Kejujuran dan Pengkhianatan
Nama kitab: Terjemah Al-Akhlaq lil Banin Juz 4, Akhlak lil Banin Jilid 4
Judul asal dalam teks Arab: الأﺧﻼﻕ ﻟﻠﺒﻨﻴﻦ الجزء الأول لطلاب المدارس الإسلامية بإندونيسيا
Makna: Pelajaran Budi Pekerti Islam untuk Anak Laki-laki Bagian/Volume IV
Penulis: Umar bin Ahmad Baradja
Bidang studi: Etika budi pekerti Islam (akhlak mulia), adab sopan santun
Penerjemah:
Daftar Isi
- Rasa Malu Dan Tidak Tahu Malu
- Teladan Tertinggi Dalam Masalah Malu
- Sifat Al-'Iffah Dan Al-Qana'ah Serta Kebalikannya
- Bukti Nyata Bagi Yang Memberi Nasihat
- Kejujuran Dan Pengkhianatan
- Kisah Seorang Laki-Laki Yang Jujur
- Berbuat Benar Dan Berdusta
- Beberapa Kisah Dari Orang-Orang Yang Berkata Benar Dan Dusta
- Kesabaran Dan Kegelisahan Hati
- Akibat Orang-Orang Yang Sabar
- Bersyukur Dan Mengingkari | Nikmat
- Kembali ke: Terjemah Akhlaq lil Banin Juz 4
1. RASA MALU DAN TIDAK TAHU MALU
Ketahuilah! hai anak tercinta, rasa malu adalah pokok segala
keutamaan dan sumber segala adab. Maka, manusia wajib berakhlak dengan rasa
malu sejak awal pertumbuhannya, agar dia terbiasa dengan akhlak mulia dan adab
yang baik di kala dewasa. Dalam hadits disebutkan: “Rasa malu itu selalu
membawa kebaikan”. “Rasa malu itu . sebagian dari iman”. Juga “Rasa malu
adalah pengamalan agama seluruhnya”.
Adapun
perbuatan keji atau keberandalan, maka ia merupakan pembuka pintu perbuatan
yang rendah dan hina seluruhnya. Nabi saw. bersabda: “Apabila engkau tidak
merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” Penyair berkata:
Jika
engkau tak takut akibat di kemudian hari dan tidak merasa malu, maka
lakukanlah segala yang engkau kehendaki
Demi Allah, tiada kebaikan
dalam kehidupan di dunia bila lenyap rasa malu.
Manusia hidup dalam
kebaikan, selama ia merasa malu sebagaimana batang yang terjaga, selama ada
kulitnya.
Sayyidina Abu Bakar ra. sering
mengucapkan bait berikut:
Sungguh, seakan-akan
aku melihat orang yang tak malu dan tidak jujur, telanjang di tengah
masyarakat.
Rasa malu itu
terbagi menjadi tiga macam:
Pertama, terhadap Allah Ta’ala: Kedua,
terhadap manusia, dan Ketiga, terhadap diri sendiri.
Rasa
malu terhadap Allah Ta’ala: Hal itu terwujud dengan mematuhi perintah-perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Nabi saw. bersabda: “Malulah terhadap Allah
Azza wa Jalla dengan rasa malu yang sebenarnya.” Ada yang mengatakan: “Hai
Rasulullah, bagaimana kami merasa malu kepada Allah dengan sebenarnya?” Beliau
menjawab:
“Barangsiapa memelihara Kepala dan apa
yang dikandungnya (akal), perut dan isinya (makanan), dan meninggalkan
perhiasan kehidupan dunia serta mengingat mati dan kehancuran, maka ia pun
telah merasa malu terhadap Allah Azza wa Jalla dengan sebenarnya.”
Rasa
malu ini adalah buah dari kekuatan iman dan keyakinan. Oleh karena itu,
disebutkan dalam hadits: “Sedikit rasa malu adalah kufur, sedang rasa malu
adalah ikatan iman. Jika ikatan dari suatu benda terlepas, maka bercerai berai
dan berantakanlah segala isinya.”
Rasa malu
terhadap manusia: Hal itu terwujud apabila kamu menjaga pandangan dari suatu
yang tidak halal dari mereka. Disebutkan dalam hadits: “Allah melaknat orang
yang memandang (aurat orang lain) dan orang yang menyuruh melihatnya”.
Seorang
bijak ditanya tentang orang fasik, dia menjawab: “Dia (orang fasik) adalah
orang yang tidak menjaga pandangannya dari pintu-pintu manusia dan aurat
mereka”. Hendaklah kamu menampilkan akhlak yang baik terhadap. mereka, tidak
mengganggunya dengan akhlak yang buruk, dan tidak melakukan perbuatan maksiat
atau kebiasaan buruk di hadapan mereka, juga tidak berbicara dengan perkataan
yang tidak pantas didekatnya, lebih-lebih perkataan yang keji.
Rasulullah
saw. bersabda : “Rasa malu itu termasuk pengamalan iman, sedang iman itu di
surga. Perkataan yang keji itu termasuk kebejatan akhlak, dan kebejatan akhlak
itu di neraka.”
Hendaklah kamu menampakkan
penampilan yang bagus dalam semua urusan dan memelihara citra yang baik, agar
tidak diceritakan perkara yang buruk tentang diri kamu.
Dalam
hadits disebutkan : “Termasuk takwa kepada Allah ialah menghindari celaan
orang.”
Rasa malu ini menjadikan kamu memiliki
harga diri, kebenaran, keberanian, kemurahan hati, kebijakan dan kejujuran.
Maka, kamu pun berjiwa mulia dan bercitra baik. Ia mencegah kamu dari
perbuatan rendah, sifat pengecut, kikir, dusta, khianat dan kebodohan. Karena
kamu merasa malu apabila orang-orang melihatmu memiliki sifat-sifat yang buruk
tadi.
Imam Syafii ra. berkata : “Demi Allah,
seandainya aku tahu bahwa minum air dingin itu bisa merusak harga diriku,
niscaya aku tidak akan meminumnya sepanjang hidupku.”
Termasuk
rasa malu terhadap manusia adalah: Apabila menghargai setiap orang yang
memiliki keutamaan dan menghargai orang-orang yang patut dihargai menurut
derajat mereka, misalnya, ayah, ibu, dan para guru serta orang-orang yang
lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dari kamu. Yakni harus berendah diri
pada mereka.
Dalam Atsar (perkataan sahabat)
disebutkan: “Berendah dirilah kepada orang-orang yang mengajari kamu.” “Ya
Allah, jangan sampai aku mendapati zaman, dimana orang berilmu tidak diikuti
dan orang yang tidak merasa malu terhadap orang yang bijak.” “Sesungguhnya
yang mengetahui keutamaan bagi pemilik keutamaan, hanyalah orang yang
mempunyai keutamaan.”
Rasa malu terhadap diri
sendiri: Janganlah melakukan Suatu perbuatan di kala sendirian, apabila kamu
merasa malu bila orang-orang mengetahuinya. Seorang beradab menga. takan:
“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan di kala sendirian (tidak merasa malu),
sedangkan apabila ia melakukannya secara terang-terangan merasa malu, maka ia
tidak menghargai dirinya.”
Seorang bijaksana
berkata: “Hendaklah kamu lebih merasa malu terhadap dirimu dari pada orang
lain.”
Penyair berkata :
Perbuatanku
yang tersembunyi seperti terang-terangan, dan inilah watakku,
Gelapnya
malamku seperti terangnya siangku.
Rasa malu ini
menunjukkan isi hatimu yang baik dan merupakan pengetahuan akan derajat
dirimu. Bilamana dalam dirimu berkumpul ketiga macam rasa malu diatas, maka
lengkaplah padamu hal-hal yang menimbulkan kebaikan dan lenyaplah darimu
hal-hal yang menimbulkan keburukan. Disamping itu, kamu pun memperoleh ridha
Allah dan dicintai oleh orang banyak.
Janganlah kamu memiliki rasa malu yang tercela, yaitu rasa malu yang
menjadikanmu merasa tercegah untuk melakukan kebaikan, membela kebenaran dan
berkata benar serta mengingkari kemungkaran. Jangan sampai rasa malu itu
menjadikan kamu seorang yang hina dan takut, malu dan pengecut. Orang yang
memiliki rasa malu semacam ini tidak mendapat kebaikan. Sebagaimana kata
Sayyidina Ali ra.: “Rasa takut itu menimbulkan kegagalan dan rasa malu (yang
tidak wajar) tidak menghasilkan kebaikan.”
2. TELADAN TERTINGGI DALAM MASALAH MALU
Rasulullah saw. adalah orang yang sangat
pemalu. Beliau tidak menatapkan pandangannya pada wajah seseorang dan tidak
berbicara kepada seseorang dengan perkataan yang tidak disukainya. Seorang
laki-laki datang kepadanya dengan memakai warna kuning pada rambutnya,
sehingga beliau tidak menyukainya. Namun beliau tidak mengatakan apa-apa,
sampai orang itu keluar.
Kemudian beliau bersabda
kepada seseorang: “Sekiranya kamu katakan kepada orang tersebut agar
menanggalkan warna kuning ini.
Hal itu disebabkan
terdapat semacam keserupaan dengan perempuan. Apabila tidak bertujuan
menyerupai mereka, maka hukumnya makruh dan apabila bertujuan menyerupai
perempuan, maka hukumnya haram.
Rasulullah saw.
tidak pernah terlihat menjulurkan kedua kaki holiau di antara para
sahabatnya.
Apabila hendak buang hajat, beliau
tidak mengangkat bajunya hingga mendekati tanah. Pernah Rasulullah saw.
melewati seorang laki-laki yang sedang mandi. Kemudian beliau berkata:
“Hai
sekalian manusia, sesungguhnya Allah Maha Pemalu, Maha Penyantun lagi Maha
Penutup dan menyukai sifat malu serta menutupi kejelekan. Maka, apabila
seseorang diantara kamu mandi, hendaklah kamu bersembunyi dari pandangan
orang-orang.”
Sayyidah Aisyah
ra. adalah sangat pemalu dan memelihara diri, hingga ia berkata: “Aru memasuki
rumah tempat Rasulullah saw. dimakamkan bersama ayahku, (semoga Allah
meridhainya) dan menanggalkan bajuku. Aku berkata: “Sesungguhnya kedua orang
itu adalah suami dan ayahku. Ketika Umar ra. dikubur di tempat itu, demi
Allah, aku tidak memasukinya kecuali mengenakan baju rapat-rapat, karena
merasa malu terhadap Umar”.
