Keutamaan Puasa Ramadan
Nama kitab: Terjemah Durratun Nashihin, Durrotun Nasihin
Judul asal: Durrat al-Nasihin fi al-Wa'zhi wa al-Irsyad
Judul asal dalam teks Arab: درة الناصحين في الوعظ والإرشاد
Makna: Mutiara Ahli Nasihat dalam Petuah dan Tuntunan Agama
Penulis: Umar bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubari (عثمان بن حسن بن أحمد الشاكر الخويري)
Bidang studi: Etika budi pekerti Islam, akhlak mulia, tasawuf
Penerjemah:
Daftar isi
1. KEUTAMAAN BULAN RAMADAN
Allah Taala berfirman :
Artinya : (Beberapa hari yang
ditetapkan itu, ialah) Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas. an-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil), (as. Al
Baqarah : 185) Tafsir :
(. ) adalah mubtada (perman kalimat
atau subjek) yang khabar (predikat)nya adalah kalimat sesudulaahnya. Atau,
khabar (predikat) dari mubtada (subjek) yang mahzutf (dihilangkan), yang kalau
ditampakkan akan berbunyi : (. ). Atau, badal (kalimat pengganti) dari kata
Asal , berdasarkan hazful (hilang mudhaf), yang kalau ditampakkan
bunyinya adalah : Kata dibaca manshub atas dasar
adanya kata yang tersembunyi, atau atas dasar bahwa adalah
maf’ul dari kalimat , tetapi pendapat yang terakhir ini lemah. Atau bisa juga
ia dianggap sebagai badal (kata ganti) dari kalimat Kata
berasal dari kata , yang artinya masyhur atau terkenal. Sedangkan
kata adalah masdar (kata dasar) dari kata , yang artinya
terbakar. Kata disandarkan kepadanya, sedangkan ia (. ) dijadikan
isim alam (kata nama), yang tercegah dari tasrif (tidak menerima tanwin)
karena ia isim alam (kata nama) yang diakhiri oleh alif nun
(. ), (seperti kata-kata nama : dan lain-lain,
pent.), sebagai-mana kata di dalam kalimat , yaitu nama dari
burung gagak (kata ini juga menjadi tidak boleh ditasrif) karena
felah menjadi isim alam (kata nama) yang muannats (jenis betina).
Adapun
sabda Nabi saw. : ( ) yang artinya : “Barangsiapa berpuasa (di bulan)
Ramadan”, maka dasarnya adalah hazful mudhaf (hilang mudhaf), artinya : kata
tidak dicantumkan lagi, karena dianggap kata sudah dipahami
sebagai nama bulan, sehingga tidak mungkin diartikan lain.
Dan
bulan itu mereka namakan demikian (. ) karena mungkin saking panasnya
cuaca pada saat itu sehingga seakan-akan mereka terbakar, atau bisa juga
karena panasnya rasa lapar dan dahaga, atau bisa juga karena terbakarnya
dosa-dosa pada bulan itu, atau karena bulan itu terjadi pada musim ramadh,
yakni musim panas, pada saat mereka menukil nama-nama bulan dari bahasa
kuno.
(. ) maksudnya : yang pada bulan itu Alquran mulai
diturunkan, tepatnya pada malam (Lailatul Qadar). Atau, yang pada bulan itu,
Alquran diturunkan seluruhnya ke langit yang terendah (langit dunia),
selanjutnya secara bertahap diturunkan ke bumi. Atau, yang pada bulan itu
diturunkan ayat Alquran, yang berkaitan dengan bulan (Ramadan) itu, yaitu
firman Allah Taala : (. ) yang artinya : Diwajibkan atas kamu
berpuasa”.
Diriwayatkan dari Nabi saw. yang artinya : “Suhuf
(lembaran-lembaran) Ibrahim as. diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan.
Kitab Taurat diturunkan pada malam keenam bulan Ramadan. Kitab Injil
diturunkan pada malam kesepuluh bulan Ramadan. Kitab Zabur diturunkan pada
malam kedelapan belas bulan Ramadan, dan Alquran diturunkan pada malam kedua
puluh empat bulan Ramadar”.
Isim maushul (. ) dan
shilahnya adalah khabar (predikat) dari mubtada (. ), atau
sifatnya. Kalau ia dianggap sebagai sifat dari mubtada, maka khabar mubtadanya
adalah kalimat selanjutnya, yaitu : faman syahida (. ). Huruf fa
(. ) pada kalimat faman syahida adalah untuk mensifati mubtada dengan
sifat yang mengandung makna syarath, yang memberi pengertian bahwa,
diturunkannya Alquran pada bulan Ramadan itulah yang menjadi sebab
diwajibkannya puasa secara khusus pada bulan itu.
(. )
kalimat ini menjadi hal (keterangan) bagi kata Alquran. Maksudnya : Alquran
diturunkan pada bulan Ramadan dan ia merupakan petunjuk Allah bagi manusia
dengan kemukjizatannya dan ayat-ayatnya yang jelas, yang dapat menunjukkan
kepada kebenaran, dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena
hikmat-hikmat dan hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran tersebut.
(Aadhi Baidhawi).
Diriwayatkan dari sahabat Abu
Hurairah ra. bahwa ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda :
Artinya
: “Terhinalah orang yang aku disebut di sisinya namun ia tidak mengucapkan
salawat untukku. Terhinalah orang yang kedua orang tuanya atau salah seorang
dari keduanya ada padanya namun dia tidak melakukan sesuatu perbuatan pun
untuk memenuhi hak mereka yang dapat menyebabkan dia masuk surga. Dan
terhinalah orang yang didatangi bulan Ramadan namun sebelum ia diampuni, bulan
Ramadan itu telah habis”.
Karena bulan Ramadan
itu adalah bulan rahmat dan ampunan dari Allah Taala. Jadi, kalau dia tidak
diampuni pada bulan itu maka merugilah dia. (Zubdatul Wa’izhin).
