Qashar, Fashal, Washal dalam Balaghah
Nama kitab: Terjemah Balaghah Wadhihah, Al-Balagah al-Wadiha, al-Balaghatul Waadhiha
Penulis: Ali Jarim dan Mustafa Amin
Penerjemah:
Kitab asal: Al-Balaghah Al Wadhihah: Al-Bayan wa Al-Ma’ani wa Al-Badi’ li Al-Madaris Al-Tsanawiyah (البلاغةُ الواضِحَةُ المعاني البيان البديع للمدارس الثانوية)
Bidang studi: bahasa Arab, sastra Arab, ma'ani, bayan, badi', prosa, syair, puisi, sajak, fiksi, non-fiksi
Daftar isi
القصرُ
تعريفه- طرقه-
طرَفاه
الأمثلةُ:
(1) لا يفوز إلا المجدُّ.
(2)إنما الحياةُ تعبٌ
.
(3) الأرضُ متحرِّكةٌ لا ثابتة.
(4) ما الأرضُ ثابتةً بلْ
متحركةٌ.
(5) ما الأرضُ ثابتةً لكن ْمتحركةٌ.نننننن
(6) على الرجالِ
العاملين نثني.
البحثُ:
إذا تأملت الأمثلة السابقة رأيت أنَّ كل مثال منها يتضمن تخصيص أمر
بآخر، فالمثال الأول يفيد تخصيص الفوز بالمجد، بمعنى أن الفوز خاص بالمجد لا
يتعداه إلى سواه. والمثال الثاني يفيد تخصيص الحياة بالتعب، بمعنى أن الحياة وقفٌ
على التعب لا تفارقه إلى الراحة. وهكذا يقال في بقية الأمثلة.
وإذا أردت أن
تعرف منشأ هذا التخصيص في الكلام، كفاك أن تبحث في الأمثلة قليلاً. خذ المثال
الأول مثلا و احذف منه أداتي النفي والاستثناء، تجد أن التخصيص قد زال منه وكأنه
لم يكن، إذاً النفي والاستثناء هما وسيلة التخصيص فيه، وبمثل هذه الطريقة تستطيع
أن تدرك أن وسائل التخصص في الأمثلة الباقية هي: إنما: والعطف بلا، أو بل، أو
لكن، و تقديم ما حقه التأخير. ويسمي علماء المعاني التخصيص المستفاد من هذه
الوسائل بالقصر، ويسمُّون الوسائل نفسها طرق القصر.
ارجع إلى الأمثلة مرة
أخرى وابحث فيها واحدا واحداً : تجد المتكلم في المثال الأول يقصر الفوز على
المجد فالفوز مقصور، والمجد مقصور عليه، وهما طرفا القصر. و لما كان الفوز صفة من
الصفات والمجدُّ هو الموصوف بهذه الصفة، كان القصر في هذا المثال قصر صفة على
موصوف، بمعنى أن الصفة لا تتعدى الموصوف إلى موصوف آخر. وتراه في المثال الثاني
يقصر الحياة على التعب. فالحياة مقصورة والتعب مقصور عليه ولما كانت الحياة
موصوفة والتعب صفة لها كان القصر في هذاالمثال قصر موصوف على صفة بمعنى إن
الموصوف لا يفارق صفة التعب إلى صفة الراحة ،ولو أنك تدبرت جميع أمثلة القصر ما
ذكر منها هنا و ما لم يذكر، لوجدت كلَّ مثال يشتمل على مقصور و مقصور عليه، و
وجدت القصر لا يخلو عن حال من الحالين السابقين. فهو إما قصر صفة على موصوف، وإما
قصر موصوف على صفة.
وإذا أردت أن تعرف ضوابط تسهِّل عليك معرفة كلٍّ من
المقصور و المقصور عليه في كل ما يرد عليك، فانظر إلى القواعد الآتية تجد ذلك
مفصَّلاً.
القواعدُ:
(57) القصرُ تخصيصُ أمرٍ بآخرَ بطريقٍ مخصوصٍ.
(58)
طرقُ القصرِ المشهورةِ أربعٌ :
(أ) النفي، والاستثناء، وهنا
يكون المقصور عليه ما بعد أداة الاستثناء.
(ب) إنما، ويكون المقصور عليه
مؤخراً وجوبا.
(جـ) العطف بلا، أو بل، أو لكن، فإنْ كان العطف بلا كان
المقصور عليه مقابلا لما بعدها، وإن كان العطف ببل أو لكن كان المقصور عليه ما
بعدهما.
(د) تقديم ما حقُّهُ التأخير. وهنا يكون المقصور عليه هو
المقدَّم.
(59) لكلِّ قصرٍ طرفانِ: مقصورٌ،و مقصورٌ عليه.
(60) ينقسمُ
القصرُ باعتبار طرفيهِ قسمين:
(أ) قصرُ صفةٍ على موصوفٍ.
(ب) قصرُ موصوفٍ على صفةٍ.
BAB II QASHAR
A Pengertian, Sarana-Sarana, dan Kedua Tharaf
(Bagian)-nya
1 Contoh-Contoh
Tidak akan beruntung kecuali orang yang bersungguh-sungguh.
Hidup itu hanyalah kepayahan.
Bumi itu bergerak, bukan diam.
Bumi itu tidaklah diam, melainkan bergerak.
Bumi itu tidaklah diam, tetapi bergerak.
Hanya kepada orang-orang lelaki yang bekerja aku memuji.
2.
Pembahasan
Bila kita perhatikan contoh-contoh di atas, kita
dapatkan bahwa maSing-masing contoh mengandung pengkhususan suatu perkara pada
perkara lainnya. Pada contoh pertama terdapat pengkhususan keberuntungan bagi
orang yang bersungguh-sungguh, dengan arti bahwa keberuntungan itu hanya akan
diraih oleh orang yang bersungguh-sungguh dan tidak akan diraih oleh orang
lain. Pada contoh kedua terdapat pengkhususan hidup dan kepayahan, dengan arti
bahwa hidup dipersiapkan untuk payah dan tidak akan memisahkan diri darinya
menuju santai. Demikian pula halnya pada contoh-contoh lainnya.
Bila
kita ingin mengetahui pembuatan takhshish (pengkhususan) dalam kalimat, maka
perhatikan sejenak contoh-contoh di atas. Ambil saja contoh pertama, buanglah
darinya huruf nafyi dan huruf istitsna’. Maka kalimat tersebut tidak lagi
menunjukkan makna takhshis. Kalau demikian, nafyi dan istitsna’ adalah sarana
pembuatan takhshish dalam kalimat tersebut. Dengan demikian, dapatlah kita
ketahui bahwa sarana-sarana takhshish pada contoh yang lain adalah: innamaa (
). ‘athaf dengan huruf Iaa ( ), bal ( ) atau laakin ( ), dan
mendahulukan lafaz yang menurut kedudukannya harus diakhirkan. Para ulama
Ma’ani menyebut takhshish yang ditunjukkan oleh sarana-sarana tersebut sebagai
qashr, dan sarana-sarana tersebut mereka namakan sebagai thuruqul-qashr.
Kembali
kita perhatikan contoh-contoh di atas dan kita bahas satu per satu. Maka kita
dapatkan bahwa pembicara kalimat pertama mengkhususkan keberuntungan bagi
orang yang bersungguh-sungguh. Jadi, keberuntungan adalah magshur, dan orang
yang bersungguh-sungguh disebut sebagai magshur ‘alaih. Kedua komponen ini
disebut sebagai tharaf qashr. Karena keberuntungan itu adalah salah satu
sifat, dan orang yang bersungguh-sungguh itu adalah salah satu maushuf, maka
gashar dalam contoh ini disebut qashr shifat ‘ala maushuf, dengan arti bahwa
sifat tersebut tidak merembet dari satu maushuf kepada maushuf yang lain. Pada
contoh kedua kita dapatkan bahwa hidup menjadi magshur dan payah menjadi
magshur ‘alaih. Karena hidup itu adalah maushuf dan payah itu adalah sifat,
maka qashr pada contoh ini disebut sebagai qashr mausuf ‘ala shifat, dengan
arti bahwa maushuf tidak dapat dipisah dari sifat (payah menuju santai). Bila
kita perhatikan seluruh qashr, baik yang disebut di atas maupun yang tidak
tersebut di sini, maka akan kita dapatkan bahwa setiap qashr mengandung
magshur dan magshur ‘alaih. Juga akan kita dapatkan bahwa qashr itu ada dua
macam, qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.
Bila
kita ingin mengetahui tanda-tanda yang mempermudah mengetahui dan membedakan
antara magshur dan magshur ‘alaih, maka marilah kita perhatikan kaidah-kaidah
berikut ini.