Perhatikan! Bagaimana
rasa malunya terhadap orang asing (yang bukan mahramnya) sekalipun orang itu
di dalam kubur.
Diriwayatkan,
bahwa Khuzaifah ibn Al-Yaman ra. mendatangi shalat Jum’at, ternyata dia
mendapati orang orang yang sudah bubar. Maka, ia pun menjauhi jalan seraya
berkata: “Tiada kebaikan pada orang yang tidak merasa malu terhadap
orang-orang.”
Sekelompok orang
memanggil seorang teman mereka untuk bermain-main di majlisnya, namun dia
tidak memenuhi ajakan dan menulis surat kepada mereka: “Tadi malam aku
memasuki usia 40 tahun, dan aku merasa malu terhadap umurku.”
Seorang bijaksana datang kepada seorang laki-laki. Dia melihat sebuah rumah
yang tinggi dengan berbagai permadani terhampar. Namun terlihat pemiliknya
kosong dari keutamaan budi (tidak mempunyai pekerti). Maka orang itu meludahi
wajahnya. Pemilik rumah berkata kepadanya: “Apa maksud dari kebodohan ini hai
orang bijaksana?” Orang bijaksana itu berkata: “Justru ini adalah hikmah.
Sesungguhnya ludah itu dilontarkan ke tempat terhina di rumah ini dan aku
tidak melihat di dalamnya orang yang lebih hina dari pada kamu.”
3. SIFAT AL-'IFFAH DAN AL-QANA'AH SERTA KEBALIKANNYA
Al-‘Iffah (kelurusan budi) dan Al-Qana’ah
(rasa puas dengan apa yang ada) adalah akhlak yang baik dan sifat yang
terpuji. Al-‘Iffah artinya: Pencegahan manusia terhadap dirinya dari berbagai
perbuatan haram dan penghindaran kebiasaan yang tidak baik hingga terpelihara
tangannya: Yakni, dia tidak mencuri, tidak mengambil hak seseorang tanpa izin
darinya, tidak mengganggu makhluk manapun dengan tangannya dan tidak menulis
sesuatu yang tidak layak dengan kemuliaannya serta tidak menipu. Dalam hadits
disebutkan: “Bahwa Rasulullah saw. melewati setumpuk makanan, lalu memasukkan
tangan beliau ke dalamnya. Ternyata, tangan beliau menyentuh barang basah.
Maka beliau bersabda: Hai pemilik makanan, apakah ini? Orang itu menjawab:
“Makanan ini terkena air hujan, wahai, Rasulullah.” Beliau berkata: ‘Mengapa
engkau tidak meletakkannya di bagian atas makanan sehingga orang orang
melihatnya? Barang siapa menipu kami, maka ia pun bukan dari golongan
kami.”
Hendaklah manusia itu
memelihara kakinya dan tidak berjalan menuju kemaksiatan atau untuk mengganggu
seseorang. Memelihara lidahnya, yaitu tidak boleh berbicara dengan perkataan
yang tidak pantas. Memelihara pendengarannya, maksudnya tidak boleh
mendengarkan kata-kata yang diharamkan. Memelihara penglihatannya, maksudnya
tidak boleh melihat pada sesuatu yang tidak halal baginya atau tidak patut
dilihatnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya …” (QS. Al-Isra’: 36)
Dalam
hadits disebutkan: “Bahwa seorang laki-laki mengintai ke dalam rumah
Rasulullah saw. Beliau membawa alat untuk menggaruk kepalanya. Ketika Nabi
saw. melihatnya, beliau bersabda: ‘Andaikata aku tahy bahwa engkau melihatku,
tentu aku tusuk matamu. Sesungguhnya minta Izin itu diharuskan, agar menjaga
pandangan’.”
Dalam hadits lain : “Barangsiapa
mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, lalu mereka mencukil matanya,
maka tidak berlaku qishas atau tebusan atas matanya.”
Handak
lah manusia memelihara nafsunya. Tidak berlarut-larut dalam menuruti syahwat
dan tidak menjadikan keinginannya hanya untuk meraih berbagai kenikmatan,
tetapi menerima sesuatu yang ada dan tidak memaksa untuk mengadakan yang tidak
ada. Hendaklah dia tidak hidup boros dan mewah, serta tidak meminta sesuatu
dari seseorang. Rasulullah saw. bersabda.
“Janganlah
kamu meminta sesuatu kepada orang orang. Tangan di atas lebih baik dari pada
tangan di bawah. Telah beruntung orang yang berserah diri dan diberi kepuasan
oleh Allah dengan apa yang diberikanNya kepadanya.
Barangsiapa
memelihara diri, maka Allah menjadikan dirinya terpelihara. Barangsiapa yang
tidak membutuhkan kepada orang lain, maka Allah akan mencukupinya. Barangsiapa
mengalami kekurangan, lalu menimpakannya kepada orang lain, maka tidaklah
terpenuhi kekurangannya.
Dan barangsiapa
mengandalkan Allah untuk mengatasi kekurangannya, maka Allah akan segera
memberinya rezeki yang cepat atau di kemudian hari.”
3
Termasuk Al-‘lffah juga, apabila manusia tidak mengarahkan pandangannya pada
makanan, minuman, pakaian orang atau lainnya. Apabila melihat seseorang makan,
janganlah mendekatinya dengan maksud agar diberi makanannya. Apabila mendengar
ada walimah, janganlah menghadirinya jika tidak diundang ke tempat itu.
Janganlah menjadi tamu yang tak diundang, berjiwa rendah dan tidak disukai
oleh semua orang.
Hendaklah tidak ikut campur
dalam perkara yang bukan urusannya, demi mengikuti sabda Rasulullah saw.:
“Termasuk kebaikan pengamalan Islam adalah, bila manusia meninggalkan perkara
yang bukan urusannya.” Maka, janganlah bertanya kepada orang tentang berbagai
rahasianya dan jangan menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan kepadanya.
Apabila bertemu dengan sekelompok orang yang berbicara tentang berbagai urusan
yang khusus menyangkut mereka, maka janganlah ikut bicara dengan mereka dan
jangan mendengarkan pembicaraannya, agar tidak bersifat ingin tahu atau suka
menyelidiki, sehingga tidak disukai oleh semua orang. Allah Ta’ala berfirman:
“…. dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain ….” (AS.
Al-Hujurat:12).
Dalam hadits disebutkan:
“Janganlah kamu memata matai. Barangsiapa mendengarkan pembicaraan suatu kaum,
sedang mereka tidak menyukainya, maka kelak pada hari Kiamat akan dituangkan
dalam kedua telinganya timah cair.”
Termasuk Al-‘lffah dan yang terpenting darinya adalah terpelihara kemaluan dan
perutnya dari hal-hal yang diharamkan. Misalnya, zina, liwath (homoseks),
makan riba’ atau makan harta anak yatim.
Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka).” (AS. AnNisa’:10).
Dalam
hadits ditegaskan: “Kesucian yang paling disukai Allah Ta’ala adalah sucinya
kemaluan dan perut.”
Penyebab terjerumus ke dalam
maksiat kemaluan adalah pandangan. Maka, kamu harus memelihara matamu dan
tidak membiarkannya terus-menerus memandang hal-hal ” yang membangkitkan nafsu
(selera) yang diharamkan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya …'” (QS. An. Nur:30).
“Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam
hati.” (QS. Al. Mukmin:19).
Dalam hadits Qudsi:
“Pandangan (yang terlarang itu) merupakan salah satu panah beracun dari Iblis.
Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka Aku menggantinya
dengan iman yang dirasakan kenikmatan di dalam hatinya.”
Dalam
hadits Nabawi: “Wanita adalah perangkap setan. Tidaklah aku tinggalkan sesudah
aku wafat, fitnah yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita.”
Maka,
sadarlah atas nasihat ini dan amalkanlah itu, agar kamu selamat dari siksa
dunia dan akhirat. Terutama di zaman ini, di mana tersebar berbagai
kemungkaran (kemaksiatan) dan orang-orang meremehkannya.
Nabi
saw. bersabda: “Tidaklah pelaku zina itu berzina bila dia seorang mukmin,
tidaklah pencuri itu mencuri bila dia seorang mukmin, dan tidaklah peminum
khamar itu meminumnya bila dia seorang mukmin.”
“Rasulullah
saw. telah melaknat pemakan riba’ (dimakan sendiri), dan yang memakannya
(memberi makan kepada orang lain) dan penulis serta kedua saksinya.”
Dalam
hadits juga disebutkan: “Terkutuklah orang yang melakukan perbuatan kaum Luth
(homoseks).”
Sesungguhnya,
Qana’ah adalah kemuliaan, kehormatan dan ketenangan, sedangkan ketamakan
adalah kehinaan, kepayahan dan kecemaran.
Nabi
saw. bersabda: “Kemuliaan orang mukmin ads lah apabila dia tidak mengandalkan
manusia lainnya.
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
“Ketamakan menghilangkan hikmah dari hati para ulama.”
Datang
seorang laki-laki kepada Nabi saw.,, lalu berkata: “Berilah aku wasiat.” Nabi
bersabda: “Janganlah kamu mengharapkan milik orang lain dan janganlah kamu
tamak, karena ketamakan adalah kemiskinan yang nyata.”
Sayyidina
Ali Karamallahu Wajha berkata: “Janganlah kamu mengandalkan orang yang kamu
kehendaki, niscaya kamu sebanding dengannya. Butuhkanlah orang yang kamu
kehendaki, tentu kamu menjadi tawanannya. Berbuatlah baik kepada siapa saja
yang kamu kehendaki, tentu kamu menjadi pemimpinnya. Orang merdeka itu dapat
menjadi budak apabila dia tamak dan budak itu dapat merdeka apabila dia dapat
menerima apa adanya.”
Allah Ta’ala telah memuji
orang-orang yang memelihara diri melalui firman-Nya: “…. Orang yang bodoh
menyangka mereka (sebagai) orang kaya, karena memelihara diri dari minta-minta
…” (QS. Al-Baqarah:273).
Asal
Qana’ah adalah berhemat. Disebutkan dalam hadits: “Tidaklah menjadi miskin
orang yang berhemat.”
