Syarat Sahnya Shalat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Sullamul Munajat, Sulam Munajah, Sulam al-Munajat
Judul terjemah: Tangga Berkeluh Kesah, Panduan Shalat Lengkap
Judul asal dalam teks Arab: [سلم المناجاة شرح سفينة الصلاة]
Syarah dari kitab: Safinah as-Sholah karya Syeh Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya al-Khadromi.
Penulis/pengarang: Syekh Nawawi al-Banteni,
Nama yang dikenal di Arab: [محمد بن عمر بن عربي بن علي نووي الجاوي أبو عبد المعطي]
Kelahiran: 1813 M, Kecamatan Tanara, Banten
Meninggal: 1897 M, Mekkah, Arab Saudi
Nama lengkap: Muhammad bin Umar bin Arabi ibn Ali Nawawi al-Jawi, Abu Abd al-Mu'ti
Bidang studi: fikih, hukum Islam
Penerjemah: Kang Muhammad Ihsan bin Nuruddin Zuhri
Daftar Isi
- Bagian Ketiga: Syarat-Syarat Shalat
- Suci Pakaian, Badan, Dan Tempat Dari Najis-Najis Yang Tidak Dima’fu (Tidak Dimaafkan)
- a Najis
- b Pembagian Najis
- c Air Kurang Dua Kulah vs Air Dua Kulah
- d Istibrok dan Istinjak
- e Hukum Air Ketika Terkena Najis dan Cara Mensucikannya
- f Hukum Cairan Selain Air Ketika Terkena Najis
- g Pembagian Najis Dari Segi Kema’fuan
- Suci Dari Hadas
- Masalah Orang Sholat Lupa Hadas
- a Rukun-rukun Wudhu
- b Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
- c Hal-hal yang Mewajibkan Mandi Besar
- d Rukun-rukun Mandi
- Masuk Waktu Sholat
- a Waktu Sholat Dzuhur
- b Waktu Sholat Ashar
- c Waktu Sholat Maghrib
- d Waktu Sholat Isyak
- e Waktu Sholat Subuh
- f Hikmah Sholat Dilakukan pada Waktu Tertentu
- Menutup Aurat
- Menghadap Kiblat
- Beragama Islam
- Berakal
- Suci dari Haid dan Nifas
- Meyakini Kefardhuan
- Tidak Meyakini Satu Rukun Sholat sebagai Kesunahan
- Menjauhi Halhal yang Membatalkan Sholat
- Mengetahui kaifiah sholat
- Kembali ke kitab: Terjemah Sulam Munajah
BAGIAN KETIGA: SYARAT-SYARAT SHOLAT
Setelah mengetahui hal-hal wajib yang berkaitan dengan Allah dan Rasul-Nya,
kemudian diwajibkan bagi setiap mukallaf, yaitu orang muslim, yang baligh, dan
yang berakal, untuk mengetahui syarat-syarat sholat, rukun-rukunnya, dan
hal-hal yang membatalkannya.
Pengertian syarat sholat adalah sesuatu yang keluar dari dzat sholat. Sedangkan pengertian rukun sholat adalah sesuatu yang berada di dalam dzat sholat. Kata rukun searti dengan kata fardhu.
Syarat-syarat sholat ada 12, yaitu:
1. Suci Pakaian, Badan, Dan Tempat Dari Najis-Najis Yang Tidak Dima’fu
(Tidak Dimaafkan).
Termasuk kesucian pakaian adalah kesucian benda yang terbawa oleh
pakaian dan yang menempel pada benda yang terbawanya. Termasuk suci badan
adalah bagian dalam mulut, hidung, mata, dan telinga. Yang dimaksud dengan
kesucian tempat adalah kesucian tempat yang digunakan oleh musholli5 untuk
sholat.
a. Najis
Pengertian najis adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan yang dapat
mencegah keabsahan sholat dari sisi tidak ada hal yang memperbolehkan [sholat
disertai adanya najis].
Termasuk najis adalah:
a) Khamar
Khomr termasuk najis meskipun ia dibuat dari bahan
semisal, anggur, kurma, biji labun (Jawa: Waloh), dan budzoh. Maksud budzoh
adalah beras yang dimasak atau roti yang didiamkan selama tiga hari atau
kurang atau lebih menurut proses cara yang diketahui oleh pemproduksinya,
kemudian baunya menjadi berubah. Apabila beras atau roti tersebut memabukkan
maka hukumnya adalah najis, seperti yang dikutip oleh Syeh Husain al- Mahalli
dari Syeh Romli.
b) Air kencing (baul)
Air kencing termasuk najis kecuali air
kencing seorang nabi. Air kencing dihukumi najis meskipun berasal dari burung
yang halal dimakan dagingnya, ikan, belalang, dan binatang yang tidak
mengeluarkan darah yang mengalir ketika disembelih. Adapun batu-batu kecil
yang keluar dari qubul bersama air kencing atau terkadang keluar setelahnya,
maka kami (ulama syafiiah) menghukumi kenajisannya apabila para ahli
memberitahukan kalau batu- batu kecil tersebut berasal dari najis, tetapi
apabila mereka memberitahukan kalau batu- batu kecil tersebut tidak berasal
dari najis, maka kami menghukuminya sebagai mutanajjis6 yang dapat disucikan
dibasuh. kembali dengan
c) Kotoran
Maksud kotoran disini adalah al-udzroh atau tahi.
Istilah al- udzroh adalah nama kotoran yang keluar dari dubur manusia.
Sedangkan kotoran yang keluar dari dubur selain manusia disebut dengan routs.
Routs juga dihukumi najis meskipun keluarnya dalam bentuk seperti makanan.
[CABANG]
Lemak yang berada di dalam usus kerbau adalah suci apabila tidak tercampur
dengan kotoran, meskipun usus tersebut juga termasuk saluran kotoran. Mengapa
demikian? karena kita tidak tahu betul kalau lemak itu adalah kotoran dan juga
kita tidak mengira- ngirakan kalau lemak tersebut tercampur dengan kotoran
saat mengalir atau melewati melalui usus, tetapi kita menghukumi dzohir atau
yang jelas menurut kenyataan yang kita ketahui, bahwa lemak tersebut bukanlah
kotoran karena memang dalam bentuk lemak. Namun, sebagian ulama berkata, “Jika
obor dapat menyala dengan lemak tersebut maka lemak tersebut adalah suci dan
halal, karena jelas kalau lemak itu memang lemak. Apabila tidak menyala maka
lemak tersebut adalah najis karena lemak tersebut bukanlah
5 Musholli adalah orang yang sholat.
6 Maksud istilah mutanajjis adalah
sesuatu yang hanya terkena najis yang dapat disucikan dengan cara dibasuh.
Berbeda dengan istilah najis, maka ia adalah sesuatu yang najis secara dzatiah
yang tidak dapat disucikan lagi dengan cara dibasuh. lemak secara hakikatnya,
melainkan termasuk kotoran, seperti yang difaedahkan oleh Syaikhuna Ali
ar-Rohbini.
d) Darah
Darah adalah meskipuna darah yang masih ada pada
daging dan tulang, tetapi dihukumi ma’fu jika tidak tercampur dengan air.
Dikecualikan adalah darah telur yang tidak rusak dan darah yang tidak
mengalir, seperti limpa, hati, darah kental, daging kental, dan misik yang
telah memadat meskipun berasal dari bangkai. Dikecualikan juga adalah sperma
dan susu yang keduanya keluar dengan warna darah.
e) Nanah
Nanah adalah najis karena ia merupakan darah yang berubah.
f) Muntahan
Muntahan adalah najis apabila keluar atau bersumber dari lambung
meskipun tidak berubah dan tidak sempat menetap di dalam lambung karena
muntahan termasuk sisa kotoran. Termasuk dihukumi najis adalah lendir yang
bersumber dari lambung. Dari sini dapat dipahami bahwa cairan yang keluar dari
sebagian binatang laut, yaitu cairan yang berwarna hitam seperti tinta yang
digunakan untuk menulis, adalah hal yang najis karena cairan tersebut adalah
kotoran yang keluar dari dalam perut. Berbeda dengan cairan atau lendir yang
keluar dari kepala atau dada, seperti cairan yang keluar dari mulut orang
tidur (Jawa: iler) maka hukumnya adalah suci selama tidak diketahui kalau
cairan tersebut bersumber dari lambung.
[CABANG] Sarang sebagian burung yang dibuat dari bahan busa air laut,
kemudian dimakan dengan paruh, adalah suci, karena bahan tersebut keluar dari
mulut, bukan dari perut.
g) Anjing dan Babi
Anjing adalah najis meskipun terlatih.
Babi adalah juga najis. Peranakan dari salah satu anjing dan babi dengan yang
lain, misalnya anjing mengawini babi atau sebalikanya, dan peranakan salah
satu dari keduanya dengan binatang lain, misalnya anjing atau babi mengawini
kambing, adalah najis karena menguatkan hukum kenajisan.
h) Bangkai
Bangkai adalah najis meskipun bangkai lalat atau semut.
Termasuk dihukumi najis adalah bulu bangkai, telapak kaki bangkai binatang
semisal sapi dan lainnya, kuku dan tanduk bangkai. Termasuk juga dihukumi
najis adalah kulit bangkai, kulit yang terkelupas dari binatang yang masih
hidup, dan tulang bangkai, baik tulang yang keras atau yang rawan.
[CABANG] Sesuatu yang berada di sarang madu adalah (Jawa) tolo.
Mula-mula tolo tersebut berupa telur-telur lebah, kemudian berubah menjadi
ulat yang bernyawa, kemudian mati, kemudian berubah menjadi lebah yang dapat
terbang. Tolo pada tahap penciptaan pertama yang masih berupa telur dihukumi
halal, kemudian pada tahap setelahnya yang berupa ulat, mati, dan lebah
dihukumi haram, seperti keterangan yang telah ditetapkan oleh sebagian ulama.
Bangkai adalah najis kecuali bangkai manusia meskipun kafir, bangkai ikan
meskipun yang sudah terapung di permukaan air, bangkai belalang, dan bangkai
binatang sembelihan yang halal dimakan dagingnya.
Termasuk
pengecualian yang tidak dihukumi najis adalah janin binatang sembelihan,
binatang buruan yang tewas karena terjepit, dan binatang yang memberontak yang
mati karena anak panah, karena cara bagaimana mereka mati adalah cara
penyembelihan bagi mereka menurut syariat.
Bagian tubuh yang terpotong
dari hewan yang masih hidup adalah sama seperti hukum bangkainya dari segi
najis dan suci. Dengan demikian, bagian tubuh yang terpotong dari manusia,
ikan, dan belalang adalah suci karena bangkai mereka adalah suci. Adapun
bagian tubuh yang terlepas dari selain mereka, seperti yang terkelupas dari
ular (Jawa: nglungsungi) adalah najis, berbeda dengan sarang laba- laba, maka
sarang mereka tidak najis karena terbuat dari bahan air ludah.
Tidak termasuk najis adalah bulu binatang yang masih hidup yang halal
dagingnya, atau bulu binatang yang tidak diketahui apakah berasal dari
binatang yang masih hidup atau tidak, atau tidak diketahui apakah bulu
tersebut dari binatang yang halal dagingnya atau tidak, karena banyaknya
kebutuhan untuk menggunakan bulu tersebut. Apabila ada bagian tubuh terpotong
dari binatang yang halal dagingnya dan bagian tersebut terdapat bulunya maka
dua-duanya (bagian yang terpotong dan bulu) adalah najis [karena dihukumi
seperti hukum bangkainya].
b. Pembagian Najis
Ketika najis-najis yang telah disebutkan sebelumnya mengenai pakaian
seseorang, atau badannya, atau tempat sholatnya, ataupun benda-benda lain
disertai adanya basah-basah pada najis itu sendiri atau tempat yang dikenai
najis, maka:
1. Apabila najisnya adalah ainiah, yaitu najis yang memiliki rasa yang
dapat diketahui melalui indera pengecapan, atau yang memiliki warna yang dapat
diketahui melalui indera penglihatan, atau yang memiliki bau yang dapat
diketahui melalui indera penciuman, maka najis tersebut wajib dibasuh dengan
air sampai sifat- sifatnya (rasa, warna, dan bau) hilang. Oleh karena itu
najis ainiah tidak dapat suci dengan hilang karena api (atau sinar matahari)
atau karena tertiup angin, melainkan harus dengan [dibasuh] air.
