Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Kyai Imaduddin
Nama kitab / buku: Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw (Penyempurnaan dari Buku Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia)
Penulis: KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani, pengasuh pesantren Nahdlatul Ulum, Banten
Cetakan pertama: Oktober 2022
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum
Kitab sebelumnya: Menakar kesahihan Nasab Habib Di Indonesia
Bidang studi: Sejarah Baalawi, ilmu nasab, sejarah Islam
Penerbit: Maktabah Nahdlatul Ulum Banten Cet. 1/ 2023
Daftar Isi
- Bab V: Ulasan Cendikiawan Tentang Penelitian Penulis
- Dr Syafik Hasyim
- KH Kholili Kholil
- KH Khotimi Bahri
- Prof Qurais Syihab
- Ickur
- Tb Nurfadhil Satya Tirtayasa
- Kembali ke: Buku Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad Saw
BAB V ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS
Menyoal Genealogi Habib di Indonesia ke Rasulullah, Bukti Ilmiah Kyai
Imaduddin Utsman50
Dr. Syafiq Hasyim
Selasa, 8 November 2022
Kita sudah sering
mendengar bahwa habib-habib yang hidup di Indonesia itu merupakan
keturunan Rasulullah . Habib Bahar Smith mengatakan bahwa dirinya adalah
keturunan Sayyidina Ali r.a. Tidak hanya Bahar Smith, namun habib-habib yang
lain, dengan menggunakan panggilan habib, memastikan bahwa mereka memiliki
nasab sampai ke Rasulullah. Karenanya beliau-beliau merupakan
keturunan Rasulullah, maka sebagian besar masyarakat Muslim
Indonesia memuliakan mereka.
Kini klaim bahwa habib adalah turunan
Rasulullah mendapat tantangan. Tantangan itu berasal dari seorang kyai yang
bernama Imadudin Ustman al-Bantani dalam artikel hasil penelitiannya
yang berjudul, Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti
Secara Ilmiah.
Kyai Imaduddin Utsman sendiri adalah Ketua Fatwa
Komisi MUI Banten dan Pengasih Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek
Banten. Kyai Imad adalah kyai muda di lingkungan Nahdlatul Ulama yang
produktif menulis kitab kitab dalam bahasa Arab, salah satunya
al-fikrah al-nahdliyyah fi usul wa al-furu' Ahl Sunnah Wal-jamaah.
Dia
berpendapat bahwa bahwa habib-habib di Indonesia mayoritas belum terbukti
secara ilmiah memiliki jalur darah ke Rasulullah. Jelas, hasil penelitian Kyai
Imaduddin Ustman ini akan menyengat banyak pihak sebab mendelegitimasi kaum
habaib.
Tapi mengapa Kyai Imaduddin Utsman bisa
berpendapat demikian? Mari kita lihat.
Para habib datang ke
Indonesia pada tahun 1880an dan sejak itu mereka
mengatakan bahwa mereka adalah kerutunan dari Rasulullah . Biasanya , mereka
mengaitkan diri mereka dengan Ba' Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin
Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali
al-Uraidli bin Imam Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali
Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad .
Mereka
ini, yang mengklaim dari arah Ba Alawi, menutu Kyai Imad, sebenarnya
tidak melakukan assimilasi ke dalam penduduk pribumi, karenanya mereka dengan
mudah dikenali publik.
Bagi Kyai Imad, keberadaan mereka di
Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan
Rasulullah. Memang banyak kitab yang membahas Ba' Alawi misalnya Nubzat
Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karangan Zainal Abidin bin Alwi
Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim
al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein
al-Amasyhur (abad 13). Semua kitab ini menjadi sumber dan
rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah .
Kata Kyai
Imad, sayang sekali, kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam konteks mini
adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau setelahnya. Bagaimana dengan
kitab-kitab abad sebelumnya 10,11 dan 12 yang seharusnya mereka jadikan
rujukan?
Kyai Imad menyatakan Alawi bin Ubaidillah adalah datuk Ba
Alawi di Indonesia. Menurut Kyai Imad, beliau ini adalah urutan ke 12. Dari
serangkaian nama ini, ada yang terputus. Menurut Kyai Imam, terputusnya nasab
itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidli. Menurut penulusuran
yang dilakukan Kyai Imad, kedudukan anak Ali
al-Uraidli ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia,
yaitu Alawi bin Ba Alawi.
Dari hasil penelitian Kyai Imad ini, atas
hadis dan juga kitab-kitab nasab yang primer (utama), dia merasa
kesulitan untuk mencari kesinambungan para habib di Indonesia untuk sampai
pada Rasullulah karena tidak ditemukannya keterangan tentang rangkaian
generasi yang sampai Ali al-Uraidhi.
Kyai Imad menyatakan bahwa
keturunan Ali al-Uraidli tidak ditemukan pada sumber-sumber hadis dan pada
abad 3 H di mana masa hidup Ali al-Uraidli kitab nasab belum tertulis. Kitab
nasab baru ada sejak abad 5 dan menurut kitab ini memang Ali
al-Uraidli memiliki keturunan empat, Muhammad
bin Ali, al-Hasan bin Ali, Ja'far bin Ali
dan Ahmad bin Ali (Tahdzhibul Ansab karya al-Ubaidili). Dalam berbagai
kitab, meskipun berbeda soal jumlah anak, namun mereka berpendapat bahwa Ali
al-Uraidli memang memiliki anak.