Dan
diriwayatkan pula dari Rasulullah saw. bahwa Beliau bersabda :
Artinya
: “Barangsiapa membaca salawat atasku pada hari Jumat sebanyak seratus kali,
maka kelak pada hari kiamat ia datang disertai cahaya, yang seandainya cahaya
itu dibagi-bagikan kepada seluruh makhluk, niscaya meratai mereka semua”.
(Zubdatul Wa. ‘izhin)
Dan diriwayatkan pula dari
Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :
Artinya :
“Barangsiapa merasa gembira dengan masuknya bulan Ramadan maka Allah
mengharamkan jasadnya dari api neraka”.
Dan
sabdanya pula :
Artinya : Apabila tiba malam
pertama bulan Ramadan, Allah Taala berfirman : “Barangsiapa yang mencintai
Kami maka Kami pun mencintainya. Barangsiapa mencari Kami maka Kami pun
mencarinya. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada Kami maka Kami pun
mengampuninya demi kemuliaan bulan Ramadan”. Lalu, Allah Taala menyuruh para
malaikat pencatat amal yang mulia agar pada bulan Ramadan mereka mencatat
kebaikan-kebaikannya saja dan tidak mencatat keburukan-keburukannya. Dan Allah
Taala menghapuskan darinya dosa-dosa yang telah lewat.
Diriwayatkan
pula, bahwa suhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim as. diturunkan pada malam
pertama bulan Ramadan dan Kitab Taurat diturunkan pada malam keenam bulan
Ramadan, setelah lewat tujuh ratus tahun dari suhuf Ibrahim as. Kitab Zabur
diturunkan pada malam kedua belas bulan Ramadan, lima ratus tahun sesudah
Taurat. Kitab Injil, pada malam kedelapan belas bulan Ramadan, seribu dua
ratus tahun sesudah Zabur. Dan Kitab Alfurgan (Alquran) pada malam kedua puluh
tujuh bulan Ramadan, enam ratus dua puluh tahun sesudah Injil. Sekian. (Dari
Kitab Al Hayat)
Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata :
“Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda :
Artinya
: “Seandainya umatku mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadan itu, niscaya
mereka menginginkan agar tahun itu seluruhnya adalah bulan Ramadan”.
Karena
pada bulan itu kebaikan dihimpun, ketaatan diterima, doa-doa dikabulkan, dan
dosa-dosa diampuni. Sedangkan surga merindukan mereka. (Zubdatul Wa’izhin).
Dar
Hafsh Alkabu, ia berkata : “Daud Aththa’i berkata : “Saya tertidur pada malam
pertama bulan Ramadan, lalu saya bermimpi melihat surga, seolah-olah saya
duduk di tepi sebuah sungai yang terbuat dar mutiara dan mera delima.
Sekonyong-konyong saya melihat bidadari-bidadari surga seumpama matahari
karena cahaya wajah mereka yang cemerlang. Lalu saya mengucapkan : “La Ilaha
Iilallaah, Muhammad Rasulullah’. Para bidadari itu menjawab : ‘La Ilaaha
Illallaah, Muhammad Rasulullah. Kami kepunyaan orang-orang yang bertahmid
(memuji-muji Allah), berpuasa, melakukan ruku dan sujud (Salat) pada bulan
Ramadan”. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda :
Artinya
: “Surga itu rindu kepada empat golongan manusi:. ” (1). Orang yang gemar
membaca Alquran, (2) orang yang menjaga lidahnya, (3) orang yang suka memberi
makan kepada mereka yang kelaparan, (4) dan orang yang berpuasa di bulan
Ramadan”. (Raunaqul Majalis).
Dan dalam salah
satu khabar disebutkan : “Apabila tampak hilal (bulan sabit) sebagai tanda
masuknya bulan Ramadan, maka berteriaklah Arsy, Kursi, para malaikat dan semua
yang ada di bawah mereka dengan mengucapkan : ‘Beruntunglah umat Muhammad saw.
Dengan kemuliaan yang ada di sisi Allah Taala untuk mereka’. Sedangkan
matahari, bulan, bintang-bintang dan burung-burung di angkasa, ikan-ikan di
laut, dan semua makhluk bernyawa di permukaan bumi, siang dan malam memohonkan
ampunan buat mereka, kecuali setan-setan yang terkutuk. Lalu pagi harinya,
Allah Taala tidak membiarkan seorang pun dari mereka kecuali diampuninya.
Kemudian Allah Taala berfirman kepada para malaikat : “Berikanlah (pahala)
salat dan tasbih kalian pada bulan Ramadan kepada umat Muhammad alaihis
salaatu wassalaam”.
Diceritakan, bahwa ada
seorang laki-laki bernama Muhammad. Dia tidak pernah melakukan salat sama
sekali. Kemudian, ketika masuk bulan Ramadan, dia berdandan dengan mengenakan
pakaian yang bagus dan memakai minyak wangi, lalu mengerjakan salat melunasi
salat-salatnya dahulu yang telah ditinggalkannya. Maka ia ditanya : “Mengapa
Anda melakukan itu?” Dia menjawab : “Ini adalah bulan tobat, rahmat dan
berkat. Mudah-mudahan berkat kemurahan-Nya, Allah mengampuni segala
dosa-dosaku”. Ketika orang itu meninggal dunia, seseorang bermimpi melihatnya,
lalu bertanya kepadanya : “Apa yang telah dilakukan Allah terhadapmu?”. Dia
menjawab : “Tuhan telah mengampuni aku berkat pengagunganku terhadap bulan
Ramadan”.
