20 Sifat Wajib Allah | Kifayatul Awam
Nama kitab: Terjemah Kifayatul Awam, Kifayah al-Awam, Kifayat-ul-‘Awam
Nama kitab asal: Kifayat al-awam fi ma Yajib alaihim min ilm al-kalam ( كفاية العوام فيما يجب عليهم من علم الكلام )
Penulis: Muhammad Al-Fudhali (محمد الفضالي)
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Asy’ariyah, ilmu kalam, tauhid, ushuluddin.
Daftar Isi
- Bab II: Tauhid Uluhiyah
- A. Sifat Wajib bagi Allah
- Wujud
- Qidam
- Baqo' (Baqa')
- Mukholafatu lil hawadist
- Qiyamuhu binafsihi
- Wahdaniyah
- Qudrah
- Irodah
- Ilmu
- Hayat
- Sama' dan Bashor
- Kalam
- Qodiron
- Muridan
- Aliman
- Hayyan
- Samian
- Bashiran
- Mutakalliman
- Kembali ke kitab: Terjemah Kifayatul Awam
BAB II TAUHID ULUHIYYAH
Tauhid uluhiyyah adalah ilmu tauhid yang mempelajari tentang sifat-sifat yang
berhubungan dengan akidah Tuhan. Sebagaimana sudah diketahui di awal bahwa
akidah yang wajib dipelajari ada 50, berikut perincian sifat-sifat tersebut
yang dimulai dengan 20 sifat yang wajib bagi Allah;
A. Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah;
1. Sifat Wujud (الوجود)
Dikalangan para ulama kalam ada perbedaan pendapat dalam sifat arti
wujud. Menurut menurut selain Al-Asy’ari bahwa “wujud itu al-haal / suatu
keadaan yang wajib bagi zat selagi tetap”. Al-haal ini tidak dikarenakan yang
lain / illat. Ini berati wujud itu suatu keadaan yang ada pada zat yang tidak
naik pada kedudukan ada hingga dapat terlihat dan tidak turun pada kedudukan
tiada hingga benar-benar tidak tetap. Wujud itu berada di tengah-tengah antara
ada dan tiada. Oleh karena itu wujud si Zaid adalah suatu keadaan baginya yang
pasti tetap pada zatnya dan tidak akan terlepas selagi zat itu tetap.
Adapun
makna “tidak dikarenakan yang lain / ‘illat”. Artinya sifat itu tidak timbul
dari sifat yang lain. Berbeda dengan sifat terbukti berkuasa / kaunuhu qodiron
umpamanya bagi si Zaid. Sifat terbukti berkuasa timbul dari berkuasa / qudrot.
Dari sini dapat diketahui bahwa terbukti yang berkuasa dan wujud adalah 2 haal
yang tetap pada Zaid yang tidak dapat teridentifikasi oleh panca indra. Hanya
saja terbukti yang berkuasa timbul dari yang lainnya yaitu qudrot, sedangkan
wujud tidak timbul dari yang lain. Inilah batasan alhaal nafsiyyah. Dari
situlah dapat diketahui bahwa setiap keadaan yang tetap pada zat yang tidak
dikarenakan yang lain disebut sifat nafsiyyah. Sifat nafsiyyah juga suatu
sifat yang tidak lepas dari zat. Artinya tidak dapat dimengerti ada zat tanpa
sifat itu, seperti sifat tahayyuz / menempati suatu ruang bagi jirim yang jika
diamati dan dicermati pasti menempati tempat. Berdasarkan pendapat ini wujud
itu adalah haal. Berarti zat Allah bukan wujudnya sendiri dan makhluk juga
bukan wujudnya sendiri.
Imam Al- Asy’ari berkata : bahwa “wujud itu
‘ainul maujud (zat)” artinya bukan sifat Zaidah (tambahan) atas zat sekiranya
bisa kelihatan. Oleh karena itu wujud itu hanyalah amrun i’tibari (Suatu
perkiraan yang tak ada pada kenyataan namun sah diucapkan). Berdasarkan
pendapat ini, wujud Allah itu adalah ‘ain zatNya bukan tambahan atas zatNya.
Wujud makhluk juga adalah ‘ainnya. Dengan demikian wujud tidak nampak
terhitung sebagai sifat, karena wujud itu sama dengan zat, sedangkan sifat
bukan zat. Berbeda menurut pendapat pertama; menghitung wujud sebagai sifat
nampak jelas.
Kesimpulan; Dalam memaknai wujud bagi Allah antara
pendapat pertama dan kedua ada persamaan dan perbedaan. Persamaan itu makna
wajib wujud bagi Allah menurut pendapat pertama : bahwa “sifat nafsiyyah /
haal tetap bagi Allah”.
Sedangkan menurut pendapat
kedua : bahwa “zat Allah nyata adanya dalam kenyataan”, sekiranya hijab /
penghalang dibuka dari kita, tentu kita dapat melihatnya. Ini berarti zat
Allah itu tetap dan nyata adanya menurut dua pendapat. Sedangkan perbedaannya
wujud itu bukan zatNya menurut pendapat pertama dan wujud sama dengan zat
menurut pendapat kedua.
“Dalil aqli tetapnya sifat wujud / ada pada
Allah adalah barunya alam”. Baru artinya ada setelah tiada. Alam adalah
sesuatu kumpulan dari jirim seperti zat dan ‘arodh seperti gerak, diam dan
warna.
Kenapa barunya alam menjadi dalil akan adanya Allah ? karena
tidak sah alam ada dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkan, karena sebelum
ada alam ini asalnya tiada. Lalu ada. Sedangkan status ada dan tiada sama
kedudukannya. Apabila kedudukan keduanya sama kemudian yang satu (ada) dapat
mengungguli lainnya (tiada), maka tidak benar dapat mengungguli dengan
sendirinya. Oleh karena itu, pasti ada murojjih (yang mengungguli), karena
berdasarkan kaidah tarojjuhul amroni mutasawiyaini bighoiri murojjihin
mustahilun (mengunggulkan sesuatu yang statusnya sama tanpa ada yang
mengunggulkan adalah mustahil). Misalnya si Zaid sebelum ada bisa jadi lahir
pada tahun anu ( misalnya 2020 ) bisa jadi pula tidak terlahir sama sekali ke
dunia. Nah ada dan tiadanya ini sama kedudukannya, lalu tatkala ada dan hilang
tiada pada tahun 2020, maka pasti adanya dengan yang mengadakan bukan dengan
sendirinya.
Kesimpulan dalil wujud adalah “Alam yang terdiri dari
jirim dan ‘arodh ini baru – ada setelah tiada -. Setiap yang baru pasti ada
yang membarukan. Dengan demikian alam inipun ada yang membarukan”. Adapun yang
membarukan alam disebut Allah dan nama-nama lainNya, dapat dipahami dari para
Nabi AS. Dalil ini –barunya alam– adalah sebagai dalil atas
wujudnya Allah. Adapaun dalil barunya alam adalah apabila kita perhatikan
bahwa alam ini / makhluk / ciptaan terdiri dari jirim / benda dan ‘arod (sifat
pada jirim). ‘Arod bersifat asli berubah dari tiada menjadi ada, dari ada
menjadi tiada. Sebagai contoh diam dan gerak yang senantiasa berubah; dari
diam menjadi bergerak, dari gerak menjadi diam dan seterusnya. Semua perubahan
ini menunjukan barunya ‘arodh. Jika ‘arod baru, maka jirimpun yang didiami
‘arodh statusnya baru pula, karena keduanya mulaazamah (berkaitan erat tanpa
bisa dipisahkan). Jika keduanya baru, maka alam inipun baru (terjadi setelah
tiada).