Anak Ali al-Uraidli yang menjadi
perangkai habaib sampai Rasulullah, kata kyai Imad, ada pada Muhammad al-Naqib
yang memiliki anak bernama Isa. Lalu Isa memiliki anak Ahmad Muhajir dan Ahmad
Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah. Pada Ubaidillah inilah teka-teki
terjadi apakah para habib kita memang benar-benar sampai pada Rasulullah atau
tidak?
Kyai Imad lalu berpendapat bahwa berdasarkan
Imam al-Fahrur Razi dalam kitabnya al-Syajarah al-mubarakah,
Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tidak terkonfirmasi. Lebih lanjut
Kyai Imad mengatakan bahwa "penisbatan Ubadilillah sebagai anak Ahmad
tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kitab nasab tertua
Tahdzib al-ansab (abad 5) dan al-Syajarah al-mubarakah (abad 6) tidak
menceritakan Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.
Memang ada
kitab-kitab nasab yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa,
namun menurut kyai Imad, itu tidak kuat karena adanya keperputusan
riwayat. Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa barn muncul pada abad 10
dan tak tersebut dalam kitab-kitab sebelumnya.
Apa yang dilakukan
oleh Kyai Imad ini sangat menarik karena keberaniannya mengungkapkan hasil
penelitiannya untuk dibaca oleh banyak kalangan termasuk kalangan Selain itu,
topik yang dibahas juga merupakan topik yang sensitif.
Konstruksi
tentang habib sebagai keturunan Rasullah yang sudah berabad-abad terbangun di
Indonesia oleh kyai Imad berusaha untuk dipatahkan.
Sudah barang
tentu akan banyak orang dan juga habib sendiri yang merasa bahwa penelitian
kyai Imad ini mengada-ada dan ditujukan secara tendensius untuk
menyerang pada habaib melalui penulusuran sejarah. Dan jika itu terjadi, maka
bantahan pada Kyai Imad harus dituangkan pula dalam bentuk penelitian sejarah
kerutunan Rasulullah di Nusantara ini.
Bagi saya, penelitian Kyai
Imad ini bisa dikatakan sebagai model bagaimana santri atau kyai mempelopori
model kerja ilmiah yang didasarkan pada data-data sejarah yang konkrit, bukan
mitologis.
Bagaimana jika penelitian kyai Imad terbukti salah? Jika
terbukti salah dan bukti salahnya juga menggunakan prosedur riset
ilmiah, maka itu sangat wajar dan biasa terjadi. Tinggal
nanti data dan argumen sejarahnya yang diadu di antara pelbagai temuan yang
ada.
Namun jika penolakan atas penelitian Kyai Imad ini dilakukan
dengan cara yang tidak ilmiah, misalnya, kecaman dan kekerasan, maka itu tidak
bisa diterima. Penelitian harus dibalas dengan penelitian, itu pakemnya.
Sebagai
catatan, konstruksi sejarah yang keliatannya mapan -termasuk tentang
habib-pada dasarnya adalah bahan sejarah yang terns menerus
terbuka. Mereka yang berminat akan mendalami dan meneliti dan hasilnya
bisa saja berbeda dari sejarah yang mapan.
POLEMIK NASAB BA ALAWI51
Oleh Kholili kholil
Polemik tentang nasab Ba 'Alawy yang dikemukakan 'Imaduddin
'Utsman , penulis muda produktif dari Banten, cukup mendapat atensi publik
akhir-akhir ini. Makalah yang dia tulis setidaknya mendapatkan tiga bantahan
yang masing-masing ditulis oleh Ja'far Assegaf, Hanif Alatas,
dan 'Isma'il Al-'Aschaly.
Namun setelah menelaah tiga
bantahan tersebut, kami menyimpulkan bahwa: tetap tidak ada referensi sezaman
yang menyebutkan 'Abd Allah/'Ubayd Allah (ayah dari 'Alawi -ketumnan 'Alawi
disebut Ba 'Alawi, puncak klan hampir seluruh habib di Indonesia) .
'Abd
Allah b. Ahmad Al-Muhajir b. 'Isa Al-Rumi. Ia wafat di penghujung abad empat,
tepatnya 383 H. Ja'far Assegaf mengklaim bahwa namanya sempat ditulis
oleh Ibn Thabathaba (w. 478 H) dalam Abna ' al-Imam fi Mishr wa al-Syam. Namun
ternyata , kitab terakhir ini sudah mendapat banyak penambahan di badan
teks oleh Ibn Shadaqah Al-Warraq (w. 1189 H). Otentikasinya diragukan! Apalagi
kalau memang benar Ibn Thabathaba menulis nama 'Abd Allah, pastilah akan
dikutip oleh sejarawan setelahnya. (Ja'far memberi argumen ad hominem yang
kurang kuat bahwa bisa jadi ada kedengkian, dan hal-hal lain yang membuat
namanya tidak dicatat oleh sejarawan pasca Ibn Thabathaba).
Nama
'Abd Allah juga tidak kami temui di Tarikh Musallam Al-Lahji (w. 545 H) yang
banyak membahas Yaman dan banyak menukil Ibn Thabathaba. Selain itu, Ibn
Samurah (w. circa 586 H) penulis Thabaqat Fuqaha'
al-Yaman sama sekali tidak menulis ahli fikih dari kalangan Ba 'Alawi
satu pun. Barangkali inilah yang membuat 'Imaduddin bertanya-tanya:
sejak kapan Ba 'Alawi menjadi tokoh?