Dan diriwayatkan dari sahabat Umar bin
Khattab ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda yang artinya :
Apabila
seseorang di antara kalian bangun dari tidurnya pada bulan Ramadan, lalu
bergerak di tempat tidurnya sambil berbolak-balik dari satu sisi ke sisi
lainnya, maka berkatalah malaikat kepadanya : “Bangkitlah, semoga Allah
memberkatimu dan mengasihimu”, Apabila orang itu bangkit dengan niat melakukan
salat, maka tempat tidurnya itu lalu mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya
Allah, berilah dia kasur-kasur yang tinggi (di dalam surga)”. Dan apabila dia
mengenakan pakaian, maka pakaiannya itu mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya
Allah, berilah dia pakaian-pakaian surga”. Dan apabila dia mengenakan kedua
sandainya, maka sandainya itu mendoakannya dengan mengUcapkan : “Ya Allah,
tetapkanlah kedua kakinya di atas sirat (titian yang ada di atas neraka menuju
surga”. Dan apabila dia mengambil bejana, maka bejana itu mendoakannya dengan
mengucapkan :”Ya Allah, berilah dia piala-piala surga”. Dan apabila dia
berwudu, maka air mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah, bersihkanlah
dia dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan”. Dan apabila ia berdiri untuk
memulai salatnya maka rumahnya mendoakannya dengan mengucapkan : “Ya Allah,
lapangkanlah kuburnya, terangkanlah liangnya, dan tambahlah rahmat untuknya”.
Sedang Allah memandang kepadanya dengan penuh rahmat. Ketika dia berdoa, Allah
menjawab : “Wahai hamba. Ku, darimu doa dan dari Kami perkenan: darimu
permintaan dan dari Kami pemberian: dan darimu istighfar (permohonan ampun)
sedang dari Kami ghufran (ampunan)”. (Zubdatul Wa’izhin).
Dalam
salah satu khabar disebutkan bahwa, pada hari kiamat kelak, Ramadan datang
dalam rupa yang paling indah, lalu ia sujud di hadirat Allah SWT. Maka Allah
berfirman : “Hai Ramadan, sebutkanlah hajatmu dan bawalah besertamu orang yang
mengetahui kewajibannya terhadapmu”. Maka berputar-putarlah Ramadan itu di
pelataran kiamat, lalu dibawa bersamanya orang yang mengetahui kewajibannya
terhadapnya. Kemudian dia berdiri di hadirat Allah kembali, lalu Allah
berfirman : “Hai Ramadan, apa yang kau inginkan?”. Ramadan menjawab: “Hamba
ingin agar Engkau memahkotai orang ini dengan mahkota kebesaran”.
Maka
Allah pun memahkotai orang itu dengan seribu mahkota. Kemudian orang itu
memberi syafaat untuk tujuh puluh ribu orang yang termasuk pelaku dosa-dosa
besar. Kemudian ia dijodohkan dengan seribu bidadari, yang setiap bidadari
disertai tujuh puluh ribu dayang. Lalu Allah menaikkan orang itu ke atas Burag
(kendaraan surga), kemudian berfirman : “Apa yang engkau inginkan, hai
Ramadan?”. Ramadan menjawab : “Tempatkanlah dia disisi Nabi-Mu”.
Maka
Allah pun lalu menempatkan orang itu di dalam surga Firdaus. Kemudian Allah
berfirman : “Hai Ramadan, apa yang engkau inginkan lagi?”. Ramadan menjawab :
“Engkau telah memenuhi keinginanku, tetapi mana kemurahan-Mu?”, Maka Allah pun
memberikan kepada orang itu seratus kota yang terbuat dari mira delima yang
sangat indah dan zabarjat hijau yang sangat menawan, sedang di tiap-tiap kota
itu terdapat seribu mahligai. (Zahratur Riyadh).
Dari
sahabat Ibnu Mas’ud ra. Dari Nabi saw. bahwa Beliau telah bersabda:
Artinya
: “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku pada hari kiamat kelak jalah
orang yang paling banyak membaca salawat untukku”
Dan
dari sahabat Zaid bin Rafi’, dari Nabi saw, bahwa Beliau telah bersabda :
Artinya
: “Barangsiapa membaca salawat untukku seratus kali pada tiap-tiap hari Jumat
niscaya Allah akan mengampuninya sekalipun dosa-dosanya seperti buih di
lautan”. (Zubdatul Wa’izhin)
Imam Bukhari
meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. : “Barangsiapa berdiri pada bulan
Ramadan (maksudnya : menghidupkan malam-malam bulan Ramadan dengan ibadat,
selain malam Qadar, atau mengerjakan salat taraweih pada malam-malam Ramadan
itu, karena menghormatinya) dengan penuh keimanan (yakni mempercayai
pahalanya) dan ikhlas (dalam melaksanakannya), maka diampunilah dosa-dosanya
yang telah lalu”. (Masyariq)
Dan dari Ibnu Abbas
ra, dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :
Artinya
: “Apabila tiba hari pertama bulan Ramadan, bertiuplah angin dari bawah Arsy
yang disebut angin “mutsirah”, lalu bergoyanglah daun-daun pepohonan surga.
Karena gerakan daun-daun tadi, maka terdengarlah suara gema yang belum pernah
terdengar oleh seorang pun suara gema yang lebih indah dari itu. Maka para
bidadari pun memperhatikan itu seraya berkata : “Ya Allah, jadikanlah untuk
kami pada bulan ini suamisuami dari hamba-hamba-Mu”.
Maka,
tidaklah seseorang hamba pun berpuasa pada bulan Ramadan, melainkan
Allah
akan mengawinkan dengan seorang istri dari kalangan bidadari-bidadari tersebut
di dalam sebuah mahligai. Sebagaimana firman Allah di dalam Alquran, yang
artinya : (Bidadari-bidadari yang cantik jelita lagi putih bersih yang
dipingit di dalam mahligai). Sedangkan setiap bidadari itu mengenakan tujuh
pakaian yang warnanya berbeda-beda. Dan untuk setiap wanita ada sebuah ranjang
terbuat dari mira delima bertahtakan mutiara, pada setiap ranjang terdapat
tujuh puluh kasur dan tujuh puluh hidangan dari bermacammacam makanan. Ini
semua adalah untuk orang yang berpuasa pada bulan Ramadan, selain (pahala)
amal-amal kebajikan lainnya yang telah dilakukannya.
