Metode Kaum Sufi
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, al-Munqidz minad Dhalal
Judul terjemah: Pembebas dari Kesesatan
Judul asal dalam teks Arab: المنقذ من الضلال
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, tarekat, suluk
Penerjemah: Bahrudin Achmad
Daftar Isi
- Metode Kaum Sufi
- Hakikat Kenabian dan Kebutuhan Seluruh Makhluk kepadanya
- Alasan Kembali Menyebarkan Ilmu Setelah Berpaling darinya
- Kembali ke kitab: Terjemah Al-Munqidz minad Dhalal
METODE KAUM SUFI
Tatkala aku sudah rampung membicarakan berbagai ilmu ini, aku
hadapkan cita-cita kuatku untuk membicarakan metodanya kaum sufi. Aku telah
tahu bahwa metoda mereka dapat tercapai dan terwujud dengan sempurna hanya
melalui ilmu dan amal. Sedangkan keberhasilan ilmu mereka adalah menghilangkan
rintangan jiwa dan membersihkannya dari budi pekertinya yang buruk dan
sifat-sifatnya yang tidak baik, sehingga jiwa ini benar-benar akan sampai
kepada pengosongan hati dari selain Allah ta’ala serta menghiasinya dengan
dzikir kepada Allah.
Menurut pandanganku ilmu itu lebih mudah dari pada amal. Oleh karena itu aku
mulai dulu untuk mendapatkan ilmu mereka dengan cara menelaah kitab-kitab
mereka, seperti kitab “Qutul Qulub” oleh
Abi Thalib Al-Makki rahimahumullah dan beberapa kitabnya Al-Harits
Al-Muhasibi serta berbagai karangan terkenal yang berhasil dikarang oleh Imam
Junaid, AsySyibli, Abu Yazid Al-Busthami dan lain- lainnya yang terdiri dari
pembicaraan guru-guru mereka, hingga aku benar-benar berhasil melihat dan
menelaah secara mendalam mengenai hakikat maksud keilmuwan mereka. Di samping
itu aku juga telah berhasil meraih apa yang bisa aku dapatkan dari metoda
mereka dengan cara belajar dan mendengarkan.
Dan nampaklah olehku untuk mengkhususkan orang-orang khusus mereka selagi tidak sampai kepadanya kecuali dengan belajar bahkan dengan citarasa, keadaan dan pergantian berbagai sifat. Kemudian berapa saja perbedaan untuk mengetahui batasan sehat dan batasan kenyang disertai beberapa sebab dan berbagai syaratnya serta perbedaan yang menjelaskan bahwa seseorang itu dikatakan sehat dan dikatakan sebagai orang yang kenyang, dan perbedaan untuk mengetahui batasan mabuk. Mabuk adalah suatu gambaran dari suatu keadaan di mana uap itu membumbung naik dari perut besar menuju ke atas rongga fikiran. Dan bagaimana keadaan seseorang yang sedang mabuk itu. Bahkan orang yang mabuk tidak akan mengetahui batasan mabuk dan pengetahuan tentangnya. Akan tetapi orang yang sadar sepenuhnya, dia akan tahu tentang batasan mabuk, sendi-sendinya dan keadaan yang berkaitan dengan mabuk itu sendiri.
Seorang dokter dalam keadaan sakit, tentu tahu batasan sehat, sebab-sebabnya serta obat- obatnya, padahal dia sendiri tidak dalam keadaan sehat dan kehilangan kesehatannya. Demikian halnya perbedaan ada untuk mengetahui hakikat zuhud, syarat-syaratnya dan sebab-sebabnya, dan antara keadaan anda sebagai orang yang zuhud dan keterasingan diri anda dari dunia, sehingga secara yakin anda akan tahu bahwa kenyataannya mereka merupakan orang-orang yang banyak bertindak dan bukannya orang-orang yang hanya pandai bicara.
Apa saja yang dapat diraih dengan cara ilmu, tentu sudah aku raih dan tiada
yang tersisa kecuali apa yang tidak bisa ditempuh dengan cara mendengarkan,
mempelajari bahkan dengan cita rasa dan suluk.
Keberhasilanku dari berbagai ilmu yang telah aku latih dan telah aku
coba dan beberapa suluk yang telah aku tempuh dan aku alami dalam rangka
meneliti tentang fan ilmu-ilmu syar’iyyah dan aqliyyah, merupakan keimanan
yang yakin terhadap Allah ta’ala, terhadap kenabian dan hari akhir. Tiga pokok
keimanan ini yang justru telah menancap dalam jiwaku, bukan hanya sekadar
dengan dalil tertentu, namun disertai pula dengan berbagai sebab dan
bukti-bukti konkrit serta berbagai eksperimen yang tidak mungkin bisa
diuraikan secara terperinci satu persatu.
Sampailah aku pada suatu kesimpulan bahwa tiada lagi suatu ambisi dan
angan-angan untuk meraih kebahagiaan akhirat kecuali hanya dengan taqwa dan
mencegah serta mengekang hawa nafsu. Sedangkan pangkal dari hal itu semua
adalah memutuskan kontaknya hati dengan dunia melalui cara menjauhkan diri
dari alam yang penuh tipu daya dan kepalsuan menuju kepada alam yang kekal dan
menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Dan semua itu tidak akan
tercapai dan sempurna kecuali dengan memalingkan diri dari pangkat, harta dan
lari dari berbagai kesibukan serta kerepotan.
Kemudian aku mengadakan penelitian terhadap kondisiku, ternyata aku menemukan
diriku sedang terbenam dalam berbagai kesibukan. Saya telah mengadakan liputan
dan mengadakan pengamatan terhadap amal-amalku dari berbagai sisi—sedangkan
yang paling baik adalah bidang pengajaran dan pendidikan—ternyata aku
dihadapkan kepada ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat dalam
menempuh akhirat. Kemudian aku berfikir tentang niatku dalam memberi
pengajaran, tetapi tak tahunya niat itu tidak lagi murni ke hadapan Allah SWT,
bahkan pembangkit dan penggeraknya adalah usaha mencari pangkat dan
menyebarkan nama baik sehingga aku berkeyakinan bahwa saya benar-benar sudah
berada di bibir jurang yang membahayakan dan saya benar-benar telah berada di
pinggir neraka, jika saja aku tidak menyibukkan diri untuk menarik keadaanku
yang sudah seperti ini.
Senantiasa aku berfikir mencari pemecahannya
selama beberapa waktu, untuk menentukan langkah dan arah secara mantap.
Sesudah itu barulah aku menemukan suatu kesempatan baik di mana aku sudah
mempunyai tujuan dan cita-cita kuat untuk keluar dari Baghdad dan berpisah
dengan beberapa pengaruh lingkungan.
Dalam cita-citaku yang demikian itu terbentur oleh keragu-raguan yang
kadang-kadang mau dan kadang-kadang mundur. Kesenanganku mencari akhirat
tidaklah menjadi bersih dan jernih pada pagi hari melainkan dia terbawa oleh
pasukan syahwat (keinginan) sehingga dia yang membikinnya lemah dan letih pada
waktu sore hari. Kemudian keinginan- keinginan dunia itulah yang menyeretku
dengan rantai-rantainya kepada suatu tempat. Adapun panggilan iman selalu
mengumandangkan: “Mengembara! Mengembara! Padahal umur yang tersisa tinggal
sedikit, sementara itu perjalanan yang terbentang di depan anda amatlah
panjang dan amal serta ilmu yang anda miliki hanya merupakan riya dan
imajinasi. Jika tidak mempersiapkan diri sejak sekarang untuk meraih akhirat,
lantas kapan lagi anda persiapkan hal itu.
Dan jika anda tempuh sekarang, lantas kapan anda menempuhnya? Setelah
itu, terbetiklah ajakan serta teguhnya pendirian untuk melarikan diri dari
ikatan-ikatan keduniawian.
Tetapi kemudian syaitan datang kembali seraya berkata: “Ini adalah keadaan
baru dan hendaklah anda jangan menyetujuinya, sebab dia sebentar saja akan
musnah dan sirna. Jika anda menurutinya lalu anda meninggalkan pangkat serta
jabatan yang penting ini ditambah kedudukan yang sudah teratur dan sepi dari
kesukaran serta kesulitan masih ditambah lagi urusannya orang Islam yang sudah
murni dan jernih dari pertentangan, maka barangkali jiwa anda menjadi senang,
namun anda tidak akan mudah untuk mengulanginya lagi”. Oleh karena itulah aku
senantiasa ragu-ragu antara terseret oleh keinginan-keinginan dunia dan
dorongan- dorongan untuk meraih akhirat selama kurang lebih enam bulan yang
berawal dari bulan Rajab tahun 488 H. Dan dalam bulan inilah keadaannya memang
benar-benar telah melampaui batas kebiasaan sampai kepada batas dharurat
(terpaksa), sebab Allah telah mengunci lidahku sehingga aku benar-benar
kesulitan untuk memberikan pengajaran serta kuliah- kuliah.
Dalam keadaan sudah seperti itu aku berusaha sekuat tenaga untuk belajar
sehari penuh guna menyenangkan hati yang sedang bentrok. Dan pada hari itu
lidahku tidak lagi bisa berkata sepatah pun danjuga tidak mampu untuk
mengatakannya sama sekali. Kemudian penderitaan yang berupa kegaguan lidahku
menimbulkan suatu kesusahan yang mengganggu pada pencernaan makanan serta
minuman, sehingga minuman tidak terasa segar lagi begitu pula suapan pun tidak
lagi bisa dicerna dan akhirnya berlanjut kepada lemahnya kekuatan jiwaku.
Sampailah pada suatu kesimpulan di mana para dokter sudah memutuskan untuk
mengobatiku. Mereka berkata: “Ini merupakan suatu penyakit yang telah
menyerang di dalam hati, dan dari sana penyakit itu menjalar kepada suhu
badan. Maka tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan dan mengusir
rahasia tentang kesedihan yang amat menyakitkan”.