Mungkin beberapa orang akan
menjawab dengan kutipan dari Al-Masyra' Al-Rawi, kitab yang sedikit legendaris
dan ditulis belakangan tentang biografi Ba 'Alawi, bahwa ulama-ulama besar
Yaman non Ba 'Alawi seperti Salim Ba Fadlal, 'Ali b. Ahmad Ba Marwan, dll,
berguru kepada Muhammad b. 'Ali pemilik Mirbath (w. 556 H). Namun nyatanya
keterangan Al-Masyra' ini sedikit 'ngawur' dan dibantah sendiri oleh ulama Ba
'Alawi lain, yakni lbn 'Ubayd Allah Al-Saqqaf dalam Idam al-Quwt fi Tarikh
Hadlramawt (hlm. 877). Bahkan lbn 'Ubayd Allah menganggap 'keilmuan' Ahmad
Al-Muhajir dan keturunannya sebagai sesuatu yang sedikit mitologis. Wa li
al-syakk fi mitsl dzalik manafidz katsirah, sangat-sangat meragukan, begitu
kata lbn 'Ubayd Allah.
Selain oleh ulama tersebut di atas, nama
'Ubayd Allah/'Abd Allah juga diduga dikutip oleh Al-'Ubaydali. Kutipan
ini diambil oleh Hanif Alattas dari Al-Raudl Al Jali karya Al-Murtadla
Al-Zabidi. Di sini penulis katakan bahwa penulis tidak ragu dengan Al-Zabidi
dengan segala kredibilitasnya. Namun yang menjadi pertanyaan penulis adalah:
ke mana ulama lain selain Al-'Ubaydali? Bukankah katanya genealogi
ini mustafadh, masyhur, mujma' 'alayh? Kalau tidak dikutip jil 'an jil,
berarti genealogi Ba'alawi ini tidak maqthu ', namun mazhnun?
Kemana kutipan Abu al-Ghana'im Al-Dimasyq yang mencatat seluruh
genealogi Thalibiyyin dan sering dikutip Al-Syajarah Al-Mubarak.ah?
Walhasil:
semua bantahan tetap tidak mampu menyanggah bahwa genealogi 'Abd Allah/'Ubayd
Allah sejauh yang ditemukan masih tidak tercatat di kitab yang ditulis pada
abad 4-7 H. Ini merupakan fakta yang masih belum terbantah. Adapun kesimpulan
'Imaduddin bahwa hal ini menjadi penyebab genealogi tersebut tidak absah, maka
menurut hemat kami itu kesimpulan yang terlalu dini. Namun fakta bahwa
genealogi Ba 'Alawi sempat tidak dicatat selama empat ratus tahun itu
merupakan fakta yang sejauh ini belum terbantah. Wallahu a'lam.
Ketika Nasab Habaib Jadi Polemik (Menakar Analisa Sejarah Ba Alawi Kyai
Imaduddin Utsman al-Bantani)52
Oleh: KH. Khotimi Bahri
Sebuah kajian nasab habaib yang dilakukan oleh Kyai
Imaduddin Utsman al Bantani banyak menarik perhatian.
Pro-kontra
mewarnai diskusi dumay diberbagai flatform. Sayangnya pro-kontra ini tidak
semuanya berada dalam jalur ilmiah. Tidak sedikit respon yang bersifat
emosional bukan rasional disertai dengan tudingan-tudingan yang tidak
mendasar.
Kajian yang dilakukan Kyai Imad, jika dilihat dari dua
perspektif sama sekali tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip
keilmuan. Dari sudut pandang akademik (prinsip keilmuan modern) langkah dan
metologi penelitiannya sudah sesuai dengan metodologi yang baku. Berangkat
dari data primer, dilanjutkan dengan data sekunder,
ditunjang dengan data tersier, semua dikaji secara holistik dan proporsional.
Ada keterputusan sejarah yang sulit diverifikasi sesuai standart keilmuan
modern. Missing-link ini yang akhirnya tersimpulkan bahwa nasab ba
alawi tidak terkonfirmasi.
Ada beberapa kyai dan ustadz baik dari
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan yang berusaha
membantah penelitian Kyai Imad dengan merujuk pada kitab turots klasik yang
menurut para pembantah ini terlewatkan dari referensi Kyai Imad. Pada
kenyataannya referensi yang gunakan para pembantah inilah yang secara ilmiah
bermasalah.
Jadi hemat saya, clear bahwa penelitian Kyai Imad sudah
sesuai dengan standart penelitian ilmiah dengan kesimpulan bahwa ada
keterputusan nasab ba-alawi yang tidak bisa dikonfimasi.
Jika
tadi menggunakan metode akademik (modern) sekarang kita coba analisa dengan
pendekatan ilmu tentang sanad. Atau metodologi ulama-ulama klasik dalam
meneliti mata-rantai keabsahan sanat.
Dalam meneliti sanad, jika ada keterputusan
mata-rantai (atau tidak terkonfirmasi dalam bahasa terkininya), maka jalur ini
dianggap inqitho', terputus, tidak bersambung. Jalur yang tidak bersambung ini
dibagi menjadi 4 :
Nomor satu disebut hadits mu
'allaq, nomor dua disebut hadis mursal, nomor tiga disebut (secara istilah)
hadis munqothi, sedangkan nomor empat
disebut hadis mu 'dhol.
