Bagian dalam Ilmu Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, al-Munqidz minad Dhalal
Judul terjemah: Pembebas dari Kesesatan
Judul asal dalam teks Arab: المنقذ من الضلال
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, tarekat, suluk
Penerjemah: Bahrudin Achmad
Daftar Isi
- Bagian dalam Ilmu Filsafat
- Ilmu Riyadhiyyah (Ilmu Matematika)
- Ilmu Mantiqiyyah (Ilmu Logika)
- Ilmu Thabi’iyyah (Ilmu Alam)
- Ilmu Ilahiyyah (Ilmu Teologi)
- Ilmu Siyasiyyah (Ilmu Politik)
- Ilmu Khalqiyyah (Etika)
- Aliran Dalam Ta’lim (pengajaran) dan Penyimpangannya
- Kembali ke kitab: Terjemah Al-Munqidz minad Dhalal
BAGIAN DALAM ILMU FILSAFAT
Perlu diketahui dan menjadi bahan catatan bahwa ilmu yang dipelajari oleh
mereka untuk mencapai sasaran (tujuan) terdiri dari enam bagian :
1.
Ilmu Riyadhiyyah (Ilmu Matematika)
2. Ilmu
Mantiqiyyah (Ilmu Logika)
3. Ilmu Thabi’iyyah (Ilmu
Alam)
4. Ilmu Ilahiyyah (Ilmu Teologi)
5.
Ilmu Siyasiyyah (Ilmu Politik)
6. Ilmu Khalqiyyah
(Etika)
Ilmu Riyadhiyyah (Matematika)
Ilmu ini ada konteknya dengan Ilmu Hitung. Ilmu Hindasah (Geometri) dan
Ilmu Bumi Alam. Tiada satupun dari ilmu-ilmu ini yang ada konteknya dengan
perkara-perkara agama, baik ditetapkan atau
tidak ditetapkan,
bahkan ilmu ini hanya merupakan dalil-dalil belaka yang tiada cara lagi untuk
mengingkarinya sesudah terlebih dahulu faham dan mengerti secara jelas. Dari
ilmu ini juga lahirlah dua afat (bahaya):
Bahaya pertama :
Siapa saja yang menganalisis ilmu ini pasti dia akan merasa kagum
betapa rumit dan sulitnya ilmu ini, di samping itu dia juga merasa kagum
terhadap jelasnya dalil atau argumentasinya sehingga sebab kekagumannya itu
dia percaya benar terhadap ilmu filsafat lalu dia menduga bahwa semua ilmunya
para filosof itu jelas dan dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya seperti
halnya ilmu ini. Kemudian karena dia mendengar kekufuran mereka serta
keatheisan mereka dan kebiasaan mereka menganggap remeh terhadap agama, maka
mulutnya menjadi lancang sehingga dia berani mengatakan kufur terhadap taklid
makhdi (taklid murni), tambah lagi dia berani berkata: “Andaikan agama itu
memang benar-benar hak niscaya agama itu tidak akan samar bagi orang-orang
filsafat ini, sebab mereka memiliki pengetahuan yang mendalam dalam ilmu ini.
Maka apabila dia sudah tahu—berdasarkan pada pendengaran mereka—kekafiran
serta keingkaran mereka terhadap agama, niscaya dia mengambil suatu bukti
bahwa yang hak (benar) adalah kekafiran serta pengingkaran terhadap agama itu
sendiri.
Beberapa yang sudah anda lihat dari orang yang tersesat dari kebenaran sebab kedudukan ini dan sama sekali dia tidak memiliki pancatan selain ilmunya ini.
Anggaplah misalnya ada seorang yang amat pandai dalam bidang pekerjaan/ karya
tertentu, belum tentu dia pandai dalam segala bidang pekerjaan. Seorang yang
ahli dalam ilmu fikih dan ilmu kalam belum tentu dia ahli dalam ilmu
kedokteran. Seperti halnya orang yang bodoh tentang ilmu metafisika belum
tentu dia bodoh tentang ilmu nahwu, bahkan bagi setiap pekerjaan memiliki
orang yang ahli di mana dia sudah sampai pada puncak kepandaiannya kendatipun
kebodohan dan ketidaktahuan senantiasa dimiliki olehnya dalam bidang-bidang
yang lain.
Orang-orang yang baru pertama-tama menyelami ilmu
matematika merupakan hal yang sifaynya berisi dengan dalil-dalil, sedangkan
orang yang baru pertama kali menyelami dalam ilmu ketuhanan (teologi) dia akan
terbentur dengan hal-hal yang sifatnya teka-teki. Tidak akan mengetahui hal
itu kecuali orang yang sudah mengadakan eksperimen dan menyelaminya.
Apabila seseorang telah terpaku hatinya mempercayai dan menerima ilmu
matematika (riyadhiyyah) maka dia tidak bisa mengelak dari dalil itu, bahkan
dia akan terbawa oleh dorongan hawa nafsu dan keinginan untuk dipandang
sebagai seorang yang jagoan dan ingin dipandang sebagai orang yang cerdik yang
senantiasa berbaik sangka terhadap para filosof yang pasti menguasai segala
ilmu.
Tindakan yang seperti ini merupakan kerugian dan bahaya besar, oleh
karena itu sudah sewajibnyalah kita melarang atau mencegah setiap orang yang
menyelami ilmu itu. Sebab ilmu ini kendatipun tidak berkaitan dengan urusan
agama, akan tetapi tatkala seseorang dalam permulaan ilmu mereka sudah
berjalan kepada keburukan dan cacat mereka niscara sedikit sekali orang yang
menyelami ilmu filsafat itu kecuali dia keluar dan berbalik dari agamanya dan
terbebaslah tali kekang takwa dari kepalanya.
Bahaya kedua:
Timbul dari orang yang merasa dirinya tahu tentang Islam, namun
sebenarnya dia tidak tahu tentang Islam. Dia mempunyai keyakinan bahwa agama
itu haruslah dibela dengan mengingkari terhadap semua ilmu yang masih ada
kaitannya kepada golongan filosof, sehingga agama harus tidak mengakui semua
ilmu mereka dan menganggap mereka bodoh, sampai-sampai tidak diakuinya
pendapat mereka tentang gerhana Matahari dan gerhana Rembulan dan dia
mempunyai dugaan kuat bahwa apa yang mereka ucapkan benar-benar bertentangan
dengan syara’.
Tatkala hal itu didengar oleh orang yang tahu persis terhadap masalah itu
dengan diperkuat oleh dalil yang pasti di mana dia sudah tidak ragu lagi
terhadap dalilnya, malah dia sudah punya keyakinan kuat bahwa Agama Islam itu
bertengger di atas kebodohan dan pengingkaran terhadap dalil yang pasti, maka
akan menambah kecintaannya terhadap golongan filsafat dan menambah
kebenciannya kepada Islam. Padahal sudah besar sekali teror dari orang yang
menyangka bahwa Islam memang ditopang oleh pengingkarannya terhadap filsafat.
