Bab II Kajian Kenabian
Nama kitab: Terjemah Mafahim Yajibu an Tushohhah (Pemahaman yang Harus Diluruskan)
Judul kitab asal: (مفاهيم يجب أن تصحح)
Pengarang/penulis: Sayid Muhammad Alawi Al-Maliki
Nama lengkap: Sayid Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani Al-Idrisi Al-Makki (1944–2004)
Panggilan hormat dari murid dan muhibbin: Abuya, Sayyidil Walid, Sayyidil Walid Abuya
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), Wahabime, Salafisme, Syariah
Daftar isi
- Bab II Kajian Kenabian Uraian Mengenai Keistimewaan Nabi, Substansi Kenabian, Kemanusiaan Dan Substansi Kehidupan Barzakh
- Ibnu Taimiyyah Dan Keistimewaan-Keistimewaan Kenabian
- Ibnu Taimiyyah Dan Karomah
- Ibnul Qayyim Dan Duduknya Nabi Saw Di Atas ‘Arasy
- Ticket Masuk Sorga Berada Di Tangan Nabi Saw
- Fatwa Ibnu Taimiyyah Tentang Persoalan Ini
- Persepsi Tabarruk (Memohon Berkah)
- Tabarruk Dengan Rambut, Sisa Air Wudlu Dan Keringat Nabi Saw
- Tabarruk Dengan Rambut Nabi Saw Sepeninggal Beliau
- Bab III Disyari’atkannya Ziarah Kepada Makam Nabi
- Kekalnya Jasad Para Nabi As
- Dukungan Ibnu Taimiyyah Terhadap Kejadian-Kejadian Di Atas
- Adanya Sebagian Karomah Untuk Selain Para Nabi
- Penghuni Kubur Saling Mengunjungi
- Ziarah Kubur Adalah Ziarah Ke Masjid Dalam Penilaian Al Sayikh Ibnu Taimiyyah
- Statemen Para Imam Salaf Menyangkut Disyari’atkannya Ziarah Ke Sayyidina Rasulullah Dan Memberangkatkan Kendaraan Pergi Menuju Kuburan Beliau
- Ziarah Nabi Versi Salaf
- Ibnu Al Qayyim Dan Ziarah Nabawiyyah
- Kuburan Mulia Nabi Saw
- Kuburan Nabi Dan Berdo’a
- Pandangan Al Syaikh Ibnu Taimiyyah Soal Ziarah Kubur
- Pandangan Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Menyangkut Berdoa Di Dekat Kuburan
- Kuburan Nabi Dan Memohon Berkah Dengan Menyentuhnya Atau Menyentuh Jendela Besi Dan Menciumnya
- Kuburan Nabi Saw Terlindungi Dari Syirik Dan Keberhalaan
- Berlalu Lalang Ke Lokasi-Lokasi Peninggalan Kenabian, Tempat-Tempat Keagaamaan Dan Memohon Berkah Dengan Menziarahinya
- Pandangan Ibnu Taimiyyah Tentang Masyahid (Jejak Para Nabi)
- Kembali ke kitab: Terjemah Mafahim Sayid Al-Maliki
BAB II KAJIAN KENABIAN URAIAN MENGENAI KEISTIMEWAAN NABI, SUBSTANSI KENABIAN, KEMANUSIAAN DAN SUBSTANSI KEHIDUPAN BARZAKH
KEISTIMEWAAN YANG MELEKAT PADA NABI MUHAMMAD DAN SIKAP ULAMA
TERHADAPNYA
Para ulama memberikan perhatian besar terhadap
keistimewaan-spesikasi kenabian dengan menyusun karangan, memberikan komentar
(syarh), menyatukan dan menyendirikannya dalam sebuah kajian. Karya paling
populer dan lengkap adalah Al Khashaaish Al Kubraa yang disusun oleh Al Imam
AL Hafidh Jalaluddin Al Suyuthi.
Keistimewaan-keistimewaan ini sangat
banyak jumlahnya. Ada yang sanadnya shahih ada yang tidak. Ada yang
dipersengkatakan ulama. Sebagian memandang shahih sebagian tidak. Persoalan
ini adalah persoalan khilafiah.
Perbincangan antar ulama mengenai
keistimewaan-keistimewaan kenabian ini semenjak dahulu berputar di sekitar
benar, salah, sah dan batal, bukan antara kufur dan iman. Para ulama
berselisih dalam banyak hadits. Mereka saling membantah dalam menilai
kesahihan, kelemahan atau dalam penolakannya karena perbedaan perspektif dalam
menilai sanad dan kredibilitas perawinya. Siapapun yang menilai shahih
terhadap hadits dla’if, menilai dla’if terhadap hadits shahih, menetapkan
hadits yang ditolak atau menetapkan hadits yang ditetapkan dengan argumentasi,
ta’wil atau syubhat dalil maka ia telah menempuh metode para ulama dalam
melakukan kajian dan analisa. Dan hal ini adalah haknya layaknya manusia yang
berakal dan memiliki pemahaman. Kesempatan terbuka, medan terbentang luas dan
ilmu tersebar bagi semua manusia.
Imam orang-orang berakal, junjungan
para ulama, Nabi paling agung dan rasul paling mulia Muhammad SAW telah
memberi motivasi untuk melakukan kajian dan analisa. Karena beliau menetapkan
dua pahala bagi mujtahid yang mencapai kebenaran dan satu pahala bagi yang
gagal mencapainya.
KITAB-KITAB SALAF DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN
KENABIAN
Seandainya kita mau kembali kepada kitab-kitab salaf niscaya
kita akan menemukan banyak ulama dan para pakar fiqh menyebutkan sejumlah
keistimewaan-keistimewaan Nabi SAW dalam kitab-kitab tersebut. Dari
keistimewaan-keistimewaan ini mereka mengutip hal-hal ajaib dan aneh.
Seandainya dalam menerima keistimewaan-keistimewaan ini orang yang melakukan
kajian terpaku pada kesahihan sanad niscaya ia hanya akan menemukan sangat
sedikit yang bersih dari keistimewaan-keistimewaan itu dibandingkan dengan
jumlah yang mereka kutip. Penyebutan sejumlah keistimewaan-keistimewaan dalam
kitab-kitab salaf ini tetap berdasarkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan para ulama dalam persoalan ini.
IBNU TAIMIYYAH DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN KENABIAN
Ibnu Taimiyyah terkenal dengan sikapnya yang ketat. Dalam
kitab-kitabnya, ia mengutip sebagian pendapat mengenai
keistimewaan-keistimewaan kenabian yang sanadnya tidak sahih. Ia
menggunakannya sebagai argumentasi dalam banyak masalah dan menilainya bisa
dijadikan pedoman dalam memberikan penjelasan atau menguatkan hadits yang ia
tafsirkan. Sebagian dari pendapat yang ia kutip misalnya adalah ucapannya
dalam Al Fataawaa Al Kubraa, “Telah diriwayatkan bahwa Allah SWT telah menulis
nama Nabi Muhammad SAW pada ‘arsy dan pintu, kubah serta dedaunan sorga.”
Dalam hal ini telah diriwayatkan pula sejumlah atsar yang senada dengan
hadits-hadits yang ada yang menjelaskan sanjungan terhadap nama Nabi dan
peninggian sebutan beliau SAW saat ia mengatakan, “Telah disebutkan teks
hadits yang terdapat dalam Al Musnad dari Maisarah Al Fajr saat Nabi ditanya,
“Kapan engkau menjadi Nabi?” “Saat Adam masih dalam kondisi antara ruh dan
jasad,” jawab beliau. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abul Husain ibn
Busyran dari jalur Al Syaikh Abi Al Faraj ibn Al Jauzi dalam Al Wafaa bi
Fadlaaili al Mushthafa SAW sbb : Bercerita kepadaku Abu Ja’far Muhammad ibn
‘Umar, bercerita kepadaku Ahmad ibn Ishaq ibn Shalih, bercerita kepadaku
Muhammad ibn Sinan Al ‘Aufi, bercerita kepadaku, bercerita kepadaku Ibrahim
ibn Thuhman dari Yazid ibn Maisarah dari Abdillah ibn Sufyan dari Maisarah, ia
berkata : Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi Nabi?”
“Ketika Allah menciptakan bumi dan menuju ke langit kemudian langit
dijadikan-Nya tujuh lapis dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis pada batang
‘arsy Muhammadun Rasulullahi Khatamul Anbiyaai. Dan ketika Allah menciptakan
sorga yang didiami Adam dan Hawa maka Allah menulis namaku pada pintu,
dedaunan, kubah dan kemah sedang Adam dalam kondisi antara ruh dan jasad. Saat
Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy lalu melihat namaku. Kemudian
Allah memberitahukan kepada Adam bahwa Muhammad adalah Junjungan anak cucumu.
Waktu syetan berhasil memperdayai Adam dan Hawa, keduanya bertaubat dan
memohon syafaat kepada Allah dengan namaku,” jawab Nabi. Al Fataawaa vol. II
hlm. 151.
IBNU TAIMIYYAH DAN KAROMAH
Keistimewaan dan karomah itu identik dilihat dari aspek hukum,
pengutipan, dan tidak diperlukannya upaya ketat sebagaimana upaya ketat dalam
mengutip hukum-hukum dari halal dan haram. Keistimewaan dan karomah berada
dalam wilayah sikap-sikap terpuji dan keutamaan-keutamaan.
Berangkat
dari fakta ini, sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyangkut karomah para
wali sama persis dengan sikapnya mengenai keistimewaan-keistimewaan para Nabi.
Dalam kitab-kitabnya beliau mengutip sejumlah karomah dan hal-hal yang
di luar kebiasaan yang terjadi dalam generasi awal. Jika kita kaji status,
isnad dan jalur ketetapan periwayatannya maka kita akan menemukan bahwa
sebagian dari karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi dalam
generasi awal ada yang berstatus shahih, hasan, dla’if, diterima, ditolak,
munkar dan syadz. Meskipun demikian semuanya diterima dalam masalah ini dan
dibawa serta ditransfer dari ulama. Di antara kutipan-kutipan dari Ibnu
Taimiyyah tentang karomah sebagian sahabat adalah sbb :
Ummu Aiman pergi berhijrah tanpa membawa bekal dan air hingga ia hampir
mati karena kehausan. Saat tiba waktu berbuka – ia sedang berpuasa – ia
mendengar di atas kepalanya ada suara halus. Lalu ia mendongakkan kepalanya.
Ternyata ada timba menggantung. Kemudian ia minum dari timba tersebut sampai
merasa segar dan tidak merasakan haus dalam sisa hidupnya.
Sebuah perahu mantan budak Rasulullah SAW memberitahu kepada seekor
singa bahwa ia adalah utusan Rasulullah. Akhirnya singa tersebut berjalan
bersamanya sampai mengantarkan menuju tempat tujuannya.
Al Bara’ ibn Malik jika bersumpah atas Allah maka Allah akan
merealisasikan sumpahnya. Jika dalam situasi perang memberatkan kaum muslimin
dalam berjihad, mereka akan berteriak, “Wahai Bara’ ! bersumpahlah atas
Tuhanmu.” “Ya Rabbi, aku bersumpah atas-Mu , berikanlah bahu-bahu orang-orang
kafir kepada kami,” sumpah Bara’. Akhirnya musuh pun mengalami kekalahan.
Ketika berlangsung perang Qadisiyyah, Bara’ bersumpah, “Aku bersumpah atas-Mu,
ya Rabbi, berikanlah bahu-bahu orang-orang kafir kepada kami dan jadikan aku
orang pertama yang mati syahid.” Akhirnya kaum muslimin diberi bahu-bahu
orang-orang kafir dan Bara’ sendiri terbunuh sebagai syahid.
Khalid ibn Al Walid mengepung sebuah benteng yang kokoh. “Kami tidak
akan menyerah sampai kamu minum racun,”kata orang-orang kafir. Akhirnya Khalid
minum racun dan racun itu tidak menimbulkan efek apa-apa.
Ketika mengirimkan bala tentara, ‘Umar ibn Al Khatthab mengangkat
seorang lelaki bernama Sariyah sebagai pemimpin pasukan. Ketika sedang
berkhutbah di atas mimbar tiba-tiba ‘Umar berteriak, “Wahai Sariyah !,
tetaplah berada di gunung. Wahai Sariyah !, tetaplah berada di gunung.” Saat
utusan bala tentara datang, ‘Umar bertanya kepadanya, yang kemudian dijawab,
“Wahai Amiral Mu’mini !, Kami bertemu musuh dan mereka berhasil mengalahkan
kami. Tiba-tiba ada suara orang berteriak : “Wahai Sariyah !, tetaplah berada
di gunung.” Akhirnya kami pun tetap berada di gunung, hingga Allah mengalahkan
mereka.
‘Ala’ ibn Al Hadlrami adalah gubernur
Rasulullah untuk wilayah Bahrain. Dalam do’a yang dipanjatkannya ia berkata,
“Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Sabar, wahai Dzat Yang
Maha Tinggi, wahai Dzat Yang Maha Agung.” Maka do’anya pun dikabulkan. Ia juga
pernah berdo’a agar orang-orang diberi hujan dan bisa berwudlu ketika mereka
mengalami ketiadaan air dan hujan untuk sesudah mereka lalu do’anya pun
dikabulkan. Waktu bala tentara muslimin terhalang oleh laut dan tidak mampu
menyeberangkan kuda-kuda mereka, ia berdo’a hingga akhirnya mereka bisa
melewati laut dengan pelana kuda yang tidak basah oleh air. Ia juga berdo’a
agar ketika mati jasadnya tidak bisa dilihat orang. Akhirnya ketika mati
orang-orang tidak menemukan jasadnya di liang lahat.
Karomah seperti di muka juga terjadi pada Abu Muslim Al Khaulani saat ia
diceburkan ke dalam api. Ceritanya ketika ia bersama teman-teman pasukannya
berjalan di atas sungai Tigris. Dari bentangannya sungai itu melemparkan lalu
Abu Muslim menoleh kepada teman-temannya. “Periksalah barang-barang kalian
hingga aku berdo’a kepada Allah !” perintahnya. “Saya kehilangan keranjang
rumput,” kata sebagian temannya. “Ikuti saya,” kata Abu Muslim. Teman yang
kehilangan keranjang rumput pun mengikutinya dan menemukan keranjang itu
menyangkut pada sesuatu lalu memungutnya. Al Aswad Al ‘Ansi ketika mengklaim
sebagai Nabi, mencari Abu Muslim.
“Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah
utusan Allah?” tanya Al Aswad kepada Abu Muslim.
“Saya tidak bisa
mendengar,” jawab Abu Muslim
“Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah?”
“Betul.”
Akhirnya Al Aswad menyuruh Abu Muslim
dimasukkan ke dalam api. Ia akhirnya dimasukkan kedalam api namun mereka
melihat Abu Muslim sedang shalat di tengah kobaran api itu. Api telah menjadi
dingin dan menyelamatkan baginya.
Setelah Nabi wafat Abu Muslim datang ke
Madinah. “Umar menyuruhnya duduk antara dirinya dan Abu Bakar Al Shiddiq.
“Segala puji bagi Allah yang tidak mematikanku sampai aku melihat dari ummat
Muhammad seseorang yang diperlakukan sebagaimana Ibrahim kekasih Allah.” Kata
‘Umar.
Seorang budak wanita memasukkan racun pada makanannya dan racun
itu tidak membahayakannya.
Seorang perempuan menipu istrinya. Akhirnya
perempuan itu ia kutuk dan akhirnya menjadi buta. Perempuan itu lalu datang
dan bertaubat. Abu Muslim pun akhirnya mendo’akannya hingga Allah
mengembalikan kembali penglihatannya.
Sa’id ibn Al
Musayyib dalam peperangan pada era Yazid ibn Mu’awiyah mendengar adzan
dari kuburan Rasulullah pada waktu-waktu shalat padahal masjid telah sepi
tidak ada orang lain selain dirinya.
‘Umar ibn
‘Uqbah ibn Farqad suatu hari shalat di siang hari yang sangat panas lalu
mendung pun memayunginya. Binatang buas melindunginya saat ia mengawasi
kereta-kereta teman-temannya, karena ia disyaratkan untuk membantu mereka
waktu perang.
Mutharrif ibn ‘Abdillah ibn Syikhkhir
jika masuk rumah maka wadah-wadah miliknya ikut bertasbih bersamanya. Ia dan
temannya pernah berjalan berdua dalam kegelapan kemudian ujung cambuknya
menerangi keduanya.
Dikutip dari Al Fataawaa Al Kubraa karya Syaikh Ibnu
Taimiyyah vol. XI hlm. 281.
SYAIKH IBNUL QAYYIM DAN DUDUKNYA NABI SAW DI ATAS ‘ARASY
Al Imam Al ‘Allamah Syaikhul Islam Ibnul Qayyim telah mengutip
keistimewaan yang aneh dan langka dan ia nisbatkan kepada banyak para imam
salaf, yaitu ucapannya sbb :
(Faidah) Al Qadli berkata : “Al Marwazi
telah menyusun sebuah kitab tentang keutamaan Nabi SAW. Di dalamnya ia
menyebutkan didudukkannya Nabi di atas ‘arsy. Kata Al Qadli, “Didudukkannya
Nabi di atas ‘arsy ini adalah pendapat Abu Dawud, Ahmad ibn Ashram, Yahya ibn
Abi Thalib, Abi Bakr ibn Hammad, Abi Ja’far Al Dimasyqi, ‘Iyasy al Dawri,
Ishaq ibn Rahawiah, ‘Abdul Wahhab Al Warraq, Ibrahim Al Ashbihani, Ibrahim Al
Harbi, Harun ibn Ma’ruf, Muhammad ibn Isma’il Al Salami, Muhammad ibn Mush’ab
Al ‘Abid, Abi Bakr ibn Shadaqah, Muhammad ibn Bisyr ibn Syuraik, Abi Qilabah,
Ali ibn Sahl, Abi Abdillah ibn Abdinnur, Abi ‘Ubaid, Al Hasan ibn Fadhl, Harun
ibn Al ‘Abbas Al Hasyimi, Ismail ibn Ibrahim Al Hasyimi, Muhammad ibn ‘Imran
Al Farisi Al Zahid, Muhammad ibn Yunus Al Bashri, Abdullah ibn Al Imam Ahmad
Al Marwazi dan Bisyr Al Hafi.
Syaikh Ibnul Qayyim berkata, “Saya katakan
bahwa duduknya Nabi SAW di atas ‘arsy adalah pendapat Ibnu Jarir Al Thabari,
Imam dari semua ulama di atas yakni Mujahid Imamu al Tafsir, dan juga
pendapat Abu Al Hasan Al Daruquthni. Salah satu syair dari Al Daruquthi
mengenai duduknya Nabi di atas ‘arsy adalah sbb :
Hadits tentang syafaat
dari Ahmad
Sanadnya sampai Ahmad Al Mushthafa
Ada juga hadits
tentang didudukkannya beliau
Di atas ‘arsy , maka kita tidak boleh
mengingkarinya
Pahamilah hadits sesuai teksnya
Janganlah memasukkan
sesuatu yang merusak maknanya
Jangan kalian ingkari bahwa Nabi itu
duduk
Dan jangan kalian engkari bahwa Allah telah mendudukkannya
Dikutip
dari Badaa’iul Fawaaid karya Syaikh Ibnul Qayyim vol. IV hlm. 40
MEMBUKA TOPENG DAN KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN NABI YANG UNIK
Al
Faqih Al ‘Allamah Al Syaikh Manshur ibn Yunus Al Bahuti dalam kitabnya
Kisyaafu Al Qinaa’ menyebut sejumlah keistimewaan-keistomewaan Nabi SAW
yang dinilai aneh oleh banyak orang yang kapasitas intelektualnya tidak mampu
untuk memahami prinsip-prinsip dasar ini dan memahami kaidah-kaidah di atas.
Diantaranya adalah :
1. Apa yang untuk kita dikategorikan najis
itu suci untuk Nabi SAW dan Nabi-Nabi yang lain. Diperboleh berobat
menggunakan urine dan darah beliau SAW, berdasarkan hadits riwayat Al
Daruquthni : Sesungguhnya Ummu Aiman meminum urine Nabi.” “Perut kamu tidak
akan masuk neraka,” kata Nabi Saw, namun status hadits ini dla’if, dan juga
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Al Dlu’afaa’ : “Seorang budak
membekam Nabi SAW. Setelah selesai membekam ia minum darah Nabi.”
“Celaka kamu, apa yang kamu lakukan dengan darah?” tanya Nabi. “Darah itu
telah aku masukkan dalam perutku,” jawab budak. “Pergilah ! engkau telah
menjaga dirimu dari api neraka,” suruh Nabi.
Al Hafidl Ibnu Hajar
mengatakan bahwa rahasia masuk sorganya budak yang meminum darah bekam Nabi
adalah karena tindakan kedua malaikat yang membasuh perutnya.
2. Nabi
tidak memiliki bayangan di bawah terpaan sinar matahari dan bulan. Karena Nabi
itu makhluk cahaya sedangkan bayangan adalah jenis dari kegelapan. Keterangan
ini disebut oleh Ibnu ‘Aqil dan yang lain. Fakta ini diperkuat oleh tindakan
Nabi SAW yang memohon kepada Allah agar seluruh anggota badan dan seluruh arah
mata angin dijadikan cahaya. Beliau juga mengakhir do’anya dengan “jadikanlah
saya cahaya”. Bumi itu menelan kotoran-kotoran Nabi SAW, berdasarkan
hadits-hadits.
3. Kedudukan terpuji (almaqam almahmud) adalah duduknya
Nabi SAW di atas ‘arsy. Dari ‘Abdullah ibn Salam : di atas kursi. Kedua
riwayat ini disebutkan oleh Al Baghawi.
4. Sesungguhnya Rasulullah SAW
tidak pernah menguap. Dan sesungguhnya diperlihatkan kepada Nabi SAW semua
makhluk mulai Nabi Adam sampai manusia sesudahnya sebagaimana Adam diajari
nama-nama segala sesuatu, berdasarkan hadits riwayat Al Dailami : “Dunia
dicontohkan kepadaku dengan tanah liat dan air. Maka saya mengetahui
segala sesuatu seluruhnya.” Ditampilkan kepada Nabi SAW semua ummatnya
sehingga beliau bisa melihat mereka, berdasarkan hadits riwayat Al Thabarani :
“Semalam di dalam kamar ditampilkan kepadaku ummatku, baik generasi awal
maupun akhir. Mereka digambarkan kepadaku dengan air dan tanah liat sehingga
saya mengenal salah satu dari mereka dengan temannya.” Kepada Nabi juga
ditampilkan peristiwa yang bakal terjadi pada ummatnya hingga tiba hari kiamat
berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan perawi lain, yaitu : Diperlihatkan
kepadaku apa yang dialami ummatku sepeninggal diriku. Mereka saling
menumpahkan darah.
4. Ziarah kubur Nabi SAW itu disunnahkan bagi para
lelaki dan wanita, berdasarkan keumuman hadits riwayat Al Daruquthni dari Ibnu
‘Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan
haji dan berziarah pada kuburanku setelah saya wafat, maka seakan-akan ia
berziarah padaku saat aku masih hidup." Kisyaafu Al Qinaa’ vol. V hlm. 30 yang
dicetak atas instruksi raja Faisal ibn Abdul Aziz dari dinasti Sa’udi.
Keistimewaan-keistimewaan di atas yang telah disebut dan dikutip oleh
para perawi ada sebagian yang shahih, ada yang dla’if dan ada yang sama sekali
tidak memiliki dalil.
Saya tidak tahu apa yang akan diucapkan oleh orang
yang menantang keajaiban-keajaiban yang telah dikutip para imam besar
ahlussunnah di atas. Para imam ini tidak menentang malah menerima
keajaiban-keajaiban itu, dan memberikan toleransi dalam pengutipannya karena
berpijak pada prisnsip toleransi dalam mengutip keutamaan-keutamaan amal
padahal dalam keistimewaan-keistimewaan ini ada pendapat-pendapat yang jika
didengar oleh orang yang menolak atau mengingkarinya niscaya ia akan
menjatuhkan vonis lebih berat dari vonis kufur kepada pihak yang
mengatakannya. Apa yang kami sebutkan di atas belum ada apa-apanya jika
dibandingkan pendapat orang yang mengatakan bahwa junjungan kita Muhammad di
hari kiamat didudukkan Allah di atas ‘arsy-Nya sebagaimana dikutip oleh Al
Imam Al Syaikh Ibnul Qayyim dari para imam besar generasi salaf dalam kitabnya
yang populer Badaa’iul Fawaaid tanpa bukti dan dalil sahih dan marfu’, baik
dari Al Qur’an maupun Al Sunnah. Keistimewaan-keistimewaan yang saya kutip
tidak ada apa-apanya dengan yang tercantum dalam Kisyaaful Qinaa’ yang
menyatakan bahwa Nabi SAW adalah cahaya, yang tidak memiliki bayangan dan
kotoran yang dikeluarkan beliau ditelan bumi hingga tidak tersisa sedikitpun
di atas permukaan tanah. Keistimewaan-keistimewaan yang saya kutip juga tidak
ada apa-apanya dengan keistimewaan-keistimewaan yang dikutip oleh Ibnu
Taimiyyah. seperti ucapannya bahwa nama Nabi SAW tertulis dalam betis/batang
‘arsy, dan pada daun, pohon, pintu, buah dan kubah sorga. Di manakah mereka
yang memberikan ulasan dan kajian? Mengapa persoalan-persoalan ini tidak
mendapat kritik dan koreksi. Tindakan sebagian kalangan yang membuang dan
memberi tambahan pada kitab-kitab klasik agar teks sesuai dengan aspirasi
mereka adalah tindakan kriminal dan pengkhianatan besar yang berhak mendapat
vonis pemenggalan. Karena yang wajib dilakukan adalah menetapkan nash apa
adanya betapapaun ia berlawanan dengan perspektif orang yang mengkaji dan
memberikan ulasan. Selanjutnya ia bebas menulis apa saja yang sesuai dengan
perspektif dan pemikirannya.
SORGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU.
MENGAPA TIDAK DI BAWAH URUSAN NABI SAW
Salah satu keistimewaan
kenabian yang menjadi polemik di kalangan ulama keterangan yang menyatakan
bahwa Nabi SAW membagi-bagi tnaha sorga. Al Hafidh Al Suyuthi dan Al
Qasthalani telah menyebutkan keistimewaan ini dalam kitab syarhnya terhadap AL
Mawaahib Al Laadunniyyah. Sudah maklum, kalau pemberian bagian ini hanya untuk
mereka yang berhak dari orang-orang yang mengesakan Allah dan atas izin Allah
SWT, baik lewat jalan wahyu, ilham atau penyerahan dari Allah kepada beliau.
Dalam haditsnya yang berbunyi, “Aku hanyalah pembagi sedang Allah yang
memberi,” menunjukkan indikasi penyerahan. Jika ungkapan bahwa sorga di bawah
telapak kaki ibu itu dianggap sah. Maka mengapa tidak sah ungkapan bahwa sorga
di bawah urusan Nabi SAW atau malah di bawah telapak kaki Nabi ?. kedua
ungkapan ini identik dan diketahui oleh pelajar dengan pengetahuan paling
minim. Ungkapan ini adalah ungkapan majaz yang maksudnya adalah bahwa mencapai
sorga lewat jalur berbakti dan mengabdi kepada kedua orang tua, khususnya ibu.
Dan hal ini bisa dicapai lewat Nabi dengan cara taat, cinta dan setia kepada
beliau.
Ada banyak contoh yang menunjukkan otentisitas
keistimewaan-keistimewaan ini. Dan kami akan menyebutkan keistimewaan yang
paling penting :
NABI SAW MENANGGUNG SORGA
Satu arti dengan pembagian Nabi terhadap tanah
sorga adalah jaminan masuk sorga dari Nabi untuk sebagian ummatnya. Jaminan
ini diperoleh oleh para sahabat yang mengangkat bai’at dalam bai’at ‘aqabah.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit, ia berkata, “Saya adalah salah seorang yang
menghadiri bai’at ‘aqabah pertama.” Dalam hadits ini tercantum : “Kami
mengangkat bai’at kepada Rasulullah SAW bahwa kami tidak akan menyekutukan
Allah dengan yang lain, tidak mencuri, berzina, membunuh anak-anak kami dan
tidak melakukan dusta besar yang kami buat-buat di antara tangan-tangan dan
kaki-kaki kami serta tidak membangkang dalam melakukan kebaikan.” “Jika
kalian memenuhi baiat kalian bagi kalian sorga. Jika kalian melanggar
salah satu bai’at kalian maka urusan kalian diserahkan kepada Allah. Dia bisa
memberi siksaan atau ampunan,” kata Nabi SAW. Hadits ini disebutkan Ibnu
Katsir dalam Babu Bad’i Islaami Al Anshari. (Al Sirah vol. II hlm 176).
Dalam shahih Al Bukhari terdapat keterangan yang tegas bahwa bai’at di
atas diberi jaminan sorga. ‘Ubadah ibn Shamit berkata, “Saya termasuk salah
satu pimpinan yang membai’at Rasulullah SAW.” “Kami membai’at Rasulullah SAW
untuk tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, tidak mencuri, berzina,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali secara legal dan tidak merampok.
Kami membai’at beliau dengan jaminan sorga jika mematuhi isi bai’at ini,”
lanjut ’Ubadah. HR Al Bukhari dalam Kitab Manaaqibul Anshar Babu Bai’atil
‘Aqabah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menyatakan,
“Barangsiapa memenuhi isi bai’at maka baginya sorga.” Demikian tercantum dalam
Al Bidayah vol. III hlm. 150.
Dari Qatadah bahwasanya mereka (yang hendak
berbai’at) bertanya, “Wahai Rasulullah !, apa yang kami dapatkan jika kami
mengangkat bai’at ?” “Sorga,” jawab Rasulullah. Al Bidayah vol. III hlm.
162.
Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian
melaksanakan isi bai’at tersebut maka bagi kalian sorga atas Allah dan aku.”
HR Al Thabarani. Lihat Kanzul ‘Ummal vol. I hlm 63 dan Majma’ul Zawaaid vol.
VI hlm. 47.
Dari ‘Utbah ibn ‘Amr Al Anshari bahwasanya Nabi SAW
bersabda, “Jika kalian melaksanakan isi bai’at tersebut maka bagi kalian sorga
atas Allah dan aku.” HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu ‘Asakir. Lihat Kanzul
‘Ummal vol. I hlm 67.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah SAW memberinya sepasang sandal beliau. “Pergilah,” perintah Nabi,
“Siapapun yang engkau temui di belakang tembok ini yang bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah maka berilah kabar gembira dengan sorga.” HR. Muslim dalam
Kitabul Iman.
TICKET MASUK SORGA BERADA DI TANGAN NABI SAW
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda, “ diletakkan untuk para Nabi
beberapa mimbar dari cahaya yang mereka duduk di atasnya. Dan tersisa mimbarku
yang tidak aku duduki. Aku berdiri di hadapan Tuhanku karena khawatir diutus
masuk ke surga sedang umatku belum memasukinya. “ Yua Tuhanku, umatku umatku,
“ kataku. “Wahai Muhammad, kata Allah, “ Wahai Muhammaad, kamu
ingin Aku berbuat apa terhadap umatmu ? Ya Tuhanku percepatlah hisab
mereka, “jawab Nabi. Akhirnya umat Muhammad dipanggil lalu dihisab. Sebagian
ada yang masuk surga berkat rahmat Allah dan sebagian lain berkat syafa’atku.
Saya senantiasa memberi syafa’at sampai sya diberi buku berisi daftar
orang-orang yang akan dikirim ke neraka, hingga Malik penjaga neraka berkata,
“ Wahai Muhammad, siksaan apa yang Engkau tinggalkan karena murka Tuhanmu
terhadap umatmu. HR. At Thabbarani dlam Al Kabire dan Al Ausat dan Al Baihaqi
dalam Al Ba’ts. “ Tidak ada perawi yang bewrstatus matruk dalam daftar perawi
hadits ini, “kata Al Mundziri.
NABI SAW MEMBERIKAN SURGA
Dalam sebuah riwayat dari Jabir bahwasanya ia
berkata, “Kami bertanya, “Untuk apa kami membai’atmu?”. “Untuk mendengar dan
mematuhi baik dalam kondisi bersemangat dan malas serta untuk mendanai bala
tentara dalam keadaan kekurangan biaya dan untuk menyuruh kebaikan dan
melarang kemungkaran. Dan bagi kalian sorga,” jawab Nabi.
Al
Hafidh Ibnu Hajar berkata, “Dari jalur lain, Ahmad meriwayatkan dari Jabir, ia
berkata, “Abbas memegang tangan Rasulullah kemudian ketika kami selesai
belilau berkata, “Engkau telah mengambil dan bakal diberi.” (Fathul Bari vol.
VII hlm. 223) HR Ahmad (Majma’ul Zawaaid vol. VI hlm. 48. Maksud dari sabda
Nabi adalah : Engkau telah mengambil bai’at dan akan mendapat sorga.
Saya
katakan bahwa dalam riwayat lain terdapat ungkapan yang lebih jelas dari sabda
Nabi tersebut. Jabir berkata, “Sesungguhnya Nabi berkata kepada mereka (yang
akan berbai’at), “Kalian membai’atku untuk mendengar, dan patuh, sampai Nabi
mengatakan, dan bagi kalian sorga.” Jabir berkata, “Mereka menjawab, “Demi
Allah, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini selamanya dan tidak akan
mencabutnya selamanya. Akhirnya kami membai’at Nabi lalu beliau mengambil
bai’at, memberi syarat dan memberi sorga jika memegang teguh bai’at itu.” Al
Haitsami berkata, “Sebagian hadits ini diriwayatkan oleh para penyusun Al
Sunan. Ahmad dan Al Bazzar juga turut meriwatkannya. Status para perawi Ahmad
adalah sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih. (Majmaa’ul Zawaid
vol. VI hlm. 46.
NABI MENJUAL SORGA DAN ‘UTSMAN MEMBELINYA
Dari Abu Hurairah RA, ia
berkata, “’Utsman melakukan pembelian sorga dengan sesungguhnya dua kali dari
Nabi SAW ; saat menggali sumur ma’unah dan saat memberikan akomodasi untuk
pasukan yang dikirim ke medan perang Tabuk (jaisul ‘usrah).” HR Al Hakim dalam
Al Mustadrak vol. III hlm. 107. Al Hakim menilai hadits ini shahih.
Setiap
orang berakal pasti mengerti bahwa sorga itu milik Allah semata. Siapa saja
tidak bisa memiliki dan mengaturnya, betapapun tinggi nilai dan kedudukannya,
baik ia malaikat, Nabi atau rasul. Tetapi Allah memberi para rasul sesuatu
yang membedakan mereka dengan orang lain, karena kedudukan mereka yang mulia
dan ketinggian derajat mereka di sisi-Nya. Akhirnya apa yang diberikan Allah
dinisbatkan kepada mereka dan pengaturannya juga dikaitkan dengan mereka. Hal
ini diberikan semata-mata karena memuliakan, mengagungkan, menghargai dan
persembahan terhadap mereka. Berangkat dari pandangan ini muncul ungkapan
menyangkut keistimewaan-keistimewaan Nabi SAW, seperti beliau membagi-bagi
tanah sorga, memberi jaminan sorga, menjual sorga atau memberi kabar dengan
sorga. Padahal tidak ada yang ragu bahwa sorga itu milik Allah semata, kecuali
orang bodoh yang tidak memilki pengetahuan minimal terhadap luasnya persoalan
keilmuan.
Ya Allah sinarilah penglihatan kami, bukalah telinga kami dan
perlihatkanlah kebenaran sebagai kebenaran serta karuniailah aku untuk
mengikutinya.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN MALAM KELAHIRAN YANG DIUTAMAKAN
Dalam
keistimewaan-keistimewaan kenabian, sebagian ulama menyebut malam kelahiran
Nabi lebih utama daripada lailatul qadr dan mereka membuat komparasi
menyangkut mana yang lebih utama antara dua malam ini. Yang ingin kami
sampaikan di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan malam kelahiran adalah
malam sesungguhnya di mana kelahiran Nabi terjadi. Malam ini telah lewat
semenjak ratusan tahun silam dan tidak ragu lagi terjadi sebelum dikenal atau
munculnya lailatul qadr. Yang dimaksud malam kelahiran di sini bukan malam
kelahiran yang terulang setiap tahun dan merupakan waktu yang sama dari hari
kelahiran sesungguhnya. Sebenarnya mengkaji persoalan ini tidak memberikan
faidah besar dan tidak ada konsekuensi negatif jika mengingkari atau mengakui.
Juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah apapun. Para ulama
sendiri telah mengkaji banyak persoalan sepele dan menyusun risalah-risalah
khusus tentang persoalan itu padahal persoalan-persoalan itu tidak berarti
apa-apa dibanding persoalan yang sedang kita kaji ini. Walhasil, kami meyakini
bahwa komparasi ini terjadi antara malam kelahiran Nabi sesungguhnya dengan
lailatul qadr dan bahwa malam dimana kelahiran Nabi terjadi yang menjadi bahan
kajian perbandingan dan komparasi itu telah lewat dan selesai, dan sekarang
malam itu tidak lagi berwujud. Sedang lailatul qadr itu masih eksis dan
berulang setiap tahun dan merupakan malam paling utama berdasarkan firman
Allah :
إنا أنزلناه في ليلة القدر وما أدراك ما ليلة القدر ليلة القدر خير من ألف شهر
Polemik tentang persoalan ini dan sejenisnya berlangsung antar ulama dan
menjadi bahan diskusi ulama-ulama besar generasi salaf. Al Syaikh Al Imam Ibnu
Taimiyyah membicarakan persoalan komparasi antara lailatul qadr dan lailatul
isra’ (malam diiara’kannya Nabi SAW) dengan detail dan mendalam padahal tidak
ada fakta bahwa salah seorang imam generasi salaf dan generasi awal apalagi
para sahabat dan lebih-labih lagi Nabi SAW, mengkaji atau membicarakannya.
FATWA IBNU TAIMIYYAH TENTANG PERSOALAN INI
Al Imam Al Syaikh Ibnu Al Qayyum mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiiyah
ditanya tentang seorang lelaki yang mengatakan lailatul isra’ lebih utama
daripada lailatul qadr. Yang lain menjawab justru lailatul qadr lebih utama.
Siapakah yang benar di antara keduanya?.