Semuanya masuk dalam kategori hadis
dhaif, karena sanadnya tidak muttashil.
Berdahl dengan hadits
munqothi, maka tidak dapat dibenarkan kecuali ada qorinah dan syawahid yang
menguatkan, misalnya, ada jalur riwayat lain yang muttashil. Atau
ada riwayat lain baik maknawi atau lafdzi yang mendukungnya.
Nah,
dari pisau analisa klasik (ilmu sanad) apa yang disampaikan Kyai Imad tidak
ada yang menyalahi prosedur.
Sampai disini bisa kita pahami bahwa
kajian dan penelitian Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani tidaklah dilandasi
kebencian atau untuk melahirkan kebencian terhadap para habaib sebagaimana
dituduhkan beberapa pihak. Bahkan tuduhan tersebut merupakan bentuk kekerdilan
cara berpikir dan kedangkalan wawasan penuduh.
Sebagai kajian
ilmiah, tentu tidak bertujuan mendestorsi keberadaan habaib tapi sebaliknya
dengan temuan faktual ini mendorong para habaib melakukan kajian dan penguatan
syawahid atau qorinah secara ilmiah.
Alangkah eloknya kalau
kemudian terjadi dealektika ilmiah. Dari tesa Kyai Imad lahir antitesa dan
berkembang menjadi sentesa. Sekaligus inilah saat yang tepat bagi habaib untuk
melakukan auto-kritik dan pembenahan terhadap perilaku beberapa "oknum"
habaib sendiri. Wallahu a'lam.
KH. Imaduddin Utsman Antara Kejujuran Ilmiah dan Tirani Sejarah
Oleh
KH. Khotimi Bahri MUI Kota Bogor, dan Dosen STEI Napala
Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua model penelitian
yang diakui validitasnya secara umum.
Pertama, dunia
penelitian ilmiah. Dalam dunia penelitian ilmiah saat 1m, yang
sangat prinsip adalah heuristik. Yaitu prosedur pengumpulan sumber penelitian.
Dalam penelitian sejarah, seorang peneliti bisa mengkaji beberapa macam sumber
yaitu; sumber tulisan lewat naskah-naskah terkait, sumber lisan yaitu
kesaksian pelaku atau juga saksi dari sebuah peristiwa, sumber benda bisa
dalam bentuk artefak dan fosil, sumber audio-visual misalnya berupa
rekaman, gambar, atau barang-barang yang digunakan.
Kedua,
model penelitian silsilah sanad. Sebuah riwayat akan valid dan bernilai
shohih jika sanadnya muttashil, bersambung, serta memiliki kompetensi yang
mumpuni atau dalam bahasa mustholah haditsnya adalah dhabith, hafidz, dan
adil.
Mengenai hal ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi.
Dalam tulisan ini akan diangkat beberapa saja yang terkait langsung dengan
tema tulisan. Diantaranya adalah; seorang periwayat harus sezaman dengan
gurunya (rujukannya/narasumbernya). Biasanya cara ini dilihat dari tahun
wafatnya. Sang periwayat juga dapat dipastikan bertemu dengan narasumber yang
dirujuk. Biasanya cara ini dilacak lewat makanur-rihlah atau tempat yang
disinggahi. Mendengar langsung riwayatnya dari narasumber. Kalau tidak
mendengar lansung biasanya dihukumi mursal (khafi). Juga dilihat dari
sighat periwayatnya apakah ')azam" yaitu pasti, seperti
penegasan; "saya mendengar, saya menyaksikan. Atau sighat tamridl misalnya;
diceritakan kepada saya, telah sampai kepada saya dan lain-lain. Tentu
kualitas jazm diatas tamridl.
Penelitian atau kajian nasab yang
dilakukan Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani (Kyai Imad)
menyimpulkan tidak terkonfirmasinya nama Ubaidillah (383 H)
sebagai anak dari Ahmad bin Isa.
Padahal para habaib yang ada di
Indonesia mengklaim sebagai keturunan Alwi (400 H) bin
Ubaidillah. Makanya mereka menisbatkan diri sebagai Ba-Alawi.
Tentu
jika pisau analisanya adalah metode penelitian ilmiah (modern) klaim nasab
habaib ini bermasalah. Tidak ada sumber otentik baik tulisan, artefak, lisan,
benda, maupun peristiwa yang bisa mengkonfirmasi keberadaan Ubaidillah sebagai
keturunan Ahmad bin Isa.
Diketahui nama Ubaidillah baru muncul
dalam catatan nasab yang ditulis pada abad ke 10 dan sekitarnya. Artinya dari
abad ke 5 sampai ke 9 nama Ubaidillah belum ada.
Kemudian, kalau
pisau analisanya metode pelacakan sanad dalam ilmu mustholah, klaim nasab
habaib juga tidak terkonfirmasi. Seperti yang saya sampaikan pada tulisan
terdahulu bawa mata-rantai periwayatannya terputus atau mungqothi'.
Tepatnya mu 'dhal yaitu munqothi' fi akhiris-sanad.
