Bab IV: Tanggapan Atas Sanggahan pada Tesis Kyai Imaduddin
Nama kitab / buku: Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw (Penyempurnaan dari Buku Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia)
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: Oktober 2022
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/ 2023
Daftar Isi
- Bab IV: Tanggapan Atas Sanggahan-Sanggahan
- Tanggapan Terhadap Surat Rabitah Alawiyah
- Tanggapan Atas Bantahan Habib Riziq Syihab
- Tanggapan Terhadap Buku Hanif Alatas
- Menanggapi Habib Ali Zainal Abidin Ketua Naqobatul Asyrof Rabitah Alawiyah Dan Syekh Mahdi Arroja’i
- Menjawab Syekh Mahdi Arroja’i
- Menjawab Tentang Bahwa Nasab Habib Sudah Disebut Para Ulama Besar
- Menjawab Muhammad Ludfi Rochman Tentang Terputusnya Nasab Habib
- Ulasan Dialog Ilmiyah Habib Hamid Alkadri Tentang Nasab Habib
- Menanggapi Pernyataan: Tidak Disebut Bukan Berarti Tidak Ada
- Tanggapan Terhadap Ungkapan: Menafikan Ubaidillah Sebagai Anak Ahmad Masuk Sebagai Menuduh Zina (Qadzaf)
- Tanggapan Bahwa Meneliti Nasab Habib Sama Dengan Membenci Dzuriyat Nabi Muhammad Saw
- Tanggapan Tentang Bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Hasyim Asy’ari Dll Telah Mengitsbat Nasab Ba Alawi
- Tanggapan Terhadap Buku Dr Ja’ar Assegaf, Ma Berjudul Konekttifitas Rijal Al Hadits Dengan Sejarah Dalam Menelusuri Nasab
- Kembali ke: Buku Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
BAB IV TANGGAPAN ATAS SANGGAHAN-SANGGAHAN
TANGGAPAN TERHADAP SURAT RABITAH ALAWIYAH
Beredar di media sosial foto selembar surat edaran yang berlogo
Rabitah Alawiyah , yaitu perkumpulan para habaib di Indonesia . Edaran itu
bernomor: 180/MD RA/XI/2022 dengan judul "Jawaban terhadap masalah tidak
adanya nama Ubaidilah Bin Ahmad Al-Muhajir di Kitab Al-Syajarah Al-Mubarokah
". Edaran itu di posting di channel Bahar Smith dan di bacakan oleh
Mahdi bin Yahya di channel youtubenya.
Jika dilihat dari
titimangsa surat ini, yaitu 8 November 2022, maka jelas surat edaran ini
dalam rangka menjawab tulisan penulis yang di ulas DR. Syafik Hasyim di Cokro
TV pada 6 November 2022. Berarti hanya berselang dua hari, rabitah telah
menjawab tulisan penulis tentang bahwa Ubaidillah tidak dicatat sebagai anak
Ahmad bin Isa berdasar kitab-kitab nasab abad ke 5 dan ke 6.
Adapun
kutipan lengkap surat edaran itu adalah sebagai berikut: Jawaban terhadap
masalah tidak adanya nama Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir di Kitab Al Syajarah
Al-Mubarokah
180/MD-RA/XI/2022
Assalamualaikum Wr.
Wb.
Dengan ini kami dari Maktab Daimi- Rabitah Alawiyah
memberitahukan bahwa Kitab Al-Syajarah Al-Mubarokah yang dikarang oleh
Imam Al-Fakhrurozi yang wafat pada tahun 606 Hijriah (Abad ke VI) adalah
bukan satu-satunya kitab nasab yang menjadi sandaran pada ahli nasab. Masih
ada kitab kitab lain yang ditulis pada abad yang lebih awal seperti:
1.
Kitab Bahrul Ansab
Yang dikarang oleh Al-Sayyid Muhammad bin
Ahmad Amiduddin Al-Husaini Al Najafi yang wafat pada tahun 433 Hijriah (Abad
ke IV) pada halaman 46 dan 52 beliau telah menuliskan keturunan
dari pada Isa Arrumi bin Muhammad Al-Azraq (Annaqib) Yaitu Ahmad dan anak
keturunannya, disebutkan bahwa nama anaknya salah satunya adalah
Ubaidillah.
2. Kitab Abnaul Imam Fi Misro Wa Syam
(Alhasan Wal Husain)
Yang dikarang oleh Abil Muammar Yahya bin
Muhammad bin Al-Qasim Al Husaini Al-Alawi yang dikenal dengan Ibnu Thoba
Thoba yang wafat pada tahun 478 Hijriah (abad ke IV) pada halaman
167-169 beliau menuliskan tentang keturunan Ja'far bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin dan menuliskan Ubaidillah bin Ahmad bin Ahmad Al Muhajir bin
Isa bin Muhammad bin Ali bin Jafar shodiq.
Semoga tulisan ini dapat
menjawab masalah keturunan dari Ubaidillah (Abdullah) bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa Arrumi bin Muhammad Al Naqib bin Ali Al-Uraidi.
Atas
perhatiannya dan pemahamannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Jakarta, 8 November 2022
Hormat kami Maktabah Daimi
Rabitah Alawiyah
Ahmad Muhammad Al-athas, Ketua harian; M. Baqir
Alhaddad, Sekretaris.
Dua kitab ini yang disebut oleh
Rabitah Alawiyah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah bahwa Ubaidillah adalah
anak Ahmad, kenapa?
Kitab Tahdzibul Ansab yang disebut oleh surat
edaran itu sebagai kitab yang yang dikarang abad ke lima adalah dusta. Kitab
itu dikarang oleh Al-Sayyid Muhammad bin Ahmad Amiduddin Al-Husaini Al-Najafi
yang wafat pada pada abad 10 Hijriah. Keterangan itu dapat dilihat dalam
kitab Tabaqatunnassabin karya Bakar Abu Zaid, dalam
kitab itu disebutkan:
"Nomor ke 396 (dari para ahli nasab adalah Muhammad bin Ahmad bin
Amididdin Ali Al Husaini Al Najafi (Abad ke 10) ia memiliki kitab Bahrul
Ansab atau Al Musyajjar Al-Kasyaf Li-Ushuli Al-Sadati Al-Asyraf,
dicetak di Kairo tahun 1356 H." (Tabaqatunnassabin: Bakar Abu
Zaed: h. 162)
Lalu dalam cover kitab Tahdzibul Ansab cetakan
penerbit Daar Al-Mujtaba, Saudi Arabia tahun 1419 H yang di tahqiq oleh
Al-Syarif Anas Al-Kutubi Al Hasani, ditulis:
"Bahrul Ansab yang
dinamai (pula ) Al-Musyajjar Al-Kasyaf Li Ushuli Al-Sadat Al-
Asyraf
(dikarang) oleh Annasabah (ahli nasab) Al-Sayid Muhammad bin
Ahmad bin Amididdin Ali Al Husaini Al Najafi sebagian dari para
tokoh abad 9 dan JO
H. "
Untuk
kitab kedua yaitu kitab Abnaul Imam Ji Mishra Wa-Syam (Al-hasan Wal
Husain) telah dijelaskan dalam tulisan penulis "Muhhammad Ludfi Rahman
Mempertahankan Nasab Habib Dengan Kitab Palsu ". Intinya kitab
itu termasuk kitab palsu yang isinya telah di rubah atau ditambah.
Penambahan itu telah diketahui oleh para ulama, dan kitab ini tidak
layak menjadi hujjah ilmiyah.
Sampai saat ini nasab habib di
Indonesia belum mendapatkan pijakan dalil kesahihan nasab mereka. Bahkan
beberapa kasus pemalsuan tahun wafat pengarang kitab oleh oknum tertentu,
semakin menjadikan pembela nasab ini mencurigakan secara moral.
TANGGAPAN ATAS BANTAHAN HABIB RIZIQ SYIHAB
Seperti terdapat dalam channel youtube IBTV dengan judul
postingan "MENJAWAB TUDUHAN HABAIB BUKAN
KETURUNAN RASULULLAH
S.A.W. -OLEH IB HRS" yang dipost-kan 11
Nopember 2022 dengan durasi panjang 1 jam 44 menit 10 detik dalam video
itu HRS menyebutkan adanya pertanyaan yang menggelitik khususnya dikalangan
anak muda tentang apakah benar habaib di Indonesia itu keturunan
Rasulullah, HRS melanjutkan "kalau betul mana buktinya? Kalau betul bagaimana
cara mempertanggungjawabkannya?
Menurut HRS, di menit ke 4,
pembuktian apakah betul para habib itu sebagai keturunan Nabi cukup dengan
membuktikan Imam Ahmad (bin Isa) apakah betul sebagai keturunan Nabi, jika
betul Imam Ahmad sebagai keturunan Nabi maka berarti betul para
habib itu keturunan Nabi jika tidak maka tidak. HRS pula menyatakan bahwa
harus dibuktikan para tokoh-tokoh itu apakah betul ada atau hanya
tokoh fiktif, siapa ulama yang menyebutkan? Dalam kitab apa? Apakah ulamanya
otoritatif atau tidak?
Pernyataan HRS ini sebagian betul, yaitu
bahwa seorang tokoh yang diyakini ada pada suatu masa harus dibuktikan oleh
terdapatnya nama tokoh itu disebut dalam sebuah kitab pada zamannya. Namun
ketika menyebut bahwa jika Ahmad bin Isa terbukti sebagai tokoh nyata dan
sebagai keturunan Nabi yang dibuktikan dengan adanya ulama yang menyebutkan
dalam suatu kitab yang semasa, maka berarti para habib pula terbukti sebagai
keturunan Nabi.
Pernyataan HRS itu bermasalah karena justru masalah
bukan pada Ahmad bin Isa tetapi pada sosok yang bernama Alawi yang
disebut sebagai anakdari Ubaidillah dan cucu dari Ahmad bin
Isa. Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib telah terbukti secara sah dan
meyakinkan sebagai keturunan Nabi berdasarkan kitab-kitab nasab pada
zamannya. Tetapi Alawi bin Ubaidillah tidak terbukti sebagai cucu Ahmad bin
Isa dikarenakan Ubaidillah tidak terbukti sebagai anak Ahmad bin Isa.
Pada
menit ke 31 HRS menyebut nama kitab-kitab seperti Al-bidayah wa al Nihayah,
al-Kamil fi al-Tarikh, Tarikh Ibnu Khaldun, Tarikh al-Dzahabi dan
banyak lagi kitab untuk membuktikan anak keturunan Sayidina Hasan dan Husain.
HRS pula menyebut nama kitab-kitab untuk membuktikan bahwa tokoh-tokoh leluhur
habaib di Indonesia dicatat dalam kitab-kitab sampai ia
menerangkan tentang Ahmad bin Isa (al-Muhajir).
Tapi perhatikan
pada menit yang ke 1:13:44 ketika HRS telah selesai menerangkan Ahmad bin Isa
yang menurutnya dicatat dalam kitab tarikh Tobari, ketika menerangkan tentang
apakah Ubaidillah ditulis oleh ulama dalam kitab sebagai
anak Ahmad bin Isa, HRS malah lompat menerangkan tentang Alawi yang
menurutnya terdapat dikitab Khulasotul Atsar. Seharusnya HRS juga dapat
menunjukan kitab mana yang menyebutkan tentang bahwa Ahmad mempunyai anak
bernama Ubaidillah.
Karena justru, sekali lagi dikatakan, bahwa
Alawi inilah yang merupakan datuk para habib Ba Alawi yang disebut oleh para
ulama sebagai bukan keturunan Rasulullah, dikarenakan ayahnya yang bernama
Ubaidillah tidak terbukti sebagai anak Ahmad bin Isa (al-Muhajir).
TANGGAPAN TERHADAP BUKU HANIF ALATAS
Habib Hanif Alatas membuat sebuah buku dengan judul "Risalah
Ilmiyah jawaban atas Syubhat Imaduddin Utsman Seputar Keabsahan Nasab Bani
Alawi".
Risalah Hanif ini tidak dapat membantah terputusnya nasab
Ba Alawi. Karena di dalamnya hanya mengetengahkan tentang pembicaraan
para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad 9. Belum berhasil
menyambungkan sanad dan riwayat antara nasab Ba Alawi dan Nabi Muhammad
s.a.w.
Bagi hanif, pembicaraan-pembicaraan ulama besar itu, walau
bukan merupakan sumber primer akan bisa memperkuat nasab Ba Alawi biarpun dari
sisi ketersambungan sanad terputus.
Semisal Hanif menukil
pujian Syekh An-Nabhani (W. 1350 H) tentang bahwa nasab Ba Alawi
adalah nasab tersahih. Namun, sekali lagi yang diperlukan
bagi nasab Ba Alawi ini adalah ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa
(w. 345 H) sampai munculnya nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad
10 H. yaitu ketika kitab Tuhfatutholib Bima'rifati man Yantasibu Ila Abdillah
wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain
as-Samarqondi (w. 996) memuat untuk pertama kali.