Apabila sifat-sifat najis hanya dapat dihilangkan dengan menggunakan
cara lain atau alat bantu lain, semisal dengan cara dikerok, dikucek, atau
dengan sabun, maka wajib menggunakannya. Apabila tanpa cara lain atau alat
bantu lain, najis sudah dapat dihilangkan dengan air, maka menggunakan cara
lain dan alat bantu lain tersebut hukumnya adalah sunah.
Apabila
najis ainiah telah dibasuh dan ternyata hanya warnanya saja yang sulit
dihilangkan, seperti darah haid yang membekas, maka tidak apa-apa, sehingga
tempat yang dikenai najis adalah suci, baik najis tersebut adalah najis
mugholadzoh ataupun yang lain.
Apabila najis ainiah telah dibasuh
dan ternyata hanya baunya saja yang sulit dihilangkan, seperti bau khomr yang
basi dan bau sebagian kotoran/tahi, maka tidak apa-apa, sehingga tempat yang
dikenainya adalah suci, baik najis tersebut adalah najis mugholadzoh ataupun
yang lain.
Berbeda apabila najis ainiah telah dibasuh dan ternyata warna dan bau masih
ada di satu tempat yang dikenainya, atau ternyata rasanya saja masih ada, maka
tempat yang dikenainya masih dihukumi najis karena dengan keberadaan warna dan
bau, atau rasa saja, menunjukkan kalau najis masih ada, kecuali apabila memang
sulit untuk dihilangkan (udzur) dengan ukuran kesulitan berupa sekiranya najis
tidak dapat dihilangkan kecuali hanya dengan memotong atau menghilangkan
tempat yang dikenainya.
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mencicipi atau menjilat tempat yang dikenai
najis, ketika ia menganggap bahwa rasa najis telah hilang setelah dibasuh,
sebagaimana kasus ketika ia dibingungkan oleh dua benda, manakah dari keduanya
yang mutanajis dan manakah yang suci, maka ia diperbolehkan untuk mencicipi
atau menjilatinya agar mengetahui manakah yang suci dan yang mutanajis.
Berbeda dengan kasus apabila najis sudah terbukti nyata, maka ia haram
mencicipinya.
Apabila najis yang mengenai tempat tertentu adalah
najis mugholadzoh, yaitu najis anjing dan babi, maka najis tersebut harus
dibasuh sebanyak tujuh kali basuhan setelah sifat-sifat najis (rasa, warna,
dan bau) dihilangkan dimana salah satu basuhan dari tujuh basuhan tersebut
dicampur dengan debu yang membuat air menjadi keruh, kemudian air keruh itu
dibasuhkan pada tempat yang dikenai najis hingga merata. Mengenai debu yang
digunakan untuk mengeruhkan air, tidak ada perbedaannya apakah debu tersebut
berupa lumpur ataupun yang lainnya. Selain itu, boleh juga debu yang digunakan
adalah debu pasir. Syarat debu yang harus digunakan adalah debu yang suci dan
mensucikan, yaitu bukan yang najis (misal debu terkena najis), atau yang
mustakmal (misal debu bekas tayamum).
Najis mugholadzoh belum suci apabila hanya ditaburi dengan debu dan
digosok-gosok saja tanpa menggunakan air, melainkan syaratnya harus
mencampurkan air dengan debu, baik tercampurnya air dan debu adalah sebelum
menimpakannya pada tempat yang dikenai najis (cara ini adalah yang lebih
utama) atau setelah menimpakannya pada tempat tersebut.
2. Apabila najis adalah najis hukmiah, yaitu najis yang tidak memiliki
rasa, warna, dan bau, seperti air kencing yang telah kering, maka;
1) apabila najis hukmiah termasuk najis anjing dan babi atau
mugholadzoh, maka wajib dibasuh sebanyak tujuh kali basuhan karena ta’abbudi7
dimana salah satu dari tujuh basuhan tersebut harus dicampur dengan debu yang
suci mensucikan. Oleh karena itu, najis mugholadzoh tidak dapat suci hanya
dengan satu kali basuhan, atau dengan seribu kali basuhan pun tanpa salah satu
basuhan dicampur dengan debu. Syarat satu basuhan yang harus dicampur dengan
debu adalah apabila tempat yang dikenai najis bukan tempat yang berdebu.
Apabila tempat yang dikenai najis sudah berdebu maka tidak perlu mengeruhkan
air dengan debu sebelum dibasuhkan.
2) Apabila najis hukmiah bukan najis mugholadzoh maka cukup membasuhkan air
pada tempat yang dikenainya dengan satu kali basuhan, bahkan tempat tersebut
dapat suci hanya dengan dialiri air, baik mengalir sendiri atau tidak.
7 Ta’abbudi adalah hukum-hukum syariat yang tidak dapat dilogika tentang
hikmahnya, seperti mengapa kesucian najis mugholadzoh harus dengan 7 kali
basuhan dimana salah satu basuhan harus dicampur dengan debu meskipun secara
kasat mata najis mugholadzoh dapat dibersihkan dengan dibasuh sebanyak mungkin
sampai hilang, mengapa berwudhu harus dengan menggunakan air, dan lain-lain.
Kebalikan dari ta’abbudi adalah ta’qquli, yaitu hukum-hukum syariat yang dapat
dilogika tentang hikmahnya, seperti hikmah puasa Ramadhan adalah agar dapat
menahan hawa nafsu dan dapat merasakan keadaan yang dialami oleh orang fakir,
dan hikmah bersujud dengan meletakkan dahi di atas tempat sholat adalah karena
untuk merendahkan diri serendah- rendahnya kepada Allah yang disembah, dan
lain-lain.
Apabila najis telah dihilangkan sifat-sifatnya, kemudian dapat disucikan
dengan satu kali basuhan, maka disunahkan menambahi basuhan yang kedua,
kemudian yang ketiga. Artinya disunahkan mengganjilkan basuhan.8
c. Air Kurang Dua Kulah VS Air Dua Kulah
Ketika air kurang dari dua kulah, maka dalam mensucikan tempat yang
terkena najis, disyaratkan menuangkan air tersebut pada tempat tersebut, serta
tidak ada bentuk najis, meskipun ma’fu di atasnya. Sebaliknya, apabila najis
mendatangi air yang kurang dari dua kulah maka air tersebut berubah mutanajis
karena dikenainya. Apabila seseorang ingin mensucikan wadah yang terkena najis
maka ia cukup memasukkan air ke dalamnya, kemudian memutar- mutarkannya
setelah bentuk najis telah dihilangkan terlebih dahulu, tetapi apabila bentuk
najis belum dihilangkan, kemudian ia memasukkan air ke dalam wadah dan
memutar-mutarkannya, maka air tersebut berubah menjadi mutanajis karena
terkena najis yang berada di dalam wadah.
Adapun air banyak, yaitu dua kulah atau lebih, maka tidak masalah, baik yang
air banyak mendatangi najis atau didatanginya.
8 Apabila najis dapat disucikan dengan 3 kali basuhan, maka disunahkan
menambahinya dengan basuhan keempat dan kelima. Apabila najis dapat disucikan
dengan 4 kali basuhan, maka disunahkan menambahinya dengan basuhan kelima, dan
seterusnya.
Apabila ada seseorang memasukkan benda yang terkena najis ke dalam air
yang sedikit, yaitu kurang dari dua kulah, maka benda tersebut belum suci,
malahan air dan bagian yang dikenai air menjadi mutanajis.
Diwajibkan memeras pakaian yang terkena najis air kencing dan lainnya
sebelum memasukkannya ke dalam suatu wadah (misal ember, mesin cuci, dan
lain-lain) sampai bentuk najis hilang terlebih dahulu sekiranya tidak ada lagi
basah-basah air kencing yang menetes dari pakaian tersebut. Berbeda dengan
kasus apabila ada seseorang menuangkan air dari kendi (misal pancuran ledeng)
pada pakaian yang terkena najis air kencing maka tidak disyaratkan memerasnya
terlebih dahulu sebelum dikenai air, sebagaimana juga tidak disyaratkan
memeras pakaian yang terkena najis yang telah dibasuh dengan air.
d. Istibrok (istibra') dan Istinjak
Wajib bagi setiap mukallaf melakukan istibrok9 dari air kencing ketika
air kencing telah terputus agar tidak kembali lagi sehingga dapat menyebabkan
najis. Istibrok dilakukan sampai mukallaf menyangka kalau air kencingnya tidak
akan kembali dan keluar lagi. Istibrok dapat dilakukan dengan memplintir
dzakar, atau dengan berjalan maksimal 70 langkah, atau berdehem-dehem, atau
mengusap bagian atas farji dengan sedikit menekan, atau mengusap perut dengan
sedikit menekan, atau mengusap bagian otot-otot dengan tangan, atau cara-cara
lain yang biasa digunakan untuk mengeluarkan sisa- sisa air kencing sesuai
dengan cara masing-masing individu. Kewajiban istibrok adalah apabila
seseorang menyangka kalau air kencing akan keluar kembali jika ia tidak
melakukan istibrok. Apabila ia tidak menyangka demikian maka melakukan
istibrok adalah kesunahan baginya. Sama dengan anjuran istibrok dari air
kencing adalah istibrok dari kotoran buang air besar. Sebaiknya seseorang
tidak perlu berlebihan dalam istibrok dari kotoran buang air besar karena
dapat menyebabkan rasa was-was dan dampak negatif.
Setelah melakukan istibrok, maka kemudian diwajibkan bagi mukallaf melakukan
istinjak10 ketika ia menginginkan melakukan sholat atau ketika waktu sholat
hampir habis sedangkan ia belum sholat. Ketika ia beristinjak dari buang air
besar maka ia wajib mengendorkan dubur agar najis-najis yang berada
dilipatan-lipatan dubur dapat terbasuh. Setelah itu, ia menggosoki dubur
sampai ia benar-benar menyangka kalau rasa, warna, dan bau najis telah hilang.
Dalam membasuh dubur, ia menggunakan jari-jari tengah tangan kiri dan tangan
kanannya mengambil air secukupnya, sekiranya menurut sangkaan, air yang
diambil dapat menghilangkan najis. Setelah membasuh dubur, ia mengosoki
tangannya. Setelah itu, ia memerciki air atau membasahi dengan air pada
farjinya dan celananya untuk menghindari rasa was-was.
9 Membersihkan diri.
10 Cebok
e. Hukum Air Ketika Terkena Najis dan Cara Mensucikannya
Ketika najis-najis yang telah disebutkan sebelumnya mengenai air, maka
apabila airnya adalah dua kulah dan airnya adalah murni air meskipun air
mustakmal maka air tersebut tidak najis, kecuali apabila salah satu
sifat-sifat air (rasa, warna, dan bau) berubah maka air tersebut menjadi
najis, meskipun perubahannya hanya sedikit atau sebatas perkiraan (taqdir).
Apabila
perubahan air yang disebabkan oleh najis adalah perubahan perkiraan, misalnya
air kejatuhan oleh najis yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan air,
seperti air kencing yang telah hilang bau, rasa, dan warnanya, maka air
dikira-kirakan melalui hal lain yang berat, misalnya keasaman cukak, kehitaman
tinta, dan bau misik.
Contoh: Misal ada air dua kulah, kemudian kejatuhan air kencing satu gelas
yang rasa, warna, dan baunya telah hilang, maka diperkirakan, “Andaikan air
dua kulah kejatuhan cukak asam satu gelas, maka apakah rasa air tersebut
berubah? Jika berubah maka air tersebut menjadi najis, dan jika tidak maka
diperkirakan andaikan air tersebut kejatuhan satu gelas tinta hitam maka
apakah warna air tersebut berubah? Jika berubah maka air tersebut menjadi
najis, dan jika tidak maka diperkirakan lagi andaikan air tersebut kejatuhan
satu gelas misik, maka apakah bau air tersebut berubah? Jika berubah maka air
tersebut menjadi najis, dan jika tidak maka air tersebut tetap suci.”
