Ilmu Filsafat dan keberhasilannya
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, al-Munqidz minad
Dhalal
Judul terjemah: Pembebas dari Kesesatan
Judul asal dalam teks
Arab: المنقذ من الضلال
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama
lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat,
tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi:
Tasawuf, tarekat, suluk
Penerjemah: Bahrudin Achmad
Daftar Isi
- Mukadimah
- Golongan Sophistik dan Golongan Pengingkar Ilmu
- Golongan Para Pencari Ilmu
- Ilmu Kalam dan Tujuannya
- Ilmu Filsafat dan keberhasilannya
- Golongan Ahli Filsafat dan Kekufurannya
- Kembali ke Terjemah Al-Munqidz minad Dhalal
MUKADIMAH
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, yang dengan puji-Nya terbukalah semua pintu risalah dan makalah.
Shalawat serta salam semoga selalu mengalir deras atas junjungan kita Nabi
besar Muhammad Sang pilihan dan Sang pemilik nubuwwah serta risalah, dan juga
kepada seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah menghantarkan
manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar.
Wahai
saudaraku seagama, anda telah memintaku untuk mengurangi puncak dari berbagai
ilmu beserta rahasia-rahasianya, dan tentang berbagai madzhab yang seringkali
membingungkan pikiran. Dan akan aku ceritakan kepada anda tentang:
•
Kesulitan-kesulitan dalam upaya memurnikan perkara yang haq (benar) dari
celah-celah kekacauan berbagai golongan yang disertai kontradiksinya beberapa
cara dan metoda.
• Keberanianku mengangkat dari dasar taqlid (ikut-
ikutan) menuju kepada ketinggian istibshar (mengenali sesuatu dengan
analisa).
• Apa yang telah aku giring pertama kali “ilmu kalam”, kedua
apa yang telah aku muat dari teori ahli ta’lim yang memiliki pemikiran sempit
untuk mengetahui pengerrtian haq (kebenaran) dalam bertaqlid kepada Sang imam,
ketiga tentang cara- cara kaum filsafat dalam menggunakan filsafatnya, dan
yang terakhir adalah apa yang sangat disukai tentang cara-cara kehidupan yang
ditempuh oleh kaum sufi.
• Apa yang telah berhasil aku urai dalam
memperkuat penyelidikanku tentang berbagai pendapat publik dari intinya
kebenaran.
• Apa yang menyebabkanku tidak mau menyebarkan ilmu di Baghdad
padahal siswanya banyak.
• Dan faktor yang mendorongku untuk kembali
pulang ke Naisabur sesudah sekian lama aku tinggalkan.
Maka semua
permintaan anda aku bergegas menjawabnya, sesudah aku tahu persis akan
ketulusan kecintaan anda.
Kemudian dalam memenuhi permintaan serta
menjawab pertanyaan-pertanyaan anda itu, aku memohon pertolongan Allah dan
berserah diri kepada-Nya guna mendapat taufik dan perlindungan- Nya.
Ketahuilah,
semoga Allah Yang Maha Tinggi menambah bagusnya petunjuk yang telah Dia
berikan kepadamu, dan semoga Dia melunakkan hati sanubarimu agar mau menerima
sesuatu yang hak.
Sesungguhnya perbedaan makhluk dalam masalah agama,
kemudian perbedaan bangsa dalam segi alirannya karena banyak firqah (golongan)
serta kontradiksinya metoda merupakan lautan yang amat dalam yang dapat
menenggelamkan banyak manusia dan tak ada yang berhasil selamat kecuali
beberapa gelintir orang saja, dan sudah bisa dipastikan bahwa tiap-tiap
golongan atau kelompok punya dugaan kuat bahwa kelompoknya itulah yang
selamat, seperti pernyataan Allah yang tertera dalam Al-Quran:
“Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing)”.
(Al-Mu’minun: 53).
Hal yang demikian itu telah pula dijanjikan
kepada kita oleh junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW dalam sabdanya:
“Ummatku
akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, sedangkan yang selamat
hanya satu golongan”. (Al-Hadits).
Hampir saja apa yang telah
dijanjikan kita itu terwujud dan senantiasa ada pada usia mudaku, yaitu ketika
aku menginjak usia remaja sebelum meningkat kepada usia dua puluh tahun sampai
sekarang.
Dan ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih, aku
mengarungi intinya lautan yang dalam lalu aku menyelam ke dalamnya bukanlah
seperti seorang pengecut yang sangat penakut, tetapi aku menelusuri setiap
sisi yang amat gelap dan aku serang setiap ada rintangan kemusykilan, aku
hamburkan diriku pada setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap akidah
masing-masing golongan.
