Bab Wakalah Dan Qiradh | Fathul Muin
Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.
Daftar Isi
- Bab Wakalah Dan Qiradh
- Bab Ijarah (Sewa-Menyewa)
- Bab 'Ariyah (Pinjam-Meminjam)
- Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin
BAB WAKALAH DAN QIRADH
- بَابٌ فىِ الْوَكَالَةِ وَالْقِرَاضِ
Wakalah (perwakilan) sah dilakukan oleh seseorang yang berwenang dalam
bertindak untuk dirinya, misalnya wakalah budak sekalipun tanpa seizin tuannya
dan orang fasik untuk qabul akad nikah: Mereka tidak sah menjadi wakil dalam
ijabnya.
Wakalah adalah penyerahan kekuasaan oleh seseorang kepada
orang lain dalam urusan yang dapat digantikan, agar orang tersebut
melaksanakannya selagi penyerah masih hidup.
Wakalah sah dilakukan untuk setiap akad, misalnya: Jual beli, nikah, hibah,
gadai dan cerai yang jelas sasarannya.
Sah pula dilakukan pada
setiap fasakh (penggagalan), misalnya Igalah penggagalan jual beli dan
mengembalikan barang sebab cacat.
Sah pula dilakukan pada
penerimaan/menerimakan utang/barang.
Sah pula (menjadi wakil dari
imam atau tuan) dalam menunaikan pembalasan adami (misalnya kisas dan had
qadzaf: Begitu juga ‘uqubah lillah), dakwaan dan jawabannya (eksepsi),
sekalipun pihak lawan merasa tidak senang.
Wakalah dalam
perkara-perkara di atas, dihukumi sah, jika muwakkil (orang yang mewakilkan)
memiliki kekuasaan tasaruf terhadap perkara tersebut ketika terjadi akad
wakalah. Karena itu, tidak sah mewakilkan penjualan barang yang akan menjadi
miliknya atau mencerai wanita yang akan dinikahinya atas perkara tersebut di
saat itu.
Demikian juga tidak sah, mewakilkan kepada seseorang agar
mengawinkan wanita mauliyah (perwalian) nanti setelah dicerai dan habis
idahnya: Demikianlah menurut pendapat dua Guru kita (Ar-Raffi dan An-Nawawi)
dalam bab ini (Wakalah), tetapi di dalam Bab Nikah, An-Nawawi di dalam kitab
Ar-Raudhah mengunggulkan kesahan wakalah (pendapat yang terakhir ini adalah
daif).
Demikian juga An-Nawawi dalam tempat yang
sama (Bab Nikah) mengunggulkan kesahan wakalah wali (kepada seseorang) jika
wanita mauliyah yang masih dalam ikatan nikah atau idahnya, berkata, “Jika
telah halal (habis masa idah), engkau kuizinkan mengawinkan diriku”.
Jika
wali tersebut menggantungkan wakalahnya pada selesai idah atau talak
(misalnya, ia berkata, “Jika putriku sudah tertalak atau habis idahnya, maka
kuwakilkan agar engkau mengawinkannya”), maka akad wakalah hukumnya batal,
(tetapi) perkawinannya sah, karena sudah adaizin. –
Mewakilkan
agar memberi ikrar (pengakuan), adalah tidak sah, misalnya: seseorang berkata
kepada orang lain, “Aku mewakilkan kepadamu untuk berikrar atas namaku, agar
Fulan begini.”, lalu wakil itu menyatakan, “Aku berikrar atas namanya begini”.
Masalahnya, ikrar itu merupakan pemberitahuan orang lain (yang ada pada diri
pengikrar), karena itu tidak dapat diwakilkan.
Akan
tetapi, dengan adanya taukil di atas, maka berarti muwakkil berikrar.
Wakalah
tidak sah pula pada pengucapan sumpah, karena tujuan sumpah adalah
mengagungkan Allah swt. dan karenanya menyerupai ibadah. Disamakan dengan
sumpah, yaitu nazar, menggantungkan kemerdekaan budak atau talak dengan suatu
sifat.
Wakalah tidak sah pula pada pemberian
persaksian, karena disarnakan dengan ibadah, sebab pemberian persaksian
terhadap persaksian bukanlah taukil (mewakilkan), tetapi karena keperluan
menjadikan seorang saksi yang dijamin kesaksiannya, sebagaimana halnya seorang
hakim yang memutuskan hukum (terhadap terdakwa yang tidak ada di daerahnya)
lewat hakim lain.
Wakalah tidak sah pula dalam
ibadah, kecuali haji, umrah dan menyembelih semisal binatang kurban.
Wakalah
tidak sah, kecuali dengan keberadaan ijab, Yaitu pernyataan kerelaan dari
muwakkil yang. sah pinangan langsungnya dalam mentasarufkan muwakkal fih
(perkara yang diwakilkan).
Misalnya, “Aku
mewakilkan ke: padamu dalam masalah ini/Aku menyerahkan masalah ini kepadama/
Kamu kujadikan sebaga pengganuku dalam masalah ini/Jualkan kedudukanku dalam
masalah ini/ Jualkan barang ini dengan harga sekian/ Kawinkanlah wanita
Fulanah/ Talakkanlah ia/Engkau kuberi kekuasaan atas talaknya/Merdekakan
Fulan”,
As-Subki berkata: Dari pembicaraan para
ulama, dapatlah diketahui bahwa perkataan seorang wanita yang tidak mempunyai
wali, “Kuizinkan kepada siapa saja dalam daerah ini yang akan mengawinkanku”
adalah sah. Al-Adzra’i berkata: Itu dihukumi sah, jika si wanita tersebut
telah menentukan calon suaminya dan tidak menyerahkan kecuali hanya shighatnya
saja.
Atas pendapat Al-Adzra’i di atas, Ibnush
Shalah berfatwa.
Dalam wakalah tidak disyaratkan
ada qabul secara lisan (ucapan), namun disyaratkan tidak ada penolakan sama
sekali.
Jika seseorang yang belum mengetahui
bahwa dirinya menjadi wakil itu melakukan tasaruf, maka tasarufnya adalah sah,
jika kemudian ternyata ia telah menjadi wakil sewaktu tasaruf itu
dilaksanakan, sebagaimana seseorang yang menjual harta ayahnya dengan
persangkaan ayahnya masih hidup dan ternyata sudah mati (sejak penjualan
dilaksanakannya).
Tidak sah menggantungkan
wakalah dengan suatu syarat, misalnya, “Apabila telah tiba bulan Ramadhan,
maka aku mewakilkan kepadamu dalam urusan ini”.
Jika
wakil dalam wakalah melakukan tasaruf setelah terjadi syarat penggantungan
tersebut, misalnya seseorang mewakilkan orang lain untuk mencerai istri
muwakkil yang dinikahinya, menjual budak yang akan dimilikinya, atau
mengawinkan anak wanitanya setelah talak dan habis idahnya, lalu wakil
melakukan penalakan istri muwakkil setelah dinikahinya, menjual hambanya
setelah dimiliki atau mengawinkannya setelah habis idahnya, maka sahlah
tasaruf wakil tersebut, lantaran memberlakukan keumuman perizinan, sekalipun
kita berpendapat bahwa akad wakalah di sini batal dalam kaitannya dengan gugur
pemberian imbalan yang telah ditentukan dalam akad, jika ada ketentuan dan
kewajiban membayar upah sepantasnya.
Wakalah
dengan menggantungkan pentasarufannya saja adalah sah, misalnya, “Juallah
barang ini, tetapi setelah satu bulan nanti.” Juga sah dengan membatasi masa
berlakunya: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu sampai bulan Ramadhan.”
Dalam
wakalah disyaratkan keadaan muwakkal fih diketahui oleh wakil, sekalipun hanya
dari satu sisi: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu untuk menjual seluruh
hartaku dan memerdekakan budak-budakku”, sekalipun harta dan budak-budaknya
belum diketahui, karena kecilnya penipuan yang ada dalam perkataan
tersebut.
Lain halnya dengan: “Jualkanlah ini
atau itu”: Ini berbeda dengan “Jualkanlah salah seorang dari kedua budakku”,
sebab pengertian “salah seorang” itu bisa diterapkan pada mana saja budak yang
dimilikinya. Lain lagi (tidak sah) dengan: “Jualkanlah sebagian hartaku”.
Tetapi
wakalah sah dengan: “Jualkanlah atau hibahkanlah dari hartaku, terserah
padamu.”
Batal wakalah pada perkara (muwakkal
fih) yang tidak diketahui: misalnya, “Aku mewakilkan kepadamu pada perkara
yang sedikit dan yang banyak/pada setiap perkaraku”, atau “Tasarufkanlah
sekehendakmu pada perkara-perkaraku, karena besar kesamaran dalam perkataan
tersebut.
Sebagaimana dengan anggota
perserikatan, maka bagi wakil yang mempunyai wewenang campur tangan tasaruf
untuk dirinya, adalah berhak menjual muwakkal fih dengan harga sepatutnya atau
lebih tinggi dengan kontan.
Karena itu, ia tidak
boleh menjualnya secara angsuran, tidak boleh dengan selaun uang yang berlaku
di daerah setempat. tidak boleh dengan kerugian yang dianggap tidak tamah.
Barang yang harga semestinya 10 dijual dengan harga 9, adalah kerugian yang
dapat diampuni (tumrah), tetapi jika dijual dengan harga 8, maka tidak dapat
dianggap lumrah.
Apabila wakil menjual dengan
menyalahi peraturan di atas, maka penjualannya dianggap batal, dan jika telah
menyerahkan kepada pembeli, maka ia wajib menanggung nilai harganya dengan
perhitungan harga waktu penyerahan, sekalipun berupa barang mitsli. Sedangkan
jika barang tersebut masih ada, maka boleh menjualnya kembali dengan izin
semula, lalu menerima harga itu dan ia tidak wajib menanggung nilai harga.
Adapun
jika barang itu telah rusak, maka muwakkil boleh meminta gantinya kepada wakil
atau pembeli, sedangkan ketetapan yang mengganti adalah pembeli.
Semua
peraturan di atas adalah berlaku, jika muwakkil mewakilkan dalam penjualan
secara mutlak dengan kata lain ia tidak menentukan harga, kontan, angsuran
(bon) dan uang pembayarannya. Jika ia menentukan sesuatu (dari hal-hal di
atas), maka ketentuan itu wajib dituruti.
Cabang:
Jika muwakkil berkata kepada wakil: “Juallah
barang ini dengan harga terserah kamu”, maka baginya boleh menjualnya dengan
kerugian yang tidak lumrah, tetapi ia tidak boleh menjualnya dengan harga
angsuran dan tidak boleh pula dengan selain mata uang daerah (negara)
setempat.
Jika berkata: “…. dengan terserah
kamu/….pendapatmu”, maka ia boleh menjualnya dengan selain uang daerah
setempat, tetapi tidak boleh dengan kerugian yang tidak lumrah atau harga
angsuran.
Kalau berkata, “…. dengan cara terserah
kamu”, maka baginya boleh menjualnya dengan harga angsuran, tetapi tidak boleh
menjualnya dengan kerugian yang tidak lumrah atau selain uang daerah
setempat.
Jika berkata, “…. dengan harga tinggi
atau rendah”, maka baginya boleh menjual dengan harta dagangan (tidak dengan
mata uang) dan kerugian yang tidak lumrah, tetapi ia tidak menjualnya dengan
harga angsuran.
