Imam Ghazali Menolak Keabadian Alam Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun
Daftar Isi
- Masalah Kedua: Penolakan Terhadap Keyakinan Para Filsuf Atas Keabadian Alam, Ruang, dan Waktu
- Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah
MASALAH KEDUA: Penolakan Terhadap Keyakinan Para Filsuf Atas Keabadian
Alam, Ruang, Dan Waktu
Mesti diketahui bahwa masalah ini adalah
cabang dari masalah pertama. Menurut para filsuf, sebagaimana alam adalah
azali (eksistensinya tidak memiliki permulaan waktu), ia pun abadi (tidak
memiliki batas akhir). Menurut mereka, kerusakan (fasad) atau lenyapnya alam
(fana’) adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi. Alam akan tetap sebagaimana
adanya dan akan tetap demikian.
Empat argumen mereka yang dikemukakan untuk membuktikan keazalian alam, juga
dipergunakan untuk membuktikan keabadiannya. Dan sanggahan-sanggahan serupa
juga akan dihadapkan kepada mereka sebagaimana telah dilakukan di atas. Mereka
mengatakan bahwa alam adalah “akibat” (ma’lul) dari Sebab (‘Illah) yang azali
dan abadi. Maka, ia tidak bisa lepas dari Sebab. Karena Sebab tidak dapat
berubah, maka akibat itu pun tidak berubah pula. Inilah dasar penolakan mereka
terhadap bermulanya alam dan argumen ini juga dapat diaplikasikan pada
berakhirnya (alam). Inilah garis pemikiran pertama yang mereka kemukakan dalam
masalah ini.
Kedua, mereka mengatakan bahwa apabila alam tiada,
maka ketiadaannya akan terjadi sesudah wujudnya. Dengan demikian, alam
mempunyai dimensi waktu “sesudah” (ba’du). Di sini terdapat afirmasi terhadap
waktu.
Ketiga, mereka berkata bahwa kemungkinan wujud tidak pernah terhenti. Karenanya, wujud yang mungkin bisa jadi sesuai dengan kemungkinan (imkan). Tetapi argumen ini tidak kuat. Kita hanya mengingkari keazaliannya alam dan tidak mengingkari keabadiannya, seandainya Allah melanggengkannya selama-lamanya. Sebab sesuatu yang hadis (memiliki awal temporal) tak mesti memiliki akhir, sedangkan suatu tindakan atau aktivitas (i’l) mesti hadis dan memiliki awal waktu. Tak seorang pun, kecuali Abu al-Huzayl al‘Allaf, yang berkata bahwa alam mesti berakhir. Abu al-Huzayl berpendapat bahwa sebagaimana pada masa lampau mustahil terjadi perputaran falak yang tak terbatas secara kuantitas (jumlah), maka demikian juga di masa yang akan datang. Tetapi ini tidak bisa dibenarkan. Sebab semua kategori masa mendatang tak masuk ke dalam wujud, baik secara bersamaan atapun berturut-turut. Sedangkan masa lampau telah masuk ke dalam wujud secara berturut-turut, meskipun tidak secara bersamaan. Karena itu, jelas bahwa dari sudut pandang rasional, kami tidak memustahilkan pengandaian keabadian alam, dan sebaliknya, kami menerima pelanggengan (ibqa’) serta peniadaannya (ifna’), yang terjadinya (salah satu dari dua kemungkinan itu) hanya dapat diketahui dari syariat. Sebab masalah ini tidak menyangkut penyelesaian teoretis yang bersumber dari potensi pikir.