Semuanya itu aku lakukan demi mengetahui
dan menyingkap berbagai rahasia madzhab setiap kelompok supaya nantinya aku
bisa membedakan antara yang terhapus dan yang yang tak terpakai, antara yang
berdasarkan sunnah dan yang hanya berdasarkan bid’ah, dan setiap aku bertemu
dengan ahli kebatinan maka aku senang untuk meneliti sampai pada kepercayaan
kebatinannya, dan juga ketika berpapasan dengan ahli zahir, akupun kepingin
mengorek keberhasilan faham itu.
Demikian pula jika aku berjumpa
dengan seorang ahli filsafat niscara aku berkeinginan untuk mengetahui secara
mendalam tentang fan filsafatnya, begitu pula jika bertemu dengan seorang ahli
Kalam (ahli ilmu teologi) maka aku uji dan aku selidiki secara mendalam pada
pokok- pokok ajarannya serta berdebat dengannya. Dan apabila bertemu dengan
seorang ahli tasauf, maka aku telusuri inti dan berbagai rahasia tasaufnya.
Apabila bertemu dengan seorang ahli ibadah (Muta’abbid) niscara meneliti apa
tujuan akhir dari keberhasilan ibadahnya. Dan jika berjumpa dengan seorang
zindiq yang atheis, maka aku menelusup dibaliknya untuk mengetahui latar
belakang yang menyebabkan keberaniannya dalam kekafiran serta kezindikannya.
Menghadapi masalah-masalah seperti itu benar-benar sudah merupakan
kegemaranku sejak aku kecil, yaitu menyelidiki dan membuat perbandingan guna
menemukan berbagai hakikat. Dan hal itu sekaligus merupakan bakat pembawaanku
sebagai fitrah yang telah dianugerahkan Allah pada perangaiku, dan bukannya
hasil usaha dan jerih payahku sendiri. Sehingga pada akhirnya tertukarlah
segala ikatan taklid dan berantakanlah berbagai akidah warisan yang ada padaku
pada usiaku yang masih muda. Sebab saya telah melihat bahwa anak- anak Kristen
tidaklah hidup kecuali mengikut kekristenannya, dan anak-anak Yahudi juga
tidaklah hidup melainkan mengikuti ajaran Yahudinya, demikian pula anak-anak
Islam tidaklah tumbuh kecuali menganut ajaran Islam, dan saya telah mendengar
sebuah hadits yang diceritakan dari Rasulullah SAW dimana beliau bersabda:
“Setiap
anak dilahirkan dalam fitrah Islam, hanya ibu bapaknyalah yang mencetak mereka
menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi”.
Maka tergeraklah hatiku untuk
memperoleh hakikat fitrah yang asli itu dan hakikat kepercayaan- kepercayaan
yang berada dari orang tua dan para guru. Sedangkan membedakan antara berbagai
taklid ini dan beberapa permulaannya memerlukan beberapa bahan kajia dan dalam
menentukan apa yang benar dengan yang batil dari beberapa taklid itu terdapat
beberapa perbedaan dan perselisihan pikiran. Oleh karena itu aku berkata
kepada diriku sendiri: “Pertama-tama sasaran yang aku cari adalah mengetahui
tentang beberapa hakikat perkara, sehingga aku harus mencari apa hakikat ilmu
yang sebenarnya itu?
Kemudian berhasil aku temukan bahwa Ilmu
Yakin-lah yang dapat menyibak perkara yang sudah diketahui (ma’lum) yang sama
sekali tidak meninggalkan keraguan, tidak dibarengi dengan kemungkinan salah
dan terlepas dari campuran khayalan yang tidak dapat diterima oleh fikiran
sehat. Dan hati tidak mampu mengira-ngirakan hal itu, bahkan keamanan dari
kekeliruan sudah seyogyanya bila berbarengan dengan yakin dengan suatu
perbandingan andaikata saha ada orang yang berani menyatakan
kesalahan—umpamanya saja—seorang telah berhasil merubah batu menjadi emas dan
tongkat menjadi seekor ular naga, niscara hal itu semua tidak menimbulkan
sedikitpun keraguan serta ketidakpercayaanku. Sebab aku sudah tahu bahwa
sepuluh itu lebih banyak dari pada tiga. Dan andaikan saja terdapat seseorang
yang berkata, “Tidak, tetapi tiga bilangan yang lebih banyak daripada sepuluh
berdasarkan bukti bahwa saya bisa merubah tongakt menjadi ular dan aku juga
menyaksikannya, maka aku tidak lalu menjadi ragu-ragu karena aku juga tidak
menjadi kagum atas bagaimana caranya dia memiliki kemampuan atas hal itu.