Ukuran air dua kulah adalah apabila dengan ukuran wadah maka seukuran 4
wadah, apabila dengan ukuran wadah Betawi maka seukuran 322 kati, maka apabila
dengan ukuran riyal betawi maka seukuran dengan 8.062 riyal. Ukuran dua kulah
ini adalah hanya dengan perkiraan dengan tujuan agar mempermudah orang-orang
awam.11
Air banyak yang menjadi najis karena berubah sifat-sifatnya sebab
kejatuhan najis dapat berubah menjadi suci dengan;
1. Perubahan tersebut
telah hilang sendiri karena lamanya diam.
2. Perubahan menjadi hilang
karena dicampurkan dengan air lain, meskipun air yang dicampurkan tersebut
adalah mutanajis.
3. Perubahan menjadi hilang karena dicampurkan dengan
air yang bersumber dari dalam tanah.
4. Perubahan hilang karena
kecampuran air hujan.
5. Perubahan hilang karena dicampuri oleh air yang
mengalirinya.
6. Perubahan hilang dengan mengurangi air banyak yang
terkena najis tersebut dengan catatan jika sisa air setelah dikurangi masih
dua kulah.
Berbeda dengan kasus apabila air banyak yang berubah
sifat-sifatnya karena kejatuhan najis, kemudian perubahan tersebut dihilangkan
dengan cara merubah rasanya dengan cuka, warnanya dengan zakfaron atau debu,
dan baunya dengan misik, maka air banyak najis tersebut belum dapat suci
karena kemungkinan rasa, bau, dan warna air yang berubah sebab najis hanya
tertutup, bukan dihilangkan, oleh rasa cuka, bau misik, dan warna zakfaron
atau debu.
Apabila air adalah lebih sedikit daripada dua kulah maka dapat menjadi
najis ketika terkena najis yang tidak dima’fu, sekiranya najis tersebut yang
mendatangi air, bukan air yang mendatangi najis, meskipun air sedikit tersebut
tidak berubah sifat-sifatnya karena najis yang mengenainya. Kebanyakan para
ulama bermadzhab Syafi’i memilih pendapat madzhab Imam Malik, “Sesungguhnya
air tidak akan menjadi najis secara mutlak kecuali apabila berubah
(sifat-sifatnya).”
Air sedikit yang najis dapat disucikan dengan menjadikannya dua kulah dengan dicampuri air, meskipun air yang mencampurinya adalah mutanajis, mutaghoyyir12, atau mustakmal, sekiranya air sedikit yang najis tersebut tidak berubah karena dicampuri air seperti yang disebutkan.
[TANBIH]
Air sedikit yang mendatangi (al-waarid) dapat menghilangkan hadas dan najis. Berbeda dengan masalah apabila air sedikit yang didatangi oleh hadas dan najis, maka air sedikit tersebut tidak dapat menolak mereka. Dari pernyataan ini, para ulama berselisih pendapat dalam air mustakmal yang banyak di akhir keadaan tentang apakah banyaknya air tersebut dapat menolak kemustakmalannya atau tidak. Mereka bersepakat dalam air mustakmal yang baik di awal keadaan, bahwa air tersebut dapat menolak kemustakmalannya.
11 Menurut Kitab at-Tadzhib Fi Adillati Matni Abi Syujak, Dr. Mushtofa Daib al-Bagho menuliskan bahwa ukuran dua kulah adalah kurang lebih 190 Ltr.
12 Mutaghoyyir adalah air yang berubah sifat-sifatnya karena tercampuri benda
yang suci. Mustakmal adalah air sisa setelah digunakan untuk menghilangkan
hadas dan najis.
f. Hukum Cairan Selain Air Ketika Terkena Najis
Ketika najis-najis yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai
cairan selain air, seperti cuka, minyak, maka cairan tersebut menjadi najis,
baik sifat-sifatnya berubah atau tidak, dan baik cairan tersebut sedikit atau
banyak, karena cairan selain air dihukumi lemah sehingga tidak sulit untuk
menjauhkannya dari najis, berbeda dengan air. Cairan yang telah najis tidak
dapat disucikan kembali, baik tidak bisa disucikan dengan cara dibasuh atau
cara yang lainnya.
g. Pembagian Najis Dari Segi Kema’fuan
Kesimpulannya adalah bahwa sesungguhnya najis dapat dibagi menjadi 4
bagian, yaitu:
1. Najis yang dima’fu dalam air, bukan pakaian,
seperti dubur burung dan bangkai yang tidak mengalirkan darah saat disobek
tubuhnya.
2. Najis yang dima’fu dalam pakaian, bukan air, seperti
darah sedikit dengan syarat bukan darah najis mugholadzoh, tidak bercampur
dengan najis lain, dan bukan karena kesengajaan seseorang dalam menjatuhkan
najis pada pakaian, dan seperti darah banyak yang keluar dari diri seseorang,
dengan syarat darah tersebut tidak keluar dari batas tempat keluarnya [maksud
batas keluarnya adalah tempat yang biasanya darah menetes,] bukan karena
kesengajaan seseorang itu sendiri, dan tidak bercampur dengan najis lain, dan
seperti bekas istinja.
3. Najis yang dima’fu dalam air dan juga pakaian, yaitu najis yang tidak dapat
ditemukan oleh indera penglihatan biasa, seperti setetes air kencing, dan
benda yang dihinggapi kaki lalat.
4. Najis yang tidak dima’fu dalam
air dan juga pakaian, seperti air kencing, kotoran binatang, dan lain-lain.
2. Suci Dari Hadas
Syarat yang kedua dari 12 syarat-syarat sholat adalah mensucikan
anggota tubuh 4 (wajah, kedua tangan, sebagian kepala, dan kedua kaki) dan
seluruh tubuh dari dua hadas, yaitu hadas kecil dan
besar, dengan cara berwudhu dan mandi besar atau tayamum sebagai ganti dari
keduanya.
- Masalah Orang Sholat Lupa Hadas
Andaikan ada seseorang telah melakukan sholat dengan keadaan lupa akan
hadasnya maka ia diberi pahala atas bacaan al-Fatihah dan Surat dari al-Quran
dalam sholat selama hadas yang ia lupakan bukan
hadas besar, dan ia diberi pahala atas bacaan dzikir-dzikirnya, baik
hadas yang ia lupakan adalah hadas besar ataupun hadas kecil, dan ia diberi
pahala atas niatnya, bukan perbuatannya.
Ketahuilah sesungguhnya thoharoh
atau bersuci dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Thoharoh Ainiah, yaitu bersuci
yang tidak sampai melewati batas tempat yang mewajibkan bersuci, seperti
membasuh najis, karena bersuci dari najis hanya terbatas pada tempat yang
dikenainya.
2. Thoharoh Hukmiah, yaitu bersuci yang sampai melewati batas
tempat yang mewajibkan bersuci, seperti wudhu, karena seseorang kentut dari
dubur, tetapi yang dibasuh adalah bagian wajah, kedua tangan, dan seterusnya,
dan mandi besar, karena seseorang mengeluarkan sperma dari farjinya, tetapi
yang harus disucikan adalah seluruh tubuhnya.
Tujuan-tujuan thoharoh atau
maqosidut thoharoh ada 4 (empat), yaitu wudhu, mandi besar, menghilangkan
najis, dan tayamum. Adapun sarana (alat) thoharoh maka ada 4 (empat), yaitu
air, debu, batu istinjak, dan alat menyamak [kulit bangkai].
a. Rukun-rukun Wudhu
Rukun-rukun atau fardhu- fardhu wudhu ada 6 (enam) saja bagi orang yang
selamat anggota tubuhnya atau tidak.
1) Niat
Niat berwudhu bisa berupa niat thoharoh karena
melakukan sholat, atau niat menghilangkan hadas meskipun tidak membatasi
dengan hadas kecil, atau niat thoharoh dari hadas, atau niat diperbolehkan
melakukan sholat, atau niat melakukan fardhu wudhu.
Niat dilakukan dengan
hati karena hati adalah tempatnya. Oleh karena itu ungkapan niat yang yang
diibaratkan oleh lisan tidak dianggap. Waktu niat dalam wudhu dilakukan saat
air mengenai sebagian
wajah.
2) Membasuh Wajah
Rukun kedua wudhu adalah membasuh bagian luar
seluruh wajah meskipun orang yang membasuh adalah bukan mutawadhik13 dan tanpa
seizinnya dengan syarat harus ingat niat, atau meskipun membasuh wajah
tersebut disebabkan karena mutawadhik jatuh ke dalam sungai tetapi dengan
syarat harus ingat niat. Begitu juga, anggota-anggota tubuh lain dapat
dianggap sah dalam berwudhu meskipun dengan basuhan orang lain dan tanpa
seizin mutawadhik atau ia jatuh ke dalam sungai dengan syarat harus ingat
niat. Berbeda dengan kasus apabila basuhan pada anggota tubuh dihasilkan
dengan cara seseorang membiarkan dirinya terkena derasan air hujan atau ia
menyelam di dalam air, maka tidak disyaratkan ia ingat dengan niat karena
menempatkan keadaan perbuatan membiarkan diri di bawah hujan dan menyelam di
dalam air di tempat niat.
Batas wajah yang dibasuh adalah dari bagian paling atas lebar dahi
sampai bagian paling bawah dagu, dan dari bagian telinga satu sampai bagian
telinga yang satunya lagi. Diwajibkan pula membasuh seluruh rambut wajah, baik
bagian luar rambut ataupun bagian dalamnya. Maksud bagian dalam rambut adalah
kulit tempat ia tumbuh dan sela-selanya. Dikecualikan adalah bagian dalam
jenggot dan dua godek tebal dari laki- laki, maka tidak diwajibkan membasuh
bagian dalamnya tetapi hanya diwajibkan membasuh bagian luarnya saja.
3) Membasuh kedua tangan Membasuh kedua tangan
adalah dari telapak
tangan dan dzirok14, beserta siku-siku atau beserta perkiraan tempat siku-siku
bagi orang yang tidak memilikinya, yaitu perkiraan tempat yang disesuaikan
dengan orang-orang pada umumnya. Diwajibkan membasuh semua yang ada di
bagian-bagian anggota tubuh yang difardhukan dalam wudhu, seperti kulit yang
terkelupas tetapi masih menempel, daging tumbuh meskipun keluar dari batas
bagian bagian yang wajib dibasuh, kuku meskipun panjang, rambut meskipun tebal
dan panjang, jari-jari meskipun jari-jari tambahan dan keluar dari batas
sejajar dengan jari- jari asli lainnya.
4) Mengusap Sebagian Kepala
Rukun wudhu yang keempat adalah mengusap sedikit bagian kulit kepala meskipun tertutup oleh rambut atau oleh panjang rambut yang keluar dari batas kepala, atau mengusap sedikit bagian rambutnya ketika rambut yang diusap tidak keluar dari batas kepala dari segi panjang terurainya. Batas kepala bagi rambut ubun-ubun adalah sampai wajah. Batas kepala bagi dua bagian rambut jambul adalah sampai dua pundak. Batas kepala bagi rambut yang tumbuh dibelakang kepala adalah sampai tengkuk. Keabsahan mengusap rambut dalam rukun wudhu adalah meskipun hanya sehelai rambut saja yang terusap, seperti misalnya apabila seseorang menyemir rambut kepalanya dan hanya tersisa satu helai saja yang tidak tersemir, maka ia mengusapkan tangannya pada rambut kepala yang disemir, kemudian bagian rambut yang tidak tersemir ikut terusap.
5) Membasuh Kedua Kaki
Rukun wudhu yang kelima adalah membasuh
kedua kaki beserta kedua mata kaki. Apabila seseorang tidak memiliki dua mata
kaki maka ia membasuh sampai pada bagian yang kira-kira kedua mata kaki
berada. Perkiraan ini disesuaikan dengan pada umumnya orang. Para ulama
berbeda pendapat tentang masalah apabila seseorang mendapati kedua mata
kakinya terletak di bagian yang tidak semestinya maka ada yang mengatakan
bahwa bagian yang dibasuh adalah bagian kedua mata kakinya berada, ada yang
mengatakan lain bahwa yang dibasuh adalah bagian yang biasa kedua mata kaki
berada menurut umumnya orang. Begitu juga terdapat perbedaan pendapat tentang
masalah ketika siku-siku dan khasyafah tidak berada di tempat
semestinya.