Argumen keempat sejalan dengan argumen mereka yang ketiga, seperti yang telah
kami kemukakan di atas. Ia adalah sesuatu yang mustahil. Sebab mereka
mengatakan: apabila alam lenyap, kemungkinan wujudnya akan tetap ada. Karena
mumkin (sesuatu yang mungkin terjadi) tidak akan pernah bisa berubah menjadi
mustahil (sesuatu yang mustahil). Tetapi kemungkinan adalah suatu sifat yang
relatif. Dan (mereka menganggap bahwa) setiap yang hadis memerlukan suatu
Materi yang mendahului. Demikian pula setiap sesuatu yang lenyap juga harus
memerlukan suatu Materi yang membuatnya lenyap. Ia menunjukkan bahwa
Materi-materi dan Prinsip-prinsip tidaklah lenyap. Tapi yang lenyap hanya
Bentuk-bentuk (surah) dan Aksiden-aksiden (a’rad) yang terletak di
dalamnya.
Jawaban terhadap semuanya ini telah dikemukakan di depan.
Namun, kami letakkan masalah ini di tempat tersendiri, sebab mereka juga
mempunyai dua buah argumen yang lain.
Pertama:
Argumen pertama
adalah yang dipegang oleh Galen. Dia mengatakan: apabila matahari dapat lenyap
(rusak), tanda-tanda kerusakannya mesti melalui penyusutan. Tetapi pengamatan
astronomis mengenai ukurannya selama beribu-ribu tahun hanya menunjukkan
kuantitas seperti adanya (tanpa ada gejala penyusutan). Karenanya, apabila
matahari tidak rusak selama masa-masa yang lama ini, berarti hal itu
menunjukkan bahwa matahari tidak akan rusak.
Argumen ini dapat disanggah
dari beberapa segi. Pertama,
bentuk silogis dari argumen tersebut sebagai
berikut:
1) Apabila matahari (akan) rusak, ia harus
mengalami penyusutan.
2) Tetapi konsekuensi (kalimat
kedua) itu tidak terjadi (mustahil).
3) Karenanya,
hipotesis pertama sebagai premis (apabila matahari akan rusak) adalah
mustahil.
Inilah yang mereka sebut silogisme konjungtif-hipotetis
(al- qiyas asy-syarti al-muttasil). Di sini kesimpulan ini tidak niscaya.
Sebab katakata pertama yang merupakan premis tak benar, kecuali sebuah syarat
baru ditambahkan padanya, yaitu, pernyataan bahwa apabila matahari rusak yang
tak dapat dihindarkan harus berasal dari penyusutan. Maka konsekuensinya juga
tidak timbul dari pernyataan pertama, tanpa tambahan sebuah syarat, seperti
perkataan bahwa apabila matahari dapat hancur dengan kerusakan, maka kerusakan
tidak boleh tidak, atau itu harus menerangkan bahwa kehancuran adalah
satu-satunya cara dari proses terjadinya kerusakan. Sehingga konsekuensi itu
mesti menyusul dari kata-kata sebelumnya. Kami tak bisa menerima (pendapat)
bahwa kerusakan itu satu-satunya keadaan di mana kehancuran terjadi. Dan tidak
diragukan bahwa sesuatu akan bisa rusak secara tiba-tiba, ketika ia dalam
keadaan sempurna.
Kedua, kalau saja pendapat bahwa tidak adanya kerusakan
kecuali melalui proses penyusutan diterima, bagaimana Galen mengetahui
penyusutan tidak terjadi pada matahari? Referensi Galen kepada pengamatan
astronomis adalah absurd. Sebab kuantitas-kuantitas yang diberikan pengamatan
astronomis hanya perkiraan. Apabila matahari, yang dikatakan seratus tujuh
puluh kali lebih besar daripada bumi, atau ukuran lain yang mendekatinya,
susut sebesar gunung dan terus menyusut, penyusutan itu tidak akan tampak pada
indra. Maka dapatlah diasumsikan bahwa matahari sedang dalam proses kerusakan,
dan demikian seterusnya ia menyusut sebesar gunung atau lebih besar sedikit.