Ketika aku telah
merasakan ketidakmampuanku dan sudah gugur semua ikhtiarku, maka aku
berlindung diri kepada Allah ta’ala sebagaimana mestinya orang yang kepepet
dan sudah tidak ada tempat untuk menghindar lagi. Maka tak antara lama
permintaanku itu diijabahi oleh Dzat yang memperkenankan permintaan orang yang
terjepit bila dia mau meminta. Kemudian dengan gampang hatiku berpaling dari
pangkat, harta, keluarga, anak dan beberapa sahabat.
Saya sengaja menampakkan niatku untuk pergi ke Makkah, pahal dibalik itu aku menyembunyikan diri akan pergi ke Syam, karena aku sendiri khawatir bila ketahuan oleh khalifah dan sejumlah teman dan sahabatku atas niatku menetap di Syam.Kemudian aku mengadakan ramah-tamah dengan tipu muslihat yang amat halus dalam usahaku keluar dari Baghdad dengan niat tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya. Lantas aku menghadap dan sowan kepada seluruh imannya penduduk Iraq, sebab di antara mereka tidak ada yang membolehkan jika berpalingku dari apa yang sedang aku alami sekarang merupakan sebab agama, karena mempunyai dugaan bahwa hal itu merupakan kedudukan yang paling tinggi dalam agama. Dan kata mereka bahwa kedudukan itu merupakan kedudukan yang paling puncak dari pada ilmu. Kemudian di kalangan masyarakat timbullah kekacauan dalam mengadakan dan mengeluarkan buah fikiran mereka dan dari kalangan orang-orang Iraq timbul suatu anggapan bahwa hal itu merupakan peringatan dari pihak penguasa. Adapun orang-orang yang kedudukannya dekat dengan penguasa tentu mereka tahu dan benar-benar menyaksikan betapa para penguasa itu amat menggantungkan dirinya kepadaku, tidak senang kepadaku, di samping itu mereka juga menyaksikan bagaimana saya tidak memperdulikan mereka dan dari menengok kepada ucapan mereka, sehingga mereka berkata: “Ini merupakan perkara samawi (langit) dan tidak ada sebabnya kecuali mata yang telah mengena kepada pemeluk Islam dan kelompok ilmu”.
Tak antara lama, aku meninggalkan Baghdad lalu aku lepaskan semua yang pernah menjadi milikku yang terdiri dari harta benda dan tidak ada yang aku simpan melainkan sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan dan sekadar makanan pokoknya anak- anak dengan pertimbangan harta yang berada di Iraq memang disediakan untuk kemaslahatan sebab dia merupakan harta yang telah diwakafkan kepada orang-orang Islam. Karena saya tidak melihat di dunia ini akan harta yang telah digunakan oleh seorang yang alim untuk mencukupi keluarganya melebihi harta tersebut dalam hal kemaslahatannya.
Kemudian aku masuk negeri Syam lalu aku menempat di sana kurang lebih dua
tahun di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali uzlah, khalwah riyadhah
dan mujahadah dengan maksud utama membersihkan diri, melatih dan mendidik
akhlak dan memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah SWT sebagaimana
petunjuk ilmu tasawuf yang telah berhasil aku kuasai. Lantas aku mengadakan
kunjungan ke masjid Damsyik (Damaskus) dan aku melakukan I’tikaf di sana
beberapa saat lamanya. Kemudian aku naik di atas menara masjid sepanjang hari
dan tak lupa aku mengunci pintunya.
Setelah aku selesai beri’tikaf di
Masjid Damaskus, aku kembali meneruskan perjalanan menuju ke Baitul Muqaddas
kemudian aku melakukan tindakan yang sama seperti di kala aku berada di Masjid
Damaskus.
Setelah beberapa lama aku berada di Baitul Mmuqaddas, tergeraklah olehku
keinginan dan panggilan untuk menunaikan ibadah haji dan minta bantuan dari
beberapa barakahnya Makkah dan Madinah serta berziarah kepada Rasulullah SAW
setelah rampung melakukan ziarah ke Al-Khalil Ibrahim AS.
Kemudian aku
melakukan perjalanan menuju Hijza, tetapi aku terseret oleh cita-citaku dan
seruan anak-anakku untuk menengoknya, sesudah sekian lama aku tidak kembali
kendatipun tadinya aku sudah memutuskan tidak akan kembali lagi untuk selama-
lamanya.
Lagi-lagi uzlah mendapatkan kedudukan utama dan mendatangkan keinginan yang
kuat untuk berkhalwat dan membersihkan hati hanya untuk berdzikir kepada
Allah. Adalah berbagai kejadian dan peristiwa zaman, tugas-tugas penting
keluarga dan beberapa keharusan penghidupan yang justru merubah tujuan yang
sedang dicita-citakan serta mengganggu kejernihan khalwat, sehingga keadaan
tidak menjadi tenang dan jernih lagi kecuali dalam waktu-wakatu yang
berbeda-beda. Namun kendatipun demikian aku tidak akan memutuskan keinginan
untuk berkhalwat serta membersihkan hati tersebut. Sehingga demi mencapai
keinginanku itu aku harus menghadapi berbagai rintangan dan kembali bertarung
dengannya. Dan keadaan seperti itu berlangsung kira-kira sepuluh tahun.
Di tengah-tengah khalwatku ini tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung dan tidak mungkin diselidiki sedalam-dalamnya. Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekadar untuk dipetik manfaatnya adalah bahwa golongan sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah SWT saja dan perjalanan hidup mereka merupakan jalan yang paling lurus, akhlak mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akalnya orang-orang yang kreatif, kebijaksanaannya para cendekiawan, ilmunya orang-orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syara’ yang terdiri dari pada ulama mau merubah saja sedikit dari perjalanan hidup mereka dan akhlak mereka lalu mereka menggantinya dengan yang lebih baik niscara tidak mungkin akan bisa. Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian, padahal di balik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak lagi ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi.
Secara globalnya saja, lantas apa kara orang tentang terikat (cara) golongan
sufi itu? Padahal syarat utama dari pada tarikat ini adalah membersihkan hati
secara menyeluruh dari selain Allah ta’ala sedangkan kuncinya yang menempati
kedudukan keharaman dari pada shalat adalah menenggelaman hati secara
keseluruhan dengan berdzikir kepada Allah. Dan akhir dari pada syaratnya
adalah melebur diri secara keseluruhan kepada Allah, di mana ini merupakan
bagian akhir bila disandarkan kepada sesuatu yang hampir saja masuk di bawah
ikhtiar dan kasab sejak dari permulaan.
Dan tarekat semacam ini menurut
kenyataannya merupakan permulaan tarekat, sedangkan apa yang sebelum itu hanya
bagaikan koridor (gang yang terdapat di dalam rumah) bagi seorang yang akan
berjalan melewatinya. Dan justru dari permulaan tarekat inilah mukasyafah
(tersingkapnya segala tabir) dan musyahadah (dapat melihat dengan jelas)
dimulai, sehingga mereka dalam keadaan terhadi dapat menyaksikan malaikat dan
ruh-ruhnya para nabi ditambah lagi mereka masih bisa mendengarkan suara-suara
mereka lalu dari mereka pula golongan tarekat ini dapat memetik berbagai
faidah. Kemudian keadaannya menjadi meningkat mulai dari penyaksian terhadap
beberapa gambar dan lukisan sampai kepada derajat yang sulit untuk diucapkan
oleh mulut dan sudah sulit lagi untuk digambarkan. Dan kalaupun harus
diucapkan niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang besar sekali di mana sudah
tidak mungkin lagi untuk dilindungi dan secara kesimpulannya perkara yang
demikian ini akan sampai kepada suatu tempat yang hampir saja mendekati
imajinasi yang telah digambarkan oleh “Kelompok Hulul”, “Kelompok Ittihad”,
dan “Kelompok Wusul”. Sedangkan semua itu adalah keliru, di mana segi
kekeliruannya telah kami jelaskan di dalam “Kitab Al-Maqshad Al-Iqsha”, bahkan
orang telah mengena dan mengalami keadan yang semacam itu tidak seyogyanya
menambatas atas apa yang telah diucapkan oleh syair:
“Dan apa yang telah terjadi termasuk sesuatu yang tidak perlu aku
sebutkan, sebab dia disangka baik, tetapi anda tidak bertanya dulu tentang
khabar kebaikan itu”.
Sedangkan secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa siapa saja yang tidka
mendapat anugerah sedikir dari cita rasa, niscaya dia tidak akan mampu
mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan hanya sekadar mengena namanya
saja, menurut kenyataannya beberapa karamahnya wali merupakan langkah awal
dari pada nabi, dan terbukti bahwa hal itu merupakan keadaan permulaan
Rasulullah SAW tatkala beliau menuju Ke Gua Hira di mana di sana beliau menuju
ke Gua Hira di mana di sana beliau menyadari serta beribadah kepada Tuhannya
sehingga bangsa Arab berkata: “Sesungguhnya Muhammad sangat rindu kepada
Tuhannya”. Keadaan yang seperti ini hanya bisa diketahui secara pasti dengan
menggunakan cita rasa oleh orang yang biasa menggunakan cara yang seperti itu.
Maka barang siapa yang tidak dikarunia cita rasa niscaya dia akan bisa
menyakiti keadaan yang seperti itu dengan cara eksperimen (percobaan) dan
dengan cara dengar mendengarkan jika hanya dia banyak bersahabat dengan mereka
sehingga dia benar-benar faham dengan beberapa bukti keadaan. Lantas barang
siapa yang mau satu majlis dengan mereka niscaya dia akan dapat menyerap
faidah keimanan ini dari mereka. Sebab mereka merupakan suatu kaum di mana
teman duduknya tidak akan mengalami celaka. Dan barang siapa yang tidak
mendapatkan bagian menemani mereka, niscaya dia akan tahu kemungkinannya hal
itu secara yakin dengan saksi dalil-dalil sebagaimana yang telah kami sebutkan
di dalam “Kitab Ajaib Al-Qalb” yang kami sunting dari “Kitab Ihya
Ulumiddin”.