Adapun keraguan terhadap apa yang telah menjadi pengetahuanku maka
itu tidak mungkin terjadi, sebab segala sesuatu yang tidak aku ketahui dan
tidak aku yakini dalam segi ini berarti dia merupakan ilmu yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan sekaligus tidak bisa dijamin keamanannya, padahal setiap
ilmu yang tidak bisa dijamin keamanannya tidaklah bisa dikatakan Ilmu
Yakin.
GOLONGAN SOPHISTIK DAN GOLONGAN PENGINGKAR ILMU
Kemudian aku periksa ilmuku ternyata aku mendapati diriku masih
dalam keadaan kosong, sama sekali belum terisi oleh ilmu yang memiliki
ciri-ciri seperti ini kecuali berbagai ilmu yang terdapat di dalam beberapa
indra dan berbagai ilmu dharuri (necessary).
Kemudian sekarang aku
berkata sesudah mengalami keputusasaan: “Tiada lagi ambisi untuk memetik
kemusykilan kecuali dari perkara-perkara yang sudah jelas yaitu ilmu-ilmu
indrawi dan dharuri sehingga mau tidak mau harus menentukan hukumnya atau
bahkan tidak perlu.
Akan aku jelaskan bahwa kepercayaan diriku
terhadap ilmu-ilmu indrawi dan ilmu-ilmu dharuri
merupakan bagian dari
jenis keamananku yang sudah menjadi milikku sebelumnya dalam berbagai ilmu
taklid, dan merupakan bagian dari jenis keamanan makhluk dalam berbagai ilmu
analisa atau dia merupakan keamanan yang pasti yang tidak perlu diberi alasan
serta tidak memiliki titik optimal.
Aku tetap menghadapi dengan amat
sungguh- sungguh, saya mengangan-angan dalam ilmu-ilmu mahsus (yang dapat
diindra) dan ilmu-ilmu dharuri.
Kemudian saya menganalisa apakah
aku masih berkemungkinan untuk meragukan diriku sendiri dalam ilmu-ilmu itu?
Sehingga akhirnya rampunglah lamanya keaguan diri sampai kepada ketidakmauan
diriku untuk menyerahkan keamanan di dalam ilmu- ilmu indrawi. Mulailah
keragu-raguan itu meluas lagi sehingga timbullah gagasan pertanyaan:
“Darimanakah kepercayaan diri dengan ilmu-ilmu mahsus (indrawi) padahal yang
paling kuat adalah indra mata di mana dia dapat dipakai untuk memandang kepada
bayang-bayang sehingga anda dengan jelas bisa melihatnya dalam keadaan berdiri
tidak bergerak lalu anda bisa menentukan hukumnya bahwa bayang-bayang itu
tidak bergerak.
Kemudian setelah melalui eksperimen (percobaan) dan
kesaksian sebentar anda baru tahu bahwa bayang-bayang itu bergerak dan
kadang-kadang juga tidak bergerak secara tiba-tiba dan secara mendadak tetapi
dia bergerak secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga anda tidak lagi
merasakannya. Lantas coba lihatlah bintang gemintangnya niscaya anda akan
melihatnya sebagai benda yang kecil sama besarnya dengan uang logam dinar,
kemudian setelah melalui bukti-bukti Ilmu Bangun (Geometri) ternyata bintang
itu lebih besar dari pada bumi dalam ukurannya.
Demikian ini dan
yang semisal dengannya dari ilmu-ilmu yang bisa diindra itu yang menentukan
hukumnya adalah hakim indra, akan tetapi dia tidak diakui oleh hakim akal
(rasio) dan dibohongkannya di mana dia tidak mampu untuk melawannya. Kemudian
aku berpendapat: “Telah batallah kepercayaan diri terhadap ilmu-ilmu indrawi,
maka barangkali tidak terdapat yang dipercaya lagi kecuali dengan beberapa
ilmu akal (rasio) yang merupakan rumus-rumus permulaan yang pernah diutarakan
seperti ucapan bahwa sepuluh itu lebih banyak dari pada tiga.