Selanjutnya, disebutkan
lagi dalam hadits: “Barangsiapa berhemat, Allah akan membuatnya kaya. Dan
barangsiapa boros, maka Allah membuatnya miskin.”
Percayalah
pada takdir Allah dan tenangkan hatimu dengan perbendaharaan Allah yang tidak
pernah habis. Allah Ta’ala berfirman: “… dan barangsiapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari
jalan yang tidak disangkanya.” (AS. At-Thalaq:2-3).
Apabila
keadaanmu sempit, maka tunggulah pertolongan dari Allah Ta’ala.
Sayyidina
Ali Karramaliahu Wajha berkata:
Janganlah kamu
tunjukkan kepada mianusia, kecuali kebaikan.
Musibah akan menimpamu
atau teman akan menjauhimu.
Jika rezeki hari ini menjadi sempit,
sabariah hingga esok.
Mudah-mudahan musibah dunia lenyap darimu.
Berkata
Ath-Thaghrai:
Kutenangkan jiwa dengan harapan yang aku nantikan
Alangkah
sempitnya kehidupan kalau bukan karena harapan yang lurus.
Abu
Firas Al-Hamdani berkata tentang qana’ah:
Sesungguhnya orang kaya
Itu adalah yang kaya jiwa.
Apabila kamu miliki sifat qana’ah, maka
segala sesuatu menjadi cukup.
Penyair lain
berkata:
Qana’ah menimbulkan setiap kemuliaan padaku
Kekayaan
manakah yang lebih mulia daripada qana’ah?
Jadikan ia sebagai
modalmu dan jadikan ketakwaan sesudah itu Sebagai barang dagangan.
Diantara hal-hal yang dapat membantu memelihara diri dari harta milik orang
lain, ialah mencari harta dari berbagai jalannya yang sah. Misalnya,
berdagang, bertani ataupun industri.
Dalam hadits
disebutkan: “Lebih baik seseorang di antara kamu mengambil tali-talinya,
kemudian pergi ke gunung dan mengambil kayu sambil memikulnya, lalu
menjualnya, hingga Allah melindungi wajahnya dari pada meminta-minta kepada
orang-orang, baik mereka memberi atau menolaknya.”
Hal
itu dapat memelihara kehormatan dan kemuliaa” Serta mendatangkan harta yang
membantu dalam berbagai urusan dunia dan agama serta menjauhkan bahaya-bahaya
pengangguran dan kekosongan.
Penyair berkata:
Sesungguhnya
masa muda, pengangguran dan kekayaan itu menimbulkan kerusakan yang besar bagi
manusia.
4. BUKTI NYATA BAGI YANG MEMBERI NASIHAT
Rasulullah saw. menerima tamu seorang
laki-laki yang kafir, lalu menyuruh memerah susu seekor kambing dan tamu itu
meminum susunya. Kemudian beliau menyuruh memerah susu dari kambing lain dan
orang itu meminumnya, hingga minum susu dari tujuh ekor kambing. Kemudian pada
waktu pagi dia masuk Islam. Maka, Rasulullah saw. menyuruh memerah susu seekor
kambing, lalu orang itu minum air susunya. Kemudian beliau menyuruh memerah
susu seekor kambing lainnya, namun orang itu tidak menghabiskannya. Maka,
Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin itu minum dalam satu usus, sedang
orang kafir minum dalam tujuh usus.” (H.R. Muslim).
Diceritakan, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz melihat anaknya pada hari raya
memakai baju yang sudah usang, maka dia menangis. Lalu anaknya bertanya:
“Kenapa ayah menangis?” Beliau berkata: “Hai anakku, aku khawatir hatimu sedih
di hari raya, apabila anak-anak melihatmu dengan baju yang usang ini.” Maka
berkatalah anak itu:
“Sesungguhnya yang sedih
hanyalah hati orang yang tidak mendapat ridha Allah atau mendurhakai ibu dan
ayahnya. Sungguh aku berharap Allah ridha kepadaku sebab ridhamu.” Maka
menangislah Sayyidina Umar dan memeluk serta mendoakannya.
Abdullah bin Dinar berkata: “Aku keluar bersama Umar ibnul Khattab ra. ke
Makkah. Lalu kami beristirahat di suatu jalan. Kemudian datang kepadanya
seorang pengembala dari gunung.” Umar berkata kepadanya: “Hai pengembala,
juallah kepadaku seekor di antara kambing-kambing ini.” Pengembala itu
menjawab: “Aku seorang budak.” Umar berkata: “Katakan kepada tuanmu, bahwa
serigala telah memakannya.” Pengembala itu berkata: “Jika begitu, dimana
Allah?” Maka Umar menangis.
Kemudian Umar
mendatangi tuannya, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya. Umar
berkata: “Perkataan ini telah membebaskanmu di dunia dan aku berharap ia akan
membebaskanmu di akhirat.”
Dalam hadits diterangkan: “Seorang laki-laki membeli sebidang kebun dari
seseorang. Kemudian ia menemukan sebuah pundi berisi emas di kebun itu. Maka
pembeli kebun berkata: “Ambillah emasmu dariku. Sesungguhnya aku hanya membeli
tanah darimu dan tidak membeli emas”. Pemilik tanah berkata: ‘”Sesungguhnya
aku menjual tanah itu beserta isinya padamu”. Kemudian kedua orang itu
mengadukan perkaranya kepada seorang laki-laki. Orang itu berkata: Apakah
kalian (berdua) mempunyai anak?’
Salah seorang
dari mereka berkata: “Aku mempunyai seorang anak laki-laki”. Yang satunya lagi
berkata: ‘Aku mempunyai seorang anak perempuan.’ Orang itu berkata:
‘Nikahkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan ini dan keluarkan
(belanjakan) bagi mereka (untuk keperluannya) dari emas itu dan
bersedekahlah’.” (H.R. Bukhari).
Diceritakan, seorang laki-laki menangkap seekor burung. Kemudian burung itu
berkata: “Apa yang ingin Anda lakukan terhadapku?” Orang itu menjawab: “Aku
akan menyembelih dan memakanmu.” Burung itu berkata: “Demi Allah, aku tidak
bisa memuaskan keinginan dan mengenyangkan dari lapar.
Akan
tetapi aku ajari kamu tiga perkara yang lebih baik bagimu daripada memakan
aku. Pertama, ketika aku berada di tanganmu. Kedua, bila aku berada di atas
pohon. Ketiga, ketika aku berada di atas gunung.” Orang itu berkata: “Ajarilah
yang pertama.” Burung itu berkata: “Janganlah kamu menyesali sesuatu yang
luput darimu.” Maka orang itu melepaskannya. Ketika burung itu berada di atas
pohon, orang itu berkata: “Ajarilah yang kedua”. Burung itu berkata:
“Janganlah kamu mempercayai sesuatu yang tidak terjadi”. Kemudian burung itu
terbang ke atas gunung. Kemudian burung itu berkata: “Hai orang yang sengsara,
seandainya kamu menyembelihku, tentu kamu keluarkan dari rongga . tubuhku dua
butir mutiara dan berat setiap butir adalah 20 mitsqal “. Orang itu menggigit
kedua bibirnya dan menyesal, seraya berkata: “Ajarilah yang ketiga.”
Burung
itu berkata: “Kamu telah melupakan dua perkara, maka, bagaimana aku ceritakan
kepadamu yang ketiga? Bukankah aku katakan, janganlah menyesali sesuatu yang
luput darimu dan jangan mempercayai sesuatu yang tidak terjadi? Daging, darah,
dan buluku, semuanya tidak mencapai berat 20 mitsqal, maka, bagaimana mungkin
terdapat dua butir mutiara di dalam rongga tubuhku, yang masing-masing seberat
20 mitsqal?” Kemudian burung itu terbang dan lenyap.
Maksud
dari cerita di atas adalah melarang keserakahan dan ketamakan.
5. KEJUJURAN DAN PENGKHIANATAN
Kejujuran termasuk akhlak yang agung dan kita
diperintahkan Allah untuk mengamalkannya.
Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya …..” (QS. An-Nisa’:58). .
Allah
menjadikan tanggung jawab amanat sangat berat, Oleh karena itu, Allah Azza wa
Jalla berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab:72).
Arti amanat ialah: Apabila manusia memelihara perintah-perintah Tuhannya. Di
samping itu, dia pun mengerjakan berbagai kewajiban, misalnya, shalat, puasa
dan haji, sebagaimana diperintahkan Allah mengamalkannya. Manusia harus
menjauhi perbuatan maksiat dan mungkar. Maka, dia tidak boleh mendurhakai
salah satu anggotanya, karena itu adalah amanat baginya, sedangkan Allah telah
melarangnya berbuat durhaka.
Ia harus menunaikan
hak-hak para hamba. Maka, dia tidak boleh mencuri, menipu, mengkhianati
titipan, mengingkari agama dan lengah dalam menunaikan kewajibannya terhadap
perbuatan yang diwajibkan kepadanya dan larangan-larangan lainnya.
Dalam
hadits dijelaskan: “Shalat, wudhu’ , timbangan, dan takaran adalah amanat.”
Dan hal-hal lain yang disebutnya, sedangkan yang paling berat adalah
titipan.
Dalam hadits lain diterangkan:
“Masing-masing di antara kamu adalah pemimpin, dan masing-masing da kamu
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin, dan dia
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di
dalam keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Wanita
adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Pelayan adalah pemimpin mengenai harta tuannya, dan dia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”
Termasuk amanat ialah: Apabila kamu memelihara hak dari beberapa majlis. Maka,
janganlah kamu menyiarkan rahasia-rahasianya. Banyak pertengkaran dan
pemutusan hubungan yang terjadi karena menyiarkan rahasia.
Dalam
hadits disebutkan: “Apabila seseorang berbicara kepada orang lain tentang
suatu hal, kemudian dia menoleh, maka ia merupakan amanat. Kecuali
majlismajlis maksiat, maka tidak ada kehormatan baginya.” Dalam hadits lain:
“Majlis-majlis itu harus disertai amanat, kecuali tiga majlis: menumpahkan
darah haram, kemaluan haram dan mengambil harta tanpa hak.”
Amanat adalah bukti adanya iman dan cinta kepada Allah, sedangkan kebalikannya
adalah khianat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. “ (QS. Al
Anfal: 58).
“.. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS.
An-Nisa’:107).
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) serta janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu
mengetahui.” (QS. Al-Anfal:27).