Menegaskan dengan dalil merupakan suatu ilmu, sedangkan mengenakan inti
keadaan itu merupakan cita rasa, dan menerima dari hasil dengan mendengarkan
dengan husnuzan (baik sangka) merupakan keimanan. Inilah tiga derajat,
sebagaimana yang sudah tertuang di dalam firman Allah ta’ala:
“Niscaya
Allah meninggikan derajat orang- orang yang beriman di antara kamu dan
orangorang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (Al-Mujadalah:
11).
Di samping kaum sufi ini yang telah mencapai derajat yang
demikian tadi, banyak terdapat kaum yang dungu. Mereka inilah yang tidak
mengakui pokok dan asal hal itu di mana mereka mengagumi omongan ini, mereka
mendengarkan lalu mereka mengejek dan katanya: “Sungguh mengherankan,
bagaimana mereka bisa mengigau.” Terhadap orang- orang yang berkomentar
demikian ini Allah ta’ala berfirman:
“Dan di antara mereka ada
orang yang mendengarkan perkataan sehingga apabila mereka ke luar dari sisimu
mereka berkata kepada orang yang telah diberi pengetahuan (sahabat-sahabat
Nabi): “Apa yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang- orang yang dikunci
mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu meeka.” (Muhammad:
16).
Di antara latihan tarekat kaum sufi yang telah berhasil aku
kuasai dengan jelas adalah hakikat kenabian serta khasiatnya. Oleh karena itu
sudah seharusnya dikemukakan menurut aslinya, mengingat kepada sangat
pentingnya kebutuhan akan hal itu.
HAKIKAT KENABIAN DAN KEBUTUHAN SELURUH MAKHLUK KEPADANYA
Perlu kiranya anda ketahui bahwa elemen manusia menurut asal
fitrahnya memang diciptakan dalam keadaan kosong bersahaja (lugu) artinya sama
sekali tidak memiliki pengetahuan tentang beberapa alamnya Allah ta’ala.
Alam yang telah diciptakan Allah amatlah banyak di mana tiada yang dapat
dihitung kecuali hanya Allah SWT seperti firman-Nya yang telah muncul dalam
Al-Quran:
“Tiadalah yang dapat mengetahui bala tentara Tuhanmu,
melainkan Dia sendiri” (Al- Mudatstsir: 31).
Untuk mengetahui alam
diperlukan perantara dan perangkat intelijensi dan setiap intelijensi
diciptakan untuk manusia guna mengetahui alam yang terpampang di depan kita.
Dan yang kami maksudkan dengan alam di sini adalah berbagai jenis perwujudan
yang ada di sekitar kita.
Permulaan sekali yang Allah ciptakan dalam diri manusia adalah indera peraba, sehingga dengan indera ini manusia dapat mengetahui berbagai jenis perkara yang terdapat di sekitar kita seperti panas, dingin, basah, kering, halus, kasar, dan lain-lainnya. Indera perasa hanya terbatas pada hal-hal itu saja dan tidak mampu menjangkau terhadap berbagai warna dan suara, bahkan seolah-olah warna dan suara itu baiknya tidak ada saja menurut indera peraba.
Kemudian setelah itu Allah menciptakan indera penglihat, sehingga dengan bantuan indera ini orang bisa mengetahui warna-warna dan beberapa bentuk. Indea ini memang lebih luas jangkauannya dari pada peraba.
Sesudah itu Allah menitahkan indera pendengar, sehingga berkat indera ini
orang lantas bisa mendengar berbagai suara dan beberapa bunyi- bunyian.
Kemudian
sesudah itu pula Allah menciptakan indera perasa, dan berkat indera ini
manusia bisa merasakan manis, pahit, kecut, getir dan lain sebagainya, sampai
manusia benar-benar telah melewati batas alam inderawi. Kemudian proses
selanjutnya Allah menciptakan manusia sebagai menyandang predikat “tamyiz”
yaitu masa sekitar umur tujuh tahun yang merupakan periode lain dari pada
sekian periode keberadaannya di dunia ini. Dalam periode ini manusia bisa
mengetahui perkara- perkara yang melebihi apa yang pernah dia kenal di dalam
alam inderawi, di mana dia belum pernah menemui sesuatupun di dalam alam
itu.
Sesudah itu manusia beranjak naik kepada periode lain, sehingga pada
akhirnya Allah menciptakan bagi manusia itu sebuah akal. Dengan akal inilah
manusia lantas bisa mengetahui berbagai perkara wajib, beberapa perkara jaiz
dan perkara- perkara yang mustahil serta langkah-langkah yang belum pernah dia
temui pada periode-periode sebelumnya.
Di belakang akal ini terdapat lagi periode lain yang di dalamnya tersingkat mata (penglihatan) lain yang dapat melihat perkara yang ghaib dan apa saja yang akan terjadi mendatang dan masih ditambah lagi perkara-perkara lain di mana akal tidak ikut campur dan terpisah darinya seperti tersingkirnya kekuatan tamyiz dari mengetahui perkara-perkara yang masuk akal, dan juga seperti tersingkirnya kekuatan perasaan dari mengetahui artian tamyiz. Sebagaimana sebuah contoh andaikata seorang yang tamyiz disodori berbagai pengertian yang masuk akal, niscaya dia akan menolaknya dan menjauhinya, demikian pula sebagian orang-orang berakal tentu akan enggan dan tidak mau menerima pengertian- pengertian kenabian serta menjauhinya. Dan tindakan yang seperti ini merupakan intinya kebodohan, sebab mereka sama sekali tidak merupakan intinya kebodohan, sebab mereka sama sekali tidak memiliki sandaran dan pancatan kecuali keengganannya itu hanya merupakan suatu periode dan tahapan yang belum bisa dia capai dan belum ditemukan di dalam dirinya, sehingga dia mempunyai dugaan bahwa hal itu tidak maujud (ada) di dalam dirinya.
Seorang yang buta sejak lahir, andaikan dia belum mengetahui beberapa warna
dan bentuk lewat omongan orang-orang banyak ataupun lewat mendengarkan lalu
dia diberitahu tentang hal itu untuk pertama kalinya, maka dia tidak akan
memahaminya dan tidak akan mengaku kebenarannya.
Allah ta’ala telah
memberi karunia kepada manusia dengan memberi kepada mereka akan beberapa
contoh dari khasiatnya kenabian yaitu tidur, sebab orang yang tidur bisa
mengetahui apa yang bakal terjadi dari perkara ghaib dengan secara jelas atau
masih dalam bentuk-bentuk perumpamaan (perlambang) di mana dia dapat
tersingkap dengan cara dijabarkan serta ditafsiri, demikian ini bila dia tidak
mampu untuk menjabarkannya sendiri.
Dan ada orang yang berpendapat: “Seseorang yang jatuh pingsan tidak sadarkan
diri seperti orang
yang sudah mati dan sudah hilang perasaannya, pendengarannya dan
penglihatannya, dia menjadi tahu perkara yang gahaib dan tidak
mengingkarinya”, lalu dia berkata: “Kekuatan perasaan merupakan penyebab idra
(bisa mengetahui). Oleh karena itu barang siapa yang tidak bisa mengetahui
berbagai perkara padahal perkara itu terdapat di sekitarnya dan hadir di
sisinya maka dia tidak dapat mengetahui sesuatu itu dalam keadaan tidur lebih
dikatakan masuk akal dan lebih utama serta lebih benar. Ini merupakan suatu
bentuk qiyas (analogi) yang bisa didustakan oleh wujud dan musyahadah.
Seperti
halnya akal merupakan suatu kadar dan ukuran manusia yang di situ terdapat
mata yang bisa dipakai untuk melihat berbagai macam benda yang bisa diterima
akal di mana indera tersisih darinya, maka kenabian juga merupakan suatu
gambaran dari kadar dan ukuran yang di sana terdapat mata yang memiliki cahaya
yang dalam cahayanya itu nampaklah keghaiban beserta perkara- perkara yang
tidak bisa lagi diketahui oleh akal.
Ragu-ragu terhadap kenabian
adakalanya terjadi karena:
1. Kemungkinan kenabian pada umumnya.
2. Kewujudannya dan
terjadinya, atau
3. Keberhasilannya bagi orang tertentu.
Tentang
bukti kemungkinannya ialah wujudnya kenabian itu sendiri, dan dalil
kewujudannya ialah wujudnya ilmu pengetahuan tentang alam di mana sudah tak
mungkin lagi bisa digambarkan oleh akal bagaimana caranya ilmu pengetahuan itu
bisa diraih dan dicapai, seperti ilmu kedokteran dan ilmu bintang. Sebab orang
yang menyelidiki dan membahas kedua cabang ilmu ini, dia akan tahu dengan
sendirinya tanpa difikir bahwa kedua ilmu ini tidak bisa diketahui melainkan
dengan ilham ilahi serta pertolongan dari sisi Allah SWT dan tidak ada cara
yang bisa ditempuh dengan eksperimen.
Di antara hukum ilmu bintang
terdapat sesuatu yang tidak bakal terjadi kecuali sesudah setiap seribu tahun
sekali, lantas bagaimana caranya hal itu bisa diraih dan dicapai hanya sekadar
dengan eksperimen (percobaan)? Demikian pula dengan khasiat-khasiatnya
obat-obatan.
Dengan bukti ini menjadi jelaslah bahwa di dalam “kemungkinan kenabian”,
terdapat cara untuk mengetahui perkara-perkara ini yang tak bisa ditangkap
oleh akal, dan inilah yang dimaksudkan dengan nubuwwah (kenabian) karena
nubuwwah merupakan suatu ibarat daripada perkara-perkara tersebut saja, bahkan
mengetahui jenis yang keluar dari penemuan akal merupakan salah satu khasiat
kenabian, di samping itu masih banyak khasiat lainnya. Sedangkan apa yang
sudah kami sebutkan hanya merupakan satu tetes air di dalam lautan kenabian
yang amatlah luas, di mana kami menyebutkannya karena anda memiliki contoh
darinya yaitu penemuan-penemuan anda di dalam tidur, dan di samping itu anda
juga memiliki berbagai ilmu yang sejenis dengannya yakni yang terdapat di
dalam ilmu kedokteran dan ilmu bintang. Dan ilmu- ilmu inilah merupakan
mu’jizatnya para nabi dan tidak akan bisa diraih dan dicapai oleh orang-orang
yang hanya mengandalkan akalnya saja.
