Ahmad bin ‘Isa Tidak Pernah Hijrah ke Hadramaut
Nama kitab / buku: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan Genealogi Ba’alwi: Finalisasi Keterputusan Genealogi Ba’alwi Kepada Nabi Muhammad Saw.
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: Oktober 2022
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/1445 H./2024 M.
Daftar isi
-
Ahmad bin ‘Isa Tidak Pernah Hijrah Ke Hadramaut
- Kembali ke kitab: Membongkar Skandal Ilmiyah sejarah dan GenealogiBa’alwi
Ahmad bin ‘Isa Tidak Pernah Hijrah Ke Hadramaut
Ba’alwi mengklaim genelaoginya tersambung kepada Nabi Muhammad
Saw. melalui Ahmad bin Isa. Ahmad bin Isa telah terkonfirmasi kitab-kitab
nasab sebagai keturunan Nabi dari jalur Ali al-Uraidi (w.210 H.). untuk
keperluan sebuah kesimpulan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai keturunan di
Hadramaut, maka diperlukan adanya kenyataan bahwa Ahmad bin Isa, atau salah
satu keturunannya, hijrah ke sana, sayangnya, kitab-kitab nasab dan sezarah
sezaman atau yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin Isa, tidak ada satupun
yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah
untuk menetap di sana. penulis kalangan Ba’alwi di abad sembilan Hijriah
menulis bahwa Ahmad bin Isa dan Ubaidillah berpindah ke Hadramaut pada tahun
317 Hijriah. Yang demikian itu
seperti kita bisa baca dalam
kitab mereka: Al-Burqat al-Musyiqah Fi Dikri Libas al-Hirqah al-Aniqah
(selanjutnya disebut Al-Burqoh) karya Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w.895 H.)
dan Al-Jauhar al-Shafa>f karya Al-Khatib (w.885 H.). untuk kitab yang
terakhir disebutkan, Al-Jauhar al-Safaf , penulis memandang bahwa kitab ini
kitab problematik, karena ditulis oleh seseorang yang sama sekali tidak
dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut. Tidak ada seorang ulama di Tarim
yang bernama Al-Khatib yang wafat seperti tahun yang tertera itu, 885
Hijriah.13 Maka selaiknya kitab Al-jauhar al-Safaf itu diabaikan sebagai
rujukan.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran, kita anggap sebagai orang
yang pertama secara formal menulis bahwa Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke
Hadramaut. Menurut Ali al-Sakran, Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah tidak
langsung ke Hadramaut, tetapi ia pertamakali menuju Madinah lalu ke Makkah
lalu ke kampung-kampung di Yaman, baru setelah itu menuju Hadramaut.14 Ali
al-Sakran tidak menulis tahun berapa peristiwa hijrahnya Ahmad bin Isa itu
terjadi, kitab yang pertamakali menyebutkan hijrahnya Ahmad bin Isa lengkap
dengan tahunnya adalah kitab Gurar al-Baha>’ al-Dawiy wa Durar al-Jama>l
al-Badi>’I al-Bahiy (selanjutnya disebut Al-Gurar) karya Muhammad bin Ali
bin Alwi Khirid Ba’alwi. Menurut Khirid, Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke
Hadramaut pada tahun 317 H.15 dengan demikian kita mengetahui adanya
cerita bahwa Ahmad bin Isa itu hijrah ke Hadramaut pada tahun tersebut,
setelah 578 tahun peristiwa itu diasumsikan terjadi.
Akan banyak
pertanyaan dibenak para peneliti, dari mana Ali al-Sakran dan Khirid
mengetahui peristiwa hijrahnya Ahmad bin Isa dan tahunnya tersebut
tanpa ada menyebutkan
sumber-sumber sama sekali,
padahal peristiwa itu berlangsung sudah sangat lama
sekali mencapai jarak 578 tahun. Sebuah pristiwa di masa-lalu, bisa dikatakan
benar-benar pristiwa historis, bila dikonfirmasi oleh sumber sejarah sezaman,
atau paling tidak, sumber sejarah yang yang mendekatinya. Yang demikian
itu, adalah prosedur standar dalam ilmu sejarah.
