi : merah, lalu hitam dan hancur-, Sopak yang menetap
-yartu penyakit kulit yang memutih dan menghilangkan peredaran darah-,
sekalipun hanya sedikit. Tanda penyakit Lepra yang menetap, adalah anggota
badan menjadi hitam, sedangkan sopak tandanya adalah kulit berdarah waktu
diperas.
Bila pihak wanita juga terkena penyakit
tersebut, maka juga tidak kafa-ah, sekalipun kadar penyakit pada wanita lebih
parah.
Adapun cacat-cacat yang tidak . menetapkan
khiyar, maka tidak membawa pengaruh sama sekali, misalnya buta, terputus
sebagian anggota badan dan rupa yang buruk: Lain halnya dengan segolongan
fukaha Mutakaddimun.
Penyempurna:
Di
antara cacat nikah adalah: Lubang sanggama wanita tertutup oleh daging, lubang
sanggama wanita tertutup tulang, batang zakar terputus dan impotensi.
Karena
cacat di atas pada pihak lain, maka bagi suamu/istri dengan seketika berhak
khiyar membubarkan nikah, dengan syarat dilakukan di depan hakim.
Cacat-cacat
yang tidak menetapkan khiyar: Istihadhah, mulut berbau busuk, keringat berbau
tidak sedap, luka-luka yang mengalami pendarahan terus-menerus dan lubang
vagina yang sempit.
Masing-masing suami-istri
berhak khiyar, jika ternyata tidak sesuai persyaratan yang ditetapkan waktu
akad, bukan sebelumnya.
Misalnya disyaratkan pada
salah satu suami-istri harus merdeka, bernasab, rupawan, kaya, gadis, jejaka
atau terhindar dari cacat-cacat, misalnya ” Kukawinkan kamu dengan syarat dia
masih gadis atau merdeka”: Maka bila ternyata kurang memenuhi persyaratan,
bagi suami boleh fasakh nikah, sekalipun tanpa qadhi.
Bila
disyaratkan gadis, ternyata janda dan’istri “mengaku bahwa hilang kegadisannya
setelah hidup bersama suaminya, lalu sang suami mengingkarinya, maka pihak
istri dapat dibenarkan dengan sumpahnya, karena demi menolak ada fasakh.
Atau
(bila) mengaku (mendakwa), bahwa kegadisan hilang karena perbuatan
(persetubuhan) suami, tetapi suami mengingkarinya, maka yang dibenarkan pihak
istri, demi menolak fasakh nikah juga, tetapi pihak suami dibenarkan dengan
cara disumpah, demi untuk membagi mahar menjadi separo, jika penjatuhan talak
setelah disetubuhi.
Sebagian segi keseimbangan
(kafa-ah) itu tidak dapat ditutup dengan segi-segi yang lain.
Karena
itu, wanita non-Arab yang merdeka tidak dapat dinikahkan dengan budak yang
Arab (sebab laki-laki tidak kafa-ah denganistri), dan wanita merdeka yang
fasik tidak dapat dirikahkan dengan laki-laki budak yang bersih jiwanya.
Al-Mutawalli
berkata. Pekerjaan membuat roti tidak termasuk pekerjaan-pekerjaan yang
rendah.
Bila urf suatu daerah memberlakukan
tinggi sebagian pekerjaanpekerjaan yang telah diterangkan oleh fukaha, maka
urf tersebut tidak dapat menjadi pedoman penilaian kafa-ah. Adapun urf yang
menjadi pedoman penilaian kafa-ah, adalah urf daerah wanita yang tidak
diterangkan oleh fukaha.
Ayah tidak berhak
mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan perempuan amat, karena
anak itu masih terpelihara dari perbuatan zina.
Wali
dari nasab atau wala’ -bukan qadhi- boleh menikahkan wanita perwaliannya
dengan laki-laki yang tidak kafa-ah dengan ada kerelaan hati wanita itu
sendiri dan wali atau para wali yang lainnya, yang sederajat dan sempurna,
karena hilang penghalang sah nikah dengan ada kerelaan dari mereka.
Adapun
qadhi, maka dia tidak sah menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak
kafa-ah, sekalipun wanita telah merelakan, menurut pendapat Al-Muktamad: Jika
wanita itu mempunyai wali, tetapi sedang tidak berada di tempat atau mafqud
(musnah), sebab dia kedudukannya sebagai pengganti dari wali tersebut, yang
tidak boleh mengabaikan hak yang diganti.
Segolongan
fukaha Mutaakhirun membahas, bahwa bila sang wanita tidak mendapatkan
laki-laki yang kafa-ah dengannya dan ia khawatir terjadi fitnah, karena
darurat seperti ini, qadhi wajib mengijabkannya. Kata Guru kita: Pendapat ini
adalah sisi lain pendapat dari segi pemahamannya (oleh para Ashhabusy
Syafi’i).
Adapun bila wanita itu tidak mempunyai
wali sama sekali, maka pengawinan qadhi dengan laki-laki yang tidak kafa-ah
atas permohonan pihak wanita, adalah sah menurut pendapat Al-Mukhtar: Lain
halnya dengan pendapat kedua Guru kita.
Cabang:
Bila
seorang wanita (gadis/janda) dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kufu
(tidak seimbang) secara paksa (oleh wali Mujbir) atau dengan izinnya yang
secara mutlak (misalnya wali tidak Mujbir atau calon istri janda yang balig),
maka pengawinan tidak sah, karena tiada kerelaan dari wanita tersebut.
Bila
wanita tersebut memberikan izin untuk dikawinkan dengan laki-laki yang
disangka kufu, ternyata tidak, maka hukum nikah sah dan ia tidak mempunyai hak
khuyar, karena gegabahnya sendiri, mengapa ia tidak mau meneliti.
Wanita
tersebut mempunyai hak khiyar, jika ternyata suami cacat atau budak, padahal
dirinya merdeka.
Penyempurna:
Bagi
suami boleh melakukan semua bentuk seksualitas dari istrinya, kecuali lubang
anusnya, sekalipun dengan mencecap clitoris atau beronani memakai
tangannya.
Tidak boleh beronani memakai tangan
sendiri, sekalipun khawatir berbuat zina -lain halnya dengan pendapat Ahmad-,
juga tidak boleh memecahkan selaput dara dengan menggunakan jari-jari.
Sunah
bersenda gurau dengan istri untuk menghiburnya, tidak mengosongkan
persetubuhan tiap empat hari bila tanpa uzur, memilih waktu sahur untuk
persetubuhan, menunda melepas zakar dan vagina bila suami berejakulasi
terlebih dahulu, menyetubuhi setelah datang dari bepergian, suami-istri
memakai wewangian ketika menjelang bersetubuh, suami-istri -sekalipun telah
putus dari pembuahanmembaca “Bismillah .. dan seterusnya (Dengan nama Allah,
Wahai, Tuhanku Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang
Engkau rezekikan kepada kami), dan sunah suami-istri tidur dalam satu
selimut.
Menggunakan obat-obat kuat jimak yang
diperbolehkan (mubah) dengan tujuan baik
-misalnya kesucian jiwa
dan mendapatkan keturunan-, adalah menjadi perantara sesuatu yang disukai:
karena itu, hendaknya memakai obat seperti itu disukai juga, menurut pendapat
yang zhahir, yang dikatakan oleh Guru kita.
Makruh
bagi istri menyebut-nyebut sifat wanita lain kepada suaminya atau orang lain,
tanpa ada keperluan.
Bagi seorang suami boleh
menyetubuhi istrinya pada waktu di mana ia mengetahui salat fardu telah masuk
waktunya serta waktu telah habis sebelum ia mendapatkan air: pada waktu di
mana ia mengetahui bahwa istrinya tidak dapat mandi setelah persetubuhan dan
waktu salat telah habis. ‘
PASAL: MENIKAHI BUDAK PEREMPUAN
Laki-laki merdeka -sekalipun mandul-, adalah haram menikahi budak
orang lain -sekalipun Muba’adh-, kecuali tiga perkara:
Pertama:
Ia tidak dapat menemukan wanita untuk diajak bermain seks, sekalipun berupa
wanita amat atau wanita (istri) yang berada dalam talak raj’i, hukumnya
seperti seorang istri, selama belum habis idahnya, buktinya masih dapat saling
mewaris. Maksudnya: Ia tidak menemukan seorang pun dari dua pilihan di
atas.
la juga tidak mampu menikahi wanita merdeka
lantaran tidak didapatkan atau karena melarat: atau tidak mampu menggauli amat
lantaran tidak memiliki atau tidak mempunyai uang untuk membelinya.
Bila
ia menemukan orang yang mau mengutangi, memberi harta atau budak perempuan
kepadanya, maka Ia tidak wajib menerimanya, tetapi ta halal menikahi wanita
budak. Bila la orang yang mempunyai anak yang kaya, maka baginya tidak halal
menikahi amat.
Bila laki-laki itu memiliki
amat/istri talak raj’i yang masih kecil, yang tidak kuat disetubuhi, atau
telah tua bangka, gila, terkena penyakit lepra, sopak, lubang vagina tertutup
daging, atau wanita tersebut lubang vaginanya tertutup tulang, maka baginya
halal memkalu amat.
Demikian juga jika wanita
yang dimiliki itu wanita pezana, menurut fatwa dari tidak hanya seorang ulama
saja.
Bila laki-laki tersebut mampu mendapatkan
wanita yang tengah berada di tempat yang dekat (jarak di bawah kebolehan
menggashar salat) serta tidak sulit menuju ke sana dan memungkinkan untuk
dipindah ke daerah orang tersebut, maka ia ndak halal menikahi amat.
Adapun
bila wanita yang dimiliki berada di tempat yang jauh dari tempatnya dan untuk
menuju ke sana mengalami kesukaran yang jelas -misalnya orang yang menanggung
kesukaran tersebut untuk mencari istrinya yang tidak berada di daerah bisa
dianggap melampaui batas (sampai dicacat orang banyak ), atau takut berbuat
zina dalam perjalanan menuju ke tempat istrinya tersebut-, maka wanita
tersebut dianggap tidak ada, seperti hukum wanita yang tidak mungkin dipindah
ke tanah airnya, lantaran masyakat yang diterima dalam pengembaraannya.
Kedua:
Laki-laki tersebut takut berbuat zina lantaran nafsu seksualitasnya tinggi,
sedang takwanya tipis (lemah): Maka, baginya halal menikahi amat, berdasarkan
ayat Alqur-an.
Bila nafsu seksualitasnya lemah
dan ia memiliki takwa, harga diri (muruah), rasa malu yang membuat dirinya
merasa tidak baik berbuat zina, atau nafsu seksualitas dan takwanya sama-sama
kuat, maka ia tidak halal merikahu amat, karena tidak khawatir akan berbuat
zina.
Bila laki-laki tersebut khawatir berbuat
zina terhadap perempuan budak, lantaran sangat terpikat dengannya, maka bukan
berarti halal ia nikahi, sebagaimana yang telah diterangkan oleh fukaha.
Ketiga:
amat yang akan dinikahi harus muslimah lagi dapat disetubuhi. Karena itu,
tidak halal menikahi amat kitabiyab.
Menurut Abu
Hanifah: Laki-laki merdeka boleh mengawini amat milik orang lain, jika ia
tidak mempunyai istri yang merdeka.
Beberapa
Cabang:
Apabila laki-laki merdeka dengan
syarat-syarat tersebut telah ia penuhi, kemudran menikahi amat, lalu ia
menjadi kaya dan menikahi wanita yang merdeka, maka nikahnya dengan amat
tersebut tidak fasakh.
Anak yang dilahirkan oleh
amat dari pernikahan atau lainnya, misalnya zina atau persetubuhan syubhat
-misalnya menikahi amat dalam keadaan laki-laki itu kaya-, adalah statusnya
budak murni milik pemilik amat tersebut.
Bila ada
seorang laki-laki tertipu dengan kemerdekaan seorang amat, lalu ra
menikahinya, maka anakanak yang lahir dari amat tersebut hukumnya merdeka,
selama laki-laki tersebut tidak mengetahui bahwa wanita yang dirukahu adalah
seorang budak -sekalipun laki-laki tersebut seorang budakdan ia wajib membayar
harga anak-anak yang lahur tersebut kepada pemilik amat dengan harga di kala
mereka lahir
Orang Islam merdeka dihalalkan
menyetubuhi budak perempuannya yang Kitabiyah, jika budaknya beragama
Watsariyah atau Majusiyah, maka tidak halal disetubuhi.
Penyempurna:
Pemilik
budak laki-laki yang telah memberi izin menikah terhadap budak laki-lakinya,
adalah tidak wajib menanggung mahar dan biaya hidupnya, sekalipun dalam
izinnya telah disyaratkan ada tanggungan, tetapi mahar dan biaya hidup
diambilkan dari hasil kerja budak tersebut dan hasil perdagangan yang telah
diizinkan penanganannya.
Bila budak itu tidak
bekerja dan tidak diberi izan berdagang, maka mahar dan biaya hidup (nafkah)
menjadi tanggungan utang budak itu sendiri , sebagaimana halnya dengan
kelebihan mahar yang telah ditentukan oleh sayidnya, dan mahar yang wajib
dibayar sebab persetubuhan yang dilakukan dalam nikah fasid, yang tidak
mendapat izin dari sayidnya.
Tidak tertetapkan
mahar sama sekah, lantaran seorang sayid’ mengawinkan budak
laki-lakinya
dengan amatnya, sekalipun mahar disebutkan. Ada yang mengatakan: Mahar di sim
wajib, lalu gugur.
PASAL: SHADAQ (MASKAWIN ATAU MAHAR)
Shidaq adalah sesuatu yang diwajibkan sebab rukah atau
persetubuhan.
Sesuatu itu dinamakan “shidaq”, karena memberikan
kesan bahwa pemberi sesuatu itu benar-benar karena ada ikatan nikah, di mana
pernikahan itu merupakan pangkal terjadi pemberian tersebut. Shudaq juga
disebut “mahar”.
Ada yang mengatakan: Shidaq
adalah pemberian wajib yang disebutkan dalam akad, sedangkan mahar adalah
pemberian wajib Selain itu.
Sunah menyebutkan
mahar ketika akad dan berupa mahar perak -sekahpun dalam mengawinkan budak
lakilakinya dengan amat miliknya-, karena ittiba’ dengan Rasulullah saw. Sunah
juga mahar itu tidak melebihu 500 dirham, yang mana sekian itulah maskawin
putri-putri Rasulullah saw. dan tidak kurang dan 10 dirham murni.
Makruh
tidak menyebutkan mahar ketika akad.
Terkadang
menyebutkan mahar ketika akad hukumnya wajib, lantaran ada sesuatu hal,
misalnya sebagaimana keadaan sang istri tidak mempunyai wewenang
bertasaruf.
Segala yang sah untuk membeli, adalah
sah untuk maskawin -sekalipun kecil nilainya-, lantaran sah dijadikan
penukar.
Apabila dalam akad rikah dengan
menyebutkan mahar yang tiada nilai kehartaan -misalnya sebutir isi kurma,
sebutir kerikil, tangkai buah terong dan meninggalkan had qadzaf-, maka
penyebutan tersebut rusak, karena termasuk perkara yang tdak digunakan
penukar.
Bagi istri -begitu juga wali wanita yang
kurang sempurna lantaran masih kecil atau gila, dan sayid dari amat-, berhak
menahan dirinya untuk mengambil maharnya tidak kontan, yaitu mahar mu’ayyan
atau kontan, baik itu sebagian atau seluruhnya.
Adapun
bila mahar itu tidak kontan, maka bagi istri tidak boleh menahan dirinya,
sekalipun masa pelunasannya telah tiba sebelum istri menyerahkan dirinya
kepada suaminya.
Hak menahan diri menjadi gugur,
setelah suami menjimaknya dengan ketaatannya sendiri serta istri dalam keadaan
sempurna (balig dan berakal sehat). Bagi istri yang belum balig atau gila,
berhak menahan dirinya setelah menjadi sempurna, kecuali karena suatu
maslahat, walinya menyerahkan.
Wajib bagi istri
-atas permintaan sendiri atau walinya-, menunda penyerahan dirinya lantaran
membersihkan badannya selama waktu menurut petunjuk qadhi, yaitu maksimum 3
hari. Tidak wajib menunda untuk menunggu habis pendarahan haid atau nifas.
Tetapi,
bila istri yang sedang haid/ nifas khawatir akan dijimak, maka ia wajib
menyerahkan dirinya kepada suaminya dan menolak dijimak.
Bila
ia yakin bahwa penolakannya tiada berguna dan banyak qarninah yang
menunjukkan, bahwa suami akan menjimaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan
dirinya untuk dijimak, bahkan dalam keadaan seperti ini ia wajib menolak
menyerahkan dirinya, menurut yang dikatakan oleh Guru kita.
Bila
wali menikahkan wanita perwaliannya yang gadis dalam keadaan belum balig, gila
atau rasyidah yang tidak memberikanizan ada mahar di bawah mahar mitsil, atau
rasyidah tersebut (baik gadis atau janda) telah menentukan jumlah mahar kepada
walinya, lalu dikurangi, atau rasyidah tersebut memberikan izan dinikahkan
secara muttak tanpa menetukan besar maharnya, lalu dirikahkan dengan mahar di
bawah mahar mitsil, maka nikah tersebut adalah sah dengan mahar mitsil, karena
mahar yang disebutkan dihukumi fasad.
Sebagaimana
pula sah nikah dengan mahar mutsil, bila wali anak kecil qabul nikah untuk
anak laki-laki perwaliannya dengan mahar di atas mahar mitsil, serta dibayar
dengan harta anak kecil itu.
Bila mereka (wali,
calon suami dan Istri yang rasyidah) menyebutkan mahar secara sirri
(pelan-pelan), lalu menyebutkan mahar yang lebih besar dari yang pertama
dengan keras, maka suami wajib membayar mahar sebesar jumlah yang disebutkan
dalam akad, karena berpedoman dengan akad.
Bila
akad rukah secara sirri dengan mahar 1.000, lalu agar kelihatan bagus, maka
akad diulangi lagi secara terang-terangan dengan mahar 2.000, maka mahar yang
wajib dibayar adalah 1.000.
Dalam persetubuhan
dan pernikahan atau pembelian amat yang fasid -wathi/ persetubuhan syubhat-,
maka wajib memberikan mahar mitsil, karena alat kelamin perempuan telah
dimanfaatkannya.
Mahar mutsil tidak
dilipatgandakan menurut jumlah persetubuhan, jika masih dalam satu syubhat.
Mahar
tetap harus dibayar seluruhnya, sebab salah satu suami-istri mati -sekalipun
belum pernah berjimak-, karena berdasarkan ijmak para sahabat, atau sebab
telah menyetubuhi istri, yaitu dengan memasukkan kepala zakar ke lubang
vagina, sekalipun selaput dara masih utuh.
Mahar
gugur seluruhnya, sebab terjadi perceraian dari pihak istri sebelum terjadi
jimak, misalnya istri menfasakh akad karena ada kecacatan pada diri suami atau
suami melarat, misalnya istri berbuat murtad, atau perceraian dari pihak suami
sebab istri cacat.
Mahar wajib dibayar separonya,
sebab penjatuhan talak sebelum dijimak, sekalipun talak tersebut atas pilihan
istri, misalnya suami menyerahkan hak talak kepada istrinya, lalu ia melakukan
penjatuhan talak kepada suami menggantungkan jatuh talak pada perbuatan
istrinya, lalu ia melakukan perbuatan yang di. maksudkan atau istri dijatuhkan
talaknya dengan khulu’, dan sebab fasakh nikah lantaran suaminya berbuat
murtad.
Dengan bersumpah, suami/istri bisa
dibenarkan dakwaannya, bahwa dirinya belum berjimak, karena dasar permasalahan
adalah belum terjadi jimak.
Kecuali bila suami
menikahi istrinya dengan syarat masih perawan, lalu suami mengatakan
“Kudapannya telah janda dan aku belum pernah menjimaknya”, lalu dijawab pihak
istri: “Keperawanan hilang sebab kau jimak”, maka istri yang dibenarkan dengan
sumpahnya, demi menolak ada fasakh.
Suami
dibenarkan dakwaannya juga, demi pembayaran mahar separo, jika ia menjatuhkan
talak sebelum menyimak istri.
Bila terjadi
persehsihan antara suami-istri mengena jumlah mahar yang ditentukan serta
dakwaan suami lebih kecil, atau mengenai sifat mahar: yatu semacam jenisnya,
misalnya dinar, kontan, masa angsuran atau keutuhan dinar dan sebaliknya
(dirham, berangsur dan seterusnya), padahal tiada bayinah yang dikemukakan
oleh salah satu dari mereka atau kedua belah pihak mengemukakan bayinah,
tetapi bertentangan, maka sebagaimana masalah jual beli, mereka harus
melakukan Tahaluf (sumpah yang sekaligus menguatkan dakwaanya sendiri dan
meniadakan dakwaan lawan)
Kemudian setelah
tahaluf, mahar yang ditentukan (disebut) dalam akad rukah menyad rusak dan
wajib membayar mahar sutul, sekalipun ternyata lebih besar daripada mahar yang
didakwakan istri.
Mahar mutsil adalah ukuran
mahar yang biasanya menjadi kesukaan wanita-wanita sepadan calon istri yang
menjadi wans ashabahnya dan segi nasab (jika wanita-wanita itu diperkirakan
sebagai laki-laki, sebab wanis ashabah dan nasab yang hanya laki-laki) Karena
itu, (untuk mengukur besar mahar) didahulukanlah saudara perempuan calon istri
yang sekandung, lalu yang seayah, mendahulukan bibi dani ayahnya yang
sekandung, baru yang seayah saja.
Bila mahar
wanita-wanita tersebut tidak diketahui, maka diukur dengan mahar wanita-wanita
Arhamnya, misalnya nenek dan saudara perempuan ibu.
Al-Mawardi
dan Ar-Rauyani berkata: Urutan wanita yang menjadi ukuran mahar mitsil dari
Dzawatul Arham sebagai berikut: 1. Ibu, 2. Saudara perempuan seibu, 3. Nenek,
4. Saudara perempuan dari ibu, 5. Anak perempuan saudara perempuan ibu. Jika
nenek dari ayah dan dari ibu berkumpul, maka menurut sisi tinjauan pendapat
adalah sama statusnya.
Bila wanita-wanita dari
kalangan Dzawatul Arham tersebut tidak dapat diketahui, maka mahar mitsil
diukur dengan wanita-wanita lain yang sepadan dengan calon istri tersebut. Di
samping itu, juga perlu diperhatikan perbedaan latar belakangnya, misalnya:
Usia, kekayaan, kegadisan, kecantikan dan kefasikannya.
Bila
wanita yang akan kita tentukan. mahar mitsilnya ini ada kelebihan atau
kekurangan dengan wanita-wanita di atas, maka mahar mitsil ditambahi atau
dikurangi sepantasnya, sesuai keadaannya, menurut pendapat qadhi.
Bila
seorang wanita dari ashabahnya meringankan maharnya, maka tidak wajib
dikuti.
Wali tidak berhak mengampuni dengan
meniadakan mahar mauhyahnya, sebagaimana dengan piutang dan hak-hak anak
perwaliannya.
Kudapatkan tulisan Al-Allamah
Ath-Thanbadawi mengenai khilah, agar suami bebas dari tanggungan mahar, adalah
misalnya wali berkata kepada suami -di mana istrinya belum balig, gila atau
bodoh-: “Jatuhkan talak wanita mauliyahku dengan tebusan 500 dirham dan aku
yang menanggungnya”, lalu pihak suami berkata: “Saya alihkan tanggunganku
membayar mahar untuk anak perwalianmu kepadamu”, lalu wali menjawab:
“Kuterima”: Dengan demikian suami bebas dari tanggungan mahar Selesai.
Sah
seorang istri yang Mukalaf mentabaru’kan mahar dengan lafal ibra’
(pembebasan), afwu (pengampunan), isqath (pengguguran) ihlal (penghalalan),
ibahah (pemberi kebolehan) dan hibah (pemberian), sekalipun tidak terjadi
qabul pada suami.
Penting:
Bila
seorang laki-laki meminang seorang wanita dan mengirimkan atau menyerahkan
harta kepadanya, sebelum akad nikah terlaksana tanpa disertai lafal yang
menunjukkan tabarru’. dan dimaksudkan untuk itu, lalu terjadi pengunduran
diri, baik dari pihak wanita maupun laki-laki, maka pihak laki-laki berhak
menarik kembali harta yang telah dikirimkan tersebut, sebagaimana yang
diterangkan oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun.
Bila
laki-laki memben istrinya harta, lalu wanita mengatakan: “Harta tersebut
sebagai hadiah”, dan suaminya mengatakan: “Sebagai mahar”, maka pihak
laki-laki dibenarkan dengan sumpah, sekalipun harta tersebut tidak sejenis
mahar.
Bila laki-laki menyerahkan kepada wanita
pinangannya dan berkata (mendakwa): “Harta itu kujadikan sebagai mahar yang
akan wajib aku bayar sebab akad”, atau “… sebagai biaya pakaian yang wajib aku
tanggung setelah akad dan tamkin”, lalu pihak istri mendakwa: “Harta itu
sebagai hadiah”, maka menurut suatu pendapat, yang dibenarkan adalah pihak
istri, sebab tidak ada garinah yang menunjukkan kebenaran maksud suami.
