Keabadian Alam menurut Filsafat

Para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas (qidam) alam, dan yang ditetapkan dalam hal ini adalah pendapat mayoritas filsuf dari dulu sampai kini

Keabadian Alam menurut Filsafat
Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir:  Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi

  1. Masalah Pertama: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Eternitas Alam
  2. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH PERTAMA: Sanggahan Atas Pandangan Para Filsuf Tentang Eternitas Alam

URAIAN TEMA
Para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas (qidam) alam, dan yang ditetapkan dalam hal ini adalah pendapat mayoritas filsuf dari dulu sampai kini bahwa alam adalah kekal. Ia ada bersama dengan Allah, menjadi akibat dari keberadaan-Nya, namun adanya secara bersamaan, tanpa perbedaan urutan waktu seperti kebersamaan sebab dan akibat serta kebersamaan matahari dan sinarnya. Prioritas atau keberadaan lebih awal (taqaddum) Allah atas alam seperti priortas sebab atas akibat, yaitu prioritas esensial dan tingkatan, bukan prioritas dalam urutan waktu.
Konon—menurut Plato—alam diciptakan dan memiliki awal temporal. Lalu, para filsuf memberikan interpretasi berbeda terhadap pandangan tersebut dan tidak mengakui bahwa keberawalan alam merupakan keyakinan Plato.
Dalam buku Ma Ya’taqiduhu Jalinus Ra’yan (Apa Yang Dipercaya Galen), Galen bersikap netral dan tidak menyatakan apa-apa. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak tahu apakah alam itu kekal (qadim) atau memiliki awal temporal (muhdis)? Dan ia menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin diketahui. Hal itu bukan karena keterbatasan kemampuan diri, melainkan karena kerumitan inheren dalam persoalan ini atas akal. Tapi pandangan ini tidak bergema dalam belantara pemikiran para filsuf. Rata- rata, kaum filsuf sepakat bahwa alam kekal dan kemunculan sesuatu yang berawal dan yang kekal tanpa perantara sama sekali tidak bisa diterima akal.

EKSPOSISI ARGUMEN
Jika kami harus menyajikan semua argumen yang dikemukakan para filsuf dan menampilkan argumen kontranya, tentu akan menghabiskan banyak halaman buku. Padahal, pemborosan wacana dan perbincangan yang terlalu panjang Iebar adalah tidak baik. Karena itu, kami lantas melakukan seleksi dengan membuang argumen-argumen yang tak berdasar atau berdasar imajinasi lemah, yang hanya menghambat para pengkaji masalah ini. Kami hanya akan menyajikan argumen-argumen yang signifikan pada inti persoalan, yang selama ini telah menggoncang keyakinan para pemerhati filsafat. Sedangkan goncangan dalam keyakinan masyarakat awam bisa saja disebabkan oleh masalah- masalah sepele. Dalam konteks ini, terdapat tiga argumen dasar.
Pertama: para filsuf menyatakan bahwa sesuatu yang berawal, mustahil lahir dari yang kekal secara mutlak. Karena misalnya, jika kita mengandaikan adanya sesuatu yang kekal pada saat alam belum ada, maka ketiadaan alam pada saat itu hanya karena tidak ada penentu (murajjih) untuk mengadakannya. Bahkan keberadaan alam pada saat itu, hanya merupakan sebuah kemungkinan. Jika setelah itu alam ada, kita pun masih berhadapan dengan dua alternatif: penentu itu telah mengadakan alam atau tidak. Jika penentu itu tidak mendorong terciptanya alam, maka alam akan tetap menjadi kemungkinan semata, seperti sebelumnya.Jika penentu itu mendorong terciptanya alam, maka siapa yang menciptakan penentu itu? Mengapa baru muncul saat penciptaan alam, dan tidak muncul sebelumnya? Dengan demikian, persoalan munculnya penentu masih merupakan persoalan tersendiri.
Secara umum, jika kondisi zat yang kekal tetap serupa dan tidak berubah, maka terdapat dua hal yang bisa terjadi: ia sama sekali tidak bisa melahirkan sesuatu selainnya, atau melahirkan sesuatu secara terus-menerus. Hanya saja mustahil untuk memisahkan kondisi keterlepasan (tark) dari kondisi ketermulaan (syuru’).
Uraian lebih rincinya, mengapa alam tidak diciptakan pada masa sebelum kejadiannya? Tentu tidak mungkin mendasarkan pada alasan ketidakmampuan-Nya untuk menciptakan alam serta kemustahilan terciptanya alam. Sebab alasan itu akan mengantar pada perubahan Yang Kekal dari kondisi tak mampu menjadi mampu dan perihal alam dari mustahil menjadi mungkin. Kedua kondisi itu sama-sama mustahil. Juga tidak mungkin menyatakan bahwa alam tidak terwujud sebelumnya karena tidak adanya intensi (qasd) Tuhan, dan kemudian maksud itu muncul pada saat lahirnya alam. Seperti juga tidak mungkin beralasan karena sebelumnya tidak ada instrumen, dan setelah itu muncul instrumen, lalu alam pun jadi diciptakan. Yang paling mungkin adalah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kehendak (iradah) untuk menciptakan alam sebelum itu. Karena itu, harus dikatakan bahwa keberadaan alam terwujud karena Tuhan berkehendak untuk mengadakannya setelah sebelumnya tak berkehendak. Dengan demikian, kehendak menjadi sesuatu yang baru muncul. Padahal menetapkan awal temporal bagi kehendak Tuhan adalah mustahil, sebab ia tidak berada dalam wilayah yang memiliki awal temporal. Oleh karena itu, keberawalannya—yang tidak dalam zatnya sendiri—tidak bisa menjadikan Tuhan sebagai Yang Berkehendak (Murid).
Mari kita tinggalkan problem keberawalan kehendak Tuhan dan tetap melihat pada persoalan alam. Bukankah persoalannya tetap berakar pada asal keberawalannya? Dari mana alam itu berawal? Mengapa terjadi saat itu, bukan sebelumnya? Apakah kejadiannya pada saat itu tidak berasal dari Tuhan? Jika mungkin sesuatu yang memiliki awal temporal bisa muncul tanpa ada yang memunculkan, maka alam merupakan sesuatu yang memiliki awal temporal dan keberadaannya tidak terikat pada pencipta. Jika demikian, apa bedanya sesuatu yang memiliki awal temporal dengan sesuatu yang memiliki awal temporal lainnya? Jika alam terwujud karena diciptakan Tuhan, mengapa diciptakan pada saat itu, bukan sebelumnya? Apakah karena tidak adanya alat, kemampuan, tujuan, atau karakter? Jadi, ketika ketiadaan alam berganti menjadi ada dan terjadi, maka persoalannya belum selesai. Atau tidak terciptanya alam pada saat itu karena tidak adanya kehendak? Jika demikian, maka kehendak tersebut akan menunggu adanya kehendak lain dan kehendak lain juga akan menunggu kehendak yang lain lagi, dan begitu seterusnya, ad ininitum.
Dengan demikian, sudah jelas secara absolut bahwa kemunculan sesuatu yang memiliki awal temporal (hadis) dari sesuatu yang kekal (qadim) adalah mustahil, jika tidak disertai oleh perubahan pada diri yang kekal, menyangkut kemampuan, alat, waktu, maksud ataupun karakternya. Padahal menetapkan adanya perubahan perihal pada yang kekal adalah mustahil. Sebab berbicara tentang perubahan yang memiliki awal temporal berarti juga berbicara tentang hal selainnya. Semua itu adalah hal yang mustahil. Bagaimana pun, selama alam telah ada dan menutup kemungkinan untuk memiliki awal temporal, maka eternitasnya tidak bisa dibantah.
Begitulah retorika licik para filsuf dalam menyampaikan argumentasinya. Secara umum, pembicaraan mereka tentang persoalan metafisika lainnya tidak lebih signifikan dari pembicaraan dalam persoalan ini. Sebab dari sini, mereka mengalirkan argumennya ke wilayah yang lain. Karena itu, kami mendahulukan penyajiannya berikut argumen terpenting yang mereka bangun.

***

SANGGAHAN DARI DUA SISI
Pertama, mesti dipertanyakan: dengan apa Anda akan membantah pendapat orang bahwa yang menyatakan alam berawal bersama Allah. Kehendak Allah menetapkan keberadaannya ada di saat alam pertama kali ada (mewujud karena diciptakan). Dengan kehendak Allah, ketiadaan akan terus berlangsung sampai titik paling akhir dan wujud sesuatu akan bermula pada saat kehendak untuk mewujudkan itu bermula. Dengan pandangan ini, eksistensi alam sebelum titik waktu yang dikehendaki adalah di luar kehendak sehingga ia tidak akan mewujud secara aktual. Demikian juga eksistensi alam merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh kehendak kekal (iradah qadimah) pada saat ia mewujud secara aktual. Apa yang dapat membantah keyakinan semacam ini dan kontradiksi apa yang terdapat di dalamnya?


Jika dikatakan:
Pandangan seperti ini jelas sekali mustahil. Sebab sesuatu yang temporal adalah akibat atau produk (mujab/ musabbab), sebagaimana sesuatu yang memiliki awal temporal mustahil ada tanpa sebab atau pencipta (mujib/ musabbib). Dengan demikian, mustahil pula adanya sebab yang tidak bisa memproduksi akibat pada saat semua persyaratan dan faktor yang diperlukan telah terpenuhi untuk mewujudkan suatu hubungan kausal. Bahkan eksistensi akibat merupakan keniscayaan, dan penangguhannya merupakan kemustahilan ketika semua syarat dan kondisi sebab telah terpenuhi. Tidak hadirnya akibat dalam kondisi seperti ini sama mustahilnya dengan adanya akibat yang memiliki awal temporal tanpa keberadaan sebab.
Sebelum adanya alam, yang berkehendak (murid) telah ada, begitu juga kehendak (iradah) dan relasi (nisbah) kehendak dengan objek yang dikehendaki (murad). Subyek yang berkehendak tidak akan memperbarui diri dan kehendak juga tidak akan hadir sebagai sesuatu yang baru, demikian juga relasi dengan objek akibat yang dikehendaki. Karena itu, semua akan menggiring pada perubahan. Lalu bagaimana objek yang dikehendaki bisa muncul sebagai sesuatu yang baru dan memiliki awal temporal? Apa yang mencegahnya untuk muncul sebelum itu?
Periha kehadiran barunya (tajaddud) tidak mungkin berbeda dengan perihal sebelumnya dalam segala hal, baik faktor, kondisi, dan relasinya. Sebab segalanya akan tetap sebagaimana adanya. Tapi meski demikian, akibat sebagai objek kehendak bukanlah sesuatu yang ada sejak awal. Ia merupakan sesuatu yang diciptakan dan muncul kemudian. Bukankah ini merupakan sebuah realitas yang sangat kontradiktif?

Kontradiksi ini tidak semata berada dalam ranah sebab- akibat yang tak terbantah (daruri) dan esensial (zati), tapi juga dalam ranah konvensional (‘urf) dan terkualifikasi (wad’i). Sebagai contoh, jika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya, tapi tidak langsung berpisah (sebagai akibat pernyataan talak), maka tak bisa diterima oleh akal jika akibat itu (perpisahan) masih akan terjadi setelah adanya penundaan tersebut. Sebab ia menjadikan ungkapan talak sebagai motif hukum (‘illah)— yang merupakan sebab—yang berlaku secara positif (wad’i) dan berdasar istilah. Karena itu, adanya penangguhan akibat (dari penetapan talak) tidak bisa diterima akal sehat, kecuali mengaitkannya dengan waktu “besok” atau dengan syarat “memasuki rumah”. Dengan demikian, tentu talak tak akan terjadi pada saat diucapkan, namun masih menunggu datangnya “besok” dan terjadinya tindakan “masuk rumah” sebagai syarat yang ditetapkan untuk jatuhnya talak. Karena dengan begitu, sang suami mengaitkan penetapan talak dengan sesuatu yang masih ditunggu dan belum terjadi. Ketika syarat itu tidak ada pada saat talak (sebagai sebab) diucapkan, maka terjadinya talak (sebagai akibat) harus ditangguhkan pada sesuatu yang belum ada pada saat itu. Karena itu, akibat dari pernyataan talak tidak bisa terwujud kecuali setelah munculnya halhal baru, yaitu datangnya “hari esok” atau tindakan “masuk rumah”. Dengan begitu, seandainya seseorang hendak menangguhkan akibat pernyataan talak tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang belum ada, maka hal itu tidak masuk akal, sekalipun ia membuat pernyataan itu sendiri dan bebas memilih maksud pernyataan yang dikehendaki. Sebab hal tersebut berkaitan dengan ketetapan umum yang positif berlaku dan istilah yang biasa digunakan. Lalu, jika tidak mungkin menetapkan hal tersebut sekehendak kita, dan kitamenilainya tidak masuk akal karena kehendak sering berubah- ubah, maka bagaimana semua itu bisa masuk akal dalam wilayah ketetapan kausal yang esensial (zati), rasional (‘aqli), dan rill dengan sendiriny a (daruri).
Sedangkan dalam adat dan kebiasaan, objek intensi atau kemauan (maqsud) tidak akan tertunda perwujudannya sebagaimana dimaksudkan, ketika ada intensi (qasd), kecuali terdapat hal-hal yang menghalanginya. Sebab ketika intensi dan kemampuan telah ada, sementara tidak ada penghalang apa pun, maka tak mungkin menangguhkan perwujudan objek kemauan itu. Penangguhan itu bisa terjadi, jika suatu tindakan hanya didasarkan pada inklinasi atau kecenderungan hati (‘azm), sebab hal itu tidak memenuhi kualifikasi untuk melahirkan tindakan. Inklinasi untuk menulis tidak otomatis melahirkan tulisan, selama tidak didukung oleh intensi. Karena intensi merupakan pendorong yang ada dalam diri manusia yang muncul sebelum tindakan terwujud.
Jika kehendak kekal sama dengan intensi diri dalam melahirkan tindakan, maka tidak mungkin terjadi penundaan terjadinya objek lntensi, kecuali jika ada penghalang. Dan dalam hal ini, tidak boleh ada kesenjangan antara intensi dan objek intensi. Dengan demikian, menjadi tidak masuk akal bila pada saat berintensi untuk bangun, namun masih akan dilaksanakan besok, kecuali hal itu hanya sebatas inklinasi. Jika kehendak kekal sama dengan inklinasi pada diri kita, tentu ia tidak memenuhi syarat untuk merealisasikan objeknya. Sebab ia—tidak boleh tidak—masih tetap memerlukan dorongan intensi ketika akan mewujudkannya. Namun, dengan itu, berarti terjadi perubahan dalam diri yang Kekal. Dengan demikian, persoalan yang tersisa dan belum terpecahkan adalah mengapa dorongan intensi, kehendak, atau apa pun namanya, terjadi pada saat penciptaan itu, bukan sebelumnya? Maka hanya tinggal ada dua alternatif untuk menjawabnya: mengakui adanya yang berawal temporal yang muncul tanpa sebab atau adanya rangkaian kehendak yang tak berujung, sebab setiap kehendak memerlukan kehendak lain untuk mewujudkannya.
Kata akhir dan substansi dari penyataan (Anda): bahwa sebab telah ada dengan syarat-syarat yang sudah lengkap serta tidak ada sesuatu yang mesti ditunda. Namun bersama itu, “akibat” ternyata ditangguhkan dan tidak diadakan pada suatu waktu yang tidak dapat diperkirakan awalnya, seribu tahun sekalipun. Kemudian “akibat” itu dimunculkan secara tiba-tiba tanpa ada faktor-faktor baru yang masuk pada prosesnya serta syarat-syarat yang bisa merealisasikannya. Dan semua itu adalah hal yang mustahil terjadi.

