Bab Hibah dan Wakaf | Fathul Muin
Nama kitab: Terjemah Fathul Muin
Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)
Penerjemah: Abul Hiyadh
Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i, syariah, hukum Islam.
Daftar Isi
- Bab Hibah (Pemberian)
- Bab Wakaf
- Bab Pengakuan
- Bab Wasiat
- Bab Faraid (Waris)
- Hijab (Penghalang Hak Furudh)
- Pasal: Tentang Asal Masalah (Am)
- Pasal (Tentang Barang Titipan)
- Pasal (Tentang Luqathah/Barang Temuan)
- Kembali ke: Terjemah Kitab Fathul Muin
BAB HIBAH (PEMBERIAN) - بَابٌ فىِ الْهِبَةِ
Hibah yang dimaksudkan di sini, mempunyai arti yang luas, yang
memuat sedekah dan hadiah.
Hibah adalah: Memberikan hak milik suatu barang yang pada galibnya sah dijual
atau memberikan piutang kepada orang lain (yang selain pengutang) dari ahli
Tabarru’, tanpa ada penukaran.
Dengan perkataan kami, “tanpa ada
penukaran”, maka dikecualikanlah bai’ (jual beli) dan hibah berimbalan, karena
hakikatnya jual beli juga.
Hibah (pemilikan di atas) dengan ijab,
misalnya, “Ini kuberikan kepadanw/Ini kumilikkan kepadamu/ Ini kuanugerahkan
kepadamu”, dan qabul yang bersambung dengan ijab, misalnya: “Kuterima/Aku
rela”.
Hibah juga bisa jadi dengan Kinayah (sindiran), misalnya:
“Ini untukmu/ Ini pakaianmu”, serta boleh jadi dengan Mu’athah (tidak ada
ijab-qabul) menurut pendapat Al-Mukhtar.
Guru kita berkata:
Terkadang hibah itu tidak disyaratkan ada Shighat (ijab-qabul), sebagaimana
jika hibah itu masuk dalam yang lain (hibah dhimniyah), misalnya:
“Merdekakanlah budakmu atas namaku”, lalu budak tersebut dimerdekakan,
sekalipun tidak mengatakan “gratis”.
Misalnya
lagi, bila seseorang memperhiasi anak kecilnya dengan perhiasan -lain halnya
dengan memperhiasi istrinya-, sebab dia mampu memberikaq hak milik dengan
keberadaan penguasaan dari dua segi (ijab dan qabul anaknya). Begitulah kata
Al-Qaffal yang sudah diakui oleh segolongan ulama.
Tetapi
pendapat di atas bertentangan dengan pembicaraan dua Guru kita (Ar-Rafi’i dan
An-Nawawi), di mana mereka berdua mensyaratkan bahwa hibah orangtua yang
menguasai dua segi harus ada ijab dan qabul, sedang hibah wali yang bukan
orangtua adalah disyaratkan ada qabul dari hakim atau penggantinya.
Para
ulama menukil dari Al-Ubadi dan mengakuinya, bahwa apabila seseorang menanam
pohon dan pada saat menanam ia berkata, “saya menanamnya untuk anakku
(umpamanya), adalah bukan sebagai ikrar: lain halnya jika ia menyatakan
sesuatu yang telah ada di tangannya, “Aku membelinya untuk anakku/si Anu (yang
merupakan orang lain)”, maka pernyataan tersebut, sebagai ikrar.
Jika
seseorang berkata, “Ini kujadikan untuk putraku”, maka putranya tidak dapat
memilikinya, kecuali bila ja mengambil/menerimanya (setelah ada qabul). “
As-Subki
dan Al-Adzra’i serta lainnya memandang lemah pandapat AlKhawarizmi dan
lainnya, bahwa seorang ayah yang memakaikan perhiasan kepada anak kecil,
adalah berarti memberikan hak milik kepadanya.
Segolongan
ulama menukil dari fatwa-fatwa Al-Qaffal sendiri: Bila orangtua mengirimkan
barangbarang ke rumah anak putrinya (yang berada di rumah suaminya) tanpa ada
pernyataan pemilikan, maka orangtua tersebut, dapat dibenarkan dengan
sumpahnya, bahwa ia tidak memberikan hak milik kepada putrinya, jika si anak
mengaku adanya pemilikan. Ini sudah jalan untuk menyanggah pendapat Al-Qaffal
di atas.
Al-Qadhi Husain memberikan fatwa
mengenai orangtua yang mengutus anak putrinya kepada suaminya dengan dibawai
barang-barang, bahwa bila orangtua tersebut berkata, “Ini semua barang milik
anak putriku”, maka menjadi milik putrinya, Kalau tidak mengatakan seperti
itu, maka sebagai pinjaman, yang mana orangtua di atas dapat dibenarkan
pengakuannya dengan sumpahnya.
(Termasuk hibah
yang tidak disyaratkan ada shighat), seperti pembagian baju-baju bekas para
penguasa, karena telah terjadi kebiasaan tanpa menyebutkan penghibahan
-habislah perkataan Guru kita-,
Guru kita, Ibnu
Ziyad, menukil dari fatwa-fatwa Ibnul Khayyath: Apabila seorang suami setelah
akad nikah menghadiahkan sesuatu kepada istrinya, maka istr memilikinya dan
tidak memerlukan ada ijab dan qabul.
Yang tidak
memerlukan ada ijab-qabul lagi: Pemberian seorang suami di fajar malam pertama
kepada istrinya, yang dalam kebiasaan kita disebut “Shabihah”, dan pemberian
kepada istri di kala marah atau dikawini. Pemberian semua ini dapat dimiliki
oleh istri dengan hanya menyerahkan barang itu kepadanya.
Secara
pasti, dalam masalah sedekah tidak disyaratkan ada ijab dan qabul.
Sedekah
adalah: Sesuatu yang diberikan kepada orang yang membutuhkan, sekalipun tidak
ada tujuan mengharapkan pahala, atau kepada orang kaya dengan harapan
menidapat pahala di akhirat.
Bahkan untuk
pelaksanaan sedekah, adalah sudah cukup dengan memberikan dan pihak lain
menerimanya. Tidak disyaratkan ada ijab dan qabul dalam hadiah, sekalipun
bukan berupa makanan.
Hadiah adalah: Pemberian dengan cara
mengantarkan kepada orang yang diberi (dihadiahi), lantaran
memuliakan.
Bahkan untuk hadiah, cukuplah dengan
cara memberi (mengantarkan) dan yang dihadiahi menerimanya.
Hibah,
sedekah dan hadiah hukumnya adalah sunah, sedang yang pahng utama adalah
sedekah.
Mengenai surat yang telah dikirimkan,
yang tiada petunjuk bahwa surat tersebut harus dikembalikan lagi kepada
pengirim surat, maka menurut Al-Mutawalli: Surat tersebut nya. Selain
Al-Mutawalli berkata: Surat tersebut tetap menjadi milik si pengirim,
sedangkan si penerima berhak menggunakannya atas jalan ibahah (mubah).
Hibah
dapat sah dengan kata-kata di atas, jika tanpa ada ta’liq. Karena itu, hibah
yang dita’liq tidak sah. Misalnya: “Bila telah datang awal bulan, maka akau
menghibahkan/membebaskanmu”.
Tidak sah pula hibah
dengan pembatasan waktu berlakunya, selain pembatasan pada Hibah Umra (hibah
sepanjang usia penghibah atau penerimanya) dan Hibah Ruqba (barang hibah
kembali pada yang meninggal akhir di antara mereka berdua). Karena itu, jika
Wahib (penghibah) membatasi masa hibah dengan umur penerimanya, maka hukumnya
sah. Misalnya: Ini Kuberikan/Kuhibahkan kepadamu sepanjang umurmu/selagi kamu
hidup”, sekalipun tidak mengatakan, “Jika kamu mati, maka menjadi milik ahli
warismu.”
Sah pula hibah dengan mensyaratkan akan
kembali lagi kepada wahib atau ahli warisnya, setelah penerima hibah meninggal
dunia. Dalam hal ini hibah tidak dapat kembali lagi kepada wahib dan ahli
warisnya, karena berdasarkan hadis sahih. Hibah seperti ini hukumnya sah dan
syarat yang ditetapkan tidak berguna.
Apabila
wahib membatasi masa berlaku hibah dengan umur wahib atau orang lain, maka
hukumnya tidak sah. Misalnya: “Barang ini kuhibahkan kepadamu sepanjang
umurku/si Fulan.”
Apabila seseorang berkata
kepada orang lain, “Bagimu halal atas segala yang kamu ambil/terima/makan dari
hartaku”, maka ia boleh memakannya saja, sebab pernyataan tersebut hanya
sebagai ibahah (pemberian wewenang), yang mana sah dilakukan pada barang yang
belum jelas, lain hanya dengan masalah pengambilan dan penerimaan. Demikianlah
menurut Al-Ubaidi.
Bila seseorang berkata,
“Kuhibahkan seluruh hartaku atau separo hartaku”, maka hibah hukumnya sah,
jika seluruh/separo hartanya diketahui oleh kedua belah pihak, Kalau tidak,
maka tidak sah.
Tersebut dalam Al-Anwar: Bila
seseorang berkata, ” Kuhibahkan (kuperbolehkan) bagimu seluruh anggur yang ada
dalam rumahku/di atas pohon anggurku”, atau “bagimu seluruh anggurku”, maka ia
boleh memakannya, namun tidak boleh menjual/membawa/memberikan kepada orang
Jain. Ibahah di sini terbatas pada anggur yang ada dalam rumah atau pohonnya
saja.
Bila seseorang berkata, “Kuibahahkan
kepadamu segala yang ada dalam rumahku, baik kau makan maupun kau pergunakan”,
sedang orang itu tidak tahu segala yang ada dalam rumahnya, maka ibahah belum
sah.
Sebagian ulama memantapi ibahah tidak
menjadi gugur lantaran dikembalikan kepada pemiliknya.
Syarat
Mauhub (barang yang dihibahkan) hendaknya berupa barang yang sah
dijualbelikan. Karena itu, tidak sah menghibahkan barang .yang tidak diketahui
(majhul), sebagaimana hukum menjualnya, adapun keterangannya baru saja lewat.
Lain halnya dengan hadiah dan sedekah, maka menurut penjelasan Guru kita
adalah sah hukumnya.
Sah menghibahkan barang yang
menjadi milik perserikatan, sebagaimana menjualnya, sekalipun barang tersebut
belum dibagi, dan baik dihibahkan kepada teman perserikatannya maupun
selainnya.
Terkadang sah menghibahkan barang yang
tidak sah dijual, misalnya menghibahkan dua biji gandum dan hal-hal yang tidak
bernilai lainnya, menghibahkan kulit najis masih diperselisihkan dalam
Ar-Raudhah, dan menghibahkan minyak yang terkena najis.
Hibah,
sedekah dan hadiah sudah dapat dimiliki (luzum), jika barang telah
diterima.
Karena itu, tiga status di atas belum
dapat dimiliki dengan hanya ada akad, tetapi harus setelah diterima barangnya,
menurut kaul Jadid. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah – saw. menghadiahkan 30
uqiyah minyak misik kepada Raja Habsy, sebelum barang tersebut sampai
kepadanya, ia lebih dulu meninggal, lalu beliau saw. membagikan minyak
tersebut kepada para santrinya. Kemudian, hibah dan sedekah dikiaskan dengan
hadiah.
Hanya saja untuk dapat disebut “telah
menerima barang”, adalah jika dalam hibah tersebut penerimaannya didapatkan
dari penyerahan wahib izinnya atau izin wakil wahib. Izin dari wahib dalam hal
ini diperlukan adanya, sekalipun barang hibah telah di tangan orang yang
dihibahi.
Dalam hibah tidaklah cukup hanya dengan
meletakkan barang hibah di depan Muttahib (yang dihibahi) tanpa ada izin
pengambilan, karena penerimaan muttahib dalam hal seperti ini belum dapat
disebut pemberian hak, karena itu, haruslah diukur ada kenyataan penerimaan
(yaitu dengan ada izin). Lain halnya dengan barang belian. Kemudian, jika
salah satu dari wahib dan muttahib meninggal dunia sebelum ada penyerahan
(atau pemberian izin), maka penerimaan atau penyerahan bisa dilakukan oleh
ahli waris yang bersangkutan.
Bila muttahib telah
menerima barang hibah, lalu wahib berkata, “Izin untuk menerima/mengambil
telah kutarik sebelum pengambilan terjadi”, sedang muttahib berkata: “Setelah
pengambilan”, maka menurut penjelasan Al-Adzra’i bahwa yang dibenarkan adalah
Wahib.
Tetapi kecondongan Guru kita adalah
membenarkan muttahib, karena asal permasalahannya adalah tidak ada pencabutan
sebelum pengembalian. Pendapat ini yang mendekati kebenaran.
Ikrar
telah adanya penerimaan adalah mencukupi untuk keluzuman hibah), sebagaimana
ketika dikatakan kepada wahib, “Adakah engkau menghibahkan ini kepada si Fulan
dan engkau telah menyerahkannya”, lalu dia menjawab, “Benar”.
Adapun
ikrar dan Syahadah mengenai hibah semata, adalah tidak berarti menetapkan ada
penerimaan. Tetapi ucapan wahib, “Muttahib telah memiliki barang hibah dengan
pemilikan yang mandiri (lazim)”, adalah cukup sebagai ikrar bahwa penerimaan
barang telah terjadi.
Sebagian fukaha berkata:
Bagi seorang hakim tidak diperbolehkan menanyai saksi tentang penerimaan
barang hibah, dengan maksud agar saksi tidak teringat hal tersebut.
Bagi
orangtua, baik laki-laki/wanita, dari jalur ayah/ibu, sekalipun sampai jalur
atas, adalah boleh cabut kembali apa yang telah dihibahkan/
disedekahkan/dihadiahkan kepada anak turunnya, selagi barang hibah masih
berada dalam kekuasaan tasaruf si anak, tetapi dalam masalah Ibra’,
orangtua tidak boleh mencabut kembali. Kebolehan mencabut kembali barang hibah
tersebut, sekalipun barang itu berupa bumi yang sudah ditanami/diletaki
bangunan, khamar yang telah berubah menjadi cuka, atau budak tersebut telah
diijarahkan/digantungkan kemerdekaarinya, atau digadaikan/dihibahkan, yang
kedua-duanya belum ada penerimaan, lantaran keadaan barang hibah dalam semua
ini masih ada dalam kekuasaan anak.
Karena itu,
bagi orangtua tidak boleh menarik kembali barang hibah yang oleh anak turunnya
sudah dihibahkan lagi dan sudah ada penerimaan (qabdh), lantaran hak milik si
anak sudah hilang, sekalipun hibah kedua ini dari anak ke anak, atau kepada
saudara laki-laki wahib kedua yang seayah. Begitu juga tidak boleh menarik
kembali sebab barang hibah telah dijual, sekalipun kepada wahib sendiri,
menurut pendapat Al-Aujah. Atau kehilangan hak milik si anak turun sebab
wakaf.
Penarikan kembali menjadi terlarang
lantaran barang hibah telah lepas dari hak milik anak turun, sekalipun telah
kembali lagi, dan sekalipun kembalinya lantaran Iqalah (pembatalan jual beli),
atau pengembalian barang pembelian lantaran cacat, karena hak milik yang ada
pada anak turun sekarang tidak dapat diperoleh dari orangtua.
Bila
anak turun penerima hibah menghibahkan kepada anak turunnya dan telah
menyerahkan kepadanya, lalu barang ditarik lagi, maka mengenai penarikan
orangtua penghibah ada dua pendapat: Pendapat Al-Aujah dari kedua masalah
adalah tidak boleh, lantaran telah hilang hak milik, lalu kembali lagi.
Terlarang
lagi, apabila hibah berkaitan dengan hak lazim, misalnya: Barang hibah telah
digadaikan kepada selain orangtua penghibah, telah diterimakan dan gadai belum
terlepas.
Demikian juga bila barang hibah telah
mengalami kepunahan, misalnya berupa telur yang telah menetas atau biji yang
telah tumbuh, sebab begitu barang hibah telah punah.
Penarikan
kembali barang hibah sudah dapat terwujud dengan semacam “Hibah kutarik
kembali/ Akad hibah kurusak atau kubatalkan/Barang hibah kumiliki kembali.”
Juga
bisa terwujud dengan kinayah (sindiran), misalnya: “Barang hibah saya
ambil/saya pungut”, disertai niat.
Penarikan
kembali tidak dapat terwujud dengan semacam dijual, dimerdekakan, dihibahkan
lagi kepada selain anak turun (yang menerima hibah), dan diwakafkan, lantaran
kesempurnaan hak milik anak turun tersebut.
Tidak
sah menggantikan rujuk (penarikan barang hibah) dengan suatu syarat.
(Dalam
penarikan hibah). Apabila semua barang hibah mengalami pertambahan (di sisi
anak turun), maka dalam penarikannya, tambahan yang bergandengan diikutkan
juga, misalnya kecakapan bekerja. Tidak terikutkan tambahan yang tidak
bergandengan, misalnya upah, anak dan kandungan yang terwujud setelah barang
hibah menjadi milik anak turun.
Bagi orangtua,
makruh menarik kembali pemberiannya kepada anak turun, kecuali karena ada
uzur, misalnya si anak berani kepada orangtua atau ia membelanjakannya untuk
maksiat.
Al-Bulqini membahas tentang terlarang
mencabut kembali sedekah wajib, misalnya zakat dan kafarat. Seperti itu pula
fatwa para fukaha sebelum dan setelah Al-Bulqini.
Orangtua
boleh menarik kembali harta yang telah diikrarkan sebagai milik anak turunnya,
sebagaimana fatwa An-Nawawi yang dipegangi oleh segolongan ulama Mutaakhirun.
Al-Bulqini menukil dari ayahnya: Ketentuan di atas adalah berlaku bila ia
menafsiri barang yang dimiliki anak turunnya sebagai hibah, dan ketentuan
seperti ini harus ada.
An-Nawawi berkata: Bila
seseorang menghibahkan dan telah menyerahkannya, lalu mati, selanjutnya ahli
warisnya mendakwa bahwa Inbah itu dilakukan ketika dalam keadaan sakit, sedang
Muttahib mendakwa bahwa hibah tersebut dilakukan ketika dalam keadaan sehat,
maka yang dibenarkan adalah pihak Muttahib (penerima hibah). Lalu, bila kedua
belah pihak yang bersengketa itu mengajukan bukti (bayyimah), maka yang
didahulukan adalah bayyinah ahli waris, karena dengan bayyinahnya didapatilah
kelebihan pengetahuan (tentang sakit).