Syaikh menjawab, “Alhamdulillah,
adapun orang yang mengatakan bahwa lailatul isra’ lebih utama daripada
lailatul qadr maka jika maksudnya adalah bahwa malam di mana Nabi diisra’kan
dan malam-malam yang sama setiap tahunnya itu lebih utama untuk ummat Muhammad
daripada lailatul dengan pengertian bahwa shalat malam dan berdo’a pada
malam isra’ itu lebih utama dilakukan dari pada pada malam lailatul qadr
maka ini adalah pendapat keliru yang tidak dikatakan oleh seorang muslimpun
dan jelas pasti salah dari sudut pandang Islam. Jika maksudnya adalah malam
tertentu pada saat Nabi SAW diisra’kan dan memperoleh sesuatu yang tidak
diperoleh pada malam lain tanpa harus melakukan shalat dan do’a secara khusus
maka pendapat ini benar. Lihat Muqaddimatu Zadi al-Ma’aadi karya Ibnu Al
Qqayyim.
JANGAN MEMUJIKU SECARA BERLEBIHAN
Sebagian kalangan memahami sabda Nabi
SAW : “Janganlah kalian memujiku sebagimana pujian yang diberikan kaum
nashrani kepada ‘Isa ibn Maryam,” sebagai larangan memuji beliau SAW dan
mengkategorikan pujian kepada beliau sebagai sanjungan berlebihan yang bisa
mengarah pada kemusyrikan dan memahami bahwa orang yang memuji beliau,
melebihkan derajatnya di atas manusia biasa, menyanjung dan mensifati beliau
dengan sifat-sifat yang berbeda dari yang lain, telah melakukan praktik bid’ah
dalam agama Islam dan melanggar sunnah sayyidil mursalin Muhammad SAW.
Persepsi di atas adalah sebuah kesalahfahaman dan mengindikasikan
dangkalnya pandangan orang yang memiliki persepsi demikian. Mengapa ? Karena
Nabi SAW melarang pujian kepada beliau sebagaimana ummat nashrani memuji ‘Isa
ibn Maryam saat mereka mengatakan : Isa adalah anak Allah.
Makna dari
hadits di atas adalah sesungguhnya orang yang memuji Nabi dan mensifatinya
dengan sifat yang diberikan ummat nashrani kepada Nabi mereka berarti orang
tersebut sama dengan mereka. Adapun orang yang memuji dan mensifati beliau
dengan karakter yang tidak mengeluarkan beliau dari substansi kemanusiaan
seraya meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah serta menjauhi
keyakinan ummat nashrani maka pasti ia adalah sebagian dari orang yang paling
sempurna ketauhidannya.
Buanglah keyakinan ummat nashrani terhadap Nabi
mereka
Berilah beliau pujian sesukamu
Karena keutamaan Rasulullah
tidak memiliki batas
Hingga mampu diungkapkan dengan lisan
Batas
pengetahuan kita adalah beliau manusia
Dan makhluk Allah yang paling
baik
Allah SWT sendiri telah memuji Nabi Muhammad SAW dalam firman-Nya
:
وإنك لعلى خلق عظيم
menyuruh bersikap sopan dalam berbicara dan memberi jawaban :
يا أيها الذين آمنوا لاترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي
melarang kita bersikap kepada beliau sebagaimana sikap sebagian kita
kepada sebagian yang lain, atau memanggil beliau sebagaimana sebagian kita
memanggil sebagian yang lain. Allah berfirman :
لاتجعلوا دعاء الرسول بينكم كدعاء بعضكم بعضا
Allah juga mengecam mereka yang menyamakan Nabi dengan orang lain dalam
interaksi sosial dan metode :
إن الذين ينادونك من وراء الحجرات أكثرهم لايعقلون
Para sahabat yang mulia adalah orang-orang yang menyanjung Nabi SAW.
Hassan
ibn Tsabit membacakan syairnya :
Orang yang bersinar wajahnya dan ada cap
kenabian padanya
Cap kenabian dari Allah yang terlihat cemerlang.
Allah menggabungkan nama beliau dengan nama-Nya
Ketika muadzin
mengumandangkan Asyhadu, lima kali dalam sehar.i
Sebagai penghormatan,
dari nama-Nya Tuhan memberikan kepada Nabi
Maka Tuhan pemilik ‘arsy itu
Dzat yang dipuji dan beliau orang yang banyak dipuji.
Beliau adalah Nabi
yang datang setelah masa kekosongan
dari para rasul, pada saat arca-arca
disembah di muka bumi.
Beliau adalah pelita yang menyinari dan
petunjuk
yang mengkilap bak pedang India.
Beliau mengancam dengan
neraka dan memberi kabar bahagia dengan sorga
dan mengajarkan Islam
kepada kami, maka hanyalah untuk Allah segala pujian.
Selanjutnya Hassan
juga mengatakan :
Wahai pilar penyangga dan pelindung orang yang
berlindung
tempat orang meminta bantuan dan tetangga bagi yang
berdampingan
Wahai orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
Allah
telah memberimu perilaku yang bersih dan suci
Engkau adalah Nabi dan
sebaik-baik keturunan Adam
Wahai orang yang berderma laksana limpahan
samudera yang pasang
Mikail dan Jibril senantiasa bersamamu
sebagai
bantuan dari Dzat Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk menolongmu
Shafiyyah
binti ‘Abdil Muththallib meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan Rasulullah SAW
:
Wahai Rasulullah, engkau adalah harapan kami
Engkau baik pada kami
dan tidak kasar
Engkau pengasih, pembimbing dan pengajar
Hendaklah
menangis sekarang orang yang ingin menangis
Engkau jujur, engkau telah
menyampaikan risalah dengan jujur
Engkau telah melemparkan kayu salib
yang mengkilap
Ibu, bibi, paman, ayah, diriku dan hartaku menjadi tebusan
untuk Rasulullah
Sungguh, aku tak menangisi kematian Nabi
Namun aku
khawatir akan datangnya kekacauan
Di hatiku seolah-olah ada ingatan
Muhammad
Sesudah kematian beliau, aku tak takut pada kesusahan yang
terpendam
Jika Allah mengekalkan Nabi kami
Kami akan bahagia, tapi
urusan beliau telah berlalu
Salam dari Allah untukmu, sebagai ungkapan
penghormatan
Engkau telah dimasukkan ke sorga ‘Adn dengan suka cita
Wahai
Fathimah, Allah Tuhan Muhammad telah menyampaikan shalawat
Atas kuburan
yang berada di Thaibah
Ibnu Sa’d dalam Al Thabaqaat menyatakan bahwa
bait-bait Shofiah ini adalah milik ‘Urwa binti Abdil Muththallib.
Ka’b
ibn Zuhair menyanjung Nabi dalam qasidah populernya yang prolognya sbb :
Su’ad
telah bercerai maka hatiku kini merasa sedih, diperbudak dan terbelenggu.
Pengaruhnya
tak bisa ditebus
Aku dikabari bahwa rasulallah menjanjikanku
Ampunan
dapat diharapkan di sisi Rasulullah
Sungguh Rasulullah adalah cahaya yang
menyinari
Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah, yang
terhunus
Dalam kelompok suku Qurays di mana salah satu mereka berkata
Di
dalam Makkah saat masuk Islam mereka berhijrah
Mereka berjalan seperti
unta yang berkemilau. Mereka terlindungi oleh pukulan saat orang-orang negro
yang pendek berusia lanjut.
Dalam riwayat Abu Bakar ibn Hanbali
bahwasanya saat Zuhair sudah datang pada bait :
Sungguh Rasulullah adalah
cahaya yang menyinari
Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah,
yang terhunus
Maka, Rasulullah melemparkan selimut yang melekat pada
badannya kepada Ka’ab dan bahwa Mu’awiyah menawarkan 10.000 dirham kepada
Ka’ab untuk memiliki selimut tersebut. “Saya tidak akan memprioritaskan
siapapun dengan Rasulullah,” kata Ka’ab. Waktu Ka’ab meninggal dunia Mu’awiyah
mengambil selimut tersebut dari ahli warisnya dengan memberi 20.000 dirham
kepada mereka.
Rasulullah juga memuji dirinya sendiri. Beliau berkata
:
“Saya adalah sebaik-baik kelompok kanan (Ashabul Yamin)”
“Saya
adalah sebaik-baik orang dahulu.”
“Saya adalah anak cucu Adam yang paling
bertaqwa dan paling mulia di sisi Allah, namun saya tidak merasa angkuh.” HR
Al Turmudzi dan Al Baihaqi dalam Al Dalaail.
“Saya adalah orang paling
mulia dari generasi awal dan akhir, namun aku tidak merasa angkuh.” HR. AL
Turmudzi dan Al Darimi.
“Kedua orang tuaku sama sekali tidak perbah
melakukan perzinahan.” HR Ibnu ‘Umar Al ‘Adani dalam Musnadnya.
Jibril
berkata, “Saya telah menelusuri wilayah timur dan barat bumi. Saya tidak
melihat seorang lelaki yang lebih utama melebihi Muhammad dan tidak melihat
anak cucu seorang ayah yang lebih utama melebihi anak cucu Hasyim.” HR Al
Baihaqi, Abu Nu’aim dan Al Thabarani dari ‘Aisyah RA.
Dari Anas RA
bahwasanya Nabi SAW didatangi buraq pada malam beliau diisra’kan. Buraq itu
sulit untuk dinaiki Nabi. “Kepada Muhammad kamu bersikap demikian?” tanya
Jibril, “Tidak ada yang menaiki kamu seseorang yang lebih mulia di sisi Allah
daripada Muhammad.” Akhirnya keringat Buraq itu keluar dengan deras. HR Al
Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits Abi Sa’id, ia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda, “Saya adalah junjungan anak Adam pada hari kiamat namun aku tidak
merasa angkuh. Di tanganku ada panji pujian (liwaa’ul hamdi) namun aku tidak
merasa angkuh. Tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu – Nabi Adam dan Nabi
lain – kecuali di bawah oanjiku. Saya adalah orang pertama yang bumi terbelah
karenanya namun aku tidak merasa angkuh.” HR Al Turmudzi yang menilainya
sebagai hadits hasan shahih.
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah SAW
berkata, “Saya adalah orang pertama yang keluar ketika manusia dibangkitkan.
Saya adalah penuntun mereka ketika mereka menghadap Allah. Saya adalah yang
berbicara ketika mereka bungkam. Saya adalah orang yang memberi syafaat ketika
mereka ditahan. Saya adalah pemberi kabar gembira tatkala mereka merasa putus
asa. Kemuliaan dan kunci-kunci di hari itu ada ditanganku juga panji
pujian.”
“Saya adalah anak cucu Adam paling mulia di sisi Tuhanku.
Seribu khadim laksana permata terpendam atau intan yang bertaburan
mengelilingiku.” HR. Al Turmudzi dan Al Darimi.
Dari Abu Hurairah dari
Nabi SAW, beliau berkata, “Saya adalah orang pertama yang bumi terbelah
karenanya. Aku diberi busana sorga kemudian aku berdiri di sebelah kanan
‘arsy. Tidak ada makhluk lain yang berdiri di tempat itu kecuali aku.” HR Al
Turmudzi. “Hadits ini hasan sekaligus shahih.”
PARA NABI ADALAH MANUSIA TETAPI !…….
Sebagian orang menganggap bahwa para
Nabi sama dengan manusia lain dalam segala kondisi dan karakter. Asumsi ini
jelas keliru dan kebodohan yang nyata yang ditolak oleh dalil-dalil sahih dari
Al Kitab dan Al Sunnah.
Para Nabi, meskipun mereka sama dengan semua
manusia dalam substansi dasar yang nota bene sebagai manusia berdasarkan
firman Allah :
قل إنما أنا بشر
hanya saja mereka berbeda dalam banyak sifat dan keadaan-keadaan insidental.
Jika tidak demikian lalu apa keistimewaan mereka ? dan bagaimana bisa terlihat
buah terpilihnya mereka mengalahkan orang lain ?
Dalam bahasan ini kami
akan menjelaskan sedikit sifat-sifat mereka di dunia dan
keistimewaan-keistimewaan mereka di alam barzakh yang ditetapkan berdasarkan
Al Kitab dan Al Sunnah.
PARA NABI ADALAH PIMPINAN MANUSIA
Para Nabi adalah hamba-hamba Allah
pilihan yang dimuliakan Allah dengan status kenabian serta diberi
kebijaksanaan, kekuatan akal, dan cara pandang yang benar. Para Nabi dipilih
Allah untuk menjadi mediator antara Dia dengan makhluk-Nya. Para Nabi
menyampaikan perintah-perintah Allah kepada mereka, memperingatkan mereka akan
murka dan siksa Allah, dan membimbing mereka menuju jalan yang mengantar
kebahagiaan dunia akhirat. Hikmah Allah menetapkan bahwa mereka dari jenis
manusia agar manusia bersosialisasi dengan mereka dan meneladani
perangai dan budi pekerti mereka. Kemanusiaan adalah esensi kemu’jizatan
mereka. Mereka adalah manusia biasa namun memiliki perbedaan yang tidak
mungkin disamai manusia manapun. Karena itu memberikan penilaian dari sisi
kemanusia an sich terhadap mereka tanpa melibatkan unsur-unsur lain adalah
perspektif jahiliyah yang musyrik.
Salah satu penilaian kemanusiaan
semata adalah
- Ucapan kaum Nabi Nuh terhadap Nabi Nuh
sebagaimana diceritakan Allah :
فقال الملأ من قومه ما نراك إلا بشرا مثلنا (هود 28)
- Ucapan kaum Nabi Musa dan Isa terhadap mereka berdua
seperti diceritakan Allah :
فقال أنؤمن لبشرين مثلنا وقومهما لنا عابدون (المؤمنون 47)
- Ucapan kaum Tsamud terhadap Nabi Shalih Nuh sebagaimana
disebutkan Allah :
ما أنت إلا بشر مثلنا فأت بآية إن كنت من الصادقين (الشعراء 154)
- Ucapan Ashabul Aikah terhadap Nabi mereka Syu’aib
sebagaimana dikatakan Allah :
قالوا إنما أنت من المسحرين وما أنت إلا بشر مثلنا وإن نظنك لمن الكاذبين
(الشعراء : 186)
- Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang
memandang Nabi dari aspek kemanusiaan semata, seperti diceritakan Allah :
وقالوا ما ل هذا الرسول يأكل الطعام ويمشي في الأسواق
SIFAT-SIFAT PARA NABI AS
Para Nabi, meskipun mereka juga manusia yang makan, minum, sehat,
sakit, menikahi perempuan, berjalan di pasar, mengalami apa yang dialami
manusia seperti lemah, lanjut usia, dan mati namun mereka memiliki perbedaan
dengan berbagai keistimewaan dan memiliki sifat-sifat yang agung yang bagi
mereka adalah salah satu hal yang harus melekat serta paling urgen.
Sifat-sifat ini bisa diringkas sbb :
1. Jujur
2.
Amanah
3. Bebas dari aib yang menjijikkan
4. Menyampaikan
5. Cerdas
6.
Terhindar dari dosa
Di sini bukanlah tempat untuk
membicarakan sifat-sifat ini secara detail. Karena pembicaraan masalah ini
telah ditanggung oleh buku-buku tauhid. Di sini, kami hanya akan menyebut
sebagian sifat yang membedakan Nabi Muhammad SAW dengan manusia biasa.
MAMPU MELIHAT DARI BELAKANG SEBAGAIMANA DARI DEPAN
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Apakah kalian melihat qiblatku di sini ?. Demi Allah, ruku’ dan
sujud kalian tidak samar bagi saya. Sungguh saya bisa melihat kalian dari
balik punggungku.”
Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya saya adalah imam kalian. Maka janganlah
mendahului saya dengan ruku’ dan sujud. Karena saya bisa melihat kalian dari
arah depan dan belakang.”
Abdurrazaq meriwayatkan dalam karyanya, dan Al
Hakim serta Abu Nu’aim dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya saya mampu melihat sesuatu dari arah belakangku sebagaimana dari
arah depanku.”
Abu Nu’aim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, ia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh saya mampu melihat kalian dari
balik punggungku.”
BELIAU MAMPU MELIHAT APA YANG TIDAK KITA LIHAT DAN MAMPU MENDENGAR APA YANG
TIDAK KITA DENGAR
Dari Abu Dzarr, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sungguh saya mampu
melihat apa yang tidak kalian lihat dan mampu mendengar apa yang tidak kalian
dengar. Langit bersuara dan ia memang wajib bersuara. Demi Dzat yang nyawaku
berada di tangannya, tidak ada di langit tempat seluas empat jari-jari kecuali
ada malikat yang meletakkan keningnya bersujud kepada Allah. Demi Allah, jika
kalian mengetahui apa yang saya ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan
banyak tersenyum, tidak akan bersenang-senang dengan wanita di atas tempat
tidur dan niscaya akan pergi ke tempat-tempat tinggi berlindung kepada Allah.”
Abu Dzarr berkata, “Sekiranya saya jadi pohon yang ditebang.” HR. Ahmad, Al
Turmudzi dan Ibnu Majah.
KETIAK MULIA NABI SAW
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah SAW berdo’a seraya mengangkat kedua
tangan beliau hingga kedua ketiaknya terlihat.”
Ibnu Sa’ad meriwayatkan
dari Jabir, ia berkata, “Nabi SAW itu jika sujud maka warna putih kedua ketiak
beliau terlihat.” Dalam banyak hadits dari sekelompok sahabat terdapat
keterangan yang menjelaskan putihnya kedua ketiak beliau.
Al Muhib Al
Thabari berkata, “Salah satu keistimewaan beliau SAW adalah bahwa ketiak semua
orang berubah warnanya kecuali beliau.” Al Qurthubi mengemukan pendapat yang
sama dengan Al Thabari. “Dan sesungguhnya ketiak beliau tidak berambut,”
tambahnya.
NABI SAW TIDAK MENGUAP
Al Bukhari meriwayatkan dalam Al
Tarikh, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dan Ibnu Sa’ad dari Yazid ibn Al
Ashamm, ia berkata, “Tidak pernah sekalipun Nabi SAW menguap.”
Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan dari Maslamah ibn Abdil Malik ibn Marwan, ia berkata,
“Tidak pernah sekalipun Nabi SAW menguap.”
AIR KERINGAT MULIA NABI SAW
Muslim meriwayatkan dari Anas, ia
berkata, “Rasulullah SAW masuk menemui kami lalu beliau tidur siang. Saat
tidur badan beliau mengeluarkan keringat. Ibuku datang membawa botol. Kemudian
ia mengambil keringat Nabi dengan kain. Lalu Nabi terjaga dan bertanya, “Apa
yang kamu lakukan ini, wahai Ummu Sulaim ?”. “Keringat yang saya masukkan
dalam minyak wangi saya. Keringat ini paling wanginya wewanginan,” jawab
ibuku.
Muslim juga meriwayatkan lewat jalur lain dari Anas, ia berkata,
“Sesungguhnya Nabi SAW mendatangi Ummu Sulaim. Lalu beliau hendak tidur siang.
Ummu Sulaim kemudian menggelar alas dari kulit dan Nabi tidur di atasnya. Nabi
adalah orang yang banyak mengeluarkan keringat. Ummu Sulaim kemudian
mengumpulkan keringat beliau lalu memasukkannya dalam minyak wangi dan
botol. “Wahai Ummu Sulaim, apa ini ?” tanya Nabi. “Keringat yang saya
campurkan pada minyak wangi saya,” jawab Ummu Sulaim.
TINGGI BADAN NABI SAW
Ibnu Khaitsamah meriwayatkan Tarikhnya, Al
Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah bukan lelaki
jangkung dan pendek. Jika berjalan sendirian postur beliau dinilai sedang.
Jika beliau berjalan dengan seseorang yang dinilai tinggi maka tinggi beliau
akan melampauinya. Terkadang beliau didampingi oleh dua orang yang berpostur
tinggi tapi tinggi badan beliau mengalahkan keduanya. Jika keduanya
meninggalkan beliau, maka beliau dinilai sebagai orang yang berpostur sedang.
Dalam Al Khashaish, Ibnu Sab’in menyebutkan hal di atas. “Sesungguhnya
Rasulullah SAW jika duduk maka pundak beliau lebih tinggi dari semua orang
yang duduk,” tambah Ibnu Sab’in.
BAYANGAN RASULULLAH SAW
Al Hakim dan Al Turmudzi meriwayatkan dari
Dzakwan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki bayangan baik di bawah sinar
matahari atau pun bulan. Ibnu Sab’in berkata, “Salah satu keistimewaan Nabi
SAW adalah bahwa bayangan beliau tidak jatuh di atas tanah dan bahwa beliau
adalah cahaya. Jika beliau berjalan di bawah sinar matahari atau bulan maka
tidak terlihat bayangan beliau. Sebagian ulama mengatakan, “Fakta ini
diperkuat oleh sebuah hadits beliau dalam berdo’a, “Jadikanlah saya
cahaya.”
Al Qadli ‘Iyadl dalam Al Syifa’ dan Al ‘Izz dalam Maulidnya
mengatakan, “Salah satu keistimewaan Nabi SAW bahwa beliau tidak dihinggai
lalat.” Dalam Al Khashaish. Ibnu Sab’in menyebutkannya dengan redaksi : Tidak
ada seekor nyamuk pun yang hinggap di atas pakaian Nabi SAW. “Bahwa kutu tidak
menyakiti beliau,” tambahnya.
DARAH NABI SAW
Al Bazzar, Abu Ya’la, Al Thabarani, Al Hakim dan Al
Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah ibn Zubair bahwa ia datang kepada Nabi SAW
pada saat beliau sedang melakukan bekam. Setalah Nabi selesai berbekam beliau
berkata, “Wahai Abdullah, pergilah dan tumpahkanlah darah ini di tempat yang
tidak diketahui orang.” Abdullah meminum darah tersebut. Ketika ia kembali
Nabi bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” “Saya letakkan darah tersebut dalam
tempat paling tersembunyi yang saya tahu bahwa tempat itu tersembunyi dari
manusia,” jawab Abdullah ibnu Zubair.
“Paling engkau meminumnya.”
“Benar.”
“Celakalah
manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka,” kata Nabi. Akhirnya
orang-orang menganggap bahwa kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Zubair
adalah akibat meminum darah Nabi SAW.
TIDURNYA NABI SAW
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah,
ia bertanya, “Apakah engkau akan tidur sebelum shalat witir?” “Wahai ‘Aisyah,
sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur,” jawab Nabi SAW.
Nabi SAW bersabda, “Para Nabi itu mata mereka tertidur namun hati mereka
tidak.”
HUBUNGAN INTIM NABI SAW
Al Bukhari meriwayatkan dari
jalur Qatadah dari Anas, ia berkata, “Nabi SAW menggilir para istrinya yang
berjumlah sebelas orang dalam satu waktu pada siang dan malam.” Saya bertanya
kepada Anas, “Apakah Nabi kuat?” “Kami mengobrol bahwa beliau diberi kekuatan
30 laki-laki,” jawab Anas.
TERHINDARNYA BELIAU DARI MIMPI BASAH
Al Thabarani meriwayatkan
lewat jalur ‘Ikrimah dari Anas dan Ibnu ‘Abbas, dan Al Dinawari dalam Al
Mujalasah lewat jalur Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Tidak ada seorang
Nabi pun yang mimpi basah. Karena mimpi basah hanyalah dari syetan.”
AIR
SENI NABI SAW
Al Hasan ibnu Sufyan meriwayatkan dalam Al Musnadnya, Abu
Ya’la, Al Hakim, Al Daruquthni, dan Abu Nu’aim dari Ummu Aiman, ia berkata,
“Suatu malam Nabi bangkit berdiri menuju kendi yang ada di samping rumah lalu
beliau kencing pada tempat itu. Kemudian pada malam itu saya bangun dan merasa
haus. Lalu saya minum dari isi kendi tersebut. Saat pagi tiba saya
menceritakan peristiwa semalam kepada beliau. Beliau tertawa dan berkata,
“Sesungguhnya setelah hari ini perut kamu tidak akan merasakan sakit
selamanya.”
‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Saya
diberi informasi bahwa Nabi SAW kencing pada wadah kayu lalu wadah itu
diletakkan di bawah tempat tidur beliau. Kemudian Nabi datang tapi tiba-tiba
wadah itu tidak ada isinya sama sekali. Lalu Nabi bertanya kepada seorang
perempuan bernama Barakah yang mengabdi kepada Ummu Habibah dan datang
bersamanya dari tanah Habasyah, “Di manakah air seni yang ada pada wadah?”
“Saya minum,” jawab Barakah. “Sehat, wahai Ummu Yusuf,” lanjut Nabi. Barakah
pun dijuluki Ummu Yusuf dan tidak mengalami sakit sama sekali sampai sakit
yang dialami waktu kematian menjemput.
Ibnu Dihyah berkata, “Peristiwa
yang dialami Barakah adalah peristiwa lain, bukan peristiwa Ummu Aiman dan
Barakah Ummu Yusuf bukan Barakah Ummu Aiman.”
RINGKASAN YANG BERGUNA
Sebagian ulama telah menadhamkan
(mempuisikan) sejumlah keistimewaan yang membuat Nabi berbeda dengan yang lain
dari aspek sifat-sifat kemanusiaan biasa sbb :
Nabi kita telah diberi
sepuluh keistimewaan
Beliau belum pernah sekalipun mimpi basah, tidak
memiliki bayangan
Bumi menelan kotoran yang dikeluarkan beliau
Dan
lalat tidak mampu hinggap pada tubuhnya
Mata beliau tertidur namun
hatinya tetap terjaga
Mampu melihat dari belakang sebagaimana dari
depan
Yang ketujuh beliau tidak pernah menguap
Selanjutnya beliau
dilahirkan sudah dikhitan
Binatang-binatang mengenal beliau saat beliau
sedang menunggang
Binatang-binatang itu datang dengan segera tidak lari
menjauh
Duduk beliau mengungguli duduknya orang lain yang duduk
Shalawat
dan salam Allah untuknya setiap pagi dan sore
Kami telah menyebutkan
dalam pembahasan kenabian pada bab kedua sebagian keistimewaan kenabian dan
ringkasan dari yang saya lihat dalam keistimewaan tersebut.
Keistimewaan-keistimewaan itu ternyata sangat banyak. Sebagian ada yang
sanadnya sahih, sebagian sanadnya tidak shahih, sebagian ada yang
diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama memandangnya shahih, sebagian lain
tidak. Masalah ini adalah masalah khilafiyyah.
Polemik antar ulama dalam
masalah ini sejak dulu berkisar antara salah dan benar, dan antara sah dan
batal. Bukan antara kufur dan iman. Kami telah mengutip sebagian besar dari
keistimewaan-keistimewaan yang di antaranya ada yang shahih, tidak shahih, dan
ada yang diterima dan lain seterusnya.
Kami kutip sebagian keistimewaan
di atas agar menjadin penguat atas apa yang kami kemukakan menyangkut
toleransi sebagian pakar hadits dalam mengutip keistimewaan itu tanpa kajian
mendalam dan kritik. Maksud dari mengutip sebagian keistimewaan itu bukanlah
membicarakan seputar keabsahan dan tidaknya keistimewaan tersebut atau ada dan
tidaknya keistimewaan itu. Camkanlah !.
PERSEPSI TABARRUK (MEMOHON BERKAH)
Banyak orang keliru memahami esensi tabarruk dengan Nabi SAW,
jejak-jejak peninggalan beliau, keluarga dan para pewarisnya dari para ulama
dan wali. Mereka menilai setiap orang yang melakukan tabarruk telah melakukan
tindakan syirik dan sesat sebagaimana kebiasaan mereka menyikapi hal-hal baru
yang tidak diterima oleh pandangan mereka dan tidak terjangkau pemikiran
mereka.
Sebelum kami jelaskan dalil–dalil dan bukti-bukti yang
menunjukkan diperbolehkannya tabarruk malah disyariatkannya tabarruk perlu
kami sampaikan tabarruk tidak lain tawassul kepada Allah dengan obyek yang
dijadikan tabarruk baik peninggalan, tempat atau orang.
Adapun tabarruk
dengan orang-orang maka karena meyakini keutamaan dan kedekatan mereka kepada
Allah dengan tetap meyakini ketidakmampuan mereka memberi kebaikan atau
menolak keburukan kecuali atas izin Allah.
Adapun tabarruk dengan
peninggalan-peninggalan maka karena peninggalan tersebut dinisbatkan kepada
orang-orang di mana kemuliaan peninggalan itu berkat mereka dan dihormati,
diagungkan dan dicintai karena mereka.
Adapun tabarruk dengan tempat
maka substansi tempat sama sekali tidak memiliki keutamaan dilihat dari
statusnya sebagai tempat. Tempat memiliki keutamaan karena kebaikan dan
ketaatan yang berada dan terjadi di dalamnya seperti sholat, puasa dan semua
bentuk ibadah yang dilakukan oleh para hamba Allah yang shalih. Sebab karena
ibadah mereka rahmat turun pada tempat, malaikat hadir dan kedamaian
meliputinya. Inilah keberkahan yang dicari dari Allah di tempat-tempat yang
dijadikan tujuan tabarruk.
Keberkahan ini dicari dengan berada di
tempat-tempat tersebut untuk bertawajjuh kepada Allah, berdoa, beristighfar
dan mengingat peristiwa yang terjadi di tempat-tempat tersebut dari
kejadian-kejadian besar dan peristiwa-peristiwa mulia yang menggerakkan jiwa
dan membangkitkan harapan dan semangat untuk meniru pelaku peristiwa itu yang
nota bene orang-orang yang berhasil dan shalih. Mari kita simak
keterangan-keterangan di bawah ini yang kami kutip dari risalah karya kami
yang khusus mengenai topik keberkahan.
TABARRUK DENGAN RAMBUT, SISA AIR WUDLU DAN KERINGAT NABI SAW
1. Dari Ja’far ibn Abdillah ibn Al Hakam bahwa Khalid
ibnu Al Walid kehilangan peci miliknya saat perang Yarmuk. “Carilah peciku,”
perintah Khalid kepada pasukannya. Mereka mencari peci tersebut namun gagal
menemukannya. “Carilah peci itu,” kata Khalid lagi. Akhirnya peci itu berhasil
ditemukan. Ternyata peci itu peci yang sudah lusuh bukan peci baru.
“Rasulullah melaksanakan umrah lalu beliau mencukur rambut kepalanya kemudian
orang-orang segera menghampiri bagian-bagian rambut beliau. Lalu saya berhasil
merebut rambut bagian ubun-ubun yang kemudian saya taruh di peci ini. Saya
tidak ikut bertempur dengan mengenakan peci ini kecuali saya diberi
kemenangan,” jelas Khalid.
Al Haitsami berkata, “Hadits semisal di atas
diriwayatkan oleh Al Thabarani dan Abu Ya’la dengan perawi yang memenuhi
kriteria hadits shahih. Ja’far mendengar hadits di atas ini dari sekelompok
shabat. Saya tidak tahu apakah ia mendengar langsung dari Khalid atau tidak.
(9/349). Hadits ini juga disebut oleh Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah
vol. IV hlm. 90. Dalam hadits ini Khalid berkata, “Saya tidak pergi menuju
medan pertempuran kecuali diberi kemenangan.”
2. Dari
Malik ibn Hamzah ibn Abi Usaid Al Sa’idi Al Khazraji dari ayahnya dari
kakeknya, Abi Usaid yang memiliki sumur di Madinah yang disebut Sumur Bidlo’ah
yang pernah diludahi oleh Nabi SAW. Abi Usaid minum air dari sumur tersebut
dan memohon berkah dengannya. HR Al Thabarani dengan para perawi yang memiliki
kredibilitas.
PENILAIAN ‘URWAH IBNU MAS’UD TERHADAP PERILAKU SAHABAT BERSAMA RASULULLAH
3.
Al Imam Al Bukhari mengatakan beserta sanadnya, “Kemudian ‘Urwah
mengamati para sahabat Nabi SAW dengan matanya. “Demi Allah,” kata “urwah,
“Rasulullah tidak mengeluarkan dahak kecuali dahak itu jatuh pada telapak
tangan salah satu sahabat yang kemudian ia gosokkan pada wajah dan kulitnya.
Jika beliau memberikan perintah maka mereka segera mematuhi perintahnya. Jika
beliau berwudlu maka nyaris mereka berkelahi untuk mendapat air sisa
wudlu’nya. Jika beliau berbicara mereka memelankan suara di depan
beliau. Dan tidak ada yang berani memandang tajam kepada beliau semata-mata
karena menghormatinya.” ‘Urwah lalu pulang menemui teman-temannya. “Wahai
kaumku!” seru ‘Urwah, “Demi Allah, saya pernah diutus menemui para raja,
kaisar, kisra dan najasyi. Demi Allah, tidak ada sama sekali raja yang
mendapat penghormatan seperti penghormatan yang diberikan para sahabat
Muhammad kepada Muhammad SAW. Demi Allah, ia tidak berdahak kecuali dahak itu
jatuh pada telapak tangan salah seorang dari mereka lalu dahak itu diusapkan
ke wajah dan kulitnya. Jika ia memberikan perintah maka mereka segera
mematuhinya. Jika ia berwudlu maka mereka nyaris berkelahi untuk memperebutkan
sisa air wudlunya. Jika mereka berbicara, mereka memelankan suaranya di
dekatnya. Dan mereka tidak berani memandang dengan tajam semata-mata karena
menghormatinya.” HR. Al Bukhari dalam Kitab Al Syuruuth dalam Bab Al Syarthi
fi Al Jihaadi. (Fathul Baari vol. V hlm. 330)
KOMENTAR AL HAFIDH IBNU HAJAR TERHADAP KISAH DI ATAS
Hadits di atas
menunjukkan kesucian dahak, rambut yang terlepas, dan memohon berkah dengan
sesuatu yang suci yang keluar dari badan orang-orang shalih. Barangkali para
sahabat melakukan semua hal di atas di hadapan ‘Urwah dan melakukannya secara
berlebihan untuk menepis kekhawatiran ‘Urwah bahwa mereka akan lari. Dengan
sikap mereka seolah-olah mereka mengatakan : “Mereka yang mencintai dan
mengagungkan pemimpinnya seperti ini, bagaimana mungkin dibayangkan mereka
akan lari dan menyerahkan pemimpin mereka kepada musuh? Justru mereka adalah
orang yang sangat menyenangi pemimpinnya, agamanya dan siap membelanya
melebihi para suku yang sebagian melindungi yang lain hanya semata-mata karena
ikatan kekerabatan.” Dari hadits ini bisa ditarik kesimpulan diperbolehkan
meraih tujuan yang hendak dicapai dengan cara apapun yang diperkenankan.
Fathul Baari vol. V hlm. 341.
NABI SAW MENGANJURKAN UNTUK MENJAGA SISA AIR WUDLU BELIAU
4.
Dari Thalq ibnu ‘Ali, ia berkata, “Kami pergi sebagai delegasi untuk
menghadap Nabi SAW. Lalu kami membai’at beliau, shalat bersamanya dan
mengabarkan bahwa di daerah kami ada sebuah sinagog milik kami. Kemudian kami
meminta sisa air wudlu beliau. Beliau kemudian meminta didatangkan air lalu
berwudlu, berkumur terus menumpahkan sisa air wudlu itu untuk kami pada
kantong dari kulit dan memberikan perintah kepada kami, “Pergilah kalian!,
Jika kalian telah tiba di daerah kalian robohkan sinagog itu dan percikilah
tempat sinagog itu dengan air sisa wudlu ini dan jadikanlah tempat sinagog itu
sebagai masjid.” “Sesungguhnya daerah kami jauh, cuaca sangat panas dan
air ini bisa kering,” ujar kami. “Tambahkanlah air, karena tambahan air akan
semakin membuatnya wangi,” kata Nabi.
Al Nasa’i dalam Al Misykat no. 716
meriwayatkan hadits ini demikian. Hadits ini dikategorikan sebagai dasar-dasar
pedoman populer yang mengindikasikan disyariatkannya tabarruk dengan Nabi,
peninggalan beliau dan dengan apa saja yang dinisbatkan kepada beliau. Karena
beliau SAW mengambil air wudlu lalu memasukkannya ke dalam kantong kulit
kemudian menyuruh sahabat membawanya bersama mereka. Tindakan beliau ini untuk
mengabulkan permintaan mereka dan mewujudkan harapan mereka. Dalam peristiwa
ini pasti ada rahasia kuat yang tertanam dalam sanubari mereka yang mendorong
untuk meminta sisa air wudlu secara khusus padahal kota Madinah penuh dengan
air, bahkan daerah mereka juga penuh dengan air. Lalu mengapa mereka bersusah
payah membawa sedikit air sisa wudlu dari satu daerah ke daerah lain padahal
jaraknya jauh, perjalanan menempuh waktu lama, dan di bawah sengatan panas
sinar matahari ?
Betul, bahwa mereka tidak mempedulikan pengorbanan ini.
Sebab faktor di balik tindakan mereka membawa air sisa wudlu membuat semua hal
yang berat dirasa ringan. Faktor itu ialah, tabarruk dengan Nabi,
peninggalan-peninggalan beliau dan dengan semua hal yang dinisbatkan kepada
beliau, di mana faktor ini tidak terdapat di daerah mereka dan dalam kondisi
apapun tidak bisa ditemukan dengan sempurna pada mereka. Apalagi Nabi memberi
penegasan kepada mereka dan meridloi tindakan mereka dengan menjawab perkataan
mereka saat mengatakan, “Sesungguhnya air bisa kering karena cuaca sangat
panas,” dengan jawaban : “Tambahkanlah ia air.” Nabi menjelaskan kepada mereka
bahwa keberkahan yang melekat pada air sisa wudlu tetap terjaga sepanjang
mereka menambahkan ke dalamnya air lagi. Barokah itu akan terus berlanjut.
TABARRUK DENGAN RAMBUT NABI SAW SEPENINGGAL BELIAU
5. Dari ‘Utsman ibnu ‘Abdillah ibnu Mauhib, ia
berkata, “Keluargaku mengutus saya kepada Ummu Salamah dengan membawa gelas
berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak
yang berisi rambut Nabi. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal
maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian.
“Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut
berwarna merah,” kata ‘Utsman. HR. Al Bukhari dalam Kitabul Libaas Baabu Maa
Yudzkaru fi Al Syaibi.
Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
menegaskan, “Waki’ telah menjelaskan hadits di atas dalam karangannya. “Genta
(Jaljal) itu terbuat dari perak yang dibuat untuk menyimpan rambut-rambut Nabi
yang ada pada Ummu Salamah. Jaljal adalah benda mirip lonceng yang terbuat
dari perak, kuningan atau tembaga. Kerikil-kerikil yang bergerak-gerak dalam
jaljal terkadang dibuang lalu apa yang dibutuhkan diletakkan dalam jaljal.