Dari Anas ra.,
beliau berkata: “Tidaklah Rasulullah saw. berkhotbah kepada kami, melainkan
beliau bersabda: “Tiada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanat dan tiada
agama bagi orang yang tidak menunaikan janji.”
Dalam
hadits lain disebutkan : “Tenda orang munafik Itu ada tiga, apabila berbicara
dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila diserahi amanat dia
berkhianat,”
“Oleh karena itu, Nabi saw. telah
memohon perlindungan dari khianat. Sabda Nabi: “Wahai Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kelaparan, karena la adalah seburuk. buruk teman tidur. Dan aku
berlindung kepada-Mu dari khianat, karena ia adalah seburuk-buruk
kekenyangan.”
Dalam hadits lain: “Apabila Allah
mengumpulkan antara orang-orang terdahulu dan yang kemudian di hari Kiamat,
(maka) setiap pengkhianat diberi (dikibari) bendera untuk mengenalinya.
Kemudian dikatakan: Inilah pengkhi-anatan si Fulan.”
6. KISAH SEORANG LAKI-LAKI YANG JUJUR
Rasulullah saw. bercerita tentang seorang laki-laki dari Bani
Israel yang minta dipinjami 1000 dinar oleh seorang yang lain dari Bani Israel
juga. Orang itu berkata: “Berilah aku saksisaksi, agar mereka menyaksikannya.”
Orang itu berkata: “Cukuplah Allah menjadi saksi.” Pemilik uang itu berkata:
“Berilah aku penjamin.” Orang itu berkata: “Cukup Allah sebagai penjamin.”
Pemilik uang itu berkata: “Engkau benar”. Kemudian dia menyerahkan uang
tersebut kepadanya hingga waktu tertentu, lalu peminjam itu berlayar dan
menyelesaikan keperluannya. Setelah itu, dia mencari kapal untuk dinaikinya
menuju pemilik uang, guna melunasi hutangnya dalam waktu yang telah
ditentukan.
Namun, dia tidak mendapatkan kapal.
Maka, dia pun mengambil sepotong kayu dan melubanginya, kemudian memasukkan
uang 1000 dinar dan selembar surat kepada temannya. Lalu dia mengatur letaknya
dan membawa kayu . itu ke laut seraya berkata: :
“Wahai
Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku meminjam uang 1000 dinar dari
si Fulan, oleh karena itu, aku mohon penjamin. Maka aku berkata: “Cukuplah
Allah sebagai penjamin.’ Dia pun setuju dengan-Mu. Dia minta saksi dariku,
lalu aku katakan: “Cukup Allah sebagai saksi.” Maka dia pun setuju dengan-Mu.
Aku telah berusaha mendapatkan sebuah kapal untuk mengirimkan uang miliknya.
Namun, aku tidak mampu. Sekarang aku titipkan uang itu kepada-Mu.” Kemudian
dia melemparkannya ke laut hingga terapung-apung di atasnya. Kemudian orang
itu pergi, sementara dia mencari sebuah kapal untuk berlayar menuju
negerinya.
Orang yang meminjami uang keluar ke
tepi laut untuk melihat, barangkali ada sebuah kapal datang membawa uangnya.
Tiba-tiba, datanglah sepotong kayu yang di dalamnya berisi uang. Maka, dia pun
mengambilnya sebagai kayu bakar buat keluarganya. Ketika dia menggergajinya,
ia menemukan uang dan surat.
Tidak lama, datang
orang yang meminjam uang darinya. Dia membawa 1000 dinar. Orang itu berkata:
“Demi Allah, aku tetap berusaha mencari sebuah kapal untuk membawa uang
kepadamu. Namun aku tidak menemukan kapal sebelum waktu keberangkatanku
kemari.” Pemilik uang itu berkata: “Apakah kamu telah mengirimkan sesuatu
kepadaku?” Peminjam uang itu berkata: “Kuberitahukan kepadamu, bahwa aku tidak
menemukan kapal sebelum waktu keberangkatanku kemari.” Pemilik uang itu
berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uangmu yang kamu kirimkan di
dalam sepotong kayu. Pergilah dengan uang 1000 dinar itu dengan benar.” (H.R.
Bukhari).
7 BERBUAT BENAR DAN BERDUSTA
Berbuat benar merupakan dasar akhlak dan
tonggak adab serta sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Macam
perbuatan yang benar sangat banyak. Yang paling tersohor dan menonjol ialah
pemberitahuan tentang hal-hal yang sebenarnya, baik dengan lisan, tulisan
ataupun isyarat, misalnya, menggoyangkan kepala dan memberi isyarat dengan
tangan serta dilakukan dengan diam.
Apabila kamu
melihat seorang murid melakukan perbuatan yang patut dihukum, lalu guru
menghukum anak lain secara tidak disengaja, sedangkan kamu diam, maka yang
demikian itu dianggap dusta. Berkata benar ialah apabila kamu berterus terang
kepada guru tentang siapa yang berhak dihukum.
Termasuk
macam-macamnya: bersikap benar dalam niat dan keinginan, berbuat benar dalam
tekad dan melaksanakan maksud, bersikap benar dalam perbuatan serta berbagai
urusan agama.
Bersikap benar dalam niat ialah:
Apabila kamu tidak mempunyai pendorong dalam gerak dan diam, kecuali Allah,
dan bukan karena menurut hawa nafsu. Inilah makna ikhlas, dan kebalikannya
adalah riya’.
Bersikap benar dalam tekad ialah:
Apabila kamu mempunyai kemauan yang benar untuk melakukan berbagai kebaikan
dan tidak memiliki kecondongan maupun kebimbangan, misalnya, kamu bertekad
memanfaatkan iImumu kepada orang lain, jika Allah mengaruniai ilmu. ‘
Penyair
berkata:
Apabila kamu mempunyai pendapat, hendaklah kamu mempunyai
tekad, karena pendapat yang buruk adalah bila kamu bimbang.
Berbuat
benar dalam melaksanakan maksud ialah: Apabila kamu bertekad melakukan,
kemudian melaksanakannya dan tidak mundur darinya. Misalnya, kamu katakan:
“Apabila Allah mengaruniaiku harta, aku akan menyedekahkannya.” Maka,
janganlah kamu mundur dari sedekah, apabila kamu mendapat harta.
Bersikap
benar dalam perbuatan, ia:ah: Apabila kamu tidak menampakkan
perbuatan-perbuatan yang berlainan dengan isi hatimu. Misalnya, memperlihatkan
sikap khusyu’ ketika shalat, padahal hatimu lalai, dan berjalan dengan sikap
tenang dan wibawa, sedangkan hatimu tidak bersifat begitu. Maka, berusahalah
menjadikan batinmu seperti lahirmu, atau lebih dari pada lahirmu.
Dalam
hadits disebutkan: “Ya Allah, jadikan batinku lebih baik daripada lahirku dan
jadikan lahirku suatu kebaikan.”
Bersikap benar
dalam berbagai amalan agama, misalnya, bersikap benar dalam pengesaan terhadap
Allah, sangat berhati-hati dari syirik yang serendah-rendahnya, bersikap benar
dalam rasa takut atas siksa Allah dan harapan akan pahala-Nya, itulah yang
dianjurkan.
Di samping itu, hendaklah kamu
bersikap benar dalam kecintaan dan keridhaan serta tawakal kepada-Nya dalam
segala urusanmu.
Agama telah
memerintahkan kita agar berbuat benar dalam semua perkataan dan keadaan,
walaupun hal itu menimbulkan bahaya bagi kita, misalnya Allah Ta’ala
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:119).
Dalam
hadits dijelaskan: “Berusahalah berbuat benar, walaupun kamu lihat bahwa di
dalamnya terdapat kebinasaan, karena pada hakikatnya terdapat keselamatan.
Jauhilah dusta, walaupun kamu lihat bahwa di dalam dusta terdapat keselamatan,
karena pada hakikatnya terdapat kebinasaan.”
Agama
sangat melarang kita berdusta. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya yang
mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS.
An-Nahl:105).
Dalam ayat lain diterangkan: “….
agar kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang pendusta.” (QS. Ali.
Imran:61). .
Dalam hadits yang lalu diterangkan,
bahwa ia termasuk tanda orang munafik.
Dalam
hadits lain: “Hendaklah kamu berkata benar, karena kebenaran menyebabkan
kebajikan, dan kebajikan menyebabkan masuk surga. Ada orang yang selalu
berkata benar dan berusaha berbuat benar hingga dia ditulis di sisi Allah
sebagai Shiddiq (pembenar). Janganlah kamu berdusta, karena dusta menyebabkan
kedurjanaan, dan kedurjanaan menyebabkan masuk neraka. Apabila hamba selalu
berdusta, maka dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
Alangkah indahnya perkataan yang benar! Dan alangkah bahagianya manusia yang
berkata benar. Dia hidup bahagia dan terhormat serta dipercaya di antara
masyarakat. Apabila berbicara, orang-orang membenarkan perkataannya karena
mereka tidak menuduhnya berdusta. Alangkah buruknya kedustaan itu, karena ia
adalah pokok setiap dosa dan penyebab setiap kejahatan serta sumber setiap
kesengsaraan dan kehinaan. Pendusta itu lebih keji dari pada pencuri, karena
pencuri adalah mencuri hartamu, sedangkan pendusta adalah mencuri akalmu.
Penyair
berkata:
Aku mampu menghadapi orang yang mengadu domba, sedang
terhadap pendusta aku tidak berdaya.
Siapa berbohong dalam apa yang
dikatakan, maka sedikitlah dayaku terhadapnya.
Alangkah
sengsaranya manusia yang berdusta dalam perkataannya. Dia telah kehilangan
kepercayaan manusia terhadapnya dan tidak berharga sedikit pun di sisi
mereka.
Mereka enggan berteman dengannya dan
tidak mempercayai mengenai segala sesuatu, walaupun dia benar.
Sebagaimana
kata penyair:
Engkau berdusta dan orang yang berdusta, maka sama
balasannya bila ia berkata benar, tidaklah ia dipercaya.
Penyair
lain berkata:
Apabila manusia dikenal suka berdusta, ja pun tetap
dianggap pendusta oleh masyarakat, walaupun berkata benar.
Jika dia
berkata, teman-teman duduknya tidak memperhatikan dan tidak mendengar
omongannya, walaupun dia bicara.