Penghibahan
piutang kepada pengutang adalah berarti Ibra’ (pembebasan utang). Karena itu,
tidak lagi diperlukan ada qabul, lantaran melihat makna yang ada.
Sedangkan
penghibahan piutang kepada selain pihak pengutang, adalah hibah yang sah, jika
kedua belah pihak (wahib dan muttahib) mengetahui ukuran prutang, sebagaimana
yang telah dibenarkan oleh segolongan fukaha dengan mengikutkan Nash
Syafi’iyah, Lain halnya dengan yang dibenarkan oleh An-Nawawi di dalam
Al-Minhaj. Peringatan:
Tidak sah pembebasan
piutang yang tidak mudah diketahui (majhul) oleh pemiutang atau pengutang,
tetapi jika pembebasan yang di situ ada unsur penggantian (misalnya: Khuluk),
bila pengutang tidak mengetahui. Contoh pembebasan yang ada unsur penggantian,
“Bila kamu membebaskan utangku kepadamu, maka kamu tertalak”, tetapi jika
pembebasan itu tidak ada unsur penggantian (‘iwadh), maka sekalipun pengutang
tidak mengetahui, adalah sah saja menurut pendapat Al-Muktamad.
Menurut
Kaul Kadim Syafi’i: Pembebasan piutang secara mutlak (baik ada unsur iwadh
maupun tidak) adalah sah.
Bila seseorang
melakukan pembebasan (Ibra’), lalu mengaku bahwa ia tidak mengetahui apa yang
telah dibebaskan, maka secara lahir (kaitan hukum dunia) tidak bisa –
diterima, tetapi menurut kaitan akhirat (batin) adalah dapat diterima,
(sehingga di akhirat nanti tidak ada – tuntutan baginya). Demikianlah menurut
penuturan Ar-Raff’i.
Di dalam Al-Jawahir yang
dinukil dari Az-Zubaili: Dengan cara disumpah, seorang wanita kecil yang
dikhawatirkan dengan cara paksa, adalah dapat dibenarkan dakwaannyabahwa ia
tidak mengetahui mahar-. nya. Al-Ghazali berkata: Demikian juga dengan seorang
wanita dewasa yang dikawinkan dengan cara paksa, jika ia keadaannya cukup
menunjukkan ketidaktahuannya.
Cara pembebasan
piutang yang tidak diketahui jumlahnya, adalah pemiutang membebaskan sejumlah
yang tidak kurang dari piutangnya, misalnya membebaskan seribu, padahal ia
masih ragu apakah piutang mencapai jumlah tersebut atau kurang dari itu
(berarti ia yakin bahwa piutangnya tidak lebih dari jumlah tersebut).
Bila
seseorang membebaskan sesuatu dengan keyakinan, bahwa itu bukan haknya,
ternyata itu adalah haknya, maka apa yang dibebaskan menjadi bebas.
Makruh
bagi pemberi membedabedakan dalam pemberiannya kepada anak turunnya, sekalipun
cucu dengan anak menurut pendapat Al-Aujah, baik itu pemberian hibah, hadiah,
sedekah maupun wakaf. Demikian juga dengan masalah pemberian kepada orangtua,
sekalipun jalur ke atas, baik laki-laki maupun wanita.
Kecuali
lantaran ada perbedaan hajat atau keutamaan atas dasar beberapa wajah.
Segolongan
fukaha berkata: Hukum melebihkan adalah haram.
Di
dalamAr-Raudhah, An-Nawawi menukil dari Ad-Darimi: Jika melebihkan pemberian
kepada orangtua, maka hendaknya melebihkan ibu. Pendapat ini diakui oleh
AnNawawi, dasarnya adalah hadis yang menerangkan bahwa ibu berhak menerima dua
pertiga kebajikan, maka di dalam Syarah Muslim yang dinukil dari Al-Mahasibi,
bahwa mengutamakan berbakti kepada ibu di atas ayah adalah berdasarkan
ijmak.
Beberapa Cabang:
Hadiah-hadiah
yang diberikan ketika pesta khitan, adalah menjadi milik ayah yang dikhitan.
Segolongan fukaha mengatakan: Milik si anak, sedangkan ayah wajib
menerimanya.
Titik perselisihan di sini adalah
jika pemberi hadiah memberikannya secara mutlak, tidak dimaksudkan seorang di
antara keduanya, Kalau dimaksudkan seorang dari keduanya, maka fukaha sepakat
bahwa hadiah tersebut milik orang yang dimaksudkan.
Ketentuan
seperti itu berlaku juga pada pemberian untuk pelayan ahli Sufi. Pemberian ini
menjadi milik pelayan, jika diberikan secara mutlak atau ditujukan untuk
dirinya, maka menjadi milik ahli Sufi jika untuk mereka berdua, sedangkan
menurut yang lahir, pelayan menerima bagian separonya.
Kesimpulannya:
Suatu kebiasaan yang berlaku di suatu daerah, yaitu meletakkan semacam cawan
di depan orang yang mengadakan resepsi, agar orang-orang meletakkan uang
dirham di cawan tersebut, lalu dibagikan kepada tukang cukur, tukang khitan
dan sebagainya, adalah berlaku rincian hukum seperti di atas.
Karena
itu, jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk tukang khitan saja atau beserta
para pembantunya, maka dilaksanakan maksud itu. Kalau pemberian tersebut
diberikan secara mutlak, maka pemberian menjadi milik orang yang mempunyai
acara resepsi, Terserah, mau diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.
Dengan
begitu, maka dapat diketahui bahwa dalam masalah ini urf tidak dapat
dilakukan. Adapun pemberian yang bertentangan dengan urf, adalah jelas tentang
ketidakberlakuannya,
Adapun pemberian yang secara
mutlak, maka justru menjadi milik orang-orang tersebut, -ayah, pelayan, orang
yang mempunyai acara resepsi dan sebagainya-, sebab pada – galibnya mereka
yang dimaksudkan. Penentuan seperti itu adalah termasuk urf Syar’i, yang harus
didahulukan atas urf yang menyelisihinya.
Lain
halnya dengan masalah yang di situ tidak terdapat urf syar’inya, maka yang
dipergunakan dasar hukum adalah kebiasaan yang berlaku.
Dari
keterangan tersebut, jika seorang yang menazarkan hartanya kepada seorang wali
Allah yang telah meninggal dunia, maka hukumnya dirinci: Jika ia memaksudkan
bahwa harta itu milik wali yang telah meninggal dunia, maka nazarnya gagal,
bila tidak dimaksudkan sesuatu, jika kubur wali tersebut memerlukan sesuatu
untuk kemaslahatannya, maka harta tersebut harus ditasarufkan ke situ, kalau
di kubur sudah tidak memerlukannya, maka jika di sekitar kubur terdapat
segolongan orang yang sudah menjadi kebiasaan bahwa nazar , tersebut harus
ditasarufkan kepada mereka.
Bila seseorang
menghadiahkan kepada orang yang telah menyelamatkan diri orang zalim, dengan
tujuan agar orang tersebut tidak melepaskan pertolongannya, maka bagi penolong
tersebut tidak halal menerimanya (sebab termasuk rasyiwah), tetapi jika hadiah
tersebut bukan dengan tujuan seperti itu, maka baginya halal menerimanya,
sekalipun hukum menyelamatkan orang tersebut baginya adalah fardu ain.
Bila
seseorang berkata, ” Ambillah uang ini dan belikan begini untukmu”, maka ia
wajib membeli barang yang telah ditentukan tersebut, selama orang itu tidak
memberi kelonggaran, atau tidak ada petunjuk dari sikap orang itu yang
mengarahkan ada kelonggaran untuk orang yang diperintahkan.
Barangsiapa
menyerahkan makanan atau lainnya kepada wanita pinangan/ wakil/walinya, dengan
tujuan mau mengawininya, maka ia boleh menarik kembali sesuatu yang telah
diberikan.
Apabila seseorang mengirimkan hadiah
kepada orang lain, lalu sebelum hadiah itu sampai kepada orang itu terburu
mati, maka barang tersebut tetap menjadi milik pemberi hadiah (sebab barang
hadiah selama belum diterima oleh orang yang diberi hadiah adalah belum dapat
dimiliki): dan bila pemberi hadiah mati sebelum hadiah sampai kepada yang
diberinya, maka utusan tersebut tidak boleh membawanya kepada yang diberi
hadiah, (kecuali setelah mendapat izin dari ahli waris mayat).
BAB WAKAF - بَابٌ فىِ الْوَقْفِ
Wakaf menurut bahasa, artinya: menahan, sedang menurut syarak adalah:
Menahan harta yang dapat dimanfaatkan dalam keadaan barang masih utuh, dengan
cara memutus pentasarufannya, guna ditasarufkan kepada hal yang muhah dan
badan tertentu (jihah).
Dasar hukum wakaf adalah
hadis riwayat Muslim: “Apabila orang muslim meninggal dunia, maka (pahala)
amalnya menjadi terputus, kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak saleh, maksudnya muslim, yang mendoakan kepadanya.” Ulama
membawa arti sedekah jariyah pada “wakaf”, bukan pada semacam wasiat
kemanfaatan-kemanfaatan yang mubah.
Bukhari-Muslim
meriwayatkannya: Umarr.a. mewakafan sebidang tanah yang ia peroleh dari
ghanimah Perang Khaibar atas perintah Rasulullah saw. dan ia menetapkan
beberapa syarat: di antaranya: Tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh
diwaris, tidak boleh dihibahkan dan bagi yang mengurusinya dapat makan darinya
dengan cara yang baik (makruf), serta boleh .memberi makan temannya dengan
sikap hati-hati, buka seperti cara penggunaan orang yang berduit. Umar r.a.
adalah orang pertama yang melakukan wakaf dalam Islam.
Dinukil
dari Abu Yusuf, bahwa setelah ia mendengar hadis Umar r.a.: “Barang wakaf
tidak boleh dijual”, maka ia mencabut (menolak) ucapan Abu Hanifah rhm. yang
memperbolehkan menjual barang wakaf, dan kata Abu Yusuf rhm: “Jika Abu Hanifah
mendengar hadis di atas, maka ia pasti berkata begitu”.
Untuk
kesahan wakaf (disyaratkan) ada barang wakaf (Mauquf) adalah barang wujud
(Mu’ayyanah), dimiliki dengan pemilikan yang dapat dialihkan dan mempunyai
faedah, baik seketika maupun di belakang, misalnya, buah atau kemanfaatan yang
pada galibnya dapat disewakan, di mana barang itu disyariatkan agar menjadi
sedekah yang mengalir pahalanya.
Wakaf yang sah
itu misalnya: Mewakafkan pohon untuk dimanfaatkan hasilnya, mewakafkan
perhiasan untuk dipakai, semacam misik untuk dimanfaatkan baunya dan
mewakafkan bunga yang ditanam (untuk dimanfaatkan baunya).
Lain
halnya dengan mewakafkan kemenyan bakar, lantaran dapat dimanfaatkan dengan
cara menghancurkan barangnya, dan seperti mewakafkan makanan, karena
kemanfaatannya dengan cara merusak barangnya.
Praduga
Ibnush Shalah yang menetapkan sah wakaf air, adalah pilihannya sendiri.
Sah
mewakafkan barang yang tengah berada dalam penggasaban, sekalipun tidak dapat
diselamatkan. Sah juga mewakafkan tempat yang atas tanpa yang bawah untuk
dijadikan mesjid.
Menurut pendapat Al-Aujah: Sah
mewakafkan sebagian dari barang yang masih dimiliki bersama (berserikat),
sekalipun hanya sedikit untuk dijadikan mesjid, dan untuk selanjutnya bagi
orang yang junub diharamkan diam di sana, lantaran memenangkan larangan (atas
bagian yang masih dimiliki/tidak ikut diwakafkan), serta terlarang iktikaf dan
salat di sana tanpa seizin pemilik manfaat.
Wakaf
dianggap sah dengan katakata, “Kuwakafkan/Kusediakan/ Kutahan begini untuk
ini/Bumiku menjadi wakaf/Wakaf untuknya.”
Jika
seseorang berkata, “Kusedekahkan sekian untuk begini…dengan sedekah yang
dimuliakan/diabadikan/sedekah boleh dihibahkan/tidak boleh diwaris”, maka
termasuk shighat wakaf yang sharih menurut pendapat Al-Ashah.
Termasuk
shighat yang sharih: “Tempat ini kujadikan mesjid”, maka jika dikatakan
demikian, jadilah ia mesjid, sekalipun tidak dikatakan “karena Allah”, serta
tidak mengatakan kata-kata yang telah dituturkan di atas (tidak boleh dijual
dan seterusnya), karena mesjid itu pasti berupa hasil wakaf.
Perkataan:
“Kuwakafkannya untuk salat” adalah sharih sebagai wakaf, tetapi kinayah
sebagai pengkhususan menjadi mesjid, karena itu harus ada niat untuk mesjid
dalam wakaf selain bumi mati.
Al-Qamuli menukil
dari Ar-Rauyani dan mengakuinya, bahwa seseorang memperbaiki mesjid yang rusak
dan tidak mewakafkan alat-alatnya, maka alat tersebut hukumnya sebagai Ariyah
(pinjaman) terhadap mesjid, dan ia dapat mengambil kembali kapan saja ia
menginginkan.
Hukum kemesjidan, yaitu sah
digunakan iktikaf dan haram didiami orang yang junub, adalah tidak terjadi
pada tanah wakaf di sekeliling mesjid (yang tidak diwakafkan sebagai mesjid),
yang karena diperlukan perluasan mesjid, maka tanah tersebut bergandengan
menjadi satu mesjid: sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita, Ibnu Ziyad
dan lainnya.
Dari keterangan yang telah lewat
(wakaf dengan kata-kata…dan seterusnya), dapat diketahui bahwa wakaf tidak
sah, kecuali dengan melafalkannya dan perselisihan fukaha tentang Mu’athah
tidak terjadi pada wakaf.
Bila seseorang
membangun suatu bangunan yang berbentuk mesjid dan memberikan izin untuk
digunakan salat, maka bangunan tersebut tidak terlepas dari hak miliknya,
sebagaimana halnya dengan seseorang yang menjadikan tempatnya seperti kuburan
dan memberi izin menanam mayat di sana.
Berbeda
dengan bila ia mengizinkan beriktikaf di sana, maka bangunan tersebut menjadi
mesjid.
Al-Baghawi berkata dalam Fatawi: Bila
seseorang bicara dengan pengurus mesjid, “Buatlah batu merah dari tanahku
untuk mesjid”, lalu dibuatlah batu merah dan dibangun mesjid, maka batu merah
tersebut dihukumi sebagai mesjid, dan setelah dibuat bangunan, bagi pemilik
tanah tersebut tidak boleh merusak bangunan itu, tetapi bila batu merah
tersebut belum dibuat membangun, maka ia boleh meminta kembali.
Al-Bulqini
menyamakan pada mesjid dalam hukum seperti di atas terhadap sumur yang
disediakan untuk musafir, dan Al-Asnawi menyamakan padanya terhadap madrasah
dan pondok.
Asy-Syekh Abu Muhammad berkata:
Demikian juga bila seseorang meminta sumbangan untuk Zawiyah (langgar) atau
Ribath (pondok), maka menjadilah barang wakaf dengan semata-mata didirikan
bangunannya. Sebagian fukaha memandang lemah pendapat di atas.
Sah
mewakafkan lembu pada pondok untuk diminum air susunya Oleh penghuninya, atau
dijual keturunannya untuk kemaslahatan pondok. “
Syarat-syarat Wakaf:
Ta’bid
(selama-lamanya). Karena itu, tidak sah wakaf dibatasi masa berlakunya,
Misalnya: “Kuwakafkan kepada Zaid selama satu tahun.”
Tanjiz (kelestarian). Karena itu, tidak sah menggantungkan wakaf: Misalnya:
“Kuwakafkan kepadanya bila tiba awal bulan.”
Akan
tetapi, sah menggantungkan wakaf dengan kematian si wakaf: Misalnya:
“Kuwakafkan rumahku kepada orang-orang fakir setelah matiku”. Asy-Syaikhani
(Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) berkata: Pewakafan ini seolah-olah suatu wasiat,
sebab kata Al-Qaffal bahwa jika rumah tersebut ditawarkan, maka berarti
pencabutan wakaf,
Wakif dapat
memberikan hak milik barang wakaf (mauquf) kepada orang yang diberi wakaf
(mauquf alaih), jika wakafnya kepada seseorang atau golongan tertentu,
misalnya: Mauquf Alaih orang yang nyata-nyata dapat memiliki barang wakaf.
Karena
itu, tidak sah mewakafkan sesuatu/seseorang yang belum ada, misalnya
mewakafkan pada mesjid yang akan dibangun/kepada anak si wakif, padahal ia
belum mempunyai anak/kepada anakku yang akan dilahirkan, kemudian (setelah
semua itu) kepada orang-orang fakir, lantaran dalam contoh ini semua wakaf
sudah terputus jenjang pertama. Atau mewakafkan kepada anak-anak si wakif yang
fakir, padahal mereka tidak ada yang fakir, dan tidak sah juga mewakafkan
sesuatu yang hasilnya digunakan untuk memberi makan orang-orang fakir yang
berada di atas kuburnya (padahal si wakif masih hidup). Lain halnya (jika si
wakif mengatakan) untuk ayah yang sudah meninggal dunia.
Ibnush
Shalah berfatwa, bahwa bila seseorang mewakafkan kepada orang yang membaca
Alqur-an di kuburnya setelah ia mati, lalu setelah mati tidak diketahui
kuburnya, maka batallah wakaf tersebut.
Sah
mewakafkan kepada Mauquf Alaih yang belum wujud, dengan cara mengikutkan yang
telah wujud: misalnya: “Kuwakafkannya kepada anakku, kemudian anaknya
anakku”.
Tidak sah mewakafkan kepada salah
seorang dari dua ini, kepada pembangunan mesjid yang tidak dijelaskan mesjid
yang mana, dan tidak sah wakaf kepada dirinya sendiri, sebab manusia tidak
dapat memberi hak milik atau kemanfaatan milikny’ terhadap diri sendiri.
Termasuk
wakaf terhadap diri sendiri (dan hukumnya tidak sah), adalah mensyaratkan
utangnya harus dilunasi dari barang wakaf atau ia (wakif) ikut memanfaatkan
barang wakaf tersebut. Tidak termasuk wakaf terhadap diri sendiri: Persyaratan
semacam wakif boleh minum atau menelaah dari sumur atau kitab yang ja wakafkan
kepada orang-orang fakir. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian dari para
pensyarah Al-Minhaj.