Jawabannya:
Bagaimana Anda tahu bahwa kehendak kekal tidak mungkin melahirkan sesuatu? Atas dasar pengetahuan yang niscaya benar (darurah al-’aql) atau berdasar pengetahuan teoretis (nazar)? Dengan berdasarkan istilah kalian dalam logika, Anda dapat menentukan titik temu antara dua terma hadd (batasan): melalui hadd al-ausat (batasan pertengahan) atau tanpa melalui hadd al-ausat. Jika menggunakan hadd al-ausat—yaitu model penalaran deduktif—maka Anda harus menunjukkannya atau memberikan penjelasan tentang proses penarikan kesimpulannya. Jika Anda mengetahuinya secara intuitif dan berdasarkan atas pengetahuan niscaya benar (darurah), mengapa orang lain tidak mengetahuinya dan justru berbeda pendapat dengan Anda.

Orang yang meyakini bahwa alam memiliki awal temporal dan mewujud dengan perantara kehendak kekal yang tak terhitung jumlahnya dan menembus batas-batas geografis. Jelas bahwa, demi akal, mereka tidak memercayai sesuatu yang mereka ketahui tidak benar. Maka Anda harus membuktikan berdasarkan aturan- aturan Logika, bahwa keyakinan tersebut tidak benar. Sebab semua yang Anda uraikan tersebut masih sekadar gagasan atau sugesti dan penyamaan kehendak kekal dengan intensi dan inklinasi manusia, padahal penyamaan tersebut tak bisa dibenarkan. Sebab kehendak kekal tidak menyerupai intensi-intensi temporal. Sementara usul dan sugesti saja tidak cukup dalam persoalan ini.

Jika dikatakan:
Kami mengetahuinya berdasar pengetahuan intuitif dan niscaya rasional (darurah al-’aql), bahwa tidak mungkin suatu sebab yang telah terpenuhi syarat-syaratnya tidak mewujudkan akibat. Orang yang meyakini kemungkinan tersebut berarti menentang tuntutan rasional.

Akan kami katakan:
Apa bedanya Anda dengan lawan-lawan polemik Anda, ketika mereka mengatakan: “Secara pasti kami mengetahui kemustahilan pendapat orang yang mengatakan bahwa Zat (Tuhan) Yang Tunggal mengetahui segala universalia (kulliyyat), tanpa pengetahuan itu mengharuskan lahirnya pluralitas, tanpa pengetahuan itu masuk menjadi tambahn pada esensi-Nya, tanpa pengetahuan itu berlipat ganda bersamaan dengan berlipat gandanya objek pengetahuan (ma’lum).” Pendapat ini adalah pendapat Anda tentang sifat atau hal yang terkait dengan Allah. Jika itu dinisbatkan pada pengetahuan kita, tentu sangat tidak masuk akal. Tapi Anda membantahnya, bahwa pengetahuan kekal tidak bisa dianalogikan dengan pengetahuan temporal. Suatu kelompok dari golongan kalian merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang mustahil dan menyatakan bahwa Allah hanya mengetahui diri-Nya sendiri. Dia adalah yang berpikir (‘aqil), pikiran (‘aql), dan yang dipikirkan (ma’qul). Ketiganya manunggal menjadi satu kesatuan. Jika dipersoalkan, bukankah kemanunggalan itu diketahui secara pasti sebagai suatu kemustahilan, sebab beranggapan bahwa pencipta alam tidak mengetahui ciptaan-Nya dengan pasti. Dengan demikian, jika yang Kekal hanya mengetahui dirinya sendiri— Mahatinggi Allah dari segala pendapat mereka serta pendapat orang yang menyimpang—tentunya, Ia tidak akan mengetahui ciptaan- Nya sekali.
Tapi kami tidak akan keluar dari inti persoalan dalam konteks ini. Akan kami katakan: “Dengan apa kalian menanggapi lawanlawan polemik kalian, ketika mereka menyatakan bahwa kekalitas alam adalah hal yang mustahil. Sebab hal itu akan mengantar pada afirmasi atas perputaran benda-benda langit yang tidak terhitung jumlahnya dan tak terbatas satuannya, walaupun terbukti bahwa perputaran tersebut dapat diukur dengan ukuran seperenam, seperempat, atau setengah. Matahari menyelesaikan satu kali putaran dalam rotasinya selama satu tahun dan Saturnus menghabiskan waktu tiga tahun. Dengan demikian, putaran Saturnus sepertiga putaran Matahari. Sementara itu, putaran Yupiter adalah seperdua belas putaran Matahari, sebab Yupiter melakukan satu kali putaran dalam jangka dua belas tahun. Lantas, sebagaimana jumlah putaran Saturnus merupakan sesuatu yang tak terhingga, demikian pula jumlah putaran Matahari, padahal ia sepertiganya. Bahkan putaran bintang yang menghabiskan tiga puluh ribu tahun untuk sekali putaran juga tak terhingga, sebagaimana gerakan timur-barat Matahari yang hanya memerlukan waktu sehari semalam dalam sekali gerak.
Jika ada orang menyatakan bahwa hal ini termasuk sesuatu yang secara pasti adalah mustahil, lalu bagaimana Anda menyanggahnya? Bahkan kalau ada yang mempertanyakan apakah jumlah putaran itu genap atau ganjil, atau genap sekaligus ganjil? Atau tidak genap dan tidak ganjil? Jika Anda menjawab genap dan ganjil, atau tidak genap dan tidak ganjil, tentu jawaban ini absurd secara pasti. Jika Anda menjawab genap, maka tambahan satu akan menjadikannya ganjil. Lalu bagaimana tambahan “satu” itu dapat membatasi ketakterhinggaan perputaran tersebut? Jika Anda menjawab ganjil, maka tambahan satu juga akan menjadikannya genap. Lalu bagaimana pula tambahan “satu” akan membatasi ketakterhinggaannya? Dengan kenyataan ini, Anda tidak punya pilihan lain dan harus menyatakan bahwa putaran itu tidak genap dan tidak ganjil (walaupun itu mustahil).

Jika dikatakan:
Hanya yang terhingga saja yang dapat diberi kategori ganjil dan genap. Sedang yang tak terhingga tidak bisa.

Akan Kami katakan:
Totalitas itu terbentuk dari satuan-satuan. Ia dapat dibagi dalam seperenam dan sepersepuluh, seperti di atas. Lalu jika tidak bisa diberi kategori genap atau ganjil, jelas itu tak bisa diterima secara pasti. Bagaimana Anda akan memberikan uraian dalam hal ini?
 
Jika dikatakan:
Letak kesalahan pernyataan Anda adalah pada keyakinan bahwa totalitas harus terdiri dari satuan-satuan, padahal pada hakikatnya putaran-putaran benda langit itu tidak ada (ma’dum), sebab yang terjadi pada masa lampau telah lewat dan tiada, sedang yang akan terjadi belum terwujud. Sedangkan totalitas itu sendiri menunjuk pada maujud-maujud yang ada saat ini dan pada saat ini, tidak ada maujud apa pun dari putaran-putaran tersebut.
Akan kami katakan:
Angka atau bilangan mesti dapat diberi kategori genap atau ganjil, tak akan bisa lepas dari kedua kategori tersebut, baik benda-benda yang dihitung itu ada atau tidak. Misalnya, jika kita mengandaikan jumlah kuda, kita mesti yakin bahwa jumlahnya tidak bisa lepas dari ganjil atau genap, baik kuda itu ada atau tidak ada. Bahkan, meskipun kuda itu sudah lenyap (mati) setelah sebelumnya ada, keputusan bilangannya tidak akan berubah.
Kita juga akan mengatakan kepada mereka, bahwa berdasarkan prinsip mereka sendiri, tidak mustahil adanya maujud yang merupakan satuan yang memiliki sifat berlainan dan tak terhingga. Ia adalah jiwa manusia yang berpisah dari jasad karena kematian. Ia adalah maujud-maujud yang tidak dapat diberi kategori genap atau ganjil. Dengan apa Anda akan menanggapi pendapat yang menilai pandangan di atas tak benar berdasarkan pengetahuan niscaya rasional, sebagaimana pendapat Anda tentang kemustahilan—secara pasti—adanya hubungan kehendak kekal dengan sesuatu yang berawal temporal? Pendapat tentang jiwa ini dianut oleh Ibnu Sina, dan barangkali juga merupakan pendapat Aristoteles.
 
Jika dikatakan:
Yang benar adalah pendapat Plato, bahwa jiwa itu kekal. Ia adalah maujud tunggal yang hanya terbagi pada badan. Jika berpisah dari badan, maka ia akan kembali ke asalnya dan menjadi tunggal.

Akan kami katakan:
Pendapat ini justru lebih memuakkan dan harus diyakini sebagai pendapat yang berseberangan dengan keniscayaan rasional. Misalnya kita bertanya, apakah jiwa Zayd identik dengan jiwa ‘Amr atau yang lain? Jika jawabannya identik, maka jelas merupakan jawaban absurd dengan sendirinya. Karena pada dasarnya, masing-masing individu tahu terhadap jiwanya sendiri dan dapat membedakan dirinya dengan yang lain. Jika setiap individu itu identik (karena jiwanya identik), maka pengetahuan- pengetahuan yang merupakan sifat esensial jiwa pun memiliki kesamaan, di mana pengetahuan itu masuk bersama jiwa dalam setiap kaitan dengan yang lain.
Jika kalian menyatakan bahwa jiwa-jiwa itu tidak identik, dan jiwa-jiwa itu terbagi berdasar badan (sebagai wadah), kami akan katakan: pembagian “yang tunggal” yang tidak memiliki kuantitas dan ukuran adalah mustahil secara pasti berdasarkan akal. Bagaimana mungkin yang satu menjadi dua, bahkan seribu, kemudian kembali lagi menjadi satu. Pembagian seperti itu hanya dapat terjadi dalam wujud yang memiliki ukuran dan kuantitas, seperti air laut yang terbagi pada air yang ada di sungai-sungai dan kali, kemudian kembali bersatu lagi di laut. Sementara yang tidak memiliki kuantitas dan ukuran, bagaimana bisa akan terbagi lagi?

Tujuan dari semua ini adalah untuk memberikan penjelasan bahwa para filsuf tidak mampu mementahkan keyakinan para lawan polemik mereka tentang relasi kehendak kekal (iradah qadimah) dengan yang berawal temporal (hadis), kecuali sebatas mendasarkan pada klaim “kemestian rasional” (daruri). Bahkan mereka juga tidak bisa berkutik ketika lawan- lawannya menyampaikan kritik balik yang berseberangan dengan keyakinan mereka dengan klaim yang sama. Ini memang tidak dapat dihindari.

Jika dikatakan:
Tanggapan Anda dapat balik menyerang Anda, bahwa Allah kuasa untuk mencipta alam satu atau dua tahun sebelumnya, dan memang kekuasaan-Nya tak terhingga. Seolah Allah bersabar diri dan berdiam tidak mencipta, lalu setelah itu menciptakan alam. Apakah masa tidak mencipta itu berhingga atau tidak berhingga? Jika kalian menjawab “berhingga”, berarti eksistensi Allah memiliki keberhinggaan pada titik awalnya. Jika jawabannya “tak berhingga”, maka Anda telah melupakan bahwa masa yang mengandung kemungkinankemungkinan tak terhingga memiliki titik akhir.

Akan kami katakan:
Menurut kami, masa dan waktu adalah makhluk. Saya akan mengulas lebih lanjut hakikat jawaban tentang masalah ini dalam tanggapan atas dalil kedua.