Indra manusia tidak mampu untuk mengetahui penyusutan itu, karena dalam ilmu
pengetahuan yang tergantung pada pengamatan, kuantitas-kuantitas hanya
diketahui berdasar perkiraan. Hal ini dapat diilustrasikan dengan pandangan
para para filsuf yang mengatakan pada kita bahwa emas dan yakut terdiri dari
elemen-elemen yang—menurut mereka—dapat rusak. Tetapi apabila dua benda itu
disimpan selama ribuan tahun, indra takkan dapat mengetahui penyusutan yang
telah terjadi. Karenanya, penyusutan yang dialami matahari sepanjang sejarah
pengamatan astronomis dapat dibandingkan dengan penyusutan yang dialami oleh
sebutir emas atau yakut selama satu abad. Dalam kasus tersebut, penyusutan
maupun kerusakan tidak tampak pada indra. Dengan demikian jelas argumen Galen
adalah amat rancu.
Kami hendak menyampingkan argumen-argumen lain
sejenis. Sebab hal itu juga tidak diapresiasi oleh para cendekiawan. Di sini
kami menyebutkan satu saja (di antara argumen-argumen itu) sebagai contoh dan
pelajaran (‘ibrah) dari yang telah kami lewatkan. Itu pula alasan mengapa kami
bermaksud membatasi perhatian kami pada keempat argumen yang, sebagaimana
disebutkan di atas, memerlukan kecermatan untuk menyingkap kerancuan pemikiran
mereka.
Kedua:
Dalam argumen mereka yang kedua mengenai
kemustahilan ketiadaan alam, para filsuf menyatakan bahwa substansi-substansi
alam tidak menjadi lenyap. Karena “sebab” yang meniadakannya tak masuk akal.
Apabila yang ada menjadi tidak ada, maka mesti ada penyebab bagi perubahan
ini. Penyebab itu dapat berupa kehendak (Tuhan) yang Qadim. Tetapi ini
mustahil. Sebab apabila (Penyebab itu adalah [Tuhan]) sebelumnya tidak
menghendaki ketiadaan alam, lalu Dia berkehendak, berarti Dia telah berubah.
Atau (pernyataan) itu mengarah pada kesimpulan bahwa al- Qadim (Tuhan) dan
kehendak-Nya akan selamanya sama di segala keadaan, sementara objek kehendak
berubah—semula dari tiada ke ada lalu dari ada ke tiada. Maka, argumen
kami—yang membuktikan bahwa ada yang hadis melalui kehendak qadim adalah
mustahil—juga membuktikan bahwa ketiadaan adalah mustahil.
Di samping
itu, di sini timbul kerumitan lain yang lebih kuat. Yaitu, objek kehendak
jelas merupakan perbuatan orang yang berkehendak. Kini, setiap orang yang
belum merupakan pelaku (fa’il), tetapi kemudian menjadi pelaku, apabila tidak
berubah pada dirinya sendiri, maka perbuatannya harus berwujud setelah
(sebelumnya) tak berwujud. Sebab apabila pelaku itu tetap seperti ketika belum
berbuat, dan sekarang pun tidak berbuat, berarti ia tidak melakukan perbuatan
apa pun. Sementara ketiadaan adalah bukan termasuk kategori apa pun, lalu
bagaimana ketiadaan menjadi perbuatan? Apabila Allah meniadakan alam, dan
dengannya suatu perbuatan yang tidak dilakukan sebelumnya lalu terjadi, maka
perbuatan apakah itu? Apakah ia wujud alam? Itu adalah hal yang mustahil.
Sebab wujud (eksistensi) pasti mengalami masa akhir. Ataukah perbuatannya
adalah ketiadaan alam? Tentu bukan, sebab ketiadaan tidak tergolong kategori
apa pun. Dengan demikian ketiadaan tidak bisa merupakan suatu tindakan.
Menjadi sesuatu yang maujud adalah tingkatan terkecil dari suatu perbuatan.
Tetapi ketiadaan alam adalah bukan sesuatu yang maujud; dengan demikian, tidak
dapat dikatakan bahwa ketiadaan dilakukan oleh seorang pelaku, atau diciptakan
oleh seorang pencipta.
Karena problem ini, sebagaimana diklaim para
filsuf, para ahli kalam terklasifikasi menjadi empat kelompok, masing- masing
berusaha memecahkan masalah kemustahilan.