Karenanya,
sudah selayaknya bagi seorang mukmin, menghormati bulan Ramadan dan menjaga
diri dari perbuatan-perbuatan keji, serta menyibukkan diri dengan
perbuatanperbuatan bakti kepada Allah, berupa salat, membaca tasbih, berzikir
dan membaca Alquran.
Allah Taala pernah berfirman
kepada Nabi Musa as. : “Sesungguhnya Aku telah memberikan kepada umat Muhammad
dua cahaya agar mereka tidak dicelakai oleh dua kegelapan”.
Musa
bertanya : “Apakah dua cahaya itu, Ya Rabb?”.
Allah
Taala menjawab : “Cahaya Ramadan dan cahaya Alquran”.
Musa
bertanya pula : “Dan apakah dua kegelapan itu, Ya Rabb?”.
Allah
Taala menjawab : “Kegelapan kubur dan kegelapan hari kiamat”. (Durratul
Wa’izhin). Dari sahabat Anas bin Malik ra., dari Nabi saw, bahwa Beliau telah
bersabda :
Artinya : “Barangsiapa menghadiri
majelis ilmu pada bulan Ramadan, Allah Taala akan mencatatkan baginya untuk
setiap langkah (yang dilangkahkannya), ibadah satu tahun, dan dia akan berada
bersamaku di bawah Arasy. Dan barangsiapa selalu mengerjakan salat (lima
waktu) secara berjamaah pada bulan Ramadan, Allah akan memberikan kepadanya,
untuk tiap-tiap satu rakaat, sebuah kota yang penuh dengan nikmat-nikmat Allah
Taala. Barangsiapa berbuat baik kepada ibu bapaknya pada bulan Ramadan, ia
akan memperoleh pandangan rahmat dari Allah Taala, dan aku menjamin dia masuk
surga. Tidaklah seseorang wanita mencari rida suaminya pada bulan Ramadan,
melainkan dia akan memperoleh pahala seperti pahalanya Maryam dan Asiyah. Dan
barangsiapa memenuhi hajat saudaranya yang muslim pada bulan Ramadan, Allah
Taala akan memenuhi seribu hujatnya pada hari kiamat”.
Dari
sahabat Abu Hurairah ra., katanya : “Rasulullah saw. telah bersabda :
Artinya
: “Barangsiapa memasang lampu di salah satu masjid Allah Taala pada bulan
Ramadan, dia akan memperoleh cahaya di dalam kuburnya, dan dicatatkan baginya
pahala orang-orang yang salat di dalam masjid itu, serta didoakan oleh para
malaikat, dan dimohonkan ampunan oleh para malaikat pemanggul Arsy, selama
lampu itu masih berada di dalam masjid tersebut. (Dzakhiratul Abidin)
Diriwayatkan
dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :
Artinya :
Apabila tiba malam pertama bulan Ramadan, setan-setan dan jin-jin yang durhaka
semuanya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tanpa ada satu pintu pun yang
terbuka, pintu-pintu surga dibuka tanpa ada satu pintu pun yang tertutup, dan
Allah Taala, pada setiap malam dari bulan Ramadan itu, berfirman tiga kali :
“Apakah ada orang yang meminta, maka akan Aku beri permintaannya itu?”. Apakah
ada orang yang bertobat, maka akan Aku terima tobatnya itu?. Apakah ada orang
yang memohon ampun, maka akan Aku ampuni dia?”. Dan Allah membebaskan pada
setiap hari dari bulan Ramadan itu sejuta tawanan dari neraka, yang seharusnya
diazab. Dan apabila tiba hari Jumat (di bulan Ramadan), Allah membebaskan, di
setiap jam, sejuta tawanan dari neraka. Dan apabila tiba hari terakhir dari
bulan Ramadan, Allah membebaskan sebanyak orang yang telah dibebaskan sejak
awal bulan (hingga akhir bulan Ramadan). (Zubdatul Wa’izhin). Hukum berpuasa
pada hari “syak” (ragu-ragu antara masuk Ramadan atau belum) ada tujuh macam :
tiga di antaranya boleh tetapi makruh, tiga lagi boleh dan tidak makruh, dan
satu tidak boleh sama sekali. Adapun yang tiga macam pertama (boleh tapi
makruh) itu adalah :
Berpuasa
hari syak dengan niat puasa Ramadan.
Berpuasa pada
hari syak dengan niat menunaikan kewajiban puasa yang lain.
Berpuasa pada hari syak dengan niat tidak pasti, yakni jika hari itu termasuk
bulan Ramadan maka dia berniat puasa Ramadan, dan jika belum masuk bulan
Ramadan (masih bulan Sya’ban) maka dia berpuasa Sya’ban.
Ketiga
macam puasa tadi boleh, tetapi makruh. Yang tiga macam kedua (boleh dan tidak
makruh) adalah :
Berpuasa pada hari syak dengan
niat puasa tathawwu (sunnah).
Atau, dengan niat puasa
Sya’ban.
Atau, dengan niat puasa mutlak.
Sedangkan yang satu, yang sama sekali tidak boleh, adalah : Apabila seseorang
berpuasa pada hari syak dengan syarat, bila hari itu sudah masuk bulan Ramadan
maka saya berpuasa, tetapi kalau belum maka saya tidak berpuasa. Puasa
(bersyarat) seperti ini sama sekali tidak boleh. (Qadhikhan).
2. KEUTAMAAN PUASA
Allah Taata berfirman :
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana (ia) diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkanfnya) itu pada hari-hari yang lain…” (QS. AlBaqarah : 183-184)
Tafsir
:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Yakni, para nabi dan
umat-umat lain dari sejak Nabi Adam as. dahulu.
Perintah dalam ayat ini mengandung taukid (penekanan) terhadap hukum,
anjuran agar berbuat, dan menyenangkan bagi jiwa.