Bila seseorang mewakafkan
kepada orang-orang fakir -misalnya-, lalu ia sendiri menjadi miskin, maka ia
boleh mengambil bagian. Demikian juga ketika ia telah menjadi fakir di waktu
mewakafkan.
Sah mewakafkan dengan mensyaratkan
dirinya menjadi nazhir wakaf, sekalipun dengan gaji, jika memang gaji tersebut
secara lumrah atau lebih kecil.
Di antara hilah
menjadikan sah wakaf terhadap diri si wakif, adalah wakaf kepada anak-anak
ayahnya dengan menyebutkan sifat-sifat yang ada pada dirinya. Cara ini menurut
segolongan fukaha mutaakhirun yang dipegangi oleh Ibnur Rif’ah dan ia telah
melakukannya, Yaitu Ibnur Rif’ah mewakafkan sesuatu kepada anak-anak ayahnya
yang paling mengerti ilmu fikih, lalu ia sendiri yang memperolehnya.
Wakaf
pada arah maksiat adalah batal, misalnya wakaf pada pembangunan gereja,
mewakafkan pedang kepada penjahat, dan mewakafkan kepada pembangunan kubur
selain Nabi, ulama dan orangorang saleh.
Cabang:
Banyak
terjadi orang-orang yang mewakafkan harta mereka ketika masih sehat kepada
anak-anak lakilaki mereka, dengan maksud menghalangi anak-anak perempuan
mereka dari barang wakaf, padahal sudah berulang kali dan hanya satu ulama
yang menfatwakan batal wakaf sepertiitu.
Kata
Guru kita Ath-Thanbadawi: Mengenai kebatalan wakaf seperti kasus di atas masih
ada penelitian yang zhahir, bahkan menurut satu pendapat, bahwa wakaf dalam
kasus di atas adalah sah hukumnya.
Tidak
disyaraykan ada qabul, sekalipun dari mauqif alaih yang tertentu orangnya,
mengingat bahwa wakaf itu suatu ibadah, tapi yang disyaratkan adalah tidak ada
penolakan.
Penuturan di atas “sekalipun dari
mauquf alaih yang ertentu orangnya”, adalah dinukil dari pendapat kebanyakan
fukaha.
Pendapat tersebut dipilih oleh An-Nawawi
di dalam Ar-Raudhah: Sedangkan di dalam Syarah Al-Wasith, pendapat tersebut
dinukil dari Nash Syaf’iyah.
Dikatakan:
Disyaratkan ada qabul dari mauquf alaih yang tertentu Orangnya, mengingat
bahwa wakaf itu sebagai pemilikan. Pendapat ini diunggulkan oleh An-Nawawi di
dalam Al-Minhaj sebagaimana Ashlul Minhaj (Al-Muharrar).
Apabila
mauquf alaih yang Mu’ayyan menolak barang wakaf, maka batallah haknya terhadap
barang wakaf, baik dalam hal ini kita berpendirian bahwa mauquf alaih
disyaratkan qabul ataupun tidak.
Tetapi, bila
seseorang mewakafkan sejumlah yang tidak melebihi 1/3 kepada ahli waris yang
memiliki seluruh warisan nantinya maka jadilah wakafnya, sekalipun ahli waris
tersebut menolaknya.
Dikecualikan dari “Mauquf
alaih yang tertentu orangnya”, yaitu mauquf alaih yang berupa arah umum
(misalnya para fakir) dan mauquf alaih semacam mesjid yang diserupakan dengan
Jihatut Tahrir (pembebasan budak, dari segi hilang hak milik), maka secara
mantab tidak diwajibkan ada qabul.
Bila seseorang
mewakafkan kepada dua orang tertentu, lalu kepada para fakir, kemudian seorang
dari keduanya mati, maka bagiannya diarahkan kepada yang satunya, sebab wakif
mensyaratkan kepindahan barang wakaf kepada para fakir dengan kematian kedua
mauquf alaih yang telah ditentukan, padahal masalah ini belum terjadi.
Bila
mauquf alaih yang tertentu orangnya telah terputus jenjang akhirnya dalam
mentasarufkan barang wakaf (Munqathi’ Akhir), maka barang wakaf ditasarufkan
kepada orang fakir yang lebih dekat hubungan darahnya kepada si wakif, -bukan
hubungan waris-, sejak habis mauquf alaih tersebut. Misalnya: Wakif berkata,
“Aku wakaf kepada anak-anakku”, dan tidak menyebutkan siapa setelah itu, atau
“… kepada Zaid, lalu anak turunnya”, dan lainlainnya lagi yang Mauquf alaihnya
tidak langgeng adanya.
Orang yang dekat hubungan
darahnya dengan wakif, misalnya cucu laki-laki dari anak perempuan, sekalipun
di situ ada keponakan lakilaki dari saudara laki-laki. Wakif umpamanya, karena
memberikan sedekah kepada kerabat adalah lebih utama, dan lebih utama lagi
kerabat yang lebih dekat hubungan darahnya, kemudian yang lebih fakir.
Dari
keterangan di atas, maka wajib dikhususkan, mana kerabat yang fakir.
Bila
mauquf alaih yang berhak menerima penghasilan barang wakaf tidak diketahui,
atau diketahui, tetapi kerabat-kerabat wakif adalah orangorang kaya, yaitu
orang yang haram menerima zakat, maka imam harus mentasarufkannya pada
kemaslahatan kaum muslim.
Segolongan fukaha
berkata: Ditasarufkannya kepada orang-orang fakir dan miskin yang berada di
daerah barang wakaf.
Menurut pendapat yang mana
pun dari kedua di atas, wakaf di sini tidak bisa menjadi batal, tetapi wakaf
tetap berjalan terus, kecuali jika wakif tidak menyebutkan arah pentasarufan
barang wakaf: Misalnya wakif berkata, “Kuwakafkan ini”, -sekalipun mengatakan
“karena Allah” -, karena wakaf itu menetapkan pada keberadaan pemilikan
kemanfaatan: karena itu, jika wakif tidak menentukan orang yang memiliki, maka
batallah wakaf itu.
Hanya saja sah kata-kata
“kuwakafkan 1/3 hartaku” (dan orang yang menerima wasiat/Musha Lah tidak
disebutkan), lalu tasarufnya adalah orang-orang miskin, karena pada galibnya
wasiat itu kepada mereka, karenanya, ketika wasiat dimutlak- kan, maka
diarahkan kepada mereka.
Dikecualikan lagi ketika
wakif tidak menuturkan mauquf alaih jenjang pertama yang akan menerima tasaruf
barang wakaf (munqathi’ awal), maka wakaf hukumnya batal. Misalnya: Kuwakafkan
barang ini kepada orang yang mau membaca Alqur-an di atas kuburku setelah aku
mati/… di atas kubur ayahku (kemudian kepada para miskin misalnya)”, padahal
ayahnya masih hidup. (Kata-kata “setelah aku mati” dalam-contoh di atas yang
benar adalah tidak dipakai, sebab jika dipakai akan menyamai dua contoh yang
sah di bawah ini nanti).
Lain halnya dengan
“Kuwakafkan sekarang barang ini kepada orang yang mau membaca Alqur-an di atas
kuburku setelah aku mau/Kuwakafkan barang ini setelah aku mati…”, sebab
kata-kata tersebut adalah wasiat, Karena itu, jika barang wakaf termasuk dari
1/3 hartanya, atau lebih darinya, tetapi ahli waris si wakif menyetujuinya dan
kubur si wakif (ayahnya) diketahui, maka sahlah wasiat itu: kalau tidak
begitu, maka tidak sah.
Bila kiranya kita
menghukumi sah wakaf/wasiat dalam hubungannya di atas, maka mauquf alaih sudah
dianggap cukup dengan membaca sebagian dari Alqur-an, tidak harus tertentu,
membaca surah Yaa Siin, sekalipun surah itu pada galibnya yang dimaksudkan,
sebagaimana fatwa Guru kita, Az-Zamzami.
Sebagian
Ashhabuna (ulama mutakaddimun Syafi’iyah) berkata: Demikian itu jika tidak
berlaku kebiasaan di daerah setempat dengan pembacaan sebagian yang maklum
atau surah tertentu dari Alqur-an serta si wakif mengetahui kebiasaan
tersebut. Kalau yang berlaku demikian, maka harus itu pula yang dibaca, karena
kebiasaan yang berlaku di daerah setempat pada masa si wakif, adalah menempati
suatu Syarat.
Bila wakif dengan sengaja
menentukan suatu syarat, maka harus dituruti, selama dalam keadaan tidak
darurat: Misalnya wakif mensyaratkan ada barang wakaf tidak disewakan secara
mutlak, atau sekian tahun misalnya/diutamakan sebagian mauquf alaih di atas
yang lain, sekalipun yang diutamakan itu wanita di atas
laki-laki/penyamarataan di antara mauquf alaih/ dikhususkannya semacam mesjid,
misalnya: madrasah dan kubur, untuk orang-orang bermazhab Syafi’i, sebagaimana
halnya dengan syarat-syarat wakif lainnya yang tidak bertentangan dengan
syarak.
Yang demikian itu, karena termasuk arah
kemaslahatan.
Adapun syarat yang bertentangan
dengan syarak, misalnya mensyaratkan ada penghuni madrasah adalah perjaka,
maka syarat tersebut tidak sah (begitu juga wakafnya), sebagaimana yang
difatwakan oleh Al-Bulqini.
Dengan kata-kata
“selain dalam keadaan darurat”, dikecualikan bila keadaannya darurat,
(misalnya): Tidak didapatkan selain penyewa pertama, padahal si wakif telah
mensyaratkan bahwa barang wakaf (mauquf) tidak boleh disewakan kepada
seseorang melebihi satu tahun atau orang yang menuntut ilmu (di dalam
madrasah) tidak boleh tinggal melebihi satu tahun, ternyata untuk tahun kedua
yang ada cuma penyewa/penuntut ilmu pada tahun pertama, maka syaratnya harus
ditangguhkan terlebih dahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Adis
Salam.
Faedah:
Fungsi
huruf wawu athaf (dan), adalah menyamaratakan di antara Ma’thuf Alaih dengan
Ma’thuf: Misalnya: “Kuwakafkan barang ini kepada anak-anakku dan anakanaknya
anakku”, sedang huruf tsumma (lalu) dan huruf fa’ (Jalu) adalah berfungsi
makna tertib.
Dalam menyebutkan “dzurriyah/
nasl/agib/auladul Aulad” adalah mencakup cucu dari anak perempuan, kecuali
jika ia berkata, “Kepada orang yang nasabnya bertemu kepadaku dari mereka”,
maka cucu dari anak perempuan tidak masuk.
Kata
“Maula”, mencakup orang yang memerdekakan dan orang yang dimerdekakan.
Peringatan:
Bila
sekira wakif menyebutkan syaratnya secara global, maka disesuaikan kebiasaan
yang berlaku di masanya, karena hal itu berkedudukan sebagai syaratnya:
kemudian disesuaikan dengan yang lebih mendekati maksud-maksud para wakif,
sebagaimana yang ditunjukkan pembicaraan fukaha.
Dari
keterangan di atas, untuk air yang disediakan di tepi jalan, adalah tidak
boleh digunakan selain minum, dan tidak boleh memindahnya dari tempat semula,
sekalipun untuk diminum.
Sebagian fukaha membahas
diharamkan meludah atau membasuh kotoran di dalam air untuk bersuci yang ada
di mesjid, sekalipun jumlah air tersebut banyak.
Al-Allamah
Ath-Thanbadawi ditanya mengenai wadah-wadah yang ada di mesjid, yang berisikan
air, manakala tidak diketahui apakah diwakafkan untuk minum, wudu, mandi
wajib/sunah atau untuk membasuh najis. Kemudian beliau menjawab: Jika di situ
ada petunjuk yang mengarahkan bahwa air tersebut ditaruh untuk kemanfaatan
secara umum, maka boleh digunakan untuk semua itu, baik minum, membasuh najis,
mandi janabah dan lain-lain.
Petunjuk itu
misalnya, adalah berlakunya orang-orang yang menggunakan air tersebut secara
umum tanpa diingkari oleh ahli fikih dan lainnya, karena secara lahir, tidak
ada pengingkaran itu menunjukkan bahwa para wakif telah merelakan kemanfaatan,
yaitu untuk keperluan secara umum, untuk digunakan mandi, minum, wudu, dan
mencuci najis. Maka kejadian seperti ini adalah suatu keberhasilan yang
disebut jawaz.
Dikatakan: Fatwa Al-Allam Abdullah
Bamahramah adalah sesuai dengan yang telah disebutkan.
Al-Qaffal
dan kemudian diikuti ulama-ulama yang lainnya berkata: Wakif bolch
mensyaratkan ada gadai kepada nazhir wakaf dari peminjam kita wakafnya,
lantaran untuk mendorongnya mau mengembalikan kitab tersebut.
Persyaratan
ada penanggung adalah dapat disamakan hukumnya dengan gadai tersebut. Sebagian
ulama berfatwa tentang wakaf dan nazar kepada Nabi saw., bahwa barang-barang
tersebut harus ditasarufkan pada kemaslahatan makam beliau. Wakaf kepada
penduduk suatu daerah, maka ditasarufkanlah mauquf kepada orang mukim daerah
tersebut, atau penduduk yang tidak ada dalam daerah, karena suatu keperluan
untuk pergi sejauh yang tidak memutuskan diakui kependudukan orang itu menurut
kebiasaan.
Beberapa Cabang:
At-Tajul
Fazari, Al-Burhan Al-Muraghi dan lainnya berkata: Bila wakif mensyaratkan
pembacaan satu juz dari Alqur-an setiap hari, maka sudah dianggap cukup
membaca seukuran satu juz, sekalipun ayat itu terpisah-pisah dan dengan cara
melihat. Untuk masalah membacanya secara terpisah-pisah, ada tinjauan
hukum.
Bila wakif berkata: “Agar hasil wakaf
disedekahkan di bulan Ramadhan/Asyura”, lalu terlambat, maka boleh bersedekah
setelah waktu itu dan tidak perlu menunggu waktu yang sama di tahun depan.
Tetapi jika ia berkata “sebagai makan buka untuk orang-orang yang berpuasa di
bulan Ramadhan/Asyura”, maka harus menunggu tahun depan (jika. terjadi
keterlambatan).
Tidak hanya seorang ulama yang
telah berfatwa tentang ucapan wakif “(Kuwakafkan barang ini) kepada orang yang
mau membaca Yaa Siin di kubur ayahku setiap hari Jumat”, bahwa jika ia
membatasi bacaan tersebut dengan masa tertentu (misalnya: satu tahun) atau ia
menentukan untuk setiap tahun pembaca diberi hasil bumi wakaf, maka syarat
dari si wakif harus dipatuhi. Kalau wakif tidak menentukan pembacaannya, maka
wakaf menjadi batal.
Kebatalan wakaf seperti di
atas adalah sebanding dengan yang dikatakan oleh fukaha tentang kebatalan
wasiat untuk Zaid sebesar 1 dinar setiap bulan, kecuali (sah) hanya pada 1
dinar saja. Selesai.
Hanya saja penyamakan wakaf
dengan wasiat ini beralasan, jika wakafnya digantungkan dengan mati, karena
dengan begitu wakaf di sini adalah bernilai wasiat.
Adapun
wakaf yang tidak bernilai. wasiat, maka menurut tinjauan suatu pendapat adalah
sah hukumnya, karena tidak membawa akibat-akibat yang terlarang sama sekali,
karena jika si nazhir wakaf menentukan bahwa orang yang membaca surah Yaa Siin
pada tiap Jumat akan berhak menerima apa yang telah dijanjikan selama orang
itu masih membaca, maka jika orang itu mati (atau tidak datang), bagi nazhir
dapat mencari gantinya, demikian seterusnya.
Bila
wakif berkata: “Barang ini kuwakafkan kepada si Fulan, agar ia berbuat
begini”, maka berkatalah Ibnush Shalah, bahwa kata-kata wakif “agar ia berbuat
begini”, adalah bisa dianggap sebagai syarat untuk dapat memiliki barang
wakaf, dan dapat pula sebagai wasiat dari wakif untuk kemaslahatan
wakafnya.
Kemudian, jika maksud dari wakif
diketahui, maka harus dipatuhi. Jika maksud dari wakif tersebut masih
diragukan, maka bagi mauquf alaih tidak terlarang untuk memiliki.
Perkataan
Ibnush Shalah di atas, arahnya hanyalah kata-kata yang menurut kebiasaan tidak
dimaksudkan mentasarufkan hasil mauquf kepada mauquf alaih sebagai imbalan
dari pekerjaan. Jika yang dimaksudkan demikian, misalnya kata wakif: “… agar
kamu membaca/ mempelajari begini”, maka kata-kata tersebut sebagai syarat bagi
mauquf alaih untuk dapat memiliki hasil dari mauquf (barang wakaf), menurut
yang dianggap zhahir oleh Guru kita.
Bila
seseorang mewakafkan/ mewasiatkan sesuatu untuk tamu, maka harus ditasarufkan
kepada pendatang yang menurut kebiasaan dianggap sebagai tamu, dan secara
mutlak tamu tersebut, tidak boleh dijamu melebihi 3 hari, tidak boleh
diberikan dalam bentuk biji-bijian, kecuali si wakif mensyaratkan begitu.
Apakah disyaratkan bahwa tamu itu harus orang yang fakir? Kata Guru kita: Yang
lahir tidak disyaratkan.
Guru kita, Az-Zamzami
ditanya tentang barang yang diwakafkan agar hasilnya ditasarufkan untuk
memberi makan atas nama Rasulullah saw.: Apakah bagi nazhir wakaf
diperbolehkan menjamu para tamu yang datang dari luar bulan Maulid, dengan
maksud memberi atas nama Rasulullah saw., ataupun tidak? Dan apakah bagi si
qadhi diperbolehkan ikut makan, jika ia tidak mendapatkan bayaran dari
Baitulmal dan kaum muslimin yang kaya-kaya?
Jawab
beliau: Bagi nazhir boleh menjamu orang tersebut dari penghasilan mauquf dan
begitu juga bagi qadhi boleh makan darinya, karena barang tersebut adalah
sedekah, dan jika qadhi tidak diketahui oleh yang bersedekah serta qadhi tidak
mengenalnya, maka kata As-Subki bahwa tidak diragukan lagi kalau ia boleh
mengambilnya.