Bila
dalam masalah kita di atas (pengiriman harta kepada wanita pinangan) setelah
terjadi akad nikah, lalu laki-laki menjatuhkan talaknya, maka ia tidak boleh
menarik kembali harta tersebut -lain halnya dengan pendapat Al-Baghawi-, sebab
ia memberikan harta tersebut demi terlaksana akad, sedang akad itu telah
terjadi.
Penyempurna:
Suami
wajib memberikan Mut’ah kepada istri yang pernah dijimak – sekalipun amat-,
dengan terjadinya perceraian yang bukan dari sebab istri dan bukan sebab
kematian salah seorang suami-istri
Mut’ah adalah.
Sejumlah harta yang menjadi kerelaan suanu-istri, Ada yang mengatakan: Mut’ah
adalah jumlah paling sedikit yang sah untuk dijadikan mahar.
Sunah
pemberian mut’ah itu tidak kurang dari 30 dirham.
Bila
suami dan istri berselisih mengenai mut’ah, maka mut’ah ditentukan oleh qadhi
berdasarkan keadaan kedua belah pihak: Kekayaan atau kemelaratan suami, dan
nasab atau sifat istri.
Penutup:
Walimatul
Ursy (pesta perkawinan) hukumnya sunah muakkad bagi suami yang rasyid dan wali
suami yang tidak rasyid, dengan diambilkan dari harta suami.
Paling
sedikit walimah tidak ada batasnya, tetapi yang lebih utama bagi yang mampu
adalah seekor kambing.
Waktu yang lebih utama,
adalah setelah terjadi persetubuhan, lantaran ittiba’ kepada Rasulullah saw.
Pelaksanaannya setelah akad nikah dan sebelum persetubuhan juga sudah
mendapatkan asal kesunahannya.
Menurut suatu
pendapat, bahwa perintah sunah walimatul ursy berjalan terus setelah terjadi
jimak, sekalipun telah panjang masa berlalu -sebagaimana Akikah-, dan
sekalipun suami telah meryatuhkan talak pada istri.
Penyelenggaraan
walimatul ursy pada malam hari adalah lebih utama.
Bagi
orang yang tidak mempunyai uzur -sebagaimana uzur-uzur dalam masalah salat
Jumatdan qadhi wajib menghadiri walimatul ursy – yang diselenggarakan setelah
akad, bukan sebelumnya, jika mempelai laki-laki muslim yang mengundangnya
sendiri, utusan wakilnya yang dapat dipercaya atau utusan anak tamyiz yang
tidak diketahui (tidak pernah), berkata dusta, serta undangan diberikan secara
merata kepada segenap orang yang dimaksud sifatnya sesuai maksud pengundang,
misalnya segenap tetangga dan sanak familinya atau segenap handatolan atau
teman sekerjanya.
Bila sanak famili pengundang
terlalu banyak atau tidak mampu meratakan undangan lantaran fakir, maka tidak
disyaratkan undangan harus merata, menurut pendapat Al-Aujah: tetapi
disyaratkan tidak tampak mengkhususkan orang kaya atau lainnya.
Disyaratkan
pula orang yang diundang dita’yin pribadi atau dengan sebutan sifatnya Karena
itu, tidak cukup dengan: “Barangsiapa yang mau, maka silakan hadir”,
“Undanglah siapa saja yang kamu sukai” atau “… Siapa saja yang kamu temui”,
bahkan dalam undangan seperti in tidak wajib mendatanginya.
Disyaratkan
juga dalam menghadiri walimah tidak terjadi khalwah yang diharamkan. Karena
itu, undangan walimah wanita yang menghadiri wanita atas izin suami atau
sayidnya, tidak boleh dihadiri oleh laki-laki, kecuali bila di sana terdapat
pencegah khalwah yang diharamkan, misalnya ada laki-laki: mahram wanita
pengundang, wanita mahram laki-laki yang diundang atau wanita pengundang
tersebut bersama wanita lain yang adil.
Adapun
bila akan terjadi khalwah yang diharamkan, maka secara mutlak tidak boleh
mendatangi acara wahmatul ursy. Demikian juga tidak boleh menghadiri
-sekalipun tidak terjadi khalwah-, bila di sana ada jamuan khusus untuknya,
misalnya wanita pengundang berada dalam suatu bilik dan ia mengutus laki-laki
untuk mengirimkan makanan kepada yang diundang berada di bilik lain, hal ini
disebabkan khawatir terjadi fitnah.
Lain halnya
bila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah (maka bagi laki-laki boleh mendatangi
undangan wanita). (Dalilnya): Sufyan dan temantemannya membesuk Rabi’ah
Al-Adawiyah dan mendengarkan bicaranya. Karena itu, bila didapatkan laki-laki
seperti Sufyan dan wanita seperti Rabi’ah, maka tidak haram menghadirinya,
bahkan makruh pun tidak.
Disyaratkan juga, bahwa
diundangnya bukan karena ditakuti, diharapkan dari kepangkatannya atau agar
membantu dalam kebatilan, dan bukan untuk makan barang syubhat, semisal tidak
diketahui keharaman pada harta pengundang itu.
Adapun
bila terjadi syubhat di sana, sebagaimana diketahw bahwa harta benda atau
makanan walimah pengundang bercampur dengan barang haram, sekalipun sedikit,
maka hukumnya tdak wajib menghadin, bahkan makruh bela sebagian besar hartanya
itu haram.
Bila diketahui bahwa makanan walimah
itu haram, maka haram menghadiri undangannya, sekalipun ia tidak berkeinginan
ikut makan, sebagaimana pendapat yang dizhahirkan oleh Guru kita.
Disyaratkan
pula di tempat walimah tidak terdapat kemungkaran, di mana kehadirannya tidak
dapat menghentikannya. Termasuk kemungkaran adalah tabir penutup terbuat dari
sutera, alas lantai dari hasil menggasab dan ada orang yang membuat hadirin
tertawa dengan cara yang keji dan dusta. Jikalau itu yang terjadi, maka haram
menghadarinya.
Termasuk barang mungkar: Gambar
binatang yang lengkap dengan bagian tubuhnya, di mana binatang sesungguhnya
tidak dapat hidup tanpa anggota tubuh itu, sekalipun tidak ada bentuk binatang
hidup sesungguhnya seperti itu, misalnya gambar kuda bersayap dan burung
bermuka manusia yang berada di atap rumah, pagar atau selambu yang digantung
untuk perhiasan, pada pakaian yang terpakai atau alas yang terbentang, karena
gambar-gambar tersebut menyerupai berhala. Karena itu, dengan keberadaan
gambargambar seperti itu, undangan walimah tidak wajib dihadiri, bahkanharam
hukumnya.
Tidak membawa pengaruh apa-apa dengan
membawa mata uang yang bergambarkan lengkap, lantaran ada hajat untuk itu, dan
karena gambar itu diperlakukan untuk muamalah.
Boleh
menghadiri undangan yang di situ terdapat gambar-gambar diremehkan, misalnya
gambar-gambar yang terpampang di alas dan diinjakinjak kaki, bantal yang
ditiduri atau dibuat lesehan, pada besi, meja, piring dan kendi.
Demikian
pula boleh, bila gambaritu terputus kepalanya, karena hilang bagian yang
menjadi pangkal kehidupannya.
Haram -meskipun di
atas tanah-, menggambar binatang yang meskipun tidak ada wujud
sesungguhnya.
Tetapi, boleh
membentuk boneka permainan anak-anak wanita, karena Aisyah r.a. adalah bermain
boneka di sisi Rasulullah saw., sebagaimana di dalam Hadis Muslim. Hikmahnya
adalah melatih anak-anak wanita untuk menangani urusan tarbiyah.
Tidak
haram juga menggambar binatang tanpa kepala, lain halnya dangan pendapat
Al-Mutawalli.
Halal mencetak perhiasan emas-perak
dan menenun sutera, karena barang itu halal untuk kaum wanita, tetapi
membuatnya untuk orang yang tidak halal memakainya, adalah haram.
Bila
seorang diundang oleh dua orang, maka yang dihadiri adalah orang yang
mengundang lebih dahulu dan bila mengundangnya dalam waktu yang sama, maka
hadirilah yang lebih dekat rumahnya, lalu dengan diundi.
Sunah
menghadiri undangan segala macam walimah, misal walimah khutan, kelahiran
anak, keselamatan wanita dari sakit waktu melahirkan, datang dari perjalanan
dan khataman Alqur-an, Semua ini hukumnya sunah.
Beberapa
Cabang:
Disunahkan makan ketika ia sedang
mengerjakan puasa sunah -sekalipun puasa muakkad-, demi melegakan hati orang
yang menjamu, sebagaimana tuan rumah hatinya tidak enak, bila makanan yang
disuguhkan tidak dimakan -sekalipun waktu itu telah di akhur siang-, karena
ada perintah untuk berbuka dari puasa.
(Sekalipun
ia berbuka), ia masih mendapatkan pahala untuk puasa yang dikerjakan, dan
sunah mengqadhanya di suatu hari.
Bila tuan rumah
tidak keberatan makanan yang ia suguhkan tidak dimakan, maka tidak sunah
berbuka dari puasa, bahkan yang lebih utama adalah puasa terus.
Tamu
diperbolehkan memakan apa’ saja yang disuguhkan kepadanya, tanpa dipersilakan
oleh tuan rumahnya. Tetapi bila tuan rumah masih menunggu yang lainnya, maka
sebelum yang ditunggu datang, maka ia tidak boleh memakan suguhan tersebut,
kecuali tuan rumah mempersilakannya.
Dua guru
kita menjelaskan akan kemakruhan makan terlalu kenyang. Sedangkan ulama yang
lainnya mengatakan haram.
Dengan sanad daif
diriwayatkan, bahwa Nabi saw. melarang seseorang makan dengan cara bersandar
diri pada tangan kirinya. Malik berkata: Posisi tersebut adalah suatu bentuk
duduk bersandarkan pada sesuatu.
Posisi sunah
dilakukan orang yang . makan, adalah makan dengan duduk berlutut dan bagian
luar telapak kaki diletakkan di bawah, atau (telapak) kaki kanan diberdirikan
dan duduk di atas telapak kaki kiri.
Makruh makan
sambil duduk bersandarkan sesuatu, yaitu bertopang pada alas yang ada di
bawahnya, juga makan sambil tiduran mining, kecuali makan makanan yang dengan
posisi itu dapat diambil. Tidak makruh makan sambil berdiri.
Minum
sambil berdiri adalah menyelisihi keutamaan (khilaful aula).
Sunah
bagi orang yang makan, mencuci dua tangan dan mulutnya sebelum dan sesudah
makan, membaca surah Al-Ikhlas dan Al-Quraisy sesudah makan, dan tidak menelan
sisa makanan yang terambil dengan tusuk gigi, bahkan yang sunah adalah
membuangnya.
Lain halnya dengan sisa makanan yang
terkumpul oleh lidahnya dani sela-sela gigi, maka boleh ditelan.
Haram
memperbesar suapan makan dengan mempercepat suapan, agar mendapatkan makanan
yang banyak dan menghalangi teman makan yang lain.
Apabila
seseorang mendapati orangorang yang sedang makan dan mereka mengajaknya ikut
makan, maka ia tidak boleh ikut makan, kecuali ia memperkirakan bahwa ajakan
tersebut keluar dari kerelaan hati mereka, bukan karena semacam merasa
malu.
Seorang tamu tidak diperbolehkan memberi
makan pengemis atau kucing, kecuali diketahui ada kerelaan dari tuan rumah.
Makruh bagi pengundang suatu walimah, memberikan keistimewaan kepada sebagian
tamunya dengan makanan yang mewah.
Haram bagi
orang-orang yang rendah status sosialnya, memakan makanan yang disuguhkan
kepada orang-orang yang mulia.
Bila seorang tamu
mengambil wadah makanan, lalu pecah dari tangannya, maka ia wajib
menggantinya, -sebagaimana yang dibahas Az-Zarkasyi-, sebab yang ada di
tangannya tersebut dihukumi sebagai Ariyah.
Bagi
seseorang diperbolehkan mengambil semacam makanan temannya dengan
memperkirakan, bahwa pemiliknya merelakan perbuatan-itu. “Kerelaan di sini
berbeda-beda, sesuai ukuran yang diambil, jenis dan keadaan tuan rumahnya.
Dalam
hal seperti ini, sebaiknya seorang tamu memelihara keadilan teman-temannya,
karena itu, jangan mengambil kecuali yang disuguhkan khusus untuknya atau
segenap teman merelakan untuk diambil, bukan lantaran malu. Demikian pula
dikaitkan hukumnya dengan masalah dua butir kurma yang dimakan
berbarengan.”
Adapun bila kerelaan itu masih
diragukan, maka mengambil makanan temannya adalah haram, sebagaimana hukum
tathafful (mendatangi walimah tanpa diundang), selama undangan tidak di buka
secara umum, misalnya membuka pintu rumahnya dan mempersilakan siapa saja yang
mau masuk.
Bagi pemilik makanan wajib memberi
makan orang yang kelaparan, seukuran untuk menyambung kematiannya, jika orang
tersebut Ma’shum (terpelihara jiwanya) yang Islam atau dami, sekalipun
pemiliknya sendiri masih membutuhkan makanan itu di waktu mendatang. Demikian
pula memberi makan binatang muhtaram (dimuliakan syarak) milik orang lain.
Lan
halnya dengan kafir Harbi, orang murtad, pezina mukhshan, orang yang
meninggalkan salat dan anjing galak
Bila pemilik
makanan menolak memberi makan, maka orang yang kelaparan tersebut boleh
mengambilnya secara paksa dengan kewajiban menggantinya bila ia telah mampu.
Apabila orang tersebut belum mempunyai barang pengganti keseluruhannya, maka
ia dapat menggantinya secara diangsur.
Bila
pemilik makanan memberinya makan tanpa menuturkan ada ganti, maka orang yang
diberi makan tersebut tidak wajib menggantinya, lantaran keteledoran pemilik
makanan itu sendiri.
Bila kedua belah pihak
berselisih mengenai ada dan tidak penyebutan ganti, maka dengan cara
bersumpah, pemulik dapat dibenarkan.
Boleh
menaburkan semacam gula dan daun sirih, Adapun tidak melakukan hal itu, adalah
lebih utama. Halal memungut barang-barang tersebut, karena diyakini ada
kerelaan hati pemiliknya, tetapi hal itu makruh, lantaran barang itu hina
adanya.
Haram mengambil anak burung yang
bersarang di tempat orang lain, mengambil ikan yang masuk bersama-sama air ke
dalam telaga orang lain.
PASAL: GILIR DAN NUSYUZ
Bila seorang suami menginap di tempat salah seorang istrinya,
maka hukumnya wajib mengadakan gilir di antara istri-istri yang lainnya,
dengan cara undian atau lainnya.
Karena itu,
suami wajib menginapi istri dari istri-istri yang lainnya, sekalipun terdapat
uzur untuk mereka, misalnya sakit dan haid (pengertiannya sama di atas).
Sunah
menyamaratakan di antara istri dalam segala macam istimta’ dan suami tidak
dapat dikenai sanksi lantaran kecondongan hatinya kepada salah satu istrinya.
Sunah juga tidak menganggurkan para istri, yaitu hendaklah suami menginapi
mereka.
Tiada kewajiban gilir buat para amat, dan
tidak pula antara para amat dan istri.
Wajib bagi
suami-istri bergaul dengan cara sebaik mungkin, sebagaimana masing-masing dari
mereka menjaga jangan sampai membuat pihak yang lain tidak suka dan memberikan
haknya secara sukarela dan muka berseri-seri tanpa mengeluarkan biaya dan
menyulitkan din.
(Gilir istri wajib bagi) selain
istri yang sedang dalam idahnya sebab jimak syubhat, karena haram berduaan
dengan wanita seperti ini, dan selain istri kecil yang tidak kuat dijimak.
Selain
istri yang nusyus, yaitu tidak taat terhadap suami, misalnya keluar dari rumah
tanpa seizin suami dan menolak diajak bermain seks (ditamattu’) atau menutup
pintu di hadapan suami, sekalipun ia istri yang gila.
Selain
istri yang sedang dalam perjalanannya sendiri untuk keperluan pribadi,
sekalipun atas izin suaminya.
Untuk ketiga macam
istri di atas, adalah tidak mempunyai hak gilir, sebagaimana tidak mempunyai
hak nafkah.
Cabang:
Al-Adzra’i
dengan menukil dari Tajzi’ah Ar-Ruyani berkata: Bila jelas istri berbuat zina,
maka bagi suami berhak menolak hak gilir dan hak-haknya yang lain, agar ia mau
menebus dirinya. Demikianlah yang telah di-nash dalam Al-Um dan ini adalah
salah satu pendapat yang paling ashah. Selesai.
Guru
kita berkata: Ketentuan di atas adalah zhahur (jelas), bila Ar-Ruyari
bermaksud bahwa penghalangan hak gilir halal dilakukan oleh suami secara
batin, sebagai pengajaran terhadap istri lantaran keserongannya dalam urusan
kasur suami, Adapun secara lahur, maka dakwaan suami atas istri mengenai zina
itu tidak dapat diterima, bahkan bila ada perzinaan itu dapat ditetapkan
(dengan bayinah atau ikrar istri), maka qadhi tidak boleh memberikan
kesempatan kepada suami agar melakukan penghalangan seperti di atas, menurut
pendapat yang jelas.
Bagi suami yang tengah
memenuhi malam giliran seorang istri, adalah diperbolehkan masuk ke tempat
istri yang lain karena darurat -bukan lainnya-, misalnya istri itu sedang
sakit parah, walaupun hanya menurut perkiraannya.
Pada
siang hari, bagi suami boleh masuk ke tempat istri yang bukan gilirannya,
lantaran suatu keperluan, misalnya meletakkan dagangan atau mengambilnya,
menjenguk, menyerahkan belanja dan mencari berita darinya, asal saja tidak
berlamalama tinggal melebihi keperluan menurut kebiasaan.
Bila
ia berlama-lama melebih keperluan, maka ia (suami) berbuat dosa lantaran
menyimpang, dan ia wajib menggadha untuk istri yang tengah digiliri itu
sepanjang diamnya di tempat istri lain yang dimasuki. Ini adalah menurut
mazhab (Syafi’i) dan lainnya.
Menurut kesimpulan
Al-Minhaj, Ashlul Minhaj, Ar-Raudhah dan Ashlur Raudhah, adalah berselisih
dengan pendapat di atas, mengenai masalah bila suami memasuki tempat istri
yang bukan gilirannya di siang hari, lantaran ada keperluan -sekalipun lama di
sana-, dan tidak wajib menyamaratakan dalam kadar ukuran tinggal suami pada
waktu yang bukan waktu pokok -misalnya waktu siang-, karena waktu yang bukan
pokok adalah waktu yang tidak tenang, yang kadang-kadang bisa sebentar, juga
bisa lama.
Mengenai kehalalan masuk padaistri
yang bukan gilirannya (lantaran darurat atau keperluan), maka diperbolehkan
bercinta, tetapi haram menjimak -haramnya bukan keadaan perjimakan itu
sendiri, tetapi perkara lain-: Suami juga tidak wajib mengqadha jimak
tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan kesanggupan, tetapi wajib menggadha
waktu yang digunakan untuk jimak, jika lama menurut kebiasaan.
Ketahuilah,
bahwa masa gilir seorang istri yang pendek adalah satu malam, yaitu terhitung
mulai matahari terbenam hingga terbit fajar.
Adapun
yang paling lama adalah tiga malam. Karena itu, tidak boleh lebih dari itu,
sekalipun istri-istrinya terpisah-pisah beberapa daerah, kecuali bila telah
ada kerelaan dari mereka.
Sedang arti ada
kerelaan para istri, dibelokkanlah ucapan kitab Al-Um: “Suami menggilir istri
secara bulanan dan tahunan”.
Waktu pokok untuk
masa gilir bagi suami yang kerjanya di siang hari, adalah malam hari, sedang
waktu siang sebelum atau sesudahnya, adalah hanya mengikutinya, dan siang
sesudahnya adalah lebih utama lagi dalam kaitannya.
Bagi
istrinya yang merdeka, mendapat giliran dua malam, sedang bagi istrinya yang
berupa amat, yang telah menyerahkan dirinya, mendapat gilir semalam dua
hari.
Wajib bagi suami memulai penggiliran dengan
cara mengundi.
Wajib tinggal selama 7 hari
berturut-turut bersama istri gadis yang baru dirukahi, di mana suami telah
mempunyai seorang istri atau lebih. Tiga hari berturut-turut bila istri
barunya seorang janda. Mengenai tujuh atau tiga hari tersebut, tanpa mengqadha
pada istri lamanya.
Sekalipun istri barunya itu
-gadis atau perawan-, adalah seorang wamita budak, sebab Nabi saw. telah
bersabda: “Tujuh hari untuk perawan dan tiga hari untuk gadis”.
Sunah
mempersilakan kepada istri baru yang janda, untuk memilih 3, hari tanpa gadha
atau 7 han dengan gadha, sebab mengikuti tindak Rasul saw.
Peringatan:
Wajib
menurut dua Guru kita -sekalipun Al-Adzara’i sebagaimana Az-Zarkasyi secara
panjang-lebar menolaknya-, bagi suami pada malam-malam sebagai pengantin baru
(7 hari untuk gadis dan 3 hari untuk janda seperti di atas) datang belakangan
pada semacam pergi salat berjamaah dan mengiring Jenazah.
Wajib
pula menyamaratakan para istrinya pada malam-malam giliran mereka dalam hal
pergi atau tidaknya untuk keperluan di atas. Karena itu, seorang (suami)
berdosa lantaran mengkhususkan malam gilir seorang istri untuk keluar rumah
guna keperluan di atas.
Sunah bagi suami
menasihati istrinya lantaran mengkhawatirkan atas nusyus istri, misalnya si
istri melengos dan cemberut yang sebelumnya tunduk dan berseri-seri, atau
bertutur kata kasar padahal sebelumnya berlemah lembut,
Bila
berkehendak, boleh bagi suami -di samping menasihatinyamemisah tempat
tidurnya, bukan memutus berbicara: bahkan tidak mengajak berbicara hukumnya
makruh.
Berdasarkan hadis sahih, bahwa tidak
mengajak berbicara pada istri atau lainnya di atas tiga hari, hukumnya adalah
haram.
Tetapi, jika tujuannya adalah menolak
istri dari maksiat atau untuk memperbaiki ajaran agamanya, maka hukumnya
boleh.
Suami boleh memukul istrinya, asal tidak
sampai mengakibatkan luka berdarah pada selain muka dan anggota badan yang
peka untuk kematian, bila menurut perkiraannya bahwa pukulan membawa
kemanfaatan, sekalipun memakai cambuk atau tongkat.
Tetapi
Ar-Ruyani menukil ada ketentuan, bahwa kebolehan memukul tersebut memakai
tangan suami Itu sendiri atau sapu tangan.
(Suami
boleh berpisah tempat tidur dengan istri atau memukulnya tersebut) sebab istri
berlaku nusyus, sekalipun tidak berulang-ulang -lain halnya dengan pendapat
Al-Muharrar-, dan sebab nusyus, maka gugurlah hak gilirnya.
Di
antara bentuk nusyus adalah keengganan seorang istri mendatangi panggilan
suaminya ke kamarnya, sekalipun ia tengah sibuk dengan keperluannya sendiri,
karena hal itu berarti menentangnya.
Tetapi, bila
ketidakdatangannya lantaran suatu uzur semacam sakit atau keadaan dirinya
mempunyai derajat tinggi dan pemalu, yang tidak biasa mejeng (memperlihatkan
diri), maka ia tidak wajib memenuhi panggilan suaminya yang berada di rumah
(kamar)nya sendiri. Bagi istri yang seperti ini, suami wajib menggilirnya di
rumah sang istri sendiri.
Suami diperbolehkan
mendidik istrinya yang telah memakinya.
Penutup:
Suami
dianggap berbuat maksiat, sebab menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum
sempat menikmati haknya (hak gilir) yang penuh, padahal waktunya telah tiba,
sekalipun talaknya hanya raj’i. Ibnur Rifah berkata: Hal itu jika bukan karena
permintaannya.
PASAL: KHULUK (TALAK TEBUS)
Lafal Khulu’ itu berasal dari Khal’u -dengan fathah kha’nya-,
yang maknanya “menanggalkan/melepaskan”, sebab suami-istri adalah ibarat
pakaian satu sama yang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat
Alqur-an.
Asal hukum khuluk adalah makruh, dan
terkadang bisa menjadi sunah, sebagaimana hukum yang terjadi pada talak.
Kesunahan
khuluk melebihi kesunahan talak bagi seorang suami yang bersumpah untuk
menjatuhkan talak tiga istrinya, dengan menggantung pada suatu perbuatan yang
tidak dapat ditinggalkan (misalnya, “Demi Allah, jika aku minim/ makan, maka
istriku tertalak tiga”).