Jika dikatakan:
Dengan apa Anda akan menyanggah orang yang tidak menggunakan klaim niscaya rasional, tapi mencoba membuktikan (kekalitas alam) dari sudut pandang lain, yakni mendasarkan diri pada argumen bahwa setiap momen waktu adalah sama dalam hal kemungkinan adanya relasi dengan kehendak? Lantas apa yang membedakan satu momen waktu tertentu dengan momen sebelumnya atau sesudahnya? Bukankah sesuatu yang mustahil bahwa pendahuluan (taqaddum) dan pengakhiran (ta’akhkhur) merupakan objek dari kehendak? Lalu bagaimana halnya dengan putih dan hitam, gerak dan diam? Padahal Anda sendiri mengatakan bahwa warna putih tercipta karena kehendak kekal. Sehinga tempat yang secara aktual bisa menerima warna putih bisa juga menerima warna hitam. Lalu mengapa kehendak kekal menetapkan warna putih pada suatu tempat, bukan warna hitam? Apa yang membedakan salah satu dari dua kemungkinan tersebut sehingga kehendak kekal menetapkannya? Dan tidak menetapkan yang lain dari yang telah ditetapkan? Secara niscaya rasional, kita tahu bahwa sesuatu itu tidak berbeda dengan yang sejenisnya kecuali memiliki ciri khusus atau keistimewaan tertentu (takhsis). Jika dimungkinkan adanya perbedaan antara satu hal dengan yang lain tanpa ada mukhassis (ciri khusus yang membuatnya berbeda dengan yang lain), maka penciptaan alam menjadi sesuatu yang mungkin—sebagaimana alam merupakan sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada—dan sisi keberadaan (janib alwujud)—yang dalam aspek kemungkinannya tak berbeda dengan sisi ketiadaannya (janib al-’adam)—menjadi terspesifikasi tanpa adanya mukhassis (ciri khusus yang membuatnya menjadi spesifik).

Jika kalian mengatakan bahwa kehendak menetapkan adanya mukhassis, maka pertanyaan yang akan muncul ialah mengapa ia menetapkan mukhassis? Jika Anda katakan bahwa yang kekal tak bisa dipertanyakan dengan “mengapa”, maka jadilah alam sebagai sesuatu yang kekal dan tidak perlu mencari pencipta atau penyebab keberadaannya. Karena yang kekal tidak dapat menerima pertanyaan “Mengapa?”
Jika dimungkinkan untuk menetapkan hubungan khusus antara yang kekal dengan salah satu dari dua kemungkinan secara kebetulan, maka sama sekali tak bisa dihindari munculnya pernyataan bahwa alam—yang memiliki bentuk khusus saat ini— dimungkinkan memiliki bentuk lain sebagai ganti dari bentuk khusus yang dimiliki saat ini. Lalu orang dapat mengatakan: hal ini terjadi secara kebetulan, sebagaimana Anda dapat mengatakan bahwa kehendak dapat menentukan pilihan suatu waktu dan keadaan tertentu serta menghidari yang lain secara kebetulan. Jika kalian mengatakan: pertanyaan mengenai mengapa kehendak menjadi tertentu adalah tidak relevan, sebab ia berkenaan dengan apa yang dikehendaki dan ditentukan oleh Allah, maka akan kami katakan bahwa pertanyaan ini justru relevan. Karena ia muncul setiap saat dan mesti muncul sendiri pada lawan-lawan kami, atas segala anggapan mereka.

Akan kami katakan:
Dengan kehendak kekal, alam muncul sebagaimana adanya, dengan sifat dan di tempat sebagaimana adanya. Kehendak dengan sifatnya sendiri dapat membedakan suatu hal dari yang lain. Jika tidak demikian, maka kekuasaan (qudrah) menjadi satu-satunya faktor penciptaan. Namun karena kekuasaan memperlakukan sama terhadap dua hal yang berlawanan dan tidak ada yang dapat menentukan pilihan pada suatu hal tertentu dari hal lain yang sejenis, maka mesti dikatakan bahwa di balik kekuasaannya, yang kekal memiliki sifat yang dapat menentukan pilihan di antara banyak hal sejenis. Jadi, pertanyaan “mengapa sifat mengetahui menuntut cakupan atas segala pengetahuan sebagaimana adanya” bisa dijawab “karena ‘mengetahui’ merupakan sifat yang mesti demikian. Demikian halnya dengan kehendak sebagai sifat yang mesti menunjuk pada watak sebagaimana adanya, bahkan esensinya adalah membedakan suatu hal tertentu dari hal-hal sejenis lainnya.

Jika dikatakan:
Menetapkan sifat yang memiliki karakter membedakan sesuatu dari hal-hal lain yang sejenis adalah tidak masuk akal, bahkan kontradiktif. Sebab kesamaan berarti tidak ada pembedaan dan pembedaan berarti tidak ada kcsamaan. Seharusnya orang tidak berasumsi bahwa warna hitam di dua tempat adalah sama dalam segala aspeknya. Karena yang satu berada di tempat ini dan yang lain berada di tempat itu. Dan ini mcngharuskan adanya perbedaan. Begitu pula dua warna hitam dalam satu benda tapi dalam saat yang berbeda. Keduanya bukan merupakan dua hal yang sama secara mutlak. Karena keduanya memiliki perbedaan dalam sisi waktu. Lalu bagaimana disamakan dalam berbagai aspeknya? Jika dikatakan “dua hitam itu sama”, maka yang kami maksud sama adalah hanya dalam sifat dasat kehitamannya secara khusus, bukan sama secata mutlak. Jika tidak, kala warna hitam itu menyatu dalam satu tempat dan waktu serta tak mengalami perubahan apa-apa, maka adanya dua warna hitam tersebut tidak masuk akal dan dualitasnya juga tidak masuk akal sama sekali.

Perbedaan tersebut akan menjadi jelas ketika kita hendak mengambil analogi pada kehendak kita sendiri. Tak terbayangkan bahwa kehendak kita bisa membedakan sesuatu dari hal yang serupa. Bahkan, jika didepan seseorang yang haus terdapat dua gelas air yang sama dalam segala aspeknya, tidak mungkin ia mengambil salah satunya, kecuali ia menilai salah satunya lebih baik, lebih ringan, atau lebih dekat ke tangan kanan—jika ia terbiasa memakai tangan kanan—atau karena sebab-sebab lain, baik jelas atau tidak. Kalau tidak, pilihan atas salah satu dari dua hal yang serupa persis tidak akan pernah bisa dibayangkan.
Pernyataan tersebut dapat ditanggapi dari dua sudut pandang. Pertama, apakah pendapat bahwa “hal itu tidak bisa dibayangkan”, berdasar keniscayaan rasional atau penalatan teotetis? Tidak mungkin Anda mengklaim dengan salah satu dari keduanya. Perbandingan yang kalian lakukan antara kehendak kita dengan kehendak Tuhan juga merupakan analogi yang absurd, sebagaimana perbandingan antara pengetahuan kita dengan pengetahuan Allah, padahal pengetahuan Allah sangat berbeda dengan pengetahuan kita. Karena itu, mengapa pembedaan yang sama mesti mustahil dalam soal kehendak? Pandangan Anda seperti pernyataan seseorang bahwa “zat tidak berada di luar atau di dalam jagad raya, tidak terpisah atau terikat dengannya” adalah tidak masuk akal. Karena kita tidak akan bisa memahaminya. Itu bisa dijawab dengan “pernyataan itu adalah imajinasi Anda”. Padahal bukti rasional telah menggiring orang berakal sehat untuk membenarkan hal tersebut. Dengan demikian, bagaimana Anda akan menanggapi pernyataan bahwa argumen rasional telah menggiring pada afirmasi sifat-sifat Tuhan yang mampu membedakan sesuatu yang serupa? Jika sebutan kehendak dirasa tidak memadai, kita ganti saja istilahnya, sebab pada dasarnya tidak ada persoalan dengan sebutan, dan sebutan itu tidak muncul dengan sendirinya. Kami menggunakannya karena ada justifikasi syariat. Namun secara etimologis, kehendak menunjukkan suatu hal yang mengarah pada tujuan. Dalam hal Tuhan, kita tidak bisa berbicara tentang suatu tujuan, sebab yang kita persoalkan hanyalah “arti”, bukan kata.
Di sisi lain, kita tidak bisa menerima pandangan bahwa penentuan pilihan oleh kehendak terhadap salah satu dari dua hal yang berbeda adalah tidak masuk akal. Kita bisa mengandaikan dua butir kurma yang berada di hadapan seseorang, namun tidak bisa mengambil keduanya sekaligus. Karena itu, ia akan mengambil salah satunya dengan perantara sifat yang mampu menentukan pilihan atas salah satu dari dua hal yang serupa. Mengenai syarat-syarat yang bisa membawa pada penentuan pilihan (mukhassis) sebagaimana yang Anda sebut di atas seperti baik, dekat, kemudahan mengambil, maka kami bisa membayangkan ketiadaannya dan yang tersisa hanyalah kemungkinan untuk mengambil. Karena itu, kalian hanya punya dua alternatif: (1) Anda berpendapat bahwa hubungan yang sama dari tujuan manusia terhadap dua kurma tersebut tidak dapat masuk akal. Dengan kata lain hal itu adalah nonsense, sebab mengandaikan kesamaan relasi itu bisa terjadi, (2) atau Anda mengatakan: ketika kesamaan telah diandaikan, orang yang sangat bergairah akan tetap dalam kebimbangan dan hanya tetap memandangnya. Dia tidak akan bisa mengambilnya dengan kehendaknya semata, atau dengan kebebasan memilih (ikhtiyar) yang terlepas dari tujuan. Namun ini juga mustahil, dan absurditas pandangan ini terbukti secara niscaya oleh rasional (daruri).
Dengan demikian, mau tak mau, pemerhati—yang tahu secara langsung atau tidak—persoalan realisasi tindakan yang berdasarkan atas kebebasan memilih dan kesadaran (ikhtiyar), harus menerima afirmasi sifat yang berfungsi untuk membedakan sesuatu dari lainnya yang sejenis.
Kedua, dalam teori-teori Anda, Anda tidak bisa rnelepaskan asumsi tentang pilihan penentuan atas satu hal dan tidak pada hal yang lain. Karena sesungguhnya alam ada karena ada sebab yang membentuknya dengan bentuk tertentu yang berbeda dengan yang lain. Lalu mengapa dipilih suatu bentuk tertentu dalam penciptaannya? Sementara kemustahilan pembedaan sesuatu dari sejenis yang lainnya tidak berbeda, baik dalam konteks tindakan, kelaziman menurut karakter dasarnya, ataupun menurut keniscayaan rasional.

Jika Anda mengatakan:
Sistem menyeluruh pada alam tidak mungkin tercipta kecuali dengan cara sebagaimana adanya saat ini. Jika alam berukuran lebih besar atau lebih kecil dari yang sekarang ini, maka sistem ini tidak akan bisa sempurna. Demikian juga dalam persoalan jumlah bintang di langit. Anda katakan bahwa yang besar berbeda dengan yang kecil, yang banyak berbeda dengan yang sedikit dalam tujuan penciptaannya. Karenanya, dalam sistem universal, semua itu bukanlah merupakan hal yang sama. Dapat dibenarkan bahwa kemampuan manusia sangat terbatas untuk mengetahui hikmah yang terkandung dalam kuantitas dan detail-detail bintangbintang tersebut (aflak). Manusia hanya bisa mengetahui sebagian hikmahnya, seperti hikmah dari deklinasi bintang—yang merupakan tanda-tanda zodiak—dari titik ekuator, atau hikmah dari kasus Apogee (auj), atau bintang- bintang eksentrik yang keluar dari titik pusatnya. Sebagian besar masih belum diketahui, dan hanya perbedaan serta keragamannya saja yang dapat diketahui. Karena itu, tidak mustahil bahwa suatu hal bisa dibedakan dari yang bertentangan dengannya (sebagai kemungkinan alternatif ) disebabkan oleh relasinya dengan sistem semesta yang mengaturnya. Sebaliknya, momen- momen waktu adalah sama secara mutlak dalam hubungannya dengan kemungkinan dan sistem tersebut. Dengan demikian, tidak mungkin menyatakan bahwa seandainya alam diciptakan sesaat sesudah atau sebelum waktunya, maka sistem itu tidak akan terbentuk. Sebab kesamaan kondisi-kondisi temporal merupakan sesuatu yang jelas dengan sendirinya (daruri).

Akan kami katakan:
Jika kami mampu—menyanggahnya seperti kami menyanggah persoalan kondisi-kondisi temporal (ahwal) ketika sementara orang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam pada saat yang paling pantas untuk penciptaannya—kami tidak hanya akan membatasi diri pada konteks ini. Tetapi kami hanya akan memberikan tanggapan atas prinsip-prinsip kalian karena memfokuskan diri pada dua hal yang dipertentangkan, yaitu (1) keragaman arab gerakan benda langit, dan (2) posisi tetap kutub dalam gerakan benda langit pada titiknya. Tentang kutub-kutub itu, para filsuf menjabarkan bahwa:
“Langit (sama’) adalah sebuah bola yang bergerak pada kedua kutubnya, seolah keduanya merupakan dua titik yang konstan dan tetap. Bola itu memiliki bagian-bagian yang sama, sebab merupakan bentuk yang sederhana. Terutama falak yang tertinggi, yang kesembilan, yang sama sekali tak berkomposisi dari sesuatu (murakkab) atau tidak berbintang. Ia bergerak atas dua kutub, utara dan selatan.”
 