Dengan perkataan As-Subki di atas,
aku berpendapat: …. karena tidak ada makna yang mencegahnya. Kalau antara
qadhi dengan orang yang bersedekah saling mengenal, maka barang yang dimakan
oleh qadhi seperti hadiah (dan baginya haram menerimanya). Antara sedekah
dengan hadiah dapat dibedakan: Orang yang bersedekah hanyalah bermaksyd
mendapatkan pahala di akhirat (lain dengan hadiah).
Ibnu
Abdis Salam berkata: Orang yang mempunyai tugas sehubungan dengan perwakafan,
misalnya membaca Alqur-an, adalah tidak berhak mendapatkan jatah dari mauquf
pada hari-hari ia absen.
An-Nawawi berkata: Bila
absen dalam menunaikan tugasnya dan menyuruh orang lain untuk menggantikannya
lantaran ada uzur, misalnya sakit atau ditahan, maka haknya tidak hilang.
Kalau absennya tidak karena uzur, dan ia menggantikan kepada orang lain atau
karena ada uzur, tetapi ia tidak menggantikan kepada orang lain, maka haknya
hilang selama masa penggantian itu.
Maka
perkataan An-Nawawi memberikan pengertian hak jatah mauquf alaih tetap ada
pada selain masa absennya. Demikian itu yang dipegangi oleh As-Subki
-sebagaimana Ibnush Shalahdalam tugas-tugas yang dapat digantikan pada orang
lain, misalnya mengajar dan menjadi imam salat.
Mauquf
alaih yang menerima wakaf barang bukan untuk kemanfaatan, dengan pewakafan
yang mutlak atau agar ia memetik hasil barang tersebut, adalah berhak memiliki
Ri’ Mauquf: Yaitu seluruh kemanfaatan barang, misalnya uang upah sewa, air
susu, anak yang lahir dari hamil yang terjadi setelah wakaf, buah, ranting,
dan pepohonan yang biasanya dipotong atau yang disyaratkan dipotong tapi belum
dipotong lantaran pohonnya sudah mati.
Karena
itu, bagi mauquf alaih dan dirinya sendiri boleh mentasarufkan kemanfaatan
mauquf, sebagaimana selaku pemilik barang sendiri, atau oleh orang lain
(misalnya: disewakan atau dipinjamkan), selagi tidak menyalahi syarat yang
telah ditetapkan oleh si wakif, karena kemanfaatan mauquf itulah yang
dimaksud/dituju dalam wakaf.
Adapun kehamilan
yang terjadi bersamaan dengan wakaf, maka anak yang lahir adalah termasuk
barang wakaf yang terikutkan dengan induknya.
Adapun
mauquf alaih yang menerima wakaf berupa barang untuk kemanfaatan khusus,
misalnya untuk dinaiki, maka kemanfaatan yang lain, yaitu air susu dan
lain-lain, adalah menjadi milik wakif.
Tidak
boleh menyetubuhi wanita amat yang diwakafkan, sekalipun Oleh wakif maupun
mauquf alaih, karena bukan milik berdua, bahkan mereka harus di-had (jika
menyetubuhinya). Yang berhak mengawinkan budak perempuan tersebut, adalah
qadhi seizin mauquf alaih, kepada laki-laki selain mereka berdua.
Ketahuilah,
bahwa hak milik zat barang wakaf (mauquf) adalah Allah swt., baik wakafnya
kepada mauquf alaih yang tertentu orangnya ataupun arah kemaslahatan. Artinya,
hak tersebut terlepas dari kekhususan manusia.
Menurut
beberapa pendapat: Jika seseorang menggunakan barangbarang mesjid, maka wajib
memberi uang sewa, lalu uang tersebut ditasarufkan untuk kemaslahatan
mesjid.
Faedah:
Barangsiapa
lebih dahulu mengambil tempat di dalam mesjid untukmembacakan Alqur-an, hadis,
ilmu syarak atau ilmu pelengkap/untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut/
mendengarkan pelajaran di depan seorang guru, dan orang tersebut meninggalkan
tempatnya, tetapi kembali ke tempat semula, serta kepergiannya tidak terlalu
lama yang sekira sampai memutuskan komunikasi dengan teman-temannya yang ada
di sana, maka hak orang tersebut, atas tempat duduk yang ia tinggalkan adalah
masih ada, karena ia bermaksud menetap di tempat semula, agar orang-orang
dapat berkomunikasi dengannya secara baik.
Dikatakan:
Hak menempati kembali sudah hilang (batal) sebab berdiri. Mengenai pendapat
ini, fukaha telah membahas secara panjang-lebar dalam mengunggulkannya, dengan
cara menukil mazhab dan makna.
Atau lebih dahulu
mengambil tempat dalam mesjid untuk mengerjakan salat, sekalipun belum masuk
waktunya, untuk membaca Alqur-an atau Zikir, lalu ia meninggalkan tempatnya
lantaran ada uzur semacam buang hajat atau mendatangi panggilan, maka haknya
untuk menempati masih ada padanya, sekalipun ia tidak meninggalkan
selendangnya di tempat tersebut.
Karena itu, bagi
orang lain yang mengetahui tentang hak seperti itu, adalah haram duduk di
tempat tersebut, tanpa seizin orang yang bersangkutan atau mengira ada ridha
dari orang tersebut.
Akan tetapi, jika salat
sudah didirikan dan barisan sudah merapat, sedang orang tersebut belum kembali
ke tempat duduknya, maka menurut suatu pendapat yang dituturkan oleh
Al-Adzra’i dan lainnya: Tempat – tersebut boleh diisi, karena diperlukan
penyempurnaan barisan dalam salat.
Bila di tempat
tersebut terdapat sajadah milik orang yang bersangkutan dan orang lain mau
menempatinya, maka ia harus menyingkirkan sajadah itu dengan kakinya tanpa
mengangkatnya dari tanah, agar sajadah tersebut tidak menjadi tanggungan (jika
terjadi kerusakan dan lain-lain).
Adapun jika
duduk orang tersebut untuk beriktikaf, maka jika ia tidak berniat dalam jangka
waktu, maka dengan keluar dari mesjid, batallah haknya, sekalipun keluarnya
karena suatu urusan. Jika ia beriktikaf dengan niat dalam suatu waktu, maka
haknya tidak batal (hilang) sebab keluarnya dari mesjid di tengah-tengah waktu
iktikafnya, karena untuk suatu kepentingan.
Al-Qaffal
berfatwa tentang keharaman mengajar anak-anak kecil di dalam mesjid,
Barang
wakaf tidak boleh dijual, sekalipun telah rusak.
Bila
sebuah mesjid roboh dan tidak dapat didirikan kembali, maka barang-barangnya
tidak boleh dijual dan tidak dapat kembali menjadi milik manusia (misalnya
dihibahkan dan lain-lain), karena buminya masih dapat digunakan.salat dan
iktikaf.
Atau apabila pohon yang diwakafkan
kering atau ditumbangkan oleh angin, maka wakaf tidak batal. Karena itu, tidak
boleh dijual atau dihibahkan, tetapi mauquf alaih memanfaatkannya, sekalipun
dengan menjadikan pintu jika tidak memungkinkan menyewakannya dalam bentuk
kayu yang utuh.
Bila mauquf tidak dapat
dimanfaatkan kecuali dengan cara menghancurkannya, sebagaimana hanya dapat
dijadikannya kayu bakar, maka putuslah wakaf itu dan menurut pendapat
Al-Muktamad, barang tersebut dimiliki oleh mauquf alaih.
Ia
boleh memanfaatkan barang tersebut dan tidak boleh menjualnya.
Boleh
menjual tikar-tikar yang diwakafkan ke mesjid, jika telah rusak, sebagaimana
keindahan kemanfaatan tikar sudah tidak ada, padahal kemaslahatannya dengan
cara dijual. Demikian juga dengan tiang-tiang mesjid yang telah rapuh. Lain
halnya dengan pendapat segolongan fukaha tentang dua masalahini.
Kemudian,
harga dari penjualan tersebut ditasarufkan pada kemaslahatan mesjid, jika
tidak mungkin dibelikan tikar atau tiang kembali.
Perselisihan
fukaha tentang boleh atau tidak menjual adalah pada tikar/ tiang wakaf,
sekalipun dari pembelian nazhir lalu diwakafkan, lain halnya dengan
tikar/tiang hasil hibah atau dibeli untuk mesjid, maka secara mantap boleh
dijual karena ada kemaslahatan, sekalipun belum rusak. Demikian pula dengan
lampulampu mesjid. –
Tidak boleh menggunakan
tikar dan karpet mesjid untuk selain hamparan secara mutlak, baik ada hajat
ataupun tidak, sebagaimana yang difatwakan oleh Guru kita.
Bila
nazhir membelikan kayu-kayu untuk mesjid atau menerima hibah berupa kayu dan
ia menerimanya, maka ia boleh menjualnya untuk kemaslahatan mesjid, misalnya
ia mengkhawatirkan ada pencurian terhadap kayu tersebut. Kayu tersebut tidak
boleh dijual, jika merupakan bagian dari barang-barang wakaf terhadap mesjid.
Demikianlah yang dituturkan oleh Al-Kamal Ar-Raddad di dalam Fatawa-nya.
Mesjid
yang roboh tidak boleh dibongkar bangunannya, kecuali jika dikhawatirkan rusak
barang-barang mesjid, maka harus dibongkar dan dipelihara atau digunakan mem.
bangun mesjid lain, jika hakim melihat hal itu lebih maslahat. Membangun
mesjid yang lebih dekat dengan yang roboh adalah lebih utama.
Barang-barang
tersebut tidak boleh dibuat membangun selain mesjid, misalnya pondok dan sumur
-sebagaimana sebaliknya-, kecuali ada uzur dalam membangun yang sejenisnya.
Pendapat
yang beralasan untuk diunggulkan mengenai penghasilan dari barang wakaf mesjid
yang telah roboh, adalah jika mesjid itu bisa diharapkan untuk didirikan lagi,
maka penghasilan tersebut dipelihara untuk mesjid itu, Kalau sudah tidak
dapat, maka ditasarufkan pada mesjid yang lain: kalau tidak dapat, maka
ditasarufkan kepada orang-orang fakir, sebagaimana ditasarufkannya reruntuhan
mesjid (jika sudah didapat dibuat mesjid yang lain) ke pondok.
Guru
kita bertanya: Jika ada mesjid (diperbaiki) dengan menggunakan barang-barang
baru dan yang lama masih ada (dan tidak digunakan), maka bolehkah
barang-barang lama tersebut dibuat (memperbaiki) mesjid lama yang lain atau
dijual, lalu hasil penjualan disimpan untuk mesjid yang memiliki barang-barang
tersebut? Jawab Guru beliau:
Barang-barang
tersebut boleh digunakan membangun mesjid lama yang lain maupun yang baru,
sekira sudah dipastikan bahwa mesjid yang memiliki barang-barang tersebut
sudah tidak memerlukan lagi sebelum rusak, dan barang tersebut menurut
pendapat mana pun tidak boleh dijual. Selesai.
Pemindahan
semacam tikar dar lampu mesjid, hukumnya seperti pe mindahan barang-barang
bangunar mesjid (yang dituturkan di atas).
Barang
wakaf mesjid yang wakafnya secara mutlak/untuk pembangunannya, maka
penghasilan barang tersebut ditasarufkan untuk bangunan -sekalipun mendirikan
menara mesjid-, pengapuran yang menguatkan dinding mesjid.
Tidak
boleh ditasarufkan untuk menggaji muazin, imam, membeli tikar dan minyak,
kecuali jika wakafnya untuk kemaslahatan mesjid, maka arah tasaruf penghasilan
barang wakaf ke situ. Tidak boleh juga ditasarufkan untuk pengecatan atau
pelukisan dinding mesjid.
Apa yang kusampaikan di
atas bahwa penghasilan wakaf tersebut tidak boleh ditasarufkan kepada muazin
dan imam dalam wakaf ke mesjid secara mutlak, adalah sesuai dengan penukilan
An-Nawawi di dalam Ar-Raudhah dari Al-Baghawi, tetapi setelah itu AnNawawi
menukil dari fatwa AlGhazali, bahwa penghasilan tersebut boleh ditasarufkan
kepada mereka, dan itulah yang Aujah, sebagaimana wakaf pada kemaslahatan
mesjid.
Bila seseorang mewakafkan sesuatu untuk
membeli minyak penerangan mesjid, maka wajib digunakan menerangi mesjid setiap
malam, jika tidak dalam keadaan kosong dan tertutup.
Ibnu
Abdis Salam berfatwa mengenai kebolehan menyalakan sedikit lampu mesjid
tersebut, di waktu malam dalam keadaan mesjid sepi dari manusia, karena untuk
memuliakan mesjid. Fatwa ini dipegangi oleh segolongan fukaha.
An-Nawawi
dalam Ar-Raudhah memantapkan keharaman menyalakan lampu mesjid yang sepi dari
manusia. Dalam Al-Majmu’ beliau berkata: Haram mengambil sedikit minyak zaitun
atau lilin mesjid, sebagaimana mengambil krikil dan debunya.
Cabang:
Buah
pepohonan yang tumbuh di kuburan yang digunakan mengubur kaum muslimin, adalah
boleh dimakan oleh siapa saja. Sedangkan mentasarufkannya untuk kemaslahatan
kubur, adalah lebih utama.
Buah pepohonan yang
ditanamtanam di mesjid adalah milik mesjid, dan tasarufnya adalah untuk
kemaslahatannya, jika ditanam untuk mesjid. Adapun jika pohon tersebut ditanam
untuk dimakan buahnya atau tidak diketahui keadaannya, maka hukumnya mubah
(boleh dimakan oleh siapa saja).
Tersebut di
dalam Al-Anwar. Apabila pekuburan telah mati dan tidak ada bekas-bekasnya,
maka bagi imam tidak boleh menyewakannya untuk ditanami, umpamanya, dan
hasilnya ditasarufkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Keterangan yang ada di
dalam AlAnwar tersebut diarahkan/dijuruskan pada kuburan wakaf.
Adapun
kuburan milik seseorang jika diketahui pemiliknya, adalah milik orang itu,
Kalau pemiliknya tidak diketahui, maka statusnya adalah sebagai hartadhai’
yang oleh imam (kepala negara) boleh digunakan sebagai kemaslahatan muslimin.
Demikian juga dengan pekuburan yang tidak diketahui statusnya (hukumnya
seperti harta sia-sia).
Al-Allamah Ath-Thanbadawi
ditanya tentang pepohonan yang tumbuh di pekuburan wakaf yang tidak berbuah,
yang dapat dimanfaatkan, (tetapi) kayunya banyak yang dapat digunakan
bangunan, dan di situ tidak ada nazhir khususnya: Apakah bagi Nazhir ‘Am
(qadhi) boleh menjual kayu-kayu tersebut, dan memotongnya, lalu hasil
penjualan ditasarufkan untuk kepentingan kaum muslimin?
Jawab
beliau: Ya, boleh. Bagi qadhi boleh menjual kayu-kayu tersebut dan hasil dari
penjualan ditasarufkan untuk kepentingan kaum muslimin, sebagaimana dengan
buah pohon yang dapat berbuah, dan jika ia mentasarufkan untuk kemaslahatan
kubur, maka hal itu lebih baik. Kebolehan menjual tersebut jika pohon itu
tumbang karena semacam angin, Adapun menebangnya dalam keadaan masih segar,
maka yang lahir adalah dibiarkan hidup, karena mengasihi orang yang berziarah
atau pengiring jenazah.
Bila wakif mensyaratkan
jabatan nazhir atas dirinya atau orang lain, maka syarat tersebut harus
dipatuhi, seperti halnya syarat-syarat yang lain.
Menurut
pendapat Al-Aujah: Qabul nazhir yang telah disyaratkan oleh wakil, adalah
seperti qabul wakil (tidak disyaratkan ada ucapan, tetapi cukup tidak ada
penolakan).
Wakif tidak berhak memecat kenazhiran
yang telah disyaratkan sendiri sewaktu wakaf, sekalipun demi kemaslahatan.
Bila
wakif tidak mensyaratkan nazhir kepada siapa pun, maka nazhirnya adalah qadhi
daerah setempat barang wakaf berada dalam hal pemeliharaan atau penyewaan, dan
qadhi daerah setempat mauquf alaih dalam hal-hal selain tersebut -menurut
mazhab-, karena qadhi adalah pemegang nazhar yang umum, makanya ia lebih
berhak daripada orang lain, sekalipun wakif atau mauquf alaih sendiri.
Pemantapan
Al-Khawarizmi tentang ketetapan hak nazhir pada wakif dan keturunannya tanpa
disyaratkan ketika wakaf, adalah pendapat yang lemah.
As-Subki
berkata: Bagi qadhi tidak boleh mengambil sesuatu (dari penghasilan wakaf)
yang disyaratkan oleh wakif untuk nazhir (jika jabatan nazhir pindah
kepadanya. umpama si nazhir menjadi fasik), kecuali jika wakif telah
menjelaskan bahwa jabatan nazhir diserahkan kepada gadhi, sebagaimana pula ia
tidak boleh mengambil sesuatu dari bagian Amil zakat.
Putra
beliau, At-Taj berkata: Peletakan hukum di atas, kaitannya adalah qadhi yang
telah menerima gaji secukup kebutuhannya.
Sebagian
fukaha membahas, bahwa bila qadhi dikhawatirkan memakan barang wakaf lantaran
kecurangannya, maka bagi orang yang memegang barang wakaf boleh
mentasarufkannya ke pos-pos tasarufnya, jika mengetahri, kalau tidak
mengetahuinya, maka ia boleh menyerahkan barang wakaf kepada seorang ahli
fikih yang mengetahui posposnya, atau bertanya kepadanya, lalu
mentasarufkannya.
Sebagai syarat seorang nazhir,
baik itu wakif sendiri atau lainnya, adalah orang adil dan cukup mampu
melaksanakan tasaruf yang diserahkan kepadanya.
Nazhir
boleh menerima upah yang telah disyaratkan oleh wakif kepadanya, sekalipun
melebihi upah yang lumrah, selagi nazhir tersebut bukan wakif itu sendiri.
Jika tidak disyaratkan sesuatu untuk nazhir, maka ia tidak mendapatkan upah.
,
Tapi, bagi nazhir berhak melapor kepada hakim,
agar ditetapkan gajinya di bawah kebutuhan nafkah dan upah sepatutnya, seperti
halnya dengan wali anak yatim. Ibnus Shabagh berfatwa, bahwa nazhir boleh
dengan sendirinya tanpa penetapan hakim melakukan itu untuk dirinya.
Nazhir
dapat terpecat sebab fasik, lalu jabatan nazhir selanjutnya dipegang oleh
hakim.