Padahal
untuk sebuah keabsahan periwayatan, seorang periwayat
harus sezaman dan mendengar langsung dari narasumbernya. Kalau tidak
maka kualitas riwayatnya termasuk mursal.
Mengakui keberadaan
Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan referensi abad
ke 9 atau 10 atau 11 masuk kategori dhoif. Apalagi referensi
tersebut tidak bisa menghadirkan artefak, benda, audio abad ke 4 atau ke
5 untuk menguatkan kajiannya.
Penulis berbicara validitas
metodologi sesuai standart penelitian ilmiah dan ilmu mustholah dengan tidak
meragukan kredibilitas sosok Ibnu Hajar, As-Sakhowi dan lain-lain.
Jadi
bukan untuk mendestorsi keberadaan habaib di Indonesia. Tidak juga untuk
melahirkan syubhat terhadap tatanan sosial habaib. Tidak sama
sekali. Penulis murni fokus metodologi.
Sampai disini kita
harus fair bahwa secara ilmiah baik metodologi klasik maupun modern,
penelitian Kyai Imad tidak terbantahkan.
Namun, seperti sudah
diduga, serangan datang dari berbagai penjuru ke Kyai Imad. Mulai dari tuduhan
pemecah belah umat, penebar kebencian, syi'ah, pansor, takut diskusi, setelah
jadi NU dendam kepada habaib dan fpi, termasuk serangan terhadap portal web
tempat Kyai menjawab beberapa pertanyaan. Benarkah semua itu?
Berikut
gambaran singkat yang bisa penulis ketengahkan :
Apakah
Kyai Imad tidak mau diskusi? Justru Kyai selalu terbuka untuk diskusi.
Dalam beberapa kesempatan Kyai Imad menyisipkan waktu untuk
mendiskusikan hasil penelitiannya walaupun ada beberapa yang dipending
panitia.
Apakah Kyai Imad siap tabayun? Pasti untuk tabayun
selalu siap dilakukan. Terbukti pengasuh pesantren sekabupaten
Tangerang melakukan tabayun dan diskusi seputar
penelitiannya pada bulan Romadlan 1444 H. Proses tabayun yang berlangsung alot
dengan beragam pertanyaan berbasis kutub turors khas kyai dan pesantren.
Setelah dihujani pertanyaan, justru berakhir manis dengan dukungan penuh
seluruh pengasuh pesantren yang hadir.
Apakah Kyai Imad tidak siap
direvisi? Beberapakali Kyai Imad sampaikan bahwa kritik, analisa, revisi
selalu terbuka untuk penelitiannya. Bahkan Kyai Imad sendiri menyampaikan ;
akan "taslim" jika memang ada temuan barn yang secara ilmiah bisa
dipertanggung jawabkan.
Persoalannya, para penyanggah selama ini
belum masuk kepada substansi masalah, yaitu tidak terkonfirmasinya
(terputusnya) nasab Ubaidillah sebagai putra anak dari Ahmad bin Isa. Semua
referenai yang diajukan penyanggah barn berdasar asumsi, analisa, pandangan
para pentahqiq kitab-kitab nasab. Atau baru berupa klaim muallif kitab
tertentu; bahwa memiliki guru yang tersambung dengan nama-nama
dari klan ba-Alawi. Kadang juga para penyanggah bermodal pujian muallif
kitab terhadap nasab klan ba Alawi. Dan seterusnya dan seterusnya.
Belum
ada dari puluhan penyanggah yang bisa membuktikan baik
tulisan, bukti fisik, artefak, syawahid, qorinah yang ada diabad-abad
sekitar Ubaidillah hidup. Sehingga secara ilmiah tertolak sanggahannya.
Apakah
penelitian Kyai Imad pemecah belah dan penebar kebencian? Penulis pikir tidak
seperti itu. Kalau saja kita mau terbuka, memperluas wawasan dan cakrawala,
maka kita akan paham bahwa penelitian Kyai Imad murni untuk kepentian ilmiah
dan kejujuran pengetahuan. Justru kebencian muncul dari penyanggah yang
berlebihan, terutama dari oknum habaib sendiri yang langsung
melebelkan Kyai Imad munafik, syiah, pemecah belah umat dan lain-lain.
Darisini sebenarnya kegaduhan itu mulai.
Keterbukaan Kyai Imad,
bahkan, ditunjukkan dengan kesediaannya menenma penegasan barn bahwa;
Yang
pertama mengangkat nama Ubaidillah bin Ahmad adalah Habib Ali bin Abu Bakar
Sakran. Dan penegasan ini merupakan komplementer dari hasil penelitian
sebelumnya. Artinya Kyai Imad tetap membuka revisi hasil penelitiannya,
asalkan referensial dan bisa dipertanggung jawabkan.
Habib Ali
al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama Al-Burqatul Mutsiqoh
(selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itulah untuk pertama kali
nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa
Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi (w. 730
H.).
Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak
Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari
Habib Ali al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu
seperti: 'al-Dlau ' al-Lami' karya al-Sakhowi (w. 902
H.), kitab Qiladat al-Dahr fi Wafayat A'yan al-Dahr karya Abu Muhammad al
Thayyib Ba Makhramah (w. 947 H.), kitab Tsabat Ibnu Hajar al-Haitami (w.
974 H.), kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad bin
al-Husain as-Samarqondi (w. 996 H), kitab al-Raudl Al-Jaliy karya
Murtadlo al-Zabidi (w. 1205 H).