Kesimpulan bukti barunya alam adalah : jirim
mulazamah kepada ‘arodh. Sedangkan ‘arodh itu baru. Setiap yang mulazamah
kepada yang baru, pasti baru. Dengan demikian jirimpun baru. Kebaruan jirim
dan ‘arodh ini menjadi dalil akan adanya Allah, sebab setiap yang baru pasti
ada yang membarukan. Sedangkan tidak ada yang membarukan alam kecuali Allah
saja tidak ada sekutu bagiNya sebagaimana nanti diterangkan dalam dalil sifat
wahdaniyyah.
Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui oleh setiap
mukallaf baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana pendapat Imam Ibnu ‘Aroby
dan Sanusi. Mereka berdua menganggap kufur kepada orang yang tidak ma’rifat.
Hati-hati iman kita belum ma’rifat.
2. Sifat Qidam (القدم)
Qidam artinya “tidak ada permulaan”. Allah disifati qidam artinya
keberadaanNya tidak ada permulaan. Berbeda dengan keberadaan si Zaid yang ada
permulaannya, yaitu sejak diciptakan sperma yang menjadi cikal bakal
keberadaannya. Para Ulama berbeda pendapat dalam memaknai qodim / yang qidam
dan azali; ada yang berpendapat sama artinya dan ada yang berpendapat
berbeda.
Ulama yang berpendapat sama artinya mendefinisikan
keduanya adalah : “sesuatu yang tidak ada permulaannya”. Ini berarti zat dan
sifat Allah itu qodim dan azali. Ulama yang berpendapat berbeda,
mendefinisikan qodim dengan “sesuatu yang ada tidak bermula (maujud la awwala
lahu)
Sedangkan azali adalah “sesuatu yang terbermula (ma
al-awwal lahu).
Ini berarti umum baik untuk yang maujud / ada ataupun
yang ghoir maujud / tiada. Dengan demikian zat dan sifat Allah yang sebangsa
maujud dapat dikatakan azali dan qodim seperti dikatakan zat Allah azali dan
qudrotNya azali pula. Namun hanya dikatakan azali dan tidak dikatakan qodim
bila sifat itu termasuk sebangsa haal seperti kaunuhu qodiron. Sebab kaunuhu
qodiron tidak naik sampai derajat ada.
Dalil Qidam / dahulunya
Allah adalah sesungguhnya jika Allah tidak bersifat Qidam / dahulu maka Ia
adalah perkara baru karena tidak ada wasithoh / perantara / penengah antara
yang qodim /dahulu dan yang hadits / baru, maka setiap sesuatu yang sifat
Qidam dinafikan / ditiadakan darinya tetap /pastilah baginya sifat baru , jika
Allah ta'ala baru / makhluk maka Allah membutuhkan sesuatu yang mengadakan /
menciptakan dan yang mengadakan Allah membutuhkan sesuatu yang mengadakan
lagi, jika perkara ini tidak ada kesudahan maka lazimlah tasalsul / mata
rantai yaitu mengikutinya sesuatu satu
sesudah yang lain sampai tiada
penghabisan, jika ada penghabisannya yaitu dengan adanya sesuatu yang
mengadakan Allah diadakan oleh Allah maka lazimlah daur / berputar yaitu
tawaqquf / berhentinya sesuatu atas sesuatu yang berhenti atas sesuatu yang
depan maka sesungguhnya jika Allah ada yang mengadakan maka Allah berhenti /
tawaqquf pada yang mengadakan / muhdits padahal kita telah mewajibkan bahwa
Allahlah yang mengadakan muhdits ini, kemudian muhdits ini tawaqquf atas Allah
maka tetaplah yang namanya daur /berputar padahal semua dari daur dan tasalsul
adalah perkara yang muhal yakni tidak mungkin adanya, dan perkara yang
menyampaikan kepada muhal yaitu barunya Allah ta'ala adalah muhal juga.
Kesimpulnnya “Dzat Allah dan sifat-Nya Qodim (yang keberadaannya tak ada
permulaannya)”. Inilah dalil ijmali sifat Qidam bagi Allah. Dengan inilah dia
keluar dari belenggu taklid yang akan mengekalkan pemiliknya di neraka menurut
Ibnu ‘Arobi dan Imam Sanusi.
3. Sifat Baqo’ (البقاء)
Baqo / baqa artinya “Tiada akhiri bagi keberadaannya”. Allah disifati
dengan sifat Baqo' artinya “tidak ada akhir bagi keberadaan Allah”. Dalil Aqli
sifat baqo adalah “Kalau Allah tidak disifati sifat baqo’, tentu keberadaannya
diakhiri dengan tiada. Apabila keberadaannya diakhiri tiada, tentu Allah jaiz
adanya. Apabila Allah jaiz adanya, tentu Allah baru (keberadaannya ada
awalnya). Kalau Allah baru berarti Allah tidak disifati dengan qidam.
Sedangkan telah nyata Allah disifati dengan sifat qidam. Kalau Allah disifati
dengan sifat qidam, berarti keberadaan Allah tidak ada baru. Kalau
keberadaan-Nya tidak baru, tentu keberadaan-Nya tidak jaiz. Apabila
keberadaannya tidak jaiz, tentu wajib adanya. Apabila wajib adanya, tentu
keberadaannya tidak ada akhirnya”. Kalau keberadaannnya tidak ada akhirnya
berarti Dia disifati dengan sifat baqo’.
Kesimpulan : Bila Allah
tidak wajib disifati baqo’, ini berarti wenang tiadaNya, tentu tidak disifati
qidam. Sedangkan tidak sah tiadanya sifat qidam dari Allah, karena dalilnya
sudah nyata. Ini adalah dalil ijmali sifat baqo’ yang wajib diketahui oleh
mukallaf. Begitupun setiap akidah yang lainnya. Bila mengetahui sebagian
akidah dengan dalilnya sedangkan yang lainnya tanpa dalil, maka tidak cukup
dikatakan mukmin menurut pendapat
yang tidak menganggap
cukup taklid.
4. Sifat Mukholafatuhu Lil Hawadist (مالفته
للحوادث)
Al Mukhalafah lil hawadis menurut ilmu tauhid adalah : berbeda
dengan makhluk. Allah disifati dengan sifat almukholafah lil hawadist artinya
keberadaan Allah tidak menyamai keberadaan makhlukNya. Ini berarti Allah
berbeda dengan manusia, jin, malaikat dll. dan berbeda pula dalam seluruh yang
ada pada makhluk seperti duduk, berjalan dan anggota badan seperti mulut,
mata, telinga dan lain. Oleh karena itu setiap yang terlintas dalam pikiranmu
adanya panjang, lebar, pendek, gemuk, Allah itu berbeda dengan semua itu. Maha
suci Allah dari seluruh sifat makhlukNya. Dalil aqli sifat Almukholafah lil
hawadist adalah “Apabila Allah menyerupai makhluknya berarti Allah itu baru
(keberadaan-Nya ada permulaan dan juga pasti ada akhirnya). Kalau Allah baru,
pasti membutuhkan muhdist (yang membarukan). Muhdist itupun sama membutuhkan
muhdist yang lain dst. Bila hal ini terjadi, pasti akan muncul daur atau
tasalsul. Sedangkan keduanya itu mustahil. Bila keduanya mustahil, pasti
mustahil pula Allah membutuhkan muhdist. Bila demikian Dia tidak baru. Kalau
Dia tidak baru berarti tidak sama dengan makhluknya. Kalau Dia tidak sama
dengan makhluk-Nya, berarti Dia disifati dengan almukholafatu lil
hawadist. Kesimpulan : “Apabila Allah menyerupai makhlukNya
berarti Dia itu baru, karena sesuatu yang mungkin atas salah satu yang serupa,
mungkin pula bagi yang satu lagi. Sedangkan mustahil Allah baru, karena Dia
wajib disifati qidam. Bila tidak hudust / baru, maka Dia berbeda dengan
makhlukNya. Oleh karena itu tidak ada satupun persamaan antara Allah dengan
makhlukNya”. Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui seperti keterangan yang
telah lewat.