Ketika
ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidak ada maka semua pujian ulama
setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam itsbat nasab Ba Alawi. Diperlukan
kitab kitab muashir (sezaman) dalam setiap nama yang
menyatakan ia anak dari fulan atau ayah dari fulan. Kenapa? Karena
syuhroh wal istifadloh (masyhur dan menyeluruh) bagi nasab itu, menurut Imam
Arruyani, harus setiap masa bukan hanya disuatu masa. Misal
abad 10 masyhur Ba Alawi sebagai keturunan nabi, tapi abad 9,8,7,6,5 dan 4
tidak ada yang menyebut, maka dapat dipastikan secara ilmiyah nasab ini
palsu.
Imam Ar-Ruyani (w.502) berkata dalam Bahrul Madzhab:
"Sesungguhnya
istifadlah untuk nasab diketahui dengan sepanjang zaman " (Bahrul Madzhab:
31134)
Di Makkah ada suatu kasus. Keluarga Athobariyah
Al-Ariqah dikenal sebagai keluarga yang melahirkan para ulama di Makkah,
ia masyhur sebagai keluarga Nabi, namun kemasyhuran itu,
setelah diteliti mulai dari abad 9 saja, sedang di abad ke enam,
tujuh dan delapan nasab mereka tidak
masyhur di kitab-kitab abad itu.
Kitab Al Da'u
AlLami', khulasatul Atsar, yaitu kitab abad 9 dan 11 menulis mereka sebagai Al
Husaini, tetapi di abad sebelumnya tidk ada riwayat. Maka ulama nasab menyebut
nasab seperti ini al iddi'a al hadits la ashla lah (pengakuan barn tidak punya
asal).
Alawi sebagai datuk Klan Ba Alawi (w. 400 H.), dalam versi
masyhur mereka, ia putra Ubaidillah (w.383 H) "bin" Isa (W . 345 H.). maka
dari 3 nama ini, kita memerlukan kesaksian kitab nasab yang semasa yang
menyebut Alawi sebagai anak Ubaidillah dan Ubaidillah sebagai anak Ahmad,
yaitu kitab abad ke 5 yang semasa dengan Alawi. Bahwa benar disebutkan dalam
kitab itu Alawi sebagai cucu Ahmad bin Isa.
Untuk itu, Hanif
berusaha untuk mencari kitab abad ke lima. Apakah berhasil? Kita lihat!
Hanif
menyebutkan bahwa nasab Alawi sebagai anak Ahmad telah disebutkan
di abad 5. Alhamdulillah. Apa betul? Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh
Al Ubaidili yang wafat 435 H. yang demikian itu disebut dalam kitab Al-Raud
Al-Jali, karya Az-Zabidi (W.1205). kalau ini terbukti kita akan taslim akui
mereka sebagai keturunan Nabi. Subhanallah.
Lalu bagaimana?
Sedih
kita, sudah dua kasus kitab palsu telah berlalu, sekarang mau tambah lagi.
Penulis
memiliki kitab Al-raud Al-jali namun kalimat seperti yang disebutkan Hanif
tidak terdapat dikitab itu. Kitab Al-Raud yang penulis miliki cetakan maktabah
Daar Kanan Li Al Nasyr wa Al-Tawzji' tahun 1431 H. ditahqiq oleh Arif Ahmad
Abdul Gani, tidak ada kalimat seperti dikutif Hanif itu, bahwa "Al-Ubaidili
berkata . . . ".
Setelah ditelusuri di footnote rupanya yang
dipakai Hanif adalah kitab Al-Raud Al Jali cetakan tahun sekarang ini, tahun
1444 H, barn sekali. Kitab itu di tahqiq oleh Muhammad Abu Bakar Ba Dzib, dan
di ta'liq oleh Habib Alwi bin Tohir Al haddad (w. 1382 H.).
Dalam
kutipan yang dipetik Hanif itu banyak berbeda dari kitab Al Raudul
al jali yang penulis miliki. Penulis Tidak ada kalimat "Ubaidili berkata . .
." dst. Di kitab Hanif ada kalimat "ubaidili berkata . . ." padahal judul
kitabnya sama, pengarangnya sama, kok isinya beda.
ketika melihat
judulnya bahwa kitab ini di ta'liq oleh Habib Alwi bin tohir Al
haddad, maka kemungkinan besar kasusnya
sama dengan kitab "Abna'ul Imam"
yaitu
kemungkinan adanya penambahan dari penta'liq atau pentahqiq. Kitab yang
dijadikan referensi Hanif ini sah disebut kitab palsu dan tertolak untuk
dijadikan hujjah sebagai sumber hukum, karena di dalamnya sudah ada campuran
antara kitab asli dan ta'liqnya, dibuktikan dengan berbedanya ibarah yang ada
dengan cetakan sebelumnya.
Dan ketika meriwayatkan dari kitab yang
tercampur ini, Hanif tidak menyatakan ibaroh yang disampaikan itu, apakah
ibaroh dari pengarang atau pen'ta'liq, subyek yang berkata jadi tidak jelas
karena terjadi tadlis (pengaburan sengaja).
Bahkan konklusi dua
cetakan kitab ini tentang Abdullah anak Ahmad menjadi berbeda. Kitab cetakan
yang ada di tangan penulis menyebut Abdullah sebagai anak Ahmad adalah
termasuk ketetapan yang tidak disepakati, sementara dalam kitab cetakan Hanif
menjadi yang disepakati.
Moral ilmiyah itu penting, selain isi
tulisan. Percetakan, pentahqiq, penta'liq dan penukil harus memiliki kejujuran
ilmiyah. Kitab yang kita tukil harus kredibel, penulisnya jelas, tahunnya
jelas. Kalau kitab itu syarah katakan syarah! Bedakan antara ibaroh syarah
dengan ibaroh matan, bisa dengan ditambah dalamkurung, tulisan yang
dibedakan atau dengan ciri lainnya seperti warna tinta,
karena, terutama kitab sejarah dan nasab, harus jelas titimangsa
kitab itu, untuk menjadi saksi tokoh yang diteliti. Jika ada
ketidakjujuran dari fihak-fihak yang penulis sebutkan tadi maka nilai ilmiyah
itu hilang.
Dari sini riwayat abad lima putus. Hanif tak
berhasil mensajikan kitab yang jujur. Musti bekerja keras lagi. Lalu bagaimana
hujah yang lainnya? Hujah lain banyak, tapi hujah hujah kebanyakan sudah di
sampaikan penyanggah penulis lainnya dan sudah dijawab. Agaknya tujuan hanif
dengan kitab ini bukanlah untuk diuji secara ilmiyah, tapi untuk dibaca
awam.
Penulis hanya akan tanggapi hujah hanif yang akan membawa
nasab Ba Alawi bisa muttasil secara ilmiyah, jika benar logika ilmiyahnya.
Maka kita uji. Seperti tadi, Hanif katakan bahwa Ubaidili berkata, jika itu
benar, sah ba Alawi jadi cucu Nabi, karena Ubaidili adalah ulama abad ke 5,
tapi ternyata kitab yang dikutip kitab palsu. Pembaca bisa eek di internet dan
membaca kitab Al-raud Al-jali, lalu bandingkan dengan tulisan Hanif yang
menyebut itu diambil dari Al-Raud Al-jali, sama atau beda?Jelas, tulisan
Hanif ini, tercederai oleh kitab palsu, yaitu kitab Al-raud Al-Jali karya
Azzabidi cetakan 1444 H. yang berbeda isi dan kesimpulannya dengan
cetakan sebelumnya.
Mengenai kitab As-Suluk yang disinggung Kang
Zaini bahwa penulis terlewat tidak menjawab tentang kitab As-suluk pada dialog
Habib Hamid Alkadri. Padahal kitab
itu bisa menjadi mata
rantai abad kelima karena di karang ulama abad 8 yaitu Al jundi (w.732).
Sedikit bocoran, setiap kata Ba Alawi dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, itu
maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal sekarang, itu Ba Alawi
berbeda.
Abdullah yang disebut abad delapan dan Sembilan itu
bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam, beda orang dengan
Ubaidillah, tidak ada kesamaan keduanya. Dengan bocoran ini, harus dicari
dalail yang menyatakan keduanya sama. Bagi penulis, Nasab Ubaidillah bin Ahmad
ini barn resmi ditulis dalam kitab nasab pada abad 10, maka perlu
ketersambungan riwayat Ubaidillah ini dari abad 10-5 hijriah.
Wallahu A'lamu bi Haqiqatil hal. (lmaduddin Utsman Al-Bantani)
TANGGAPAN UNTUK HANIF ALATAS: RANGGINANG DARI BANTEN UNTUK HANIF
ALATAS
Hanif Alatas, membuat buku sanggahan yang kedua terhadap penulis.
Buku itu diberi judul "Bingkisan Lebaran Untuk Imaduddin Utsman: Catatan atas
jawaban Imaduddin utsman terhadap Risalah Ilmiyah M hanif Alatas ".
Pertama:
Hanif mengatakan:
"Dalam tulisannya Imaduddin mengatakan 'risalah
Hanif ini, belum dapat membantah terputusnya nasab Ba Alwi, karena didalamnya
hanya mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi
mulai dari abad sembilan' kemudian ia juga mengatakan 'ketika
ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidk ada maka semua pujian
ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam istbat nasab Ba alawi ' dst.
Pernyataan Imaduddin di atas menunjukan bahwa ia tidak betul-betul
membaca risalah ilmiyah saya. Padahal siapapun yang membaca risalah tersebut
maka akan melihat secara jelas dan gambling bahwa saya
mengutip kesaksian-kesaksian ulama dari kitab mereka
sebelum tahun 996 H... "
Pernyataan Hanif ini ada benarnya,
saya tidak terlalu serius membaca kalimat yang tidak ada kaitan dengan
ketersambungan nasab habib Ba Alawi. Kenapa? Karena memang yang ingin kita
gali adalah ittisolurriwayat nasab Habib Ba Alawi yang terputus. yang
diperlukan bagi nasab Ba Alawi ini adalah ketersambungan riwayat dari mulai
Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya nama Ubaidillah yang mempunyai
anak Alwi pada abad 10 H., Yaitu
ketika kitab Tuhfatutholib Bima 'rifati man Yantasibu Ila
Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w.
996) memuat untuk pertama kali. Sedangkan kitab kitab
yang banyak itu walaupun ditulis sebelum
996 H., tetapi tidak menyebut
nama
Ubaidillah tetapi Abdullah. Menurut penulis keduanya adalah orang yang
berbeda.
Semisal, Hanif berhujjah dengan kitab al-Suluk karya
al-Jundi (w.732), disana yang disebut bukanlah Ubaidillah, tetapi Abdullah,
dan ini akan saya ulas tersendiri untuk membuktikan bahwa nama Abdullah yang
disebut itu memang bukan Ubaidillah leluhur para habib, jadi tidak bisa
dijadikan hujjah.
Kedua Hanif menggunakan hujjah kitab al-Yafi'I
(w.768) disana ada syair tentang Ba Alwi di Hadramaut. Sekali lagi Ba Alwi
yang disebut itu bukan Ba Alwi para habib, itu Ba Alwi bani Jadid. Tidak tegas
menyebut nama Ubaid atau nama-nama keluarga habib Ba Alwi. Tidak bisa menjadi
hujjah.
Ketiga, Hanif menggunakan kitab Imam al-Rasuli (w. 778 H).
disana yang disebut adalah Abdullah, bukan Ubaidillah. Abdullah itu bukan
Ubaidillah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujah.
Keempat, Hanif
menggunakan kitab Imam al-Khozroji (w. 812). Lagi, yang disebut Abdullah.
Kitab ini tidak bisa menjadi hujjah pula.
Kelima, Hanif menggunakan
kitab al-Imam al-Ahdal (w. 855 H) kitab ini adalah ikhtisar al-suluk , akan
penulis bahas bersama al-Suluk dalam penelusuran perbedaan antara
Abdullah dan Ubaidillah. Tidak bisa menjadi hujjah pula karena namanya masih
Abdullah.
Keenam, Hanif menggunakan kitab al-Imam Abdurrahman
al-kahtib (w. 855), kitab al-Jauhar al-Syafaf, konon menyebut nama
Ubaidillah, tetapi kitabnya belum dicetak, katanya masih
manuskrip. Manuskrip ini ada di Huraidah, Yaman, di perpustakaan Ahmad
bin Hasan Al-Athos (habib Ba Alawi). Perlu diketahui a/ Jauhar
al-syafaf pula, adalah manuskrip yang terdapat di perpustakaan Malik
Abdullah bin abdul aziz Saudi, dengan nama pengarang Abdullah Ibnul Hadi.
Kitab manuskrip belum bisa dijadikan hujjah kecuali telah di publikasikan dan
bisa diverivikasi keasliannya oleh seorang muhaqqiq terpercaya.
Ketujuh,
Hanif menggunakan kitab Kadzim al-Musawi (w. 880), didalmnya yang disebut
adalah Abdullah, tidak bisa menjadi hujah karena idak menyebut nama
Ubaidillah.