Apabila kamu
melakukan kesalahan, maka akuilah kesalahanmu, walaupun ayah atau gurumu marah
kepadamu. Janganlah kamu mengemukakan alasan atas kesalahan itu secara
dusta.
Semoga Allah membalas kebaikan penyair
yang berkata:
Hendaklah kamu berkata benar,
walaupun kebenaran itu membakarmu dengan api ancaman.
Carilah ridha
Tuhan, karena manusia yang paling dungu jalah yang membuat murka Tuhan dan
mencari kerelaan para hamba-Nya.
Dusta adalah penyakit yang jahat. Apabila manusia terbiasa melakukannya,
sulitlah baginya untuk melepaskannya. Sebagaimana kata Yahya bin Khalid: “Kami
melihat peminum khamar berhenti, dan pencuri mengakhiri per, buatannya, serta
pelaku perbuatan-perbuatan keji bertobat tetapi kami tidak melihat pendusta
berubah menjadi orang yang benar”.
Penyair
berkata:
Biasakan lisanmu berkata benar, maka kamu pun menjadi
benar.
Sesungguhnya lisan itu terbiasa dengan apa yang kamu
biasakan.
la bertugas menurut apa yang kamu buat dalam kebaikan dan
keburukan, maka lihatlah, bagaimana kamu membiasakannya.
Oleh
sebab itu, waspadalah agar jangan mudah berdusta dalam pembicaraan atau senda
guraumu.
Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah
penjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta,
walaupun dia bergurau.”
Dan janganlah kamu
berdusta, walaupun terhadap anak kecil. Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa
berkata kepada anak kecil: ‘Kemarilah, ambil ini’, kemudian dia tidak
memberinya, maka itu adalah dusta.” Ini adalah ajaran dari Rasul saw. bagi
setiap orang yang mengurusi pendidikan anak-anak, hingga mereka menjadi besar
di atas kebenaran sejak mereka kecil dan tidak menganggap dusta sebagai dosa
kecil.
Allah Ta’ala berfirman: “…. dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal ia di sisi Allah adalah besar.”
(QS. An-Nur:15)
Termasuk dusta
pula ialah kecurangan dan ingkar janji, kesaksian palsu, dusta mengenai nasab
(keturunan). dusta mengenai mimpi, dusta dalam sumpah dan buruk Sangka.
Nabi
saw. bersabda: “Maukah aku beritahukan tentang dosa terbesar?” (diulang tiga
kali). Kami menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah,
durhaka kepada ibu-bapak dan membunuh jiwa.” Tadinya beliau bersandar, lalu
duduk dan bersabda: “Ketahuilah, dan perkataan dusta: ketahuilah, dan
kesaksian palsu.” Beliau terus mengulanginya hingga kami katakan: “Semoga
beliau diam.” Beliau bersabda lagi:
“Sesungguhnya
termasuk dusta terbesar adalah apabila seseorang mengaku anak dari selain
bapaknya, mengatakan melihat sesuatu yang tidak dilihatnya atau mengatakan
sebagai perkataanku, padahal aku tidak mengatakannya.”
Dusta
terhadap Rasul saw. adalah macam dusta paling besar. Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits: “Sesungguhnya dusta terhadap diriku, tidaklah seperti dusta
terhadap seseorang. Maka, barangsiapa berdusta terhadapku dengan sengaja,
biarlah dia menduduki tempatnya di dalam neraka.”
Mengenai
larangan berburuk sangka dan bersumpah dusta dikatakan dalam hadits:
“Janganlah kamu berburuk sangka, karena sangkaan itu adalah pembicaraan paling
dusta. Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah
telah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga atasnya.”
Kemudian
seorang laki-laki berkata kepadanya: “Walaupun sesuatu yang sedikit, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Meskipun sebatang kayu arok.”
Kebenaran itu menyebabkan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia, maka
lihatiah (perhatikanlah) para dokter, pedagang dan tukang, apabila mereka
bertindak benar dalam pekerjaannya, bagaimana orang-orang mencintai dan
mempercayai mereka!
Mereka pun mendapat
keuntungan besar. Kebalikan dari itu adalah dusta. Sebagaimana tersebut dalam
hadits: “Dusta itu mengurangi rezeki.”
Kebenaran
juga menyebabkan pahala yang banyak dan kenikmatan yang kekal di akhirat.
Sebagaimana tersebut dalam Al-Our’an: “Allah berfirman: Ini adalah suatu hari
‘ yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka
surga yang di bawahnya mengali, sungai-sungai, mereka kekal didalamnya,
selama, lamanya: Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar’.” (QS. Al-Maidah:119).
8. BEBERAPA KISAH DARI ORANG-ORANG YANG BERKATA BENAR DAN DUSTA
Kaab bin Malik Al-Anshari ra. terlambat dari
mengikuti Perang Tabuk, padahal dia telah bertekad untuk berangkat, tetapi dia
menunda-nunda dan menangguhkan tekad hingga hilang kesempatannya, kemudian
sampailah berita kepadanya, bahwa Rasulullah saw. telah kembali dari Tabuk.
Maka, dia pun sangat sedih dan bermaksud mengemukakan alasan dusta atas
keterlambatannya. Akan tetapi dia memerangi nafsunya. Maka, dia membulatkan
tekadnya untuk berkata benar dan menceritakan secara terus terang, bahwa dia
tidak mempunyai alasan sedikit pun atas tertinggalnya dalam mengikuti
peperangan. Maka Nabi saw. memaafkannya dan turunlah ayat mengenai tobatnya
dalam Al-Our’an. Hal itu berkat kebenarannya dan dia tetap dalam keadaan yang
menyatakan kebenaran serta tidak pernah dengan sengaja melakukan dusta,
Kisahnya panjang dan telah tersebut dalam kitab-kitab sejarah.
2,
Disebutkan dalam hadits, bahwa Tsa’labah bin Hathib berkata: “Wahai
Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar Dia mengaruniai aku harta.” Maka
Rasulullah saw. bersabda:
“Wahai Tsa’labah,
sedikit harta yang kamu syukuri adalah lebih baik dari pada banyak harta,
tetapi tidak mampu kamu syukuri.”
Tsa’labah
memohon lagi kepadanya dan berkata: “Demi Allah yang mengutusmu dengan
kebenaran, seandainya Dia mengaruniai aku harta, tentu aku berikan hak setiap
orang yang mempunyai hak.” Kemudian Rasulullah saw. mendoakannya. Lalu dia
memelihara kambing. Kambingnya berkembang biak dengan cepat seperti ulat
(cacing), hingga kota Madinah terasa sesak karenanya. Maka, Tsa’labah pun
tinggal di sebuah lembah dan terputus dari shalat jamaah dan Jumat, lalu
Rasulullah saw. menanyakan tentang keadaannya. Maka dijawab oleh sahabat:
“Hartanya menjadi banyak. hingga tidak cukup ditampung dalam sebuah lembah.” “
Rasulullah saw. berkata: “Ah! Celakalah Tsa’labah.”
Kemudian,
Rasulullah saw. mengutus dua orang pemungut sedekah untuk mengambil sedekah.
Lalu orangorang menyambutnya dengan memberikan sedekah mereka. Kedua orang itu
singgah di rumah Tsa’labah untuk meminta sedekah darinya dan membacakan
kepadanya surat dari Rasulullah saw. yang berisi kewajiban-kewajiban. Maka
Tsa’labah berkata: “Ini tidak lain hanyalah pajak. Ini tidak lain hanyalah
semacam pajak.”
Selanjutnya dia berkata:
“Pulanglah, sampai aku putuskan pendapatku.” Ketika kedua orang itu pulang,
Rasulullah saw. berkata kepada mereka, sebelum keduanya bicara: “Ah! Celakalah
Tsa’labah” (diucapkannya dua kali). Kemudian turunlah ayat: “Dan di antara
mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah
memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan
pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’
Maka,
setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir
dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu
membelakangi (kebenaran).
Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, kare. na
mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka Ikrarkan
kepada-Nya dan (juga) karena me. reka selalu berdusta.” (QS. At-Taubah:
75-77).
Lalu Tsa’labah datang membawa sedekah.
Namun Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah melarang aku menerima
sedekah darimu.” Kemudian Tsa’labah menaburkan tanah di atas kepalanya.
Rasulullah saw. bersabda: “Inilah perbuatanmu. Aku telah menyuruhmu, namun
kamu tidak menaati aku.”
Ketika Rasulullah saw.
wafat, Tsa’labah membawa sedekah kepada Abu Bakar ra., tetapi beliau tidak
menerimanya. Kemudian dia membawanya kepada Umar ra. ketika beliau menjadi
Khalifah, beliau pun tidak menerimanya. Akhirnya, Tsa’labah meninggal di zaman
pemerintahan Utsman ra.
Dari
Anas bin Malik ra., bahwa pamannya yang bernama Anas bin Nadhr ra. tidak ikut
perang Badar bersama Rasulullah saw. Maka dia pun menyesali hal itu di dalam
hatinya.
Dia berkata: “Itu adalah perang pertama
yang dihadiri Rasulullah saw., dimana aku tidak hadir. Demi Allah, jika Allah
menunjukkan aku sebuah peperangan bersama Rasulullah, maka Allah akan melihat
apa yang aku lakukan.”
Dia berkata: Kemudian dia
ikut perang Uhud di tahun berikutnya. Saad bin Muadz menyambutnya seraya
bertanya: “Hai Abu Amr, hendak kemana kamu?” Anas menjawab: “Alangkah harumnya
bau surga. Aku merasakan baunya di dekat Gunung Uhud.” Kemudian dia berperang
hingga terbunuh.
Lalu ditemukan pada tubuhnya
lebih dari delapan puluh luka: di antaranya ada yang terkena panah, pukulin
dan tikaman pedang.
Saudara perempuannya, putri
An-Nadhr, berkata: “Tidaklah aku mengenali saudaraku, melainkan dengan
jarinya.” Kemudian turun ayat berikut: “… ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah …” (QS. Al-Ahzab: 23)
Tsauban ra. adalah bekas sahaya Rasulullah saw. yang sangat mencintai dan
gelisah apabila tidak melihatnya. Pada suatu hari, Tsauban menemui beliau,
sementara raut wajahnya telah berubah. Terlihat kesedihan. Maka Rasulullah
saw. bertanya kepadanya: “Mengapa warna wajahmu berubah?” Tsauban menjawab:
“Wahai Rasulullah, aku tidak sakit dan tidak menderita, namun bila tidak
melihat Anda, aku merasa sangat kesepian hingga berjumpa.