5. Sifat Qiyamuhu Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi artinya tidak membutuhkan mahal / zat dan mukhossis
/ pencipta. Allah disifati dengan sifat alqiyam binafsihi, artinya keberadaan
Allah tidak membutuhkan zat dan pencipta / yang mengadakan karena Allah adalah
zat yang mewujudkan segala sesuatu. Dalil aqli Allah disifati
dengan qiyamuhu binafsihi adalah “Apabila Allah membutuhkan zat seperti warna
putih membutuhkan zat , berarti Dia sifat seperti warna putih, karena tidak
ada yang membutuhkan zat kecuali sifat. Kalau Dia sifat, berarti Dia tidak
akan disifati seperti dengan qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan
kalam, karena sifat tidak akan menetap pada sifat. Sedangkan Dia disifati
dengan sifat-sifat tadi. Kalau Dia disifati dengan sifat-sifat tadi, berarti
Dia bukan sifat. Oleh karena bukan sifat, berarti Allah itu zat. Sekali lagi
Dia itu zat. Begitupun apabila Allah membutuhkan pencipta, maka Dia baru.
Kalau Dia baru berarti Dia tidak disifati dengan sifat qidam, baqo',
mukholafah lil hawadist. Sedangkan Dia telah nyata di atas disifati dengan
sifat-sifat tersebut. Kalau Dia telah nyata disifati dengan sifat-sifat
tersebut,berarti Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru, Dia tidak membutuhkan
pada mukhossis. Dengan demikian Dia kaya mutlaq ( tidak membutuhkan zat dan
mukhossis ), berbeda dengan makhluk yang kaya muqoyyad / tidak membutuhkan
dari salah satu tapi butuh yang lain. Kini nyatalah bahwa Dia disifati dengan
qiyamuhu binafsihi.
6. Sifat Wahdaniyyah (الوحدانية)
Wahdaaniyat artinya tidak terbilang / terhitung atau arti singkatnya
tunggal. Allah disifati wahdaaniyat artinya keberadaanNya hanya tunggal. Allah
itu Tunggal / Esa pada tiga bagian : zat, sifat dan af’al.
a.
Zat,
Wahdaniyat fii zat ada 2 makna, yaitu ;
1.
Zat Allah tidak tersusun dari bagian atau unsur. Berbeda dengan tunggalnya
makhluk atau sesuatu. Sudah pasti ia akan tersusun dari beberapa bagian,
contoh jam tangan itu ada unsur- unsurnya seperti tali, bak jam, jarum second,
jarum panjang, jarum pendek, putaran dll. Kalau salah satu unsur ini tidak
ada, maka akan mengakibatkan kurang sempurnanya jam tangan tadi. Begitupun
dengan Allah. Kalau Dia tersusun dari bagian- bagian akan menimbulkan kurang
sempurna. Sedang Dia itu Maha Sempurna. Makanya Dia harus tunggal. Dengan arti
yang pertama ini, hilanglah kam muttasil fiz zat artinya suatu zat tersusun
dari beberapa bagian.
2. Tidak ada zat lain yang
menyerupai zat Allah. Dengan arti yang kedua ini maka hilanglah kam munfasil
fis sifat artinya
ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Dengan
wahdaniyyah fiz zat, hilanglah dua kam ( muttasil dan munfasil fiz zat ).
b.
Sifat Wahdaniyyat ini mengandung dua makna;
1.
Satu sifat yang sama jenis dan namanya tidak tersusun dari bagian yang lain .
Seperti 2 qudrot. 2 irodat dll. Jadi qudrot Allah itu hanya satu, begitupun
irodat, ilmu. Hayat, sama’, bashor dan kalam-Nya. Ini berarti bahwa qudrot
yang dipakai menciptakan langit, qodrot itu pula yang dipakai menciptakan
bumi, gunung, manusia, jin, binatang, tumbuh-tumbuhan dll. Jadi tidak
menggunakan qudrot yang lain. Dengan arti yang pertama ini, maka hilanglah kam
muttasil fis sifat artinya sifat yang sama jenis dan namanya tersusun dari
beberapa bagian.
2. Tidak ada satupun sifat-sifat
makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah dalam hakekatnya. Makhluk tidak
mempunyai qudrot seperti qudrotnya Allah. Begitupun sifat-sifat yang lainnya.
Yang sama hanya nama saja tapi hakekatnya tidak akan pernah sama. Dengan arti
yang pertama ini, maka hilanglah kam munfasil fis sifat artinya adanya sifat
makhluk yang menyamai sifatnya Allah.
c. Af’al
(perbuatan)
Wahdaaniyat fiil af’al ini artinya hanya Allah yang berbuat
(mewujudkan atau meniadakan) dengan kehendak-Nya pada segala sesuatu yang
mungkin. Tidak ada sesuatupun yang menyekutui kepada-Nya. Oleh karena itu
tidak ada satupun perbuatan bagi makhluk seperti para Nabi, Malaikat dan
lainnya. Adapun celaka atau matinya seseorang ketika menentang seorang wali
adalah murni perbuatan Allah yang terjadi saat wali itu marah. Kata
“wahdah/tunggal” tidak ditafsirkan dengan bahwa tidak ada perbuatan bagi
selain Allah yang seperti Allah, karena hal itu akan mengesankan bahwa selain
Allahpun bisa berbuat tapi tidak seperti perbuatan Allah. Ini salah besar.
Ingat hanya Allah yang dapat membuat / menciptakan amal / aktivitas makhluk.
Oleh karena itu gerakan tanganmu saat memukul si Zaid adalah dibuat /
diciptakan Allah. Dengan adanya wahdaniyat fil af’al maka hilanglah kam
munfasil fil af’al artinya adanya perbuatan yang tidak diciptakan oleh
Allah. Jadi wahdaaniyat itu menafikan / meniadakan adanya 5 kam
yang mustahil bagi Allah. Kam muttasil fiz zat adalah zat itu tersusun dari
bagian. Kam munfasil fiz zat ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Kam
muttasil fis sifat artinya Allah memiliki 2 sifat yang sama nama dan maknanya.
