Sifat Mustahil dan Jaiz bagi Allah
Nama kitab: Terjemah Kifayatul Awam, Kifayah al-Awam, Kifayat-ul-‘Awam
Nama kitab asal: Kifayat al-awam fi ma Yajib alaihim min ilm al-kalam ( كفاية
العوام فيما يجب عليهم من علم الكلام )
Penulis: Muhammad Al-Fudhali
(محمد الفضالي)
Penerjemah:
Bidang studi: Akidah Ahlussunnah Wal
Jamaah (Aswaja) Asy’ariyah, ilmu kalam, tauhid, ushuluddin.
Daftar Isi
- B. Sifat-Sifat Mustahil Bagi Allah
- C. Sifat Jaiz Bagi Allah
- Kembali ke kitab: Terjemah Kifayatul Awam
B. Sifat-Sifat Mustahil Bagi Allah
Dan sebagian dari lima puluh akidah yang wajib diketahui adalah dua puluh
lawan dari sifat yang wajib bagi Allah, yaitu;
1. Al
‘adam / tiada, lawan sifat wujud;
2. Al hudust / baru,
lawan sifat qidam;
3. Al fana / binasa, lawan sifat
baqo;
4. Al mumatsalah / menyamai, lawan sifat
mukholafatuhu lil hawadist. Makanya, mustahil Allah ta’ala menyerupai makhluk
dalam apapun yang sifat yang ada pada makhluk. Oleh karena itu Allah tidak
dilalui masa, tidak berada pada suatu tempat, tidak bergerak, tidak diam,
tidak disifati warna, tidak berada pada salah satu arah yang enam. Dengan
demikian, tidak bisa dikatakan Dia berada di atas jirim atau di samping
kanannya, Dia tidak memiliki arah. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan aku
berada di bawah Allah. Adapun ucapan orang awam : “Aku di bawah Tuhan kami
atau sesungguhnya Tuhanku di atasku” adalah ucapan mungkar yang dikhawatirkan
orang itu jadi kufur.
5. Al ikhtiyaj ila mahal au Mukhossis / membutuhkan
zat atau pengada, lawan sifat qiyamuhu binafsihi
6. At
Ta’addud / terbilang -tersusun pada zat, sifat atau ada pembanding dalam zat,
sifat dan perbuatan-, lawan sifat wahdaniyyat;
7. Al
‘ajzu / lemah, lawan sifat qudrot. Makanya, mustahil Allah lemah dari berbuat
atau tidak atas hal yang mungkin.
8. Al karohah /
terpaksa, lawan sifat irodah. Makanya, mustahil bagi Allah mengadakan alam
tanpa dikehendakinya. Setiap yang ada lagi mungkin diadakan Allah dengan
kehendakNya dan pilihanNya. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwasanya
keberadaan makhluk bukan dengan cara ta’lil / sebab dan bukan pula dengan cara
thob’i / tabiat. Perbedaan kedua jalan tersebut, bahwa keberadaan dengan
ta’lil adalah bila ada illat / sebab, pasti harus ada musabbab tanpa
tergantung pada sesuatu yang lain seperti gerak jari jadi sebab bergeraknya
cincin hingga jika jari bergerak, pasti dengannya cincin bergerak tanpa
tergantung yang lainnya. Sedangkan dengan cara tabiat keberadaannya tergantung
kepada adanya syarat dan tiadanya mani’/ penghalang seperti api tidak dapat
membakar sesuatu, kecuali dengan syarat menyentuh kayu bakar misalnya dan
tiadanya penghalang pembakaran seperti basah. Dengan demikian menurut pendapat
ini : “api dapat membakar dengan tabia’tnya” -semoga Allah melaknatnya- .
Tetapi pendapat yang benar, hanya Allah yang menciptakan terbakarnya kayu
bakar tatkala bersentuhan dengan api sebagaimana Allah menciptakan gerak
cincin tatkala jari bergerak. Makanya, tidak ada satupun yang benar dari kedua
cara tersebut. Berbeda dengan yang berpendapat dengan keduanya.
Kesimpulannya
“Mustahil Allah sebagai ‘illat pada keberadaan alam hingga alam timbul dariNya
setelah kehendakNya atau mustahil Allah sebagai tabi’at hingga dikatakan
keberadaan alam dengan tabiatnya”. Maha suci Allah dan Maha Tinggi.
9. Al jahl / bodoh, mustahil Allah bodoh dengan apapun yang mungkin, baik jahlu basith, yaitu ketidaktahuan akan sesuatu maupun jahlu murokkab, yaitu memprediksi sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan dan mustahil pula Allah disifati lupa. Jahlu adalah lawan sifat ilmu.
10. Al maut / mati, lawan sifat hayat;
11. Al shomam / tuli, lawan sifat sama’;
12.
Al ‘umyu / buta, lawan sifat bashor;
13. Al khirs
/ bisu dan al bukm yang semakna denganya, lawan sifat kalam;
14.
Kaunuhu ta’ala ‘ajizan / terbukti yang lemah, lawan kaunuhu ta’ala
qodiron;
15. Kaunuhu ta’ala karihan / terbukti yang
terpaksa, lawan kaunuhu ta’ala muidan;
16. Kaunuhu
ta’ala jahilan / terbukti yang bodoh, lawan kaunuhu ta’ala ‘aliman;
17.
Kaunuhu ta’ala mayyitan / terbukti yang mati, lawan kaunuhu ta’ala
hayyan;
18. Kaunuhu ta’ala ashomma / terbukti yang
tuli, lawan kaunuhu ta’ala samia’n;
19. Kaunuhu ta’ala
a’ma / terbukti yang buta, lawan kaunuhu ta’ala bashiron;
20.