Bagi wakil tidak boleh menjual
muwakkil fih kepada dirinya sendiri atau perwaliannya (anak kecil, orang gila
atau bodoh yang dikuasai), sekalipun muwakkil telah memberinya izin dan
menentukan harga penjualannya -lain halnya dengan pendapat Ibnur Rif’ah-,
sebab terlarangnya terjadi ijab dan qabul dari satu pihak, sekalipun tidak ada
kecurigaan. Lain halnya jika dijual kepada ayah wakil atau anaknya yang sudah
rasyid.
Tidak sah menjualnya dengan harga umum
(mitsli), padahal masih ada orang lain yang membelinya dengan lebih tinggi
tanpa merugikan dan wakil mempercayai orang lain tersebut. Dalam hal ini
Al-Adzra’i berkata: Orang lain tersebut tidak biasa menunda-nunda pelunasan,
serta harta atau usahanya (pekerjaannya) tidak haram, artinya seluruh atau
sebagian harta/usahanya.
Apabila di tengah-tengah
khiyar majelis atau syarat -sekalipun hak khiyar milik pembeli sajaterdapat
pembeli kedua dengan harga lebih tinggi, sedangkan pembeli pertama tidak
berani menaikkan harga, maka bagi wakil harus menggagalkan (memfasakh) akad
jual beli (dan melanjutkan pada pembeli kedua). Jika ia tidak menggagalkan
jual beli, maka akad tersebut menjadi rusak dengan sendirinya.
Apabila
akad jual beli dilaksanakan dengan kontan, maka bagi wakil tidak boleh
menyerahkan barang jualan sebelum menerima harga pembayaran secara kontan,
maka ia wajib menang gung nilai harga mabi’ kepada muwakkil, sekalipun berupa
barang miltsli.
Wakil pembeli tidak boleh
membelikan barang yang cacat, sebab akad yang dinyatakan secara mutlak itu
menurut urf, adalah mengarah pada barang yang tidak cacat.
Jika
wakil mengerti kecacatan barang dan ia membelinya dengan harga tanggungan
pribadi, maka pembelian tersebut berlaku untuk dirinya, sekalipun harga
tersebut sesuai dengan kecacatan barang itu, kecuali jika muwakkil telah
menentukan barang cacat itu dan mengetahuinya, maka pembelian berlaku untuk
muwakki.
Sebagaimana (berlaku untuk muwakkil),
jika wakil membelinya lantaran ia tidak tahu kecacatan barang, baik itu dengan
harga pembayaran hartanya sendiri ataupun dengan harta muwakkil, sekalipun
harga belinya tidak sesuai dengan kecacatan barang tersebut,
Dari
keterangan di atas, dapatlah diketahui, bahwa sekira pembelian tersebut tidak
berlaku untuk muwakkil, maka jika harga yang dibuat membeli tersebut adalah
harta muwakkil, maka batallah pembeliannya, dan jika harta yang dibuat membeli
tersebut bukan harta muwakkil, maka pembelian berlaku untuk wakil.
Bagi
amil akad Qiradh (orang yang menjalankan modal orang lain) boleh membeli
barang yang cacat, sebat tujuan dari akad qiradh adalah mencari laba.
Alasan
dalam akad qiradh tersebut dapat diterapkan dalam akad wakalah: Jika tujuan
akad Pakatah tersebut mencari laba, maka bagi wakil boleh membeli barang yang
cacat, Begitulah hukum yang ada.
Wakil dan
muwakkil berhak mengembalikan barang cacat, di mana wakil tidak mengetahui
kecacatan tersebut. Jika muwakkil ada pada barang pembelian, maka bagi wakil
tidak berhak mengembalikan barang tersebut.
Jika
muwakkil menyerahkan sejumlah harta kepada wakil dan memerintahkan untuk
membayar pembelian barang, lalu ia membayarkan dengan hartanya sendiri, maka
wakil tersebut dipandang sebagai orang yang memberikan secara sukarela,
sekalipun ia melakukan hal itu lantaran dirasa uzur untuk memberikan harta
muwaikkil, karena semacam tidak ada kunci (peti) harta muwakkil, lantaran dia
dapat memberikan hartanya sendiri, adalah atas nama muwakkil kemudian meminta
ganti atau memberitahukan hal itu kepada hakim.
Apabila
muwakkil tidak menyerahkan sesuatu kepada wakil atau tidak memerintahkannya
agar membayarkan harta yang diberikan untuk harga pembelian, maka bagi wakil
boleh memintanya ganti, sebab ada qarinah (pertanda) yang mengarahkan izin
muwakkil dalam pembayaran wakil pada pembelian atas nama muwakkil.
Wakil
tidak boleh mewakilkan lagi kepada orang lain tanpa seizin muwakkil dalam
perkara-perkara yang dapat ia kerjakan sendiri, karena rela pekerjaan tersebut
dilakukan oleh orang lain,
Tetapi, jika muwakkil
mewakilkan wakil untuk mengambil piutangnya, lalu wakil melaksanakan wakalah
tersebut, lalu ia mengirimkan piutang itu kepada muwakkil lewat keluarga
wakil, maka ia tidak wajib me nanggung risiko (yang terjadi atas kerusakan
piutang tersebut): Demikianlah menurut pendapat Al-Jauri Kata Guru kita: Yang
jelas bahwa yang dimaksudkan dengan keluarga wakil adalah anak-anak,
budak-budak dan istrinya, lain halnya dengan orang-orang selain mereka.
Seperti
halnya pengiriman piutang di atas, adalah pengiriman barang pembelian kepada
muwakkil lewat salah seorang dari keluarga wakil.
Terkecualikan
dari ucapanku “dalam perkara yang dapat dikerjakan sendiri”, adalah perkara
yang tidak dapat dikerjakan oleh wakil. Ketidakmampuan tersebut lantaran
terlalu banyak atau karena ia tidak mampu menunaikan perkara tersebut dengan
sebaik mungkin atau perkara itu tidak patut untuk dirinya.
Maka
dalam keadaan seperti itu, bagi wakil boleh mewakilkan perkara-perkara
tersebut atas nama muwakkil, bukan dirinya.
Kesesuaian
alasan di atas: Bagi wakil tidak boleh mewakilkan perkara tersebut kepada
orang lain yang keberadaannya tidak diketahui oleh muwakkil.
Apabila
wakil mengalami ketidakmampuan lantaran ia mengalami sakit atau bepergian,
maka baginya tidak boleh mewakilkan kepada orang lain.
Apabila
wakil mewakilkan kepada orang lain dengan izin muwakkil, maka wakil kedua
adalah wakil muwakkil: Karena itu, wakil pertama tidak berhak memecat wakil
kedua.
Bila muwakkil berkata kepada wakil,
“Wakilkan perkara itu di atas namamu”, lalu ia melaksanakan perintah itu, maka
wakil kedua tersebut adalah wakilnya wakil yang pertama, lantaran
menyelaraskan izin tersebut. Karena itu, wakil kedua dengan sendirinya
terpecat jika wakil pertama dipecat oleh muwakkil.
Bagi
wakil (manakala ia boleh mewakilkan), wajib mewakilkan hanya kepada orang yang
dapat dipercaya, selama muwakkil tidak menentukan selain orang yang tepercaya,
lagi pula mengetahui keadaan orang itu, atau muwakkil tidak berkata kepadanya,
“Wakilkan kepada siapa saja, terserah”: demikianlah menurut pendapat
Al-Aujah.
Sebagaimana halnya dengan jika seorang
wanita berkata kepada walinya, “Kawinkanlah aku dengan Siapa saja terserah”,
maka bagi wali boleh mengawinkan kepada laki-laki yang tidak kufu (sebanding)
dengannya.
Ucapan muwakkil kepada wakil,
“Perlakukanlah perkara itu sesukamu”, atau “Apa yang kamu kerjakan tentang
perkara itu adalah boleh bagimu”, adalah bukan berarti mengizinkan lagi
mewakilkan kepada orang lain.
Cabang:
Jika muwakkil berkata, “Juallah kepada orang tertentu, misalnya
Zaid”, maka bagi wakil tidak boleh menjual kepada selain Zaid, sekalipun orang
itu wakil Zaid. Kalau ia berkata, “Juallah dengan harga harta tertentu,
misalnya, dinar”, maka wakil tidak boleh menjual dengan uang dirham, begitulah
menurut pendapat Al-Muktamad. Kalau ia berkata, “Juallah di tempat tertentu”,
atau “juallah di masa tertentu, misalnya bulan anu… atau di hari anu.,., maka
wakil tidak boleh menjual sebelum dan sesudah waktuwaktu tersebut, sekalipun
dalam perwakilan talak dan tidak berkaitan dengan suatu maksud, lantaran
menjalankan izin muwakkil.
Ucapan tersebut
berbeda dengan, “Jika telah datang awal bulan, maka perkara istriku ada di
tanganmu”, dan muwakkil tidak bermaksud membatasinya di awal bulan, maka bagi
wakil boleh menjatuhkan talak istri muwakkil setelah awal bulan tersebut.
Lain
halnya dengan, “Ceraikanlah ia hari Jumat”, maka ucapan ini mengarah pada
pembatasan dalam melaksanakan talak di hari itu, bukan lainnya.
(Menjual
barang) di malam hari : adalah sama halnya dengan pagi hari, jika keadaan para
peminat barang sama.
Bila muwakkil berkata, “… di
hari Jumat/hari Raya”, maka bagi wakil melaksanakan pada hari Jumat/hari Raya
yang terdekat.
Penentuan tempat oleh muwakkil
harus dituruti, jika ia tidak menentukan harga tertentu atau melarang
(menjual) di selain yang telah ia tentukan. Jika ia telah menentukan harga
tertentu atau tidak melarang di selain tempat yang ditentukan, maka bagi wakil
boleh menjual di selain tempat yang telah ditentukan.
Wakil
sekalipun dengan upah adalah orang yang dipercaya. Karena itu, ia tidak
berkewajiban menanggung kerusakan barang yang ada di tangannya, kecuali jika
ia berlaku gegabah (lalim).
Wakil dengan
sumpahnya dapat dibenarkan dakwaannya tentang kerusakan dan dakwaan telah
menyerahkan kepada muwakkil, karena dialah yang tepercaya. Lain halnya dakwaan
telah menyerahkan kepada selain muwakkil, misalnya utusannya, maka yang
dibenarkan adalah utusannya dengan disumpah.
Jika
muwakkil mewakilkan kepada wakil untuk membayar utang, lalu wakil berkata,
“Telah kubayar utang itu”, sedang pemiutang mengingkari adanya penyerahan
pembayaran kepada dirinya, maka pemiutang dapat dibenarkan dengan sumpahnya,
karena asal permasalahannya adalah utang belum terlunasi. Untuk selanjutnya,
pemiutang disumpah dan ia boleh menagih kepada muwakkil saja.
Jika
wakil gegabah (lalim) dalam bertindak, misalnya wakil mengendarai binatang
atau memakai pakaian, maka ia wajib menanggung risiko (jika rusak),
sebagaimana halnya dengan orang-orang yang tepercaya lainnya.
Termasuk
gegabah adalah: Barang tersebut hilang dan ia tidak mengetahui bagaimana orang
tersebut dapat hilang, atau ia meletakkannya di suatu tempat, lalu
dilupakan.
Wakil tidak terpecat lantaran berbuat
gegabah tanpa merusakkan muwakkil fih.
Bila
seseorang mengutus orang lain untuk pergi ke penjual kain dan mengambil
pakaian yang masih dalam tawar-menawar, lalu mengalami kerusakan di tengah
jalan, maka orang yang mengutus tersebut wajib menanggungnya, bukan
suruhannya.