Kam munfasil fis sifat adalah ada sifat lain yang menyerupai sifat Allah. Kam
munfasil fil af’al adalah selain Allah dapat berbuat. Kelima Kam ini dinafikan
oleh wahdaniyyah yang wajib bagi Allah. Dalil sifat wahdaniyyah adalah adanya
alam. Bila ada Tuhan lebih satu selain Allah, pasti alam ini tiada. Sedangkan
alam ini ada. Bila ada, pasti tuhan itu hanya satu yakni Allah saja. Sebagai
bukti alam ini tiada bila tuhan lebih satu, ada kemungkinan kedua-duanya
bersepakat atau berselisih.
Jika kedua-duanya bersepakat mengadakan
alam, ada tiga kemungkinan ;
Pertama, Kedua-duanya mengaku bahwa alam ini
diadakan oleh keduanya secara bersamaan dalam kwalitas dan kwantitas yang
sama, maka akan timbul ijtimau muatsiroini ala atsari wahidin (berkumpulnya
dua yang berpengaruh atas satu hasil / perbuatan). Contoh ; apabila ada 2
orang mengangkat karung yang berisi beras seberat 100 Kg mengaku telah
mengangkat beras itu masing 100 Kg. Pengakuan Ini mustahil. Oleh karena
ijtimau muatsiroeni ala atsari wahidin mustahil, maka mustahil pula ada dua
Tuhan atau lebih mengadakan alam secara bersamaan. Dengan demikian Tuhan itu
wajib hanya satu. Kedua, Keduanya mengadakan dalam waktu
berurutan, maka akan timbul tahsiilul haasil (menghasilkan sesuatu yang sudah
hasil). Contohnya; menanak nasi yang sudah jadi nasi supaya menjadi nasi.
Mustahil menghasilkan nasi yang sudah jadi nasi. Oleh karena tahsilul hasil
hukumnya mustahil menurut akal, maka mustahil pula ada dua Tuhan atau lebih
mengadakan alam secara berurutan. Dengan demikian Tuhan itu wajib satu.
Ketiga,
Keduanya atau lebih mengadakan alam secara bersekutu dengan cara Tuhan yang
satu mengadakan sebagian alam. Sedangkan tuhan yang lain mengadakan sebagian
yang lain, maka keduanya ada kelemahannya. Karena tidak memiliki kemampuan
yang menyeluruh. Sedangkan adanya kelemahan pada tuhan itu mustahil. Dengan
demikian harus punya kekuatan yang menyeluruh, tidak sepotong-potong. Jadi
bagaimanapun tuhan itu harus satu.
Jika kedua-duanya
berselisih dalam hal mengadakan alam, maka akan timbul juga tiga kemungkinan
:
Pertama, jika maksud kedua Tuhan itu berhasil (Tuhan A berhasil
mengadakan alam dan Tuhan B berhasil meniadakannya) maka akan timbullah
ijtima’un naqidhoin (berkumpulnya dua perkara yang saling bertentangan misal:
berkumpulnya si Kholid berdiri dengan si Kholid tidak berdiri). Sedangkan
hukum ijtima’ul naqidoin mustahil. Oleh karena itu mustahil pula berhasilnya
maksud kedua Tuhan tadi. Dengan demikian karena hal ini mustahil, maka
mustahil pula Tuhan ada dua. Jadi Tuhan itu harus satu.
Kedua, jika maksud salah satu Tuhan tadi berhasil, sedang yang satunya lagi
tidak. Misalnya Tuhan A berhasil mengadakan alam, sedangkan Tuhan B tidak
berhasil mengadakannya, maka pasti Tuhan B ada kelemahan. Sedangkan sifat
asalnya Tuhan A pun adalah Tuhan juga. Oleh karena Tuhan B punya kelemahan,
maka Tuhan A pun punya kelemahan seperti Tuhan B. Karena berdasarkan kaidah :
“maa tsabata li ahadi amroini, tsabata lilakhor” (sesuatu yang tetap bagi yang
semisal, tetap juga bagi yang lainnya) Kelemahan pada zat Tuhan itu mustahil.
Dengan demikian Tuhan wajib berkuasa dan hanya satu. Ketiga,
jika maksud kedua Tuhan tadi tidak berhasil, maka pasti kedua-duanya ada
kelemahan. Sedangkan tadi sudah dijelaskan bahwa Tuhan itu mustahil punya
kelemahan. Dari dalil ini dapat diketahui bahwa “tidak ada sedikitpun pengaruh
dari api dapat membakar, pisau dapat memotong, makanan dapat mengenyangkan.
Hanya Allah yang membuat terbakarnya sesuatu ketika disentuh api, membuat
putusnya sesuatu ketika terkena pisau, membuat kenyang ketika makan dan segar
ketika minum”.
• Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa
tabiat api bisa membakar, air bisa menyegarkan tenggorokan, pisau bisa
memotong, nasi bisa mengenyangkan, obat bisa menyembuhkan. Intinya sesuatu
yang ada selain Allah tabiatnya ada pengaruh pada yang lainnya, maka
orang itu telah kufur.
• Barang siapa yang
mengi’tikadkan bahwa Allah telah memberikan kekuatan pada sebab adat ( api ,
air , pisau, obat dll ) sehingga dengan kekuatan itulah api bisa membakar, air
bisa menyegarkan, pisau bisa memotong, obat bisa menyembuhkan, maka orang itu
adalah fasik serta mubtadi’ (ahli bid’ah)
• Barang
siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsir (yang
mempengaruhi) adalah Allah
dan hubungan antara sabab adat dan musabbabnya tidak akan lepas menurut akal (
talazum aqli). Hingga apabila ada api, pasti Allah membuat barang yang
ditempelinya terbakar, ada obat pasti Allah menciptakan kesembuhan badan, maka
orang tersebut adalah Jahil (bodoh) akan hakekat sifat wahdaniyyat.
•
Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsirnya hanya Allah dan hubungan
antara sebab adat dan musabbabnya adalah yang tidak semestinya. Jadi sah saja
bila ada sebab adat tapi tidak ada musabbab ( talazum ‘aadi ). Hingga
apabila ada api biasanya Allah menciptakan kertas itu terbakar dan sah juga
bagi Allah ketika ada api namun musabbanya tidak ada seperti yang terjadi pada
Nabi Ibrohim AS yang tidak terbakar padahal sebab adatnya ada yaitu api, maka
orang tersebut adalah mu’min sejati yang selamat di akhirat dari api neraka,
Insya Allah. Oleh karena itu Allah wajib disifati wahdaniyyah. Inilah dalil
ijmali yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf baik laki-laki maupun
perempuan. Barang siapa yang tak mengetahuinya, dia kafir menurut Imam Sanusi
dan Ibnu Arbi. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi petunjuk padamu.
Amiiin.
Sifat Qidam, Baqo', Mukholafatuhu lil hawadist, Qiyamuhu
binafsihi dan Wahdaniyyah disebut sifat salbiyyah (sifat yang menafikan
sesuatu yang tidak layak bagi Allah)
7. Sifat Qudrot (القدرة)
Qudrot adalah “sifat yang berpengaruh pada yang mungkin ada
atau tiada”. Tatkala berta’alluq kepada yang tiada, ia akan
mengadakannya seperti berta’alluq kepada kita sebelum kita ada dan tatkala
berta’alluq kepada yang ada, ia akan meniadakannya seperti berta’alluq kepada
jisim yang dikehendaki Allah tiadanya yang akhirnya menjadi tiada.