Sumber
sejarah terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
adalah sumber yang struktur aslinya berasal dari masa lampau, yaitu masa
sezaman dengan objek penelitian, seperti inskripsi (prasasti) yang
dibuat oleh seorang raja. Contohnya inskripsi Batutulis di Bogor yang berangka
tahun 1533 M, ia adalah sumber primer untuk sosok raja Sri Baduga Maharaja.
Prasasti ini telah membuktikan Sribaduga Maharaja adalah sosok historis di
tahun 1533 M. Sumber primer memungkinkan peneliti untuk sedekat mungkin dengan
peristiwa yang sebenarnya terjadi selama peristiwa sejarah atau periode waktu
tertentu. Sejarawan mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menggunakan
sumber-sumber sejarah primer untuk memahami masa lalu dengan caranya sendiri,
bukan melalui lensa modern.
Selain inskripsi, sumber primer
bisa berupa koin, tembikar, dsb. Untuk zaman modern ini, jika kita ingin
dianggap tidak berdusta mengaku hadir pada pertandingan final antara Brazil
dan Italia tahun 1994, maka kita harus mempunyai bukti primer akan hal itu.
Bukti itu diantaranya adalah karcis masuk stadion Rose Bowl, California,
Amerika Serikat. Selain itu, dibuktikan dengan catatan eksternal dari stadion
tersebut yang mencatat nama-nama seluruh penonton. Jika kita ingin dipercaya
hadir di pertandingan tersebut, lalu kita tidak bisa menyuguhkan bukti apapun,
lalu berdasar apa orang lain harus mempercayainya?
Sumber sejarah
sekunder adalah sumber sejarah yang berupa buku yang menggambarkan kejadian
yang telah terjadi di masa lalu. Semakin dekat masanya dengan peristiwa, maka
ia semakin dapat dipercaya. Sumber sekunder biasanya menggunakan sumber primer
sebagai bukti, atau sumber sekunder lainnya yang paling dekat dengan pristiwa.
Sumber sekunder yang lebih jauh, substansinya harus memiliki
keterhubungan dengan sumber yang lebih dekat. urgensi sumber sekunder akan
hilang, jika berlawanan dengan sumber yang lebih dekat. Jika sumber yang jauh
berlawanan informasinya dengan sumber yang lebih dekat, namun sumber yang
lebih jauh ini memiliki bukti primer, maka sumber yang jauh harus didahulukan
dari sumber yang dekat yang bertentangan dengan sumber primer.
Baik
Ali al-Sakran maupun Khirid tidak menyertakan sumber primer sama sekali, dari
situ, kita terpaksa akan mengatakan secara ilmiyah bahwa peristiwa
hijrahnya
Ahmad bin Isa ke Hadramaut itu, tidak pernah terjadi. Lalu, bagaimana
pertanggungjawaban penulis ketika sudah meyakini
bahwa peristiwa hijrah itu tidak pernah
terjadi, apakah penulis dapat memberikan
bukti sebaliknya yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak pernah
hijrah ke Hadramaut. Jika yang diinginkan dengan ‚bukti sebaliknya‛ itu adalah
kalimat tegas yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah ke
Hadramaut, tentu itu tidak ada, dan itu keinginan yang mengada-ada. Bagaimana
sebuah peristiwa yang tidak pernah terjadi
membutuhkan keterangan
negatifnya. Sebagai
contoh, kita telah mengetahui bersama
bahwa Negara Indonesia, sejak kemerdekaannya, tidak pernah mempunyai seorang
presiden yang bernama Samlawi. Untuk mengetahui, bahwa tidak
pernah ada Presiden Indonesia
yang bernama Samlawi, kita
tidak membutuhkan keterangan buku sejarah yang
ditulis dari mulai kemerdekaan hingga hari ini yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia tidak pernah mempunyai presiden bernama
Samlawi. Cukup kita menyebutkan daftar nama-nama presiden Indonesia sejak
kemerdekaan hingga hari ini yang di sana tidak ada nama Samlawi.