Bagi wakif berhak memecat nazhir yang
telah ia angkat sendiri untuk digantikan oleh orang lain, kecuali jika
kenazhirannya disyaratkan ketika wakaf.
Penutup:
Apabila
orang-orang yang berhak atas barang wakaf meminta surat wakaf kepada nazhir
untuk mereka copy lagi demi menjaga haknya, maka bagi nazhir harus
mempersilakan mereka, sebagaimana yang telah difatwakan oleh sebagian fukaha.
BAB PENGAKUAN - بَابٌ فىِ الْاِقْرَارِ
Ikrar menurut bahasa artinya menetapkan, sedang menurut syarak
adalah: Memberitahukan tentang hak seseorang pada dirinya. Ikrar disebut pula
I’riraf.
Ikrar dari orang mukalaf dan bebas
(tidak terpaksa) adalah dapat diterima.
Karena
itu, ikrar anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa tanpa semestinya
-misalnya dipukuli agar berikrar- adalah tidak dapat diterima.
Adapun
orang yang dipaksa agar berkata jujur -misalnya dipukuli agar berkata
sejujurnya dalam perkara yang ia dicurigainya-, adalah sah ikrar yang
diucapkan sewaktu dipukul dan sesudahnya, dengan masih ada kemusykilan yang
kuat hukum sah tersebut, lebih-lebih jika orang yang dipaksa itu mengetahui
bahwa mereka (pengusut) tidak berhenti memukul, kecuali jika ia berikrar,
semisal “aku mengambil”.
Bila seseorang mengaku
kekanakkanakan dirinya dan mungkin adanya/semacam gila dan diketahui
adanya/terpaksa dan ada tanda-tanda yang membenarkan pengakuan tersebut,
-misalnya ia ditahan atau dimata-matai-, dan keberadaan tanda-tanda tersebut
berdasarkan bayinah, ikrar Muqar Lah atau sumpah yang dikembalikan padanya,
maka orang tersebut dapat dibenarkan dengan cara disumpah, selama tidak ada
bayinah sebaliknya.
Adapun jika seorang anak
kecil mengaku telah balig dengan keluar air sperma yang dimungkinkan
terjadinya, maka dapat dibenarkan tanpa disumpah. Kalau pengakuan balignya
dengan kesempurnaan usia (15 th), maka anak itu harus mengemukakan bayinah,
sekalipun ia orang mengembara yang tidak: dikenal. Bayinah tersebut, adalah
dua orang laki-laki.
Tapi, jika telah ada 4
wanita yang memberikan persaksian bahwa ia lahir pada hari “Ini”, maka
persaksian mereka dapat diterima dan kebaligannya mengikuti persaksian
tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Guru kita.
Disyaratkan
dalam ikrar harus ada kata-kata yang menunjukkan ada “tanggungan hak”,
misalnya “Atas diriku/Bagi diriku ada tanggungan sekian kepada Zaid”, apabila
ia menambahkan “menurut perkiraanku”, maka ikrar tersebut tidak terpakai.
Kemudian,
jika Muqar Bih (hak yang diikrari) itu barang Mu’ayyan (wujud), misalnya:
“pakaian ini milik Zaid”/” Ambillah ia”, atau Muqar Bih tidak Mu’ayyan,
misalnya: “Pakaian milik dia/ “Dia mempunyai seribu”, maka kesemuanya
disyaratkan digandeng dengan kata-kata: “padaku…”/atasku..”.
Kata-kata
“Atasku…”/”Ada dalam tanggunganku..” adalah sebagai Ikrar (pengakuan) utang,
sedang kata-kata “Bersamaku…”/”Padaku”, adalah ikrar suatu barang.
Barang
yang diikrari (secara mutlak, misalnya: Pakaian Zaid di sisiku) adalah
diarahkan arti status pemilikan yang terendah, yaitu barang tiipan (wadi’ah).
Karenanya (jika terjadi percekcokan), maka dengan bersumpah bisa diterima,
bahwa ia (Muqir) telah mengembalikannya atau telah rusak.
Termasuk
ikrar adalah “Na’am (benar)”/” Bala (ya, benar)”/Engkau benar/Engkau telah
membebaskanku darinya/Bebaskanlah aku darinya/ Aku telah membayarnya”, sebagai
jawaban dari pertanyaan: “Bukankah engkau mempunyai tanggungan kepadaku
sekian…?/Engkau mempunyai tanggungan kepadaku sekian…”” (tanpa kata tanya),
karena kandungan yang dipahami adalah ikrar.
Bila
seseorang berkata: “Lunasilah 1.000 hakku yang ada padamu/ Kuberi tabu bahwa
kamu mempunyai tanggungan 1.000 padaku”, lalu dijawab: “Iya/Berilah aku
kesempatan/Aku tidak mengingkari dakwaanmu/Kubuka kantong dulu/ Sampai
kutemukan kunci atau uangnya” misalnya, maka semua itu termasuk ikrar, sekira
tidak bergurau dalam mengucapkan kalimat tersebut.
Bila
dalam perkataan-perkataan tersebut ada petunjuk (gurau) -misalnya mengucapkan
sambil tertawa atau menggerak-gerakkan kepala yang menunjukkan arti kebenaran
atau pengingkaran-, maka menurut pendapat Al-Muktamad tidak bisa dianggap
sebagai ikrar. Mengenai tanda tersebut, didasarkan atas bayinah, ikrar dari
magar lah atau sumpah mardudah, sebagaimana yang sudah lahir (kita maklumi
adanya).
Permintaan untuk dijualnya (Mudda’ah Bih
kepada Mudda’i) adalah berarti ikrar terhadap pemilikan pada Mudda’i,
sedangkan meminta (kePada Mudda’i agar Mudda’a Bih) dipinjamkan atau disewakan
(kepada Mudda’a Alaih) adalah berarti ikrar adanya pemilikan manfaat pada diri
Mudda’i, tetapi kepasuan arah kemanfaatan tersebut didasarkan pada Muqir.
Adapun
ucapan seseorang “Hakmu yang ada padaku tidak lebih dari 1.000/Kita hitung
terlebih dahulu/ Silakan kirim surat kepada Zaid, bahwa Zaid mempunyai hak
kepadaku 1.000 dirham/Berilah kesaksian, bahwa aku mempunyai tanggungan
sekian! Atau …. sejumlah yang tertulis dalam surat ini” -sebagai jawaban dari,
“Kamu mempunyai tanggungan kepadaku sejumlah seribu-, adalah bukan sebagai
ikrar.
Lain halnya dengan ucapan, “Kupersaksikan
kepada kalian”, dengan disandarkan pada dirinya.
Ucapan
seseorang kepada saksi atas dirinya, “Ia adil dalam apa yang ia saksikan”,
adalah sebuah ikrar, sebagaimana dengan ucapannya, “jika si Fulan memberikan
penyaksian, bahwa aku mempunyai 100/ Jika si Fulan begitu, maka ia adalah
benar”, ucapan ini adalah suatu ikrar, sekalipun si Fulan tidak melakukan
persaksian.
Muqar Bih disyaratkan bukan milik
Muqir ketika ikrar diucapkan, sebab Ikrar itu bukan pelepasan milik, tetapi
adalah pemberitahuan, bahwa kemilikan pada Muqar Lah, jika Muqar Lah tidak
menganggap dusta terhadap Muqir,
Karena itu,
ucapan seseorang, “Rumahku/Pakaianku/Rumahku yang kubeli untuk diriku:
sendiri, adalah milik Zaid”, atau “Piutangku yang ada pada Zaid, adalah milik
Amr” adalah tidak berguna sebagai ikrar, sebab penyandaran pada dirinya,
adalah menetapkan kemilikan pada dirinya, yang berarti menghilangkan ikrar
adanya kemilikan orang lain: Karena itu, ucapan di atas adalah memberitahukan
hak yang dahulu.
Bila seseorang berkata, “Rumah
yang kutempati atau pakaian yang kupakai ini adalah milik Zaid”, maka adalah
sebuah ikrar, sebab bisa juga ia Mmenempati/memakai rumah/ pakaian orang
lain.
Bila seseorang berkata, “Piutang yang
kutulis atau kutetapkan dengan namaku, adalah tanggungan Zaid kepada Amr (buka
kepadaku)”, maka sahlah ikrar tersebut. Atau berkata, “Piutangku yang menjadi
tanggungan Zaid, adalah milik Amr”, maka tidak sah schaga ikrar, kecuali jika
berkata, “sedang namaku yang ada dalam kitab, hanyalah sekadar pinjaman”.
Bila
seseorang berikrar atau bersaksi tentang kemerdekaan seorang budak tertenta
yang ada di tangan arang lain, lalu ia membelinya untuk diri atau memilikinya
dengan jalan lain, maka budak tersebut hukumnya merdeka.
Bila
seseorang bersaksi, bahwa ia akan berikrar sesuatu yang semestinya bukan
menjadi tanggungannya, latu berikrar bahwa ia mempunyai tanggungan sekian
terhadap Fulan, maka apa yang diikrari benar-benar menjadi tanggungannya, dan
persaksiannya tidak berguna bagi dirinya.
Sah
ikrar orang yang sedang sakit yang mengantarkan kematiannya tentang utang atau
barang, sekalipun tanggungan tersebut kepada ahli warisnya, lalu utang atau
barang tersebut dibayar dari jumlah harta mayat keseluruhan, sekalipun ahli
waris yang lain memandang dusta si mayat tersebut, sebab orang tersebut sudah
sampai pada keadaan (ambang kematian) yang mana orang yang dusta akan berlaku
jujur dan orang yang jahat akan bertobat. Karena itu, secara lahir ia adalah
jujur dalam ikrarnya.
Tetapi, bagi ahli waris
berhak menyumpah Muqar Lah untuk dapat memiliki Muqar Bih, menurut penjelasan
(yang dianggap lahir) oleh Guru kita, Lain halnya dengan pendapat
Al-Qaffal.
Bila orang sakit seperti di atas
berikrar semacam hibah yang telah diserahterimakan waktu ia dalam keadaan
sehat, maka ikrarnya bisa diterima. Kalau ikrarnya secara mutlak (tidak
menyebut waktu sehat) atau mengatakan sesuatu yang diketahui menjadi miliknya,
“Barang ini milik ahli warisku”, maka diberi kedudukan sebagaimana dalam
keadaan sakit, demikian yang dikatakan oleh Al-Qadhi Husain, Karena itu harus
ditunggu dulu pelestarian dari ahli waris, sebagaimana jika berkata, “Barang
itu kuhibahkan ketika aku sakit”.
Menurut
sebagian fukaha, bahwa ikrar tersebut tidak dapat diterima, jika ia dicurigai
lantaran zaman yang semakin rusak, bahkan terkadang banyak bukti yang
menunjukkan kedustaannya.
Karena itu, sebaiknya
bagi orang yang takut kepada Allah swt., tidak perlu menghukumi sah ikrar
tersebut dan tidak diragukan lagi ketidaksahannya, jika maksud ikrar tersebut
dilatarbelakangi untuk menghalanghalangi bagian ahli waris. Segolongan fukaha
menjelaskan, bahwa jika latar belakangnya seperti itu, maka hukumnya haram dan
bagi Muqar Lah tidak halal menerimanya.
Ikrar di
waktu sehat, tidak dapat didahulukan atas ikrar di waktu sakit. Sah berikrar
atas barang yang belum diketahui (majhul): misalnya “sesuatu” atau “sekian”,
maka si Muqir diminta menjelaskannya.
Sah
berikrar dengan berkata, “Aku menanggung sesuatu untuknya”, atau “… Sekian
untuknya”, maka penjelasan dapat diterima selain arti menjenguk orang sakit,
menjawab salam dan barang najis yang tidak dapat dipelihara, misalnya babi.
Bila
seseorang berkata, “Aku mempunyai tanggungan harta padanya”, maka
penjelasannya bisa dengan barang yang ada nilai kehartaan -sekalipun jumlah
kecil sekali-, bukan barang yang najis.
Bila
seseorang berkata, “Rumah ini dan seisinya adalah milik si Fulan”, maka sah
sebagai ikrar, dan selanjutnya Fulan berhak atas semua yang di dalam rumah
ketika ikrar terjadi. Jika terjadi perselisihan tentang sesuatu: Apakah ketika
ikrar barang tersebut ada di dalam rumah atau tidak? Maka yang dibenarkan
adalah Muqir, dan Mu’jar Lah dapat dibenarkan dengan mengajukan bayinah. –
Sah
berikrar tentang nasab yang dihubungkan kepada dirinya: misalnya seseorang
berkata, “Ini anakku”, dengan syarat dimungkinkannya hal itu: Yaitu sekira
syarak dan kenyataan tidak mendustakannya: misalnya orang yang diakui sebagai
anaknya lebih muda dari dirinya dengan selisih umur yang memungkinkan sebagai
anaknya serta tidak dikenal sebagai anak orang lain.
Di
samping itu, juga ada pembenaran anak yang ditemukan nasabnya, yang mempunyai
hak untuk membenarkan (misalnya sudah balig dan masih hidup). Bila ia tidak
membenarkan ikrar Muqir atau diam saja, maka kenasabannya tidak dapat
ditetapkan padanya, kecuali dengan bayinah.
Bila
seseorang berikrar tentang jual atau hibah yang telah serah terima dan
pengambilan barang hibah, lalu ia mendakwa bahwa akad tersebut batal, maka
dakwaannya tidak dapat dibenarkan, sekalipun ia berkata, “Justru aku berikrar
karena menyangka akad sah”, karena penyebutan sesuatu (dari bai’/hibah) secara
mutlak, adalah diarahkan pada yang sah.
Tetapi,
jika keadaan lahiriah Mudda’i memastikan kebenarannya, -misalnya ia adalah
seorang dari suku yang polos-, maka seyogianya diterima ucapannya, menurut
Guru kita.
Dengan kata-kata “barang hibah telah
diambil”, maka dikecualikan jika orang tersebut hanya berikrar tentang hibah
saja, maka tidak berikrar penyerahterimaan dan pengambilan barang hibah. Jika
ia berkata, “Ia telah memiliki barang hibah dengan kemilikan yang tetap”, di
mana ia mengetahui makna ucapan itu, maka ia seperti berikrar tentang
keberadaan iqbadh.
Karena tidak bisa diterima
dakwaan kerusakan akad, bagi Muqir berhak menyumpah Muqar Lah, bahwa akad
tidak fasid, sebab dakwaannya masih samar, dan bayinah yang diajukan Muqir
tidak dapat diterima, lantaran ia sendiri telah mendustakan dengan ikrarnya,
Bila Muqar Lah tidak mau bersumpah, maka Muqir harus bersumpah kalau akad yang
dilaksanakan adalah batal (fasid). Untuk selanjutnya, jual beli atau hibah
dihukumi batal, sebab sumpah yang diucapkan dengan pengembalian (Yamin
Mardudah) statusnya sebagaimana ikrar.
Bila
seseorang berkata: “Barang ini milik Zaid, tapi Amr/Kugasab dari Zaid, tapi
Amr”, maka barang tersebut, harus diserahkan kepada Zaid, baik ia berkata
demikian itu (tapi milik/dari Amr) disambung dengan kata-kata sebelumnya atau
dipisah, sekalipun waktu yang memisah di antara dua kata tersebut cukup lama,
karena menarik kembali ikrar yang berkaitan dengan hak Adami hukumnya tidak
boleh. Selanjutnya, ia harus memberi ganti kepada Amr.
Bila
seseorang berikrar tentang sesuatu, lalu berikrar sebagian dari yang pertama,
maka yang sebagian (sedikit) masuk ke yang banyak.
Bila
seseorang berikrar bahwa ia berutang kepada orang lain, lalu ia mendakwa bahwa
utang itu telah ia bayar dan di kala mengucapkan ikrar ia lupa (kalau utangnya
telah dibayar), maka dakwaannya diterima sekadar untuk menyumpah Muqar Lah
(pemiutang).
Bila ia mengemukakan bayinah
pelunasannya, maka menurut fatwa sebagian fukaha adalah bisa diterima, karena
kemungkinan benar apa yang dikatakan, sebagaimana halnya jika ia berkata: “Aku
tidak mempunyai bayinah”, lalu ternyata ia mengemukakan bayinah, maka dapat
diterima.
Bila seseorang berkata: “Aku tidak
mempunyai sesuatu hak yang ditanggung si Fulan, lalu (mendakwa mempunyai) dan
mengemukakan bayinah kalau dirinya mempunyai hak yang harus ditanggung oleh si
Fulan, maka hukumnya khilaf: Menurut pendapat yang Rajih: Jika telah
mengucapkan kata-kata di atas, ia berkata “menurut persangkaanku”, atau
“sepanjang yang kuketahui”, maka bayinahnya dapat diterima, dan jika ia tidak
mengucapkannya, maka bayinahnya tidak dapat diterima, kecuali apa yang
dikatakan di atas karena uzur semacam lupa atau kesalahan yang tampak.
BAB WASIAT - بَابٌ فىِ الْوَصِيَّةِ
Wasiat menurut bahasa artinya “menyampaikan”, dari kata-kata:
Washayasy syai-a bikadzia, yang artinya: “Ia menyampaikan sesuatu dengan
begini”, lantaran Mushi (orang yang mewasiatkan) menyambung kebaikan dunianya
dengan kebaikan akhiratnya.
Sedangkan menurut syarak, wasiat
adalah: Memberikan hak secara suka rela (tabarru’) yang disandarkan setelah
mati.
Secara ijmak hukum wasiat adalah sunah muakkadah, sekalipun bersedekah di kala
sehat. Akan tetapi, di saat sakit adalah lebih utama.
Sebaiknya,
bagi seseorang dalam waktu satu jam pun jangan lupa berwasiat, sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh hadis sahih: “Tiada hak orang muslim yang sempat
bermalam satu atau dua malam, di mana ia mempunyai sesuatu yang dibuat wasiat,
melainkan wasiatnya ditulis di bawah kepalanya.”
Maksudnya:
Tiada sesuatu yang benar atau bagus menurut syarak, kecuali seperti itu,
karena manus tidak mengetahui kapankah mati menjemputnya.
Makruh
berwasiat melebihi 1/3 jumlah harta seseorang, jika ia tidak dimaksudkan
menghalang-halangi bagian ahli waris. Jika maksudnya seperti itu, maka
hukumnya haram.