Kami katakan: dua titik yang berhadapan—dari titik- titik yang jumlahnya tidak terhingga, menurut mereka—tak lain adalah dua kutub. Lalu mengapa titik kutub yang konstan itu hanya tertentu pada titik utara dan selatan? Mengapa bukan ekliptika yang melintasi kedua titik itu yang dijadikan kutub? Jika ukuran besar langit dan bentuknya mengandung hikmah tertentu, lalu apa yang membedakan tempat suatu kutub dengan tempat lainnya, sehingga bisa menyebabkan suatu titik tertentu dipilih sebagai kutub, bukan titik lain, sementara semua titik adalah serupa dan semua bagian bola langit itu sama? Dalam hal ini para filsuf tidak menemukan jalan keluar untuk memecahkannya.

Jika dikatakan:
Barangkali lokasi yang menjadi tempat titik kutub itu berbeda dengan yang lain dengan spesifikasi tertentu yang terkait dengan keberadaannya sebagai tempat kutub sehingga menjadi konstan dan tetap. Seolah ia tidak bisa lepas dari tempat, ruang, posisi, dan nama yang ditetapkan kepadanya. Semua posisi falak berubah dan saling berganti karena perputaran, yang menentukan hubungannya dengan bumi dan falak-falak lainnya. Namun posisi kutub-kutub itu tak berubah. Karenanya, dibanding posisi lain, posisi itu mungkin lebih tepat untuk tetap dan tidak mengalami perubahan.

Akan kami katakan:
Dalam penjelasan tentang persoalan ini, terdapat uraian eksplisit tentang ketakseragaman alamiah bagian-bagian pada bola pertama. Ia bukanlah bentuk dengan bagian-bagian yang serupa, sebab pernyataan itu berarti berseberangan dengan prinsip-prinsip Anda sendiri. Karena satu prinsip dalam argumen Anda untuk menunjukkan bahwa langit berbentuk bulat adalah: “Watak dasar (tabi’ah) langit adalah sederhana, karena ia mengandung keseragaman dan terlepas dari keragaman. Bentuk paling sederhana adalah bentuk bola. Karena segiempat, segienam, dan lainnya akan memunculkan sudut-sudut serta keragaman. Dan bentuk yang seperti ini mengharuskan adanya unsur tambahan dari bentuk sederhana tersebut.”
Tapi, meskipun mengorbankan konsistensi dengan menentang prinsip-prinsip sendiri, sikap ini tidak membuat penolakan kami tidak benar. Sebab pertanyaan tentang sifat spesifik masih tetap belum terjawab. Apakah bagian-bagian lain juga dimungkinkan menerima sifat itu, ataukah tidak? Jika jawaban Anda ‘Ya ‘, pertanyaan berikutnya adalah mengapa sifat itu hanya dimiliki oleh beberapa hal yang serupa? Tetapi jika mereka mengatakan: “Sifat itu hanya bisa terletak pada posisi ini dan bagian lain dari falak tidak menerimanya,” kami akan menjawab, semua bagian-bagian falak, sebagai tubuh yang menerima bentuk-bentuk, sebenarnya adalah serupa (mutasyabihah) secara daruri. Sifat spesifik itu tidak dapat diklaim oleh tempat tersebut hanya karena ia merupakan tubuh atau langit. Sebab pengertian ini secara umum dimiliki oleh bagian-bagian langit yang lain. Karena itu, hanya ada dua alternatif jawaban: (1) sifat spesifik itu ditentukan sewenang-wenang, atau
(2)    sifat spesifik itu ditentukan karena yang menerima sifat itu memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan entitas lain yang sejenis. Jika tak satu pun dari kedua hipotesa alternatif ini diterima, maka sebagaimana mereka berpegang teguh pada teori bahwa semua keadaan (ahwal) dalam menerima kejadian alam adalah sama, demikian pula lawan-lawan mereka akan berpegang teguh pada pendirian bahwa seluruh bagian langit adalah sama dalam menerima makna yang karenanya ketetapan posisi (subut al- wadi’) lebih valid daripada kebergantian posisi (tabaddul al-wadi’) di mana persoalan ini tidak memiliki jalan keluar.
Sudut pandang kedua—di mana kritik para filsuf terhadap perbedaan antara hal-hal yang serupa, mengandung suatu kontradiksi—adalah bahwa, di samping kesamaan arah-arah, gerakan falak-falak—sebagian dari timur ke barat dan sebagian lagi dari barat ke timur—apa yang menyebabkan sifat spesifik tersebut? Padahal, kesamaan arah-arah itu adalah seperti kesamaan gerakan-gerakan, tanpa beda.

Apabila dikatakan:
Jika alam semesta berputar hanya dari satu arah, ia tidak akan mempunyai hubungan-hubungan spasial yang berbeda- beda, dan tidak akan ada konfigurasi bintang-bintang (munasabah al-kawakib) yang timbul dari hubungan-hubungan segitiga atau segienam, perbandingan, dan lain-lain. Tapi alam semesta akan memiliki satu hubungan spasial yang tidak berbeda sama sekali. Dan ternyata konfigurasi bintang-bintang ini merupakan dasar bagi peristiwa-peristiwa alam.

Kami akan menjawab:
Kami tidak menolak perbedaan arah gerakan. Namun yang ingin kami katakan adalah bahwa falak yang tertinggi bergerak dari timur ke barat dan yang di bawahnya bergerak dari arah yang sebaliknya. Dengan demikian, setiap yang mungkin terjadi dengan cara ini, mungkin pula terjadi sebaliknya. Artinya, falak yang tertinggi bisa bergerak dari arah barat ke timur dan yang di bawahnya bergerak dari arah sebaliknya, hingga muncul perbedaan (tafawut). Sebenarnya arah-arah gerakan—setelah membentuk gerak berputar saling berlawanan satu sama lain— adalah sama. Karena itu, mengapa satu arah dibedakan dari arah lain yang serupa?

Apabila dikatakan:
Kedua arah itu saling bertentangan satu sama lain dan saling berlawanan. Lalu bagaimana keduanya bisa sama atau dianggap sama?

Kami akan menjawab:
Pertanyaan itu seperti perkataan seseorang: “keterdahuluan (taqaddum) dan keterakhiran (ta’akhkhur) eksistensi alam juga bertentangan satu sama lain dan merupakan kebalikan.” Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa diangap sama? Para filsuf mengatakan bahwa kesamaan momen-momen waktu diketahui dengan mengacu pada kemungkinan eksistensi (imkan al- wujud) dan dengan mengacu pada setiap kemaslahatan yang dimungkinkan pengandaiannya di dalam wujud. Jika klaim para filsuf mengenai perbedaan, meski ada kesamaan ini, merupakan suatu klaim yang dibenarkan, klaim lawan-lawan mereka tentang perbedaan yang terdapat pada keadaan-keadaan dan tingkat- tingkat temporal (hay’ah) juga harus dibenarkan pula.
Sanggahan kedua, terhadap dasar argumen mereka dapat dikatakan: Anda menolak adanya kemungkinan prosesi munculnya wujud temporal (hadis) dari wujud kekal (qadim). Meski demikian, Anda harus mengakui kemungkinannya. Sesungguhnya di alam terdapat fenomena-fenomena temporal. Dan beberapa fenomena lain merupakan sebab-sebab bagi fenomena-fenomena itu. Karena itu, satu tatanan fenomena temporal tidak mungkin harus disebabkan oleh fenomena lain dan membentuk rangkaian- rangkaian tak terhingga, ad ininitum. Tidak ada orang berakal sehat yang dapat memercayai pendapat tersebut. Sebab kalau itu mungkin, Anda tidak akan merasa harus mengakui pencipta (ke dalam teori-teori Anda) atau menegaskan yang niscaya ada (wajib al-wujub) yang merupakan sandaran dasar segala yang mungkin (mumkinat). Dan jika ada suatu batas di mana rangkaian-rangkaian fenomena temporal berakhir, maka batas itu adalah sesuatu yang kekal (al-qadim).Jadi, atas dasar prinsip-prinsip Anda, kita harus menerima kemungkinan terjadinya prosesi suatu wujud temporal (hadis) dari suatu wujud kekal (qadim).

Apabila dikatakan:
Kami tak memustahilkan prosesi munculnya suatu wujud temporal (hadis), apa pun adanya, dari suatu wujud kekal (qadim). Yang tak kami anggap mustahil adalah prosesi munculnya wujud temporal (hadis) yang pertama dari yang kekal (al-qadim). Karena momentum munculnya wujud temporal pertama tidak dapat dibedakan dari momen-momen sebelumnya di dalam memberikan penentuan dasar (tarjih) pada arah wujud, tidak dari segi hadirnya waktu, alat, syarat, karakter dasar, tujuan, atau salah satu di antara sebab-sebab. Jika wujud temporal (hadis) yang berasal dari yang kekal bukan merupakan wujud pertama, maka prosesi munculnya dari yang kekal bisa dimungkinkan, setelah munculnya sesuatu yang lain berupa kesiapan kapasitas substratum yang mau menerima hal-hal baru, hadirnya waktu yang sesuai atau beberapa hal lain yang seperti itu.

Kami akan menjawab:
Ini melahirkan pertanyaan tentang perolehan kapasitas kesiapan (isti’dad), kehadiran waktu, atau apa saja yang dianggap baru terwujud dalam hal ini. Dalam hal ini ada dua alternatif: (1) rangkaianrangkaian itu akan terus terjalin tanpa akhir, atau (2) ia akan berhenti pada suatu wujud kekal tempat wujud temporal pertama muncul pertama kali.

Apabila dikatakan:
Materi-materi yang menerima bentuk-bentuk (surah), aksidenaksiden (a’rad), dan kualitas-kualitas (kayiyyat) sama sekali tidak temporal. Kualitas-kualitas yang temporal adalah gerakan falak-falak, yaitu gerakan berputar dan sifat-sifat relatif (al-ausat al-idaiyyah) dari gerakan itu, yang berupa segitiga, segiempat, dan segienam. Ia merupakan hubungan-hubungan beberapa bagian falak atau bintang-bintang dengan sebagian yang lain atau dengan bumi, seperti konsekuensi dari terbitnya matahari, waktu siang hari, tenggelamnya matahari, atau dekilnasi matahari dari titik-titik elevasi paling tinggi, menjauh jaraknya dari bumi karena berposisi di Apogee (titik tertinggi/ auj) atau mendekat karena berposisi di Perigee (titik terendah/ hadid), atau kecondongannya menjauh dari beberapa daerah karena berposisi di utara atau selatan. Jelas hubungan-hubungan atau keterkaitan-keterkaitan (idafah) ini merupakan kemestian bagi gerak putar (al-harakah ad-dauriyyah) secara daruri, karena yang meniscayakannya adalah gerak putar itu sendiri.
Adapun hal-hal temporal (hawadis) di dalam sesuatu yang dikandung oleh lembah falak bulan, yaitu empat unsur dengan pengaruhpengaruhnya berupa keterbentukan (kaun) dan kerusakan (fasad), atau pencampuran (imtizaj) dan keterpisahan (iftiraq), atau transformasi dari satu kualitas ke kualitas lain, maka semua itu merupakan hal-hal temporal yang saling tergantung dalam rincian penjelasan yang panjang. Namun, akhirnya, prinsip-prinsip dari sebab-sebabnya akan berakhir pada gerakan selestian berputar (al-harakah as-samawiyyah ad-dauriyyah) dan pada hubungan bintang yang satu dengan bintang yang lain atau hubungannya dengan bumi.
Akibat dari semuanya itu ialah bahwa gerak putar yang terusmenerus dan abadi merupakan sumber bagi hal-hal temporal seluruhnya. Yang menjalankan gerak putar langit ini adalah jiwaiwa langit. Jiwa-jiwa itu adalah makhluk hidup yang memainkan peranan seperti yang dimainkan oleh jiwa-jiwa kita di dalam tubuh kita. Sedang jiwa-jiwa langit adalah kekal. Karena itu, gerak putar yang digerakkan oleh jiwa kekal itu juga kekal. Ketika kondisi-kondisi jiwa itu serupa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang kekal, maka demikian pula kondisi gerakan- gerakan. Artinya, gerakan itu berputar selamanya tanpa henti.
Dengan begitu, tidak terbayangkan bahwa suatu wujud temporal harus muncul dari suatu wujud kekal, kecuali melalui perantara gerak putar tak abadi. Gerakan ini menyerupai yang kekal (qadim) di satu sisi, yaitu abadi selamanya, dan menyerupai yang temporal di sisi lain. Karena setiap bagian yang ditetapkan berasal dari gerak putar merupakan sesuatu yang temporal setelah sebelumnya tidak ada. Maka, dari segi bahwa ia adalah temporal berdasarkan bagian-bagian dan hubungan-hubungannya, gerak putar adalah prinsip dari semua fenomena temporal. Tetapi, dari segi bahwa ia abadi dan memiliki keadaan-keadaan yang sama (mutasyabihah), gerak putar merupakan sesuatu yang muncul dari jiwa-jiwa kekal langit. Ini menunjukkan bahwa apabila di dalam alam terdapat peristiwa-peristiwa temporal, peristiwa itu pasti berhubungan dengan gerak putar. Dan, karena secara aktual perisitwa- peristiwa temporal ada di alam, maka gerak putar abadi dapat dibuktikan keberadaannya.