Lalu,
apakah penulis dapat mengahdirkan penjelasan: di mana Ahmad bin Isa berada
ketika ia hidup? Apakah benar ia berada di Basrah? Ahmad bin Isa tereportase
oleh seorang ulama bernama Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan al- Tusi (w. 460
H.) dalam kitabnya Al-Gaybah. Al-Tusi menyebutkan, bahwa Ahmad bin Isa bertemu
Abul Hasan (w.254 H.) di Kampung Surya di Kota Madinah, dalam kesempatan itu,
Abul Hasan menyatakan bahwa anaknya, Al-Hasan (w.260 H.), akan menjadi
penggantinya kelak sebagai Imam Syi’ah ke-11. Di bawah ini kita perhatikan
kutipan dari kitab ‚Al-Gaybah‛ karya Al-Tusi:
٘ٙٔ-عنو عن امحد بن عْسَ العلٌي من ولد علِ بن جعفر قال: دخلت علَ ايب احلسن علْو
السٚم بصر۸ فسلمنا علْو فإذا حنن أبيب جعفر وايب ڱ قد دخٚ فقمنا اىل ايب جعفر
لنسلم علْو فقال ابٌ احلسن علْو السٚم لْس ىذا صاحبكم
علْكم بصاحبكم واشار
اىل ايب ڱ علْو السٚمٙٔ
Terjemah:
‚165-Diriwayatkan
darinya (Sa’ad bin Abdullah), dari Ahmad bin Isa al-Alawi, dari keturunan Ali
bin Ja’far, ia berkata: ‘Aku menemui Ali Abul Hasan, alaihissalam, di Surya,
maka kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian kami bertemu Abi Ja’far dan
Abi Muhammad, keduanya telah masuk, maka kami berdiri untuk Abi Ja’far untuk
mengucapkan salam kepadanya, kemudian Abul Hasan, alalihislam, berkata: ‘Bukan
dia sohibmu (pemimpinmu), perhatikanlah pemimpinmu, dan ia
mengisaratkan
kepada Abi Muhammad, alaihissalam‛.
Dari riwayat di atas, kita
dapat menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin Isya adalah seorang
‚syi>’iy ima>miy‛ (orang Syi’ah Imamiyah), karena jarang orang non
Syi’ah akan dimasukan dalam perawi sejarah Syi’ah Imamiyah. Kedua, redaksi di
atas, juga menjelaskan kepada kita kedekatan antara Ahmad bin Isa dengan Abul
Hasan yang merupakan Imam Syi’ah ke-10. Ahmad bin Isa dan Abul Hasan, nasab
keduanya bertemu di Ja’far al-Sadiq, keduanya adalah generasi keempat darinya.
Silsilah Abul Hasan adalah Abul Hasan bin Muhammad bin Ali bin Musa al-Kadim
bin Ja’far al-Sadiq. Sedangkan silsilah Ahmad bin Isa adalah Ahmad bin Isa bin
Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidi bin Ja’far al-Sadiq.
Rupanya,
Ali al-Uraidi dan keturunannya selalu setia bersama Musa al- Kadim dan
keturunannya dalam sikap politik dan keagamaan. Ibnu Inabah (w.828 H.)