Cabang:
Bila
setelah tasaruf terjadi percekcokan antara wakil dengan muwakkil mengenai
telah terjadi akad wakalah atau belum, misalnya, “Engkau telah mewakilkanku
untuk begini….”, lalu dijawab, “Aku tidak mewakilkannya padamu”, atau
bercekcok tentang sifat wakalah, misalnya, “Engkau mewakilkannya kepadaku agar
menjual dengan harga angsuran/membeli dengan harga 20”, lalu dijawab, “….,
tetapi kontan/ 10”, maka yang dibenarkan adalah muwakkil dengan sumpahnya,
sebab asal permasalahannya ada di tangannya.
Wakil
menjadi terpecat dengan sebab mengundurkan diri atau dipecat oleh muwakkil,
baik dengan kata “pecat”, atau bukan, misalnya, “Kurusak/kubatalkan/kuhapuskan
akad Wakalah”, sekalipun yang dipecat tidak mengetahuinya.
Juga
terpecat dengan sebab keluar salah seorang di antara mereka dari hak tasaruf
lantaran mati atau gila, sekalipun pihak yang tidak terlepas haknya tidak
mengetahui, dan sekalipun penyakit gila hanya sebentar terjadinya.
Juga
terpecat dengan sebab hilang hak milik muwakkil atas muwakkal rusak di
tangannya, maka ia bebas dari utangnya.
Jika
muwakkil berkata kepada wakilnya, “Juallah barang ini di daerah Anu … dan
uangnya belikan seorang budak”, maka bagi wakil boleh meniupkannya di tengah
jalan atau arah tujuan pada orang yang dapat dipercaya, baik itu seorang hakim
atau lainnya, sebab tugas tersebut tidak lazim baginya, dan bukan penipuan
darinya, tetapi pemiliknya yang mengkhawatirkan hartanya.
Karena
itu, jika wakil telah menjual barang muwakkil, maka ia tidak wajib membelikan
budak: dan kalau ia membelikan budak dari penjualannya, maka ia tidak wajib
menyerahkan kepada muwakkil, tetapi ia boleh menitipkan kepada orang yang
telah disebutkan di atas. Bagi wakil tidak boleh menyerahkan hasil penjualan
tersebut kepada muwakkil, sekira tidak ada qarinah yang menunjukkan kebolehan
penyerahannya, sebab pemilik tidak memberi izin kepadanya untuk
menyerahkannya. Jika menyerahkannya, maka uang dari penjualan barang tersebut
menjadi tanggungannya sampai kepada pemiliknya. Begitulah pemaparan Guru
kita.
Jika ada orang yang mengaku bahwa dirinya
adalah wakil untuk mengambil piutang atau barang yang ada pada Zaid, maka bagi
Zaid tidak wajib menyerahkannya kepada orang itu, kecuali ada bukti
wakalahnya.
Namun, bagi Zaid boleh menyerah:
kannya, jika ia membenarkan pengakuan orang tersebut.
Atau
(kalau) ada orang yang nengaku Muhtal (orang yang piutangnya dipindahkan
kepada Zaid) dalam hubungannya dengan piutang atau “barang yang ada pada Zaid
dan ia membenarkan pengakuan tersebut, maka ia wajib menyerahkan kepada Orang
tersebut, karena ia telah mengakui terjadi perpindahan hak milik harta kepada
orang tersebut.
Jika Zaid telah menyerahkannya
kepada orang yang mengaku sebagai wakil, dan pemilik sebenarnya mengingkarinya
dan bersumpah bahwa ia telah mewakilkan kepada orang itu, maka jika yang telah
diserahkan itu berupa barang, maka pemilik tersebut boleh memintanya kembali
bila barang itu masih ada: Kalau sudah tidak ada, maka pemilik barang dapat
meminta pengganti kepada salah satu dari kedua orang tersebut (orang yang
mengaku sebagai wakil dan menyerahkannya). Kemudian bagi pihak yang telah
menggantinya, ia tidak boleh meminta ganti kepada pihak yang lain, sebab ia
adalah orang yang dizalimi dengan dugaan sendiri.
Jika
yang telah diserahkan itu berupa piutang (pembayaran utang), maka pihak
pemilik hanya boleh menuntut pihak yang menyerahkan tersebut.
Atau
jika Zaid menyerahkan (piutang seseorang yang ada pada dirinya) kepada orang
yang mengaku Muhtal, lalu pemiutang mengingkari akad Hawalah dan bersumpah
untuk itu, maka pemiutang mengambil piutangnya kepada pengutangnya (Zaid), dan
Zaid tidak boleh meminta ganti kepada Muhtal, sebab ia telah mengakui ada hak
milik pada diri Muhtal.
Al-Kamal Ad-Darimi
berkata: Jika ada orang berkata, “Aku adalah wakil dalam menjual/nikah”, dan
orang yang mengadakan akad dengannya membenarkannya, maka sahlah akadnya.
Kemudian setelah akad selesai ia mengatakan, bahwa dirinya sebenarnya tidak
menjadi wakil, maka perkataannya tidak digubris.
Qiradh
adalah suatu akad penyerahan harta oleh pemiliknya kepada orang lain untuk
diperdagangkan dan labanya dimiliki bersama. Qiradh dapat sah dilakukan dalam
bentuk uang emas/perak murni yang telah tercetak, sebab qiradh adalah akad
yang tidak jelas (gharar) lantaran tidak terbatas pekerjaan (yang dikerjakan
Amil) serta tidak ada kepastian tentang labanya.
Qiradh
diperbolehkan lantaran kebutuhan yang menarik ke situ, Karena itu, qiradh
dikhususkan dengan harta yang pada galibnya dapat menarik keuntungan, yaitu
emas/perak yang telah dicetak, sekalipun sudah ditarik dari peredarannya
sebagai uang sah oleh penguasa.
Dikecualikan dari
“emas/perak”, adalah harta selain emas/perak, sekalipun berupa uang tembaga.
Dikecualikan dari “yang murni”, emas/perak yang sudah tidak murni (dicampur),
sekalipun diketahui kadar campurannya, atau bercampur dengan tembaga.
Dikecualikan dari “yang tercetak”, yaitu emas/perak yang masih batangan atau
perhiasan.
Maka, untuk barang-barang seperti di
atas, adalah boleh dibuat akad qiradh.
Dikatakan:
Qiradh boleh dengan emas/perak yang dicampur dengan tembaga, jika tembaga
tersebut sudah tidak dapat dibedakan dalam pandangan mata. Pendapat ini
dipilih oleh As-Subki dan lainnya.
Menurut
tinjauan ulama ketiga dalam “Zawaidur Raudhah”, bahwa qiradh diperbolehkan
pada setiap perhiasan.
Qiradh itu bisa sah jika
dengan ada Shighat, yaitu ijab dari pemilik modal, misalnya, “Aku berqiradh
denganmu/ aku bermuamalah padamu begini…/ambillah beberapa dirham ini dan
buatlah berdagang/ menjuallah atau membeli dengan keuntungan milik kita
berdua”.
Keberadaan Qabul dari Amil dengan
spontan dan diucapkan.
Ada yang mengatakan: Ijab
yang dinyatakan dengan perintah, misalnya, “Ambillah ini dan buatlah
berdagang”, qabulnya adalah cukup dengan melaksanakan perintah tersebut,
sebagaimana dalam masalah Wakalah.
Syarat pemilik
modal dan amil adalah seperti muwakkil dan wakil, yaitu mereka berdua
mempunyai wewenang sah dalam campur tangan tasarufnya.
Disyaratkan
juga ada laba milik mereka berdua. Karena itu, tidak sah jika laba menjadi
milik salah satu saja.
Disyaratkan juga ada hak
laba diketahui bagiannya, misalnya: 1/2 atau 1/3.
Jika
pemilik modal barkata, “Aku berqiradh denganmu dan labanya milik kita berdua”,
maka jadilah masing-masing mnempunyai hak laba 50%”, atau berkata, “… dengan
bagian hak laba seperempat perenam sepersepuluh”, maka akad tersebut adalah
sah, sekalipun kedua belah pihak ketika akad tidak mengetahui kadar tersebut,
lantaran mudahnya untuk diketahui kemudian, yaitu bagian dari 1/240 laba
keseluruhannya.
Jika salah satunya disyaratkan
akan mendapatkan bagian hak laba sepuluh atau laba sejenis macam, misalnya
budak, maka qiradh menjadi rusak.
Pihak Amil
dalam qiradh yang rusak, berhak mendapatkan upah sepantasnya, sekalipun dalam
menjalankan modal tidak ada labanya, karena ia bekerja dengan mengharapkan
upah yang telah ditentukan.
Termasuk qiradh yang
fasid menurut fatwa Guru kita, Ibnu Ziyad rahimahullah, adalah apa yang telah
dibiasakan oleh sebagian manusia, yaitu menyerahkan harta kepada orang lain
dengan perjanjian orang tersebut harus mengembalikan uang 12 untuk modal 10
(12%), baik ia beruntung ataupun rugi dalam menjalankan modal tersebut.
Dalam
qiradh yang fasid ini, bagi Amil hanya berhak mendapatkan upah sepantasnya,
sedangkan keseluruhan keuntungan atau kerugian ada di tangan pemilik modal,
serta status Amil dalam memegang harta adalah orang yang dipercaya, karena
itu, jika Amil gegabah dalam memegangnya, semisal ia melampaui. batas tempat
yang diizinkan memperdagangkan harta di situ, maka ia harus menanggung risiko
harta itu. Selesai.
Amil tidak berhak mendapatkan
upah dalam qiradh yang fasid, jika di situ disyaratkan bahwa keseluruhan laba
adalah milik pemilik modal, karena Amil bekerja tidak mengharapkan sesuatu.
Juga
dapat diarahkan ke situ, bahwa, Amil tidak mendapatkan upah, jika ja telah
tahu qiradh itu fasid dan tahu , nantinya ia tidak mendapatkan upah.
Tasaruf
Amil dalam qiradh fasid tetap sah, namun ia tidak halat memberanikan diri
melakukan tasaruf setelah ia mengetahui kefasadan qiradh.
Amil
tasaruf harus ke arah maslahah, sekalipun berupa harta (selain emas/ perak),
tidak boleh mentasarufkan ke arah kerugian yang tidak lumrah atau sistem
angsuran tanpa seizin pemilik modal. Ia tidak boleh pergi membawa harta qiradh
tanpa seizin pemilik modal, sekalipun dalam jarak dekat, tiada kekhawatiran
dan : tidak memakan biaya. Karena itu, jika hal tersebut ia lakukan, maka ia
harus menanggung risiko harta dan di samping berdosa. Dalam pada itu akad
qiradh masih berjalan seperti. semula.
Adapun
jika ia telah mendapatkan izin, maka ia boleh pergi dengan membawa harta
qiradh, tetapi ia tidak boleh mengendarai kapal laut, kecuali setelah mendapat
izin tersendiri untuknya.
Amil tidak boleh
membelanjakan harta qiradh untuk keperluan dirinya, baik selama di rumah
maupun dalam perjalanan, sebab baginya telah ada bagian laba, yang berarti ia
tidak berhak selainnya. Jika dalam akad disyaratkan biaya hidup Amil, maka
akad qiradh menjadi rusak.
Amil dengan sumpahnya
dapat dibenarkan dalam dakwaannya, bahwa seluruh atau sebagian harta telah
rusak, sebab ia adalah orang yang dipercaya.
Tetapi
nash Asy-Syafi’i dalam AlBuwaithi yang dipegangi oleh segolongan ulama
Mutakaddimun mengatakan, bahwa apabila amil mengambil sesuatu yang tidak
mungkin ia dapat memeliharanya, lalu terjadi sebagian yang rusak, maka ia
wajib menanggung kerusakan tersebut, karena ia gegabah dalam mengambilnya.
Hukum seperti ini berlaku juga untuk wakil, orang yang dititipi dan pemegang
wasiat.
