Bab 6: Abu Bakar Ash-Shiddiq Dipilih sebagai Khalifah Pertama
Nama kitab: Terjemah Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam
Judul lengkap: Al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام)
Penulis: Ibnu Hisyam (عبد الملك بن هشام أو ابن هشام)
Nama lengkap: Abu Muhammad 'Abd al-Malik bin Hisham ibn Ayyub al-Himyari al-Mu'afiri al-Baṣri ( أبو محمد عبد الملك ابن هشام بن أيوب الحميري)
Lahir: Basrah, Iraq
Wafat: 7 Mei 833 M / 218 H, Fustat, Mesir
Penerjemah:
Era: Zaman keemasan Islam, Islamic golden age; (khilafah Abbasiyah)
Bidang studi: Sejarah Nabi Muhammad, sirah Rasulullah
Daftar Isi
- Bab 6: Abu Bakar Ash-Shiddiq Dipilih secara Aklamasi oleh Mavoritas Muhajirin dan Anshar Meniadi Khalifah (Penqqanti) Rasulullah
- Sikap Abu Bakar Radhivallahu Anhu Setelah Wafatnva Rasulullah
- Peristiwa Saqifah (Hall) Bani Saidah
- Pidato Umar bin Khaththab Sebaqai Penqantar Baiat Abu Bakar
- Pidato Abu Bakar Radhivallahu Anhu Setelah Meniabat Khalifah
-
Kembali ke:
Terjemah Sirah Ibnu Hisyam
Bab 6 Abu Bakar Ash-Shiddiq Dipilih secara Aklamasi oleh Mayoritas Muhajirin dan Anshar Menjadi Khalifah (Pengganti) Rasulullah
Ibnu Ishaq berkata: Az-Zuhri berkata: Sa'id bin Al-Musaiyyab bercerita
kepadaku, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Tatkala Rasulullah
wafat, Umar bin Khaththab berdiri, kemudian berkata: "Beberapa orang munafik
menyangka bahwa Rasulullah telah wafat. Demi Allah, Rasulullah tidak wafat, ia
hanya pergi menemui Tuhannya sebagaimana Nabi Musa yang pergi dari kaumnya
selama empat puluh hari kemudian kembali kepada mereka setelah dikabarkan
bahwa beliau telah wafat. Demi Allah, Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam
pasti kembali sebagaimana Nabi Musa, kemudian beliau pasti memotong tangan dan
kaki orang-orang yang berkata bahwa Rasulullah telah wafat.
Sikap Abu Bakar Radhiyallahu Anhu Setelah Wafatnya Rasulullah
Tatkala kabar ini datang maka Abu Bakar Radhiyallahu Anhu bergegas
datang kemudian berhenti di pintu masjid, sementara Umar bin Khaththab masih
berbicara di depan kerumunan kaum muslimin. Abu Bakar tidak menghiraukan hal
tersebut dan tetap fokus menuju rumah Aisyah tempat Rasulullah Shallalahu
'alaihi wa Sallam wafat. Tatkala itu, wajah Rasulullah ditutup dengan pakaian
di sudut rumah. Abu Bakar Radhiyallahu Anhu mendekat kepada Rasulullah,
menyingkap wajahnya kemudian mendekatinya dan menciumnya. Abu Bakar berkata:
"Kematian yang telah ditetapkan Allah
kepadamu, kini telah
engkau rasakan dan setelah itu engkau tidak akan lagi merasakan kematian
selama-lamanya." Abu Bakar menutup kembali wajah Rasulullah, lalu keluar.
Sementara itu Umar bin Khaththab masih berbicara pada manusia. Abu Bakar
berkata: "Berhentilah bicara wahai Umar." Umar bin Khaththab menolak untuk
berhenti. Tatkala Abu Bakar melihat Umar bin Khaththab tidak juga mau diam, ia
menemui kerumunan manusia. Tatkala manusia mendengar suara Abu Bakar, mereka
mendekat kepadanya dan meninggalkan Umar bin Khaththab. Abu Bakar memuji Allah
dan menyanjung-Nya, lalu berkata:
"Wahai manusia, barangsiapa menyembah
Muhammad, maka sesungguhnya dia telah meninggal dunia. Namun barangsiapa
menyembah Allah, maka ketahilah Allah senantiasa Hidup dan tidak akati pernah
mati." Setelah itu, Abu Bakar membaca firman Allah Ta'ala:
Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya bebe-
rapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran: 144).