(Fathul Bari vol. I hlm. 353.)
Al Imam Al ‘Aini berkata, “Penjelasan
hadits di atas intisarinya adalah bahwa Ummu Salamah memiliki beberapa helai
rambut Nabi SAW yang disembunyikan dalam sebuah benda mirip genta dan
orang-orang ketika mengalami sakit memohon berkah dari rambut tersebut serta
memohon kesembuhan dari keberkahan rambut itu. Mereka mengambil sebagian
rambut Nabi dan meletakkannya dalam wadah berisi air. Kemudian mereka meminum
air yang ada rambutnya itu hingga mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman itu
mengambil sedikit dari rambut itu dan meletakkannya dalam gelas dari perak.
Mereka lalu minum air yang berada dalam wadah tersebut hingga mereka sembuh.
Selanjutnya mereka mengutus ‘Utsman dengan membawa gelas perak itu
kepada Ummu Salamah. Ummu Salamah pun mengambil gelas itu dan meletakkannya
pada genta. Lalu ‘Utsman mengamati isi genta itu dan ternyata ia melihat
beberapa rambut berwarna merah.
Ucapan ‘Utsman : “Jika seseorang terkena
penyakit ‘ain atau sesuatu hal maka ia datang kepada Ummu Salamah
membawakan bejana untuk mencelup kain dst, adalah ucapan ‘Utsman ibn ‘Abdillah
ibn Mauhib. Maksudnya adalah bahwa keluargaku…. Demikian penafsiran Al
Kirmani.
Sebagian ulama mengatakan, “Maksudnya adalah bahwa orang-orang,
jika salah satu dari mereka. Pendapat Al Kirmani lebih tepat, yang menjelaskan
bahwa seseorang jka ia terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal maka keluarganya
mengirimkan kepada Ummu Salamah sebuah bejana untuk mencuci pakaian yang diisi
dengan air dan sedikit rambut Nabi yang berkah. Orang tersebut kemudian duduk
dalam bejana tersebut hingga ia sembuh kemudian rambut itu dikembalikan lagi
kepada Ummu Salamah. (‘Umdatul Qaari Syarhu Shahihi Al Bukhari vol. 18 hlm.
79).
NABI MEMBAGI RAMBUT BELIAU KEPADA ORANG-ORANG
Muslim meriwayatkan dari
haditsnya Anas bahwa Nabi SAW mendatangi Mina lalu datang ke Jamrah dan
melemparnya. Kemudian mendatangi rumahnya dan menyembelih. Lalu beliau berkata
kepada tukang cukur sambil menunjuk ke arah kanan lalu arah kiri, “ambillah!”
Selanjutnya beliau memberikan rambutnya kepada orang-orang.”
Al Turmudzi
meriwayatkan dari haditsnya Anas juga, ia berkata, “Saat Rasulullah SAW
melihat jamrah beliau menyembelih hewan sembelihan lalu mempersilahkan sisi
kanan kepala kepada tukang cukur,lalu tukang cukur itu mencukur rambutnya.
Kemudian Nabi memberikan rambut kepada Abu Thalhah. Kemudian beliau
mempersilahkan sisi kepala kiri lalu dicukur oleh tukang cukur lalu berkata,
“Bagikanlah rambut ini kepada orang-orang.”
Riwayat Muslim kelihatannya
menunjukkan bahwa rambut yang beliau menyuruh Abu Thalhah untuk membaginya
kepada orang-orang adalah rambut kepala bagian kiri. Demikian riwayat Muslim
dari jalur Ibnu ‘Uyainah. Adapun riwayat Hafsh ibn Ghiyats dan Abdul A’la
adalah : Bahwa sisi kepala yang rambutnya dibagikan kepada orang-orang adalah
sisi kanan. Kedua riwayat ini sama-sama dari Muslim.
PEMBAGIAN RAMBUT NABI SEHELAI-SEHELAI
Dalam riwayat hafsh versi
Muslim hadits di atas menggunakan redaksi : “Lalu Nabi mengawali dengan sisi
kanan kepala kemudian beliau membagi-bagikan rambut sehelai - dua helai kepada
orang-orang. Lalu beliau melakukan hal yang sama untuk sisi kiri rambut.
Dalam
riwayatnya dari Hafsh, Abu Bakar berkata, “Nabi berkata kepada tukang cukur,
“Cukurlah ini !”, sambil menunjuk sisi kanan kepala. Lalu beliau membagikan
rambutnya kepada orang-orang yang ada di sekitar beliau. “Kemudian memberi
syarat kepada tukang cukur untuk mencukur sisi kiri kepala lalu tukang cukur
mencukurnya dan beliau memberikan rambut kepada Ummu Sulaim,” lanjut Abu
Bakar.
ORANG-ORANG BEREBUT MEMUNGUT RAMBUT NABI SAW
Dalam riwayat Ahmad dalam Al
Musnad terdapat keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi SAW menyuruh Anas
mengirimkan rambut kepala bagian kanan kepada ibunya, Ummu Sulaim istri Abu
Thalhah. Karena dalam riwayat tersebut Anas berkata, “Saat Rasulullah SAW
mencukur rambut kepalanya di Mina beliau memegang sisi kanan kepala dengan
tanggannya. Setelah selesai dicukur beliau memberikan rambut kepada saya.
“Wahai Anas,” kata beliau, “Pergilah dengan membawa rambut ini kepada Ummu
Sulaim.” “Ketika orang-orang melihat apa yang diberikan secara khusus kepada
kami maka mereka berebutan memungut rambut sisi kiri kepala. Si A mengambil,
si B juga, dst.
KAJIAN MENDALAM MENYANGKUT TOPIK HADITS TENTANG RAMBUT
Sebagai mana Anda
simak, banyak riwayat berbeda menyangkut topik ini. Sebagian riwayat
menyatakan bahwa yang diberikan Nabi kepada Abu Thalhah adalah rambut sisi
kanan kepala sedang yang beliau bagikan kepada orang-orang adalah rambut sisi
kiri kepala. Sebagian riwayat lagi menjelaskan sebaliknya. Dan ada lagi
riwayat yang menerangkan bahwa beliau memberikan rambut sisi kiri kepala
kepada Ummu Sulaim.
Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan
keterangan yang datang dari penyusun Al Mufhim fi Syarhi Al Muslim, karena ia
mengatakan bahwa ucapan Anas : “Saat Rasulullah mencukur rambut sisi kanan
kepala beliau memberikan rambut kepada Abu Thalhah” bertentangan dengan
kandungan riwayat kedua bahwasanya Nabi SAW membagi rambut sisi kanan kepala
kepada orang-orang dan sisi kiri kepala kepada Ummu Sulaim yang nota bene
istri Abu Thalhah dan ibu Anas. “Dari semua riwayat-riwayat ini dapat
disimpulkan bahwa Nabi SAW ketika mencukur rambut sisi kanan kepala beliau
memberikan rambut kepada Abu Thallah agar dibagikan kepada orang-orang. Lalu
Abu Thalhah melaksanakan perintah beliau. Nabi juga menyerahkan rambut sisi
kiri kepala kepada Abu Thalhah agar disimpan oleh Abu Thalhah sendiri. Dengan
demikian sahlah menisbatkan masing-masing rambut kepada orang yang menerima.
Wallahu A’lam,” jelas penyusun Al Mufhim.
Al Muhib Al Thabari telah
melakukan kompromi pada riwayat-riwayat yang bisa dikompromikan dan menguatkan
salah satu riwayat ketika tidak bisa menerapkan kompromi. Ia berkata, “Yang
sahih bahwa rambut yang Nabi bagikan kepada orang-orang adalah rambut sisi
kanan kepala dan beliau menyerahkan rambut sisi kiri kepala kepada Abu
Thalhah. Tidak ada kontradiksi antara kedua riwayat ini karena Ummu Sulaim itu
istri Abu Thalhah. Maka Nabi memberikan rambut kepada keduanya. Terkadang
pemberian dinisbatkan kepada Abu Thalhah dan terkadang kepada Ummu Sulaim.”
Dalam
hadits di atas sungguh, ia menunjukkan adanya tabarruk dengan rambut Nabi SAW
dan peninggalan-peninggalan beliau yang lain. Ahmad dalam hadits yang sanadnya
sampai kepada Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Ibnu Sirin berkata, “’Ubaidah Al
Salmani menceritakan kepada hadits ini.” “Sungguh memiliki sehelai rambut
beliau itu lebih saya inginkan dari semua perak dan emas yang ada di atas
permukaan dan di dalam perut bumi,” ujar Ibnu Sirin.
Bukan cuma seorang
perawi yang menyebutkan bahwa Khalid ibnu Al Walid menyimpan beberapa helai
rambut Nabi dalam pecinya, yang karenanya ia tidak pernah mengalami kekalahan
ketika berperang di medan pertempuran apa saja. Keterangan ini diperkuat oleh
apa yang disebutkan oleh Al Mala dalam Al Sirah yang menyatakan bahwa Khalid
meminta rambut ubun-ubun Nabi kepada Abu Thalhah ketika membagikannya kepada
para sahabat. Abu Thalhah pun mengabulkan permintaan Khalid. Maka bagian depan
ubun-ubun Nabi itu relevan dengan setiap kemenangan yang diperoleh Khalid
dalam semua pertempuran yang diikuti. ‘Umdatul Qaari Syarhu Al Bukhari vol.
VIII hlm. 230 – 231.
TABARRUK DENGAN KERINGAT NABI SAW
6. Dari ‘Utsman dari
Anas bahwa Ummu Sulaim menggelar alas dari kulit untuk Nabi. Lalu beliau tidur
siang dengan menggunakan alas itu di tempat Ummu Sulaim. “Jika Nabi telah
tertidur,” kata Anas, “maka Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau
lalu dimasukkan dalam botol kemudian dicampurkan ke dalam minyak wangi sukk.”
“Menjelang wafat Anas ibnu Malik berwasiat agar rambut dan keringat Nabi
dimasukkan dalam ramuan obat yang dimasukkan pada kafannya, dari wewangian
sukk.” Kata ‘Utsman, “Rambut dan keringat itu ditaruh di ramuan obatnya yang
dimasukkan pada kafan.” HR. Al Bukhari dalam Kitabul Isti’dzan man Zara
Qauman Faqaala ‘Indahum.
7. Dalam sebuah riwayat
dari Muslim berbunyi : “Nabi masuk menemui kami lalu beliau tidur siang dan
berkeringat. Kemudiaan ibuku datang membawa botol lalu memasukkan keringat
Nabi ke dalamnya. Nabi pun akhirnya terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim
!, apa yang kamu lakukan ?” “Ini adalah keringatmu yang aku campurkan pada
wewangianku. Keringat ini adalah wewangian paling harum,” jawab Ummu
Sulaim.
8. Dalam riwayat Ishaq ibnu Abi Thalhah sbb :
“Nabi berkeringat lalu keringat itu dikumpulkan oleh Ummu Salamah dalam
sepotong kulit kuno lalu diseka dan diperas dimasukkan dalam botol-botol
miliknya hingga akhirnya Nabi terbangun dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan?”
Kami mengharapkan keberkahan keringatmu untuk anak-anak kecil kami,” jawab
Ummu Sulaim. “Kamu benar,” lanjut Nabi.
Dalam riwayat Abu Qilabah sbb :
“Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Nabi dan dimasukkan dalam wewangian dan
botol. “Apa ini ? tanya Nabi. “Keringatmu yang saya campurkan ke dalam
wewangianku,” jawab Ummu Sulaim.
Dari riwayat-riwayat di atas bisa
disimpulkan bahwa Nabi melihat apa yang dilakukan Ummu Sulaim dan membenarkan
tindakannya itu. Tidak ada kontradiksi antara ucapan Ummu Sulaim bahwa ia
mengumpulkan keringat Nabi untuk dicampurkan ke dalam wewangiannya dengan
ucapannya untuk mengharap keberkahan. Justru bisa dipahami bahwa ia
melakukannya untuk dua alasan tersebut. Fathul Baari vol. XI hlm. 2.
TABARRUK DENGAN MENYENTUH KULIT NABI SAW
Dari Abdurrahman ibnu Abi Laila
dari ayahnya, ia berkata, “Usaid ibnu Hudlair adalah seorang lelaki yang
shalih, suka tertawa dan jenaka. Saat ia bersama Rasulullah ia sedang
bercerita di hadapan orang-orang dan membuat mereka tertawa. Rasulullah lalu
memukul pinggangnya. “Engkau telah membuatku merasa sakit,” kata Usaid.
“Silahkan membalas,” jawab Nabi. “Wahai Rasulullah, engkau mengenakan qamis
sedang saya tidak,” ujar Usaid. “Lalu,” kata ayah Abdurrahman, “beliau melepas
qamisnya dan Usaid merangkul beliau dan menciumi pinggang beliau.” “Ayah dan
ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, saya menginginkan ini,” kata Usaid.
Kata Al Hakim, “Hadits ini isnadnya shahih namun Al Bukhari dan
Muslim tidak meriwayatkannya.” Al Dzahabi juga sependapat dengan Al Hakim.
“Hadits ini shahih,” kata Al Dzahabi.
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dari
Abu Laila hadits yang sama dengan hadits ini sebagaimana keterangan yang
terdapat dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 701.
Saya berkata, “Hadits semisal
juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Thabarani dari Abu Laila, sebagaimana
terdapat dalam AL Kanzu vol. IV hlm. 43.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari
Hibban ibnu Wasi’ dari beberapa garu dari kaumnya bahwa Rasulullah meluruskan
barisan para sahabatnya dalam perang Badar. Beliau membawa anak panah di
tangan untuk meluruskan barisan mereka. Lalu lewat Sawad ibnu Ghazyah, sekutu
bani ‘Adi ibnu Al Najjar. Ia keluar dari barisan perang. Beliau kemudian
memukul perutnya dengan anak panah sambil berkata, “Luruslah, wahai
Sawad !” “Wahai Rasulullah !, engkau telah menyakitiku padahal Allah
mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Berilah kesempatan bagi saya
untuk membalasmu dengan setimpal, “ujar Sawad. Rasulullah kemudian menyingkap
badannya. “Silahkan membalas, “perintah Nabi. Tiba-tiba Sawad merangkul dan
mencium perut Nabi. “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini, wahai Sawad,
“tanya Nabi. “Tiba apa yang engkau bisa dilihat. Maka saya ingin akhir waktu
pertemuan denganmu, agar kulitku menyentuh kulitmu, “jawab Sawad. Akhirnya
rasululullah mendoakan Sawad mendapat kebaikan. Demikian dari Al Bidayah wa Al
Nihayah vol VI hlm. 271.
Abdurrazaq meriwayatkan dari Al Hasan bahwa
Nabi SAW bertemu dengan seorang lelaki yang menggunakan semir kuning. Tangan
beliau sendiri memegang pelepah kurma. “Tumbuh tanaman waras,”kata Nabi. Lalu
beliau menusuk perut lelaki tersebut dengan pelepah kurma dan berkata,
“Bukankah saya telah melarangmu melakukan ini (keluar dari barisan) ?” Tusukan
beliau menimbulkan luka berdarah pada perut lelaki itu. “Pembalasan sepadan,
wahai Rasulullah !” ujar sang lelaki. “Apakah kepada Rasulullah kamu berani
meminta pembalasan, “tanya orang-orang. “Tidak ada kulit siapapun yang
memiliki kelebihan atas kulitku,” jawabnya. Lalu Rasulullah menyingkap
perutnya kemudian berkata, “Balaslah dengan sepadan!” “Saya tidak akan
membalas, agar engkau membriku syafaat kelak di hari kiamat,” jawab lelaki
itu. Demikian dikutip dari Al Kanzu vol. XV hlm. 91.
Dalam vol. III hlm
72 Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Al Hasan bahwa Rasulullah SAW melihat Sawad
ibnu ‘Amr berselimut. Demikian dikatakan Ismail. Lalu Nabi bekata, “ Tumbuh
tumbuh, tanaman waras tanaman waras.” Kemudian Nabi menusuk perut Sawad dengan
kayu atau siwak. Perut Sawad pun bergoyang dan ada bekas tusukan. Lalu Ibnu
Sa’ad menuturkan hal yang sama yang diriwayatkan Abdurrozaq.
Abdurrazaq
juga meriwayatkan dari Al Hasan sebagaimana disebutkan dalam Al Kanzu vol. XV
hlm. 19. Al Hasan berkata, “Ada seorang lelaki Anshar yang dipanggil Sawadah
ibnu ‘Amr. Ia memakai wewangian seolah-olah ‘urjun . Jika Nabi melihatnya maka
ia gemetaran. Suatu hari ia datang dengan memakai wewangian. Kemudian Nabi
menusukkan kayu kepadanya yang membuatnya terluka. “Pembalasan setimpal, wahai
Rasulullah !” kata lelaki itu, lalu beliau menyerahkan kayu kepadanya. Nabi
sendiri saat itu memakai dua qamis. Kemudian beliau melepaskan kedua qamisnya.
Orang-orang membentak dan menghalangi Sawadah hingga saat Sawadah sampai di
tempat di mana ia dilukai Nabi ia melempar pedangnya yang tajam dan menciumi
Nabi. “Wahai Nabi Allah, saya tidak akan membalas, agar engkau memberi syafaat
kepadaku di harui kiamat, “kata Sawadah. Al Baghawi meriwayatkan hadits yang
sama sebagaimana tercantum dalam Al Ishabah vol. II hlm. 96.
HADITS TENTANG ZAHIR RA
Rasulullah SAW bersabda, “Zahir orang kampung
kami sedang kami orang kota dia.” Beliau sendiri senang terhadap Zahir. Suatu
hari beliau berjalan masuk pasar dan melihat Zahir sedang berdiri. Lalu beliau
datang dari arah belakang Zahir dan dengan tangannya beliau memeluk Zahir
menempelkan ke dada beliau. Zahir mengerti bahwa yang memeluknya adalah
Rasulullah. “Saya mengusapkan punggungku pada dada beliau berharap keberkahan
beliau,” kata Zahir.
Dalam riwayat Al Turmudzi dalam Al Syamaa’il sbb :
“Lalu Nabi merangkulnya dari belakang dan Zahir tidak melihat beliau.
“Lepaskan, siapakah ini,” kata Zahir. Zahir pun menoleh dan ternyata orang
yang merangkulnya adalah Nabi SAW. Akhirnya ia tetap membiarkan punggungnya
menempel pada dada beliau. Rasulullah pun berkata, “Siapakah yang mau membeli
budak?” “Wahai Rasulullah, jika saya dijual maka saya tidak akan laku,” kata
Zahir. “Di mata Allah hargamu mahal,” balas Nabi.
Dalam riwayat Al
Turmudzi pula : “Di mata Allah engkau laku” atau “Di mata Allah engkau mahal.”
(Al Mawaahib Al Laadunniyyah vol. I hlm. 297).
TABARRUK DENGAN DARAH
NABI SAW
Hadits Abdullah ibnu Zubair RA.
Dari ‘Amir ibnu Abdullah
ibn Zubair bahwa ayahnya menceritakan kepadanya bahwa ia datang kepada Nabi
SAW pada saat beliau sedang melakukan bekam. Setelah Nabi seleai berbekam
beliau berkata, “Wahai Abdullah, pergilah dan tumpahkanlah darah ini di tempat
yang tidak diketahui orang.” Ketika Abdullah keluar meninggalkan Rasulullah ia
mendekati darah tersebut dan meminumnya. Ketika ia kembali, Nabi bertanya,
“Apa yang kamu lakukan terhadap darah?” “Saya letakkan darah tersebut dalam
tempat paling tersembunyi yang saya tahu bahwa tempat itu tersembunyi dari
manusia,” jawab Abdullah ibnu Zubair.
“Paling engkau meminumnya.”
“Benar.”
“Celakalah
manusia karena kamu dan celakalah kamu karena mereka,” kata Nabi.
Berkata Abu Musa : Berkata Abu Qasim : Orang-orang menganggap bahwa
kekuatan yang dimiliki Abdullah ibnu Zubair adalah akibat meminum darah Nabi
SAW. (Al Ishabah vol. II hlm. 310). Al Hakim meriwayatkan pada vol. III
hlm 554 dan Thabarani semisal hadits dari Abdullah ibnu Abbas di atas. Al
Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm. 270 : Hadits di atas diriwayatkan oleh
Al Thabarani dan Al Bazzar dengan singkat. Para perawi Al Bazzar adalah para
perawi yang sesuai dengan keiteria hadits shahih kecuali Hunaid ibnu Al Qasim
yang nota bene tsiqah (kredibel).
Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan semisal
hadits riwayat Ahmad sebagaimana dijelaskan dalam Al Kanzu vol. VII hlm. 57
besertaan dengan menyebut ucapan Abu ‘Ashim. Dalam sebuah riwayat disebutkan :
Berkata Abu Salamah : “Para sahabat menilai bahwa kekuatan yang dimiliki
Abdullah ibnu Al Zubair berasal dari kekuatan darah Rasulullah SAW.
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. I hlm. 33 dari
Kaisan maula Abdullah ibnu Al Zubair RA berkata, “Salman masuk menemui
Rasulullah SAW. Kebetulan ada Abdullah ibnu Al Zubair yang membawa sebuah
baskom dan sedang meminum isinya. Abdullah lalu masuk menemui beliau. “Sudah
selesai?” tanya beliau. “Sudah,” jawab Abdullah. “Apa itu ?, wahai Rasulullah
!” tanya Salman. “Saya berikan kepada Abdullah wadah yang berisi bekas darah
bekamku untuk dibuang isinya, “ jawab Nabi. “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
haq, ia telah meminumnya, “ lanjut Salman. Nabi pun bertanya kepada Abdullah,
“Apa kamu meminumnya ?” “Benar,” jawab Abdullah.
“Mengapa.”
“Saya
ingin darah Rasulullah ada dalam perutku.”
Nabi lalu bangkit berdiri dan
mengusap kepala Abdullah dengan tangan beliau dan berkata, “Celakalah manusia
karena kamu dan celakalah kamu karena mereka. Neraka tidak akan menyentuhmu
kecuali sumpah”
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Salman semisal hadits ini
dengan singkat dan para perawinya adalah para perawi yang kredibel. (tsiqaat).
Demikian dalam Al Kanzu VII hlm. 56. Al Daruquthni dalam Sunannya meriwayatkan
hadit semisal.
Dalam sebuah riwayat : Bahwa Abdullah ibnu Al Zubair
ketika meminum darah Rasulullah ditanya oleh Nabi SAW, “Apa yang mendorongmu
melakukan hal ini ?” “Saya yakin bahwa darahmu tidak akan terkena api neraka
Jahannam maka karena alasan inilah aku meminumnya,” jawab Abdullah. “Celakalah
kamu karena manusia,” ujar Nabi SAW.
Versi Al Thabarani dari haditsnya
Asmaa’ binti Abi Bakr semisal hadits di atas dan di dalamnya berisi sbb : “Api
neraka tidak akan menyentuhmu.” Dalam Kitabu Al Jauhari Al Maknuni fi Dzikri
Al Qabaaili wa Al Buthuni sbb : “Ketika Abdullah minum darah Nabi SAW maka
mulutnya menebarkan bau harum misik dan bau ini tidak pernah hilang dari
mulutnya sampai ia disalib.” (Al Mawaahib karya Al Hafidh Al Qasthalani).
HADITS DARI SAFINAH MAULA NABI SAW
Al Thabarani meriwayatkan dari Safinah
RA, ia berkata, “Nabi SAW melakukan bekam lalu beliau berkata, “Ambillah darah
ini lalu kuburlah agar tidak diminum oleh binatang, burung dan manusia.” Saya
kemudian bersembunyi dan meminum darah itu. Selanjutnya hal ini saya sampaikan
kepada beliau dan beliau tertawa. Kata Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 280 :
“Para perawi hadits riwayat Al Thabarani itu kredibel.”
HADITS MALIK IBNU SINAN RA
Dalam Sunan Sa’id ibnu Manshur dari jalur ‘Amr
ibnu Al Sa’ib bahwasanya sampai kepada ‘Amr bahwa Malik ibnu Sinan ayah dari
Abu Sa’id Al Khudlri ketika Rasulullah terluka pada wajah beliau yang mulia
dalam perang Uhud maka Malik menghisap luka Nabi sampai luka tersebut bersih
dari darah dan tampak daerah yang terluka setelah dihisap berwarna putih.
“Muntahkan darah itu ! perintah Nabi kepadanya. “Saya tidak akan
memuntahkannya selamanya,” jawabnya lalu ia pun menelan darah yang dihisapnya.
“Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni sorga maka lihatlah
kepadanya,” kata Nabi. Akhirnya Malik mati syahid dalam medan perang Uhud.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Al Thabarani yang di dalamnya
tercantum : “Nabi SAW bersabda, “Siapa yang mencapur darahnya dengan darahku,
ia tidak akan terkena api neraka.” Kata Al Haitsami, “Dalam isnad hadits ini
saya tidak melihat perawi yang disepakati dla’if.
Sa’id ibnu Manshur
juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang merasa senang melihat
lelaki yang mencampur darahku dengan darahnya maka handaklah melihat Malik
ibnu Sinan.”
TUKANG BEKAM LAIN YANG MEMINUM DARAH NABI SAW
Dalam Al Dlu’afaa’ Ibnu
Hibban meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Seorang budak
milik sebagian suku Qurays membekam Nabi SAW. Saat usai dari membekam ia
mengambil darah dan pergi membawanya menuju belakang tembok. Ia menoleh ke
kanan dan ke kiri dan ia tidak melihat siapapun. Lalu ia meminum darah Nabi
sampai tuntas lalu datang kepada Nabi. Beliau memandang wajah budak itu dan
bertanya, “Celaka kamu, apa yang kamu lakukan terhadap darah?” “Saya
sembunyikan di belakang tembok,” jawab budak. “Di mana kamu menyembunyikan
darah?” tanya Nabi lagi. “Wahai Rasulullah!, saya tahan darahmu dari saya
tumpahkan ke tanah. Darah itu ada dalam perutku,” jawab sang budak.
“Pergilah!, engkau telah melindungi dirimu dari api neraka,” kata Nabi.
(Disebutkan oleh Al Qasthalani dalam Al Mawaahib Al Laadunniyyah).
HADITS BARAKAH PELAYAN UMMU HABIBAH RA
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
Abdurrazaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Saya dikabari bahwa
Nabi SAW kencing di dalam gelas terbuat dari kayu lalu gelas itu ditaruh di
bawah tempat tidur beliau. Kemudian beliau datang namun ternyata gelas itu
sudah kosong. Nabi pun bertanya kepada seorang perempuan bernama Barakah,
pelayan Ummu Habibah yang datang bersama Ummu Habibah dari Habasyah. “Di
manakah air seni yang ada dalam gelas?” “Saya minum,” jawab Barakah. “Sehat,
wahai Ummu Yusuf,” lanjut Nabi. Ummu Yusuf adalah gelar untuk Barakah. Berkat
minum air seni Nabi, Barakah tidak pernah mengalami sakit sama sekali hingga
sakit yang membuatnya meninggal dunia.” (Al Talkhish Al Khabir fi Takhriji
Ahaditsi Al Rafi’I Al Kabir vol. I hlm. 32).
Kataku : “Hadits di atas
telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Nasa’i secara ringkas. Al Hafidh Al
Suyuthi berkata, “Hadits ini telah disempurnakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr
dalam Al Isti’aab dan di dalamnya terdapat sbb : Sesungguhnya Nabi bertanya
kepada Barakah tentang air seni yang berada dalam gelas. “Saya telah
meminumnya,” jawab Barakah. Ibnu ‘Abdil Barr lalu menyebutkan kelanjutan
hadits. (Syarhu Al Suyuthi ‘ala Sunan Al Nasaa’i vol. I hlm. 32.)
HADITS UMMU AIMAN RA
Al Imam Al Hafidh Al Qasthalani berkata dalam Al
Mawaahib : Al Hasan ibnu Sufyan dalam musnadnya, Al Hakim, Al Daruquthni, Al
Thabarani, dan Abu Nu’aim meriwayatkan dari haditsnya Abu Malik Al Nakha’i
dari Al Aswad ibnu Al Qais dari Nabih Al ‘Anazi dari Ummu Aiman, ia berkata,
““Suatu malam Nabi bangkit berdiri menuju kendi yang ada di samping rumah lalu
beliau kencing pada tempat itu. Kemudian pada malam itu saya bangun dan merasa
haus. Lalu saya minum dari isi kendi tersebut tanpa menyadari isinya adalah
air kencing. Saat pagi tiba beliau berkata, “Wahai Ummu Aiman!, bangunlah dan
tumpahkan apa yang ada dalam kendi itu.” Demi Allah saya telah meminum
isinya,” jawab Ummu Aiman. “Rasulullah pun tertawa hingga terlihat gigi
gerahamnya lalu berkata, “Sesungguhnya setelah hari ini perut kamu tidak akan
merasakan sakit selamanya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al
Talkhish, “Ibnu Dihyah menilai shahih bahwa kedua hadits di atas terjadi dalam
dua persoalan berbeda untuk dua perempuan yang berbeda pula. Hal ini jelas
dilihat dari perbedaan rangkain kalimat dan juga jelas bahwa Barakah Ummu
Yusuf bukanlah Barakah Ummu Aiman, mantan budak Rasulullah SAW.
(FAIDAH)
Dalam riwayat Salma, istri Abu Rafi’ terdapat keterangan bahwa ia minum
sebagian air yang digunakan mandi oleh Rasulullah SAW lalu beliau berkata
kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.” HR Al Turmudzi
dalam Al Awsaath dari haditsnya Salmaa. Ada kelemahan dalam sanad hadits ini.
Demikian dalam Al Talkhish vol. I hlm. 32.
Al Qasthalani berkata,
“Terdapatnya kelemahan pada sanad adalah pandangan yang dikemukakan Syaikhul
Islam Al Bulqini. Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa air seni dan
darah Nabi SAW itu suci.
HADITS SARAH PELAYAN UMMU SALAMAH RA
Al Thabarani meriwayatkan dari
Hukaimah binti Umaimah dari ibunya, ia berkata, “Nabi Saw memiliki gelas kayu
yang digunakan untuk menampung air seni beliau dan ditaruh di bawah tempat
tidur. Saat beliau bangun beliau mencarinya tapi tidak menemukan gelas itu.
Lalu beliau bertanya, “Di manakah gelas?” Para sahabat menjawab,”Isi gelas
diminum oleh Sarrah pelayan Ummu Salamah yang datang bersama Ummu Salamah dari
Habasyah.” “Ia telah memagari dirinya dari api neraka dengan pagar yang kuat,”
jawab Nabi selanjutnya.
Al Haitsami dalam vol. VIII hlm. 271 berkata,
“Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih kecuali
Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hanbal dan Hukaimah. Keduanya adalah perawi yang
kredibel (tsiqah).
PANDANGAN ULAMA MENYANGKUT TOPIK TABARRUK DENGAN DARAH DAN AIR SENI NABI
SAW
Dalam syarh Al Muhadzdzab Al Imam Muhyiddin Al Nawawi mengatakan,
“Ulama yang menilai kesucian air seni dan darah Nabi Saw menggunakan dua
hadits yang telah dikenal sebagai dalil. Yaitu hadits : Sesungguhnya Abu
Thaibah seorang tukang bekam membekam Nabi Saw dan meminum darahnya sedang
beliau tidak mengingkari tindakan Abu Thaibah ini dan hadits : Sesungguhnya
seorang perempuan meminum air seni beliau dan beliau tidak mengingkarinya.
Status hadits Abu Thaibah itu lemah sedang hadits perempuan yang meminum air
seni beliau itu shahih yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni. Al Daruquthni
berkata, “Hadits tentang perempuan yang minum air seni Nabi ini statusnya
hasan shahih. Dan hal ini cukup dijadikan sebagai argumen akan kesucian segala
sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi lewat jalur analogi. Selanjutnya Al
Nawawi menyatakan, “Bahwa Al Qadli Husain berkata, “Yang paling shahih (Al
Ashahh) memastikan kesucian segala sesuatu yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi.”
Dalam mengomentari pertanyaan mengapa beliau membersihkan hal-hal yang
dikeluarkan oleh tubuh beliau, Al Nawawi menjawab bahwa tindakan Nabi hanyalah
sebuah kesunnahan.” Syarh Al Muhadzdzab vol. I hlm. 233.
Al Imam Al
‘Allamah Badruddin Al ‘Aini pensyarah Shahih Al Bukhari dalam kitabnya
‘Umdatul Qaari vol II hlm. 35 menyatakan, “Adapun rambut Nabi Saw itu
dimuliakan, diagungkan serta dikeluarkan dari hukum najis. Saya katakan,
“Ucapan Al Mawardi : “Adapun rambut Nabi maka pendapat madzhab yang shahih itu
memastikan kesuciannya”, mengindikasikan bahwa mereka (Wahhabi) memiliki
pendapat yang berbeda dengan madzhab shahih. Na’udzubillah dari pendapat ini.
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i telah melanggar ijma’ dan hampir keluar dari
lingkaran agama Islam di mana mereka mengatakan bahwa dalam rambut Nabi ada
dua pandangan. Mustahil status rambut Nabi diperselisihkan. Mengapa mereka
sampai berpandangan demikian? Padahal telah disebutkan tentang kesucian
hal-hal yang dikeluarkan oleh tubuh Nabi, lebih-lebih rambut beliau yang
mulia. Selanjutnya Al ‘Aini berkata, “Terdapat banyak hadits yang menerangkan
mereka yang telah meminum darah Nabi. Di antaranya Abu Thaibah Al Hajjam
(tukang bekam), seorang budak Qurays yang membekam beliau. Abdullah ibnu Al
Zubair sendiri pernah meminum darah Nabi seperti diriwayatkan Al Bazzar, Al
Thabarani, Al Hakim, Al Baihaqi, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’.
Diriwayatkan dari Ali bahwa ia pernah meminum darah Nabi. Diriwayatkan pula
bahwa Ummu Sulaim pernah meminum air kencing Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh
Al Hakim, Al Daruquthni, Al Thabarani dan Abu Nu’aim. Dalam Al Awsath pada
riwayat Salmaa, istri Abu Rafi’, Al Thabarani meriwayatkan bahwa Salmaa
meminum sebagian dari air yang digunakan untuk mandi oleh Nabi Saw lalu beliau
berkata kepadanya, “Allah telah mengharamkan badanmu masuk neraka.”
Al
Hafidh Al Qasthalani dalam Al Mawahib mengomentari pendapat Al Nawawi dari Al
Qadli Husain, “Pendapat yang ashahh (paling shahih) adalah memastikan kesucian
hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi (Al Fadlalat).” Abu Hanifah juga
berpendapat seperti ini sebagaimana dituturkan oleh Al ‘Aini. Syaikhul Islam
Ibnu Hajar menyatakan, “Sungguh banyak dalil-dali yang menunjukkan kesucian
hal-hal yang dikeluarkan oleh badan Nabi Saw (Al Fadlalat).” Para Aimmah
menilai kesucian ini termasuk keistimewaan beliau Saw.
TABARRUK DENGAN LOKASI YANG DIJADIKAN TEMPAT SHOLAT NABI
Dari Nafi’
bahwa ‘Abdullah ibnu ‘Umar bercerita kepadanya bahwa Nabi Saw melaksanakan
sholat di masjid kecil yang terletak di bawah masjid yang ada di bukit
Rauhaa’. Abddullah sendiri mengetahui lokasi di mana beliau melaksanakan
sholat. Ia berkata, “Di sana dari arah kananmu ketika kemu berdiri untuk
sholat. Masjid tersebut berada di tepi jalan sebelah kanan ketika Anda pergi
ke Makkah. Jarak antara masjid itu dan masjid besar itu sejauh lemparan batu
atau semisal itu.” HR Al Bukhari.
TABARRUK DENGAN TEMPAT YANG DISENTUH MULUT NABI SAW
Imam Ahmad dan
perawi lain meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw masuk menemui Ummu Sulaim
dan di rumah terdapat kantong air dari kulit yang tergantung. Lalu beliau
minum air dari mulut kantong air tersebut dalam keadaan tidur. Ummu Sulaim
kemudian memotong mulut kantong kulit itu yang kini berada di tangan saya.
Maksud dari hadits ini adalah bahwa Ummu Sulaim memotong mulut kantong
kulit yang nota bene tempat beliau menelan air minum dan mulut kantong itu ia
rawat di rumahnya dengan alasan memohon keberkahan dari peninggalan beliau.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan di dalam sanadnya ada Al
Bara’ ibnu Zaid yang hanya disebutkan oleh Abdul Karim Al Jazari. Ahmad tidak
menilai Al Bara’ sebagai perawi lemah. Adapun perawi lain sesuai dengan
kriteria perawi hadits shahih.
TABARRUK DENGAN MENCIUM TANGAN ORANG YANG MENYENTUH RASULULLAH SAW
Dari
Yahya ibnu Al Harits Al Dzimari, ia berkata, “Saya bertemu dengan Watsilah
ibnu Al Asqa’ RA. “Apakah engkau telah membai’at Rasulullah dengan tanganmu
ini?” tanyaku. “Benar,” jawab Yahya. “Julurkan tanganmu, aku akan menciumnya
!” aku memohon. Ia kemudian menjulurkan tangannya dan aku mencium tangan
tersebut. Al Haitsami berkata dalam vol. VIII hlm 42 : Di dalam hadits ini ada
Abdul Malik Al Qari yang tidak saya kenal sedang perawi-perawi lainnya adalah
tsiqat.
Dalam versi Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ vol. IX hlm 306
dari Yunus ibnu Maisarah ia berkata, “Kami berkunjung kepada Yazid ibnu Al
Aswad. Lalu datang Watsilah ibnu Al Asqa’. Waktu Yazid melihat Watsilah, ia
menjulurkan tangannya memegang tangan Watsilah kemudian mengusapkan tangan
tersebut ke wajahnya. Hal ini dilakukan karena Watsilah membai’at Rasulullah.
“Wahai Yazid !, apa anggapanmu kepada Tuhanmu?” tanya Watsilah. “Baik,” jawab
Yazid. “Berbahagialah, karena saya mendengar Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT berfirman : “Aku tergantung anggapan hamba-Ku
terhadap-Ku. Jika ia beranggapan baik maka Aku pun bersikap baik. Jika buruk
maka Aku-pun bersikap buruk.”
Dalam Al Adab Al Mufrad hlm. 144 Al Bukhari
meriwayatkan dari Abdurrahman ibnu Razin, ia berkata, “Aku berjalan melewati
Ribdzah lalu dikatakan kepadaku, “Di sini terdapat Salamah ibnu Al Akwa’ RA.