Shoum
(puasa) menurut bahasa ialah menahan diri dari apa-apa yang diinginkan nafsu.
Sedangkan menurut syara’ (hukum agama) ialah : menahan diri dari tiga perkara
(makan, minum dan jimak) yang membatalkan puasa, sepanjang siang. Karena
ketiga perkara tersebut merupakan hal yang paling disukai oleh nafsu.
(.
) Agar kamu bertakwa, yaitu terhadap perbuatan-perbuatan maksiat. Karena puasa
mematahkan syahwat yang merupakan pangkal kemaksiatan, sebagaimana sabda Nabi
saw. :
Artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa
di antara kalian telah mampu menikah maka hendaklah ia menikah. Karena nikah
itu dapat merundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum
mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu memiliki penawar
(mengendurkan syahwat)”. (. ) pada hari-hari yang tertentu.
Tertentu waktunya dengan bilangan yang diketahui, atau dalam hari-hari yang
sedikit. Karena harta yang sedikit itu dihitung-hitung, sedangkan harta yang
banyak ditimbun-timbun.
Adapun sebab nashabnya
(dalam hal ini tanda nashabnya adalah fatihah) kalimat bukan
karena pengaruh kata (puasa), karena di antara keduanya ada fashal (pemisah,
berupa kalimat), tetapi oleh kata yang tersembunyi (mudhmar), yaitu :
(berpuasalah), dikarenakan adanya petunjuk berupa kata (puasa) itu. Yang
dimaksudkan adalah puasa bulan Ramadan, atau puasa yang wajib dipuasai sebelum
diwajibkannya puasa Ramadan yang kemudian dihapus oleh puasa Ramadan, yaitu
puasa Asyura dan puasa tiga hari tiap-tiap bulan. Atau, ia ( )
dinashabkan sebagai zharaf (kata keterangan) dari kalimat atau
sebagai maf’ul tsani (objek kedua) dari kalimat ke (sedang maf’ul awalnya
adalah kata yang kemudian menjadi naib fa’il). Tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa, artinya adalah : puasamu adalah seperti puasa mereka dalam bilangan
beberapa hari. Karena ada riwayat yang mengatakan bahwa, puasa Ramadan itu
pernah diwajibkan juga atas kaum Nasrani. Lalu bulan Ramadan itu jatuh pada
hari yang sangat dingin atau sangat panas, maka mereka alihkan ke musim semi.
Sebagai kaffarat (tebusan) dari pengalihan itu, maka mereka tambah puasa
tersebut dengan dua puluh hari. Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka
menambah puasanya itu disebabkan oleh waba yang menimpa mereka.
(
) Maka jika di antara kamu ada yang sakit dengan suatu penyakit yang berbahaya
atau akan bertambah berat jika ia berpuasa. atau dalam suatu perjalanan.
Kalimat ini memberi isyarat bahwa yang memulai perjalanannya sesudah tengah
hari, maka ia tidak boleh berbuka.
(. ) maka (wajiblah
atasnya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain. Maksudnya, dia wajib mengganti puasanya sebanyak hari-hari ketika ia
sakit atau ketika sedang melakukan perjalanan jauh, di hari-hari yang lain
(selain bulan Ramadan), jika dia berbuka. (Qadhi Baidhawi).
Dari
sahabat Abdurrahman bin Auf ra., dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda :
Artinya
: “Jibril alaissalam telah datang kepadaku, lalu ia berkata : “Ya Muhammad,
tidaklah seseorang bersalawat atasmu, melainkan ada tujuh puluh ribu malaikat
mendoakannya. Dan barangsiapa didoakan oleh malaikat, maka dia tergolong
penghuni surga”. (Zubdah) Dan dari Nabi saw. bahwa Beliau bersabda
menyampaikan firman Tuhannya Yang Maha Tinggi :
Artinya
: “Setiap amal (perbuatan) anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri
kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan
ganjarannya””.
Karona puasa itu merupakan suatu
porbuatan yang tersembunyi (rahasia), tidak ada suatu perbuatan pun di dalam
puasa atu yang dapat disaksikan oleh orang lam. Berbeda dengan amal-amal
porbuatan yang laimnya Dan juga, karena puasa itu merupakan suatu rahasia yang
tidak dikota hut oleh seorang pun kecuali Allah Taala. Maka Allah pun me.
mastikan ganjarannya.
Oleh karenanya,
diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :
Artinya
: “Apabila hari kiamat telah tiba, datanglah suatu kaum yang mempunyai
sayap-sayap seperti sayapnya burung. Dengan sayap-sayap itu mereka terbang
melintasi tembok-tembok surga. Lantas para penjaga surga bertanya kepada
mereka : “Siapakah kalian?”. Mereka menjawab, “Kami adalah umat Muhammad saw”.
“Apakah kalian telah mengalami hisab” tanya penjaga surga pula. “Tidak”, jawab
mereka. “Apakah kalian telah melihat sirath”. Tanya para malaikat penjaga
surga itu. Mereka menjawab, “Tidak”. Kemudian para malaikat penjaga surga itu
bertanya, “Dengan apakah kalian mencapai derajat ini?” Mereka menjawab, “Kami
telah beribadat kepada Allah Taala secara rahasia di dunia, maka Allah pun
memasukkan kami di akhirat ke dalam surga secara rahasia pula”. (Zubdatul
Wa’izhin).
Apabila orang yang sedang berpuasa itu
khawatir dirinya binasa karena lapar dan dahaga, atau dia sakit lalu khawatir
penyakitnya bertambah parah dengan sebab puasa itu, maka dia boleh berbuka.
Karena keadaan seperti itu adalah keadaan darurat. Sedangkan darurat itu
menyebabkan hal-hal yang terlarang menjadi mubah (Raudhatul Ulama).