Di
samping itu, aku teringat akan akhirat, dan aku takut kelak tidak akan melihat
Anda, karena derajat Anda diangkat bersama para Nabi. Jika aku masuk surga,
maka derajatku lebih rendah daripada derajat Anda. Jika aku tidak masuk surga,
maka aku tidak akan melihat Anda sama sekali. Maka turunlah firman Allah
Ta’ala:
“Barangsiapa yang menaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (AS.
AnNisa”: 69)
Disebutkan dalam
hadits, bahwa Nabi saw. melewati setumpuk makanan. Kemudian beliau memasukkan
tangan ke dalamnya. Ternyata, jari-jarinya menyentuh barang basah. Maka beliau
bersabda: “Hai pemilik makanan, apakah ini?” la menjawab: “Makanan itu terkena
air hujan, wahai Rasulullah.”
Beliau berkata:
“Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan, agar terlihat oleh
orang-orang? barangsiapa menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami.”
Diceritakan, Al-Hajjaj berkhotbah secara panjang Ie. bar. Tiba-tiba,
berdirilah seorang laki-laki dan berkata: “Ingatlah shalat, karena waktu tidak
menunggumu dan Tuhan tidak memberimu alasan.” Maka Hajjaj memerintah agar me.
menjarakannya. Kemudian kaumnya mendatanginya. Mereka menganggapnya gila.
Mereka minta agar melepaskannya. Maka Al-Hajjaj berkata: “Jika dia mengaku
gila, aku akan melepaskannya.” Kemudian dikatakan kepadanya. Orang itu
berkata: “Semoga Allah melindungi. Aku tidak yakin, bahwa Allah menimpakan
cobaan padaku, sedangkan Dia telah mengaruniai aku kesehatan.” Sampailah
berita itu kepada AlHajjaj. Maka, beliau memaafkan karena kebenarannya.”
Diceritakan, seorang laki-laki mempunyai seekor sapi yang diperah susunya.
Kemudian dia mencampur dengan air dan menjualnya. Di saat sapi itu sedang
berdiri makan rumput, tiba-tiba datang banjir yang menenggelamkannya. Maka
orang itu sangat sedih atas kehilangan sapinya. Kemu“ dian anak-anaknya
berkata kepadanya: “Duhai Bapak kami, janganiah Anda bersedih, karena air yang
kita campur dengan susunya telah berkumpul dan menenggelamkannya.” Maka Orang
itu pun menyadari, bahwa penipuan itu berakibat kebinasaan dan kerugian.
9. KESABARAN DAN KEGELISAHAN HATI
Sesungguhnya kesabaran itu termasuk akhlak yang agung. la
merupakan taufik yang baik dari Allah bagi hambaNya yang beriman dan termasuk
tanda-tanda yang menunjukkan kebahagiannya. .
Kesabaran
terbagi menjadi tiga macam: dalam melakukan ketaatan: tidak berbuat maksiat:
dan dalam menghadapi musibah.
Macam pertama:
lalah bersabar untuk mematuhi perintah-perintah Allah Ta’ala. Dia pun bersabar
dalam menegakkan shalat, baik pada waktu sehat atau sakit, dalam perjalanan
atau menetap di rumah, serta dalam semua keadaan dengan melakukan seluruh
syarat dan rukunnya, dan tidak ceroboh dalam mengerjakan sunnah-sunnahnya.
Allah
Ta’ala berfirman: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabariah kamu dalam mengerjakannya …” (QS. Thaha: 132).
Bersabar
dalam menyempurnakan wudhu. Rasulullah saw, bersabda: “Maukah kutunjukkan
sesuatu, yang dengannya Allah dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat
derajat?”
Para sahabat menjawab: “Tentu saja
wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda:
“Sempurnakanlah wudhu dalam keadaan yang tidak menyenangkan (musim dingin) dan
perbanyaklah langkah menuju masjid serta menunggu shalat demi shalat. Itulah
perjuangan. Itulah perjuangan.”
Bersabar pula
dalam mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan haji ke
Baitullah, menuntut ilmu dan berbakti kepada kedua orang tua serta mengerjakan
perintah-perintah lainnya.
Allah Ta’ala
berfirman: “… Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabariah yang dicukupkan
pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
“..
dan bersabarlah kamu sekalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). ”
Rasulullah saw.
bersabda: “Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan,
sedangkan.api neraka dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan.”
Macam
kedua: Bersabar untuk meninggalkan maksiat. Ini adalah macam kesabaran
tertinggi dan paling utama. Kesabaran ini dilakukan dengan meninggalkan
hal-hal yang terlarang, misalnya, mendurhakai ibu-bapak, mengganggu
orang-orang, memakan harta mereka, mencuri, membunuh jiwa. minum khamar,
berzina, memandang pada hal-hal yang diharamkan dan lainnya. Terutama
perbuatan-perbuatan maksiat yang tersebar dan menjadi kebiasaan di antara
orang. orang, misalnya, menggunjing orang, mengadu domba, bersikap sombong,
dendam dan dengki.
Alangkah perlunya manusia
bersabar untuk me. ninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut, karena hal itu
adalah macam kesabaran terberat dan dengan itu ia men. dapat ridha Allah serta
selamat dari kemurkaan dan kebencian-Nya.
Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu)
orang-orang yang khusyu’ dalam shaiatnya, orang-orang yang menjauhkan diri
dari (werbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang menjaga kemuiuannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka aalam hal ini
tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik
itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
serta orang-orang yang memelihara shalatnya.
Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-11).
Macam
ketiga: Kesabaran dalam menghadapi musibah dengan menerima keputusan Allah dan
takdir-Nya serta menghindari keluh kesah (kegelisahan), karena ia adalah
amalan yang haram dan menghilangkan pahala. Tidak banyak mengeluh kepada
orang-orang, apabila dia sakit, kehilangan Sesuatu, diganggu orang, salah satu
dari keluarga atau orang yang dicintainya meninggal dunia, penghidupannya
terasa Sempit, atau tidak dapat mencapai suatu cita-citanya. Akan tetapi, dia
harus menyerahkan urusannya kepada Allah yang menguasai segala urusan.
Hendaklah dia mengeluh kepada Allah Azza wa Jalla atas cobaan yang menimpanya,
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang menceritakan tentang Sayyidina Ya’gub
as.: “Sesungguhnya hanyalah Kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku . (QS. Yusuf: 86).
Juga firman Allah
Ta’ala yang mengabarkan tentang Sayyidina Ayub as.: “Dan (ingatlah kisah)
Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya, Tuhanku), sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para
penyayang’.” (QS. AlAnbiya’ : 83).
Hendaklah
menghadapi semua musibah dengan segala kesabaran dan ketabahan. Dengan
demikian dia pun mendapat pahala yang besar dan Allah membebaskannya dari
kesedihan serta menyampaikan pada tujuannya di dunia atau menyimpan baginya di
akhirat pahala yang lebih besar dari itu.
Allah
Ta’ala berfirman: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6).
Allah
juga berfirman: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raaji’uun.’” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157).
Dalam
hadits: “Rasulullah saw. ditanya: “Manusia manakah yang paling keras
cobaannya?” Beliau men. jawab: “Para Nabi. Kemudian orang-orang yang terbaik
(sahabat-sahabat Nabi), lalu orang-orang pilihan (para ulama).” :
Manusia
diuji menurut kadar agama mereka. Maka, barangsiapa yang kuat agamanya,
semakin beratlah cobaannya. Dan barangsiapa yang lemah agamanya, semakin
ringanlah cobaannya. Ada orang yang ditimpa cobaan hingga dia berjalan di atas
bumi tanpa dosa.”
Dalam hadits lain: “Menunggu
kebebasan adalah ibadah.”
Dalam hadits lain lagi:
“Barangsiapa berusaha untuk sabar, maka Allah menjadikannya sabar. Tidaklah
seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari pada
kesabaran.”
Termasuk macam ini adalah kesabaran
dalam menghadapi berbagai musibah yang ringan. Sebagaimana tersebut dalam
hadits, ketika lampu Nabi saw. padam. Lalu beliau mengucapkan: Innaa lillaahi
wa innaa ilaihi raaji’uun. Kemudian Aisyah ra. berkata: “Ini hanya lampu!”
Maka Nabi saw. bersabda: “Setiap sesuatu yang mengganggu orang mukmin adalah
musibah.”
Disunahkan bagi orang mukmin. ketika
mengalami musibah, agar mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Dalam hadits disebutkan: “Barangsiapa mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji’uun pada waktu menghadapi musibah, maka Allah memberinya pahala
dalam musibah itu, dan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Maka,
hendaklah kamu selalu menjalankan kesabaran dalam segala keadaan, niscaya kamu
mencapai cita-cita mulia dan selamat dari ketakutan. Renungkanlah hadits yang
Mulia berikut:
“Kesabaran itu ada tiga macam,
yaitu: Kesabaran dalam menghadapi musibah, kesabaran untuk melakukan ketaatan
dan kesabaran untuk menjauhi maksiat. Maka, barangsiapa bersabar pada waktu
menghadapi musibah hingga menyatakan kembali kepada Allah dengan sebaikbaik
kesabaran, niscaya Allah menetapkan baginya 300 derajat, sedang jarak antara
dua derajat seperti antara langit dan bumi.
Barangsiapa
bersabar untuk melakukan ketaatan, maka Allah menetapkan baginya 600 derajat
dan jarak antara dua derajat seperti antara perbatasan bumi hinaga akhir bumi
itu.
Dan barangsiapa bersabar untuk meninggalkan
maksiat, maka Allah menetapkan baginya 900 derajat, jarak antara dua derajat
seperti antara perbatasan bumi hingga puncak ‘Arsy, dua kali.”
Penyair
berkata :
Sabarlah sedikit dan berlindunglah kepada Allah.
Jangan
terburu-buru, karena kegagalan itu dalam ketergesaan.
Kesabaran itu
seperti namanya dalam Setiap bencana, tapi akibatnya lebih manis daripada
madu.
Penyair lain berkata :
Dan
sedikit sekali orang yang bersungguhsungguh dalam suatu perkara yang
diusahakannya dan menjadikan sabar sebagai sahabatnya, melainkan ia
mendapatkan kesuksesan.