Di dalam syara’ sendiri tidak menyinggung sama sekali terhadap ilmu-ilmu ini,
dan di dalam ilmu-ilmu ini sama sekali tidak menyinggung perkara-perkara
agama.
Adapun sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak
mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya
seseorang. Maka jika kalian melihatnya bersegeralah berdoa kepada Allah
dan shalat sehingga
kembali terang." (Muttafaq 'alaih)
Maka
jelaslah bahwa di dalam hadits itu tidak terdapat adanya sesuatu pengingkaran
terhadap Ilmu Hisab (aristematika) yang bisa dipakai untuk mengetahui
perjalanan matahari dan bulan, kumpulnya dua benda tersebut atau saling
berhadap- hadapannya dua benda itu menurut cara yang tertentu.
Mengenai
ucapan: “Akan tetapi Allah tatkala menampakkan diri-Nya kepada sesuatu, maka
sesuatu itu tunduk kepada-Nya”, tidaklah ditemukan di dalam Kitab Ash-Shihah.
Demikian itulah hikmahnya Ilmu Matematika dan bahayanya.
Ilmu Mantiqiyyah (Logika)
Ilmu ini juga sama sekali tidak ada konteksnya dengan agama, baik
ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan dia hanya merupakan analisa tentang
cara- cara mencari dalil-dalil, cara mencari analog, cara
mencari
beberapa syarat dalil pendahuluan dan cara merangkumnya, cara mencari beberapa
syarat definisi yang benar dan bagaimana cara mengurutkannya.
Ilmu ini
bias terdiri dari:
1. Ilmu Tashawwur, sedangkan cara
mengetahuinya adalah dengan mengetahui definisinya yang pas.
2.
Ilmu Tasdiq, adapun cara mengetahuinya adalah dengan mengemukakan
dalil.
Dalam masalah ini tidak ada lagi sesuatu yang perlu untuk
diingkari sebab dia merupakan jenis yang telah disebutkan oleh Ulama ahli
kalam (Teologian) dan orang-orang yang ahli menganalisa dalam berbagai dalil.
Hanya saja mereka berbeda cara mengutrakannya dan cara memberikan istilah dan
ditambah lagi dengan terlalu bertele-tele dalam mendefinisikan dan
mencabangkannya. Kita ambil saja sebuah contoh dari ucapan mereka: “Jika telah
ditetapkan bahwa setiap A pasti B, maka sudah seharusnya bila sebagian B
berarti A, dengan pengertian apabila setiap insan pasti hewan, maka sudah
sewajibnya bila sebagian hewan adalah insan”.
Dari contoh di
atas ini mereka memberikan gambaran bahwa “Mujabah Kulliyyah”(*) berkebalikan
dengan “Mujabah Juz’iyyah”, lalu mana hubungan yang ada kaitannya dengan
kepentingan agama sehingga mesti harus diingkari dan tidak diakui. Maka
apabila tidak diakui, tidak membuahkan hasil apa-apa terhadap mantik (logika)
yang paling jelek itikadnya terhadap akalnya orang yang ingkar, bahkan dalam
agamanya yang telah mempunyai dugaan kuat bahwa agama itu hanya mandeg pada
pengingkaran yang seperti ini.
Ya, mereka memang memiliki semacam kezaliman dari ilmu ini, yaitu mereka
berkonsensus membikin beberapa syarat bagi sebuah dalil yang bisa diketahui
bahwa syarat-syarat itu menghasilkan suatu keyakinan yang tidak bisa ditawar
lagi, tetapi ketika mereka sampai kepada tujuan-tujuan agama, ternyata mereka
tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu bahkan mereka menganggap mudah
sepenuhnya. Barangkali mereka melihat di dalam ilmu Mantik juga, akan adanya
seseorang yang dia anggap baik lalu dia melihatnya sebagai yang lebih menonjol
dia menduga bahwa apa saja yang diambil dari mereka termasuk perkara yang
kufur sembari memperkuat dengan dalil-dalil itu.
Oleh karena itu dia
tergesa-gesa melakukan kekufuran sebelum dia sampai kepada ilmu-ilmu
ketuhanan, sehingga hal ini merupakan bahaya juga.
Ilmu Thabi’iyyah (Alam):
Ilmu ini membahas tentang benda-benda langit dan beberapa bintang serta
apa saja yang terdapat di bawahnya dari benda-benda tunggal seperti air,
udara, debu, dan api dan benda-benda yang memiliki bagian-bagian (susunan)
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan dan pertambangan. Ilmu ini juga membahas
tentang sebab-sebab perubahan, peralihan, dan tabiat benda-benda itu. Semuanya
itu menyerupai pembahasan seorang dokter tentang badan manusia beserta
anggota-anggotanya yang pokok dan yang tidak pokok, dan juga membahas tentang
peralihan temperamennya.
Seperti halnya tiada satupun syarat agama yang
mengharuskan untuk mengingkari “ilmu kedokteran”, maka tidak merupakan syarat
agama untuk mengingkari ilmu alam kecuali dalam beberapa
masalah
tertentu yang kami sebutkan di dalam kitab “Tahafut al-Falasifah” dan
masalah-masalah lain selain masalah ini yang terus ditentang.
Jika sudah diangan-angan, niscaya akan menjadi jelaslah bahwa masalah-masalah
itu sebenarnya tersusun rapi di bawah ilmu alam, sedangkan garis besarnya
haruslah diketahui bahwa ala mini dikendalikan oleh Allah Ta’ala, jadi tidak
bekerja dengan sendirinya, bahkan alam ini dipekerjakan dari sisi Penciptanya.
Matahari, bulan, dan bintang serta unsure-unsur alam semesta adalah tunduk di
bawah perintah-Nya, sehingga tiada satupun benda yang bekerja dengan
sendirinya tanpa perintah Allah SWT.
Ilmu Ilahiyyah (Teologi)
Di dalam ruang lingkup ilmu ini terjadi banyak kesalahan yang diperbuat
oleh kebanyakan para filosof. Mereka tidak mampu menepati dalil-dalil yang
telah mereka syaratkan dalam ilmu mantik, sehingga dengan demikian banyak
terjadi berbagai macam perselisihan faham di kalangan mereka sendiri mengenai
ilmu ini. Mengenai ilmu teologi ini, aliran
Aristoteles
hamper menyerupai alirannya orang- orang Islam menurut pendapat yang telah
dinukil oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Akan tetapi semua kekeliruan pendapat
mereka kembali kepada dua puluh pokok permasalahan, yang tiga dari kedua puluh
masalah itu wajib mengkafirkan mereka, sedangkan yang tujuh belas wajib
membid’ahkan mereka.