Kedelapan, Hanif menggunakan kitab Imam al-Sakhowi (902
H), Ba makhramah (w. 947 H) , kitab Ibnu hajar (w. 947 H) , Yahya bin
Syarafuddin al-hasani (w. 965 H), dan al-Samarqondi ( 996 H) yang semuanya
menyebut nama Ubaidillah. Namun kitab-kitab ini bermuara kepada satu
referensi, yaitu kitab al-Burqoh al-Musyiqoh
karya Habib Ali
al-Sakran (w. 895 H.) dan tidak bisa menyambung kepada kitab yang lebih tua
yang menyebut nama Abdullah seperti kitab al-Suluk. Kenapa?
Leluhur
Habib Ali Al-Sakran, yang dikenal pada zamannya bernama Ubaid, tanpa idlofah
kepada "Allah". Hal ini diakui oleh Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya
tersebut dengan ibaroh:
"Dan demikianlah, ia disini (bernama) Ubaid
yang dikenal penduduk Hadramaut, dan ditulis dalam kitab-kitab
mereka dan berkesinambungan dalam sislsilah nasab mereka. Dan penisbatan
mereka adalah: Ubaid bin Ahmad bin Isa. " (al-Burqoh al M tsiqoh:
150)
Perhatikan, bahwa yang tertulis berkesinambungan bagi
penduduk Hadramaut, hanya sampai Isa, belum dilanjutkan kepada
Muhammad al-Naqib sebagai ayah Isa.
Untuk menyimpulkan bahwa
leluhurnya yang bernama Ubaid, tanpa pakai mudlaf ilaih "Allah", itu adalah
Abdullah, Habib Ali al-Sakran menyebutkan:
"Dan aku memahami dari
keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat
dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah
disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok
al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah
Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu ) ketika ia (al-Jundi) berkata:
sebagian
dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin M uhammad bin Jadid (Hadid, dua
riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin M uhammad bin Ali bin Ja
far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain
bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif
Abut Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di
sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan
ibadah dalam tarikat tasawwuf". (al-Burqah al-Musiqah: 150-151)
Perhatikan
kalimat "waqad fahimtu mimma taqoddama"( dan aku memahami dari yang
telah lewat itu), dilanjut kalimat "annahu Abdullah bin Ahmad
bin Isa" (bahwa Ubaid bin Ahmad bin Isa itu adalah (orang yang sama
dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan kitab sejarah karya
al-Jundi . . . .
Dari situ diketahui, bahwa yang dicatat sebelum
itu hanya Ubaid bin Ahmad bin Isa, lalu ketika Habib Ali al-Sakran
membaca kitab al-Jundi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini adalah
Abdullah.
Lalu, kenapa Abdullah menjadi Ubaid lalu Ubaidillah?
Habib Ali al-Sakran berargumen bahwa Abdullah bin Ahmad seorang yang tawadlu,
ia merasa tidak pantas bernama Abdullah (hamba Allah), maka ia
menyebut dirinya (Ubaid) hamba kecil, tanpa lafadz "Allah".
Perhatikan
ibarah di bawah ini!
"Dan sesuatu yang dzahir bagiku, bahwa
sesungguhnya Syekh Imam Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja
far, karena tawadu 'nya.. ia menganggap baikdi tasgimya (dikecilkan secara
lafadz) namanya dan dihapusnya tanda (keagungannya ), karena menganggap hina
dirinya dan mengaggap kecil susuatu yang dinisbahkan kepadanya (nasab atau
lainnya) dan melebur pengakuan dan kebiasaan nafsu, dengan mencukupkan
nama baginya Ubaid. " (al-Burqoh: 151)
Dari
keterangan di atas disimpulkan, bahwa di kalangan keluarga Ba Alawi sendiri,
nasab yang masyhur hanyalah "Ubaid bin Ahmad bin Isa", lalu ketika Habib Ali
al Sakran melihat kitab al-Suluk, yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin
Isa bin Muhammad al-Naqib, ia berkesimpulan bahwa nama itu adalah nama lain
dari Ubaid bin Ahmad bin Isa.
UBAIDILLAH DAN ABDULLAH BUKAN
SATU ORANG BERDASAR KITAB AL-SULUK
Kitab al-Suluk,
adalah salah satu andalan para Habaib untuk menisbahkah ketersambunan nasab
mereka kepada Rasulullah. Walaupun kitab ini masih
jauh dari masa wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. minimal, menurut usaha para
Habaib, kitab ini, menjadi matarantai ketersambungan, sehingga tidak putus
terlalu panjang sampai 651 tahun, terhitung dari wafatnya Ahmad sampai
ditulisnya nama merek a di kitab Tuhfat al Tholib tahun 996 H.
Para
pembela nasab para habib Ba Alawi di Indonesia
mengatakan bahwa Ubaidillah sudah dicatat pada abad delapan. Yang
demikian itu, katanya, terdapat di kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H.),
yaitu ketika ia menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad. Apakah benar
Abdullah yang disebut al-Jundi itu sosok yang sama dengan Ubaidillah leluhur
para habaib?
Menurut penulis, jika seandainya-pun benar,
bahwa Ubaidillah adalah sosok yang sama dengan Abdullah, tetap masih terputus
riwayat selama 385 tahun dihitung berdasar wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H
sampai wafatnya al-Jundi pengarang kitab al-Suluk yang wafat tahun 730.
Apalagi,
yang penulis temukan justeru menunjukan bahwa Abdullah ini sama sekali bukan
Ubaidillah. Ia orang yang berbeda.
Sebelum penulis lanjutkan, mari
kita lihat ibaroh yang ada pada kitab al-Suluk karya
al-jundi yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa. Ada beberapa
ibaroh di halaman berbeda yang menyebut tentang Abdullah dan Banu Alawi:
Ibaroh
pertama:
"Sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin
Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin
Abdullah bin Ahmad bin Isa bin M uhammad bin Ali bin Ja far al-Shadiq
bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin ( seharusnya tidak ada bin,
karena Zainal Abdin adalah laqob Ali ) bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib
karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Sy arif Abut Jadid menurut
penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal
dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat
tasawwuf". (al-Suluk, al-Maktabah al-syamilah: 21136-137)
Perhatikan!
Ketika al-jundi menyebutkan nama-nama ulama yang datang ke Taiz, ia menyebut
nama Abul Hasan Ali. Siapa Abul Hasan Ali? Disebut oleh al-Jundi, bahwa
ia dikenal dengan al-Syarif Abil Jadid bagi penduduk Yaman , asalnya dari
Hadramaut berasal dari para syarif di sana. Mereka dikenal dengan keluarga Abu
Alwi, keluarga kesalihan dan ibadah yang berjalan dalam tarikat tasawwuf .
Al-Jundi,
dalam kitabnya tersebut , menyebut silsilah Abul Hasan Ali sebagai berikut:
1.
Ali bin Abi Talib k.w.
2. Husain
3.
Ali Zainal Abidin
4. Muhammad
al-Baqir
5. Ja'far al-Shadiq
6.
Ali al-Uraidi
7. Muhammad al-Naqib
8.
Isa al-Rumi
9. Ahmad
10.
Abdullah
11. Jadid
12.
Muhammad
13. Ali
14.
Hadid
15. Ahmad
16.
Muhammad
17. Abul Hasan Ali (617 H)
Abu
Hasan Ali ini dikenal dengan nama Syarif Jadid yang berasal dari Hadramaut.
Lalu perhatikan nasab para habib Ba Alawi sampai generasi ke 17 di bawah
ini!
1. Ali bin Abi Talib k.w.
2.
Husain
3. Ali Zainal Abidin
4.
Muhammad al-Baqir
5. Ja'far
al-Shadiq
6. Ali al-Uraidi
7.
Muhammad al-Naqib
8. Isa al-Rumi
9.
Ahmad
10. Ubaidillah
11.
Alwi
12. Muhammad
13.
Ali
14. Alwi
15.
Ali khali qosam
16. Muhammad Sohib
mirbat (w.550 H)
17. Ali Waldul Faqih (w.590
H.)
18. Muhammad Faqih al-Muqoddam (653 w.
H)
Perhatikan! Abul Hasan Ali, hidup segenerasi dengan Muhammad
sohib mirbat, Ali Walidul faqih, dan Faqih al-Muqoddam. Kenapa ketika
menyebut bahwa Abul Hasan berasal dari syarif-syarif di Hadramaut,
al-Jundi tidak menyebut nama Muhammad Sohib Mirbat atau Faqih al-Muqoddam?
Padahal, al-Jundi wafat tahun 730 H., seharusnya al-Jundi mengenal Muhammad
Sohib Mirbat atau Faqih al Muqoddam, karena disebut dalam literasi para
habib, semisal Syamsu Dzahirah (h.72), bahwa Muhammad Sohib Mirbat
adalah ulama besar dan "syaikhul masyayikh al ajilla'
al- a'lam", gurunya para guru yang agung dan menjadi tokoh, juga disebut dalam
kitab yang sama ia sebagai "Imam al-a'immah", imamnya para imam. Faqih
al-Muqodam, menurut Solih bin Ali al-hamid Ba Alawi dalam kitabnya,
Tarikh Hadramaut (h.709), adalah ulama besar yang sampai tingkatan mujtahid
mutlak.
Seharusnya, dengan sebesar penyebutan itu, al-Jundi
mengenal keduanya, karena al Jundi tinggal Aden, Yaman. Yang demikian itu
misalnya, al-Jundi menyebutkan: "Syarif Abul Hasan ini berasal dari Hadramaut
dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi satu keluarga dengan
Sohib Mirbat dan Muhammad al-Faqih al-Muqodam". Tetapi al-Jundi tidak
menyebutkan demikian. Ia hanya menyebut Abul Hasan Ali.
Hanif
menyatakan bahwa al-Jundi menyebut Faqih al-Muqoddam, Ali Khali Qosam,
putra solih Muhammad bin ali bin alwi, dan sayyid Abdullah bin Alwi.
Benarkah klaim itu? Mari kita uji!
Sebelumnya, mari kit baca ibaroh
kitab al-jundi berikut ini!
"Sebagian dari mereka (tokoh Hadramaut)
adalah Abu Marwan, sebagai laqob, adapun namanya adalah Ali bin Ahmad bin
Salim bin M uhammad bin Ali. Ia seorang ahli fikih yang terbaik yang besar,
darinya meyebar luas ilmu di Hadramaut., Karena kesalihannya dan keberkahan
pengajarannya. Ia mempunyai karangan yang banyak. Ia adalah awal orang yang
bertasawuf dari keluarga Aba Alwi. Mereka (sebelumnya) dikenal dengan fikih.
Dan ketika sampai kepadanya tentang itu dan sesungguhnya ini telah bertasawuf
lalu ia menjauhinya. Dan sebagian yang telah belajar fikih kepada Abu
Marwan adalah Abu Zakaria, ia keluar ke Maqdisyu lalu
menyebarkan ilmu di sana dan di peloksoknya dengan penyebaran yang luas
dan aku tidak mengetahui seorangpun sejarah mereka. "
Dari ibaroh
ini, kita menemukan secara dzahir, bahwa Abu Marwan seabagai keluarga Ba
Alawi, dan ia merupakan orang pertama yang menjalani tarikat tasawuf. Dan nama
Abu Marwan ini tidak lazim dipakai keluarga Habib Ba Alawi. Tapi menurut
Hanif, disini, ada kalimat yang hilang, yaitu setelah kalimat "musonnafat
adidat" terdapat kalimat "Wabihi tafaqqaha Muhammad bin Ali Ba Alwi" lalu baru
dilanjutkan kalimat "wahua awwalu ... " jadi yang benar menurut Hanif,
"belajar kepadanya (Abu Manvan), (orang yang bernama) Muhammad bin
Ali Ba
Alwi (Faqih Muqoddam) . . . ". Hal itu, menurut Hanif, disyahidi oleh kitab
Husen bin Abdurrahman al-Ahdal yang bernama Tuhfatuzzaman fl Tarikhi Sadat al
Yaman. Setelah penulis mencari kitab ini, memang ada seperti yang disebut
Hanif,
ada tambahan Muhammad bin Ali. Kekurangannya, kitab ini
di tahqia oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi dari keluarga Ba Alawi
sendiri. Bukan penulis meragukan pentahqiq tanpa alasan, tetapi beberapa
pengalaman pentahqiqan yang dilakukan kalangan internal Ba Alawi, mulai dari
kitab Abna' al-Imam dan al-Raud al-jaliy, selalu ada masalah. Taruhlah
itu betul, bahwa ada nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi
apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam? Kita lanjutkan ibaroh al-Jundi
berikut!
"dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih
dahulu disebutkan sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta
orang-orang yang datang ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan,
tarekatnya dan nasabnya, diantara mereka adalah Hasanbin M uhammad bin Ali Ba
Alawi, ia seorang ahli fikih , ia menghafal kitab al-Wajiz karya Imam gazali,
ia punya paman namanya Abdurrahman bin Ali Ba Alawi. "
Dari ibaroh
ini ada nama yang disebut al-jundi merupakan keluarga Ba Alawi, yaitu Hasan
bin Muhammad bin Ali Ba Alawi. Nama Muhammad bin Ali Ba Alwi yang disebut
kembali, ia mempunyai anak bernama Hasan . Pertanyaannya , kalau Muhammad bin
Ali Ba Alwi itu al-Faqih al-Muqoddam, seperti interpretasi Hanif , apakah
al-Faqih al-muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Mari kita lihat
kitab nasab Ba Alawi Syamsu al-Dzahirah, apakah al-faqih al muqoddam
mempunyai anak bernama Hasan?