Kata penyair yang lain
:
Janganlah kamu berputus asa, walaupun lama tuntutannya
Jika
kamu andalkan kesabaran akan kamu lihat kebebasan.
Orang yang sabar
akan terpenuhi keperluannya dan orang yang selalu mengetuk pintu akan
masuk.
Diceritakan, seorang badawi (orang arab
yang hidupnya di padang pasir) mengucapkan takziah (belasungkawa) kepada
sahabat Jbnu Abbas ra. atas kematian ayahnya.
Maka
dia berkata :
Sabarlah, kita akan menjadi sabar denganmu.
Kesabaran
rakyat adalah sesydah kesabaran pemimpin lebih baik dari Abbas adalah pahalamu
sesudahnya dan Allah lebih baik darimu, bagi Abbas.
Kemudian
Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah seseorang mengucapkan takziah kepadaku yang
lebih baik daripada takziahnya.”
10. AKIBAT ORANG-ORANG YANG SABAR
Allah telah mengutus para
Nabi kepada kaum-kaum mereka dan menjadikannya sebagai ulul ‘azmi, yakni tabah
dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Yang paling utama di antara mereka
adalah Nabi kita, Muhammad saw. Sudah berapa banyak beliau diganggu, sejak
pertama kali diutus hingga wafatnya. Maka, beliau sangat bersabar karena
mematuhi firman Allah Ta’ala: “Maka bersabariah kamu, seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul …,” (Al-Ahgaf: 35).
Ketika
gangguan kaum musyrikin terhadapnya Meningkat, beliau berkata kepada pamannya,
Abu Thalib:
Demi Allah, hai Paman, seandainya
mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku
tinggalkan sedikit saja dari agama yang aku bawa dari Tuhanku, tentulah aku
tidak menyetujuinya . sampai Allah menampakkan kebenarannya atau aku binasa
dalam membelanya.”
Mereka meletakkan kotoran unta
di atas tubuhnya pada saat beliau sedang sujud di depan Ka’bah.
Mereka
mencekik dan ingin membunuh serta mengusirnya dari tanah kelahirannya
(Makkah). Mereka patahkan gigi dan melukai wajah sehingga berdarah serta
menjatuhkannya dalam sebuah lubang pada waktu Perang Uhud.
Mereka
memaki dan mendustakannya, menyihir dan meracunnya serta gangguan-gangguan
lainnya yang keras dan berlebihan. Mereka juga mengganggu keluarga dan para
sahabatnya. Namun beliau tetap sabar dalam menghadapi semua itu, sampai Allah
memenangkan agama dan menyenangkannya dengan keberhasilan tugasnya hingga
beliau wafat.
Sayyidina Nuh
as. bersabar dalam menghadapi gangguan kaumnya dan tinggal di antara mereka
selama 950 tahun. Mereka memukulnya sampai pingsan. Sayyidina Ibrahim as.
bersabar dalam menghadapi api Raja Namrud dan ketika disuruh menyembelih
putranya, Sayyidina Ismail as., hingga Allah menyelamatkannya dari kedua
cobaan itu. Sayyidina Ya’qub as. bersabar atas kehilangan anaknya, Yusuf,
hingga memutih kedua matanya karena sedih. Sayyidina Yusuf as. bersabar ketika
dimasukkan ke sumur dan penjara serta mengalami berbagai ujian lainnya.
Sayyidina Musa as. bersabar dalam menghadapi Bani Israel, Fir’aun dan Qarun.
Sayyidina Isa as. bersabar dalam menghadapi gangguan Yahudi. Para Nabi yang
lainnya bun bersabar. Di antara mereka ada yang dipotong dengan gergaji, ada
yang dikupas kulit kepala dan wajahnya, dan ada yang dibakar dengan api.
Diantara kisah-kisah Sayyidina Ayub as.: Bahwa Allah memberi kekayaan yang
banyak berupa unta, berbagai jenis ternak dan kebun. Allah mengaruniainya
istri dan anak laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi itu semua tidak
melalaikannya dari menyembah Tuhan dan menunakar kewajiban-kewajibannya.
Beliau
seorang yang menyayangi orang-orang Miskin menghormati tamu dan memelihara
anak-anak yatim serta para janda.
Kemudian Allah
mengujinya dengan berbagai cobaan berat pada badan, keluarga dan hartanya,
agar menjadi pe. lajaran baginya dan orang lain, di samping agar mereka
mengetahui bahwa dunia adalah tanaman untuk akhirat, sedang yang wajib atas
manusia adalah bersabar da am keadaan susah dan senang.
Sayyidina
Ayub terserang penyakit di tubuhnya selama 18 tahun dan rumahnya roboh menimpa
anak-anaknya h ngga semuanya meninggal. Harta bendanya terkena gangguan hingga
binasa. Kemudian setan menimbulkan perasaan waswas ke dalam dirinya. Namun
Allah melindunginya dari kejahatan dan menyelamatkannya dari fitnah setan.
Beliau menghadapi semua itu dengan kesabaran dan penyerahan diri di samping
menghadapi kenikmatan dengan pujian dan syukur.
Maka
Allah Ta’ala memujinya: “Sesungguhnya kami dapati dia (Ayub) seorang yang
sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada
Tuhannya).” (AQ. Shaad: 44)
Beliau berdo’a dan
memohon perlindungan kepada Tuhannya dalam menolak cobaan dari“Nya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan (ingatlah
kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya, Tuhanku), sesungguhnya aku
telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara
semua penyayang.
Maka, Kami pun memperkenankan
seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84).
Kemudian
Allah memberi karunia kepadanya dengan menjadikan Ayub muda dan sehat kembali
serta melipatgandakan keluarga, anak dan harta yang pernah dimilikinya,
sehingga keadaannya pun menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Demikian juga kesabaran Sayyidina Dawud, Sulaiman, Yunus, Zakaria dan Yahya.
Jejak mereka diikuti oleh para wali dan ulama. Mereka pun bersabar dan
mendapat pahala yang banyak. Di antara mereka ada yang tersebut dalam sebuah
hadits, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Sesungguhnya
ada orang di zaman dahulu yang diuji: pertama, dalam hal mencintai
anak-anaknya, dia pun bersabar dan selamat dari mendurhakai ibu-bapak. Kedua,
dalam hal mencintai putri pamannya, dia pun bersabar dan selamat dari
perbuatan zina. Ketiga, dalam hal mencintai hartanya, dia pun teguh di atas
kebenaran dan menyampaikan amanat serta selamat dari khianat. Lafazh hadits
tersebut ialah:
“Ada tiga orang dari umat sebelum
kamu bepergian, mereka masuk dan bermalam di dalam sebuah gua. Tibatiba jatuh
sebuah batu besar dari gunung hingga menutupi gua itu terhadap mereka. Maka,
mereka berkata: ‘Sesungguhnya tidak ada yang menyelamatkan kamu dari batu ini,
kecuali, bila kamu berdoa dengan perantaraan amal-amalmu yang shalih.’ Salah
seorang dari mereka berkata:
‘Ya, Allah, dahulu
aku mempunyai ibu dan bapak yang sudah lanjut usianya, sedangkan aku tidak
memberi minum susu seorang pun, baik keluarga maupun hamba Sahaya, sebelum
kedua orang tuaku.
Pada suatu hari, aku mencari
pohon untuk makanan ternak di tempat yang jauh hingga aku belum menjumpai
kedua orangtuaku, sampai mereka tidur. Maka, kuperah Susu bagi mereka dan aku
dapati kedua orangtuaku sedang tidur. Akan tetapi aku enggan membangunkan dan
tidak ingin memberi keluarga maupun hamba sahaya. Aku tetap diam sambil
memegang gelas di tanganku. Aku menunggu mereka bangun hingga terbit fajar,
sementara anak-anakku menjerit-jerit di kakiku. Ketika kedua orangtuaku telah
bangun, lalu mereka meminumnya.
Ya Allah, jika
aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah kami dari
batu ini.’ Maka, tersingkirlah batu itu sedikit. Namun, mereka tidak bisa
keluar dari goa itu.
Orang kedua berkata: ‘Ya,
Allah, aku mempunyai putri paman yang paling aku cintai. Aku menginginkan
dirinya, namun dia menolak keinginanku hingga dia mengalami musim paceklik
(kemarau panjang). Kemudian dia datang padaku. Aku pun memberinya 120 dinar
dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya kepadaku. Dia setuju hingga aku
berhasil menguasainya. Namun perempuan itu berkata: Takutlah kepada Allah dan
jangan melepas cincin,’? kecuali dengan haknya.”
Kemudian
dia kutinggalkan, padahal dia orang yang paling aku cintai. Aku tinggalkan
pula emas yang kuberikan kepadanya. :
Ya Allah,
jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah kami
dari kesulitan yang kami alami.” Maka batu itu tersingkir sedikit, tetapi
mereka belum dapat keluar dari tempat itu.
Orang
ketiga berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku (majikan) menyewa orang-orang dan
kuberi upah, kecuali satu orang yang membiarkan upahnya, kemudian pergi. Aku
pun mengembangkan upahnya hingga menjadi banyak hartanya. Setelah beberapa
waktu, dia (buruk itu) datang kepadaku. Dia berkata:
Wahai
hamba Allah, berikan upah yang dulu kepadaku. Aku berkata: Semua yang engkau
lihat adalah dari upahmu, yakni, unta, sapi, kambing dan budak.
Orang
itu berkata: Hai hamba Allah, janganlah kamu mengejek aku. Kemudian aku
berkata: Aku tidak mengejekmu. Orang itu pun mengambil semua miliknya. Dia
mengambil harta seluruhnya tanpa meninggalkan sedikit pun.
Ya
Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka bebaskanlah
kami dari kesulitan yang kami alami.’ Kemudian, tersingkirlah batu itu dan
mereka keluar sambil berjalan.”
11. BERSYUKUR DAN MENGINGKARI NIKMAT
Ketahuilah! Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung
memberimu nikmat yang banyak dan besar, khusus dan umum. Nikmat-nikmat yang
khusus misalnya, iman, Islam, wujud (terciptanya diri), akal, ilmu, rezeki,
kesehatan, keselamatan, makan, minum, tidur serta nikmat lain yang tidak
terhitung banyaknya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan
jika kamu menghitunghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan
jumlahnya ….” (QS. An-Nahi: 18).
.“Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya) ….” (QS. An-Nahl:
53).