Kaidah-Kaidah
(57)
Qashr adalah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang
khusus.
(58) Sarana-sarana qashr yang termasyur
ada empat, yaitu:
Nafyi dan
istitsna’, dan magshur ‘alaihnya terdapat setelah huruf istitsna’.
innamaa ( ), dan magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang wajib disebut
terakhir.
Athaf dengan laa (
), bal ( ), atau laakin ( )
Bila athafnya memakai
huruf laa, maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang bertolak belakang dengan
lafaz yang jatuh setelah laa, dan bila ‘athafnya itu dengan bal atau laakin,
maka magshur ‘alaihnya adalah lafaz yang jatuh setelahnya.
Didahulukannya lafaz yang seharusnya diakhirkan. Di sini magshur ‘alaih-nya
adalah lafaz yang didahulukan. () Setiap qashr memiliki dua tharaf, yaitu
magshur dan magshur ‘alaih.
(60) Berdasarkan
kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi dua, yaitu qashr shifat ‘ala
maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.
Pembagian Qashr menjadi Hagigi dan Idhafi 1. Contoh-Contoh
Tidak ada sungai yang menyegarkan Mesir selain Nil.
Pemberi rezeki hanyalah Allah.
Tidak ada orang yang dermawan kecuali
Hasan hanyalah seorang pemberani. .
Pembahasan Di depan telah dijelaskan bahwa berdasarkan kaitan kedua tharafnya,
qashr dibagi menjadi qashr shifat ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.
Di sini akan dijelaskan pembagian lain yang berdasarkan hakikat dan
kenyataan.
Bila kita perhatikan kedua contoh
pertama, kita dapatkan bahwa qashr-nya termasuk qashr shifat ‘ala maushuf.
Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa sifat yang menjadi
magshur pada kedua contoh tersebut tidak dapat terpisah dari maushufnya secara
mutlak. Kesegaran tanah Mesir pada contoh pertama adalah sifat yang tidak
lepas dari fungsi Sungai Nil dan bukan fungsi sungai yang lain. Pada contoh
kedua, rezeki tidak lepas dari kemurahan Allah dan bukan kemurahan selain
Allah.
Qashar pada kedua contoh pertama di atas disebut
sebagai qashr hakiki. Demikian pula setiap qashr yang padanya magshur hanya
tertentu bagi magshur ‘alaih menurut hakikat dan kenyataannya, yakni tidak
lepas darinya kepada yang lain.
Perhatikanlah
kedua contoh terakhir, maka kita dapatkan bahwa contoh pertama (cl) qashr
shifat ‘ala maushuf, sedangkan contoh kedua () merupakan qashr maushuf ‘ala
shifat. Bila kita perhatikan lebih jauh, kita dapatkan bahwa magshur pada
kedua contoh tersebut adalah tertentu bagi magshur ‘alaih bila disandarkan
kepada suatu hal tertentu dan tidak disandarkan kepada hal-hal yang lain
karena si pembicara pada contoh pertama bermaksud mengkhususkan sifat dermawan
kepada Ali bila dinisbatkan kepada orang-orang tertentu, seperti Khalid
misalnya, dan pembicara itu sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa sifat
dermawan itu sama sekali tidak ada pada seorang pun selain Ali karena
kenyataannya memang tidak demikian. Demikian juga halnya dengan contoh
terakhir. Oleh karena itu, qashr pada kedua contoh terakhir ini disebut
sebagai qashr idhafi. Begitu juga setiap qashr yang pengkhususannya terbatas
dengan dinisbatkan kepada sesuatu yang tertentu.
3,
Kaidah-Kaidah
(61) Berdasarkan hakikat dan kenyataan, qashr itu
dapat dibagi menjadi dua, Yaitu:
Hakiki adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaih berdasarkan hakikat
dan kenyataan, yaitu sama sekali maqshur, tidak lepas dari maqshur ‘alaih
kepada yang lain.
Idhafi ,
adalah dikhususkannya magshur pada magshur ‘alaih dengan disandarkan kepada
sesuatu yang tertentu.
Latihan-Latihan
Contoh Soal
1:
Sebutkan macam qashr, magshur, dan magshur ‘alaih pada contoh-contoh qashr
berikut ini!
1, Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. (QS Faathir:
28)
Allah Swt. berfirman:
Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke
belakang (murtad)? (QS Ali Imran: 144)
3, Labid
berkata:
Seseorang itu tidak lain hanyalah
seperti hilal, cahayanya makin bertambah sempurna pada pertengahan bulan, lalu
menghilang.
Ibnur-Rumi berkata
dalam suatu pujiannya: ”
Harta bendanya berada di
pundak-pundak manusia sebagai pemberian, bukan berupa emas dan harta benda
lainnya dalam gudang sebagai timbunan.
Ia berkata:
Aku tidak heran meskipun kauheran
kepadaku karena aku dapat mengetam emas dari ladangnya. Akan tetapi,
keherananku adalah terhadap suatu kebaikan yang tidak dapat aku balas, dan aku
berharap engkau lebih heran terhadapnya daripada terhadapku.
Al-Ghathammasy Adh-Dhabiyyu berkata:
Hanya kepada
Allah aku mengadu dan bukan kepada sesama manusia. Sesunguhnya aku lihat bumi
masih tetap, sedangkan teman-teman dekat telah tiada.
Contoh
Soal 2:
1.Tunjukkanlah magshur ‘alaih yang
terdapat pada dua contoh berikuk ini dan jelaskan perbedaan makna kedua
kalimatnya!
Sesungguhnya yang membela kedudukanmu
hanyalah Ali.
2, Sesungguhnya Ali hanyalah
mentbela kedudukanmu.
Contoh Jawaban 2:
1,
Magshar ‘alaih pada kalimat pertama adalah Ali. Jadi, pembicara menyatakan
kepada mukhathab: Ali sendiri yang memberi. kan pembelaan terhadap
kedudukanmu, tidak seorang pun melakukan hal itu bersamanya. Boleh jadi Ali
memiliki keterampilan lain untuk melayani masyarakat, seperti mengobati orang
sakit dan menyantuni orang-orang fakir.
Magshur ‘alaih pada kalimat kedua adalah membela. Jadi, Ali tidak melakukan
hal lain selain membela, di samping itu kemungkinan ada orang lain melakukan
hal yang sama seperti dia.
Dengan demikian, dapat
kita ketahui bahwa kalimat pertama lebih baligh dalam memuji Ali dari dua
sisi, pertama karena kalimat tersebut menunjukkan bahwa hanya Ali-lah yang
melakukan pembelaan, tidak ada orang lain yang menyertainya: kedua karena
kalimat tersebut tidak meniadakan keterampilan Ali yang lain.
Latihan-Latihan
Sebutkan macam qashr, sarananya, magshur, dan magshur ‘alaih-nya pada
contoh-contoh berikut!
Allah
Swt. berfirman: :
.. karena sesungguhnya tugasmu
hanyalah menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (QS
Ar-Ra’d: 40)
Allah Swt.
berfirman:
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan
hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. (QS Al-Fatihah: 5)
Ibnur-Rumi berkata dalam sebuah pujiannya:
Kebaikannya
pada seluruh manusia terbagi, dan pujiannya pada seluruh manusia bukan untuk
golongan tertentu.
Ia
berkata:
Ja menampakkan kepada mereka sebagai
orang kampung, namun bukan karena kedunguannya hidup di kampung, melainkan
karena akalnya melebihi akal orang yang pandai.
5,
Ia berkata:
Ia bergoyang ke kanan dan ke kiri
ketika mendengar pujian. Goyangan keagungan, bukan goyangan karena bergetar
kegirangan.
Ia berkata:
Aku
tidak berkata tentang dirimu kecuali yang sebenarnya, dan engkau senantiasa
berada di jalur sunnah yang agung dan jelas.
7,
Ibnul-Mu’taz berkata:
Ingatlah, sesungguhnya
dunia itu tiada lain hanyalah bekal untuk mencapai tujuan, baik kepada jalan
bengkok maupun kepada jalan yang lurus.
Ia berkata:
Kehidupan itu hanyalah sebentar dan
kelak akan berakhir, dan harta itu hanyalah sesuatu yang akan musnah dan
musnah.
Abuth-Thayyib
berkata:
Dengan mengharapkan kemurahanmu,
kefakiran dapat diusir, dan dengan bermusuhan umur akan habis.
Ia berkata:
Keheranan itu bukan karena banyaknya
peniberian hartanya, melainkan karena keselamatan hartanya sanipai waktu
pemberian lagi.
Allah Swt.
berfirman:
Dan tiada taufik bagiku kecuali dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali. (QS Hud: 88)
Hanya kepada Allah aku mengadu bahwa padaku ada kebutuhan yang telah dilalui
beberapa hari, namun masih seperti semula.