Demi menghapus aliran mereka dalam dua puluh masalah ini kami sengaja
mengarang kitab “Tahafut al-Falasifah”. Adapun masalah yang tiga itu memang
tidak disetujui oleh keseluruhan orang Islam, yaitu pendapat mereka yang
mengatakan:
1. Sesungguhnya badan manusia tidak
dibangkitkan di Padang Mahsyar.
2. Yang mendapat
ganjaran serta siksaan itu hanyalah ruh saja atau badan ruh saja.
3.
Berbagai siksaan itu sifatnya ruhani tidaklah jasmani.
Jadi
mereka telah membenarkan dalam penetapan ruhani, sehingga badan ruhani itu
benar- benar ada juga tetapi mereka mendustakan terhadap pengingkaran jasmani
lalu mereka mengingkari syariah dalam masalah-masalah yang mereka ucapkan. Di
antaranya adalah ucapan mereka: “Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya mengetahui
perkara-perkara yang bersifat global dan tidak mengetahui perkara-perkara yang
sifatnya perincian (parsial)”. Maka ucapan seperti ini juga merupakan
kekufuran yang nyata. Sebab yang benar adalah apa yang telah difirmankan Allah
Ta’ala:
“Tidak ada tersembunyi dari pada-Nya sebesar zarrah pun
yang ada di langit dan yang ada di bumi…” (QD. Saba: 3).
Di
antaranya lagi adalah ucapan mereka: “Dunia ini dahulu azali”. Sehingga tiak
ada seorang Islam pun yang mempunyai pendapat yang sesuai dengan salah satu
dari masalah-masalah ini.
Adapun masalah-masalah yang di balik masalah di
atas yang berupa perhatian terhadap sifat- sofat Allah dan pendapat mereka
bahwa Allah itu
hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak
pernah dari itu dan apa yang yang berkisar pada zat itu sendiri maka aliran
mereka yang seperti ini mirip dengan aliran Mu’tazilah. Dan kita tidak boleh
mengkafirkan Mut’azilah sebab contoh yang seperti itu.
Di dalam Kitab
“Faishal At-Tafriwah baina’l wa Al-Zindiqah” telah kami sebutkan sesuatu yang
menjelaskan rusaknya pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan segala
sesuatu yang bertentangan dengan alirannya.
Ilmu Siyasiyyah (Politik)
Semua pembicaraan mereka (para filosof) tentang ilmu ini kembali kepada
hokum kemaslahatan yang masih ada konteksnya dengan urusan-urusan kekuasaan
dunia. Mereka mengambilnya dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada
para Nabi dan dari hikmah- hikmah (kata-kata mutiara) yang biasa dipakai oleh
para wali yang dahulu.
Ilmu Khalqiyyah (Etika)
Seluruh pembicaraan para filosof mengenai masalah ilmu etika ini
kembali kepada pembatasan sifat-sifat jiwa dan beberapa pekertinya,
menyebutkan jenis dan macam ragamnya, bagaimana cara mengobatinya dan
melatihnya. Mereka mengambil ilmu ini dari golongan sufi yaitu golongan
ketuhanan yang senantiasa ingat kepada Allah ta’ala dan senantiasa memerangi
hawa nafsu, menempuh jalan untuk sampai kepada Allah dengan cara berpaling
dari kelezatan duniawi.
Dalam melatih jiwa mereka ini, tersingkaplah dari etika jiwa, cacat-cacat
jiwa, dan berbagai pekerjaan jiwa akan sesuatu yang telah mereka jelaskan.
Kemudian cara yang seperti ini diambil oleh kelompok filosof lalu mereka
campur aduk dengan omongan-omongan mereka sebagai sarana untuk menghias diri
dengan teori yang telah dilakukan oleh golongan sufi guna melariskan kebatilan
mereka.
Pada masa mereka, bahkan pada setiap masa terdapat sekelompok
ahli ketuhanan yang sengaja oleh Allah dunia ini tidak dikosongkan dari
mereka, sebab mereka merupakan paku-paku bumi yang
dengan
barakah mereka turunlah rahmat kepada penghuni bumi ini sebagaimana pernyataan
yang telah disebutkan dalam hadits di mana Rasulullah SAW bersabda: “Sebab
adanya mereka, penghuni bumi dituruni hujan, sebab mereka pula penghuni bumi
diberi rizki, dan di antara mereka pula terdapat penghuni Gua (Ash-habul
Kahfi).
Konon mereka pada masa-masa dulu berdasarkan atas apa yang telah diucapkan
oleh Al- Quran sehingga dari percampur-adukan mereka ini lahirlah omongan
(perkataan) nubuwwah dan perkataan golongan sufi yang dicatatan mereka
terdapat dua afat (bahaya): bahaya pertama bagi orang yang menerima sedangkan
bahaya yang kedua bagi haknya orang yang menolak.
Bahaya Pertama
Bahayanya bagi orang yang menolaknya amatlah besar, jika sekelompok
orang yang lemah menduga bahwa omongan itu, bila telah dibukukan di dalam
kitab-kitab mereka dan telah dicampur-aduk dengan kebatilan mereka sudah
seyogyanya disingkiri dan tidak perlu disebut-sebut, bahkan hendaknya
tidak
percaya kepada setiap prang yang menyebut- nyebutnya. Sebab jika pertama kali
mereka tidak mendengarnya kecuali dari mereka, maka oleh akal mereka yang
lemah itu akan timbullah kesan bahwa omongan itu merupakan omongan yang batil,
karena orang yang mengomongkannya saja adalah orang yang batil. Contohnya
seperti orang yang mendengar dari orang Nasrani akan ucapan: “Tiada Tuhan
selain Allah, Isa adalah Rasul (utusan) Allah”, lantas dia mengingkarinya dan
berkata: “Ini adalah omongannya seorang Nasrani” dan dia tidak ragu lagi
tatkala dia mengangan-angan bahwa orang Nasrani itu kafir menilik kepada
ucapannya ini atau menilik kepada pengingkarannya kepada Nabi Muhammad SAW,
maka apabila dia tidak kafir kecuali dengan menilik pada pengingkarannya
terhadap kenabian Muhammad, seyogyanyalah tidak menentang selain kekafirannya
itu yakni perkara yang ternyata benar pada dirinya, dan kendatipun baginya
juga merupakan perkara yang benar. Demikian inilah kebiasaan orang yang lemah
dan kerdil akalnya di mana mereka membuat batasan kebenaran dipandang dari
orangnya dan tidak membikin suatu ukuran kebenaran terhadap orangnya. Seorang
yang berfikir secara rasional pasti dia akan mengikuti cara berfikirnya pemuka
ahli fikir Ali ra. di mana dia pernah bilang:
“Janganlahlah kamu
mengenali suatu kebenaran dari manusianya, tetapi kenalilah apa kebenaran itu,
kemudian kamu baru akan dapat mengenali siapa yang memiliki kebenaran itu”.