Wasiat sah dilakukan oleh orang
mukalaf yang merdeka dan kehendaknya sendiri untuk arah yang halal: misalnya
membangun mesjid atau kemaslahatannya. Karena itu, wasiat tidak sah dilakukan
oleh anak kecil, orang gila, budak sekalipun Mukatab, yang tidak mendapatkan
izin dari tuannya, dan orang yang dipaksa. Sedangkan orang yang mabuk,
hukumnya seperti Mukalaf. Dalam sebuah pendapat dikatakan: Wasiat sah
dilakukan oleh anak kecil.
Wasiat yang diucapkan
secara mutlak, misalnya: “Kuwasiatkan barang ini untuk mesjid,” maka dan
kemaslahatannya, sekalipun kebutuhan pembangunan mesjid tidak begitu mendesak,
lantaran memberlakukan kebiasaan.
Kemudian, sang
nazhir mentasarufkan barang wasiat (Musha Bih) “tersebut atas hal yang lebih
penting dengan hasil ijtihadnya.
Wasiat untuk
Ka’bah dan Makam Rasulullah saw., adalah ditasarufkan untuk
kemaslahatan-kemaslahatan yang khusus bagi keduanya, Misalnya memperbaiki
dinding Ka’bah yang telah rapuh, bukan untuk daerah Haram yang lain. Ada yang
mengatakan: Wasiat untuk Ka’bah tasarufnya adalah orang-orang miskin Tanah
Mekah.
Guru kita berkata: Dengan memahami yang
dikatakan oleh fukaha tentang nazar untuk makam yang terkenal di Jurjan, maka
jelaslah sah wasiat untuk makam Syekh Anu.., sebagaimana kesahan wakaf
untuknya. Tasaruf barang wasiat adalah pada kemaslahatan-kemaslahatan makam
Syekh tersebut, pembangunan yang boleh didirikan di sana, para Pegawai kubur
dan orang-orang yang membaca Alqur-an di sana.
Adapun
jika seseorang berkata “untuk Syekh Anu”, dan ia tidak meniatkan makam syekh
dan semacamnya, maka wasiatnya menjadi batal.
Bila
wasiat pada mesjid yang akan dibangun, maka tidak sah, sekalipun telah
dibangun mesjid sebelum orang itu mati: kecuali dengan cara mengikutkan
(misalnya, aku wasiat untuk mesjid Anu…dan mesjidmesjid yang akan dibangun).
Dikatakan. Wasiat yang diucapkan secara mutlak hukumnya batal, jika Mushi
berkata, ” Kumaksudkan barang itu (Musha Bih) untuk mesjid.”
Keperluan
yang halal lagi, misalnya atas pembangunan semisal kubah di atas kubur semacam
orang alim yang berada di pekuburan, bukan wakafan. Terdapat di dalam Ziyadah
Al-Ubadi: Bila seseorang berwasiat agar nanti dimakamkan di dalam rumahnya,
maka bataltah wasiatnya.
Dari kata-kata “arah
(keperluan) halal di atas”, maka dikecualikan kepentingan maksiat: misalnya
untuk pembangunan gereja, meneranginya, atau penulisan semacam Taurat dan ilmu
yang diharamkan.
Sah wasiat untuk kandungan yang
dengan yakin telah wujud ketika berwasiat.
Karena
itu, sah berwasiat untuk bayi yang lahir dalam keadaan hidup, yang usia di
kandungan terhitung maksimum 6 bulan dari wasiat atau 4 tahun ke bawah, yang
selama itu keberadaan ibu bayi tersebut tidak berkumpul dengan suami atau
sayidnya dan dapat dimungkinkan kandungan tersebut berasal da’inya, karena
secara lahir bayi itu sudah ada dalam kandungan ketika wasiat, lantaran
langkah Wathi syubhat, sedangkan memperkirakan bahwa ibu si-bayi telah
berzina, adalah prasangka buruk.
Tetapi, jika
sang ibu tidak pernah berkumpul dengan laki-laki sama sekali, maka secara
pasti wasiat hukumnya tidak sah.
Tidak sah wasiat
untuk kandungan yang akan terjadi, sekalipun sebelum Mushi mati, kandungan itu
telah ada, sebab wasiat itu adalah pemindahan ini terlarang dilakukan atas
sesuatu yang belum ada. Maka wasiat seperti ini menyerupai wakaf kepada Maukuf
Alaih yang akan dilahirkan.
Tetapi, jika yang
belum wujud itu terikutkan dengan yang sudah ada, misalnya seseorang berwasiat
untuk anak-anak Zaid yang telah ada dan yang akan datang, maka sah wasiat
tersebut.
Tidak sah wasiat untuk yang tidak
Mu’ayyan (tidak tertentu). Karena itu, tidak sah wasiat untuk salah satu dari
dua orang ini. Seperti ini hukumnya, tidak sah, jika menggunakan lafal wasiat.
Tetapi, jika menggunakan kata-kata “Kalian berikan barang ini kepada salah
satu dari dua orang”, maka hukumnya sah, karena kata-kata tersebut sebagai
wasiat Mushi untuk memberikan barang tersebut kepada salah satunya.
Sah
wasiat untuk ahli waris Mushi sendiri, dengan persetujuan ahli waris yang
lainnya setelah kematian Mushi, sekalipun barang wasiat berjumlah sebagian
dari 1/3 harta Mushi.
Persetujuan mereka (ahli
waris) di kala Mushi masih hidup tidak ada artinya, sebab di kala itu mereka
tidak berwenang.
Hilah agar dapat mengambil
barang wasiat bagi ahli waris tanpa ada persetujuan ahli waris yang lainnya,
yakni Mushi mewasiatkan untuk si Fulan (orang lain) 1.000, yang jumlah ini
adalah 1/3 atau kurang dari keseluruhan harta milik Mushi, dengan syarat si
Fulan harus bertabarru’ (memberi secara sukarela) kepada putra Mushi sebesar
500 atau 2.000 (jumlah terakhir ini, baik lebih besar daripada orang yang
telah diwasiatkan untuk si Fulan atau lebih kecil) sebagaimana yang tampak.
Maka, jika si Fulan menerima wasiat dan ia memberikan yang telah disyaratkan
kepada putra Mushi, maka ahli waris yang lain tidak turut memiliki yang
diperoleh si putra dari si Fulan tersebut.
Termasuk
wasiat untuk ahli waris, adalah membebaskan urang ahli waris terhadap Mushi,
memberi hibah dan wakaf. Tetapi, jika ia mewakafkan kepada ahli waris sejumlah
harta yang termasuk dari hitungan 1/3 dengan masing-masing besar bagian ahli
waris, maka dapat lestari tanpa persetujuan ahli waris yang lain dan mereka
yang menerima wakaf tidak boleh membatalkan wakaf.
Wasiat
kepada masing-masing ahli waris sebesar bagian semestinya, -misalnya 1/2 dan
1/3-, maka wasiat tersebut tidak ada gunanya, sebab jumlah (bagian) yang
didapatkan itu bisa dimiliki tanpa wasiat. Hal ini tidak membuat Mushi
berdosa.
Bila ia berwasiat kepada masing-masing
ahli waris dengan suatu barang yang nilainya sebesar bagian pastinya,
-misalnya ia meninggalkan dua anak laki-laki, seorang budak dan rumah yang
berharga sama dengan budak, lalu ia mengkhususkan masing-masing budak/rumah
untuk masing-masing putra-, maka wasiatnya sah, jika kedua-duanya menyetujui
pembagian tersebut.
Bila Mushi mewasiatkan
sesuatu kepada orang-orang fakir. maka bagi Washi (pemegang urusan wasiat)
tidak boleh memberikan sebagian dari barang wasiat kepada ahli waris Mushi,
sekalipun mereka adalah orangorang yang fakir, sebagaimana Nash Asy-Syafi’i
dalam Al-Um.
Wasiat sah dengan kata: “Benkanlah
kepadamu sekian, setelah aku mati (sekalipun tidak mengatakan dari hartaku)”,
“Kuhihahkan barang ini kepadanya setelah aku mati”, “Barang ini kujadikan
kepadanya setelah aku mati”, atau “Barang ini menjadi miliknya setelah aku
mati”, karena dengan adanya pengaitan atas kematian, maka bermakna wasiat.
Juga
sah dengan kata: “Aku berwasiat untuknya sekian”, sekalipun tidak mengatakan
“setelah aku mati”, karena syarak menentukan wasiat untuk dimiliki setelah
mati.
Bila Mushi menyingkat menjadi semacam,
“Kuhibahkan barang ini kepadanya”, maka menjadi hibah yang ditunaikan
seketika, atau menjadi semacam, “Berilah dia dari hartaku” atau “Berilah
sekian si Fulan dari hartaku”, maka menjadi perwakilan, yang justru habis masa
berlakunya lantaran semacam mati, dan bukan sebagai kinayah wasiat.
Atau
menyingkat menjadi kata: “Barang ini kujadikan untuknya”, maka bisa menjadi
wasiat dan bisa juga hibah, jika diketahui niat untuk salah satunya, tetapi
jika niat tersebut tidak diketahui, maka batal.
Atau
meningkat menjadi “1/3 hartaku milik orang-orang fakir”, maka merupakan ikrar
dan bukan wasiat. Ada yang mengatakan: Wasiat untuk orang-orang fakir. Kata
Guru kita: Yang jelas seperti itu sebagai kinayah wasiat.
Atau
menjadi: “Barang itu untuknya”, maka itu sebagai ikrar, dan jika ditambah
dengan “dari hartaku”, maka menjadi kinayah wasiat.
Segolongan
fukaha Mutaakhirun menjelaskan, sah ucapan seseorang yang berutang kepadanya,
“Bila aku mati, maka prutangku yang ada di tanganmu, berikanlah kepada si
Fulan/bagi-bagikan kepada orangorang fakir”. Dakwaan pengutang, bahwa
penyutang telah mengatakan seperti itu tidak bisa diterima, tapi harus dengan
mengemukakan bayinah.
Wasiat bisa menjadi sah
dengan Kinayah: misalnya: “Kutentukan barang ini untuknya”, “Kupisahkan barang
ini untuknya”, atau “Hamtku ini untuknya”.
Surat
wasiat statusnya adalah sebagai wasiat kinayah, Karena itu, bisa menjadi sah
jika disertai niat wasiat, sekalipun si penulis orang yang dapat berbicara,
jika penulis sendiri atau ahli warisnya bahwa surat tersebut ditulis dengan
niat wasiat.
Pengakuan ada niat wasiat belum
dianggap cukup dengan “Ini tulisanku dan apa yang tertera adalah wasiatku”.
Wasiat
dengan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Mushi bisa dihukumi sah, jika
disertai ada qabul (penerimaan) dari Musha Lah yang tertentu dan terbatas,
Jika ia orang yang berhak untuk gabul, tetapi jika ia tidak berhak untuk itu,
maka yang qabul harus walinya. Qabul tersebut ada setelah Mushi meninggal
dunia, sekalipun tidak harus spontan.
Karena itu,
qabul -begitu juga penolakan-, tidak bisa sah sebelum Mushi mati, sebab Mushi
sebelum mati boleh mencabut kembali wasiatnya. Begitu juga, Musha Lah yang
pernah menolak sebelum mati Mushi, qabul boleh setelah mati Musht”Penolakan
yang terjadi setelah ada gabul, adalah tidak sah.
Termasuk
penolakan yang sharih, “Aku menolaknya/Aku tidak mau menerimanya”, dan
termasuk kinayah penolakan, “Aku tidak butuh padanya/Aku telah cukup
tanpanya”,
Qabul tidak disyaratkan pada Musha Lah
yang tidak tertentu: misalnya orang-orang fakir, tetapi dengan kematian Mushi,
tetaplah hukum wasiat. Barang wasiat (Musha Bih) boleh dibagikan kepada tiga
orang dari mereka, dan tidak wajib menyamaratakan di antara mereka.
Bila
Musha Lah telah mengucapkan qabul setclah kematian Mushi, maka status Musha
Bih menjadi milik Musha Lah semenjak kematiar Mushi. Karena itu, berlakulat
hukum-hukum pemilikan: Kewajiban memberi nafkah, membayar fitrah, menikmati
kemanfaatan yang ada dan lain-lain.
Wasiat tidak
sah pada Musha Bih yang melebihi 1/3 dari keseluruhan harta Mushi, di mana ia
berada di ambang kematian (sakit parah): Yaitu, kebanyakan orang akan mau
karena sakit sepert itu, jika jumlah tersebut ditolak oleh ahli wans khusus
yang mempunyai tasaruf mutlak, sebab selebihnya 1/3 adalah haknya.
Bila
ahli waris tersebut tidak mempunyai wewenang tasaruf secara mutlak, jika
kemampuan tasarufnya bisa diharapkan dalam waktu dekat, maka kelebihan 1/3
tersebut dimaukufkan (ditunggu dulu) menunggu datang kemampuan tasaruf dari
ahli waris tersebut. Kalau tidak diharapkan, maka wasiat untuk jumlah yang
melebihi 1/3 tersebut adalah batal.
Bila sebagian
ahli waris menyetujuinya, maka yang sah adalah jumlah sebesar bagian ahli
waris itu saja. Bila ahli waris yang khusus menyetujui wasiat selebih 1/3,
maka gahlah wasiat itu dan penyetujuan itu melestarikan wasiat selebih 1/3.
Sakit
yang parah, misalnya: Diare yang terus-menerus, membuang kotoran masih berupa
makanan dengan amat sakit dan pedih, atau bercampur darah dari anggota
penting, musalnya hati, bukan darah bawasir, atau makanan tersebut keluar
tanpa mengalami pencemaan, demam yang berkepanjangan, dan sakit beranak yang
sekalipun sudah berulang kali melahirkan, sebab risiko yang ditanggung karena
melahirkan adalah besar nokali, karena itu, jika wanita mati lantaran
melahirkan, adalah mati syahid.
Misalnya juga
karena Masyimah (tutup bayi yang keluar bersamanya, yakni bhs. Jawa: ari-ari)
tertinggal di dalam, kcruwetan peperangan antara dua golongan dan terserang
badai bagi penumpang kapal laut, sekalipun pandai berenang dan Jekat dengan
daratan.
Adapun di masa berjangkit penyakit wabah
dan tha’un, maka tasaruf semua orang harus dari jumlah 1/3 hartanya.
Sebaiknya,
bagi orang yang ahli warisnya kaya atau miskin, agar tidak berwasiat melebihi
1/3 dari hartanya. Adapun yang lebih baik, adalah mengurangi sedikit dari 1/3
hartanya.
Terhitung 1 1/3 jumlah harta Mushi,
yaitu memerdekakan budak yang digantungkan pada kematiannya, baik ketika Mushi
dalam keadaan sehat maupun sakit. Terhitung dari 1/3 lagi, adalah tabarru’
yang dilaksanakan ketika sakit: misalnya wakaf, hibah dan ibra’.
Bila
terjadi perselisihan antara ahli waris dengan penerima hibah, mengenai apakah
hibah diberikan ketika pemberi dalam keadaan sehat atau sakit, maka yang
dibenarkan adalah pihak penerima hibah dengan disumpah, lantaran barang berada
di tangannya.
Bila seseorang menghibahkan ketika
sehat dan menyerahterimakan ketika sakit, maka barang hibah dimasukkan ke
hitungan 1/3 dari hartanya. Adapun hibah yang dilaksanakan ketika sehat, maka
terhitung dari keseluruhan hartanya, sebagaimana halnya dengan haji Islam dan
pemerdekakan budak Mustauladah.
Apabila ahli
waris mendakwa, bahwa Mutabarri’ (yang berbuat sukarela) melaksanakan
tabarru’nya ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, sedangkan orang yang
menerima tabarru’ (Mutabarra’ Alaih) mendakwa bahwa Mutabarri’ sudah sembuh
kembali dari sakitnya, dan kematiannya sebab penyakit yang lain atau mendadak,
maka jika sakit yang ada tabarru’nya itu parah, maka yang dibenarkan adalah
ahli warisnya, tetapi jika tidak parah, maka yang dibenarkan adalah Mutabarra’
Alaih.
Bila terjadi perselisihan mengenai
keberadaan tasaruf, apakah di waktu sehat ataukah ketika sakit, maka yang
dibenarkan adalah Mutabarra’ Alaih, sebab asal permasalahannya adalah sehat
berjalan terus, jika kedua-duanya mengajukan bayinah, maka yang didahulukan
pemenangnya adalah bayinah yang mengatakan ketika sakit.
Cabang:
Bila
seseorang berwasiat kepada tetangga-tetangganya, maka yang dihitung adalah 40
rumah dari 4 arah, dan bagian masing-masing adalah disesuaikan dengan jumlah
penghuninya.
Kalau berwasat untuk ulama, maka
yang diberi bagian adalah ahli hadis, yang mengetahui keadaan rawi dari segi
kuat dan lemahnya, keadaan badis dari segi salub dam tidaknya: (kedua) ahli
tafsir yang mengetahui makna tap-tiap ayat dan muksudnya: (ketiga) ahli fikih
yang mengetahui hukum-hukum syarak dari Nash dan istimbath. Yang dimaksudkan
dengan fakih di sini, adalah orang yang mengetahui sebagian dari ilmu fikih
yang cukup untuk mengetahui bagian-bagian lainnya. Ahli nahwu, sharaf, lughat
dan kalam, tidak masuk dalam golongan ulama di sini.
Dalam
hal ini sudah dianggap cukup dengan diambil tiga orang dari setiap ulama dalam
bidang ilmu tersebut secara keseluruhan atau sebagiannya.
Bila
seseorang berwasiat untuk orang yang paling alim, maka khusus untuk ahli
Fikih. Kalau untuk Qurra’ (ahli Qiraah), maka tidak diberikan, kecuali kepada
orang yang hafal Alqur-an dengan luar kepala, atau kalau wasiat untuk orang
yang paling bodoh, maka diberikan para penyembah berhala.
Bila
Mushi berkata, “Untuk orang terbodoh dari kalangan muslimin”, maka diberikan
kepada orang yang memaki para sahabat.
Dalam
riwayat untuk para fukaha, para miskin masuk di dalamnya. Begitu juga
sebaliknya.
Dalam wasiat untuk kerabat Zaid,
adalah mencakup setiap kerabat Zaid, sekalipun sudah jauh hubungan
kekerabatannya, untuk orangtua dan anak Zaid, tidak masuk di situ. Wasiat
untuk kerabat sendiri adalah tidak dimasukkan ahli warisnya.