(a)
Muktazilah berpandanan bahwa tindakan yang berasal dariNya adalah
sesuatu yang maujud. Artinya, ia adalah fana’ (ketiadaan), yang Ia buat tidak
berada dalam sebuah substratum (mahall). Maka semua alam yang diciptakan akan
hancur secara tiba-tiba. Dan fana’ yang diciptakan itu sendiri akan hancur
sehingga tak memerlukan fana’ yang lainnya, sehingga tentunya harus memulai
suatu rangkaian tasalsul yang tak terbatas.
Tetapi penjelasan seperti ini
absurd jika dilihat dari beberapa sisi. Pertama, fana’ bukan sesuatu yang
maujud yang dapat dipikirkan oleh akal dan yang penciptaannya dapat
diandaikan. Kedua, apabila fana’ merupakan sesuatu yang maujud, fana’ itu
sendiri takkan hancur, tanpa penyebab bagi ke-fana’-annya. Ketiga, berdasarkan
asumsi ini alam tidak akan rusak. Sebab apabila fana’ diciptakan dalam zat
alam itu sendiri dan fana’ bersemayan di dalamnya, maka asumsi tersebut adalah
absurd. Karena substratum dan yang ada di dalamnya bertemu dan, karenanya,
berkumpul—meski hanya sesaat. Jika alam dan fana’ dapat diandaikan berkumpul,
maka alam dan fana’ takkan menjadi dua hal yang berlawanan, dan alam pun tidak
akan ter-fana’kan. Tetapi jika fana’ diciptakan tidak di dalam alam atau di
dalam sesuatu substratum yang lain, lalu bagaimana wujudnya dapat menentang
wujud alam yang lain?
Kemudian, dari sisi lain pandangan ini juga
terlihat sangat rancu, sebab pendapat itu mengimplikasikan bahwa Allah tidak
berkuasa untuk meniadakan beberapa substansi tertentu dan tidak mampu untuk
substansi yang lain. Bahkan pandangan tersebut, mengimplikasikan kalau Allah
tak kuasa melakukan sesuatu pun, kecuali menciptakan fana’ yang berarti
meniadakan seluruh alam seketika. Karena, jika substansi-substansi itu tidak
berada pada suatu substratum tertentu, maka relasinya kepada seluruh alam itu
(al-kull) berlangsung secara simultan.
(b) Karramiyyah
berpendapat, peniadaan (i’dam) adalah perbuatan Allah, dan i’dam merupakan
ungkapan atas suatu yang ada (maujud) yang diciptakan di dalam esensi Tuhan
(Mahatinggi dari segala yang dikatakan). Maka, melalui perbuatan ini, alam
ditiadakan (ma’dum). Demikian pula, wujud adalah akibat dari suatu kerja
produksi yang terjadi di dalam esensi-Nya, dan karenanya, yang maujud menjadi
maujud.
Pendapat ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pertama,
pendapat itu menjadikan yang qadim (kekal) menduduki fenomenafenomena temporal
(hawadis). Lalu, pendapat itu keluar dari lingkup realitas yang dapat dicerna
oleh akal sehat. Sebab yang bisa dipahami dari proses produksi (Ijad) hanya
adanya penisbatan terhadap kehendak dan kekuasaan. Afirmasi sesuatu di samping
kehendak, kemampuan dan wujud dari objek kemampuan (alam) adalah sesuatu yang
tak dapat dimengerti. Demikian pula halnya destruksi (peniadaan, i’dam).
(c) Asy’ariyyah berpandangan bahwa aksiden-aksiden (a’rad)
binasa dengan sendirinya, dan kekekalan aksiden itu tak dapat dibayangkan.
Sebab jika kekekalan aksiden-aksiden dapat digambarkan, tiadanya
aksiden-aksiden itu tak dapat dibayangkan menurut pengertian ini. Sedangkan
substansi-substansi, tidak kekal dengan sendirinya, tapi disebabkan oleh suatu
kekekalan yang merupakan tambahan pada wujud substansi-substansi itu. Maka
jika Tuhan tak menciptakan kekekalan, substansi-substansi itu akan binasa
karena tiadanya kekekalan (baqa).