Adapun nikmat-nikmat umum, yaitu: Allah
menciptakan langit dan isinya: berupa matahari, bulan dan bintang-bintang
untuk digunakan para hamba-Nya. Begitu pula bumi dan isinya : berupa lautan,
sungai-sungai, gunung-gunung, angin, berbagai hewan dan pohon-pohon.
Allah
Ta’ala berfirman: “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu, supaya
kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat
mencari sebagian karunia-Nya. Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Dan
Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian Itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
(QS. Al-Jaatsiyah: 12-13).
Oleh karena itu, kamu wajib bersyukur kepada Tuhanmu atas nikmat-nikmat ini.
Allah Ta’ala berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku
ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS: al-Baqarah: 152).
“..
maka carilah rezeki itu di sisi Allah dan sembahlah Dia serta bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut:
17).
Apabila kamu bersyukur kepada Tuhanmu, maka
tidaklah diragukan bahwa Allah akan membalasmu atas rasa syukur kepada-Nya.
Allah
Azza wa Jalla berfirman: “… dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur.” (QS. Ali-lmran: 144).
Di samping
itu, Allah akan menambah nikmat-Nya bagimu, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu
…” (QS. Ibrahim: 7).
Apabila kamu tidak bersyukur
kepada-Nya, maka Dia akan murka kepadamu, sebagaimana firman-Nya: “… dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim: 7).
Barangsiapa yang tidak mensyukuri
nikmat-nikmat Allah atas dirinya, maka dia telah membiarkan kehilangan
nikmatnikmat itu. Tersebut dalam hadits: “Mensyukuri nikmat itu menimbulkan
rasa aman dari kehilangannya.”
Penyair
berkata:
Apabila kamu dalam kenikmatan, maka
peliharalah kenikmatan itu karena maksiat menghilangkan kenikmatan.
Jagalah
kenikmatan itu dengan bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan cepat menghukum.
Banyak orang hanyut dalam nikmat-nikmat Allah Yang Maha Pemurah, tetapi mereka
lalai dari mensyukuriNya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13).
Tidaklah
diragukan bahwa faedah syukur akan kembali kepadamu, karena Allah tidak
membutuhkan dari seorang pun.
Allah Ta’ala
berfirman: “Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk dirinya sendirinya, dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (AlQS. Lukman: 12).
Di
antara doa-doa Nabi saw.: “Ya, Allah, jadikan aku orang yang bersyukur.
Jadikan aku orang yang sabar. Jadikan aku kecil di depan pandanganku dan besar
dalam pandangan orang-orang.”
Dalam hadits lain:
“Sungguh mengherankan keadaan orang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya
adalah kebaikan dan tidaklah hal itu terjadi untuk semua orang, kecuali bagi
orang mukmin. Jika mengalami kesenangan, dia pun bersyukur. Maka hal itu
menimbulkan kebaikan baginya. Jika mengalami kesusahan, dia pun bersabar. Maka
hal itu menimbulkan kebaikan baginya.”
Rasa syukur itu ialah: Pengalihan pandangan hamba atas semua kenikmatan yang
diberikan Allah kepada-Nya menjadi renungan untuk apa dia diciptakan.
Rasa
syukur itu dinyatakan dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Pernyataan syukur
dengan hati: Apabila kamu selalu mengingat Tuhanmu dengan hati yang disertai
ke cintaan dan pengagungan serta menggambarkan Seimuz kenikmatan dari Allah.
Pernyataan syukur dengan lisan: Apa. bila kamu mengingat-Nya dengan
puji-pujian yang menunjukkan rasa syukur kepada-Nya. Yang paling utama menurut
hadits ialah mengucapkan:
“Segala puji bagi
Allah, Tuhan sekalian alam, dengan pujian yang sesuai dengan kenikmatan-Nya
dan setimpal dengan tambahan-Nya.”
Hendaklah kamu
gunakan lisanmu untuk membaca AlOur’an, hadits, perkataan ulama dan menyebut
nama Allah serta mengucap shalawat atas Nabi saw., di samping berbicara yang
baik.
Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan
perdamaian di antara manusia ….” (QS. An-Nisaa’: 114).
Pernyataan syukur dengan anggota tubuh: Apabila kamu beribadah kepada-Nya.
Yaitu mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat untuk hartamu, berpuasa, pergi
haji ke Baitullah dan menggerakkan anggota tubuhmu untuk perbuatan yang
diridhai Allah SWT. Engkau pun berjalan dengan kedua kakimu untuk menuntut
ilmu, menunaikan shalat dan memenuhi keperluanmu serta keperluan orang lain,
terutama kedua orang tua dan guru-gurumu.
Hendaklah
kamu hindari berjalan kaki menuju maksiat, agar kamu tidak mengingkari nikmat
kedua kakimu. Hendaklah kamu bekerja dengan kedua tanganmu dalam melaksanakan
berbagai pekerjaan dan mengkhususkan tangan kanan dengan pekerjaan-pekerjaan
yang bersih. Disebutkan dalam hadits:
“Nabi saw.
menjadikan tangan kanannya untuk makan, minum, wudhu’, berpakaian, mengambil
dan memberi, sedangkan tangan kirinya untuk selain itu.”
Hendaklah
kamu hindari mengganggu seseorang dengan kedua tanganmu: baik dengan cara
memukul, mencuri harta, mengkhianati dalam suatu amanat atau titipan, ataupun
menulis sesuatu yang tidak boleh kamu bicarakan, karena pena adalah satu
lisan. Adapun cara mensyukuri nikmat kedua mata ialah, apabila kamu membaca
Al-Our’an yang mulia dan hadits yang terhormat serta kitab-kitab yang berguna
dengannya.
Di samping itu, untuk memandang
orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim dan cacat serta mengasihi dan
menolong mereka. Kamu juga memperhatikan orang-orang yang bodoh dan sesat,
lalu kamu ajari dan bimbing mereka ke jalan menuju keselamatan dan
kebahagiaan. Dengan kedua mata, kamu perhatikan tujuan-tujuanmu yang baik dan
keajaiban-keajaiban makhluk ciptaan Allah serta kamu pikirkan kebesaran dan
kekuasaan-Nya.
Hendaklah kamu tidak menggunakan
kedua mata untuk memandang hal-hal terlarang atau aurat.
Disebutkan
dalam hadits: “Allah melaknat orang yang memandang dan yang dipandang
(bilamana terlarang).”
Atau jangan menggunakannya
untuk menyelidiki aib orang lain dan memandang kepadanya dengan penghinaan dan
ejekan.
Dalam hadits dijelaskan: “Beruntunglah
orang yang disibukkan oleh aibnya hingga tidak mengurusi aib orang lain.”
Dalam
hadits lain: Cukuplah kejahatan seseorang bila dia menghina saudaranya yang
muslim.”
Mensyukuri nikmat dua telinga: Apabila
kamu menggunakannya untuk mendengarkan kebaikan, misalnya, bacaan Al-Our’an,
nasihat-nasihat dan ilmu pengetahuan: serta menjaga” keduanya dari kejahatan,
misalnya, mendengarkan ghibah (pergunjingan), namimah (mengadu domba) serta
perkataan yang keji.
Dalam hadits disebutkan:
“Sesungguhnya pendengar itu adalah sekutu dari orang yang mengucapkan
pergunjingan, dan dia termasuk salah seorang penggunjing.”
Kamu harus membesarkan nikmat Allah atas dirinya dengan memandang orang yang
di bawahmu dalam berbagai, urusan dunia, agar kamu bersyukur kepada Tuhanmu,
Allah Ta’ala, dan tidak meremehkan nikmat-nikmat-Nya. Adapun dalam
urusan-urusan agama, maka kamu harus memandang orang yang diatasmu, agar
bertambah kegiatanmu dalam ke. baikan dan menjadi besar keinginanmu akan
ketaatan. Nabi saw. bersabda:
“Barangsiapa dalam
urusan dunia memandang kepada orang yang di bawahnya dan dalam masalah agama
memandang kepada orang yang di atasnya, maka Allah menetapkannya sebagai orang
yang sabar dan bersyukur. Dan barangsiapa dalam urusan dunia memandang kepada
orang yang di atasnya dan dalam masalah agama memandang kepada orang yang di
bawahnya, maka Allah tidak menetapkannya sebagai orang yang sabar dan
bersyukur.”
Penyair berkata:
Barangsiapa
ingin kehidupan yang lapang dalam masa yang panjang atas agama maupun dalam
keduniaannya menjadi makmur,
Hendaklah ia memandang kepada orang
yang shalih (takwa) di atasnya.
Dan memandang kepada orang yang
lebih Sedikit harta daripadanya.
Apabila kamu
lihat seseorang terkena musibah dalam agama, akal, badannya ataupun selain
itu, maka bagimu disunahkan melakukan sujud kepada Allah atas keselamatan dari
cobaan tersebut.
Disunahkan pula mengucapkan
secara perlahan, aga! tidak terdengar: oleh penderita sehingga dia tidak
meras3 sedih atas ucapan itu: “Segala puji bagi Allah yang menye lamatkan aku
dari cobaan yang menimpamu dar melebihkan aku dari makhluk banyak yang
diciptakan Nya. “
Disebutkan dalam hadits:
“Barangsiapa mengucapkan perkataan itu, maka dia tidak ditimpa cobaan tersebut
selama hidupnya.”
Termasuk
pernyataan syukur kepada Allah Ta’ala Apabila kamu bersyukur kepada orang yang
berbuat baik kepadamu, khususnya kedua orangtua dan guru-gurumu.
Dalam
hadits dijelaskan: “Orang yang paling bersyukur kepada Allah lalah orang yang
paling bersyukur kepada manusia.”
Dalam hadits
lain: “Barangsiapa berbuat baik kepadamu, maka balaslah dia. Jika kamu tidak
dapat membalasnya, maka doakanlah dia hingga kamu mengetahui bahwa kamu telah
bersyukur, karena Allah mencintai orang-orang yang bersyukur.”
Sabda
yang lain: “Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak beryukur kepada
manusia.”
Adapun orang yang tidak berterima kasih
kepada orang yang berbuat baik kepadanya, maka dia adalah orang yang hina dan
jahat jiwanya.
Penyairberkata:
Aku
ajari dia memanah setiap hari, ketika sudah tepat bidikannya, dia pun
memanahku
Betapa banyak aku ajari dia membuat bait syair, Setelah
pandai bersyair, dia mencaci aku.