Perhatikan ibaroh di bawah ini!
hman yang wafat antara Makkah- Madinah. " (Syamsu al-Dzahirah:
78)
Jelas di sini disebutkan bahwa al-Faqih al-Muqoddam tidak punya
anak bernama Hasan. Jadi jelas pula bahwa Muhammad bin Ali yang disebut
al-Jundi itu bukan al Faqih al-Muqoddam .
Penguat kedua bahwa
Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam adalah
kalimat "Ia (Hasan bin Muhammad) mempunyai paman bemama
Abdurrahman bin Ali . . ." pertanyaanya, apakah Ali ayah al Faqih al Muqoddam
mempunyai anak bernama Abdurrahman? Mari kita lihat kitab Syamsu al-dzahirah
dengan ibaroh di bawah ini!
"ia (Syekh Ali bin Muhammad
sahib Mirbath) mempunyai anak satu, yaitu syekh Imam
Muhammad yang masyhur dengan
(nama) al-Faqih al-Muqoddam ..
(Syamsu
al-dzahirah: 77)
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa
Ali (ayah al-Faqih al Muqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan yang
disebut al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas bukan anak al-Faqih
al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba Alwi.
"dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak ibadahnya, agung
pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika membaca tasyahhud, ketika ia membaca
'assalamualaika ayyuhannabiyyu ', ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan
kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut ?), (ia menjawab): 'aku
melakukannya sampai Nabi s.a.w. menjawabnya ', maka banyak sekali ia
mengulang-ulang itu. Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu
Solah, ia punya paman namanya Ali bin Ba Alwi, sebagian rincian keluarga Aba
Alwi adalah Ahmad bin Muhammad, ia seorang ahli fikih yang utama, ia wafat
kira-kira tahun 724 H; dan Abdullah bin Ba Alwi, ia masih hidup sampai
sekarang, ia bagus ibadahnya dan menjalani tasawuf ".
Benarkah
nama-nama ini seperti yang disebutkan Hanif, merupakan keluarga habib Ba Alwi.
Mari kita lihat satu persatu.
Pertama, Alwi bin Ba Alwi, sangat
banyak keluarga Habib Ba Alwi yang bernama Alwi, sementara bin Ba Alwi tidak
menunjukan ayah, tetapi menunjukan kabilah . Jadi sulit untuk menelusuri siapa
dia. Tetapi Hanif , menyatakan bahwa maksudnya
itu
adalah Ali Khali Qosam, dan penyebutan bin Ba Alwi itu maksudnya adalah bin
Alwi tanpa Ba. Lagi-lagi, Hanif bersyahid kitab Tarikh al-Ahdal yang di tahqiq
Ba Alawi sendiri. Tapi mari kita coba telusuri dengan
kalimat-kalimat berikutnya. Disitu dikatakan bahwa, Ali bin Ba Alwi ini
punya anak paman bernama Ali juga. Berarti jika dia adalah Ali Khali qosam,
maka kita telusuri apakah ayah Ali Khali qosam ini punya adik yang mempunyai
anak bernama Ali, sehingga Ali inilah yang disebut anak paman Ali Kali Qosam.
Mari kita lihat kitab Syamsu al-Dzahirah!
"Alawi ini mempunyai dua
putra: salim tidak punya keturunan dan Ali yang dikenal dengan Khali ' Qosam
". (Syamsu al-Dzahirah: 70)
Jelas, nama Ali bin Ba Alwi itu bukan
Ali Khali Qosam, karena Ali Khali qosam pamannya tidak punya anak, bagaimana
ia punya anak paman (sepupu) jika pamannya tidak punya anak. Jadi klaim
hanif bahwa keluarga Habin Ba Alwi disebut ditarikh al-Jundi itu
terbantahkan. Begitu pula klaim Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya al-Burqoh
al-Musyiqoh, yang menyatakan bahwa leluhurnya Ubaid bin Ahmad itu adalah sama
dengan Abdullah bin Ahmad dengan berhujjah dari apa yang disebut oleh al-Jundi
itu menjadi terbantahkan pula. Maka dari sini, nasab Habib
Ba Alawi sangat sulit untuk bisa disambungkan dengan nasab Nabi
Muhammad s.a.w. karena dalil mereka adalah hanya asumsi kerniripan nama antara
Ubaid bin ahmad dan Abdullah bin Ahmad.
Lalu siapa Abu Alwi yang
dimaksud itu? Abu Alwi yang dimaksud itu hanyalah keturunan Jadid bin
Abdullah.
Kedua,Hanif mengatakan:
"Sebetulnya, yang
menjadi salah satu focus utama saya dalam risalah adalah mengungkap adanya
kesalahan mendasar dalam metode penelitian Imaduddin dalam hal ini
yaitu syarat 'harus adanya kitab yang ditulis di zaman Ahmad bin Isa atau
mendekatinya .. '"
Sebenarnya sarat itu sarat standar dalam metode
penelitian tokoh sejarah. Harus ada kitab sezaman (primer) atau yang
mendekatinya (sekunder). Artinya kitab yang ditemukan terdekat yang tidak
dibantah oleh kitab terdekat lainnya yang lebih tua. Ketika kitab tahun 606 H.
menyatakan bahwa Ahmad hanya mempunyai anak tiga,
lalu
ada kitab abad 8 menyatakan tambah satu, maka kitab abad ke
dealapan ini tertolak. Kecuali jika tidak ada bantahan kitab lainnya di antara
rentang masa Ahmad bin Isa dengan kitab abad delapan itu. Inilah sanad.
Jika sebuah periwayatan tanpa sanad maka intisari ajaran Islam ini akan
semrawut. Nasab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. memiliki konsekwensi keagamaan
, semisal bab zakat, khumus dsb.
Hanif mengkritik, kenapa penulis
ketika mencari dalil dari Ali al-Uraidi sampai Ali Zainal Abidin hanya
menggunakan sebuah sanad hadits riwayat Turmudzi?
Seperti para ahli
ilmu mengetahui, bahwa para muhaddits seperti Turmudzi dll, memiliki keketatan
tersendiri dalam meriwayatkan hadits , lebih dari keketatan para ahli nasab.
Dan, masa itu, nasab Ali Zainal Abdin sampai Ali
al-Uraidi masih sangat masyhur, dan telah menjadi "syuhrah wal
istifadah" baik dikalangan ahli ilmu maupun awam. akan kecil
kemungkinan urutan sanad riwayat yang menyebut nama-nama masyhur seperti
mereka salah.
Ketiga, Hanif menyatakan bahwa nasab Abdullah sebagai
anak Ahmad telah disebutkan oleh al-Ubaidili (w. 435 H), demikian itu terdapat
dalam kitab al-Raudl al-Jaliy karya Az-Zabidi (w. 1205). Penulis telah menulis
tentang ini dan jelas ada dua kitab cetakan yang berbeda isi. Penulis tidak
akan membahas panjang lagi tentang kitab ini, karena telah tercederai
oleh riwayat yang saling bertentangan. Dalam bab air, jika ada dua
wadah, yang satu berisi air dan yang satu berisi air kencing, kemudian
keduanya iltibas (tertukar) maka keduanya tidak boleh kita gunakan untuk wudu.
Keduanya hams dibuang lalu kita tayammum. Ditambah, yang
diriwayatkan al-Zabidi itu nama Abdullah, bukan Ubaidillah. Jelas tidak
mempengaruhi apapun, seperti yang telah penulis jelaskan Abdullah tidak sama
dengan Ubaidillah.
Keempat, Hanif menyatakan tentang kitab
al-Suluk. Telah penulis jelaskan bantahannya di atas.
Kelima, Hanif
mengutip pendapat penulis tentang yang tidak boleh menerima zakat dalam kitab
penulis al-Fikrah al-Nahdliyyah. Di dalam kitab tersebut memang penulis
menyebutkan bahwa sebagian dari Bani hasyim adalah Ba Alawi dengan silsilah
yang sama dengan nasab habib itu, karena memang pengetahuan penulis
waktu menulis kitab (tahun 2017) itu demikian. Seakan-akan
Hanif ingin mengatakan bahwa penulis tidak konsisten dalam pendapat.
Perlu diketahui, perebedaan pendapat seorang ulamadalam kitab-kitabnya yang
berbeda-beda itu sudah biasa . Tinggal dilihat titimangsanya. Kitab yang
terakhir itulah yang menjadi pegangan jika ada pendapat yang
bertentangan. Dan pendapat penulis tentang nasab
Ba Alawi itu
telah pnulis anulir dalam kitab penulis yang lain, yaitu kitab al-Bayan
al-Dzahabi, dan kitab al muktafi, syarah Nihayatuzzain juz 1. (imaduddin
Utsman al-Bantani)
MENANGGAPI HABIB ALI ZAINAL ABIDIN KETUA NAQOBATUL ASYROF RABITAH
ALAWIYAH DAN SYEKH MAHDI ARROJA'I
Habib Ali Zainal Abdidin Assegaf , ketua Naqobatul Asyrof
al-Kubro (selanjutnya disebut ketua NA) yang merupakan lembaga
pemeliharaan nasab di bawah Rabitah Alawiyah, membuat sebuah video
tentang ketersambungan nasab Ba Alawi kepada Ahmad bin Isa. Video tersebut di
unggah oleh Sikam TV pada 10 Mei 2023 dengan judul "Ketua Naqobatul Asyrof Al
Qubro Angkat Bicara.!! AlHabib Zainal Abidin Assegaf. "
Selain itu,
telah sampai kepada penulis, selembar kertas yang berisi pendapat seorang
pakar nasab yang bernama Syekh Mahdi al-Roj'ai, yang menyatakan bahwa nasab Ba
Alawi telah mashur sebagai keturunan Ahmad al-Muhajir.
Pertama
penulis akan menanggapi tentang video ketua NA.
Yang disampaikan
ketua NA tersebut relative sama dengan yang disebut Habib
Hanif Alatas. Namun ada beberapa hal yang dapat penulis tanggapi,
diantaranya:
Ketua NA menyatakan, bahwa penulisan nasab Ba Alawi
sudah berlangsung sejak masa Syekh Salim bin Basri (w. 604). Syekh Salim bin
Basri, menurut ketua NA, adalah Salim bin Basri bin Abdullah bin Basri bin
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, dari internal keluarga Ba Alawi. Menurut ketua
NA, Syekh Salim bin Basri, menulis sebuat kitab nasab bemama "Asyajarah
al-Kubro" . jika pada masa itu betul dari keluarga Alawi sudah ada seorang
ulama yang sekaligus seorang nassabah (ahli nasab) yang menulis kitab
nasab, maka, seharusnya, semakin mudahlah bagi bagi ulama nasab lain untuk
mendeteksi keluarga Alawi untuk dicatat dikitab nasab mereka .
Namun
nyatanya , pada masa abad ke 6 dan 7 hijriyah tersebut, nasab
keluarga Alawi tidak tercatat dalam kitab-kitab nasab yang mencatat
keturunan Nabi Muhammad s.a.w. dan nama Syekh Salim bin Bashri,
adalah nama yang majhul (tidak dikenal) dalam kalangan ulama nasab pada
masa itu. Kitab Tabaqat al Nassabin, yaitu kitab-kitab yang memuat para ahli
nasab sepanjang zaman, karya Bakar Abu Zaid, pun tidak menyebut nama Syekh
Salim bin Bashri sebagai salah seorang ahli nasab yang mempunyai kitab.
Lalu,
dari mana kita dapat mengkomfirmasi bahwa benar Syekh Salim bin Bashri
ini pemah menulis sebuah kitab berjudul "Asyajarah al-Kubro"? penulis
meyakini, berdasarkan data-data ilmiyah, bahwa pensibatan keluarga Alawi
kepada Nabi Muhammad s.a.w. dimulai sejak Habib Ali al-Sakran (w.895) menulis
kitab al Burqot al musyiqoh. jika betul Syekh Salim bin Bashri ini
menulis kitab pada tahun
590 H., seperti yang disebutkan ketua NA, kenapa
Habib Ali al-Sakran tidak menyebutkannya? Mengapa justru yang dijadikan
rujukan Habib Ali al-Sakran adalah kitab al-Jundi (w.730 H.)? yaitu
ketika ia berkesimpulan bahwa Ubaid, leluhurnya itu, adalah orang yang sama
dengan Abdullah bin ahmad bin Isa.
Di dalam kitab al-Burqoh halaman
135, Habib Ali al-Sakran menyebut nama Salim bin Bashri, tetapi ia tidak
menyebutkan bahwa Salim bin Bashri mempunyai kitab nasab. Padahal disebutkan
oleh ketua NA, bahwa pendiri Naqobatul Asyrof al Kubro adalah Habib
Umar Muhdor (w. 833 H) lalu dilanjutkan oleh Habib Ali al Sakran. Sesuatu hal
yang aneh jika Habib Ali al-Sakran sebagai Naqobatul Asyraf pada zamannya
tidak mengetahui kitab "Asyajarah al-Kubro", tetapi ketua NA sekarang
mengetahuinya. Padahal jaraknya sudah 854 tahun sejak ditulis
tahun 590
H. Kemana saja kitab itu selama itu?
Penentuan usia
manuskrip dalam penelitian filologi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
evidensi internal dan evidensi eksternal. Evidensi internal
adalah penentuan usia naskah berdasarkan keterangan yang terdapat di
dalam naskah yang diteliti. Keterangan itu terdapat dalam manggala (keterangan
di awal karya) dan kolofon (keterangan di akhir karya). Cara tersebut
digunakan untuk menentukan saat paling awal karya itu ditulis.