Ta’alluq ini disebut Ta’alluq tanjizi yaitu langsung bertindak. Ta’aluk ini
baru. Di samping itu ada juga Ta’alluq shuluhi. Ta’alluq shuluhi adalah
kepatutannya di azali untuk mengadakan dan meniadakan sesuatu yang mungkin ada
dan tiadanya di waktu mungkin seperti patut mengadakan si Zaid tinggi atau
pendek atau lebar atau ilmu dll. Dengan demikian sifat qudrot memiliki 2
Ta’alluq; Ta’alluq shuluhi dan tanjizi (keterkaitan kepada yang tiada lalu
mengadakan dan kepada yang tiada lalu meniadakan). Ta’alluq tanjizi ini
disebut Ta’alluq Hakiki. Di samping itu ada juga ada Ta’alluq Majazi yaitu :
Ta’alluq Qobdhoh artinya yang ada atau tiada berada dalam genggaman kekuasaan
Allah. Ta’alluq ini ada tiga kelompok, yaitu; Pertama, yaitu;
berta’alluqnya pada sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya
setelah tiada seperti berta’alluq pada kita saat ini. Jika Dia menghendaki
ada, maka dia akan ada terus, sebaliknya jika menghendaki tiada, pasti akan
tiada.
Kedua, yaitu berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan
menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin adanya seperti berta’alluq pada
si Zaid di zaman topan (zaman Nabi Nuh); Jika Dia menghendaki tiada, maka dia
akan tiada terus, sebaliknya jika menghendaki ada, pasti akan ada.
Ketiga,
yaitu, berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam terus
ketiadaannya setelah ada seperti berta’alluqnya pada kita saat kita berada di
alam barzah nanti. Dengan perincian di atas dapat diketahui bahwa sifat qudrot
memiliki 7 ( tujuh ) Ta’alluq;
a. Ta’alluq shuluhi
qodim
b. Ta’alluq qobdhoh 1 (berta’alluqnya pada
sesuatu yang tiada dengan menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin
adanya);
c. Ta’alluq tanjizi hadist 1 (Allah mengadakan
sesuatu yang tiada tadi);
d. Ta’alluq qobdhoh 2 (pada
sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya setelah tiada);
e.
Ta’alluq tanjizi hadist 2 (berta’alluq meniadakan yang tadinya ada seperti
meniadakan kita yang tadinya ada (mematikan);
f.
Ta’alluq qobdhoh 3 (berta’alluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam
terus ketiadaannya sebelum dibangkitkan dari kubur) dan
g.
Ta’alluq tanjizi hadist 3 (mengadakan yang tadinya tiada seperti mengadakan
kita dengan membangkitkan dari alam barzah ke tempat masing-masing, yaitu
surga atau neraka).
Inilah ta’luk sifat qudrot secara terperinci
ada 7 dan secara geobal / ijmali hanya memiliki 2 Ta’alluq, yaitu; Ta’alluq
shuluhi qodim dan tanjizi hadist namun Ta’alluq tanjizi khusus mengadakan dan
meniadakan. Adapun Ta’alluq qobdhoh tidak di sifati dengan tanjizi dan
shuluhi.
Masalah Ta’alluq sifat qudrot kepada yang ada dan tiada adalah
menurut pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan sebagian Ulama berpendapat “sifat
Qudrot tidak berta’alluq kepada yang yang ada. Bila Allah menghendaki
seseorang tiada / mati, maka Allah hentikan karuniaNya yang menjadi sebab
tetap hidupnya”.
8. Sifat Irodat
Irodat menurut bahasa artinya berkehendak. Sifat irodah adalah “sifat
yang memungkinkan dengannya mentakhshis / mewujudkan perkara yang mumkin /
makhluq dengan sebagian perkara yang boleh atas mumkin.
Sebagai
gambaran dari didefinisi di atas misalnya si Zaid– sebelum diciptakan – wenang
berbadan tinggi atau pendek, kemudian sifat irodat menentukan tinggi misalnya.
Adapun sifat qudrot berfungsi merealisakannya dari tiada menjadi ada. Jadi
irodat menentukan dan qudrot menanmpaknya.
Hal-hal yang mungkin ada
dan tiada yang saling berbandingan itu ada 6 ;
a. Ada
dan tiada dengan cara menentukan ada sebagai bandingan dari tiada begitupun
sebaliknya. Jadi yang menentukan adanya alam ini sebagai bandingan dari tiada
adalah sifat irodah. Alam dan segala isinya ada dan nantinya akan tiada itu
adalah irodah (kehendak)Allah.
b. Sifat seperti dengan
cara menentukan seseorang pintar sebagai bandingan dari bodoh, begitupun
sebaliknya. Hitam sebagai bandingan dari yang lainnya. Jadi bila ada seseorang
pintar berkulit putih itu sudah merupakan ketentuan Allah dan kehendak-Nya.
c.
Masa seperti dengan cara menentukan seseorang berada pada masa / jaman Nabi
Nuh As atau masa Nabi muhammad SAW atau masa yang lainnya sebagai bandingan
dari masa yang lain. Jadi bila seseorang berada pada suatu masa tertentu
seperti kita berada pada masa sekarang (2020) itu sudah merupakan irodah /
kehendak Allah.
d. Tempat seperti dengan cara
menentukan seseorang menjadi penduduk kampung, daerah, propinsi, negara
tertentu tidak pada tempat yang lainnya. Jadi keberadaan kita berdomisili di
Desa Bermi Kecamatan Gembong Kabupaten Pati dan seterusnya adalah merupakan
irodah / ketentuan Allah semata.
e. Arah seperti
menentukan seseorang berada di arah selatan sebagai bandingan dari arah utara
atau di timur bandingan dari barat dan sebagainya. Jadi ketika kita berada di
arah selatan, utara, timur, barat dan sebagainya itu sudah irodah
/
ketentuan Allah semata.
f. Ukuran seperti dengan
cara menentukan panjang sebagai bandingan dari pendek, berat 100 Kg sebagai
bandingan dari selain 100 Kg. Jadi manakala ada makhluk yang tinggi /
panjangnya 2 meter dan berat 100 Kg itu sudah merupakan ketentuan Allah dan
kehendak-Nya.
Qudroh dan irodah adalah 2 sifat yang tetap pada zat
Allah serta ada, hingga jika hijab hati kita dibuka olehNya tentu kita akan
dapat melihatnya. Dengan demikian sifat qudroh dan irodah sama-sama
berta’alluq pada sesuatu yang mungkin. Jadi kedua sifat ini tidak akan pernah
berta’alluq pada hal-hal yang wajib dan mustahil. Karena jika keduanya
berta’alluq pada yang wajib, maka akan terjadi; mengadakan / menentukan yang
wajib sama dengan tahsilul hasil (menghasilkan yang sudah
hasil),
meniadakannya / menentukannya akan mengakibatkan membalikkan hakekat yaitu
wajib menjadi jaiz. Sedangkan mengadakan / menentukan yang mustahil akan
mengakibatkan membalikkan hakekat mustahil menjadi jaiz. Begitupun meniadakan
/ menentukan yang mustahil akan mengakibatkan tahsilul hasil (menghasilkan
yang hasil). Yang berbeda antara keduanya adalah dalam hal cara ta’alluqnya ;
qudroh berfungsi mengadakan dan meniadakan sedangkan irodah berfungsi
menentukan.