Demi Allah,
seakan-akan orang-orang yang hadir tidak tahu kalau ayat di atas telah
diturunkan dan seakan-akan mereka baru mengetahui tatkala dibacakan Abu Bakar.
Mereka mengambil ayat tersebut dari Abu Bakar dan mereka pun mengucapkan
dengan mulutnya. Abu Hurairah berkata: Umar bin Khaththab berkata: "Demi
Allah, tatkala Abu Bakar membaca ayat di atas, aku tersadar dari apa yang aku
katakan hingga akupun jatuh ke tanah karena kedua kakiku tidak sanggup lagi
menahan jasadku. Saat itulah, aku baru menyadari bahwa Rasulullah benar-benar
telah tiada. "
Peristiwa Saqifah (Hall) Bani Saidah
Ibnu Ishaq berkata: Tatkala Rasulullah wafat, kaum Anshar mengunggulkan
Saad bin Ubadah di saqifah (hall) Bani Saidah sebagai pengganti Nabi. Ali bin
Abu Thalib bersama Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidilah, mengisolasi
diri di rumah Fathimah, sedangkan kaum Muhajirin umumnya mengunggulkan Abu
Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usaid bin Hudhair di Bani Abdul Asyhal. Tiba-
tiba seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab lalu berkata:
"Sesungguhnya kaum Anshar lebih memilih Sa'ad bin Ubadah di saqifah (hall)
Bani Saidah. Jika kalian berdua ada keperluan, segeralah pergi ke tempat
mereka, sebelum perkara ini tak bisa dibendung." Saat itu, jenazah Rasulullah
Shallalahu 'alaihi wa Sallam belum diurus dan pintu rumah beliau ditutup oleh
keluarga beliau. Umar bin Khaththab berkata kepada Abu Bakar: "Marilah kita
pergi kepada saudara-saudara kita dari kaum Anshar sebelum hal-hal yang
diinginkan terjadi."
Ibnu Ishaq berkata: Peristiwa ini mulai terjadi
tatkala kaum Anshar berkumpul di Saqifah, Abdullah bin Abu Bakr bercerita
kepadaku, dari Ibnu Syihab Az-Zuhri, dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah
bin
Mas'ud, dari Abdullah bin Abbas dari Abdurrahman bin Auf.
Abdullah bin Abbas berkata: Umar bin Khaththab berkhutbah: "Janganlah
seseorang terpedaya lalu menyatakan bahwa pembaiatan Abu Bakar adalah tidak
disangka-sangka dan spontan begitu saja. Sesungguhnya pembaiatan Abu Bakar
telah terjadi seperti itu dan Allah telah menjauhkan keburukan pembaitan
tersebut dan tidak ada di antara kalian orang yang sekelas Abu Bakar. Maka
barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslimin,
baiatnya tidak sah juga tidak sah orang yang membaiat orang tersebut dengan
terpaksa, dan keduanya harus dihabisi. Sesungguhnya di antara berita tentang
kami tatkala Rasulullah wafat bahwa kaum Anshar tanpa sepengetahuan kami
berkumpul dengan tokoh- tokoh mereka di saqifah Bani Saidah. Ali bin Abu
Thalib, Zubair bin Awwam, dan orang-orang yang ikut dengan keduanya juga tidak
sependapat dengan kami, sedang kaum Muhajirin berpihak kepada Abu Bakar. Aku
berkata kepada Abu Ba- kar: "Mari kita datangi saudara-saudara kita kaum
Anshar di sana." Kami pun berangkat menuju tempat mereka hingga bertemu dengan
dua orang shalih. Kedua orang tersebut menceritakan apa yang telah disepakati
di te- ngah kaum Anshar. Kedua orang shalih tersebut bertanya: "Wahai
orang-orang Muhajirin, kemana kalian akan pergi?" Kami menjawab: "Kami hendak
pergi menuju tempat kaum Anshar." Kedua orang shalih tersebut berkata: "Hai
orang-orang Muhajirin, janganlah kalian mendekati mereka, namun selesaikan
urusan kalian." Aku berkata: "Demi Allah, aku tetap akan pergi kepada mereka."
Kami tetap berjalan hingga tiba di tempat mereka di saqifah Bani Saidah.
Ternyata di tengah-tengah kaum Anshar terdapat seseorang yang berselimut. Aku
bertanya: "Siapakah orang itu?" Kaum Anshar menjawab: "Dia Sa'ad bin Ubadah."