Abuth-Thayyib berkata:
Sesungguhnya kita berada
pada generasi yang sama cela dan hinanya, yang lebih jahat bagi orang yang
merdeka daripada luka di badan.
Kamu adalah orang yang bepergian dan beberapa malam kamu hidup menumpang, dan
merupakan hal yang memadharatkan kamu berdiam diri lebih lama.
Ibnur-Rumi berkata:
Mereka tidak mengharapkan
balasan atas kenikmatan yang mereka berikan. Akan tetapi, mereka mampu
melumatkan kebutuhan untuk mencapai keagungan.
Abul Atahiyan berkata dalam memuji Yazid bin Mazyad AsySyaibani
Seakan-akan
engkau sedang berperang, namun sesungguhnya engkau berlari hanya dari barisan
yang berada di belakangmu. Maka tiada bengana kecurangan prajurit kecuali
dalam kebisinganmu, dan tidak ada bencana harta benda kecuali pemberian
kepadamu.
Abu Tamam
berkata:
Hanya terhadap rumah dan tempat bermain
yang semisal curahan air mata yang terbendung itu terhina.
Sebutkanlah magshur ‘alaih pada kalimat-kalimat berikut dan jelaskan perbedaan
makna-maknanya!
Ali hanya
senang berenang di pagi hari.
Sesungguhnya yang senang berenang di pagi hari hanyalah Ali.
Sesungguhnya yang disenangi Ali di pagi hari hanyalah renang.
III.
Kalimat mana di antara kedua kalimat berikut yang lebih baligh dalam memuji
Sa’id? Jelaskanlah sebabnya!
Sesungguhnya yang bagus dalam berpidato adalah Sa’id.
Sesungguhnya Sa’id hanya agus dalam berpidato.
Buatlah kalimat-kalimat berikut menjadi kalimat yang menunjukkan makna qashr,
lalu jelaskanlah macam qashrnya dan sarananya!
PengangQur’an itu merusak.
Berkahnya harta itu dengan dibayar zakatnya.
Keselamatan itu dalam kehati-hati
Berteman dengan orang yang bodoh itu payah.
Saya diam terhadap orang yang dungu.
Banyak latihan menambah kecerdasan.
Kebahagiaan akan langgeng dengan melihat teman-teman seagama.
Telah mengkhianatimu orang yang menunjukkan kamu kepada kejahatan.
Seseorang akan menguasai kaumnya dengan berbuat baik kepada mereka.
Menempatkan kebaikan pada selain tempatnya adalah suatu kezaliman.
Perhatikan kalimat berikut! –
Tidak
menggembirakan kedua orang tua kecuali kecerdasan anakanaknya. Kapankah qashr
pada kalimat tersebut disebut sebagai qashr galab, kapankah disebut sebagai
qashr ifrad, dan kapankah disebut sebagai qashr tayin?
1. Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr sifat “ala maushuf tanpa
menambahkan satu huruf pun!
Kami memuliakan orang
alim yang mengamalkan ilmunya.
Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr, dan gunakanlah sarana
qashr yang engkau ketahui!
Kami telah bosan
bersahabat dengan orang-orang bodoh.
Jadikanlah kalimat berikut untuk menunjukkan qashr dengan menggunakan sarana
nafyi dan istitsna, dan dengan sarana athaf!
Ketika
datang musibah, teman akan diketahui.
VII,
Tolaklah pendapat orang yang berkeyakinan bahwa bumi ini diam atau tidak
bergerak dengan salah satu uslub qashr, lalu jelaskanlah macam qashrnya dan
sarananya!
VIII. Jelaskanlah macam-macam qashr
yang terdapat pada kisah berikut ini, sarananya, magshur, dan magshur
‘alaih-nya!
Orang Arab berkisah bahwa seekor
kelinci menemukan sebutir kurma, lalu direbut oleh seekor musang. Maka mereka
datang bertengkar minta pengadilan kepada biawak. Kelinci berkata, “Hai Abal
Hisl!” Ia menjawab, “Aku mendengar engkau memanggil.” Kelinci berkata, “Kami
datang kepadamu untuk menyelesaikan pertengkaran kami.” Ia berkata, “Kepada
orang adil kamu berdua mencari hukum.” Kelinci berkata, “Keluarlah kepada
kami!” Ia berkata, “Di rumahnya para hakim didatangi.” Kelinci berkata,
“Sesungguhnya saya menemukan sebutir kurma.” Ia menjawab, “Manis, makanlah!”
Kelinci berkata, “Lalu dirampas oleh seekor musang.” Ia menjawab, “Untuk
dirinya, ia mendurhakai kebaikan.” Kelinci berkata, “Maka aku tempeleng dia
Sekali.” Ia menjawab, “Terhadap hakmu, ambillah!” Kelinci berkata, “Namun, ia
lalu menempelengku.” Ia berkata, “Ia merdeka, carilah pertolongan!” Kelinci
berkata, “Maka hukumilah kami berdua!” Ia menjawab, “Telah aku lakukan.”
Kemudian kata-kata biawak itu menJadi peribahasa.
1. Buatlah dua kalimat qashr shifat ‘ala maushuf: yang pertama berupa qashr
hakiki dan yang kedua qashr idhafi.
Buatlah dua kalimat qashr maushuf ‘ala shifat, keduanya qashr idhafi.
Buatlah contoh untuk tiap sarana qashr dua kalimat dengan ketentuan kalimat
pertama magshur ‘alaih-nya berupa shifat dan pada kalimat kedua berupa
maushuf.
Buatlah dua kalimat
qashr maushuf ‘ala shifat dengan menggunakan sarana huruf athaf bal pada
kalimat pertama dan huruf athaf laakin pada kalimat kedua.
Uraikanlah kedua bait Abuth-Thayyib dalam memuji Abu Syuja’ Fatik ini dan
jelaskan macam qashr dan sarananya!
Tidak akan
mencapai kemuliaan kecuali seorang sayyid yang cerdas karena tidak berat atas
para sayyid mengerjakannya. Bukan orang yang mendapat warisan, orang yang
tangan kanannya tidak mengetahui apa yang telah ia berikan, dan bukan orang
yang banyak beruntung, orang yang tanpa pedang mentinta-minta.
***
الْفَصلُ والوصلُ
(1) موَاضِع الْفَصْلِ
الأمثلةُ:
(1) قال أبو الطيب :
وَمَا
الدَّهرُ إِلا مِنْ رُوَاةِ قصائدي…إذَا قُلتُ شِعْرًا أَصْبَحَ الدهرُ
مُنْشِدَا
(2) وقال أَبو العلاء :
والنّاسُ
بالنّاسِ من حَضْرٍ وبادِيَةٍ، بعضٌ لبعضٍ، وإن لم يَشعُروا، خدَم
(3)
وقال تعالى: {.. يُدَبِّرُ الأَمْرَ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لَعَلَّكُم بِلِقَاء
رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ} (2) سورة الرعد
(4) و قال أَبو العتاهية :
يا
صاحبَ الدُّنْيَا الْمُحِبَّ لها… أَنْتَ الذي لاَ ينقضي تَعَبُهْ
(5) وقال آخر :
وَإنَّمَا الْمَرْءُ
بأَصْغَرَيْه …
كُلُّ امرئ رَهْنٌ بمَا لَدَيْهِ
(6)و قال أَبو تمام
:
لَيْسَ الْحِجَابُ بمُقصٍ عنْكَ لي أَملاً
… إِنَّ السَماءَ تُرَجَّى حِينَ تَحْتجِبُ
البحثُ :
يقصِد علماء المعاني بكلمة " الوصْل " عطفَ جملة على
أخرى "بالواو" كقول الأبيوَرْدى يخاطب الدهر :
فَالعَبْدُ
رَيّانُ ِمنْ نُعْمى يَجودُ بِها والحرُّ ملتهبُ
الأحشاءِ منْ ظمإِ
و يقصدون بالفصل ترك هذا العطف، كقول المعري
:
لا تَطْلُبَنَّ بآلةٍ لَكَ حاجةً … قَلمُ البليغ
بغيْر حظٍّ مِغْزَلُ
هذا ولكل من الفصل والوصل مواطنُ تدعو إليها الحاجة
ويقتضيها المقام، و سنبدأ لك بمواطن الفصل:
تأمل أَمثلة الطائفة الأولى تجد
بين الجملة الأولى والثانية في كل مثال تآلفاً تامًّا، فالجملة الثانية في المثال
الأَول، و هي "إذا قُلتُ شِعْرًا أصْبح الدهرُ مُنشِدًا " لم تجئ إلا توكيدًا
للأولى، وهي جملة "و ما الدهرُ إلا من رواة قصائدي " فإِن معنى الجملتين واحد.