Wa 'ala
kulli hal, kelemahan tesa
Habib Ali bin Abu
Bakar Sakran m1 berkesimpulan lewat asumsi. Atau dalam
bahasa ushul fiqhnya masih menggunakan logika "Amrun
I'tibariyun bi Dzihni". Asumsi ini akan
bisa dikategorikan ilmiah dan selaras dengan metodologi
penelitian, baik modern maupun klasik jika disertai qorinah
sebagai syawahidnya. Qorinahnya bisa berupa temuan artefak, fakta audio,
kesaksian dan lain-lain.
Tidak ada satu peristiwapun yang tanpa
hikmah. Allah hadirkan segala kejadian dengan berbagai ibroh. Hikmah dan ibroh
dari diskursus ini, kita disadarkan bahwa Walisongo adalah dzurriyah Rosul.
Poro kyai, ajengan, gus, lora raden, sultan, tubagus, puang dan lain-lain
adalah mutiara yang selama ini terabaikan.
Padahal dari mereka nusantara punya hutang budi. Dari mereka memancar
ilmu dan kebajikan. Dari mereka mengalir darah walinsongo. Lahumul Fatihan.
Penulis
: Khotimi Bahri (Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor
dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan
Ksatria Nusantara)
Gonjang-Ganjing Soal Nasab, Ini Kata Prof Dr Quraish
Shihab53
Jakarta,
JATMAN Online - Pakar Tafsir Professor Quraish Shihab mengatakan bahwa
keturunan Rasulullah Saw masih ada hingga saat ini, dan diyakini oleh para
ulama.
"Jadi ada jaminan bahwa keturunan Rasulullah masih
berlanjut, ini disepakati oleh ulama dan Al-Kautsar itu nikmat yang banyak ,''
Kata Prof Quraish, dilansir dari YouTube Kupas Channel, Rabu (10/05).
Hal
ini merupakan respon terkait fenomena Habib mencuat kembali dan ramai
diperbincangkan, terutama di medsos tidak luput dari pro dan
kontra terkait statment seorang Kiai dari Banten dengan kajian ilmiahnya
menyatakan bahwa ada nasab (silsilah) dari kalangan Ba Alawi
keberadaannya tidak tercatat selama 500 tahunan (ceramahnya Kiai Imaduddin
Utsman) dilansir dari Gus Fuad Channel.
Ulama ahli tafsir Al-Qur
'an ini menjelaskan bahwa pertama dengan adanya ilmu nasab, jadi wajar orang
memperhatikan garis keturunan , apalagi ada bobot, bebet, bibit.
'Tetapi
tidak usah anda yang mengklaim diri anda, buktikan bahwa hal tersebut melalui
akhlak, ilmu anda," tegasnya.
Prof Dr Quraish Shihab juga
menambahkan bahwa yang kedua , ada orang-orang yang bukan keturunan Nabi yang
dianggap oleh Nabi sebagai keluarganya .
Artinya:
"Salman adalah bagian dari kita, sebagai ahlul bait. " (Al-Mu jam A/
Kabir Lit Thabrani: 6040).
Sebagaimana kita ketahui , Salman
bukanlah darah daging Rasulullah . Iajuga bukan keturunan suku Quraisy.
Seorang Persia yang saat ini Republik Islam Iran. Walaupun
demikian , ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa?
Sebab ia beriman lagi patuh . Kuncinya adalah mengikuti perintah dan
menjauhi larangan Rasulullah Saw.
"Mari kita tonjolkan akhlak
kita, ilmu kita dan pengabdian kita itulah yang menjadikan Rasulullah
bangga. Dan tidak usah memikirkan diakui, tidak diakui, terserah,"
pungkasnya.
Pewarta: Abdul Mun'im Hasan Editor: Warto'i
Runtuhnya Legitimasi Habaib
Oleh: Ickur (Komunitas Disorientasi)
Beberapa tahun yang lalu Sumanto Al Qurtubi memposting tulisan di akun
facebook-nya yang membahas tentang terputusnya nasab Rasulullah berdasarkan
kajian Antropologi, alasan utamanya adalah bangsa Arab menganut sistem
patriarki dimana nasab dihitung berdasarkan jalur laki-laki, sedangkan
Rasulullah tidak memiliki anak cucu yang beranak pinak melalui jalur keturunan
laki-laki . Postingan ini mendapat reaksi dari ribuan akun yang mayoritas
menghajar Sumanto Al Qurtubi dengan menggunakan dalil
agama.
Beberapa tahun kemudian tepatnya akhir-akhir ini,
kemapanan Habaib yang mendapat posisi Istimewa di Indonesia karena
dimuliakan oleh mayoritas umat Islam kembali goyang oleh
tesis Imaduddin Ustman. Imaduddin Ustman menulis tesis
"tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman kepada Rasulullah "
dengan menggunakan sembilan kitab nasab sebagai referensi utama.