Guru kita berkata:
Mengenai kesunahan khuluk di sini ada tinjauan, sebab banyak fukaha yang
berpendapat, bahwa sifat penggantungan talak tetap kembali: karena menurut
pendapat Al-Aujah, bahwa khuluk sepert kasus di atas hukumnya mubah, bukan
sunah.
Termaktub di dalam Syarhul Minhaj dan
Irsyad: Bila suami sengaja menghalangi semacam nafkah istrinya dengan tujuan
agar istri mau melakukan khuluk dengan membenikan harta -lalu istri
melakukannya-, maka batal hukum khuluk dan istri jatuh talak raj’i,
sebagaimana yang dinukil oleh fukaha Mutakaddimun dari Syekh Abu Hamid
(Al-Ghazali).
Kalau tujuan tidak seperti itu,
maka talaknya jatuh Bain. Terhadap arti irulah dibelokkan apa yang dinukil
oleh dua Guru kita, dari Abu Hamid, bahwa khuluk tetap sah, dan dalam dua
kasus di atas suami dihukum berdosa, sekalipun tetah jelas istri berbuat zina.
Tetapi dalam hal kejelasan perzinaan istri, khuluk tidak makruh adanya.
Khuluk
menurut arti syarak, adalah perceraian dengan tebusan, yang dimaksudkan
-misalnya bangkai- dari pihak istri atau lainnya, yang diberikan kepada suami
atau sayidnya, dengan kata-kata “Talak/ Khuluk/Tebusan”, sekalipun khuluk itu
terjadi pada istri yang jatuh talak raj’inya, sebab dalam talak raj’i hukumnya
seperti istri dalam kebanyakan hukum-hukumnya.
Bila
terjadi khuluk yang langsung dihadapkan kepada istri tanpa menuturkan tebusan,
dengan niat agar suami mau qabul -musalnya suami berkata “Engkau saya khuluk”,
atau “Dirimu kutebus”-, dengan niat agar istri mau menqabulkannya -lalu istri
melakukannya-, maka istri wajib membayar pada suaminya sebesar mahar
mitsilnya, lantaran berlaku kebiasaan yang memberlakukan hal itu dengan ada
tebusan.
Bila khuluk dalam contoh di atas
dihadapkan kepada orang lain, maka istri jatuh talaknya secara gratis,
sebagaimana bila khuluk dihadapkan laka-laki lain dengan menuturkan tebusan
dan tebusan itu fasid.
Bila suami mengucapkan
khuluk secara global dan katanya “Engkau kukhuluk”, serta tidak meruatkan agar
istri mengqabulnya, maka talak menjadi raj’i, sekalipun istri mengqabulnya.
Bila
suami memulainya dengan sighat Mu’awadhah (tukarmenukar), misalnya: “Engkau
kutalak/kukhuluk dengan menukar 1.000”, maka menjadi akad Mu’awadhah, karena
ada suami mengambil penukar ganti farji yang menjadi hak gunanya.
Mu’awadhah
di sini bercampur taklik, sebab jatuhnya talak di sini terletak pada
keberadaan qabul. Karena itu, suami bisa mencabut kembali sebelum istri
mengucapkan qabulnya, karena kebolehan pencabutan kembali, adalah pertingkah
dalam Mu’awadhah.
Disyaratkan (di dalam
Mu’awadhah), ada qabul dari istri dengan seketika dalam majelis ijab, dengan
lafal seperti, “Kuterima” atau “Kutanggung”, atau dengan sikapnya semisal
memberi suami uang 1000 menurut yang dikatakan oleh fukaha Mutakaddimun.
Bila
antara kata-kata yang diucapkan suami (ijab) dengan qabul istri
ditengah-tengahi oleh masa atau pembicaraan yang panjang, maka khuluk tidak
bisa menjadi sah.
Bila suami berkata kepada
istrinya: “Engkau kujatuhkan talak tiga dengan tebusan 1.000”, lalu si istri
menerima (qabul) talak tiga dengan 1.000, maka talak tetap jatuh tiga danistri
tersebut wajib memberinya 1.000.
Bila istri
memulai dengan meminta talak, misalnya: “Talaklah aku: dengan tebusan 1.000”,
atau “Bila kamu mau menjatuhkan talak, maka kau kuberi sekian …”, lalu suami
menurutinya, maka akadnya menjadi Mu’awadhah dari pihak istri, karena itu, ia
berhak mencabut kembali sebelum suami menjawabnya, sebab kebolehan seperti in
adalah konsekuensi Mu’awadhah.
Dalam kasus di
atas disyaratkan penjatuhan dengan seketika, sebab Jika suami tidak
menjatuhkannya seketika, maka talak yang ia jatuhkan adalah talak yang timbul
dari dirinya sendin (tidak ada kaitannya dengan permintaan istri dan
akibatnya: istri jatuh talak raj’i dan ia tidak wajib memberikan tebusan).
Syekh
Zakariya berkata: Bila suami dalam kasus di atas mendakwa, bahwa talak yang
dijatuhkan tidak dengan seketika, adalah sebagai jawaban dari permintaan istri
dan ia adalah orang bodoh yang beruzur, maka dengan bersumpah ia dapat
dibenarkan (dan ia berhak menerima barang tebusan).
Atau
bila suami memulainya dengan shighat taklik pada perwujudan sesuatu (itsbat),
misalnya: “Jika sewaktu-waktu kamu memberiku sekian …, maka jatuhlah talakmu”,
maka pernyataan tersebut sebagai Taklik Talak, sebab kesesuaian shughat adalah
ke situ.
Karena itu, talak baru terjadi setelah
terwujud yang digantungkan dengannya, dan suani tidak dapat mencabut kembali
pernyataannya sebelum terwujud perkara itu, sebagaimana dengan bentuk taklik
yang lainnya.
Dalam taklik tidak disyaratkan ada
qabul seketika dengan lafal, begitu Juga pemberiannya, akan tetapi cukuplah
dengan ada pemberian -sekalipun suami-istri telah berpisah dari majelis-,
sebab sudah jelas, bahwa penyataan taklik mencakup semua tempo.
Hanya
saja jawaban suami wajib diberikan pada ucapan istri: “Kapan kau talak aku,
maka kamu kuberi sekian …”, sebab pada galibnya hal itu menjadi Mu’awadhah
dani pihak istri. Kalau penjatuhan talak tidak dilakukan seketika, maka
arahnya adalah talak dari diri suami sendiri (bukan dari istri), karena suami
mampu menjatuhkan talak dengan seketika.
Adapun
bila taklik tersebut pada peruadaan suatu kejadian (nafi), jnisalnya: “Kapan
saja kamu tidak memberiku 1.000, maka jatuhlah talakmu”, maka menunjukkan arti
seketika, karena itu, jatuh talaknya sejak terlewat tempo yang memungkinkan
untuk memberikan 1.000, tapi ia tidak mau memberikannya.
Disyaratkan
memberikan dengan seketika di majelis ijab -tidak ditengah-tengahi dengan
pembicaraan yang panjang menurut kebiasaan dani istri yang merdeka serta
berada di tempat atau tidak hadir, tapi mengetahui terjadi ucapan suami pada
ucapan suami “Bila kamu memberiku sekian .. , maka jatuhlah talakmu”, sebab
keseketikaan di gm sdalah konsekuensi lafal yang ada tebusannya.
Konsekuensi
ucapan seperti di atas diperselisihkan untuk ucapan semacam “Kapan saja…”,
sebab kejelasan dari kata “kapan saja” dalam menunjukkan kebolehan
pengakhiran, tetapi suami tidak berhak mencabut kembali sebelum terwujud
perkara yang digantungkan dengan talak istri (pada masalah: “Bila kamu
memberiku …”, di atas) dan tidak disyaratkan qabul dengan lafal. , “
Peringatan:
Pernyataan
Ibra’ dalam hubungan dengan hal-hal di atas, adalah seperti pernyataan dalam
pemberian. Karena itu, untuk ucapan suami “Bila kau bebaskan diriku …”, adalah
harus dilakukan pembebasan dengan seketika dan sah, setelah istri mengetahui
ucapan di atas, Kalau tidak melakukan dengan seketika, maka talak tidaklah
jatuh.
Fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian
fukaha, bahwa talak tetap terjadi untuk istri yang tidak hadir di tempat
secara mutlak (baik istri mengibra’kan dengan seketika maupun tidak) -karena
suami tidak mengatakan kepada istrinya tentang keberadaan tebusan-, adalah
fatwa yang jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan pembicaraan fukaha.
Bila
suami berkata: “Jika istriku mengibra’kanku, maka kamu sebagai wakil untuk
menjatuhkan talaknya”, lalu istri membebaskan tanggungan suaminya, maka
bebaslah tangungannya, Kemudian wakil disuruh memilih (antara menjatuhkan
talak atau tidak), dan bila ia menjatuhkan talak, maka talaknya adalah raj’i,
sebab pembebasan tanggungan adalah sebagai imbalan pewakilan (bukan talak)
Bila
suami menggantungkan jatuh talak istri pada pembebasan istri terhadap
tanggungan mahar suami, maka talaknya tidak jatuh, kecuali bila didapatkan
pembebasannya secara sah dari seluruh maharnya. Pembebasan yang sah, semisal
pembebasan dilakukan oleh istri. yang rasyidah, dan kedua suami-istri
mengetahui jumlah mahar serta jumlah tersebut tidak ada kaitannya dengan
kewajiban zakat. Dengan demikian, talak yang jatuh adalah bain.
Lain
halnya dengan pendapat yang dikemukakan dengan panjang lebar, bahwa tidak ada
bedanya Apakah terkena zakat ataupun tidak, sekalipun pendapat ini ia nukil
dari fukaha Muhaqqiqun Yang demikian ini (talak tidak jatuh, jika mahar yang
diibra’kan terkena kewajiban zakat), karena mengibra’kan pada kadar zakatnya
adalah tidak sah, padahal jatuhnya talak digantungkan dengan keseluruhan mahar
dan sifat seperti Ini tidak diwujudkan.
Ada yang
mengatakan: Talak jatuh bain dengan kewajiban istri membayar mahar mutsil.
Bila
istri membebaskan tanggungan mahar suaminya, lalu mendakwa bahwa ia tidak
mengetahui ukuran mahar tersebut, maka jika ia dikawinkan belum balig, maka
dengan bersumpah bisa dibenarkan dakwaannya, Atau kalau ia dikawinkan ketika
balig dan keadaan menunjukkan ketidak tahuannya akan jumlah mahar lantaran
dipaksa kawin dan tidak diminta izin, maka juga dengan bersumpah bisa
dibenarkan dakwaannya: Kalau keadaannya tidak menunjukkan ketidaktahuan istri,
maka dengan bersumpah suami. dapat dibenarkan.
Bila
suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau bebaskan mahar, maka Jatuhlah
talakmu setelah satu bulan”, lalu istri membebaskan mahar, maka bebasiah
tanggungan mahar suami secara mutlak. Kemudian, jika ternyata suami masih
hidup selama satu bulan, maka jatuh talak bain, (tetapi) bila setelah lewat
masa satu bulan ia tidak hidup, maka talak tidak jatuh.
Di
dalam Al-Anwar tersebutkan mengenai istri yang berkata kepada suaminya: “Saya
bebaskan kamu dari pembayaran mahar dengan syarat kamu menjatuhkan talak
kepadaku”, lalu suami menjatuhkan talak, maka jatuhlah talaknya dan suami
tidak dapat bebas dari tanggungan mahar.
Tetapi
yang ada dalam Al-Kafi dan diakui oleh Al-Bulqini dan lainnya mengenai ucapan
“Engkau kubebaskan dari maharku dengan syarat talak atau kamu menjatuhkan
talak kepadaku”, maka jatuhlah talak ban dan suami bebas dari tanggungan
maharnya, Lain halnya dengan: “Bila engkau mau menjatuhkan talak wanita
pemaduku, maka kamu bebas dari tanggungan maharmu”, lalu suami menjatuhkan
talak kepada wanita pemadunya, maka jatuhlah talak dan suami tidak bisa bebas
dari tanggungan maharnya.
Guru kita berkata
Pendapat yang bar-Wajh adalah yang ada di dalam Al-Amwar, sebab persyaratan
yang cdhtuturkan mengandung taklik.
Beberapa
Cabang:
Bila suami berkata: “Jika engkau
membebaskan aku dari maharmu, maka aku’akan menjatuhkan talak kepadamu”, lalu
istri membebaskannya dan suami menjatuhkan talak, maka bebaslah suami dari
tanggungan maharnya dan tertalaklah si istri, bukan sebagai yang dikhuluk.
Bila
seorang istri berkata: “Talaklah aku dan kamu bebas dari maharku”, lalu suami
menjatuhkan talaknya, maka istri jatuh talak bainnya dengan ada pembebasan
mahar, sebab ucapan seperti itu adalah kalimat penetapan.
Atau
bila istri berkata: “Jika kamu menjatuhkan talak kepadaku, maka kubebaskan
kamu dari maharku”, atau “… maka kamu bebas dari maharku”, lalu suami
menjatuhkan talaknya, maka istri tertalak ban dengan kewajiban membayar mahar
mitsil kepada suaminya -menurut Al-Muktamad-, sebab rusaknya penebusan dengan
ada penggantungan pembebasan.
Abu Zur’ah
mengeluarkan fatwa mengenai seorang ayah yang meminta kepada suami anak
putrinya yang belum dijimak agar dijatuhkan talaknya dengan pembayaran tebusan
seluruh maharnya ditanggung oleh ayah tersebut, lalu suami menjatuhkan talak,
dan selanjutnya sang ayah menerima hawalah piutang dirinya sendiri (yaitu
mahar yang ada dalam tanggungan suami) atas utang dininya sendiri (yaitu:
kesanggupan menutup mahar tersebut sebagai tebusan talak), di mana anak wanita
tersebut di bawah ampuan ayahnya (misalnya belum balig atau gila), bahwa talak
yang dijatuhkan adalah sebagai khuluk dengan tebusan sebesar jumlah mahar
wanita tersebut dalam tanggungan sang ayah.
Tetapi,
untuk kesahan hawalah suami, disyaratkan mengalihkan piutang suami (jumlah
yang disanggupi ayah istrinya) untuk menutup utangnya kepada anak putri sang
ayah, sebab di dalam hawalah harus ada ijab (dari Muhul) dan qabul (dari
Muhtal). Dalam pada itu, hawalah hanya sah untuk separo dari keseluruhan yang
ditanggung ayah, sebab separo mahar istrinya menjadi gugur karena kebainan
dari suaminya (sebelum dijimak): Karena itu, suami masih mempunyai hak sebesar
separo mahar tanggungan ayah, sebab dengan adanya permintaan sang ayah agar
anak putrinya dicerai dengan tebusan menutup mahar anaknya, Maka tebusan
sebesar mahar itu menjadi hak suami, sedangkan sekarang kewajiban suami
membayar mahar hanya separo saja (sebab belum pernah menjimak istrinya).
Maka
jalan keluarnya (agar ayah tidak mempunyai tanggungan yang separo), adalah
sang ayah meminta suami agar mengkhuluk anak yang ada di bawah pengampuannya
itu dengan tebusan sebesar separo mahar yang masih menjadi hak wanita
ampuannya, dengan cara demikian, maka sang ayah dengan hawalah, bebaslah
seluruh utangnya kepada suami.
Guru kita berkata:
Dari apa yang akan diterangkan, bahwa Dhaman (tanggungan utang) adalah
mewajibkan ayah membayar dengan mahar mitsil, maka kesanggupan di atas adalah
seperti Dhaman juga, sekalipun tanpa melewati Hawalah.
Bila
ayah atau orang lain meminta suami anaknya mengkhuluk dengan tebusan maharnya
atau berkata “Jatuhkan talakmu kepadanya dan kamu nanti bebas dari maharnya”,
maka jatuhlah talaknya dengan raj’i dan suami tidak bisa bebas dari tanggungan
maharnya.
Tetapi, jika ayah atau orang lain
menanggung apa yang akan dituntut oleh suami, atau ia berkata: “Jatulah
talakmu kepadanya dan aku menanggung maharnya”, maka talak jatuh sebagai bain
dengan tebusan mahar mitsil atas tanggungan ayah/ orang lain.
Bila
ayah/orang lain berkata kepada orang lain: “Mintalaff si Fulan agar
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan tebusan 1.000,-“, maka untuk tetapnya
tebusan jumlah tersebut disyaratkan ada perkataan “… atas tanggunganku”.
Lain
halnya dengan ucapan istri kepada orang lain: “Mintalah kepada suamiku agar
menjatuhkan talaknya atas segini …”, maka ucapan tersebut sebagai taukil,
sekalipun tidak mengucapkan “… aku yang menanggung”.
Bila
ada seorang laki-laki berkata: “Ceraikan istrimu dengan tebusan berupa
penceraianku kepada istriku”, lalu dua suami tersebut melakukan penjatuhan
talak, maka kedua istri tersebut jatuh talak bain, karena hal itu sebagai
khuluk yang tidak rusak., karena tebusan di siri dimaksudkan. -lain halnya
dengan pendapat sebagian fukaha-: karena itu, suami tersebut satu sama lain
wajib membayar tebusan sebesar mahar mitsil bekas istri masing-masing.
Peringatan:
Perceraian
dengan lafal khuluk, adalah talak yang dapat mengurangi Jumlah talak.
Dalam
suatu pendapat yang dinash oleh Imam Syafi’i dalam kaul Kadim dan Jadidnya
dinyatakan, bahwa perceraian dengan lafal khuluk jika tidak dimaksudkan
sebagai talak, maka sebagai fasakh nikah yang tidak dapat mengurangi jumlah
talak: Karena itu, setelah terjadi khuluk berulang kali -tanpa terbatas-,
boleh mengikat pernikahan baru.
Pendapat ini
banyak dipilih oleh fukaha ashhabuna kalangan Mutakaddimun dan Mutaakhirun,
bahkan Al-Bulqini berulang kali memfatwakannya.
Adapun
perceraian dengan lafal talak dengan tebusan, adalah sebagai talak yang dapat
mengurangi jumlah talak yang dimiliki -secara pasti-, sebagaimana halnya
perceraian dengan lafal khuluk, jika dimaksudkan untuk talak.
Tetapi
Imam Al-Haramain menukil dari pendapat fukaha Muhaqqiqun mengenai ada
kepastian hukum, bahwa lafal khuluk tidak dapat berubah menjadi talak dengan
dimatkan seperti itu.
PASAL: TALAK (PERCERAIAN)
Talak menurut bahasa artinya “melepaskan ikatan tali”, sedang
menyrut syarak artinya “melepaskan ikatan dengan lafal yang dituturkan
nanti”.
Hukum talak adakalanya wajib, sebagaimana
talak seorang suami yang telah bersumpah Ila’, di mana ia tidak mau menjimak
istrinya lagi. Adakalanya sunah, misalnya suami sudah tidak mampu menunaikan
hakhak istrinya, sekalipun karena sudah tidak ada rasa tertarik kepadanya,
atau misalnya istri sudah tidak dapat menjaga kebersihan jiwanya, selama suami
tidak mengkhawatirkan bahwa dengan dicerai, istri akan berbuat keji (kepada
orang lain), atau misalnya istri berperangai buruk.
Maksud
buruk perangainya di sini, adalah sekiranya suami sudah tidak dapat sabar lagi
hidup berdampingan dengannya -menurut kebiasaan-, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Guru kita. Kalau tidak diartikan seperti itu, maka kapan bisa .ditemukan
wanita yang tidak buruk perangainya? Karena tersebut di dalam sebuah hadis:
“Wanita salehah itu laksana burung gagak Al-‘Asham”, adalah merupakan ungkapan
atas kelangkaan wujudnya, sebab burung gagak Al-‘Asham adalah burung gagak
yang kedua sayapnya berwarna putih.
Atau
(kesunahan talak) karena perintah dari salah satu kedua orangtua suami, di
mana perintah talak tersebut bukan karena mempersukarnya (tetapi ada tujuan
sahih).
Adakalanya haram, misalnya talak Bida’i,
yaitu menjatuhkan talak kepada istri yang sudah pernah dijimak, di mana saat
jatuh talak tersebut wanita dalam keadaan semacam haid atau suci yang dijimak
saat itu (padahal.istri masih produktif), dan sebagaimana menjatuhkan talak
kepada istri sebelum ja menyelesaikan hak gilirnya, misalnya juga menjatuhkan
talak oleh suami yang dalam keadaan sakit dengan tujuan menghalangi istri dari
harta pusaka.
Mengumpulkan tiga talak dalam satu
kali, hukumnya tidak haram, tetapi disunahkan menjatuhkan talak satu saja.
Adakalanya
makruh, sebagaimana selamat dari yang telah dituturkan di atas. Berdasarkan
hadis: “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak”.
Menetapkan ada kemurkaan Allah terhadap talak, adalah dimaksudkan untuk kuat
menghindari talak, bukan dimaksudkan dengan hakikat kebencian (kemurkaan) yang
sesungguhnya, sebab akan berarti menunjukkan ketidakhalalan dilakukannya.
Hanya
saja talak itu dapat terjadi pada selain wanita tertalak bain, sekalipun
wanita yang dijatuhi talak ini sudah pernah tertalak raj’i yang belum habis
masa idahnya. Karena itu, talak tidak bisa terjadi pada wanita yang dikhuluk
(sebab sudah lepas ikatan perkawinannya) dan wanita yang tertalak raj’i dan
sudah habis masa idahnya. Untuk jatuhnya talak itu harus dari seorang suami
yang kehendaknya sendiri dan mukalaf yaitu balig dan berakal sehat. Karena
itu, talak tidak bisa jatuh dari suami yang belum balig dan gila.
“Talak
bisa jatuh dari suami yang zalim, sebab menggunakan barang memabukkan: Meminum
khamar, memakan kecubung atau rumput, lantaran kemaksiatannya dalam
menghulangkan kesadaran dirinya.
Lain halnya
dengan orang yang mabuknya bukan zalim waktu menggunakan barang-barang
tersebut: misalnya ia dipaksa menggunakan barang tersebut atau tidak
mengetahui, bahwa barang itu dapat memabukkan. Karena itu, talak yang
dijatuhkan orang seperti ini tidak dihukumi terjadi, jika ia tidak tamyiz
lagi, lantaran ia tidak gegabah dalam menggunakan obat (barang) tersebut.
Orang
yang mendakwa, bahwa dirinya dipaksa menggunakan barang-barang yang memabukkan
dapat dibenarkan cara disumpah, jika indikasi yang menunjukkannya, misalnya ia
berada dalam penahanan. Kalau tidak indikasi semacam ini, maka ia harus
mengajukan bayinah.
Talak yang keluar dari suami
yang bergurau dihukumi jatuh: misalnya ia sengaja menyebutkan kata talak bukan
maknanya, misalnya oleh Suami yang main-main dalam menjatuhkan talaknya:
misalnya tidak bermaksud apa-apa dari kata talak yangia ucapkan.
Menceritakan
talak orang lain, pencontohan ahh fikih terhadap talak dan pengucapan talak
tanpa didengar oleh dirinya sendiri, adalah tidak membawa akibat sama sekali
terhadap istri orang tersebut.
Fukaha sudah
sepakat tentang jatuh talak suami yang sedang marah, sekalipun ia mendakwa
kesadaran dirinya hulang ketika ia marah.
Orang
yang dipaksa -bukan dengan semestinyauntuk melakukan talak dengan diancam
sesuatu yang menakutkan dan patut terjadinya -misalnya ditahan yang lama atau
sebentar untuk orang yang mempunyai muruah, ditempeleng di muka orang banyak
bagi yang bermuruah dan dihancurkan harta orang yang sempit perekonomiannya,
berbeda halnya 5 dirham bagi orang kaya-, adalah dihukumi tidak jatuh.
Syarat
terjadi pemaksaan (yang mengakibatkan talak bisa jatuh) adalah kemampuan
pemaksa untuk mewujudkan ancamannya dengan seketika lantaran mempunyai
kekuasaan atau gagah dirinya, sedang pihak yang dipaksa tidak mampu menolaknya
dengan cara lari atau munta tolong dan ia mempunyai perkiraan, bahwa bila ia
membangkang, maka ancaman itu segara terwujudkan.
Karena
itu, “kelemahan” belum dianggap nyata tanpa terkumpul hal-hal di atas.
Paksaan
di sini tidak disyaratkan tauriyah (pengkaburan makna yang diucapkan orang
yang dipaksa), misalnya berruat kepada wanita lain atau secara pelan-pelan
mengucapkan “Insya Allah” setelah mengucapkan kata talak.
Bila
orang yang dipaksa bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah -sama dengan
yang dipaksa karena semestinya, misalnya pihak pemilik gawad berkata “Ceraikan
istrimu, jika tidak mau, maka aku pasti membunuhmu”, lalu ia menjatuhkan
talaknya-, atau ada orang berkata ‘ kepada orang lain: “Cerailah istrimu, atau
pilih kubunuh kamu besok”, lalu ia menjatuhkan talak. Maka dalam dua contoh
ini, jatuhlah talaknya.
Jatuh talak tersebut
adalah dengan lafal yang sharih -yaitu lafal yang lahirnya tidak dapat
mencakup makna selain talak-: misalnya lafal yang musytaq dari “talak”,
sekalipun diucapkan oleh orang non Arab yang mengetahui bahwa lafal itu
digunakan untuk melepas ikatan seorang suami dari istrinya, sekalipun aslinya
sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.