Kami akan menjawab:
Keterangan panjang lebar ini tidak ada gunanya bagi Anda. Sebab masih ada pertanyaan, apakah gerak putar itu— yang merupakan sumber peristiwa-peristiwa temporal—temporal atau kekal? Jika ia kekal, bagaimana gerak putar itu menjadi prinsip wujud temporal pertama? Jika ia temporal, apakah gerak putar membutuhkan wujud temporal yang lain, dan karenanya akan terjadi rangkaian hubungan tak berujung (tasalsul)? Anda mengatakan bahwa gerak putar menyamai yang kekal di satu sisi, dan menyerupai yang temporal di sisi yang lain. Gerak putar merupakan sesuatu yang permanen (sabit), tetapi timbul dan timbul kembali menurut peredaran waktu (mutajaddid). Artinya, ia permanen dalam proses terus-menerus membarunya atau terus- menerus membaru dalam kondisi permanennya (mutajaddid as-subut). Lantas apakah gerak putar itu merupakan prinsip fenomena temporal karena ia permanen atau karena ia membaru? Jika karena gerak putar itu permanen, bagaimana sesuatu bisa timbul dari wujud permanen—yang keadaan-keadaannya sama—pada satu momen tertentu dan tidak pada momen- momen yang lain? Tetapi jika gerak putar itu merupakan prinsip bagi fenomena temporal karena dapat membaru, apa sebab yang membuatnya bisa membaru di dalam dirinya? Dan jika sebab itu memang ada, maka sebab itu akan membutuhkan sebab yang lain dan seterusnya sehingga akan melahirkan rangkaian sebab- sebab tanpa akhir.

Inilah puncak sanggahan-sanggahan kami. yang telah ditegakkan pada dasar yang kokoh. Para filsuf mempergunakan berbagai macam rekayasa cerdik yang akan kami kemukakan dalam beberapa masalah yang kami tolak sesudah ini. Tetapi kami bermaksud meringkas keterangan tentang rekayasa cerdik itu di dalam beberapa masalah yang lain, agar diskusi masalah ini tidak bertele-tele dan perhatian kita akan beralih dari masalah- masalah pokok ke isu-isu sampingannya. Selanjutnya, kami bermaksud menunjukkan bahwa gerak putar itu tidak tepat dijadikan prinsip bagi peristiwa-peristiwa temporal, dan bahwa ternyata seluruh peristiwa temporal (hawadis) telah direncanakan dan diciptakan oleh Tuhan. Dalam konteks ini, kami juga akan menolak teori para filsuf bahwa langit adalah sebuah makhluk hidup yang bergerak berdasar kehendak dan gerakannya bersifat psikis (harakah nafsiyyah) seperti gerakan-gerakan kita.

ARGUMEN KEDUA
Di sini para filsuf berasumsi bahwa orang yang mengatakan alam adalah lebih akhir (posterior/ muta’akhir) dari Allah, atau bahwa Allah lebih awal (prior/ mutaqaddim) dari alam, memiliki makna dari salah satu antara dua keterangan: (1) dia mungkin bermaksud menyatakan bahwa Allah mendahului menurut zat (per se), bukan dalam urutan waktu, seperti satu mendahului dua. Angka satu mendahului angka dua berdasarkan karakter dasarnya, meski bisa saja kedua-duanya ada bersama-sama dalam eksistensi waktu (wujud zamani). Atau, keterdahuluan Tuhan, berdasar pandangan ini, seperti keterdahuluan sebab dari akibat, misalnya keterdahuluan gerakan seseorang dari gerakan bayang-bayang yang mengikutinya, keterdahuluan gerakan tangan dari gerakan cincin yang ada padanya, atau keterdahuluan gerakan tangan di dalam air dari gerakan air. Kedua gerakan pada masing-masing contoh ini adalah simultan, bersamaan secara kalkulasi waktu, dan yang satu menjadi sebab, sedangkan yang lainnya menjadi akibat. Sebab bayang-bayang itu bergerak karena gerakan seseorang di air bergerak karena gerakan tangan di dalam air. Meskipun kenyataannya kedua gerakan itu simultan, namun tidak seorang pun mengatakan bahwa seseorang bergerak karena gerakan bayang-bayang atau tangan bergerak karena gerakan air. Jika demikian yang dimaksud dengan keterdahuluan Tuhan pada alam, maka kedua-duanya harus temporal atau kedua-duanya harus kekal. Mustahil salah satu dari kedua-duanya kekal, sedangkan yang lain temporal.
Tetapi, jika yang dimaksud dengan keterdahuluan Tuhan adalah (2) bahwa Dia mendahului alam dan waktu menurut kalkulasi waktu, maka tentu sebelum adanya alam dan waktu, ada ‘suatu waktu’ ketika alam belum terwujud. Pada waktu pra-wujud itu, alam harus tidak ada (‘adam), karena ketiadaan (‘adam) mendahului keberadaan (wujud). Karena itu, Tuhan harus telah mendahului alam pada sebuah masa yang berbatas akhir, tetapi tidak penah bermula. Jadi, menurut pandangan ini, harus ada ‘suatu waktu’ yang tak terhingga sebelum waktu (seperti yang kita pakai saat ini). Tetapi, itu dengan sendirinya kontradiktif (mutanaqid). Karena alasan itu, mustahil memercayai kebermulaan waktu (hudus az-zaman). Akhirnya, jika ternyata waktu menjadi niscaya (wajib), sementara ia merupakan istilah untuk kalkulasi gerak, maka eternitas gerak menjadi niscaya juga. Dengan demikian, eternitas yang bergerak juga niscaya mengharuskan waktu menjadi kekal karena eternitas gerakannya.
 
Sanggahan:
 
Hendaknya dikatakan bahwa waktu (zaman) mempunyai permulaan dan ia diciptakan. Dan sebelum adanya waktu, sama sekali tidak ada waktu. Ketika kita mengatakan: “Tuhan mendahului alam dan waktu,” kita maksudkan bahwa Dia ada dan alam tidak, dan bahwa kemudian, Dia ada dan alam ada bersama dengan-Nya. Dan arti dari kata-kata kami: “Dia ada, dan alam tidak” (Kana [Allah] wa Ia ‘alam) terbatas pada adanya zat pencipta dan tiadanya zat alam saja. Demikian pula arti dari kata-kata kami: “Dia ada dan alam ada bersama dengan-Nya” (Kana [Allah] wa ma’ahu ‘alam) terbatas pada adanya dua zat saja. Dengan keterdahuluan-Nya kami maksudkan bahwa zat- Nya saja yang ada sendirian (sebelum eksistensi alam). Alam juga dapat diperbandingkan dengan manusia. Misalnya, jika kita katakan: ‘’Allah ada dan ‘Isa tidak,’’ dan kemudian: ‘’Allah ada dan ‘Isa ada bersama-sama dengan-Nya”. Pernyataan ini berarti:
(1)    adanya satu zat dan tiadanya zat lain, (2) adanya kedua zat itu secara bersamaan. Untuk memahami pernyataan ini, tidak perlu diandaikan unsur ketiga. Apabila imajinasi memaksakan diri untuk mengandaikan unsur ketiga, yaitu waktu (zaman), maka kesalahan-kesalahan imajinasi tidak pelu diperhatikan.

Jika dikatakan:
Ungkapan “kana Allah wa Ia ‘alam” (Allah ada dan alam tidak) memiliki dimensi pengertian ketiga, selain adanya zat Allah dan tiadanya alam. Buktinya, jika kita mengandaikan tiadanya alam pada masa yang akan datang, maka akan muncul pengertian tentang adanya suatu zat dan tiadanya zat yang lain. Kita tidak bisa mengungkapkannya dengan memakai kata “kana Allah wa Ia ‘alam”, tapi ungkapan yang benar adalah “yakunu AIIah wa la ‘alam”. Karena ungkapan yang pertama hanya digunakan untuk peristiwa dalam waktu lampau (madi). Dengan demikian, terdapat perbedaan arti antara ungkapan yang menggunakan kata “kana” dan ‘’yakunu’’, karena masing-masing memiliki tekanan makna sendiri yang tidak bisa dipertukarkan. Kita bisa melihat perbedaan tersebut, dan jelas bahwa perbedaan tersebut tak terletak pada arti “adanya suatu zat (Allah)” atau “tiadanya suatu zat (alam)”. Kedua arti tersebut tidak berbeda dalam kedua ungkapan yang memakai kata kana dan yakunu. Perbedaan arti justru terletak pada dimensi ketiga (baca: dimensi waktu). Jika kita mengatakan “kana Allah wa Ia ‘alam” untuk menyatakan ketiadaan alam pada masa yang akan datang, orangorang akan menyalahkannya. Karena kata kana hanya digunakan untuk hal-hal yang terjadi pada masa lampau. Hal itu menunjukkan bahwa kata kana memiliki dimensi arti ketiga, yaitu masa lampau. Pada aspek internal, masa lampau adalah waktu dan pada aspek eksternalnya ia adalah gerak. Gerak itu berlalu seiring lewatnya waktu. Dengan demikian, secara daruri, tidak dapat dimungkiri bahwa sebelum alam ada, terdapat waktu yang merentang hingga berakhir pada lahirnya alam.

Kami akan menjawab:
Pengertian asli dari kata kana (telah ada) dan yakunu (akan ada) dalam hal ini hanyalah “adanya suatu zat” dan “tiadanya zat yang lain”. Dimensi ketiga yang membuat dua kata itu berbeda arti adalah relasi niscaya (nisbah lazimah), jika dianalogikan pada kita. Ini dapat dibuktikan sebagai berikut: jika kita mengandaikan ketiadaan alam pada masa mendatang, lalu mengandaikan eksistensi kita sendiri sebagai akibat darinya, maka kita akan dapat berkata: “Allah ada dan alam tidak” (kana Allah wa Ia ‘alam). Ungkapan demikian adalah benar, baik apakah yang kita maksudkan dengan ungkapan itu adalah ketiadaan yang pertama (yang mendahului eksistensi alam) atau ketiadaan yang kedua, sesudah eksistensinya.
Karena itu, watak relatif dari masa lampau dan masa mendatang ditunjukkan oleh fakta bahwa masa mendatang bisa dengan sendirinya menjadi masa lampau, dan konsekuensinya, ia dapat dikatakan menurut pengertian kalimat bentuk lampau. Dan semuanya ini diakibatkan karena ketidakmampuan khayalan untuk memahami eksistensi permulaan tanpa mengandaikan sesuatu “sebelum” itu. Waktu “sebelum” (qabl) itu—yang mesti terpikir oleh khayalan—kami asumsikan sebagai sesuatu yang benar-benar ada, berupa waktu. Dan ketidakmampuan khayalan dalam hal ini bagaikan ketidakmampuan khayalan untuk mengandaikan suatu tubuh yang terhingga, katakanlah, pada tingkatan teratas, tanpa sesuatu hal di atasnya lagi. Maka khayalan pun berasumsi bahwa di balik alam ada ruang, baik berupa ruang yang penuh atau kosong. Karenanya, ketika dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun di atas permukaan alam atau di balik ruang alam semesta, imajinasi kita tidak dapat menerima hal tersebut, persis sebagaimana ia tidak dapat menerima pendapat bahwa tidak ada sesuatu pun di atas karakter suatu wujud yang dapat dibuktikan sebelum eksistensi alam. Tak ada istilah “sebelum”, sebelum adanya alam.
Demikian juga kita dapat menolak kebenaran anggapan imajinasi tentang (a) ruang hampa atau di luar alam, (b) dan ia merupakan keluasan tak terhingga, dengan mengatakan bahwa
(a)    ruang hampa tak dimengerti dengan sendirinya, dan (b) bahwa perluasan itu termasuk bagian benda yang sisi-sisinya saling menjauh. Jika benda itu terhingga, maka keluasan yang merupakan bagiannya juga harus terhingga. Hal ini menunjukkan bahwa ruang berisi atau kosong (yang tidak terikat pada benda- benda) bisa tidak dipahami dalam konteks di luar alam semesta. Maka hal ini membuktikan bahwa di balik alam tidak ada suatu ruang yang penuh atau juga ruang yang hampa, walaupun tidak bisa menerimanya.
Demikian pula bisa dikatakan bahwa sebagaimana perluasan dalam ruang (al-bu’d al-makani) mengikuti benda, maka perluasan dalam waktu (al-bu’d az-zamani) mengikuti gerakan, sebab ini adalah keberlanjutan gerakan. Demikian juga perluasan terus-menerus sisi-sisi benda. Sebagaimana penunjukan dalil keterhinggaan sisisisi benda menahan seseorang dari menegaskan perluasan spasial (al-bu’d al-makani) di baliknya, maka penunjukan dalil keterhinggaan gerakan pada suatu arah menahan seseorang dari mengandaikan perluasan-temporal (al- bu’d az-zamani) di baliknya. Dan semestinya seseorang dicegah dari membuat pengandaian ini, meski imajinasi berpegang teguh pada anggapan fantastik ini, dan tidak mampu mencabutnya.
Tidak ada bedanya antara perluasan temporal (al-bu’d az- zamani)—yang digambarkan menurut pengertian hubungan- hubungannya sebagai “sebelum” dan “sesudah”—dan perluasan spasial (al-bu’d al-makani)—yang digambarkan menurut pengertian hubunganhubungannya sebagai “atas” dan “bawah”. Jika kita boleh menetapkan adanya “atas” tanpa ada atas lagi di atasnya, maka juga dibolehkan menetapkan “sebelum” tanpa ada kategori sebelum lagi sebelumnya yang bersifat riil, kecuali sebatas imajinasi, sebagaimana pada kasus “atas” tanpa atas lagi di atasnya. Perbandingan ini tidak dapat dihindari dan mesti direnungkan dengan hati-hati. Sebab semua filsuf sepakat bahwa di balik alam tidak ada ruang, baik yang berisi (mala’) dan yang kosong (khala’).