Kalau
Sumanto Al Qurtubi dengan kajian antropologi berusaha menggugurkan klaim
seluruh Dzurriyat Rasulullah dengan mengisyaratkan nasab
Rasulullah terputus sejak Sayyidah Fatimah Az Zahrah ,
Imaduddin Utsman hanya "menggugat " klaim Dzurriyat Rasulullah
dari jalur Ba Alawi dengan menunjukkam bukti bahwa Sayyid Ahmad bin Isa tidak
memiliki anak yang bernama Ubaidillah , berarti juga tidak memiliki cucu yang
bernama Alawi bin Ubaidillah . Alawi bin Ubaidillah inilah yang diklaim
menjadi jalur penghubung nasab Habaib sampai ke Rasulullah yang dilegitimasi
oleh Rabithah Alawiyyah (Lembaga Pencatat Nasab Dzurriyat Rasulullah) .
Imaduddin
Utsman tidak "mengatakan " seluruh Dzzurriyat Rasulullah terputus,
juga tidak menyerang ke-shahih-an nasab Habib secara personal (orang per orang
berdasarkan suka atau tidal suka), karena ada Habib yang "baper " menanggapi
tesis Imaduddin dengan tanggapan emosional seolah diserang secara pribadi
kemudian mengajukan test DNA dengan cara yang nyaris Mustahil yakni menggali
makam Rasulullah untuk mengambil sampel DNA. Tetapi Imaduddin Utsman hanya
menunjukkan "masalah " dalam nasab Alawi bin Ubaidillah
karena Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa.
Imaduddin
mengatakan bahwa tidak ada kitab-kitab mu 'tabar yang menyebutkan Ahmad
bin Isa pindah ke Hadramaut, berita tentang pindahnya Ahmad bin Isa ke
Hadramaut sekitar 650 setelah wafatnya
Ahmad bin Isa. Ahmad bin Isa hanya
mempunyai
tlga putra; Muhammad, Ali, dan Husain. Di titik ini Bani Alawi mendapat
"masalah" karena tidak atau belum bisa menggugurkan tesis Imaduddin Utsman
dengan referensi valid. Kitab yang digunakan untuk menyanggah pendapat
Imaduddin adalah kibab Syarhul Ainiyyah yang ditulis oleh Habib Ahmad bin Zen
al-Habsyi (dari kalangan Bani Alawi) pada abad 12 H tanpa menyebutkan rujukan
kitab atau sumber informasi, sedangkan Ubaidillah wafat pada abad 4 H.
Di
tempat lain, Channel Youtube Guru Gembul yang berjudul Eps 5851 HABIB
BUKAN KETURUNAN ROSULULLAH
SAW? KRITIK SANAD NASAB setelah
merujuk kepada tesis Imaduddin Ustman kemudian
mengangkat masalah lain yang terjadi pada Bani Alawi dalam hal
kalkulasi generasi Habaib yang ada sekarang yakni generasi ke 36 sampai
ke 39, sedangkan jarak dari Nabi Muhammad sampai ke generasi sekarang sekitar
1495 tahun hijriyah. Di dunia, Dalam rentang waktu 1500 tahun rata-rata telah
melahirkan 50 sampai 75 generasi, sedangkan para Habaib hanya pada 37 sampai
39 generasi. Tetap masuk akal tapi susah untuk diterima karena rata-rata
para Habaib baru punya keturunan di usia 40 tahun. Apalagi di zaman dulu
kebanyakan orang menikah di usia yang sangat belia antara usia 11 - 14 tahun.
Kalau sampelnya diambil dari lima generasi pertama dari Zaman Rasulullah maka
jumlah rata-rata generasi berpindah di usia 26 tahun. "Ini wajar, normal dan
masuk akal" kata Guru Gembul. Tetapi setelah Ubaidillah, dalam kalkulasi juga
terjadi masalah, jarak rata-rata antar generasi menjadi dua kali lebih
panjang, mereka rata-rata dilahirkan pada tahun genap, dan jarak
antara generasi juga rata-rata berangka tahun genap.
Dari
sini kita dapat melihat kemungkinan hanya test DNA lah yang bisa selamatkan
"Legitimasi" Bani Alawi sebagai Dzurriyat Rasulullah.
Kecuali Rabithah Alawiyyah bisa mengajukan bukti dan jawaban valid yang
bisa dijadikan rujukan untuk menggugurkan tesis Imaduddin Ustman dan masalah
Kalkulasi rata-rata perpindahan antar generasi yang diajukan oleh Guru
Gembul.
Jika legitimasi Bani Alawi sebagai keturunan rasulullah
runtuh, apakah akan dapat mengakhiri pengkultusan terhadap Habaib? Ataukah
akan ada tebang pilih Habaib, yaitu hanya Habaib ulama yang akan tetap
mendapat legitimasi dengan jalur keilmuannya, sedangkan para Habaib yang hanya
menjajakan nasab sebagai klaim kemuliaan akan ditinggal oleh para
Muhibbinnya?, Wallahu a'lam bish shawab.
5 - 7 Syawal 1444
(Ditulis
saat melintasi Selat Makassar di lantai 3 KM Laskar Pelangi sebagai
pengisi waktu saat mudik, dirampungkan saat nongkrong di tepi
Teluk Mandar Pantai Tatobo).
Kajian Ilmiah Nasab Habaib Ba'alawy, Tidaklah Menentang Nasab Leluhur
Keluarga Walisongo
Oleh: R.Tb.M. Nurfadhil Satya Tirtayasa, S.Sos.,
M.A. (Ketua Umum Robithoh Babad Kesultanan Banten)
Silsilah Leluhur Para Walisongo dikenal masyarakat sebagai
keturunan Nabi Muhammad SAW. Versi Jalur silsilah yang banyak dikenal
masyarakat adalah yang melalui jalur Azmatkhan Ba'alawy muasal
Yaman.
