Bukti Eksistensi Tuhan dalam Perspektif Filsafat

MASALAH KEEMPAT: Penjelasan Tentang Ketidakmampuan Filsuf Membuktikan Eksistensi Pencipta Alam kelompok materialis. Kelompok ini berpendapat bahwa ala

Bukti Eksistensi Tuhan dalam Perspektif Filsafat

Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi 

  1. Masalah Keempat: Penjelasan Tentang Ketidakmampuan Filsuf Membuktikan Eksistensi Pencipta Alam 
  2. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KEEMPAT: Penjelasan Tentang Ketidakmampuan Filsuf Membuktikan Eksistensi Pencipta Alam

Kami katakan bahwa (dalam konteks ini) umat manusia terbagi menjadi dua kelompok.

Pertama, kelompok penganut kebenaran (ahl al-haqq). Mereka berpandangan bahwa alam memiliki awal waktu (hadis) dan berdasar pengetahuan niscaya rasional (daruri) mereka tahu bahwa sesuatu yang memiliki awal waktu tidak bisa ada dengan sendirinya, sebab ia memerlukan pencipta. Dengan demikian, pandangan mereka tentang pencipta dapat diterima akal sehat.
Kedua, kelompok materialis. Kelompok ini berpendapat bahwa alam tidak memiliki awal waktu (qadim), sudah demikian adanya sejak awal, sehingga tidak memerlukan pencipta. Pandangan ini juga masuk akal, sekalipun terdapat bukti rasional yang ddapat dikembangan untuk membantahnya.
Para filsuf menyatakan bahwa alam tidak memiliki awal waktu (qadim), namun bersama itu mereka juga menetapkan eksistensi pencipta alam. Dalam formasi dasarnya, teori ini sudah mengidap self contradictiory. Oleh karena itu tidak diperlukan argumen untuk membantahnya.
Jika dikatakan: ketika kita menyatakan bahwa alam memiliki pencipta, kami tidak memaksudkannya sebagai pekerja yang berbuatatas kehendaknya sendiri setelah sebelumnya tidak berbuat apa-apa, seperti yang kita lihat pada pekerjaan seseorang dalam profesi: penjahit, tukang tenun, dan pembuat bangunan. Namun yang kami maksud dengan pencipta disini adalah “sebab” (‘illah) adanya alam, yang kami sebut Prinsip Pertama (Al-Mabda’ ‘al-Awwal). Artinya, keberadaannya tidak memerlukan sebab, sedangkan ia sendiri adalah sebab bagi keberadaan yang lainnya. Dalam kondisi inilah kami menyebutnya sebagai “pencipta”.
Ketetapan adanya fakta (maujud) yang tidak memiliki sebab untuk keberadaannya memang diakui kebenarannya berdasar memiliki sebab untuk keberadaannya memang diakui kebenarannya berdasar argumen konklusif berikut ini. Kita katakan: alam dan eksistensi segala yang ada di dalamnya bisa dilihat dari dua sisi: (1) memiliki sebab, (2) tidak memiliki sebab. Jika memiliki sebab, maka sebab (yang menyebabkan adanya alam dan segala isinya) juga memiliki dua kemungkinan: memiliki sebab dan tidak memiliki sebab. Dan begitulah wacana tentang sebab atas sebab. Dalam hal ini terdapaat dua alternatif:
(1)    terjadi rangkaian sebab akibat yang tidak berujung (ad ininitum), yaang merupakan kemustahilan, (2) rangkaian sebab yang berujung pada satu titik. Yang terakhir inilah yang menjadi “sebab pertama”, yang tidak memiliki sebab bagi eksistensinya. Sebab terakhir ini kami sebut “Prinsip Pertama”. Jika alam ada sendiri tanpa sebab, maka Prinsip Pertamanya sudah jelas. Karena sebenarnya yang kami maksud dengan Prinsip Pertama tersebut tak lain adalah fakta yang tidak memiliki sebab. Ketetapan semacam ini merupakan kebenaran yang berdasarkan argumen niscaya rasional (darurah).
Tapi Prinsip Pertama itu tidak bissa berupa langit, sebab ia terdiri dari sejumlah bagian, sedangkan bukti kesatuan Ilahi (tauhid) tidak bisa membenarkannya. Kesalahan ini dapat diketahui dengan melihat sifat esalahan ini dapat diketahui dengan melihat sifat yang dimiliki oleh Prinsip Pertama. Walaupun dikatakan bahwa langit itu satu, merupakan satu tubuh (jisim wahid), satu matahar, satu matahari atau lainnya, hal itu tetapatau lainnya, hal itu tetap tidak bisa diterima, karena berupa tubuh (jisim). Sedangkan tubuh mesti terdiri dari bentuk (surah/ form) dan materi (huyuli/ matter). Sementara Prinsip Pertama tidak boleh tersusun dari bagian-bagian (murakkab). Ini bisa diketahui dengan mencermati “argumen kedua”.