Aku bertanya^ "Kenapa ia mengenakan selimut?" Kaum Anshar menjawab: "Karena ia
sedang sakit." Tatkala kami duduk, orator kaum Anshar bersyahadat, memuji
Allah dengan pujian yang pantas diterima-Nya, dan berkata: "Amma ba'du. Kami
kaum Anshar dan pasukan Islam, sedang kalian, wahai kaum Muhajirin adalah
bagian dari kami. Sungguh, beberapa orang dari kalian berjalan pelan-pelan,
ternyata mereka ingin memutus kami dari asal-usul kami dan merampas perkara
ini (pengganti Nabi) sendirian tanpa keikutsertaan kami. Setelah orator itu
diam, aku ingin berbicara, karena sebelumnya aku telah menyiapkan ucapan yang
aku sendiri mengaguminya dan aku ingin mengucapkannya di depan Abu Bakar. Aku
menyembunyikan sikap kerasku sebagai bentuk hormatku kepada Abu Bakar. Abu
Bakar berkata: "Tahan dirimu, wahai Umar." Dan akupun menahan diriku karena
tidak mau membuat Abu Bakar marah. Setelah itu, Abu Bakar berbicara dan ia
jauh lebih mengerti dan lebih tenang daripada aku. Demi Allah, Abu Bakar
mengucapkan semua perkataan indah yang telah aku siapkan dengan baik-baiknya,
sama atau bahkan lebih baik dari yang aku siapkan. Abu Bakar diam sejenak lalu
berkata lagi: "Adapun kebaikan memang berada pada kalian sebagaimana yang
kalian katakan, dan kalian memang berhak memilikinya. Tapi, orang-orang Arab
hanya tahu bahwa perkara (memilih pengganti Nabi) ini adalah hak orang-orang
Quraisy, karena mereka orang-orang Arab yang paling baik nasab dan negerinya.
Sungguh aku menerima dengan hati terbuka dan lapang dada untuk menjadi
pemimpin kalian salah seorang dari dua orang ini (Umar dan Abu Ubaidah). Maka
baiatlah di antara keduanya yang mana yang kalian sukai." Abu Bakar memegang
tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang pada saat itu duduk di
antara kami. Tidak ada ucapan Abu Bakar yang lebih aku benci kecuali ucapan
terakhir tersebut. Demi Allah, jika aku dibawa ke depan mereka kemudian aku
dibunuh apabila itu tidak mendekatkanku kepada dosa, itu lebih aku sukai
daripada aku harus memimpin kaum yang di dalamnya ada Abu Bakar.
Seorang
laki-laki dari kaum Anshar berkata: "Akulah orang yang diambil pendapatnya
oleh kaum Anshar, tempat pohon kurma yang menjadi tempat berlindung berlindung
kaum Anshar dan tokoh terpenting mereka. Wahai orang-orang Quraisy, hendaknya
ada satu pemimpin yang harus berasal dari kami dan satu peminpin dari kalian."
Maka terjadilah kerusuhan gara-gara ucapannya tersebut, suara-suara semakin
meninggi, dan aku khawatir sekali terjadi konflik. Aku segera berkata:
"Wahai
Abu Bakar, ulurkan tanganmu." Abu Bakar lalu
mengulurkan tangannya, kemudian aku membaiatnya diikuti kaum Muhajirin, dan
kaum Anshar.
Ibnu Ishaq berkata: Az-Zuhri berkat: Urwah bin Zubair
bercerita kepadaku bahwa salah satu dari dua warga Anshar yang berpa- pasan
dengan kaum Muhajirin tatkala mereka pergi menuju saqifah Bani Saidah ialah
Uwaim bin Saidah dan orang satunya lagi ialah Ma'nu bin Adi, warga Bani
Al-Ajlan.
Mengenai Uwaim bin Saidah, dituturkan kepadaku bahwa Rasulullah
pernah ditanya tentang siapa yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala:
Di
dalamnya ada orang-orangyang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih. (QS. at-Taubah: 108).
Orang terbaik dari mereka
ialah Uwaim bin Saidah. Sementara mengenai Ma'nu bin Adi, diwartakan kepadaku
bahwa orang-orang menangisi Rasulullah tatkala Allah mewafatkan beliau. Mereka
berkata: "Demi Allah, kami ingin diwafatkan sebelum Rasulullah karena kami
khawatir akan munculnya fitnah yang menimpa kami sepeninggal beliau." Ma'nu
bin Adi berkata: "Sedangkan aku, demi Allah, menginginkan sebaliknya. Aku
belum ingin wafat sebelum beliau, agar aku terus konsisten membenarkan beliau
tatkala beliau telah tiada sebagaimana aku telah membenarkan beliau semasa
hidupnya."