Jika dikatakan:
Perbandingan ini tidak imbang. Karena alam tidak mempunyai “atas” dan “bawah”. Alam adalah sebuah bola dan sebuah bola tidak mempunyai “atas” dan “bawah”. Bahkan jika Anda menyebut satu arah (satu arah dari segi bahwa arah itu berhubungan dengan kepala) “atas” dan yang lain (satu arah dari segi bahwa arah itu berhubungan dengan kaki) “bawah”, maka arah itu merupakan sebutan-sebutan yang bisa dipergunakan padanya sejauh arah itu terkait dengan Anda. Arah “bawah” menurut Anda adalah “atas” menurut orang lain, yang mungkin Anda andaikan sedang berdiri pada sisi lain dari globe, sehingga tapak kakinya berhadapan dengan tapak kaki Anda. Bagian- bagian langit yang Anda andaikan ada di atas pada siang hari, bagian-bagian itu sendiri berada di bawah bumi pada malam hari. Dan segala yang ada di bawah bumi akan kembali berada di atas bumi melalui perputaran selestial. Tetapi permulaan eksistensi alam tidak dapat diandaikan merupakan akhir eksistensinya. Kita andaikan sepotong kayu yang satu ujungnya tebal, sedangkan ujung lainnya tipis dan kita sepakati untuk menyebut sisi yang tebal di ujungnya sebagai “atas” dan menyebut sisi lainnya “bawah”. Dengan ini tidak tampak perbedaan esensial pada bagian-bagian alam. Bahkan, sebutan-sebutan atau istilah-istilah yang telah kita pergunakan itu akan berbeda, sebagai konsekuensi dari perbedaan kedudukan kayu tersebut. Sehingga, misalnya jika kayu itu dibalik letaknya, sebutansebutan itu akan juga berubah. Dan ini tidak berarti bahwa telah terdapat suatu perubahan di dalam alam. ‘’Atas” dan “bawah” adalah relasi murni (nisbah mahdah) pada Anda, yang dengannya bagianbagian dan permukaan-permukaan alam tidak akan berbeda.
Tetapi ketiadaan (‘adam) yang mendahului eksistensi alam dan batas mula eksistensi alam harus merupakan entitas-entitas esensial, dan satu di ataranya tidak dapat diandaikan berubah sedemikian rupa menjadi yang lain. Ketiadaan yang diandaikan mengikuti kehancuran alam tidak bisa menjadi ketiadaan yang mendahului eksistensi alam. Kedua batas eksistensi alam—satu di antaranya adalah yang pertama, dan yang lainnya adalah yang terakhir—merupakan batas-batas esensial dan abadi. Sebaliknya “atas” dan “bawah”, yang tidak dapat saling mengubah diri karena perubahan hubungan-hubungannya. Karena itu, tidak dibenarkan mengatakan bahwa alam tidak mempunyai “atas” dan “bawah”. Bahkan Anda tidak boleh mengatakan bahwa eksistensi alam tidak mempunyai “sebelum” dan “sesudah”. Maka “sebelum” dan “sesudah” telah dibuktikan. Karena itu, waktu tak memiliki pengertian selain apa yang diungkapkan kategori “sebelum” dan “sesudah”.

Akan kami katakan:
Antara “sebelum” dan “sesudah” di satu segi, dan antara “atas” dan “bawah” pada segi lain, tidak ada bedanya. Tetapi karena tidak jelas orientasinya memilih kata “atas” dan “bawah”, mari kita gunakan kata “sisi dalam” (dakhil) dan “sisi luar” (kharij) sebagai gantinya. Kami akan menyatakan bahwa alam memiliki sisi dalam dan sisi luar. Maka apakah di sebelah luar alam ada sesuatu yang berupa tempat-tempat kosong? Jawaban mereka tentu: “tidak ada suatu tempat berisi atau tempat kosong di sebelah luar alam. Jika yang Anda maksud dengan ‘di luar’ alam adalah permukaan paling tinggi dari alam itu sendiri, maka alam mempunyai suatu sisi luar (kharij). Tetapi apabila yang Anda maksud lain dari maksud itu, alam tidak mempunyai sesuatu “sisi luar”. Demikian pula, apabila kami ditanya oleh mereka apakah alam mempunyai “sebelum”, maka kami akan menjawab: jika yang kalian maksud adalah pertanyaan apakah eksistensi alam memiliki permulaan (batas-batasnya di mana alam bermula), maka ia memiliki suatu “sebelum”. Dan ini sama dengan teori bahwa alam mempunyai “sisi luar”, apabila “sisi luar” diartikan dengan suatu ujung terbuka atau batas prmukaan. Tetapi apabila yang Anda maksud dengan “sebelum” adalah lain dari pengertian tersebut, maka alam tidak mempunyai “sebelum”, sebagaimana juga akan dikatakan bahwa ia tidak punya “sisi luar”, jika yang dimaksud adalah sesuatu yang di luar dan di atas permukaan alam itu sendiri.
Jika Anda katakan: permulaan suatu eksistensi, yang tanpa kategori “sebelum”, tidak dapat dicerna akal sehat,” maka jawabannya: “eksistensi suatu benda yang terbatas, yang tidak mempunyai “sisi luar” adalah juga tidak masuk akal. Jika Anda katakan: “sisi luarnya adalah permukaannya sendiri, yang menjadi batasnya. Ia tidak keluar dari batas “sisi luarnya,” maka kami akan mengatakan: “Dengan cara serupa, “sebelum” pada eksistensi berawal adalah permulaan eksistensinya, yang menjadi batas awalnya. Ia tidak keluar dari garis “sebelumnya” dalam batas awal eksistensinya.
Yang tersisa yang bisa dikatakan adalah bahwa Allah mempunyai wujud dan alam tak ada bersama-Nya. Pernyataan ini juga tak mengharuskan afirmasi apa pun. Yang menunjukkan bahwa afirmasi tersebut merupakan suatu kerja imajinasi adalah bahwa ia dihubungkan pada ruang dan waktu secara khusus. Meskipun lawan kami memercayai eternitas benda, imajinasinya kadang-kadang cenderung pada anggapan keberawalannya dari segi penciptaan atau asal temporalnya. Dan meskipun kami memercayai keberawalan temporal benda, bisa jadi imajinasi kami kadang-kadang cenderung pada anggapan eternitasnya. Tetapi hal demikian hanya berlaku pada benda. Jika kami kembali pada diskusi tentang waktu, lawan polemik kami tidak mampu membuktikan permulaan waktu yang tidak mempunyai kategori “sebelum”. Kebalikan dari apa yang diyakini dapat diletakkan di dalam imajinasi, sebagai hipotesa atau pengandaian. Akan tetapi hal ini—seperti juga ruang—merupakan sesuatu yang tak dapat diletakkan di dalam imajinasi sekalipun. Orang yang percaya atau tidak percaya pada keterbatasan benda tidak dapat mengandaikan suatu benda yang di baliknya tidak ada ruang yang penuh dan ruang kosong. Bahkan imajinasi tidak dapat menerima pendapat tersebut. Namun mungkin saja dikatakan bahwa, “bukti bukti akal pun sangat jelas menunjukkan bahwa jika ia tidak menyangkal keberadaan benda yang terhingga dengan putusan dalil itu, maka tidak perlu mengindahkan imajinasi itu lagi”. Begitulah, bukti-bukti akal pun jelas tidak menyangkal adanya sesuatu yang berpermulaan yang sebelum itu tidak ada sesuatu pun. Dan andai imajinasi tak mampu mengandaikan adanya sesuatu yang berpermulaan itu, maka ia tidak perlu dipertimbangkan lagi. Sebab kalau imajinasi tidak mampu memperoleh pengandaian benda yang terhingga, kecuali di sampingnya ada benda lain, atau mengandaikan udara— yang dibayangkan sebagai ruang yang hampa—maka ia juga tak bisa membayangkan hal tersebut pada realitas non empirik (ga’ib). Demikian juga kalau khayal tidak mampu menangkap fenomena temporal, kecuali sesudah adanya fenomena lain, maka kita tidak bisa mengandaikan adanya fenomena temporal tersebut, yang tidak mempunyai “sebelum”, yaitu suatu maujud yang barangkali sudah punah.
lnilah sebab-sebab kesalahan tersebut, dan perbandingan- perbandingan yang saya paparkan di sini benar-benar telah menyangkal tesis para filsuf.

BENTUK KEDUA TENTANG KENISCAYAAN KEKALNYA ZAMAN
Para filsuf mengatakan bahwa tak diragukan lagi bahwa Allah, seperti yang Anda katakan, adalah zat yang kuasa untuk menciptakan alam satu tahun, seratus tahun, atau seribu tahun sebelum terjadinya penciptaan, atau bahkan dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dan ukuran-ukuran hipotetis ini berbeda-beda kuantitasnya. Karena itu Anda harus menetapkan adanya sesuatu sebelum adanya alam yang merentang dan terukur, di mana sebagiannya lebih panjang daripada sebagian yang lain.
Jika Anda menyatakan bahwa tidak mungkin menggunakan kata ‘’tahun” (sinin), kecuali sesudah adanya falak temporal dan perputarannya. Karena itu kami tidak akan menggunakan kata “tahun” tersebut dan akan kami kemukakan lagi masalah itu dengan argumen-argumen lain. Dalam hal ini kami katakan, ketika mengandaikan bahwa sejak awal keberadaan alam sampai sekarang, falak-nya telah beredar seribu kali putaran misalnya, maka apakah Allah Swt. Kuasa menciptakan alam yang kedua sebelum adanya alam tersebut, misalnya yang sampai masa sekarang ini telah beredar seribu ratus kali putaran? Seandainya Anda menjawab “tidak”, berarti Tuhan yang kekal telah berubah dari ketidakmampuan menjadi mampu, atau alam berubah dari ketidakmungkinan menuju kemungkinan. Tetapi jika Anda menjawab “Ya”, dan tentunya jawaban ini tidak dapat Anda hindari, maka apakah Tuhan itu kuasa menciptakan alam yang ketiga, yang sampai saat ini telah beredar seribu dua ratus kali putaran? Anda tidak akan bisa keluar dari jawaban “Ya”.
Lalu saya akan menyatakan bahwa dalam hal alam yang ketiga tersebut—sebut saja begitu dengan pertimbangan kedudukannya dalam pengandaian kita, sekalipun keberadaannya paling awal—apakah mungkin penciptaannya bersamaan dengan alam—yang kita sebut alam yang kedua—yang sampai saat ini sudah menjalani putaran sebanyak dua ribu dua ratus putaran sementara alam yang lain (kedua) baru berputar seribu seratus putaran, padahaI keduanya memiliki jarak gerak dan kecepatan sama? Jika menjawab “Ya”, maka hal itu pun berarti mustahil. Sebab tidak mungkin ada dua gerakan yang memulai putarannya pada saat yang sama dan berakhir pada saat yang sama pula, namun jumlah putarannya menjadi berbeda satu sama lain.
Jika Anda menyatakan bahwa alam yang ketiga—yang beredar seribu dua ratus kali putaran—tak mungkin dicipta bersamaan dengan alam yang kedua—yang beredar seribu seratus kali putaran. Tapi, tidak boleh alam ketiga diciptakan sebelumnya dalam rentang masa yang sama dengan jarak penciptaan alam kedua dan pertama. Disebut alam pertama, karena ia lebih dekat pada imajinasi kita, ketika kita menghitung ke depan dari masa kita dalam ukuran rentangan waktu. Karena itu, kuantitas atau ukuran kemungkinan yang satu adalah pelipatgandaan kemungkinan yang lain, demikian pula kemungkinan yang lain itu merupakan pelipatgandaan dari keseluruhannya.

Kemungkinan yang diukur dengan kuantitas ini— yang sebagiannya lebih panjang dari yang lain dengan ukuran yang diketahui—tidak memiliki hakikat kecuali waktu. Maka kuantitas yang ditetapkan ini bukan merupakan sifat zat Allah dalam penentuannya, dan juga bukan merupakan sifat ketiadaan alam karena ketiadaan alam itu bukanlah “sesuatu” sehingga bisa diukur dengan ukuran-ukuran kuantitatif, yang mana kuantitas itu sendiri merupakan sifat yang mengandaikan adanya esensi kuantias. Tetapi “sesuatu” itu tentu merupakan gerak, dan kuantitas itu tidak lain dari waktu, yang merupakan ukuran bagi gerak. Karena itu, sebelum ada alam—sebagaimana pendapat Anda—harus ada sesuatu yang jumlah kuantitasnya terhitung, yaitu waktu (zaman). Maka sebelum ada alam, Anda harus percaya bahwa telah ada waktu.

Sanggahan:
Semua itu benar-benar hanya merupakan kerja imajinasi. Cara paling dekat untuk menyangkalnya adalah dengan memperbandingkan waktu dengan ruang. Maka saya akan bertanya, apakah Allah kuasa untuk menciptakan falak tertinggi itu sekubik lebih besar daripada ukuran yang diciptakan-Nya secara nyata sekarang ini? Seandainya mereka menjawab “tidak”, berarti Dia tidak punya kemampuan. Tetapi seandainya mareka menjawab ‘’Ya”, tentu ukuran lebih besar dua kubik atau tiga kubik juga harus diterima, dan begitulah seterusnya tanpa batas, ad ininitum. Karena itu, saya katakan bahwa dalam hal ini terdapat penetapan adanya keluasan di balik alam, yang mempunyai kadar dan kuantitas. Sebab, ukuran lebih besar dua atau tiga kubik itu tidak sama dengan yang hanya lebih besar satu kubik. Dengan begitu, di balik alam ini harus ada hukumhukum kuantitas, dan hukum-hukum kuantitas tersebut mengandaikan adanya bentuk kuantitas, yaitu benda atau ruang yang kosong. Karena itu, hal ini meniscayakan bahwa di balik alam ini harus ada ruang kosong (khala’) atau ruang penuh (mala’). Lalu apa tanggapan Anda?
Di samping itu, apakah Allah mampu (kuasa) menciptakan bola dunia lebih kecil sekubik—lalu dua kubik—dari yang ada sekarang? Dan apakah di antara kedua pengandaian tersebut ada perbedaan, yang disebabkan penyisihan ruang kosong atau penempatan ruang penuh? Sebab ruang penuh yang ketidakmunculannya disebabkan kuantitasnya kurang dari dua kubik adalah lebih besar daripada ruang penuh yang ketidakmunculannya hanya disebabkan kapasitasnya kurang dari satu kubik. Karena itu pula ruang kosong pun—dalam anggapan Anda—adalah kadar yang dapat diukur. Tetapi ruang kosong itu bukanlah “sesuatu” (syay’). Dengan demikian, bagaimana mungkin ia dapat diukur?
Jawaban saya untuk pengandaian imajiner atas kemungkinankemungkinan adanya waktu sebelum adanya alam ini, sama dengan jawaban Anda terhadap pengandaian imajiner tentang kemungkinankemungkinan adanya ruang di balik wujud alam ini. Benar-benar tak ada bedanya.