Memang
ada sekelompok orang yang belum meneliti secara cermat akan rahasia berbagai
ilmu dan belum mencoba menelusuri poin-poin madzhab yang paling jauh,
membantah sementara kata-kata paten di dalam karangan-karangan kami tentang
berbagai rahasia agama. Mereka menduga bahwa kata-kata itu merupakan sebagian
omongannya orang-orang filosof jaman dulu di mana sebagiannya melahirkan
berbagai kegentingan dan tidak ayal lagi akan terjerumus di dalam lobang,
sedangkan yang lainnya terdapat di dalam kitab-kitab syariat dan kebanyakan
kitab-kitab syariat ini maksudnyaterdapat di dalam kitab-kitab sufi yang
kemungkinan tidak bakal ditemukan di dalam kitab-kitab mereka.
Maka
apabila omongan mereka itu logis (bisa diterima akal) dan diperkuat serta
ditopang oleh dalil- dalil yang nyata serta tidak bertentangan dengan Al-
Kitab dan As-Sunah, tidaklah seyogyanya apabila omongan mereka itu disingkiri
dan diingkari.
Andaikata kita membuka bab ini lalu kita mengambil langkah menyingkiri setiap kebenaran karena didahuluinya orientasi kita pada pemikirannya orang yang keliru, maka wajiblah bagi kita menyingkiri banyak kebenaran dan haruslah kita menyingkiri sejumlah ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah, hikayat-hikayat Ulama Salaf. Perkataannya para cerdik cendekia dan orang-orang sufi, sebab pengarang kitab “Ikhwan Ash-Shafa” telah menurunkannya di dalam kitabnya sembari mencari kesaksian dan memperdayakan hatinya orang-orang bodoh dengan perantaraan hal-hal itu menuju kepada kebatilannya dan kepalsuan yang dibuatnya, dan hal itu mengajak kepada usahanya orang-orang yang senantiasa menyalahkan kebenaran dari tangan-tangan kita dengan menitipkan omongan- omongannya di dalam kitab-kitab mereka.
Setidak-tidaknya orang yang yang memiliki pengetahuan akan bisa membedakan dirinya dari orang awam yang dungu tidak berpendidikan, sebab orang-orang yang berpengetahuan tidaklah bakalan mengatakan madu itu busuk tidak enak kendatipun dia menemukannya di dalam tempat (bejana) pembekam, dan dia akan berkeyakinan bahwa bejana pembekam itu tidak akan bisa merubah zat madu. Sedangkan keengganan tabiat dari madu itu berdasar atas kebodohan umum yang punya persepsi bahwa tempat (bejana) pembekan itu hanya sengaja dibikin untuk tempat darah yang menjijikkan, sehingga ia beranggapan bahwa darah itu menjijikkan karena ditempatkan dalam kaleng pembekam dan dia tidak tahu bahwa darah itu mempunyai cirri yang menjijikkan dengan sendirinya.
Sebab tatkala sifat ini hilang pada madu itu maka keadaannya di dalam tempatnya tidak menjadi masalah lagi bagi madu itu sehingga tidak perlu dianggap busuk dan menjijikkan, dan anggapan yang semacam ini adalah suatu anggapan yang keliru dan sudah merupakan anggapan yang lumrah bagi kebanyakan makhluk.
Senyampang omongan itu dinisbatkan dan disandarkan kepada pembicara yang
sesuai dengan keyakinan mereka maka mereka terima omongan itu kendatipun
omongan itu tidak benar. Dan jika omongan itu disandarkan dan dilontarkan oleh
orang yang tidak cocok lagi dan tidak berkenan di hati mereka, niscaya omongan
itu mereka tolak meskipun kenyataannya omongan tersebut merupakan omongan yang
benar. Oleh karena itu selamanya mereka akan mengetahui bahwa kebenaran itu
tergantung kepada siapa yang berbicara dan mereka tidak akan mengenali
seseorang dari sisi kebenarannya, dan inilah kesesatan yang paling final, di
samping itu, ini juga merupakan bahayanya orang yang tidak mau menerima
omongan kaum filosof etik.
Bahaya kedua
Bahayanya orang
yang menerima omongan kaum filosof etik. Sebab orang yang telah melihat di
dalam kitab-kitab mereka seperti “Ikhwan As-Shafa” dan lain-lainnya lalu dia
melihat apa yang telah
mereka campur aduk dengan omongan
mereka dari hikmah-hikmah kenabian serta kata-katanya golongan sufi,
barangkali dia akan menganggap bagus lalu menerimanya dan mempunyai itikad
baik terhadap kaum filosof etik ini sehingga dia akan tergesa-gesa menerima
kebatilan mereka yang telah diramu dengan dugaan baik dari hasil
penglihatannya dan anggapan baiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk
pemerdayaan ke arah kebatilan.
Karena bahaya inilah, wajib hukumnya
melarang menelaah kitab-kitab mereka, sebab di sana terdapat kecurangan dan
tipuan. Seperti halnya kita wajib menjaga orang yang tidak pandai berenang
dari licinnya tepi laut, kita juga wajib menjaga manusia dari menelaah
kitab-kitab itu. Contoh lain, juga wajib menjaga anak-anak dari usaha memegang
ular, maka kita wajib menjaga pendengaran dari campur aduknya omongan-omongan
mereka.
Demikian pula seorang pawing ular wajib menyelamatkan putranya yang masih
kecil dari usahanya menjamah ular yang berada di dekatnya, bila kenyataannya
dia tahu bahwa anaknya itu akan menirunya seperti apa yang dia lakukan karena
setidak-tidaknya anaknya ini mempunyai dugaan akan bisa melakukan seperti apa
yang pernah dilakukan ayahnya. Oleh karena itu tindakan yang harus dilakukan
adalah menakut- nakuti anaknya untuk takut kepada ular tersebut di samping itu
dia sendiri harus berlaku hati-hati di depan ular pada saat anaknya berada di
sisinya. Begitulah semestinya keteladanan yang harus ditiru oleh seorang yang
alim yang amat mapan ilmunya. Seperti halnya sorang pawang yang telah mahir,
jika dia memegang seekor ular lalu dia bisa membedakan mana yang air penawar
dan mana yang bisa, sehingga karena keahiannya pawang ini bisa mengeluarkan
air penawar dan mensirnakan bisa. Maka tindakan selanjutnya dia tidak perlu
bertindak bakhil untuk memberikan air penawar sebagai obat atas orang yang
membutuhkannya. Demikian pula seorang kasir yang cermat dan pengalaman, jika
telah memasukkan tangannya di dalam kantong yang berisi berbagai mata uang
lalu di sana dia bisa mengeluarkan emas yang murni dan dia tinggalkan yang
palsu dan yang tiruan maka dia tidak boleh bertindak bakhil tidak mau
memberikan uang emas yang masih murni lagi pula disenangi kepada orang yang
membutuhkannya,
dan seperti demikian itulah mestinya seorang
yang pandai mengambil suatu missal. Demikian pula seorang yang butuh kepada
air penawar sebagai obat, jika dirinya tidak suka terhadap air penawar itu
karena dia sudah tahu bahwa air penawar tersebut berasal dari seekor ular yang
merupakan tempatnya bisa.