6) Tertib
Rukun wudhu keenam adalah tertib, yaitu mengurutkan
tatacara wudhu seperti yang telah kami sebutkan, yaitu mendahulukan wajah,
kemudian kedua tangan, kemudian kepala, kemudian kedua kaki. Disyaratkan dalam
membasuh wajah, kedua tangan, kedua kaki adalah membasuh bagian yang melebihi
batas anggota 3 tersebut, seperti wajib membasuh sedikit bagian leher yang
bersambung dengan batas wajah dan sedikit bagian leher tersebut adalah bagian
bawah kedua telinga, sebagian yang bersambung dengan sisi-sisi wajah, dan
seluruh bagian yang bersambung dengan batas-batas anggota wudhu, agar bagian
yang wajib dibasuh menjadi sempurna karena sesuatu yang dapat menyempurnakan
hal yang wajib maka sesuatu itu adalah wajib dan ketika sesuatu yang diikuti
telah gugur maka sesuatu yang mengikutinya juga gugur.
Diwajibkan mengalirkan air pada seluruh bagian-bagian wajah, kedua tangan, dan
kedua kaki. Dengan demikian, tidaklah cukup jika hanya mengusap tanpa adanya
air mengalir pada mereka karena mengusap tanpa air mengalir tidak disebut
dengan membasuh.
b. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu di antaranya;
1) Setiap sesuatu yang keluarsecara yakin dari qubul dan dubur sampai pada bagian yang wajib dibasuh saat istinja. Sesuatu tersebut keluar, baik berupa benda atau angin (kentut) meskipun angin keluar dari qubul, baik yang suci atau yang najis, baik yang kering atau yang basah, baik yang biasa keluar, seperti air kencing, atau yang langka keluar, seperti darah, baik keluar dengan terpisah atau dengan menyambung. Dikecualikan dari sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur yang membatalkan wudhu adalah sperma mutawadhik sendiri yang keluar pertama kali maka tidak membatalkan wudhu, tetapi mewajibkan mandi besar.15
2) Menyentuh qubul dan dubur, baik secara sengaja atau lupa, dengan bagian
dalam telapak tangan atau bagian dalam jari- jari tangan, baik qubul dan dubur
yang disentuh adalah milik sendiri atau orang lain, meskipun milik anaknya
yang masih kecil, seperti anak yang berusia sebentar, dan baik qubul dan dubur
tersebut masih menempel di bagian tubuh semestinya atau sudah terpisah darinya
selama potongan qubul dan dubur masih disebut dengan nama qubul atau dubur.
Andaikan ada qubul atau dubur terpisah dari bagian tubuh, kemudian ia
dilumatkan hingga tidak bisa disebut dengan nama qubul atau dubur maka apabila
disentuh maka tidak membatalkan wudhu. Termasuk bagian qubul adalah bidzir
(Jawa: itil) dan kulup (kulit yang menutupi farji saat belum dikhitan). Jadi,
apabila mutawadhik menyentuh bidzir atau kulup yang belum terpotong dari qubul
maka wudhunya batal. Apabila ia menyentuh mereka yang sudah terpotong dari
qubul maka wudhunya tidak batal. Yang dimaksud dengan dubur adalah bagian
lubang yang saling menempel secara dzohir. Termasuk bagian dubur adalah bagian
yang nampak ketika dikendorkan saat istinjak, bukan bagian dalam, oleh karena
itu tidak membatalkan wudhu apabila mutawadhik menyentuh bagian dalam
lingkaran dubur karena bagian tersebut tertutup. Yang dimaksud dengan qubul
perempuan adalah bagian dua bibir vagina yang saling menempel dan bagian yang
berada di antara dua bibir vagina tersebut, termasuk bidzir dan lubang
saluran.
13 Mutawadhik adalah orang yang berwudhu.
14 Dzirok adalah bagian antara
kedua telapak tangan dan dua siku-siku.
15 Misalnya ada perempuan
mengeluarkan sperma suaminya setelah mereka melakukan jimak. Dalam menghukumi
masalah ini terdapat rincian, yaitu [1] apabila suami menjimak istri di lubang
duburnya, kemudian sperma suami keluar dari dubur istri setelah istri mandi,
maka tidak wajib bagi istri untuk mengulangi mandinya, [2] apabila suami
menjimak istri di lubang qubulnya, kemudian sperma suami keluar dari qubul
istri setelah istri mandi, maka apabila istri mendapati syahwatnya saat jimak
karena misalnya; istri adalah perempuan yang sudah baligh, atas kehendaknya
sendiri dalam jimak, dan sadar (tidak tidur), maka ia wajib mengulangi
mandinya karena secara dzohir, sperma yang keluar tadi adalah percampuran
sperma suami dan istri, tetapi apabila istri tidak mendapati syahwatnya saat
jimak karena misalnya; istri adalah perempuan yang masih kecil, atau ia sedang
tidur saat dijimak, atau ia dipaksa untuk berjimak, maka tidak wajib bagi
istri untuk mengulangi mandinya. (Kasyifatu as-Saja: Nawawi al-Banteni.
hal,23. Semarang. Al- Barokah)
3) Saling bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan secara yakin,
baik disengaja atau lupa, meskipun salah satu dari mereka adalah orang yang
dipaksa, atau yang berasal dari golongan jin, atau mayit, tetapi wudhunya
mayit tidak batal. Saling bersentuhan kulit yang dapat membatalkan wudhu
adalah
dengan catatan bahwa [1] masing-masing dari laki-laki dan perempuan telah
mencapai secara yakin usia yang menimbulkan syahwat menurut orang-orang yang
memiliki tabiat yang selamat, meskipun sebenarnya syahwat tidak timbul karena
sudah tua sekali (pikun) ataupun lainnya,16 [2] tidak ada secara yakin
hubungan mahrom antara laki- laki dan perempuan yang saling bersentuhan kulit,
baik hubungan mahrom tersebut karena nasab (kerabat) atau tunggal persusuan,
atau hubungan mertua.
Perempuan-perempuan yang memiliki hubungan
mahrom dengan kita (para laki-laki) ada 22, yaitu;
6 dari mereka adalah hubungan status keibuan, seperti (1) ibu dari nasab, (2)
ibu dari tunggal persusuan, (3) ibu istri kita, (4) ibu budak yang dijimak
dengan milku yamin, (5) budak yang dijimak oleh bapak melalui pernikahan, dan
(6) budak yang dijimak oleh bapak dengan milku yamin.
16 Batasan bisa menimbulkan syahwat bagi laki-laki adalah sekiranya hati
para perempuan tertarik kepadanya, sedangkan bagi perempuan adalah sekiranya
para laki-laki merasakan tegang dzakar. (Kasyifatu as-Saja. Nawawi al-Banteni.
hal, 27. Semarang. al-Barokah)
6 dari mereka adalah hubungan status anak perempuan, seperti (1) anak
perempuan dari nasab, (2) anak perempuan dari tunggal persusuan, (3) anak
perempuan dari istri ketika menjimak ibu, (4) anak perempuan dari budak yang
dijimak dengan milku yamin, (5) anak perempuan dari budak yang dijimak anak
laki-laki dengan pernikahan, dan (6) anak perempuan dari budak yang dijimak
anak laki-laki dengan milku yamin.
2 dari mereka adalah hubungan
saudara perempuan, seperti (1) saudara perempuan dari nasab, dan (2) saudara
perempuan dari tunggal persusuan.
2 dari mereka adalah hubungan kebibian (saudara perempuan ibu), seperti (1)
bibi dari nasab, dan (2) bibi dari tunggal persusuan.
2 dari mereka adalah hubungan kebibian (saudara perempuan ayah), seperti (1) bibi dari nasab, dan (2) bibi dari tunggal persusuan.
4 dari mereka adalah hubungan keanak perempuanan dari saudara laki-laki,
seperti (1) anak perempuan saudara laki- laki dari nasab, (2) anak perempuan
saudara laki-laki dari tunggal persusuan, (3) anak perempuan saudara
perempuandari nasab, dan (4) anak perempuan saudara perempuan dari tunggal
persusuan, [3] dan tidak ada penghalang saat saling bersentuhan.
Kesimpulannya adalah bahwa saling bersentuhan yang dapat membatalkan wudhu
adalah dengan 6 syarat, yaitu:
a) Saling berbeda jenis kelamin, yaitu
laki-laki dan perempuan.
b) Saling bersentuhan dengan kulit, bukan dengan
rambut, gigi, dan kuku.
c) Masing-masing dari laki- laki telah mencapai
usia yang menimbulkan syahwat. Apabila yang telah mencapai usia syahwat adalah
salah satu dari mereka maka masing- masing dari mereka tidak batal
wudhunya.
d) Tidak ada hubungan mahrom secara yakin.
e) Adanya
penghalang antara laki-laki dan perempuan.
f) Bagian tubuh dari salah
satu laki-laki dan perempuan tidak terpisah kurang dari setengah.
4)
Hilang akal, maksudnya hilang kepandaian yang menjadikan seseorang tamyiz.
Oleh karena itu, batallah wudhu orang yang diubah bentuknya menjadi himar,
orang yang sakit panas, orang yang pingsan, orang yang sangat takut, orang
yang disihir, orang yang dibuat gila, karena hilangnya sifat tamyiz.
Dikecualikan adalah orang yang tidur dengan kondisi duduk yang menetapkan
lubang dubur dan bagian sekitarnya pada tempat duduk. Dengan demikian,
wudhunya tidak batal karena aman dari keluarnya sesuatu dari duburnya. Sifat
kemungkinan tentang keluarnya angin dari qubulnya tidak dapat membatalkan
wudhu, karena tidak ada keyakinan keluarnya. Tidak ada unsur menetapkan lubang
dubur dan bagian sekitarnya bagi orang yang tidur dengan keadaan duduk, tetapi
ia adalah orang yang kurus atau gemuk sekali, sekiranya masih ada renggang
antara pantatnya dan tempat duduknya, maka baginya wudhu adalah batal, dan
juga tidak ada unsur menetapkan lubang dubur dan bagian sekitarnya bagi orang
yang tidur berbaring sambil menetapkan pantatnya dengan tempat menetapnya,
meskipun ia memakai celana dalam, maka baginya wudhu adalah batal.
c. Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi Besar
Adapun hal-hal yang mewajibkan mandi besar bagi laki-laki dan
perempuan adalah:
1) Keluar sperma yang pertama dari farji, meskipun
keluarnya karena sakit dan meskipun sperma keluar setelah seseorang mandi
besar. Sperma yang keluar yang mewajibkan mandi adalah sekiranya keluar sampai
luar hasyafah bagi laki-laki, dan sampai pada bagian luar vagina perawan, dan
sampai pada bagian yang wajib dibasuh saat dalam istinjak bagi perempuan
janda, yaitu bagian yang nampak dari vaginanya saat ia duduk.
Sperma yang keluar hanya sampai pada batang dzakar dan tidak sampai
kelua dari hasyafah tidaklah mewajibkan mandi tetapi menetapkan hukum
baligh, seperti ada seorang laki- laki mengeluarkan sperma, kemudian ia
menahannya dan hanya sampai pada batang dzakar, maka ia tidak diwajibkan
mandi, tetapi ia dihukumi baligh. Dalam menghukumi baligh, harus benar-benar
nyata merasakan keluarnya sperma, jika tidak maka tidak dihukumi baligh.
Andaikan ada seorang istri hamil dari suaminya yang masih kecil yang telah mencapai usia 9 tahun, sedangkan keluarnya sperma dari suami belum jelas nyata, maka anak yang dilahirkan didarah dagingkan kepada suaminya dan suaminya sendiri tidak dihukumi baligh karena anak yang dilahirkan hanya didarah dagingkan kepada suami atas dasar imkan atau memungkinkan, sedangkan baligh sendiri ditetapkan hanya dengan kenyataan mengeluarkan sperma, dan mandi besar hanya diwajibkan dengan syarat sperma keluar sampai luar tubuh.