Nafi
(tidak ada) dan itsbat (ada) itu tidak bisa kumpul dalam satu perkara,
sedangkan perkara satu itu pasti tidak mungkin berupa sesuatu yang baru
sekaligus sebagai suatu yang qadim (dahulu), ada sekaligus tidak ada dan wajib
sekaligus muhal.
Ilmu mahsus (indrawi) berkata: “Sebab apa anda
merasa aman bila mempercayakan diri anda terhadap ilmu-ilmu aqli (rasional)
sebagaimana kepercayaan anda terhadap ilmu-ilmu indrawi padahal dahulunya anda
percaya kepadaku lantas datanglah hakim rasio lalu dia mendustakanku, dan
andaikan saja tidak ada hakim rasio niscara anda akan terus membetulkan aku,
maka barangkali di balik pengetahuan rasio terdapat hakim lain yang apabila
kelihatan dengan jelas tentu dia akan mendustakan rasio dalam keputusannya
seperti halnya muncul hakim rasio yang telah mendustakan dan menyalahkan
keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim indra. Adapun ketidak munculan
hakim lain itu bukanlah berarti ketidakadaannya.
Untuk menghadapi
dan menjawab persoalan- persoalan yang pelik di atas maka jiwaku diam sejenak.
Saya kukuhkan kesulitannya di dalam tidurku lalu diriku berkata: “Cobalah anda
berfikir, di dalam tidur anda percaya terhadap berbagai perkara (impian) lalu
anda dapat membayangkan dan mengkhayalkan berbagai hal dan anda tanpa ragu-
ragu percaya dan mantap kepada apa saja yang telah anda lihat dalam tidur,
kemudian anda bangun sehingga anda tahu bahwa semua khayalan dan keyakinan
anda sama sekali tidak memiliki dasar dan kekuasaan, lantas dengan alasan apa
anda merasa aman jika semua apa yang anda yakini di dalam keadaan terjaga yang
telah diproses oleh indra atau akal itu benar dengan hanya menyandarkan kepada
keadaan anda?
Tetapi mungkin saja akan datang suatu keadaan yang
memiliki ciri sama dengan keadaan jaga anda seperti halnya kesamaan ciri jaga
anda terhadap tidur anda dan jadilah jaga anda merupakan tidur anda dengan
menyandarkan nisbat tersebut. Maka apabila anda telah benar-benar mendatangkan
keadaan itu niscaya anda menjadi yakin bahwa segala apa yang anda fahamkan
(fikir dengan tidak jelas) dengan rasio anda hanyalah merupakan
khayalan-khayalan yang tidak mempunyai buah, atau barangkali keadaan itulah
merupakan sesuatu yang diakui oleh kelompok tasawuf sebagai keadaan mereka
sebenarnya sebab mereka menduga kuat bahwa mereka bisa mengadakan musyahadah
terhadap keadaan mereka sendiri yang apabila mereka telah menyelami diri
mereka sendiri serta telah terlepas dari pancaindra mereka, maka mereka akan
menemui berbagai keadaan yang sesuai lagi dengan perkara-perkara yang tidak
rasional lagi, dan barangkali keadaan yang seperti itu yang dinamakan maut
(kematian), sebab Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Manusia itu
tidur, maka apabila mereka sudah mati sadarlah mereka”.
Maka boleh
jadi kehidupan dunia merupakan tidur, jika dihubungkan dengan akhirat. Sebab
tatkala seseorang telah mati maka tampaklah berbagai perkara yang tidak sesuai
lagi dengan apa yang telah disaksikan oleh seseorang di waktu sekarang ini,
dan dalam kesempatan itu perlu disampaikan firman Allah ta’ala:
“Maka
Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutup) matamu, maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam”. (Qaaf: 22).
Maka terbetik berbagai
bahaya yang telah menghunjam di dalam hati maka aku berusaha mengobati bahaya
itu, namun ternyata tidaklah mudah sebab tidak mungkin menyerang dan
mengusirnya kecuali dengan dalil, dan tidak mungkin memasang dalil kecuali
dengan memiliki dasar-dasar ilmu yang teratur, maka apabila aku tidak dapat
mengajukan dalil-dalil tersebut niscaya aku tidaklah mungkin bisa menjelaskan
dalil-dalilnya secara nyata. Penyakit itu menggerogoti dan bertakhta di dalam
hatiku selama dua bulan di mana dalam waktu dua bulan itu aku terombang-ambing
di dalam madzhab.