Apabila setelah terjadi kerusakan harta,
pemilik mendakwa bahwa itu adalah harta utang (qardh), sedang amil mendakwa
harta qiradh, maka amil disumpah, sebagaimana yang telah difatwakan oleh Guru
kita, Ibnush Shalah, yang menyamai fatwa Al-Baghawi, karena asal permasalahan
tidak ada tanggungan. Lain halnya dengan pendapat yang telah diunggulkan oleh
Az-Zarkasyi dan lainnya: yaitu membenarkan pemilik harta.
Jika
kedua belah pihak mengajukan bukti (bayyinah), maka yang didahulukan
penerimaannya adalah bayyinah pemilik harta, sebab ia mempunyai keluasaan
pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan. begitulah menurut beberapa
tinjauan ulama.
Dengan cara disumpah pula, amil
bisa dibenarkan dakwaannya, bahwa ia tidak mendapatkan laba sama sekali dan
kadar laba, karena memberlakukan asai permasalahan “(hukum asal) pada kedua
hal tersebut Ia juga dapat dibenarkan dengan cara disumpah dalam pengakuan
(dakwaan)nya. bahwa ia mengalami kerugian sejumlah yang dimungkinkan, sebab
amil adalah orang yang dipercaya.
Jika amil
berkata, “Aku mendapatkan laba sekian…”, lalu berkata lagi, “Aku salah dalam
menghitung/Aku telah berdusta dalam omonganku”, maka perkataan kedua tidak
dapat diterima, sebab ia telah ikrar adanya hak orang lain (pemilik modal)
yang karenanya tidak dapat dicabut kembali.
Perkataan
amil “aku rugi”, setelahia menyatakan keuntungan, adalah dapat diterima, jika
memang ada kemungkinan terjadi, misalnya mengalami kemerosotan harga.
Dengan
bersumpah pula pihak amil dapat dibenarkan dakwaannya, bahwa ia telah
menyerahkan harta kepada pemilik modal, karcna pcmilik telah memberikan
kepercayaan kepadanya, sebagaimana dengan orang yang mendapatkan titipan
(Muda’).
Dengan bersumpah pula, amil dapat
dibenarkan dalam dakwaan besar modal yang telah ia terima, sebab menurut hukum
asal adalah tidak ada kelebihan (yang diserahkan kepadanya).
Dengan
bersumpah pula, amil dapat dibenarkan dalam ucapannya, “Aku membeli barang ini
untuk diriku/ qiradh”, sedangkan akad pembeliannya adalah secara bon, sebab
dialah yang lebih mengetahui maksudnya.
Adapun
jika pembelian tersebut dengan memakai harta qiradh, maka : pembelian tersebut
untuk akad qiradh, sekalipun ia berniat untuk dirinya sendiri, demikian
menurut pendapat Al-Imam Al-Haramain, yang dimantabkan dalam kitab AlMathlab.
Menurut beliau, maka bayyinah yang diajukan oleh pemilik harta, bahwa amil
membeli dengan memakai harta qiradh adalah dapat diterima.
Demikian
juga, amil dapat dibenarkan dengan disumpah dalam perkataannya, “Engkau tidak
melarangku untuk membeli begini.”, sebab menurut hukum asal adalah tidak ada
larangan.
Jika terjadi percekcokan antara pemilik
modal dengan amil mengenai persentase laba yang dijanjikan untuk amil,
misalnya, 1/2 atau 1/3, maka masing-masing pihak saling menyumpah dengan
mengiyakan dakwaannya sendiri dan mengingkari tuduhan lawannya. Kemudian,
setelah akad itu menjadi fasakh, pihak amil berhak mendapatkan upah
sepantasnya, sedang keseluruhan laba menjadi pemilik modal. Atau jika kedua
orang tersebut berselisih: Ia menjadi wakil ataukah Amil Qiradha Maka yang
dibenarkan adalah pemilik modal dengan sumpahnya, dan ia tidak memberikan upah
kepada amil.
Pamungkas (tentang Perseroan)
Syirkah ada dua macam: Pertama,
perserikatan suatu harta yang dimiliki oleh dua orang dari hasil pewarisan
atau pembelian.
Kedua dibagi menjadi 4 macam. Di
antaranya:
Perserikatan yang
sah: yaitu perserikatan dua orang untuk memperdagangkan harta mereka berdua
secara bersama.
Bagian yang lainnya, adalah
batal, yaitu:
Perserikatan dua
orang yang sama-sama bekerja, yang hasil pekerjaan mereka dibagi berdua dengan
sama besar atau berselisih.
Perserikatan dua orang untuk menanggung harta pembelian suatu barang, baik
secara bon atau kontan dengan keuntungan menjadi milik bersama.
Perserikatan dua orang untuk bersama-sama bekerja dan memiliki: keuntungan,
baik dengan tenaga maupun-harta mereka, dan mereka sama-sama menanggung
kerugian yang terjadi.
Untuk kesahan syirkah,
disyaratkan ada lafal yang menunjukkan izin tasaruf, baik itu penjualan
ataupun pembelian. Karena itu, jika mereka hanya berkata, “Kita berserikat”,
maka belum dianggap cukup atas izin tasaruf.
Kedua
belah pihak mempunyai hak mentasarufkan harta perserikatan dengan tanpa
membuat kemudaratan, dengan kata lain yang membawa maslahat. Karena itu,
persero tidak boleh menjual barang perserikatan dengan harga umum, sedangkan
di situ masih ada orang lain, yang mau dengan harga yang lebih tinggi.
Anggota
perserikatan (persero) tidak boleh pergi dengan membawa harta perserikatan,
selama tidak karena keterpaksaan, misalnya. terjadi paceklik atau tercekam
rasa takut. Ia tidak boleh membelikan barang dagangan tanpa seizin anggota
yang lain. Jika ia pergi dengan membawa harta itu, maka ia wajib menanggung
risiko yang terjadi, sedangkan tasarufnya tetap sah.
Atau
apabila tanpa seizin anggota yang lain, ia memperdagangkan harta perserikatan
dengan menyerahkannya kepada pekerja mereka, sekalipun pekerja sukarela, maka
ia wajib menanggung resikonya.
Bagian keuntungan
dan tanggungan kerugian mereka, diperhitungkan menurut penanaman sahamnya.
Karena itu, jika mereka mensyaratkan yang bertentangan dengan ketentuan ini,
maka akad syirkah menjadi batal: masing-masing berhak menerima upah pekerjaan
menurut penanaman saham.
Tasaruf yang timbul dari
syirkah yang fasid, adalah tetap berjalan terus, sebab sudah ada izin. Syirkah
menjadi fasakh, sebab kematian atau kegilaan salah seorang dari kedua.
Anggota
perserikatan dapat dibenarkan dalam dakwaannya, bahwa ia telah menyerahkan
kembali harta syirkah kepada teman serikatnya. Begitu juga dibenarkan dalam
pengakuan: rugi, rusak dan ucapannya, “Aku membeli barang atas nama
pribadiku/atas nama perserikatan”.
Tidak dapat
dibenarkan dalam ucapannya, “Telah kita adakan pembagian, dan apa yang ada di
tanganku adalah milikku”, sedang yang lain berkata, “Tidak benar, tapi barang
itu masih dalam perserikatan”, maka yang dibenarkan adalah pihak yang
mengingkari, sebab hukum asal adalah belum dibagi.
Jika salah seorang ahli waris mengambil bagiannya dari piutang Muwarrits
(orang yang meninggalkan harta pusaka), maka ahli waris yang lain ikut
berserikat dalam memiliki harta itu.
Jika ada dua orang yang
berserikat menjual budaknya dengan satu akad dan salah seorang dari mereka
telah menerima bagiannya dari seorang budak itu, maka pihak yang lain tidak
ikut berserikat dalam memiliki bagian temannya.
Faedah:
An-Nawawi -sebagaimana Ibnush Shalah- berfatwa mengenai orang
yang menggasab semisal emas/perak atau gandum (barang mitsli), lalu ia campur
dengan harta miliknya, sehingga tidak dapat dibedakan, maka orang tersebut
dapat menyisihkan sejumlah barang yang digasab (lalu diberikan kepada
pemiliknya), dan selebihnya adalah halal ditasarufkan.
PASAL: (TENTANG SYUF'AH)
Hak Syuf’ah (hak menebus kembali/ membeli secara paksa atas
barang yang telah terjual) bagi teman berserikat -bukan tetanggahanyalah dapat
diberlakukan dalam kaitannya dengan penjualan tanah berikut segala yang ikut
padanya, misalnya, bangunan, pepohonan dan buahbuahan yang belum berisi.
Karena
itu, hak Syuf’ah tidak berlaku dalam kaitannya dengan menjual pepohonan yang
tersendiri atau dijual berikut tempat tumbuhnya saja. Juga tidak berlaku dalam
kaitannya dengan-penjualan sumur.
Syafi’ (pengguna hak Syuf’ah)
bisa memilki kembali (atas barang milik teman serikatnya yang dijual) dengan
kata-kata, “Aku mengambilnya dengan Syuf’ah”, serta dengan mengganti sejumlah
harga pembelian kepada pembeli.
BAB IJARAH (SEWA-MENYEWA) - بَابٌ الْاِجَارَةِ
Ijarah menurut lughat berarti “nama upah”, sedang menurut syarak
adalah memberikan kemanfaatan sesuatu dengan adanya penukaran berdasarkan
beberapa syarat yang akan dituturkan nanti.
Ijarah dapat menjadi
sah dengan keberadaan ijab: Misalnya: Kusewakan barang ini kepadamu/ Kusewakan
kemanfaatan barang ini. kepadamu/Kuberikan kemanfaatankemanfaatan barang ini
kepadamu selama satu tahun dengan biaya sekian.
Juga keberadaan
qabul, seperti: Kusewa barang ini/Kusewa kemanfaatan barang itu/Kuterima.
An-Nawawi
di dalam Syarhul Muhadadzab berkata: Perselisihan (ulama) tentang boleh atau
tidak Mu’athah berlaku dalam ijarah, rahn dan hibah.
Hanya saja
ijarah itu sah dengan ongkos sewa berwujud sesuatu yang sah, jika dibuat harga
dan yang diketahui oleh dua orang yang bertransaksi, baik itu ukuran, jenis
dan sifatnya, jika ongkos tersebut tidak kontan, maka cukup melihatnya. Dalam
hal ini, baik itu berupa. ijarah ain (selain dzimmah), atau Dzimmah
(sewa-menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan, bahwa barang selalu baik
seperti dijanjikan dalam akad).
Karena itu, tidaklah sah menyewakan
rumah dengan ongkos sewamemperbaikinya, menyewakan binatang dengan ongkos sewa
memberinya makan, dan tidak sah memburuhkan menguliti kambing dengan upah
kulitnya atau menumbuk semacam gandum dengan upah sebagian tepungnya,
Sah
menyewakan kemanfaatan (jasa) yang bernilai harga, yang diketahui barang,
ukuran dan sifatnya, dan manfaat tersebut kembali pada penyewa serta dalam
menggunakan manfaat barang tidak bertujuan mengambil (mengurangi)nya.
Dari
syarat “manfaat yang patut menerima imbalan”, dikecualikanlah manfaat yang
tidak patut untuk diberi imbalan. Karena itu, menurut pendapat Al-Aujah:
Perburuhan seorang makelar untuk mengucapkan satu atau dua patah kata, adalah
tidak sah, sekalipun ucapan itu berupa ijab dan qabul, dan sekalipun dapat
melariskan dagangan, sebab ucapan satu atau dua patah kata itu tidak ada
harganya.