والجملة الثانية في المثال الثاني "بعضٌ لبعض وإِن لم يشعرُوا خدمُ " ما جاءَت
إِلا لإِيضاح الأولى "الناسُ للناس من بدوٍ و حاضرة " فهي بيان لها، والجملة
الثانية في المثال الثالث جزء من معنى الأولى لأَن تفصيل الآيات بعضٌ من
تدبير الأمور، فهي بدل منها، ولا شك أنك لَحَظْتَ أن الجملة الثانية مفصولة عن
الأولى في كل مثال من الأمثلة الثلاثة، و لا سر لهذا الفصل سوى ما بينهما من تمام
التآلف وكمال الاتحاد . ولذا يقال: إن بين الجملتين كمالَ
الاتصال.
تأمل مثالي الطائفة الثانية تجد الأمر على العكس، فإنَّ بين الجملة
الأول والثانية في كل مثال منتهَى التباين و غايةَ الابتعاد، فإنهما في المثال
الرابع مختلفان خبرًا وإنشاء. و هذا جلي واضح. أما في المثال الخامس فأنه لا
مناسبة بينهما مطلقا إذ لا رابطة في المعنى بين قوله: " و إِنما المرءُ بأصغريه "
و قوله: "كل امرئ رهن بما لديه "، وهنا تجد الجملة الثانية في كل من المثالين
مفصولة عن الأولى، ولا سر لذلك إلا كمالُ التباين و شدةُ التباعد ،
ولذلك يقال في هذا الموضع إنَّ بين الجملتين كمالَ الانقطاع.
انظر إلى
المثال الأخير تر أن الجملة الثانية فيه قوية الرابطة بالجملة الأولى، لأنها جواب
عن سؤال نشأ من الأولى، فكأن أبا تمام بعد أن نطق بالشطر الأول توهم أن سائلا
سأله، كيف لا يحولُ حجاب الأمير بينك وبين تحقيق آمالك؟ فأجاب: " إنَّ السماء
ترجى حين تحتَجب " فأنت ترى أن الجملة الثانية مفصولة عن الأولى، ولا سر لهذا
الفصل إلا قوة الرابطة بين الجملتين، فإن الجواب شديد الارتباط والاتصال بالسؤال
فأشبهت الحالُ هنا من بعض الوجوه حال كمال الاتصال التي تقَدمت، و لذلك يقال إنَّ
بين الجملتين شبهَ كمال الاتصال.
القواعدُ:
(62) الوصلُ عَطفُ جُملةٍ
عَلَى أخْرَى بالواو، والفصلُ تَرْكُ هذا العطف، ولكلٍّ مِنَ الفَصْلِ والوصلِ
مَوَاضِعُ خاصةٌ.
(63) يَجبُ الْفَصْلُ بَيْنَ الْجُمْلَتَيْن في ثَلاَثَةِ
مَواضعَ:
(أ)- أَنْ يَكونَ بَيْنَهُمَا اتِّحَادٌ تَامًّ، وذلك بأنْ تَكونَ
الجمْلَةُ الثانيةُ تَوْكِيدًا لِلأولى، أَوْ بَيَاناً لها، أوْ بَدَلاً مِنْهَا،
وَيُقَالُ حِينَئِذ إنَّ بَيْنَ الجملَتَين كَمَالَ الاتِّصَال.
(ب)-أنْ
يَكونَ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ تَامٌّ، و ذلكَ بأنْ تَخَتلفَا خَبَرًا وإنشاءً،
أوْ بألا تَكونَ بَيْنَهُمَا مُنَاسَبَةٌ مَا، وَيُقَالُ حِينَئِذ إن بَيْنَ
الجمْلَتَيْن كَمَالَ الاِنْقِطَاع.
(جـ)- أَنْ تَكونَ الثَّانَيةُ جوابا
عَنْ سُؤالٍ يُفْهَم مِنَ الأولى، وَيُقَالُ حِينَئِذٍ إِنَّ بَيْنَ الجمْلَتَيْن
شِبْهَ كَمَال الاتِّصَال .
(2) مواضِعُ الوصلِ
الأمثلةُ:
(1)
قال أَبو العلاء المعري :
وحبُّ العيشِ أعبدَ كلَّ حرٍّ، وعلّمَ ساغباً أكلَ المُرار
(2)و
قال أبو الطيب :
وَللسرّ مني مَوْضِعٌ لا يَنَالُهُ
نَديمٌ وَلا يُفْضِي إلَيْهِ شَرَابُ
(3)وقال أيضاً :
يُشَمّرُ
لِلُّجِّ عَنْ ساقِهِ ويَغْمُرُهُ المَوْجُ
في السّاحِلِ
(4) وقال بشارُ بن بُرد :
وأَدْنِ على
القُربَى المُقَرِّب نَفْسَهُ ... ولا تُشْهِدِ الشُّورَى امرَأً غيرَ كاتِم
(5) لا وباركَ اللهُ فِيك: تجيبُ بذلك لمن قال:( هل لكَ حاجة أساعدك
في قضائها)
(6) لا ولطَفَ اللهُ بهِ: تجيبُ بذلك منْ قال: (هل أبلَّ أخوكَ
منْ علته)
البحثُ:
تأمل الجملتين " أَعْبَدَ كُلَّ حرٍّ " و " علم
ساغبا أكل المُرار " في البيت الأول تجد أن للأولى منهما موضعا من الإعراب لأنها
خبر للمبتدأ قبلها وإن القائل أراد إشراك الثانية لها في هذا الحكم الإعرابي
وتأمل الجملتين : " لا يناله النديم " و " لا يفضي إليه شراب " في البيت الثاني
تجد أن للأولى أيضا موضعا من الإعراب لأنها صفة للنكرة قبلها و أنه أريد إشراك
الثانية لها في هذا الحكم و إذا تأملت الجملة الثانية في كل من البيتين وجدتها
معطوفة على الجملة الأولى موصولة بها . و كذلك يجب الوصل بين كل جملتين جاءتا على
هذا النحو.
اُنظر في البيت الثالث إلى الجملتين: " يشمِّر لِلُّجِّ عن
ساقه"و " يغمُره الموج في الساحل " تجدهما متحدتين خبرَا متناسبتين في
المعنى وليس هناك من سبب يقتضي الفصل ولذلك عطفت الثانية على
الأولى، والمثال الرابع كذلك مكون من جملتين متحدتين إنشاء هما: " أدنِ " و " لا
تشهد " وهما متناسبتان في المعنى وليس هناك من سبب يقتضي الفصل ولذلك عطفت
الثانية على الأولى، هكذا يجب الوصل بين كل جملتين اتحدتا خبرًا أو إنشاء
وتناسبتا في المعنى ولم يكن هناك ما يقتضي الفصل بينهما.
انظر في المثال
الخامس إلى الجملتين: " لا " و " بارك الله فيك "تجد أن الأولى على
خبرية والثانية إنشائية . وأنك لو فصلت فقلت: "لا
باركَ الله فيك " لتوهم السامع أنك تدعو عليه في حين أنك تقصد الدعاء له، و لذلك
وجب العدول عن الفصل إلى الوصل. وكذلك الحال في جملتي المثال الأخير، وفي كل
جملتين اختلفتا خبرًا وإنشاء وكان ترك العطف بينهما يوهم خلاف المقصود.
القاعدةُ:
(64)
يَجبُ الوَصْلُ بيَنَ الجملتين في ثَلاَثَة مَوَاضعَ:
(أ)- إذَا قُصدَ
إشرَاكُهمَا في الحُكم الإعرابي.
(ب)-إذا اتْفَقَتَا خَبراً أوْ إنشاء وكانت
بَيْنَهُمَا مُنَاسَبَةٌ تَامةٌ، وَلَم يَكُن هُنَاكَ سَبَبٌ يقتضي الفصلَ
بَيْنَهُما.
(جـ)- إذَا اخْتلَفَا خَبَراً و إنشاءً وَأوْهَمَ الفَصلُ خِلاف
الْمَقصود.
نموذجٌ
لبيان مواضعِ الوصل والفصل فيما يأتي مع ذكر السبب
في كل مثال:
(1) قال تعالى : {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ} (6) سورة البقرة .
(2)
وقال الأحنف بن قيس : " لا وفاء للكذوب ولا راحة لحسود " .
(3) وقال تعالى:
{فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لاَ تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ
مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُواْ لاَ تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ
لُوطٍ} (70) سورة هود .
(4) وجاء في الحكم : كفاء بالشيبِ داءً
، صلاحُ الإنسان في حفظِ اللسان.