GOLONGAN PARA PENCARI ILMU
Tatkala Allah telah menyembuhkan dari penyakitku ini yang mestinya tak
lepas dari karunia dan keluasan anugerah-Nya dan sudah datang para penuntut
ilmu (golongan penuntut ilmu) di sisiku di mana mereka itu terdiri dari empat
kelompok, yaitu :
1. Golongan Mutakallimun, yaitu
mereka yang menyatakan dirinya sebagai golongan ahli fikir dan ahli
analisa.
2. Golongan Al-Batiniyyah (ahli kebatinan),
yaitu mereka yang mengaku dirinya sebagai orang- orang yang menerima
pengajaran dan orang- orang yang khusus memetik pelajaran dari Sang Imam yang
ma'shum.
3. Golongan Filosuf, yaitu mereka yang
menganggap dirinya sebagai ahli mantik (logika) dan ahli dalam memberi
keterangan.
4. Golongan Shufi, yaitu mereka
yang menyatakan dirinya sebagai orang yang dekat dengan Allah, ahli musyahadah
dan ahli mukasyafah.
Maka aku berkata kepada jiwaku sendiri :
"Perkara yang benar itu tidak akan keluar dari keempat golongan ini, sebab
mereka adalah orang- orang yang berjalan menempuh jalan untuk mencari
kebenaran. Maka apabila kebenaran melenceng dari mereka maka tidak ada
"keinginan" tertinggal lagi di dalam deretan hak (kebenaran), sebab tidak ada
lagi keinginan untuk rujuk kepada taklid sesudah berpisah dengannya dan sudah
dicampakkan jauh-jauh taklid itu. Karena ketentuan dari pada seorang yang
bertaklid haruslah tidak tahu bahwa dirinya bertaklid, rnaka apabila dia tahu
benar bahwa dirinya bertaklid niscaya pecahlah kaca taklidnya, berserakan dan
berantakan tak mungkin dirangkum lagi dan tak mungkin disusun-susun.
Sedangkan caranya untuk membenahi kembali adalah dengan dicairkan kembali di
dalam api lalu mulai dibikin lagi dari permulaan dengan bentuk cetakan yang
lain yang dengan model baru.
Kernudian buru-buru aku menempuh
jalan- jalan ini dengan mengikuti sampai pada ujung- ujungnya terhadap keempat
golongan ini sembari memulai dengan mengurai Ilmu Kalam, kedua cara•cara yang
ditempuh oleh Golongan Filosof ketiga mengurai ajaran•ajaran Golongan
kebatinan dan yang keempat dengan cara yang di•tempuh oleh Golongan Shufi.
ILMU KALAM DAN TUJUANNYA
Selanjutnya aku mulai mengurai “Ilmu Kalam” sehingga aku telah
berhasil mendapatkannya, mengotak-atiknya dan telah menelaah berbagai Ahli
Tahqiq kemudian aku karang dan aku susun menurut apa yang menjadi kemauanku
yaitu menyusun suatu kitab selanjutnya aku berhasil menyusunnya sebagai suatu
ilmu yang sesuai dengan maksudnya tetapi belum sempurna dan sesuai dengan
maksudku. Adapun maksud daripada Ilmu Kalam adalah menjaga serta memelihara
akidah Ahli Sunnah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan.
Allah SWT telah memberi kepada hamba- hamba-Nya dengan dihantarkan oleh
lisannya utusan akan sebuah akidah yang benar di mana di dalamnya
terdapat
suatu kemaslahatan terhadap agama dan dunia mereka yang semua pengetahuannya
tu telah termaktub dan diucapkan oleh Al-Quran dan Al- Hadits, kemudian syetan
melontarkan di dalam waswasnya Ahli Bid’ah tentang berbagai perkara yang
bertentangan dan tidak sesuai dengan As-Sunnah sehingga mereka menjadi
tersangkut padanya dan hampir saja mereka bisa mengecoh orang-orang yang
memiliki akidah yang benar.
Selanjutnya Allah ta’ala menumbuhkan Golongan Mutakallimun (Ahli Tauhid) dan
menggerakkan motivasi mereka untuk membela As- Sunnah dengan omongan yang
tersusun rapi dan apik di mana dia dapat menyingkap kesimpang siuran Ahli
Bid’ah yang sengaja membikin hal-hal baru yang tidak cocok lagi dengan
As-Sunnah yang sudah teralisir. Maka dari situlah tumbuh Ilmu Kalam beserta
Ahlinya.