Evidensi
eksternal adalah penentuan usia naskah berdasarkan data yang yang terdapat di
luar naskah. Penentuan ini menggunakan 3 cara, yaitu penyebutan nama karya
pada karya lain, prasasti dan pembandingan penggunaan bahasa pada karya yang
diperkirakan sezaman. Para filolog juga menggunakan metode watermarks dalam
menentukan usia sebuah manuskrip. Yaitu dengan melihat jenis kertas yang
digunakan.Sebuah manuskrip, memang bisa direkayasa, tetapi ilmuan punya
cara untuk meneliti keasliannya dengan metodologi ilmiyah.
MENJAWAB SYEKH MAHDI ARROJA'I
Para pendukung nasab Ba Alawi, nampaknya, meminta bantuan Syekh
Mahdi Arroja'I untuk memperkuat dalil ketersambungan nasab mereka.
Dengan selembar surat yang ditandatanganinya, Syekh Mahdi Arroja'I menyatakan
bahwa nasab Ba Alawi telah masyhur sebagai keturunan Ahmad al-Muhajir. Surat
itu ditandatangani pada 15 Romadon 1444 H. beberapa hari yang lalu.
Penetapan
yang tanpa dalil sama saja bukan penetapan, hanya pendapat yang layak
diabaikan. Yang kita butuhkan adalah dalil, bukan pendapat
pribadi. Karena jika ada sebuah dalil yang kuat maka semua orang akan
berkesimpulan yang sama. Jika tidak ada dalil, maka pendapat itu pendapat yang
bisa dipengaruhi hal-hal lain, dan setiap orang bisa berbeda tergantung hal
yang mempengaruhinya itu.
Sebenamya, meminta Syekh Mahdi Arroja'I
untuk membuat surat khusus bahwa nasab Ba Alawi diakui tidak diperlukan,
karena memang beliau dalam kitabnya sudah mengakui nasab Ba
Alawi walau tanpa dasar yang jelas. jadi seharusnya, pembela nasab Ba Alawi
tinggal tunjukan kitab itu, bahwa Syekh Mahdi Arroja'I, ulama dari Iran,
menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, tidak mesti harus meminta beliau
membuat surat pemyataan khusus.
Lihat dalam kitabnya, al-Mu 'qibun
min Ali Abi Talib Alaihissalam, juz 2 hal 419, ia menyebut anak Ahmad
bin Isa berjumlah empat, Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah. Pertanyaannya,
darimana beliau menukil bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah?
Jika dari kitab, lalu kitabnya kitab apa? Jika dari selain kitab, lalu
alasannya apa? Beliau tidak menjelaskan secara rinci. Beliau hanya menyebutkan
bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah empat: Muhammad, Ali, Husain dan
Ubaidillah, tanpa menyebutkan referensinya.
Ada ungkapan
menyatakan:
"Kami adalah "ashabuddalil" (orang yang berpatokan
kepada dalil), kemana saja dalil menuju disitu kami menuju"
Sementara,
apa yang disebut syekh Mahdi Arroja'I tidak punya
dalil, maka pendapat itu pendapat yang tertolak, karena belum bisa
menyambung keterputusan nasab Ba Alawi tersebut selama 550 tahun. Namun,
penyebutan Syekh Mahdi arroja'I bahwa Ubaidillah sebagai anak ahmad
mempunyai hikmah, Yaitu, hilangnya keraguan akan keabsahan kitab
"Asyajarah al-Mubarokah", kenapa? Karena, kitab tersebut ditahqiq
oleh Syekh Mahdi Arroja'I.
sebelumnya, pentahqiqan kitab itu
dipermasalahkan. Dianggap penisbatan Imam al Fakhruroji sebagai pengarang
kitab tersebut hanya ulah oknum pentahqiq yang berideologi syi'ah yang
membenci keluarga Ba Alawi yang sunni. Hal demikian tidak
terbukti, karena, walau kitab yang ditahqiqnya, yaitu al-syajarah al
Mubarokah tidak menyebut Abdullah atau Ubaidillah sebagai anak Ahmad, syekh
Mahdi arroja'I, dalam kitabnya sendiri menyebut Ubaidillah sebagai anak
Ahmad.
Hal tersebut menunjukan, kejujuran ilmiyah pentahqiq
kitab al-syajarah al Mubarokah dan kekuatannya untuk dijadikan pegangan para
pemerhati nasab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. adapun penyebutan
Syekh Mahdi Arrojai terhadap Ubaidillah sebagai anak Ahmad,
menurut penulis, mungkin, karena beliau menukil dari kitab nasab Tuhaftuttolib
atau kitab al-Burqoh. Yang keduanya tidak mempunyai ketersambungan
dengan kitab-kitab sebelumnya.
(ditulis oleh: Imaduddin Utsman
al-Bantani)
MENJAWAB TENTANG BAHWA NASAB HABIB SUDAH DISEBUT PARA ULAMA BESAR
Para habaib sering mengungkapkan narasi bahwa, nasab para habib
Ba Alawi sudah terang benderang bagaikan matahari di sianghari. Jika di siang
hari, dalam keadaan matahari terang benderang, ada orang yang tidak bisa
melihat, maka hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak ia buta, maka ia sedang
sakit mata.
Bagi penulis, nasab para habib Ba Alawi, bagaikan gurun
sahara di malam likuran, tiada bulan tiada bintang. Jika ada yang
menyatakan ia terang benderang, maka hanya ada dua kemungkinan,
kalau ia tidak sedang bermimipi melihat matahari, maka ia bagaikan
katak dalam tempurung yang diletakan didalamnya lampu 150 watt.
Nasab
Ba Alawi terputus periwayatannya selama 550 tahun. Itu
fakta. Artinya, sejak Ahmad bin Isa wafat, baru setelah 550 tahun, ada
penyebutan, bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Ulama-ulama
nasab sebelumnya tidak ada yang menyebut nama Ubaidillah sebagai anak
Ahmad.
Penyebutan Ubadillah sebagai anak Ahmad setelah 550 tahun
itu-pun, setelah diteliti, ternyata bermasalah, karena nama Ubaidillah disebut
sebagai anak Ahmad bin Isa, dapat dikatakan, hanya ditulis oleh keluarga dan
orang yang ada kaitan dengan Ba Alawi saja, baik kolega maupun
murid.
Di bawah ini, penulis tunjukan beberapa contoh, ulama-ulama
yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yang mereka mempunyai
hubungan emosional dengan Klan Ba Alawi.
HABIB ALI AL SAKRAN
Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, pertama ditulis oleh
Habib Ali al sakran (w.895 H.). ia adalah
keturunan langsung dari Ubaidillah.
Silsilah lengkapnya
adalah Ali bin Abubakar bin
Abudurrahman bin Muhammad Mauladawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad
Faqih Muqoddam bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbat bin Ali Khali Qisam bin Alwi
bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah. Habib Ali al-Sakran, berasumsi bahwa
nama Abdullah bin Ahmad, yang disebut dalam kitab al-jundi (w. 730 H.), adalah
nama yang sama dengan leluhurnya yang bernama Ubaid bin
Ahmad.
SYAIKH YUSUF AN-NABHAN!
Salah seorang yang
menyebut nasab Ba Alawi adalah Syaikh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H). ia bukan
keluarga Ba Alawi. penyebutan oleh An-Nabhani ini, banyak dinukil oleh pembela
nasab Ba Alawi sebagai salah satu hujjah ketersambungan
nasab Ba Alawi. ia sufi yang juga seorang qodli.
Dalam
kitabnya, Riyadul jannah fi Adzkaril Qur'an wassunnah, ia memuji nasab Ba
Alawi. Yang harus dicari tahu adalah, Kenapa ia memuji? Apakah ia
memuji setelah melakukan penelitian dan pengkajian yang detail tentang nasab
Ba Alawi, atau karena hal lain? Missal, karena ia punya guru, teman
atau kolega dari Ba Alawi.
Setelah penulis
telaah, ternyata ia memuji nasab Ba Alawi, bukan karena ia telah meneliti
nasab tersebut, tetapi karena ia bergaul dengan sebagian mereka
yang penuh akhlak mulia. Selain itu, ia menemukan dari kitab-kitab
karya Ba Alawi yang, menurutnya, penuh dengan "huda" (petunjuk).
Disamping itu, ia saling berkirim surat dengan mereka dan mendapat
balasan dengan bahasa yang penuh kelembutan dan ketawadu'an. Jadi ia memuji
nasab Ba Alawi, bukan karena penelitiannya, tetapi dari hal lain selain
itu.
Dapat ditambahkan pula, bahwa ia mendapatkan banyak referensi
untuk kitab yang ditulisnya tersebut, dari koleganya yang seorang ulama Ba
Alawi, ia bernama Habib Zainal Abdidin Jamalullail. Habib tersebut meminj
amkan dua buah kitab karya kakeknya yang berjudul "Rahatul Anvah bi Dzikril
Fattah" dan hasyiyahnya.
Jika Syaikh Yusuf an-Nabhani,
berkesimpulan bahwa nasab Ba Alawi adalah sahih dilihat dari akhlak para Ba
Alawi yang baik, maka demikian pula sebaliknya, tidak bisa disalahkan, jika
ada orang yang menyatakan nasab Ba Alawi batil karena ia berjumpa dengan
kalangan Ba Alawi yang akhlaknya tidak baik, walau tanpa penelitian.
Maka
penulis berkesimpulan, yang dinyatakan oleh Syekh Yusuf an-Nabhani
tentang sahihnya nasab Ba Alawi tersebut, termasuk dalam bab husnuzhon saja.
Kepada yang ada waktu untuk menelaah, silahkan menelaah kitab syaikh Yusuf an
Nabhani, Riyadul jannah fi Adzkaril Qur'an wassunnah, halaman 23 samapai 24.
Ditambah, dalam biografinya, ia disebut mempunyai dua guru dari klan Ba Alawi,
yaitu Habib Ahmad bin Hasan Alatas dan Habib Hasan bin Muhammad Alhabsyi.
IBNU HAJAR AL-HAITAMI
Ibnu Hajar al-haitami dikatakan menyebut silsilah Ba Alawi
sampai kepada Rasulullah, benarkah? Dalam kitabnya "Tsabat Ibnu Hajar
al-haitami", Ibnu hajar menyebutkan sanad "lubsul khirqoh", yaitu tanda ijajah
dalam tarikat dengan menyematkan semacam kain kepada seorang murid.
Ibnu
Hajar al-haitami menjelaskan, bahwa salah satu sanad dalam lubsul khirqoh yang
dimilikinya adalah dari Imam Abu Bakar Al-Idrus. Di mana sanad itu bertaut
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaili (al-jailani), al-Rifai, al-Suhrawardi dll.
Di dalam kitab itu pula Ibnu Hajar mengutip perkataan Abu Bakar
al-Idrus, bahwa ia memiliki sanad lubsul khirqah yang menyambung
kepada rasul melalui ayahnya terns ke kakeknya sampai kepada
Rasul. (Lihat kitab al-tsabat Ibnu Hajra al-haitami halaman 212 sampai
213).
Jadi bukan Ibnu Hajar menetapkan bahwa nasab Ba Alawi
tersambung ke Nabi Muhammad s.a.w. tetapi ia hanya mengutip ucapan Syaikh Abu
Bakar al-Idrus.
MURTADLO AZZAIBIDI
Salah
satu andalan pembela nasab Ba Alawi adalah kitab Arraudul Jali yang dikarang
oleh Syaikh Murtado Azzabidi. Dikatakan bahwa, seorang ulama besar,
pengarang kitab syarah Ihya Ulumuddin telah menetapkan nasab Ba Alawi
tersambung kepada Nabi Muhammad s..a.w. benarkah?
Syekh
Murtado Azzabidi, mengarang kitab Arraudul Jali atas perintah gurunya yang
bernama Habib Mustofa bin Abdurrahman Alidrus. (lihat Arraudul Jali halaman
13) Ketika ia diperintahkan itu ia masih berumur duapuluh tahun (lihat halaman
12).
Dikatakan oleh Muhaqqiq, syaikh Arif Abdul ghani, bahwa ketika
itu Habib Alidrus tersebut datang menemui Azzabidi di Toif tahun 1166 H. dan
tinggal di sana selama enam bulan. (lihat halaman 16). Dari situ, kita dapat
menyimpulkan bahwa, penulisan nasab itu sejatinya adalah pesanan gurunya, dan
bahan-bahan penulisan tentang Ba Alawi-pun, kemungkinan besar, berasal dari
riwayat gurunya tersebut. Jadi, hujjah bahwa seorang
ulama besar yang bernama Azzabidi mengesahkan
nasab
Ba Alawi pun menjadi rancu, apakah benar bahwa Azzabidi menulis sesuai
keilmuannya pada saat itu, atau sesuai data yang disiapkan gurunya
tersebut?