Keluar sperma adalah hal yang mewajibkan mandi, baik keluarnya saat seseorang
dalam keadaan sadar, seperti onani, bercumbu tetapi tidak sampai memasukkan
dzakar ke dalam vagina, melihat sesuatu dengan syahwat, berangan-angan mesum,
dan lain-lain, atau dalam keadaan tidur, seperti mimpi basah, meskipun
tidurnya dalam keadaan duduk, dan meskipun sperma yang keluar hanya setetes,
dan meskipun sperma keluar dengan warna seperti darah.
2)
Diwajibkan mandi ketika memasukkan hasyafah dari orang yang jelas memilikinya
atau hanya perkiraan hasyafah dari orang yang tidak memilikinya, ke dalam
dubur, meskipun dubur jin, mayit, khuntsa, atau binatang, seperti dubur ikan,
atau ke dalam qubul meskipun masih kunclup (belum dikhitan), meskipun hasyafah
yang dimasukkan tidak sampai mengeluarkan sperma dan tegang (Jawa: Ngaceng),
karena berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Ketika
dua persunatan saling bertemu maka wajib mandi,” maksudnya ketika dua
persunatan saling sejajar maka wajib mandi, bukan hanya saling bersentuhan,
karena persunatan perempuan berada di atas persunatan laki-laki. Adapun
kesejajaran dua persunatan hanya terjadi dengan memasukkan seluruh bagian
hasyafah atau sebagiannya.
3) Diwajibkan mandi bagi perempuan ketika darah haid atau nifasnya telah
berhenti serta ia ingin mendirikan sholat. Dalam pembahasan kali ini dan
berikutnya, hal yang mewajibkan mandi tersusun dari dua faktor, yaitu
berhentinya darah dan mendirikan ibadah seperti sholat. Adapun para ulama
menyebutkan nifas sebagai hal yang mewajibkan mandi, padahal nifas terjadi
setelah selesai melahirkan dan melahirkan sendiri adalah hal yang mewajibkan
mandi, adalah karena untuk memberikan penjelasan bahwa mengidhofahkan niat
mandi pada nifas adalah sah, seperti orang berniat, “Saya niat mandi nifas
...” dan karena terkadang terjadi kewajiban mandi karena nifas saja, bukan
karena melahirkan, seperti ada seorang perempuan melahirkan anak yang kering,
kemudian ia mandi besar, kemudian ia mengeluarkan darah sebelum terlewat 15
hari, maka ia wajib mandi karena mengeluarkan darah tersebut, sedangkan mandi
yang diwajibkan baginya karena melahirkan belum mencukupi kewajiban mandi yang
karena mengeluarkan darah.
4) Diwajibkan mandi bagi perempuan karena melahirkan, meskipun hanya
berupa darah kempal atau daging kempal, dan meskipun yang dilahirkan tidak
disertai dengan basah- basah. Adapun
mengeluarkan darah kempal dan darah
kempal yang termasuk hal yang mewajibkan mandi adalah karena masing-masing
dari keduanya terbuat dari sperma dan pasti keluar dalam keadaan basah,
meskipun basahnya tidak jelas. Diperbolehkan bagi suami menjimak istri setelah
ia melahirkan anak yang dilahirkan tanpa disertai basah-basah, karena si istri
hanya menanggung jinabat, sedangkan jinabat sendiri tidak melarang jimak.
Adapun istri yang melahirkan anak yang dilahirkan disertai dengan basah-basah
maka tidak diperbolehkan melakukan hubungan jimak kecuali setelah ia mandi.
d. Rukun-rukun Mandi
Rukun-rukun mandi bagi orang yang hidup, baik mandi wajib atau
sunah, ada 2 (dua), yaitu:
a. Niat
Niat dalam mandi bisa dengan berniat bersuci karena
melakukan sholat, atau berniat karena menghilangkan hadas besar. Apabila
seseorang berniat karena menghilangkan hadas, tanpa menyebutkan ‘besar’ maka
sudah cukup. Berbeda apabila ia mandi besar dengan berniat mandi saja maka
tidak cukup. Niat dalam mandi besar bisa juga dengan berniat mandi karena
sholat, berniat menghilangkan jinabat meskipun tidak menyebutkan penyebabnya,
seperti keluar sperma, jimak, dan lain-lain. Niat dilakukan dengan hati
sebagaimana niat dilakukan dalam wudhu. Niat dalam mandi besar dilakukan
disertai dengan saat air menyentuh sebagian tubuhnya yang dibasuh dengan
syarat sebagian tubuh yang dibasuh adalah sebagian tubuh yang memang wajib
dibasuh, bukan yang sunah dibasuh, seperti bagian dalam mulut dan hidung.
Apabila niat disertakan dengan bagian tubuh yang wajib dibasuh maka sudah
mencukupi meskipun dari bagian tubuh bawah, meskipun saat beristinjak, karena
tubuh orang yang mandi adalah seperti satu anggota tubuh, oleh karena itu
tidak diwajibkan adanya tertib dalam mandi.
Bagian tubuh yang dibasuh sebelum niat adalah tidak sah. Oleh karena itu wajib diulangi basuhannya setelah berniat.
b. Meratakan air ke seluruh tubuh
Rukun mandi yang kedua adalah meratakan air ke seluruh tubuh, kulit, kuku dan bagian bawah kuku, dan rambut, baik bagian luar atau dalam. Diwajibkan membasuh bagian dalam rambut yang tebal meskipun berupa jenggot yang tebal, bahkan apabila masih ada sehelai rambut pun yang tidak terkena air maka tidak sah mandinya. Dikecualikan, artinya tidak wajib dibasuh dengan air, adalah rambut mata dan hidung meskipun panjang.
Diwajibkan membasuh bagian tubuh yang terlihat oleh orang lain ketika dalam majlis saling bercakap-cakap, seperti lubang telinga dari perempuan atau laki-laki, dan bagian dubur yang terlihat ketika buang air besar dan lipatan-lipatannya, dan bagian farji perempuan yang terlihat ketika ia jongkok saat buang air besar atau kecil, dan bagian dalam kunclup orang yang belum dikhitan dan kotorang-kotoran di bawah kunclup. Dengan demikian diwajibkan mengalirkan air pada bagian-bagian tubuh yang telah disebutkan di atas karena menempatnya hadas pada seluruh tubuh serta tidak sulit untuk membasuh bagian-bagian tersebut.
Hendaknya orang yang mandi dengan air dari kendi (atau ledeng) benar-benar
memperhatikan masalah yang pelik, seperti ketika ia mensucikan dubur, yaitu
tempat keluarnya tahi, dengan air, maka hendaknya membasuhnya disertai niatan
menghilangkan jinabat karena jika ia lupa membasuhnya dengan niat tersebut
setelah istinjak maka basuhannya batal, jika tidak lupa maka ia akan perlu
menyentuhnya sehingga wudhunya menjadi batal, atau ia akan perlu mengikat
tangannya dengan kain.
Disini ada masalah pelik lagi, yaitu ketika
seseorang telah berniat menghilangkan jinabat seperti yang telah disebutkan,
kemudian setelah berniat dan menghilangkan jinabat tangan, ia menyentuh dubur,
atau niat, menghilangkan jinabat tangan, dan menyentuh dubur dilakukan secara
bersamaan, seperti pada umumnya, maka tangannya tersebut hanya menanggung
hadas kecil, kemudian diwajibkan membasuh tangan tersebut dengan niatan
menghilangkan hadas kecil setelah menghilangkan hadas wajah karena tidak
adanya kesempatan untuk mensucikannya. Kewajiban membasuh tangan setelah
menghilangkan hadas wajah adalah perihal ketika seseorang tidak menyengajakan
niat pada dubur saja, tetapi jika ia hanya menyengajakannya pada dubur saja
maka ia tidak perlu niat menghilangkan hadas kecil dari tangan karena jinabat
pada saat menyengajakannya pada dubur saja belum hilang dari tangan karena
hadas kecilnya masuk dalam membasuh tangan dari jinabat. Masalah ini disebut
dengan masalah yang pelik, dan yang peliknya pelik. Adapun masalah yang pelik
adalah masalah niat ketika membasuh dubur, sedangkan masalah yang peliknya
pelik adalah tetapnya hadas kecil pada telapak tangan [karena saat menyentuh
dubur].
3. Masuk Waktu Sholat
Syarat sholat yang ketiga adalah masuk waktu sholat dan
mengetahuinya. Ketahuilah sesungguhnya setiap ibadah yang keabsahannya
tergantung pada niat tidak akan sah kecuali setelah mengetahui masuk waktunya
ibadah tersebut, meskipun secara sangkaan dan meskipun cara mengetahuinya
adalah dengan cara berijtihad. Oleh karena itu, apabila ada orang tanpa
mengetahui waktu masuknya ibadah, ia melakukan ibadah tersebut, maka ibadahnya
tidak sah meskipun saat ia ng melakukannya tanpa mengetahui waktunya terlebih
dahulu, kemudian ia melakukannya dan menepati waktunya, maka ibadah tersebut
adalah sah, dan jika tidak menepati waktunya maka tidak sah.
a. Waktu Sholat Dzuhur
Waktu sholat adalah ketika matahari tergelincir ke arah barat
dari tengah langit menurut penglihatan yang nampak pada kita, bukan menurut
kenyataannya. Tergelincirnya matahari tersebut dapat diketahui dengan bentuk
bayangan yang muncul lebih daripada bayangan yang sejajar (istiwak). Hal ini
adalah tanda masuknya waktu sholat yang memang ditemukan adanya bayangan yang
sejajar (istiwak). Akan tetapi apabila tidak ditemukan bayangan istiwak maka
diketahui dengan munculnya bayangan. Waktu ini adalah tanda masuk waktu sholat
Dzuhur. Sholat disebut dengan nama Dzuhur karena sholat tersebut adalah sholat
yang pertama kali dilakukan oleh Jibril dengan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallama sebanyak dua kali selama dua hari di dekat pintu Ka’bah yang
bersampingan dengan sumur, dan yang lebih mendekati pada hijr, dan karena
sholat tersebut dilakukan pada waktu dzohiroh, artinya pada waktu panas.
b. Waktu Sholat Ashar
Ketika panjang bayangan melebihi panjang bayangan yang sama panjangnya
dengan benda maka waktu sholat Ashar telah masuk. Sholat disebut dengan Ashar
karena berkurangnya kapasitas sinar matahari sampai habis sehingga menyamai
berkurangnya air basuhan dari pakaian karena diashr (diperas) sampai habis.
c. Waktu Sholat Maghrib
Terbenamnya seluruh bundar
matahari, meskipun masih tersisa sorotnya
saja, adalah waktu masuknya sholat Maghrib. Sholat disebut dengan nama Maghrib
karena sholat tersebut dilakukan setelah waktu ghurub atau terbenam matahari.
d. Waktu Sholat Isya
Terbenamnya awan merah adalah tanda masuk waktu sholat Isyak.
Dalam Bahasa Arab, Isyak ditulis dengan ‘اﻟﻌﺷﺎء’ dengan dibaca kasroh pada
huruf ain dan dengan hamzah mamdudah. Kata tersebut adalah nama bagi permulaan
malam. Sholat disebut dengan nama Isyak karena sholat tersebut dilakukan pada
waktu permulaan malam. Disunahkan mengakhirkan melakukan sholat Isyak sampai
hilangnya awan kuning dan putih karena bertujuan keluar dari perbedaan ulama
yang mewajibkan mengakhirkan Isyak pada saat itu. Apabila ada suatu kaum yang
bertempat di wilayah tertentu tidak mengalami awan (merah, putih) dan
hilangnya awan maka ukuran hilangnya awan diikutkan pada wilayah yang terdekat
dengan wilayah mereka, sekiranya apabila menurut mereka, waktu Maghrib
dinisbatkan pada malam yang dialami oleh mereka yang tinggal di wilayah
terdekat tersebut adalah 1/6 maka kita menjadikan 1/6 tersebut sebagai waktu
Maghrib bagi mereka yang tidak mengalami awan dan hilangnya awan, meskipun
sangat sebentar. Sisa waktu tersebut adalah waktu Isyak.
e. Waktu Sholat Subuh
Terbitnya fajar shodiq, yaitu putih-putih sorot matahari saat matahari
dekat dengan ufuk timur dengan sorotan yang menyebar, yang melintang dari arah
selatan ke arah utara adalah waktu sholat Subuh.