Diriwayatkan
dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda :
Artinya :
“Umatku telah diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada Seorang
pun sebelum mereka. Pertama, apabila malam pertama dari bulan Ramadan tiba,
Allah memandang mereka dengan pandangan rahmat. Dan barangsiapa yang telah
dipan dang Allah dengan pandangan rahmat, maka Dia tidak akan mengazabnya
sesudah itu buat selama-lamanya. Kedua, Allah Taala memerintahkan kepada para
malaikat agar memohonkan ampun buat mereka. Ketiga, bau mulut orang yang
berpuasa itu lebih harum dl sisi Allah daripada bau wangi minyak kesturi.
Keempat, Allah Taala berfirman kepada surga, “Berhiaslah engkau”. Dan Dia
berfirman : “Berbahagialah hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka adalah
kekasih-kekasih-Ku”. Kelima, Allah Taala mengampuni mereka semuanya”,
Oleh
karena itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa dia berkata :
“Rasulullah saw. telah bersabda :
Artinya :
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan ikhlas, niscaya
akan diampuni segala dosanya yang telah lalu”. (Zubdatul Wa’izhin).
Diriwayatkan
dari Nabi saw, bahwa Beliau telah bersabda :
Artinya
: “Sesungguhnya Allah Taala pada setiap saat di bulan Ramadan membebaskan enam
ratus ribu orang dari dalam neraka dari kalangan mereka yang sudah seharusnya
mendapat siksa, sampai tiba malam Qadar (lailatul Qadar). Pada malam Qadar
itu, Allah membebaskan sebanyak orang yang telah dibebaskan (dari neraka)
sejak awal bulan (Ramadan). Dan pada hari raya Fitri (Idul Fitri), Allah
membebaskan dari sejak awal bulan sampai hari raya Fitri itu”. (Misykat)
Dan
dari sahabat Jabir ra., dari Nabi saw, bahwa Beliau bersabda:
Artinya
: Apabila tiba malam terakhir dari bulan Ramadan, langit, bumi dan para
malaikat Semuanya menangis atas musibah yang menimpa umat Muhammad saw. Salah
Seorang sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, musibah apakah itu?”. Rasulullah
menjawab : “Perginya bulan Ramadan. Karena sesungguhnya doa-doa di bulan itu
dikabulkan, sedekah-sedekah diterima, kebaikan-kebaikan dilipat gandakan dan
azab ditahan”.
Maka musibah manakah yang lebih
besar daripada perginya bulan Ramadan itu. Apabila langit dan bumi saja
menangis demi kita, maka kita lebih pantas menangis dan menyesali atas
terputusnya keutamaan-keutamaan dan kemuliaan-kemuliaan ini dari kita.
(Hayatul Qulub).
Diriwayatkan dari Nabi saw.
bahwa Beliau bersabda : “Allah Taala telah menciptakan malaikat yang memiliki
empat wajah. Jarak antara satu wajahnya dengan wajahnya yang lain sejauh
perjalanan seribu tahun. Dengan salah satu wajahnya, ia bersujud sampai hari
kiamat. Dalam sujudnya itu ia berkata : “Mahasuci Engkau, betapa agung sifat
Jamal-Mu!”. Dan dengan wajah yang lain, ia memandang ke arah neraka Jahannam
seraya ber. kata : “Celakalah orang yang memasukinya!”. Dan dengan wajah yang
lain lagi, ia me. mandang ke arah surga seraya berkata : “Berbahagialah orang
yang memasukinya!”. Dan dengan wajah yang lain, ia memandang ke arah Arsy
Allah Yang Maha Pengasih seraya berdoa : “Oh Tuhanku, kasihanilah dan
janganlah: Engkau siksa orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadan dari umat
Muhammad saw”. (Zahratur Riyadh). Dan dari Nabi saw. bahwa Beliau telah
bersabda :
Artinya : “Allah Taala memerintahkan
kepada malaikat Kiraman Katibin (malaikat pencatat amal perbuatan manusia)
pada bulan Ramadan, supaya mencatat kebaikan-kebaikan dari umat Muhammad saw,
dan tidak mencatat kejahatan-kejahatan mereka, serta menghapus dosa-dosa
mereka yang lalu”. (Zahratur Riyadh)
Dan sabda
Nabi saw. :
Artinya : “Barangsiapa yang berpuasa
pada bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan ikhlas (dalam melaksanakannya)
mak. akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (Zahratur Riyadh)
Konon,
puasa itu ada tiga tingkatan : (pertama) puasa orang biasa, (kedua) puasa
orang khawas (khusus), (ketiga) puasa orang khawasul khawash (khususnya
khusus).
Adapun puasa orang biasa itu adalah
mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi syahwat.
Puasa
orang khawas itu adalah puasanya orang-orang yang salih, yaitu mencegah
seluruh anggota badan dari melakukan segala dosa. Dan hal itu tidak akan
terlaksana kecuali dengan selalu melakukan 5 perkara :
Memicingkan pandangan dari semua yang tercela menurut syarak.
Memelihara lidah dari mengumpat, berdusta, mengadu domba dan bersumpah palsu.
Karena sahabat Anas ra. telah meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi saw. bahwa
Beliau telah bersabda, yang artinya : “Lima perkara yang menggugurkan (pahala)
puasa, atau membatalkan pahalanya, yaitu : (1) berdusta, (2) mengumpat, (3)
mengadu domba, (4) bersumpah palsu, (5) memandang lawan jenis dengan
syahwat”.
Mencegah telinga
dari mendengarkan apa saja yang makruh.
Mencegah seluruh anggota badan dari hal-hal yang makruh, dan mencegah perut
dari makan makanan-makanan yang syubhat (diragukan halalnya) di waktu berbuka.
Karena tidak ada artinya berpuasa dari makanan yang halal lalu berbuka dengan
makanan yang haram. Perumpamaannya adalah seperti orang yang membangun sebuah
istana dengan menghancurkan sebuah kota.
Nabi saw. bersabda, yang
artinya : “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak memperoleh dari puasanya
itu selain rasa lapar dan dahaga”.