Telah bangkit sekelompok Ahli Kalam dengan membawa amalan-amalan
yang telah dianjurkan oleh Allah ta’ala, sehingga mereka benar-benar
memperbaiki As-Sunnah dan berhasil membela akidah yang telah diterima dari
ajaran-ajaran asli
Nabi SAW. Kemudian mereka mengadakan
perubahan pada sisi yang telah dirusak oleh Ahli Bid’ah, dan untuk mencapai
usaha itu mereka berpancatan kepada beberapa pendahuluan yang telah mereka
terima dari pada lawan fahamnya dan ternyata berhasil memaksa mereka untuk
menyerah, yaitu bisa dengan taklid, konsensus (ijma’) umat atau hanya sekadar
menerima dari Al-Quran dan As- Sunnah, sedangkan kebanyakan penyelaman mereka
dalam usahanya mengeluarkan argumentasi- argumentasi debatnya dan pengambilan
mereka adalah dengan mengandalkan bukti-bukti yang lazim, dan cara seperti ini
sedikit sekali manfaatnya dalam menghadapi orang-orang yang tidak mau menyerah
sama sekali kecuali terhadap dalil-dalil dharuri. Oleh karena itu, Ilmu Kalam
dalam pandanganku tidaklah bisa banyak diandalkan dan juga tidak bisa
menyembuhkan penyakit yang telah aku keluhkan di atas.
Ya, tatkala Ilmu
Kalam itu muncul dengan pesatnya dan banyak orang yang menaruh simpati padanya
sehingga masa yang seperti ini berlangsung lama, Ahli Ilmu Kalam mempunyai ide
untuk maju
selangkah dari pemeliharaan terhadap As-Sunnah
yaitu dengan mengadakan pembahasan tentang berbagai hakikat perkara dan mereka
mengadakan pendalaman dalam membahas tentang beberapa elemen dan beberapa
benda beserta hukum- hukumnya, akan tetapi manakala hal itu tidaklah merupakan
maksud ilmu mereka, maka pembicaraan mereka tidaklah sampai pada batas
optimal, sehingga tidak bisa menghasilkan apa yang secara menyeluruh dapat
menghapus berbagai kegelapan terhadap beberapa perselisihan faham di dalam
masyarakat.
Aku tidak memandang terlalu jauh dan tidak mengesampingkan berbagai
kemungkinan bila cara yang seperti itu bisa diterima oleh orang selainku,
namun saya juga tidak menyangsikan bila cara yang seperti itu dapat diterapkan
terhadap salah satu kelompok. Tapi perlu diingat bahwa keberhasilan itu sudah
sedemikian kaburnya dan telah bercampur aduk dengan taklid dalam suatu perkara
yang tidaklah merupakan dasar-dasar pertama.
Tujuan sekarang yang harus
disampaikan adalah menceritakan keadaanku bukannya mencela dan mengingkari
terhadap orang yang minta
kesembuhan sebab obat kesembuhan
itu berbeda- beda mengingat kepada perbedaan penyakit. Bukankah sudah banyak
sekali obat yang mujarab terhadap si sakit tertentu tetapi obat itu dapat
mendatangkan bahaya dan merupakan racun bagi orang lain.
ILMU FILSAFAT DAN KEBERHASILANNYA
Pembicaraan ini menyangkut Ilmu Filsafat yang perlu dicela dan yang tidak
perlu mendapat celaan, Ilmu Filsafat yang dikatakan kufur bagi orang yang
berbicara dengannya dan yang tidak dikatakan kufur yang dianggap bid’ah dan
yang tidak, dan juga menjelaskan apa yang telah mereka curi dari omongan “Ahli
Haq” lalu mereka campur adukkan dengan omongan mereka untuk dikonstruksikan
dengan kebatilan mereka, bagaimana caranya melarikan jiwa dari kebenaran itu
dan bagaimana caranya membebaskan diri dari pengelola hakikat- hakikat yang
benar dan murni dari kemelencengan serta keburukan, yaitu dari sejumlah
pembicaraan mereka.
Setelah aku rampung membicarakan Ilmu
Kalam, maka sekarang aku membicarakan Ilmu Filsafat. Aku tahu dengan yakin
bahwa seorang yang tidak tahu persis terhadap porosnya ilmu itu, maka dia
tidak berani mengatakan rusaknya suatu macam ilmu kecuali apabila ia telah
memahami benar-benar ilmu tersebut dengan sempurna, paling tidak harus
mensejajarkan diri dengan seorang ahli yang paling banyak ilmunya dalam hal
pokok-pokok dasar filsafat, kemudian dia mampu mengungguli dan melampaui
derajat keilmuannya, sehingga dengan mudah dia bisa menelaah terhadap masalah
yang belum pernah ditelaah oleh orang yang memiliki Ilmu Filsafat itu yang
terdiri dari yang buruk dan yang jelek, jika sudah demikian keadaannya maka
dia sudah sepantasnya apabila tuduhan yang dilontarkan terhadap rusaknya ilmu
tertentu bisa diakui sebagai tuduhan yang benar.