Jika dikatakan:
Kami tidak pernah mengatakan bahwa sesuatu yang bukan merupakan kemungkinan adalah dapat diukur dan adanya alam yang lebih besar atau yang lebih kecil daripada adanya sekarang adalah tidak mungkin. Karena itu, ia tidak dapat diukur.

Pembelaan ini menjadi absurd dengan tiga alasan:
Pertama, pernyataan Anda ini membuat akal menjadi muak. Karena akal telah membuktikan bahwa pengandaian tentang alam yang lebih besar atau lebih kecil sekubik dari yang semestinya saat ini tidak sama dengan pengandaian berpadunya antara hitam dengan putih atau antara ada dan tiada. Sementara yang tercegah adalah memadukan antara afirmasi dan negasi. Pada konteks ini, semua kemustahilan kembali, yaitu segenap pernyataan yang tidak terbukti dan yang absurd.
Kedua, seandainya alam tidak mungkin lebih besar atau lebih kecil dari adanya pada saat ini, maka keberadaannya sebagaimana terukur sekarang adalah niscaya (wajib), dan bukan sesuatu yang mungkin (mumkin). Sedangkan keniscayaan tak memerlukan sebab (‘illah). Karenanya, Anda harus sependapat dengan kaum materialis (dahriyyun), yakni menafikan ide sang pencipta atau menafikan sumber sebab sebagai penyebab bagi sebab-sebab. Akan tetapi ini sebenarnya bukan aliran filsafat Anda.
Ketiga, pernyataan dusta tersebut tidak mampu mencegah lawanlawan Anda untuk menyangkalnya dengan argumen yang senada. Lalu kami katakan bahwa sebelum eksistensinya sebagai sesuatu yang mungkin, alam tidak bereksistensi. Tapi eksistensi alam sejalan dengan kemungkinan tanpa ada tambahan dan pengurangan. Jika Anda berpendapat bahwa dengan ini berarti Tuhan yang kekal telah berubah dari ketidakmampuan (‘ajz) pada kemampuan (qudrah), maka akan saya jawab “tidak”. Karena eksistensi bukan merupakan sesuatu yang mungkin, sehingga ia bukan merupakan objek kemampuan. Tidak bisa mewujudkan sesuatu yang tidak termasuk dalam kategori mungkin bukan termasuk pada ketidakmampuan. Jika Anda mempertanyakan, bagaimana alam yang bukan merupakan kemungkinan itu bisa menjadi sesuatu yang mungkin? Akan saya jawab, tidak mustahil adanya sesuatu yang merupakan sesuatu yang mungkin pada suatu saat menjadi sesuatu yang mungkin dalam keadaan yang lain. Jika Anda menyatakan bahwa keadaan-keadaan itu sebenarnya sama, maka saya jawab bahwa kuantitas-kuantitas itu ternyata juga sama. Lantas, mengapa pula suatu kuantitas tertentu merupakan kemungkinan, sementara kuantitas lain yang lebih besar atau lebih kecil seujung kuku merupakan ketidakmungkinan. Jika yang itu tidak mustahil, tentu yang ini juga tidak mustahil.

lnilah cara mengatasi argumen-argumen mereka:
Sekarang terbukti kebenaran tesis saya dalam jawaban bahwa apa yang dikemukakan oleh para filsuf dengan mengandaikan kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak memiliki makna kebenaan. Sebenarnya yang dapat diterima akal sehat hanyalah pendapat bahwa Allah itu kekal (qadim) dan kuasa (qadir) selamanya tak ada yang tercegah bagi perbuatannya jika Ia menghendaki. Dalam kemampuan ini tidak ada sesuatu yang mengharuskan afirmasi waktu yang berkepanjangan, kecuali jika imajinasi secara licik menambahkan sesuatu yang lain kepadanya.

ARGUMEN KETIGA TENTANG ETERNITAS ALAM
Para filsuf berpegang teguh dengan pandangan bahwa eksistensi alam merupakan kemungkinan sebelum ia benar- benar ada. Karena mustahil setelah alam tidak mungkin ada, lantas menjadi mungkin. Kemungkinan ini tidak punya permulaan, artinya keberadaannya selalu tetap, dan eksistensi alam senantiasa merupakan sesuatu yang mungkin. Karena, tidak ada satu keadaan dari sekian keadaan baru yang mungkin bisa membuat alam menjadi sesuatu yang tidak mungkin ada. Karena kemungkinan tak pernah menjadi ketidakmungkinan, maka sesuatu yang mungkin pun—sesuai dengan kemungkinannya— tidak pernah menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Maka makna perkataan kami adalah bahwa alam adalah sesuatu yang mungkin adanya. Ia bukanlah sesuatu yang mustahil adanya. Jika alam merupakan sesuatu yang selamanya mungkin ada, maka ia tidak akan pernah menjadi sesuatu yang mustahil adanya. Kecuali jika alam selamanya merupakan sesuatu yang mustahil ada, maka gugurlah tesis kami bahwa alam selamanya adalah sesuatu yang mungkin ada. Jika tesis kami bahwa alam selamanya adalah sesuatu yang mungkin adanya menjadi gugur, maka gugur pula tesis kami bahwa kemungkinan merupakan sesuatu yang selamanya ada. Jika tesis kami bahwa kemungkinan selalu ada sudah gugur, maka tesis bahwa kemungkinan memiliki awal menjadi valid. Jika tesis bahwa kemungkinan memiliki awal menjadi valid, maka sebelum itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Maka tesis ini akan mengantar pada afirmasi terhadap keadaan di mana alam bukan merupakan sesuatu yang mungkin, dan tidak berkuasa atasnya.

Sanggahan:
Alam ini selamanya merupakan sesuatu yang mungkin keberawalannya (mumkin al-hudus). Maka tidak diragukan lagi bahwa alam yang temporal ini terwujud pada suatu waktu. Jika alam ini selalu ada, maka keberadaannya tentu tidak temporal. Karena itu, ia tidak sesuai lagi dengan karakter kemungkinannya, bahkan berseberangan dengan watak dasar kemungkinannya. Ini tidak berbeda dengan perkataan mereka tentang ruang, yaitu: “Pengandaian bahwa alam lebih besar dari adanya sekarang, atau penciptaan benda di atas alam adalah sesuatu yang mungkin. Dan demikian pula seterusnya tanpa batas. Maka tidak ada batas bagi kemungkinan tambahan. Padahal keberadaan ruang-penuh yang absolut (mala’ mutlaq) yang tak terhingga adalah tidak mungkin. Maka demikian juga keberadaan ujungnya yang tak berakhir adalah sesuatu yang tak mungkin.”
Bahkan, sebagaimana dikatakan: “Benda yang terbatas permukaannya adalah sesuatu yang mungkin. Tetapi ukuran kuantitas dalam besar dan kecilnya tidak bisa ditentukan.” Demikian pula sesuatu yang mungkin keberawalannya (al- mumkin al-hudus). Akan tetapi, prinsip keberadaannya tidak dapat ditentukan awal ataupun akhirnya, kecuali asal keberadaan sebagai sesuatu yang temporal, yang karenanya merupakan suatu yang mungkin, bukan yang lain.

ARGUMEN KEEMPAT
Di sini para filsuf mengatakan bahwa setiap yang temporal pasti didahului oleh materi sebagai tempat yang mendahuluinya. Sesuatu yang temporal selalu tergantung pada materi, walaupun materi itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang temporal. Yang temporal itu sebenarnya hanyalah bentuk (surah), aksiden (a’rad), dan kualitas (kaiiyyah) yang masuk pada materi.

Penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut:
Setiap yang temporal, sebelum menjadi sesuatu yang temporal, tidak bisa lepas dari tiga keadaan: (1) merupakan sesuatu yang mungkin adanya (mumkin al-wujud), (2) merupakan sesuatu yang tak mungkin adanya (mumtani’ al- wujud), (3) merupakan sesuatu yang niscaya adanya (wajib al- wujud). Tapi kapasitasnya sebagai sesuatu yang mustahil adanya adalah hal yang tidak mungkin. Sebab ketidakmungkinan secara esensial tidak pernah benar-benar ada dalam realitas. Selain itu, mustahil pula ia merupakan sesuatu yang niscaya secara esensial. Sebab keniscayaan secara esensial tidak pernah bisa tiada. Dengan demikian, alternatif yang tersisa adalah bahwa sesuatu yang temporal harus merupakan yang mungkin secara esensial. Sebab hanya kemungkinan itu yang ada sebelum ia benar-benar ada. Tapi kemungkinan eksistensi (mumkin al-wujud) adalah sifat nisbi (idai), yang tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh tidak harus ada substratum yang menjadi tempat sandaran alternatif lainnya, kecuali materi bisa menjadi sandarannya.
Sebagaimana dikatakan bahwa materi menerima panas dan dingin, hitam dan putih, gerak dan diam—artinya mungkin baginya terjadinya kualitas-kualitas serta hadirnya berbagai perubahan ini, maka kemungkinan itu menjadi suatu sifat bagi materi. Dan materi sendiri tidak memiliki materi, sehingga dengan demikian tidak mungkin memperbarui diri. Sebab jika ia menjadi baru, maka kemungkinan eksistensinya mendahului eksistensinya. Dengan demikian, kemungkinan menjadi independen dan berdiri sendiri tanpa disandarkan pada sesuatu, padahal ia merupakan sifat suplementatif dan nisbi yang tidak mungkin—secara rasional—untuk berdiri sendiri.

Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa arti kemungkinan itu mengacu kepada kapasitasnya sebagai yang dikuasai, dan adanya yang qadim sebagai yang berkuasa atasnya. Sebab kita tahu bahwa sesuatu menjadi dikuasai atau objek kemampuan (maqdur) hanya karena ia merupakan sesuatu yang mungkin. Kita mengatakan bahwa sesuatu menjadi objek kemampuan dan kekuasaannya, karena ia merupakan sesuatu yang mungkin, atau bahwa sesuatu tidak dikuasai karena ia tidak merupakan sesuatu yang mungkin.
Jika perkataan kami: “ia merupakan sesuatu yang mungkin” mengacu pada pernyataan bahwa “ia dikuasai”, maka seakanakan kita mengatakan: “sesuatu dikuasai, karena ia dikuasai” atau: “ia tidak dikuasai, karena tidak dikuasai”.
Begitulah definisi tentang sesuatu dengan mengacu kepada sesuatu itu sendiri. Kini bisa disimpulkan bahwa keputusan mengenai kemungkinan sesuatu hal adalah suatu keputusan intelektual yang jelas, yang dengannya diketahui keputusan yang lain, yaitu wujudnya merupakan objek kekuasaan (dikuasai).
Sekali lagi, tidak mungkin menerangkan masalah kemungkinan dengan mengacu kepada pengetahuan dari yang qadim terhadap kapasitasnya sebagai sesuatu mungkin (bi kaunihi mumkinan). Sebab pengetahuan membutuhkan objek. Karena itu, kemungkinan sesuatu yang diketahui sama sekali bukan pengetahuan itu sendiri. Kemudian kemungkinan itu sendiri merupakan sifat yang relatif tidak bisa berdiri sendiri (idai). Maka tidak boleh tidak, ia harus disandarkan kepada suatu esensi, yang tidak ada lain kecuali materi. Maka semua yang berawal temporal mesti didahului oleh materi. Dengan demikian, materi pertama tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang berawal temporal.