Namun perlu diketahui saat ini Naqib Alawiyyin Internasional
mengklasifikasikan Walisongo dan keluarga keturunannya bukan ke jalur
Azmatkhan Ba'alawy tapi ke versi jalur sanad nasab lainnya.
Jadi
kajian ilrniah dan adu hujjah nasab terkait
keabsahan silsilah para Habaib Ba' alawy muasal Yaman yang
sedang viral di media sosial, bagi yang mengetahui silsilah Walisongo versi
sanad Naqib Internasional, bukanlah menggugat tentang leluhur keluarga
Walisongo.
Terindikasi sempat ada distorsi pengkaburan sejarah dan
silsilah leluhur Walisongo oleh oknum Habib Ba'alawy muasal Yaman di masa
lalu.
Dalam sejarah masyhur nusantara. Leluhur Wali Nusantara ada
yang berasal dari Maghrib I Maroko dan terindikasi dari banyaknya gelar
Maulana Maghribi (bukan gelar Maulana Yamani ataupun Maulana Al Hadhrarni) dan
ada yang berasal dari Samarkand Uzbekistan Asia Tengah terindikasi dari
penggunaan gelar Asmarakandi pada ayah Sunan Ampel , dan penggunaan gelar
Makhdum, gelar zuriat Ahlul Bait Nabi yang lazim digunakan di Asia Tengah dan
jelas keluarga Walisongo tidak menggunakan gelar Habib, sebagaimana
kelaziman gelar yang dipakai keluarga Ba' alawy muasal
Yaman.
Contoh Walisongo yang menggunakan gelar Makhdum adalah Sunan
Bonang Makhdum Ibrahim dan Syarif Hidayatullah Sunan Makhdum Gunung Jati.
Jalur
muasal dari Maroko menurunkan Sunan Giri dan Sunan Kudus yang berdasar data
Serat Walisana, dikolaborasikan dengan data Malaka dan Naqib
Maroko berjalur turunan kepada kabilah Al Jailani Al Hasani dan
sudah mendapat isbat nasab dari Naqib Internasional antara lain
dari Maroko, Irak dan Turki.
Sedangkan dari jalur muasal Uzbekistan
Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al
Kazhirni Al Husaini, diakui jalur ini namun untuk sanad detailnya sedang
proses isbat Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki.
Di Cirebon ada berbagai versi data silsilah leluhur Sunan Gunung Jati yang berbeda. Pihak peneliti nasab dari keluarga Walisongo, meneliti bahkan menggunakan perbandingan hasil tes DNA sampel keturunan melalui Peta Migrasi Leluhur untuk meneliti versi mana yang paling shoheh diantara berbagai versi yang ada.
Penggunaan tes DNA untuk meneliti keabsahan silsilah jalur Alawiyyin di kalangan Internasional juga sudah dilakukan oleh Naqib Jordan dan Naqib Mesir. Sehingga penelitian nasab memperbandingkan data hasil tes genetik dengan data tertulis yang dilakukan peneliti dari kalangan keluarga Walisongo yang tergabung dalam wadah organisasi NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis‘ah) memenuhi kaidah ilmiah ilmu nasab Internasional.
Silsilah yang dianggap paling shoheh oleh pihak peneliti untuk jalur leluhur Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati adalah yang melalui jalur Al Kazhimi Al Husaini sebagaimana data yang dipelihara oleh pihak Keprabon Cirebon.
Dari penelitian DNA, peta migrasi khusus yang sesuai dengan kode genetik yg ada di sampel trah Sunan jalur Al Husaini menunjukkan migrasi yang sinkron dengan riwayat muasal dari Hijaz ke Irak – Iran ke Uzbekistan Asia Tengah ke India / Pakistan lantas ke Nusantara.
Dapat diliat pula peta migrasi tersebut tidak sesuai dengan silsilah Walisongo versi Azmatkhan Ba‘alawy muasal Yaman yang konon semestinya dari Irak hijrah ke Yaman dulu (arah barat daya) baru ke India (arah timur) lantas ke nusantara.
Jadi versi silsilah leluhur Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel jalur Al Kazhimi Al Husaini ditemukan bersesuaian dengan peta migrasi leluhur dari sampel keturunan Walisongo yang diuji tes DNA serta disimpulkan lebih shoheh.
Sampel DNA trah Walisongo Alhamdulillah, terbukti pula sebagai turunan ahlul
bait Nabi dengan ditemukannya kode mutasi genetik / SNP dari kode Ahlul Bait
Nabi. Wallahu a‘lam bishowab.
CATATAN KAKI
50 https://geotimes.id/catatan-syafiq-hasyi m/menyoa1-genealogi-ha bib-di-indonesia-kerasuIu11ah-bukti-ilmiah-kyai-imaduddin-utsman/
51 https://alif.id/read/kholili-kholil/polemik-tentang-nasab-ba-aIawy-b247627p/
52 https://Iiputan9.id/ketika-nasab-ha baib-jadi-polemik-menakar-anaIisa-sejarah-ba-alawikyai-imaduddin-utsman-a1-bantani/
53 https://jatman.or.id/gonjang-ganjing-soa1-nasab-ini-kata-prof-dr-quraish-shihab/