Yang kami maksudkan adalah bahwa fakta yang tidak memiliki sebab bagi eksistensinya diakui ada berdasarkan penalaran niscaya rasional dan konsensus, sebab silang pendapat dalam persoalan ini hanya berkisarpendapat dalam persoalan ini hanya berkisar pada wilayah sifat-sifatnya. Inilah yang kami maksud dengan Prinsip Pertama.
Tanggapan atas pandangan tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai konsekuensi niscaya dari arah pemikiran Anda adalah bahwa tubuh-tubuh alam tidak berawal (qadim) juga, tanpa sebab. Dan menurut Anda kekeliruan hal tersebut dapat diketahui dengan melihat “argumen kedua”. Setelah ini kami akan membantah pandangan Anda dalam persoalan kesatuan (tauhid) dan negasi sifat-sifat.
Kedua, khusus terkait dengan masalah ini, penting dikatakan bahwa ketetapan tentang segala yang ada memiliki sebab, sebab (yang menyebabkannya) memiliki sebab juga, sebab dari sebab itu juga memiliki sebab, dan begitu seterusnya tanpa ujung, merupakan ketetapan hipotetik. Apa yang Anda katakan bahwa mustahil menetapkan rangkaian sebab tanpa ujung tidak dapat memperkuat argumen Anda. Karena kami mempertanyakan, apakah Anda mengetahui hal tersebut secara pasti tanpa perantara (kesimpulan langsung yang ditarik dari penalaran secara rasional) atau melalui perantara (menggunakan argumen deduktif)? Dalam kasus ini tidak ada argumen dari penalaran rasional. Dan metode penalaran teoritis yang Anda sebutkan tidak bisa diterima karena adanya kemungkinan eksistensi fenomena-fenomena temporal (hawadis) yang tidak memiliki awal. Jika sesuatu yang tak terhingga (la nihayah) bisa masuk menjadi bagian dari eksistensi, lalu mengapa tidak diberlakukan adanya sebgaian fenomena temporal yang menjadi sebab bagi sebagian yang lain sehingga berakhir pada akibat (ma’lul/ efect) yang tidak bisa melahirkan akibat di ujung terakhir, dan di sisi yang lain, rangkaian itu tidak berakhir pada sebab yang tidak memiliki sebab? Hal itu dapat diilustrasikan dengan “masa lalu” yang memiliki akhir, yaitu “masa sekarang” yang segera berlalu, sementara ia (masa lalu) tidak memiliki batas awal.
Jika Anda mengira bahwa fenomena-fenomena temporal masa lalu (hawadis madiyah) tidak bisa menjadi maujud secara bersama-sama pada saat ini atau pada saat yang lain, sementara yang tidak ada (ma’dum) tidak bisa dideskripsikan dengan ukuran berhingga dan tak berhingga, maka Anda harus memberlakukan hukum itu terhadap jiwa-jiwa manusia yang berpisah dari jasadnya. Sebab menurut Anda, jiwa-jwa itu tidak akan binasa, dan maujud yang berupa jiwa-jiwa telah berpisah dari segi jumlahnya. Karena sperma (yang mnjadi manusia berjiwa) berasal dari manusia, padahal manusia terbentuk dari sperma, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Kemudian, jika manusia mati, jiwanya akan tetap ada. Dalam aspek bilangannya, jiwa itu bukanlah jiwa orang mati sebelum, bersamaan atau sesudah yang memiliki jiwa tersebut. Jika seluruh jiwa dalam aspek macam (nau’)-nya adalah satu, maka—menurut Anda—di dalam wujud pada setiap keadaan terdapat jiwa yang secara bilangan tak berhingga.


Jika dikatakan:
Jiwa itu tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain serta tidak memiliki ketersusunan (tartib) secara karakter dasar atau penetapan posisinya. Dan kami hanya menganggap mustahil terhadap maujud-maujud tak berhingga, ketika ia memiliki ketersusunan secara posisi, seperti tubuh—satu bagian berposisi di atas bagian yang lain—atau ketersunan dalam karakter dasarnyaa, seperti sebab dan akibat. Kenyataannya, jiwa tidak demikian adanya.