SYAIKH MAHDI ARROJA'I
Syaikh Mahdi
Arroja'I, ulama kontemporer, adalah salah satu ulama yang menulis nama
Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Dalam kitabnya "al-Mu 'qibun" ia
menulis bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah empat orang: Muhammad, Ali,
Husain dan Ubaidillah. Bahkan, beberapa hari lalu, ia sampai
mengirimkan selembar surat yang menyatakan nasab Ba Alawi
tersambung kepada Ahmad bin Isa. Siapa beliau?
Beliau
adalah ulama nasab yang bekerja di Yayasan Nasab yang
didirikan oleh Syekh Al-Mar'asyi al-Najafi (w. 1411 H.). penulis
meneliti dari mana ia mencantumkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
Karena dalam kitabnya, al-Mu 'qibun, ia tidak menjelaskan darimana
pengambilannya.
Setelah penulis teliti, maka penulis mendapatkan
titik terang, bahwa Syekh Mahdi Arroja'l mendapatkan nama Ubaidillah ini dari
catatan Syekh Al-mar'asyi sendiri, yaitu pendiri yayasan di mana ia bekerja.
Catatan itu terdapat dalam footnote kitab "Tahdzibu Hada'iqil Albab" karya
al-Amili (w. 1138 H.) yang ditahqiq oleh Syekh Mahdi Arroja'i. dalam kitab
kitab itu, nama Ahmad disebut tidak mempunyai anak bemama Ubaidillah, namun
pentahqiq, Syekh Mahdi Arroja'I, membuat footnote bahwa Syekh
al-mar'asyi mencatat bahwa Ahmad mempunyai anak bemama Ubaidillah. Lalu siapa
Syekh Al-Mar'asyi?
Syekh Al-Mar'asyi, nama lengkapnya adalah Syaikh
Syihabuddin al-Mar'asyi al Najafi. Ia adalah murid seorang habib keturunan Ba
Alawi yang bernama Habib Muhammad Aqil al-Alawi al-Hadrami (w. 1350 H.)
pengarang kitab al-Atbul Jamil. (lihat kitab Tahdzib halaman 278).
Ini
adalah beberapa contoh, di mana ulama-ulama yang mencantumkan Ubaidillah
sebagai anak Ahmad, selalu ada hubungan emosional dengan klan Ba Alawi.
Sebelum
penulis akhiri artikel ini, ada hal yang ingin penulis sampaikan, terkait
pernyataan sebagian kalangan, bahwa signifikansi konfirmasi kitab nasab
sezaman tidak diperlukan. Dan persyaratan konfirmasi kitab sezaman, yang
penulis tulis dalam buku menakar, menyalahi para ahli nasab. Penulis
akan menukil ucapan seorang ahli nasab yang masih hidup dari Hijaz, ia adalah
Sayyid Ibrahim bin mansur. Dalam kitabnya, al-Ifadloh, ia
menyatakan:
"Adapun dalil-dalil bahwa pengakuan orang-orang belakangan dari kaum
tabariyyah kepada nasab al-Husaini al-Alawi, itu adalah (pengakuan )
baru yang tidak mempunyai dasar, (adalah karena) kitab-kitab tarikh yang tua
tidak menyambungkan nasab kaum Tabariyah kepada nasab al-Husaini al-Alawi. "
(al Ifadloh: 56)
Perhatikan, Sayyid Ibrahim bin Mansur yang
menyatakan nasab kaum Tabariyah di Makkah tidak tersambung dengan nasab
al-Husaini, ia menyimpulkannya berdasarkan kitab-kitab tua yang
menyatakan bahwa nasab kaum Tabariyah ini terputus. Padahal kaum tabariyah
dikenal pada abad 14 sebagai keturunan Nabi yang derajat
kemasyhurannya sudah istifadlah, bahkan sebagian ulama, rnisalnya
Qodi Ja'far li bani Makkiy, menyatakan ia telah qot'I sebagai keturunan Nabi
Muhammad s.a.w. (lihat kitab al-Hadits syujun halaman 94), tetapi,
ketika diteliti, ternyata kemasyhuran pada masa sekarang, tidak menjarnin
ketersambungan nasab ini, berdasarkan kesaksian kitab-kitab tua. Bahkan Kaum
tabariyyin ini disimpulkan barn mengaku sebagai keturunan Nabi pada abad
kesembilan. Sementara pada abad 5,6,7,8 nasab ini majhul. Sama
peristiwanya seperti nasab Ba Alawi.
(penulis: Imaduddin
Utsman al-Bantani)
MENJAWAB MUHAMMAD LUDFI ROCHMAN TENTANG TERPUTUSNY A NASAB
HABIB
Tesis penulis tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman
kepada Rasulullah mendapat antitesis dari Muhammad Ludfi Rocman (MLR) kiai
asal Purwerejo Jawa tengah. Antithesis beliau termuat dalam dua tulisan.
Tulisan pertama dengan judul "MELURUSKAN IMAMUDDIN UTSMAN YANG MENGINGKARI
NASAB HABAIB INDONESIA" dimuat dalam media online Faktakini.info pada Jumat, 7
April 2023; tulisan kedua dengan judul "Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang
Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah Bin Ahmad" dimuat pada Sabtu, 8 April di media
yang sama.
Di antara point-point yang akan penulis tanggapi dari
tulisan beliau yang termuat dalam dua judul tulisan tersebut adalah:
Pertama,
MLR menulis "Ada seorang yang katanya kyai membuat
tulisan yang pada intinya beliau mengingkari nasab habaib terutama di
Indonesia yang sudah disahkan oleh lembaga nasab yang berkompeten dalam hal
ini adalah Rabithoh Alawiyah. " Penulis menjawab: penulis tidak mengingkari
nasab habib sampai kepada Alawi bin Ubaidillah, yang penulis yakini
secara ilrniyah adalah mereka bukan sebagai keturunan
Rasulullah karena Ubaidillah yang mereka sebut sebagai anak Ahmad bin Isa,
tidak tekonfirmasi dalam kitab-kitab nasab sezaman dengan mereka .
Kedua,
MLR menulis "Beliau mengambil kesimpulan ini hanya dari satu kitab
nasab saja yang ditulis oleh Syekh Fahruddin Ar Rozi y aitu Kitab
Sajaroh Al Mubarokah. " Penulis menjawab: Referensi penulis
dalam menyimpulkan terputusnya nasab para habib Ba Alawi tidak hanya
berdasar satu kitab saja melainkan 9 kitab nasab yang akan penulis uraikan
rinci di bawah.
Ketiga, MLR menulis "Untuk sekedar diketahui bahwa
Sayid Ahmad Bin Isa mempunyai gelar Al Muhajir karena beliau hijrah (ke
Hadramaut) ". Penulis menjawab: tidak ada kitab-kitab nasab mu 'tabar yang
menyebutkan bahwa Sayid Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut, maka tidak ada
gelar Al-Muhajir bagi Ahmad bin Isa. Berita ia pindah dan ia bergelar
Al-Muhajir berbarengan dengan munculnya nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin
Isa, yaitu mulai abad 9 Hijriah, sama dengan 535 tahun sejak wafatnya Ahmad
bin Isa, sebelumnya tidak ada. Muncul untuk pertama kali dalam kitab An-Nafhah
al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w.
880).
Keempat, MLR menulis "sebagai seorang
pendatang bisa saja beliau (Ahmad bin Isa) menikah lagi
dengan wanita yang tentu saja tidak Cuma satu ". Penulis menjawab : tidak ada
berita ia pindah ke Hadramaut, makan tidak ada berita ia menikah lagi dan
mempunyai anak bernama Ubaidillah .
Kelima , MLR menulis: "kitab Ar
Razijuga tidak pernah mengingkari bahwa Sayid Ahmad Bin Isa punya putra
bernama Sayid Ubaidillah. Ar Razi hanya menyebutkan 3 putra dari Sayid Ahmad
dan tidak ada pengingkaran dari Ar Razi kalau Sayid Ahmad punya anak yang
lain. " Penulis menjawab: kalimat Ar-razi yang menerangkan bahwa anak Ahmad
bin Isa tiga menggunakan ')umlah ismiyah" yang menunjukan ta'kid (kuat), "Anak
ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad , Ali dan Husain" kalimat itu jelas dan
tegas, bukan dua dan bukan empat. Berbeda jika ada kalimat yang
menunjukan sebagian seperti: "diantara anak Ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad ,
Ali dan Husain" kalimat semacam ini memungkinkan masuknya nama lain.
Keenam,
MLR menyatakan ada kitab yang menerangkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak
bernama Ubaidillah, yaitu kitab Syarhul Ainiyyah karangan Habib Ahmad bin Zen
al-Habsyi. Penulis menjawab: kitab Syarhul Ainiyyah adalah kitab yang dikarang
abad 12 hijriah, sedangkan Ubaidillah wafat pada tahun 383 h. bagaimana bisa
kitab yang ada di abad 12 H bisa menjadi saksi keberadaan orang yang hidup di
abad 4 h. dalam ilmu hadis, begitupula nasab, dibutuhkan yang namanya
ittisolurriwayat (ketersambungan riwayat), tidak boleh suatu
zaman berbeda dengan zaman sebelumnya dalam suatu riwayat. Pertanyaannya, dari
mana kitab syarhul ainiyah mengambil referensi bahwa Ahmad bin Isa punya anak
bernama Ubaidillah? Tidak disebutkan sumbernya apa. Karena memang tidak ada
kitab yang sezaman dengan ubaidillah menyebutkan ia keturunan Nabi
Muhammad
s.a.w. atau ia anak dari Ahmad bin Isa.
Ketujuh, MLR
menulis "Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah
Bin Ahmad". Penulis menjawab: pernyataan ini tidak dibarengi
dalil sedikitpun, karena kitab-kitab yang disebutkan kemudian
adalah kitab kitab abad 10 h ke atas.
Kedelapan, Beliau
menulis bahwa Imam Sakhowi dalam kitab Ad-dlauillami' menyebut nama ubaidillah
sebagai anak Ahmad bin Isa. Penulis menjawab: Imam Sakhowi hidup abad ke 10 H.
ia wafat tahun 902 H. dalam kaidahnya: kitab abad sepuluh harus sama dalam
periwayatan sejarah dan nasab dengan kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia
boleh berbeda dengan abad sebelumnya, tapi riwayat tentang sejarah dan nasab,
harus ada referensi kitab sebelumnya tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa
sanad itu tertolak secara ilmiyah. Sedangkan kitab abad 5-9 H
menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah.
Kesembilan,
Beliau menulis bahwa Ibnu Hajar al-haitami dalam kitab mu 'jam,
Imam Abu Salim Al Maghrib dalam kitab Bahjatul Mafakhir fii Ma'rifatin Nasab
Ali Alfakhir, Imam Ibnu 'Imad Asy Syafi'I dalam Syadzaratudzahab, Imam
Abdurrahman Bin Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Jauharus Syafaf fii Fadhoili
wa Manakibi Assadah Al Asyrof, menurut beliau semuanya ulama ini menyebutkan
bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Penulis menjawab: Ibnu
Hajar wafat tahun 974 H., Imam Abu salim al Magribi tidak punya kitab yang
bernama Bahjatul mafakhir, kitabnya bernama Ar-rihlah al-Iyasyiah, ia wafat
tahun 1090 H., Ibnu imad yang beliau sebut bermadzhab syafi'I itu salah,
sehamsnya ia bennadzhab hambal i . Tbnu Tmad yang bennadzhab syafi 'T tidak
mempunyai kitab syadzaratudzahab. Ibnu Imad al-hambali ulama abad 11 H.
ia wafat 1089 H, Imam Al-khotib ulama abad 9 H. ia wafat tahun 855 H. namun
MLR tidak menyebutkan ibaroh kitab ini seperti apa, jadi belum bisa dipercaya.
dalam kaidahnya: kitab abad 9-10 H. harus sama
dalam periwayatan sejarah dan nasab
dengan
kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia boleh berbeda dengan abad sebelumnya,
tapi riwayat tentang sejarah dan nasab, harus ada referensi kitab sebelumnya
tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa sanad itu tertolak secara ilmiyah.
Sedangkan kitab abad 5-9 H menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama
Ubaidillah.
Kesimpulan: bahwa tulisan MLR itu belum bisa menjawab
tesis bahwa Nasab para Habib ba Alawi itu terputus. Dan menurut penulis mereka
tidak sah mengaku keturunan dari nabi Muhammad s.a.w.
MUHAMMAD LUDFI RAHMAN MEMPERTAHANKAN NASAB HABIB DENGAN KITAB
PALSU
Setelah hujahnya batal secara ilmiyah, Muhammad Ludfi
Rahman (MLR) tidak patah harapan untuk membela nasab habib. Ia
masih berusaha menunjukan sisa-sisa hujah ketersambungan yang ia
dapatkan yang belum disampaikan.