Misalnya
lagi lafal yang musytag dari Firaq (berpisah) atau Sarah (Lepas), karena
ketiga kata di atas telah berulang-ulang disebut di dalam Alqur-an.
Misalnya
“Thallaqtuki/Thallaqtu zaujati (Kutalak kamu/Kutalak istrimu)”, dan
“Sarrahtuki/ Sarrahtu zaujati” (Kulepaskan kamu/Kulepaskan istriku), dan
“Farraqtuki/Farraqtu zaujati” (Kupisahkan kamu/Kupisahkan istriku), dan
seperti “Anti thaligun/ Muthallaqatun/Mufaraqatun/ Musarrahatun”‘ (Kamu
tertalak/ ditalak/dipisahkan/dilepaskan). Adapun penggunaan masdar (akar kata)
dari semua lafal di atas, adalah sebagai kinayah talak, misalnya “Anti
thalaqun/ Firaqun/Sarahun'”‘ (Engkau adalah tertalak/perpisahan/ perlepasan).
“
Peringatan:
Disyaratkan
menuturkan maf’ul bih (objek penderita) bersama semacam “Thallaqtuki”, dan
menuturkan mubtada’ (subjek) bersama semacam “Thaliqun”.
Bila
salah satu bagian kalimat tersebut hanya diniatkan dalam hati orang yang
mengucapkan, maka tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana ia berkata:
Thaliqun (… adalah tertalak) sambil meniatkan kata “Anti” (kamu…), atau
mengatakan Imra-ati (istriku …) sambil meniatkan kata “Thaliqun” (… adalah
tertalak)
Kecuali bila “wanita (istri)”
sebelumnya telah dituturkan dalam suatu permintaan, misalnya: “Talaklah
istrimu”, lalu suami berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan maf’ul bihnya,
atau suami menyerahkan talak kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu istri
berkata: “Thallaqtu”, tanpa menuturkan “nafsi” (diriku): maka dalam dua contoh
ini talak tetap jatuh.
Lalu jatuh juga, talak
yang menggunakan terjemah dari musytaq ketiga lafal di atas (talak, firak dan
sarah), sebab terjemah lafal Talak adalah sharih menurut mazhab, dan untuk
terjemah dua yang lainnya, juga sharih menurut pendapat Al-Muktamad.
Al-Adzra’i menukil dari segolongan fukaha tentang ada kemantapan pada yang
muktamad ini.
Termasuk talak yang sharih, adalah
“A ‘thaitu/Qultu thalaqaki” (Saya berikan/Saya ucapkan talakmu), atau
“Auqa’tu/Alqaitu/Wadha’tu ‘alaikith thalaq” (Kujatuhkan/
Kucampakkan/Kuletakkan talak/ Talakku pada dirimu), dan “Ya . Thaliq” (Hai
yang tertalak) dan “Ya Muthallaqah” (Hai wanita yang tertalak).
Tidak
termasuk talak yang sharih “Anti Thalaq” (Engkau adalah talak), dan “Lakath
Thalaq” (Untukmu talak). Tetapi, dua ini adalah kinayah dari talak,
sebagaimana kinayah pula pada: “Jika kamu berbuat begini …, maka di situlah
talakmu”, atau “…, maka itulah talakmu”, menurut yang dilahirkan oleh Guru
kita, sebab bentuk masdar (akar kata)itu tidak dapat digunakan makna ain
(benda wujud dalam susunan Ikhbar), kecuali karena tawassu’ (memberikan
kelapangan).
Beberapa Cabang:
Bila
istri berkata kepada suaminya. “Talaklah aku”, lalu suami berkata. “Dia wanita
yang tertalak”, maka dakwaan suami bahwa yang dimaksudkan itu bukan istrinya,
adalah tidak dapat diterima, karena dengan didahului permintaan istri, membuat
lafal arahnya ke situ.
Dari keterangan ini, bila
sebelumnya tidak dituturkan “istri” terlebih dahulu, maka dikembalikan pada
niat suami, dalam contoh: “Kamu tertalak”, di mana istrinya tidak hadir di
tempat itu, atau “Dia tertalak”, padahal istri ada di tempa.
Al-Baghawi
berkata: Bila suami berkata: “Hampir saja aku tidak menalakmu”, maka itu
adalah ikrar keberadaan talak.
Bila suami berkata
kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka itu berarti ada ikrar talak.
Al-Muzajjad
berkata: Bila seorang Suami berkata: “Wanita ini adalah Istri si Fulan”, maka
dihukumi lepas Ikatan nikah.
Ibnush Shalah
berfatwa mengenai suami yang berkata: “Bila aku meninggalkannya selama satu
tahun, maka aku sudah tidak menjadi suaminya lagi”, bahwa perkataan tersebut
secara lahir adalah ikrar lepas ikatan perjodohan setelah satu tahun suami
meninggalkannya, Karena itu, setelah masa satu tahun dan habis idah wanita
tersebut, ia boleh kawin dengan laki-laki lain.
Beberapa
Faedah:
Bila seorang berkata kepada orang lain:
“Adakah kamu menalak istrimu?” dengan maksud agar suami tersebut menjatuhkan
talaknya, lalu ‘ dijawab: “Ya”, atau “Benar”, maka jatuhlah talaknya secara
sharih.
Bila menjawab: “Kutalak” saja, maka
talaknya kinayah talak, sebab kata “ya” adalah tertentu untuk jawaban, sedang
kata “kutalak”, . masih bebas: Bisa sebagai jawaban. dan bisa sebagai
permulaan.
Adapun bila pertanyaan tersebut hanya
dimaksudkan untuk mencan berita, lalu yang ditanya menjawab: “Benar/ya”, maka
sebagai ikrar. ada talak dan menurut hukum lahir talaknya jatuh bila yang
diikrarkan adalah kedustaan, sedang menurut hukum akhirat, talaknya tidak
jatuh. Demikian juga jatuh talaknya, bila Ia tidak mengetahui maksud orang
yang bertanya kepadanya.
Bila suami berkata:
“Saya maksudkan talak kemarin dan saya sudah rujuk”, maka ia bisa dibenarkan
dengan disumpah, sebab terdapat keraguan dalam dakwaannya.
Bila
ada orang berkata kepada suami yang menjatuhkan talaknya: “Apakah kamu
menjatuhkan talak tiga pada istrimu? Lalu dijawab: “Saya : menalak”, dengan
maksud talak satu, maka bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebab kata-kata “aku
menalak” Adalah bisa sebagai jawaban dan bisa sebagai permulaan.
Dari
keterangan ini, bila istri berkata: “Talak tigalah diriku”, lalu suami
berkata: “Kutalak” dan ia tidak berniat jumlah talak,. maka talak jatuh
satu.
Bila suami berkata kepada ibu mertuanya:
“Anak putrimu tertalak”, dan katanya lagi: “Yang kumaksud anak putrinya yang
lain”, maka ia bisa dibenarkan dengan sumpahnya, sebagaimana ia mengatakan
kepada istrinya dan wanita lain: “Salah satu dari kalian tertalak”, dan
katanya lagi: ” Yang kumaksud adalah wanita lain”, hal itu karena berkisar
lafal pada dua makna tersebut, karena itu, bisa dibenarkan menurut yang ia
maksudkan.
Lain halnya bila suami berkata:
“Zainab jatuh talaknya”, padahal nama istrinya adalah Zainab, dan ia bermaksud
wanita lain yang namanya juga Zainab, maka secara lahur ucapan Suami (yang
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita lain), tidak bisa diterima dan
secara batin dihukumi menurut yang terjadi sebenarnya.
Penting:
Bila
orang awam berkata: “A ‘thaitu talaqa Fulanah/Thalakaha/ Dalaqaha”‘, maka
dengan ucapan itu, jatuhlah talaknya. :
Talak
tersebut adalah sharih bagi suami yang awam, yang hanya bisa mengucapkan
dengan kata yang diganti seperti itu, atau bagi suami yang dialek bahasanya
memang begitu, sebagaimana “yang telah dijelaskan oleh Al-Jalal Al-Bulqini dan
dipedomi oleh segolongan fukaha Mutaakhirun serta difatwakan oleh segolongan
dari guru-guru kita.
Bila lisan dapat mengucapkan
kalimat talak yang benar, maka bila ja mengucapkan dengan kata-kata di atas,
maka talaknya adalah kinayah, “sebab penggantian kata menjadi seperti itu, ada
asalnya.
Talak juga bisa jatuh dengan kinayah
yang disertai niat menjatuhkan talak pada permulaan kalimat kinayah. Kinayah
adalah kata-kata yang bisa diartikan talak dan bisa diartikan tidak.
Ungkapanku
“yang disertai niat pada awal kalimatnya”, adalah menurut pendapat yang
diunggulkan oleh banyak fukaha dan dipedomi oleh Al-Asnawi dan Syekh Zakariya
‘dengan mengikuti pendapat segolongan fukaha Muhaqqiqin.
Dalam
Ashlur Raudhah, AnNawawi mengunggulkan, bahwa cukup dengan disertakan pada
sebagian lafal kinayah, sekalipun pada akhir bagiannya.
Kinayah
talak misalnya: “Engkau haram bagiku”, “Engkau kuharamkan”, atau ” Apa yang
dihalalkan oleh Allah, adalah haram bagiku”, sekalipun orang-orang sudah
membiasakan kata tersebut sebagai talak: lain halnya dengan pendapat
Ar-Raf’i.
Bila suami yang mengatakan demikian
berniat keharaman mata, semacam farji atau menjimaknya, maka istri tersebut
tidak haram bagi suaminya, dan suami berkewajiban seperti kafarat dalam
sumpah, sekalipun ia tidak menjimaknya.
Bila
suami berkata: “Pakaian/ Makanan ini haram bagiku”, maka : adalah sia-sia dan
tidak membawa: akibat apa-apa.
Contoh kinayah
lagi adalah: “Kamu kosong dari suami”: “Kamu bebas dari suami”, atau “Engkau
dipisahkan”. Kinayah talak lagi: “Engkau merdeka”: “Engkau dilepaskan”, atau
“Kulepaskan dirimu”.
Contoh kinayah talak lagi:
“Engkau seperti ibuku/anak putriku/saudara putriku”, dan misalnya lagi:
“Wahai, anak putriku”, yang diucapkan kepada istri yang pantas sebagai anak
putrinya, karena memandang usianya, sekalipun istrinya adalah wanita yang
diketahui nasabnya.
Misalnya lagi: “Engkau
kumerdekakan/Kutinggalkan kamu/Kuputus nikahmu/Kusisihkan kamu/Kuhalalkan kamu
atas suami-suami yang lain/Dirimu kusekutukan bersama Fulanah”, sedang Fulanah
telah tertalak dari suaminya atau orang lain.
Misal
yang lain lagi: “Kawinlah kamu”, dengan maksud “…, karena aku telah
menalakmu”, atau “Kamu halal untuk selainku”, lain halnya dengan ucapan suami
kepada wali istrinya: “Kawinkan dia”, maka untuk yang terakhir im adalah talak
yang sharih.
Misal yang lain: “Idahlah kamu”,
dengan maksud “…, karena aku telah menalakmu”, dan “Tinggalkanlah aku”, dengan
maksud “… karena aku telah menalakmu”.
Misalnya
lagi: ” Ambillah talakmu”, dan “Aku sudah tidak membutuh’kanmu lagi”, dengan
maksud “…, karena aku telah menalakmu”, juga “Engkau bukan istriku”, jika
diucapkan bukan sebagai jawaban dakwaan, tetapi bila diucapkan sebagai jawaban
dakwaan, maka menjadi ikrar talak.
Misal lain
lagi: “Hilanglah talakmu/ Gugur talakmu, jika kamu melakukan begini …”
Misalnya
lagi: “Talakmu satu/dua”: jika dimaksudkan menjatuhkan talak, maka jatuhlah,
tetapi jika tidak, maka tidak jatuh. Misal kinayah talak lagi: “Untukmu talak/
talak satu”, dan “Selamat buatmu”, menurut yang dikatakan oleh Ibnush Shalah
dan Guru kita telah menukilkannya di dalam Syarhul Minhaj.
Tidak
termasuk kinayah talak: “Talakmu adalah cacat/kurang”, dan tidak pula: “Aku
katakan/Aku berikan kalimatmu/hukummu”. Dengan mengucapkan kalimat tersebut,
talak tidak dapat jatuh, sekalipun berniat talak, sebab kalimat-kalimat
tersebut tidak termasuk kinayah talak yang mengandung makna talak tanpa
memaksakan arti. Kemasyhuran penggunaan kalimat tersebut untuk arti talak di
suatu daerah, adalah tidak membawa akibat apa-apa, sebagaimana yang difatwakan
oleh segolongan fukaha Muhaqqiqun dari guru-guru kita di masa kita.
Bila
suami mengucapkan lafal yang tidak terpakai (mulghah) di atas, dengan maksud
untuk perceraian, lalu ada orang lain bertanya kepadanya: “Apakah istrimu kau
talak?”, dan dijawab: “Ya”, karena mengira bahwa talak dapat jatuh dengan
lafal yang telah ia ucapkan pertama, maka talak tidak dapat jatuh, sebagaimana
yang difatwakan oleh Guru kita.
Al-Bulqini
ditanya mengenai seorang suami yang berkata kepada istrinya: “Engkau haram
bagi diriku”, dengan mengira bahwa dengan perkataan tersebut, istrinya jatuh
talak tiga, lalu ia berkata lagi kepada istrinya: “Kamu tertalak”, karena
mengira istrinya telah tertalak tiga dengan ucapan pertamanya, maka jawab
“beliau: Talak tidak jatuh dengan kalimat ucapan kedua, atas perkiraan seperti
tersebut. Selesai.
Bagi orang yang mengira
kebenaran suami (dalam perkiraannya), boleh tidak memberikan kesaksian ada
kejatuhan talak tiga.
Cabang:
Bila
seorang suami menulis surat penalakan yang sharih atau kinayah, di mana ia
tidak bermat menjatuhkan talak, maka apa yang ia tulis adalah sia-sia belaka,
selagi ketika menulis surat atau sesudahnya, ia tidak mengucapkan kesharihan
surat talak.
Tetapi ucapan suami berikut ini bisa
diterima: “Aku bermaksud membaca surat, bukan menalak”, sebab ada kemungkinan
benar apa yang diucapkan tersebut.
Lafal kinayah
talak yang sebelumnya telah didahului permintaan istri untuk talak atau ada
indikasi kemarahan dan lafal-lafal kinayah yang masyhur diartikan sebagai
talak, adalah tidak dapat disamakan dengan lafal talak yang sharih (sehingga
tidak butuh ada niat lagi !).
Suami yang
memungkiri ada niat dalam ucapan talak kinayahnya, adalah dapat dibenarkan
dengan bersumpah, bahwa dirinya tidak berniat menjatuhkan talak. Karena itu,
keterangan yang bisa diterima tentang ada atau tidak niat, adalah keterangan
orang yang meniatkannya, sebab yang bisa diketahui hanyalah dari dirinya
sendiri.
Bila sudah mungkin diselidiki (ditanyai)
mengenai niatnya -sebab sudah mati atau hilang-, maka tidak dapat dihukum:
jatuh talak, sebab dasar asalnya adalah kelanggengan ikatan pernikahan.
Beberapa
Cabang:
Al-Muzajjad di dalam Al-‘Ubab berkata:
Barangsiapa yang nama istrinya semisal Fatimah, lalu ia mengucapkan: “Fatimah
tertalak”, sebagai permulaan ucapan ataupun jawaban atas permintaan istrinya
agar menalak, dan ia bermaksud Fatimah yang bukan istrinya, maka ucapan suami
tersebut tidak dapat diterima.
Barangsiapa yang
berkata kepada istrinya: “Hai, Zainab! Kamu terta-lak”, padahal nama istrinya
adalah Umrah, maka istrinya tetap jatuh tertalak, karena ada isyarah huruf
nida’ di situ.
Bila seorang suami berisyarah
kepada wanita lain dan berkata: “Hai, Umrah! Kamu tertalak”, padahal nama
istrinya adalah Umrah, maka talaknya tidak dapat jatuh kepada istrinya.
Barang
siapa berkata: “Istriku tertalak” sambil menunjuk salah satu dari dua
istrinya, sedang ia bermaksud menalak istri yang tidak ditunjuk, maka dengan
bersumpah dapat dibenarkan pengakuannya.
Barangsiapa
mempunyai dua istri, yang kedua-duanya bernama Fatimah binti Muhammad, sedang
satunya Fatimah binti Zaid, lalu ia berkata: “Fatimah binti Muhammad tertalak”
dan ia berniat pada Fatimah binti Zaid, maka peniatan yang ia lakukan adalah
bisa diterima.
Selesai.
Guru kita
berkata: Dalam hukum lahir (dunia) masalah yang pertama (yang nama istrinya
Fatimah) adalah tidak bisa diterima, tetapi menurut hukum di akhirat nanti,
tinggal niat sebenarnya yang ada. Tetapi, pendapat yang mengatakan bahwa
maksud hati suami atas penalakan istrinya bernama Fatimah itu bisa diterima,
adalah pendapat yang dikedepankan (ittijah). Selesai.
Bila
seorang suami berkata: “Istriku yang bernama Aisyah binti Muhammad adalah
tertalak”, sedang nama istrinya adalah Khadijah binti Muhammad, maka talak
tetap jatuh, sebab kekeliruan menyebutkan nama itu, tidak jadi masalah.
Bila
seseorang berkata kepada anak laki-lakinya yang sudah balig: “Katakan kepada
ibumu: Engkau tertalak”, dan ia tidak bermaksud mewakilkan, maka bisa jadi
mewakilkan (dianggap mewakilkan): karena itu, jika perkataan tersebut :
disampaikan oleh anak laki-laki tersebut kepada ibunya, maka jatuhlah
talaknya, sebagaimana kalau sang ayah/suami bermaksud mewakilkan: dan bisa
juga sang ibu/ istri sudah tertalak dan sang putra hanya menyampaikan berita
tersebut.
Al-Asnawi berkata: Sumber kebisajadian
di sini adalah bila perintah untuk melakukan sesuatu, kita jadikan sebagai
perintah (orang) pertama, maka perintah untuk menyampaikan berita adalah
berkedudukan sebagai pemberitahuan langsung dari ayah (kepada ibu/ istri):
karenanya talak bisa jatuh: Tetapi, bila kita tidak memberikan kedudukan
seperti itu, maka talak tidak bisa jatuh. Selesai.
Syekh
Zakanya berkata: Kita gans bawahi, sebaiknya sang ayah dimintai penjelasannya:
jika sulit untuk itu -mungkin sebab mati atau hilang-, maka diberlakukan
ihtimal (kemungkinan) yang pertama, sehungga talak tidak jatuh dengan ucapan
sang ayah tersebut, tetapu jatuhnya dengan ucapan si anak kepada ibunya, sebab
talak itu tidak dapat jatuh dengan keraguan.
Bila
seorang suami berkata kepada istrinya: “Kutalak kamu” dan berruat ada bilangan
talak dua atau satu, maka talak jatuh seperti yang diruatkan, sekalipun pada
istri yang belum pernah dijimak. Apabila ia tidak berruat bilangan talak, maka
talak jatuh satu.
Bila ia ragu berapa bilangan
talak yang diucapkan atau diniatkan, maka yang diambil adalah bilangan yang
paling kecil, dan tidak samar ada. sifat warak di sini.
Cabang:
Bila
suami berkata: “Kutalak satu kamu dan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana
yang nyata, dan sebagian fukaha Muhaqqiqun di masa kita berfatwa demikian.
Bila
suami berkata kepada istri yang sudah pernah dijimak: “Kamu tertalak satu,
bahkan dua”, maka jatuh talak tiga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh
Zakariya dalam Syarhur Raudh.
Talak bisa jatuh
dengan wakil penalakan mengatakan: “Saya menalak si Fulanah” dan sebagainya,
sekalipun waktu menjatuhkan talak ia tidak berniat, bahwa dirinya menjatuhkan
talak atas nama Muwakilnya.
Bila seorang suami
berkata kepada orang lain: “Aku berikan/Aku jadikan talak istriku di tanganmu”
atau “Berangkatlah dengan membawa talaknya dan berikanlah kepadanya”, maka
ucapan itu adalah perwakilan, yang talak bisa jatuh dengan penjatuhan talak
oleh si wakil, bukan dengan ucapan sang suami seperti itu.
Bahkan
perceraian mulai terjadi sejak waktu wakil menjatuhkan talak, kapan saja ia
mau dengan ucapannya: “Kutalak si Fulanah”, bukan dengan pemberitahuan wakil
kepada istri: “Si Fulan mengirimkan lewat dua tanganku atas talakmu”, dan
bukan pula dengan memberitahukan kepadanya: “Sesungguhnya suamimu telah
menalak”.
Bila suami berkata kepada wakil: “Talak
jangari kamu berikan, kecuali pada hari beginu…”, maka talak harus ja jatuhkan
pada hari yang telah ditentukan oleh suami atau sesudahnya, bukan sebelumnya.
Kemudian, jika suami bermaksud membatasi pada suatu hari tertentu, maka wakil
hanya bisa menjatuhkan talak pada han itu saja, tidak boleh setelahnya.
Bila
suami berkata kepada istrinya yang mukalaf dengan cara munajjaz (tidak
digantungkan pada suatu kejadian): “Talaklah dirimu sendiri, jika kamu mau”,
maka adalah memberikan hak milik penalakan, bukan mewakilkannya.
Telah
dibahas, bahwa termasuk memberikan hak milik penalakan adalah ucapan suami:
“Talaklah aku”, laluistri berkata: “Engkau tertalak tiga”, tetapi ini adalah
kinayah talak: karena itu, jika suami berniat menyerahkan talak kepada istri,
maka jatuhlah talaknya, tetapi jika tidak berniat seperti itu, maka tidak
jatuh.
Dikecualikan dari batasanku “mukalafah”,
adalah rstri yang tidak mukalaf, lantaran pernyataan yang disampaikan dihukumi
rusak. Dikecualikan juga dari batasanku “munajjaz”, adalah talak yang
digantungkan dengan sesuatu, karena itu, bila seorang suami berkata: “Bila
telah datang bulan Ramadhan, maka talaklah dirimu”, adalah sia-sia belaka.
Bila
kita katakan bahwa ucapan suami di atas (Talaklah dirimu jika mau) sebagai
penyerahan talak (pemberian hak milik talak), maka untuk jatuh talak yang
diserahkan di tangan istri, disyaratkan adanya dengan seketika -sekalipun
dengan kinayah-: dalam arti antara penye. rahan suami dengan penjatuhan talak
tidak dipisah dengan pemisah.
Tetapi, bila suami
berkata kepada istrinya: “Talaklah dirimu”, lalu “istrinya berkata: “Bagaimana
aku dapat menalak diriku sendiri?” lalu ia berkata lagi: “Saya talak”, maka
jatuhlah talaknya, sebab pemisahnya hanya sedikit.
(Penalakan
istri yang telah diserahi oleh suaminya) adalah dengan ucapan istri: “Kutalak
diriku”, atau hanya “Kutalak”, tidak sah dengan “Kuterima”.
Sebagian
fukaha -sebagaimana pula peringkas Ar-Raudhah (Al-Muzajjad)berkata: Penalakan
tidak disyaratkan dilakukan dengan seketika pada ucapan suami: “Kapan saja
kamu bermaksud …”: Karena , Itu, ia bisa menjatuhkan talak kapan saja. Pemilik
At-Tanbih dan Al-Kifayah (Ibnur Rif’ah) memantapi pendapat ini.
Tetapi
yang muktamad sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita, bahwa disyaratkan
“dengan seketika”, sekalipun suami mengatakan dengan semacam “Kapan saja…”.
Suami
diperbolehkan menarik kembali sebelum istri mengucapkan penolakannya,
sebagaimana pada akad-akad yang lain.
Faedah:
Penggantungan
talak -sebagaimana panggantungan pembebasan budak-, diperbolehkan dengan
beberapa syarat (huruf taklik): suami tidak boleh menarik kembali taklik
talaknya sebelum terjadi sifat yang menjadi penggantungannya dan talak dapat
jatuh sebelum sifat yang menjadi penggantungan talak itu terwujud.
Bila
suami mentaklik talak pada suatu perbuatan, lalu suami melakukan perbuatan itu
lantaran lupa dengan takliknya atau tidak tahu kalau perbuatan tersebut adalah
tempat pentaklikannya, maka istri tidak jatuh talaknya.
Bila
suami mentaklik talak pada perbuatannya memukul istrinya tanpa salah, lalu
istri memakinya, kemudian dipukul, maka suami tidak melanggar takliknya, jika
makian istri tersebut bisa dibuktikan kebenaran (dengan bayinah atau ikrar
istri): kalau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka istri dibenarkan
dakwaannya (tidak memaki), lalu disumpah.
Penting:
Diperbolehkan
mengadakan pengecualian dengan semacam huruf Illa (dan huruf-huruf istitsna
lainnya) dengan syarat ucapannya dapat didengarkan dirinya sendiri dan
disebutkan bersambung dengan bilangan talak yang diucapkan, misalnya: “Kutalak
tiga kamu, kecuali dua”, maka jatuh talak satu, atau “… kecuali satu”, maka
jatuh talak dua.