(5) وينسبُ للإمام علي كرم الله وجهه
:
دَعِ الإسْرَافَ مُقْتَصِداً، وَاذْكُرْ فِي الْيَوْمِ غَداً،
وَأَمْسِكْ مِنَ الْمَالِ بِقَدْرِ ضَرُورَتِكَ، وَقَدِّمِ الْفَضْلَ
لِيَوْمِ حَاجَتِكَ.
(6) و لأبي بكر رضي الله عنه : أَمّا بَعْدُ أَيّهَا
النّاسُ فَإِنّي قَدْ وُلّيت عَلَيْكُمْ وَلَسْت بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْت
فَأَعِينُونِي ؛ وَإِنْ أَسَأْت فَقَوّمُونِي ؛ ..
(7) وقال أبو الطيب
:
إنّ نُيُوبَ الزّمَانِ تَعْرِفُني أنَا الذي طالَ
عَجْمُها عُودي
(8) لا وكُفيتَ شرَّها. (تجيب بذلك من قال:
أذهَبتِ الحُمَّى عن المريض؟)
(9) قال تعالى: { وَاتَّقُوا الَّذِي
أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ (133)
وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (134) } [الشعراء/132-134].
(10) وقال أبو
العتاهية :
قَدْ يدرِكُ الرَّاقِدُ الهادِي
برقْدَتِهِ وقَدْ يخيبُ أخُو الرَّوْحاتِ
والدَّلَجِ
(11) وقال الغزي يشكو الناس :
يصدُّون
في البأساءِ من غير علةٍ … و يمتثلون الأمرُ و
النهيَ في الخفض
(12) وقال أبو العلاء المعري :
لا
يُعجِبَنّكَ إقبالٌ يريكَ سَناً، إنّ الخُمودَ، لعَمري، غايةُ الضَّرَم
(13) وقال الشاعر :
يقولونَ إني أحملُ
الضيمَ عندهم… أعوذُ بربي أنْ يضامَ نظيري
(14) وقال
تعالى : {وَإِذْ نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ
الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم
بَلاء مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ} (49) سورة البقرة.
(15) وقال
تعالى عن رسوله صلى الله عليه وسلم :{ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
(3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) } [النجم/3-5].
الإجابةُ
(1)فصل
بين الجملتين، جملة : {سواءٌ عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم}، وجملة {لا يؤمنون}
لأن بينهما كمال الاتصال إذ أن الثانية لا توكيد للأولى.
(2) وصل بين
الجملتين لاتفاقهما خبرا وتناسبهما في المعنى. ولأنه لا يوجد هناك ما يقتضي
الفصل.
(3) فصلت جملة { قالوا } عن جملة { و أوجس منهم خيفة } لأن بينهما
شبه كمال الاتصال، إذ الثانية جواب لسؤال يفهم من الأولى كان سائلا سأل : فماذا
قالوا له حين رأوه و قد داخله الخوف؟ فأجيب { قالوا لا تخفْ }.
(4) فصل بين
الجملتين لأنَّ بينهما كمالَ الانقطاع، إذ لا مناسبة في المعنى بين الجملة الأولى
والجملة الثانية.
(5) وصل بين الجمل الأربع لاتفاقها إنشاء مع وجود
المناسبة، و لأنه لا يوجد هناكَ سببٌ يقتضي الفصل.
(6) فصل بين الجملتين: "
أيها الناس " و "إني وليت عليكم" لاختلافهما خبرا و إنشاء فبينهما كمال الانقطاع،
ووصل بين الجملتين:"وليت عليكم "ولست بخيركم " لأنه أريد إشراكهما في الحكم
الإعرابي إذ كلتاهما في محل رفع، وإذا كانت الواو للحال فلا يصل.
(7) فصل
بين شطري البيت، لأن الثاني منهما جواب عن سؤال نشأ من الأولى، فبينهما شبه كمال
الاتصال.
(8) وصل بين جملتي لا، وكفيت، لاختلافهما خبرًا و إنشاء، و في
الفَصْل إيهام خلاف المقصود، فبينهما وكمال الانقطاع مع الإبهام.
(9) بين
جملة " أمدكم بما تَعْلمون" و جملة "أمدكم بأنعام وبَنِينَ وجنَّات و عيون "كمال
الاتصال؛ فإن الثانية منهما بدل بعض من الأولى، إذ الأنعام و البنون و الجنات
والعيون بعض ما يعلمون.
(10) ووصل أَبو العتاهية بين الجملتين لأنهما اتفقتا
في الخبرية، وبينهما مناسبة تامة، وليس هناك ما يقتضي الفصل.
(11) كذلك وصل
الغَزِّي بين شطري البيت لما تقدم.
(12) وفصل أبو العلاء بين شطري البيت لأن
بينهما كمال الانقطاع إذ الجملتان مختلفتان خبراً و إنشاءً.
(13) بين جملة "
يقولون إني أحمل الضيْمَ "و جملة "أعوذ بربي أن يضام نظيري " شبه كمال الاتصال
لأن الثانية جواب عن سؤال نشأ من الأولى، فكأن الشاعر بعد أن أتى بالشطر الأول من
البيت أحس أنْ سائلاً يقول له: " و هل ما يقولونه من أنك تتحمل الضيم صحيح؟"،
فأجاب بالشطر الثاني.
(14) بين جملة:{ يسومونَكم سُوء العذاب }وجملة: {
يُذبحون أبْناءكم} كمال الاتصال فإن الثانية منهما بدل بعض من الأولى.
(15)
فصل الله تعالى بين الجملتين في الآية الكريمة ،لأن بينهما كمال الاتصال فإن
الجملة الثانية بيان للأولى.
تمريناتٌ
(1)بين مواضعَ الوصل فيما يأتي و
وضحِ السبب في كلِّ مثال:
(1) قال بعض الحكماء: العبْدُ حُرٌّ إذا قنِع، و
الحرُّ عبدٌ إذا طمِع .
(2) وقال ابن الرومي :
قد يسبِقُ الخيرَ
طالبٌ عَجِلٌ ويرهَقُ الشرُّ مُمعِناً هَرَبُهْ
(3) وقال أبو الطيب :
الرأيُ قَبلَ شَجاعةِ
الشجعانِ …هُو أوّلٌ وهْيَ المحلُّ الثاني
(4)و خطب الحجاج بن يوسف
يوما فقال:
" اللَّهم أَرِني الغَيّ غيّاً فأجتنبَه، وأَرِني الهُدَى هُدىً
فأتبعَه، ولا تَكْلني إلى نَفسي فأضلّ ضلالاً بعيداً. واللّه ما أُحِبُّ أنَّ ما
مضى منَ الدنيا لي بعمامتي هذهِ، ولمَا بَقِيَ منها أَشبهُ بما مَضى منَ الماءِ
بالماءِ" .
(5)و قال الشريف الرضي يرثو أبا إسحاق الصابي
:
أعَلمْتَ مَنْ حَمَلُوا عَلى الأعْوَادِ أرَأيْتَ
كَيْفَ خَبَا ضِيَاءُ النّادِي
(6)و قال حسان بن ثابت الأنصاري رضي
الله عنه :
أَصُونُ عِرْضِي بمالِي لا أُدَنِّسُهُ ...
لا بارَكَ اللهُ بَعْدَ العِرْضِ في المالِ
أَحْتالُ
للمالِ إنْ أَودَى فأَكْسِبُهُ ... ولسْتُ للعِرْضِ إنْ أَوْدَى بِمُحتالِ
(7)و قال النابغة الذبياني يرثي أخاه من أمِّه :
حَسْبُ
الخَلِيَلْينِ نَأْيُ الأرضِ بَيْنَهُما ... هذا عَلَيْها وهذا تَحْتَها
بالِ
(8) و قال الطغرائي :
يا وارداً سُؤْرَ
عيشٍ كلُّه كدرٌ …أنفقتَ عمركَ في أيامكَ الأُولُ
(9) وقال علي
الجارم :
لاَ الدَّمعُ غاضَ وَلا فُؤادُكَ سَالى دَخَلَ
الْحِمَامُ عَرِينة َ الرِّئْبالِ
(10) و قالت زينب بنت
الطَّثَرِيَّة ترثي أخاها :
وقَدْ كان
يُرْوِي المَشْرَفِيَّ بكَفِّهِ ... ويَبْلُغُ أَقْصَى حَجْرَةِ الحَيِّ نائِلُهْ
(11) و قال أبو الطيب :
أعَزُّ مَكانٍ في الدُّنَى سَرْجُ
سابحٍ وَخَيرُ جَليسٍ في الزّمانِ كِتابُ
(12) وقال الشاعر :
العينُ عبرَى و النفوسُ صوادي …ماتَ
الحجا و قضَى جلال النادي
(13) و قال رجل من بني أسد في
الهجاء :
لا تحسبِ المجَد تمراً أنت آكلُه …لنْ تبلغَ المجدَ
حتى تلعقَ الصَّبِرَا
(14) و قال عمارة اليمني
:
و غدر الفتى في عهده و وفائه …و غدر المواضي في نُبُوِّ المضارب
(15)و قال تعالى في قصة فرعون وردِّ موسى عليه السلام:
{ قَالَ
فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ
حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ (25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آَبَائِكُمُ
الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ
لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ
كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28) [الشعراء/23-29] }.