menyebutkan dengan jelas dalam kitab Umdat al-Talib bahwa Ali al-Uraidi adalah
penganut Syi’ah.17 Demikian pula disebut dalam kitab Masa’il Abi Ja’far bahwa
Ali al-uraidi adalah seorang penganut Syi’ah, dan ia selalu bersama Musa
al-Kadim di rumah maupun ketika bepergian. Jika orang hendak menghadap Musa
al-Kadim untuk suatu keperluan, maka Ali al-uraidi adalah jalan yang harus
dilalui.18 Begitu pula kesetiaan itu ia tunjukan untuk putra Musa al-Kadim,
Ali al- Rido dan cucunya, Muhammad Abu Ja’far al-Jawad.19 Disebutkan oleh
Al-Umari dalam kitab Al-Majdi, Ali al-Uraidi sangat menghormati ayah Abul
Hasan yaitu Muhammad Abu Ja’far, padahal ia adalah paman dari ayah Muhammad
Abu Ja’far. Al-Umari meriwayatkan pula, bahwa suatu hari Muhammad Abu Ja’far
mengunjungi Ali al-Uraidi, kemudian Ali al-Uraidi mempersilahkan Muhammad
untuk duduk di kursinya sedangkan Ali al-Uraidi berdiri tanpa bicara
sedikitpun sampai Muhammad pergi.20
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita dapat
mengetahui bahwa Ahmad bin Isa berada di Kota Madinah pada sekitar umur 20
tahun. Perkiraan umur Ahmad bin Isa itu, berdasar umur Abul Hasan ketika
bertemu dirinya di Madinah itu, di mana antara Abul Hasan dan Ahmad bin Isa
adalah sama-sama generasi keempat dari Ja’far al-Sadiq. Kendati demikian,
belum ada sumber yang dapat dijadikan petunjuk, apakah ia lahir di Madinah?
Atau ia lahir di Kota lain dan di Madinah hanya menemui Abul Hasan (?) Jika ia
lahir di Madinah, dan pada umur 20 tahun ia masih berada di sana, apakah ada
sumber yang menyebut ia pergi ke luar Kota Madinah setelah itu? Ketika sebuah
konklusi telah ditemukan, yaitu bahwa Ahmad bin Isa berada di Madinah pada
sekitar umur 20 tahun, lalu tidak ada sumber yang menyebut ia pergi dari
Madinah, maka hendaklah kita membiarkan konklusi itu tetap demikian, yaitu
bahwa Ahmad bin Isa tidak pernah pergi dari Madinah, sampai ada
bukti yang mengatakan sebaliknya. Kendatipun, misalnya, akan ditemukan riwayat
perpindahan Ahmad bin Isa dari Madinah setelah pertemuannya dengan Abul Hasan
itu, maka kemungkinan besar adalah pindahnya ia ke Kota Samira dalam rangka
menemani Abul Hasan. Al-Khatib al-Bagdadi (w.392 H.) dalam kitabnya Tarikh
Bagdad menyebutkan bahwa Khalifah Al-Mutawakkil mengundang Abul Hasan untuk
tinggal dekat dengan dirinya, lalu Abul Hasan pindah ke Samira dan tinggal di
sana selama duapuluh tahun sebelum ia wafat tahun 254 H. dan di makamkan di
sana pula.21 Al-Bagdadi mencatat pula, bahwa Abul Hasan lahir tahun 214 H.,
berarti, ketika ia wafat berumur 40 tahun, dan peristiwa hijrah itu terjadi di
tahun 234 Hijriah.22 Melihat kedekatan Ahmad bin Isa dengan Abul Hasan, maka
kemungkinan besar, jika sahih (benar) ditemukan berita kepindahannya, maka ia
akan pindah ke Samira, bukan ke Hadramaut. Samira, adalah salah satu destinasi
kota yang menjadi tempat tinggal para keturunan Nabi Muhammad Saw. jalur
Ja’far al-Sadiq, selain Bagdad, Basrah, Qum, Ray, Najaf, Syairaz,
Asfihan, Kufah, Syam dan beberapa kota lain di Irak dan Iran. Tidak ditemukan
riwayat sejarah yang menyebut ada di antara mereka yang hijrah ke
Hadramaut.