Kemudian aku mendatangi dan memberi salam kepadanya. Lalu Salamah menjulurkan
kedua tangannya dan berkata, “Saya telah membai’at Nabi Saw dengan kedua
tanganku ini.” Salamah mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti
telapak kaki unta. Kemudian kami berdiri dan menciumi tangannya.
Ibnu
Sa’ad vol. IV hlm 39 meriwayatkan hadits yang sama dari Abdurrahman ibnu
Zaid.
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm 144 dari
Ibnu Jad’an, ia berkata, “Tsabit bertanya kepada Anas RA, “Apakah engkau
menyentuh Nabi dengan tanganmu?”. “Betul,” jawab Anas. Lalu Tsabit mencium
tangan Anas.
Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad hlm
144 dari Shuhaib, ia berkata, “Saya melihat Ali ra mencium tangan dan kedua
kaki Abbas ra.”
Dari Tsabit, ia berkata, “Jika aku datang kepada Anas
maka ia diberi tahu posisiku. Lalu aku masuk menemuinya dan memegang kedua
tangannya untuk aku ciumi. “Kedua tanganmu ini telah menyentuh Rasulullah,”
kataku. Dan saya juga mencium kedua matanya lalu berkata,”Kedua mata ini telah
melihat Rasulullah.”
Hadits di atas ini disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu
Hajar dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah vol. II hlm. 111. Al Haitsami berkata,
“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya sesuai dengan
kriteria perawi hadits shahih kecuali Abdullah ibnu Abi Bakar Al Maqdimi yang
statusnya tsiqat dan tidak dikomentari oleh Al Bushairi. Demikian dalam Majma’
Al Zawaaid vol. IX hlm. 325.
TABARRUK DENGAN JUBAH NABI SAW
Dari Asma’ binti Abi Bakar bahwa
sesungguhnya ia mengeluarkan jubah hijau Persia yang bertambalkan sutera yang
kedua celahnya dijahit dengan sutera juga. “Ini adalah jubah Rasulullah, “
kata Asma’,”ia disimpan oleh ‘Aisyah. Saat ia wafat jubah ini aku ambil. Nabi
pernah mengenakan jubah ini dan saya membasuhnya untuk orang-orang sakit dalam
rangka memohon kesembuhan dengannya.” (Kitabullibas wazzinah vol. III hlm.
140).
TABARRUK DENGAN APA YANG DISENTUH TANGAN NABI SAW
Dari Shofiyah
binti Mujza’ah bahwa Abu Mahdzurah memiliki jambul di bagian depan kepalanya.
Jika duduk ia membiarkan jambul itu tergerai sampai menyentuh tanah.
Orang-orang berkata kepadanya, “Kenapa tidak engkau potong saja?”
“Sesungguhnya Rasulullah Saw telah menyentuh jambulku ini dengan tangannya
maka saya tidak akan memotongnya sampai mati,” jawabnya.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Thabarani dan di dalam sanadnya ada Ayyub ibnu Tsabit Al
Makki. Kata Abu Hatim, “LAYUHMALU HADITSUHU.” Demikaian dala, Majma’ Al
Zawaaid vol V hlm. 165.
Dari Muhammad ibnu Abdil Malik ibnu Abu Mahdzurah
dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Aku berkata, ”Wahai Rasulullah !,
ajarilah aku cara adzan.” Lalu beliau mengusap bagian depan kepalaku dan
mengatakan, “Katakan : “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar dengan
mengeraskan suaramu dst….”
Dalam sebuah riwayat : “Abu Mahdzurah tidak
memotong dan memisah-misahkan rambut depannya karena Nabi pernah mengusapnya.”
HR Al Baihaqi, Al Daruquthni, Ahmad, serta Ibnu Hibban, dan Al Nasai
meriwayatkannya senada dengan hadits ini.
TABARRUK DENGAN GELAS NABI DAN MASJID YANG NABI SHOLAT DI DALAMNYA
Dari
Abu Burdah, ia berkata, “Saya tiba di Madinah dan disambut oleh Abdullah ibnu
Salam. “Mari pergi ke rumah, engkau akan kuberi minum dalam gelas yang pernah
digunakan minum Rasulullah dan engkau sholat di masjid yang beliau sholat di
dalamnya,” ajak Abdullah ibnu Salam. Akhirnya saya pergi bersama Abdullah dan
ia memberi saya minum, memberi makan kurma dan sholat di masjid Nabi. HR Al
Bukhari dalam Kitabu Al I’tisham bi Al Kitab wa Al Sunnah.
TABARRUK DENGAN TEMPAT TELAPAK KAKI NABI SAW
Dalam hadits Abu
Mijlaz terdapat keterangan bahwa Abu Musa berada antara Makkah dan Madinah
lalu ia sholat ‘Isya’ dua rakaat kemudian berdiri melaksanakan satu rakaat
sholat witir dengan membaca 100 ayat dari surat Al Nisaa’. “Saya tidak
menyia-nyiakan kesempatan dengan menaruh kedua telapak kakiku pada tempat di
mana Rasulullah dulu meletakkan kedua telapak kakinya dan saya membaca apa
yang dulu dibaca beliau Saw.” HR Al Nasa’i vol. III hlm. 246.
TABARRUK DENGAN RUMAH YANG PENUH BERKAH
Dari Muhammad ibnu Sauqah
dari ayahnya, ia berkata, “Saat ‘Amr ibnu Harits membangun rumahnya saya
datang kepadanya untuk menyewa sebagian rumah tersebut. “Apa yang akan kamu
lakukan,” tanya ‘Amr. “Saya ingin duduk di rumah itu dan melakukan jual beli,”
kataku. ‘Amr berkata, “Saya katakan : Sungguh saya akan menyampaikan kepadamu
mengenai rumah ini, sebuah hadits bahwa rumah ini adalah rumah yang memberi
keberkahan kepada orang yang tinggal di dalamnya, dan orang yang melakukan
jual beli di tempat itu. Demikian itu karena saya datang kepada Nabi dan di
dekat beliau diletakkan uang. Lalu beliau mengambil beberapa dirham dengan
telapak tangannya dan menyerahkannya kepadaku. “Wahai ‘Amr, ambillah beberapa
dirham ini sampai kamu berfikir di manakah kamu akan meletakkannya.”
Dirham-dirham itu adalah pemberian Rasulullah untukku. Lalu aku pun mengambil
dirah-dirham tersebut kemudian saya tingga beberapa lama hingga saya tiba di
Kufah dan ingin membeli sebuah rumah. “Wahai anakku !, jika engkau ingin
membeli rumah dan dan sudah menyiapkan uangnya, beritahulah aku,” kata ibuku.
Saya pun melaksanakan perintah ibu. Kemudian saya datang kepada ibu lalu
memangginya. Lalu ibu datang dan uang sudah diletakkan. Ibu mengeluarkan
sesuatu beserta dirham-dirham tersebut lalu dengan tangan mencampurkannya
dengan dirham. “Bu,” kataku, “apa sih ini.” “Anakku !, ini adalah
dirham-dirham yang kamu datang membawanya dan kamu mengira Rasulullah telah
memberikannya dengan tangan beliau. Saya tahu bahwa rumah ini memberikan
keberkahan bagi orang yang duduk di dalamnya dan bagi yang melakukan jual beli
di tempat itu.” HR Al Thabarani dalam Al Kabir dan Abu Ya’la vol. IV hlm 111
Majma’ al Zawaid.
TABARRUK DENGAN MIMBAR NABI SAW
Al Qadli ‘Iyadl berkata, “Ibnu
‘Umar pernah diketahui meletakkan tangannya di atas bagian mimbar yang
diduduki Nabi lalu mengusapkan tangannya pada wajah.
Dari Abu Qusai dan
Al ‘Utba : Jika masjid sepi, para sahabat Nabi meraba-raba dengan tangan kanan
mereka pusat mimbar yang berdekatan dengan kuburan kemudian mereka menghadap
kiblat untuk berdoa. Dari Al Syifaa’ karya Al Qadli ‘Iyadl.
Al Mala Al
Qari pensyarah kitab Al Syifaa’ menyatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’ad dari Abdurrahman ibnu Abdul Qari vol. III hlm. 518.
Hal di
atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Taimiyyah dari Al Imam Ahmad bahwasanya Imam
Ahmad memberi dispensasi dalam emngusap mimbar dan pusat mimbar Nabi Saw.
Disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar, Sa’id ibnu Al Musayyib, Yahya ibnu Sa’id dari
kalangan pakar fiqh Madinah melakukan hal ini. (Iqtidlaai Al Shirath Al
Mustaqim hlm. 367).
TABARRUK DENGAN KUBURAN BELIAU YANG MULIA
Saat ajalnya menjelang
tiba, Amirul Mu’minin ‘Umar ibnu Al Khaththabmenyuruh anaknya, Abdullah,
“Pergilah kepada Ummul Mu’minin ‘Aisyah Ra dan katakan “ ‘Umar menyampaikan
salam untukmu. Janganlah kamu mengatakan : amirul mu’minin karena sekarang
saya bukan amirul mu’minin. Katakan ‘Umar ibnu Al Khaththab meminta izin untuk
dikubur bersama kedua sahabatnya. di samping makam beliau SAW. Kebetulan
‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi
kuburanku, dan saya akan memprioritaskan Umar untuk menempatinya,” kata
‘Aisyah. Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada
ayahnya. “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal
itu,” ucap Umar. Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih Al Bukhari.
Lalu apa arti keinginan besar dari ‘Umar dan ‘Aisyah?. Perawi berkata, “Lalu
Abdullah meminta izin dan memberi salam. Kemudian ia masuk menemui ‘Aisyah
yang sedang menangis. “Umar menyampaikan salam untukmu dan meminta izin untuk
dikubur bersama kedua sahabatnya,” kata Abdullah. “Dulu saya ingin tempat itu
menjadi kuburanku, dan saya akan mengalah dengan memprioritaskan Umar
untuk menempatinya,” kata ‘Aisyah. Ketika tiba, ada yang mengatakan :
“Abdullah ibnu ‘Umar telah tiba. “Angkatlah saya,’ kata ‘Umar. Seorang lelaki
lalu memberikan sandaran kepada ‘Umar. “Apa hasilnya,” tanya ‘Umar . “Tercapai
apa yang engkau harapkan, wahai Amirul Mu’minin,” jawab Abdullah. Abdullah pun
pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah,
tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap Umar. Jika saya
telah meninggal, pikullah saya lalu berikan salam dan katakan : “Umar meminta
izin. Jika ‘Aisyah memberi izin, masukkan saya. Jika ia menolak, kembalikan
saya ke pemakaman kaum muslimin,” lanjut ‘Umar.
Hadits ini secara
panjang lebar disebutkan Al Bukhari dalam Kitabul Janaa’iz Babu Ma Jaa’a fi
Qabrinnabi dan dalam Kitabu Fadlailu Al Shahabat Babu Qishshatul Bai’ah.
TABARRUK DENGAN KUBURAN NABI DALAM MADZHAB HAFIDHUL ISLAM DAN IMAMU
AIMMATIL MUSLIMIN AL DZAHABI.
Al Imam Syamsuddin Muhammad ibnu Ahmad Al
Dzahabi : Bercerita kepadaku Ahmad ibnu ‘Abdil Mun’im tidak hanya sekali,
bercerita kepadaku Abu Ja’far Al Shaidalani – secara tertulis – bercerita
kepadaku Abu ‘Ali Al Haddad – dengan kehadirannya – bercerita kepadaku Abu
Nu’aim Al Hafidh, bercerita kepadaku Abdullah ibnu Ja’far, bercerita kepadaku
Muhammad ibnu ‘Ashim, bercerita kepadaku Abu Usamah dari ‘Ubaidillah dari
Nafi’ dari Ibnu ‘Umar : Sesungguhnya Ibnu ‘Umar tidak suka menyentuh keburan
Nabi Saw. Menurut saya : “Ia tidak suka hal ini karena memandang sebagai
perbuatan kurang sopan.” Ahmad ibnu Hanbal ditanya mengenai menyentuh dan
mencium kuburan Nabi, ia menjawab tidak apa-apa. Diriwayatkan dari Ahmad ibnu
Hanbal oleh putranya sendiri, Abdullah ibnu Ahmad.
Apabila ditanyakan,
“Apakah ada sahabat yang melakukan itu (menyentuh dan mencium kuburan Nabi) ?”
Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa karena mereka telah melihat dengan mata
kepala sendiri waktu beliau masih hidup, bergembira bersama beliau dalam waktu
lama, mencium tangan beliau, nyaris berkelahi berebut sisa wudlu beliau, dan
meminta bagian rambut suci beliau pada hari haji akbar serta jika beliau
mengeluarkan dahak maka dahak itu hampir tidak jatuh kecuali di tangan salah
seorang sahabat kemudian ia mengusapkan ke wajahnya dahak itu. Sedang kita,
karena tidak mungkin melakukan perbuatan sangat indah semisal ini maka kita
melampiaskannya di atas kuburan beliau yang mulia dengan memelihara,
memuliakan, mengusap dan mencium kuburan beliau. Lihatlah apa yang dilakukan
Tsabit Al Bunani !. Ia mencium tangan Anas ibnu Malik dan menempelkan tangan
itu ke wajahnya sambil berkata, “Tangan (milik Anas) yang telah menyentuh
tangan Rasulullah.” Tindakan-tindakan di atas yang dilakukan seorang muslim
semata-mata digerakkan oleh rasa cinta yang mendalam kepada Nabi. Karena ia
diperintah untuk mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi cintanya kepada
dirinya, anak dan semua manusia dan juga melebihi harta bendanya, sorga dan
bidadari yang ada di dalamnya. Malah banyak juga orang mu’min yang mencintai
Abu Bakar dan ‘Umar melebihi cinta mereka kepada diri sendiri.
Diceritakan kepada kami bahwa Jundar sedang berada di gunung Al Biqa’
lalu ia mendengar seorang lelaki mengumpat Abu Bakar. Jundar lalu menghunus
pedangnya dan memenggal kepala orang yang mengumpat tersebut. Seandainya
Jundar mendengar lelaki itu mengumpat dirinya atau orang tuanya niscaya ia
tidak akan menghalalkan darah si pengumpat. Lihatlah betapa dalamnya rasa
cinta sahabat kepada Nabi Saw. Mereka berkata,” Tidakkah kami bersujud
kepadamu?” “Tidak boleh, ‘ jawab beliau. Seandainya Nabi mengizinkan
mereka sujud, niscaya mereka akan melakukannya dalam bentuk sujud penghormatan
bukan sujud ibadah sebagaimana sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf.
Demikian pula sujud seorang muslim pada kuburan Nabi dalam bentuk sujud
penghormatan sama sekali ia tidak dianggap kafir, hanya masuk kategori
melakukan tindakan maksit. Ia harus diberitahu bahwa tindakan ini dilarang.
Begitu pula sholat menghadap kuburan beliau. (Mu’jamu Al Syuyukh karya Al
Dzahabi vol. I hlm. 73 – 74)
TABARRUK DENGAN PENINGGALAN-PENINGGALAN ORANG-ORANG SHALIH DAN PARA NABI
DAHULU
Dari Nafi’ bahwa Abdullah ibnu ‘Umar menceritakan kepadaku bahwa
para sahabat bersama Rasulullah singgah di Al Hijr, tanah kaum Tsamud. Mereka
mengambil air dari sumur-sumur kaum Tsamud dan membuat adonan roti dengan air
tersebut. Kemudian Rasulullah menyuruh mereka untuk menumpahkan air yang
mereka ambil dan memberikan adonan roti kepada unta serta menyuruh mereka
mengambil air dari sumur yang didatangi unta Nabi Shalih. HR Muslim dalam
Kitabuzzuhdi bab Al Nahyi ‘an Al Dukhul ‘ala Ahli Al Hijr.
Al Imam Al
Nawawi berkata, “Hadits ini mengandung banyak faidah di antaranya tabarruk
dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih.
TABARRUK DENGAN TABUT (PETI)
Dalam Al Qur’an Allah menyebutkan
keutamaan tabut :
وقال لهم نبيهم إن آية ملكه أن يأتيكم التابوت فيه سكينة من ربكم وبقية مما ترك
آل موسى وآل هارون تحمله الملائكة .
Ringkasan cerita : Tabut asalnya berada di tangan bani Israil. Mereka memohon
kemenangan dengan perantaraan tabut dan bertawassul kepada Allah dengan isinya
yaitu peninggalan-peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun. Hal ini adalah yang
saya maksudkan dengan tabarruk dalam arti sesungguhnya. Allah SWT telah
menjelaskan isi tabut :
وبقية مما ترك آل موسى وآل هارون
Peninggalan-peninggalan ini adalah peninggalan Nabi Musa dan Harun. Yaitu tongkat Musa, sedikit pakain Nabi Musa dan Nabi Harun, sandal keduanya, papan-papan Taurat dan baskom sebagaimana disebutkan para mufassir dan pakar sejarah seperti Ibnu Katsir, Al Qurthubi, Al Suyuthi, dan Al Thabari. Silahkan lihat buku-buku mereka. Ayat di atas menunjukkan banyak kesimpulan. Di antaranya tawassul dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih, merawat peninggalan-peninggalan tersebut dan memohon keberkahan dengannya.
TABARRUK DENGAN MASJID ‘ASYSYAR
Dari Shalih ibnu Dirham, ia
berkata, “Kami pergi melaksanakan haji. Kebetulan kami bertemu seorang lelaki
yang berkata kepadaku, “Di dekat kalian ada desa yang disebut Ubullah.”
“Betul,” jawab kami. “Siapakah di antara kalian yang bisa memberi jaminan
kepadaku agar aku bisa disholatkan di masjid ‘Asysyar dua atau empat roka’at
,” lanjutnya. Shalih ibnu Dirham berkata : “Ini untuk Abu Hurairah : Saya
mendengar orang yang saya cintai, Abu Al Qasim Saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT membangkitkan dari masjid ‘Asysyar pada hari kiamat
para syuhada’ yang tidak berdiri bersama para syuhada’ Badar kecuali mereka,”
HR Abu Dawud.
Menurut Al Qari masjid ini berdiri di dekat sungai Furat.
(Misykatul Mashabih vol. III hlm. 1496).
Dalam kitabnya Badzlul Majhud
syarh Sunan Abi Dawud, Al ‘Allamah Al Kabir Al Syaikh Khalil Ahmad Al
Saharnapuri mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa ketaatan-ketaatan
fisik pahalanya bisa disampaikan kepada orang lain dan bahwa
peninggalan-peninggalan para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah
dapat diziarahi dan dimohon keberkahannya.” (Badzlul Majhud vol. XVII hlm.
225).
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Syaikh Abu Al Thayyib penyusun ‘Aunul
Ma’bud mengatakan bahwa masjid ‘Asysyar adalah masjid terkenal yang dimintakan
berkah dengan sholat di dalamnya. (‘Aunul Ma’bud vol. XI hlm. 422).
KAMI DALAM KEBERKAHAN RASULULLAH SAW
Kami sering mendengar
orang-orang berkata bahwa kami berada dalam keberkahan Rasulullah atau
keberkahan Rasulullah Saw bersama kita. Saat ditanya tentang ungkapan ini,
Ibnu Taimiyyah menjawab bahwa ucapan seseorang bahwa ia berada dalam
keberkahan fulan atau sejak keberadaannya bersama kami keberkahan muncul
adalah ungkapan yang memiliki dua dimensi, bisa salah dan bisa benar dilihat
dari sudut masing-masing.
Ungkapan ini dianggap benar jika yang dimaksud
adalah bahwa fulan membimbing kami, mengajar kami, menyuruh kami berbuat
kebajikan dan melarang kami mengerjakan kemungkaran. Maka sebab keberkahan
mengikuti dan menaati fulan kita dapat meraih kebaikan. Ungkapan ini berarti
ucapan yang benar sebagaimana penduduk Madinah waktu Nabi Saw datang kepada
mereka berada dalam keberkahan beliau karena mereka beriman dan taat kepada
beliau. Akibat keberkahan ini mereka meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tapi bukan cuma mereka saja yang mendapat keberkahan, malah semua orang mu’min
yang beriman dan taat kepada Rasulullah, sebab keberkahan beliau karena
beriman dan taat kepada beliau, akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat
yang hanya Allah yang mengetahui.
Lagi pula jika yang dimaksud dengan
ungkapan itu adalah bahwa dengan keberkahan do’a fulan dan kesalihannya Allah
menolak keburukan dan kita memperoleh rizki serta pertolongan, maka ungkapan
ini adalah ungkapan yang benar sebagaimana sabda Nabi Saw : “Bukankah kalian
tidak diberi pertolongan dan rizki kecuali karena orang-orang lemah kalian;
dengan do’a, sholat serta keikhlasan mereka.”
Terkadang adzab tidak
menerjang orang-orang kafir dan jahat agar ia tidak menimpa orang-orang mu’min
yang tidak berhak mendapat adzab, yang tinggal bersama mereka. Salah satu
firman Allah yang menjelaskan hal ini adalah :
لولا رجال مؤمنون ونساء مؤمنات
Jika saja tidak ada orang-orang mu’min yang lemah yang tinggal di Makkah
bersama-sama orang-orang kafir niscaya Allah menimpakan adzab kepada
orang-orang kafir ini.
Demikian pula Nabi bersabda : “Jika tidak ada
para wanita dan anak-anak di dalam rumah-rumah niscaya saya akan menyuruh
mendirikan sholat lalu sholat itu dikerjakan kemudian saya pergi bersama
beberapa lelaki yang membawa beberapa ikat kayu bakar menuju mereka yang tidak
melakukan shalat berjamaah bersama kami lalu saya bakar rumah-rumah
mereka.”
Nabi juga menunda merajam perempuan hamil hingga ia melahirkan
bayinya. Al Masih AS mengatakan :
وجعلني مباركا أينما كنت
Keberkahan para auliyaillah yang shalih dari aspek manfaat yang diberikan
mereka dengan ajakan mereka untuk taat kepada Allah, mendoakan makhluk dan
diturunkannnya rahmat oleh Allah serta ditolaknya adzab berkat eksistensi
mereka adalah fakta konkrit. Barangsiapa yang menghendaki keberkahan dalam
konteks demikian dan ia jujur maka ucapannya benar.
Adapun pengertian
yang salah itu semisal jika yang mengungkapkannya bermaksud menyekutukan Allah
dengan makhluk seperti ada seorang lelaki yang dikubur di sebuah tempat lalu
ada anggapan bahwa Allah menyayangi masyarakat sekitarnya gara-gara lelaki
yang dikubur tersebut meskipun masyarakat itu tidak mematuhi ajaran Allah dan
Rasulnya. Pemahaman semacam ini adalah sebuah kebodohan. Karena Rasulullah
sendiri yang nota bene junjungan anak cucu Adam dikebumikan di Madinah pada
‘Aamal Harrah dan penduduk Madinah dihantui tindakan pembunuhan, perampokan
dan rasa takut yang hanya Allah yang mengetahui keadaaanya. Situasi ini
terjadi karena sepeninggal al khulafaa al rasyidin melakukan hal-hal yang
mengakibatkan situasi demikian. Sedang pada era al khulafaa al rasyidin Allah
melindungi mereka dari situasi chaos di atas berkat keimanan dan ketakwaan
mereka. Karena al khulafaa al rasyidin mendorong mereka untuk bersikap
demikian. Jadi karena barokah ketaatan mereka kepada al khulafaa al rasyidin
dan juga keberkahan amal perbuatan al khulafaa al rasyidin bersama
mereka Allah memberikan pertolongan kepada mereka. Demikian pula Nabi Ibrahim
AS dikebumikan di Syam namun kaum Nashrani pernah menguasai negara itu selama
sekitar 100 tahun dan penduduk Syam dalam kondisi buruk. Barangsiapa
beranggapan bahwa orang mati bisa menolak adzab yang akan menimpa sebuah
daerah padahal penduduk daerah itu pelaku maksiat maka ia jelas salah.
Demikian pula keliru jika ada orang beranggapan bahwa keberkahan
seseorang dapat dirasakan oleh orang yang menyekutukan Allah dan melanggar
ketentuan Allah dan rasul-Nya seperti mengira keberkahan sujud untuk kepada
orang lain, mencium tanah yang ada di dekatnya dan lain sebagainya bisa
membuatnya mendapat keberkahan meskipun ia tidak taat kepada Allah dan
rasul-Nya. Begitu pula jika ia meyakini bahwa orang tersebut akan memberinya
syafaat dan memasukkannya ke sorga hanya karena ia mencintainya dan
berafiliasi dengannya. Hal-hal ini dan yang semisal dengannya dari apa saja
yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Sunnah yang nota bene sebagian dari
sikap-sikap orang musyrik dan ahlul bid’ah (pembuat bid’ah) adalah salah,
tidak boleh diyakini dan dijadikan acuan.
AL IMAM AHMAD MEMOHON KEBERKAHAN DAN AL HAFIDH AL
DZAHABI MENGUATKANNYA
Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, “Saya melihat ayah
mengambil sehelai rambut dari rambut Nabi Saw lalu meletakkan pada mulutnya
seraya menciumi rambut tersebut. Saya rasa saya pernah melihat ayah meletakkan
rambut itu pada matanya, mencelupkan rambut tersebut ke dalam air dan
meminumnya serta memohon kesembuhan dengannya.
Saya juga melihat ayah
mengambil mangkuk besar Nabi lalu membasuhnya dalam tong air kemudian
meminumnya. Saya lihat ayah juga minum air zamzam guna memohon kesembuhan
dengannya dan mengusapkannya pada kedua tangan dan wajahnya.
Saya
bertanya di manakah orang yang sok berkata fasih yang berani mengingkari Imam
Ahmad padahal telah terbukti bahwa Abdullah bertanya kepada ayahnya tentang
orang yang menyentuh pusat mimbar Nabi Saw dan menyentuh kamar nabi (al hujrah
al nabawiyyah) ?, lalu ayah menjawab, “Saya menilai hal ini tidak apa-apa.”
Semoga
Allah melindungi kita dan kalian dari pandangan kaum khawarij dan
pandangan-pandangan bid’ah. (Siyaru A’lami Al Nubalaa’ vol. XI hlm.
212).
RINGKASAN
Kesimpulan dari beberapa atsar dan hadits di muka adalah
bahwa memohon berkah dengan Nabi Saw , peninggalan-peninggalan beliau dan
dengan segala sesuatu yang dikaitkan dengan beliau adalah sunnah yang luhur
dan metode yang terpuji dan disyari’atkan. Cukuplah untuk membuktikan hal ini
tindakan yang dilakukan oleh para sahabat pilihan, dukungan beliau terhadap
tindakan mereka, perintah beliau dalam sebuah kesempatan dan isyarah beliau
untuk melakukannya dalam kesempatan lain. Lewat teks-teks yang telah kami
kutip tampak jelas kebohongan orang yang beranggapan bahwa memohon berkah
tidak mendapat perhatian dan kepedulian dari seorang sahabat pun kecuali Ibnu
‘Umar dan dalam hal ini tidak ada seorang sahabat pun yang sependapat
dengannya.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan, kebohongan atau
pengelabuan. Karena faktanya banyak sahabat selain Ibnu ‘Umar melakukan
permohonan berkah dan menaruh perhatian dengan hal ini. Di antara mereka
adalah Al Khulafaa Al Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid ibnu Al Walid, Watsilah
ibnu Al Asqa’, Salamah ibnu Al Akwa’, Anas ibnu Malik, Ummu Sulaim, Usaid ibnu
Hudlair, Sawad ibnu Ghaziyyah, Sawad ibnu ‘Amr, Abdullah ibnu Salam, Abu Musa,
Abdullah ibnu Al Zubair, Safinah eks budak Nabi, Sarrah pelayan Ummu Sulaim,
Malik ibnu Sinan, Asmaa’ binti Abi Bakr, Abu Mahdzurah, Malik ibnu Anas, dan
beberapa tokooh besar dari kalangan penduduk Madinah seperti Sa’id ibnu Al
Musayyib dan Yahya ibnu Sa’id.
BAB III TOPIK-TOPIK KAJIAN VARIATIF
PENJELASAN MENGENAI
DISYARI’ATKANNYA ZIARAH KEPADA NABI DAN HAL-HAL YANG TERKAIT DENGANNYA
DARI BEBERAPA ATSAR, MASYHAD DAN MUNASABAH
KEHIDUPAN BARZAKH ADALAH KEHIDUPAN YANG NYATA
Kehidupan
barzakh adalah kehidupan dalam arti sesungguhnya. Fakta ini adalah kesimpulan
yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits populer yang
shahih.
Kehidupan nyata ini tidak kontradiksi dengan status para makhluk
yang telah mati sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dalam firman Allah :
وما جعلنا لبشر من قبلك الخلد
إنك ميت وإنهم ميتون
Pengertian dari pandangan kami tentang kehidupan barzakh sebagai kehidupan
nyata maksudnya adalah bukan bentuk kehidupan imajinatif atau fantasi
sebagaimana digambarkan sebagian orang kafir yang akal mereka tidak percaya
kecuali terhadap hal-hal yang kasat mata, dan menolak hal-hal gaib yang berada
di luar kapasitas akal manusia untuk menjelaskannnya dan menyerahkan bentuknya
kepada kekuasaan Allah. Berhenti dalam waktu yang pendek untuk berfikir
merenungkan pandangan kami mengenai kehidupan barzakh bahwasanya kehidupan ini
adalah kehidupan nyata, tidak akan menyisakan sedikitpun kejanggalan hingga
bagi orang rendah kapasitas pemahaman dan daya rasanya dalam meresapi
makna-makna yang terkandung dalam kalimat. Kalimat haqiqiyyah (yang
nyata/sesungguhnya) tidak lain digunakan untuk menolak yang salah, menepis
khayalan dan menyingkirkan fantasi yang kerap kali muncul dalam benak orang
yang masih memiliki keraguan tentang situasi kehidupan di alam barzakh, alam
akhirah dan alam - alam kehidupan lain seperti pada saat nasyr, dibangkitkan,
dikumpulkan dan dihisab.
Pengertian ini dapat dipahami oleh orang Arab
yang lugu yang mengetahui bahwa kalimat haqiqi yang dimaksud adalah
haqiqah lawan dari angan-angan, fantasi dan imajinasi. Kalimat
haqiqiyyah (yang nyata/sesungguhnya) berarti bukanlah wahmiyyah
(fantasi). Inilah maksud sesungguhnya dari pengertian haqiqi dan ini juga
pemahaman dan definisi kami menyangkut persoalan kehidupan barzakh. Terdapat
banyak hadits dan atsar yang saling menguatkan yang menetapkan bahwa
mayit bisa mendengar, merasakan dan mengenal. Baik ia mayit mu’min atau
mayit kafir.
Salah satunya adalah hadits Al Qalib yang terdapat dalam
Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim lewat jalur yang bervariasi dari Abu
Thalhah, ‘Umar dan putranya, ‘Abdullah : Sesungguhnya Nabi Saw menyuruh
mengubur 24 lelaki pembesar Qurays. Mereka dimasukkan ke dalam salah satu
lembah yang terdapat di Badar. Lalu beliau memanggil nama-nama mereka. “Wahai
Abu Jahl ibnu Hisyam !, wahai Umayyah ibnu Khalaf!, wahai ‘Utbah ibnu
Rabi’ah!, wahai Syaibah ibnu Rabi’ah!, wahai fulan ibnu fulan!. Apakah kalian
tidak mendapatkan janji Tuhan terhadap kalian itu benar? Karena aku sungguh
telah mendapatkan janji Tuhanku terhadapku benar adanya.” ‘Umar ibnu Khaththab
bertanya, “Wahai Rasulullah!, bukankah jasad-jasad tak bernyawa tidak bisa
berbicara?” “Demi Dzat yang nyawaku berada di tangannya. Kalian tidak lebih
mampu mendengar terhadap ucapanku dari pada mereka. Namun mereka tidak mampu
menjawab,” jawab Nabi.
Demikianlah hadits ini diriwayatkan oleh Al
Bukhari dan Muslim dari haditsnya Ibnu ‘Umar, Al Bukhari dari haditsnya Anas
dari Abu Thalhah, dan oleh Muslim dari haditsnya Anas dari ‘Umar. Juga
diriwayatkan oleh Al Thabarani dari haditsnya Ibnu Mas’ud dengan isnad shahih
dan dari haditsnya ‘Abdullah ibnu Sidan semisal haditsnya Ibnu ‘Umar
yang di dalamnya terdapat redaksi sbb : Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah!, apakah mereka bisa mendengar?” “Mereka bisa mendengar sebagaimana
kalian. Tetapi mereka tidak mampu menjawab,” jawab Nabi.
Di antaranya
lagi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dikategorikan shahih
oleh Ibnu Hibban dari jalur Isma’il ibnu ‘Abdirrahman Al Sudi dari ayahnya
dari Abu Hurairah : Dari Nabi Saw : ”Sesungguhnya mayit mampu mendengar suara
sandal mereka ketika mereka pergi meninggalkan kuburan.”
Ibnu Hibban juga
meriwayatkan dari jalur Muhammad ibnu ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
dari Nabi Saw semisal hadits di atas dari hadits yang panjang.
Al
Bukhari dalam kitab Shahihnya mengatakan “Baabu Al Mayyiti Yasma’u Khafqa Al
Ni’aali”. Selanjutnya ia meriwayatkan dari Anas dari Nabi Saw, beliau
bersabda, “Jika seorang hamba sudah diletakkan dalam kuburannya dan para
sahabatnya telah meniggalkan kuburan hingga ia mendengar bunya sandal mereka
maka akan datang kepadanya dua malaikat lalu keduanya mendudukkannya dst…” Al
Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Su’aali Al Qabri (pertanyaan qubur).
Muslim juga meriwayatkan hadits ini. Keterangan bahwa mayit bisa mendengar
suara sandal terdapat dalam beberapa hadits. Di antaranya beberapa hadits yang
menjelaskan pertanyaan kubur yang jumlahnya banyak dan bertebaran. Dalam
beberapa hadits ini terdapat keterangan yang jelas akan adanya pertanyaan
kedua malaikat terhadap mayit dan jawaban mayit dengan jawaban sesuai yang
dengan keadaannya; bahagia atau celaka. Di antaranya lagi ajaran yang
disyari’atkan Nabi untuk ummatnya yaitu memberi salam dan berdialog dengan
penghuni kubur dengan ungkapan : Assalamu’alaikum, wahai kawasan kaum
mu’minin.
Dalam pandangan Ibnu Al Qayyim ungkapan di atas ditujukan untuk orang
yang mendengar dan berakal. Seandainya tidak demikian berarti ungkapan ini
sama dengan berbicara dengan obyek yang tidak ada dan benda mati. Para ulama
generasi salaf sendiri telah menetapkan konsensus bahwa mayit bisa mendengar.
Terdapat atsar-atsar mutawatir yang bersumber dari mereka bahwa mayit
mengetahui kunjungan orang hidup dan merasa berbahagia karenanya. Selanjutnya
Ibnu Al Qayyim menyebutkan sejumlah atsar dalam Kitaburruh. Silahkan
diperiksa!.
Saya katakan bahwa dalam topik ini ‘Abdu Al Razaq telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Zaid ibnu Aslam, ia berkata, “Abu Hurairah dan
kawannya berjalan melewati kuburan.” “Berikan salam,” kata Abu Hurairah.
“Apakah saya memberi salam kepada kuburan,” sanggah kawannya. “Jika mayit
dalam kuburan ini pernah sekali melihatmu suatu hari di dunia maka
sesungguhnya ia mengenalmu sekarang.” HR Abdu Al Razaq dalam Al
Mushannaf vol. III hlm. 577.
Apa yang telah saya kemukakan di atas
adalah aqidah generasi salaf shalih semoga Allah meridloi mereka semua. Yaitu
golongan Ahlussunnah wal jama’ah. Maka saya tidak mengerti mengapa mereka yang
mengklaim pengikut madzhab salaf lupa akan kenyataan ini.
Dalam
Kitaburruh, Al Syaikh Ibnu Al Qayyim berbicara panjang lebar mengenai
kehiudupan mayit secara memuaskan dan memadai. Dan di sini kami akan menghutip
fatwa agung Syaikhil Islam Al Imam Ibnu Taimiyyah mengenai topik ini
sebagaimana tercantum dalam Al Fataawaa Al Kubraa.
Ibnu Taimiyyah
ditanya mengenai orang-orang yang masih hidup jika berziarah kepada
orang-orang mati. Apakah mereka ini mengetahui orang-orang yang masih hidup
menziarahi mereka? Dan apakah mereka mengetahui jika ada anggota keluarganya
atau orang lain yang mati?
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah. Betul
mereka mengetahui. Dalam beberapa atsar dijelaskan bahwa mereka saling bertemu
dan saling bertanya dan amal perbuatan orang-orang yang masih hidup
disampaikan kepada mereka. Sebagaimana riwayat Ibnu Al Mubarak dari Abu Ayyub
Al Anshari, ia berkata, “Jika nyawa seorang mu’min dicabut maka rahmat dari
para hamba Allah akan menyambutnya sebagaimana mereka menyambut pemberi kabar
suka cita di dunia. Mereka akan mendatanginya dan bertanya kepadanya. Sebagian
berkata kepada yang lain, “Lihatlah saudara kalian sedang beristirahat karena
ia sebelumnya mengalami penderitaan yang berat.” “Kemudian mereka mendatangi
yang baru mati tersebut dan menanyakan apa yang dilakukan fulan dan apa
yang dikerjakan fulanah dan apakah ia sudah menikah dst...”
Adapun bukti bahwa mayit mengenal orang hidup yang menziarahi kuburnya
maka terdapat dalam haditsnya Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah Saw
bersabda, “Tidak seorang pun yang melewati kuburan saudaranya yang mu’min yang
dikenalnya semasa di dunia lalu ia memberi salam kepada saudaranya itu kecuali
kecuali saudaranya tersebut mengenalnya dan membalas salamnya.”
Ibnu Al
Mubarak mengatakan bahwa hadits ini terbukti dari Nabi dan dikategorikan
shahih oleh ‘Abdul Haqq penyusun Al Ahkaam. (Majmuu’u Al Fataawaa Al Syaikhi
Ibnu Taimiiyah vol. XXIV hlm. 331).
Dalam tempat lain, Ibnu Taimiyyah
ditanya apakah mayit bisa mendengar suara orang yang berziarah kepadanya dan
dapat melihat sosoknya? Apakah ruh mayit pada saat itu dikembalikan ke dalam
jasadnya atau ruh itu terbang di atas kuburan pada saat itu dan saat yang
lain?.
Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Betul, secara umum mayit mampu mendengar sebagaimana ditetapkan dalam Shahil
Al Bukhari dan Shahih Muslim dari Nabi Saw bahwa beliau berabda, “Mayit
mendengar suara sandal mereka saat mereka pergi meninggalkan kuburan.”
Selanjutnya
Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa hadits dalam konteks ini kemudian berkata,
“Nash-nash ini dan yang semisalnya menjelaskan bahwa secara umum mayit dapat
mendengar suara orang hidup. Kemampuan mendengar ini tidak harus selamanya
tapi pada satu kesempatan ia mendengar dan dalam kesempatan lain tidak.
Sebagaimana dialami orang yang hidup di mana terkadang ia mendengar ucapan
orang yang mengajaknya berbicara dan terkadang tidak mampu mendengarnya karena
ada sesuatu yang menghalangi pendengaran. Kemampuan mendengar ini adalah
kemampuan mendengar yang bersifat kognitif (sam’a idraak) yang tidak ada
konsukuensi mendapat balasan dan juga bukan kemampuan mendengar yang
ditiadakan dengan ayat إنك لاتسمع الموتى , karena yang
ditiadakan dalam ayat ini adalah mendengar dalam arti menerima dan mematuhi
apa yang didengar. Sebab Allah telah menjadikan orang kafir seperti mayit yang
tidak mampu menjawab orang yang memanggilnya dan seperti binatang ternak yang
mendengar suara tapi tidak mampu memahami maksudnya. Mayit meskipun ia
mendengar ucapan dan mengerti maksudnya namun ia tidak mampu menjawab
panggilan orang yang memanggil dan tidak bisa mematuhi perintah dan
larangannya karena ia tidak memperoleh manfaat dengan adanya perintah dan
larangan. Demikian pula orang kafir, ia tidak memperoleh manfaat dengan adanya
perintah dan larangan meskipun ia mendengar seruan (khithab) dan mengerti
maksudnya sebagaimana firman Allah : لو علم فيهم خيرا لأسمعهم Adapun masalah
terlihatnya mayit maka dalam hal ini telah diriwayatkan beberapa atsar dari
‘Aisyah dan sumber lain.
Adapun pertanyaan seseorang apakah ruh mayit
pada saat itu dikembalikan ke dalam jasadnya atau ruh itu terbang di atas
kuburan pada saat itu dan saat yang lain?. Maka jawabannya adalah bahwa ruh
tersebut pada saat itu dikembalikan ke dalam badannya sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits dan ruh itu juga bisa dikembalikan ke dalam jasad pada
saat lain.
Saat ruh dikembalikan ke dalam jasad maka ia bersatu dengan
jasad tersebut pada waktu yang telah dikehendaki Allah. Bersatunya ruh dengan
jasad dalam waktu sekejap itu seperti turunnya malaikat, munculnya sinar
matahari dan terjaganya orang yang tidur.
Dalam beberapa atsar disebutkan
bahwa ruh-ruh itu berada di halaman kuburan. Mujahid mengatakan bahwa ruh-ruh
itu berada di halaman kuburan selama tujuh hari sejak mayit dikubur dan selama
waktu itu pula ruh-ruh itu tidak meninggalkan mayit. Hal ini terjadi tidak
setiap waktu hanya kadang-kadang. Malik ibnu Anas menyatakan, “Sampai kepadaku
informasi bahwa ruh-ruh itu bergerak bebas pergi ke manapun suka.” Wallahu
a’lam. (Majmu’u fataawaa Al Syaikhi Ibni Taimiyyah vol. XXIV hlm 362).
Dalam
tempat lain Ibnu Taimiyyah mentahakan, “Adapun keterangan yang disampaikan
Allah bahwa orang yang mati syahid itu hidup dan mendapat rizki dan keterangan
yang terdapat dalam hadits bahwa arwah para syuhada’ itu masuk sorga maka
beberapa kelompok ulama berpendapat bahwa hal itu berlaku khusus untuk para
syuhada’ bukan para shiddiqin dan yang lain. Pendapat shahih yang menjadi
pegangan para imam dan mayoritas ahlussunnah waljamaa’ah bahwa hidup, mendapat
rizki dan masuknya arwah ke dalam sorga tidak hanya berlaku untuk para
syuhada’ sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash yang ada. Para syuhada’
disebut secara khusus karena orang mengira mereka mati akhirnya ia menolak
untuk berjihad. Maka Allah mengabarkan hidupnya para syuhada’ agar faktor
penghalang untuk maju berjihad dan mencari mati syahid tidak ada. Sebagaimana
Allah melarang membunuh anak-anak dengan alasan khawatir jatuh miskin. Karena
alasan inilah yang mendorong terjadinya pembunuhan anak-anak pada era
jahiliyyah, meskipun pembunuhan ini tidak diperbolehkan walaupun alasan akan
jatuh miskin tidak ada. (Majmu’u fataawaa Al Syaikhi Ibni Taimiyyah vol. XXIV
hlm 332).
JANGAN MENYAKITI MAYIT AGAR KAMU TIDAK DISAKITI OLEHNYA
Rasulullah
Saw melihat seorang lelaki duduk bersandar di atas kuburan lalu beliau menegur
lelaki tersebut, “Jangan engkau sakiti penghuni kuburan.”
Hadits ini
disebutkan oleh Al Majd Ibnu Taimiyyah dalam Al Muntaqaa (vol II hlm 104) dan
menisbatkannya kepada Ahmad dalam Al Musnad. Al Hafid Ibnu Hajar juga menyebut
hadits ini dalam Fathul Bari vol III hlm 187 dan mengatakan bahwa isnadnya
shahih.
Al Thahawi meriwayatkan hadits ini dalam Ma’aani Al Aatsaar (vol
I hlm 296) dari haditsnya Ibnu ‘Amr ibnu Hazm dengan redaksi : Rasulullah Saw
melihatku berada di atas kuburan lalu beliau berkata, “Turunlah dari kuburan.
Jangan engkau sakiti penghuni kubur agar ia tidak menyakitimu.” Majma’u Al
Zawaid vol III hlm 61.
ARTI KEHIDUPAN BARZAKH
Perlu kami jelaskan kepada semua orang arti
dari kehidupan orang mati bahwa kehidupan ruh ini adalah kehidupan
barzakh yang tidak sama dengan kehidupan kita ini. kehidupan orang mati adalah
kehidupan khusus yang layak dengan kondisi mereka dan dengan alam yang menjadi
tempat mereka. Namun harus kami jelaskan kepada semua orang bahwa kehidupan
tersebut tidak seperti kehidupan kita. Karena kehidupan kita sangat kurang,
sangat hina, sangat sempit dan sangat lemah.
Dalam kehidupan dunia
aktivitas manusia itu berkisar antara ibadah, melakukan kebiasaan, mematuhi
perintah Allah, berbuat maksiat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang
beragam untuk dirinya, keluarganya dan Tuhannya. Dalam kehidupan dunia manusia
terkadang dalam kondisi suci dan terkadang sebaliknya. Kadang berada di masjid
dan kadang berada di kamar mandi. Dan ia tidak mengetahui dalam kondisi apa
akhir dari kehidupannya. Jarak antara sorga dan dirinya terkadang cuma satu
hasta kemudian berubah drastis menjadi penghuni neraka dan kadang yang terjadi
sebaliknya. Adapun dalam kehidupan barzakh maka jika manusia itu termasuk
orang yang beriman maka ia telah berhasil melewati jembatan ujian yang tidak
mampu bertahan di atasnya kecuali orang yang beriman. Selanjutnya ia sudah
terlepas dari taklif dan berubah menjadi ruh yang bercahaya, suci, berfikir
dan bebas menjelajahi kerajaan besar Allah. Mereka tidak pernah mengalami
kesusahan, kesedihan, penderitaan dan kegelisahan. Karena di alam barzakh
tidak ada dunia, pekarangan, emas dan perak. Juga tidak ada rasa dengki, jahat
dan dendam.
Jika manusia itu bukan manusia yang beriman maka nasibnya
berlawanan dengan manusia yang mu’min.
KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN PARA NABI DI ALAM BARZAKH
Dalam alam
barzakh para nabi memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki
manusia lain. Seandainya selain para nabi memeliki persamaan dalam sebagian
keistimewaan tersebut dengan para nabi maka persamaan ini bersifat
relatif. Dan keistimewaan tetap hanya dimiliki para nabi dipandang dari
dua aspek : Pertama, dari aspek keaslian atau orisinilitas dan kedua dari
aspek kesempurnaan.
Berikut sebagian keistimewaan para nabi AS :
KESEMPURNAAN KEHIDUPAN MEREKA AS
Telah kami sebutkan sebelumnya
bahwa kehidupan barzakh adalah kehidupan nyata dan bahwa mayit mampu
mendengar, merasakan, dan mengenal baik ia mu’min atau kafir. Telah kami
sebutkan pula bahwa hidup, rizqi dan masuknya para arwah ke sorga tidak hanya
berlaku untuk orang yang mati syahid sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash
yang ada. Pandangan ini adalah pandangan shahih yang dipegang oleh para imam
dan mayoritas ahlussunnah. Berangkat dari fakta ini maka mengatakan para nabi
hidup itu termasuk terlalu banyak berbicara karena hal ini sudah jelas
sebagaimana keberadaan matahari, yang tidak memerlukan penetapan. Justru yang
benar adalah kita menetapkan bahwa kehidupan para nabi lebih lengkap, lebih
agung, lebih sempurna dan lebih mulia. Demikian pula kehidupan manusia di atas
permukaan bumi ini yang memiliki derajat, status, dan level yang berlainan.
Sebagian mereka adalah orang mati yang berbentuk orang hidup. Allah telah
berfirman dalam menggambarkan golongan ini :
لهم قلوب لايفقهون بها ولهم أعين لايبصرون بها ولهم آذان لايسمعون بها أولئك
كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون.
Sebagian disebutkan Allah sbb :
ألا إن أولياء الله لاخوف عليهم ولاهم يحزنون
Sebagian lagi :
قد أفلح المؤمنون
Sebagian lagi :
إنهم كانوا قبل ذلك محسنين كانوا قليلا من الليل ما يهجعون وبالأسحار هم يستغفرون
Demikianlah kehidupan barzakh yang memilki derjat, level dan status yang
bervariasi.
ومن كان في هذه أعمى فهو في الآخرة أعمى وأضل سبيلا
Adapun para nabi AS maka sesungguhnya kehidupan, rizqi, pengetahuan,
pendengaran, persepsi, dan perasaan mereka lebih sempurna,lebih lengkap dan
lebih tinggi melebihi yang lain. Dalilnya adalah firman Allah tentang
orang-orang yang mati syahid :
ولاتحسبن الذين قتلو في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون
Jika arti kehidupan adalah kekekalan nyawa yang tidak sirna dan tidak hancur
maka tidak ada kelebihan yang layak disebut dan dipopulerkan untuk orang mati
syahid. Karena semua nyawa anak cucu Adam itu kekal tidak akan sirna dan
hancur. Ini adalah pandangan yang benar yang menjadi pegangan para ulama
muhaqqiqun sebagaimana dijelaskan secara mendalam oleh Al Syaikh Ibnu Al
Qayyim dalam Kitaburruh. Berarti harus ada keistimewaan menonjol yang membuat
para syuhada’ mengungguli selain mereka. Jika tidak demikian, maka menyebutkan
kehidupan mereka tidak ada gunanya sama sekali. Apalagi Allah sendiri melarang
kita mengatakan bahwa mereka telah mati :
ولاتقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لاتشعرون
Karena itu kami katakan bahwa kehidupan mereka harus lebih sempurna dan lebih
mulia dari pada yang lain. Pandangan ini adalah pandangan yang didukung oleh
nash-nash literal. Arwah para syuhada’ itu mendapat rizqi bisa mendatangi
sungai-sungai sorga dan menyantap buah-buahan sorga sebagaimana dijelaskan
Allah :
عند ربهم يرزقون
Perasaan mereka terhadap makanan, minuman dan kenikmatan adalah perasaan yang
sempurna dengan kesadaran sempurna dan kelezatan yang juga sempurna serta
kesenangan yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Ketika
mereka merasakan enaknya makanan dan minuman mereka serta bagusnya tempat
istirahat mereka, mereka berkata, “Mudah-mudahan saudara-saudara kami
mengetahui perlakukan Allah terhadap kami.” Ibnu Katsir mengatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad. Arwah para syuhada’ memiliki aktivitas
yang lebih besar dan luas dibanding arwah lain. Arwah tersebut bebas
menjelajahi sorga sesuka mereka kemudian pulang untuk tinggal di dalam
lampu-lampu yang terletak di bawah ‘arsy. (Demikian dikutip dari Al
Shahih).
Arwah para syuhada’ mampu mendengar ucapan dan memahami
pembicaraan. Dalam Al Shahih disebutkan : “Sesungguhnya Allah bertanya kepada
mereka, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab ingin ini dan itu.
Pertanyaan pun diajukan kembali yang dijawab mereka lagi. Selanjutnya mereka
meminta untuk bisa kembali ke dunia untuk berjihad kemudian meminta agar Allah
menyampaikan pesan dari mereka untuk saudara-saudara mereka, yang
berisi informasi mengenai penghormatan yang diberikan Allah untuk mereka. “Aku
akan menyampaikannya dari kalian.” Jawab Allah.
Jika kehidupan semacam
ini dialami para syuhada’ maka otomatis dialami para nabi dilihat dari dua
aspek :
Pertama, kehidupan seperti di atas adalah level mulia yang
diberikan kepada orang yang mati syahid sebagai bentuk kemuliaannya padahal
tidak ada level yang lebih tinggi dari level para nabi. Tidak disangsikan lagi
bahwa keadaan para nabi lebih tinggi dan sempurna dari pada keadaan semua
syuhada’. Maka mustahil jika kesempurnaan diperoleh para syuhada’ tapi tidak
didapat oleh para nabi. Lebih-lebih kesempurnaan kehidupan seperti ini yang
menetapkan bertambahnya kedekatan, kenikmatan dan kesenangan dengan Dzat Yang
Maha Tinggi.
Kedua, level ini diperoleh para syuhada’ sebagai
balasan dari jihad mereka dan pengorbanan jiwa mereka kepada Allah SWT sedang
nabi adalah orang yang menetapkan kita untuk berjihad, mengajak dan membimbing
kita untuk melakukannya atas izin dan taufik Allah. Beliau bersabda,
“Barangsiapa menetapkan perilaku yang baik maka ia memperoleh pahala darinya
dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.”
Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang mengajak menuju hidayah maka ia memperoleh pahala seperti
pahala orang-orang yang mengikutinya. Pahala itu tidak mengurangi sedikitpun
pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa mengajak menuju kesesatan maka ia
menangung dosa seperti dosa-dosa orang yang menirunya. Dosa itu itu tidak
mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”
Hadits-hadits shahih tentang
kedua hal ini (kandungan dua hadits di atas) banyak dan populer. Setiap pahala
yang diraih oleh orang yang mati syahid otomatis diraih oleh nabi karena
melakukan apa yang dilakukan orang yang mati syahid. Kehidupan barzakh yang
khusus untuk orang yang mati syahid adalah menambah memuliakannya dengan
pahala seperti ini sebagai imbalan dari amal perbuatannya di bawah panji Nabi
Saw dan kematiannya secara syahid di jalan Allah dan Nabi. Maka nabi juga
memperoleh kehidupan seperti yang didapat orang yang mati syahid. Malah
kehidupan yang diperoleh nabi lebih agung karena keunggulannya atas orang yang
mati syahid.
Kehidupan barzakh yang hakiki yang dialami para nabi
khususnya Nabi Muhammad Saw terlalu tinggi dan sempurna untuk dibayangkan
orang yang bodoh atau tolol. Yaitu kita membayangkan mereka hidup sebagaimana
kita. Mereka makan dan minum karena membutuhkan makanan dan minuman, dan
mereka kencing dan berak karena terdesak untuk melakukannya, dan keluar dari
kuburan mereka untuk menghadiri majlis-majlis dzikir dan tempat-tempat
berkumpul untuk membaca Al Qur’an serta berpartisipasi beserta ummat dalam
kebahagiaan, kesedihan, dan perayaannya lalu mereka kembali ke dalam kuburan
mereka yang berada di dalam bumi pada liang sempit yang di atasnya adalah
tanah itu. Jika kehidupan para nabi dideskripsikan seperti ini maka tidak ada
sedikitpun kemuliaan atau keutamaan malah deskripsi semacam ini adalah
penghinaan sesungguhnya yang seseorang tidak rela hal itu melekat untuk
pengikut atau pelayannya lebih-lebih jika Allah memberikannya kepada makhluk
terbaik dan hamba-Nya yang paling agung. Hal ini jelas mustahil seribu kali
mustahil.
Kehidupan barzakh hakiki adalah kesadaran sempurna, persepsi
sempurna dan pengetahuan yang benar. Kehidupan barzakh hakiki adalah
kehidupan yang suci dan shalih : berdo’a, bertasbih, mengesakan Allah,
mengumandangkan pujian dan sholat.
SHALAT PARA NABI DI DALAM KUBURAN
MEREKA DAN AKTIVITAS IBADAH LAIN
Salah satu buah kehidupan hakiki dalam
alam barzakh adalah para nabi melakukan sholat di dalam kuburan mereka dengan
shalat yang sesungguhnya bukan bersifat fantasi atau imajinasi. Ada beberapa
hadits mengenai topik ini :
Dari Anas ibnu Malik, ia berkata,
“Rasulullah Saw bersabda, “Para nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam
keadaan mengerjakan sholat.” HR Abu Ya’la dan Al Bazzaar. Para perawi Abu
Ya’la tsiqat. Demikian dalam Majma’ Al Zawaaid vol. VIII hlm. 211. Dalam
bagian khusus menyangkut topik ini Al Imam Al Hafidh Al Baihaqi berkata :
dalam salah satu riwayat dari Anas ra dari Nabi Saw, beliau bersabda,
“Sesungguhnya para nabi tidak dibiarkan dalam kuburan mereka setelah empat
puluh malam. Namun mereka melaksakan shalat menghadap Allah sampai sangkakala
ditiup.”
Al Baihaqi mengatakan bahwa jika hadits ini shahih dengan
redaksi demikian maka yang dimaksud adalah – wallahu a’lam – tidak dibiarkan
tidak mengerjakan sholat kecuali selama masa 40 malam kemudian selanjutnya
mereka shalat menghadap Allah. Menurut Al Baihaqi banyak bukti dari
hadits-hadits shahih yang menunjukkan para nabi itu hidup sesudah kematian
mereka.
Kemudian Al Baihaqi menyebutkan sebuah hadits dengan
sanad-sanadnya yang shahih : “Saya melewati Musa saat ia berdiri mengerjakan
sholat di dalam kuburannya.” Dan hadits : “Sungguh saya telah melihat diri
saya dalam rombongan para nabi. Tiba-tiba bertemu Nabi Musa yang sedang
berdiri mengerjakan sholat dan ternyata ia seorang lelaki berbadan kurus
(dlorbun) dan berambut keriting seperti lelaki Arab. Tiba-tiba bertemu Nabi
Isa yang sedang berdiri mengerjakan sholat. Orang yang paling mirip dengannya
adalah ‘Urwah ibnu Mas’ud Al Tsaqafi. Dan tiba-tiba bertemu Nabi Ibrahim yang
sedang berdiri mengerjakan sholat. Orang yang paling mirip dengannya adalah
teman kalian – maksudnya beliau sendiri -. Saat waktu sholat tiba saya menjadi
imam mereka. Ketika saya selesai sholat seseorang berkata kepadaku, “Wahai
Muhammad!, ini adalah malaikat Malik penjaga nereka. Berilah salam kepadanya!.
Saya pun menoleh kepadanya namun ia mendahului saya memberikan salam.”
Saya
katakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Anas vol. II hlm. 268 dan
oleh Abdul Razq dalam Al Mushannaf vol. III hlm. 577.
Kata dlorbun dalam
hadits berarti berbadan kurus.
Dalam Dalaa’ilu Al Nubuwwah Al Baihaqi
mengatakan bahwa dalam hadits shahih dari Sulaiman Al Taimi dan Tsabit Al
Bunani dari Anas ibnu Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Saya datang
menemui Musa pada malam saat aku diisra’kan di dekat bukit pasir merah. Saat
itu ia sedang berdiri melakukan sholat di dalam kuburnya.”
Saya katakan
bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Muslim vol. II hlm 268.
Adalah fakta yang tidak bisa disangkal bahwa faktor diringankannya
shalat yang diwajibkan kepada kita dari 50 shalat menjadi 5 shalat adalah Nabi
Musa yang nota bene seorang mayit yang telah menyampaikan risalah Tuhannya dan
telah berada di sisi-Nya dalam golongan Rafiq A’la (Syuhada’, shalihin dan
shiddiqin). Meskipun demikian, ia menjadi penyebab sampainya kebaikan terbesar
untuk ummat Muhammad saat ia meminta agar Nabi Muhammad memohon pertimbangan
kepada Tuhannya. “Mintalah keringanan pada Tuhanmu karena ummatmu tidak akan
mampu mengerjakannya,” saran Musa. Apakah permintaan pertimbangan ini hal yang
nyata atau cuma imajinasi? Apakah dilakukan saat terjaga atau di waktu tidur?
Apakah permintaan pertimbangan ini fakta yang benar atau kebohongan? Apakah
Musa sudah wafat atau beliau masih hidup hingga waktu permintaan pertimbangan
itu?.
Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dan menilainya sebagai hadits
shahih, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw melintasi
jalan di bukit. “Jalan apakah ini? “ tanya beliau. “Jalan ini dan ini, “ jawab
para sahabat. “Saya seperti melihat Yunus sedang naik unta yang tali kekangnya
terbuat dari sabut dan ia mengenakan jubah dari bulu sembari berkata, “Aku
sambut panggilan-Mu dan siap menerima perintah-Mu ya Allah.” (Al Durr Al
Mantsur vol. IV hlm. 234).
Dalam sebuah hadits lain sbb : “Suatu malam
ketika berada di dekat Ka’bah saya melihat seorang lelaki berkulit sawo
matang. Sepertinya ia adalah lelaki berkulit sawo matang yang pernah engkau
lihat. Ia memiliki rambut yang panjang sampai melewati cuping telinga.
Sepertinya rambut itu adalah rambut yang panjang sampai melewati cuping
telinga yang paling indah yang pernah engkau lihat. Ia menyisir rambut yang
panjang sampai melewati cuping telinga tersebut. Rambut itu seperti
tetesan-tetesan air. Ia mengelilingi ka’bah (thawaf) dengan bersandar pada dua
orang lelaki atau pada pundak dua orang lelaki. “Siapakah ia,” tanyaku.
Terdengan sebuah jawaban “Ia adalah Al Masih ibnu Maryam,”
Dalam salah
satu hadits : Nabi melintasi jurang Al Azraq lalu berkata, “Sepertinya saya
melihat Musa turun dari jalan bukit. Ia membaca talbiah dengan keras. Kemudian
Nabi mendatangi jalan bukit Harsya lalu berkata, ”Sepertinya saya melihat Musa
meletakkan kedua jarinya pada kedua telinganya.”
Semua hadits di atas
termaktub dalam Al Shahih dan hadits mengenai Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan shalat
para nabi dengan berdiri dengan diimami oleh nabi Muhammad telah disebutkan
sebelumnya. Tidak bisa dikatakan bahwa apa yang dialami Nabi Saw cuma sebuh
mimpi dan bahwa kalimat Araanii menunjukkan terjadi pada saat tidur. Karena
peristiwa israa’ dan kejadian yang terjadi dalam peristiwa itu menurut
pendapat yang shahih yang menjadi acuan jumhur salaf dan khlaf terjadi pada
saat terjaga bukan tidur. Seandainya peristiwa israa’ terjadi pada saat tidur
pun maka mimpi para nabi adalah sebuah kebenaran. Kalimat Araanii tidak
menunjukkan terjadi pada saat tidur dengan bukti kalimat “Raaitunii fi Al
Hajar” yang terjadi pada saat terjaga sebagaimana ditunjukkan oleh
rangkaian kalimat berikutnya.
KEKALNYA JASAD PARA NABI AS
Dalam sebuah hadits dari Aus ibnu Aus, ia berkata, “Rasulullah Saw
bersabda, “Sesungguhnya salah satu hari-hari kalian yang paling utama
adaladh hari Jumu’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan wafat, terjadinya
tiupan sangkakala dan kematian semua makhluk seusai ditiupnya sangkakala. Maka
perbanyaklah membaca shalawat untukku pada hari itu. Karena shalawat kalian
disampkaikan kepadaku. “Bagaimana mungkin shalawat kami disampaikan kepadamu
padahal jasadmu telah hancur,” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah
mengharamkan bumi untuk menelan jasad para nabi.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Sa’id ibnu Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Abi
‘Ashim dalam kitab Al Shalat, Abu Dawud, Al Nasa’i, dan Ibnu Majah dalam dalam
masing-masing Sunan mereka bertiga, Al Thabarani dalam Al Mu’jamnya, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim dalam masing-masing Kitab Shahih mereka
berlima dan Al Baihaqi dalam Hayaatu Al Anbiyaa’, Syu’abul Iman dan kitab lain
karyanya.
Ketahuilah bahwa hadits “Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi
untuk menelan jasad para nabi” berasal dari banyak sumber yang dikumpulkan
oleh Al Hafidh Al Mundziri dalam sebuah risalah khusus. Dalam Al Targhib wa Al
Tarhib ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan isnad yang
baik, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan oleh Al Hakim yang
menilainya sebagai shahih. Dalam Kitab Al Ruh, mengutip dari Abu ‘Abdillah Al
Qurthubi, Ibnu Al Qayyim mengatakan, “Shahih dari Nabi Saw bahwa bumi tidak
menelan jasad para nabi dan bahwa beliau Saw berkumpul bersama para nabi pada
malam isra’ di Baitul Maqdis dan bersama Nabi Musa secara khusus di langit.
Nabi sendiri menyatakan, “Tidak seorang muslimpun yang memberi salam kepada
Nabi Saw kecuali Allah akan mengembalikan nyawa beliau sehingga beliau
menjawab salam.”
Dan hadits-hadits lain yang secara keseluruhan
menyimpulkan kepastian bahwa kematian para nabi dimaksudkan bahwa mereka
disamarkan dari pandangan kita meskipun mereka ada dalam keadaan hidup.
Sepertihalnya para malaikat yang hidup namun kita tidak bisa melihatnya.
Pandangan Al Qurthubi telah dikutip dan disetujui oleh Al Syaikh Muhammad Al
Safarini Al Hanbali dalam syarh ‘Aqidatu Ahlissunnah sbb :
Abdullah Al
Qurthubi berkata, “Guru kami Ahmad ibnu ‘Umar Al Qurthubi penyusun Al Mufhim
syarh Muslim mengatakan, “Yang menghilangkan kemusykilan ini adalah bahwa
kematian bukanlah ketiadaan murni. Kematian adalah peralihan dari satu kondisi
ke kondisi lain, dengan bukti bahwa para syuhada’ setelah kematian dan
terbunuh, mereka hidup di sisi Allah mendapat rizki dan berbahagia.
Kehidupan seperti ini adalah kehidupan mereka yang hidup di dunia.
Apabila keadaan kehidupan para syuhada’ seperti di atas maka para nabi lebih
berhak dan lebih utama dengan kehidupan seperti itu. Al Qurthubi mengatakan
bahwa jasad para nabi tidak akan hancur. Terdapat informasi shahih dari Jabir
bahwa ayahnya dan ‘Umar ibnu Al Jamuh Ra yang nota bene termasuk syuhada’ Uhud
dan dikuburkan dalam satu liang, bahwa kuburan tersebut tergerus banjir namun
jasad keduanya ditemukan tetap utuh. Salah satu dari keduanya mengalami luka
dan tangannya diletakkan di atas luka tersebut lalu dikubur dalam kondisi
demikian. Tangan tersebut lalu disingkirkan dari luka dan dibiarkan terlepas
namun tangan itu kembali ke posisi semula. Jarak waktu antara perang Uhud dan
ditemukannya jasad keduanya adalah 46 tahun. Saat Mu’awiyah mengalirkan sumber
air yang digali di Madinah sekira 50 tahun seusai perang Uhud dan memindahkan
para jenazah, sekop mengenai telapak kaki Hamzah yang membuatnya berdarah dan
Abdullah ibnu Haram ditemukan seakan-akan baru dikubur kemarin. Semua penduduk
Madinah meriwayatkan bahwa pada era kekuasaan Al Walid saat tembok Nabi Saw
runtuh ditemukan kaki ‘Umar ibnu Al Khaththab yang telah terbunuh sebagai
syahid.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ketika dinding Nabi
Saw runtuh tampak oleh penduduk Madinah kaki dengan betis dan lutut yang
membuat kaget ‘Umar ibnu ‘Abdil Aziz. Kemudian ‘Urwah datang kepadanya dan
berkata, “Ini adalah betis dan lutut ‘Umar ibnu Al Khaththab.” Akhirnya ucapan
‘Urwah membuat kesediahan ‘Umar ibnu Abdil Aziz hilang.
Al Imam Al Hujjah
Abu Bakr ibnu Al Husain Al Baihaqi telah menyusun risalah khusus mengenai
topik ini yang berisi sejumlah hadits yang menunjukkan hidupnya para nabi dan
utuhnya jasad mereka. Demikian pula Al Hafidh Al Jalal Al Suyuthi telah
menyusun risalah khusus dengan topik serupa.
KEHIDUPAN KHUSUS NABI MUHAMMAD SAW
Telah nyata bahwa Nabi Muhammad
Saw memiliki kehidupan barzakh yang lebih sempurna dan lebih agung melebihi
orang lain. Fakta ini diceritakan sendiri oleh beliau. Kehidupan barzakh
beliau ini menunjukkan adanya relasi beliau dengan ummat, beliau mengetahui
keadaan mereka, melihat amal perbuatan mereka, mendengar ucapan mereka dan
menjawab salam mereka. Hadits-hadits menyangkut topik ini banyak jumlahnya. Di
antaranya :
- Dari Abdullah ibnu Mas’ud Ra dari Nabi
Saw, “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat menjelajahi bumi untuk
menyampaikan salam ummatku untukku.”
Al Mundziri mengatakan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh Al Nasa’I dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya. (dari Al
Targhib wa Al Tarhib vol. II hlm. 498).
Saya katakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh Isma’il Al Qadli dan perawi lain dari jalur yang beragam
dengan sanad-sanad yang tidak diragukan keshahihihannya yang sampai ke Sufyan
Al Tsauri dari Abdillah ibnu Al Sa’ib dari Zadan dari Abdullah ibnu Mas’ud. Al
Tsauri menjelaskan bahwa ia mendengarkannya, ia berkata, “Menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Al Sa’ib. Demikian tercantum dalam kitab Al Qadli
Isma’il. Abdullah ibnu Sa’ib dan Zadan adalah dua perawi yang Muslim
meriwayatkan dari mereka dan Ibnu Ma’in menilai mereka sebagai perawi yang
tsiqah. Dari uraian ini berarti isnad hadits ini shahih.
-
Dari Ibnu Mas’ud Ra dari Nabi Saw, beliau berkata, “Hidupku lebih baik
buat kalian. Kalian menyampaikan hadits dan diberi hadits. Dan wafatku lebih
baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Maka jika aku
melihat amal baik aku memuji Allah. Jika melihat amal buruk aku memohonkan
ampunan kepada Allah untuk kalian.” Al Hafid Al ‘Iraqi menyatakan dalam Kitab
Al Janaa’izi min Tharhi Al Tatsribi fi Syarhi Al Taqribi bahwa isnad hadits
ini baik.
Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’u Al Zawaaid vol IX hlm 24
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya
memenuhi kreiteria perawi hadits shahih. Al Suyuthi menilai hadits ini shahih
dalam Al Mu’jizatu wa Al Khashaisu. Demikian pula Al Qasthalani pensyarah
kitab Al Bukhari. Dalam Faidlu Al Qadir vol III hlm 4015, Al Munawi menegaskan
bahwa hadits ini shahih. Begitu pula Al Zurqani dalam syarh Al Mawaahib karya
Al Qasthalani, dan Al Syihab Al Khafaaji dalam syarh Al Syifaa vol I hlm. 102.
Begitu pula Al Mala Al Qari dalam syarh Al Syifaa vol I hlm 102. ia mengatakan
hadits ini diriwayatkan pula oleh Al Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnadnya
dengan sanad shahih.
Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam Al Mathalib
Al ‘Aaliyahvol. IV hlm 22. Hadits ini datang dari sumber lain dengan status
mursal dari Bakr ibnu Abdillah Al Muzani. Al Hafidh Isma’il Al Qadli
meriwayatkan hadits ini dalam Juz’u Al Shalat ‘ala Al Nabi Saw. Al Syaikh
Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa status hadits ini mursal shahih. Al
Hafid Abdul Hadi yang keras kepala dan kaku menilai hadits ini shahih dalam
kitabnya Al Sharim Al Munki fi Al Radd ‘ala Al Subki.
Hadits di atas ini
statusnya shahih dan tidak mengandung cacat. Ia menunjukkan bahwa Nabi Saw
mengetahui amal perbuatan kita sebab amal perbuatan tersebut diperlihatkan
kepad beliau, dan memohonkan maaf kepada Allah untuk kita atas perbuatan yang
buruk. Apabila faktanya adalah demikian maka kita diperbolehkan untuk
bertawassul dengan beliau kepada Allah dan memohon syafaat dengan beliau di
sisi Allah. Hal ini dikarenakan beliau mengetahui adanya tawassul lalu memberi
syafaat kepada kita dan mendoakan kita. Beliau adalah orang yang memberi
syafaat dan yang diterima syafaatnya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam
serta menambahkan kemuliaan kepada beliau. Dalam Al Qur’an Allah telah
mengabarkan bahwa Nabi Muhammad menjadi saksi atas ummatnya. Hal ini
menetapkan bahwa amal perbuatan mereka diperlihatkan kepada beliau agar beliau
bisa menyaksikan apa yang dilihat dan diketahui. Ibnu Al Mubarak berkata,
“Seorang lelaki dari Anshar menceritakan kepadaku dari Al Minhal ibnu ‘Amr
bahwa ia mendengar Sa’id ibnu Musayyib berkata, “Tidak lewat sehari kecuali
diperlihatkan pada saat itu kepada Nabi Saw ummatnya; pada pagi dan sore hari.
Beliau mengetahui nama dan perbuatan mereka. Karena itu beliau menjadi saksi
atas mereka.” Allah SWT berfirman :
فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد وجئنا بك على هؤلاء شهيدا
- Dari ‘Ammar ibnu Yasir Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw
bersabda, “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburanku yang
diberi kan kepadanya nama semua makhluk. Tidak ada seorang pun yang
menyampaikan shalawat untukku sampai hari kiamat kecuali malaikat itu akan
menyampaikan kepadaku dengan namanya dan nama ayahnya. Ini si fulan anak fulan
menyampaikan shalawat kepadamu.” Diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan Abu Al
Syaikh Ibnu Hibban dengan redaksi, “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang
malaikat yang diberikan kepadanya nama makhluk. Ia akan berdiri di atas
kuburanku jika saya mati. Tidak ada seorang pun yang memberi shalawat kepadaku
kecuali ia berkata, “ Ya Muhammad!, Fulan anak Fulan menyampaikan shalawat
untukmu.” “Allah akan membalas setiap satu kali shalawatnya dengan
sepuluh kali,” lanjut beliau.
Al Thabarani dalam Al Kabir meriwayatkan
hadits serupa. Al Targhib vol II hlm 500.
- Dari ‘Amr
ibnu Al Harits dari Sa’id ibnu Abi Hilal dari Zaid ibnu Aiman dari ‘Ubadah
ibnu Nusai dari Abi Darda’, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda,
“Perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari Jumu’at . karena hari Jumu’at
adalah hari yang disaksikan para malaikat. Sesungguhnya tidak seorang pun yang
menyampaikan shalawat kepadaku kecuali shalawat itu akan disampaikan kepadaku
sampai ia selesai bershalawat.” Abu Darda’ berkata, “Saya bertanya, “Apakah
itu terjadi setelah kematian?”. “Setelah kematian, “jawab beliau,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi untuk menelan jasad para nabi.
Maka Nabiyallah itu hidup dan diberi rizqi.” Lanjutnya. “ HR Ibnu Majah dalam
Al Sunan. Dalam Al Zawaaid sbb : “Hadits ini statusnya shahih hanya saja
terputus (munqathi’) pada dua tempat. Karena riwayat ‘Ubadah dari Abu Darda’
berstatus mursal sebagaimana dikatakan Al ‘Ala’i. Zaid ibnu Aiman dari ‘Ubadah
juga mursal sebagaimana dinyatakan Al Bukhari.” Dari Sunan Ibnu Majah hlm 524.
- Dari Abu Hurairah Ra bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda, “Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan
mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.” HR Abu Dawud dalam Al
Targhib vol II hlm 499.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa hadits
ini sesuai dengan kriteria Muslim. ia berkata, “Dari Musnad Ibnu Abi Sayaibah
dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang
menyampaikan shalawat kepadaku maka saya mendengarnya. Siapa yang menyampaikan
shalawat kepadaku dari jarak jauh maka sahlawat itu disampaikan kepadaku.” HR
Al Daruquthni.
Dalam Al Nasa’i dan yang lain dari Nabi Saw, beliau
berkata, “Sesungguhnya Allah mewakilkan di kuburanku malaikat yang
menyampaikan kepadaku salam dari ummatku.”
Masih banyak hadits-hadits
lain mengenai topik ini. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqiim hlm. 324).
NABI SAW MENJAWAB ORANG YANG MEMANGGIL BELIAU
Nabi Saw menjawab
orang yang memanggil nama beliau, “YA Muhammad!”
Dalam hadits Abu
Hurairah Ra versi Abu Ya’la saat menceritakan ‘Isa, “Sungguh jika ‘Isa berdiri
di dekat kuburanku lalu memanggil, “Ya Muhammad”, niscaya aku akan menjawab
panggilannya.” Disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Al Mathalib Al
‘Aliyah vol. IV hlm dengan judul Hayaatuhu Saw fi Qabrihi.
MENGIRIM SALAM VIA POS KEPADA NABI SAW
Dari Yazid Al Mahdi, ia
berkata, “Ketika saya berpamitan kepada ‘Umar ibnu Abdul Aziz ia berkata,
“Saya ada keperluan denganmu.” “Wahai amirul mu’minin!, apa keperluanmu yang
bisa saya bantu, “kataku. “Jika engkau tiba di Madinah maka engkau akan
melihat kuburan Nabi, sampaikan salamku untuk beliau,” jawab ‘Umar.