(16)و قال تعالى:
{وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
(6) وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ
يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ} (7) سورة لقمان.
(2)أجب عما يلي :
(1)لِم يعِيبُ
الناس العطف في الشطر الثاني من أبى تمام؟
لا والذي هوَ عالمٌ أنَّ
النوى صَبِرٌ وأنَّ أَبَا الحُسَيْنِ
كَرِيمُ
(2)لِم يحْسنُ أنْ نقول: عليٌّ خطيبٌ و سعيدٌ شاعرٌ، ويقبحُ أَن
نقولَ: عليٌّ مريضٌ وسعيدٌ عالِمٌ ؟
(3)أجب عما يلي :
(1) هات ثلاثة
أمثلة للجمل المفصول بينها لكمال الاتصال، واستوف المواضع الثلاثة التي يظهر فيها
هذا الكمال.
(2) هات مثالين للجمل المفصول بينها لشبه كمال الاتصال.
(3)
" " " " " لكمال الانقطاع.
(4)أجب عما يلي :
(1) مثل بمثالين لكل موضع
من مواضع الوصل.
(5)انثُر البيتين الآتيين وبين سبب ما فيهما من فصلٍ ووصل،
وهما لأبي الطيب في مدح سيف الدولة :
يا مَنْ يُقَتِّلُ مَنْ أرَادَ
بسَيْفِهِ أصْبَحتُ منْ قَتلاكَ
بالإحْسانِ
فإذا رَأيتُكَ حارَ دونَكَ نَاظرِي وَإذا مَدَحتُكَ حارَ فيكَ
لِساني
BAB III :FASHAL DAN WASHAL
A Tempat-Tempat Fashal
Contoh-Contoh
Abuth-Thayyib berkata:
Waktu
itu tiada lain hanyalah para penutur gasidahku. Bila aku membacakan sebuah
syair, maka waktu. akan mendendangkannya.
‘Abul-‘Ala’ berkata:
Manusia
bagi manusia lain, baik dari pedalaman maupun dari perkotaan: sebagian bagi
sebagian yang lain walaupun mereka tidak merasa adalah pelayan.
Allah Swt. berfirman:
Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan-(mu)
dengan Tuhanmu. (QS Ar-Ra’d: 2)
Abul-Atahiyah
berkata:
Wahai pemilik harta yang mencintainya, engkau adalah orang
yang tidak akan habis kepayahannya.
Penyair
lain berkata:
Sesungguhnya setiap orang hanya bergantung kepada dua
benda kecil miliknya (hati dan mulut). Setiap orang dibalas dengan apa yang
telah dilakukan.
Abu Tamam berkata:
Penghalang
itu tidak menjauhkan cita-citaku untuk mendapatkan kamu. Sesungguhnya langit
itu diharap-harapkan hujannya ketika ia terhalangi mendung.
Pembahasan
Yang dimaksud dengan washal menurut ulama Ma’ani adalah
mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lain dengan huruf athaf wawu,
seperti yang dikatakan olch Al-Abyurdi kepada waktu
Seorang hamba
akan segar dengan kenikmatan yang engkau berikan kepadanya, sedangkan orang
merdeka akan panas perutnya karena menahan haus. Dan yang mereka maksud dengan
fashal adalah meninggalkan seperti di atas, seperti dikatakan oleh
Al-Ma’arri:
Jangan sekali-kali kau mencari kebutuhan dengan salah
satu alatmus pena seorang yang balig tanpa ada nasib baik menjadi alat
pemintal.
Masing-masing fashal dan washal memiliki tempat-tempat
yang dituntut oleh keperluan dan dikehendaki oleh kondisi. Dalam kesempatan’
ini akan dijelaskan tempat-tempat fashal:
Marilah kita perhatikan
contoh-contoh kelompok pertama, maka kita dapatkan bahwa antara kalimat
pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh ada keterkaitan yang sangat
sempurna. Kalimat kedua pada contoh pertama tiada lain sebagai penguat bagi
kalimat pertama. Makna kedua kalimat itu adalah satu. Kalimat kedua pada
contoh kedua tiada lain adalah sebagai penjelasan bagi kalimat pertama.
Kalimat
kedua pada contoh ketiga adalah sebagian dari makna kalimat pertama karena
menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya itu adalah sebagian dari pengaturan
urusan makhluk. Jadi, kalimat kedua merupakan badal dari kalimat pertama.
Sudah
tentu kita tahu bahwa kalimat kedua pada setiap contoh itu di-fashal-kan dari
kalimat pertamanya, dan tiada rahasia lagi bagi fashal ini kecuali karena
adanya kaitan dan kesatuan yang sempurna. Oleh karena itu, di antara kedua
kalimat tersebut dikatakan memiliki kesinambungan yang sempurna (kamiaalul
ittishaal).
Kemudian perhatikanlah contoh-contoh kelompok kedua,
maka akan kita dapatkan bahwa masalahnya adalah sebaliknya keterangan di atas,
karena antara kalimat pertama dan kalimat kedua pada setiap contoh terdapat
perbedaan yang sangat jauh. Pada contoh keempat, kedua kalimat tersebut
berbeda: yang satu kalam khabar dan yang lain kalam insya’. Ini sangat jelas.
Pada contoh kelima tidak ada keserasian antara kedua kalimat tersebut karena
tidak ada hubungan sama sekali antara kalimat “Setiap orang itu bergantung
kepada dua benda kecil miliknya” dan kalimat “Setiap orang itu akan dibalas
atas apa yang ia lakukan”. Di sini kita dapatkan bahwa kalimat kedua pada
kedua contoh ini di-fashal-kan dari kalimat pertamanya, dan tidak rahasia bagi
fashal ini kecuali adanya perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, di
antara kedua kalimat itu disebut memiliki keterputusan yang sempurna
(kamaalul-ingitha’).
Kemudian perhatikanlah contoh terakhir, maka
akan kita dapatkan bahwa kalimat kedua memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kalimat pertama karena ia merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul
dari kalimat pertama. Jadi, setelah membacakan syathar pertama dari syairnya
itu, seakan-akan Abu Tamam berpraduga ada orang yang bertanya “Bagaimana
halangan penguasa tidak dapat menghalangi antara dia dan tercapainya
cita-citanya.” Maka ia men. jawab, “Sesungguhnya langit itu diharap-harapkan
hujannya ketika terhalangi mendung.” Kita tahu dengan jelas bahwa kalimat
kedua itu terpisah dari kalimat pertama, dan tidak ada rahasia bagi fashal ini
selain karena adanya hubungan yang sangat erat antara kedua kalimat tersebut.
Karena jawaban itu sangat erat kaitan dan kesinambungannya dengan pertanyaan,
maka dari beberapa segi keadaan mirip dengan keadaannya pada contoh-contoh
kelompok pertama. Oleh karena itu, dikatakan bahwa di antara dua kalimat ini
memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna (syibhu kamaalil ittishal).
Kaidah
(62) Washal adalah mengathafkan satu kalimat kepada kalimat lain
dengan wawu. Fashal adalah meninggalkan athaf yang demikian.
Masing-masing
washal dan fashal mempunyai tempat-tempat tersendiri.
(63)
Di antara dua kalimat, wajib di-fashal-kan dalam tiga tempat:
Bila di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesatuan yang sempurna, Seperti
halnya kalimat kedua, merupakan taukid (penguat) bagi kalimat pertama, atau
sebagai penjelasannya, atau sebagai badal-nya. Dalam keadaan yang demikian
dikatakan bahwa di antara kedua kalimat tersebut terdapat kesinambungan yang
sempurna (kamaalul ittishaal).
Bila di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, seperti keduanya
berbeda khabar dan insya’nya, atau tidak ada kesesuaian sama sekali di antara
keduanya. Dalam keadaan yang demikian dikatakan bahwa di antara kedua kalimat
tersebut terdapat kamuaalul ingitha’ (keterputusan yang sempurna).
Bila kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari
pemahaman terhadap kalimat pertama. Dalam keadaan demikian dikatakan bahwa di
antara kedua kalimat tersebut terdapat syibhu kamuaalil ittishaal (kemiripan
kesinambungan yang sempurna).