Lima sholat di atas
hanya dikumpulkan bagi Nabi kita, Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallama.
f. Hikmah 5 Sholat Dilakukan pada Waktu Tertentu
Menurut sebagian ahli hikmah, “Mengkhususkan sholat 5 kali dengan
waktu-waktu tertentu dan dengan jumlah rakaat tertentu adalah bahwa
masing-masing sholat dari 5 sholatan tersebut dikhususkan pada nabi-nabi
tertentu. Orang yang pertama kali melakukan sholat Subuh adalah Nabi Adam
‘alahissalam saat ia telah keluar dari surga, kemudian ia melihat keadaan
begitu gelap, kemudian ia sangat takut. Pada saat fajar telah terbit, ia
sholat dua rakaat, satu rakaat adalah karena bersyukur atas nikmat
keselamatannya dari kegelapan, dan rakaat satunya lagi adalah karena bersyukur
atas nikmat kembalinya terang pada siang hari.
Orang yang pertama kali sholat Dzuhur adalah Nabi Ibrahim ‘alahissalam
pada saat Allah memerintahkannya menyembelih sembelihan tersebut sebagai
tebusannya. Peristiwa Ismail disembelih terjadi pada saat tergelincirnya
matahari. Setelah Ibrahim menyembelih Ismail dan Ismail diganti dengan gibas
dari surga, Ibrahim sholat 4 rakaat, satu rakaat adalah karena bersyukur atas
tebusan, satu rakaat adalah karena bersyukur atas hilangnya kekhawatirannya
atas Ismail, satu rakaat adalah karena mencari keridhoan Allah, dan satu
rakaat adalah karena hasilnya nikmat, yaitu gibas yang diturunkan dari surga.
Gibas tersebut adalah gibas Habil, putra Adam.
Orang yang pertama
kali sholat Ashar adalah Nabi Yunus alaihissalam ketika Allah mengeluarkannya
dari perut ikan. Di dalam perut ikan tersebut, Nabi Yunus seperti anak burung
yang tidak mengeluarkan air ludah sama sekali. Pada saat itu, ada 4 kegelapan
yang dialami oleh Nabi Yunus, yaitu
(1) kegelapan berada di dalam jerohan
ikan (2) kegelapan berada di dalam air laut, (3) kegelapan malam, dan (4)
kegelapan berada di perut ikan. Ia keluar dari perut ikan pada saat waktu
Ashar. Kemudian ia sholat 4 rakaat karena bersyukur atas keselamatannya dari 4
kegelapan tersebut.
Maghrib adalah Nabi Isa ‘alaihissalam ketika ia keluar dari kalangan
kaumnya. Ia keluar menjauh dari mereka pada saat terbenam matahari. Kemudian
ia sholat 3 rakaat, yaitu satu rakaat sebagai peniadaan sifat ketuhanan dari
selain Allah Ta’aala, satu rakaat sebagai peniadaan fitnah dari ibunya, yaitu
fitnah perzinahan yang dituduhkan oleh kaumnya, dan satu rakaat untuk
menetapkan taktsir (kausalitas) dan sifat ketuhanan hanya bagi Allah Yang Maha
Esa. Karena dua rakaat dilakukan oleh Isa atas dasar alasan yang berkaitan
dengan Allah, maka dua rakaat sholat Maghrib digabungkan [dan dpisah dengan
tasyahud] dan karena satu rakaat dilakukan oleh Isa atas dasar alasan yang
berkaitan dengan ibunya, maka satu rakaat ketiga sholat Maghrib disendirikan.
Orang yang pertama kali melakukan sholat Isyak adalah Nabi Musa ‘alaihissalam saat ia tersesat dari jalan ketika ia keluar dari kota Madyan. Saat ia keluar dari sana, ia mengalami 4 kesedihan, (1) kesedihan karena istrinya, (2) kesedihan karena saudara laki- lakinya, Harun, (3) kesedihan karena anak-anaknya, dan (4) kesedihan karena penganiayaan Firaun. Kemudian Allah membebaskannya dari kesedihan-kesedihan tersebut pada saat yang menepati waktu Isyak. Kemudian Musa sholat 4 rakaat karena bersyukur kepada Allah atas hilangnya 4 kesedihan.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sholat Subuh adalah bagi Adam, sholat
Dzuhur adalah bagi Daud, sholat Ashar adalah bagi Sulaiman, sholat Maghrib
adalah bagi Yakqub, dan sholat Isyak adalah bagi Yunus. Sebagian ulama telah
menadzomkan dengan nadzoman yang berbahar towil:
Bagi Adam adalah Subuh.
Isyak adalah bagi Yunus. ** Dzuhur adalah bagi Daud. Ashar adalah bagi
Sulaiman.
Dan Maghrib adalah bagi Yakqub. Dan sesungguhnya semua
sholat tersebut terkumpulkan bagi Rasulullah, ** semoga rahmat Allah selalu
tercurahkan baginya di keadaan samar dan terang- terangan.
Sholat 5
waktu diwajibkan dilakukan sesuai dengan waktu-waktunya. Barang siapa sholat
yang hanya satu rakaat sesuai pada waktunya, seperti misalnya ia mengangkat
kepala dari sujud kedua pada waktu sesuai waktu sholatnya, kemudian rakaat-
rakaat berikutnya dilakukan di luar waktu sholat, maka secara keseluruhan,
sholat yang ia lakukan adalah sholat adak.17 Jika satu rakaat saja tidak
dilakukan pada waktu yang sesuai waktu sholatnya, seperti misalnya ia
mengangkat kepala dari sujud kedua bersamaan dengan habisnya waktu sholat,
maka sholatnya dihukumi sholat qodhok. Melakukan sholat sebelum masuk waktunya
atau mengakhirkan sholat tanpa karena udzur hingga keluar dari waktunya adalah
termasuk dosa besar dan keburukan yang paling keji.
Apabila seseorang telah tengah melaksanakan sholat, sekiranya waktu memuat [rukun-rukun] sholat beserta sunah-sunahnya, kemudian ia memanjangkannya hingga waktu sholat habis, maka menurut pendapat shohih, diperbolehkan baginya memanjangkan sholat tersebut, baik memanjangkannya dengan bacaan, dzikir, atau diam dalam rukun berdiri atau rukun- rukun panjang lainnya, dan tidak dihukumi makruh menurut pendapat ashoh, tetapi khilaf al-aula. Apabila waktu sholat hanya memuat rukun- rukun sholat saja, maka yang lebih utama adalah menyempurnakan sunah-sunahnya, seperti membaca doa iftitah, meskipun satu rakaat tidak terjadi pada waktu yang sesuai waktu sholatnya.
17 Sholat Adak adalah sholat yang dianggap dilakukan sesuai pada waktunya.
Kebalikan sholat Adak adalah sholat Qodhok, yaitu sholat yang dianggap tidak
dilakukan sesuai pada waktunya.
4. Menutup Aurat
Syarat sholat yang keempat adalah menutup bagian tubuh antara pusar
laki-laki dan lututnya, meskipun laki-laki tersebut adalah budak atau yang
belum tamyiz. Begitu juga, yang diwajibkan menutup bagian tubuh antara pusar
dan lutut dalam sholat adalah budak perempuan, meskipun budak muba’aad,
mukatab, atau ummu walad. Dalam sholat, seluruh tubuh perempuan merdeka,
meskipun belum tamyiz, wajib ditutupi kecuali wajah dan bagian luar dan dalam
kedua telapak tangan sampai dua pergelangan. Sama dengan perempuan merdeka
adalah khuntsa yang merdeka. Kewajiban menutup aurat bagi mereka yang telah
disebutkan di atas adalah meskipun mereka melakukan sholat di tempat yang sepi
dan sangat gelap.
Diwajibkan bagi perempuan menutup bagian sisi wajah dan sisi kedua telapak
tangan, dan bagi laki-laki menutup bagian sisi pusar dan yang sejajarnya
(melingkar) dan sisi-sisi kedua lutut, dengan tujuan agar menyempurnakan
penutupan yang wajib. Menurut pendapat ashoh, pusar dan lutut bukan termasuk
aurat. Menurut satu wajah, yaitu pendapat yang dhoif disebutkan bahwa keduanya
termasuk aurat.
Diwajibkan bagi laki-laki dan perempuan menutup aurat
agar tidak terlihat dari berbagai sisi (kanan, kiri, depan, belakang, dan
seterusnya) dan dari arah atas meskipun pada saat melakukan rukuk, bukan dari
arah bawah, karena sulitnya menutup aurat yang agar tidak terlihat dari arah
bawah. Apabila lengan baju orang yang sholat sangat luas atau lebar, kemudian
ia mengendorkannya hingga terlihat auratnya dari lengan baju tersebut, maka
sholatnya tidak sah karena tidak ada kesulitan menutup aurat dari arah lengan
baju, lagipula melihat aurat dari arah lengan baju tersebut merupakan bentuk
terlihatnya aurat dari berbagai sisi sehingga dapat membatalkan sholat, baik
sulit untuk menutupinya atau tidak. Apabila ada orang sholat di tempat tinggi,
atau ada orang bersujud, kemudian auratnya terlihat dari arah bawah atau
ujungnya maka sholatnya tidak batal.
Penutup aurat diwajibkan berupa benda yang dapat menutupi warna kulit saat seseorang berada dalam majlis saling bercakap-cakap, sekiranya tidak terlihat putihnya atau hitamnya kulit. Mengecualikan dengan syarat ‘benda’ adalah gelap yang mencegah melihat warna kulit, maka belum mencukupi untuk dianggap sebagai penutup aurat.
Penutup aurat diwajibkan bersifat menyelimuti aurat yang ditutupi, meskipun
berupa lumpur, padahal masih ada baju atau penutup lain bagi musholli. Oleh
karena itu, tidak cukup menutup aurat dengan kegelapan karena yang namanya
kegelapan tidak dapat disebut sebagai benda dan juga tidak bersifat
menyelimuti musholli, dan tidak cukup menutupi aurat dengan tenda sempit
karena ia tidak bisa disebut dengan penutup dan juga tidak dianggap sebagai
hal yang menyelimuti aurat yang ditutupi. Sama seperti tenda dalam ketidak
cukupannya dalam menutupi aurat adalah baju kurung yang bagian lubang lehernya
ditempatkan di atas kepala, kemudian dikancing, karena ia tidak bisa disebut
dengan penutup, meskipun dapat dianggap sebagai hal yang menyelimuti aurat
yang ditutupi. Berbeda dengan wadah dan lubang di tanah, ketika bagian atas
keduanya sempit, sekiranya aurat tidak terlihat dari bagian atas tersebut,
maka keduanya cukup dalam menutup aurat. Diwajibkan menutup aurat dengan
menggunakan penutup dari bahan sutra dengan syarat apabila tidak ada penutup
lainnya. Dan tidak diperbolehkan memakai penutup yang najis dalam sholat,
meskipun tidak ada penutup selainnya, karena menghindari najis adalah syarat
keabsahan sholat, sedangkan memakainya adalah hal yang membatalkan sholat.
5. Menghadap Kiblat
Syarat sholat yang kelima adalah menghadap ke arah hakikat
kiblat, yaitu Ka’bah, bagi orang yang mampu menghadapnya. Tidak termasuk
Ka’bah adalah hijr dan syadzarwan (tangga) karena keberadaan keduanya bersifat
dzonni (sangkaan sebagai bagian dari Ka’bah) sehingga tidak mencukupi dalam
menghadap ke arahnya. Yang dimaksud dengan ‘hakikat kiblat’ bukanlah tembok
Ka’bah, melainkan arah Ka’bah dan arah yang sejajar dengannya sampai langit
tujuh dan bumi tujuh. Pengertian mengahadap arah Kiblat adalah menurut ‘urf,
bukan menurut hakikatnya. Menghadap Kiblat yang sebagai syarat sholat adalah
menghadapnya dengan dada musholli, bukan wajah, pada saat rukun berdiri, dan
duduk, dan dengan dua pundak dan sebagian besar badan pada saat rukuk dan
sujud. Apabila dada musholli menyimpang dari arah Ka’bah padahal ia mampu
untuk menghadapkannya maka sholatnya batal.