Adapun khasiat-khasiat kenabian lainnya, hanya bisa diketahui dengan dzauq (cita rasa) dari salah satu ajaran kaum sufi yakni “suluk”, sebab ini hanya bisa anda fahami dengan suatu contoh yang telah dikaruniakan kepada anda yaitu tidur, dan andaikan saja tidak ada tidur niscaya anda akan bisa membenarkannya.
Apabila seorang nabi memiliki suatu khasiat di mana anda tidak memiliki contoh (padanan) sehingga anda tidak bisa memahami sama sekal, lantas bagaimana anda bisa membenarkannya. Padahal pembenaran itu bisa dilakukan setelah anda bisa memahaminya secara gamblang. Contoh seperti itu bisa anda dapatkan dalam permulaan-permulaan tarekat tasawwuf sehingga anda bisa memperoleh suatu bentuk cita rasa dengan ukuran yang telah ditetapkan, dan suatu bentuk pembenaran yang tidak bisa anda peroleh lewat jalan qiyas.
Khasiat yang hanya satu ini yang sudah cukup sebagai dasar untuk mempercayai
pokok kenabian.
Apabila di dalam hati anda terbetik keraguan terhadap
orang tertentu, apakah dia benar-benar seorang nabi atau tidak? Maka anda
tidak akan menjadi yakin kecuali setelah anda mengetahui keadaan orang
tersebut yang adakalanya dengan musyahadah, khabar yang sudah tersebar luas
atau dengan sekedar dengan-dengar saja. Sebab bila anda telah mengenai ilmu
kedokteran dan ilmu fikih, maka bisa saja anda mengetahui ahli-ahli fikih dan
beberapa dokter dengan hanya menyaksikan tingkah laku mereka dan ucapan-ucapan
mereka kendatipun anda tidak mengetahui sendiri dengan mata kepala. Anda juga
tidak akan tak berdaya untuk mengetahui keadaan Imam Syafi’i rahimahullah
sebagai seorang yang ahli dalam ilmu fikih, dan posisinya Jalinus sebagai
seorang ahli dokter terkenal dengan kenyataan sebenarnya bukan hanya sekadar
ikut- ikutan terhadap orang lain, yakni dengan cara anda mempelajari sedikit
dari ilmu fikih dan ilmu kedokteran serta menelaah buku-buku kedua orang tadi
beserta karangan-karangannya, sehingga anda mengetahuinya dan mendapatkannya
secara otomatis tentang keadaan mereka berdua. Demikian pula halnya jika anda
memahami benar tentang arti kenabian, lantas anda banyak mengadakan penelitian
dalam Al-Quran dan beberapa hadits, niscaya anda akan mendapat pengetahuan
secara otomatis bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW berada pada puncak derajat
kenabian yang paling tinggi, dan yang paling kuat. Hal itu bisa dibuktikan
dengan apa yang beliau ucapkan dalam beberapa ibadahnya dan pengaruhnya di
dalam menjernihkan hati.
Bagaimana beliau jujur dalam sabdanya:
“Barang
siapa yang beramal dengan ilmu yang telah diketahuinya, niscaya Allah akan
mewariskan ilmu yang belum dia ketahui” (Al- Hadits).
Dan bagaimana
pula beliau jujur dalam sabdanya:
“Barang siapa yang menolong orang
yang bertindak zalim, maka Allah akan menguasakan orang zalim itu padanya”
(Al- Hadits).
Serta bagaimana pula beliau berlaku jujur dalam
sabdanya:
“Barang siapa yang menjadikan beberapa duka citanya
menjadi satu duka cita, niscaya Allah ta’ala akan mencukupkan duka cita dunia
dan akhirat” (Al-Hadits).
Maka apabila hal itu anda coba dan anda
eksperimenkan dalam seribu dan dua ribu bahkan dalam beribu-ribu kali, anda
tentu akan memperoleh ilmu yang bisa ditangkap secara otomatis yang tidak bisa
dibantah lagi. Dari cara yang seperti itu, carilah keyakinan tentang kenabian
dan jangan cara kebenaran tongkat yang bisa berubah wujud menjadi ular serta
terbelahnya rembulan. Sebab jika anda hanya melihat hal itu saja niscaya anda
tidak akan bisa mengumpulkan berbagai bukti dan karenanya yang banyak dan
tidak bisa dihitung. Barangkali anda nantinya akan menduga bahwa perubahan
bentuk seperti di atas merupakan sihir, imajinasi dan fatamorgana serta suatu
yang menyesatkan dari Allah, sebab Allah telah berfirman:
“Allah
menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada orang yang
Dia kehendaki” (Al-Mudatstsir: 31).
Akan sampai pula kepada anda
tentang masalah mu’jizat, sebab apabila pancatan kepercayaan anda kepada
omongan yang sudah diatur di dalam arah konotasi mu’jizat, maka akan menjadi
kokohlah kepercayaan anda kepada omongan yang telah diurutkan pada segi
kemusykilan dan keraguan, sehingga kejadian yang di luar adat seperti ini
merupakan salah satu bukti serta salah satu karena pada sejumlah analisa anda,
sampai anda benar- benar mendapatkan ilmu dharuri yang tidak perlu lagi anda
menyebutkan dasar dan pancatannya dengan jelas seperti orang yang menerima
khabar mutawatir dari sekelompok orang, di mana dia tidak mungkin menyebutkan
bahwa keyakinan itu bisa diambil faidahnya dari seorang tertentu, bahkan dia
akan tidak tahu dari mana dia mendapatkannya dan yang jelas khabar itu tidak
akan keluar dari sekelompok orang tersebut, tetapi dia tidak akan bisa
memastikan
satuan-satuan orangnya. Maka yang demikian ini merupakan iman yang kuat
dan didasarkan atas ilmu. Adapun dzauq (cita rasa), dia bagaikan musyahadah
dan memegang dengan tangan. Dan ini tidak bisa ditemukan kecuali di dalam cara
tasawuf. Kadar dari pada hakikat kenabian ini sudah saya anggap cukup dalam
mencapai sasaran yang aku maksudkan sekarang, dan akan saya sebutkan segi
kebutuhannya.
ALASAN KEMBALI MENYEBARKAN ILMU SETELAH BERPALING DARINYA
Ketika saya melakukan uzlah dan khalwat secara aktif selama
kurang lebih sepuluh tahun, nampaklah olehku di tengah-tengah pekerjaanku dari
sebab-sebab yang tidak bisa aku hitung lagi, sekali tempo dengan dzauq dan
sesekali dengan ilmu yang berdasar pada dalil dan suatu kesempatan dengan iman
yang bisa diterima bahwa sebenarnya manusia itu dititahkan dari badan dan
hati. Yang saya maksudkan hati di sini adalah hakikat ruh di mana dia
merupakan tempat untuk mengetahui Allah SWT, bukannya daging dan darah yang
bisa dimiliki oleh orang yang mati dan hewan.
Perlu diketahui bahwa badan memiliki sehat yang dengan kesehatan ini
badan menjadi bahagia, di samping itu badan juga mengalami sakit yang
menjadikan kehancurannya. Demikian pula hati dia memiliki kesehatan dan
keselamatan, dan tidak ada yang akan selamat kecuali “orang yang datang kepada
Allah dengan hati yang suci”. Dan hati juga mempunyai penyakit yang
menyebabkan kehancuran abadi dan bersifat ukhrawi, seperti apa yang telah
Allah ta’ala firmankan: “Di dalam hati mereka ada penyakit”. Di tambah lagi
bahwa tidak tahu kepada Allah merupakan racun yang amat membahayakan, dan
bahwasanya durhaka kepada Allah dengan mengikuti hawa nafsu merupakan penyakit
yang menyakitkan. Sebaliknya ma’rifat (tahu) kepada Allah ta’ala merupakan air
penawar yang bisa menghidupkan, dan taat kepada Allah dengan tidak mengikuti
hawa nafsu merupakan obatnya hati yang menyembuhkan.
Tiada jalan lain untuk mengobati hati guna menghilangkan penyakitnya dan
mencari kesehatannya kecuali dengan memakai berbagai obat,
seperti halnya tiada jalan lain untuk menyembuhkan badan kecuali dengan
bermacam-macam obat.
Seperti obat-obat badan bisa berpengaruh dalam upaya
memberi kesembuhan dengan khasiat yang terkandung di dalamnya di mana khasiat
itu tidak bisa ditemukan oleh orang-orang yang berakal dengan bagian akalnya,
bahkan di situ seseorang harus ikut kepada para dokter yang telah mengambil
khasiat itu dari nabi-nabi yang telah melihat khasiat kenabian atas
khasiat-khasiat berbagai perkara. Demikian pula dengan sendirinya tampaklah
olehku bahwa obat-obat ibadah dengan segala batasan dna ukurannya yang telah
ditentukan dari pihak nabi-nabi yang tidak bisa diketahui segi pengaruhnya
dengan bagian akalnya orang-orang yang berakal, tetapi seseorang diharuskan
mengikuti para nabi yang telah mengetahui khasiat-khasiat itu dengan cahaya
kenabian, bukannya dengan bagian akal. Seperti juga obat-obatan yang tersusun
dari macam dan ukuran, maka sebagian obat-obatan itu berlipat ganda atas
sebagian yang lain dalam timbangan dan ukurannya sehingga perbedaan berbagai
ukuran obat-obatan tersebut tak lepas dari rahasia di mana rahasia itu
tercipta dari arah khasiat.
Demikian pula halnya dengan ibadah-ibadah yang merupakan obatnya penyakit hati yang tersusun dari beberapa pekerjaan yang beraneka ragam bentuk dan macamnya serta beraneka ragamnya ukuran, sehingga sujud merupakan penggandaan dari pada rukuk, dan shalat shubuh adalah separo dari pada shalat ashar dalam ukurannya, dengan demikian dia tidak terlepas dari suatu rahasia yang datangnya dari beberapa khasiat yang tidak bisa dilihat kecuali dengan cahaya kenabian.