Bila suami berkata: “Kamu
tertalak, insya Allah”, maka talaknya tidak jatuh.
Orang
yang mendakwakan dirinya dipaksa menalak, dirinya ayan ketika menalak atau
terlanjur mengucapkan talak, adalah dapat dibenarkan dengan sumpah, jika ada:
indikasi (qarinah)nya di sana.
Misalnya terjadi
penahanan pada dirinya atau lainnya dalam dakwaan, bahwa dirinya dipaksa, dan
misalnya karena sakit dan biasa pingsan dalam dakwaan bahwa dirinya ayan
misalnya lagi keadaan nama istrinya Thali’ atau Thalib dalam dakwaan terlanjur
lisan dalam mengucapkan nama istrinya.
Kalau
tidak ada indikasi seperti itu, maka suami tidak dapat dibenarkan dengan
adanya bayinah.
Penyempurna:
Barangsiapa
berkata kepada istrinya: “Wahai, wanita kafir”, dengan maksud kafir
sesungguhnya, maka berlaku untuk wanita itu segala yang ditetapkan dalam
masalah murtad (bila ia belum dijimak, maka perceraian terjadi dengan
seketika, sebab suaminya kafir dan seterusnya). Kalau kata-kata tersebut
dimaksudkan untuk memaki-maki istrinya, maka talak tidak jatuh.
Begitu
juga tidak jatuh talak, jika suami tersebut, tidak bermaksud apa-apa, karena
pendasaran asal atas ‘kelanggengan ikatan nikah, dan karena perkataan seperti
itu banyak terjadi untuk memaki yang dimaksudkan mengufuri nikmat.
Cabang
Mengenai Hukum Wanita yang Tertalak Tiga
Haram
bagi laki-laki merdeka menikahi wanita yang telah ia talak tiga -walaupun
belum pernah dijimak-, dan haram bagi budak menikahi wanita yang telah ia
talak dua, baik dalam satu atau beberapa nikah, hingga wanita itu nikah lagi
dengan laki-laki Lain secara sah, lalu ditalaknya dan habis masa idahnya dani
laki-laki tersebut, sebagaimana yang dimaklumi bersama, serta lakilaki itu
telah memasukkan kepala zakar atau seukur kepala zakarnya -bila putus- ke
dalam lubang vagina, serta selaput daranya sampai pecah bagi wanita yang masih
perawan.
Masuknya kepala zakar itu disyaratkan
dengan ereksi (tegang), sekalipun lemah atau dibantu dengan menggunakan
semacam jari-jari ketika memasukkan zakar. Di sini tidak disyaratkan ada
ejakulasi (inzal).
Keharaman menikahi wanita
tersebut, adalah berdasarkan ayat Alqur-an.
Hikmah
disyaratkan Tahlil, membuat suami agar menghindari menghabiskan talaknya.
Ucapan
istri tertalak tersebut mengenai ada Tahlil dan idahnya sudah habis dari
Muhallil, adalah bisa diterima, sekalipun suami kedua (Muhallil)
mendustakannya mengenai persetubuhannya, karena dirasa sulit untuk membuktikan
kebenaran ada persetubuhan.
Bila istri tertalak
itu mendakwakan ada pernikahan dan habis masa idah dari suami keduanya serta
ia telah bersumpah, maka bagi suami pertama boleh menikahinya lagi -sekalipun
ia memperkirakan kedustaan istri tersebut-, sebab yang menjadi dasar penilaian
dalam segala akad adalah ucapan para pengikat itu sendiri, sedang perkiraan
yang tidak berdasar, adalah tidak menjadi dasar ukuran.
Bila
suami kedua mendakwa, bahwa dirinya telah menjimaknya dan pihak istri
mengingkarinya, maka wanita itu tidak halal untuk bekas suami pertama.
Bila
wanita tersebut berkata “Saya belum nikah lagi”, Jalu sa mendustakan dinnya
sendin dan mendakwa bahwa dirinya telah merukah denyan syarat seperti ds atas,
maka bagi suami pertama boleh memkahinya, Jika ia membenarkan ucapan itu,
Bila
wanita tertalak itu membentahukan kepada mantan suami pertamanya, bahwa
dirirrya telah Tahlil, lalu menarik kembali pemberitaannya dan ia mendustakan
dirinya, maka dakwaan (kekeliruan dirinya dalam pemberitaan) dapat diterima,
jika belum diadakan akad mukah dengan mantan suami pertama. Karena itu, suami
pertama tidak boleh menikahinya.
Tetapi, kalau
pengingkaran Tahlil oleh wanita diatas terjadi setelah diakadkan nikah dengan
mantan suami pertama, maka tidak dapat diterima, karena kerelaannya nikah
dengan mantan suami yang pertama, mengandung pengakuan ada tahlil, maka
dakwaan yang bertentangan dengan hal itu tidak dapat diterima, sekalipun suami
kedua membenarkan mantan istrinya, bahwa ia belum menjimaknya, sebab hak
memanfaatkan farji di sini hubungannya dengan suami pertama, Oleh karena Itu,
istri sendiri atau suami kedua yang membenarkannya, tidak dapat menghilangkan
hak tersebut, sebagaimana yang difatwakan oleh segolongan syekh kita
Al-Muhaqiqun.
Penyempurna:
Hanya
saja penetapan (itsbat) talak itu dengan persaksian dua laki-laki adil yang
merdeka, sebagaimana halnya ikrar keberadaan talak.
Karena
itu, talak tidak bisa dihukumi jatuh dengan persaksian beberapa wanita
-walaupun bersama seorang laki-laki-, 4 orang wanita, para hamba -sekalipun,
mereka adalah
orang-orang baik-, atau orang-orang fasik, sekalipun
kefasikannya berupa menunda pengerjaan salat fardu sampai keluar waktu tanpa
uzur.
Disyaratkan untuk kesahan Adausy Syahadah
(memberikan persaksiari) dan Qabulusy Syahadah (penerimaan persaksian), dua
saksi itu mendengar ucapan talak dan melihat orang yang menjatuhkan talak
ketika mengucapkannya.
Karena itu, tidak sah
Tahamulusy Syahadah (mengambil kesaksian) dua orang saksi yang berpedoman pada
suara yang mereka dengar, tanpa melihat orang yang menalak, lantaran
kemungkinan terjadi suara yang serupa.
Disyaratkan
dua saksi tersebut menerangkan lafal suami yang menjatuhkan talak sharih atau
kinayah lafal yang diucapkan.
Dalam masalah
talak, persaksian dari ayah wanita yang tertalak dan anak laki-lakinya, adalah
bisa diterima, jika keduanya memberikan persaksian secara hisbah.
Bila
bertentangan antara bayinah yang menyatakan ada taklik dengan bayinah yang
menyatakan ada tanjiz, maka dimenangkan bayinah taklik, karena dengan bayinah
ini terdapat tambahan pengetahuan, yaitu dengan mendengar ada pentaklikan
talak.
PASAL: RUJUK
Menurut bahasa, Raj’ah artinya sekali kembali, sedang menurut
syarak, adalah mengembalikan istri yang masih dalam idah talak, bukan bain
pada perrukahan semula.
Sebelum habis idah, sah
merujuk istri yang diceraikan secara gratis, setelah pernah dijimak dan talak
yang dijatuhkan bukan dalam hitungan maksimal, yaitu talak tiga untuk suami
yang merdeka dan talak dua untuk suami budak.
Tidak
sah merujuk wanita yang diceraikan, bukan dengan talak -misalnya fasakh-, dan
diceraikan kurang dari talak tiga, tetapi memakai tebusan -misalnya khuluk
lantaran bainunah istri-, dan diceraikan sebelum pernah dijimak -lantaran
tidak punya idah-, dan wanita yang sudah habis idahnya -lantaran telah menjadi
wanita lain-.
Wanita-wanita yang tidak sah
dirujuk di atas, adalah sah diperbaruhi nikahnya dengan izin baru, wali, saksi
dan mahar yang lain.
Tidak sah pula merujuk
wanita Yang telah ditalak tiga, dan tidak tah menikahinya, kecuali setelah ada
Tahlil (pernikahan dengan laki-laki, dengan syarat-syaratnya).
Hanya
saja kesahan rujuk itu dilakukan dengan shighat: “Saya merujuk kembali
istriku/si Fulanah” sekalipun tidak mengatakan “kepadaku/nikahku”, tetapi
sunah menambahkan salak satunya pada shughat di atas.”
Sah
juga rujuk dengan mengatakan: “Dia saya kembalikan kepada nikahku”, juga
dengan “Saya menahannya”.
Adapun akad nikah
padanya dengan ijab dan qabul, adalah kinayah rujuk yang membutuhkan niat.
Tidak
sah mentaklikkan rujuk, misalnya: “Aku merujukmu, jika kamu mau”, Tidak
disyaratkan mempersaksik?” rujuk, tapi cuma sunah saja.
Beberapa
Cabang:
Haram melakukan Tamattu’
(bersenang-senang) pada wanita yang ada dalam idah raj’iyah, walaupun hanya
memandangnya semata. Jikasampai menjimaknya, maka tidak boleh di-Had, tapi
cukup ditakzir.
Dengan bersumpah, wanita bisa
dibenarkan dakwaannya yang mungkin terjadi mengenai habis masa idah yang
dihitung dengan bukan bulanan -dengan quru’ atau kelahiran-, sekalipun
mengingkari atau menyelisihi adatnya (dalam haid), sebab para wanita adalah
orang yang dipercayai mengenai kandungannya.
Bila
suami mendakwa telah merujuk istrinya dalam idah, di mana wanita tersebut
telah habis masa idahnya dan belum bersuami lagi, bila kedua belah pihak
sepakat mengenai waktu habis idah -misalnya hari Jumat-, dan suami berkata:
“Aku merujuknya sebelum hari itu”, lalu wanita itu berkata: “Tidak sebelum
hari itu, tetapi setelahnya”, maka wanita itu diambil sumpahnya, bahwa ia
tidak mengetahui rujuk, suami, kemudian dibenarkan, sebab dasarnya adalah
rujuk ndak terjadi sebelum hari Jumat.
Bila kedua
belah pihak sepakat mengenai waktu rujuk -misalnya han Jumat-dan istri
berkata: “Idah habis pada hari Kamis”, dan suami berkata: “… tetapi hari
Sabtu”, maka yang dibenarkan adalah suami, dengan diambil sumpahnya bahwa idah
tidak habis di hari Kamis, sebab kesepakatan mereka mengenai waktu rujuknya,
sedangkan dasarnya adalah tidak ada rujuk sebelum waktu itu.
Bila
seorang laki-laki menikahi kembali istri yang telah diceraikan dengan talak
kurang dari tiga -sekalipun sebab khuluk dan telah dinikahi laki-laki lain-,
maka wanita kembali ke tangannya dengan sisa talak tiganya (dua/satu).
PASAL: ILA'
Ila’ adalah sumpah untuk tidak menjimak istrinya dalam waktu yang
tidak terbatas atau lebih 4 bulan, d mana suami Itu mampu melakukan
persetubuhan.
Misalnya suami berkata: “Aku tidak
akan menjimakmu/Aku tidak akan menjimakmu selama 5 bulan/Aku tidak akan
menjimakmu sampai si Fulan mati”.
Maka, apabila
telah berjalan masa 4 bulan dari Ila’ tanpa terjadi persetubuhan, maka istri
boleh meminta suaminya agar dijimak atau dijatuhkan talaknya: jika suami
membangkang, maka hakimlah yang menjatuhkan talaknya.
Ila’
bisa sterwujudkan dengan bersumpah demi Allah swt., dengan mentaklik talak
atau pembebasan budak, atau dengan menyanggupi ibadah.
Bila
di masa Ila’ tersebut suamr menjimaknya -baik lantaran tuntutan dari istri
atau tidak-, maka suami wajib membayar kafarat sumpah, jika Ila’nya dengan
bersumpah demi Allah swt.
PASAL: ZHIHAR
Sesungguhnya zhihar (dzihar, dhihar) itu sah dilakukan oleh suami
yang sah talaknya.
Zhihar adalah perkataan suami
kepada istrinya: “Engkau seperti punggung ibuku”, sekalipun tanpa menyebutkan
“Bagiku”. Ucapan “Engkau seperti ibuku”, adalah kinayah zhihar. Disamakan
dengan Ibu: Wanita mahram yang keharamannya sejak semula.
Dengan
sebab suami Aud -yaitu diam/tidak mengucapkan talak dalam masa yang
memungkinkan untuk melakukannya-, maka ia wajib ” membayar kafarat Zhihar.
PASAL: IDAH (MASA TUNGGU)
Lafal Idah (iddah) diambil dari ‘Adad (bilangan), karena mencakup
beberapa quru’ (suci) dan beberapa bulan pada galibnya.
Idah
menurut syarak, adalah masa penantian seorang wanita (yang telah tercerai)
untuk mengetahui kebebasan rahim dari kandungan, untuk ta’abbud (perenungan
ibadah), atau bela sungkawa atas kematian suami. Ta’abbud adalah sesuatu yang
tidak bisa diterima oleh akal mengenai maknanya, baik berupa ibadah atau
lainnya.
Pada dasarnya idah disyariatkan untuk
menjaga jangan sampai terjadi keserupaan status keturunan.
Idah
diwajibkan karena perceraian oleh suami yang masih hidup, yang pernah menjimak
pada kubul (lubang vagina) atau dubur (anus), dengan cara talak atau fasakh
nikah oleh suami yang berada di tempat atau tengah tiada, dalam waktu yang
cukup lama.
Lain halnya dengan suami yang belum
pernah meryimaknya, (maka istri yang diceraikan tidak wajib idah), sekalipun
sudah pernah berduaan (khalwah).
Wanita yang
diwajibkan beridah di atas tadi, sekalipun telah diyakini kebebasan kandungan
bayi, misalnya istri/suami yang masih kecil.
Idah
juga wajib dilakukan sebab – persetubuhan yang syubhat tentang kehalalannya
(wanita syubhat), misalnya jimak dalam ikatan nikah yang fasid, yaitu jimak
yang tidak menetapkan keberadaan had bagi laki-lakinya.
Cabang:
Seorang
suami tidak diperkenankan bertamattu’ apa pun bentuknya, terhadap wanita yang
dijimak secara syubhat, selama masih dalam idahnya -baik idah hamil atau
lainnya-, sehingga idah tersebut habis dengan melahirkan atau lainnya, sebab
rusak nikah, karena berurusan dengan hak orang lain (hak di sini adalah idah
sebab jimak syubhat).
Guru kita berkata: Dari
alasan di atas, maka diambillah suatu pendapat, bahwa laki-laki tersebut
diharamkan memandangnya -sekalipun tanpa syahwatdan berduaan dengannya.
Kewajiban
idah karena hal-hal di atas, adalah dengan cara tiga kali quru’, yaitu masa
suci di antara dua masa haid atau antara masa haid dengan nifas.
Bila
seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang semula tidak pernah haid,
lalu setelah talak ia haid, maka masa suci di kala penjatuhan talak tidak
terhitung quru’, sebab tidak berada di antara dua periode haid, tetapi wanita
tersebut harus beridah tiga kali masa suci setelah haid yang bersambungkan
dengan jatuh talak. Bagi wanita selain seperti itu, sisa masa suci dihitung
satu quru’.
Kewajiban idah 3 quru’ itu bagi
wanita merdeka yang biasa haid, karena berdasarkan firman Allah:
“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah beridah dengan menahan dirinya selama
tiga guru!” (Al-Baqarah: 228).
Bila seorang
wanita dijatulu talak dalam keadaan sucinya masih berjalan sebentar, maka
idahnya habis pada masuk pendarahan haid periode ketiga, karena kemutlakan
nama suci, yang mencakup masa suci, yang sekalipun hanya sebentar, sekalipun
dalam masa suci yang hanya sebentar tersebut suami telah menjimak.
Atau
dalam keadaan haid yang walaupun tinggal berjalan sejenak, maka masa idahnya
habis pada pendaraan haid periode keempat.
Masa
pendaraan haid yang terakhir (ketiga pada wanita yang ditalak dalam keadaan
suci, dan periode: keempat pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid) tidak
termasuk masa idah, tetapi dengan adanya pendarahan tersebut, selesailah masa
idahnya.
Bila wanita merdeka itu tidak pernah
haid sama sekali, maka wajib idah selama 3 bulan Qamariyah, jika penjabihan
talak tidak terjadi di pertengahan bulan, Jika terjadi seperti itu, maka sisa
hari samgai akhur digenapkan menjadi 30 hari terlebih dahulu.
Atau
wanita tersebut pada mulanya haid, lalu berhenti karena sudah sampai usia di
mana pada galibnya tidak haid lagi (usia manapouse).
Usia
itu adalah 60 tahun, dan ada yang mengatakan 50 tahun.
Bila
wanita yang sama sekali tidak haid itu mengalami haid di tengahtengah masa
idahnya, yang sedianya dihitung dengan bulanan, maka idahnya harus dengan
hitungan suci.
Atau (bila mengalami haid) setelah
habis masa idahnya, maka tidak usah memulai masa idahnya dengan hitungan quru’
(suci): Lain halnya dengan wanita manapouse.
Bila
wanita tertalak yang semula biasa mengalami haid, lalu terputus tanpa
diketahui sebabnya, maka ia belum diperbolehkan kawin sehingga ia haid lagi,
lalu beridah dengan quru’ atau menjadi Ayisah (manapouse), lalu beridah dengan
hitungan bulanan.
Dalam kaul Kadim -yang juga
menjadi mazhab Malik dan Ahmad-: Wanita yang terputus haid tanpa diketahui
sebabnya, adalah menunggu 9 bulan, lalu beridah 3 bulan, agar dengan begitu
dapat diketahui kebersihan kandungan, sebab 9 bulan itu adalah kebiasaan umur
kandungan.
Untuk menguatkan pendapat ini,
Asy-Syafi’i berdalil, bahwa Umar r.a. menghukumi seperti itu pada sahabat
Muhayirin dan Anshar, serta tidak ada yang mengingkarinya.
Karena
dalil sepertr itulah, kaul tersebut difatwakan oleh Sulthanul Ulama, Izzuddin
bin Abdus Salam, Al-Barizi, Ar-Raimi, Ismail AlHadhrami, dan menjadi pilihan
Al-Bulqini dan Guru kita, Ibnu Ziyad rim. »
Adapun
wanita yang putus darah dapat diketahui sebabnya -misalnya menyusui atau
sakit-, maka menurut sepakat ulama, wanita itu belum boleh nikah sampai ia
haid atau menjadi Ayisah, sekalipun panjang masanya.
Diwajibkan
beridah selama 4 bulan 10 hari -termasuk malamnya-, bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya, sekalipun ia wanita merdeka dalam keadaan talak raj’i dan belum
dijimak -karena masih kecil atau lannya-, dan sekalipun ia adalah wanita yang
mempunyai quru’. Dasarnya adalah Alqur-an dan Al-hadits.
Di
samping masa idah seperti itu, wanita yang ditinggal mati suaminya juga wajib
melakukan Ihdad (jawa: Ngusut) dengan cara-cara yang ada.
Hal
ini berdasarkan hadis yang Muttafaq Alaih: “Tidak halal bagi wanita yang
beriman kepada Allah swt. dan hari Akhir, melakukan ihdad atas kematian
seseorang selama melebihi 3 hari, kecuali atas kematian suami selama 4 bulan
10 hari.” Astinya, wanita tersebut wajib melakukan ihdad dengan masa seperti
itu, sebab Suatu perbuatan yang diperbolehkan setelah dilarang, adalah
menunjukkan wajib.
Karena jimak mengenai dimaksud
kan “halal” di situ sebagai wajib, kecuali pendapat yang dinukil dan Al-Hasan
Al-Bashri.
Penyebutan iman dalam hadis, adalah
sebagai kegaliban saja atau agar dengan begitu bisa membangkitkan kepatuhan,
Kalau tidak kita letakkan pemahaman seperti itu, maka setiap wanita mempunyai
hak aman (dilindungi oleh pemerintah Islam), berkewajiban melakukan ihdad
seperti itu juga.
Wajib bagi wali memerintahkan
anak perwaliannya agar melakukan ihdad.
Peringatan:
Ihdad
yang wajib: dilakukan oleh Seorang wanita yang ditinggal mati Suaminya
-sekalipurt wanita itu fnasih keciladalah meninggalkan pakaian yang diwarna
(diwenter) Untuk menghias diri -sekalipun dan bahan yang kasar-, dan boleh
memakai kain sutera (Ibrasim) yang tidak diwenter.
Merunggalkan
memakai yang berbau harum -sekalipun waktu malamdan meniggalkan memakai
perhiasan emas-perak di siang hari, sekalipun hanya berupa cincin atau
anting-anting, sekalipun pemakaian emas-perak tersebut di balik pakaian,
karena ada larangan untuk itu.
Termasuk perhiasan
emas-perak, yaitu barang hasil sepuhan darinya, misalnya mutiara dan sesamanya
dari segala bentuk intan yang dibuat perhiasan, termasuk di sini, batu akik,
Begitu juga dengan tembaga atau gading, bila wanita itu dari kalangan
masyarakat yang biasa memakai tembaga/gading sebagai perhuasan.
Kewajiban
dalam Ihdad lagi. Meninggalkan celak mata dengan Itsmit -sekalipun wanita
berkulit hitam-, dan meniggalkan berminyak rambut, bukan badan sekalian.
Diperbolehkan
mandi dan membersihkan kotoran tubuh serta makan daun sirih.
Sunah
melakukan Ihdad bagi wanita yang tertalak bain -dengan khuluk, fasakh nikah
atau talak tiga-, agar berhiasnya tidak membawa kerusaka.
Demikian
juga sunah Ihdad bagi wanita yang tertalak raj’i, jika tidak mengharapkan
suami kembali dengan cara berhuas diri: Jika ia mengharapkan sang suami
kembali, maka sunah berhuas diri.
Wajib bagi
wanita beridah karena kematian suaminya, talak bain atau fasakh nikah,
terus-menerus
berada di dalam rumah yang ia tempati waktu suami mati atau menjatuhkan talak
bainnya, sampai habis masa idahnya.
Wanita dalam
masa idah diperbolehkan keluar rumah di siang hari, guna membeli semacam
makanan, menjual hasil tenunannya, atau mencari kayu bakar. Keluar rumah di
malam hari tidak diperbolehkan -walaupun baru awal malam-: Lain halnya dengan
pendapat sebagian fukaha.
Tetapi, ia
diperbolehkan keluar malam ke rumah tetangganya yang bergandengan, untuk
keperluan menenun atau omong-omong dan sebagainya, tetapi hal itu disyaratkan
menurut kadar kebiasaan Disyaratkan lagi menurut pendapat Al-Aujah, bahwa di
dalam rumahnya sudah tidak ada orang yang diajak berbincang-bincang dan
beramah tamah dengannya, dan hendaknya pulang kembali dan bermalam di dalam
rumahnya.
Adapun wanita yang dalam idah raj’iyah,
makaia boleh keluar rumah dengan seizin suaminya atau karena terpaksa, sebab
penalakan masih berkewajiban menanggung biaya hidupnya, sebagaimana seorang
istri, wanita tertalak bain yang hamil, hukumnya sama dengan wanita ini.
Wanita
yang sedang beridah boleh pindah dari rumah (yang telah ditentukan oleh
suaminya), karena mengkhawatirkan diri, anak atau hartanya, sekalipun tidak
miliknya sendiri -misalnya barang titipan-, walaupun hanya sedikit, dan
khawatir karena keruntuhan rumahnya, rumah terbakar, ada pencuri, atau mungkin
karena menerima penderitaan dari tetangganya.
Suami
wajib menyediakan tempat tinggal istri yang tercerai -walaupun dengan cara
menyewa-, selagi wanita itu tidak dalam keadaan nusyus
Suami
tidak boleh tinggal satu rumah dengannya, dan memasuki tempat di mana istri
tersebut berada tanpa bersama mahram. Hal itu haram dilakukan olehnya
-sekalipun suam Itu orang yang buta dan talaknya raj’i-, sebab hal itu bisa
membawa ke arah khalwah yang diharamkan.
Dari
keterangan tersebut, maka istri tersebut wajib melarang suaminya -Jika kuasa-,
agar tidak melakukan hal itu.
Bila wanita yang
tercerai statusnya budak, wajib beridah dengan separo idah wanita merdeka,
sebab wanita budak itu dalam kebanyakan hukumnya, adalah separo daripada
wanita merdeka.
Untuk quru’nya yang kedua harus
disempurnakan menjadi penuh, sebab tidak bisa diketahui separo quru’, kecuali
setelah diketahui sepenuhnya, karena itu, ia wajib menunggu pendarahan
kembali.
Wanita merdeka maupun budak, karena
kematian suami atau lainnya -sekalipun masih haid-, adalah beridah sampai
melahirkan bayi yang mereka kandung dari suami yang mengidahkan dirinya,
sekalipun kandungan yang lahur berupa segumpal daging yang berbentuk manusia
andai kata hidup terus, bukan habis idahnya dengan melahirkan segumpal
darah.