Seorang kafir yang amat membutuhkan kepada
harta, jika dia berpaling dari emas yang telah dikeluarkan dari kantong yang
berbagai macam uang, maka dia harus diingatkan bahwa keengganannya menerima
uang emas merupakan suatu kebodohan yang menyolok yang sekaligus merupakan
terdindingnya dari keberhasilan yang sudah merupakan tuntunannya dan dia harus
diberitahu bahwa berkumpulnya emas murni yang murni dengan emas yang palsu
tidaklah akan menjadikan yang murni itu menjadi palsu, dan sebaliknya
berkumpulnya emas yang palsu dengan emas yang murni juga tidak bisa merubah
yang palsu itu menjadi murni. Demikian pula berkumpulnya perkataan yang benar
dengan perkataan yang batil tidaklah bisa menjadikan perkataan yang batil itu
menjadi benar
dan sebaliknya perkataan yang benar itu menjadi
batil. Inilah ukuran yang kami maksudkan dari bahayanya ilmu filsafat.
ALIRAN
DALAM TA’LIM (PENGAJARAN) DAN PENYIMPANGANNYA
Setelah aku rampung mengkaji, mendapatkan, memahami ilmu filsafat dan mengatakan palsu mana yang mesti perlu dikatakan palsu, tahulah aku bahwa semua itu belumlah cukup mencapai sasaran secara sempurna, sebab akal secara sendirian tidaklah akan mampu menguasai semua persoalan secara menyeluruh dan tidak mampu menyingkap segala tabir kesulitan.
Telah muncul kemasyhuran “Aliran Pengajaran” dan telah tenar pula dikalangan manusia akan perlawanannya terhadap pengetahuan tentang makna beberapa perkara ditinjau dari segi “Imam yang ma’shum” yang berdiri pada garus kebenaran, sehingga aku tertarik untuk membahas makalahnya untuk sekadar menilik catatan dan isi yang terkandung di dalam kitab-kitabnya.
Kemudian secara kebetulan aku
mendapat perintah resmi dari Yang Mulia Khalifah untuk mengarang sebuah kitab
yang mengungkap tentang aliran mereka, sehingga aku tidak kuasa lagi untuk
menolak perintah Khalifah, lalu hal itu menjadi suatu yang dianggap baik dari
pihak luar batinku yang sesuai dengan dorongan asli dari batinku. Aku mulai
mencari kitab-kitab mereka lalu kukumpulkan makalah mereka, dan sementara
kata-kata mereka yang merupakan hasil fikiran mereka telah sampai kepadaku di
mana kata-kata itu melahirkan beberapa kekhawatiran terhadap penduduk masa
itu, sebab tidak menempuh cara-cara yang telah dirintis oleh golongan
pendahulu (Ulama Salaf).
Kemudian aku berhasil mengumpulkan kata- kata
itu lalu saya urutkan dengan cara yang sedemikian rupa apiknya dan masih
dibarengi dengan kecermatan dan ketelitian. Tak lama aku juga berhasil
membikin sebuah jawabannya sehingga sebagian “Ahli Haq” tidak mempercayai
keterlaluanku dalam
menetapkan argumentasi kepada mereka dan
katanya: “Ini merupakan suatu usaha untuk mengalahkan mereka, sebab masih
merasa tidak mampu untuk menolong aliran mereka dalam menghadapi
syubhat-syubhat ini, andaikan saja kecermatan serta ketertiban anda terhadap
hujjah (argumentasi) itu tidak ada.
Pengingkaran ini jika dipandang dari
satu segi memang benar. Ahmad bin Hambal telah mengecam Al-harits Al-Muhasibi
terhadap kitab karangannya tentang bantahannya terhadap Golongan
Mu’tazilah.
Harits berkata: “Membantah atas perkara bid’ah itu hukumnya
fardhu”.
Lantas Ahmad bin Hambal menjawab: “Ya, tetapi anda harus
kemukakan untuk pertama kalinya kesyubhatan mereka, barulah kemudian anda
menjawabnya sehingga anda tidak merasa aman jika dia menelaah syubhat dari
konteks jawaban anda itu dengan memahaminya, dan tidak berpaling atau melihat
kepada jawaban anda dan tidak memahami hakikatnya”.
Apa yang telah
disebutkan oleh Ahmad bin Hambal memang merupakan sesuatu yang benar, akan
tetapi kebenaran itu masih dalam kesyubhatan yang belum tersebar dan terkenal
di kalangan orang banyak.
Apabila kesyubhatan yang telah disebutkan tadi sudah tersebar secara umum, maka syubhat itu wajib ditanggapi, dan tanggapan itu tidak mungkin dilontarkan keculi sesudah dikemukakannya faktor apa yang menyebabkan kewajiban ditanggapinya syubhat. Ya seyogyanya syubhat itu tidak dibebankan kepada mereka di mana syubhat itu tidak mampu mereka pikul dan aku pun tidak akan membebani hal itu, tetapi aku sendiri telah mendengar syubhat itu dari salah seorang temanku yang tidak sependapat sesudah dia bertemu dengan mereka dan menyelami aliran mereka. Lalu dia bercerita bahwa mereka sama mentertawakan berbagai karangannya para pengarang yang membuat sanggahan atas mereka sebab katanya mereka sama sekali tidak faham sesudah mereka melontarkan argumentasi; lalu dia pun menceritakan dan menyebutkan argumentasi itu dari mereka, sehingga aku tidak rela jika dia menganggapku sebagai orang yang teledor dari pokok argumentasi mereka. Oleh karena itu aku menyebutkannya. Di samping itu aku pun tidak rela apabila dia menyangkaku tidak faham terhadap argumentasi itu kendati pun aku sudah mendengarnya, oleh karena itulah sekalian aku tetapkan hujjah (argumentasi) itu. Sedangkan maksud dan tujuanku ialah menjelaskan kepada mereka akan kemungkinan yang paling jauh, kemudian baru aku tujukan kekeliruannya.
Walhasil tidak ada suatu keberhasilan pun
bagi mereka ini dan juga tidak ada keunggulan bagi omongan mereka. Andaipun
tidak ada buruknya pertolongan seorang teman yang bodoh, niscara bid;ah itu
yang disertai dengan kelemahannya tiada akan sampai kepada derajat ini. Akan
tetapi karena hebatnya fanatismelah yang mendorong argumentasi ini melenceng
dari kebenaran menuju kepada memperpanjang perselisihan dengan mereka di dalam
mukaddimah- mukaddimah omongan mereka dan untuk selalu mengingkari dan
menentang setiap apa yang mereka ucapkan, sehingga pada akhirnya mereka saling
bantah satu sama lainnya tentang dakwaan mereka yang membutuhkan kepada
pengajaran dan kepada
seorang guru dan dakwaan mereka bahwa
setiap guru haruslah terdiri dari guru yang ma’shum.