Sulit sekali untuk dimengerti dan diterima logika
peneliti, seorang Syi’ah Imamiyah seperti Ahmad bin Isa, kemudian ia hijrah ke
Hadramaut yang ketika itu dikuasai oleh kaum Ibadiyah yang anti terhadap
Syi’ah. Jika pun ia harus pindah, maka ia seyogyanya akan memilih San’a yang
dikuasai oleh Syi’ah Zaidiyah Hadawiyah. Walaupun berbeda dalam beberapa
pandangan keagamaan, tapi tentu akan lebih bisa diterima dibanding dengan
Ibadiyah. Hal ini, kemudian membuat sejarawan Ba’alwi harus bersusah payah
mengarang kisah ahistoris di mana dikatakan, misalnya oleh Al-Syatiri dalam
kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bahwa ketika datang ke Hadramaut, Ahmad
bin Isa berdebat dengan ulama ‘Ibadiyah, seperti
dapat diterka, kemudian Ahmad
bin Isa memenangkan perdebatan itu, dan membuat ulama
‘Ibadiyah terdiam.23 Penulis tidak menyarankan kepada pembaca untuk menjadikan
buku Al-Syatiri ini sebagai referensi tentang sejarah Hadramaut, karena apa
yang ditulis oleh Al-Syatiri ini, terutama tentang kisah keluarga Ba’alwi,
nyaris tanpa referensi sama sekali. Daripada sebuah buku sejarah, lebih tepat
buku tersebut dikatakan sebagai sebuah buku novel dengan latar belakang
ilmiyah. Begitupula, buku-buku yang dikarang atau ditahqiq (diterbitkan dengan
dilengkapi berbagai macam kekurangan misalnya dari sisi huruf yang salah tulis
atau tidak terbaca karena tua) oleh keluarga Ba’alwi lainnya, jangan dijadikan
sebagai referensi untuk melihat sejarah Hadramaut mulai abad ketiga sampai
hari ini. Hal yang demikian itu, karena semangat yang
dominan dari penahqiqan dan penulisan sejarah itu, hanyalah ditenagai oleh
upaya melengkapi kesejarahan nama-nama silsilah keluarga Ba’alwi yang
terpotong, kontradiktif dan ahistoris. Dengan melihat historiografi
Hadramaut dari buku- buku yang tidak terpercaya, kita bukan akan melihat
fakta sejarah Hadramaut sesunggunya, tetapi hanya melihat sejarah yang
diciptakan untuk suatu kepentingan.
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita
bisa melihat, bagaimana cipta sejarah Ba’alwi akan menghadapi kontradiksi
dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan. Misalnya, Ba’alwi mencatat,
bahwa tahun hijrah Ahmad bin Isa ke Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah, dan
tahun wafatnya adalah tahun 345 Hijriah. Jika Ahmad bin Isa, pada tahun 234 H.
berumur 20 tahun, maka berarti ketika hijrah itu ia telah berumur 103 tahun,
dan ketika wafat ia telah berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang
yang sudah tua renta yang berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut
dengan jarak lebih dari 2000 km. seperti juga sangat kecil
kemungkinan ada orang yang bisa mencapai usia 131 tahun. Perkiraaan umur 20
tahun untuk Ahmad bin Isa dengan melihat umur Abul hasan itu, adalah perkiraan
untuk menjada keadilan ilmiyah, bisa jadi, ketika bertemu Abul Hasan itu,
Ahmad bin Isa telah berumur lebih dari itu. Jika diperkirakan umur Ahmad bin
Isa telah mencapai umur 40 tahun saja, maka berarti ketika ia wafat telah
mencapai umur 151 tahun. Jika dikatakan, bisa pula sebaliknya terjadi, yaitu
bahwa umur Ahmad bin Isa ketika bertemu Abul hasan itu kurang dari 20 tahun.
Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tetapi tidak akan kurang dari umur balig
yaitu 15 tahun, karena pembicaraan tentang ‚imamah‛ dari Abul Hasan kepada
Ahmad bin Isa adalah suatu wasiyat atau kesaksian yang penting, yaitu bahwa
yang akan menggantikan Abul Hasan adalah anaknya yang bernama Al-Hasan, bukan
anak lainnya, tentu wasiyat dan kesaksian semacam ini tidak sah diberikan
kepada anak kecil yang belum balig.