Dari
Hatim ibnu Wardan ia berkata, “’Umar ibnu Abdil Aziz menugaskan petugas pos
dari Syam menuju Madinah untuk menyampaikan salam kepada Nabi Saw.” Al Qadli
‘Iyadl menyebutkan hal ini dalam Al Syifa dalam Babu Al Ziyaarah vol. II hlm
83.
Al Khafaji dan Al Mala ‘Ali Qari dalam Syarh Al Syifa menyebutjkan
bahwa atsar di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Al Dunya dan Al Baihaqi
dalam Syu’ab Al Iman. Al Khafaji berkata, “Salah satu tradisi generasi
salaf yaitu mereka mengirimkan salam kepada Rasulullah Saw dan Ibnu ‘Umar
melakukan hal ini. ia mengirimkan salam kepada Nabi Saw, Abu Bakar, dan ‘Umar.
Meskipun salam dari orang yang memberi salam kepada beliau akan sampai kepada
beliau meskipun dari jarak yang jauh, namun mengirimkan salam lewat kurir ada
keutamaan percakapan kurir di dekat beliau dan jawaban oleh beliau sendiri.”
Dari Nasim Al Riyadl vol III hlm 516. Al Fairuzabadi menyebutkannya dalam Al
Shalat wa Al Basyar hlm 153.
SUARA, SALAM DAN ADZAN YANG TERDENGAR DARI KUBURAN NABI
Al
Imam Al Hafidh Abu Muhammad ‘Abdullah Al Darimi dalam kitabnya, Al Sunan yang
dikategorikan salah satu kitab pokok hadits yang berjumlah enam meriwayatkan :
Menceritakan kepadaku Marwan ibnu Muhammad dari Sa’id ibnu ‘Abdul ‘Aziz, ia
berkata, “Pada saat terjadinya perang Al Harrah (penyerbuan pasukan Yazid ke
Madinah), masjid Nabi Saw tidak dikumandangkan adzan dan iqamah selama tiga
hari dan Sa’id ibnu Al Musayyib senantiasa berada dalam masjid tersebut. Ia
tidak mengetahui waktu shalat kecuali lewat suara lembu atau gajah yang ia
dengan keluar dari kuburan Nabi Saw. Sa’id kemudian menyebutkan makna suara
yang ia dengar.
Atsar di atas dari Sunan Al Darimi vol I hlm 44 dan
dikutip oleh Al Syaikh Muhammad ibu ‘Abdil Wahhab dalam hukum-hukum mengharap
kematian (Ahkaami Tamannii Maut) dari kumpulan karyanya vol III hlm 47.
Riwayat ini juga dikutip oleh Al Imam Majduddin Al Fairuzabadi penyusun
Al Qamus dalam Al Shilaatu wa Al Basyaru hlm 154. Ibrahim ibnu Syaiban
mengatakan, “Saya melaksanakan haji lalu saya datang ke Madinah dan menuju
kuburan Nabi. Saya menyampaikan salam kepada beliau lalu terdengar dari suara
dari dalam kamar jawaban ; ‘Alaika Al Salam.”
DUKUNGAN IBNU TAIMIYYAH TERHADAP KEJADIAN-KEJADIAN DI ATAS
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menyebutkan kejadian-kejadian di atas di
sela-sela komentarnya tentang praktik menjadikan kuburan sebagai masjid atau
arca yang disembah. Selanjutnya ia berkata, “Tidak termasuk dalam masalah ini
apa yang diriwayatkan bahwasanya ada kaum yang mendengar jawaban salam dari
kuburan Nabi Saw atau kuburan-kuburan lain dari orang-orang shalih dan
bahwasanya Sa’id ibnu Al Musayyib mendengar suara adzan dari kuburan Nabi Saw
pada malam-malam terjadinya penyerbuan tentara Yazid ke Madinah dan
sebagainya. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqim hlm 373).
Selanjutnya dalam
kesempatan lain Ibnu Taimiyyah berkata, “Demikian pula kejadian yang
disebutkan dari karomah dan hal-hal yang di luar kebiasaan yang terjadi di
kuburan para nabi dan orang-orang shalih seperti turunnya cahaya dan malaikat
di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang
untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para
nabi dan orang-orang shalih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang
menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka,
memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya
adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah benar
adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan kami tentang diharamkannya
menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang terjadi pada kuburan para nabi dan
orang-orang shalih dari kemuliaan dan rahmat Allah dan apa yang diperoleh di
sisi Allah dari kehormatan dan kemuliaan itu berada di atas anggapan banyak
orang. Namun kitab ini bukanlah tempat untuk menjelaskan hal itu secara
detail. (Iqtidlaau Al Shirath Al Mustaqim).
ADANYA SEBAGIAN KAROMAH DI ATAS UNTUK SELAIN PARA NABI
Para ulama telah meriwayatkan sedikit dari karomah-karomah yang telah
disampaikan di atas yang dialami oleh sebagian generasi al salaf al shalih
yang terjadi setelah mereka wafat. Karomah-karomah itu diriwayatkan oleh para
perawi yang kredibel dan dari para perawi yang kredibel juga yang menyaksikan
karomah-karomah itu dengan mata kepala mereka sendiri. Sebagian karomah ini
akan kami kutip di sini dari Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab. Dalam
kitabnya “Ahkaamu Tamanni Al Maut” beliau mengatakan dalam kumpulan
karya-karyanya yang disebarkan oleh Universitas Al Imam Muhammad ibnu Su’ud
sbb :
SHOLAT DI DALAM KUBUR
Hadits riwayat Ahmad dari ‘Affan dari Hammad
dari Tsabit bahwasanya ia berkata, “Ya Allah, jika Engkau memberikan
kesempatan seseorang untuk melaksanakan sholat dalam kuburannya maka berilah
aku kesempatan untuk melaksanakannya dalam kuburanku.”
Hadits riwayat Abu
Nu’aim dari Jubair ia berkata, “Saya – demi Allah yang tiada Tuhan melainkan
Dia – memasukkan Tsabit Al Bunani ke dalam liang lahatnya. Saya melakukannya
bersama Hamid Al Thawil. Ketika kami meratakan batu bata di atas kuburan,
sebuah batu bata jatuh. Ternyata saya melihat Tsabit sedang sholat di dalam
kuburannya.”
MEMBACA AL QUR’AN
Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Jarir dari Ibrahim
ibnu Al Muhallabi ia berkata, “Menceritakan kepadaku mereka yang melewati Al
Jash di waktu sahur, ”Jika kami melewati kuburan Tsabit Al Bunani maka kami
mendengar bacaan Al Qur’an.”
Hadits riwayat Al Turmudzi yang dinailainya
shahih dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian sahabat Nabi Saw mendirikan
kemah di atas kuburan. Ia tidak mengira bahwa lokasi itu adalah kuburan.
Tiba-tiba ia mendengar dari dalam kuburan seseorang yang membaca surat Al Mulk
sampai selesai. Lalu ia mendatangi Nabi dan menceritakan pengalaman yang
dialaminya. “Surat Al Mulk adalah penolak siksa kubur dan penyelamat yang
menyelamatkan mayit dari adzab kubur,” jawab beliau.
Hadits riwayat Al
Nasa’i dan Al Hakim dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Saya
tidur lalu bermimpi berada di sorga.” Redaksi Al Nasa’i berbunyi : - Saya
masuk ke dalam sorga -. Lalu saya mendengar seseorang membaca Al Qur’an.
“Siapakah orang yang membaca Al Qur’an ini? “tanyaku. Mereka menjawab,
“Haritsah ibnu Nu’man.” “Demikianlah kebajikan, Demikianlah kebajikan,
Demikianlah kebajikan,”ujar beliau Saw. Haritsah ibnu Nu’man adalah orang yang
paling berbakti pada ibunya.
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Al
Hasan, ia mengatakan, “Sampai kepadaku bahwa seorang mu’min jika ia mati dan
tidak mampu membaca Al Qur’an maka para malaikat hafadhah diperintahkan untuk
mengajarkan Al Qur’an kepadanya di dalam kuburan sehingga ia dibangkitkan
Allah di hari kiamat beserta orang-orang yang mampu membacanya.” Diriwayat
oleh Ibnu Abi Al Dunya dari Yazid Al Raqqasyi semisal hadits dari Al Hasan. Al
Silafi meriwayatkan kandungan hadits Al Hasan dari hadits-hadits mursal
‘Athiah Al ‘Aufi.
PENGHUNI KUBUR SALING MENGUNJUNGI
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Sirin, ia (Ibnu Abi Syaibah)
berkata, “Ibnu Sirin senang akan kafan yang baik.” “Para penghuni kubur itu
saling berkunjung dengan mengenakan kafan masing-masing,” jawab Ibnu Sirin.
Makna atsar ini juga terdapat dalam Musnad Ibnu Abi Syaibah dari Jabir dengan
status marfu’. Di dalamnya terdapat redaksi : “Mereka saling
membangga-banggakan dan saling berkunjung dalam kuburan mereka.”
Hadits
riwayat Muslim dari haditsnya sendiri sbb : “Jika salah seorang dari kalian
menangani jenazah saudaranya maka hendaklah membungkusnya dengan kafan yang
baik.”
Hadits riwayat Al Turmudzi, Ibnu Majah dan Muhammad ibnu Yahya Al
Hamdani dalam shahihnya dari Abi Qatadah dengan status marfu’ sbb : “Jika
salah seorang dari kalian menangani jenazah saudaranya maka hendaklah
membungkusnya dengan kafan yang baik. Karena mereka saling berkunjung di dalam
kuburan mereka”
RISALAH DARI DUNIA KE BARZAKH BERSAMA MAYIT
Ibnu Abi Al Dunya
meriwayatkan dengan sanad yang tidak perlu dipersoalkan dari Rasyid ibnu Sa’ad
bahwa isteri seorang lelaki meninggal dunia lalu lelaki itu melihat beberapa
wanita dalam mimpi. Tapi ia tidak melihat isterinya bersama mereka. Akhirnya
ia menyakan keberadaan isterinya kepada para wanita itu. “Kamu memberinya
kafan yang pendek. Ia malu untuk keluar bersama kita, “ jawab mereka. Kemudian
lelaki itu datang kepada Nabi dan mengabarkan mimpinya. “Perhatikan!, apakah
ada yang yang dapat dipercaya yang bisa memberi solusi?” ujar beliau. Lalu
lelaki ini mendatangi seorang laki-laki dari golongan Anshar yang akan
dijemput ajal. Ia mengabarkan peristiwa yang dialami kepadanya. “Jika
seseorang bisa menyampaikan sesuatu kepada orang-orang yang telah mati makja
saya akan menyampaikannya, “jawab laki-laki dari golongan Anshar ini. Kemudian
laki-laki Anshar ini meninggal dunia dan suami wanita yang telah meninggal itu
datang dengan membawa dua pakian yang diberi parfum za’faran. Ia meletakkan
kedua pakaian itu dalam kafan laki-laki Anshar. Ketika malam tiba suami wanita
itu bermimpi melihat para wanita yang di dalamnya ada juga isterinya yang
mengenakan dua pakaian berwarna kuning.
Ibnu Al Jauzi meriwayatkan dari
Muhammad ibnu Yusuf Al Firyabi kisah seorang perempuan yang bermimpi melihat
ibunya mengadukan kain kafan kepadanya. Lalu keluarga perempuan itu
menceritakan hal ini kepada Muhammad dan meminta solusi kepadanya. Dalam kisah
ini diceritakan sbb : Bahwa Ibu dari perempuan itu berkata, “Belilah kafan
untukku dan kirimkan beserta fulanah.” Al Firyabi berkata, “Lalu saya
menyebutkan sebuah hadits bahwasanya para penghuni kubur saling berkunjung
dengan mengenakan kain kafan mereka. Kemudian saya berkata, “Belilah kafan
untuk Ibu!” Perempuan yang bermimpi itu akhirnya mati pada hari yang telah
saya sebutkan dan keluarganya meletakkan kain kafan bersama jenazahnya.
CAHAYA DI ATAS KUBURAN
Hadits riwayat Ibnu Abi Al Dunya dari Abi
Ghalib – sahabat Abu Umamah – bahwasanya seorang pemuda di Syam hendak
dijemput ajal. Ia bertanya kepada pamannya, “Bagaimana menurutmu jika Allah
menyerahkan diriku kepada Ibuku. Apa yang akan dia lakukan padaku?” “Jika
demikian, demi Allah Ibumu akan memasukkanmu ke dalam sorga. “Demi Allah,
Allah lebih sayang kepadaku melebihi Ibuku, “ lanjut sang pemuda. Akhirnya
pemuda itu meninggal dunia. Lalu Ibunya beserta pamannya masuk ke dalam kubur.
“Dengan batu bata mentah,” kata kami. Lalu kami meratakan batu bata itu di
atas kuburannya. Tiba-tiba sebuah batu bata jatuh. Sang paman lalu melompat
dan mundur. “Apa yang terjadi, “ tanyaku. “Kuburannya dipenuhi cahaya dan
dilapangkan sejauh pandangan matanya,” jawab sang paman.
Hadits dari Abi
Dawud dan perawi lain dari ‘Aisyah, ia berkata, “Ketika Najasyi wafat kami
bercakap-cakap bahwa dari dalam kuburnya senantiasa terlihat cahaya.
Dalam Tarikh Ibnu Asakir dari Abdurrahman ibnu ‘Umarah, ia berkata,
“Saya menyaksikan jenazah Al Ahnaf ibnu Al Qais. Saya adalah salah satu orang
yang turun masuk dalam kuburannya. Ketika kuburan itu kami ratakan, saya
melihat kuburan itu dilapangkan sejauh mata memandang. Saya menceritakan
hal ini kepada para sahabat namun mereka tidak melihat apa yang telah saya
lihat.
Dari Ibrahim Al Hanafi, ia berkata, “Saat Mahan Al Hanafi
disalib di atas pintu rumahnya, kami melihat cahaya di dekat pintu itu di
waktu malam.”
Coba dilihat kitab Ahkaamu Tamannil Maut yang telah
dikoreksi sesuai naskah fotokopi 771/86 di Al Maktabah Al Su’udiyyah
(perpustakaan Su’ud) di Riyadl kajian dari Al Syaihk Abdirrahman Al Sadhan dan
Al Syaikh Abdullah Al Jabrin, dalam bagian fiqih nomor dua.
Pada bagian
awal buku koleksi, orang-orang menyebut pengesahan naskah dan pembenaran bahwa
karangan itu benar milik Al Syaikh. Universitas Al Imam Muhammad ibnu
Su’ud di Riyadl denga menyebarkan buku koleksi ini secara lengkap
setelah dilakukan penelitian terlebih dahulu di bawah pengawasan Universitas
dalam pekan Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab.
لاتشد الرحال
JANGAN MEMASANG PELANA
Banyak orang keliru dalam memahami hadits :
“Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid ; al masjid al
haram, masjidku ini, dan al masjid al aqsha.”
Mereka menjadikan hadits
ini sebagai dalil atas diharamkannya memasang pelana untuk berziarah kepada
Nabi Saw dan menilai bahwa bepergian dengan tujuan berziarah kepada nabi
sebagai tindakan maksiat. Argumentasi ini ditolak karena dibangun di atas
persepsi yang salah. Hadits ini sebagaimana yang Anda lihat berada dalam
konteks yang berbeda dengan argumentasi ini.
Penjelasannya adalah sbb :
“Bahwasanya sabda Nabi Saw, “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke
tiga masjid,” menggunakan pola bahasa yang dikenal oleh para ahli bahasa
sebagai pola pengecualian. Hal ini otomatis mengharuskan adanya yang
dikecualikan dan yang mendapat pengecualian. Yang dikecualikan adalah kalimat
yang jatuh setelah Illaa sedang yang mendapat pengecualian adalah kalimat
sebelum Illaa. Kedua hal ini harus ada. Baik secara konkret atau rekaan.
Keharusan adanya yang dikecualikan dan yang mendapat pengecualian adalah hal
yang telah ditetapkan dan dikenal dalam literatur-literatur nahwu yang paling
sederhana pun.
Jika kita memperhatikan hadits ini kita akan menemukan
bahwa hadits ini menyebut dengan jelas adanya obyek yang dikecualikan yaitu
“Ilaa Tsalatsati Masaajid” (menuju tiga masjid) yang jatuh setelah illa namun
tidak menyebut obyek yang mendapt pengecualian yaitu jatuh sebelum illa. Tidak
disebutkannya obyek yang mendapat pengecualian ini berarti ia harus diandaikan
keberadaannya.
Jika kita mengandaikan bahwa obyek yang mendapat
pengecualian adalah Qabrun (kuburan) maka ungkapan yang dinisbnatkan kepada
Rasulullah berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati
Masaajid” (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat
hendak ke tiga masjid). Rangkaian kalimat semacam ini jelas tidak serasi dan
tidak pantas dengan balaghah nabawiyyah (retorika kenabian). Karena obyek yang
dikecualikan tidak sejenis dengan obyek yang mendapat pengecualian, padahal
yang asal obyek yang dikecualikan harus sejenis dengan obyek yang mendapat
pengecualiaan. Tidaklah akan merasa tenang hati cendekiawan yang merasa
berdosa dari tindakan menisbatkan ungkapan kepada sabda Nabi Saw, yang tidak
pernah beliau ucapkan, dengan menisbatkan kalimati qabrin yang tidak relevan
dengan yang asal dalam pola pengecualian, kepada beliau. Kalimat qabrin tidak
pantas menjadi obyek yang mendapat pengecualian. Kita coba andaikan kalau
kalimat yang menjadi obyek yang mendapat pengecualian adalah kalimat makaan
(tempat). Selanjutnya ungkapan beliau menjadi berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal
ilaa Makaanin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid” (Jangan dipasang pelana
ketika hendak menuju ke tempat kecuali saat hendak ke tiga masjid).
Pengandaian ini berarti mengandung pengertian “janganlah engkau bepergian
dengan tujuan berdagang, mencari ilmu atau meraih kebaikan…..”. Pengertian ini
sejenis kegilaan yang pasti salah.
Hadits di atas memuat obyek yang
dikecualikan namun tidak mengandung obyek yang mendapat pengecualian. Karena
itu obyek yang mendapt pengecualian harus diandaikan sesuai konsensus pakar
bahasa. Pengandaiannya sendiri tidak lebih dari tiga kemungkinan saja.
Pertama, dengan mengandaikan kalimat qabr yang kemudian mengandung
pengertian “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Qabrin Illaa ilaa Tsalatsati Masaajid”
(Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke kuburan kecuali saat hendak ke
tiga masjid).
Pengandaian ini didasarkan atas pandangan orang menggunakan
hadits sebagai argumen larangan bepergian dengan tujuan berziarah. Anda lihat
sendiri bahwa pengandaian semacam ini adalah pengandaian lemah yang harus
dibuang dan tidak ditoleransi oleh orang yang memiliki pengetahuan
paling rendah tentang bahasa Arab. Pengandaian ini tidak pantas dialamatkan
kepada sosok paling fasih dalam melafalkan huruf dlodl. Maka sungguh mustahil
orang sekaliber beliau Saw sepakat dengan gaya bahasa yang rendah ini.
Kedua, pengandaian obyek yang mendapat pengecualian dalam hadits
menggunakan kalimat yang umum yaitu makaan (tempat). Pengandaian ini
sebagaimana diuraikan dimuka adalah pengandaian yang disepakati salah dan
tidak ada yang menggunakan pengandaian ini.
Ketiga, obyek yang mendapat
pengecualian dalam hadits diandaikan dengan kalimat masjid yang kemudian
rangkaian kalimatnya berbunyi “Laa Tusyaddu Al Rihaal ilaa Masjidin Illaa ilaa
Tsalatsati Masaajid” (Jangan dipasang pelana ketika hendak menuju ke masjid
kecuali saat hendak ke tiga masjid). Kita lihat bahwa ungkapan ini telah
selaras dan berjalan sesuai dengan gaya bahasa fasih dan kerancuan arti dari
dua bentuk pengandaian lain telah tersingkirkan. Cahaya kenabian juga terlihat
dalam ungkapan ketiga ini dan hati orang yang bertakwa merasa tentram
menisbatkan pengandaian ini kepada Rasulullah Saw. Dipilihnya bentuk
pengandaian ketiga ini jika dipastikan tidak ditemukan riwayat lain yang
menjelaskan obyek yang mendapat pengecualian. Namun jika riwayat lain ini
ditemukan maka haram bagi orang yang beragama Islam untuk berpindah dari
riwayat ini dengan memilih pengandaian semata yang tidak memiliki pijakan pada
bahasa yang fasih.
Alhamdulillah, kami telah menemukan dalam Assunnah
Annabawiyyah dari jalur riwayat yang mu’tabar hadits yang menjelaskan obyek
yang mendapat pengecualian. Di antaranya adalah riwayat Al Imam Ahmad dari
jalur Syahr ibnu Hausab, ia berkata, “Tidak selayaknya unta tunggangan
dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan sholat
selain al masjid al haram, al masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Menurut
Al Hafid Ibnu Hajar Syahr adalah perawi yang baik haditnya (hasanul hadits)
meskipun memiliki sebagian kelemahan. (Fathul Baari vol III hlm 65).
Dalam riwayat lain redaksinya berbunyi : “Tidak selayaknya unta
tunggangan dipasang pelananya menuju masjid yang didalamnya hendak dikerjakan
sholat selain masjid al aqsha dan masjidku ini.”
Al Hafidh Al Haitsami
mengatakan bahwa dalam sand hadits ini terdapat Syahr yang mendapat komentar
pakar hadits dan status haditnya baik (hasan). (Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm
3).
Di antaranya lagi adalah hadits yang bersumber dari ‘Aisyah, ia
berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Saya adalah pamungkas para nabi dan
masjidku adalah pamungkas masjid-masjid para nabi. Masjid yang paling berhak
diziarahi dan dipasang pelana untuk menuju kepadanya adalah al masjid al haram
dan masjidku. Melaksanakan sholat di masjidku lebih utama daripada seribu kali
sholat yang dilakukan di masjid-masjid lain selain al masjid al haram.” HR Al
Bazzaar (Majma’u Al Zawaaid vol IV hlm 3).
Statemen beliau Saw mengenai
masjid-masjid itu untuk menjelaskan kepada ummat bahwa masjid-masjid di luar
tiga masjid ini setara dalam keutamaan. Maka tidak ada gunanya bersusah payah
pergi ke selain tiga masjid ini. Adapun tiga masjid ini maka ia memiliki
keutamaan yang lebih. Kuburan-kuburan tidak masuk dalam hadits ini. Memasukkan
kuburan ke dalam hadits ini dikategorikan sebagai bentuk kebohongan terhadap
Rasulullah. Fakta ini perlu diperhatikan meskipun ziarah kubur itu sebuah
anjuran. Malah banyak ulama yang menyebutkannya dalam kitab-kitab manasik
dengan dikategorikan sebagai hal-hal yang disunnahkan. Kategori sunnah ini
diperkuat oleh banyak hadits yang diantaranya kami sebutkan di bawah ini :
- Dari Ibnu ‘Umar Ra dari Nabi Saw, beliau berkata,
“Siapa yang menziarahi kuburanku maka ia wajib mendapat syafa’atku.” Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar. Dalam sanda hadits ini ada ‘Abdullah ibnu
Ibrahim al Ghifari yang statusnya lemah. Ibnu Taimiyyah juga mengutip hadits
ini dan menyatakan statusnya adalah dlo’if. Ia tidak memvonis hadits ini
sebagai hadits palsu atau bohong. (Al Fatawaa vol XXVII hlm 30) di tempat ini.
Jika di tempat lain ada penilaian yang berbeda dari Ibnu Taimiyyah berarti ia
merasa ragu untuk menetapkan status hadits ini atau penilaiannya berubah dan
kita tidak mengetahui manakah penilaian yang dahulu dan yang terakhir. Jika
memang demikian berarti salah satunya tidak bisa dijadikan acuan.
-
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang
datang semata-mata untuk berziarah kepadaku, tidak ada maksud lain, maka wajib
bagiku untuk memberi syafaat kepadanya di hari kiamat.” HR Al Thabarani dalam
Al Awsath dan Al Kabir. Dalam sanad hadits ini terdapat Maslamah ibnu Salim
yang statusnya lemah. (Majma’u Al Zawaaid vol I hlm. 265).
Al Hafidh Al
‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini dikategorikan shahih oleh Ibnu Al Sakkan.
(Al Mughni vol I hlm 265).
- Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi
Saw, beliau bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan haji lalu berziarah ke
kuburanku pada saat aku telah wafat maka ia seperti orang yang berziarah
kepadaku saat aku masih hidup.” HR Al Thabarani dalam Al Kabir dan Al Awsath.
Dalam sanad hadits ini terdapat Hafsh ibnu Abi Dawud Al Qari’ yang dinilai
kredibel oleh Ahmad namun dianggap lemah oleh sekelompok para imam.
- Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw
bersabda, “Barangsiapa menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka ia seperti
orang yang berziarah kepadaku saat aku masih hidup.” Al Haitsami berkata,
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al Turmudzi dalam Al Shaghir dan Al Awsath. Di
dalam sanadnya terdapat ‘Aisyah binti Yunus. Saya tidak menemukan orang yang
menulis biografi Yunus.” Demikian dikutip dari Majma’ Al Zawaaid vol IV hlm 2.
Walhasil, bahwasanya hadits-hadits yang menjelaskan berziarah ke kuburan
Nabi Saw memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagian menguatkan sebagian
yang lain sebagaimana dikutip oleh Al Munawi dari Al Hafidh Adz Dzahabi dalam
Faidl Al Qadir vol VI hlm 140 secara khusus, dan bahwa sebagian ulama telah
menilai shahih hadits-hadits tersebut atau mengutip penilaian shahihnya
seperti Al Subki, Ibnu Al Sakkan, Al ‘Iraqi, Al Qadli ‘Iyadl dalam Al Syifaa,
Al Mula ‘Ali Al Qari dalam syarh Al Syifaa dan Al Khafaji juga dalam syarh Al
Syifaa pada Nasiim Al Ryadli vol III hlm 511. Semua nama yang telah disebutkan
ini adalah para huffadhul hadits dan aimmah yang dijadikan acuan. Cukuplah
bahwa para imam empat dan para ulama besar yang menjadi pilar agama telah
menyatakan disyari’atkannya ziarah kepada Nabi Saw sebagaimana dikutip oleh
murid-murid mereka dalam literatur-literatur fiqh mereka yang dijadikan acuan.
Kesepakatan para imam dan para ulama besar ini cukup untuk menilai shahih dan
menerima hadits-hadits yang menjelaskan ziarah. Karena hadits dlo’if bisa
menjadi kuat dengan praktik dan fatwa sebagaimana dikenal dalam kaidah-kaidah
pakar ushul fiqih dan pakar hadits.
ZIARAH KUBUR ADALAH ZIARAH KE MASJID DALAM PENILAIAN AL SAYIKH IBNU
TAIMIYYAH
Ibnu Taimiyyah memiliki pandangan yang elok yang terdapat di
sela-sela pembicaraanya tentang ziarah. Sesudah berbicara bahwa memasang
pelana untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw semata bukan masjid sebagai
tindakan bid’ah, ia kembali berkata :
Orang yang menentang ini dan yang
sependapat dengannya menjadikan bepergian menuju kuburan para nabi sebagai
bentuk ibadah. Selanjutnya setelah mereka mengetahui pendapat ulama menyangkut
disunnahkannya berziarah ke kuburan Nabi Saw, maka mereka mengira bahwa
kuburan-kuburan lain pun bisa dijadikan tujuan berpergian sebagaimana kuburan
beliau Saw. Akhirnya mereka sesat ditinjau dari beberapa aspek di bawah ini :
Pertama, bahwa pergi ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah pergi ke
masjid beliau yang status hukumnya sunnah berdasarkan nash dan ijma’.
Kedua, pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke masjid pada saat
beliau masih hidup dan sesudah dikubur serta sebelum dan sesudah kamar masuk
dalam bagian masjid. Berarti pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke
masjid baik di situ ada kuburan atau tidak. Maka bepergian ke kuburan yang
tidak ada masjidnya tidak bisa disamakan dengan bepergian ke kuburan Nabi Saw.
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Keenam : “Bepergian menuju
masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau
– adalah konsensus ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk
berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip
dari para sahabat, bahkan dari atba’u attabi’in.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah
berkata, “Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin tidak henti-hentinya pergi
menuju masjid Nabi Saw dan tidak pergi ke kuburan para nabi seperti kuburan
Nabi Musa dan Nabi Ibrahim Al Khalil. Tidak ada informasi dari salah seorang
sahabat bahwa ia bepergian ke kuburan Nabi Ibrahim meskipun mereka seringkali
pergi ke Syam dan Baitul Maqdis. Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid
Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah ke kuburan beliau,
sama dengan pergi ke kuburan para nabi?”
Dari pandangan Ibnu Taimiyyah di
muka bisa ditarik sebuah faidah penting. Yaitu bahwa selamanya tidak
terbayangkan bahwa orang yang berziarah akan memasang pelananya semata-mata
untuk berziarah kubur lalu tidak masuk masjid dan melaksanakan sholat di
dalamnya untuk mendapatkan keberkahan, pelipatgandaan pahala sholatnya dan Al
Raudlah Al Syarifah yang ada di dalamnya. Sebaliknya selamanya tidak logis
jika orang yang berziarah memasang pelananya semata-mata untuk ziarah ke
masjid kemudian tidak melakukan ziarah dan berhenti di kuburan mulia untuk
memberi salam kepada Nabi dan dua sahabat beliau Ra.
Karena itu Anda
akan melihat Ibnu Taimiyyah dalam statemennya mengisyaratkan akan hal ini
dengan ucapannya :
- “Maka bagaimana mungkin pergi ke
masjid Rasulullah Saw yang disebut sebagian orang dengan ziarah?”
-
“Pergi ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah pergi ke masjid beliau.”
-
“Bepergian menuju masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk
berziarah kepada kuburan beliau – adalah konsensus ulama”
Pandangan Ibnu
Taimiyyah yang elok ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah
kita, umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan
mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim
pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taimiyyah, imamussalaf pada
masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta
berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat
dari masuk neraka dan beruntung masuk sorga tempat tinggal abadi.
Berprasangka positif kepada ummat Islam adalah sikap yang benar yang
kita patuh kepada Allah dengan bersikap seperti ini dan meyakini kebenarannya
dengan sepenuh hati. Baik kita mengungkapkan hal ini secara transparan atau
tidak. Apabila seseorang dari kita mengatakan, “Saya hendak pergi untuk ziarah
kepada Nabi Saw atau kuburan beliau,” maka pada dasarnya ia hendak berziarah
ke masjid yang mulia. Seandainya ia mengatakan, “Saya pergi untuk berziarah ke
masjid,” maka pada dasarnya ia berziarah ke kubur. Dalam masalah ini, paling
jauh ia tidak sempat menyatakan dengan terbuka apa yang menjadi tujuannya dan
yang diniatkannya karena ada relasi kuat antara masjid dengan kuburan yang
sejatinya adalah simbol yang mengarah kepada sosok Nabi Saw. Karena orang yang
pergi untuk berziarah ke kuburan Nabi Saw sejatinya adalah berziarah kepada
Nabi Saw sendiri.
Adapun sosok kuburan itu sendiri maka ia bukan tempat
yang menjadi tujuan musafir/orang yang bepergian. Kami hanyalah menghadap
Nabi, memasang pelana kami untuk berziarah kepada beliau dan mendekatkan diri
kepada Allah dengan ziarah tersebut. Karena itu kewajiban bagi ummat Islam
yang berziarah adalah menyusun ungkapan-ungkapan yang tepat untuk menjauhi
syubhat dan mengatakan, “Kami berziarah kepada Rasulullah dan memasang pelana
kami untuk mendatangai beliau Saw.” Karena kewajiban ini, Imam Malik berkata,
“Saya anggap makruh seseorang yang berkata, “Saya berziarah ke kuburan
Rasulullah Saw.”
Para ulama dari kalangan aimmah Malikiyyah
menginterpretasikan pendapat Imam Malik bahwa pendapat beliau adalah bagian
dari sopan santun dalam menggunakan ungkapan verbal. Seandainya orang yang
bepergian untuk ziarah kubur tidak punya niat kecuali hanya ziarah kubur
semata maka engkau tidak akan melihat situasi berdesak-desakkan yang parah di
Al Raudlah Al Syarifah ini dan engkau tidak akan melihat orang-orang saling
berebut dan saling mendorong ketika pintu-pintu masjid nabawi dibuka, hingga
mereka nyaris saling membunuh. Mereka yang bersemangat melaksanakan sholat di
masjid Nabawi dan berebutan menuju Al Raudlah Al Syarifah adalah merka yang
datang dalam rangka ziarah Nabi Muhammad ibnu ‘Abdillah Saw dan memasang
pelana mereka hendak menuju beliau Saw.
KAJIAN MENDALAM YANG BERFAIDAH
Kajian mendalam Al ‘Allamah Al
Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim Pengarang Takmilatu Adlwaai Al Bayaan
Al
Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, Qadli di Madinah Munawwarah telah menyebutkan
persoalan ziarah kuburan Nabi di atas dalam kitabnya yang merupakan
penyempurna kitab tafsir populer bernama Adlwaau Al Bayaan karya mufassir Al
Syaikh Muhammad Al Amin Al Syinqithi, ia berkata :
“Saya yakin bahwa
persoalan ini (ziarah kuburan Nabi Saw) jika tidak ada perselisihan
orang-orang yang sezaman dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengannya Syaikh
sendiri dalam persoalan lain, niscaya persoalan ini tidak memiliki tempat dan
konteks. Tetapi mereka mendapatkan bahwa persoalan ini adalah persoalan yang
sensitif dan menyentuh emosi serta rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Akhirnya
mereka menggelorakan persoalan ini dan memvonis Syaikh dengan kepastian
perkataannya saat ia berkata :
“Pemasangan pelana itu bukan
semata-mata untuk tujuan ziarah. Tapi bertujuan ke masjid dalam rangka
berziarah, sebab mempraktikkan teks hadits. Akhirnya mereka mengatakan apa
yang jelas-jelas tidak pernah dikatakan Ibnu Taimiyyah, sebagai perkataannya.
Jika ucapan Ibnu Taimiyyah dipahami sebagai peniadaan sebagai ganti pelarangan
niscaya hal ini sesuai. Maksudnya ziarah ke kuburan Nabi tanpa mengunjungi
masjid adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Sebab Syaikh sendiri tidak
pernah melarang ziarah dan memberi salam kepada beliau. Bahkan beliau
mengkategorikannya sebagai keutamaan dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Allah. Ibnu Taimiyyah hanyalah konsisten dengan teks hadits dalam hal memasang
pelana menuju masjid dan hal-hal apa saja yang di antaranya adalah memberi
salam kepada beliau, sebagaimana ia jelaskan dalam kitab-kitabnya.”
Demikian ucapan Al Syaikh ‘Athiyyah dalam Adlwaau Al Bayaan vol VIII hlm
586).
Selanjutnya Syaikh ‘Athiyyah mengutip dari tulisan-tulisan Ibnu
Taimiiyyah statemen yang kami kutip darinya. Lalu ia berkata :
“Statemen
Ibnu Taimiyyah mengindikasikan bahwa ziarah ke kuburan Nabi Saw dan
mengerjakan sholat di masjid beliau adalah dua hal yang saling berkaitan.
Siapapun yang mengklaim keduanya terpisah dalam praktik maka ia telah
menentang fakta. Jika terbukti ada keterkaitan antara keduanya maka lenyaplah
perselisihan dan sirna faktor penyebab persengketaan. Walhamdulillahi Rabbil
‘Alamin.
Di tempat lain halaman 346 pada pembahasan mengqashar sholat
dalam perjalanan dalam rangka ziarah ke kuburan orang-orang sholih, Syaikh
‘Athiyyah menjelaskan empat pendapat dari murid-murid Ahmad : Yang ketiga,
sholat dapat diqashar dalam perjalanan ziarah ke kuburan Nabi kita Saw.
Adlwaa’u Al Bayaan vol VIII hlm 590. Selanjutnya Syaikh ‘Athiyyah berkata,
“Statemen Ibnu Taimiyyah ini adalah ungkapan yang telah mencapai batas dalam
kejelasan darinya bahwa antara ziarah kuburan Nabi dan sholat di masjid beliau
tidak bisa dipisahkan di mata para ulama.”
Menyangkut orang bodoh,
Syaikh ‘Athiyyah menyatakan, “Adapun orang yang tidak mengetahui keterkaitan
ini maka ia terkadang tidak punya tujuan kecuali pergi ke kuburan. Kemudian ia
pasti melaksanakan sholat di masjid Nabi yang akhirnya ia mendapat pahala
karenanya. Larangan yang ia kerjakan namun ia tidak mengetahui bahwa hal itu
dilarang membuatnya tidak berhak disiksa. Berarti ia memperoleh pahala dan
tidak mendapat dosa.” Adlwaa’u Al Bayaan vol VIII hlm 590.
Dari statemen
Syaikh ‘Athiyyah menjadi jelas bagi Anda bahwa orang menuju kuburan dalam
kondisi apapun tidak terhalang untuk mendapat pahala. Maka apakah bisa
dikatakan kepadanya bahwa ia berbuat bid’ah, sesat atau musyrik? Subhaanaka
Hadza Buhtaanun ‘Adhim.
PANDANGAN AL IMAM AL HAFIDH AL DZAHABI MENYANGKUT MEMASANG PELANA UNTUK
ZIARAH NABI SAW
Dari Hasan ibu Hasan ibnu ‘Ali bahwasanya ia melihat
seorang lelaki berdiri di dalam rumah yang terdapat kuburan Nabi Saw seraya
berdo’a dan mendo’akan sholawat untuk beliau. Lalu Hasan berkata kepadanya,
“Jangan kau lakukan ini, karena Rasulullah telah bersabda, “Jangan jadikan
rumahku sebagai perayaan, jangan jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan
dan sampaikan sholawat kepadaku di manapun kalian berada. Karena sholawat
kalian disampaikan kepadaku.”