Dari alasan di atas dapat disimpulkan, bahwa ketidaksahan tersebut adalah untuk barang jual yang mempunyai harga tetap di suatu daerah, misalnya roti.
Lain halnya dengan semacam budak dan pakaian, di mana harganya selalu berbeda-beda sesuai dengan pembelinya.
Karena untuk menjual barang tersebut, dapatlah lebih bermanfaat jika dilakukan
oleh. seorang makelar (sales), maka menyewa jasanya untuk menjualkannya adalah
sah.
Sekira penyewaan jasa orang di atas tidak
sah, maka jika ia telah mengalami kelelahan lantaran berjalan mondar-mandir
dan omong sanasini, maka ia berhak memperoleh upah selayaknya, Kalau ia tidak
mengalami kelelahan, maka ia tidak berhak menerima upah yang pantas.
Guru
kita, Al-Muhaqqiq Ibnu Ziyad berfatwa, bahwa bagi seorang qadhi adalah haram
menerima upah dari pekerjaannya yang hanya menuntun (mengajar) seseorang untuk
suatu ijab, karena pekerjaan tersebut tidaklah berat baginya.
Al-‘Allamah
Umar Al-Fata telah lebih dahulu berfatwa, bahwa menerima upah seperti itu
hukumnya boleh, jika ia tidak menjabat sebagai wali nikah seorang perempuan.
Kata Umar Al-Fata selanjutnya: Jika seorang qadhi mengajarkan shighat nikah
(ijab-qabul) kepada wali dan calon suami, maka ia boleh menerima upah yang
telah disepakati oleh pihak wali dan calon suami secara ridha, sekalipun
berjumlah besar, tetapi jika perempuan tersebut tidak mempunyai wali selain
qadhi, maka baginya tidak boleh menerima upah untuk ijab nikah yang ia
ucapkan, karena hal itu memang menjadi kewajibannya.
Fatwa
yang membolehkan di atas perlu ditinjau, sebab menurut penjelasan yang telah
lewat (bahwa hal itu tidak berat dilakukan).
Tidak
sah menyewa dirham dan dinar yang tidak dilubangi untuk digunakan sebagai
perhiasan, karena kemanfaatan berhias menggunakan dirham dan dinar tersebut
tidaklah dapat diimbangi dengan harta.
Adapun
dirham dan dinar yang telah dilubangi (untuk perhiasan), menurut pembahasan
Al-Adzra’i adalah sah disewa, sebab dalam bentuk begitu sudah jadilah barang
perhiasan, sedang menyewa perhiasan secara pasti, hukumnya adalah sah.
Dikecualikan
dari syarat “maklum/ diketahui”, menyewa barang yang tidak diketahui. Karena
itu, perkataan, “Kusewakan kepadamu salah satu dua rumah ini”, adalah
batal.
Dikecualikan dari “manfaat barang kembali
kepada penyewa”, kemanfaatan kepada Ajir (buruh/orang yang menyewa tenaganya).
Karena itu, tidaklah sah menyewa (memburuhkan) seseorang untuk beribadah yang
wajib diniati -selain nusuk-, misalnya salat, karena kemanfaatan salat itu
kembali pada Ajir, bukan Musta’jir (penyewa). Tidak sah pula memburuhkan untuk
menjadi imam salat, sekalipun semacam salat Tarawih, sebab imam adalah
melaksanakan salat untuk dirinya sendiri: Jika ada orang yang ingin bermakmum
dengannya, silakan ikut, sekalipun ia sendiri tidak berniat menjadi imam.
Adapun
ibadah-ibadah yang tidak wajib diniati, -misalnya azan dan ikamah-, adalah sah
memburuhkan untuk melakul annya, dan ada upah di sini sebagai imbalan terhadap
keseluruhan yang berkaitan dengan azan, semacam pemeliharaan waktu. Sah juga
memburuhkan untuk merawat mayat dan mengajar Alqur-an, -baik itu sebagian atau
keseluruhannya-, sekalipun mengajar : tersebut memang menjadi kewajiban (fardu
ain) bagi si pengajar, karena didasarkan hadis sahih yang artinya:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kalian ambil upahnya, adalah Kitab
Allah.”
Dalam Syarhul Minhaj, Guru kita berkata:
Sah memburuhkan untuk membaca Alqur-an di atas kubur, dan sah pula beserta doa
yang pahala bacaan Alqur-an ditujukan kepada pembaca atau lainnya (misalnya .
mayat, musta’jir dan lain-lain), setelah pembacaan, baik pihak Musta’jir telah
menentukan masa, tempat atau tidak.
Niat
memberikan pahala kepada orang yang dituju dalam pembacaan Alqur-an tanpa ada
doa setelahnya, adalah sia-sia belaka (sebab pahalanya menjadi milik pembaca
itu sendiri dan tidak dapat dipindahkan kepada yang dituju), Lain halnya
dengan pendapat segolongan ulama yang walaupun telah dipilih oleh As-Subki.
Begitu juga akan sia-sia dengan ucapan, “Bacaan Alqur-anku ini/pahalanya
kuhadiahkan kepada dia”: lain halnya dengan pendapat segolonganulama.
Menurut
pendapat yang Zhahir: Sah memburuhkan bacaan di depan Musta’jir (orang yang
mem: buruhkan) atau semacam putranya, dan menurut pendapat sebagian ulama,
dalam hal ini pembaca ketika membacakan Alqur-an, hatinya harus ingat
Musta’jir.
Semua perburuhan di atas dihukumi sah,
karena tempat pembacaan Alqur-an (kubur) adalah tempat berkah dan turun
rahmat, doa setelah “pembacaan Alqur-an adalah lebih dekat dikabulkan (alasan
sah memburuhkan untuk membaca Alqur-an yang dibacakan doa setelahnya): dan
teringat Musta’jir di hati pembaca ketika membaca Alqur-an, adalah menjadi
sebab terikutkan mendapat rahmat di kala turun ke dalam hati pembaca.
Memburuhkan
zikir semata dan berdoa setelahnya, adalah dapat disamakan hukumnya dengan
pem’ buruhan membaca Alqur-an. Sebagian ulama berfatwa, bahwa jika pembaca
(Ajir) meninggalkan ayat-ayat yang terangkai dalam bacaan Alqur-an yang
diburuhkan, maka ja wajib membaca ayat-ayat tersebut, dan ia tidak wajib
membaca lagi sambungan ayat yang ditinggalkan tersebut.
(Fatwanya
lagi): Barangsiapa disewa tenaganya untuk membaca Alqur-an di atas kubur, maka
waktu membaca ia tidak wajib niat bahwa bacaannya itu untuk tujuan penyewaan
dirinya, tetapi cukup disyaratkan tidak ada pengatasnamaan yang lain.
Jika
kamu berkata: Para ulama menjelaskan, bahwa dalam masalah nazar adalah Ajir
wajib meniatkan bacaan Alqur-annya untuk yang telah dinazarkan, maka
jawabanku: Dalam masalah memburuhkan membaca Alqur-an di atas kubur telah ada
petunjuk (qarinah) yang mengarahkan untuk tujuan pemburuhan (yaitu, untuk si
mayat yang ada dalam kubur), tetapi dalam masalah nazar membaca Alqur-an,
belum ada qarinah seperti itu.
Dari alasan tidak
wajib niat, maka jika seseorang diburuhkan untuk membaca Alqur-an secara
mutlak dan kita menghukumi sah pemburuhan seperti ini, maka menurut pendapat
yang Zhahir ia wajib berniat. Kalau ia diburuhkan membaca Alqur-an tidak
secara mutlak, -misalnya membaca di hadapan mayat yang dituju-, maka ia tidak
wajib berniat. Penuturan kubur di atas, adalah sekadar contoh saja. Habis
fatwa di atas dengan diringkas.
Dikecualikan dari
syarat “dalam keadaan tidak termasuk kesengajaan mengambil (mengurangi)
barang”, adalah penyewaan yang dalampenggunaan manfaat terjadi pengurangan
barang. Karena itu, tidaklah sah penyewaan kebun untuk mengambil buahnya,
karena pemilikan barang sewa itu tidak bisa didapatkan dengan kesengajaan
mengadakan akad Ijarah.
Tajuddin As-Suhki dalam
Tausyihnya menukil pendapat piliham: ayahnya, yang bernama Taqiyyuddim
As-Subki di akhir hayatnya, bahwa menyewakan pepohonan untuk diambil buahnya
adalah sah (pendapat ini daif). – Para fukaha menjelaskan kesahan menyewakan
kanal atau sumur untuk dimanfaatkan airnya, lantaran ada hajat untuk itu.
Asy-Syihab
dalam Al-‘Ubab berkata: Tidak boleh menyewakan bumi untuk menanam mayat,
karena menggali kembali sebelum mayat itu hancur, hukumnya: adalah, haram,
sedangkan waktu hancurnya itu, sendiri tidaklah diketahui.
Bagi
orang yang menyewakan, wajib menyerahkan kunci rumah persewaan kepada penyewa,
dan jika kunci itu hilang di tangan penyewa, maka orang yang menyewakan wajib
menggantinya dengan yang baru.
Yang dimaksudkan
dengan kunci di – sini, adalah gembok yang terpasang. Adapun selain itu, tidak
wajib diserahkan, bahkan untuk gembok gantungan pun tidak wajib diserahkan,
sebagaimana halnya barangbarang yang bergerak lainnya.
Bagi
orang yang menyewakan wajib memperbaiki rumah persewaan, seperti, membangun
kembali bagianbagian yang roboh dalam rumah, menyaput (melabur) loteng,
memasang kembali pintu yang lepas dan memperbaiki kembali bagian-bagian yang
bocor (pecah).
Kewajiban memenuhi hal-hal
tersebut di atas bukan berarti ia berdosa jika tidak memenuhi atau ia harus
dipaksa untuk melaksanakan kewajiban tersebut, tetapi maksud dari pernyataan
tersebut adalah: Jika ia tidak melaksanakannya, maka bagi penyewa mempunyai
hak khiyar (meneruskan atau tidak akad ijarah) sebagaimana yang akan kami
terangkan dengan perkataan ini:
“Jika orang yang
menyewakan (Mukri) segera melaksanakan kewajiban tersebut di atas, maka hal
itu sudah jelas masalahnya, tetapi jika tidak, maka bagi penyewa (Muktari)
mempunyai hak khiyar, jika kemanfaatan rumah di atas menjadi berkurang.
Wajib
bagi Muktari membersihkan ruangan rumah dari sampah dan salju. Lafal “Arshah”,
maknanya adalah “setiap tanah kosong dari tetumpuhan yang berada di antara
rumah-rumah”.
Muktari adalah orang yang dipercaya
atas barang persewaan selama masa ijarah, jika ijarah ditentukan dengan masa.
Atau kemampuan penggunaan kemanfaatan barang, jika ijarah ditentukan dengan
tempat amal.
Ia juga menjadi orang yang dipercaya
setelah habis masa ijarah, selama ia tidak menggunakan barang tersebut, karena
sebagai pelanjutan dari masa yang telah ada, dan karena setelah habis masa
ijarah, ia tidak berkewajiban mengembalikan barang-barang sewaan atau ongkos
pengembalian, maka jika salah satu dari dua hal ini disyaratkan kepada
Muktari, maka batallah akad ijarah. Kewajiban yang ditanggung oleh Muktari
hanyalah melepas penggunaan barang itu, sebagaimana halnya dengan wadi’ (orang
yang dititipi barang).
As-Subki mengunggulkan
pendapat yang mengatakan, bahwa status Muktari itu sebagai pemegang amanat
syar’iyah (bukan ju’liyah). Karena itu, ia wajib memberitahukan barang itu
kepada pemiliknya atau mengembalikannya seketika: Kalau tidak, maka ia wajib
menanggung risiko (kerusakannya umpama). Menurut pendapat yang Muktamad adalah
berlawanan dengan ini.