Ini juga pemikiran yang rancu, sebab
bertentangan dengan fakta-fakta yang dapat ditangkap indra, lantaran pendapat
tersebut mengimplikasikan bahwa warna hitam dan warna putih (seperti yang
telah diperdebatkan pada bagian sebelumnya) tidak akan kekal. Ia selalu
mengalami proses pembaruan wujud. Akal menolak pernyataan ini, sebagaimana
menolak pernyataan bahwa tubuh memperbarui diri (yatajaddad) setiap saat.
Sebab akal— yang menetapkan bahwa rambut di atas kepala seseorang laki-laki
hari ini adalah rambut yang tidak sama dengan yang kemarin—juga menetapkan
demikian atas warna hitam.
Di dalam pandangan ini masih terkandung
problematika lain. Yaitu, jika yang kekal (al-baqa) kekal karena kekekalan
(baqa), tentu sifat-sifat Tuhan juga akan kekal, dengan sebab suatu
kekekalan.
Maka kekekalan harus merupakan sesuatu yang kekal (baqi), dan
ini pasti memerlukan kekekalan yang lain untuk mengekalkannya, dan karenanya,
terjadi lingkaran mata rantai tak berujung (tasalsul) yang tak berhingga.
(d)
kelompok lain dari Asy ‘ariyyah berpendirian bahwa aksidenaksiden
(a’rad) hancur dengan sendirinya, sedang substansi-substansi (jawahir) binasa
apabila Tuhan tidak menciptakan pada substansisubstansi itu gerak atau diam,
keterpaduan dan keterpecahan. Maka tubuh (jisim) yang tidak diam dan tidak
bergerak mustahil kekal, dan karenanya ia akan binasa.
Nampak bahwa kedua
kelompok Asy’ariyyah cenderung kepada pendapat bahwa destruksi atau peniadaan
(i’dam) bukan suatu perbuatan, tetapi suatu keengganan untuk berbuat.
Alasannya, tidak cukup logis menganggap ketiadaan (‘adam) sebagai suatu
perbuatan.
Kemudian para filsuf menarik kesimpulan bahwa apabila semua
metode penjelasan tentang destruksi alam telah jelas salah, tiada lagi dasar
pijak bagi seseorang untuk meyakini kemungkinan destruksi alam.
Kritik
ini berlaku apabila alam dikatakan hadis. Sebab, meskipun para filsuf mengakui
kebenaran temporalitas jiwa manusia, mereka masih menyatakan kemustahilan
destrukksinya, dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip argumen yang sama
seperti telah kami sebutkan sebelum ini.
Ringkasnya, para filsuf
berpendapat bahwa sesuatu—baik yang qadim atau yang hadis—yang berdiri sendiri
tanpa menempati suatu substratum (mahall/ ruang), tidak terbayangkan
ketiadaannya setelah keberadaannya. Jika dikatakan kepada mereka: “ketika api
dinyalakan di bawah air, lalu air itu lenyap dan habis,” mereka akan menjawab
“tidak lenyap”, tapi hanya berubah menjadi uap, kemudian uap itu akan
berubah menjadi air lagi. Materi (yang disebut hayuli) tetap ada di udara. Dan
materi itu adalah materi yang merupakan tempat bagi bentuk (surah) air. Kini
hayuli itu telah memakai bentuk udara setelah lepas dari bentuk air. Apabila
udara mendingin, ia akan mengembun, dan berubah kembali menjadi air. Materi
tidak mengalami proses pembaruan (selama perubahan-perubahan ini). Sebaliknya,
materi berserikat di antara berbagai unsur, dan yang berubah hanya
bentuk-bentuknya.