Menghadap Kiblat adalah syarat sahnya sholat bagi orang yang mampu secara mutlak, artinya baik ia berada di tempat yang dekat dengan Ka’bah atau jauh darinya, tetapi bagi yang berada di tempat yang dekat dengannya maka harus secara yakin menghadap ke arah Kiblat, sedangkan bagi yang berada di tempat yang jauh darinya maka hanya secara dzonn (sangkaan) saja. Apabila musholli bisa menghadap ke arah Kiblat jika ia sholat dalam keadaan duduk, dan tidak bisa menghadap ke arahnya jika ia sholat dalam keadaan berdiri, maka yang wajib baginya adalah sholat dengan duduk yang bisa menghadap ke arah Kiblat, karena syarat menghadap Kiblat adalah lebih kuat [daripada rukun, yaitu berdiri] karena dalam sholat sunah pun masih tetap diwajibkan menghadapnya kecuali karena adanya udzur, seperti bepergian, berbeda dengan rukun berdiri, maka dalam sholat sunah, musholli boleh melakukan sholat dengan keadaan duduk meskipun ia mampu berdiri.
Ka’bah disebut dengan nama ‘Kiblat’ karena musholli yuqobiluha atau menghadapnya. Ia disebut dengan nama ‘Ka’bah’ karena berbentuk tarobbuk atau persegi (kubus) meskipun sisi-sisinya tidak sama persis panjangnya karena perbedaan mereka sangat sedikit.
Menghadap Kiblat adalah syarat dalam sholat kecuali apabila ada alasan karena merasakan ketakutan yang diperbolehkan, maka diperbolehkan sholat dengan tidak menghadapnya, seperti ketakutan saat berada dalam perang atau lainnya, seperti sholat dengan berlari menghindari banjir, kebakaran, kejaran binatang buas, atau mempertahankan diri dari penganiayaan. Apabila tidak memungkinkan bagi musholli menghadap Kiblat dalam keadaan takut seperti di atas, maka ia boleh sholat dengan menghadap ke arah mana saja yang memungkinkan baginya, meskipun sambil berjalan [berbeda dengan Abu Hanifah], baik sholat yang ia lakukan adalah fardhu atau sunah yang dikuatirkan kehabisan waktu sholat, bukan sholat istisqo. Dan apabila rasa ketakutannya telah hilang, maka ia tidak diwajibkan untuk mengulangi sholat yang telah ia lakukan karena adanya alasan udzur yang diperbolehkan menurut syariat.
Ketika musholli telah tengah sedang dalam sholat, maka ia diperbolehkan tidak menghadap Kiblat jika ada alasan ketakutan seperti yang telah disebutkan, baik ketakutan tersebut terjadi di awal waktu sholat atau akhirnya.
Adapun apabila ketakutan tersebut terjadi sebelum musholli melaksanakan sholat
maka wajib baginya mengakhirkan pelaksanaan sholat dari waktunya sampai hanya
tersisa waktu yang hanya memuat sholat (satu rakaat) atau sampai mosholli
menyangka kelanggengan ketakutannya. Ada yang mengatakan bahwa dalam kasus
ini, tidak ada perbedaannya, baik ketakutan terjadi di awal waktu atau
akhirnya.
Ketahuilah sesungguhnya diwajibkan bagi penduduk yang tinggal
di wilayah Banten, ketika mereka sholat, untuk menyimpang dari arah lurus ke
Barat dan sedikit membelok ke arah utara karena Kiblat terletak di sebelah
kanan mereka yang tinggal di wilayah timur Mekah sekitar 260 agar mereka
benar-benar menghadap Kiblat. Alasannya adalah kerena lebar wilayah Banten di
garis lintang selatan adalah sekitar 60 dan lebar Mekah di lintang utara
adalah sekitar 210, sedangkan panjang Mekah dari lintang barat adalah 770 dan
panjang Banten dari lintang barat adalah 1410, sehingga jarak antara panjang
Mekah dan Banten adalah 640, oleh karena itu dilihat dari arah lurus Barat,
Wilayah Banten sejajar dengan tembok yamani Ka’bah, yaitu tembok tempat Hajar
Aswad berada.
Ketahuilah sesungguhnya jarak antara arah utara dan barat adalah 900, begitu
juga jarak antara barat dan selatan, selatan dan timur, timur dan utara.
Kemudian jarak antara utara dan barat dibagi setengahnya dan menjadi 450,
kemudian ditambahkan jarak dari arah barat ke arah utara dengan 260. Jadi,
pada jarak 710 lah Ka’bah sejajar dengan para penduduk yang bermukim di tanah
Jawa. Berikut ini adalah gambar panjang dan lebarnya menurut jarum pengukuran
disertai dengan nama- nama garis lintang bulan dan arah angin untuk mengetahui
arah Kiblat;
6. Beragama Islam
Syarat sholat yang keenam adalah bahwa musholli adalah orang yang
muslim. Oleh karena itu, sholat tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir.
Sholat diwajibkan bagi orang muslim dan orang yang murtad (keluar dari agama
Islam), bukan bagi orang kafir asli yang dzimmi.18 Karena itulah, orang kafir
dzimmi tidak diwajibkan sholat dengan tuntutan kewajiban di dunia, meskipun
kelak di akhirat ia akan disiksa karena meninggalkan sholat. Adapun kafir
harbi, maka sholat diwajibkan baginya dengan bentuk kewajiban luzum
(digantungkan
18 Kafir Dzimmi adalah kafir yang berada di bawah Pemerintahan Islam dan
tidak memberontak.
pada masuknya ke dalam agama Islam) karena ia dituntut untuk masuk Islam.
[Cabang] Apabila orang kafir telah masuk Islam maka ibadah- ibadah yang tidak
membutuhkan pada niat yang pernah ia lakukan pada saat kekufurannya masih
tetap, seperti shodaqoh, silaturrahmi, dan memerdekakan budak. Demikian ini
adalah seperti yang dikutip oleh Syeh al-Wanai dari kitab al-Majmuk.
7. Berakal
Syarat sholat yang ketujuh adalah bahwa musholli adalah orang yang
berakal. Oleh karena itu, orang gila dan anak kecil (bocah) yang belum tamyiz
tidak diwajibkan sholat. Apabila mereka melakukan sholat, maka sholat mereka
tidak sah karena mereka bukan termasuk ahli ibadah, sedangkan sholat sendiri
merupakan suatu ibadah yang membutuhkan pada niat, sehingga disyaratkan dalam
sholat adanya niat, islam, dan tamyiz. Batasan atau ukuran tamyiz bagi anak
kecil adalah sekiranya ia dapat makan sendiri, minum sendiri, dan istinjak
sendiri.
8. Suci dari Haid dan Nifas
Apabila musholli adalah seorang perempuan, maka disyaratkan baginya
suci dari haid dan nifas. Perempuan haid dan nifas tidak sah sholatnya dan
tidak ada kewajiban mengqodho bagi mereka apabila telah suci dari keduanya,
meskipun haid dan nifas terjadi pada saat kemurtadan. Berbeda apabila keduanya
terjadi pada saat kegilaan perempuan murtad, maka apabila ia kembali masuk
Islam, maka diwajibkan baginya mengqodho sholat yang ia tinggalkan pada saat
tersebut.
Alasan perbedaan dari dua masalah di atas adalah karena mengqodho sholat yang ditiadakan karena gila merupakan sebuah rukhsoh atau kemurahan dari syariat, sedangkan orang murtad bukanlah termasuk ahli rukhsoh.
Apabila waktu sholat telah masuk dengan keadaan perempuan suci dari haid, nifas, serta berakal, kemudian ia mengalami al-manik (hal yang mencegah kewajiban melakukan sholat), seperti haid, nifas, gila, ayan, atau mabuk yang tidak ceroboh, setelah terlewatnya waktu yang memuat atau mencukupi melakukan kewajiban-kewajiban sholat dan ia masih mendapati waktu suci yang dilarang untuk mendahulukan melakukan bersuci, seperti tayamum dan bersuci bagi yang beseren, maka wajib baginya mengqodho sholat tersebut, sebagaimana kasus ketika ada orang kafir masuk Islam pada awal waktu sholat Ashar, kemudian ia gila setelah masuknya waktu Ashar dengan jarak waktu yang mencukupi melakukan kewajiban-kewajiban sholat, maka ia wajib mengqodho sholat Ashar tersebut.
Apabila jarak waktu antara masuknya waktu sholat dan datangnya al-manik tidak
mencukupi untuk melakukan kewajiban-kewajiban sholat, maka tidak diwajibkan
untuk mengqodho karena tidak ada kesempatan kemungkinan untuk melakukan
sholat, sebagaimana kasus ketika harta yang telah mencapai nishob untuk
dizakatkan, kemudian harta tersebut hilang sebelum memungkinkan untuk
mengeluarkan zakat, maka tidak wajib berzakat. Adapun bersuci yang sah
dilakukan sebelum masuk waktu sholat, maka tidak dianggap ukuran waktunya
karena memungkinkan bagi seseorang untuk mendahulukannya.
Contoh: (bagi
orang yang bukan seperti orang beser):
Waktu Dzuhur masuk pada jam 12.00 WIB. Ada perempuan mengalami haid pada jam
13.00 WIB. Ia belum melaksanakan sholat Dzuhur. Selisih antara jam 12.00
dan
13.00 adalah 1 jam. Dan waktu 1 jam adalah waktu yang bisa digunakan
untuk melaksanakan sholat Dzuhur [minimal satu rakaat] dan syarat- syaratnya,
seperti bersuci, maka kelak apabila ia telah suci dari haid, maka diwajibkan
baginya mengqodho sholat Dzuhurnya saja.
Waktu Ashar masuk pada jam
15.00. Ada laki-laki mengalami gila pada jam 16.00. Ia belum melaksanakan
sholat Ashar. Selisih antara jam 15.00 dan 16.00 adalah 1 jam. Dan waktu 1 jam
adalah waktu yang bisa digunakan untuk melaksanakan sholat Ashar [minimal satu
rakaat] beserta syarat-syaratnya, seperti bersuci, maka kelak apabila ia telah
sembuh dari gila maka ia diwajibkan mengqodho sholat Asharnya saja.
Contoh:
Waktu
Dzuhur masuk pada jam
12.00 WIB. Ada perempuan mengalami haid pada jam
12.01 WIB. Ia belum melaksanakan sholat
Dzuhur. Selisih antara jam 12.00 dan
12.01 adalah 1 menit. Dan
waktu 1 menit adalah waktu yang tidak bisa digunakan untuk melaksanakan sholat
Dzuhur [satu rakaat] beserta syarat-syaratnya, seperti bersuci, maka kelak
apabila ia telah suci dari haid, maka tidak diwajibkan baginya mengqodho
sholat Dzuhurnya.
Dari contoh-contoh di atas dapat dipahami bahwa
kasus-kasus seperti di atas hanya mengqodho satu sholatan saja, tidak disertai
dengan sholatan sebelum dan sesudahnya.
Berbeda dengan kasus;
Ada
seseorang mengalami gila dari pagi. Kemudian pada jam 16.00 WIB, ia sembuh
dari gilanya. Saat ia belum melakukan sholat Ashar, jam 16.30, gilanya kumat
lagi. Selisih antara jam
16.00 dan 16.30 adalah 30 menit yang dapat
memuat melakukan sholat [satu rakaat beserta syarat- syaratnya]. Jadi, ketika
ia nanti telah sembuh dari gilanya, maka ia diwajibkan mengqodho sholat Dzuhur
dan Asharnya.
Atau ada orang mengalami ayan dari pagi. Pada jam 21.00
WIB, ia sembuh dari ayannya. Kemudian pada jam 21.30, ia mengalami haid. Jadi,
ia diwajibkan mengqodho sholat Maghrib dan Isyaknya.