Jika kita berpedoman pada
pendapat Al-Ashah, bahwa Muktari hanyalah wajib melepaskan penggunaan barang,
maka konsekuensinya Muktari tidak wajib memberitahukan kepada Mukri, bahwa ia
telah melepaskan penggunaan barang sewaan, tetapi cuma disyaratkan ia tidak
menggunakannya dan tidak menahannya jika diminta. Kalau demikian, maka berarti
sama saja antara ia (Muktari) mengunci pintu semacam kios (ruko) atau tidak
setelah dikosongkannya.
Tetapi Al-Baghawi
berkata: Apabila seseorang menyewa kios selama satu bulan, lalu ia mengunci
pintu dan: meninggalkannya selama dua bulan, maka ia wajib membayar ongkos
sewa satu bulan yang telah disepakati bersama dan membayar sewa yang umum
untuk bulan kedua (berikutnya).
Guru kita (Ibnu
Hajar) berkata di dalam Syarhil Minhaj. Apa: yang dituturkan oleh Al-Baghawi
tentang kepergian penyewa, adalah berdasarkan suatu tinjauan pendapat. Jika
Muktari menggunakan barang sewaan setelah habis masa persewaan, maka ia wajib
membayar ongkos persewaan yang umum.
Sebagaimana
dengan buruh: Dia adalah orang yang tepercaya, sekalipun setelah habis waktu
perburuhannya, Karena itu, bagi mereka (penyewa dan buruh) tidak terkena beban
tanggungan.
Karena itu, jika seseorang menyewa
binatang dan belum dipergunakan lalu rusak, atau menyewa seseorang untuk
menjahit pakaian atau men: celupnya, lalu pakaian itu rusak, maka bagi penyewa
binatang/tukang jahit tersebut, tidak wajib menanggung kerusakannya.
Baik
kerusakan itu terjadi di tangan si buruh sendiri atau tidak: misalnya Muktari
(penyewa) duduk bersama Ajir (buruh), lalu mengerjakan pekerjaan, atau Muktari
mendatangkan Ajir ke rumahnya untuk bekerja.
Kecuali
jika mereka gegabah, misalnya, Muktari tidak memanfaatkan binatang yang ia
sewa sehingga “rusak karena suatu sebab. Misalnya, binatang itu tertimpa atap
kandangnya yang runtuh pada waktu yang umpama ia memanfaatkan binatang itu
secara wajar, maka selamatlah: atau misalnya: Muktari memukuli binatang
tersebut atau memberi muatan beban yang melebihi ketentuan persewaan.
Buruh
penjaga toko misalnya, adalah tidak wajib menanggung kerugian jika ada pencuri
yang mengambil isi toko. Az-Zarkasi berkata: Seorang penjaga keamanan pun
tidak wajib menanggung kerugian.
Misalnya
memburuhkan kepada seseorang untuk menggembala binatang ternak, lalu ia
serahkan kepada orang lain penggembalaan itu, maka kedua-duanya (buruh dan
orang lain) wajib menanggung kerusakan binatang ternak tersebut, sedangkan
ketetapan tanggungan adalah pada orang yang merusakkannya. Misalnya lagi:
Seorang tukang roti keterlaluan dalam membakar, atau misalnya murid mati,
lantaran pukulan gurunya, maka mereka wajib menanggung kerugian.
Buruh
dapat dibenarkan pengakuannya, bahwa dirinya tidak gegabah, selama tidak ada
dua orang laki-laki ahli yang menyaksikan kebalikan pengakuannya.
Apabila
seorang menyewa binatang untuk dikendarai hari ini dan dikembalikan pada hari
esok, ternyata pada hari kedua tersebut binatang belum dikembalikan dan pada
hari ketiga baru dikembalikan, maka ia wajib menanggung kerugian yang terjadi
padi hari ketiga saja, karena pada hari inilah ia menggunakan. binatang
terselut secara lalim.
Jika seseorang menyewa
budak untuk dipekerjakan pada suatu pekerjaan yang sudah maklum, tetapi
tempatnya tidak dijelaskan kepada budak itu, kemudian penyewa di atas .
membawa pergi budak dari suatu daerah ke daerah lain, lalu budak tersebut
melarikan diri, maka penyewa di samping wajib membayar ongkos persewaan, ia
wajib menanggung kerugian,sebab minggat budak itu.
Cabang:
Bagi
semacam tukang seterika pakaian, boleh menahan pakaian di sisinya sebagai
gadai upahnya sampai upah penyeterikaan itu dibayar.
Suatu
amal yang tidak dijanjikan ada upah, adalah tidak berhak untuk diupahi.
Misalnya, mencukur rambut, menjahit pakaian, menyeterika dan mewenternya
dengan wenter pemilik pakaian.
Karena itu, jika
seseorang menyerahkan pakaian kepada penjahit untuk dijahit, penyeterika untuk
disetrika atau tukang wenter untuk diwenter, kemudian dikerjakan dengan begitu
saja dan salah satu dari kedua belah pihak tidak menyebutkan ongkos pekerjaan,
itu. atau hal-hal membutuhka ongkos, maka mereka tidak berhak menerima upah
atas pekerjaannya, karena mereka berbuat dengan sukarela.
Ar-Ranyam
dalam Al-Bahr berkata: Karena, jika seseorang berkata: “Tempatkanlah aku di
dalam rumahnw selama satu bulan”, latu dilaksanakan, lalu menurut ijmak
pemilik rumah tidak berhak mwnerima ongkos sewa, sekalipun tanpa mensyaratkan
ongkos, sudah diketahui kalau amal itu menggunakan ongkos (upah), lantaran
tidak ada penetapan upah.
Tidak ada pengecualian
kewajiban membayar ongkos bagi orang semisal pemakai kamar kecil atau
penumpang kapal laut tanpa sciran penuliknya, karena kita menggunakan manfaat
kamar kecil dan kapal laut tanpa dipersilakan oleh pemiliknya. Lain halnya
dengan mendapatkan izin dari pemiliknya.
Adapun
jika salah satu dari kedua belah pihak menuturkan upah pekerjaan (amal), maka
secara pasti pekerja berhak menerima upah, jika akad yang dilaksanakan itu
sah. Kalau akad tidak sah, maka ia berhak mendapatkan upah yang umum.
Jika
penyebutan upah dikemukakan dengan suatu sindaran saja, misalnya: “Aku akan
membuatmu puas/Aku akan gembira”, maka upah yang wajib dibayar adalah upah
yang lumrah (umum).
Kewajiban muktari membayar
ongkos sewa yang telah ditetapkan dalam akad, adalah setelah berakhir masa
ijarah yang ditentukan dengan waktu atau berakhir masa yang sekira cukup untuk
mengambil kemanfaatan dalam ijarah yang ditentukan dengan amal, sekalipun
penyewa belum memanfaatkannya, karena pemanfaatan terpotong di tangannya
sendiri dan sekalipun ia tidak menggunakan kemanfaatan lantaran semacam sakit
atau khawatir di perjalanan, karena kewajiban Mukri (orang yang menyewakan)
hanyalah mempersilakan muktari untuk mehgambil kemanfaatan barang sewaan. Bagi
muktari lantaran dua ini (sakit dan khawatir) tidak boleh menfasakh akad
ijarah atau mengembalikan barang sewa sampai bisa memanfaatkannya dengan
mudah.
Akad ijarah itu menjadi fasakh (rusak)
untuk masa yang akan datang sebab rusak Mustaufa Minhu (barang/orang yang
menjadi sumber kemanfaatan dalam persewaan) yang telah ditentukan dalam akad:
Misalnya, kematian binatang atau buruh yang ditentukan dalam akad dan seperti
runtuhnya rumah, sekalipun semua itu akibat perbuatan Mustajjir (penyewa),
karena dengan kerusakan itu, maka berakhirlah kemanfaatannya.
Kerusakan
mustaufa minhu yang terjadi setelah diterima oleh musta’jir, adalah tidak
menyebabkan fasakh akad ijarah untuk masa yang telah berlalu, jika masa ijarah
yang telah berlalu itu, patut untuk dihargai dengan ongkos persewaan, sebab
dengan telah diterima kemanfaatan mustaufa minhu, maka ongkos sewa untuk masa
yang telah lewat menjadi berlaku (istigrar). Karena itu, berlakulah pembayaran
sewa sebesar persentase dari keseluruhan ongkos yang telah ditetapkan dalam
akad dengan mempertimbangkan ongkos mitsli (ongkos yang umum) masa yang telah
lalu tersebut.
Dikecualikan dari “mustaufa
minhu”, yaitu semua yang bukan mustaufa minhu yang akan diterangkan nanti: Dan
dikecualikan dari “yang ditentukan dalam akad”, yaitu mustaufa minhu yang
ditentukan dalam tanggungan (Dzimmah): Maka dengan kerusakan kedua hal di
atas, tidaklah menyebabkan fasakh ijarah, akan tetapi boleh diganti.
Hak
khiyar adalah tidaklah harus dengan seketika menurut pendapat Al-Muktamad,
sebab ada cacat semisal binatang persewaan yang ada sejak akad, jika memang
muktari (penyewa) tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan cacat yang terjadi
setelah akad (di tangan muktari), karena cacat ini membawa dampak mudarat pada
muktari. Cacat di sini adalah cacat yang mempengaruhi manfaat barang sehingga
nilai kemanfaatan akan berbeda.
Tidak ada khiyar
dalam ijarah dzimmah (sewa-menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan, bahwa
barang sewa selalu baik seperti yang dijanjikan dalam akad). dengan sebab
kecacatan (semacam) binatang sewaan, tetapi bagi mukri Wajib menggantinya yang
baik.
Boleh dalam ijarah ain atau dzimmah, (bagi
muktari) menggantikan pemakai kemanfaatan (Mustaufi) kepada orang lain,
misalnya: orang yang menaiki dan yang mendiami. Begitu juga dengan mengganti
mustaufa bih: mis. barang yang dimuat dalam mus.
minhu, dan mustaufa fih, misalnya jalan yang dilalui. Penggantian tersebut
dengan yang sesama atau di bawahnya, selama tidak disyaratkan bahwa muktari
tidak boleh mengganti dalam dua hal yang terakhir ini (mustaufa bih dan fih,
jika mukri mensyaratkan kepada Muktari dalam kedua hal ini, maka syarat harus
dipenuhi).
Cabang:
Apabila seseorang menyewakan
pakaian kepada orang lain untuk dipakai secara mutlak, maka ia tidak boleh
memakai di waktu tidur malam, sekalipun telah terjadi kebiasaan orang-orang
melakukan seperti itu.
Boleh bagi musta’jir binatang misalnya,
untuk melarang pihak yang menyewakan (mu’jir) memuat sesuatu pada binatang
tersebut.
Faedah:
Guru kita (Ibnu Hajar
Al-Haitami) berkata: Sesungguhnya seorang dokter yang profesional, yaitu yang
jarang gagal dalam penanganannya, apabila ia dijanjikan upah dan diberi biaya
membeli obat, lalu ia melakukan pengobatan dengan obat (orsebut dan ternyata
penyakit tidak dapat sembuh, maka ia tetap berhak mendapat upah yang telah
ditentukan, jika memang ijarahnya (perburuhannya) itu sah, tetapi jika
ijarahnya tidak sah, maka ia hanya berhak mendapatkan upah yang lumrah
(Ujratul Mits).