Status hadits di atas adalah mursal dan
Hasan sendiri dalam fatwanya tidak berargumentasi dengan dalil yang
berarti. Siapa pun yang berdiri dekat Al Hujrah Al Muqaddasah (kamar yang
suci) dengan rendah hati seraya memberi salam serta mendoakan shalawat kepada
Nabi Saw – oh, betapa beruntungnya ia – maka ia telah berziarah dengan baik
dan menunjukkan rasa rendah diri serta rasa cinta yang indah. Ia telah
melakukan ibadah melebihi orang yang mendo’akan sholawat kepada beliau di
tanah ia berpijak atau pada saat sholat. Karena orang yang melakukan ziarah ke
kuburan Nabi Saw akan mendapat pahala berziarah dan pahala mendo’akan sholawat
kepada beliau. Sedang orang yang mendo’akan sholawat kepada beliau di tempat
lain hanya mendapat pahala bersholawat saja. Barangsiapa yang mendoakan
shalawat kepada beliau satu kali maka Allah akan membalas sepuluh kali
sholawat. Tetapi orang yang berziarah ke kuburan Nabi Saw dengan mengabaikan
etika ziarah, bersujud pada kuburan atau melakukan tindakan yang tidak
disyari’atkan maka ia telah melakukan perbuatan yang baik dan buruk di mana ia
harus diberi pengertian dengan arif karena Allah Adalah Dzat Yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang. Demi Allah, kegelisahan, teriakan
histeris, menciumi tembok dan banyaknya tangisan yang dialami dan
dilakukan seorang muslim tidak lain karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Rasa cintanya ini adalah tolol ukur dan garis batas antara penghuni sorga dan
neraka. Berziarah ke kuburan Nabi Saw adalah salah satu ibadah untuk paling
utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedang memasang pelana hendak
pergi ke kuburan para nabi dan para wali jika kita mengakui bahwa hal itu
tidak diperintahkan berdasarkan sifat umum dari sabda beliau Saw, “Jangan
dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid,” maka memasang pelana
hendak pergi ke kuburan Nabi Saw otomatis berarti memasang pelana untuk pergi
ke masjid beliau Saw , di mana semua sepakat bulat bahwa hal ini adalah
tindakan yang disyari’atkan. Karena tidak mungkin sampai ke kamar beliau
kecuali setelah masuk ke dalam masjid. Ketika masuk masuk, hendaklah
yang dilakukan pertama kali adalah shalat tahiyyatul masjid lalu menghormati
pemiliknya. Semoga Allah menganugerahkan kita dan kalian ziarah ke kuburan
nabi Saw setelah mengunjungi masjid. Amin, Siyaru A’lami Al Nubalaai vol IV
hlm 348 – 385.
AL IMAM MALIK DAN ZIARAH
Al Imam Malik adalah salah satu figur yang
sangat kuat dalam menghormati aspek kenabian. Dia lah sosok yang tidak
berjalan di Madinah Munawwarah dengan memakai sandal dan naik kendaraan serta
tidak membuang kotorannya di kota tersebut semata-mata memuliakan, menghormati
dan menghargai tanah Madinah yang Rasulullah pernah berjalan di atasnya.
Simaklah ucapannya dalam masalah ini terhadap amirul mu’minin Al Mahdi ketika
datang di Madinah. “Engkau kini sedang memasuki kota Madinah. Engkau akan
berjalan bertemu dengan penduduk dari arah kanan dan kirimu. Mereka adalah
anak cucu sahabat muhajirin dan anshar. Berilah salam kepada mereka. Karena di
muka bumi ini tidak ada bangsa yang lebih baik dari pada penduduk Madinah dan
tidak ada daerah yang lebih baik melebihi Madinah.” “Dari mana engkau sampai
berpendapat demikian, wahai Aba ‘Abdillah? “ tanya amirul mu’minin. “Karena di
muka bumi ini sekarang tidak ada kuburan nabi yang diketahui selaian kuburan
Nabi Saw. Dan masyarakat yang kuburan beliau berada didekatnya maka selayaknya
keutamaan mereka diketahui,” jawab Al Imam Malik. (Al Madaarik, karya Al Qadli
‘Iyadl)
Salah satu indikasi kuatnya penghargaan Al Imam Malik terhadap
Madinah, ia tidak suka jika diucapkan : Kami ziarah ke kuburan Nabi Saw.
Karena Al Imam Malik seakan-akan menghendaki agar orang mengatakan : “Kami
berziarah kepada Nabi secara langsung”, tanpa embel-embel kalimat kuburan.
Sebab kuburan itu tempat yang ditelantarkan dengan bukti sabda Nabi Saw,
“Shalatlah di rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah kalian seperti
kuburan.”
Al Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al Imam Malik tidak suka
mengatakan ungkapan “kami ziarah ke kuburan Nab Saw” semata-mata pertimbangan
etika bukan tidak suka kepada aktivitas ziarah itu sendiri. Karena ziarah
kubur itu salah satu amal yang paling utama dan ibadah yang paling agung untuk
mengantar menuju ridlo Allah Yang Maha Agung. Dan disyari’atkannya ziarah
kubur sudah ditetapakan sebagai ijma’, tidak ada perselisihan pendapat dalam
hal ini. (Fathul Baari, syarhu Shahih Al Bukhari vol III hlm 66).
Al Imam
Al Hafidh Ibnu ‘Abdi Al Barr menyatakan bahwa Al Imam Malik tidak suka ucapan
”keliling berziarah” dan “kami ziarah ke kuburan Nabi” karena masyarakat
menggunakan kedua ungkapan ini jika berhubungan dengan sesama mereka. Maka Al
Imam Malik tidak mau menyamakan Nabi dengan dengan masyarakat umum dengan
ungkapan ini dan ingin mengkhususkan nabi dengan ungkapan “Kami sampaikan
salam kepada Nabi Saw”.
Di samping itu ziarah kubur sesama manusia
hukumnya mubah dan wajib memberangkatkan kendaraan menuju kuburan Rasulullah.
Al Imam Malik mengatakan wajib ini dalam arti wajib yang bersifat anjuran,
dorongan dan tekanan bukan wajib dalam arti fardlu. Di mata saya, penolakan
dan ketidaksukaan Al Imam Malik terhadap ungkapan “kami ziarah ke kuburan Nabi
Saw” adalah karena ada kalimat kuburan Nabi Saw dan seandainya yang digunakan
adalah ungkapan “kami ziarah ke Nabi Saw” niscaya beliau menerima berdasarkan
hadits beliau Saw :”Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku arca yang
disembah sesudah wafatku. Allah sangat murka kepada kaum yang menjadikan
kuburan para nabi mereka sebagai masjid.”
Al Imam Malik menghindarkan
penyandaran kalimat zurna “kami ziarah” ke kalimat al qabru “kuburan”
sekaligus menghindari keserupaan dengan tindakan mereka yang menjadikan
kuburan sebagai masjid, dengan tujuan menutup akses terjadinya hal-hal yang
diharamkan.
Menurut saya jika yang dimaksud adalah ketidaksenangan Al
Imam Malik terhadap ziarah ke kuburan Nabi niscaya beliau akan mengatakan :
“Saya tidak suka seorang lelaki ziarah ke kuburan Nabi Saw.” Namun ucapan
beliau : “Saya tidak suka seorang lelaki mengatakan, “Kami akan ziarah ke
kuburan Nabi Saw”, dhahirnya menunjukkan bahwa beliau tidak menyukai ungkapan
tersebut .
KESUNNAHAN ZIARAH NABI VERSI ULAMA PENGIKUT AHMAD IBNU HANBAL (HANABILAH)
DAN YANG LAIN
Ziarah Nabi Saw adalah hal yang disyari’atkan. Hal ini telah disebutkan
oleh banyak ulama dan para imam salaf. Penyebutan Hanabilah secara spesifik di
atas maksudnya adalah untuk membantah kebohongan orang yang mengatakan bahwa
para imam Hanabilah tidak mengatakan disyari’atkannya ziarah Nabi Saw. Karena
alasan demikian, maka Hanabilah disebut secara spesifika untuk membantah
kebohongan tersebut. Jika bukan karena alasan ini, maka semua literatur fiqh
madzhab-madzab dalam Islam sarat dengan muatan masalah ini. Jika mau,
tengoklah literatur fiqh Al Hanafi, Al Maliki, Al Syafi’i, Al Hanbali, Al
Zaidiyyah, Al Abadli, dan Al Ja’far, maka Anda akan menemukan para ulama telah
membuat bab khusus mengenai ziarah Nabi setelah bab-bab tentang Al
Manaasik.
STATEMEN PARA IMAM SALAF MENYANGKUT DISYARI’ATKANNYA ZIARAH KE SAYYIDINA
RASULULLAH DAN MEMBERANGKATKAN KENDARAAN PERGI MENUJU KUBURAN BELIAU
1) Al Qadli ‘Iyadl
Di sini kami menyebutkan
statemen Al Qadli ‘Iyadl menyangkut disyari’atkannya ziarah nabawiyyah versi
generasi salaf dalam komentarnya terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya ketika awal
kemunculannya Islam dipandang aneh dan kelak akan dipandang aneh lagi
sebagaimana waktu awal kemunculannya. Islam berlindung di antara dua masjid
sebagaimana seekor ular berlindung di liangnya.” Dalam riwayat Abu Hurairah
redaksinya berbunyi, “Laya’rizu ila al Madiinati (Sungguh Islam berlindung ke
Madinah) ………dst.”
Dalam versi Al Qadli ‘Iyadl ungkapan Laya’rizu ila al
Madiinati, artinya adalah keimanan pada masa awal dan akhir bersifat demikian.
Karena pada masa awal Islam setiap orang yang tulus keislamannya dan sahih
keimanannya datang ke Madinah baik sebagai imigran yang tinggal menetap atau
karena sangat rindu melihat Rasulullah untuk belajar dan dekat dengan beliau.
Selanjutnya setelah beliau mangkat, pada zaman para khalifah, orang muslim
yang tulus dan memiliki iman yang sahih juga datang ke Madinah untuk belajar,
menyerap perilaku adil dari para khalifah dan meneladani mayoritas sahabat
yang tinggal di Madinah. Kemudian pasca era para khalifah, para ulama yang
nota bene pelita masa dan pemimpin yang memberi petunjuk datang ke Madinah
untuk mengambil hadits-hadits yang bertebaran dari penduduknya di kota
tersebut. Maka setiap orang yang kokoh imannya dan lapang dadanya berkat
keimanan tersebut pergi ke Madinah setiap waktu sampai zaman kita sekarang
untuk ziarah kuburan Nabi Saw dan memohon berkah dengan lokasi-lokasi yang
pernah didiami beliau dan jejak-jejak para sahabat beliau yang mulia. Tidak
ada yang datang ke Madinah kecuali orang mu’min.
Inilah statemen Al Qadli
‘Iyadl. Wallahu A’lam bi Al Shawab. Syarh Shahih Al Muslim li Al Nawawi hlm
177.
2) Al Imam Al Nawawi
Al Imam Al Hafidh Syaraf Al
Din Al Nawawi penyusun syarh Shahih Muslim dalam kitabnya yang populer
mengenai manasik yang bernama Al Iidlah membuat pasal khusus tentang ziarah
nabawiyyah. Pada pasal ini beliau mengatakan, “Apabila para jamaah haji dan
umrah berangkat dari Makkah maka datanglah ke Madinaturrasulullah Saw untuk
ziarah ke kuburan beliau. Karena ziarah ini termasuk salah satu qurbah
(aktifitas untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang utama dan upaya yang
dinilai paling sukses.”
Silahkan juga baca statemen Al Imam Al Nawawi
dalam syarh Shahih Muslim saat membicarakan hadits : “Laa Tusyaaddu Al Rihaal”
vol IX hlm 106.
3) Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami
Al Hafid Ibnu
Hajar Al Haitami dalam hasyiyahnya (catatan kaki) atas Al Idlah karya Al
Nawawi saat memberikan komentar ucapan Al Nawawi : “Al Bazzar dan Al Daruquthi
telah meriwayatkan dengan isnad mereka dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,
“Rasulullah Saw bersabda, “Siapapun yang menziarahi kuburanku maka ia pasti
mendapat syafaatku.”
“Hadits di atas ini juga diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah dalam shahihnya dan telah dikategorikan shahih oleh sekelompok ulama
seperti ‘Abdu Al Haqq dan Al Taqi Al Subki. Penilaian shahih ini tidak
bertentangan dengan ucapan Al Dzahabi :”Jalur-jalur periwayatan hadits ini
seluruhnya lemah dimana sebagian menguatkan sebagiannya yang lain.”
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Al Daruquthni, Al Thabarani dan Ibnu Al Subki yang
sekaligus menilainya sebagai hadits shahih dengan redaksi : “Siapa yang datang
kepadaku dalam rangka berziarah, tidak ada dorongan kepentingan kecuali hanya
untuk ziarah kepadaku maka wajib atasku untuk memberinya syafaat kelak di hari
kiamat.”
Dalam riwayat lain : “Wajib atas Allah untuknya agar aku
memberi syafaat kepadanya di hari kiamat.”
Yang dimaksud dengan kalimat
“Laa tahmiluhi hajatun illa ziyarati” (tidak ada dorongan kepentingan kecuali
hanya untuk ziarah kepadaku) adalah menghindari tujuan yang tidak ada
kaitannya dengan ziarah. Adapun sesuatu yang masih terkait dengannya seperti
tujuan beri’tikaf di masjid nabawi, memperbanyak ibadah di dalamnya, ziarah ke
kuburan para sahabat dan sebagainya menyangkut aktivitas-aktivitas yang
disunnahkan bagi peziarah maka hal-hal ini tidak menghalangi diperolehnya
syafaat buatnya. Ashhabuna dan yang lain sendiri mengatakan disunnahkan bagi
peziarah disamping niat taqarrub dengan berziarah juga niat taqarrub dengan
memasang pelana menuju masjid nabawi dan melaksanakan sholat di dalamnya
sebagaimana disebutkan Al Mushannif.
Kemudian hadits di atas mencakup
berziarah kepada beliau Saw baik waktu masih hidup atau sesudah wafat dan juga
mencakup peziarah lelaki dan wanita yang datang dari tempat yang dekat atau
jauh. Hadits ini bisa dijadikan dalil atas keutamaan memasang pelana dengan
tujuan ziarah kuburan beliau dan disunnahkannya bepergian demi ziarah
tersebut, karena perantara itu status hukumnya sama dengan yang menjadi
tujuan.
Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad
shahih sbb : “Tidak ada seorangpun yang menyampaikan salam kepadaku kecuali
Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya.”
Renungkanlah keutamaan agung ini yaitu jawaban beliau kepada orang yang
menyampaikan salam kepadanya. Karena beliau hidup di dalam kuburan sebagaimana
para nabi yang lain. Berdasarkan sebuah hadits yang berstatus marfu’ : ”Para
nabi itu hidup dalam kuburan mereka dengan melaksanakan shalat.” Yang dimaksud
dengan mengembalikan nyawa beliau yang mulia adalah mengembalikan kekuatan
berbicara pada saat itu untuk menjawab salam. Al Idlah hlm 488.
4) Al Imam Al Hafidh Ibnu Hajar Al ‘Asqilani
Al
Imam Ibnu Hajar dalam syarhnya atas Al Bukhari mengatakan ketika mengomentari
hadits “Jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju ke tiga masjid,” Kalimat
“kecuali hendak menuju ke tiga masjid” obyek yang mendapat pengecualian
(almustatsana minhu) dibuang. Pembuangan ini mungkin diandaikan obyek yang
mendapat pengecualian yang bersifat umum kemudian ungkapannya menjadi :
“Jangan dipasang pelana menuju ke sebuah tempat dengan tujuan apapun kecuali
hendak menuju ke tiga masjid,” atau obyek yang mendapat pengecualian itu lebih
spesifik dari “tempat”. Pengandaian yang pertama tidak bisa diterima karena
berkonsekuensi menutup pintu bepergian untuk berdagang, silaturrahim, mencari
ilmu dan sebagainya. Berarti pengandaian kedua adalah satu-satunya alternatif.
Yang baik adalah mengandaikan obyek yang mendapat pengecualian yang paling
banyak relevansinya. Yaitu “Jangan dipasang pelana untuk ziarah ke masjid
dalam rangka melaksanakan sholat di dalamnya kecuali hendak menuju ke tiga
masjid.” Dengan pengandaian ini berarti batallah pandangan orang yang melarang
memasang pelana menuju ziarah kuburan Nabi Saw yang mulia dan kuburan lain
dari kuburan orang-orang shalih. Wallahu A’lam.
Al Subuki Al Kabir
mengatakan, “Persoalan di atas belum bisa dipahami dengan baik oleh sebagian
orang. Mereka menganggap bahwa memasang pelana untuk berziarah di selain tiga
masjid di atas masuk dalam kategori larangan. Pandangan ini keliru. Karena
pengecualian hanya terjadi dari obyek yang mendapat pengecualian yang sejenis.
Berarti pengertian hadits adalah sbb : “Jangan dipasang pelana menuju ke salah
satu masjid atau ke salah satu tempat karena tempat tersebut kecuali ke masjid
tiga di atas. Sedang memasang pelana hendak ziarah atau mencari ilmu, tempat
bukanlah tujuan tapi orang yang berada di tempat itu yang menjadi tujuan.
Wallahu a’lam. (Fathul Baari vol III hlm 66).
5) Al Imam Al Syaikh Al Kirmani Pensyarh Al Bukhari
Al
Syaikh Al Kirmani dalam syarh Al Bukhari memberikan komentar terhadap sabda
Nabi “kecuali tiga masjid”, “Pengecualian dalam kalimat ini bersifat mufarragh
(tidak menyebut obyek yang mendapat pengecualian). Jika Anda berpendapat bahwa
pengandaian ungkapan ini adalah “jangan dipasang pelana kecuali hendak menuju
ke suatu tempat” berarti otomatis tidak diperkenankan bepergian ke tempat
selain tempat yang mendapat pengecualian hingga bepergian untuk ziarah ke Nabi
Ibrahim Al Khalil dan semisalnya juga dilarang. Karena obyek yang mendapat
pengecualian dalam pengecualian yang bersifat mufarragh harus mengandaikan
obyek yang mendapat pengecualian yang bersifat sangat umum (a’ammu al a’maam).
Menurut penulis (Sayyid Muhammad) yang dimaksud dengan a’ammu al
a’maam adalah kalimat yang relevan dengan obyek yang mendapat pengecualian
dalam aspek jenis dan sifat. Seperti ucapan Anda : “Saya tidak melihat kecuali
Zaid”, yang perkiraannya adalah “saya tidak melihat lelaki atau seseorang
kecuali Zaid” bukan “saya tidak melihat sesuatu atau binatang kecuali Zaid”.
Maka hadits di atas perkiraannya adalah : “jangan dipasang pelana menuju
masjid kecuali hendak ke tiga masjid.” Dalam menyikap perkiraan hadits ini
banyak terjadi polemik di negara-negara Syam dan beberapa risalah juga disusun
dari kedua kubu. Namun sekarang kami tidak akan menjelaskannya. (Syarh Al
Kirmani vol VII hlm 12).
6) Al Syaikh Badruddin Al ‘Aini
Dalam syarh Al
Bukhari, Al Syaikh Badruddin Al ‘Aini menyatakan, “Al Rafi’i Menceritakan dari
Al Qadli Ibnu Kajin bahwa ia berkata, “Jika seseorang bernazar akan ziarah
kuburan Nabi Saw maka menurut pendapat saya ia wajib memenuhi nazarnya ini.
Tidak ada pilihan lain. “Namun jika ia nazar untuk ziarah kuburan lain maka
ada dua pendapat dalam masalah ini,” lanjut Ibnu Kajin. Al Qadli ‘Iyadl dan
Abu Muhammad Al Juwaini dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i mengatakan,
“Diharamkan memasang pelana menuju selain tiga masjid sebab ada faktor
larangan.” Al Imam Al Nawawi menyatakan bahwa pandangan Al Qadli ‘Iyadl dan Al
Juwaini itu keliru. “Yang benar versi Ashhabuna adalah pendapat yang dipilih
oleh Imam Al Haramain dan para muhaqqiqun. Yaitu bahwa hal itu tidak haram dan
tidak makruh,” lanjut Al Nawawi. Al Khaththabi berkata, “Laa Tusyaddu (tidak
boleh memasang pelana) adalah kalimat berita yang maksudnya adalah mewajibkan
apa yang dinazarkan seseorang dari sholat di tempat-tempat yang diharapkan
keberkahannya. Maksudnya tidak wajib memenuhi nazar di atas di tempat manapun
sampai pelana terpasang dan telah ditempuh perjalanan menuju tempat itu
kecuali hendak menuju tiga masjid yang nota bene masjid para nabi AS. Adapun
jika seseorang nazar melaksakan sholat di luar tiga masjid ini maka ia
memiliki alternatif untuk memilih sholat di luar tiga masjid ini atau sholat
di tempat di mana ia tinggal serta tidak perlu pergi menuju ke selain tiga
masjid tersebut.
Syaikhuna Zainuddin mengatakan, “Salah satu
interpretasi paling baik dari hadits di atas adalah bahwa yang dimaksud adalah
hukum masjid-masjid saja dan bahwasanya tidak boleh pelana dipasang menuju
salah satu masjid kecuali tiga masjid di atas. Adapun jika yang menjadi tujuan
adalah bukan masjid seperti pergi untuk mencari ilmu, berdagang, berwisata,
mengunjungi orang-orang shalih, ziarah kubur dan mengunjungi kawan-kawan dan
sebagainya maka semua hal ini tidak dikategorikan larangan. Hal ini tercantum
dengan jelas dalam sebagian jalur periwayatan hadits dalam Musnad Ahmad ;
bercerita kepadaku Hasyim bercerita kepadaku Abdul Hamid bercerita kepadaku
Syahr “Saya mendengar Abu Sa’id Al Khudri Ra dan di dekatnya disebut
sholat di gunung Sinai lalu ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Tidak
selayaknya sebuah kendaraan dipasang pelananya menuju masjid yang ingin
dilaksanakan shalat di dalamnya kecuali masjid haram, masjid aqsha, dan
masjidku ini.” Isnad hadits ini berstatus hasan dan Syahr ibnu Al Hausyab
dinilai adil oleh sekelompok imam. (‘Umdatu Al Qari vol VII hlm 254).
7) Al Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah Imam Pengikut
Madzhab Hanafi dan Penyusun Kitab Al Mughni
Al Syaikh Abu Muhammad
Muwaffaq Al Din Abdullah Ibnu Qudamah mengatakan, “Disunnahkan ziarah kubur
Nabi Saw berdasarkan hadits riwayat Al Daruquthni dengan sanadnya dari Ibnu
‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa yang melaksanakan
haji lalu berziarah ke kuburanku setelah wafatku maka seolah-olah ia
menziarahiku sewaktu aku masih hidup.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa
berziarah ke kuburanku maka ia wajib mendapat syafaatku.”
Hadits di atas
dengan menggunakan redaksi pertama diriwayatkan oleh Sa’id. Menceritakan
kepadaku Hafsh ibnu Sulaiman dari Laits dari Mujahid dari Ibnu ‘Umar dan Ahmad
berkata dalam riwayat Abdullah dari Yazid ibnu Qusait dari Abu Hurairah
bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang memberi salam
kepadaku di dekat kuburanku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga
aku menjawab salamnya.”
Jika orang yang sama sekali belum pernah
melaksanakan haji pergi haji tidak melalui rute Syam maka ia tidak boleh
mengambil rute Madinah karena saya takut terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.
Sebaiknya ia menuju Makkah melalui rute terpendek dan jangan sibuk dengan hal
lain. Diriwayatkan dari Al ‘Utbi, ia berkata, “Saya duduk di dekat kuburan
Nabi Saw lalu datang seorang A’rabi (warga pedalaman). “Assalamu ‘alaika Ya
Rasulallah, “katanya. “Saya mendengar Allah berfirman : ,,;,;,;,;,;,; dan saya
datang kepadamu seraya memohon agar engkau memohonkan ampunan atas dosaku dan
memohon syafaat dengamu kepada Allah, “ lanjutnya. Kemudian ia mengucapkan
syair :
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar
Berkat
keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi
Diriku jadi tebusan
untuk kuburan yang Engkau tinggal di dalamnya
Di dalam kuburmu terdapat
sifat bersih dan kedermawanan
Kemudian A’rabi itu pergi. Lalu mata saya
terasa berat dan akhirnya saya tidur. Dalam tidur saya bermimpi bertemu Nabi
Saw. “Wahai ‘Utbi ! kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira untuknya
bahwa Allah telah mengampuninya.” (Al Mughni karya Ibnu Qudamah vol III hlm
556).
8) Al Syaikh Abu Al Faraj Ibnu Qudamah Imam Al
Hanabilah dan Penyusun Al Syarh Al Kabir
Al Syaikh Syamsu al Din Abu al
Faraj ibnu Qudamah al Hanbali dalam kitabnya Al Syarh Al Kabir mengatakan :
(Masalah)
: Jika seorang jamaah haji selesai melakukan prosesi haji maka disunnahkan
baginya ziarah kuburan Nabi dan kedua sahabat beliau.
Selanjutnya Al
Syaikh Ibnu Qudamah menyebutkan ungkapan yang diucapkan untuk memberi salam
kepada Nabi Saw. Di dalam ungkapan itu terdapat ucapan : “Ya Allah
sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu itu benar : (…….) saya
datang kepadamu (Nabi Muhammad) memohonkan ampunan atas dosaku juga memohon
syafaat denganmu kepada Tuhanmu. Saya memohon kepada-Mu yaTuhan agar Engkau
menetapkan ampunan untukku sebagaimana engkau tetapkan ampunan untuk orang
yang datang kepada Nabi sewaktu beliau masih hidup. Ya Allah, jadikanlah Nabi
Muhammad pemberi syafaat pertama, pemohon paling berhasil dan orang-orang awal
dan akhir paling mulia berkat rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang).
Kemudian Syaikh Ibnu Qudamah melanjutkan, “Tidak disunnahkan
mengusap-usap dan mencium dinding kuburan Nabi Saw. Ahmad mengatakan, “Saya
tidak merngetahui hal ini (mengusap dan mencium dinding kuburan Nabi).” Kata
Atsram, “Saya melihat kalangan terpelajar Madinah tidak mengusap-usap kuburan
Nabi Saw. Mereka berdiri pada satu tempat lalu memberi salam.” Abu Abdillah
berkata, “Demikianlah praktik yang dikerjakan Ibnu ‘Umar.” Adapun masalah
mimbar maka terdapat hadits riwayat Ibrahim ibnu Abdillah ibnu Abdil Qari’
bahwasanya ia melihat Ibnu ‘Umar meletakkan tangannya di atas bagian mimbar
yang diduduki Nabi kemudian menempelkannya pada wajah.” (Al Syarh Al Kabir vol
III hlm 495).
9) Al Syaikh Manshur ibnu Yunus Al Bahuti Al
Hanbali
Al Syaikh Manshur ibnu Yunus al Bahuti dalam kitabnya Kisyafu al
Qinaa’ ‘an Matni al Iqna’ mengatakan, “Jika seorang jamaah haji selesai
melakukan prosesi haji maka disunnahkan baginya ziarah kuburan Nabi dan kedua
sahabat beliau Abu Bakar dan ‘Umar berdasarkan hadits riwayat Al Daruquthni
dari Ibnu ‘Umar, ”Barangsiapa yang melaksanakan haji lalu berziarah ke
kuburanku setelah wafatku maka seolah-olah ia menziarahiku sewaktu aku masih
hidup.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa berziarah ke kuburanku maka ia wajib
mendapat syafaatku.” Hadits di atas dengan redaksi yang pertama diriwayatkan
oleh Sa’id.
(Catatan) Ibnu Nashrillah mengatakan, “Yang tidak bisa
dipisahkan dari kesunnahan ziarah kuburan Nabi Saw adalah kesunnahan memasang
pelana demi ziarah. Karena ziarah kuburan beliau tidak mungkin dilakukan orang
yang pergi haji tanpa memasang pelana. Hal ini adalah seperti menyebutkan
dengan jelas disunnahkannya memasang pelana untuk ziarah kuburan beliau Saw.”
(Kisyafu Al Qinaa’ vol II hlm 598).
10) Al Syaikh Al Islam Muhammad Taqi Al Din Al Futuhi
Al Hanbali
Al Syaikh Al Fatuhi mengatakan, “Disunnahkan ziarah kubur
Nabi dan kedua sahabat beliau. Peziarah hendaknya memberi salam dengan
menghadap kuburan beliau lalu menghadap kiblat. Hujrah (kamar) diposisikan di
sebelah kiri dna berdoa. Diharamkan melakukan thowaf terhadap hujrah dan
makruh mengusap dan mengeraskan suara di dekat hujrah.”
11) Al Syaikh Mar’i Ibnu Yusuf Al Hanbali
Al
Syaikh Mar’i ibnu Yusuf dalam kitabnya Dalilu Al Thalib menyatakan,
“Disunnahkan ziarah ke kuburan Nabi dan kedua sahabat beliau Ra, dan
disunnahkan pula sholat di masjid beliau yang nilainya sama dengan seribu kali
sholat di masjid lain, di masjid haram sama dengan seratus ribu kali dibanding
sholat di masjid lain dan di masjid Aqsha sama dengan lima ratus kali. (Dalilu
Al Thalib hlm 88).
12) Al Imam Syaikhu Al Islam Majd Al Din Muhammad
ibnu Ya’qub Al Fairuzabadi Penyusun Al Qamus berkata dalam kitabnya Al Shilaat
wa Al Basyar
Ketahuilah bahwa mendoakan shalawat kepada Nabi Saw di dekat
kubur beliau lebih dianjurkan. Disunnahkan menjalankan kendaraan untuk meraih
keberuntungan dengan kemuliaan yang agung dan derajat yang mulia ini. Al Qadli
Ibnu Kajin (Al Qadli ibnu Yusuf Ahmad ibnu Kajin) mengatakansesuai informasi
dari Al Rafi’I, “Jika seseorang nazar untuk ziarah kuburan Nabi Saw maka
menurutku ia wajib menunaikan nazarnya ini. Tidak ada pilihan lain. Tapi kalau
ia nazar untuk ziarah kuburan lain maka dalam hal ini menurutku ada dua
pendapat. Dan telah diketahui bahwa tidak ada kewajiban menunaikan sesautu
yang dinazarkan kecuali jika sesuatu itu dikategorikan ibadah.
Salah
satu ulama yang menhjelaskan kesunnahan ziarah dan status hukumnya yang sunnah
dari kalangan ashhabuna adalah Al Rafi’i pada bagian-bagian akhir dari Babu
A’maali al Hajj, Al Ghazali dalam Ihyaa’ ‘Ulumuddin, Al Baghawi dalam Al
Tahdzib, Al Syaikh ‘Izzuddin ibnu ‘Abdissalam dalam Al Manasik, Abu ‘Amr ibnu
Al Shalah dan Abu Zakaria Al Nawawi.
Dari kalangan pengikut madzhab
Ahmad Ibnu Hanbal (Hanabilah) Al Syaikh Muwafaqaddin, Al Imam Abu Al Faraj AL
Baghdadi dan lain sebagainya.
Dari kalangan Hanafiah adalah penyusun Al
Ikhtiyar fi Syarhil Mukhtar yang membuat pasal tentang ziarah dan
mengkategorikannya sebagai salah satu kesunnahan yang paling utama.
Adapun dari kalangan Malikiyyah maka Al Qadli ‘Iyadl menginformasikan
dari mereka adanya konsensus atas disunnahkannya ziarah kuburan Nabi Saw.
Dalam kitab Tahdzibul Mathaalib karya ‘Abdul Haqq Al Shaqalli dari Al
Syaikh Abi ‘Imran Al Maliki bahwasanya ziarah kuburan Nabi Saw itu hukumnya
wajib. “Yakni salah satu sunnah yang wajib,” kata Abdul Haqq. Dalam statemen
Al ‘Abdi Al Maliki pada syarh Al Risalah dianyatakan bahwa berjalan ke Madinah
dalam rangka ziarah kuburan Rasulullah Saw itu lebih utama dari pada Ka’bah
dan Baitul Maqdis. Statemen para fuqaha’ penganut madzhab kebanyakan
menetapkan adanya perjalanan untuk ziarah. Sebab mereka mensunnahkan kepada
orang yang pergi haji setelah selesai melakukan prosesi haji untuk
berziarah dan hal yang tidak bisa dihindarkan dari ziarah adalah adalah
melakukan perjalanan menuju tempat ziarah. Adapun esensi ziarah itu sendiri
maka dalil atas ziarah itu sendiri banyak. Salah satunya adalah firman
Allah : ولو أنهم إذ ظلموا
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah Saw itu
hidup dan amal perbuatan ummat beliau diperlihatkan kepadanya. Selanjutnya
Syaikh Fairuzabadi menyebutkan sejumlah hadits tentang ziarah. Sekian kutipan
dari kitab Al Shilaat wa al Basyar fi Al Shalat ‘la Khairi Al Basyar Saw
karya Syaikhul Islam Majduddin Muhammad ibnu Ya’qub Al Fairuz Abadi hlm
148.
13) Al Imam Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Allaan Al
Shiddiqi Al Syafi’i Pensyarah Al Adzkar
Al Syaikh Muhammad ibnu ‘Allaan
mengomentari ucapan Al Nawawi : (Karena ziarah ini termasuk salah satu qurbah
(aktifitas untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang utama dan upaya yang
dinilai paling sukses), “Bagaimana tidak, Nabi Saw telah memberi janji kepada
peziarah bahwa ia wajib mendapat syafaat beliau. Dan syafaat ini tidak wajib
kecuali untuk orang yang beriman. Janji Nabi ini berarti kabar gembira bahwa
ia mati membawa iman di samping beliau sendiri tanpa mediator mendengar salam
dari orang yang memberi salam.” Abu Al Syaikh meriwayatkan :
“Barangsiapa yang mendoakan shalawat kepadaku di samping kuburanku maka saya
mendengarnya dan barangsiapa yang mendoakan sholawat kepadaku dari tempat yang
jauh maka saya diberi tahu akan sholawat itu.” Al Hafidh menyatakan bahwa
sanad hadits ini perlu dikaji. Abu Dawud dan perawi lain meriwayatkan dari Abu
Hurairah dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda, “Tidak seorang muslim pun yang
memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku
menjawab salamnya.”
Al Hafidh Ibnu Hajar Al ‘Asqilani mengatakan bahwa
hadits dari Abu Hurairah ini statusnya hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al
Baihaqi dan perawi-peerawi lain. Dan saya dikabari dari Al Subuki dalam Al
Syifaa’ Al Siqaam bahwa ia berkata, “Sekelompok imam berpedoman dengan hadits
ini dalam menetapkan kesunnahan ziarah kuburan Nabi Saw. Sikap para imam ini
adalah sikap yang benar karena jika peziarah memberi salam kepada Nabi maka
jawaban dari beliau terjadi seketika dan hal ini adalah keutamaan yang
dicari.”
Menurut saya (Sayyid Muhammad) jawaban seketika Nabi tanpa
mediator kepada yang memberi salam itu jika peziarah tidak mendapat suguhan
kecuali jawaban dari Nabi kepadanya ini niscaya hal ini cukup baginya.
Bagaimana tidak, jawaban beliau mengandung syafaat agung dan
dilipatgandakannya sholat di tanah haram yang luhur. Al Taqi Al Subuki telah
menyebutkan sejumlah hadits mengenai ziarah kubur Nabi Saw dalam Al Syifaa’ Al
Siqaam, Ibnu Hajar dalam Al Jauhar Al Munadhdham dan muridnya Al Fakihi
dalam Husnul Isyarah fi Aadabizziarah. Al Futuhat Al Rabbaniyyah ‘ala Al
Adzkar Al Nawaawiyyah vol V hlm 31.
ZIARAH NABI VERSI SALAF
Sudah maklum bahwa yang dimaksud dengan ziarah di sini adalah ziarah
dalam kacamata syara’ yang etika dan hal-hal yang sepatutnya dikerjakan oleh
peziarah telah dijelaskan oleh Al Sunnah.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah
berkata dalam rangka menjelaskan antara ziarah yang dilakukan mereka yang
meyakini keesaan Allah (ahluttauhid) dan orang-orang musyrik, “Ziarah yang
dilakukan oleh ahluttauhid terhadap kuburan-kuburan kaum muslimin berisi
penyampaian salam dan mendoakan kepada penghuni kuburan tersebut. Hal ini sama
dengan menshalati jenazah mereka. Sedang ziarah yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik berisi aktivitas mereka yang menyerupakan makhluk dengan
Khaliq. Mereka bernazar untuk mayit, bersujud dan mendoakannya serta
mencintainya seperti mencintai Sang Khaliq. Berarti mereka telah menjadikan
sekutu buat Allah dan menyamakan sekutu itu dengan Tuhan semesta alam. Padahal
Allah SWT telah melarang Dia dipersekutukan dengan malaikat, para nabi dan
yang lain. Allah berfirman : ( ما كان لبشر ..... ) dan ( قل ادعوا .....).
Sekelompok kalangan salaf mengatakan, “Terdapat bangsa-bangsa yang menyembah
para nabi seperti Al Masih dan ‘Uzair serta menyembah malaikat. Maka akhirnya
Allah mengabarkan kepada bangsa-bangsa ini bahwa Al Masih, ‘Uzair dan lain
sebagainya adalah hamba-hamba-Nya yang memohon rahmat-Nya, takut akan
adzab-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal perbuatan. (Al Jawaab
Al Baahir fi Zuwwaari Al Maqaabir karya Syaikh Al Islam Taqi Al Din Ahmad Ibnu
Taimiyyah hlm 21).
Saya katakan bahwa bukankah ziarah yang kita lakukan
ke kuburan Nabi Saw tidak lain mengikuti cara yang benar yang telah ditetapkan
syara’ seperti di atas ?.
Allah, para malaikat, para pembawa ‘arsy, dan
penduduk langit dan bumi menjadi saksi bahwa dalam berziarah ke Nabi Saw kami
tidak meyakini kecuali bahwa beliau adalah manusia yang mendapat wahyu, salah
satu hamba Allah terbaik, yang mengharap rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya dan
mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal perbuatan. Malah beliau adalah orang
yang paling menaruh perhatian menyangkut tiga hal terakhir ini. Beliau adalah
orang yang paling bertakwa di antara kami, paling takut kepada Allah, paling
mengetahui dan mengenal-Nya. Kami tidak menyerupakan beliau dengan Sang
Khaliq, tidak nazar untuknya, tidak sujud kepadanya, tidak beroda kepadanya,
tidak menjadikannya sekutu bagi Allah, tidak menyamakannya dengan Tuhan
semesta alam, dan kami mencintainya melebihi cinta kami kepada diri, harta dan
anak kami.