Cerita bahwa Ahmad bin Isa
tinggal di Basrah itu, menurut penulis, bermula dari adanya nama Ahmad bin Isa
bin Zaid yang ada di Basrah yang disebut oleh Al-Khatib al-Bagdadi dalam
kitabnya Tarikh Bagdad, . kemudian, Ba’alwi mengira itu adalah Ahmad bin Isa
bin Muhammad al-Naqib. Rupanya, Ba’alwi
berupaya menemukan
nama Ahmad bin Isa di kota-kota
destinasi para sad> at
(keturunan Nabi), agar
historiografi yang telah terlanjur ditulis bahwa Ahmad bin Isa itu
berhijrah dari kota-kota para sadat punya
landasan historis, kemudian
ketika ditemukan nama
yang mirip di Kota Basrah langsung di klaim sebagai kisah Ahmad bin Isa,
padahal salah orang. Kesembronoan kutipan dan kesalahan klaim itu, bisa kita
lihat misalnya dalam kitab Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Ja’far karya
Muhmmad Diya’ Shihab Ba’alwi, dalam kitab itu, ia mengatakan bahwa Ahmad bin
Isa telah tercatat oleh kitab Tarikh Bagdad karya Al-Khatib al- Bagdadi
Muhammad Diya’ mengatakan:
Terjemah:
‚Dan dalam kitab
‘Tarikh Bagdad‛ karya Al-Khatib, ketika menerangkan tentang Muhammad bin Jarir
al-Tabari (224-310 H.), Al-Tabari mengatakan: Ahmad bin Isa al-Alawi dari
Al-Balad (Basrah) (dari bahar Tawil)…‛
Setelah mengutip
Tarikh Bagdad itu, Muhammad Diya’ memberi komentar bahwa panggilan Ibnu Jarir
kepada Ahmad bin Isa al-Alawi dengan sebutan ‚ami>ri‛ (gubernurku), cukup
menjadi dalil akan kedudukan Ahmad bin Isa yang tinggi. Panggilan itu bukan
karena Ahmad bin Isa lebih tua, menurut Muhammad Diya, Ibnu Jarir lebih tua
dari Ahmad bin Isa.25 Analisa yang sembrono dari Muhammad Diya’
melahirkan konklusi yang salah. Ketika kita ingin mengetahui siapa Ahmad bin
Isa al-Alawi yang yang dimaksud oleh Al-Khatib itu, maka kita harus
mengetahui, adakah Ahmad bin Isa al-Alawi disebut ditempat lain dalam
kitabnya? Lalu kita lihat, adakah petunjuk di sana yang dapat kita petik
sehingga kita mengetahui sebenarnya siapa yang dimaksud oleh Al-khatib dengan
Ahmad bin Isa itu. Dalam tempat lain dalam kitabnya itu, Al-khatib menyebut
nama Ahmad bin Isa al-Alawi sebagaimana kutipan di bawah ini:.
Terjemah:
Ibnu
Razak memberitahu kami, ia berkata: Ali bin Abdurrahman bin Isa al-kufi
memberitahu kami, ia berkata: Muhammad bin Mansur al-Muradi menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abu Tahir menceritakan kepadaku, yaitu Ahmad bin Isa
al- Alawi…‛
Dari kutipan ini, kita mengetahui, bahwa Ahmad bin Isa
al-Alawi yang dimaksud dalam narasi Al-Khatib dalam kitabnya itu, adalah ia
yang mempunyai murid Muhammad bin Mansur al-Muradi. Siapa al-Muradi? Ibnu
al-Nadim (w. 380 H.) dalam kitabnya Al-Fihrasat mengatakan:
Terjemah:
‚Al-Muradi
adalah sebagian tokoh Zaidiyah, ia adalah Abu Ja’far Muhammad bin Mansur
al-Muradi al-Zaidi, ia mempunyai kitab: kitab ‘Tafsir al-kabir’, kitab ‘Tafsir
al-Sagir, kitab ‘Ahmad bin Isa’, kitab ‘Sirat al-‘A’immati al-‘A>dilat, dan
ia mempunyai kitab dalam hukum-hukum…‛
Dari sini kita sudah
mengetahui, bahwa Ahmad bin Isa al-Alawi yang dimaksud dari Al-Khatib itu
bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi Ahmad bin Isa yang berfaham
Zaidiyah, yaitu ia yang mempunyai murid Muhammad bin Mansur al-Muradi.