Cabang:
Anak
yang lahir dalam waktu kandungan berusia 4 tahun terhitung dari masa
penalakan, nasabnya adalah ditemukan kepada laki-laki yang mengidahkan wanita
yang melahirkannya.
Tidak bisa ditemukan atas
laki-laki yang mengidahkan, jika wanita itu telah nikah dengan laki-laki lain
dan setelah dimungkinkan bahwa bayi tersebut lahir dari suami yang kedua:
yaitu sebagaimana wanita itu melahirkannya setelah terhitung waktu 6 bulan
dari perkawinannya dengan suami kedua.
Wanita
yang mendakwakan bahwa dirinya telah selesai dari masa idahnya, yang
diperhitungkan dengan selain bulanan, adalah bisa dibenarkan, jika bisa
dimungkinkan habis idah itu, sekalipun hal itu menyelisihi kebiasaannya atau
tidak dibenarkan oleh suaminya, karena dirasa sulit baginya untuk mengajukan
bayinah atas hal itu dan karena wanita itu justru orang yang dipercayai
mengenai yang ada dalam rahimnya.
Kemungkinan
habis masa idah pada kelahiran, adalah setelah usia kandungan sebanyak 6 bulan
dan dua lahzhah (masa seukuran jimak dan lahzhah melahirkan) dan pada
perhitungan tiga quru’ untuk wanita merdeka yang ditalak dalam keadaan suci,
adalah 32 hari dan dua lahzhah (quru’ awal dan lahzhah tetesan darah periode
haid ketiga), sedang pada wanita yang ditalak dalam keadaan haid, adalah 47
hari dan satu lahzhah tetesan darah periode haid keempat).
Faedah:
Sebaiknya
wanita yang mendakwakan habis masa idah, adalah disumpah.
Seorang
wanita setelah menikah dengan laki-laki lain (bukan shahibul idah), lalu ia
mehdakwakan bahwa idahnya belum habis, sebab kerelaan dirinya menikah, adalah
mengandung pengakuan atas habis idah.
Apabila
setelah penalakan si Wanita mendakwakan, bahwa dirinya telah dijimak dan suami
mengingkarinya, maka dengan bersumpah suami dapat dibenarkan, sebab dasar
asalnya adalah, bahwa persetubuhan itu tidak terjadi, selanjutnya, wanita
tersebut berkewajiban melakukan idah sebagai konsekuensi dari ikrarnya
sendiri, sekalipun ia mencabut kembali dan mendustakan dirinya mengenai
dakwaan perJimakan, sebab ingkar setelah ikrar tidak dapat diterima.
Cabang:
Bila
seorang wanita pada masa idah raj’iyahnya telah habis dan ia menikah dengan
laki-laki lain, lalu suami pertama yang menjatuhkan talak mendakwakan
kepadanya atau kepada suami kedua, bahwa ia (penalak) telah merujuknya sebelum
masa idah itu habis, dan untuk membuktikan (menetapkan) dakwaan tersebut ia
mengajukan bayinah, atau mengemukakan bayinah, tetapi Wanita itu dan suami
kedua berikrar tentang keberadaan rujuk tersebut, maka suami pertama boleh
mengambil wanita itu, sebab dengan adanya ketetapan dakwaan dengan bayinah
atau ikrar, mengakibatkan rusak pernikahan dengan suami keduaSuami kedua wajib
membayar mahar mutsil kepada wanita tersebut, bila ia telah dijimak.
Karena
itu, bila suami kedua mengingkari ada rujuk, maka ia bisa dibenarkan dengan
cara disumpah, sebab pernikahan telah terjadi secara sahih, sedang dasar
asalnya adalah rujuk itu tidak terjadi.
Atau
(jika) wanita itu ikrar, sedang suami keduanya tidak ikut ikrar, maka suami
pertama tidak bisa mengambil wanita itu, lantaran masih ada keterkaitannya
dengan suami kedua, sampai Wanita talak bain terlebih dahulu darinya, sebab
selama wanita itu masih berada dalam ikatan pernikahan dengan suami kedua,
maka ikrarnya mengenai ada rujuk suami pertama tidak bisa diterima, lantaran
masih ada keterkaitan hak suami kedua.
Kemudian,
bila ia telah talak bain dari suami kedua, maka ia bisa diserahkan kepada
suami pertama tanpa akad nikah lagi, dan selama ia belum bain dari suami
keduanya, ia wajib memberikan mahar mitsil kepada suami pertamanya, sebab
dengan ada pernikahan dengan suami keduanya, suami pertama telahia halang
haknya, sehingga bila penghalang sudah tidak ada (dengan talak baih dari suami
kedua), maka ia berhak menerima mahar dari Suami pertamanya.
Bila
seorang Wanita masih dalam satu ikatan nikah dengan seorang Suami -misalnya
telah ditetapkan statusnya, sekalipun dengan ikrarnya dania belum mkah lagi
dengan lakilaki kedua-, lalu suami pertama mendakwakan bahwa ikatan nikahnya
dengan Wanita itu masih ada dan ia belum mendakwakan ” bahwa ia telah ditalak
dan idahnya telah habis sebelum ia menikah dengan suami keduanya dan bayinah
tentang talak tidak ada, lalu suami pertama bersumpah bahwa dirinya tidak
menalaknya, maka ia berhak mengambil istrinya dari tangan suami kedua, sebab
istri tersebut telah berikrar ada ikatan perkawinan, dan ikrar ini adalah sah
lantaran tidak ada kesepakatan antara wanita dengan suami mengenai talak.
Idah
selain hamil, bagi wanita yang tertalak raj’i -bukan bain, sekalipun sebab
khuluk-, adalah terputus hitungannya sebab terjadi percampuran suami dan istri
tersebut, sebagaimana mereka sudah berkhalwah dan ada kesempatan untuk bermain
seks, sekalipun dalam masa sebentar dan baik saat itu terjadi jimak ataupun
tidak, Karena itu, idah : di masa percampuran tersebut tidak habis.
Tetapi,
jika mu’asyarah (pergaular/ percampuran) itu telah berakhir, misalnya suami
sudah berniat tidak kembali kepada istrinya, maka wanita itu bisa meneruskan
idah yang telah berlalu. Idah di atas tidak dihukumi habis lantaran ada
syubhat firasy (sebab wanita dalam talak raj’i hukumnya seperti istri),
Sama
halnya dengan wanita yang di masa idahnya dinikahi oleh laki-laki lain, maka
masa berkumpulnya tersebut tidak dihitung idah untuk Suami pertamanya, tetapi
masa idahnya terputus sejak ia berkhalwah dengan laki-laki kedua, dan masa
idah sebelum ia kawin dengan lakilaki kedua hukumnya tidak batal, dan bila
khalwahnya dengan laki-laki kedua telah berakhir, maka ia bisa
meneruskanidahnya yang telah lalu, dan waktu-waktu yang ada di antara khalwah
tidak dihitung sebagai idah.
Tetapi, bagi suami
yang telah mencampuri istrinya dalam idah raj’i di atas, ia tidak boleh
merujuk lagi setelah masa idah (dalam bayangannya) yang diperhitungkan dengan
quru’ atau bulanan -menurut pendapat Al-Muktamad-, sekalipun idahnya belum
habis (sebab masa idah terputus dengan adanya percampuran tersebut), tetapi di
masa itu sampai habis idah, talak bisa jatuh lagi.
Menurut
pendapat yang dimenangkan Al-Bulqini, bahwa wanita di atas tidak berhak
menerima biaya hidup.setelah masa idahnya, dan pendapat ini dimantapi oleh
lainnya, lalu katanya: Antara kedua tidak dapat saling mewaris, dan pihak
lakilaki tidak dapat dihad lantaran menjimaknya.
Penyempurna:
Apabila
dua idah dari seorang lakilaki berkumpul pada seorang wanita -misalnya seorang
laki-laki menjimak wanita yang telah ditalak raj’i secara mutlak atau wanita
talak bain dengan wathi syubhat-, maka wanita tersebut cukup melakukan idah
wathi saja, sehingga idahnya terhitung selesai persetubuhan dan idah yang
pertama (talak) sudah masuk ke situ. Jika laki-laki tersebut melakukan jimak
(wathi) berulang kali, maka wanita -tersebut harus memulai hitungan idahnya
dari selesai persetubuhan.
Akan tetapi laki-laki
di atas tidak dapat merujuknya, bila idah talak raj’inya telah habis.
Cabang
Mengenai Istibra’
Istibra’ menurut syarak adalah: Masa penantian
untuk budak perempuan (amat) ketika terjadi penyebabnya yang akan diterangkan
nanti, untuk mengetahui kebersihan kandungan atau Ta’abbudi.
Wajib
melakukan istibra’ untuk kehalalan tamattu’ atau mengawinkan terhadap amat,
sebab ada pemilikan terhadapnya -sekalipun ia telah beridah-, pemilikan
tersebut baik dengan cara pembelian, penerimaan warisan, wasiat atau pemberian
yang sudah diterimanya, ataupun dimilikinya dari hasil tawanan perang dengan
syarat pemihkannya -yaitu qismah atau memilih sendiri pemilikannyasekalipun
amat tersebut diyakini bersih kandungannya, misalnya amat Itu masih kecil atau
perawan.
Baik amat itu dimiliki dari tangan anak
kecil atau perempuan, atau dari penjual yang sebelum dijual ia telah melakukan
istibra’. Itu semua wajib diistibra’kan untuk bisa halal tamattu’.
Wajib
Istibra’ sebab hilang hak milik sayid dari amat yang pernah disetubuhi yang
bukan atau Mustauladah sebab sayid pemiliknya telah memerdekakannya dengan
cara memerdekakan kedua bentuk amat di atas atau kematian Tuan pemilik bagi
Yang mustauladah.
Tidak wajib Istibra’, bila amat
tidak Mustauladah yang lepas kemilikan Tuannya itu telah diistibra’kan sebelum
dimerdekakan, bahkan amat tersebut boleh kawin seketika, lantaran amat
tersebut tidak menyerupai istri yang dinikahi, Lain halnya dengan amat yang
Mustauladah.
Haram -bahkan tidak sah- mengawinkan
amat yang telah dijimak pemiliknya sebelum Istibra’ terlebih dahulu, lantaran
untuk menjaga bercampur dua sperma.
Adapun amat
yang tidak pernah dijimak tuannya atau oleh siapa saja, maka tuannya boleh
mengawinkannya secara mutlak. Kalau amat tersebut pernah dijimak oleh orang
lain, maka tuan boleh mengawinkannya dengan orang yang telah menjimaknya.
Boleh juga mengawinkan dengan laki-laki lain lagi, bila jimaknya dengan
laki-laki kedua tadi halal atau telah lewat masa istibra’.
Bila
Tuan memerdekakan amat yang pernah dijimak, maka ia boleh menikahinya tanpa
Istibra’ dulu.
Masa Istibra amat yang mempunyai
quru’, adalah masa satu periode haid penuh. Karena itu, sisa masa haid dalam
periode Istibra’ belum cukup.
Bila sayid (tuan)
menjimak amatnya ketika haid dan hamil dari persetubuhan tersebut, bila
kehamilan terjadi sebelum haid berjalan seharisemalam (paling sedikit masa
haid), maka hitungan masa Istibra’ terputus dan keharaman berjalan terus
sampai melahirkan, sebagaimana halnya bila ia menjimaknya dalam keadaan suci,
lalu hamil.
Bila kehamilan terjadi setelah masa
di atas (masa berjalan haid sehari-semalam), maka masa Istibra’ telah cukup,
sebab telah berlalu masa haid: yang sempurna sebelum terjadi kehamilan.
Apabila
amat yang idahnya dihitung dengan bulanan -baik itu amat yang masih kecil atau
Ayisah- maka masa Istibra’nya selama satu bulan.
Bagi
amat yang hamil, di mana idahnya diperhitungkan dengan kelahiran -yaitu hamil
dari perzinaan ‘atau hasil tawanan (dari orang kafir) yang hamil atau hamilnya
dari tuannya serta terlepas kemilikkannya, baik itu Mustauladah atau tidak-,
maka Istibra’nya adalah setelah melahirkan bayi tersebut.
Cabang:
Bila
seseorang membeli semacam amat beragama Watsani atau murtad, lalu haid,
kemudian setelah habis masa haid atau di tengah-tengahnya ia memeluk Islam
-demikian pula setelah satu bulan bagi yang beridah bulanan-, maka masa haid
tersebut dan sesamanya (satu bulan atau kelahiran kandungan) belum mencukupi
untuk Istibra’nya, (tetapi 18 wajib melakukan Istibra’ kedua setelah Islam),
sebab haid dan sesamanya di atas tidak dapat menyebabkan kehalalan tamattu’
yang menjadi tujuan Istibra’.
Budak amat
dibenarkan tanpa disumpah mengenai ucapannya: ” Aku telah haid”, sebab hal itu
tidak diketahui, kecuali dari dirinya sendirii.
Selain
amat hasil tawanan, adalah diharamkan tamattu dengannya -walaupun sekadar
memandang dengan nafsu birahi atau memegangnya-, sebelum sempurna Istibra’,
sebab hal itu bisa membawa persetubuhan yang diharamkan, di samping itu,
dimungkinkan hamil dari laki-laki merdeka.
Karena
itu, tidak sah semacam menjualnya, tetapi dihalalkan berkhalwah dengannya.
Adapun
amat hasil tawanan perang, maka haram dijimak, tetapi istimta’ selain
persetubuhan -misalnya mencium dan memegangnya-, tidak diharamkan, sebab
Rasulullah saw tidak mengharamkan tamattu’ pada amat tawanan selain
menjimaknya, di samping kuat mata memandang dan tangan menjelajahi untuk
memegang amat, utamanya yang cantik.
Karena Ibnu
Umar r.a. mencium amat yang menjadi bagiannya dari hasil tawanan Perang
Authas.
Dalam kaitannya dengan kehalalan tamattu’
selain menjimak ini, Al-Mawardi dan lainnya menyamakan amat hasil tawanan
dengan amat yang sudah tidak mungkin bisa hamil, misalnya amat yang kecil,
Ayisah dan hamil dari perzinaan.
Cabang:
Amat
tidak bisa dihukumi menjadi Jirasy talas tidur) tuannya, kecuali setelah
dijimak dalam vaginanya, dan hal itu dapat diketahui dengan keberadaan ikrar
dari tuannya Dengan adanya bayinah.
Bila amat
tersebut melahurkan bayi yang bisa dimungkinkan terjadi dari persetubuhan
tersebut (minimal 6 bulan dari persetubuhan), maka nasab anak tersebut
ditemukan kepada tuannya, sekalipun ia tidak mengakuinya.
PASAL TENTANG NAFKAH
Lafal Nafaqah itu diambil dari lafal Infaq, yang artinya
mengeluarkan.
Wajib memberikan sejumlah Mud
beserta kelengkapannya -yang akan diterangkan nantikepada seorang istri
-sekalipun berupa amat atau sakit- yang telah mempersilakan dirinya untuk
di-lstimta’ dan dipindahkannya bila suami bermaksud dalam keadaari perjalanan
dan tempat tujuan yang aman, sekalipun dengan naik kapal laut yang kemungkinan
besar akan selamat.
Karena itu, nafkah tidak
wajib diberikan karena semata-mata akad nikah -lain halnya dengan pendapat
kaul Kadim-, tetapi wajib karena ada tamkin hari demi hari.
Suami
dapat dibenarkan dengan bersumpah, bahwa istrinya tidak tamkin (memberikan
kesempatan untuk tamattu’): dan istri dapat dibenarkan dengan dakwaan, bahwa
dinnya tidak nusyus dan tidak diberi nafkah.
Bila
seorang istri yang memungkinkan untuk ditamattur’i telah dipersilakan dinnya
(tamkin), sekalipun pada sebagian bentuk tamattu’, maka bagi suami wajib
memberikan biaya hidupnya, sekalipun suami itu masih anak kecil yang tidak
mungkin melakukan jimak, sebab halangan jimak itu bukan datang dari pihak
istri.
Sekalipun istri tersebut tidak dapat
dijimak karena suatu sebab selain kecil, misalnya lubang vaginanya tertutup
daging atau karena jatuh sakit atau gila. Tetapi, bila istri tersebut tidak
bisa dijimak lantaran masih kecil yang belum kuat, maka tidak wajib memberikan
nafkah kepadanya, sekalipun walinya telah menyerahkan kepada suami, sebab ia
tidak mungkin ditamattu’i, sebagaimana istri yang nusyus, Lain halnya yang
mampu dijimak.
Bentuk-bentuk lain tamkin yang
mewajibkan suami memberikat nafkah di atas, dapat ditetapkan adanya dengan
ikrar suami, persaksian dari bayinah, bahwa istri itu selalu taat dan tinggal
di dalam rumah selama suami pergi dan sebagainya.
Istri
berhak meminta nafkahnya kepada suami, jika sang suami akan bepergian jauh.
(Hak
nafkah tetap masih ada), sekalipun istri tersebut sudah talak raj’i sekalipun
tidak hamil, Nafkah tersebut wajib diberikan kepada wanita raj’iyah selai
biaya pembelian alat pembersih, sebab penahan suami atasnya masih tetap
berlangsung dan kemampuannya untuk bertamattu’ dengan cara merujuknya, dan
karena suami tidak mau merujuknya, maka ia tidak berkewajiban menyediakan alat
pembersih.
Segala sesuatu yang menggugurkan hak
nafkah istri, adalah menggugurkan nafkah wanita dalam talak raj’i, misalnya
nusyus.
Nafkah juga wajib diberikan kepada wanita
tertalak bain -talak tiga, khuluk atau fasakh nikah yang tidak bersamaan
dengan akad-, di mana wanita tersebut dalam keadaan hamil, sekalipun suami
mati sebelum bayi lahir, selama wanita tersebut tidak berbuat nusyus
Bila
suami memberinya nafkah karena mengira hamil, ternyata tidak, maka ia boleh
meminta kembali darinya. Adapun bila wanita yang hamil tersebut tertalak bain
karena kematian suaminya, maka ia tidak berhak menerima nafkah.
Demikian
pula tidak ada hak nafkah bagi istri yang tengah menempuh idah wathi syubhat,
misalnya seorang wanita dijimak secara syubhat -sekalipun tidak hamil-, sebab
tidak ada tamkin dari istri, karena antara suami dan istri terhalang sampai
habis masa idah tersebut.
Kemudian nafkah yang
wajib diberikan oleh suami kepada Semacam istri, adalah satu mud makanan pokok
yang umum menjadi makanan di daerah istri -bukan daerah suami-, bagi suami
yang melarat (Mu’sir), sekalipun menurut ucapannya sendiri, selama tidak nyata
mempunyai harta benda -yaitu orang yang tidak mempunyai harta selebih batas
kemiskinan-, sekalipun ia bekerja dan mampu bekerja dengan hasil lebih lapang
Pemberian nafkah, bagi suami cukup memberikannya tanpa harus ada ijab dan
qabul, seperti penyerahan utang dalam tanggungan Guru kita berkata Dari
keterangan ini, bisa diambil pengertian, bahwa yang wajib di sini adalah tidak
terjadi sesuatu yang memalingkan dari maksud memberikan nafkah.
Satu
mud tersebut wajib diberikan oleh suami yang budak, sekalipun Mukatab dan
hartanya banyak.
Dua mud wajib diberikan oleh
suami yang kaya, yaitu orang yang dengan dibebani dua mud tidak kembali
menjadi melarat.
Satu mud setengah wajib
diberikan oleh suami yang cukupan, yaitu orang yang menjadi melarat bila
dibebani memberikan dua mud.
Hanya saja nafkah
tersebut wajib diberikan setiap waktu fajar tiap hari, jika istri tidak ikut
makan bersama suami, seperti adat orang makan dengan kerelaan istri yang
rasyidah (pandai).
Bila istri turut makan bersama
suami di bawah kecukupan, maka bagi suami wajib menambah sejumlah selisih
kekurangannya sampai pada kesempurnaannya. Demikian menurut Al-Aujah.
Istri
dapat dibenarkan mengenai kadar ukuran yang telah dimakan.
Bila
suami memaksa istrinya agar makan bersamanya tanpa ada kerelaan dari istri,
atau istri yang tidak rasyidah ikut makan bersamanya tanpa seizin walinya,
maka kewajiban nafkah baginya belum gugur. Dalam hal ini, suami dianggap
bersedekah sunah, oleh karena itu ia tidak dapat meminta gariti apa yang telah
dimakan oleh istrinya, Lain halnya dengan pendapat Al-Bulqini dan ulama yang
mengikutinya.
Bila istri menyangka bahwa suami
bersedekah terhadap dirinya, sedang suami menyangka (mendakwakan) bahwa yang
ia berikan adalah sebagai kewajiban nafkah, maka dengan bersumpah, suami bisa
dibenarkan, menurut Al-Aujah.
Tersebut di dalam
Syarhul Minhaj: Bila ada laki-laki lain menjamu seorang wanita lantaran
memuliakan suaminya, maka nafkah istri tersebut menjadi gugur.
Bagi
suami yang akan bepergian lama adalah diperintahkan (dengan sungguh-sungguh),
agar menjatuhkan talak kepada istrinya atau mewakilkan kepada orang lain untuk
memberinya nafkah dari harta suami yang ada di tempat.
Jumlah
mud-mud yang telah disebutkan di atas, wajib diberikan beserta lauk-pauknya
yang sudah menjadi kebiasaan, sekalipun istri tidak memakannya, misalnya
minyak samin, zaitun dan tamar.
Bila suami-istri
berselisih mengenai ukuran mud atau daging yang akan diterangkan di bawah ini,
maka hakimlah yang menentukannya dengan membedakan antara yang kaya dan
lainnya. Penentuan kitab Al-Hawi -sebagaimana nash Syafi’idengan sebesar satu
auqiyah, adalah penentuan kurang-lebih saja.
Juga
wajib memberikan daging yang meryadi kebiasaan dalam ukuran dan waktu
tertentu, sesuai dengan kaya atau melaratnya sekalipun istri juga tidak
memakannya.
Bila dibiasakan makan daging sekali
dalam satu minggu, maka yang lebih utama diberikan pada hari Jumat, dan jika
kebiasannya memberi daging dua kali dalam satu minggu, maka yang lebih utama
diberikan pada hari Jumat dan Selasa.
Nash
Syafi’i rhm. juga mengemukakan jumlah satu liter daging untuk satu minggu,
bagi seorang suami yang melarat, dan dua liter bagi yang kaya, adalah
dihubungkan dengan situasi di Mesir ketika daging di sana berjumlah sedikit,
karena itu, jumlah di atas bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan dan situasi
daerah yang bersangkutan.
Menurut beberapa
pendapat (Al-Aujah), adalah tidak wajib membenkan Iauk-pauk di hari yang telah
diberikan daging, bila daging tersebut sudah mencukupi istri untuk makan sang
dan malam, tetapi kalau belum mencukupinya, maka wajib membenkan lauk-pauk
Wajib
juga memberikan garam, kayu bakar dan air minum, sebab pada airlah terletak
kehidupan.
Di samping itu semua, wajib memberikan
biaya, misalnya biaya penepungan, pengadonan dan memasak, jika istri tersebut
tidak tergolong orang yang terbiasa melaksanakan itu semua sendiri,
sebagaimana yang dimantapi oleh Ibnur Rif’ah dan Al-Adzra’i selain dua fukaha
di atas, memantapkan bahwa tidak ada bedanya (antara yang biasa
melaksanakannya sendiri dengan yang tidak terbiasa).
Juga
beserta alat memasak, makan dan minum, misalnya piring besar, kendi, tempayan,
ketel, gayung, kendi dari kayu, keramik atau batu.
Tidak
wajib memberikan barang-barang yang terbuat dari tembaga atau timah, sekalipun
istrinya dani kalangan bangsawan.
Suami -meskipun
melarat- wajib memberikan pakaian kepada istrinya tiap-tiap masa 6 bulan, di
mana pakaian tersebut cukup untuk ukuran panjang dan besar tubuh istri.
Karena
itu, yang wajib diberikan adalah baju kurung, jika istri tersebut tidak
terbiasa memakai kain sarung dan selendang -jika biasa, maka wajib memberinya
kedua pakaian tersebut tanpa baju kurung, menurut Al-Aujah-, kain sarung,
celana, kerudung -sekalipun istri amat- dan kaos kaki.
Macam
pakaian tersebut diukur menurut kebrasaan yang berlaku di tempat istri. Tetap:
Al-Mawardi berkata: Bila istri termasuk orangorang yang tidak memakai sesuatu
pada kakinya ketika di dalam rumah, maka tidak wajib diberikan sesuatu pada
kakinya.
Di samping pakaian-pakaian tersebut,
wajib diberi kain selimut di musim dingin -sekalipun tidak musim penghujan-,
dan menambah jubah tebal (mantel) di musim penghujan.
Adapun
di waktu selain musim dingin -sekalipun musim penghujan baki daerah beriklim
panas-, maka wajib diberi selendang dan semacamnya, jika ia termasuk dari
kalangan orang-orang yang terbiasa memakai kain, bukan pakaian ketika tidur,
atau tidur dengan telanjang, sebagaimana yang disunahkan (maksudnya: Tidur
hanya menggunakan kain penutup saja, bukan pakaian).