Wasiat
yang digantungkan atas kematian, hukurnnya batal dengan pencabutan Mushi dari
wasiatnya: misalnya dengan mengucapkan: “Wasiat kurusak/kubatalkan/kucabut
kembali/kuhilangkan”. Begitu juga menjadi batal dengan pencabutan terhadap
setiap tabarru’ yang digantungkan dengan kematian, baik penggantungannya di
kala sehat maupun sakit. Bagi Mushi boleh mencabut wasiat sebagaimana hibah,
sebelum ada penerimaan, bahkan untuk wasiat melebihi (lebih utama dari) hibah.
Dari keterangan ini, maka tabarru’ yang dilaksanakan (dilestarikan) ketika
sakit, adalah tidak boleh ditarik kembali, sekalipun terhitung dalam jumlah
1/3.
Menurut pendapat Al-Aujah, adalah sah
menggantungkan pencabutan wasiat, karcna ada kebolehan menggantungkan wasiat
itu sendiri, apalagi dalam pencabutannya.
Pencabutan
wasiat dapat dengan kata: “Barang ini milik ahli warisku”/Ini warisan dariku”,
baik dalam keadaan ia lupa atas wasiatnya atau ingat.
Guru
kita ditanya mengenai orang yang berwasiat kepada orang lain sejumlah 1/3 dari
hartanya, kecuali buku-bukunya, lalu selang beberapa waktu ia mewasiatkan
sejumlah 1/3 dari hartanya tanpa kecuali: Mana yang dilaksanakan dari dua
wasiat tersebut Pertama atau kedua?
Jawab beliau:
Menurut yang lahir, bahwa wasiat yang dilaksanakan adalah yang pertama,
lantaran di sini Mushi mengecualikan buku-bukunya, sedangkan wasiat yang kedua
dimungkinkan ia meninggalkan pengecualian lantaran membatalkan pengecualian
tersebut, padahal hash itu didahulukan dari Muhtamil (yang masih ada nilai
kemungkinan),
Pencabutan wasiat dapat dengan
dijual atau digadaikan, sckalipun diambil barangnya, dengan ditawarkan untuk
dijual atau digadaikan, dengan mewakilkan untuk keduanya, dan dengan ditanami
pepohonan (bangunan), lain halnya dengan ditanami tanaman yang bersifat
sementara.
Bila Mushi menanami pepohonan seperti
di atas pada bagian tanah wasiat, maka khusus bagian itu pula pencabutan
wasiat.
Tidak termasuk pencabutan, jika lantaran
ada tujuan (misalnya: takut dari orang zalim) yang akhirnya Mushi mengingkari
ada wasiat.
Bila seseorang berwasiat sesuatu
kepada Zaid, lalu barang tersebut diwasiatkan lagi kepada Amr, maka wasiat
kedua bukan berarti rujuk (mencabut) yang pertama, tetapi Musha Bih harus
dibagi menjadi dua bagian: Kalau mewasiatkannya lagi kepada orang ketiga, maka
Musha Bih harus dibagi menjadi tiga bagian dan seterusnya. Begitulah yang
dikatakan oleh Asy-Syekh Zakariya di dalam Syarhul Minhaj.
Bila
berwasiat untuk Zaid sebesar 100,lalu wasiat lagi 50,-, maka Musha Bih yang
diberikan kepada Zaid hanya 50,-, karena wasiat kedua mengandung pencabutan
pada sebagian yang pertama. Demikianlah yang dikatakan An-Nawawi.
Sedekah
atas nama mayat dapat bermanfaat baginya, baik dari ahli waris atau bukan.
Termasuk arti sedekah: Mewakafkan Alqur-an atau lainnya, membangun mesjid,
menggali sumur dan menanam pohon, ketika pelaku masih hidup atau dikerjakan
oleh orang atas nama mayat.
Doa dapat bermanfaat
terhadap mayat menurut ijmak. Tersebut dalam hadis: “Sesungguhnya Allah Swt.
mengangkat derajat seorang hamba di dalam surga lantaran istigfar anak
atasnya.” Sedangkan firman Allah swt. yang artinya: “Dan sesungguhnya seorang
manusia tiada memperoleh, kecuali yang ia lakukan” (Q.S. An-Najm: 39), adalah
‘Am yang di-takhshish dengan ijmak dan hadis di atas. Ada yang mengatakan
bahwa ayat tersebut sudah dimansukh.
Makna
“sedekah bermanfaat bagi mayat”, seolah-olah si mayat yang melakukan sedekah.
Asy-Syafi’i berkata: Termasuk keluasan anugerah Allah swt., Dia berkenan
memberi pahala terhadap orang yang bersedekah juga.
Berdasarkan
keterangan tersebut, lala Ashhabuna berkata: Niat sunah bersedekah atas nama
kedua orangtua misalnya, karena Allah swt. akan memberikan pahala kepada
mereka dan sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang bersedekah.
Makna
“doa bermanfaat bagi mayat”: Mayat mendapatkan isi yang terkandung dalam doa
itu jika terkabuikan, dan tentang keterkabular’doa terserah sepenuhnya pada
anugerah Allah swt. Adapun pahala doa itu sendiri, adalah untuk yang berdoa,
karena berdoa itu merupakan syafaat, yang pahalanya dimiliki Syafi’ (penolong)
dan pertolongannya sendiri diberikan kepada orang yang dimaksud.
Tetapi,
kalau doa itu dari anak kepada orangtua yang telah meninggal dunia, maka
pahala juga bisa dimiliki olehnya, karena lantaran orangtua, wujudlah anak,
sehingga amal seorang anak termasuk jumlah amal orangtuanya, sebagaimana yang
telah diterangkan dalam suatu hadis: “Perbuatan manusia itu menjadi putus
(setelah ia mati), kecuali atas tiga (perkara).” . Kemudian beliau saw.
bersabda: …. atau anak saleh, maksudnya muslim yang mendoakannya. Di sini Nabi
saw. menjadikan doa seorang anak termasuk amal orangtuanya.
Tentang
pahala membaca Alqur-an, An-Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim: Pendapat
yang masyhur dari mazhab Syarfi’i, bahwa pahalanya tidak dapat sampai kepada
mayat.
Sebagian Ashhabuna (fukaha Mutaqaddimin
dari Syafi’iyah) berkata: Pahala pembacaan Alqur-an dapat sampai kepada mayat
dengan semata-mata ditujukan kepadanya, sekalipun penujuan tersebut dilakukan
setelah membacanya. Pendapat ini dipegangi oleh tiga mazhab yang lain, dan
yang memilih kebanyakan imam kita serta dibuat pedoman As-Subki dan
lainnya.
Selanjutnya, As-Subki berkata: Menurut
dalil yang diistinbathkan dari hadis, bahwa sebagian Alguran jika dimaksudkan
manfaatnya untuk mayat, maka akan bermanfaat baginya. Masalah ini beliau
menjelaskannya.
Segolongan ulama mengarahkan yang
dikatakan An-Nawawi di atas, pada masalah pembacaan Alqur-an tidak di hadapan
mayat yang pembacanya tidak berniat memberikan pahalanya kepada mayat, atau
sudah berniat, tetapi tidak didoakan.
Asy-Syafi’i
dan ashhabnya telah menetapkan sunah membaca yang mudah dari Alqur-an di sisi
mayat dan berdoa setelah membaca Al-Quran, adalah lebih dapat diharapkan
keterkabulannya. Di samping itu, si mayat dapat memperoleh berkah bacaan,
sebagaimana orang hidup yang hadir di situ.
Ibnush
Shalah berkata: Sebaiknya (kita) memantabkan doa dengan manfaatnya, “Ya,
Allah! Sampaikanlah pahala bacaanku kepada si Anu…”, maksudnya, pahala sebesar
bacaan Alqur-an itu sendiri, sekalipun tidak dijelaskan sekian, karena bila
kemanfaatan isi doa dapat diperoleh selain pendoa (mayat), maka lebih-lebih
untuk pendoa itu sendiri. Semua ini berlaku juga untuk semua amal dari salat,
puasa dan lain-lainnya.
BAB FARAID (WARIS) - بَابٌ الْفَرَائِضِ
Maksudnya: Masalah-masalah pembagian harta warisan.
Lafal
Faraidh jamak dari faridhah yang bermakna “mafrudhah”. Fardu menurut lughat
artinya “kepastian”, sedang menurut syarak dalam kaitannya dengan bab ini,
adalah “bagian yang ditentukan untuk ahli waris”.
Ahli
waris dari jenis laki-laki jumlahnya ada 10 orang: Anak laki-laki, cucu
laki-laki, ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki seayah-seibu/
seayah/seibu, anak laki-laki saudara sekandung/seayah (yang seibu tidak
termasuk), paman (saudara laki-laki dari ayah), anak laki-laki paman
sekandung/seayah (paman yang seibu tidak termasuk), suami dan orang laki-laki
yang memerdekakan budak (mu’tiq).
Ahli waris dari
jenis perempuan jumlahnya ada 7: Anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki, ibu, nenek (dari ayah atau ibu), saudara perempuan, istri dan
perempuan yang memerdekakan budak (mu’tiqah).
Apabila
seluruh ahli waris di atas tidak ada, maka menurut Ashlul Mazhab, adalah
Dzawul Arham tidak bisa mewaris dan bila dalam pembagian waris yang ada, hanya
sebagian saja dari ahli waris, maka kelebihan harta waris yang ada, akan
tetapi harta harus diserahkan pada Baitulmal.
Kemudian,
bila Baitulmal sendiri sudah tidak tertib, maka kelebihan harta warisan dapat
diberikan kepada ahli waris yang ada selain suami. dan istri dengan besar
bagian menurut fardu mereka masing-masing, dan bila Ashhabul Furudh
(orang-orang yang berhak mendapatkan bagian tertentu) tidak ada, maka
diberikan kepada Dzawul Arham.
Dzawul Arham
berjumlah 11 orang: Cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara
laki-laki, anak (laki/perempuan) saudara perempuan, anak perempuan saudara
lakilaki, anak perempuan paman, paman seibu, saudara laki-laki ibu, saudara
perempuan ibu, saudara perempuan ayah, ayah dari ibu, ibu dari ayahnya ibu,
anak-anak saudara laki-laki yang seibu.
Besar
bagian yang ditentukan di dalam Alqur-an ada 6: 2/3, 1/2, 1/4, 1/8, 1/3 dan
1/6.
Dzawul Furudh yang mendapatkan bagian 2/3
ada 4 orang: Dua anak perempuan atau lebih, cucu perempuan dari anak
laki-laki, saudara perempuan seayah-seibu dan saudara perempuan seayah
saja.
Anak perempuan, cucu perempuan dari garis
laki-laki, saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah
diashabahkan (Ashabah Bilghair) oleh saudara laki-laki mereka (anak laki-laki,
cucu laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya) menyamai dalam rutbah
(tingkat tua-muda suatu keturunan) dan idla’ (kedekatan hubungan darah,
misalnya seibu-seayah lebih dekat dari yang seayah saja).
Karena
itu, cucu laki-laki dari garis laki-laki tidak dapat mengashabahkan anak
perempuan dan anak lakilaki cucu laki-laki tidak dapat mengashabahkan cucu
perempuan dari garis laki-laki, sebab tidak menyamai dalamrutbahnya. Demikian
juga saudara laki-laki sekandung, tidak dapat mengashabahkan saudara perempuan
seayah dan saudara laki-laki seayah tidak dapat mengashabahkan saudara
perempuan sekandung, karena tidak ada kesamaan dalam idla’nya sekalipun sama
dalarn rutbahnya.
Anak perempuan dan cucu
perempuan dari garis laki-laki dapat mengashabahkan saudara perempuan
sekandung dan seayah (Ashabah Ma’al Ghair).
Makna
dari Ashabah Ma’al Ghair: Saudara sekandung/seayah jika bersama anak
perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki, maka bagiannya adalah ashabah
(menerima kelebihan bagian furudh anak perempuan/cucu perempuan dari garis
laki-laki), karena itu, saudara sekandung/seayah jika berkumpul dengan anak
perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki, maka akan menggugurkan furudh,
saudara laki-laki sekandung dapat menggugurkan saudara laki-laki seayah.
Furudh
1/2 adalah bagian 5 orang: 4 perempuan tersebut di atas ketika mereka
sendirian dan tidak ada yang mengashabahkannya dan bagian suami, jika istri
tidak mempunyai anak yang dapat mewaris, baik lakilaki maupun perempuan.
Furudh
1/4 adalah bagian 2 orang: Suami yang bersama anaknya (anak keturunan si
mayat) dan seorang istri atau lebih ketika suami tidak meninggalkan anak.
Furudh
1/8 adalah bagian istri jika suami meninggalkan keturunan (anak).
Furudh
1/3 adalah bagian 2 orang: Ibu jika mayat tidak meninggalkan keturunan yang
dapat mewarisi dan tidak ada dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki atau
perempuan, dan dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki atau
perempuan.
Furudh 1/6 adalah bagian 7 orang: Ayah
dan kakek (dari ayah) jika mayat meninggalkan keturunan yang mewaris, Ibu,
jika mayat meninggalkan keturunan atau dua orang saudara atau
lebih/laki-laki/perempuan, Nenek-ibu dari ayah/ibu terus ke atas, baik ia
bersama saudara mayat (sekandung/seayah/seibu/ laki-laki/perempuan) maupun
tidak. Nenek bisa mendapatkan bagian 1/6, jika tidak terurut dari seorang
lakilaki di antara dua perempuan jika terurut, misalnya: ibu dari ayahnya ibu
si mayat, maka nenek seperti ini tidak bisa mewarisi sebagai kekhususan
kerabat, sebab ia termasuk : Dzawul Arham.
(Bagian
1/6 juga atas): Cucu perempuan dari garis laki-laki (seorang atau lebih), jika
bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki yang lebih
dekat kepada mayat, Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang jika
berkumpul dengan saudara perempuan sekandung: dan seorang saudara
perempuan/laki-laki seibu.
Furudh 1/3.sisa dari
suami/istri bukan 1/3 dari keseluruhan harta, adalah bagian ibu yang berkumpul
bersama suami/istri dan ayah. Ibu dalam keadaan.seperti ini diberi 1/3 bagian
(sisa), agar ayah mendapatkan dua kali lipat yang diperoleh ibu.
Bila
ibu bersama suami dan ayah, maka asal masalah dijadikan 6: Untuk suami 3. ayah
2, dan untuk ibu 1.
Apabila ibu bersama istri dan
ayah, maka asal masalah dijadikan 4: Untuk istri’1, ibu 1 dan ayah 2.
Ahli
Faraid mengabdikan pemakaian kata “Tsuluts (sepertiga)”, karena menjaga
kesopanan yang sesuai dengan firman Allah swt.: “… dan kedua orangtua
mewarisnya, maka untuk ibunya ada bagian sepertiga” (O.S. An-Nisa’:11). Kalau
tidak menjaga adab seperti itu, maka untuk contoh pertama ibu mengambil bagian
1/6 dan yang kedua mengambil bagian 1/4.
HIJAB (PENGHALANG HAK FURUDH)
Cucu (laki-laki/perempuan) mahjub (terhalang) oleh anak laki-laki
atau cucu laki-laki, yang lebih dekat kepada mayat. Kakek mahjub oleh ayah.
Nenek
dari garis ibu mahjub oleh ibu, karena idla’ padanya. Nenek dari garis ayah
mahjub oleh ayah karena turut idla padanya, dan oleh ibu menurut ijmak.
Saudara laki-laki sekandung mahjub oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki
dari garis laki-laki terus ke bawah.
Saudara
laki-laki seayah mahjub oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari garis
laki-laki, saudara lakilaki sekandung dan saudara perempuan sekandung yang
bersamaan dengan anak perempuan/cucu perempuan dari garis laki-laki seperti
yang telah dituturkan.
PASAL: TENTANG ASAL MASALAH (AM)
Bilangan Asal Masalah ditentukan dengan cara menghitung jumlah
orang, jika ahli waris semuanya adalah Ashabah, misalnya 3 orang anak
laki-laki atau 3 orang paman, maka asal masalahnya adalah 3.
Bila
jenis laki-laki kumpul dengan perempuan (dalam ashabah nasab), maka laki-laki
diperhitungkan dua perempuan. Karena itu, berkumpulnya anak laki-laki dengan
anak perempuan, harta tinggalan dibagi tiga (AM:3), untuk anak laki-laki 2 dan
untuk anak perempuan 1 bagian.
Makharijul Furudh
(angka-angka penyebut): 2,3,4,6,8,12,24, (angka-angka tersebut yang nantinya
dijadikan AM atau KPK).
Apabila dalam pembagian
waris terdapat dua furudh atau lebih, maka jika angka penyebutnya sama, maka
AM adalah salah satu penyebut angka tersebut, misalnya: Suami (1/2) dan
saudara perempuan (1/2), maka AM: 2. (Masalah ini disebut Mumatsalah).
Jika
terjadi tadakhul (angka penyebut terbesar habis terbagi penyebut terkecil),
maka AM: Angka penyebut terbesar. Misalnya: Ibu (1/6), 2 orang saudara
laki-laki seibu (1/3) dan saudara laki-laki sekandung/ seayah (ash), maka AM:
6. (Masalah ini disebut Mudakhalah). Demikian pula, angka penyebut terbesar
yang dibuat AM (padahal tidak tadakhbul) dalam masalah istri (1/4), ibu (1/3
bag) dan ayah (ash). (Maka AM: 4. Bagian istri: 14 x 4 = 1, untuk ibu 1/3×3=1,
sisanya 2 untuk ayah).
Jika terjadi tawafuq
(semua angka penyebut dapat dibagi habis suatu angka sama, tetapi angka ini
tidak terdapat pada penyebutnya yang ada, hasil pembagian tersebut disebut
Wifiq), maka AM: Wifiq dari angka penyebut yang lain: misalnya ibu (1/6),
istri (1/8), dan anak laki-laki (ash), maka AM: 24. Yaitu: 6:2=3 8:2=4, maka
hasil pembagian pada penyebut pertama (3) dikalikan pada penyebut kedua (8),
(masalah ini disebut Muwafaqah).
Jika terjadi
tabayun (semua angka penyebut tidak habis dibagi suatu angka kecuali angka 1,
angka-angka penyebut tidak sama, dan angka terbesar tidak dapat dibagi oleh
yang terkecil), maka AM: Mengalikan angka penyebut yang satu pada penyebut
yang lain: misalnya ibu (1/3), istri (1/4) dan satu orang saudara
sekandung/seayah (ash), maka AM: 3×4=12,
Dalam
pembagian waris yang terdiri dua furudh, yang masing-masing 1/2, misalnya
suami dan saudara perempuan seayah, atau furudh yang satu 1/2 dan yang satunya
menerima ashabah, misalnya suami berkumpul dengan saudara laki-laki seayah,
maka AM: 2: yaitu angka penyebut pada pecahan 1/2.