Argumentasi meeka
nampak sekali dalam menampilkan kebutuhan kepada pengajaan dan guru serta
lemahnya sanggahan orang-orang yang mengingkari dalam rangka menentangnya,
sehingga dengan demikian ada sekelompok orang yang sudah terbujuk lalu mereka
mengira bahwa hal itu timbul karena kuatnya aliran mereka dan lemahnya aliran
orang yang menentangnya, sedangkan mereka tidak memahami bahwa itu timbul
karena lemahnya sanggahan kebenaran serta ketidak-tahuannya tentang metoda
menyanggah.
Mestinya yang benar adalah mengakui kebutuhan kepada seorang
guru dan hal itu tidak bisa ditawar lagi, dan hendaknya seorang guru itu
seorang yang ma’shum, akan tetapi guru kita yang ma’shum hanyalah Nabi
Muhammad SAW. Maka apabila mereka berkata: “Beliau telah mati”, kita jawab
saja: “Guru kalian sedang tidak ada”. Jika mereka berkata: “Guru kita telah
mengajar para da’i dan telah menyebar mereka di berbagai negeri dan dia sedang
menanti pemeriksaan terhadap mereka jika terjadi
perselisihan
atau terjadi suatu kemusykilan yang sedang mereka alami”, maka kita jawab
saja: “Guru kita telah mengajar kepada para da’i dan menyebar mereka di
berbagai negeri dan dia telah berhasil menyempurnakan pengajarannya, sebab
Allah ta’ala telah berfirman:
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu …” (Al-Maidah: 3).
Sesudah
pengajaran itu dianggap sempurna, kematian seorang guru tidak akan membawa
dampak apa-apa seperti halnya kepergian atau ketidak-adaan guru tidak akan
mengundang dampak apa-apa, sebab ucapannya masih tetap ada.
Setelah dihadapkan pada argumentasi seperti ini, mereka masih saja berusaha mengemukakan sanggahan kepada kita: “Bagaimana mereka bisa menetapkan hukum terhadap sesuatu di mana mereka tidak mendengarnya? Apakah dengan nash, padahal mereka jelas tidak mendengarkannya langsung ataukah dengan ijtihad dan pendapat (ra’yu) padahal hal itu masih merupakan sumbernya khilaf? Maka kita jawab saja: “Kita melakukan apa yang telah dilakukan oleh Muadz ketika Rasulullah SAW mengutusnya pergi ke Yaman, atau kita menetapkan hukum dengan dasar nash jika ternyata ada, dan dengan cara ijtihad tatkala nash itu tidak ditemukan. Bahkan kita bisa memakai caranya beberapa da’i jika mereka bertempat jauh dari pada Imam di pojok bumi sebelah timur, karena nash-nash yang terbatas jumlahnya tidaklah mampu menjabarkan dan mengartikan peristiwa-peristiwa yang tidak terbatas jumlahnya, di samping itu tidaklah mungkin kembali ke negerinya Imam atau menempuh jarak yang sedemikian jauhnya lalu kembali lagi membawa setiap masalah yang sedang terjadi, padahal orang yang dimintai fatwa sudah mati, dan dengan demikian kita akan kembali dengan tangan hampa.
Contoh lain yang perlu kita sodorkan adalah suatu
permasalahan: Jika ada seseorang yang kesulitan dalam menentukan arah kiblat,
maka tiada cara lain yang dia pakai kecuali dengan ijtihad. Sebab andaikata
dia pergi ke negerinya Imam untuk mengetahui arah kiblat, niscaya akan
habislah waktu
shalatnya. Maka andaikata shalat dilakukan
menghadap kepada selain kiblat, berdasarkan atas “zhan” (sangkaan) dan katanya
Ahli Ushul Fiqh: “Seorang yang keliru dalam ijtihadnya, mendapatkan ganjaran
satu, dan orang yang mengena (benar) dalam ijtihadnya memperoleh dua
ganjaran”, maka begitu pula dalam semua bentuk ijtihad. Demikian pula masalah
memberikan zakat kepada seorang fakir, barangkali dia akan menduganya sebagai
orang fakir sungguhan berdasar pada ijtihadnya, padahal sebenarnya dia
merupakan seorang yang kaya dalam batinnya dengan menyembunyikan hartanya.
Oleh karena itu dia tidak akan disiksa kendatipun dia bertindak keliaru, sebab
dia tidak akan dituntut kecuali memenuhi persangkaannya.
Apabila
dikatakan: “Persangkaan orang yang tidak
cocok dengannya sesuai
dengan persangkaannya”, maka kita akan menjawab: “Dia tetap
diperintahkan mengikuti
persangkaannya sendiri, kendatipun tidak sefaham dengan orang lain”.
Permasalahan
lagi; apabila ada seorang yang berkata: “Seorang yang bertaklid kepada Abu
Hanifah, Syafi’i atau lain-lainnya”, maka saya akan mengatakan:
“Orang yang bertaklid dalam masalah kiblat tatkala merasa bimbang di mana para
mujtahid saling tidak ada kecocokan, tindakan apa yang akan dia perbuat? Dia
hendaklah melakukan ijtihad untuk mengetahui mujtahid mana yang lebih utama
dan lebih tahu tentang petunjuk-petunjuk kiblat, sehingga dia boleh mengikuti
ijtihadnya, demikian pula dalam madzhab-madzhab yang lain, sebab mengembalikan
manusia kepada ijtihad merupakan suatu keharusan”. Para Nabi dan para Imam
yang masih disertai kepandaiannya kadang-kadang masih saja keliru, bahkan
Rasulullah SAW sendiri bersabda:
“Saya menghukumi dengan yang lahir saja,
namun Allah jualah yang menguasai hati”.
Artinya saya menghukumi dengan
persangkaan yang menang yang dihasilkan dari omongan yang nyata. Dan terkadang
mereka juga mengalami kesalahan sehingga tidak ada cara lagi untuk menghindari
dari kekeliruan itu bagi para Nabi seperti dalam persoalan ijtihad ini.
Dalam
persoalan ijtihad ini, para mujtahid mempunyai dua problem:
1.
Pendapat mereka yang mengatakan bahwa ijtihad yang seperti di atas itu
boleh, namun kalau ijtihad itu terarah pada norma-norma akidah terang tidak
boleh, sebab orang yang melakukan kesalahan dalam ijtihad ini tidaklah
mendapatkan kemaafan, lantas perkembangan selanjutnya bagaimana cara
mengatasinya. Saya jawab: “Norma-norma akidah telah termuat dalam Al-Kitab dan
As-Sunnah, sedangkan apa saja dari perkara yang berada di belakang itu yang
terdiri dari perinciannya serta masalah yang masih diperselisihkan itu bisa
diketahui dengan timbangan yaitu “Al-Qisthas Al- Mustaqim”, yaitu
timbangan-timbangan yang telah disebutkan oleh Allah ta’ala dalam Kitab- Nya,
di mana perkara itu ada lima yang telah saya sebutkan di dalam kitab
“Al-Qisthas Al- Mustaqim”.