Bila
tidak terbiasa tidur dengan memakai kain penutup, maka tidak wajib diberi kain
selendang dan semacamnya, dan jika terbiasa memakai pakaian khusus tidur,
wajib diberi pakaian khusus tersebut, sebagamana yang dimantapkan oleh
sebagian fukaha.
Baik dan buruk pakaian dibedakan
kaya dan miskin suami.
Dia wajib memberikan
kelengkapankelengkapan pakaian tersebut, misalnya tali celana, kancing semacam
baju kurung, benang, dan upah penjahit.
Suami
wajib memberinya alas tidur dan batal. Apabila ia terbiasa tidur di atas
ranjang, maka suami wajib memberinya.
Cabang:
Wajib
memperbarui pakaian yang tidak dipakai satu tahun: yaitu dengan memberinya
setiap 6 bulan sekali.
Bila pakaian-pakaian
tersebut rusak di pertengahan 6 bulan tersebut -sekalipun bukan karena
gegabah-, maka bagi suami tidak wajib memperbaruinya. Memperbarui pakaian
wajib dengan pakaian yang masih baru.
Bagi suami
wajib member istrinya alat membersihkan badan dan pakaiannya, sekalipun suami
tidak. berada di sampingnya, sebab alat pembersih tersebut dibutuhkannya,
sebagaimana lauk-pauk.
Termasuk alat pembersih,
adalah daun witdoro dan semacamnya (daun untuk pembersih badan/sabun),
misalnya sisir, siwak dan tusuk gigi.
Suami wajib
juga memberinya minyak rambut dan minyak pelumas badan, jika dibiasakan
memakainya, yaitu berupa minyak syairaj dan samin.
Karena
itu, suami wajib memberinya minyak sekali atau lebih dalam satu minggu,
menurut kebiasaan yang ada, demikian juga wajib memberinya minyak penerang
lampu.
Untuk wanita hamil dalam idah talak bain
dan istri yang ditinggal suami, hanyalah berhak menerima alat pembersih yang
sekadar dapat menghilangkan kekusutan dan kotoran badan, menurut Al-Mazhab.
Suami
wajib memberikan air untuk mandi wajib, yang kewajiban disebabkan oleh suami,
misalnya setelah bersetubuh atau nifas -bukan mandi setelah hajd atau ihtilam-
dan air untuk mencuci najis. Tidak wajib memberinya air untuk berwudu, kecuali
bila dibatalkan oleh suanu dengan semisal disentuh.
Suami
tidak wajib memberi minyak wangi -kecuali sekadar untuk menghilangkan bau
busuk-, celak mata, obat sakitnya dan upah dokter Istri berhak menerima
makanan
lauk-pauk, pakaran dan ala pembersih di hari-hari sakitnya,
dan bisa mentasarufkannya untuk pembelian obat dan lainnya
Peringatan:
Semua
yang disebutkan di atas, yang meliputi makanan, lauk-pauk, alatalatnya,
pakaian, alas tidur dan alat pembersih, adalah wajib menjadi miliknya dengan
cara diserahkan tanpa harus ada ijab dan qabul Istri memiliki itu semua dengan
cara mengambilnya.
Karena itu, suami tidak boleh
mengambil itu semua dari tangan istrinya, kecuali atas kerelaannya.
Adapun
tempat tinggal -begitu juga pembantu- adalah sebagai hak guna (bukan hak
milik) untuk istri, yang karenanya menjadi gugur dengan telah berlalu masa
pemberian hak gunanya, sebab tempat tinggal/pembantu hanya sekadar untuk
dimanfaatkan (bukan dimiliki oleh istri).
Pemberian
yang sifatnya sebagai hak milik, adalah menjadi utang bagi suami, bila belum
diberikan dan bisa digantirupakan serta tidak smenjadi gugur kewajiban
tersebut lantaran, kematian suami/istri di pertengahan masa (masa/periode
pakaran adalah 6 bulan, sedang periode makanan adalah setiap terbit fajar).
Suami
wajib menyediakan tempat tinggal untuk istrinya, yang kalau suami pergi, maka
rumah tersebut dapat mengamankan jiwa dan harta istri, sekalipun jumlahnya
hanya sedikit, sebab diperlukan adanya, bahkan suatu keharusan. Yang mana
tempat tinggal tersebut patut didiaminya menurut kebiasaan, sekalipun istri
tidak biasa bertempat tinggal, dan sekalipun tempat tinggal itu hasil pinjaman
atau sewaan.
Bila suami tinggal bersama istri di
rumah istri dengan izinnya, karena istri tidak mau dipindahkan rumahnya, atau
tinggal bersamanya di rumah ayah istri, maka suamu tidak wajib membayar uang
sewa, karena perizinan yang tidak disertai penyebutan imbalan, adalah
berkedudukan sebagai atau pemberian wewenang (Ibahah).
Wajib
bagi suami, walaupun melarat -lain halnya dengan pendapat segolongan fukaha-,
atau budak, memberikan seorang pelayan wanita -tidak lebih dani itu-, untuk
istri yang merdeka -lain halnya jika istrinya berupa amat, sekalipun cantik-,
yang biasanya Wanita seperti dia diberi pelayanan ketika masih berada di
tengah keluarganya, karena kemewahan di rumah suaminya tidak menjadi ukuran,
karena pemberian pelayan kepada istri, adalah termasuk menggauli secara
baik.
Kewajiban suami hanyalah memberinya seorang
pelayan, sekalipun dengan cara seorang wanita merdeka yang menemaninya,
waruita yang digaji, laki-laki yang menjadi mahram istri atau budaknya
-sekalipun laki-laki-, atau dengan anak laki-laki yang belum mencapai usia
murahiq (menjelang balig).
Maka untuk pelayan
seorang laki-laki yang telah ditentukan suami, wajib (setiap hari) menerima 1
1/3 mud makanan dari suami yang kaya, dan 1 mud bila suami tersebut melarat
atau cukupan, di samping itu (tiap 6 bulan) menerima pakaian yang patut untuk
seorang pelayan, yaitu baju kurung, kain sarung beserta kerdung
Bagi
pelayan Wanita ditambah lagi khuf dan kerudung kepala apabrla keluar rumah,
sekalipun budak yang terbiasa keluar tanpa menutup kepala.
Hanya
saja khuf dan kerudung tidak wajib diberikan -menurut AlMuktamadkepada istri,
karena suami berhak melarang istrinya keluar dari rumah, sedang kebutuhan
keluar rumah untuk semacam ke kamar kecil, adalah langka sekali.
Peringatan:
Hal-hal
yang wajib dikerjakan oleh pelayan istri, adalah yang hanya buat khusus istri,
misalnya membawakan air ke kamar mandi atau untuk minumnya, menuangkan air ke
badannya, mencuci pakaian bekas haid dan memasak untuk makan istrui.
Adapun
hal-hal yang tidak khusus untuk istri, misalnya memasak makanan suami dan
mencuci pakaiannya, maka adalah bukan tugas pelayan maupun istri, tetap itu
menyadi tugas suami: karena itu, ia Bisa menanganinya sendiri atau orang
lain.
Beberapa Hal Penting:
Tersebut
di dalam Syarhul Minhaj milik Guru kita: Bila seorang suami membeli perhiasan
atau sutera tebal untuk istrinya dan diperhiaskan untuknya, maka dengan cara
itu barang tersebut tidak kemudian menjadi milik istri.
Bila
istri berselisih dengan suaminya mengenai dihadiahkan atau dipinjamkan suatu
barang itu, maka yang dibenarkan adalah suaminya. Begitu juga perselisihan
dengan ahli waris Suami.
Bila orangtua
memperlengkapi anak putrinya dengan suatu perlengkapan rumah tangga, maka anak
putri tersebut dapat memilikinya, kecuali setelah ada ijab dan qabul:
Perkataan yang dibenarkan adalah perkataan orangtua (ayah), bahwa dirinya
tidak memberikan hak milik kepada anaknya.
Dari
keterangan di atas, dapat diambil pengertian, bahwa pemberian suami yang
disebut Shulhah (pemberian di kala istri marah, agar mau damai) atau
Shabahiyah (pemberian di waktu paginya dari malam perkawinan), sebagaimana
yang banyak terjadi di suatu daerah, adalah tidak menjadi hak mikk istri,
kecuali setelah kata-kata yang memberikan hak milik atau ada maksud
menghadiahkannya: lain halnya dengan perrdapat yang telah lewat (pada Bab
Hibah) dari fatwa Al-Hanathi.
Fatwa yang telah
dikeluarkan oleh tidak hanya seorang fukaha, bahwa bila seorang suami
memberikan kepada istrinya sesuatu untuk walimah perkawinan, mahar atau
shabahiyah, lalu istri nusyus, kemudian suami boleh meminta kembali semua itu,
adalah fatwa yang tidak benar, karena pembatasan “nusyus” adalah tidak mengena
pada pemberian Shabahah, sebab sebagai keterangan yang kupaparkan, bahwa
pembenanin seperti Shulhah, yaitu bila suami melafalkan atau bertujuan
menghadiahkan, maka istri dapat menulikinya, tetapi jika tidak, maka tetap
menjadi milik suaminya.
Adapun pemberian suami
untuk walimah perkawinan, adalah tidak wajib, yang karenanya jika dengan izin
suami, istri mentasarufkan barang tersebut, maka hilang hak milik suami.
Adapun
mahar yang diberikan kepada istri, maka jika ia nusyus sebelum pernah dijimak,
maka suami dapat menarik kembali, tetapi kalau sudah pernah dijimak, maka
tidak dapat menariknya lagi,lantaran ketetapan mahar itu sebab per. setubuhan,
karena itu, suami tidak dapat menarik kembali dengan nusyus istri.
Secara
Ijmak, seluruh macam nafkah istri menjadi gugur lantaran ia nusyus, sekalipun
hanya sebentar: yaitu menyimpang dari ketaatan kepada suami, sekalipun hal itu
tidak berdosa bagi istri. Misalnya istri masih kecil, gila atau dipaksa.
Karena
itu, gugurlah nafkah sehan dan hak pakaian satu periode (sekalipun nusyusnya
hanya sebentar), dan masa nusyus dengan masa taatnya tidak harus dibagi
sendiri-sendiri.
Bila suami tidak mengetahui
keguguran hak nafkah lantaran nusyus, laluia menafkahinya, maka ia boleh
meminta kembali jika suami termasuk orang yang kurang mengetahui masalah
tersebut. Hanya saja seorang yang memberikan nafkah dalam ikatan perkawinan
atau pembelian yang fasid, adalah tidak boleh meminta kembali, sekalipunia
tidak mengetahui fasad tersebut, sebab keberadaan laki-laki tersebut melakukan
nikah/pembelian, berarti la sanggup menanggung nafkahnya, tetapi dalam masalah
ketidaktahuan mengenai gugur nafkah sebab nusyus, tidak seperti ini.
Demikian
juga orang yang secara batin telah jatuh talaknya dan ia tidak mengetahuinya,
lalu beberapa hari memberi nafkah, kemudian mengetahui hal itu, maka ia tidak
boleh meminta kembali apa yang telah dinafkahkan, menurut beberapa tinjauan
pendapat.
Nusyus sudah dianggap terjadi karena
istri menolak ajakan suami untuk melakukan tamattu’, sekalipun hanya bentuk
tamattu’ semacam memegang atau pada anggota tubuh istri yang telah ditentukan
oleh suami.
Tidak dianggap nusyus bila istri
menolak suami lantaran ada uzur, misalnya alat kelamin suami terlalu besar,
yang sekira istri tidak sanggup menerimanya, istri sedang sakit yang membawa
mudarat bila bersetubuh, farjinya sedang terluka dan semacam haid.
Besar
alat kelamin suami dapat ditetapkan dengan ada ikrar suami atau persaksian dua
laki-laki juru khitan, dan mereka berdua berupaya -selain memasukkan zakar
pada farji yang diharamkan atau duburagar zakar suami yang mereka berikan
persaksiannya itu bisa ereksi, atau dengan persaksian 4 wanita.
Bila
besar zakar tersebut tidak diketahui, kecuali dengan 4 wanita itu melihat alat
kelamin suami-istri dalam keadaan terbuka ketika zakar ereksi (tegang), maka
bagi mereka halal melihatnya demi memberikan kesaksian.
Cabang:
Istri
yang belum dijimak dalam keadaan sudah balig serta kehendaknya sendiri, adalah
diperbolehkan menolak ditamattu’i oleh suaminya demi mengambil maharnya yang
kontan, karena penolakan sepert ini adalah haknya, maka ia tidak dapat
dianggap nusyus, sehingga menggugurkan nafkahnya.
Bila
penolakannya lantaran untuk mengambil maharnya yang tidak kontan atau setelah
ia pernah dijimak menurut (diam) saja, maka nafkah menjadi gugur.
Bila
penolakan di atas dilakukan setelah pernah dijimak dengan cara paksa atau ia
belum balig -sekalipun telah diserahkan oleh walinya-, maka hak nafkah tidak
gugur.
Bila suami mendakwakan telah pernah
menjimaknya dengan ada tamkin dari istri dan ia meminta istrinya untuk
diserahkan kepada dirinya, lalu istri mengingkari dakwaan tersebut dan menolak
diserahkan kepada suaminya, maka yang dibenarkan adalah pihak istri (dengan
disumpah).
Nusyus terjadi pula sebabistri keluar.
dari tempat tinggal yang telah direstui oleh suaminya untuk ditempati,
sekalipun rumah istri sendiri atau rumah ayahnya tanpa seian suaminya serta
tidak memperkirakan kerelaan suaminya, walaupun untuk keperluan menjenguk
orang sakit atau suami sedang tidak berada di tempat, dengan rincian yang
diterangkan di belakang.
Karena itu, keluar istri
tanpa kerelaan suaminya -walaupun untuk menjenguk orang saleh, selain mahram
atau majelis zikir-, adalah : maksiat dan nusyus.
Al-Adzra’i
dan lainnya mengambil pembicaraan Asy-Syafi’i, bahwa dalam masalah keluar
rumah yang dikehendaki, bagi istri dapat berpedoman pada kebiasaan yang
menunjukkan adanya kerelaan hati para suami yang semisal suaminya. Guru kita
berkata: Hal itu mungkin arahannya selama istri tidak mengetahui ada
kecemburuan suami yang dapat membuat berlainan dengan suami-suami yang lain
dalam masalah kerelaan di atas.
Peringatan:
Istri
boleh keluar rumah karena bebarapa hal.
Antara lain, bila rumah
tempat tinggal mau runtuh.
Apakah cukup dengan
ucapan istri: “Aku khawatir rumah mau runtuh”, atau harus ada indikasi yang
dari segi adat dapat menunjukkan rumah akan runtuh?.
Dalam
hal ini Guru kita berkata: Kedua-duanya terdapat nilai perimbangan (sama-sama
mungkin) dan yang lebih mendekati kebenaran adalah yang kedua.
Antara
lain, bila istri mengkhwatirkan diri atau hartanya dari orang fasik atau
pencuri.
Antara lain, bila istri keluar untuk
menuntut hak dari suaminya.
Antara lain,
keluarnya untuk menuntut ilmu-ilmu fardu ain, atau mohon fatwa sekira suaminya
yang tsiqah atau mahramnya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, menurut
pendapat yang dizhahirkan Guru kita.
Antara lain
lagi: Bila istri keluar dari rumah untuk bekerja mencari nafkah dengan
berdagang, meminta-minta atau bekerja kasar, jika suami melarat.
Antara
lain lagi. Bila istri tanpa seizin suami keluar bukan dalam sikap nusyus dh
waktu tidak berada di dalam daerah, untuk ziarah atau menjenguk kerabat, bukan
laki-laki atau perempuan lain -menurut Al-Aujah-, sebab keluar yang sedemikian
rupa, tidak terhutung nusyus menurut kebiasaan.
Guru
kita berkata. Yang Zhahir, hal dh atas bila suami tidak melarang istri keluar
atau mengirim surat larangan.
Nusyus terjadi
dengan kepergian istri -tanpa seizin suami- yang sendirian ke tempat yang bagi
musafir sudah diperbolehkan menggashar salat, sekalipun untuk menjenguk kedua
orangtuanya atau haji, dan sekalipun untuk keperluan suaminya.
Hal
itu jika bukan karena terpaksa, misalnya seluruh penduduk daerah setempat.
meninggalkan tempatnya, sedang yang tertinggal hanya orang, yang seorang istri
tidak dapat aman bila bersamanya.
Atau kepergian
atas izin suaminya, tetapi untuk keperluan istri atau lakilaki lain, maka
menurut pendapat Al-Azhhar hak nafkahnya gugur sebab tidak ada tamkin.
Apabila
atas izin suami, seorang istri pergi untuk kepentingan suami-istri, maka
menurut kesimpulan yang dimenangkan dalam Bab Al-Aiman, tentang masalah bila
suami berkata kepada istrinya. “Bila kamu keluar untuk keperluan ke kamar
mandi, maka kamu tertalak”, lalu ia keluar ke kamar mandi dan tempat lainnya,
maka istri tidak tertalak, maka hak nafkahnya tidak gugur di siru, tetap
menurut Nash Al-Um dan Mukh-ashar Al-Muzami, menetapkan adanya keguguran.
Nusyus
tidak terjadi dengan kepergian istri bersama suami atas Iannya, sekalipun
untuk kebutuhan Istri, juga hdak terjadi dengan kepergian istri atas izin dan
keperluan suami, sekalipun beserta keperluan selain suami Karena itu, hak
nafkah istri tidak gugur, sebab istri masih tamkin, sedang suami sendiri yang
menghilangkan haknya dalam contoh kedua.
Tersebutkan
di dalam Al-Jawahir dan lainnya, yang dinukil dari Al Mawardi dan lainnya:
Bila istri menolak meninggalkan tempat bersama suaminya, maka ia tidak wajib
diberi nafkah, kecuali ketika menolak tersebut suami masih melakukan tamattu’
dengannya, maka nafkah wajib diberikan kepadanya: berarti tamattu’ tersebut
sebagai ampunan (kerelaan) suami terhadap keengganan berpindah.
Guru
kita berkata: Kesesuaian keterangan Al-Jawahir tersebut, diberlakukan pada
bentuk-bentuk nusyus yang lain dan hal itu mungkin jadinya.
Hak
nafkah gugur pula karena istri: menutup pintu di depan suaminya dan dengan
dakwaan istri secara. tidak beres tentang jatuh talak bain.
Tidak
termasuk nusyus, makian dan umpatan lisan istri yang menyakitkan hati sang
suami, sekalipun atas sikap tersebut suami berhak mendidiknya.
Penting:
Apabila
seorang wanita yang suaminya musnah, kawin lagi dengan lakilaki lain, padahal
kematiannya belum ditetapkan, maka hak nafkah dari suami pertama menjadi
gugur, dan tidak kembali lagi hak nafkah, kecuali setelah suami pertama
mengetahui bahwa istrinya kembali lagi ke tangannya serta taat kepadanya
setelah diceraikan oleh suami kedua.
Faedah:
Suami
diperbolehkan melarang istrinya keluar dari rumah, sekalipun karena kematian
salah satu orangtua istri atau menghadiri jenazahnya. Ia Juga diperbolehkan
melarang istri mempersilakan orang lain -selain pembantu wanitamasuk ke rumah
suami, sekalipun itu kedua orangtua istri atau anak laki-lakinya dari suami
pertama.
Tetapi melarang kedua orangtua istri
masuk, adalah makruh, sekira tidak ada uzur.
Bila
tempat tinggal yang ditempati adalah milik istri, maka bagi suami tidak boleh
melarang itu semua, selam di kala timbul keraguan Penyempurnaan:
Bila
istri nusyus dengan keluar rumah, lalu suami pergi dan di kala kepergiannya
sang istri kembali taat dengan cara semacam kembali lagi ke rumah, maka
menurut Al-Ashah, selama masa kepergiannya ia tidak wajib memberi nafkah,
sebab istri lepas dari genggamannya.
Maka harus
ada pembaruan penyerahterimaan (dari istri) dan penerimaan (dari suami),
sedang dua hal ini tidak bisa terjadi dengan ketidak hadiran suami.
Karena
situ, cara agar istri dapat menghaku kembali nafkahnya Hakim mengirim surat
kepada qadhi daerah suami berada, agar menetapkan bahwa istrinya telah kembali
dan taat, setelah suami mengetahui dan kembali pulang atau mengutus orang
untuk menerima istri atas nama suami tersebut atau tidak melakukan hal itu
lantaran uzur, maka kembalilah hak nafakah istri.
Kesesuaian
pendapat Syafi’i dalam kaul Kadim, bahwa hak nafkah kembali lagi sejak istri
kembali taat, sebab menurut kaul Kadim yang menetapkan hak nafkah, adalah akad
nikah, bukan tamkin, dan seperti ini Imam Malik berpendapat.
Para
fukaha menerangkan nusyus istri dalam bentuk murtad, adalah secara mutlak
menjadi hilang dengan kembalinya pada agama Islam, karena hilang perkara yang
menggugurkan hak nafkah.
Al-Adzra’i mengambil
pengertian dari penjelasan di atas, bahwa bila istri nusyus dengan tetap
berada di dalam rumah dan tidak keluar darinya, misalnya ia menolak:
menyerahkan dirinya kepada suami, lalu suami pergi meninggalkannya, kemudian
istri kembali taat kepada Suaminya, maka kembalilah hak nafkah tanpa perantara
seorang qadhi. Memang begitulah yang benar menurut Al-Ashah.
Bila
seorang istri yang suaminya tidak ada di tempat memohon qadhi agar menentukan
keputusan mengenai haknya atas suami, maka disyaratkan ada ketetapan nikah,
istri bersumpah bahwa dirinya berhak menerima nafkah dan belum menerimanya
untuk jatah mendatang maka dalam keadaan seperti itu, qadhi bisa menentukan
besar hak nafkah istri atas suami yang melarat, kecuali telah ditetapkan kaya
suami.
Cabang: Fasakh Nikah
Fasakh
nikah itu disyariatkan untuk menolak mudarat yang menimpa seorang istri.
Bagi
istri yang mukalaf -balig dan berakal sehat-, bukan walinya, adalah boleh
memfasakh nikah suaminya yang kesulitan harta dan pekerjaan, yang patut
baginya dan halal, di mana ia tidak dapat semata menunggu kebaligan, setelah
balig ia dapat memfasakh dirinya, sekalipun setelah dijimak, sebab
persetubuhan tersebut dianggap tidak terjadi.
Adapun
bila istri telah menerima sebagian mahar, maka istri tidak boleh melakukan
fasakh, menurut yang difatwakan oleh Ibnush Shalah dan dipegangi oleh
Al-Asnawi, Az-Zarkasyi dan Guru kita. Al Barizi sebagaimana Al-Jaujari
berkata: Istri tetap boleh fasakh rukah, dan pendapat ini dipegang oleh
Al-Adzra’i.
Peringatan:
Ketidakmampuan
suami di atas (nafkah, pakaian, tempat tinggal dan mahar), ternyatakan dengan
ketidakwujudan harta suami dalam jarak sejauh perjalanan yang diperbolehkan
menggashar salat: karena itu, istri tidak diwajibkan bersabar, kecuali harta
itu dalam jangka Imhal (penundaan suami melarat, yaitu 3 hari).
Atau
bisa ternyatakan dengan ditundanya pembayaran oleh orang lain atas piutangnya,
selama tempo cukup menghadirkan hartanya yang tidak hadir (gaib) dalam jarak
perjalanan qashrushalah (mengqashar salat).
Atau
dapat ternyatakan dengan tiba waktu pelunasan piutangnya, di mana orang yang
utang kepadanya baru melarat -sekalipun pengutang itu istrinya sendiri-, sebab
istri di kala kemelaratan suaminya, tidak dapat mendapat haknya dan orang yang
melarat itu ditunda penagihannya terhadap dirinya.
Bisa
ternyatakan dengan ketidakadaan orang yang mempekerjakan diri suami, bila
ketidakadaan ini umum terjadi.
Atau dengan
penghalang untuk bisa bekerja seperti biasanya.
Faedah:
Bila
seorang istri mempunyai piutang yang telah sanfpai masa pembayarannya atas
suami yang sedang bepergian (gaib), baik itu berupa mahar atau lainnya, dan di
tangannya terdapat sebagian harta suaminya sebagai wadi’ah, maka – apakah bagi
istri tersebut dapat mengambil pembayaran piutangnya dari harta itu dengan
sendirinya tanpa melapor kepada qadhi, lalu ia memfasakh nikah lantaran
kemelaratan suanu atau harus melapor?
Maka,
sebagian Ashhabuna menjawabnya: Istri tersebut tidak boleh mengambilnya secara
bebas (sendiri), tetapi ra harus melaporkan masalahnya kepada qadhi, sebagai
hak pengawasan harta orang yang tidak berada di tempat adalah qadhi, tetapi
bild Wanita itu yakin bahwa Suaminya hdak membennya izin, kecuali pada harta
yang suami ambil dannya, maka istri tersebut boleh mengambil haknya secara
beba.