B Tempat-Tempat
Washal
Contoh-Contoh
AbulAla al-Ma’arri berkata:
Cinta kehidupan itu
memperbudak setiap orang merdeka dan mengajarkan orang yang lapar untuk makan
tumbuh-tumbuhan yang pahit.
Abuth-Thayyib berkata:
Rahasia dalam diriku
mendapat tempat yang tidak dapat diketahui olek teman peminum minuman keras,
dan tidak dapat dibongkar dengan minuman keras.
Ia berkata:
Ia menyingsingkan pakaiannya dari
kedua betisnya untuk mengarungi tengah laut, dan ombak telah menerjangnya
ketika masih di tepi laut.
Basyar bin Burd berkata:
Dekatkanlah dirimu
kepada orang dekat yang mendekatkan dirinya kepadamu, dan janganlah kamu
mengajak musyawarah dengan orang yang tidak dapat memelihara rahasia.
Tidak, dan semoga Allah memberkatimu. (Untuk menjawab pertanyaan: “Apakah Anda
punya keperluan yang dapat saya bantu?”)
Belum, semoga Allah meringankan penderitaannya. (Untuk menjawab pertanyaan:
“Apakah saudaramu telah sembuh dari penyakitnya?”)
Pembahasan
Perhatikanlah dua kalimat pada contoh pertama, maka akan
Anda dapatkan bahwa kalimat pertama, “A’bada kulla hurrin”, memiliki kedudukan
dalam i’rab karena ia menjadi khabar mubtada’ yang jatuh sebelumnya, dan
pembicaranya bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama dalam
hal i’rab ini.
Kemudian perhatikan pula kalimat
“Laa yanaaluhu nadiimun” dan kalimat “Laa yufdhii ilaihi syaraabun” pada
contoh kedua, maka akan Anda dapatkan bahwa kalimat pertama juga memiliki
kedudukan dalan i’rab karena ia menjadi sifat bagi lafaz nakirah sebelumnya.
Pembicaranya juga bermaksud menyertakan kalimat kedua kepada kalimat pertama
dalam hukum ini.
Dan bila Anda perhatikan lebih
jauh kedua kalimat kedua pada kedua contoh di atas, maka Anda temukan bahwa
kalimat-kalimat tersebut diathafkan kepada kalimat yang pertama, disambungkan
dengannya. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat yang seperti
ini.
Bila kita perhatikan dua kalimat pada contoh
ketiga, kita dapatkan keduanya sama-sama kalam khabar yang bersesuaian
maknanya, namun tidak kita dapatkan keduanya di-fashal-kan, melainkan
diwashal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama.
Demikian juga contoh keempat, terdiri atas dua kalimat yang sama-sama kalam
insya’, dan keduanya bersesuaian dalam maknanya, namun keduanya tidak
di-fashal-kan, melainkan di-washal-kan dengan diathafkannya kalimat kedua
kepada kalimat pertama. Begitu juga wajib di-washal-kan setiap dua kalimat
yang sama-sama kalam khabar atau insya’ serta bersesuaian maknanya serta tidak
ada halhal yang mengharuskan keduanya di-fashal-kan.
Selanjutnya
marilah kita perhatikan contoh kelima. Maka kita dapatkan bahwa kalimat yang
pertama, laa, adalah kalam khabar, sedangkan kalimat yang kedua, baarakallaahu
fiika, adalah kalam insya”. Seandainya kedua kalimat tersebut kita fashal-kan
dan kita katakan “Lag baarakallaahu fiika”, maka pendengar anak-anak
beranggapaar bahwa kita mendoakan jelek kepadanya, padahal kita mendoakan
paik. Oleh karena itu, wajib berpindah dari fashal kepada washal. Demikian
juga halnya contoh terakhir, kedua, kalimatnya berbeda khapar dan insya’nya,
yang seandainya tidak diathafkan, niscaya akan menimbulkan kesalahpahaman yang
menyalahi maksud sebenarnya.
3, Kaidah
(64)
Wajib washal di antara dua kalimat dalam tiga tempat, yaitu bila:
kalimat kedua hendak disertakan kepada kalimat pertama dalam hukum
i’rabnya.
kedua kalimat
tersebut sama-sama kalam khabar atau samasama kalam insya’ dan bersesuaian
maknanya dengan sempurna, namun tidak ada hal-hal yang mengharuskan keduanya
di-fashal-kan.
Kedua kalimat
tersebut berbeda khabar dan insya’nya, dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan
kesalahpahaman yang menyalahi maksud semula.
Latihan-Latihan
Contoh Soal:
Jelaskanlah tempat-tempat
fashal dan washal pada kalimat-kalimat berikut dan sebutkan sebab-sebabnya!
Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya orang-orang
kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tidak akan beriman. (QS Al-Baqarah: 6)
Al-Ahnaf bin Oais berkata:
Tidak ada kesetiaan
bagi seorang pembohong, dan tidak ada ketenangan bagi orang pendengki.
Allah Swt. berfirman:
dan ia merasa takut kepada
mereka. Malaikat itu berkata, “Jangan takut…” (QS Huud: 70)
Disebutkan dalam kata-kata hikmah:
Uban itu cukup
menyakitkan, kebaikan seorang manusia itu tergantung kepada pemeliharaan
lidah.
Suatu ungkapan yang
dinisbatkan kepada Imam Ali k.w.:
Tinggalkanlah
berlebih-lebihan demi alasan ekonomi, dan ingatlah pada hari ini tentang hari
esok, dan simpanlah sebagian hartamu sesuai dengan kebutuhan primermu, dan
dahulukanlah sisa untuk hari kebutuhanmu.
Abu Bakar berkata:
Wahai manusia, sesungguhnya
aku diberi kekuasaan untuk mengatur kamu, dan aku bukanlah orang terbaik di
antara kamu.
Abuth-Thayyib
berkata:
Sesungguhnya bencana-bencana zaman
memberi tahu kepadaku, aku adalah orang yang lama menggigit kayu (tahan dan
tabah terhadap musibah).
Tidak, semoga engkau dicukupi dari kejahatannya. (Sebagai jawaban atas
pertanyaan: “Apakah panas si sakit telah turun?”)
9
Allah Swt. berfirman:
….yang telah
menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan
kepadamu binatang-binatang ternak, anak-anak, kebun-kebun, dan mata air. (QS
Asy-Syu’ara’: 132 – 134)
10, Abul Atahiyah
berkata:
Kadang-kadang orang yang tidur yang
mendapat petunjuk dapat mencapai apa yang dicarinya, dan kadang-kadang orang
yang berjalan sore dan petang itu mengalami kerugian.
Al-Ghazzi mengadu kepada manusia:
Mereka
berpaling tanpa alasan ketika dilanda bencana, dan mereka menurut perintah dan
larangan ketika dalam kenikmatan.
Abul ‘Ala Al-Ma’arri berkata:
Janganlah
sekali-kali mengherankan kamu kehadiran seseorang yang menunjukkan cahaya,
sesungguhnya ketenangan api itu — demi usiaku — adalah puncak gejolaknya.
Mereka berkata bahwa aku membawa kehinaan bagi mereka. Aku berlindung kepada
Rabb-ku dari dihinanya orang yang sepadan denganku.
Allah Swt. berfirman:
Mereka menimpakan kepadamu
siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelihi anak-anakmu yang laki-laki…
. (QS Al-Baqarah: 49)
Allah
Swt. berfirman: .
Dan tiadalah yang diucapkannya
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS An-Najm: 3 – 4)
Contoh
Jawaban:
Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan,
yaitu antara kalimat “Sawaa-un ‘alaihim a’andzartahum am lam tundzirhum” dan
kalimat “Laa yu-minuun” karena kedua kalimat ini memiliki keterkaitan yang
sempurna, karena kalimat kedua merupakan taukid bagi kalimat pertama.
Kedua kalimat tersebut di-washal-kan karena keduanya sama-sama kalam khabar
dan bersesuaian maknanya, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan
keduanya di-fashal-kan.
Kalimat kedua (gaaluu) di-fashal-kan dengan kalimat pertama (wa aujasa minhum
khiifah) karena kedua kalimat ini memiliki kesinambungan yang sempurna, sebab
kalimat kedua merupakan jawaban bagi pertanyaan yang muncul dari pemahaman
terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan muncul pertanyaan: “Lalu apa yang
mereka katakan ketika mereka melihatnya: ketakutan?” Jawabannya adalah: Mereka
berkata, “Janganlah kamu takut.”
Kedua kalimat tersebut di-fashal-kan karena di antara kedua kalimat tersebut
terdapat keterputusan yang sempurna, sebab tidak ada kesesuaian makna antara
kalimat pertama dan kalimat kedua.