Maka tanggapan kami:
Pendapat tentang (ketersusunan secara) posisi semacam ini tidak bisa dielaborasi dengan validitas yang lebih unggul dari kebalikannya. Mengapa Anda menganggap mustahil salah satu (ketakberhinggaan dalam aspek bilangan) dari dua bagian dan tidak menganggap mustahil bagi yang lain? Argumen apa yang mendasari distingsi ini?
Lalu dengan apa Anda akan menolak pendapat yang mengatakan bahwa jiwa yang tak berhingga—menurut Anda— tidak steril dari ketersusunan? Karena, eksistensi sebagian jiwa muncul sebelumyang lain bereksistensi, sedangkan siang dan malam pada maa lalu tidak memiliki batas keberhinggaan (la nihayah). Maka jika kita mengira-ngira keberadaan satu jiwa dalam sehari dan semalam, maka jumlah total eksistensinya saat ini akan melampaui batas-batas keberhinggaan, tapi tetap dalam ketersusunan eksistensi. Artinya, salah satunya muncul setelah yang lain. Demikian juga dengan “sebab”, yang pada akhirnya akan dikatakan bahwa pada dasarnya ia ada sebelum “akibat”. Hal ini seperti pernyataan bahwa sebab berada di atas akibat secara esensi, bukan secara posisi. Jika hal ini tidak mustahil dalam kategori “sebelumnya” (qabl) yang riil dan temporal (haqiqi- zamani), tidak mustahil dalam kategori “sebelumnya” yang esensial dan natural (zati-tabi’i). Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan para filsuf yang—di satu sisi—menolak kemungkinan sebagian (sesuatu yang tergolong) tubuh (jisim), berada di atas sebagian yang lain secara ruang (makan) dan seterusnya sampai tak berhingga, sementara—di sisi lain—mereka mengakui adanya sebagian maujud sebelum sebagian yang lain secara waktu (zaman) sampai tak berhingga? Bukankah hal semacam ini merupakan kesimpulan tak berdasar dan tidak meyakinkan?


Jika dikatakan:
Konklusi demonstratif atas kemustahilan seKonklusi demonstratif atas kemustahilan sebab-sebab yang tak berhingga adalah persoalan apakah masing-masing sebuah sebab—dari satuan sebab-sebab—merupakan sesuatu yang kontingen (mumkin) atau niscaya (wajib). Jika setiap sebab merupakan sesuatu yang niscaya, mengapa masih memerlukan sebab? Jika ia merupakan sesuatu yang kontingen, maka sebab secara keseluruhan menyandang karakter dasar kontingensi (imkan), dan setiap yang kontingen memerlukan sebab tambahan atas esensi (zat)-nya. Karena itu, keseluruhannya memerlukan sebab eksternal dari luar dirinya.


Maka kami katakan:
Kata “kontingen” dan “niscaya” adalah kata yang tidak jelas (mubham), kecuali niscaya (wajib) dimaksudkan dalam pengertian sesuatu yang tidak bersebab dalam eksistensinya dan kata kontingen (mumkin) sebagai sesuatu yang memiliki sebab tambahan atas esensinya untuk bereksistensi. Jika ini yang dimaksud, mari kita gunakan kata ini. Kami katakan bahwa setiap sedang “keseluruhan”(-nya) bukan merupakan kontingen dalam arti tidak memiliki sebab tambahan atas dirinya. Jika yang dimaksud dengan terma kontingen (mumkin) tidak seperti yaang kami maksudkan hal itung kami maksudkan hal itu t tidak bisa dipahami.

Jika dikatakan:
Ini akan mengantar pada kesimpulan bahwa yang niscaya-ada (wajib al-wujud) dapat dibentuk dari hal-hal yang kontingen-ada (mumkinat al-wujud), padahal kesimpulan seperti ini merupakan sesuatu yang absurd (muhal).