Apabila harta titipan (wadi’ah) tersebut
telah habis dan istri ingin memfasakh nikah sebab kemelaratan suaminya yang
tidak berada di tempat, jika tidak ada seorang pun yang mengetahu mengena
harta itu, maka istri harus mendakwakan (di depan qadhi), bahwa Suaminya
melarat, ia tidak punya harta yang ada di tempat dan tidak meninggalkan
nafkah, serta ia menetapkan kemelaratan suaminya (dengan ikrar atau bayinah)
dan bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan ia
meninggalkan nafkah dengan niat, bahwa suami tidak meninggalkan nafkah, adalah
nafkah tidak ada sekarang, lalu ia memfasakh nikah dengan syarat-syarat
fasakh.
Bila ada seorang yang mengetahui bahwa
harta itu belum habis, maka bagi istri harus mengajukan bayinah yang
mengatakan habis harta tersebut (di samping bayinah dakwaan kemelaratan suami
dan seterusnya). Selesai.
Maka, menurut peridapat
Al-Muktamad tidak diperbolehkan memfasakh nikah lantaran suami yang kaya atau
cukupan enggan memberi nafkah, baik suami berada di rumah atau sedang tidak
ada, bila tidak telah terputus beritanya.
Karena
itu, bila kabar beritanya telah terputus dan ia tidak mempunyai harta yang ada
di tempat, maka istri boleh memfasakh nikah, sebab keuzuran menunaikan hak
istri, lantaran terputus kabar beritanya itu seperti saja keuzuran
kemelaratan, sebagaimana yang dimantapkan oleh Syekh Zakariya dan diselisihi
oleh muridnya, yaitu Guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami). Segolongan fukaha
kebanyakan dan kalangan Muhaqqiqul Mutaakhirun memilih memperbolehkan fasakh
bagi istri terhadap suami yang gaib serta uzur memperoleh nafkah darinya.
Pendapat
tersebut di atas dikuatkan oleh Ibnush Shalah dan dia berkata dalam fatwanya:
Bila terasa sulit mendapatkan nafkah lantaran harta yang berada di tempat
serta tidak dapat mengambilnya dari suami & mana berada dengan menggunakan
surat dari hakim atau lainnya, lantaran suami tidak diketahui, di mana
tempatnya atau diketahui tetapi sulit penuntutannya, baik keadaan suami
diketahui kaya-melaratnya atau tidak, maka melalui hakim, istri dapat
memfasakh:, Fatwa yang memperbolehkan fasakh nikah adalah yang sahih.
Selesai.
Guru kita di dalam Asy-Syarhul Kabir
menukil pembicaraan Ibnush Shalah dan pada akhirnya beliau berkata Dengan apa
yang dikatakan oleh Ibnush Shalah, segolongan fukaha Mutaakhirun dari Yaman
berfatwa.
Al-Allamah Al-Muhaqqiq AthThanbadawi
berkata dalam Fatawanya: Pendapat yang kita pilih dengan mengikuti Al-Aimmah
Al-Muhaqqiq, adalah bila suami tidak mempunyai harta sebagaimana dalam uraian
di atas, maka istri boleh memfasakh nikah, sekalipun zhahirnya mazhab
bertentangan dengan itu, Karena firman Allah swt. “… dan Allah tidak
menjadikan kamu kesempitan dalam beragama”. (Q.S. 22, Al-Hajj: 78), dan karena
sabda Nabi saw.: “Aku diutus dengan membawa ajaran yang cenderung menuju
kebenaran dan mudah”, karena bidang fasakh adalah berkisar ada mudarat, sedang
tidak diragukan lagi, bahwa bila tidak mungkin bisa diperoleh nafkah dari
suami -sekalipun kaya-, maka dharar pasti menimpa seorang istruii, sebab
rahasia fasakh adalah mudarat sang istri dan hal iru telah terjadi padanya,
apalagi dengan ada kemelaratan suami, Karena itu, keuzuran istri mendapat
nafkah dari suami sama hukumnya ada kemelaratannya. Selesai.
Murid
beliau -yaitu Guru kita, Khatimul Muhaqqiqin, Ibnu Ziyadzberkata dalam
Fatawa-nya: Kesimpulan (garis besarnya), menurut mazhab yang diberlakukan oleh
Ar-Rafi’i dan An-Nawawi, adalah tidak boleh fasakh, sebagaimana keterangan
yang telah lewat: Pendapat Al-Mukhtar adalah: Boleh fasakh nikah, dan Ibnu
Ziyadz dalam fatwanya yang lain memantapi kebolehan fasakh,
Fasakh
lantaran suami tidak mampu memberi nafkah dan lainnya atau mahar, tidak sah
dilakukan sebelum ditetapkan hal itu dengan ikrar suami atau bayinah yang
menuturkan kemelaratan suami sekarang: juga tidak cukup bayinah hanya
menuturkan, bahwa suami pergi dalam keadaan tidak mampu (melarat).
Dalam
persaksiannya, bayinah diperbolehkan berpedoman dengan keadaan suami yang
tidak berada di tempat itu, masih tetap seperti keadaan semula, waktu baru
pergi, baik kemelaratan ataupun kekayaannya serta bayinah tidak perlu ditanya:
“Dari mana kamu mengetahui kalau suami sekarang dalam keadaan melarat?”:
Karena itu, bila bayinah menjelaskan kesaksiannya dengan menyebut dasar
alasannya, maka persaksiannya menjadi batal.
(Ketetapan
kemelaratan suami seperti di atas) adalah di depan qadhi atau muhakkam Karena
itu, masalah iru harus dilaporkan dulu padanya: yang karenanya, bila fasakh
dilakukan sebelum dilaporkan, hukumnya secara lahir maupun batin adalah tidak
sah. Idah wanita yang memfasakh nikahnya, terhitung sejak fasakh (bukan
melapor).
Guru kita berkata: Bila di tempat Istri
tersebut dak terdapat qadhi atau muhakkam, atau istri tidak dapat melapor
lantaran qadhi musalnya berkata. “Aku tdak mau memfasakh nikah sehingga engkau
memberiku harta”, maka istri dapat memfasakh sendiri karena darurat, dan
fasakhnya sah menurut lahir dan batin, sebagaimana yang jelas bagi kita.
Lain
halnya menurut pendapat yang mengatakan bahwa fasakh sah menurut hukum lahir.
Fasakh menjadi sah lahir dan batin, karena fasakh di sini dilakukan atas dasar
(asal) yang sahih, yang akhirnya menetapkan ada sah menurut batin. Kemudian
kudapatkan tidak hanya seorang fukaha yang memantapi seperti itu. Selesai
Tersebut
di dalam fatwa Guru kita, Ibnu Ziyad: Bila istri tidak mampu mengajukan
bayinah mengenai kemelaratan suami, maka baginya boleh memfasakh nikah dengan
sendirinya (tanpa melalui qadhi). Selesai.
Syekh
Athiyah Al-Maki di dalam fatwanya berkata: Bila ada uzur pada qadhu atau tidak
bisa ditetapkan kemelaratan suami di depannya lantaran sepi para saksi atau
mereka sedang tidak ada, maka bagi istri dapat memberikan persaksian: tentang
keberadaan fasakh nikah dan melaksanakan fasakh terhadap dirinya sendiri,
sebagaimana perkataan para fukaha tentang Murtahin: Bila Rahin tidak berada di
tempat dan terasa uzur menetapkan ada rahan di depan qadhi, maka bagi Murtahin
boleh menjual barang gadai (marhun) tanpa melalui persetujuan qadhi: bahkan
dalam masalah fasakh Ini lebih penting dan lebih banyak terjadi. Selesai.
Karena
itu, bila syarat-syarat fasakh telah terpenuhi, yaitu: (1) Istri selalu
tinggal dalam rumah ketika ditinggalkan oleh suaminya, (2) Istri tidak
melakukan nusyus: (3) Istri telah bersumpah mengenai dua hal di atas, (4)
Istri bersumpah bahwa suaminya tidak mempunyai harta di tempat dan tidak
meninggalkan nafkah untuk dirinya, dan (5) istri menetapkan kemelaratan suami
membayar semacam nafkah -menurut Al-Muktamad-, atau uzur baginya menghasilkan
nafkah -menurut Al-Mukhtar-, maka qadhi atau muhakkam wajib menunda fasakh
selama tiga hari.
Sekalipun suami tidak meminta
penundaan dan tidak mengharapkan bisa menghasilkan sesuatu pada masa yang akan
datang, sebab sudah nyatalah kemelaratan suami mengenai fasakh yang
berhubungan dengan selain mahar, sebab fasakh rukah lantaran tidak mampu
membayar mahar harus seketika (tidak memakai penundaan).
Guru
kita berfatwa: Untuk fasakh nikah suami yang tiada di tempat, tidak perlu
memakai penundaan. Kemudian, setelah masa tiga haritiga malam, maka
qadhi/muhakkam pada pertengahan hari keempat memfasakh rukah. Dasarnya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni mengenai suami yang
tidak mendapat nafkah untuk istrinya, adalah diceraikan.
Dengan
hadis itu pula Umar r.a. dan Abu Hurairah r.a. memutuskan suatu hukum Imam
Syafi’i berkata: Aku tidak mengerti tentang seorang dari kalangan sahabat yang
menyelisihi mereka.
Bila istri memfasakh nikah
melalui hakim atas suaminya yang tidak berada di tempat, lalu suaminya pulang
dan mendakwa bahwa dirinya mempunyai harta di daerah setempat, maka fasakh
tidak batal menurut fatwa Al-Ghazali: kecuali bila tertetapkan bahwa istri
mengetahu harta itu dan dengan mudah ia dapat mengambil nafkah darinya.
Lain
halnya bila hartanya itu berupa pekarangan dan barang dagangan yang sukar
menjualnya, maka harta tersebut hukumnya seperti tidak ada.
Atau
setelah masa 3 hari denganian qadhi istri dapat memfasakh sendiri dengan
ucapan “nikah kufasakh”.
Bila suami menyerahkan
nafkah pada hari ke-4, maka ia tidak dapat memfasakh nikah, sebab nafkah untuk
hari-hari yang telah berlalu statusnya menjadi utang suami.
Bila
setelah menyerahkan nafkah hari ke-4 suami melarat lagi untuk nafkah hari
ke-5, maka istri tetap memegangi masa Imhal yang telah berjalan dan tidak
perlu memulai: Imhalnya lagi (berarti ketika itu sudah dapat memfasakh).
Zhahir
ucapan fukaha bahwa bila suami tidak mampu lagi membayar nafkah hari ke-6,
maka ia harus memulai lagi masa Imhalnya, Pendapat ini Muhtamal (mengandung
alternatif): bisa jadi, bila antara masa melarat yang pertama dengan melarat
kedua ditengah-tengahi masa tiga hari, maka masa Imhal harus diulangi dari
permulaan, tetapi bila kurang dari itu, maka tidak wajib memulainya lagi,
sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita. Bila ada laki-laki lain yang dengan
sukarela memberikan nafkah, maka istri tidak wajib menerimanya, tetapi ia
tetap boleh memfasakh.
Cabang:
Selama
masa Imhal dan masa kerelaan tentang kemelaratan suami, istri boleh keluar di
siang hari dengan memaksa suami agar memberi nafkah atau keluar untuk bekerja,
sekalipun ta sendiri masih mempunyai harta dan Sekalipun ia dapat bekerja di
rumah.
Bagi suami yang melarat tersebuy tidak
berhak mencegahnya, sebah penahanannya terhadap istri hanya sebagai imbalan
pemberian nafkah kepada istri.
Istri wajib pulang
ke rumahnya, sewaktu malam telah tiba, sebab itu adalah waktu, istirahat,
bukan bekerja.
Istri berhak menolak suami
melakukan tamattu’ kepadanya di siang hari begitu juga malam harinya, tetapi
hak nafkahnya gugur dari tanggungan suami, selama menolak tamattu’ di malam
hari.
Guru kita berkata: Kiasnya. istri tidak
mempunyai hak nafkah pada waktu keluar rumah untuk bekerja.
Beberapa
Cabang:
Tidak ada hak fasakh bagi sayid, pemilik
amat, dalam kaitarr suaminya tidak mampu membayar selain mahar, dan ia juga
tidak berhak melarang amatnya melakukan fasakh(lantaran suaminya tidak mampu
membayar) selain mahar. Juga tidak berhak mencegah amat memfasakh nikah, sebab
suaminya melarat atas pembayaran selain mahar di kala amatnya telah rela atas
kemelaratan suaminya atau amat itu tidak dibebani mencari nafkah, sebab hak
nafkah pada dasarnya adalah milik amat itu sendiri.
Tetapi
sayid tersebut berhak melindungi amat ke pangkuannya dengan cara tidak memberi
nafkah dan berkata: “Fasakhlah nikahmu atau kamu ptlih lapar”, sebab hal ini
untuk menghindari mudarat pada diri sayid tersebut.
Bila
sayid mengawinkan amatnya dengan budaknya sendiri dan suami tersebut masih
bekerja pada sayidnya, maka tidak ada hak fasakh untuk amat dan untuk sayid
itu, sebab biaya hidupnya menjadi tanggungan pemilik (sayid).
Bila
tuan pemilik budak wanita Mustauladah melarat atas nafkah budak tersebut, maka
Abu Zaid berkata: Pemilik harus dipaksa memerdekakan budak tersebut atau
mengawinkannya.
Faedah:
Bila
suami mengalami kemusnahan (tidak diketahui keberadaannya) sebelum istri
tamkin, maka sang istri tidak boleh memfasakh sang istri tidak boleh memfasakh
nikah, menurut lahir pembicaraan fukaha.
Menurut
mazhab Malik: Tidak ada perbedaan antara istri yang telah tamkin dengan yang
belum, bila nafkah tidak didapatkan dan telah diterapkan masa untuk meminta
dan meneliti, yang menurut Malik selama satu bulan, kemudian diperbolehkan
memfasakh nikah.
Penyempurna: Belanja Keluarga
Orang
laki-laki/perempuan yang kaya -walaupun dari hasil kerja yang ia kerjakan-,
yang telah melebihi biaya hidup makan dirinya dan orang yang ia tanggung
selama seharisemalam -sekalipun belum melebihi dari tanggungan utangnya-
adalah wajib mencukupi nafkah beserta lauk-pauknya, pakaian dan obatobatan
buat orangtua ke atas -baik laki-laki ataupun perempuan- dan anak turunnya ke
bawah -baik lakilaki ataupun perempuan-, jika mereka tidak mempunyai kecukupan
di atas, sekalipun agamanya berlainan.
Tidak
wajib, jika salah satu dari orang di atas (Ashal dan Far’u) adalah kafir Harbi
atau Murtad.
Guru kita dalam Syarhul Irsyad
berkata: Juga tidak wajib, jika ia berzina mukhshan atau meninggal. kan salat,
lain halnya dengan pendapat beliau di dalam Syarhul Minhaj, juga tidak wajib,
jika anak turun sudah mencapai usia balig dan ta tidak mau bekerja yang patut
baginya.
Kewajiban tersebut berpengaruh dengan
adanya kemampuan ibu atau anak perempuan. untuk menikah, tetapi hak nafkahnya
menyadi gugur sejak akad nikah. Dalam hal ini masih ada penelitian, sebab
nafkahnya menjadi tanggungan suami dengan keberadaan tamkin, sebagaimana
uraian yang telah lewat, sekalipun suaminya melarat, selama istri tidak
melakukan fasakh nikah.
Nafkah yang wajib karena
kerabat (Ashal/Far’u), bila terlewatkan (dan belum diberikan), maka tidak bisa
menjadi tanggungan utang orang yang wajib menanggungnya, kecuali bila qadhi
mengutanginya lantaran penanggung nafkah tidak ada di tempat atau enggan
memberikan.
Juga tidak menjadi utang, lantaran
kerabat berutang nafkah dengan Seizin qadhi.
Bila
suami/kerabat penanggung nafkah menolak memberi nafkah, maka pemilik nafkah
dapat mengambilnya tanpa minta izin kepada qadhi terlebih dahulu.
Cabang:
Orang
yang masih mempunyai ayah dan ibu,” maka nafkahnya menjadi tanggungan ayah.
Dikatakan: Bagi yang telah balig, nafkahnya menjadi tanggungan keduanya.
Barangsiapa
masih mempunyai orangtua (Ashal) dan anak turun (Far’u) maka nafkahnya menjadi
tanggungan anak turunnya, sekalipunkebawah.
Barangsiapa
mempunyai beberapa orangtua dan anak turun yang butuh ditanggung, sedang ia
sendiri tidak mampu mencukupinya, maka ia mendahulukan dirinya sendiri, lalu
istrinya -sekalipun banyak-, lalu kerabat yang lebih dekat, kemudian yang
lebih dekat.
Tetapi, bila ia mempunyai ayah. ibu
dan anak. maka yang ta dahulukan adalah nafkah anak yang kecil, lalu Ibu,
terus ayah, kemudian anak yang besar.
Ibu wajib
menyusui anaknya dengan air susu Laba’, yaitu air susu yang keluar pertama
kali melahurkan dan waktunya hanya sebentar Ada yang mengatakan, bahwa masa
keluar air susu Laba’ adalah kira-kira tiaga hari, dan ada yang mengatakan 7
hari.
Kemudian setelah itu, bila tidak dijumpai
wanita selain ibu itu atau Wanita lain, maka wajib menyusukan kepada wanita
yang ada dan ia berhak menerima upah dari orang yang menanggung nafkah (biaya)
hidup bayi.
Bila kedua-duanya ada, maka ibutidak
bolett dipaksa, baik ia sudah tidak bersuami atau bersuamikan ayah si bayi:
jika ibu merasa senang menyusuinya, maka ayah tidak boleh melarangnya, kecuali
bila ia menuntut upah menyusui di atas upah umum.
Bagi
ayah wajib menanggung upah umum buat ibu untuk penyusuan anaknya, sekira tidak
ada orang yang mau bersukarela untuk memberikan biaya penyusuannya, dan
sebagaimana orang yang bersukarela membiayai (mengupah) ibu dengan upah di
bawah standar umum.
PASAL TENTANG HADANAH
Hadhanah yaitu: Mendidik anak yang belum dapat mengatur dirinya
sampai mumayiz. Orang yang lebih berhak mendidiknya, adalah ibunya yang tidak
bersuamikan dengan lakilaki lain, lalu nenek dari garis ibu sampai ke atas,
kemudian ayah si anak, ibu-ibu ayah, saudara perempuan si anak, adik/kakak
perempuan ibu si anak, terus anak perempuan saudara perempuan si anak, lalu
anak perempuan saudara laki-laki si anak, kemudian adik/kakak perempuan ayah
si anak.
Anak mumayiz jika ditinggal cerai oleh
kedua orangtuanya, maka hadhanah berada di tangan salah seorang ayah atau ibu
yang dipilihnya.
Laki-laki yang dipilih mengasih,
berhak melarang anak perempuan asuhannya -bukan anak lakr-lakanyamengunjungi
ibu si anak. Ibu (Wanita) tidak dilarang mengunjungi anak laki-laki/perempuan
yang berada dalam asuhan orangtua laki-lakinya(ayah si anak) menurut adat.
Ibu
lebih utama merawat anak lakilaki/perempuan yang sakit di dalam asuhan
ayahnya, bila ayah si anak merelakan hal itu, tetapi jika tidak, maka dirawat
di rumahnya sendiri.
Bila anak mumayiz laki-laki
memilih diasuh oleh ibunya, maka di malam hari ia tinggal di rumah ibunya dan
di siang han di rumah ayahnya Atau bila anak mumayiz perempuan memilih diasuh
ibunya, maka ia baru di sisinya siang dan malam, dan ayah dapat mengunjunginya
menurut adat kebiasaan. Ayah tidak bisa minta anak perempuannya didatangkan ke
rumahnya.
Apabila anak mumayiz tidak memilih satu
dan keduanya, maka yang lebih utama mengasuh adalah ibu.
Salah
satu dari keduanya tidak boleh menyapih anak susuannya, sebelum umur 2 tahun
tanpa seizin yang lain. Ayah dan ibu dengan kesepakatan bersama, boleh
menyapih anak susuannya sebelum berusia 2 tahun, bila tidak membuat mudarat si
anak.
Salah satu dari keduanya berhak
menyapihnya, setelah anak berusia 2 tahun.
Keduanya
boleh menambah susuarnya melebihi 2 tahun, bila tidak membawa mudarat pada si
anak, tetapi Al-Hanathi mengeluarkan fatwa, bahwa sunah tidak menambahinya,
kecuali ada hajat.
Tuan pemilik wajib mencukupi
nafkah hidup budaknya -selain yang Mukatab-, sekalipun budaknya itu buta,
lumpuh, kaya atau banyak makannya, baik itu makanan dan pakaiannya dengan
jenis yang biasa diberikan kepada semisal budak-budak di daerah setempat.
Belum
cukup dengan pakaian penutup aurat saja, sekalipun derigan itu si budak tidak
sakit hati. Tetapi, bila itu adat yang berlaku di daerahnya, walaupun di daeah
Arab -menurut Al-Aujah-, maka telah mencukupinya, karena dengan demikian tidak
ada unsur penghinaan.
Tuan pemilik wajib
menanggung biaya obat dan dokter, jika itu dibutuhkan oleh budaknya.
Hasil
kerja budak adalah menjadi milik tuannya, maka ia bisa melakukan hal itu.
Tanggungan
biaya hidup sebab terlewat masanya (tidak menjadi utang bagi tuannya),
sebagaimana dengan nafkah yang ada pada kerabat.
Sunah
memben budaknya sesuatu yang menjadikan rikmatnya, baik itu berupa makanan,
lauk-pauk dan sandangan: Yang lebih utama adalah duduk bersama waktu makan.
Tidak
boleh memberatkan pekerjaan -sebagaimana binatangkepada buidaknya yang tidak
kuat memikul beban itu, sekalipun hatinya rela, sebab budak itu haram membuat
dirinya mudarat.
Bila tuannya masih membangkang
dan tetap membebani budaknya,
maka hakim harus
memaksanya agar menjualnya, jika memang penjualan tersebut satu-satunya jalan
untuk menyelesaikannya, tetapi jika masih ada jalan yang lain, maka hakim
harus memaksa pemilik agar menyewakan budaknya.
Adapun
pada waktu-waktu tertentu, maka bagi pemiliknya boleh membebari pekerjaan yang
berat Pemilik baru mengikuti adat yang berlaku mengenai istirahat budak dalam
waktu Qailulah dan tamattu’.
Tuan pemilik berhak
mencegah budaknya melakukan puasa dan salat sunah.
Pemilik
binatang muhtaramah (dimuliakan dalam syarak) -sekalipun anjing-, wajib
menanggung makanan dan minumannya, jika tidak biasa digembalakan dan telah
mencukupinya, tetapi jika sudah biasa digembalakan dan mencukupinya, maka
cukup dilepaskan untuk makan dan minum sekira tiada penghalang.
Bila
penggembalaan belum mencukupinya, maka harus menambah kekurangannya.
Bila
pemilik tidak mau memberinya makan atau melepaskan, maka ia harus dipaksa
menghilangkan hak miliknya atau menyembelih binatang yang halah dimakan, kalau
masih membangkang, maka hakim turun tangan melakukan yang lebih baik.
Masalah
budak pun seperti binatang di atas (cuma tidak boleh disembelih).
Binatang
yang tidak muhtaramah, tidak wajib diberi makan: Yaitu lima binatang perusak
(anjing galak, tikus, ular, burung hid’ah dan gagak).
Pemilik
binatang boleh memerah susu binatang tersebut, sejauh tidak membawa mudarat
pada binatang itu atau anaknya, dan memerah yang sampai membuat mudarat pada
binatang atau anaknya, sekalipun adanya itu sebab kurang makan.
Yang
zhahir, pembatasan mudarat adalah dengan sesuatu yang dapat menghalangi
pertumbuhan induk dan anak binatang-binatang semisalnya, sedangkan batas
mudarat pada anak binatang itu adnlah dengan sesuatu yang dapnt menjaga dari
kamatiane iwa untuk bntas mudarat yang kedua uu, Ar-Rafi’ tawaqquf (cocok),
Karena itu, yang wajib adalah membiarkan anak binatang secukupyang menguatkan,
sehingga tidak mati.
Sunah bagi pemerah susu
tidak keterlaluan dalam pemerahannya, tetapi hendaknya ia masih meninggalkan
susu di dalam tempat susu binatang tersebut.
Sunah
pula pemerah memotong kuku kedua tangannya.
Bila
anak binatang mati, maka boleh memerah induknya dengan bagaimana yang bisa
dilakukan (sekalipun tidak menyisakan susu di dalamnya).
Haram
mengadu sesama binatang.
Tidak wajib
menyemarakkan (memperindah rumah atau selokan seseorang, tetapi makruh
membiarkannya sampai rusak/roboh tanpa ada uzur, sebagaimana makruh pula tidak
mengairi tanaman sawah atau pepohonan, tidak makruh meninggalkan menanami
tanahnya dengan tanaman sawah atau pepohonan.
Tidak
makruh memperindah (menyemarakkan) rumah karena ada hajat, sekalipun sampai
menjulang tinggi. Hadis-hadis yang menunjukkan larangan membangun melebihi 7
dzira’, hubungannya adalah dengan orang yang membangun untuk kesombongan dan
keangkuhan & antara manusia. Allah swt. Maha Mengetahui.