Al-Muradi mengarang sebuah kitab untuk Ahmad bin Isa al- Alawi ini yang
disebut kitab Al-‘Ulu>m yang popular dengan nama Amali Ahmad bin Isa yang
dalam tulisan Ibnu al-Nadim disebut Kitab Ahmad bin Isa. hari ini kitab itu
telah diterbitkan oleh Sayyid Yusuf bin Muhammad al-Mu’ayyad al- Hasani tahun
1401 H. lalu, apakah Ahmad bin Isa al-Alawi satu masa dengan Ibnu Jarir
al-Tabari, seperti riwayat adanya saling kirim surat antara keduanya? Dalam
kitab Maqati al-Talibiyyin karya Abu al-Faraj al-Asfihani (w. 356 H.)
disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Zaid al-Alawi wafat tahun 247 Hijriah,28
berarti satu masa dengan Ibnu Jarir, karena Ibnu Jarir lahir pada tahun 224
Hijriah dan wafat tahun 310 Hijriah.
Dari keterangan di atas,
terbukti bahwa kutipan Muhammad Diya’ Sahab tentang Ahmad bin Isa itu salah
alamat. Ia bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi Ahmad bin Isa bin
Zaid. Tetapi, setidaknya ia telah berusaha menulis secara ilmiyah dengan
mengutip kitab-kitab primer semacam Tarikh Bagdad, berbeda dengan penulis
lainnya dari kalangan Ba’alwi yang menulis sejarah di abad sembilan Hijriah
tentang suatu kejadian di 550 tahun sebelumnya tanpa refernsi sama sekali.
Dari sini, historiografi nasab dan nama-nama silsilah leluhur Ba’alwi yang
ditulis mapan di abad sembilan dan seterusnya itu, terbukti ditulis dari ruang
hampa, jangankan untuk menghadirkan sumber yang menyebut hijrahnya Ahmad bin
Isa dari Basrah ke Hadramaut, untuk menghadirkan sumber primer yang menyebut
Ahmad bin Isa ada di Basrah saja tidak bisa menghadirkannya. Sangat
terbatasnya informasi tentang Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib ini, menurut
asumsi penulis, bisa karena beberapa hal, diantaranya, mungkin memang
Ahmad bin Isa ini tidak berumur panjang, sehingga ia tidak terlalu banyak
memainkan peran yang dapat dicatat tentangnya dalam perjalanan keluarga Abul
Hasan selanjutnya.
Murtado al-Zabidi (w. 1205 H.) dalam kitabnya Al-Raud al-Jaly (sebuah kitab
yang membahas tentang nasab Ba’alwi), mengutip bahwa Al-Ubaidili (w. 436 H.)
menyatakan bahwa Ahmad bin Isa al-Naqib hijrah dari Madinah ke Basrah pada
abad keempat Hijriah, lalu keluar bersama anaknya menuju timur.29 Kutipan itu
dikomentari oleh Muhmammad Abu Bakar Abdullah Badzib, seorang sejarawan Yaman
yang juga muhaqiq kitab tersebut, bahwa kutipan itu tidak
ditemukan dalam kitab Al-Ubaidili, Tahdib al-Ansab30. Badzib, walau dikenal
dekat dengan keluarga Ba’alwi, tetapi ia kritis mengomentari
kejanggalan-kejanggalan kitab Al- Raud al-Jaly tersebut. Selain tentang
kutipan Al-Ubadilii yang tidak terkonfirmasi, masih banyak masalah lain dalam
kitab Al-raud al-jaly yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Kutipan-kutipan
penulis Ba’alwi dan kitab-kitab ulama masa lalu yang ditahqiq
mereka, memang sarat masalah dan bisa digolongkan termasuk
‚skandal ilmiyah‛. kitab-kitab yang ditahqiq dan diterbitkan mereka harus
dibaca dengan kewaspadaan tinggi, jika perlu kita
mengkonfirmasinya dengan mansukrip aslinya, agar kita tidak
terjebak sejarah yang mereka ciptakan. Cara membaca sejarah, bukan
dilihat dari popularitas sejarah itu di masa kini, tetapi harus ditelusuri
adakah kesesuaian sejarah itu dengan sumber-sumber sezaman yang
dapat ditemukan. Historiografi silsilah nasab Ba’alwi memang banyak ditulis
sejak abad sembilan hijriah sampai abad limabelas ini, tetapi ia rapuh karena
bertentangan dengan sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya yang telah
berhasil ditemukan.