Kami tanggapi:
Jika yang Anda maksud dengan niscaya dan kontingen seperti yang saya maksud, maka itulah yang memang diharapkan dan kami tidak bisa menerima bahwa itu merupakan sesuatu yang absurd (muhal). Menganggap hal itu absurd seperti menilai pernyataan bahwa yang tak berawal (qadim) mustahil terbentuk dari yang berawal (hadis) sebagai sesuatu yang mustahil. Karena menurut filsuf, waktu (zaman) itu tak berawal, sedang satuan perputaran waktu berawal. Kebermulaan memang dapat diberlakukan kepada satuan tapi tidak terhadap agregatnya. Karena predikat “satu”, “bagian” atau “pecahan” dapat disandang oleh satuan sesuat, tapi tidak bisa ditetapkan terhadap agregatnya. Suatu tempat yang kita tentukan dari permukaan bumi pada suatu waktu dapat tersinari matahari dan pada saat yang lain diselimuti gelap. Masing-masing (dari kondisi cerah dan gelap) adalah berawal, setelah sebelumnya tidak ada. Artinya ia memiliki titik mula. Tapi kesimpulan dari keseluruhannya—menurut para filsuf—tidak memiliki awal.
Dengan demikian, jelas bahwa orang yang dapat menerima hal-hal temporal (hawadis) yang tidak memiliki awal—yaitu bentuk-bentuk dari empat elemen yang dapat berubah—tidak bisa mengingkari sebab-sebab yang tak berhingga. Dari sini dapat terlihat bahwa karena problem ini, para filsuf menemui jalan buntu untuk sampai pada Prinsip Pertama. Karena itu, konsepsi mereka tentang Prinsip Pertama terjebak dalam gagasan arbitrer.
Perputaran itu tidak eksis (secara serempak) pada waktu sekarang. Demikian juga bentuk-bentuk dari elemen-elemen (anasir). Yang eksis secara aktual hanyalah satu bentuk dari bentuk-bentuk yang ada. Sedang sesuatu yang tidak memiliki eksistensi (wujud) tidak bisa dilihat dengan ukuran berhingga dan tak berhingga, kecuali jika eksistensinya diperkirakan dalam imajinasi. Sesuatu yang diperkirakan dalam imajinasi tidaklah sebagian yang lain. Karena manusia sering mengira-ngira hal tersebut dalam imajinasinya. Tapi di sini pembicaraan hanya terkait dengan sesuatu yang ada dalam realitas, bukan dalam alam pikiran. Maka yang tersisa hanya persoalan jiwa dari orang-orang yang telah meninggal. Sebagian filsuf berpendapat bahwa sebelum memasuki badan, jiwa pada mulanya adalah satu entitas abadi (azaliyah). Dan setelah berpisah denan setelah berpisah dengan badan, jiwa kembali lagi pada kesatuannya semula. Maka pada saat itu, jiwa tidak lagi berbilangan, apalagi akan diberi predikat tak berhingga. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jiwa tidak independen dari perihal badan. Maka dengan kematian, berarti jiwa tidak ada. Jiwa juga tidak memiliki substansi sendiri jika terlepas dari badan. Dengan demikian, jiwa tidak memiliki eksistensi kecuali bertempat di tubuh orang-orang yang hidup.padahal orang yang hidup jumlahnnya terbtas, dimana ketakberhingaan tidak bisa diterapkan terhadap mereka. Sedangkan mereka yang tidak ada tidak bisa sama sekali digambarkan dengan ukuran berhingga dan tak berhingga, kecuali dalam dunia pikiran ketika para filsuf menetapkannya sebagai sesuatu yang bereksistensi.
Jawabannya: problematika dalam masalah jiwa ini saya tujukan kepada Ibnu Sina dan al-Farabi serta para pemikir lainnya. Sebab mereka mempostulasikan jiwa sebagai sebuah substansi (jauhar) yang berdiri sendiri. Pandangan ini juga menjadi pilihan Aristoteles dana otoritas-otoritas lain pada masa awal. Lalu, terhadap orang yang tidak mewarisi pandangan ini, akan saya tanyakan apakah bisa diterima akal sehat jika sesuatu yang abadi mewujud? Jika mereka menjawab “tidak” maka hal itu merupakan jawaban absurd. Jika mereka menjawab “ya”, akan saya katakan selajutnya, jika kita menghitung-hitung terjadinya satu hal serta keabadiannya dalam setiap hari, mau tidak mau akan terhimpun maujud-maujud yang tak berhingga sampai saat ini. Sekalipun perputaran (daurah) (waktu) tidak abadai, tapi kemungkinan untuk menghasilkan maujud abadi tidak mustahil. Dengan perhitungan ini, kerumitan tak dapat dihindari, tak perduli apakah yang abadi itu jiwa manusia, jin, setan, malaikat atau maujud apa saja yang Anda mau. Ini akan menimpa semua aliran yang dianut para filsuf, ketika mereka menetapkan perputaran atau gerak sirkulasi yng tak berhingga secara kalkulasi.

LihatTutupKomentar