Sebagian dari perkataan orang bodoh : “Allah mampu
menciptakan anak untukNya”. Perkataan ini sangat tolol, karena masalah ada
anak bagiNya –Maha Suci Dia dan Maha Tinggi– termasuk dalam katagori mustahil,
sedangkan qudroh tidak berta’alluq kepada yang mustahil. Hal ini jangan sampai
dikatakan “ Bila Allah tidak mampu menciptakan anak berarti Dia lemah”, karena
sesuatu atau seseorang dapat dikatakan lemah jika tidak mampu menggarap
sesuatu yang jadi garapannya.
Sifat irodah ini hanya mempunyai dua
ta’alluq, yaitu :
1. Ta’alluq shuluhi qodim yaitu
kepatutannya di zaman azali untuk menentukan seluruh yang mungkin ada dan
tiadanya misalnya: si Zaid yang badannya tinggi atau pendek, sah-sah
saja
tidak disifati kedua-duanya. Atau dia patut atau sah-sah saja jadi Presiden
atau jadi tukang kebersihan berdasarkan ta’alluq shuluhi.
2.
Ta’alluq tanjizi qodim yaitu menentukannya Allah di zaman azali akan sesuatu
dengan sifa-sifat tertentu yang akan terjadi. Si Zaid sekarang berilmu sudah
ditentukan oleh Allah di azali. Dengan demikian berilmunya si Zaid dinamakan
ta'alluq tanjizi. Sedangkan patutnya berilmu atau tidak tanpa melirik pada
salah satunya dinamakan ta'alluq shuluhi.
Sebagian Ulama
berpendapat “irodat mempunyai ta'alluq tanjizi hadist misalnya menentukan si
zaid berbadan tinggi ketika sudah ada”. Dengan demikian irodat mempunyai 3
ta'alluq (ta'alluq shuluhi qodim, tanjizi qodim dan tanjizi hadist). Namun
yang ketiga ini bukan ta'alluq tapi memperlihatkan ta'alluq tanjizi qodim.
Ta'alluq qudrot dan irodat itu mencakup bagi setiap yang mungkin hingga apa
saja yang terlintas di dalam hati seseorang itu sudah ditentukan dengan
kehendak Allah dan dibuat oleh kekuasaanNya sebagaimana dinyatakan oleh Syaik
Malawi dalam sebagian kitabnya.
Perlu diketahui bahwa menisbahkan
takhsis / menentukan kepada irodah dan mengadakan kepada qudroh merupakan
kata
kiasan / majaz, karena yang sebenarnya yang menentukan
dan yang mewujudkan adalah Allah dengan sebab keduanya. Adapun ucapan orang
awam yang berkata “qudrot yang berbuat kepada sesuatu”, jika maksudnya bahwa
sebenarnya berbuat adalah qudrot saja atau zat saja, ia telah kufur.
Pernyataan yang benar adalah “ perbuatan itu oleh zat dengan sebab
qudrotNya”.
9. Sifat Ilmu (العلم)
Ilmu adalah sifat qadim yang ada dalam dzat-Nya yang berfungsi
menyingkap segala yang ma’lum dengan sempurna dan menyeluruh tanpa didahului
samar.
Sifat ilmu berta’alluq kepada yang wajib, jaiz dan mustahil.
Oleh karena itu, Allah SWT mengetahui zat dan sifat- sifatNya dengan ilmuNya,
hal-hal yang mungkin ada dan tiada dan juga hal-hal yang mustahil. Artinya
hal-hal yang mustahil diketahui kepastian tiadanya olehNya misalnya Dia
mengetahui bahwa sukutu bagiNya itu pasti tiadanya dan jika ada, pasti akan
terjadi keruksakan, Maha suci Allah dan Maha Luhur darinya. Sifat ilmu hanya
memiliki ta’alluq tanjizi qodim. AllahAllah mengetahui yang wajib, jaiz dan
mustahil tersebut di atas sejak di azali dengan sempurna bukan secara dhon dan
syak, karena keduanya mustahil bagiNya.
Adapun makna “min
ghoiri sabqi khofain” bahwanya Allah mengetahui segala yang tersebut tadi di
azali / dahulu kala sebelum makhluq ada, bukan berarti asalnya Dia tidak
mengetahui lalu mengetahuinya. Maha Suci Dia dari semua itu. Adapun makhluk
asalnya tidak mengetahui sesuatu lalu mengetahuinya.
Sifat ilmu tidak mempunyai ta’alluq shuluhi artinya sesuatu yang wajib, jaiz
dan mustahil patut diketahui Allah. Ini berarti sesuatu itu tidak diketahui
seketika. Ketidak diketahui seketika menandakan kebodohan bagiNya. Ini
mustahil. Maha Suci Allah dari itu.
10. Sifat Hayat (الحياة)
Sifat Hayat Allah itu adalah Sifat yang me-ngesahkan bahwa Dzat yang
disifati oleh Hayat itu mempunyai Idraak (Pemahaman ), seperti Mengetahui,
mendengar dan melihat. Sifat Hayat tidak identik adanya memastikan adanya
idhrok seketika. Ia tidak berta’alluq kepada apapun baik yang ada maupun
tiada.
Dalil wajibnya sifat qudrot, irodat, ilmu dan hayat bagi
Allah adalah adanya alam ini, karena jika keempat sifat ini tiada dariNya,
pasti tiadak akan ada makhluk. Tatkala ada, kita tahu bahwa Allah disifati
keempat sifat tersebut. Alasan keberadaan makhluk tergantung pada keempat
sifat tersebut adalah seseorang yang berbuat sesuatu tidak akan berbuat
kecuali mengetahuinya terlebih dahulu, lalu menghendaki membuatnya, setelah
itu barulah dia langsung membuatnya. Dari sini harus dimaklumi bahwa
pembuatnya pasti ada dan dia pasti hidup.
Sifat ilmu, irodat dan
qudrot dinamai sifat ta’tsir / pengaruh, karena keberpengaruhan sesuatu
tergantung padanya. Logikanya seseorang yang akan menghendaki sesuatu, pasti
dia harus ada dan berilmu sebelumnya. Kemudian kehendak itu langsung
direalisasikan. Misalnya bila di rumahmu ada sesuatu dan kamu berkeinginan
mengambilnya, maka pengetahuanmu akan adanya sesuatu lebih dahulu ada sebelum
kehendakmu untuk mengambilnya, lalu setelahnya kau mengambilnya langsung.
Ketertiban
hubungan keempat sifat tersebut hanya berlaku pada makhluk. Pertama-tama
mengetahui sesuatu lalu menghendakinya dan akhirnya langsung melakukannya.
Sementara pada hak Allah tidak berlaku kecuali hanya ta’aqul / menurut logika
saja - ilmu dahulu, irodat lalu qudrot -. Adapun dalam kenyataan yang
sebenarnya tidak akan berlaku. Makanya tidak dapat dikatakan : “sifat ilmu
berta’alluq terlebih dahulu lalu irodat lalu qudrot”, karena hal ini hanya
terjadi pada makhluk. Sedangkan tertib susunan hanya menurut logika saja.
11, 12. Sifat Sama’ dan Bashor
Sama’ dan Bashor adalah sifat yang tetap pada zat Allah yang
berhubungan erat dengan yang ada. Artinya segala yang ada baik yang sifatnya
pasti adanya seperti zat dan sifat-sifat Allah maupun yang mungkin adanya
seperti makhluk dapat terbuka bagiNya.
Oleh karenanya sama’ dan bashor
berhubungan dengan zat dan sifat-sifat Allah. Artinya zat dan sifat-sifatNya
terbuka bagiNya dengan sebab sama’ dan bashorNya sebagai tambahan keterbukaan
dengan ilmuNya.