Ketika al-manik telah hilang, sekiranya darah haid dan nifas telah berhenti
dan tidak keluar lagi, atau
telah hilanglah sifat kebocahan, kekufuran, kegilaan, keayanan, dan kemabukan,
maka apabila al-manik
tersebut hilang pada waktu sholat yang tidak boleh
menjamak dengan sholat sebelumnya, seperti hilang
pada waktu Subuh, Dzuhur, atau Maghrib, dan apabila waktu tersebut masih cukup
untuk mengucapkan
takbiratul ihram atau ‘أﻛﺑر ﷲ ’, maka wajib mengqodho
sholat fardhu yang sesuai dengan waktu al-manik itu berhenti dengan catatan
seseorang tidak mengalami al-manik selama waktu yang masih memuat minimal
sholat fardhu dan syaratnya, yaitu bersuci dari hadas dan najis. Oleh karena
itu, apabila seseorang mendapati satu rakaat di akhir waktu Ashar, kemudian
al-manik dialami lagi setelah waktu yang memuat sholat Maghrib, maka yang
diwajibkan hanyalah mengqodho Maghrib. Kemudian apabila ia telah sedang
melakukan sholat Ashar pada awal waktu maka sholat Ashar tersebut menjadi
sholat sunah dan wajib baginya mengqodho Maghrib. Demikian ini menurut Syeh
Romli. Berbeda dengan Syeh Ibnu Imad, Syaikhul Islam, Syeh Ibnu Hajar, karena
mengatakan bahwa sholat Ashar tersebut jatuh sebagai sholat fardhu dan tidak
diwajibkan baginya mengqodho sholat Maghrib.
(Perhatikan Contoh) Contoh 1:
Ada perempuan yang darah haidnya berhenti
pada waktu sholat Dzuhur (sholat Dzuhur tidak bisa dijamakkan dengan sholat
sebelumnya, yaitu Subuh). Waktu Dzuhur masuk pada jam 12.00 WIB, sedangkan
darahnya berhenti pada jam 13.00 WIB. Waktu Ashar masuk pada jam 15.00.
Selisih antara jam 13.00 dan 15.00 adalah 2 jam yang masih memuat untuk
digunakan melakukan bersuci dan sholat satu rakaat. Maka ia diwajibkan
melaksanakan sholat Dzuhur dengan sholatan Adak.
Berbeda dengan;
Ada perempuan yang darah haidnya berhenti pada waktu
sholat Dzuhur (sholat Dzuhur tidak bisa dijamakkan dengan sholat sebelumnya,
yaitu Subuh). Waktu Dzuhur masuk pada jam 12.00 WIB, sedangkan darahnya
berhenti pada jam 14.59 WIB. Waktu Ashar masuk pada jam 15.00. Selisih antara
jam 14.59 dan 15.00 adalah 1 menit yang tidak memuat untuk digunakan melakukan
bersuci dan sholat satu rakaat. Maka ia diwajibkan melaksanakan sholat Dzuhur
dengan sholatan Qodhok.
Apabila al-manik hilang pada waktu sholat yang
boleh menjamak dengan sholat sebelumnya, seperti al-manik hilang pada waktu
Ashar, atau Isyak, dan apabila masih tersisa waktu yang masih memuat
mengucapkan takbiratul Ihram atau ‘أﻛﺑر ﷲ ’ maka wajib mengqodho sholat fardhu
tersebut dan sholat fardhu sebelumnya, yaitu Dzuhur atau Maghrib karena dua
waktu sama- sama dalam udzur dengan syarat al- manik tidak kembali selama
waktu minimal fardhu ini. Oleh karena itu, apabila ada orang mencapai baligh,
kemudian ia gila sebelum terlewatnya waktu yang memuat lama sholat fardhu maka
ia tidak wajib mengqodho sholat fardhu tersebut meskipun sifat gila itu
langsung hilang seketika karena tidak memungkinkannya untuk melakukan sholat
fardhu tersebut, tetapi yang diwajibkan adalah mengqodho sholat dari waktu
kedua, bukan sholat sebelumnya dengan catatan apabila ia masih mendapati waktu
yang memuat sholat dari waktu tersebut (shohibatul waqti) sebelum datangnya
al-manik. Apabila ia tidak mendapati waktu yang memuatnya, maka tidak ada
kewajiban baginya mengqodho (shohibatul waqti). Oleh karena inilah, para ulama
mensyaratkan dalam kasus disini adanya ukuran waktu yang memuat membaca
takbiratul ihram, sedangkan dalam kasus sebelumnya mensyaratkan adanya ukuran
waktu yang memuat sholat fardhu karena titik tekan dalam kasus disini adalah
izalah atau menghilangkan sehingga masih memungkinkan mendirikan sholat
setelah keluarnya waktu sholat, tidak seperti pada kasus sebelumnya, karena
disyaratkan adanya kemungkinan untuk mendirikan sholat fardhu.
Contoh:
Ada
perempuan berhenti darah haidnya (zaal al-manik) pada waktu Ashar. (Sholat
Ashar dapat dijamakkan dengan sholat sebelumnya, yaitu sholat Dzuhur).
Darahnya berhenti pada jam 16.00 WIB. Waktu sholat Maghrib masuk pada jam
18.00 WIB. Selisih antara
16.00 dan 18.00 adalah 2 jam yang bisa
digunakan untuk mengucapkan takbiratul ihram, bersuci, dan melaksanakan satu
rakaat. Maka ia diwajibkan melaksanakan sholat Ashar dengan sholatan Adak, dan
melaksanakan sholat Dzuhur dengan sholatan Qodho.
Ada seseorang gila
(Zaal al-manik) pada waktu Isyak. (Sholat Isyak dapat dijamakkan dengan sholat
sebelumnya, yaitu sholat Maghrib.) Sifat gila hilang pada jam 03.59 WIB.
Sedangkan waktu sholat Subuh masuk pada jam 04.00 WIB. Selisih antara 03.59
dan 04.00 adalah 1 menit yang masih bisa digunakan untuk mengucapkan
takbiratul ihram, tetapi tidak cukup untuk melakukan bersuci dan sholat satu
rakaat. Maka ia berkewajiban mengqodho sholat Isyak dan sholat Maghrib.
Wallahu A’lam.
9. Meyakini Kefardhuan
Syarat sholat yang kesembilan adalah bahwa musholli meyakini
kalau sholat fardhu yang sedang ia lakukan adalah suatu kefardhuan yang
apabila dilakukan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan
mendapatkan siksa. Barang siapa meyakini sholat fardhu yang sedang ia lakukan
sebagai suatu kesunahan, atau hatinya tidak meyakini apakah fardhu atau sunah,
atau ragu tentang sifat kefardhuannya, maka sholatnya tidak sah, meskipun
musholli adalah seorang ‘ami, yaitu orang yang tidak mencari ilmu meskipun
hidup di kalangan atau sekitar para ulama, karena meyakini kefardhuan ini
adalah syarat sah ibadah, baik bagi orang yang ‘ami, atau yang lainnya.
10. Tidak Meyakini Satu Rukun Sholat Sebagai Kesunahan
Syarat sholat yang kesepuluh adalah bahwa musholli tidak meyakini
satu rukun dari rukun- rukun sholat yang berjumlah 19 sebagai suatu kesunahan.
Barang siapa meyakini kalau rukun-rukun sholat sebagai kefardhuan, atau
hatinya tidak meyakini apapun, atau ia ragu tentang kefardhuan rukun- rukun
sholat, atau ia meyakini kesunahan sholat sebagai hal yang fardhu, maka
sholatnya tetap sah. Berbeda dengan Imam Haramain, ia berkata bahwa apabila
orang yang meyakini kesunahan sholat sebagai hal yang fardhu maka sholatnya
tidak sah. Begitu juga, apabila musholli meyakini bahwa sebagian perbuatan-
perbuatan sholat adalah hal yang fardhu, dan sebagian dari mereka yang lain
adalah kesunahan, maka sholatnya tetap sah selama tidak menyengaja kefardhuan
tertentu (misal membaca Fatihah) sebagai kesunahan. Berbeda dengan masalah
apabila ia meyakini bahwa seluruh perbuatan-perbuatan sholat adalah hal yang
sunah maka secara mutlak sholatnya tidak sah karena kefardhuan, rukun, hal
yang wajib dalam sholat ditunjukkan oleh satu indikator, yaitu sunah. Syeh
Ibnu Hajar berkata, “Apabila musholli menyengaja rukun sebagai syarat, atau
sebaliknya, artinya ia menyengaja syarat sebagai rukun, maka sholatnya tetap
sah meskipun musholli bukanlah orang yang ‘aami, karena bagi yang ‘aami atau
tidak, rukun dan syarat sama-sama wajib untuk dilakukan, dan karena mula- mula
niat dalam sholat didasarkan pada keyakinan, dan karena kefardhuan-kefardhuan
lebih sedikit daripada kesunahan yang ia lakukan dengan keyakinan sebagai
kefardhuan.”
Apabila musholli mengetahui secara global bahwa sholat adalah
perbuatan-perbuatan dan ucapan- ucapan yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam maka boleh baginya melakukan sholat, kemudian ia menghadirkan
perbuatan sholatnya dalam niat dengan bentuk menghadirkan menurut urf.
Demikian ini dikatakan oleh Syeh al-Wanai.
11. Menjauhi Hal-Hal yang Membatalkan Sholat
Syarat sholat yang kesebelas adalah menjauhi hal-hal yang membatalkan
sholat. Apabila
musholli mengetahui hal-hal yang membatalkan sholat
setelah ia selesai dari melaksanakan sholat, maka wajib baginya mengulangi
sholatnya. Apabila musholli meninggal dunia sebelum ia mengetahui hal-hal yang
membatalkan dalam sholatnya maka yang diharapkan adalah anugerah Allah semoga
ia tidak disiksa di akhirat dan menghilangkan kesalahan dan kelalaian dari
umat ini.
12. Mengetahui Kaifiah Sholat
Syarat sholat yang kedua belas adalah mengetahui kaifiah sholat,
sekiranya musholli mengetahui ucapan-ucapan dan perbuatan- perbuatan sholat,
serta urutan atau tertib mereka, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Pengertian kata kaifiah adalah sifat yang dihasilkan dari menyusun
rukun-rukun.
Kemudian, syarat-syarat sholat yang berjumlah 12, dan
fardhu-fardhu mandi dan wudhu, telah ditabelkan dalam tabel berikut agar
memudahkan santri pemula untuk menghafalkannya;
Syarat-syarat Sholat ada 12 Rukun-rukun Wudhu ada 6
1. Kesucian
barang yang dibawa oleh musholli dan yang menempel dengan barang tersebut dari
najis.
2. Kesucian anggota tubuh dari dua hadas, hadas kecil dan hadas
besar.
3. Masuknya waktu sholat.
4. Menutup aurat.
5. Menghadap
ke arah Kiblat.
6. Keislaman musholli.
7. Berakal.
8. Kesucian
musholli dari haid dan nifas.
9. Meyakini sholat fardhu sebagai
kefardhuan.
10. Tidak meyakini rukun sholat sebagai kesunahan.
11.
Menghindari hal yang membatalkan sholat.
12. Mengetahui kaifiah
sholat.
1. Berniat dengan hati.
2. Membasuh wajah.
3. Membasuh kedua tangan
beserta siku-siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua
kaki beserta kedua mata kaki.
6. Menertibkan 4 anggota dalam
pelaksanaannya.
Rukun-rukun Mandi ada 2
1. Berniat dengan hati bersamaan dengan membasuh sebagian tubuh yang wajib
dibasuh.
2. Meratakan air ke seluruh tubuh.
Hal-hal yang Membatalkan Wudhu ada 4
1. Keluarnya sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur.
2. Menyentuh qubul
dan dubur dengan bagian dalam telapak tangan.
3. Saling bersentuhannya
kulit laki-laki dan perempuan yang masing-masing bukan mahrom dan sudah
besar.
4. Hilangnya sifat tamyiz kecuali dari orang yang menetapkan
lubang dubur dan bagian sekitarnya pada lantai atau tempat duduk
lainnya.[alkhoirot.org]