5, Semua
kalimat tersebut di-washal-kan karena semuanya kalam insya’ dan memiliki
kesesuaian makna, dan karena tidak ada hal-hal yang mengharuskan
kalimat-kalimat tersebut di-fashalkan.
Kalimat “Ayyuhan-naas” dan kalimat “Innii wulliitu “alaikum” difasial-kan
karena ada perbedaan khabar dan insya’ di antara kedua kalimat tersebut. Dan
kalimat “Wulliitu ‘alaikum’ dan “Lastu bi khairikum” di-washal-kan karena Abu
Bakar bermaksud menyertakan kalimat kedua itu kepada kalimat pertama dalam
segi i’rab karena kedua-duanya dalam posisi rafa’. Bila wawu athaf diartikan
sebagai wawu haliyah, maka bukan washal namanya.
Kedua syathar bait syair terscbut di-fashal-kan karena syathar kedua merupakan
jawaban dari pertanyaan yang muncul dari pemahaman pendengar terhadap syathar
pertama. Jadi, kedua syathar tersebut memiliki kemiripan kesinambungan yang
sempurna.
Kalimat “Iaa” dan
kalimat “Kuffiita .. ” di-washal-kan karena ada perbedaan khabar dan insya’,
dan bila di-fashal-kan akan menimbulkan kesalahpahaman yang menyalahi maksud
semula.
Kalimat “Amaddakum bi
maa ta’lamuun” dan kalimat “Amaddakum bi an’aamin .. .” di-fashal-kan karena
keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan
badal dari kalimat pertama, yaitu bahwa binatang-binatang ternak, anak-anak,
kebun-kebun, dan mata air itu termasuk barang-barang yang kamu ketahui.
Abul-‘Atahiyah me-washal-kan kedua kalimat tersebut karena keduanya sama-sama
kalam khabar dan memiliki kesesuaian makna yang sempurna, serta tidak ada
hal-hal yang mengharuskan kedua kalimat tersebut di-fashal-kan.
Dengan alasan yang sama, Al-Ghazzi juga me-washal-kan kedua SYathar
syairnya.
Abul-‘Ala’
mem-fashal-kan kedua syathar syairnya karena ada nya keterputusan yang
sempurna, sebab kedua kalimat tersebut berbeda khabar dan insya’nya.
Kalimat “Yaguuluuna innii ahmiludh-dhaima” dan kalimat “A’uudzu bi Rabbii …”
di-fashal-kan karena keduanya memiliki kemiripan kesinambungan yang sempurna,
sebab kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang muncul dari
pemahaman terhadap kalimat pertama. Jadi, seakan-akan sctelah penyair
membacakan syathar pcrtama, ada yang bertanya kepadanya, “Apakah ucapan mereka
bahwa engkau membawa kehinaan itu benar?” Maka ia menjawab dengan syathar
kedua.
Kalimat “Yasuumuunakum
suu-al-‘adzaabi” dan kalimat “Yudzab bihuuna abnaa-akum” di-fashal-kan karena
keduanya memiliki keSinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan
badal dari kalimat pertama.
Allah mem-fashal-kan dua kalimat dalam ayat terscbut karena keduanya memiliki
kesinambungan yang sempurna, sebab kalimat kedua merupakan penjelasan bagi
kalimat pertama.
Latihan-Latihan
Jelaskan tempat-tempat fashal dan washal pada contoh-contoh berikut dan
jelaskan pula alasannya!
Sebagian ahli hikmah berkata:
Seorang hamba itu
merdeka bila ia gana’ah (menerima kenyataan), dan seorang merdeka itu adalah
hamba bila ia thama’ (senantiasa berharap lebih atau tidak menerima
kenyataan).
Ibnur-Rumi
berkata:
Kadang-kadang seorang pencari kebaikan
yang tergesa-gesa itu melewatkannya, dan kadang-kadang kejahatan itu mengenai
orang yang berlari menghindarinya.
Abuth-Thayyib berkata:
Suatu
pendapat bagi orang yang belum sempurna keberaniannya adalah pertama (dalam
kemunculannya), dan ia menempati posisi kedua.
4
Al-Hajjaj berpidato:
Ya Allah, tunjukkanlah
kepadaku bahwa kecurangan itu adalah kecurangan sehingga aku dapat
menjauhinya, dan tunjukkanlah kepadaku bahwa petunjuk itu adalah petunjuk
sehingga aku dapat mengikutinya, dan janganlah Kauserahkan hal itu kepadaku
sehingga aku menjadi tersesat dengan sejaul-jauhnya.
Asy-Syarif Ar-Radhiy berkata dalam suatu ratapannya:
Tahukah
Anda siapakah yang mereka bawa di atas keranda, tahukah Anda bagaimana
padamnya cahaya orang yang bermurah hati?
6,
Hisan bin Tsabit Al-Anshari berkata:
Aku
memelihara jiwaku dengan hartaku, aku tidak akan mengotorinya. Allah tidak
memberi berkah pada harta tanpa jiwa vang baik. Seandainya harta telah habis,
aku dapat berusaha untuk mendapatkannya lagi, dan aku tidak dapat berusaha
mendapatkan jiwaku /harga diriku lagi setelah binasa/ rusak.
Am-Nabighah Adz-Dzubyani meratapi saudaranya seibu:
Telah
cukup bagi dua orang bersahabat bumi memisahkan mereka, seorang hidup di
atasnya, dan seorang lagi hancur di bawahnya.
Ath-Thaghra’i berkata:
Wahai orang yang menempuh
sisa kehidupan, seluruh sisa kehidupan itu keruh. Engkau telah mencurahkan
seluruh umurmu di hari-harimu yang telah lampau.
Air mata tidak perlu menetes dan hatimu
tidak harus terhibur. Kematian singgah di sarang singa.
Zainab binti Ath-Thatsariyyah meratapi saudaranya:
Ia
dapat memuaskan pedang dengan telapak tangannya dan pemberiannya telah
mencapai kabilah di tempat yang jauh.
Abuth-Thayyib berkata:
Tempat yang paling mulia
di dunia adalah pelana kuda yang cepat larinya, dan kawan yang paling baik
sepanjang zaman adalah kitab.
Mata menibuatku menangis dan nafsu membuatku haus. Akalku telah mati dan
keagungan seorang dermawan telah sirna.
Seorang laki-laki dari Bani Asad berkata dalam sebuah ejekannya:
Jangan
kauanggap keagungan itu sebagai sebutir kurma yang engkau tinggal memakannya.
Kamu tidak akan dapat mencapai keagungan sebelum kamu menjilat getah pohon
yang pahit.
14 Umarah Al-Yamani’ berkata:
Kecurangan
seseorang itu berada pada janji dan pemenuhannya, dan kecurangan pedang yang
tajam adalah ketika tidak dapat digunakan untuk memotong.
15,
Allah Swt. berfirman tentang kisah Firaun dan Musa a.s.:
Firaun
berkata, “Siapakah Tuhan semesta alam itu?” Musa menjawab, “Tuhan pencipta
langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu) jika kamu
sekalian adalah orang-orang yang mempercayai-Nya.” Firaun berkata kepada
orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata,
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS AsySyw’ara’: 23 –
26)
Allah Swt. berfirman:
Dan
apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan
diri seolah-olah ia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua
telinganya. (QS Lugman: 7)
1.
Mengapa syathar kedua dari syair Abu Tanam berikut ini tidak tepat
di-athaf-kan kepada syathar pertamanya?
Tidak,
demi Allah Yang Mahatahu, sesungguhnya An-Nawatwi itu orang yang tabah, dan
sesungguhnya Abul Husain itu orang yang mulia.
2
Mengapa baik bila dikatakan:
(Ali adalah seorang
ahli pidato dan Sa’id adalah seorang penyair).
Dan
mengapa tidak baik bila dikatakan:
(Ali sakit dan
Sa’id adalah seorang yang alim)?
III. 1. Buatlah
tiga buah contoh’kalimat yang masing-masing di-fashal-ka karena memiliki
kesinambungan yang sempurna!
Buatlah dua contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki kemiripan
kesinambungan yang sempurna!
3, Buatlah dua
contoh kalimat yang di-fashal-kan karena memiliki keterputusan yang
sempurna!
IV, Buatlah dua buah contoh bagi
masing-masing tempat washal!
V, Uraikan dua bait
Abuth-Thayyib tentang pujiannya kepada SaifudDaulah berikut ini serta jelaskan
sebab-sebab fashal dan atau washalnya!
Wahai
orang yang senantiasa membunuh dengan pedangnya terhadap orang yang
dikehendaki, aku telah menjadi korban pembunuhan dengan kebaikanmu.
Ketika
aku melihatmu, maka tercenganglah penglihatanku: dan ketika aku memujimu, maka
tercenganglah lidahku.[alkhoirot.org]