CATATAN AKHIR (END NOTE)
13 Dalam literasi karya-karya Ba Alawi, Abdurrahman al-Khatib disebut
wafat tahun 855 H. Ia murid Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819
H.), kakek pendiri nasab Ba Alawi, Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Al-Khatib,
katanya, menulis kitab bernama Al- Jauhar al-Shafaf. Kitab itu berisi tentang
keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut silsilah Ba
Alawi. Tetapi, ketika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi ulama, nama
Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa hidup seperti
dalam literasi Ba’alwi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada nama yang
sama yang terdetekasi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah Abdurrahman
bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun 724 H. ia disebut dalam
kitab-kitab biografi para ulama seperti Mu’jam al- Muallifin karya Umar Rido
Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kedua kitab itu
sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun
724 H. bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama Al-Jauhar al-Shafaf. Bedanya
dengan literasi Ba Alawi, ia tidak bergelar al-Khatib.
14 Lihat Ali
bin Abu Bakar al-Sakran, Al-Burqat al-Musiqat, (Matba’ah Ali bin Abdurrahman
bin Sahl Jamalullail Ba’alwi, Mesir, 1347 H.) h. 131
15 Muhammad bin Ali bin Alwi Khirid, Gurar al-Bah>a’ al-Dawiy wa Durar
al-Jama>l al-
Badi ’I al-Bahiy, (T.pn. T.tp., 1405 H.) h.6
16 Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi, Al-Gaybah, (Muassasah Al-Ma’arif al- Islamiyah, Qum, 1425 H.) h. 199
17 Ibnu Inabah, Umdat al-Talib, (Maktabah Ulum al-Nasab, Tahqiq Muhammad Sadiq al- Bahr al-Ulum, Iran, T.t.) h. 222
18 Masa’ilu Abi Ja’far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait Alihim al-Solat wa al- Salam, Beirut, 1431 H.) h. 18.
19 Lihat Masa’ilu Abi Ja’far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.) h. 21.
20 Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Alawi al-Umari, Al-Majdi fi Ansab al- Talibin, (Maktabah Ayatullah al-Udma al-Mar’asyi, Qum, 1422 H.) h. 332
21 Al-Khatib al-Bagadadi, Tarikh Bagdad, (Dar al-Garbi al-Islami, Beirut, 1422 H.) j. 13 h. 518.
22 Al-Khatib al-Bagadadi, … j. 13 h. 520.
23 Lihat Al-Syatiri, Adwar al-Tarikh al-Hadramiyyah ( Maktabah Tarim al-Haditsah, Tarim, 1403)h. 153
24 Muhammad Diya Shihab, Al-Imam Ahmad al-Muhajir (Dar al-Syuruq, T.tp. 1400 H.) h.42
25 Lihat Muhammad Diya…h.42
26 Al-Khatib al-Bagdadi… j. 1 h. 463.
27 Ibnu al-Nadim, Al-Fihrasat, (Dar al Ma’rifat, Beirut, 1417) h.240
28 Abu al-Faraj al-Asfihany, Maqatil al-Talibiyyin (Dar al-ma’rifah, Beirut, T.t.) h.498
29 Murtada al-Zabidi, Al-Raud al-jaly (Dar al-Fath, Oman, 2021 M) h. 121-122
30 Murtada al-Zabidi…h.121-122