Sungguh amat bodoh dan sangat dungu sekali orang yang hendak beristimbat (mengeluarkan khasiat) dengan cara akal di mana khasiat itu memiliki hikmah atau dia menduga bahwa hikmah itu hanya bisa disebutkan secara kebetulan saja dan bukannya lewat rahasia larangan yang terdapat di dalamnya yang mengharuskan untuk memakai cara khasiat tersebut.
Sebagaimana obat-obatan itu memiliki beberapa pokok yang merupakan
sendi-sendinya, dan memiliki beberapa tambahan yang merupakan kesempurnaannya
di mana masing-masing mempunya pengaruh khusus dalam mengamalkan pokok-pokok
khasiat tersebut, maka beberapa nafilah dan beberapa kesunatan juga merupakan
kesempurnaan untuk menyempurnakan beberapa sendi ibadah.
Secara garis
besarnya, para nabi merupakan dokternya penyakit hati. Adapun faidah akal dan
manfaatnya ialah supaya kita tahu akan hal-hal yang disebutkan tadi dan bisa
menyaksikan kenabian dengan mengakui kebenarannya serta mengerti kelemahan
dirinya untuk mengetahui sesuatu yang dapat diketahui dengan mata kenabian dan
mengambil dengan tangan kita lalu kita menyerahkannya seperti penyerahannya
orang buta kepada penuntunnya dan seperti penyerahan orang sakit yang bingung
kepada para dokter yang mengasihinya. Nah, hanya sampai sejauh itulah yang
bisa dicapai oleh kekuatan akal. Ia terletak di seberang, terpisah dari
sebagian yang lain yang dapat difahami hanya yang ada pertaliannya dengan apa
yang diberikan oleh dokter kepadanya.
Semua ini merupakan perkara-perkara yang telah kami ketahui secara
spontan yang berjalan pada jalur musyahadah yang aku alami selama aku beruzlah
dan berkhalwat.
Kemudian aku amati adanya kelemahan serta kemunduran pada
sendi kenabian, kemudian pada hakikat kenabian, kemudian pada pengamalan
terhadap apa yang telah dijabarkan oleh kenabian (nubuwwat). Kami membuktikan
sendiri akan meluasnya hal itu di tengah-tengah masyarakat, lantas aku
menganalisa tentang sebab-sebab terjadi lemahnya manusia serta lemahnya iman
mereka ternyata aku bisa menyimpulkan empat sebab:
1. Karena ada
hubungannya dengan mereka yang mendalami ilmu filsafat.
2. Karena ada
kaitannya dengan mereka yang menyelami tarekat tasawuf.
3. Karena ada
hubungannya dengan mereka mengaku diirnya sebagai kelompok ta’lim
(pengajaran).
4. Karena pergaulan dengan orang-orang yang memiliki tanda
sebagai yang berilmu di kalangan manusia.
Lantas aku mengadakan
pendekatan kepada manusia satu demi satu di mana aku bertanya siapa di antara
mereka yang seenaknya saja dalam menjalankan hukum syara’, aku tanyakan
tentang kebimbangannya dan aku selidiki akidah serta rahasia pribadinya.
Kemudian aku bertanya kepada salah seorang: “Kenapa anda seenaknya saja dalam
mengikuti hukum syara’? Jika anda benar-benar percaya kepada kehidupan
akhirat, kenapa anda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya kelak,
bahkan anda suka menjual perkara akhirat dengan perkara dunia? Ini merupakan
suatu tindakan yang bodoh sekali. Sebab anda tentunya tidak akan menjual dua
barang dengan satu barang. Lantas bagaimana anda menjual perkara yang tidak
ada akhirnya dengan hari-hari tertentu? Dan apabila anda tidak percaya kepada
kehidupan akhirat, berarti anda kafir. Maka aturlah diri anda dalam upaya
mencari iman lalu buatlah analisa apa yang menyebabkan kekafiran anda yang
khafi (tidak kentara) di mana dialah yang merupakan aliranmu yang berada di
dalam, dan dia yang menyebabkan keberanian anda kepada Allah di luar.
Jika anda tidak menjelaskannya dengan berbasa-basi iman dan merasa mulia dengan menyebutkan syara’ niscaya akan ada orang yang berkata, “Ini adalah suatu perkara, andaikata wajib dipelihara, niscaya ulamalah yanglebih pantas untuk menganiaya”. Si Fulan seorang yang terkenal di kalangan orang-orang utama tidak melakukan shalat. Si Fulan minum arak. Si Fulan memakan harta wakaf dan hartanya anak yatim. Dan Fulan memakan uangnya penguasa dan tidak mau menjaga dirinya dari harta haram. Si Fulan suka menerima uang sogok dalam pengadilan atau dalam persaksian dan masih banyak contoh lainnya yang sepadan dengan hal-hal di atas.
Orang kedua berkata di mana dia mengakui berilmu tasawuf dan menurut
anggapannya sendiri bahwa dia telah sampai pada suatu tingkatan yang sudah
tidak membutuhkan lagi untuk beribadah.
Orang ketiga berkata dengan
memberi alasan suatu syubhat lain dari sekian syubhatnya ahli ibadah, mereka
ini adalah orang-orang yang tersesat dari tarekat tasawuf.
Orang keempat yang bertemu dengan ahli ta’lim berkata: “Perkara yang hak
(benar) itu musykil sedangkan jalan untuk menuju ke sana tersumbat dan
perbedaan pendapat tentang kebenaran amatlah banyak, sementara itu sebagian
aliran (madzhab) tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya, dan dalil-dalil
akal saling bertentangan sehingga pendapatnya Ahlur Ra’yi tidak bisa
dipertanggung jawabkan lagi, orang yang mengaku Ahlit Ta’lim mengambil hukum
sendiri dan tidak memiliki argumentasi, lantas bagaimana aku dapat mengusir
keyakinan dengan keragu-raguan”.
Orang kelima berkata: “Saya melakukan hal ini tidaklah semata-mata karena taklid, tetapi aku melakukannya karena aku telah membaca ilmu filsafat lalu di sana aku menemukan hakikat kenabian, dan bahwa hasil hakikat kenabian itu kembali kepada hikmah dan maslahah. Adapun maksud dari pada pelaksanaan ibadah adalah membatasi dan mengekang orang-orang awam supaya tidak saling bunuh-membunuh, tidak saling bertengkar dan tidak mengumbar hawa nafsu. Tetapi saya bukan termasuk orang awam, sehingga aku harus masuk di dalam kandang taklif, saya adalah termasuk cendekiawan yang selalu mengikuti hikmah, dan saya tahu benar tentang seluk-beluk ibadah dan tidak lagi membutuhkan taklid”. Inilah kesudahan imannya orang yang membaca “Aliran Filsafat Ketuhanan” dan mempelajari aliran filsafat tersebut dari beberapa kitab karangannya Ibnu Sina dan Abu Nasr Al-Farabi. Mereka itulah yang pura-pura tahu benar tentang Islam. Dan bahkan terkadang anda akan menyaksikan dan melihat bahwa salah satu di antara orang yang beraliran ini membaca Al-Quran, menghadiri shalat jamaah, dan melakukan shalat-shalat fardhu, dan mengagungkan syariat dengan lisannya, namun kendatipun demikian dia tidak meningalkan minum arak dan beberapa bentuk kefasekan serta berbagai bentuk perbuatan mesum lainnya.
Jika ditanyakan kepadanya: “Apabila kenabian itu tidak benar, lantas untuk apa
anda mengerjakan shalat?” Barangkali dia akan bilang: “Untuk berolahraga,
kebiasaan penduduk negeri ini dan menjaga harta serta anak”. Dan barangkali
dia akan berkomentar: “Undang-undang syara memang benar dan kenabian juga
merupakan sesuatu yang benar”. Kemudian tanyakan kepadanya: “Lantas untuk apa
anda meminum arak?”. Spontan dia akan menjawab: “Arak dilarang dan haram untuk
diminum karena ia bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian, akan tetapi saya
berkat hikmah (kebijaksanaan) yang aku miliki dapat terhindar dari hal-hal itu
semua, dan saya melakukan ini dengan tujuan menajamkan serta mengarah
pikiranku”. Sampai-sampai Ibnu Sina telah menyebutkan di dalam wasiatnya yang
telah ditulisnya bahwa dia telah mengangkat janji kepada Allah ta’ala untuk
melakukan ini dan melakukan itu dan dia berjanji akan mengagungkan siapa saja
yang telah digariskan oleh syara dan tidak akan seenaknya saja dalam melakukan
ibadah agama (diniyyah) dan ibadah badan (badaniyyah) dan dia tidak akan minum
(arak) karena hanya senang-senang belaka, namun meminumnya karena dipakai
sebagai obat dan sebagai penyembuh. Sehingga kondisi final Ibnu Sina dalam
kejernihan serta kemurnian iman dan dalam menjalani ibadah adalah
mengecualikan minum arak demi tujuan penyembuhan.
Gambaran seperti itulah, gambaran imannya orang yang mengaku dirinya
telah beriman dari golongan “Filsafat Ketuhanan”. Iman yang seperti ini
beserta orang-orang yang sejalan dengan aliran ini telah memperdaya sekelompok
manusia dan ia tambah memperdaya mereka dengan suatu tipu muslihat yang bisa
melemahkan sanggahannya orang-orang yang tidak sependapat tatkala mereka
mengeluarkan sanggahannya dengan menentang ilmu pasti, ilmu logika dan
lain-lainnya yang terdiri dari sesuatu yang telah mereka miliki secara
otomatis, sebagaimana keterangan yang telah kami singgung di muka.
Ketika
aku melihat beberapa kelompok makhluk telah mengalami lemah iman sampai pada
batas ini dengan beberapa sebab ini pula dan jiwaku saya lihat memang
terpanggil untuk menyingkap ketidaktentuan ini, sehingga aib dan cacat mereka
itu sudah terasa begitu gampangnya bagiku dari pada sekadar meminum air karena
aku banyak menyelami ilmu mereka yakni golongan sufi, golongan filsafat,
golongan ta’limiyyah dan orang-orang yang tercatat sebagai ulama, maka
terpecahkan olehku bahwa hal itu bisa dipastikan terwujudnya di saat ini. Maka
tidak ada gunanya lagi anda melakukan khalwat dan melakukan uzlah sebab
penyakit benar-benar telah merata dan dokter-dokter sama sakit dan manusia
semuanya hampir terjerumus dalam kehancuran.
Kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri: “Kapan anda sendirian menyibakkan mendung dan mendobrak kegelapan ini? “Padahal zaman ini adalah zaman fatrah (kosong mujaddid), periodenya adalah periode kebatilan. Dan andaikata anda menyibukkan diri mengajak kepada manusia untuk meninggalkan cara-cara hidup mereka menuju kepada kebenaran, niscaya anda akan dimusuhi seluruh manusia pada zaman ini, lalu dari mana anda harus menentang mereka? Lantas bagaimana anda bergaul dengan mereka? Sedangkan hal itu bisa sukses secara sempurna haruslah ditunjang dengan zaman yang menolong dan penguasa yang benar-benar beragama kuat.
Kemudian aku minta keringanan kepada Allah ta’ala dengan tetap melangsungkan
uzlahku sembari beralasan karena tidak mampu untuk menampakkan kebenaran
dengan argumentasi. Lantas Allah ta’ala
mentakdirkan dengan menggerakkan hatinya penguasa pada waktu itu dari dirinya
sendiri dengan tanpa ada yang menggerakkannya dari luar, sehingga penguasa
tersebut mengeluarkan perintah tegas kepadaku untuk segera pergi ke Naisabur
guna mengisi kekosongan ulama. Dan perintah tegas itu memang sudah sampai pada
batas yang sudah tidak bisa dibantah lagi, andaikata aku bantah niscaya akan
memuncak kepada keadaan yang membahayakan. Kemudian terlintaslah di dalam
benakku bahwa sebab rukhsah (kemurahan) sudah benar-benar lemah, sehingga
tidak seyogyanya apabila pembangkit dan yang mendorongku untuk melakukan uzlah
yang tidak ada henti-hentinya adalah kemalasan dan ingin beristirahat, mencari
kemuliaan diri dan menjaganya dari gangguan makhluk, dan tidak mau menempatkan
diri secara enak dengan menghadapi kesulitan dan kekerasan manusia. Dan
bukankah Allah ta’ala berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang- orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta” (Al- Ankabut: 1-3).
Allah Azza
wa Jalla berfirman kepada Rasul- Nya di mana dia adalah makhluk-Nya yang
paling mulia:
“Dan sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelum
kamu, maka mereka bersabar atas apa yang telah menyebabkan mereka didustakan
dan mereka disakiti sehingga datanglah pertolongan Kami kepada mereka.
Tiadalahbisa ditukar peraturan Allah. Sesungguhnya telah datang kepada engkau
dari pekabaran rasul-rasul itu” (Al-An’am: 34).
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Yaasiin. Demi Al-Quran yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah
seorang dari rasul-rasul (yang berada) di atas jalan yang lurus (sebagai
wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu
memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum diberi
peringatan, karena itu mereka lalai”.
Sesungguhnya telah pasti berlaku
perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak
beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu
tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami
adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan
Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja
bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau
mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun
dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan
pahala yang mulia” (Yaasiin: 1-11).
Ayat-ayat tersebut di atas aku
musyawarahkan bersama dengan sekelompok ahli fikir dan orang- orang yang sudah
mencapai tingkat musyahadah. Kemudian mereka sepakat memberi isyarah untuk
meninggalkan uzlah dan keluar dari tempat menyepi. Dan hal itu masih diperkuat
oleh beberapa impiannya orang-orang shalih yang banyak sekali jumlahnya dan
sudah mutawatir di mana impian itu memberi kesaksian bahwa gerakan yang
seperti ini merupakan tonggak awal daripada kebaikan dan petunjuk yang telah
ditakdirkan dan digariskan oleh Allah SWT pada setiap penghujung seratus
tahun. Dan Allah juga telah menjanjikan akan menghidupkan agamanya, sehingga
harapanku menjadi semakin kokoh saja dan “husnuzan” saya menjadi menang
disebabkan adanya kesaksian-kesaksian ini.
Dan ternyata Allah ta’ala memberi karunia kegampangan untuk bergerak ke
Naisabur untuk melaksanakan urusan penting ini pada bulan Dzulqa’dah tahun
2999 H, sedangkan masa keluarku dari Baghdad pada bulan Dzulqa’dah tahun 488
H, sebab masa uzlaku berlangsung sampai sebelas tahun. Ini merupakan suatu
gerakan yang telah ditakdirkan oleh Allah ta’ala, di samping itu gerakan ini
merupakan salah satu keajaiban takdir Allah yang belum terpecahkan di dalam
hati selama menjalankan uzlah, seperti halnya keluarku dari Baghdad dan
meninggalkan keadaan-keadaan seperti itu sama sekali tak pernah terlintas di
dalam benakku. Memang Allah-lah yang merubah dan membolak-balik hatiku serta
keadaanku, seperti yang ditandaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Hatinya
orang-orang
mu’min itu terletak di celah-celah dua jari Ar-Rahman (Allah)”.
Saya tahu benar terhadap keadaanku, kendatipun aku kembali menyebarkan ilmu namun aku tidak kembali kepada keadaan sebenarnya, sebab kembali yang sebenarnya adalah kembali menjalankan kegiatan yang pernah terjadi dan pernah saya alami pada zaman itu di mana aku pernah menyebarkan ilmu demi meraih pangkat. Saya mengajak kepada ilmu itu dengan ucapan dan amalku, dan itulah yang menjadi maksud dan niatku. Adapun keadaan sekarang ini memang aku sedang mengajak kepada ilmu yang mengarah kepada suatu sasaran untuk meninggalkan pangkat dan ilmu yang bisa dipakai untuk mengetahui betapa rendahnya posisi pangkat. Tujuan seperti inilah yang merupakan niatku serta angan-angan yang telah saya idam- idamkan. Allah tentu tahu hal itu dariku dan saya sangat ingin memperbaiki diri serta gairahku. Saya tidak tahu apakah nantinya aku bisa sampai kepada maksudku ataukah nantinya aku gagal dalam mewujudkan maksudku tersebut, namun aku percaya sepenuhnya bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali hanya dari Allah Yang Maha Agung, dan sesungguhnya aku tahu bahwa saya tidak bergerak tetapi aku digerakkan oleh Allah. Di samping itu aku juga tahu bahwa saya tidaklah bekerja namun aku dibekerjakan Allah.
Dengan demikian langkah yang aku ambil, aku minta kepada Allah agar Dia sudi memperbaiki keadaanku, kemudian memperbaiki apa yang ada padaku, Dia mau memberi petunjuk kepadaku sehingga aku mendapatkan petunjuk. Dan hendaklah Dia mau memberi kekuatan kepadaku untuk melihat perkara yang benar sebagai sesuatu yang benar.
Dan hendaknya memberi rizki kepadaku untuk bisa mengikuti perkara yang benar secara konstan. Hendaknya Dia memperlihatkan suatu kebatilan kepadaku sehingga dengan demikian aku bisa dan mampu untuk menjauhi serta menghindarinya.
Sekarang aku kembali kepada apa yang pernah aku sebutkan dari berbagai sebab
lemahnya iman dengan menyebutkan metoda pemberian petunjuk dan penyelamatan
mereka dari berbagai kerusakan. Sedangkan orang-orang yang mengaku bingung
terhadapa apa yang pernah mereka dengan dari “ahli
pengajaran”, cara pengobatannya adalah uraian yang telah kami sebutkan di
dalam “Al-Qisthas Al- Mustaqim”, dan sengaja kami tidak membahas dan
menguraikan secara panjang lebar di dalam risalah yang sekecil ini.
Tentang hal yang dibingungkan Ahli Ibadah itu telah kami ringkas kesyubhatan-kesyubhatan mereka di dalam tujuh macam dan kami tuangkan serta telah kami ungkapkan di dalam kitab “Kaimiya As- Sa’adah”.
Dalam memberi sanggahan serta pengarah kepada orang-orang yang telah rusak imannya karena mereka menempuh jalannya ahli filsafat sehingga orang-orang ini mengingkari akan benarnya pokok- pokok kenabian, telah kami sebutkan hakikat serta wujudnya kenabian dengan suatu bukti adanya ilmu khasiat-khasiat obat-obatan, ilmu perbintangan dan lain sebagainya.
Kami kedepankan muqaddiman ini demu menunjang hal-hal tersebut. Di samping itu
aku juga menurunkan bukti-bukti dari khasiat-khasiat ilmu kedokteran dan ilmu
perbintangan sebab bukti-bukti tersebut bersumber dari ilmu mereka (Ahli
Filsafat).
Kami sendiri memberi penjelasan kepada setiap orang yang alim (pandai)
terhadap salah satu vak (disiplin) ilmu tertentu misalnya, seperti ilmu
kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu alam, ilmu sihir dan ilmu perazimatan
(tilsamah), dari ilmunya sendiri akan bukti-bukti kenabian.
Mereka yang menetapkan kenabian hanya dengan lisannya saja, tetapi kemudian meletakkan peraturan-peraturan syara berdasarkan hikmah, maka orang-orang yang seperti ini sudah jelas kafir terhadap kenabian, namun mereka percaya kepada seorang yang bijaksana dan penelaah tertentu di mana penelaahaannya itu sudah seharusnya untuk diikuti. Ini sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai percaya kepada kenabian, tetapi percaya kepada kenabian haruslah disertai ikrar dengan menetapkan perkembangan di belakang akal yang di situ terbukalah mata yang bisa mengetahui beberapa penemuan tertentu di mana akal tidak lagi berfungsi terhadapnya, seperti tidak berfungsinya pendengaran untuk bisa mengetahui berbagai warna, tidak berfungsinya penglihatan untuk bisa menangkap beberapa suara dan tidak berfungsinya seluruh indera untuk bisa mengetahui segala sesuatu yang didapat dari akal.