AL SYAIKH IBNU AL QAYYIM DAN ZIARAH NABAWIYYAH
Al Syaikh Ibnu Al Qayyum dalam qashidahnya yang dikenal dengan qashidah
nuniyyah menyebutkan bagaimana semestinya berziarah dan etika apa yang
dituntut di dalam berziarah, bagaimana selayaknya perasaan peziarah saat ia
berdiri dalam tatap muka yang mulia ini dan apa yang selayaknya ia rasakan
saat berada di depan penghuni kubur Saw?. Dalam bagian akhir bait-bait
qashidahnya, Ibnu Al Qayyim menyebutkan bahwa ziarah dengan perasaan demikian
dan dengan cara tersebut adalah termasuk salah amal perbuatan yang paling
utama. Berikut qashidah nuniyyah Ibnu Al Qayyim :
Jika kita telah tiba di
masjid nabawi
Maka kita shalat tahiyyat dulu dua raka’at
Dengan
seluruh rukunnya dan dengan penuh kekhusyu’an
Dengan sepenuh hati,
layaknya sikap orang yang memiliki sifat ihsan (merasakan kehadiran Allah)
Kemudian
kami mulai berziarah menuju kuburan mulia meskipun berada di pelupuk mata
Kami
berdiri di hadapannya dengan merendahkan diri dalam sepi dan keramaian
Seolah-olah di dalam kubur beliau hidup dan mampu berbicara
Sedang
orang-orang yang berdiri merendahkan dagunya
KUBURAN MULIA NABI SAW
Sebagian orang – semoga Allah membuat mereka menjadi baik dan
membimbing mereka ke jalan lurus – memandang kuburan Nabi Saw dari aspek
kuburan semata. Karena itu tidak aneh bila dalam benaknya ada asumsi-asumsi
keliru. Dan tidak aneh pula jika ada prasangka-prasangka buruk dalam hati
mereka terhadap kaum muslimin dan mereka yang berziarah kepada Nabi Saw,
datang kepada beliau dan berdo’a di sisi kuburan beliau. Anda akan melihat ia
berargumentasi : “Tidak boleh dipasang pelana menuju kuburan Nabi Saw dan
tidak boleh berdoa di sisi kuburan beliau.” Bahkan sikap ekstrim mereka sampai
berani mengatakan bahwa berdoa di sisi kuburan Rasulullah adalah tindakan
syirik dan kufur, menghadap kuburan beliau adalah tindakan bid’ah dan sesat,
memperbanyak wukuf dan bolak-balik ke kuburan beliau adalah tindakan syirik
atau bid’ah atau orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kuburan Nabi Saw adalah
tempat paling utama dibanding tempat manapun termasuk Ka’bah”, maka ia telah
musyrik atau sesat. Tindakan pengkafiran dan penilaian sesat demikian secara
serampangan tanpa sikap hati-hati atau berfikir matang itu bertentangan dengan
sikap generasi assalaf asshalih.
Ketika kami berbicara tentang kuburan
Nabi Saw, ziarah kuburan beliau, mengunggulkannya, memasang pelana menuju
tempat tersebut, atau berdo’a dan memohon kepada Allah di depannya maka
obyek yang dituju yang tidak diperselisihkan siapapun adalah penghuni kubur
dan dua sahabat beliau. Penghuni kubur ini adalah junjungan generasi awal dan
akhir dan makhluk paling utama yang menjadi nabi yang paling agung dan rasul
paling mulia Saw. Tanpa beliau, kuburan, masjid Nabawi, Madinah bahkan kaum
muslimin seluruhnya tidak ada harganya sama sekali. Tanpa beliau, kerasulan
beliau, iman dan cinta kepada beliau, serta mengakui kesaksian (syahadat)
dimana syahadat ini tidak sah kecuali menyertakan kesaksian akan kenabian
beliau, maka mereka tidak akan ada dan tidak akan beruntung dan selamat.
Berangkat dari paparan di atas maka ketika Ibnu ‘Aqil Al Hanbali ditanya
mengenai perbandingan keunggulan antara Hujrah (kamar Nabi) dan Ka’bah beliau
menjawab, “Jika yang Anda maksud kamar semata, maka Ka’bah lebih utama. Tapi
jika yang dimaksud adalah kamar beserta Nabi yang dikubur di dalamnya maka
demi Allah ‘arsya dan para malaikat yang memikulnya, sorga dan benda-benda
langit yang beredar pada orbitnya tidak bisa melebihi keutamaannya. Karena
jika kamar yang nabi berada di dalamnya itu ditimbang dengan dengan langit dan
bumi maka ia akan lebih unggul. (Badai’ Al Fawaaid karya Ibnu Al Qayyim).
Inilah yang dimaksud dengan kuburan Nabi, pengutmaannya, menziarahinya
dan menyiapkan kendaraan untuk menuju kepadanya (memasang pelana). Berangkat
dari pandangan ini para ulama berkata, “Sesungguhnya tidaklah layak jika
seseorang mengucapkan, “Saya ziarah kuburan Nabi Saw.” Yang benar adalah :
“Saya ziarah Nabi Saw.” Inilah pandangan yang ditetapkan oleh para ulama dalam
menafsirkan statemen Al Imam Malik : “Saya tidak suka seseorang berkata :
“Saya ziarah ke kuburan Nabi Saw.” Sebab orang yang ia ziarahi adalah orang
yang mampu mendengar ucapannya, merasakan kehadirannya, mengetahuinya dan
menjawab salamnya. Masalah ini bukan sekedar persoalan kuburan semata tapi
lebih besar dan lebih tinggi dari sekedar dilihat dari aspek kuburan semata.
Jika kita melihatnya dari sisi kuburan saja tanpa memandang sosok penghuninya
maka kita akan menemukan arwah suci yang kita kelilingi dari segala penjuru
dan kita akan menemukan jembatan malaikat yang membentang dari al mala’ al
a’la sampai kuburan Nabi Muhammad Saw, dan konvoi yang bersambung dengan
bilangan dan tambahan yang tidak terputus-putus yang hanya Allah yang
mengetahui jumlahnya.
Dalam Al Sunannya Al Darimi meriwayatkan,
“menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Shalih, menceritakan kepadaku Al Laits,
menceritakan kepadaku Khalid yaitu Ibnu Yazid dari Sa’id yaitu Ibnu Abi Hilal
dari Nubaih ibnu Wahb bahwasanya Ka’ab masuk bertemu ‘Aisyah lalu mereka
menyebut Rasulullah Saw. “Tidak ada hari kecuali turun tujuh puluh ribu
malaikat hingga mereka mengelilingi kuburan Rasulullah. Mereka mengepakkan
sayap mereka dan mendoakan shalawat untuk beliau hingga ketika tiba waktu sore
mereka naik dan jumlah yang sama turun menggantikan mereka. Para malaikat
pengganti juga melakukan apa yang dikerjakan malaikat pertama hingga ketika
bumi merekah memunculkan Nabi, beliau akan pergi diiringi 70.000 malaikat .”
Demikian dalam Sunan Al Darimi vol I hlm 44.
Saya katakan bahwa atsar ini
juga diriwayatkan oleh Al Hafidh Ismail Al Qadli dengan sanadnya yang
dikategorikan bagus untuk mutabi’, syahid, manaqib, dan keutamaan-keutamaan
amaliah.
Jika kita melihat lingkungan di sekitar kuburan Nabi Saw dari
raudloh yang notabene salah satu kapling sorga, mimbar yang memperoleh
kemuliaan tertinggi sebab beliau Saw dan kelak di hari kiamat ia akan berada
di atas telaga agung beliau, batang kurma yang merintih seperti perempuan yang
kehilangan anaknya yang kelak di hari kiamat ada di sorga di tengah
pepohonannya. Ada informasi yang menyatakan bahwa batang pohon itu dipendam di
tempatnya yang terdapat dalam masjid. Maka saya tidak menduga bahwa orang yang
berakal yang bersemangat mengejar kebaikan menghindar dari berdoa di
lokasi-lokasi di atas.
KUBURAN NABI DAN BERDO’A
Para ulama menuturkan bahwa disunnahkan berdiri bagi orang yang ziarah
kuburan Nabi Saw untuk berdo’a. Ia bisa meminta kebaikan dan karunia apa saja
yang ia kehendaki kepada Allah. Ia tidak diwajibkan menghadap kiblat. Tindakan
berdiri yang dilakukan peziarah bukanlah berarti ia melakukan bid’ah,
melakukan kesesatan atau kemusyrikan sebagaimana telah ditetapkan para ulama.
Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa status hukumnya adalah sunnah.
Dalil
yang digunakan dalam persoalan ini adalah hadits yang diriwayatkan Al Imam
Malik ibnu Anas saat ia berdiskusi dengan Abu Ja’far Al Manshur di masjid
nabawi. “Wahai amirul mu’minin,” kata Al Imam Malik, “jangan engkau keraskan
suaramu di dalam masjid karena sesungguhnya Allah telah mengajarkan etika
kepada sebuah kaum : ( لاترفعوا أصواتكم) dan mengecam kepada kaum lain : ( إن
الذين ينادونك). Sesungguhnya penghormatan kepada beliau di saat telah
meninggal sama dengan penghormatan kepada beliau saat masih hidup. Setelah
mendengar argumentasi Al Imam Malik, Abu Ja’far pun diam. “Wahai Abu Abdillah
!, apakah saya harus menghadap kiblat dan berdo’a atau menghadap Rasulullah
Saw ?, “tanya Abu Ja’far. “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari Nabi
padahal beliau adalah perantaramu dan perantara Bapakmu Adam AS kepada Allah
SWT di hari kiamat ?. Maka menghadaplah kepada Nabi dan mohonlah syafaat
kepada beliau maka Allah akan menerima syafaat beliau,” kata Al Imam Malik.
Allah berfirman : (ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم)
Kisah di atas diceritakan
oleh Al Qadli ‘Iyadl dengan sanadnya dalam kitabnya “Al Syifaa fi Al Ta’riif
bi Huquuqi Al Mushthafaa” pada salah satu bab tentang ziarah. Dalam Al Majmu’
kisah ini juga disebutkan.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Ibnu Wahb
berkata dalam informasi yang bersumber dari Malik : “Jika peziarah
memberi salam kepada Nabi Saw maka hendaklah ia berdiri dengan muka menghadap
kuburan bukan menghadap kiblat, mendekat, memberi salam, memanggil dan jangan
menyentuh kuburan dengan tangannya.” (Iqtidlou Al Shirath Al Mustaqiim hlm
396).
Dalam kitabnya yang populer Al Adzkar, Al Nawawi juga
menjelaskan hal serupa di atas pada bab-bab tentang ziarah. Demikian pula
dalam Al Idlaah pada bab ziarah dan dalam Al Majmu’ vol VIII hlm 272.
Al
Khafaji, pensyarah Al Syifaa mengatakan, “Al Subuki berkata : “Ashhabuna
menegaskan bahwa disunnahkan untuk datang ke kuburan beliau, menghadap dan
membelakanginya lalu memberi salam kepada beliau kemudian kepada Abu Bakar dan
‘Umar lalu kembali ke posisi semula, berdiri kemudian berdo’a.” Syarh Al
Syifaa karya Al Khafaji vol III hlm 398.
PANDANGAN AL SYAIKH IBNU TAIMIYYAH SOAL ZIARAH KUBUR
Setelah mengutip statemen para ulama, Ibnu Taimiyyah mengemukakan
pendapatnya sekitar tema ziarah kuburan Nabi Saw, “Mereka (para ulama) sepakat
mengenai menghadap kiblat dan berselisih pendapat mengenai membelakanginya
saat berdo’a.”
Ini adalah ringkasan dari pandangan Al Syaikh Ibnu
Taimiyyah menyangkut persoalan ziarah kuburan Nabi Saw. Ringkasan pandangannya
ini mengindikasikan dengan jelas bahwa orang yang berdiri di hadapan kuburan
Nabi Saw seraya berdo’a kepada Allah dan memohon sesuatu kepada-Nya dari
karunia-Nya sebagaimana telah disyari’atkan, itu berpijak di atas fondasi
kokoh yang diakui dan dikuatkan oleh statemen para imam dari generasi assalaf
asshalih. Jika orang yang obyektif yang menggunakan akalnya mau merenungkan
pendapat Ibnu Taimiyyah – para ulama berselisih pendapat mengenai membelakangi
kubur beliau Saw saat berdo’a – niscaya ia akan memiliki pemahaman yang
menenteramkan hatinya, memuaskan dirinya dan membahagiakannya bahwasanya
mereka yang berdiri setelah memberi salam kepada Rasulullah untuk berdoa di
sisi kuburan beliau tidak terlepas dari tauhid (mengesakan Allah) dan tetap
termasuk golongan yang beriman. Dan karena persoalan ini adalah persoalan yang
diperselisihkan generasi salaf dan perselisihan ini menyangkut apakah
statusnya sunnah atau bukan maka apakah kondisi ini sampai harus melontarkan
tuduhan syirik dan sesat? Subhanaka Hadza Buhtaanun ‘Adhim.
URAIAN STATEMEN AL SYAIKH IBNU TAIMIYYAH
Yang dipahami dari statemen Ibnu
Taimiyyah adalah bahwa obyek yang dilarang sesungguhnya adalah sengaja memilih
berdoa di dekat kuburan atau menjadikan kuburan sebagai tujuan untuk berdoa di
dekatnya dan mengharap doa dikabulkan jika berdoa di tempat tersebut, atau
memiliki perasaan bahwa berdoa di dekat kuburan lebih berpeluang dikabulkan
dibanding tempat lain. Adapun jika seseorang berdoa kepada Allah di jalan yang
ia tempuh dan kebetulan ia melewati kuburan kemudian berdoa di dekatnya atau
ia ziarah ke kuburan lalu memberi salam kepada penghuninya kemudian berdoa di
tempatnya berada maka ia tidak harus berpindah arah menghadap kiblat dan ia
tidak bisa dianggap musyrik atau orang yang sesat.
Silahkan dibaca
tulisan-tulisan Ibnu Taimiyyah dalam persoalan ini. Ia berkata dalam Iqtidloou
Al Shirath Al Mustaqiim halaman 336 : “Salah satu yang masuk kategori bid’ah
adalah sengaja ke kuburan dengan tujuan berdoa di dekatnya atau datang
ke kuburan semata-mata karena kuburan tersebut. Karena berdoa di dekat kuburan
dan tempat lain itu terbagi menjadi dua :
Pertama, do’a terjadi di sebuah
lokasi secara kebetulan, tidak ada rencana berdoa di tempat tersebut, seperti
orang yang berdoa kepada Allah di jalan yang ia tempuh dan kebetulan ia
melewati kuburan atau seperti orang yang ziarah kubur lalu ia memberi salam
kepadanya dan memohon kepada Allah keselamatan untuknya dan para mayit
sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Sunnah, maka hal ini dan yang semisalnya
tidak perlu dipersoalkan.
Kedua, sengaja membuat rencana berdoa di
lokasi tersebut sekiranya ia merasa bahwa berdoa di lokasi tersebut lebih
berpeluang dikabulkan dibanding tempat lain. Yang semacam inilah yang
dilarang, entah larangan ini bersifat tahrim atau tanzih. Namun larangan ini
lebih dekat ke larangan yang bersifat tahrim (diharamkan). Sedang perbedaan
antara kedua istilah ini adalah hal yang telah jelas diketahui.
Seandainya seseorang sengaja merencanakan berdoa di dekat arca, salib
atau gereja dengan harapan doanya dikabulkan di tempat tersebut maka sungguh
hal ini termasuk salah satu dosa besar. Bahkan jika ia sengaja menuju rumah,
toko di pasar atau sebagian tiang di jalanan untuk berdoa di tempat itu dengan
harapan doanya dikabulkan di tempat tersebut maka sungguh hal ini termasuk
kemunkaran yang diharamkan karena berdoa di tempat-tempat tersebut tidak
memiliki keutamaan.
Kesengajaan datang ke kuburan untuk berdoa di tempat
itu termasuk kategori ini malah ia lebih berat dari sebagian yang masuk
kategori ini karena Nabi Saw melarang memfungsikan kuburan sebagai masjid dan
juga melarang mengadakan perayaan di kuburan dan sholat di sekitarnya. Berbeda
dengan banyak lokasi-lokasi lain di atas.
Selanjutnya dalam halaman 338 Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sengaja
datang ke kuburan untuk berdoa di dekatnya dan mengharap terkabulnya doa di
tempat itu melebih harapan terkabulnya doa di tempat-tempat lain adalah ajaran
yang tidak disyari’atkan Allah dan rasul-Nya dan juga tidak dipraktekkan salah
seorang sahabat, tabi’in, para imam kaum muslimin, dan tidak disebutkan pula
oleh salah seorang ulama yang shalih dari masa lalu.
Dalam halaman
339 ia menyatakan bahwa barangsiapa mengkaji literatur-literatur atsar dan
mengetahui sikap generasi salaf maka ia akan meyakini dengan tegas bahwa
orang-orang tidak memohon pertolongan di dekat kuburan dan tidak sengaja
merencanakan berdoa di dekatnya sama sekali. Malah mereka melarang orang-orang
bodoh melakukan tindakan tersebut sebagaimana telah saya sebutkan
sebagian dari keterangan ini. Dari Iqtidloo’u al Shirath al Mustaqim.
PANDANGAN AL SYAIKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB MENYANGKUT BERDOA
DI DEKAT KUBURAN
Berdoa di dekat kuburan bukanlah tindakan bid’ah atau syirik
Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab ditanya mengenai pendapat
para ulama dalam sholat istisqa’ : “Tidak apa-apa bertawassul dengan
orang-orang sholih”, pendapat Ahmad : “Hanya Nabi Saw yang bisa dijadikan
obyek tawassul”, bersamaan dengan ucapan mereka : “Sesungguhnya makhluk tidak
bisa dimintai pertolongan”.
Ia menjawab : “Perbedaan di antara tiga
ungkapan ini telah jelas dan tidak masuk kategori topik yang kami bicarakan.
Sebagian ulama memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian
lain membolehkan khusus dengan Nabi Saw. Mayoritas ulama melarang dan tidak
berkenan dengan tawassul ini. Persoalan ini adalah persoalan fiqh meskipun
yang benar di mata kami adalah pendapat jumhur bahwasanya tawassul itu makruh.
Kami tidak ingkar kepada orang yang mempraktikkan tawassul sebab tidak boleh
ada pengingkaran dalam hal-hal yang masuk wilayah ijtihad. Namun keingkaran
kami adalah kepada orang yang berdoa kepada makhluk melebihi ketika ia berdoa
kepada Allah. Juga kepada orang yang sengaja mendatangi kuburan untuk mengiba
di sisi kuburan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani atau tokoh lain seraya memohon
dihilangkannya kesusahan diberi pertolongan menghadapi kesulitan dan
dikarunia hal-hal yang diinginkan kepada penghuni kuburan itu. Dimanakah
posisi orang ini berada di kalangan orang – orang yang berdoa murni
kepada Allah dan hanya berdoa kepada-Nya saja tidak melibatkan pihak lain,
tetapi ia berkata dalam doanya : “Saya memohon kepada-Mu lewat nabi-Mu, atau
lewat parta rasul atau para hamba-Mu yang shalih.” Atau sengaja datang ke
kuburan Syaikh Ma’ruf Al Karkhi atau syaikh lain untuk berdoa di dekatnya
tetapi ia tidak berdoa kecuali murni kepada Allah. Maka di manakah posisi
orang ini dalam topik yang sedang kami bicarakan?” (Dikutip dari fatwa-fatwa
Al Syaikh Al Imam Muhammad ibnu Abdil Wahhab dalam koleksi karangan bagian
ketiga hlm 68 yang disebarkan oleh Univaesitas Al Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al
Islamiyah dalam pekan Al Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab).
KUBURAN NABI DAN MEMOHON BERKAH DENGAN MENYENTUHNYA ATAU MENYENTUH
JENDELA BESI DAN MENCIUMNYA
Ketahuilah bahwa selayaknya peziarah tidak boleh mencium kuburan
mulia, menyentuh dengan kedua tangannya, dan tidak boleh menempelkan perut dan
punggungnya ke dindingnya, pagar yang ditutupi dengan kiswah atau
jendela. Karena semua tindakan ini hukumnya makruh sebab mengandung unsur
melakukan hal yang berlawanan dengan etika di hadapan Nabi Saw. Tujuan mencari
keberkahan tidak bisa meniadakan status makruh karena tujuan seperti ini
adalah sebuah kebodohan akan etika yang sepatutnya. Dan jangan tertipu oleh
apa yang dilakukan orang-orang awam karena yang benar adalah apa yang katakan
para ulama dan mereka sepakat berlawanan dengan sikap orang awam sebagaimana
dijelaskan oleh Al Nawawi dalam Al Idlahnya.
Dalam Al Minah dan Al
Jawhar, Ibnu Hajar secara panjang lebar menguatkan pandangan ulama di atas.
Dalam Al Ihyaa’, Al Ghazali mengatakan, “Menyentuh dan mencium kuburan adalah
tradisi golongan Yahudi dan Nashrani.”
Al Fudlail ibnu ‘Iyadl mengatakan
sesuatu yang artinya sbb : “Ikutilah jalan-jalan menuju hidayah dan jangan
pedulikan sedikitnya mereka yang menempuh jalan tersebut. Jauhilah jalan-jalan
menuju kesesatan dan jangan terpengaruh oleh banyaknya mereka yang menuju
kehancuran. Barangsiapa yang terbersit dalam hatinya bahwa mengusap dengan
tangan dan semisalnya lebih besar dalam memberikan keberkahan maka anggapan
ini adalah karena kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanya ada pada
hal-hal yang sesuai dengan syari’at. Maka bagaimana mungkin layak adanya
keutamaan dalam hal yang berlawanan dengan kebenaran.” Al Majmu’ vol VIII hlm
275.
PANDANGAN AL IMAM AHMAD IBNU HANBAL
Terdapat banyak riwayat dari Ahmad ibnu Hanbal menyangkut topik di
atas. Dimana sebagian riwayat itu ada yang memperbolehkan mengusap dan mencium
kuburan Nabi Saw dan sebagian menunjukkan keraguan dalam menentukan hukumnya.
Sebagian lagi ada yang membedakan antara mimbar Nabi dan kuburan beliau dengan
memperbolehkan yang pertama dan tidak memberikan kepastian hukum pada yang
kedua atau membolehkan. Betapapun perbedaan ini terjadi namun situasinya tidak
sampai pada taraf memvonis pelakunya telah kufur, sesat, keluar dari agama,
atau berbuat bid’ah dalam agama. Paling jauh ia dianggap melakukan sesuatu
yang diperselisihkan hukumnya atau status hukumnya makruh. Yang dimaksudkan
adalah agar mengusap kuburan beliau dan menciumnya tidak dijadikan sebagai
tradisi yang membuat orang awam terpengaruh dan mereka menyangka bahwa
tindakan itu termasuk salah satu keharusan dan etika berziarah. Silahkan kita
simak statemen Al Imam Ahmad sebagai berikut :
Al Imam Ahmad berkata
dalam Khulaashatul Wafaa sbb : “Dalam kitab Al ‘Ilaal dan Al Su’aalaat karya
Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hanbal, sang pengarang berkata, “Saya bertanya kepada
ayah tentang seorang lelaki yang mengusap kuburan Nabi Saw dengan tujuan
mengharap keberkahan dengan mengusap dan menciumnya dan ia juga melakukan hal
yang sama terhadap mimbar beliau dengan harapan mendapat pahala Allah SWT.”
“Tidak apa-apa,” jawab ayahku.
Abu Bakar Al Atsram berkata, “Saya
bertanya kepada Abu Abdillah – Ahmad ibnu Hanbal - , “Apakah kuburan Nabi Saw
boleh disentuh dan diusap-usapkan?” “Saya tidak bisa menjawab,” jawabnya.
“Kalau mimbar?” tanyaku lagi. “Kalau mimbar, betul boleh disentuh dan
diusap-usapkan. Karena ada riwayat perihal mimbar.” Jawab Abu Abdillah. “Ada
informasi yang diriwayatkan para perawi dari Ibnu Fudaik dari Abi Dzi’b dari
Ibnu ‘Umar: “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar menyentuh mimbar.” Abu Abdillah berkata,
“Para perawi meriwayatkan atsar tadi dari Sa’id ibnu Al Musayyib mengenai
hiasan mimbar.” Saya (Abu Bakar Al Atsram) katakan, “ Para perawi juga
meriwayatkan atsar tersebut dari Yahya ibnu Sa’id bahwasanya ketika Yahya ibnu
Sa’id ingin pergi ke Iraq ia datang ke mimbar kemudian mengusapnya dan berdoa.
Saya melihat bahwasanya Yahya menilai positif tindakan mengusap mimbar.”
“Barangkali dalam keadaan mendesak mengusap kuburan tidak ada konsekuensi
apapun,” lanjut Abu Abdillah. Ada pertanyaan yang disampaikan kepada Abu
Abdillah bahwa para peziarah itu menempelkan perut mereka ke dinding kuburan
dan saya juga berkata kepadanya, “Saya melihat para ulama warga Madinah tidak
mengusap-usap kuburan Nabi Saw. Mereka hanya berdiri pada sebuah sisi lalu
memberi salam.” “Betul, memang begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar,” jawab Abu
Abdillah. “Ayah dan ibuku menjadi tebusan Rasulullah Saw,” lanjutnya.
Al
Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Ahmad dan perawi lain meriwayatkan perihal
mengusap-usap mimbar dan hiasannya yang nota bene tempat duduk dan tangan
Nabi. Namun mereka tidak memberi toleransi perihal mengusap-usap kuburan
beliau Saw. Sebagian Ashhabuna menceritakan riwayat perihal mengusap kuburan
Nabi Saw karena Ahmad mengantar sebagian jenazah lalu ia meletakkan tangannya
di atas kuburan jenazah itu seraya mendoakannya. Perbedaan antara mengusap
kuburan dan meletakkan tangan di atasnya seraya mendoakan itu jelas.” (Dari
Iqtidloo’u al Shirath al Mustaqim hlm 367 dan dinukil oleh Ibnu Muflih dari Al
Imam Ahmad dalam Al Furu’ vol III hlm 524).
KUBURAN NABI SAW TERLINDUNGI DARI SYIRIK DAN KEBERHALAAN
Allah Swt telah melindungi kuburan ini dengan sang kekasih paling agung
dan nabi termulia. Makanya di lingkungan kuburan beliau tidak terdapat
kemusyrikan dan salah satu bentuk dari bentuk ibadah yang tidak boleh
ditujukan kecuali kepada Allah SWT. Tidak terlintas dalam benak siapapun bahwa
kuburan beliau adalah arca yang disembah atau kiblat yang menjadi arah untuk
ibadah. Hal ini terjadi berkat barokah do’a Rasulullah Saw yang memang berdoa
demikian. Allah pun mengabulkan doa beliau dan mewujudkan harapan beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dalam Muwaththa’ Malik Ra dari
Nabi Saw, beliau berkata, “Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai
arca yang disembah. Besar murka Allah terhadap kaum yang menjadikan kuburan
nabi mereka sebagai masjid.”
Sungguh Allah telah mengabulkan doa Nabi
Saw. Makanya – alhamdulillah - kuburan beliau tidak dijadikan arca
sebagaimana kuburan lain. Malah tidak ada seorang pun yang bisa memasuki kamar
yang berisi kuburan beliau setelah kamar itu dibangun. Sebelumnya orang-orang
tidak membolehkan siapapun untuk masuk ke lokasi kuburan guna berdoa di
dekatnya, sholat dan sebagainya dari aktivitas-aktivitas pada kuburan lain.
Namun sebagian orang bodoh ada yang sholat menghadap kamar Nabi, mengeraskan
suaranya atau berbicara dengan perkataan yang dilarang. Semua ini dilakukan di
luar kamar Nabi Saw bukan di dekat kuburan beliau. Jika dilakukan di dekat
kuburan beliau, maka Allah telah mengabulkan doa beliau Saw hingga tidak
seorang pun berkesempatan mesuk ke kuburan beliau lalu sholat di dekatnya,
berdoa atau dijadikan sekutu sebagaimana perlakukan yang diterima kuburan lain
yang dijadikan arca. Pada zaman ‘Aisyah Ra tidak seorang pun yang masuk
kecuali karena ingin bertemu dengan istri beliau ini dan ‘Aisyah pun tidak
memperbolehkan siapa pun melakukan hal-hal yang dilarang di dekat kuburan
beliau. Setelah wafatnya ‘Aisyah, kamar yang berisi kuburan Nabi itu ditutup
hingga dimasukkan dalam area masjid lalu pintu kamar itu ditutup dan dibangun
di atasnya tembok lain. Hal ini seluruhnya dilakukan untuk menjaga jangan
sampai rumah beliau dijadikan tempat perayaan dan kuburannya dijadikan arca.
Kalau bukan karena alasan demikian maka sudah diketahui bahwa semua penduduk
Madinah adalah orang muslim dan tidak akan datang ke kuburan Nabi kecuali
orang muslim. Mereka semua juga mengagungkan Rasulullah Saw. Beberapa kuburan
ummat Nabi di beberapa negara juga diagungkan. Maka apa yang dilakukan kaum
muslimin dengan menutup kuburan Nabi bukanlah untuk merendahkannya. Tapi
mereka melakukannya agar kuburan itu tidak dijadikan arca yang disembah dan
rumahnya tidak dijadikan lokasi perayaan serta agar kuburan beliau tidak
mendapat perlakuan sebagai ahlul kitab memperlakukan kuburan para nabi mereka.
Kuburan Nabi yang berada dalam kamar beliau diatasnya hanya terhampar pasir
kasar, tidak ada batu atau kayu. Juga tidak diplester sebagaimana
kuburan-kuburan lain. nabi melarang semua ini semata-mata untuk menutup jalan
terjadinya kemungkaran. Sebagaimana beliau melarang sholat dilakukan saat
terbit dan terbenamnya matahari agar hal itu tidak mengantar pada perbuatan
syirik. Nabi berdoa kepada Allah agar kuburannya tidak dijadikan arca yang
disembah lalu Allah mengabulkan doanya. Sehingga kuburan beliau tidak seperti
kuburan mereka yang dijadikan sebagai masjid. Karena tidak ada orang yang bisa
masuk ke dalam kuburan beliau. Para nabi sebelum Rasulullah Saw jika ummat
mereka melakukan bid’ah maka Allah mengutus nabi untuk melarang tindakan
bid’ah itu. Tapi Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir yang tidak ada lagi
nabi sesudah beliau. Makanya Allah pun melindungi ummat Rasulullah Saw untuk
bersepakat dalam kesesatan dan menjaga kuburan mulia beliau dari dijadikan
sebagai arca yang disembah. Karena – na’udzu billah – seandainya terjadi hal
semacam ini maka sepeninggal beliau tidak lagi ada nabi yang melarang tindakan
terlarang itu, padahal mereka yang melakukannya akan menjadi mayoritas ummat
dan beliau mengkhabarkan bahwa sekelompok ummatnya akan senantiasa membela
kebenaran. Mereka tidak akan terganggu oleh pihak yang menentang dan
menelantarkan mereka hingga tiba hari kiamat. Makanya para pembuat bid’ah
tidak memiliki jalan untuk melakukan pada kuburan nabi Saw sebagaimana yang
dilakukan kuburan lain. Dari Al Jawaab Al Baahir fi Zuwwaaril Maqaabir hlm 13
karya Al Syaikh Ibnu Taimiyyah.
BERKUNJUNG KE LOKASI-LOKASI PENINGGALAN KENABIAN, TEMPAT-TEMPAT
KEAGAAMAAN DAN MEMOHON BERKAH DENGAN MENZIARAHINYA
Dalam topik ini Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menulis pandangan yang sangat
positif yang saya kutip dari tulisannya faidah-faidah penting di bawah ini :
Adapun maqaamatul Anbiyaa’ washshoolihin yaitu lokasi-lokasi di mana
para nabi dan orang-orang shalih pernah menetap, tinggal atau beribadah kepada
Allah di dalamnya namun mereka tidak menjadikannya sebagai masjid maka ada dua
pendapat dari para ulama kesohor yang sampai kepada saya :
Pertama,
larangan dan kemakruhan merencanakan datang ke lokasi-lokasi tersebut dan
sesungguhnya tidak disunnahkan mendatangi sebuah tempat untuk beribadah
kecuali jika tujuan ke tempat itu untuk beribadah sesuai dengan ajaran
syara’ seperti Nabi Saw pernah sengaja datang ke sebuah tempat untuk beribadah
semisal tujuan untuk sholat di maqam Ibrahim dan sebagaimana beliau sengaja
untuk sholat di dekat tiang. Juga seperti beliau sengaja datang ke masjid
untuk sholat dan menempati shaf awal dan lain sebagainya.
Kedua, tidak
apa-apa melakukan sedikit dari hal-hal di atas sebagaimana dikutip dari Ibnu
‘Umar bahwasanya ia sengaja mendatangi tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi
meskipun beliau Saw melewatinya cuma kebetulan bukan kesengajaan.
Al
Sanadi Al Khawatimi berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad ibnu
Hanbal) perihal seorang lelaki yang pergi mendatangi lokasi-lokasi yang
diharapkan mendapat keberkahan. “Apa pendapatmu?” tanyaku. “Adapun sesuai
dengan hadits Ibnu Ummi Maktum bahwasanya ia memohon kepada Nabi agar beliau
sholat di rumahnya hingga tempat sholat beliau dijadikan musholla dan sesuai
dengan tindakan Ibnu ‘Umar mengamati tempat-tempat yang pernah didatangi Nabi
dan jejak-jejak peninggalan beliau maka mendatangi tempat-tempat yang
diharapkan memberi keberkahan tersebut tidak apa-apa. Hanya saja orang-orang
telah bersikap melewati batas dan terlalu banyak melakukannya,” jawab Abu
Abdillah.
Sebagaimana Al Sanadi, Ahmad ibnu Al Qasim juga mengutip dari
Abu Abdillah bahwasanya Abu Abdillah ditanya perihal seorang lelaki yang pergi
mendatangi lokasi-lokasi yang diharapkan mendapat keberkahan di atas yang
berada di Madinah Munawwarah dan sebagainya. Abu Abdillah menjawab,
“Adapun sesuai dengan hadits Ibnu Ummi Maktum bahwasanya ia memohon kepada
Nabi agar datang ke rumahnya danb sholat di tempat tersebut hingga tempat itu
dijadikan musholla atau sesuai dengan tindakan Ibnu ‘Umar yang mengamati
tempat-tempat yang dilewati beliau hingga terlihat ia menumpahkan air di
tempat berair lalu ia ditanya tentang tindakannya ini. “Dulu Nabi Saw pernah
menumpahkan air di tempat ini,” jawab Ibnu ‘Umar. “Adapun sesuai dengan
tindakan Ibnu ‘Umar maka mendatangi tempat-tempat yang diharapkan mendapat
keberkahan di atas maka hal ini tidak apa-apa,” jawab Abu Abdillah. Kata Al
Sanadi Abu Abdillah memperbolehkan mendatangi tempat-tempat yang diharapkan
memberi keberkahan. “Hanya saja orang-orang bersikap terlalu berlebihan dan
terlalu sering melakukan hal ini,” lanjut Abu Abdillah. Kemudian Abu Abdillah
menyebut kuburan Al Husain dan aktivitas yang dilakukan orang-orang di tempat
itu. Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh Al Khallaal dalam Kitabul Adab.
STATEMEN IBNU TAIMIYYAH
Menyangkut Masyaahid yaitu lokasi-lokasi di mana terdapat jejak-jejak
peninggalan para nabi dan orang-orang shalih yang statusnya bukan masjid bagi
mereka seperti beberapa tempat yang ada di Madinah, Abu Abdillah menjelaskan
secara rinci antara minoritas yang tidak menjadikannya sebagai tempat perayaan
dan mayoritas yang menjadikannya sebagai tempat perayaan sebagaimana
telah disebutkan.
Dalam perincian ini Abu Abdillah memadukan antara
beberapa atsar dan statemen-statemen para sahabat. Al Bukhari dalam Shahihnya
meriwayatkan dari Musa ibnu ‘Uqbah, ia berkata, “Saya melihat Salim ibnu
Abdillah mengamati beberapa lokasi jalan dan sholat di tempat itu. Ia
menceritakan bahwa ayahnya melakukan hal yang sama dan ayahnya juga melihat
Nabi Saw sholat di tempat-tempat tersebut.” Musa berkata, “Nafi’ menceritakan
kepadaku bahwa Ibnu ‘Umar sholat di tempat-tempat tersebut.”
Rincian di
atas adalah tindakan yang mendapat dispensasi dari Ahmad ibnu Hanbal.
Adapun
yang dinilai makruh oleh dia adalah sebuah Informasi yang diriwayatkan
oleh Sa’id ibnu Manshur dalam Sunannya, “Menceritakan kepada kami Abu
Mu’awiyah, menceriatakn kepada kami Al A’masy dari Al Ma’ruf ibnu Suwaid dari
‘Umar Ra, Al Ma’ruf berkata, “Saya keluar bersama ‘Umar dalam sebuah
perjalanan haji yang dilakukannya. Dalam sholat Shubuh ia membacakan surat
Alal Nasyrah pada rakaat pertama dan surat Al Qurays pada rakaat
kedua kepada kami. Tatkala ia pulang dari haji ia melihat banyak orang segera
mendatangi masjid. “Ada apa ini? “tanya ‘Umar. “Masjid itu adalah masjid yang
Rasulullah Pernah sholat didalamnya, “jawab mereka. “Demikianlah ahlul kitab
sebelum kalian binasa. Mereka menjadikan jejak-jejak peninggalan para nabi
mereka sebagai biara. Barangsiapa yang kebetulan berada di masjid saat tiba
waktu sholat maka sholatlah di situ dan barangsiapa yang kebetulan tidak
bertemu waktu sholat di situ maka hendaklah ia berlalu, “lanjut ‘Umar.
‘Umar
sungguh tidak setuju tempat sholat Nabi Saw dijadikan tempat perayaan
dan ia menjelaskan bahwa ahlul kitab binasa gara-gara melakukan hal
demikian.
Al Syaikh Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa para ulama
berselisih pendapat perihal mendatangi Masyaahid.
Muhammad ibnu Wadldlaah
mengatakan, “Malik dan ulama lain dari kalangan ulama Madinah tidak senang
mendatangi masjid-masjid dan jejak-jejak peninggalan yang ada di Madinah
kecuali Quba’ dan Uhud. Sufyan Al Tsauri pernah datang ke Baitul Maqdis dan
shalat di dalamnya, namun ia tidak mengamati
jejak-jejak peninggalan beliau Saw dan shalat di dalamnya.”[]