Bagi pasien tidak boleh menarik kembali upah yang
telah diberikan kepada dokter tersebut, sebab yang diupahkan adalah
pengobatannya, bukan sembuhnya. Bahkan jika disyaratkan harus sembuh, maka
ijarahnya adalah batal, sebab kesembuhannya berada di tangan Allah swt.
Adapun
jika dokter tersebut tidak mahir (sering gagal dalam pengobatannya), maka ia
tidak berhak menerima upah dan pasiennya boleh menarik kembali uang obat yang
telah diberikan kepadanya, lantaran ja gegabah melakukan pekerjaan yang bukan
keahliannya.
Apabila terjadi perselisihan antara mukri dan muktari
mengenai ongkos sewa, masa sewa atau ukuran kemanfaatan, apakah (binatang sewa
umpama, digunakan untuk menempuh perjalanan) sejauh 10 farsakh ataukah 5
farsakh, atau mengenai ukuran barang persewaan apakah seluruh rumah atau hanya
satu bilik, maka keduanya harus sumpahmenyumpah (mengiyakan dakwaan sendiri
dan meniadakan dakwaan lawan) dan selanjutnya ijarah menjadi fasakh, serta
muktari wajib membayar ongkos yang lumrah atas kemanfaatan yang telah ia
peroleh.
Cabang:
Apabila dalam ijarah dzimmiyah,
musta’jir menemukan bahwa kapasitas binatang sewa seumpama dalam mengangkut
beban yang sudah diukur oleh mu’jir, ternyata di bawah standar yang mencolok,
maka ongkos sewa dikurangi sebesar selisih keterpautan tersebut, kalau
ijarahnya bukan dzimmah (ainiyah), maka ongkos sewa tidak boleh dikurangi sama
sekali.
Apabila seseorang menyewa kapal laut (perahu), lalu ada
ikan yang masuk ke dalamnya, maka ada dua pendapat orang yang berhak
memilikinya, apakah milik musta’jir atau mu’jir? :
MUSAQAH
Pungkasan:
Musaqah itu hukumnya
boleh dilakukan, Musaqah adalah pemburuhan pemilik pohon kurma atau anggur
yang tertanam, ditentukan dalam akad dan diketahui kedua belah pihak, bagi
orang lain agar merawat dan mengairinya, dengan janji upah bahwa buah yang
baru atau yang telah ada, dimiliki bersama.
Musaqah
tidak boleh dilakukan untuk selain pohon kurma dan anggur, kecuali dengan
jalan mengikutkan pada salah satu dari keduanya.
Kaul
Kadim Imam Syafi’i memperbolehkan akad Musaqah pada semua jenis pohon.
Pendapat ini juga sama dengan pendapat Malik dan Ahmad. Segolongan dari ulama
Syafi’iyah ada juga yang memilih pendapat ini.
Apabila
Malik (pemilik) melakukan Musaqah kepada orang lain dengan rupa bibit kurma
agar ditanam terlebih dahulu, lalu pohon atau buahnya milik bersama, maka akad
Musaqah tersebut hukumnya tidak sah, tetapi kesimpulan dari pembahasan
segolongan ulama salaf memperbolehkannya.
Dalam
hal ini (tidak sah), maka pohon pemilik bibit dan ia wajib memberi ongkos yang
lumrah untuk tanah di mana pohon itu tertanam (jika tanah itu miliknya, maka
wajib menggaji pekerja dengan gaji yang lumrah).
MUZARA'AH
Muzara’ah adalah pemburuhan pemilik bumi kepada orang lain
(pekerja) agar menggarapnya, dengan janji pekerja memperoleh bagian tertentu
dari hasilnya, sedang bibit, dari pemilik bumi.
Jika bibitnya
berasal dari penggarap (Amil), maka disebut Mukhabarah.
Muzara’ah
dan Mukhabarah hukumnya tidak boleh, karena ada dalil yang melarangnya,
(tetapi) As-Subki dan golongan ulama yang lain memperbolehkannya, dan mereka
berdalil dengan yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar r.a. dan penduduk
Madinah.
(Jika kita berpijak) terhadap pendapat yang mengunggulkan
batal, maka apabila ada bumi dimuzara’ahkan, maka hasil bumi menjadi milik
pemilik bumi, namun ia wajib menggaji pekerja, membayar sewa binatang dan
alat-alatnya.
Jika bumi tersebut dimukhabarahkan, maka hasil bumi
menjadi milik penggarapnya dan ia wajib membayar ongkos yang lumrah kepada
pemilik bumi.
Caranya agar hasil bumi dimiliki bersama tanpa ada
yang mengeluarkan uang sewa: Jika bibit tanaman berasal dari pihak penggarap
(mukhabarah), maka penggarap menyewa separo bumi dengan separo bibit, separo
pekerjaan, dan separo kemanfaatan alat-alatnya, atau dengan separo bibit dan
ia menyukarelakan pekerjaannya dan kemanfaatan alat-alatnya.
Apabila
bibitnya milik pemilik bumi, maka (caranya) pemilik bumi memburuhkan kepada
penggarap dengan upah separo bibit, agar penggarap menanamkan separo bibit
yang lainnya pada separo bumi, dan separo bumi yang lainnya dipinjamkan kepada
penggarap (amil).
BAB 'ARIYAH (PINJAM-MEMINJAM) - بَابٌ الْعَارِيَةِ
Lafal ‘Ariyah dengan tasydid dan takhfif ya’nya: Yaitu nama barang
pinjaman. Juga nama suatu akad yang memberikan wewenang untuk mengambil
manfaat terhadap suatu barang yang halal dimanfaatkan dan dalam keadaan masih
utuh barangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Lafal
“Ariyah itu diambil dari ‘Ara, yang artinya “pergi dan datang kembali dengan
cepat”, bukan berasal dari “Al-‘Ar” (cacat).
‘Ariyah
asal hukumnya adalah sunah, lantaran sangat dibutuhkan.
Terkadang
hukumnya wajib, misalnya, meminjamkan pakaian yang menjadi sebab sah salat,
menunjamkan perkara untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, atau
meminjamkan alat menyembelih binatang yang dimuliakan syarak, yang
dikhawatirkan akan mati.
Orang yang mentiliki hak
tasaruf barang dengan sukarela (ahli Tabaru’) adalah sah menunjamkan barang
pinjaman untuk diambil manfaatnya dalam keadaan utuh, di mana ia memuliki hak
pemanfaatan barang tersebut, sekalipun dengan jalan wasiat, ijarah dan wakaf,
dan sekalipun ia tidak mempunyai hak milik atas barang itu, sebab di dalam
‘Ariyah hanya menyangkut kemanfaatan barang.
Ibnur
Rif’ah membatasi kesahan ‘Ariyah dari mauquf ‘alaih, bila ia menjadi Nazhir
(atas barang wakaf yang dipinjamkan).
Al-Asnawr
berkata: Bagi imam (kepala negara) bolehmeminjamkan harta Baitulmal.
‘Ariyah
hukumnya sah pada barang yang kemanfaatannya diperbolehkan. Karena itu, tidak
sah meminjamkan barang yang haram dimanfaatkan, misalnya, alat maksiat (gitar,
seruling dan lain-lain), meminjamkan kuda atau senjata kepada kafir harbi:
atau meminjamkan budak perempuan yang masih dapat membangkitkan nafsu birahi
untuk melayani laki-laki lain.
Ahli Tabarru’ sah
meminjamkan barang, (jika) disertai kata-kata yang menunjukkan perizinan
pemakaian manfaat barang: misalnya, “Kupinjamkan kepadamu/Engkau kuperbolehkan
memanfaatkannya/ Naikilah dan ambil kemanfaatnya.”
Dalam
hal ini cukuplah perkataan dari salah satu pihak dan pelaksanaan pihak yang
lain.
Musta’ir (peminjam) tidak diperbolehkan
meminjamkan barang pinjamannya lagi, tanpa seizin Mu’ir (yang meminjami).
Musta’ir
boleh menggantikan kemanfaatan barang pinjaman kepada orang lain, Misalnya:
Menyuruh mengendarai binatang pinjamannya kepada prang lain yang sepadan
dengannya atau di bawah dirinya untuk keperluannya.
Tidak
sah meminjamkan barang yang dalam pemanfaatannya akan menghancurkannya,
Misalnya, lilin untuk dinyalakan, sebab akan hancur. Karena itu, sah
meminjamkan lilin sebagaimana halnya meminjamkan emas-perak untuk
perhiasan.
Sekira ‘Ariyah tidak sah, tetapi tetap
berjalan, maka ditanggung (kerusakannya jika terjadi), karena akad yang fasid
akibat hukumnya dalam masalah tanggungan adalah sama dengan yang sah. Ada yang
mengatakan: Tidak wajib menanggungnya, karena akad yang terjadi bukanlah
‘Ariyah yang sah dan bukan yang fasid.
Apabila
seseorang berkata, “Galilah bumiku untuk kau jadikan sumur”, lalu digali, maka
sumur itu tidak bisa menjadi milik penggali dan ia tidak berhak menerima upah
dari pemilik bumi yang memerintahkannya. Jika penggali berkata, “Kamu
memerintahkanku dengan upah”, lalu dijawab “Gratis”, maka perkataan yang
memerintahkan dan ahli warisnya dibenarkan.
Apabila
seseorang mengutus anak kecil meminjam sesuatu untuknya, maka hukum peminjaman
adalah tidak sah. Jika barang tersebut rusak di tangan anak kecil itu atau
dirusakkan, maka baik anak kecil maupun yang mengutusnya tidak wajib
menanggungnya. Demikianlah keterangan dalamAl-Jawahir.
Bagi
Musta’ir wajib menanggung seharga barang pinjaman (Mu’ar) terhitung di hari
kerusakannya, jika terjadi keseluruhan atau sebagiannya yang mengalami
kerusakan di tangan Musta’ir (di tangan Musta’ir tidak menjadi syarat),
sekalipun terjadi lantaran bencana dari perbuatannya yang tidak gegabah.
Tanggungan di atas sebagai penggantian total (jika kerusakan keseluruhannya)
atau tambalan kerugian, sekalipun mereka berdua mensyaratkan tidak ada
tanggungan.
Karena berdasarkan hadis riwayat Abu
Dawud dan lainnya: “Barang pinjaman itu ditanggung (kerusakannya), Artinya:
Ditanggung dengan harga yang terhitung di hari rusaknya, bukan hari diterima
barang, untuk barang mutagawwam, dan dengan tanggungan mitsli untuk mu’ar
mitsli. Demikianlah menurut pendapat Al-Aujah.
Abdurrahman
Al-Ardabili memantapkan dalam kitab Al-Anwar, dengan ketetapan kewajiban
menanggung harga Mu’ar, sekalipun antuk Mu’ar yang berupa mitsil, misalnya
kayu dan batu.
Kerusakan yang wajib ditanggung
adalah kerusakan yang terjadi pada luar izin penggunaan barang pinjaman,
sekalipun terjadinya bersamaan dengan penggunaan itu. Karena itu, jika barang
pinjaman seluruh atau sebagiannya rusak lantaran digunakan sesuai dengan izin,
misalnya: Ditunggangi, dimuati atau dipakai menurut kebiasaan, maka peminjam
tidak wajib menanggungnya, karena justru itu ia diizinkan.
Demikian
juga Musta’ir tidak wajib menapggung kerusakan barang yang ia pinjam dari
penyewa dalam ijarah yang sah, sebab Musta’ir kedudukannya sebagai pengganti
penyewa, di mana penyewa sendiri tidak dapat dibebani tanggungan.
Yang
serarti dengan penyewa: Orang yang diwasiati hak kemanfaatan, orang yang
diwakafi (mauquf alaih) dan barang yang dipinjam dengan tujuan untuk
digadaikan dan mengalami kerusakan di tangan penerima gadai (Murtahin): maka
Murtahin tidak wajib menanggung, begitu juga Rahin.