Andaikan ada yang berkata: “Lawan-lawan anda
tidak cocok dengan anda dalam timbangan itu”, maka langsung akan saya jawab:
“Tidak bisa digambarkan bagaimana cara memahami timbangan itu, kemudian bisa
tidak cocoknya dengannya, karena timbangan itu tidak akan
ditentang
oleh Ahli pengajaran karena saya justru mengeluarkannya dari Al-Quran dan saya
mengajarkannya dari situ. Dan juga tidak akan ditentang oleh Ahli Mantiq
(logika) sebab dia telah sesuai dengan apa yang telah mereka syaratkan dalam
ilmu mantiq dan tidak bertentangannya dengannya. Di samping itu tidak akan
berselisih dengan Ahli Kalam sebab dia sesuai dengan apa yang telah mereka
sebutkan dala dalil-dalil analisa, dan karenanya bisa diketahui suatu
kebenaran di dalam ketuhanan.
Apabila ada seorang yang berkata: “Apabila anda memiliki kekuasaan contoh pada timbangan ini, lantas kenapa anda tikda menghilangkan khilaf di antara manusia? Saya menjawab: “Andaikan mereka mau mendengarkan secara seksama kepadaku niscara aku mau menghilangkan di antara mereka, dan saya ingkatkan tentang caranya menghilangkan khilaf di dalam kitab “Al- Qisthas Al-Mustaqim”, maka camkanlah agar anda tahu bahwa hal itu merupakan perkara yang benar dan dapat menghilangkan khilaf secara pasti, andaikan mereka mau mendengarkan dengan serius, padahal mereka seluruhnya tidaklah mau mendengarkan dengan serius.
Bahkan saya cenderung mengamati kepada salah satu kelompok sehingga aku menghilangkan khilaf di antara mereka, sementara itu di depan anda menghendaki tersirnanya suatu khilaf di antara mereka dengan tidak disertai keseriusan mereka. Maka kenapa khilaf itu tidak terhapus sampai sekarang, dan kenapa pula Ali ra—padahal dia adalah seorang pemimpinnya para imam—tidak menghilangkan khilaf atau dia mengakui sebagai orang yang mampu membawa seluruh manusia untuk mendengarkan secara serius. Lalu kenapa dia tidak mau membawa mereka sampai sekarang lalu sampai kapan masanya. Adakah antara makhluk dikarenakan da’wahnya tiada terjadi kecuali bertambahnya khilaf serta bertambahnya orang yang berselisih. Ya memang demikian adanya, sebab yang dikhawatirkan dari timbulnya khilaf adalah semacam kerusakan yang tidak akan berhenti sampai dengan mengalirkan darah, menghancurkan negeri-negeri, membikin yatimnya anak-anak, mengadakan aksi penghadangan di tengah-tengah jalan serta mengadakan penggarongan terhadap benda lain. Dari barakahnya anda dapat menghilangkan khilaf, di dunia ini terjadi sesuatu yang belum pernah anda alami.
2. Jika ada seorang yang berkata: “Anda telah mengaku bisa menghilangkan khilaf yang sedang melanda manusia, akan tetapi orang yang masih bingung tentang berbagai madzhab (aliran) yang saling bertentangan dan beberapa perselisihan yang saling berhadapan tidaklah harus mengundang keseriusan kepadamu apalagi musuhmu, padahal anda memiliki beberapa musuh yang tidak seide dengan anda sehingga akhirnya tiada lagi perbedaan lagi antara anda dan antara mereka.
Lantas jawaban saya adalah: “Pertama-tama problema ini akan membalik kepada anda sendiri. Sebab jika anda mengundang orang yang ragu- ragu ini kepada anda lantas orang ini bertanya: “Dengan apa anda bisa menjadi orang yang lebih utama dari pada orang yang menentang anda, padahal kebanyakan ahli ilmu sama tidak cocok lagi dengan anda maka alangkah mustahilnya, dengan apa anda menjawab, apakah anda akan memberi jawaban dengan ucapan: “Di depanku terdapat sesuatu yang telah di nash”. Kemudian kapan lagi dia akan membenarkanmu dalam mengakui nash padahal dia tidak mendengar nash itu dari Rasulullah SAW. Dia hanya tidak mendengar pengakuanmu bersamaan dengan kesepakatan ahli ilmu untuk mendustakanmu. Kemudian dia berusaha menyerahkan nash kepadamu. Maka apabila dia masih ragu-ragu dalam asal-usul kenabian, lantas dia berkata: “Di depan anda terpampang mu’jizatnya Isa”, maka dia berkata: “Yang membuktikan atas kebenaranku adalah bahwa saya bisa menghidupkan ayahmu”, sehingga ternyata dia bisa menghidupkannya, lalu ayahmu itu bisa bicara kepadaku bahwa sayalah yang benar.
Kemudian dengan sarana apa aku mengetahui kebenarannya sedangkan semua manusia
tidak mengetahui kebenaran Isa dengan mu’jizat ini, bahkan dia masih
menanggung berbagai pertanyaan sulit yang belum bisa dipecahkan kecuali dengan
cermatnya analisa aqli, padahal analisa aqli tidaklah dapat dipertanggung
jawabkan di depan anda, di samping itu tidak bisa diketahui konotasi mu’jizat
atas kebenarannya selagi belum diketahui dulu hakikat sihir dan perbedaannya
dengan mu’jizat dan selagi belum diketahui bahwa Allah tidaklah menyesatkan
hamba-hamba-Nya, sedangkan pertanyaan penyesatan dan sulitnya jawaban tentang
pertanyaan itu sudah masyhur. Kemudian dengan apa semua itu bisa ditolak?
Padahal di depan anda tidak ada yang lebih utama untuk diikuti dari pada orang
yang menentangnya sehingga dia akan kembali kepada dalil analisa yang
diingkarinya. Dan penentangnya memaparkan contoh dalil itu dan lebih jelas
dari pada itu.
Problema di atas ini mengundang revolusi
besar-besaran atas mereka andaikata orang-orang dahulu dan orang-orang yang
akhir berkumpul untuk mengadakan pembebasan dari pertanyaan (problema)
tersebut sebagai suatu jawaban niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya,
sebab kerusakan ini hanya timbul dari kelompok lemah yang mendebat mereka,
sehingga mereka tidak menyibuukan dengan hatinya, tetapi dengan jawaban,
padahal yang demikian itu termasuk memperpanjang omongan dan tidak cepat
memberi kefahaman sehingga tidaklah patut untuk bisa mendiamkan dengan
dalil-dalil.