Kaunuhu ta’ala abkama / terbukti yang bisu, lawan kaunuhu ta’ala
mutakalliman. Inilah dua puluh sifat yang mustahil bagi Allah.
Perlu
diketahui sesungguhnya dalil-dalil sifat 20 yang wajib bagi Allah dapat
menetapkan dan menafikan lawannya. Dalil-dalil sifat ma’ani yang tujuh jadi
dalil pula bagi tujuh sifat ma’nawiyyah. Inilah 40 akidah dengan perincian 20
sifat yang wajib bagi Allah, 20 yang dinafikan dariNya dan 20 dalil ijmali
yang menetapkan suatu sifat dan menafikan lawannya.
Tanbih /
Peringatan
Sebagian Ulama berpendapat : “al-asyya’ / sesuatu itu ada 4
:
1. Maujud / yang ada; yaitu sesuatu yang dapat
terdeteksi panca indera atau akal seperti zat si Zaid yang kau lihat;
2.
Ma’dum / tiada; yaitu sebaliknya maujud seperti anakmu sebelum
diciptakan;
3. Haal / sifat tengah-tengah antara ada
dan tiada seperti kaunuhu qodiron ( terbukti yang berkuasa ) dan
4.
I’tibar / sesuatu yang dapat dimengerti keberadaannya dalam hati sebagai
tambahan atas dimengertinya zat seperti tetapnya berdiri pada si Zaid.
Dengan
pembagian di atas tadi, Imam Sanusi menetapkan adanya sifat haal dan
menjadikan sifat yang wajib bagi Allah ada 20. Sementara yang lainnya
berpendapat tidak ada sifat haal. Inilah yang paling tepat. Dengan demikian
sifat yang wajib bagi Allah hanya 13 dengan menggugurkan sifat ma’nawiyyah,
karena sifat-sifat itu termasuk haal. Makanya, tidak ada sifat yang dinamai
kaunuhu qodiron, muridan dan seterusnya, karena yang benar tidak ada sifat
haal. Ini berarti al assyya’ itu ada tiga, yaitu maujud, ma’dum dan
i’tibar.
Bila gugur 7 sifat ma’nawiyyah, gugur pula lawannya.
Makanya, tidak ada yang namanya kaunuhu ‘ajizan dan seterusnya dari lawan
sifat ma’nawiyyah. Dengan demikian hal-hal yang mustahil ada 13, jika wujud
dikatakan sifat menurut selain pendapat Imam Al-‘ASy’ari.
Adapun
menurut Imam Al-Asy’ari “wujud itu ‘ain maujud”. Jadi wujud Allah SWT adalah
‘ain zatNya. Di sini wujud bukan sifat. Berarti sifat yang wajib itu ada 12,
yaitu ; qidam, baqo’, mukholafatuhu lil hawadist, qiyamuhu binafsihi atau al
istigna’ mutlaq / tidak membutuhkan apapun, wahdaniyyah, qudrot, irodat, ilmu,
hayat, sama’, bashor dan kalam. Kemudian sifat ma’nawiyyah gugur, karena
ketetapannya berdasarkan pendapat adanya sifat haal. Sedangkan pendapat yang
benar berbeda (tidak ada sifat haal).
Jika kau akan mengajarkan
sifat-sifat Allah kepada orang awam, ajarkanlah kepada mereka dengan
menggunakan isim mustaq dari sifat-sifat tersebut dengan mengatakan :
“Sesungguhnya Allah ada, yang terdahulu, yang kekal, yang berbeda dengan
makhluk, yang tidak membutuhkan apapun, yang mampu, yang berkehendak, yang
mengetahui, yang hidup, yang mendengar, yang melihat, yang berbicara dan
mengajarkan mereka akan lawan-lawan sifat tersebut dengan hal yang sama.
Perlu
diketahui bahwasanya sebagian Syaikh / Ulama- ulama memisahkan pengertian
antara haal dan i’tibari. Kata mereka : “haal dan i’tibari itu bukan yang ada
dan tiada tetapi keduanya nyata sendirinya hanya saja kalau haal ada ta’alluq
/ keterkaitan dan tetap pada zat, sedangkan i’tibari ada sifat tidak ada
keterkaitan pada zat dan juga nyata adanya pada selain hati. Pendapat ini
perlu disanggah : “i’tibari itu sifat. Bila ia tidak ta’alluq pada zat dan
nyata pada selain hati, dimana mausuf / zat yang disifati, sedangkan sifat
tidak ada dengan sendirinya bahkan harus ada mausufnya”.
Pendapat
yang benar bahwasanya i’tibari tidak nyata kecuali hanya pada hati. Dia
terbagi dua;
1. I’tibari ikhtiro’i dan
2.
I’tibari intiza’i
I’tibari ikhtiro’i adalah sesuatu yang tak ada
asalnya seperti perkiaraanmu pada orang pemurah sebagai orang bakhir / kikir
atau orang bodoh sebagai orang pintar.
I’tibari intiza’i adalah sesuatu
yang ada asalnya pada
kenyataannya seperti tetapnya berdiri pada si Zaid
yang diambil dari ucapanmu : "si Zaid yang berdiri”. Disifatinya si Zaid
dengan berdiri tetap pada kenyataannya.
C. Sifat Jaiz Bagi Allah
Diwajibkan bagi setiap
mukallaf mengi’tikadkan bahwasanya akidah ke 41 bagi Allah
SWT, yaitu :
Jaiz / wenang menciptakan yang baik dan buruk. Oleh
karena itu, wenang bagiNya menciptakan Islam pada si Zaid, kufur pada si Umar,
ilmu pada salah seorang dan bodoh pada salah satu yang lain.