Demikian
pula tidak wajib ditanggung kerusakan kitab yang diwakafkan kepada segenap
kaum Muslimin, umpama yang dipinjam oleh seorang Faqih, lalu dirusak dengan
tanpa gegabah, karena ia termasuk jumlah Mauquf Alaih.
Cabang:
Apabila terjadi perselisihan antara pihak
Musta’ir dengan Mu’ir mengenal apakah kerusakan terjadi dari penggunaan yang
diizinkan atau tidak, maka menurut pendapat AlJalal Al-Bulqini yang dibenarkan
adalah Mu’ir (yang meminjamkan), lantaran asal dari ‘Ariyah adalah ada
tanggungan sehingga ada hal yang menggugurkannya.
Bagi
Mu’ir wajib menanggung biaya pengembalian Mu’ar, kepada pemiliknya.
Tidak
termasuk “biaya pengembalian”, yaitu biaya Mu’ar itu sendiri: Biaya ini harus
dipikul pemiliknya, : karena termasuk hak miliknya. Al-Qadhi Al-Husain
menyelisihi pendapat ini dan katanya: Biaya Mu’ar adalah menjadi tanggungan
Musta’ir.
Bagi Mu’ir dan Musta’ir boleh mencabut
kembali akad ‘Ariyah, baik ariyah mutlak maupun yang dibatasi dengan waktu,
sampai dalam masalah meminjamkan sesuatu untuk menanam mayat sebelum selesai
penimbunan tanah untuknya, sekalipun setelah mayat diletakkan di dalam
kubur.
Tidak boleh mencabut kembali, setelah
mayat ditimbun dalam tanah dan sebelum mayat hancur tubuhnya. Bagi Musta’ir
tidak boleh mencabut kembali akad ariyah, sekira akad itu wajib dilakukan,
misalnya untuk menempatkan bekas istrinya yang sedang idah.
Bagi
Mu’ir tidak boleh mencabut kembali akad ariyahnya yang berupa kapal laut,
ketika sudah berada di tengah gelombang dan di dalamnya terdapat harta milik
Musta’ir. Ibnur Rif’ah membahas bahwa dalam hal ini, Mu’ir berhak menerima
upah.
Tidak boleh juga pada peminjaman kayu balok
yang digunakan untuk menyangga tembok yang telah condong. Sedang bagi Mu’ir
berhak menerima upah terhitung sejak terjadi pencabutan kembali.
Jika
seseorang meminjam (tanah) untuk didirikan bangunan atau ditanami, maka hal
itu hanya boleh dilakukan satu kali saja.
Karena
itu, bila bangunan tersebut telah ia cabut atau tanamannya telah ia tebang,
maka ia tidak boleh membangun dan menanam lagi, kecuali ada izin baru atau
telah dijelaskan bahwa ia boleh melakukan itu untuk yang keduakalinya.
Beberapa
Cabang:
Apabila terjadi perselisihan antara
pemilik suatu barang dengan pemakainya (Mutasharrif), sebagaimana Mutasharrif
berkata, “Engkau pinjamkan kepadaku”, sedang pemilik berkata, “Kusewakan
dengan ongkos sekian”, maka dengan disumpah, pihak Mutasharrif dibenarkan,
jika barang masih ada dan berjalan selama masa yang bernilai sewa, Jika telah
berjalan masa yang bernilai sewa, maka pemilik barang harus bersumpah, lalu
berhak memiliki uang sewa.
Kasus di atas
sebagaimana seorang memakan makanan orang lain, dan ia berkata, “Engkau
membolehkan untuk memakannya”, lalu pemilik mengingkarinya.
Atau
sebaliknya, sebagaimana Mutasharrif berkata, “Engkau menyewakan kepadaku
sekian….”, dan pemilik barang berkata, “Tidak! Aku hanya meminjamkan
kepadamu”, sedang barang masih ada, maka yang dibenarkan adalah pemilik barang
dengan sumpahnya.
Apabila seseorang memberi orang
lain sebuah ruko (rumah toko) dan beberapa dirham atau tanah dan bibitnya, dan
ia berkata, “Dagangkanlah uang dirham ini/tanamlah bibit ini di sana!”, maka
menurut pendapat Al-Aujah: Ruko dan tanah adalah sebagai pinjaman, sedang uang
dirham dan bibit adalah sebagai utang, bukan pemberian (Hibah), lain halnya
dengan pendapat sebagian fukaha. Selanjutnya, (jika terjadi perselisihan),
maka pihak pemberi dibenarkan dakwaannya mengenai maksud pemberian itu.
Apabila
seseorang mengambil gelas (yang terisi air) dari penjaga air minum untuk
meminum airnya, lalu setelah dipegang gelas itu jatuh dan pecah, baik setelah
airnya diminum atau belum, maka jika ia meminta air tersebut, secara gratis,
maka ia wajib menanggung gelasnya, tidak airnya, (tetapi) jika ia memintanya
dengan membeli dan air yang ada dalam gelas adalah sebanyak harga pembelian,
maka yang wajib ditanggung adalah airnya (karena dihukumi jual beli yang
fasid), bukan gelasnya (karena gelas ini dihukumi sebagai persewaan yang
fasid).
Apabila seseorang meminjam perhiasan yang
ia pakaikan kepada putrinya yang masih kecil, lalu ia memerintahkan kepada
orang lain untuk menyimpannya di dalam orang itu (setelah dilepas dari anak
kecil tersebut), dan ia melakukan perintah tersebut (mendadak) perhiasan itu
dicuri seseorang, maka pemilik perhiasan harus meminta ganti kepada. peminjam
(Musta’ir) dan Musta’ir dapat meminta ganti kepada orang kedua (yang
menyimpan), jika ia tahu bahwa perhiasan tersebut adalah barang hasil
pinjaman.
Kalau ia tidak tahu bahwa itu barang pinjaman, bahkan ia menyangka milik orang yang memerintahkan, maka ia tidak wajib menanggungnya.
Barangsiapa menempati rumah dalam beberapa waktu dengan izin dari pemiliknya
yang berhak mengizini dengan tanpa menuturkan ongkos, maka ia tidak wajib
membayar ongkos penempatan.
Penting:
Al-Ubaidi dan lainnya berkata: Kitab hasil pinjaman
yang diketahui terdapat kesalahan, maka peminjam tidak boleh membenarkannya,
kecuali jika berupa kitab Alqur-an, maka wajib dibenarkan.
Kata Guru
kita: Menurut pendapat Ittijah, bahwa kitab yang dimiliki selain Alqur-an,
adalah tidak boleh dibenarkan sama sekali, kecuali jika ia mengira bahwa
pemiliknya rela dengan perbaikan tersebut. Dan wajib mengadakan pembetulan
terhadap kesalahan dalam Alqur-an, tapi hal itu jika tidak mengurangi
kebaikannya lantaran tulisannya jelek. Juga bahwa kitab wakaf itu wajib
dibenarkan, jika ia terdapat kesalahan di dalamnya.
PASAL: TENTANG GASAB
Gasab adalah: Menguasai hak orang lain sekalipun berupa
kemanfaatan dengan cara yang tidak dibenarkan, misalnya: Menyuruh berdiri
seseorang yang tengah duduk di mesjid/ pasar, duduk di atas alas tidur orang
lain, sekalipun tidak digeser ke tempat lain, mengusir orang dari rumahnya
sendiri, sekalipun lalu tidak dimasukinya, menaiki kendaraan orang lain dan
meminta pelayanan kepada budak orang lain.
Penggasab (Ghashib) wajib mengembalikan barang yang digasab dan menanggung kerusakan barang gasab yang ada nilai penghartaan dengan perhitungan harga tertinggi sejak waktu menggasab hingga barang itu rusak.
Barang Mitsli harus ditanggung dengan mengembalikan barang mitsli di mana pun
berada. Barang mitsli adalah barang-barang yang dapat diukur dengan takaran
atau timbangan dan sah dijadikan Muslam Fih, misalnya: Kapas, tepung, air,
minyak misik, tembaga, dirham dan dinar sekalipun campuran, kurma, anggur,
biji-bijian yang kering, minyak dan minyak samin.
Apabila
untuk mengembalikan barang mitsli yang digasab tidak didapatkan, maka
penggasab harus menanggung harga tertingginya semenjak terjadi gasab sampai
waktu barang itu tidak didapatkan.
Apabila barang
mitsli yang digasab itu rusak, maka pemilik berhak menuntut penggasab untuk
mengem:balikan barang mitsli di selain tempat di mana barang yang digasab itu
berada, jika untuk memindah barang tersebut (dari tempat gasab/ kerusakan ke
tempat lain) tidak membutuhkan biaya serta aman perjalanannya, kalau tidak
demikian, maka menuntutnya dengan harga tertinggi di tempat ditemukan barang
mitsli.
Barang Mutaqawwam yang dirusakkan,
misalnya beberapa kemanfaatan dan binatang adalah harus ditanggung dengan
harganya.
Atas dasar sama-sama rela, pemilik
barang boleh mengambil harga dari barang mitsli. Apabila ia telah mengambil
harga, lalu mereka berdua (pemilik barang dan penggasab) berkumpul di daerah
tempat barang mitsli itu rusak, maka mereka tidak boleh menarik kembali untuk
melaksanakan penanggungan (dengan mengembalikan) berupa barang mitsli.
Sekira
sudah wajib menanggung dengan barang mitsli, maka tidak ada pengaruh atas
mahal atau murah barang tersebut.
Beberapa Cabang:
Apabila seseorang melepas tali kapal laut, lalu
tenggelam, maka ia harus menanggungnya, tetapi kalau tenggelamnya sebab
terserang angin, maka ia tidak wajib menanggungnya. Demikian juga tidak wajib
menanggungnya, jika sebab tenggelamnya tidak diketahui.
Apabila
seseorang melepas tali pengikat binatang atau budak yang belum tamyiz atau
membuka kurungan burung, lalu semuanya kabur, maka ia wajib menanggungnya,
jika kekaburannya lantaran penghentakan atau pengusiran dari orang
tersebut.
Demikian juga, ia wajib menanggung jika
hanya dengan membuka kurungan, lalu burungnya terbang seketika.
Tidak
wajib menanggung budak yang berakal lantaran tali pengikatnya dilepas lantas
kabur, sekalipun budak itu mempunyai kebiasaan kabur.
Apabila
seorang yang zalim memukul budak orang lain, lalu budak itu kabur, maka ia
tidak wajib menanggungnya.
Ghashib (penggasab)
menjadi bebas dengan mengembalikan barang gasaban kepada pemiliknya. Dalam
mengembalikannya, adalah sudah dianggap cukup dengan meletakkannya di sisi
pemilik barang. Apabila ia lupa siapa pemilik barang tersebut, maka ia dapat
dianggap bebas dengan mengembalikannya kepa la seorang qadhi.
Jika
penggasab mencampur barang mitsli/Mutaqawwam dengan barang lain yang tidak
dapat dibedakan lagi (mana yang dari gasab dan yang bukan), maka dihukumi
sebagai barang yang rusak, bukan barang persekutuan antara penggasab dengan
pemiliknya: misalnya: mencampur minyak atau biji-bijian, demikian juga uang
dirham, menurut Al-Aujah dengan sejenisnya atau tidak. Dalam masalah barang
yang sudah bercampur begitu, penggasab berhak memilikinya.
Tetapi
menurut pendapat Al-Aujah, bahwa orang tersebut terhalang pentasarufannya,
sebelum penggasab memberikan ganti yang digasab. [alkhoirot.org]