Jika sekiranya mereka tidak mau mengakui hal-hal ini, terpaksa aku mengemukakan bukti-bukti atas kemungkinannya bahkan atas kewujudannya. Dan bila mereka mau mengakui hal-hal ini, berarti telah menetapkan dan meyakini bahwa di sana terdapat beberapa perkara yang disebut dengan khasiat-khasiat yang sama sekali tidak bisa dijangkau oleh akal, bahkan akal cenderung membohongkannya dan menghukumi dengan kemustahilannya. Sebab seperenam dirham dari afiun merupakan racun yang mematikan, karena dia bisa membikin darah membeku di dalam pembuluh-pembulhnya saking dinginnya pengaruh yang dihasilkannya. Sedangkan orang yang mengaku tahu sedikit tentang ilmu alam tentunya akan menduga bahwa susunan benda itu menjadi dingin hanya disebabkan adanya dua unsur, yaitu unsur air dan unsur tanah, sebab keduanya merupakan dua unsur dingin. Dan sudah tidak asing lagi bahwa sekian liter air dan sekian liter tanah tidak bisa merasukkan kadar kedinginannya di dalam tubuh sampai kepada batas ini. Kemudian andaikata seorang ahli ilmu alam diberitahu hal ini, tetapi dia belum mencoba dan membuktikannya, tentulah dia akan berkomentar: “Ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi”. Adapun bukti kemustahilannya bisa dilihat bahwa di dalam tubuh manusia terdapat unsur api dan unsur udara, sedangkan unsur api dan unsur udara itu tidaklah bertambah kedinginannya sehingga kita bisa memperkirakan semuanya sebagai air dan tanah. Maka dengan demikian kesangatan dalam menimbulkan kedinginan itu tidaklah harus terjadi.
Maka apabila dua unsur panas bergabung di dalam diri manusia, sudah barang tentu lebih tidak mendatangkan pendinginan darah yang sampai membeku, dan ini dibilang sebagai suatu tanda bukti. Pada dasarnya kebanyakan bukti ahli-ahli filsafat di dalam ilmu alam dan ilmu ketuhanan bertumpu pada jenis ini, sebab mereka membayangkan berbagai perkara itu hanyalah berdasar pada perkiraan sesuatu yang telah mereka temukan dan yang sudah bisa mereka cerna dengan akalnya, sedangkan perkara-perkara yang tidak bisa mereka jangkau dengan akal, maka mereka perkirakan saja kemustahilannya. Andaikan saja tidak cepat tertolong oleh impian yang benar lagi terkenal dan ada orang yang mengaku bahwa tatkala seseorang itu tidur dapat melihat dan mengetahui perkara- perkara yang gaib, niscaya orang-orang yang melakukan jalan pemikiran seperti ini akan tidak mempercayainya.
Katakanlah kepada salah seorang: “Apakah mungkin terjadi di dunia ini ada sesuatu benda yang ukurannya sebesar biji-bijian yang diletakkan di suatu negeri. Kemudian tak antara lama sesuatu itu bisa menelan segala apa saja yang berada di dalam negeri tersebut, dan tak antara lama dia menghabiskan dirinya sendiri, sehingga tiada sesuatupun yang rupanya masih tertinggal dan tersisa dari negeri tersebut berikut segala isinya dan benda itupun sudah habis dan musnah sama sekali”, orang tersebut tentu akan bilang: “Ini merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, dan merupakan salah satu dari bentuk cerita- cerita khayal yang dibikin-bikin saja”. Padahal hal ini merupakan keadaannya api, dan sudah barang tentu dia akan diingkari seseorang yang sama sekali belum pernah melihat api seumur hidupnya tatkala dia baru mendengarnya. Dan kebanyakan dari pada keajaiban-keajaiban akhirat memang senada dan searah dengan cerita di atas.
Kami katakan kepada seorang ahli dalam ilmu kalam: “Anda terpaksa mengakui bahwa di dalam afiun terdapat khasiat yang berfungsi mendinginkan yang tidak perlu menganalogikan kepada sesuatu yang bisa diterima akal. Jika demikian halnya kenapa di dalam peraturan-peraturan syara tidak boleh terjadi adanya khasiat dalam memberi pengobatan terhadap hati serta menjernihkannya yang tidak bisa diketahui oleh kebijaksanaan serta kecerdikan akal? Malah khasiat itu tidak bisa dilihat kecuali dengan mata kenabian (fakta kenabian). Dan yang paling aneh dan ajaib adalah bahwa mereka bisa mengakui berbagai khasiat yang lebih aneh lagi daripada khasiat ini, yaitu suatu khasiat yang telah mereka turunkan di dalam kitab mereka di mana khasiat tadi memberi petunjuk manjur tentang bagaimana caranya mengobati seorang wanita hamil yang kesulitan dalam melahirkan dengan sebuah skema tulisan seperti berikut ini:
ع |
٩ |
٢ |
|
د |
ط |
ب |
٣ |
٥ |
٧ |
ج |
ه |
ز |
|
٨ |
١ |
٦ |
ح |
ا |
و |
Petunjuk Penggunaan:
Tulislah skema tersebut pada dua lembar
kain yang belum dibasahi air kemudian wanita yang hamil tadi suruhlah melihat
pada dua kain yang telah bertuliskan skema dengan kedua matanya, lalu taruhlah
di bawah kedua telapak kakinya, niscaya dia akan cepat melahirkan seketika itu
pula. Ahli ilmu alam itu mengakui dan mempercayai kebuktiannya hal-hal yang
seperti itu dan mereka tungkan di dalam kitab “Aja’ibul Khawwash”. Skema
tersebut terdiri dari sembilan ruang dengan diberi angka-angka tertentu pada
tiap-tiap ruang yang apabila dijumlah pada setiap garisnya akan ketemu lima
belas (15) di mana anda bisa membacanya ke bawah maupun ke atas artinya
vertikal maupun horisontal atau menyudut (diagonal).
Alangkah ruginya orang yang mempercayai akan hal itu, namun akal
fikirannya tidak mau
membenarkan bahwa kepastian shalat subuh dua rakaat,
shalat zhuhur empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat mengandung berbagai
khasiat yang tidak bisa dicerna oleh akal fikiran dengan mengandalkan
kebijaksanaan serta kecerdasannya. Sedangkan sebab khasiat-khasiatnya justru
karena perbedaan waktunya. Dan barangkali khasiat ini bisa ditemukan dengan
menggunakan cahaya (nur) kenabian.
Yang aneh adalah andaikata kami merubah suatu gambaran dengan
gambarannya ahli-ahli perbintangan, tentulah mereka akan dapat mencerna dengan
akalnya tentang perbedaan waktu-waktu ini. Kemudian kami bisa berkomentar:
“Bukankah perbedaan waktu itu merupakan perbedaan hukum pada tukang ramal
dengan suatu gambaran matahari berada di tengah-tengah langit, atau pada saat
matahari terbit atau matahari di kala terbenam, sehingga mereka mempunyai
dasar yang kuat atas perkara ini dalam menentukan langkah-langkah mereka
terhadap perbedaan pekabaran yang belum jelas dan beberapa keterpautan umur
dan ajal.
Dan tidak ada perbedaan antara kedudukan matahari tergelincir (rembang)
dan antara matahari berada di barat (tenggelam). Maka apakah untuk
membenarkannya terdapat jalan kecuali bahwa hal itu hanya didengarnya dengan
gambaran seorang ahli perbintangan, barangkali dia telah menguji dan mencoba
kebohongannya seratus kali. Dan senantiasa anda akan mengulangi untuk
membenarkannya, sehingga andaikata seorang ahli perbintangan (astrolog)
berkata: “Jika matahari bercokol di tengah langit, lalu berhadapan dengan
bintang Anu sedangkan yang muncul adalah zodiak Anu, maka anda kebetulan
mengenakan baju pada waktu itu, niscaya anda akan mati di dalam pakaian
tersebut”. Spontan adanya omongan tersebut, dia melepas pakannya pada waktu
itu pula, sekalipun dia akan merasakan kedinginan yang sampai merasuk tulang
dan kendatipun dia mendengar hal itu dari seorang ahli perbintangan yang sudah
terbukti dan sudah seringkali melakukan kebohongan berkali-kali.
Kasihan
sekali! Siapa yang mau melapangkan pikirannya untuk menerima keanehan-keanehan
ini dan terpaksa mau mengakui bahwa keanehan-keanehan tersebut merupakan
khasiat-khasiat yang bisa diketahui lewat mu’jizatnya sebagian para
nabi.
Bagaimana dia bisa dmengingkari hal-hal seperti ini menurut apa yang dia dengar dari ucapan nabi yang senantiasa jujur lagi pula diperkuat dengan kehadirannya berbagai mu’jizat di mana nabi itu sama sekali belum pernah melakukan suatu kebohongan. Dan jika dia mau menganalisa tentang kemungkinan khasiat-khasiat ini terdapat di dalam bilangan rakaat, dalam lemparan jumrah, pada bilangan rukun-rukun haji dan ibadah-ibadah syara lainnya, niscaya dia tidak akan menemukan antara khasiat-khasiat berbagai ibadah tersebut dan antara khasiat-khasiat obat-obatan suatu perbedaan sama sekali.
Jika terdapat seseorang yang berkata: “Aku telah mengadakan eksperimen
sedikit dari ilmu perbintangan dan sedikit dari ilmu kedokteran; sehingga aku
telah berhasil menemukan sebagaimana sebagai suatu yang benar, dan sebagai
akibatnya terbetiklah suatu kepercayaan dalam diri saya untuk membenarkannya
tetapi hatiku menentukan untuk menjauhi serta berlari dari padanya. Sedangkan
yang ini belum pernah saya uji, lalu dengan cara apa aku bisa mengetahui
kewujudan serta kebenarannya, kendatipun aku telah mengakui kemungkinannya”,
cukuplah aku katakan: “Sesungguhnya anda tidak cukup hanya membenarkan apa
yang telah anda eksperimenkan, tetapi anda juga harus mendengarkan
berita-beritanya orang-orang yang telah melakukan eksperimen dan anda haruslah
mengikuti mereka. Dengarkanlah ucapan-ucapan para wali, sebab merekalah yang
telah melakukan eksperimen dan benarbenar telah menyaksikan kebenaran pada
segala apa yang telah diturunkan oleh syara. Ikuti dan berjalanlah di atas
jalan yang telah ditempuh mereka, kelak anda akan menemukan dan mengetahui
sebagian perkara-perkara itu dengan penglihatan yang nyata kendatipun anda
tidak mengadakan eksperimen lebih dulu, sehingga dengan sendirinya akal
fikiran anda memutuskan dan bisa memastikan wajib membenarkan dan mengikuti
dengan tanpa bisa dibantah lagi.