Allah SWT dapat mendengar dan melihat zat si Zaid,
si Amer dan dinding misalnya. Dia dapat mendengar suara sekaligus penyuaranya
dan juga dapat melihat keduanya. Jika ada pernyataan “mendengar suara” itu
sudah maklum dan jelas. Namun mendengar si Zaid dan dinding tidak bisa
dimaklumi dan jelas. Begitupun tidak bisa dimaklumi dan jelas suara dapat
terlihat, karena suara hanya terdengar saja. Jawabanku “kita wajib mengimani
bahwa kedua sifat itu berta’alluq kepada yang ada dan caranya tidak perlu kita
ketahui”.
Allah dapat mendengar zat si Zaid. Ini bukan berarti Dia
dapat mendengar berjalannya si Zaid, karena mendengar berjalannya masuk dalam
mendengar suara. Sedangkan Allah mendengar seluruh suara. Tetapi yang dimaksud
Dia mendengar zat si Zaid sebagai tambahan atas mendengar berjalannya. Namun
kita tidak perlu tahu cara Allah mendengar zat. Inilah taklif/beban yang harus
dipikul setiap laki-laki dan perempuan.
Dalil sifat sama’ dan
bashor adalah; (إنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ)
Artinya:
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat [ QS Alhajj; 75 ]
Perlu
diketahui bahwasanya ta’alluq sifat sama’ dan bashor kepada makhluk sebelum
adanya adalah shuluhi qodim dan setalah adanya adalah tanjizi hadist. Artinya
makhluk itu sudah terbuka bagiNya dengan pendengaran dan penglihatanNya
sebagai tambahan atas terbuka dengan ilmuNya.
Adapun jika ta’alluq
itu dihubungkan kepada Allah dan sifat-sifatNya maka ta’alluqnya adalah
tanjizi qodim, artinya zat dan Sifat-sifatNya terbuka bagiNya di azali dengan
sama’ dan bashorNya. Oleh karenanya, Dia dapat mendengar zatNya dan seluruh
sifat yang bangsa ada -qudrot, irodat, ilmu dan lainnya- dan kita -tidak perlu
tahu- cara ta’alluqnya. Dia juga dapat melihat zat dan seluruh sifat-sifatNya
yang bangsa ada tadi dan kitapun - tidak perlu - tahu bagaimana cara
ta’alluqnya.
Berta’alluqnya sifat sama’ dan bashor terhadap segala
yang maujud adalah pendapat Imam Sanusi dan para pengikutnya. Inilah yang
kuat. Ada juga yang berpendapat bahwasanya sama’ tidak berta’alluq kecuali
kepada suara dan bashor tidak berta’alluq kecuali kepada yang dilihat saja.
Selanjutnya Allah mendengar tidak dengan telinga dan daun telinga dan juga Dia
tidak melihat dengan mata dan pelupuk mata. Maha Suci Allah dari semua itu.
13. Sifat Kalam
Kalam adalah sifat terdahulu yang tetap pada zat Allah yang tak
berhuruf, tak bersuara, dibersihkan dari awalan, akhiran, i’rab dan bina’. Ini
berbeda dengan kalam makhluk.
Yang dimaksud kalam Allah bukanlah
lafadz-lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, karena lafadz-lafadz ini
baru, sedangkan sifat yang tetap pada zat Allah qodim / terdahulu. Juga
lafadz-lafadz ini berawalan, berakhiran, beri’rab, bersurat, berayat-ayat,
sedangkan sifat yang tetap pada zat Allah lagi terdahulu kosong dari semuanya.
Oleh karena itu dalam sifat yang tetap pada zat Allah tidak ada ayat, surat,
i’rab, karena ini hanya untuk kalam yang meliputi kepada huruf dan suara,
sedangkan sifat yang terdahulu dibersihkan dari huruf dan suara sebagaimana
tadi. Lafadz- lafadz yang mulia ini tidak menunjukan kepada sifat yang
terdahulu. Artinya sifat yang terdahulu bukan difahami darinya. Bahkan apa
yang difahami dari lafadz-lafadz ini sama dengan yang difahami dari sifat yang
terdahulu hingga jika hijab / pengahalang itu dibuka dari hati kita, tentu
kita dapat mendengarnya.
Kesimpulan ladafz-lafadz yang mulia
menunjukan pada suatu ma’na. Ma’na ini menyamai suatu ma’na yang difahami dari
sifat yang terdahulu lagi tetap pada zat Allah. Hati-hatilah atas perbedaan
ini, karena banyak orang yang salah kaprah.
Sifat yang terdahulu
lagi tetap pada zat Allah dan lafadz- lafadz yang mulia disebut kalamullah dan
Al Qur’an. Hanya saja lafadz-lafadz yang mulia itu makhluk yang tertulis di
lauhil mahfudz yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Malaikat Jibril As
kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah diturunkan pada lailatul qodar sekaligus di
Baitul ‘Izaah, yaitu suatu tempat yang ada di langit dunia yang tertulis dalam
beberapa lembar dan diletakkan di sana.
Ada juga yang berpendapat
lafadz-lafadz yang mulia itu diturunkan di Baitul izzah sekaligus kemudian
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama 20 tahun, bisa jadi 23 tahun bisa
jadi pula 25 tahun. Ada juga yang berpendapat turun di Baitul izzah pada
lailatul qodar seukuran turun setiap tahun dan tidak turun di Baitul izzah
sekaligus dan yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah lafadz dan
ma’na. Ada juga yang berpendapat yang turun ma’na saja, lalu -
menurut sebagian ulama- Nabi Muhammad ﷺ mengibaratkan ma’na tersebut dengan
lafadz darinya. Ada juga pendapat “Malaikat Jibril yang mengibaratkan
lafadz-lafadz tersebut” lalu diturunkan kepada Beliau.
Pendapat yang paling tepat dibandingkan kedua pendapat di
atas “lafadz-lafadz itu turun beserta ma’nanya”.
Kesimpulannya
sifat yang tetap pada zat Allah tidak berhuruf dan bersuara. Namun golongan
Mu’tazilah menilai sulit ada kalam tanpa huruf dan suara. Dalam hal ini Ahlus
Sunah wal Jama’ah menjawab : “perkataan hati adalah kalam yang tak berhuruf
dan bersuara yang dikatakan oleh seseorang pada hatinya. Di sini ada kalam
tanpa ada huruf dan suara”.
Perlu dicermati bahwa maksud
perumpamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di atas bukan berarti menyamakan
kalamullah dengan kata hati, karena kalamullah terdahulu sedangkan kata hati
baru, tetapi maksud mereka adalah menyanggah pernyataan Mu’tazilah yang
menyatakan “tidak ada kalam tanpa huruf dan suara”.
Dalil sifat kalam bagi Allah adalah firman Allah:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمً
َ......dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung
[QS
An Nisa’ ; 164]. Dalam firman Allah ini, Dia telah
menetapkan adanya kalam bagiNya.
Sifat kalam sama ta’alluqnya
dengan sifat ilmu, yaitu ; kepada yang wajib, jaiz dan mustahil. Namun sifat
ta’lluq ilmu adalah inkisyaf / terbuka. Artinya yang wajib, jaiz dan mustahil
terbuka bagiNya. Sedangkan ta’alluq sifat kalam adalah ta’alluq dilalah /
menunjukan. Artinya jika hijab hati kita dibuka dan kita mendengarnya, tentu
kita akan memahaminya darinya.