Atau
dalam pembagian terdapat furudh 2/3 dan 1/3, misalnya 2 saudara perempuan
seayah dan 2 saudara perempuan seibu, atau furudh 2/3 dan ashabah, misalnya 2
anak perempuan dan satu orang saudara laki-laki seayah, atau furudh 1/3 dan
ashabah, misalnya, ibu bersama paman, maka AM: 3: yaitu diambil dari makhraj
1/3.
Atau furudh 1/4 dan ashabah, misalnya istri
bersama paman, maka AM: 4: yaitu makhraj 1/4.
Atau
terdiri furudh 1/6 dan ashabah, misalnya ibu dan anak laki-laki: atau furudh
1/6 dan 1/3, misalnya ibu dan 2 orang saudara laki-laki seibu, atau terdiri
furudh 1/6 dan 2/3, misalnya ibu dan 2 saudara perempuan seayah: atau furudh
1/6 dan 1/2, misalnya, ibu dan anak perempuan, maka AM: 6: yaitu terambil dari
makhraj 1/6.
Atau terdiri dari furudh 1/8 dan
ashabah, misalnya istri dan anak laki-laki, atau furudh 1/8 dan 1/2 + ashabah,
misalnya: istri + 1 anak perempuan + 1 saudara laki-laki seayah, maka AM: 8:
yaitu diambil dari makhraj 1/8.
Atau terdin dani
furudh 1/4 dan 1/6, musalnya-istri dan saudara laki-laki seibu, maka AM: 12:
yaitu perkalian wifiq penyebut pertama dengan angka penyebut kedua.
Atau
terdiri dari furudh 1/8 dan 1/6, misalnya istri + nenek + anak laki-laki, maka
AM: 24: yaitu dengan pengalian wifiq penyebut satu pada penyebut yang
lainnya.
Asal Masalah (AM) yang mengalami Aul
(kenaikan bilangan AM lantaran siham Dzawul Furudh bertambah) itu ada tiga.
AM
6 naik (aul) sampai 10 dalam bilangan gasal (ganjil) dan genap. AM 6 aul
menjadi 7, misalnya: suami (1/2) dan 2 saudara perempuan sekandung/seayah
(2/3) (AM: 6: 1/2x 6 = 3, 2/3 x 6 = 4, maka siham Dzawul Furudh jika kita
jumlah: 2), AM: 6 aul menjadi 8, misalnya suami (1/2), 2 saudara perempuan
sekandung/seayah (2/3) dan ibu (1/6). AM 6 aul menjadi 9, misalnya kumpulnya
Dzawul Furudh pada masalah kedua di atas ditambah Saudara laki-laki seibu
(1/6). AM 6 aul menjadi 10, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah
ketiga ditambah 1 atau lebih saudara lakilaki seibu (1/3).
AM
12 aul menjadi 17 dalam bilangan gasal. AM 12 aul menjadi 13, misalnya istri
(1/4), ibu (1/6) dan 2 saudara perempuan sekandung/ seayah (2/3). AM 12 aul
menjadi 15, misalnya kumpulnya Dzawul Furudh pada masalah pertama ditambah 1
saudara laki-laki seibu (1/6). AM 12 aul menjadi 47, misalnya kumpulnya Dzawul
Furudh pada masalah pertama ditambah 2 saudara laki-laki seibu (1/3).
AM
2/A dapat aul menjadi 27 saja, misalnya 2 anak perempuan (2/3), istri (1/8),
ayah (1/6) dan ibu (1/6): maka sihamnya 2 anak perempuan adalah 2/3 x 24 = 16,
istri adalah 1/8 x 24=3, ayah dan ibu adalah 1/6 x 24=54.
Masalah
naik AM 24 menjadi 27 tersebut disebut Mimbariyah, karena sahabat Ali r.a.
berpidato di atas mimbar di Kufah dan mengatakan: “Segala puji milik yang
menentukan hukum dengan hak dan membalas setiap orang sesuai usahanya, dan
hanya kepada-Nya-lah tempat kembali …”, lalu beliau ditanya masalah waris
seperti ini, maka jawab beliau spontan, “Siham istri menjadi 1/9 harta
(3/27)”, kemudian beliau melanjutkan pidatonya.
Para
ulama faraid menaikkan dalam tiga AM di atas, agar pengurangan bagian Dzawul
Furudh bisa merata, sebagaimana halnya dengan orang-orang yang mempunyai
piutang dan wasiat, jika ternyata harta peninggalan tidak mencukupi bagian
mereka semua.
Saudara laki-laki seibu mahjub oleh ayah, kakek dari
garis ayah seterusnya, dan keturunan mayat yang dapat mewaris dan terus ke
bawah, baik laki-laki maupun perempuan.
Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung mahjub oleh ayah, kakek, anak laki-laki,
cucu laki-lgki dari garis laki-laki terus ke bawah, saudara laki-laki
sekandung dan saudara laki-laki seayah.
Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah mahjub oleh 6 orang penghalang di atas, dan
anak laki-laki saudara laki-laki sekahdung, karena yang terakhir. ini lebih
kuat daripadanya.
Paman sekandung mahjub oleh 7
orang penghalang di atas dan anak laki-laki saudara laki-laki seayah. Paman
seayah mahjub oleh 8 orang penghalang di atas dan paman sekandung.
Anak
laki-laki paman sekandung mahjub oleh 9 orang penghalang di atas dan paman
seayah. Anak laki-laki paman seayah mahjub oleh 10 orang penghalang di atas
dan anak laki-laki paman sekandung.
Cucu
laki-laki saudara laki-laki sekandung dari garis laki-laki mahjub oleh anak
laki-laki saudara laki-laki seayah, karena yang kedua ini lebih dekat daripada
yang pertama.
Cucu-cucu perempuan dari garis
laki-laki mahjub oleh anak laki-laki atau 2 ke atas anak perempuan, jika
mereka tidak diashabahkan oleh saudara laki-laki — cucu perempuan tersebut
(cucu laki-laki mayat dari garis laki-laki) atau anak laki-laki paman cucu
perempuan di atas. Jika cucu perempuan di atas diashabahkan oleh saudara
laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya, maka cucu perempuan mengambil
bagian ashabah dengan pengashabahnya. setelah 2/3 harta diambil oleh 2 atau
lebih anak perempuan mayat.
Saudara perempuan
seayah mahjub oleh 2 atau lebih saudara perempuan sekandung, kecuali jika
saudara lakilaki yang mengashabahkannya, maka ia akan diashabahkan. Saudara
perempuan seayah juga mahjub oleh seorang saudara perempuan sekandung yang
bersamaan anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki.
Ketahuilah,
bahwa cucu laki-laki dari garis laki-laki adalah seperti anak laki-laki, cuma
waktu bersama anak perempuan ia tidak dapat mengambil bagian dua kali lipat
anak perempuan (sebab ruthbahnya tidak sama, tetapi seorang anak perempuan
menerima 1/2, sedang cucu laki-laki tersebut menerima ashabah).
Nenek
itu seperti ibu, cuma ia tidak bisa mewaris 1/3 atau 1/3 sisa (baq), tetapi
furudhnya selalu 1/6.
Kakek itu seperti ayah,
cuma saja ia tidak dapat menghalangi saudara laki-laki sekandung/seayah.
Cucu
perempuan dari garis laki-laki itu seperti anak perempuan, cuma saja ia dapat
dihalangi oleh anak laki-laki.
Saudara laki-laki
seayah itu seperti saudara laki-laki sekandung, cuma saja ketika bersama
saudara perempuan sekandung ia tidak dapat menerima bagian dua kali lipat
(sebab ia tidak mengashabahkannya lantaran idla’nya tidak sama, tetapi Saudara
perempuan sekandung mengambil bagian 1/2, sedangkan dia menerima ashabah).
Harta
pusaka yang tersisa dari semua Dzawul Furudh atau seluruh harta pusaka tidak
ada Dzawul Furudhnya, adalah bagian waris ashabah (Ashabah Binafsih), dan
kalau harta sudah dihabiskan oleh Dzawul Furudh, maka gugurlah bagian
ashabah.
Ashabah Binafsih adalah: 1. Anak
laki-laki, 2. Cucu laki-laki dari garis laki-laki terus ke bawah, 3. Ayah: 4.
Kakek dari garis ayah ke atas, 5. Saudara laki-laki sekandung, 6. Saudara
laki-laki seayah, 7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung: 8. Anak
laki-laki saudara lakilaki seayah 9. Paman sekandung: 10. Paman seayah, 11.
Anak laki-laki paman sekandung: 12. Anak lakilaki paman seayah, 13. Paman
kakek, 14. Anak laki-laki paman kakek, dan seterusnya.
Setelah
Ashabah Nasab seperti di atas, lalu Ashabah Wala’, yaitu laki-laki/perempuan
yang pernah memerdekakan si mayat (Mu’tiq). Urutan ashabah setelah Mu’tiq
adalah Ashabah Nasab Mu’tiq yang laki-laki, bukan yang perempuan (Ashabah
Bilghair dan Ma’al Ghair). Dalam masalah waris wala’ (bukan nasab), kakek
diakhirkan daripada saudara laki-laki dan anak laki-laki saudara,
Setelah
itu Mu’tiq dari Mu’tiq, lalu ashabahnya.
Bila
beberapa anak laki-laki berkumpul dengan anak-anak perempuan atau
beberapasaudara laki-laki berkumpul dengan saudara-saudara perempuan, maka
harta pusaka milik mereka bersama, Bagi yang laki-laki menerima bagian dua
kali dari bagian yang perempuan. Lelaki dilebihkan daripada yang perempuan,
karena laki-laki mempunyai tanggung jawab atas kewajiban perempuan, seperti
perang dan lainnya.
Dalam masalah tersebut
(pelipatgandaan bagian laki-laki) cucu lakilaki dari garis laki-laki (ketika
bersama cucu perempuan dari garis lakilaki), seperti anak laki-laki (ketika
bersama anak perempuan) dan saudara laki-laki seayah (ketika bersama saudara
perempuan seayah), seperti saudara-laki-laki sekandung (ketika bersama saudara
perempuan sekandung).
PASAL (TENTANG BARANG TITIPAN)
Sah menitipkan barang yang dianggap baik (muhtaram) dengan
ucapan, “Barang ini kutitipkan kepadamu/Barang ini aku minta kamu mau
menjaganya/Ambillah barang ini”, tetapi untuk ucapan yang terakhir ini harus
disertai niat.
Haram menerima Wadi’ah (titipan)
bagi orang yang tidak mampu menjaganya dan makruh menerimanya bagi orang yang
tidak optimis dapat menjaganya.
Wadi’ (penerima
titipan) wajib menanggung. (kerugian) barang titipan sebab menitipkannya
kepada orang lain, sekalipun kepada gadhi, tanpa seizin pemilik barang. Tidak
berkewajiban menanggungnya, jika penitipan kembali ia lakukan karena uzur
semisal sakit, bepergian, khawatir koyak atau tempat penyimpanan barang
titipan mau roboh.
Juga wajib menanggung sebab
meletakkan Wadi’ah di tempat yang tidak sepatutnya, memindahkannya ke tempat
yang tidak sepatutnya, tidak menyingkirkan hal-hal yang dapat merusakkannya,
misalnya tidak memberi udara pada pakaian bulu atau tidak mernakainya ketika
dibutuhkan untuk itu, menyimpang dari penjagaan yang diperintahkan oleh
pemilik barang (wadi’ah), mengingkarinya, menunda penyerahannya tanpa ada uzur
setelah diminta oleh pemiliknya, dan sebab memanfaatkannya, misalnya dipakai
atau ditunggangi yang bukan untuk keperluan pemilik.
Wajib
juga menanggung sebab misalnya mengambil satu dirham dari dalam kantong yang
berisikan dirham-dirham tutupan, sekalipun ia mengembalikannya lagi ke situ
yang sama dengan yang diambil. Karena itu, ia wajib menanggung seluruh dirham
dalam kantong, jika ia kembalikan tadi tidak dibedakan dengan yang lain, sebab
ia telah mencampur dirham dalam kantong dengan miliknya tanpa bisa dibedakan:
maka ia dianggap melampaui batas (zalim). Jika bisa dibedakan dengan semacam
cetakannya atau dirham yang ia kembalikan adalah dirham yang ia ambil, maka ja
wajib menanggung satu dirham yang ia ambil saja.
Sebagaimana
wakil/teman perseroan/Amil qiradh, maka Wadi’ juga dibenarkan dengan sumpah
tentang pengakuannya, bahwa ia telah mengembalikan barang titipan kepada orang
yang telah memberinya kepercayaan, bukan kepada ahli warisnya.
Dibenarkan
juga tentang pengakuan Wadi’, “engkau tidak mempunyai wadi’ah di sisiku”,
tentang kerusakan barang titipan (wadi’ah) yang dituturkan secara mutlak, atau
rusak sebab yang samar misalnya dicuri orang atau sebab yang jelas, seperti
terbakar yang tidak melanda secara umum, Jika kebakaran terjadi secara umum,
maka wadi’ tidak boleh disumpah sekira tidak ada kecurigaan padanya.
Faedah:
Berbuat
dusta itu hukumnya Haram.
Berdusta itu terkadang
hukumnya Wajib, Sebagaimana ketika ada orang zalim menanyakan wadi’ah untuk
diambilnya, maka orang yang ditanya wajib mengingkarinya, sekalipun dengan
cara berdusta, dan ia diperbolehkan bersumpah untuk mengingkarinya dengan cara
tauriyah (menyampaikan kalimat yang pemahamannya bisa bermacam-macam).
Jika
ia tidak mau mengingkari keberadaan wadi’ah di sisinya dan ia tidak mampu
menolaknya dalam memberitahukannya, maka ia wajib menanggung wadi’ah
tersebut.
Demikian juga wajib berdusta, jika ada
orang yang maksum bersembunyi dari pengejaran orang zalim yang mau
membunuhnya.
Terkadang berdusta hukumnya boleh,
sebagaimana jika tanpa berdusta, maka maksud peperangan. mendamaikan dari
percekcokan dan melegakan hati sang istri tidak sempurna.
Bila
seseorang membawa wadi’ah yang tidak diketabui lagi siapa pemiliknya, dan
setelah diadakan penelitian secukupnya masih tidak diketahuinya, maka ia wajib
mentasarufkan ke pos-pos tempat kewajiban imam mentasarufkan ke situ, yaitu
kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslim dengan mendahulukan orang-orang yang
terjepit dan yang sangat membutuhkan bantuan, bukan untuk pembangunan semacam
mesjid.
Apabila udak mengetahui pos-pos tersebut,
maka wajib diserahkan kepada orang yang tepercaya dan mengetahui
kemaslahatan-kemaslahatan yang wajib diutamakan. Menyerahkan kepada orang yang
lebih wirai (alim), adalah lebih utama.
PASAL (TENTANG LUQATHAH/BARANG TEMUAN)
Barangsiapa yang menemukan sesuatu (Luqathah), yang tidak
dikhawatirkan rusak, misalnya mata uang, emas, perak dan tembaga di tempat
ramai atau belantara, maka ia wajib mengumumkannya selama satu tahun di
pasar-pasar dan pintupintu mesjid.
Bila jelas
pemiliknya (maka diserahkan kepadanya), tetapi jika tidak tampak, ia boleh
memilikinya dengan ucapan “kumiliki”, dan boleh juga menjualnya, lalu uang
penjualannya disimpan.
Kalau Luqathah tersebut
barang yang dikhawatirkan rusak, misalnya jenang Harishah, sayur-mayur,
buah-buahan yang dapat dikeringkan, maka penemu (Multaqith), boleh memilih
antara memakannya lalu nanti mengganti harga dan menjualnya (dengan seizin
hakim), dan setelah dijual, ia harus mengumumkannya untuk memiliki harga
penjualan setelahitu.
Bila terdapat pemiliknya,
maka ia harus mengganti seharga barang itu, jika barang telah ia makan, atau
memberikan harga penjualan jika barang telah dijual.
Mengenai
pengumuman setelah barang dimakan terdapat dua pendapat, sedang yang lebih
sahih adalah wajib mengumumkan di tempat ramai, dan jika di tempat belantara,
maka Imam Al-Haramain berpendapat, bahwa yang lahir adalah tidak wajib
mengumumkannya, sebab tiada faedahnya.
Bila
seseorang menemukan semacam dirham di dalam rumahnya sendiri dan ia
memperkirakan bisa jaga dirham tersebut milik orang-orang yang masuk ke
rumahnya, maka wajib ke mengumumkannya kepada mereka seperti Luqathah,
demikianlah kata Al-Qaffal.
Luqathah yang berupa
barang remeh, yang biasanya tidak diabaikan, ada yang mengatakan bahwa barang
remeh itu semisal satu dirham, adalah: wajib diumumkan sepanjang masa yang
diperkirakan setelah masa itu berlalu, maka pemiliknya mengabaikannya pada
kebiasaan.
Jangka masa itu berbeda-beda menurut
keadaan barang: Kalau satu danif perak, maka spontan waktu ditemukannya, dan
kalau barang itu berupa emas, maka diumumkan selama tiga hari.
Adapun
barang yang biasanya diabaikan orang, misalnya satu butir anggur, maka
penemunya bebas memulikinya tanpa mengumumkan terlebih dahulu.
Barangsiapa
yang mengetahui Luqathah, lalu diangkat dengan kakinya untuk sckadar
mengenalinya, lalu ditinggalkan lagi, maka ia tidak wajib menanggungnya.
Boleh
mengambil buar-butir bijian yang biasanya diabaikan (ditinggalkan) oleh para
pengetam, sekalipun itu biji-bijian yang terkena zakat. Lain halnya dengan
pendapat Az-Zarkasyi.
Begitu juga boleh mengambil
rontokan/serbuk besi para tukang besi-rontokan roti dari orang pandai dan
sebagainya, yang Sudah biasa diabaikan pemiliknya. Karena itu, pengambil dapat
memilikinya dan sah pentasarufannya, lantaran berpijak pada
perbuatan-perbuatan ulama salaf.
Haram mengambil
buah yang berjatuhan, jika terpagari dan jatuh di dalam pagar itu.
An-Nawawi
berkata dalam Al-Majmu’ Yang jatuh di luar pagar juga haram diambil, jika
biasanya tidak diperbolehkan, tetapi jika biasanya boleh, maka halal diambil,
lantaran mengamalkan adat yang berlaku, yang memenangkan perkiraan adanya para
pemilik yang memperbolehkan buah untuk diambil. [alkhoirot.org]