Andaikata kita berasumsi ada seorang yang telah dewasa lagi pula
berakal, namun dia belum pernah mengalami takut, tanpa disangka-sangka
sebelumnya ternyata dia jatuh sakit. Dan kenyataannya dia masih memiliki
seorang ayah yang sayang sekali kepadanya dan pandai sekali tentang ilmu
kedoktrean di mana dia sudah mendengar pengakuan ayahnya yang terkenal pandai
ilmu kedokteran semenjak dua mulai bisa berfikir. Kemudian ayahnya meracik
obat-obatan untuk dirinya sembari berkata: “Ini baik sekali untuk mengobati
sakitmu dan ini bisa menyembuhkan dari sakitmu”. Maka keputusan apa yang akan
dicetuskan oleh akal fikiran anda, kendatipun obat tersebut terasa pahit di
mulut dan tidak enak rasanya, apakah obat tadi anda minum? Ataukah anda
mendustakannya dan berkata: “Saya tidak bisa mencerna dan menerima dengan akal
fikiran saya akan segi persamaan obat ini untuk bisa menghasilkan kesembuhan,
sebab saya belum mencobanya?” Sudah tidak diragukan lagi anda tentu akan
mengatakan, orang yang berkata seperti itu adalah orang yang dungu. Demikian
pula halnya, anda akan dikatakan dungu oleh orang-orang yang telah mempunyai
penglihatan hati (Ahlul Bashair) dalam ketidaktentuan dan kepasifan anda.
Jika anda menanyakan: “Dengan cara apa aku bisa mengetahui belas kasih
Nabi Muhammad SAW dan mengetahuinya dengan mengkaitkannya kepada ilmu
kedokteran?” Jawabannya adalah: “Dengan cara apa anda bisa mengetahui kasih
sayang ayahmu?” Bukankah hal kasih sayang merupakan perkara yang tidak bisa
diraba dengan indera? Tetapi anda bisa mengetahinya lewat karenah-karenah
tindak lakunya, bukti-bukti perbuatannya, dan lewat beberapa penampilannya di
mana semuanya itu bisa anda ketahui secara alami yang tidak perlu adanya
latihan dan andapun tidak akan bisa menyangkal kebenarannya.
Seorang yang
mau memperhatikan dengan cermat terhadap ucapan-ucapan Nabi SAW dan
sunnah-sunnah yang diturunkannya dalam tugas pentingnya memberi petunjuk
kepada makhluk serta kasih sayang beliau kepada sesama manusia yang telah
beliau curahkan tanpa pilih kasih sampai kepada pembentukan akhlak yang luhur
serta usaha beliau dalam membaikkan hubungan antara kedua orang yang
bertengkar, dan pokoknya secara keseluruhan usaha-usaha beliau yang mengarah
kepada perbaikan umat di dunia dan akhirat, itu bisa dia peroleh lewat
pengetahuan yang sifatnya dharuri (tak usah dicari) bahwa kasih sayang Nabi
kepada umatnya itu lebih besar bila dibanding dengan kasih sayang orang tua
terhadap anaknya.
Apabila seseorang mau menilik dan mau menganalisa terhadap berbagai
keajaiban suatu perkara yang nampak pada diri Rasulullah SAW, mulai dari
tindakan-tindakannya, keajaiban- keajaiban perkara ghaib yang telah
dikhabarkan Al- Quran lewat omongannya, dan pada berita-berita yang lain
sampai kepada berita-berita yang telah beliau tuturkan tentang keadaan akhir
zaman sedangkan munculnya hal-hal tadi yang telah beliau sebutkan bisa
diketahui dengan spontanitas—bahwa perkara-perkara tersebut memang telah
sampai pada suatu tingkatan atau lingkungan yang berada di belakang akal
fikiran, sehingga terbukalah mata yang bisa menyingkap segala tabir keghaiban
di mana hal ini tidak bisa dilakukan kecuali olrah orang-orang khusus, di
samping itu tersingkap pulalah berbagai [erkara yang tidak bisa ditangkap oleh
akal.
Ini merupakan suatu jalan untuk menghasilkan ilmu dharuri tentang
kebenaran Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ujilah dan renungkanlah Al-Quran
dan lihatlah hadits-hadits beliau niscaya anda akan mengetahui itu semua
dengan mata kepala.
Kiranya uraian yang tidak begitu panjang ini mampu untuk mengingatkan dan menyadarkan ahli- ahli filsafat, di mana uraian singkat ini kami kedepankan mengingat perlu sekali di zaman yang sudah seperti ini.
Adapun sebab keempat adalah lemahnya iman dikarenakan buruknya perilaku para ulama, sehingga penyakit ini perlu adanya pengobatan tiga perkara:
1. Hendaknya anda berkayat bahwa seorang pandai (alim) yang telah anda duga bahwa dia memakan makanan yang haram, pengetahuannya terhadap haramnya perkara yang haram itu seperti pengetahuan anda terhadap haramnya khamar (tuak) dan harta riba, bahkan terhadap keharamannya mempergunjing orang lain dan adu dimba, padahal anda tahu hal itu, tetapi anda melakukannya. Alasannya bukan tidak percaya bahwa hal itu merupakan tindakan durhaka, namun karena anda telah dikalahkan oleh nafsu anda sendiri. Demikian pula hawa nafsunya juga seperti hawa nafsu anda, di mana hawa nafsu itu telah berhasil menguasainya sebagaimana anda juga kalah oleh hawa nafsu. Sedangkan pengetahuannya selain hal-hal ini berbeda sekali dengan anda di mana pengetahuan tersebut tidak lagi berimbang bila hanya dikaitkan dengan sekadar melarang untuk tidak melakukan perkara- perkara yang dilarang oleh syara. Berapa saja orang yang percaya terhadap ilmu kedokteran namun dia tidak betah menahan dirinya untuk tidak makan buah-buahan dan air kendatipun dia dilarang oleh seorang dokter untuk tidak memakannya. Dan hal itu bukannya menunjukkan bahwa makanan dan minuman itu tidak membahayakan atau bukannya menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap dokter itu tidak tulus, namun hal ini sangat ditentukan sekali terhadap kekhilafan ulama itu sendiri.
2. Katakanlah kepada seorang yang masih awam: “Seyogyanya anda menanam
kepercayaan bahwa
seorang yang pandai (alim) membikin ilmunya sebagai simpanan untuk dirinya
untuk diambil kelak di akhirat, dan orang alim ini menduga bahwa ilmunya
itulah yang nantinya akan bisa menyelamatkannya serta menolongnya sehingga dia
tenang-tenang serta enak-enakan dalam beramal karena keutamaan ilmunya.
Sekalipun kini mungkin akan menambah argumentasi bagi orang awam tersebut,
namun hal itu akan menambah derajat bagi seorang alim dan ini sangat mungkin
sekali. Sebab bagaimanapun juga andaikata dia (orang alim) tidak melakukan
amal sama sekali, namun dia masih punya cadangan ilmu. Tetapi kalau anda,
wahai orang awam, jika anda selalu menelitinya sedangkan anda sama sekali
tidak mempunyai imu niscaya anda akan rusak sebab buruknya amal anda dan anda
tidak memiliki penolong”.
3. Menurut kenyataannya orang alim itu tidak akan senantiasa berbarengan
dengan kemaksiatan, kecuali jika terjadi dengan tidak disengaja atau khilaf.
Di samping itu dia tidak akan selalu menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan,
sebab ilmu hakiki (yang sebenarnya) adalah ilmu yang bisa untuk melihat dan
mengetahui bahwa maksiat merupakan racun yang mematikan, bahwa akhirat itu
lebih baik daripada dunia. Seseorang yang telah mengerti demikian itu niscaya
dia tidak akan mau menjual perkara yang baik dengan sesuatu yang buruk.
Ilmu yang seperti inilah yang tidak bisa didapat dengan mengetahui
berbagai macam ilmu yang digeluti oleh kebanyakan manusia. Oleh sebab itulah
ilmu-ilmu tersebut tidaklah menambah kepada mereka kecuali berani untuk
bermaksiat kepada Allah SWT.
Adapun ilmu hakiki mempunyai ciri khas menambah takut dan takwa bagi si
pemiliknya, sehingga ilmu tersebut akan bisa merupakan benteng antara dirinya
dan maksiat kecuali kekhilafan- kekhilafan yang senantiasa menempel pada diri
setiap insan pada beberapa kesempatan, dan hal itu bukan berarti menunjukkan
kemahnya iman. Sebab seorang mu’min tentu terkena fitnah lagi pula banyak
taubatnya, dan dia sendiri tentunya dijauhkan dari terus-menerus melakukan
maksiat.
Demikian inilah sesuatu yang hendak aku sebutkan dalam mencela ilmu
filsafat dan Ta’lim beserta afat-afatnya serta berbagai afatnya orang yang
mengingkari kedua ilmu tersebut kecuali dengan metodologinya.
Akhirnya kami memanjatkan do’a dan pertolongan kepada Allah Yang Maha
Agung agar Dia mau menjadikam kami termasuk orang-orang yang telah Dia beri
petunjuk menuju ke jalan yang benar serta Dia beri petunjuk dan selalu Dia
beri ilham untuk senantiasa ingat kepada-Nya sehingga tidak akan
melupakan-Nya, dan Dia jadikan termasuk orang-orang yang Dia lindungi dari
kejahatan dirinya sendiri sehingga tidak ada yang bisa mempengaruhinya selain
Allah dan semoga Dia menjadikan kami termasuk orang yang Dia murnikan untuk
diri-Nya sendiri sehingga tidak akan menyembah kecuali kepada-Nya.
Semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia terbaik dan juga kepada umatnya sebagai umat
terbaik.[alkhoirot.org]