Ma'nu bin Adi gugur sebagai syahid pada Perang Yamamah pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, pada saat memerangi Musailamah Al-Kadzdzab.
Pidato Umar bin Khaththab Sebagai Pengantar Baiat Abu Bakar
Ibnu Ishaq berkata: Az-Zuhri bercerita kepadaku, ia berkata: Anas bin
Malik Radhiyallahu Anhu memberitakan kepadaku bahwa usai Abu Bakar dilantik
dan dibaiat menjadi khalifah di saqifah Bani Saidah, lalu keesokan harinya,
Abu Bakar duduk di atas mimbar. Saat itulah Umar bin Khaththab berdiri
berpidato untuk memberikan pengantar pidato Abu Bakar. Umar bin Khaththab
memuji Allah, menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas diterima-Nya, ia
berkata:
"Wahai manusia sekalian, kemarin aku telah khilaf berbicara yang
menyelisihi Kitabullah dan ucapanku bukanalah wasiat yang diwasiatkan
Rasulullah kepadaku. Namun telah diwartakan padaku bahwa Rasulullah Shallalahu
'alaihi wa Sallam akan mengatur segala urusan kita. Sesungguhnya Allah Ta'ala
telah mewariskan kalian Kitab-Nya yang dengannya Dia membimbing Rasul-Nya.
Jika kalian berpegang teguh kepada Kitabullah, Allah akan membimbing kalian
sebagaimana Dia membimbing Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah menghimpun
urusan kalian kepada orang terbaik kalian, sahabat Rasulullah, dan salah satu
dari dua orang tatkala keduanya berada di dalam Gua Hira. Maka berbaiatlah
kalian kepadanya."
Orang-orang pun bersegera membaiat Abu Bakar dengan
baiat umum setelah baiat di saqifah (hall) Bani Saidah bersifat khusus.
Pidato Abu Bakar Radhiyallahu Anhu Setelah Menjabat Khalifah
Lalu Abu Bakar membuka ucapannya. Ia memuji Allah, menyanjung-Nya
dengan sanjungan yang pantas diterima-Nya, ia berkata:
"Amma ba'du. Wahai
manusia, kalian lahyang telah memutuskan untuk memilihku menjadi pemimpin
kalian, namun aku bukanlah orang terbaik di tengah kalian semua. Oleh karena
itujika aku berbuat yang benar maka tak ada alasan bagi kalian kecuali
mendukungku. Jika aku berbuat salah maka segera luruskanlah aku. Berbicara
yang benar adalah amanah dan bicara dusta adalah khianat. Orang yang lemah di
tengah kalian bagiku dia adalah orang yang kuat di sisiku hingga aku berikan
haknya insya Allah dan orang kuat di tengah kalian bagiku dia hanyalah orang
lemah di sisiku hingga aku mengambil hak darinya insya Allah. Bila sampai ada
suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan
kehinaan kepada mereka. Begitupula seandai- nya perbuatan zina merebak di
sebuah kaum, maka Allah akan menimpakan prahara dan bencana di tengah mereka.
Sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka taatlah kalian kepadaku.
Dan tidak ada kewajiban bagi kalian taat kepadaku jika kalian menemukan aku
bermaksiat kepada Allah dan Rasul- Nya. Tegakkanlah shalat, mudah-mudahan
Allah memberi rahmat pada kalian."
Ibnu Ishaq berkata: Husain bin
Abdullah bercerita kepadaku, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
Anhumz, yang berkata: Umar bin Khaththab menatap wajahku lalu bertanya: "Wahai
Ibnu Abbas, adakah engkau tahu alasan aku mengucapkan bahwa Rasu- lullah tidak
wafat saat itu?" Aku menjawab: "Tidak tahu, wahai Amirul Mukminin." Umar bin
Khaththab berkata: "Demi Allah, alasan aku berkata seperti itu karena aku
pemah membaca ayat berikut:
Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umatyang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. (QS. al-Baqarah: 143).
Demi Allah, awalnya aku
berasumsi bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam akan tetap berada di
umatnya hingga beliau menjadi saksi atas amal perbuatan terakhir umatnya.
Itulah yang mendorongku untuk melontarkan perkataan tersebut."[]