Tidak memperbanyak memakan makanan yang halai di kala berbuka sampai
kekenyangan. Karena Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya : “Tidak ada
sebuah wadah yang lebih dibenci oleh Allah daripada perut yang dipenuhi oleh
makanan yang halal”.
Adapun puasa orang-orang
khawasul khawash adalah puasa hati dari keinginankeinginan rendah dan
pikiran-pikiran duniawi, serta mencegahnya secara total dari segala sesuatu
selain Allah. Apabila orang yang berpuasa seperti itu memikirkan sesuatu
selain Allah, maka berarti dia telah berbuka dari puasanya. Puasa seperti ini
adalah tingkatan para nabi dan siddigin. Karena penerapan magam (tingkatan)
ini adalah dengan menghadapkan diri secara total kepada Allah Taala dan
berpaling dari selain-Nya. (Zubdatul Wa’izhin).
Ketahuilah,
bahwa puasa itu merupakan ibadat yang tidak dapat diindera oleh panca indera
manusia. Artinya, ia tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah Taala dan
orang yang berpuasa itu sendiri. Dengan demikian, puasa adalah antara Tuhan
dan hamba-Nya. Oleh karena puasa ini merupakan ibadat dan ketaatan yang hanya
diketahui oleh Allah semata, maka disandarkanlah ia kepada diri-Nya,
sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis Qudsi :
Artinya
: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”.
Dan
ada pula pendapat yang menyatakan bahwa, Allah menyandarkan puasa itu kepada
diri-Nya, adalah karena di dalam ibadat puasa itu tidak ada penyekutuan yang
lain dengan Allah. Karena di antara manusia itu ada yang menyembah berhala,
ada pula yang sujud dan salat kepada matahari dan bulan, ada yang bersedekah
demi berhala, mereka adalah orang-orang kafir. Namun tidak pernah ada seorang
pun di antara hamba-hamba Allah yang mengerjakan puasa demi berhala, demi
matahari, demi bulan atau demi waktu siang. Tetapi ia berpuasa semata-mata
hanya karena Allah Taala. Oleh karena puasa itu merupakan ibadat yang tidak
pernah digunakan untuk berbakti kepada selain Allah Taala, yaitu ibadat yang
murni hanya untuk Allah semata, maka Allah lalu menisbatkan puasa itu kepada
diri-Nya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis Gudsi, Allah berfirman,
yang artinya : “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi ganjaran atasnya”.
Kalimat
“dan Aku memberi ganjaran atasnya”. Maksudnya : Atas puasanya, Aku perlakukan
orang itu dengan sifat kemurahan (kedermawanan) rububiah (ketuhanan), dan
bukan dengan kepatutan-Ku untuk disembah.
Sedangkan
Abul Hasan mengatakan, bahwa maksud dari kalimat “dan Aku memberi ganjaran
atasnya” ialah : tiap-tiap perbuatan taat ganjarannya adalah surga. Sedang
puasa, ganjarannya adalah berjumpa dengan-Ku. Aku memandang kepadanya dan dia
memandang kepada-Ku. Dia berbicara dengan-Ku dan Aku berbicara dengannya,
tanpa utusan atau penerjemah. Demikian kata Abul Hasan di dalam kitab
Mukhtashar Ar Raudhah.
Maka hafalkaniah kata-kata
tadi dan nasihatkanlah kepada orang lain, dan janganlah Anda termasuk golongan
orang-orang yang ragu.
Menurut pendapat kami,
orang yang sedang berpuasa itu boleh saja menyentuh dan mencium istrinya,
apabila ia tidak khawatir atas dirinya. Tetapi kalau dia khawatir dengan
sentuhan itu akan timbul keinginan jimak sehingga ia melakukan jimak, atau
keluar mani hanya dengan menyentuh, maka hal tersebut tidak boleh
dilakukannya.
Sedangkan menurut Said bin
Almusayib, crang yang sedang berpuasa tidak boleh mencium atau menyentuh
istrinya, baik dia merasa khawatir atau tidak. Karena menurui riwayat dari
Ibnu Abbas ra. bahwa ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya
kepadanya : “Bolehkan saya mencium istri saya selagi berpuasa?”. Ibnu Abbas
menjawab : “Tidak boleh”. Kemudian datang pula kepada Ibnu Abbas seorang tua,
lalu bertanya “Bolehkah saya mencium istri saya selagi berpuasa?”. Ibnu Abbas
menjawab . boleh” Maka pemuda Itu kembali lagi kepada Ibnu Abbas, lalu berkata
: “Mengapa Tuan hadapkan untuknya apa yang Tuan haramkan atas diri saya,
padahal kita satu agama? Ibnu Abban monjawab : “Karona dia sudah tua, dia bisa
menguasai syahwatnya, sedang Anda masih muda, Anda tidak mampu menguasai
syahwat Anda”. Yakni keinginan untuk Jinak. (Raudhatul Ulama).
Ada
yang mongatakan bahwa, tujuan dari puasa itu adalah untuk menundukkan musuh
Allah. Karona jalan setan itu lewat syahwat. Padahal, syahwat itu menjadi kuat
katona makan dan minum. Maka puasa itu tidak akan berguna untuk menundukkan
nutuh Allah Taala dan menghancurkan syahwat kecuali dengan menaklukkan nafsu
dengan makan sedikit. Oleh karena itu, ada riwayat berkaitan dengan
disyariatkannya puasa, bahwa Allah Taala menciptakan akal, lalu berfirman
kepadanya: “Menghadaplah!” Maka akal itu pun menghadap. Kemudian Allah
berfirman pula kepadanya : “Membelakanglah!”. Maka akal itu pun membelakang.
Setelah itu Allah bertanya : “Siapakah engkau dan siapa Aku?”, Akal menjawab :
“Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu yang lemah”. Maka Allah Taala
berfirman : “Hai akal, Aku tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia
daripada engkau”.