Jawaban:
Barangkali kami bisa membela semua
kelompok ahli kalam yang Anda sebutkan, dan menerangkan bahwa karena postulat-
postulat fundamental dari Anda meliputi apa yang termasuk jenisnya, maka tidak
adil kalau sebagian dari Anda mengritik mereka. Namun kami tidak akan
memperpanjang pembicaraan, dan akan membatasi perhatian kami hanya kepada
salah satu dari kelompok-kelompok itu. Maka, kami katakan bagaimana Anda
menolak seseorang yang mengatakan bahwa produksi (Ijad) dan destruksi (i’dam)
merupakan akibat dari kehendak (Tuhan) yang Mahakuasa? Apabila Allah Swt.
menghendaki, Dia memproduksi (mengadakan) dan apabila Dia menghendaki, Dia
mendestruksi (menghancurkan). Lnilah makna keberadaannya sebagai yang
Mahakuasa (kaunuhu qadiran) par excellence. Dan, selama aktivitas-aktivitas
ini, Dia sendiri tidak pernah berubah; hanya perbuatanlah yang mengalami
perubahan. Adapun mengenai sanggahan Anda bahwa “suatu perbuatan mesti berasal
dari seorang pelaku (fa’il). Lalu apa yang berasal dari Tuhan?” kami akan
menjawab bahwa yang berasal dari Tuhan adalah sesuatu yang hadis, yakni
ketiadaan (‘adam). Ketiadaan tidak ada sebelum adanya perbuatan. Sebab
ketiadaan adala hadis, maka ketiadaan itu berasal dari-Nya.
Apabila
Anda Mengatakan:
Ketiadaan (‘adam) bukan termasuk kategori apa pun.
Bagaimana
ketiadaan bisa muncul dari-Nya?
Kami akan menjawab:
Ketiadaan
bukan termasuk kategori apa-apa, bagaimana bisa terjadi? Kemunculannya dari
Tuhan hanya berarti bahwa segala yang terjadi berhubungan dengan
kekuasaan-Nya. Apabila kejadiannya bisa diterima akal, maka bagaimana
hubungannya dengan kekuasaan bisa tidak diterima akal? Apa bedanya antara Anda
dengan orang yang menolak terjadinya ketiadaan (‘adam) pada aksiden-aksiden
(a’rad) dan bentuk-bentuk (suwar) dengan berkata bahwa, karena ketiadaan
(‘adam) bukan termasuk kategori apa pun (laisa bi syay’), bagaimana ketiadaan
terjadi, dan bagaimana kejadian dan kebaruan itu dapat dijadikan sifat dari
ketiadaan? Tidak diragukan lagi bahwa ketiadaan dapat dibayangkan kejadiannya
atas aksidenaksiden dan bentuk, maka yang disifati dengan kejadian dapat
diterima akal terjadinya, baik disebut sesuatu atau tidak. Dan akhirnya,
hubungan antara yang terjadi dan apa yang diakalkan itu dengan kekuasaan Tuhan
yang Mahakuasa, juga dapat masuk akal (ma’qul).
Apabila
dikatakan:
Sanggahan ini dapat dikemukakan kepada seseorang yang
menganggap bahwa “tiadanya sesuatu setelah ia ada” adalah sesuatu yang mungkin
Orang tersebut dapat diberi pertanyaan “apakah yang telah terjadi?” Tetapi
kami berpendapat bahwa sesuatu yang maujud tidak akan lenyap Menurut kami,
lenyapnya aksiden- aksiden berarti terjadinya kebalikan-kebalikan dari
aksiden- aksiden itu, yang juga merupakan “sesuatu yang ada” (maujudat).
Tiadanya aksiden-aksiden itu tidak berarti terjadinya ketiadaan abstrak yang
tidak merupakan kategori apa-apa. Bagaimana kejadian dapat disifatkan kepada
sesuatu yang bukan termasuk kategori apa-apa? Apabila rambut memutih, yang
terjadi adalah keputihannya saja. Dan keputihan adalah maujud. Kami tak akan
mengatakan bahwa yang terjadi adalah tiadanya kehitaman.