Akan tetapi sepanjang penglihatanku, tak seorang pun ulama Islam yang menaruh minat dan perhatiannya kepada hal itu. Di dalam kitab-kitab Ahli Kalam juga tidak aku temui pembicaraan mereka yang mengungkap sanggahan atas Golongan Filsafat, kecuali hanya ada beberapa kalimat yang sulit dimengerti, acak-acakan yang nyata sekali kontradiksi dan cacatnya yang sudah tidak disangsikan lagi pasti mendatangkan kekeliruan bagi orang-orang awam, lebih-lebih terhadap orang yang mengaku telah mempelajari ilmu-ilmu yang sulit.
Akhirnya aku tahu juga bahwa memberi sanggahan terhadap suatu madzhab (aliran) sebelum faham benar dan menelaah kadarnya, berarti dia telah terlempar di dalam ketidaktahuan, oleh karena itu aku menyingsingkan lengan bajuku untuk meraih ilmu tersebut dari berbagai kitab dengan sekadar menelaah tanpa minta bantuan dari seorang guru. Hal demikian itu aku hadapi pada waktu-waktu senggangku dari mengarang dan mengajar ilmu-ilmu syar’i, kala itu aku memang diuji dengan mengajar dan memberifaidah kepada tiga ratus orang siswa di Baghdad.
Dengan hanya mengandalkan menelaah dalam waktu-waktu senggang itu Allah SWT memperlihatkan kepadaku batas optimal dari ilmu- ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun, kemudian senantiasa aku berdisiplin untuk berfikir sesudah aku memahaminya, dengan hanya menghabiskan masa satu tahun kurang sedikit aku mengulang-ulangnya serta mengkajinya lagi lalu aku mencari berbagai kesulitan dan kemusykilan yang telah hilang sehingga aku berhasil menemukan keculasan, kesimpang-siuran, kebenaran dan imajinasi (pengkhayalan) dengan hasil penemuan yang tidak bisa diragukan lagi.
Sekarang dengarkan cerita keberhasilan yang sudah berhasil aku raih dan juga ceritanya buah Ahli- Ahli Filsafat. Sebab aku melihat mereka terbagi menjadi beberapa golongan sedangkan ilmu-ilmu mereka juga terbagi menjadi beberapa bagian. Pada garis besarnya golongan mereka berhak mendapatkan tanda kekufuran dan ilhad (ingkar terhadap agama), kendatipun antara kelompok/ golongan yang terdahulu dan golongan yang dulu, dan antara golongan yang paling akhir dan golongan yang paling awal terdapat jenjang keterpautan yang amat besar dalam masalah dekat dan jauhnya dari kebenaran.
GOLONGAN AHLI FILSAFAT DAN KEKUFURANNYA
Perlu anda ketahui bahwa mereka, berdasarkan atas banyaknya
kelompok dan perbedaan aliran, terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Kelompok Dahriyyun (skeptik).
2. Kelompok Thabi’iyyun
(kealaman).
3. Kelompok Ilahiyyun (ketuhanan).
Kelompok Dahriyyun (Skeptik):
Adalah suatu kelompok dari para filosof yang terdahulu di mana mereka
tidak percaya terhadap adanya Sang Pencipta Yang Mengatur alam ini dan Yang
Maha Kuasa. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam ini senantiasa telah ada
sejak dahulu seperti ini, tidak ada yang menciptakannya. Mereka juga
beranggapan bahwa hewan itu selalu tercipta dari air sperma, sedangkan sperma
itu berasal dari hewan, begitulah proses sudah dan akan terciptanya hewan
untuk selama-lamanya. Mereka ini adalah kelompok zindiq (skeptik atau
atheis).
Kelompok Thabi’iyyun (Kealaman):
Adalah suatu golongan filosof yang banyak menaruh perhatian kepada alam
natural dan banyak mengadakan penyelidikan tentang berbagai keajaiban hewan
serta tumbuh-tumbuhan. Mereka banyak menyelami (dalam) ilmu urai terhadap
anggota hewan sehingga di situ mereka melihat sebagian dari keajaiban ciptaan
Allah ta’ala dan keindahan hikmah- Nya sehingga terpaksa mereka bersama-sama
dengan ilmu itu mengakui Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana dan Yang
Mengetahui segala puncaknya beberapa perkara dan beberapa maksudnya.