Kemudian Allah Taala
menciptakan nafsu, lalu berfirman kepadanya : “Menghadaplah!” Namun nafsu itu
tidak mematuhi. Lantas Allah bertanya kepadanya : “Siapakah ongkau dan
siapakah Aku?”. Nafsu menjawab : “aku adalah aku dan Engkau adalah Engkaul”.
Maka Allah Taala lalu mengazabnya dengan siksa api neraka selama seratus
tahun. Komudian Allah mengeluarkannya dari neraka dan bertanya kembali
kepadanya : “Siapa ongkau dan siapa Aku?”. Nafsu tetap menjawab seperti
jawabannya semula. Maka diazablah ia di dalam neraka lapar selama seratus
tahun pula. Setelah itu, Allah bertanya kembali kepadanya, barulah dia mengaku
bahwa dirinya adalah hamba dan Allah adalah Tuhan. Maka oleh sebab itu, Allah
lalu mewajibkan puasa atasnya. (Misykat).
Ada
yang mengatakan bahwa, hikmat dari diwajibkannya puasa selama tiga puluh hari
itu adalah karena datuk kita Adam as. dahulu, ketika Beliau memakan buah pohon
yang terlarang di dalam surga, buah tersebut tetap tinggal di dalam perutnya
selama tiga puluh hari. Dan ketika Beliau bertobat kepada Allah Taala, maka
Allah menyuruhnya agar berpuasa selama tiga puluh hari tiga puluh malam.
Karena kelezatan dunia itu ada empat makan, minum, jimak dan tidur. Semuanya
itu merupakan penghalang bagi hamba terhadap Allah Taala. Sedangkan atas Nabi
Muhammad saw. dan umatnya, Allah Taala mewajibkan puasa pada siang hari saja,
dan diperbolehkan makan, minum dan jimak pada malam harinya. Hal mana
merupakan karunia dari Allah Taala dan kemuliaan bagi kita. (Bahjatul
Anwar).
Diceritakan bahwa, seorang Majusi melihat
anaknya makan di pasar pada siang bulan Ramadan, lalu anaknya itu dipukulinya
seraya berkata : “Kenapa engkau tidak menjaga kehormatan kaum muslimin di
bulan Ramadan?”. Kemudian, setelah orang Majusi itu meninggal dunia, ada
seorang alim melihatnya dalam mimpi, sedang duduk di atas singa: Sana
kemuliaan di dalam surga. Orang alim itu bertanya : “Bukankah Anda seorang
Majusi?”, Orang itu menjawab : “Benar, namun ketika saya akan meninggal dunia,
saya mendengar seruan dari atas saya, “Hai malaikat-malaikat-Ku, janganlah
kalian biarkan orang ini sebagai Majusi. Muliakanlah dia dengan Islam, karena
dia telah menghormati! bulan Ramadan”.
Ini
menunjukkan bahwa, hanya karena menghormati bulan Ramadan, orang Majus! itu
memperoleh iman. Betapa pula orang yang berpuasa di bulan Ramadan dan menghor
matinya. (Zubdatul Majalis).
Diriwayatkan dari
Rasulullah saw. menyampaikan firman Tuhannya Yang Mahatinggi :
Artinya
: “Tiap-tiap kebaikan yang dikerjakan oleh anak Adam (manusia) pahalanya
dilipat gandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa.
Karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberi ganjaran
atasnya”.
Para ulama berselisih pendapat mengenai
firman Allah Taala : “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”.
Padahal semua amal itu adalah untuk-Nya juga dan Dialah yang memberi
pahalanya.
Pertama, bahwa dalam puasa tidak
terjadi riya, seperti halnya yang terjadi pada selain puasa. Karena riya
(sifat ingin dipuji) itu suka terjadi pada diri manusia, sedang puasa itu
tidak lain adalah suatu yang ada di dalam hati. Yakni, bahwasanya semua amal
itu biasanya berupa gerakan-gerakan lahiriah yang bisa dilihat, selain puasa.
Adapun puasa adalah hanya dengan niat yang tidak diketahui oleh orang lain.
Kedua,
bahwa maksud dari firman Allah, “dan Aku memberi ganjarannya”, ialah bahwa
hanya Dia sendirilah yang mengetahui kadar pahala puasa itu dan penggandaan
ganjarannya. Adapun ibadat-ibadat yang lain, terkadang dapat diketahui oleh
sebagian orang. Ketiga, makna dari firman Allah, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku
memberi ganjaran atasnya”, adalah bahwa, puasa itu merupakan ibadat yang
paling disukai oleh-Nya.
Keempat, penyandaran
puasa kepada diri-Nya (puasa itu untuk-Ku) adalah penyandaran yang berarti
pemuliaan dan penggandaan, seperti kalimat Baitullah (Rumah Allah). Kelima,
bahwa sikap tidak memerlukan makanan dan keinginan-keinginan lainnya adalah
termasuk sifat-sifat Tuhan. Dan karena orang yang puasa itu mendekatkan diri
kepada Allah dengan suatu sikap yang sesuai dengan sifat-sifat-Nya, maka
disandarkanlah ia kepada-Nya.
Keenam, bahwa
artinya memang seperti itu, tetapi dalam kaitannya dengan malaikat. Karena,
itu semua adalah sifat-sifat mereka.
Ketujuh,
bahwa semua ibadat bisa dikurangi pahalanya guna menebus perbuatanperbuatan
aniaya terhadap sesama manusia, kecuali pahala puasa.
Namun
demikian, semua ulama sepakat bahwa, yang dimaksud dengan “puasa” di dalam
firman Allah, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran atasnya”, adalah
puasa orang yang puasanya itu bersih dari maksiat, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. (Miftahush Shalat).
Diriwayatkan dari Nabi saw.
bahwa Beliau bersabda :
Artinya : “Barangsiapa
berpuasa pada bulan Ramadan dengan penuh iman dan ikhlas, maka akan
diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat”.
Sungguh
benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu