Biografi Imam Abu Hanifah
BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
Abu Hanifah adalah ulama fikih dan Imam fikih mazhab empat pertama dalam Ahlussunnah wal Jamaah. Ia pendiri mazhab Hanafi dalam fikih Islam. Di dunia Islam ia dijuluki sebagai Imam Agung (al-Imam al-A'zham). Ia terkenal dengan keilmuannya yang luas dan akhlaknya yang luhur. Imam Abu Hanifah termasuk dari generasi Tabi'in.
Daftar isi
- Profil singkat
- Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah
- Pendidikan Imam Abu Hanifah
- Guru-guru Imam Abu Hanifah
- Murid-murid Imam Abu Hanifah
- Karya-karya Imam Abu Hanifah
- Baca juga: Biografi Imam Syafi'i
Pribadi
- Nama: Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit bin Marzuban al-Kufi (أبو حنيفة النعمان بن ثابت بن مرزُبان الكوفيّ)
- Lahir: September 699 M (Rajab 80 H)
- Tempat lahir: Kufah,
- Era: Khilafah / kekhilafahan dinasti Umayyah (sekarang Iraq)
- Wafat: 767 M (150 H; usia 68–70)T
- Tempat wafat: Baghdad,
- Era: Khilafah / Kekhilafahan Dinasti Abbasiyah (sekarang Iraq)
- Tempat pemakaman: Masjid Abu Hanifa, Baghdad, Irak
Gelar:
- Shaykh al-Islam ('Shaykh Islam')
- Al-Imam al-A'zam (Imam Agung)
- Siraj al-A'imma ('Lampu para Imam)
Anak
- Hammad
- Hanifa
Karya utama
- Al-Fiqh al-Akbar
- Al-Musnad
- Al-Athar
Jabatan
- Ulama
- Fuqaha (ahli fikih)
- Teolog
A. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi1.
Nama beliau dari kecil ialah Nu'man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia2.
Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang pedagang, dan satu keturunan dengan saudara Rasulullah. Neneknya Zauta adalah suku (bani) Tamim. Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal dikalangan ahli-ahli sejarah tapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya.
Dia pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Dia pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum bagaimana memenuhi panggilan ibu. Beliau berpendapat taat kepada kedua orang tua adalah suatu sebab mendapat petunjuk dan sebaliknya bisa membawa kepada kesesatan3.
Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (raja Bani Umayah yang ke V) dan beliau meninggal dunia pada masa Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur.
Abu Hanifah mempunyai beberapa orang putra, diantaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang dengan Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain: sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seseorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam agama. Karena perkataan “hanif” dalam bahasa arab artinya “cenderung atau condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “hanifah” menurut lughot Irak, artinya “dawat atau tinta”. Yakni beliau dimana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para guru beliau atau lainnya. Dengan demikian beliau mendapat gelar dengan Abu Hanifah4.
Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal disegenap kota-kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah. Setelah ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui serta diikut oleh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”5.
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya (menurut Hamdan putranya)6. Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang baik. Lantaran dari kesukaannya dengan bau- bauan yang harum, hingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya7. Abu Hanifah juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi tidak suka bergaul dengan sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu hal yang terkandung didalam hati sanubarinya, dan berani pula menyatakan kebenaran kepada siapa pun juga, tidak takut di cela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi bahaya bagaimanapun keadaannya.
Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat, ikut duduk di majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan. Jika memiliki
utang, maka ia akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya8.
B. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Pada mulanya Abu Hanifah adalah seorang pedagang, karena ayahnya adalah seorang pedagang besar dan pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Pada waktu itu Abu Hanifah belum memusatkan perhatian kepada ilmu, turut berdagang di pasar, menjual kain sutra. Di samping berniaga ia tekun menghapal al-Quran dan amat gemar membacanya.
Kecerdasan otaknya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya, karena asy-Sya'b menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya kepada ilmu. Dengan anjuran asy-Sya'bi mulailah Abu Hanifah terjun ke lapangan ilmu. Namun demikian Abu Hanifah tidak melepas usahanya sama sekali9. Imam Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira'at, hadits, nahwu, sastra, sya'ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara ilmu-ilmu yang dicintainya adalah ilmu teologi, sehingga beliau salah seorang tokoh yang terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, beliau sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat perhatian para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas'ud (wafat 63 H/682 M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha'i, lalu Muhammad ibn Abi Sulaiman al- Asy'ari (wafat 120 H). Hammad ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari 'Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuri'ah, keduanya adalah tokoh dan fakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan tabi'in. Dari Hamdan ibn Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits. Selain itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijjaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambahan dari apa yang diperoleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini10.
Kufah dimasa itu adalah suatu kota besar, tempat tumbuh aneka rupa ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Disana diajarkan filsafah Yunani, Persia dan disana pula sebelum Islam timbul beberapa mazhab Nasrani memperdebatkan masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh aneka bangsa. Masalah-masalah politik, dasar-dasar aqidah di Kufahlah tumbuhnya. Disini hidup golongan Syi'ah, Khawarij, Mu'tazilah, sebagaimana disana pula lahir ahli-ahli ijtihad terkenal. Di Kufah dikala itu terdapat halaqah ulama: pertama, halaqah untuk mengkaji (mudzakarah) bidang akidah. Kedua, halaqah untuk bermudzakarah dalam bidang fiqh. Dan Abu Hanifah berkonsentrasi kepada bidang fiqh11.
Abu Hanifah tidak menjauhi bidang-bidang lain. Ia menguasai bidang qiraat, bidang arabiyah, bidang ilmu kalam. Dia turut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada waktu itu. Pada akhirnya ia menghadapi fiqh dan menggunakan segala daya akal untuk fiqh dan perkembangannya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kufah dan Basrah, Abu Hanifah pergi ke Makkah dan Madinah sebagai pusat dari ajaran agama Islam. Lalu bergabung sebagai murid dari Ulama terkenal Atha' bin Abi Rabah12.
Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Sahabat Nabi itu itu di antaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Watsilah bin al-Aqsa, Ma'qil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thufail ('Amir bin Watsilah)13.
Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan “tabi'in” (golongan yang hidup pada masa kemudian para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam Atha bin Abi Raba'ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi' Muala Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), dan lain-lain lagi. Adapun orang alim ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun.
Di antara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu'tamir, Imam Syu'bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi'ah bin Abi Abdur Rahman, dan lain-lainnya dari Ulama Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in14.
Adapun faktor-faktor Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan yang mengarahkannya ialah:
1. Sifat-sifat kepribadiannya, baik yang merupakan tabiatnya ataupun yang diusahakan, kemudian menjadi suatu melekat padanya. Ringkasnya sifat- sifat yang mengarahkan jalan pikirannya dan kecenderungannya.
2. Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil salah satunya.
3. Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalaman dan penderitaan- penderitaannya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga keujungnya.
4. Masa yang mempengaruhinya dan lingkungannya yang dihayatinya yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya.
Sifat-sifat yang dimiliki Abu Hanifah itu di antaranya :
1. Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombang ambingkan pengaruh-pengaruh luar.
2. Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun yang disalahkan itu seorang besar. Pernah dia mengatakan Hasan al-Bisri.
3. Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain. Hal ini telah disarankan oleh gurunya Hamdan.
4. Suka meneliti suatu hal yang dihadapi, tidak berhenti pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.
5. Mempunyai daya tangkap luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.
Abu Hanifah belajar kepada Imam Amir Syarahil asy-Syu'bi (wafat pada tahun 104 H), asy-Syu'bi ini telah melihat dan memperlihatkan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar ilmu pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu (khusus) di majlis-majlis para Ulama, para cerdik pandai yang ternama waktu itu15.
Nasehat baik ini diterima oleh Abu Hanifah dan memperlihatkan kesungguhannya, lalu dimasukkan kedalam hati dan sanubarinya, dan selanjutnya beliau mengerjakan dengan benar-benar. Yakni, sejak itulah beliau rajin belajar dan giat menuntut pengetahuan yang bertalian dengan keagamaan dan seluas-luasnya.
Pada awalnya Abu Hanifah mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan hukum-hukum keagamaan, kemudian mempelajari pengetahuan tentang kepercayaan kepada tuhan atau sekarang disebut “ilmu kalam” dengan sedalam-dalamnya. Oleh karena itu beliau termasuk seorang yang amat luas mempelajarinya dan sangat rajin membahas dan membicarakannya. Sehingga beliau sering bertukar fikiran atau berdebat masalah ini, baik dengan kawan maupun dengan lawan. Abu Hanifah berpendapat “ilmu kalam” adalah salah satunya ilmu paling tinggi dan amat besar kegunaannya dalam lingkup keagamaan dan ilmu ini termasuk dalam bahagian pokok agama (ushuluddin).
Kemudian Abu Hanifah memiliki pandangan lain, yakni hati sanubari beliau tertarik mempelajari ilmu “fiqh”, ialah ilmu agama yang didalamnya hanya selalu membicarakan atau membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukumannya, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah maupun berkenaan dengan urusan mu'amalat atau masyarakat.
Sebagai bukti, bahwa beliau seorang yang pandai tentang ilmu fiqh, ialah sebagaimana pengakuan dan pernyataan para cerdik pandai, dan alim ulama dikala itu. Antara lain Imam Muhammad Abi Sulaiman, seorang guru beliau yang paling lama, setelah mengetahui kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, maka sewaktu-waktu ini beliau pergi keluar kota atau daerah lain, terutama dikala beliau pergi ke Basrah dalam waktu yang lama, maka beliau (Hanafi)lah yang disuruh untuk mengganti atau mewakili kedudukan beliau, seperti memberi fatwa tentang hukum-hukum agama dan memberi pelajaran kepada murid beliau.
Imam Abu Hanifah dikenal karena kecerdasannya. Suatu ketika ia menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian, siapa dia?”. Mereka menjawab “Tidak”. Ia berkata,” Dialah Nu'man bin Tsabit. Seandainya ia berkata bahwa tiang Mesjid itu emas, niscaya perkataannya dipakai sebagai agrumen.” Imam Malik tidaklah berlebihan dalam menggambarkan diri Abu Hanifah. Sebab, ia
memang memiliki kekuatan dalam berargumen, daya tangkap yang cepat, cerdas dan tajam wawasannya16.
Kecerdasannya Imam Abu Hanifah bukan hanya mengenai hukum Islam tapi menurut satu riwayat beliau juga terkenal orang yang pertama kali memiliki pengetahuan tentang cara membuat baju ubin. Benteng-benteng di kota Baghdad pada masa pemerintahan Al-Mansur, seluruh dindingnya terbuat dari batu ubin yang dibuat oleh Abu Hanifah17.
C. Guru-guru Imam Abu Hanifah
Menurut kebanyakan guru-guru beliau pada waktu itu ialah para ulama
Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in diantaranya ialah:
1. Abdullah bin Mas'ud (Kufah)
2. Ali bin Abi Thalib (Kufah)
3. Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)
4. Amir bin Syarahil al-Sya'bi (wafat 104 H)
5. Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.
6. Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)
7. Imam Nafi' Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)
8. Imam Salamah bin Kuhail
9. Imam Qatadah
10. Imam Rabi'ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya18.
Adapun silsilah guru-guru dan murid-murid Imam Hanafi adalah sebagai berikut:
Guru dan murid Imam Abu Hanifah19
Abdullah Ibn Mas'ud (Kufah)
Ali Ibn Thalib (Kufah)
Syiraih Ibn Al-Hrits (w. 95 H
'Alqamah Ibn Qais Al- Nakha'i (w.
Masyruq Ibn Al- Adja Al-Hamdani (w. 63 H)
Al-Aswad Ibn Yazid Al- Nakha'i (w.
Ibrahim Al- Nakha'i (w. 95 H)
Hammad Ibn Sulaiman (w. 120 H)
'Amir Ibn Syarahil Al- Sya'bi (w. 104
Abu Hanifah Al-Nu'man (w. 150 H)
Abu Yusuf
Muhammad Ibn Al-Hasan
Zufar
D. Murid-murid Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah seorang yang cerdas, karya-karyanya sangat terkenal dan mengagumkan bagi setiap pembacanya, maka banyak diantara murid-muridnya yang belajar kepadanya hingga mereka dapat terkenal kepandaiannya dan diakui oleh dunia Islam.
Murid-murid Imam Abu Hanifah yang paling terkenal yang pernah belajar dengannya di antaranya ialah:
1. Imam Abu Yusuf, Ya'qub bin Ibrahim al-Anshari, dilahirkan pada tahun 113 H. Beliau ini setelah dewasa lalu belajar macam-macam ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan urusan keagamaan, kemudian belajar menghimpun atau mengumpulkan hadits dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah asy-Syaibani, Atha bin as-Saib dan lainnya. Imam Abu Yusuf termasuk golongan Ulama ahli hadits yang terkemuka. Beliau wafat pada tahun 183 H.
2. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, dilahirkan dikota Irak pada tahun 132 H. Beliau sejak kecil semula bertempat tinggal dikota Kufah, lalu pindah kekota Baghdad dan berdiam disana. Beliaulah seorang alim yang bergaul rapat dengan kepala Negara Harun ar-Rasyid di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 189 H dikota Ryi.
3. Imam Zafar bin Hudzail bin Qais al-Kufi, dilahirkan pada tahun 110 H. Mula-mula beliau ini belajar dan rajin menuntut ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra'yi. Sekalipun demikian, beliau tetap menjadi seorang yang suka belajar dan mengajar, maka akhirnya beliau kelihatan menjadi seorang dari murid Imam Abu Hanifah yang terkenal ahli qiyas. Beliau wafat lebih dahulu dari lainnya pada tahun 158 H.
4. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau ini seorang murid Imam Hanafi yang terkenal seorang alim besar ahli fiqh. Beliau wafat pada tahun 204 H20.
Empat orang itulah sahabat dan murid Imam Hanafi yang akhirnya menyiarkan dan mengembangkan aliran dan buah ijtihad beliau yang utama, dan mereka itulah yang mempunyai kelebihan besar dalam memecahkan atau mengupas soal-soal hukum yang bertalian dengan agama.
E. Karya-karya Imam Abu Hanifah
Sebagian ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah fikiran. Sebagian ide dan buah fikirannya ditulisnya dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:
1. al-Fara'id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum Islam.
2. asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.
3. al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi.
Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak, didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu kemudian jadi pegangan pengikut mazhab Imam Hanafi. Ulama mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga tingkatan.
Pertama, tingkat al-Ushul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah langsung yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab dalam kategori ini disebut juga Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas enam kitab yaitu21 :
1. al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)
2. al-Jami' As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
3. al-Jami' Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
4. as-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
5. as-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)
Kedua tingkat Masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang kedua ini adalah:
1. Harun an-Niyah: (niat yang murni)
2. Jurj an-Niyah: (rusaknya niat)
3. Qais an-Niyah: (kadar niat)
Ketiga, tingkat al-Fatwa Wa al-Faqi'at, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath (pengambilan hukum dan penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (bencana), dari Imam Abdul Lais as-Samarqandi22.
Adapun ciri khas fiqh Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari'at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, disisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama.
Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang- orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan, prilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontrovensional, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal ini itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain23. Imam Abu Hanifah wafat di dalam penjara ketika berusia 70 tahun tepatnya pada bulan rajab tahun 150 H (767 M)24.
CATATAN AKHIR
1 Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,
Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), Cet. ke-9, h. 19.
2 Ibid.
3Ahmad Asy-Syurbasi, al-Aimatul Arba'ah, Penerjemah Sabil Huda dan Ahmadil, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Cet. ke-3, h. 15.
4 Moenawir Chalil, op. cit., h. 20.
5 Ibid.
6 Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam as-Salaf, Penerjemah Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2007), Cet. ke-2, h. 170.
7 Moenawir Chalil, op.cit, h. 21.
8 Hendri Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi'in, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), Cet. ke-1, h. 3.
9 Ibid. h. 46.
10 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. ke-1, h. 95.
11 Syaikh Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 4.
12 A. Rahman Doi, Penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari'ah The Islamic Law), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. ke-2, h. 122.
13 Al-Samsuddin al-Syarkhasi, al-Mabsuth, ( Beirut: Darul Kitab Amaliyah, 1993 ), Juz 7,
14 Moenawir Chalil, op. cit., h. 22-23.
15 Moenawir Chalil, op. cit., h. 26-28.
16 Hendri Andi Bastoni, op. cit., h. 47.
17 Moenawir Chalil, op cit, h. 24.
18 Ibid, h. 23
19 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), cet. ke-1, h. 72-73.
20 Ibid, h. 34-36.
21 Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. ke-1, h. 81.
22 Ibid.
23Abdurrahman asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. ke-1, h. 49.
24 Moenawir Chalil, op. cit., h. 72.