Pendapat
ini absurd dari dua sisi:
Pertama, apakah terjadinya keputihan (bayad)
mencakup tiadanya kehitaman (sawad) atau tidak? Jika para filsuf menjawab
“tidak”, mereka akan menentang realitas yang memang rasional. Jika mereka
menjawab “ya”, apakah “sesuatu yang meliputi” (mutadammin) lain dari “apa yang
diliputi” atau justru identik? Apabila mereka mengatakan identik, maka itu
akan dengan sendirinya kontradiktif. Sebab tak ada sesuatu pun yang meliputi
dirinya sendiri. Tetapi apabila mereka mengatakan bahwa yang meliputi adalah
yang lain (dari yang diliputi), maka apakah hal itu merupakan sesuatu yang
bisa diterima akal atau tidak? Apabila mereka mengatakan “tidak”, kami akan
mempertanyakan, bagaimana Anda mengetahui bahwa hal itu adalah yang
diliputi?
Kesimpulan bahwa sesuatu itu diliputi berarti
pengakuan akan eksistensinya sebagai hal yang masuk akal. Tetapi apabila para
filsuf menjawab “ya”, maka apakah yang diliputi dan yang bisa dipikirkan akal
(tiadanya kehitaman) qadim atau hadis? Apabila mereka mengatakan qadim,
jawaban ini adalah absurd. Tetapi apabila mereka menyebutnya hadis, bagaimana
sesuatu yang memiliki sifat baru dan temporal dinyatakan tidak dapat
terpikirkan? Apabila mereka mengatakan bahwa yang diliputi itu tidak qadim dan
tidak pula hadis, yang diliputi itu akan menjadi sesuatu yang absurd. Sebab
apabila sebelum terjadinya keputihan, dikatakan bahwa kehitaman adalah ‘adam,
maka hal tersebut merupakan pernyataan rancu. Apabila setelah terjadinya
keputihan, dikatakan kehitaman bukan maujud, ini benar. Maka jelaslah, yang
diliputi adalah tidak terjadi. Dan kejadian ini masuk akal. Oleh karena itu,
masuk akal pula jika menisbatkannya kepada kekuasaan yang Mahakuasa.
Kedua,
ada beberapa aksiden yang—juga menurut mereka—lenyap tidak dengan
kebalikan-kebalikannya. Gerakan adalah sesuatu yang tidak mempunyai kebalikan.
Berlawanannya antara gerak dan diam adalah seperti keberlawanan antara wujud
(ada) dan ‘adam (tiada). Dan makna diam adalah tidak adanya gerak. Maka
apabila gerak tidak ada, diam bukanlah lawannya, tapi hal itu adalah ketiadaan
(‘adam) murni. Demikian pula sifat- sifat yang diklasifikasikan sebagai
kesempurnaan, seperti kesan imajiner dari objek-objek yang dapat diindra
(mahsusat) pada biji mata, atau kesan bentuk-bentuk dari hal-hal yang dapat
dipikirkan (ma’qulat) di dalam jiwa. Semua itu mewakili permulaan suatu wujud
tanpa munculnya hal yang sebaliknya. Dan jika sifat-sifat itu tidak ada,
berarti tiadanya suatu wujud yang tanpa diikuti yang kondisi sebaliknya
(lawannya). Ketidakmunculannya tidak berarti ketiadaan yang murni, sehingga
yang terjadi adalah ketiadaan. Dan adanya ketiadaan yang telah terjadi adalah
sesuatu yang masuk akal. Karena itu, segala yang masuk akal— walaupun bukan
termasuk kategori apa pun—dengan sendirinya bisa dihubungkan dengan kekuasaan
Tuhan yang Mahakuasa secara rasional.
Dari sini jelas bahwa selama
terjadinya yang hadis karena perantara kehendak yang qadim dapat dicerna akal,
maka kondisinya sama saja, apakah yang terjadi itu ‘adam (tiada) atau wujud
(ada).
Dan Allah lebih mengetahui. Wa Allah a’lam.