14. Sifat Kaunuhu Qodiron
Kaunuhu qodiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan tiada
-yang terkait pada sifat qudrat-.
Sifat ini berbeda dengan sifat
qudrot dan antara keduanya ada keterkaitan. Ini berarti tatkala sifat qudrot
tetap pada zat, lazimnya tetap pula sifat yang dinamai kaunuhu qodiron, baik
pada zat yang qodim / zat Allah ataupun zat hadist / makhluk walaupun
kelaziman antara yang qodim dan hadist berbeda. Oleh karena itu jika Allah
menciptakan qudrot pada zat si Zaid, maka Diapun lazim / biasanya menciptakan
sifat kaunuhu qodiron yang dinamakan sifat haal, sedangkan sifat qudrot
sebagai illat / sebab -kelaziman yang tak berpengaruh- bagi kaunuhu qodiron.
Kelaziman menciptakan ini hanya berlaku pada zat makhluk.
Adapun
bagi hak Allah tidak boleh dikatakan : “sifat qudrot sebagai ‘illat pada
kaunuhu qodiron”. Tapi harus dikatakan antara qudrot dan kaunuhu qodiron ada
hubungan yang sangat erat hingga tak dapat dipisahkan. Golongan Mu’tazilah
berpendapat :“hubungan yang erat inipun terjadi pula antara qudrot dan kaunuhu
qodiron pada makhluk”. Hanya saja mereka tidak mengatakan : “Allah telah
menciptakan kaunuhu qodiron bahkan tatkala Allah menciptakan qudrot pada
makhluk, secara otomatis muncul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan
Allah”.
Kesimpulan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah kelaziman
antara antara qudrot dan kaunhu qodiron pada makhluk adalah kelaziman menurut
adat / talazum ‘aadi - manakala ada sifat qudrot biasanya Allah menciptakan
kaunuhu qodiron-. Sedangkan pada Allah adalah kelaziman menurut akal / talazum
‘aqli -manakala ada sifat qudrot pasti ada kaunuhu qodiron-. Sedangkan
Mu’tazilah berpendapat kelaziman pada makhluk adalah kelaziman menurut akal /
talazum ‘aqli. Artinya Allah menciptkan sifat qudrot pada makhluk, kemudian
darinya timbul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan oleh Allah.
15. Sifat Kaunuhu Muridan
Kaunuhu muridan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan
juga tidak tiada. Sifat ini dinamakan haal.
Sifat Kaunuhu Muridan
berbeda dengan sifat irodat baik pada zat yang qodim ataupun yang hadist. Oleh
karenanya, bila Allah menciptkan irodat pada zat si Zaid, lazimnya Dia
menciptakan kaunuhu muridan padanya. Perbedaan-Perbedaan yang terjadi antara
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah dalam hal sifat kaunuhu qodiron,
terjadi pula dalam sifat kaunuhu muridan.
16. Sifat Kaunuhu ‘Aliman
Kaunuhu ‘aliman adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga
tidak tiada dan bukan sifat ilmu. Ini juga berlaku pada yang hadist. Dan
seumpanya berlaku pula dalam ilmu -bila Allah menciptkan ilmu pada zat si
Zaid, lazimnya Dia menciptakan kaunuhu ‘aliman padanya-.
Perbedaan yang
terjadi antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah berlaku pula di
sini.
17. Sifat Kaunuhu Hayyan
Kaunuhu Hayyan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga
tidak tiada dan bukan sifat hayat. Apa yang sudah dijelaskan di atas
-perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.
18. Kaunuhu Sami’an
Kaunuhu Sami’an adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan
juga tidak tiada dan bukan sifat sama’. Apa yang sudah dijelaskan di atas
-perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.
19. Kaunuhu Bashiron
Kaunuhu bashiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak
ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat bashor. Apa yang sudah dijelaskan di
atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di sini.
20. Kaunuhu Mutakalliman
Kaunuhu Mutakalliman adalah -sifat ke 20 yang jadi penyempurna
sifat-sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci- sifat yang tetap pada zat
Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan sifat kalam. Apa yang sudah
dijelaskan di atas -perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah- berlaku pula di
sini.
Tanbih / Peringatan:
Sifat qudrot, irodat, ilmu, hayat,
sama’, bashor dan kalam yang sudah diterangkan di atas dinamai sifat ma’ani
dari mengidhofatkan lafadz umum kepada yang khusus atau idhofat bayaniyyah.
Sedangkan sifat-sifat setelahnya, yaitu; kaunuhu qodiron, muridan, ‘aliman,
hayyan, sami’an, bashiron dan mutakalliman dinamai sifat ma’nawiyyah, suatu
nisbah /
berhubungan dengan ma’ani, karena ada kelaziman diantara
keduanya baik pada zat qodim atau hadist. Para pengikut Imam el Mathurudhi
telah menambah sifat kedelapan dalam sifat ma’ani. Mereka menamainya dengan
sifat takwin. Sifat ini adalah sifat yang maujud seperti sifat ma’ani lainnya
hingga jika hijab kita dibuka, pasti kita dapat melihatnya sebagaimana kita
dapat melihat sifat ma’ani. Namun para pengikut Imam Al-‘Asy’ari menyanggahnya
dengan pernyataan : “Apa fungsi sifat qudrot setelah ada sifat takwin ?”.
mereka menyatakan demikian, karena pengikut Imam Mathurudi menyatakan :
“Bahwasanya Allah mewujudkan dan meniadakan dengan sifat takwin”. Kemudian
tanggapan para pengikut Imam Al-‘Asy’ari disanggah oleh pengikut Imam
Mathurudi : “bahwa sifat qudrot berfungsi menyiapkan sesuatu yang mungkin
untuk ada yakni sifat qudrot menjadikan yang mungkin dapat menerima ada yang
sebelumnya tiada, kemudian sifat takwin mengadakannya”.
Jawaban pengikut Imam Maturidi ini disanggah oleh para pengikut Imam
Al-‘Asy’ari : “bahwa sesuatu hal yang mungkin, bisa menerima ada tanpa
diperpersiapkan terlebih dahulu oleh sifat qudrot ”.
Dikarenakan pengikut
Imam Mathurudi menambah sifat ma’ni dengan sifat takwin, mereka berkata :
“bahwa sifat af’al seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan
mematikan adalah qodim, karena lafadz-lafadz ini adalah nama bagi sifat takwin
yang maujud dan qodim, oleh karena sifat takwin qodim, maka sifat af’al jadi
qodim pula”. Sedangkan menurut pengikut Imam Al-‘Asy’ari : “Sifat af’al itu
hadist, karena sifat itu adalah nama bagi ta’alluq sifat qudrot. Dengan
demikian menghidupkan adalah nama bagi ta'alluqnya sifat qudrot kepada yang
dihidupkan, memberi rizki adalah nama bagi ta’alluqnya sifat qudrot kepada
yang diberi rizki, menciptakan adalah nama bagi ta'alluq sifat qudrot kepada
yang yang diciptakan dan mematikan adalah nama bagi ta'alluq sifat qudrot
kepada yang yang dimatikan”. Jadi -menurut pengikut Imam Al-‘Asy’ari- ta’aluk
sifat qudrot hadist.