Kali ini ia memperlihatkan satu kitab
nasab yang ditulis berjudul "Abna'ul imamfl M isra was Syam ", untuk
selanjutnya ditulis "Abna'uf imam ". Kitab ini dicetak tahun 2004
M oleh maktabah At-taubah. Menurut MLR, Ubaidillah
sah sebagai anak Ahmad bin Isa karena disebutkan dalam kitab
tersebut.
Namun saying, kitab itu adalah kitab palsu, tidak layak
disebutkan sebagai salah satu referensi dalam ranah ilmiyah. Oleh
karena itu walaupun penulis telah lama mengenal kitab ini, penulis tidak
pernah menyinggungnya, karena kitab ini tidak layak di letakan di atas meja
ilmiyah dalam diskursus para ulama.
Kenapa demikian?
Karena
kitab ini judulnya palsu. Pengarangnya palsu. Tahunnya palsu. Isinya
palsu.
Darimana mengetahuinya? Kitab ini judulnya palsu karena
kitab ini tertulis dengan judul "Abna'ul imam'', namun isinya bukan semata
kitab tesrsebut, karena telah ditambahi kalimat para penyalin dan pentahqiq.
Yusuf jamalulail, sang pentahqiq, memberi judul kitab ini adalah
"Al-Aqdul Masi Fi Ansabi Ali Baitinnabawi (2) ".
Pengarangnya
paslu, karena seakan-akan seluruhnya karangan Ibnu Toba-toba, padahal, di
dalamnya ditambahkan oleh 4 orang yaitu: Ibnu
Shodaqoh al-Halabi (w. 1180), Abul Aon As-sifarini (1188 h.), Muhammad
bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H) dan Yusuf jamalullail yang kemudian
mencetaknya dan memberi judul barn dengan nama "Al-Aqdul Masi Ji
Ansabi Ali Baitinnabawi (2)" . Mereka berempat menambahkan didalamnya sesuai
nama-nama yang ada pada zamannya.
Tahunnya palsu, karena
kitab ini ditulis ulama yang wafat tahun 199 H.
sebagaimana disebut dalam kitab ini pada halaman 17 namun kemudian
dijudul ditulis wafat 478 H. Nampaknya ada kesengajaan pengkaburan tahun
pengarang dengan memanfaatkan nama Ibnu Toba-toba yang bukan hanya satu.
Isinya
palsu karena isinya tidak sesuai judulnya. Judulnya
kitab " Abnaul Imam "
tapi isinya penuh tambahan dari
penyalin dan muhaqiq.
Termasuk yang disebut RML, bahwa dalam kitab
tersebut ditulis Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah, itu adalah
palsu bukan tulisan Ibnu Tobatoba pengarang kitab Abnaul Imam, tetapi tulisan
penyalin atau pentahqiq yaitu Yusuf Jamalullail , seorang habib (turunan Ba
Aalawi) yang hidup tahun 1938 M.
Jadi kitab yang disebut RML
menjadi syahid bagi nasab Ba Alawi itu tertolak secara
ilmiyah. Sampai saat ini, MRL harus lebih gigih lagi untuk mencari kitab
nasab primer yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama
Ubaidillah . Semoga berhasil.
ULASAN DIALOG ILMIYAH HABIB HAMID ALKADRI TENTANG NASAB HABIB
Muwasholah TV memposting dialog ilmiyah antara Gus Mabda Dzikara,
Le. MAg. dengan Habib Hamid Alkadri tentang buku penulis. ada beberapa hal
yang ingin penulis ulas dalam kesempatan ini.
Habib Hamid alqadri
menyatkan bahwa kitab-kitab referensi penulis itu walaupun ditulis abad
ke lima tetapi dicetak dimasa kini dan sudah ditahqiq oleh ulama sekarang.
Penulis
menjawab, tentu kitab itu dicetak masa kini karena pada masa hampir seribu
tahun yang lalu itu belum ada mesin cetak, tetapi apa yang dicetak itu
berdasarkan manuskrip yang berhasil ditemukan oleh seorang muhaqiq
yang dengan kepakarannya ia kemudian mencetaknya.
Manuskrip
yang dicetak bisa berupa manuskrip asli yang ditulis oleh
penulisnya, atau berupa manuskrip yang merupakan hasil salinan dari
manuskrip aslinya. Biasanya seorang penyalin akan mengatakan diakhir
salinannya bahwa kitab ini disalin berdasarkan naskah aslinya dan menuliskan
namanya sebagai penyalin dan angka tahun penyalinannya.
Di
masa lalu, sebelum ada mesin cetak, seorang santri yang akan mengaji sebuah
kitab ia harus menyalin terlebih dahulu kitab yang akan dikajinya.
lalu ketika ia akan mengajarkan kembali kepada santrinya iapun
akan menggandakan salinan itu dengan cara ditulis tangan sesuai dengan jumlah
santrinya itu. demikian seterusnya sampai adanya mesin cetak.
Sebelum
dicetak atas inisiatif pihak percetakan, kitab ini dihadapkan kepada muhaqiq
(pentahqiq) untuk diteliti dan difinalisasi, baik dari sisi keabsahan
penisbatannya kepada pengarang, atau dari sisi kalimatnya.
karena
kadang sebuah manuskrip ditulis dengan bentuk hurup yang sukar dibaca
yang memerlukan keahliam khusus. atau karena usianya kitab ini telah mengalami
cacat sehingga ada beberapa hurup yang hilang.
Dengan kepakarannya,
seorang muhaqiq akan dapat mengetahui bahwa
hurup yang hilang itu adalah hurup tertentu. jika menurut kepakarannya
sulit untuk di yakini hurup apa yang hilang karena adanya makna
yang mirip jika dirubah dengan beberapa hurup, apalagi yang hilang
adalah satu kalimat atau beberapa kalimat, maka ia akan
mengkonfirmasi dengan naskah lain jika ditemukan, jika tidak ada naskah lain,
maka ia akan membiarkan sebagaimana adanya dan akan diberi tanda titik tiga
dan ia akan memberi catatan kaki tentang itu, bahwa ada hu
rup atau kalimat yang hilang.
jadi, walaupun kitab-kitab itu
dicetak masa kini, tetapi dengan metodologi tahqiq yang standar ilmiyah
dapat dijamin oleh seorang muhaqiq yang jujur tentang keaslian sebuh kitab.
contoh
kitab syajarah mubarokah, dikarang oleh imam fakhrurozi, ulama abad ke enam
dan ketujuh, karena ia wafat tahun 606 Hijriah. Kitab itu dicetak tahun 1419
H, berdasarkan manuskrip yang berjumlah seribu lembar yang diterdapat di
perpustakaan Universitas Sultan Ahmad 3 di Istanbul dengan
nomor 2677 Kemudian kitab ini ditahqiq oleh Sayyid Mahdi Ar-Roja'i .
Untuk
mengetahui kebenaran apakah betul pentahqiqan beliau, sangat mudah
membuktikannya, kita tinggal datang ke perpustakaan Universitas
Sultan Ahmad Tiga di Istanbul lalu memverivikasi apakah yang dicetak itu
sesuai dengan aslinya atau tidak?
Ini juga untuk menjawab sebagian
yang meragukan apakah betul kitab As-Syajarah Al Mubarokah itu ditulis oleh
Imam Fakhrurozi.
Habib Hamid Alkadri pula menyatakan bahwa
tidak ada ulama yang menyebutkan Imam Fakhrurozi menulis kitab
As-Syajarah Al-Mubarokah. Tentu demikian, karena Pentahqiq
pula dihalaman sebelas dalam kitab itu menyatakan demikian. Ia menyatakan
begitu takjub ketika mengetahui Imam Fakhrurazi mempunyai
karangan bernama Al-Syajarah Al Mubarokah ini.
Dalam halaman
duabelas pentahqiq menyatakan bahwa kitab ini diketahui atau ditemukan oleh
Syekh Al Mar'asyi berada di Pepustakaan Universitas Sultan
Ahmad 3 di Istanbul dengan nomor 2677.
Kemudian Syekh Al Mar'asyi
meminta anaknya, Mahmud Al Mar'asyi untuk memotret naskah itu lalu meminta
pentahqiq untuk mentahqiqnya.
Menurut pentahqiq dalam halaman
duabelas nama kitab Al-Syajarah Al Mubarokah dengan pengarang Imam Fakhrurozi
terdapat di akhir manuskrip itu. Jadi kronologis sampai dicetaknya kitab
Al-Syajarah Al Mubarokah ini jelas dan dapat diverifikasi kebenaran dan
kejujurannya dengan mendatangi naskah aslinya di Istanbul dengan alamat yang
jelas yaitu di Perpustakaan Universitas Sultan Ahmad tiga dengan nomor
arsip 2677.
Dan perlu diketahui, manuskrip kitab Asyjarah ini kini
telah pula ditemukan di Arab Saudi di perpustakaan pribadi ahli nasab Saudi
yang bernama Syekh Ibrahim Al Manshur Al Hasyimi Al Amir. Yang demikian itu
dapat dilihat di twiter milik beliau yang masih aktif
dan dapat ditelusuri.
Dari sini, kitab saksi mahkota, Al Syajarah
Al Mubarokah ini, tidak dapat disebut palsu karena kronologis proses cetaknya
lengkap.
Habib Hamid Alkadri menjadikan kitab "Al Raudul Jaliy"
sebagai salah satu hujjah keabsahan nasab Ba Alawi. Kitab itu adalah kitab
karya Murtado Azzabidi, ulama yang wafat pada tahun1145 H, berarti kitab abad
duabelas.Tentu dipertanyakan dari mana beliau mendapatkan sanad referensinya.
Kitab ini hampir semasa dengan kitab Khulatsatul Atsar karya AlMuhibbi yang
wafat tahun 1111 H.
Yang sama menyebut Ubaidillah sebagai anak
Ahmad bin Isa. Keduanya sama sama kitab abad 12 tentu
lebih muda dari kitab yang penulis sebut telah mencantumkan nama nama yang
yang mashur dikalangan Ba Alawi, yaitu kitab "Tuhfatutholib Bima 'rifati man
Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib", karya Sayid Muhammad bin al-Husain
as-Samarqondi (w. 996). Ketika kitab abad 10 tertolak, apalagi kitab
abad 12.
Perlu diketahui bahwa Murtado Azzabidi menulis kitab
"Al Raidul Jali" tersebut karena ia dirninta oleh gurunya yaitu Habib
Abdurrahman Mustofa Al Idrus, dan ketika Azzabidi menulis ini umurnya baru 20
tahun.
Habib Hamid Alkadri juga berhujjah dengan nama nama
ulama besar yang menyebut nama Ubaidillah seperti As-Sakhowi wafat
902 H dan Ibnu Hajar Al Haitarni wafat 974 H. keduanya ulama abad 10 H. dan
keduanya bukan ulama nasab. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah
dari mana ulama ulama ini mendapatkan keterangan tersebut bahwa ubaidillah
anak Ahmad bin Isa, jika selama 500 tahun lebih tidak ada yang menyebutkan
dernikian?
Dernikian ulasan penulis tentang dialog ilrniyah Habib
harnid Alkadri dan Gus Mabda Dzikara Le. MAg. di channel youtube
Muwasholah TV. Ada hal yang ingin penulis ulas juga tentang Al-Syuhroh wal
Istifadoh dalam menentukan nasab namun mungkin dalam kesempatan lain.
(penulis:
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani)
MENANGGAPI PERNYATAAN: TIDAK DISEBUT BUKAN BERARTI TIDAK ADA
Untuk mempertahankan nasab para habib, mereka menggunakan
kaidah:
"Tidak menemukan bukan berarti tidak ada ".
Dengan
kaidah ini, mereka menyatakan bahwa tidak ditemukannya kitab yang menunjukan
bahwa Ubaidllah sebagai anak Ahmad bin Isa, bukan berarti kitab itu tidak ada,
bisa saja ada hanya saja belum ditemukan.
Penulis menjawab,
kitab nasab abad kelima menyebut anak Ahmad bin Isa, tapi
tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad. Kitab abad enam menyebut
Ahmad bin Isa mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan
Husain. Begitu pula kitab abad tujuh dan delapan, tidak ada yang
menyebut Ahmad mempunyai anak Ubadillah. Tidak disebutnya nama Ubadillah
sebagai anak Ahmad dalam kitab kitab selama 550
tahun, menunjukan bahwa Ubadillah ini memang bukan anak Ahmad .
Ubaidillah
ini hidup di abad 4 hijriah, ia wafat tahun 383, jika semua kitab pada abad
itu dan abad selanjutnya sampai abad 8 tidak menyebut nama Ubaidillah, lalu
darimana ulama abad 9 dapat mengetahui bahwa Ubaidillah ini ada, dan bahwa ia
anak dari Ahmad?
Ada ungkapan al ilmu bi adamiddalil
(mengetahui tidak adanya dalil) ada pula ungkapan adamul ilmi biddalil (tidak
mengetahui adanya dalil). Posisi penulis dari dua ungkapan itu, tentang
nasab Ba Alawi, adalah mengetahui tidak adanya dalil yang menunjukan
Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. 550 tahun nama Ubaidillah tidak disebut
sebagai anak Ahmad, lalu muncul ditulis Habib Ali al Sakran tahun 895
H. bahwa Ubidillah adalah anak Ahmad bin Isa. ini sungguh keanehan.
TANGGAPAN TERHADAP UNGKAPAN: MENAFIKAN UBAIDILLAH SEBAGAI ANAK AHMAD
MASUK SEBAGAI MENUDUH ZINA (QADZAF)
Ada ungkapan para habib, bahwa ketika penulis menyatakan
Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa, ungkapan itu masuk bab qodzaf, yaitu
menuduh zina ibunya Ubaidillah. Penulis menjawab, bab qdzaf itu adalah apabila
ada seorang perempuan yang bersuami mempunyai anak, lalu ada orang yang
mengatakan bahwa anak itu bukan anak suaminya, itu bab qodzaf. Kalau kasus
Ubaidillah itu beda, karena ibu Ubaidillah bukan isterinya Ahmad bin Isa.
Ketika disebut Ubaidillah bukan anak Ahmad ya jelas sekali, karena ibunya
ubaidillah itu bukan isteri dari Ahmad. Bagaimana disebut ia menghianati
ahmad, wong Ahmad bukan suaminya. Ini babnya bukan bab qodzaf, tapi bab salah
alamat nama bapak.
Ada yang lucu lagi. Jika penulis menyebut
Ubaidillah bukan anak Ahmad, maka penulis harus menunjukan, siapa bapaknya
Ubaidillah? Penulis menjawab, penulis berani menyatakan bahwa Ubaidillah bukan
anak Ahmad, karena penulis mempunyai dalil akan hal itu, bahwa Ahmad
tidak punya nama anak bernama Ubadillah. Mengenai siapa ayah Ubaidillah, itu
bukan tanggung jawab penulis. Toh banyak orang yang silsilahnya mentok
misalnya pada generasi ke 6 pada suatu nama yang tidak
diketahui siapa nama ayahnya, karena tidak dicatat atau hal lainnya.
TANGGAPAN BAHWA MENELITI NASAB HABIB SAMA DENGAN MEMBENCI DZURIYAT NABI
MUHAMMAD SAW.
Sebagian pembela nasab Ba Alawi membuat framing di media sosial,
bahwa penulis adalah pembenci dzuriyat Nabi Muhammad Saw. Framing ini tentu
tidak akan mempengaruhi kalangan terpelajar pembuat
framing-pun tahu itu. Yang menjadi
sasaran
mereka adalah para awam yang selama ini menjadi pengikut mereka agar tidak
mempercayai penelitian ini.
Penulis menjawab, bahwa penelitian
tentang nasab seseorang yang mengaku sebagai keturunan Nabi
Muhammad Saw. Bukanlah membenci dzuriyat nabi, justru ini sebagai usaha
memurnikan silsilah dzuriyat nabi dari mereka yang mengaku
tanpa bukti.
TANGGAPAN TENTANG BAHWA SYEKH NAWAWI AL-BANTANI, SYEKH HASYIM ASY' ARI
DLL TELAH MENGITSBAT NASAB BA ALAWI
Para pembela nasab Ba alawi membuat framing, bahwa penulis
yang mengakji nasab Ba Alawi, tidak mengikuti para ulama nusantara masa
lalu yang telah mengitsbat nasab Ba Alawi.
Sepanjang pengetahuan
penulis , mereka para ulama nusantara , tidak ada yang mengitsbat nasab Ba
Alawi sebagai sohih merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw., yang ada
mereka saling berguru . Ilmu adalah suatu hal, dan nasab adalah hal lain.
Penghormatan KH. Hasyim Asy 'ari kepada habib yang
datang kerumahnya atau sebaliknya, itu bukan karena nasab saja, jika
hanya karena nasab, berarti KH. Hasyim Asy'ari tidak berguru dan silaturahmi
kecuali kepada para habib saja. Kenyataannya tidak demikian .
Tidak
berarti orang yang berguru kepada Ba Alawi, disebut mengitsbat nasab Ba Alawi.
Tidak juga orang yang tidak percaya nasab Ba Alawi tidak dapat barokah ketika
membaca ratib atau kitab karangan ulama Ba Alawi. Sekali lagi, Ilmu suatu hal,
dan nasab adalah hal lain.
TANGGAPAN TERHADAP BUKU DR. JA'AR ASSEGAF, MA. BERJUDUL KONEKTTIFITAS
RIJAL AL HADITS DENGAN SEJARAH DALAM MENELUSURI NASAB
DR. Ja'far Assegaf, MA. (selanjutnya disebut Ja'far), membuat
buku sanggahan terhadap buku penulis "Menakar Kesahihan Nasab Habib di
Indonesia". Buku itu diberi judul " Konektifitas Rijal al-Hadits dengan
Sejarah dalam Menelusuri Nasab " (selanjutnya disebut buku Ja'far). Titimangsa
penulisan dalam buku Ja'far itu tertulis 17 Maret 2023.
Ada
beberapa hal yang ingin penulis tanggapi sebagai berikut:
Pertama,
dalam pengantamya, Ja'far menyatakan "Tulisan menakar bernuansa memojokan
semua Ba Alawi tanpa terkecuali. Dengan cara menuduh nasab mereka" (h. 4).
Penulis
menjawab, yang penulis lakukan bukanlah
memojokan, tetapi memverivikasi pengakuan sebagian Ba Alawi yang
menyatakan dihadapan public bahwa ia sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
Temyata setelah dilakukan pengakjian sesuai tradisi ilmiyah yang penulis
dapatkan baik di Pesantren maupun di kampus, ternyata ditemukan
keterputusan riwayat selama 550 tahun. Nasab Ba Alawi menurut kajian penulis
sangat sukar disambungkan kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, penulis
berkeyakinan bahwa nasab Ba Alawi adalah nasab munqati' (terpustus).
Kedua,
Ja'far mengatakan, "Pemahaman dari adanya tuduhan (jJt-b}I) !mad kepada nasab
Ba Alawi berpotensi mengarah ke Qadzaf (w.Jill) terhadap datuk mereka
Ubaidllah... " (h.10).
Penulis menjawab, kalimat ja'far rancu. Yang
penulis simpulkan dalam menakar itu Ubaidillah bukan anak Ahmad.
Bagaimana bisa penulis menuduh Ubadillah berzina?
Maksudnya mungkin ibunya Ubaidillah. Tapi baiklah, penulis menjawab begini:
Bab
qodzaf itu adalah apabila ada seorang perempuan yang bersuami mempunyai
anak, lalu ada orang yang mengatakan bahwa anak itu bukan anak suaminya, itu
bab qodzaf. Kalau kasus Ubaidillah itu beda, karena ibu Ubaidillah bukan
isterinya Ahmad bin Isa. Ketika disebut Ubaidillah bukan anak Ahmad ya jelas
sekali, karena ibunya ubaidillah itu bukan isteri dari Ahmad. Bagaimana
disebut ia menghianati ahmad, wong Ahmad bukan suaminya. Ini babnya bukan bab
qodzaf, tapi bab salah alamat nama bapak.
Ketiga, untuk menjawab
terputusnya nasab Ubaidillah, Ja'far menggunakan kitab kitab yang
menyebut nama Ubaidillah, sayangnya kitab-kitab tersebut belum dapat
menyambungkan nasab Ubadillah yang terputus. Seperti kitab al-dlau ' al lami',
ia menyebutkan bahwa ketika al-sakhawi menyebutkan nasab Ubaidillah sampai
Nabi Muhammad Saw., maka ini berarti nasab ini telah sah. Menurutnya prosesnya
mirip isnad hadits ketika perawi hadits menyebutkan nama-nama perawi
diatasnya.
Ini sungguh keanehan yang luar biasa. Bagaimana
bisa penyebutan seorang ulama akan sebuah syajarah nasab ke atas, bisa
disamakan dengan isnad hadits. Isnad hadits bisa dianggap
sahih bukan karena isnad itu sendiri, tetapi harus dikonfirmasi oleh kitab
ruwat (para perawi) dan al-Jarh wa al-ta 'dil (tentang kwalitas perawi).
Misalnya Imam Malik meriwayatkan dari
Nafi' dari Ibnu Umar dari Rasulullah
Saw.
Ini tidak bisa begitu saja dianggap sahih, kecuali telah diteliti apakah Imam
Malik hidup semasa dengan Nafi atau tidak; pemah bertemu atau tidak. Lalu
Nafi' diteliti apakah ia hidup semasa dengan Ibnu Umar atau tidak; pernah
bertemu atau tidak. Semikian pula, diteliti bagaimana kwalitas pribadi
masing-masing nama perawi yang disebutkan. Baru setelah itu diukur kesahihan
atau kedlaifannya.
Begitupula ketika al-Sakhawi menyebutkan nama
syajarah nasab Ubaidillah sampai kepada Rasulullah, ini dapat diteliti apakah
penyebutan al-Sakhawi itu sahih atau tidak. harus diteliti apakah benar
Ubaidillah ini anak daripada Ahmad dan Ahmad apakah betul anak dari Isa dan
seterusnya. Jika penelitian isnad hadits dengan kitab ruwat dan jarh wa
ta'dil, maka penelitian syajarah nasab dengan kitab-kitab nasab dan kitab
lainnya yang sezaman dengan setiap nama yang terdapat dalam syajarah nasab
itu. Dan penulis telah menelitinya, bahwa nasab Ubaidillah itu terputus,
karena ia bukan anak Ahmad bin Isa.
Selain kitab al-Skahawi, Ja'far
menggunakan kitab Abna 'ul Imam. Penulis telah mengulasnya bahwa kitab ini
palsu, telah tercampur antara kitab asli dan penambahan muhaqqiq yang
tidak dibedakan antara keduanya.
Ja'far juga menggunakan kitab
al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H. ) yang menyebut nama Abdullah sebagai anak
Ahmad bin Isa. Penulis telah urai tentang bahwa Abdullah bukanlah Ubaidillah
dalam tanggapan penulis untuk hanif Alatas.
Ja'far juga menyebutkan
metode mengkonfirmasi Ubaidillah sebagai anak Ahmad dengan: pertama, riwayat
lisan dan catatan keluarga Ba Alawi. Perlu diketahui, menurut penulis, riwayat
lisan dan catatan keluarga Ba Alawi harus sesuai dengan catatan keluarga Nabi
lainnya atau yang dicatat ulama nasab dalam kitab yang membahas nasab
keturunan Nabi Muhammad Saw. Sudah jelas, catatan Ba Alawi yang mencatat nama
leluhurnya yang bernama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, bertentangan dengan
kitab-kitab nasab sezaman atau yang paling dekat. Kitab-kitab ini berkedudukan
sebgaimana perawi dalam hadits. Jika sebuah pengakuan nasab tidak dikonfirmasi
kitab sezaman atau yang lebih dekat maka akan banyak sekali orang mengaku
dengan mudah sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
Yang kedua,
Ja'far menggunakan metode syuhrah wal istifadloh, masyhur dan menyeluruh.
Sudah jelas, nasab Ba Alawi ini hanya masyhur di masa kini sampai abad
Sembilan hijriah, sedangkan sebelumnya sama sekali tidak disebut di dalam
kitab-kitab, baik kitab nasab atau kitab lainnya. Tentang syuhroh wal
istifadloh ini, sudah penulis bahas dalam batang tubuh buku ini.
Ketiga,
ja'far menggunakan kesaksian kitab-kitab. Menurutnya kitab-kitab telah banyak
menyebut nasab Ubadillah sebagai anak Ahmad. Ia menyebut semisal
kitab
Ba Makhramah (w. 976 H) dan al-khotib (w. 850 H). kitab
tersebut menceritakan tentang hijrahnya Abdullah ke Hadramaut. Sekali lagi,
Abdullah bukan Ubaidillah. Walau Abdullah sendiri adalah cangkokan, tetapi ia
bukan Ubadillah. Penulis telah sampaikan hujjah bahwa Abdullah bukan
Ubaidillah. Alwi anak Ubaid disisipkan sebagai anak Abdullah, dengan memahami
Abdullah sebagai orang yang sama dengan Ubaid; sementara Abdullah sendiri
adalah sisipan dari anak-anak Ahmad lainnya, dengan cara muncul tiba-tiba
sebagai anak Ahmad.
Keempat, Ja'far menggunakan pemikahan
laki-laki Ba Alawi dengan perempuan dari al-Hasani
sebagai tanda kesahihan nasab Ba Alawi. Ia mengukur
al-Hasani sama seperti Ba Alawi yang tidak mengawinkan anak perempuan mereka
selain dengan laki-laki Ba Alawi, padahal tradisi rasis itu, bisa saja hanya
dimiliki oleh Ba Alawi, tidak menjadi tradisi lainnya dari mereka yang mengaku
keturunan Nabi. Di samping, tentunya, tradisi demikian bukan ajaran al-Qur'an
dan Nabi Muhammad Saw.
Kelima, Ja'far menggunakan bukti arkeologi
berupa makam Ahmad bin Isa di Hadramaut sebagai bukti nasab Ba alawi
bersambung kepada Ahmad bin Isa. Pertanyaanya, betulkah itu makam Ahmad bin
Isa. Bagaimana Ahmad bin Isa bisa dimakamkan di Hadramaut. Mana bukti kitab
yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib dimakamkan di
Hadramaut? Tidak ada.