Tidak seorangpun yang mau menelaah anatomi (ilmu urai) dan berbagai keajaiban manfaat anggota hewan melainkan dia berhasil memperoleh ilmu dharuri ini dengan gambaran yang sempurna bagi susunan tubuh hewan, lebih-lebih susunan tubuh manusia, hanya saja golongan filsafat ini karena saking banyaknya mengadakan penyelidikan terhadap tabiat maka nampaklah pengaruh yang amat besar—karena sederhananya temperamen—pada sikap kekuatan hewan, sehingga mereka menduga bahwa kekuatan (daya) berfikir dari manusia itu ikut kepada temperamennya juga. Mereka juga menduga bahwa daya berfikir itu bisa rusak karena rusaknya temperamen manusia itu sendiri, lantas manusia itu akan musnah.
Kemudian bila manusia itu telah musnah tentu tidak mungkin mengembalikan
sesuatu yang telah musnah itu diterima oleh rasio. Oleh karena itu mereka
berpendapat: apabila jiwa telah mati maka dia tidak mungkin kembali, sehingga
pada akhirnya mereka tidak percaya adanya akhirat dan sama mengingkari surga,
neraka, kiamat dan hisab. Maka mereka berpendapat: kendatipun seseorang itu
berkelakuan baik dan selalu berbuat taat namun dia tidak akan menerima
ganjaran dan bagi orang yang berbuat durhaka nantinya pun tidak akan mendapat
siksaan. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini maka terlepaslah tali kekang
hewani sehingga mereka mengumbar nafsu seks mereka seperti halnya binatang.
Dan mereka ini tergolong orang-orang zindiq, sebab pangkal dari pada iman
adalah iman kepada Allah dan Hari Akhir, sedangkan mereka ini jelas tidak
mengakui adanya Hari Akhir, kendatipun mereka beriman kepada Allah beserta
segala sifat- sifat-Nya.
Kelompok Ilahiyyun (Ketuhanan):
Adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan, mereka datang
belakangan. Di antara kelompok filosof ini terdapat Socrates gurunya Plato dan
Plato adalah gurunya Aristoteles. Aristoteles inilah yang berhasil menyusun
Ilmu Mantik (logika) dan yang telah merangkum ilmu ini sehingga menjadi
suguhan yang matang dan dia pulalah yang telah berhasil memperjelas ilmu-ilmu
ini yang belum gamblang.
Kelompok Ilahiyyun ini pada garis besarnya
membantah dua kelompok pertama yaitu Kelompok Dahriyyun (Skeptis) dan Kelompok
Thabi’iyyun (Naturalis). Mereka membuka tabir kekeliruan serta berbagai cacat
yang telah ditempuh oleh para filosof terdahulu, hingga orang-orang bisa
mengetahui dan membedakan mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk.
Allah
ta’ala berfirman:
“Dan Allah
menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan”.
(Al-Ahzab: 25).
Selanjutnya Aristoteles membuat sanggahan terhadap
Plato dan Socrates serta filosof-filosof sebelumnya dari Kelompok Ilahiyyun
dengan sanggahan yang tidak hanya dibuat-buat sehingga dia membebaskan diri
dari mereka, hanya saja dia masih memiliki beberapa sisa kehinaan kekufuran
dan bid’ah mereka yang tak perlu diikuti, malah sudah sewajibnya untuk
mengkafirkan mereka dan mengkafirkan para pengikut mereka dari para filosof
Islam seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain-lainnya; sebab dalam memindah
ilmunya Aristoteles tiada seorang ahli filsafat Islam yang melakukan usaha
seperti kedua orang ini. Dan apa yang dipetik oleh selain dua orang ini sudah
tidak luput dari kekurangan dan kesimpang-siuran yang bisa mengganggu hatinya
seorang yang mengadakan penelaahan sehingga tidak bisa difahami dan sesuatu
yang tidak bisa difahami bagaimana caranya untuk bisa disanggah atau diterima.
Secara garis besar menurut pengamatan kami dari filsafatnya Aristoteles
mengingat pada petikan kedua orang ini, terbatas pada tiga bagian:
1.
Satu bagian wajib dikafirkan.
2. Satu bagian wajib
dibid’ahkan.
3. Bagian yang terakhir tidak wajib
diingkari sama sekali.
Cobalah kita kupas dan kita perinci bersama-sama.
[]