Sekarang, jika seandainya ada seorang yang berkata: “Ini
adalah hati”.
Lantas apakah hal itu sudah merupakan jawabannya. Kemudian aku menjawabnya:
“Ya, jawabannya adalah bahwa seorang yang ragu-ragu berkata: “Saya bingung”,
sedangkan dia tidak mau menjelaskan masalah kebingungannya maka katakan saja
kepadanya: “Anda seperti orang sakit yang berkata: “Saya sakit”, tetapi tidak
mau menyebutkan apa sakit yang menimpanya lalu dia minta untuk diobati”. Oleh
karena itu jalan satu-satunya yang paling tepat adalah katakan saja kepadanya:
“Tidak disediakan obat untuk mengobati orang yang sakit secara mutlak, tetapi
hanya disediakan obat bagi orang yang terkena sakit tertentu, seperti kepala
pening, mencret, dan lain-lainnya”. Begitu pula seyogyanya orang yang
bingung
hendaknya menjelaskan apa yang menyebabkan kebingungannya. Sehingga apabila
dia telah menjelaskan masalah sebenarnya, maka masalah tersebut bisa diketahui
kebenarannya dengan timbangan yaitu “Al-Mawazin Al-Khams” (timbangan
lima)—yang tidak difahami oleh seseorang kecuali orang itu mengakui bahwa
timbangan itu merupakan timbangan yang benar yang bisa dipercaya setiap apa
yang ditimbang di situ, sehingga dia memahami timbangan itu, dari situ pula
dia akan bisa memahami kebenaran timbangan itu, seperti halnya seorang yang
belajar ilmu hitung akan bisa memahami hakikat ilmu hitung itu sendiri dan
keadaan ahli hitung yang mengajar itu pandai berhitung dan jujur kepadanya.
Hal itu telah aku jelaskan di dalam kitab “Al- Qisthas” di dalam ukuran dua puluh halaman, maka sebaiknya camkanlah. Maksudku sekarang tidaklah menjelaskan rusaknya aliran mereka, sebab hal itu telah aku sebutkan di dalam kitab:
1. Al-Mustazhiri
2. Hujjatul Haq, di
mana kitab ini merupakan sanggahan yang diajukan kepadaku ketika sedang berada
di Baghdad.
3. Mufashshilul Khilaf yang berisi dua
belas fasal yang merupakan sanggahan yang dilontarkan kepadaku sewaktu berada
di Hamadan.
4. Ad-Darjud Marqum bil Jadawil, di mana
kitab ini memuat sebagian omongan mereka yang lemah. Konon omongan ini
disodorkan kepadaku sewaktu berada di Thus.
5.
Al-Qisthas, di mana kitab ini merupakan kitab tersendiri yang maksudnya
adalah menjelaskan neracanya berbagai ilmu dan ketidakbutuhan kepada imam bagi
orang yang sudah mampu terhadap ilmu itu sendiri. Bahkan maksud utama adalah
menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki sedikitpun obat yang dapat
menyelamatkan dari berbagai kegelapan pendapat dan pandangan, dan justru
disertai kelemahan mereka dalam memasang dalil untuk mendapatkan imam
tertentu.
Sebenarnya telah lama apa yang telah kami
eksperimenkan kepada mereka akan kebutuhannya kepada pengajaran dan kepada
seorang guru yang ma’shum sehingga kami membenarkan kepada mereka akan hal
itu, dan bahwasanya hal itulah yang telah mereka tetapkan dan telah mereka
nyatakan. Kemudian kami bertanya kepada mereka tentang ilmu yang mereka
pelajari dari seorang guru yang ma’shum ini, lalu kami sodorkan kepada mereka
akan berbagai masalah yang sulit. Ternyata mereka tidak bisa memahaminya,
apalagi berusaha untuk memecahkannya.
Maka tatkala mereka sudah tidak
mampu, mereka usaha mencari imam yang telah pergi (ghaib) dan mereka berkata:
“Kami harus berusaha mencarinya”, sedangkan yang selalu menjadi keheranan saya
adalah: kenapa mereka menyia- nyiakan umur mereka hanya sekadar mencari
seorang guru dan berhasil mendapatkannya, sedangkan mereka sama sekali tidak
belajar ilmu darinya seperti orang terlumuri najis di mana dia dengan susah
payah mencari air, hingga tatkala dia telah mendapatkannya maka dia tidak mau
memakainya dan dibiarkan dirinya masih terlumuri najis.
Di antara mereka ada seorang yang mengaku telah terbasil memiliki sesuatu ilmu mereka. Padahal apa yang dia sebutkan hanya sekelumit ilmu filsafatnya. Phithagoras (seorang filosof Yunani kuno) dan alirannya merupakan aliran filsafat yang paling lemah. Telah diturunkan dan disebutkan bahwa Aristoteles telah menganggap lemah dan menganggap rendah omongannya, dan dialah yang telah bercerita di dalam kitab “Ikhwan ash-Shafa” padahal kitab Ikhwan ash-Shafa merupakan kitab penting bagi ilmu filsafat.
Yang mengherankan bagi orang yang telah susah payah menghabiskan umur dalam meraih ilmu kemudian dia hanya puas terhadap ilmu yang sekecil itu dan dia menyangka bahwa dia telah berhasil meraih maksud-maksud ilmu yang paling final.
Mereka ini, juga kamu uji dan telah kami ukur serta kami periksa lahirnya maupun hatinya, sehingga akhirnya kembalilah pada kesimpulan bahwa ternyata mereka akan hanya memperdayakan serta menjerumuskan orang-orang yang masih awam dan lemah-lemah akalnya, terbukti dengan masih butuhnya mereka kepada seorang guru dan mendebat mereka dalam keingkaran mereka yang membutuhkan kepada pengajaran dengan omongan yang kuat dan sulit dibantah, sehingga tatkala ada seorang yang membantu mereka atas kebutuhannya kepada seorang guru dan pembantu itu berkata: “Berikanlah kepada kami ilmu sang guru itu dan kami akan mendapatkan faidah dari pengajarannya”, maka dia hanya diam saja.
Kemudian dia berkata” “Sekarang jika anda menyerahkan masalah ini kepadaku,
maka carilah ia, sebab penyodoranku hanyalah sekadar ini saja”. Sebab sudah
diketahui andaikata lebih atas hal itu niscaya terbongkarlah skandalnya dan
niscaya dia akan tidak mampu memecahkan berbagai kemusykilan yang paling
rendah seklipun, bahkan dia tidak mampu memahaminya, apalagi menjawabnya.
Demikianlah ini kondisi mereka yang sebenarnya. Oleh karena itu berilah khabar
tentang mereka. Maka tatkala kami mengkhabarkan mereka maka kami melepaskan
tanggung jawab dari mereka juga.[alkhoirot.org]