Sanggahannya dapat dinyatakan sebagai berikut:
Kemungkinan yang mereka sebutkan mengacu pada keputusan intelektual. Karena itu, setiap sesuatu yang wujudnya terandaikan oleh akal, maka kita sebut sebagai sesuatu yang mungkin. Atau jika pengandaian itu tidak dapat diterima akal, maka kita sebut sebagai tidak mungkin. Jika akal tak dapat mengandaikan ketiadaan (‘adam) sesuatu, kita sebut wajib. Tetapi keputusan intelektual ini tidak memerlukan suatu entitas yang bereksistensi (maujud) sehingga kategori itu dijadikan sifat untuk entitas tersebut. Ada tiga dalil untuk pernyataan ini.
Pertama, jika kemungkinan memerlukan sesuatu yang bereksistensi (syay’ maujud) sebagai tempat sandarannya, dan dikatakan bahwa maujud itu adalah kemungkinannya, maka demikian pula ketidakmungkinan memerlukan sesuatu yang bereksistensi yang dapat dikatakan bahwa ia adalah ketidakmungkinannya. Tetapi kenyataanya, bagi sesuatu yang mustahil secara esensial, tidak mungkin ada eksisistensi. Tak ada materi yang menjadi tempat adanya ketidakmungkinan sehingga ketercegahannya disandarkan kepada materi.
Kedua, mengenai kehitaman dan keputihan, akal memutuskan keduanya sebagai sesuatu yang mungkin, ketika hitam dan putih belum ada. Apabila kemungkinan ini disandarkan kepada suatu tubuh (benda)—sebagai tempat hitam atau putih— sehingga dikatakan bahwa tubuh ini mungkin untuk menjadi putih atau hitam, maka baik putih maupun hitam akan dengan sendirinya menjadi mungkin. Sedangkan predikat kemungkinan tidak berlaku bagi kehitaman dan keputihan, sebab yang mungkin harus berbentuk tubuh, padahal kemungkinan adalah sifat yang disandarkan kepadanya. Maka, kita harus bertanya; bagaimana halnya kehitaman pada keputihan itu sendiri? Apakah ia merupakan sesuatu yang mungkin, niscaya, ata mustahil? Yang harus dikatakan sebagai jawaban adalah bahwa kehitaman adalah sesuatu yang mungkin. Dari sini jelas bahwa suatu keputusan intelektual tentang kemungkinan tidak memerlukan asumsi atas esensi yang bereksistensi sebagai tempat sandaran predikat kemungkinan.
Ketiga, mereka mengira bahwa jiwa manusia adalah substansisubstansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh, materi, atau sesuatu yang terpasang pada materi. Menurut Ibnu Sina dan beberapa pemikir besar yang lain, jiwa adalah sesuatu yang berawal temporal (hadis) dan memiliki sifat mungkin sebelum kehadirannya. Tetapi jiwa-jiwa ini tidak mempunyai esensi atau materi. Maka kemungkinan jiwajiwa ini adalah sifat relatif. Maka jika sifat ini tidak dapat diterangkan dengan mengacu kepada kekuasaan yang kuasa atau kepada pelaku, lalu ia harus dirujukkan ke mana? Kerumitan ini akan berbalik kepada mereka sendiri.

Jika mereka mengatakan:
Pengembalian kemungkinan kepada keputusan intelektual adalah sesuatu yang mustahil. Sebab keputusan intelektual hanya memiliki makna dalam konteks pengetahuan tentang kemungkinan. Sedang kemungkinan sendiri adalah objek pengetahuan, bukan pengetahuan itu sendiri. Bahkan ilmulah yang meliputi objeknya, mengikutinya dan terkait dengannya, bagaimana pun objek itu adanya. Jika pengetahuan diandaikan tidak ada, objek pengetahuan tidak akan lenyap. Namun objek pengetahuan diandaikan tidak ada, maka pengetahuan juga akan tidak ada. Sebab pengetahuan dan objeknya adalah dua hal, salah satunya pengikut dan lainnya adalah yang dikuti. Karena itu, meskipun kita mengandaikan bahwa semua orang yang berakal tidak mengandaikan kemungkinan, atau bahwa mereka tidak mengetahuinya, kita tetap mengatakan bahwa kemungkinan— hal-hal yang mungkin itu sendiri—akan tetap ada dan tak terganggu. Artinya, bisa saja akal tidak mengetahui hal-hal yang mungkin. Tetapi, hal-hal yang mungkin itu jelas masih tetap ada baik akal mengetahuinya ataupun tidak. Bahkan, hal-hal yang mungkin itu akan tetap ada, meskipun semua akal dan orang- orang yang berakal lenyap.
Ketiga persoalan yang Anda kemukakan di atas tidak ada buktinya, karena tiga alasan:
Pertama, ketidakmungkinan adalah suatu sifat relatif yang memerlukan maujud untuk menjadi sandarannya. Karena itu, ketidakmungkinan merupakan penggabungan dua hal yang bertentangan. Jika suatu tempat berwarna putih, maka tempat itu tidak mungkin hitam bersamaan dengan adanya warna putih. Maka, dalam hal ini, harus ada sebuah subyek yang ditunjuk dan disifatkan oleh sebuah sifat. Kala itu dikatakan bahwa lawan dari sifat itu adalah tidak mungkin bagi objek tersebut. Dengan cara ini, ketidakmungkinan menjadi suatu sifat relatif yang ada di dalam suatu subyek dan berhubungan dengannya. Adapun keniscayaan (wujub) jelas berhubungan dengan maujud yang niscaya (al-maujud al-wajib).
Kedua, adanya kehitaman, dengan sendirinya sebagai sesuatu yang mungkin, adalah salah. Sebab apabila kehitaman berdiri sendiri tanpa ada substratum sebagai sandarannya, maka ia menjadi sesuatu yang mustahil, bukan sesuatu yang mungkin. Kehitaman menjadi mungkin hanya apabila diandaikan menjadi kualitas pada sebuah tubuh. Sebuah tubuh dipersiapkan untuk perubahan kualitas-kualitas secara beruntun, dan perubahan kualitas-kualitas secara beruntun adalah mungkin bagi tubuh- tubuh saja. Sebaliknya, kehitaman tidak mempunyai diri individual yang bisa menjadi tempat bagi atribut kemungkinan.
Ketiga, persoalan jiwa. Ada sejumlah filsuf yang menganggap bahwa jiwa adalah kekal, dan bahwa jiwa mungkin untuk berhubungan dengan tubuh-tubuh. Kepada golongan ini, sanggahan Anda tidak dapat digunakan. Mengenai orang-orang yang memercayai asal mula temporal jiwa, sebagian dari mereka percaya bahwa jiwa dilekatkan kepada materi dan mengikuti komposisi, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Galen dalam beberapa karyanya. Karenanya, berdasar pandangan ini, jiwa akan berada di dalam materi dan kemungkinan jiwa (imkan an-nafs) disandarkan kepada materi yang menjadi tempatnya.
Adapun para filsuf yang memercayai asal mula temporal jiwa dan yang tidak menganggapnya telah terpasang pada materi, kemungkinan jiwa (imkan an-nafs) berarti bahwa materi diatur oleh jiwa rasional (nafs natiqah). Karena itu, kemungkinan yang mendahului awal temporalnya, disandarkan kepada materi. Sebab, meskipun jiwa tidak terpasang pada materi, antara keduanya terdapat relasi, suatu relasi yang timbul dari fakta bahwa jiwa adalah pengatur atau peng gerak tindakan materi. Dengan cara seperti ini, kemungkinan, pada akhirnya, berhubungan dengan materi.

Jawaban:
Adalah benar mengembalikan kemungkinan (imkan), ketidakmungkinan (imtina’) da kenkeniscayaan (wujub) kepada keputusankeputusan intelektual. Mengenai pernyataan mereka bahwa keputusan intelektual berarti pengetahuan yang memerlukan objek pengetahuan, kami akan menanggapi bahwa keputusan intelektual mengenai kemungkinan mempunyai objek pengetahuan, sebagai mana kewarnaan atau kebinatangan atau keputusan universal yang lain—menurut para filsuf sendiri— merupakan fakta yang gamblang bagi akal. Tak seorang pun dapat mengatakan bahwa semua itu adalah pengetahuan- pengetahuan tanpa objek pengetahuan (ma’lumat). Tetapi objek tersebut tidak termasuk objek-objek nyata. Itulah mengapa para filsuf sendiri secara eksplisit telah menyatakan bahwa universalia- universalia (kulliyyat) berada di dalam pikiran (azhan), bukan dalam objek-objek nyata (a’yan). Yang ada dalam objek objek nyata hanyalah partikularia-partikularia personal (juz’iyyat syaksiyyah). Partikularia-partikularia adalah data indra-indra, bukan data akal. Tetapi partikularia-partikularia itu merupakan sebab dari proyeksi akal tentang suatu keputusan rasional dengan membuat abstraksi materi. Maka kewarnaan adalah suatu keputusan intelektual tersendiri yang lain dari keputusan tentang keputihan dan kehitaman. Di dalam wujud, suatu warna tidak tergambarkan, baik warna putih, hitam, dan warna lainnya. Tetapi bentuk kewarnaan, yang tak terjabarkan secara rinci menjadi partikularia-partikularia, adalah suatu fakta yang jelas bagi akal. Maka dikatakan bahwa bentuk ini adalah suatu bentuk yang terdapat di dalam pikiran, tidak di dalam objek yang nyata. Apabila pernyataan ini tak dapat dipertahankan, maka pernyataan yang telah kami kemukakan tidak dapat dipertahankan pula.
Dalam menjawab pernyataan mereka bahwa pengandaian tentang negasi atau ketidaktahuan orang-orang berakal tak akan menghilangkan kemungkinan, kami akan mempertanyakan, apakah pengandaian tersebut akan meniadakan keputusan-keputusan universal, yaitu genus (jins) dan spesies (naw)? Apabila mereka menjawab “Ya”—yang hanya itu jawabannya, karena tentu saja genus dan spesies berarti keputusan-keputusan intelektual saja—maka demikian pula jawaban kami mengenai kemungkinan. Kedua bentuk keputusan itu tak berbeda. Jika mereka mengklaim bahwa genus dan spesies akan terus- menerus ada di dalam pengetahuan Tuhan, maka demikian pula kesimpulan tentang kemungkinan. Demikianlah sanggahan ini kami kemukakan. Dan itulah maksud kami menjelaskan kerancuan pemikiran para filsuf.
Mengenai pembelaan mereka bahwa kemustahilan, yang disandarkan pada materi—yang disifati dengan sesuatu, karena kebalikan dari hal tersebut tidak mungkin—haruslah dikatakan bahwa tidak semua hal yang mustahil berbentuk demikian. Misalnya, wujud seorang partner (syarik) bagi Allah adalah tidak mungkin. Tetapi dalam hal ini, tidak ada materi yang menjadi tempat sifat ketidakmungkinan itu. Jika mereka berkata bahwa arti dari ketidakmungkinan adanya partner bagi Allah adalah bahwa wujud Esa Allah atau keesaan-Nya adalah wajib, dan bahwa keesaan disandarkan kepada-Nya, maka kami akan mengatakan: berdasar prinsip yang mereka anut, hal itu bukan merupakan sesuatu yang wajib. Karena alam bereksistensi bersama-Nya, maka Allah tidak sendirian. Apabila mereka mengatakan bahwa kesendirian Allah dari semua bandingan-Nya adalah wajib, dan lawan dari wajib adalah mustahil, dan ia merupakan sifat yang disandarkan pada Allah, maka kami akan katakan bahwa yang kami maksud adalah keesaan Allah—dalam arti tersendiri dari lawan atau bandingan—tidak seperti keesaan-Nya atau kesendirianNya dari koeksistensi dengan setiap makhluk yang bergantung pada-Nya. Karena menurut pengertian yang pertama (sendirian tanpa lawan), keesaan-Nya, adalah wajib. Sedangkan yang kedua (sendirian tanpa ada makhluk) tidak wajib. Maka kami akan memakai perbedaan ini untuk merentang hubungan antara Allah dan kemungkinan, sebagaimana mereka telah merentang hubungan antara Allah dan ketidakmungkinan, dengan memindahkan diskusi dari ketidakmungkinan kepada yang wajib, lalu menghubungkan keesaan dengan-Nya melalui sifat wajib-Nya.
Mengenai pembelaan mereka bahwa kehitaman dan keputihan tak memiliki jiwa atau esensi individual, adalah benar, apabila arti itu dimaksudkan domain wujud. Tetapi maknanya tidak benar apabila dimaksudkan dalam domain akal. Karena akal memahami kehitaman dan keputihan universal, dan menetapkan bahwa keduanya merupakan sesuatu yang mungkin ada dengan sendirinya.
Lalu, dalam persoalan jiwa-jiwa yang berawal temporal, maka pembelaan mereka tidak benar. Karena jiwa-jiwa itu memiliki esensi-esensi individual serta kemungkinan yang mendahului asal-mula jiwa itu sendiri. Dan di situ tidak ada sesuatu pun yang bisa menjadi tempat atau sandarannya. Pernyataan para filsuf, bahwa materi mungkin diatur oleh jiwa- jiwa, hanya mengandung hubungan serta kaitan yang jauh. Apabila pernyataan itu memuaskan Anda, maka tidak perlu diragukan—kalau orang berkata bahwa pengertian kemungkinan sesuatu yang berawal temporal (imkan al-hadis) adalah bahwa yang kuasa (qadir) mungkin—dalam haknya—untuk mencipta atau mewujudkannya sebagai yang temporal. Dengan demikian, kemungkinan (imkan) adalah penyandaran terhadap pelaku (fa’il), meskipun ia tidak dipasangkan kepadanya, seolah ia merupakan suplementasi kepada suatu tubuh yang pasif, padahal ia tidak dipasang padanya. Suplementasi pada pelaku (fa’il) dak berbeda dari suplementasi pada objek kerja (maf’ul). Karena pada keduanya tidak terjadi pemasangan (intiba’).

Apabila Andakatakan:
Di dalam semua sanggahan, Anda telah mencoba menghadapi kesukaran-kesukaran dengan mendatangkan kesukarankesukaran lain. Anda tak berusaha untuk memecahkan kesukarankesukaran yang telah dikemukakan para filsuf.

Kami akan menjawab:
Metode ini telah menerangkan ketidakbenaran teori-teori para filsuf. Sebab-sebab kesukaran itu pun tetap tidak hilang selama kita masih dalam proses mempertanyakan prinsip-prinsip dasar pemikiran mereka dan proses menguji absurditas mereka. Walau demikian, di dalam buku ini kami hanya melakukan serangan atas doktrindoktrin mereka, serta penolakan atas argumen-argumen mereka. Kami tidak ingin menyibukkan diri dengan mendukung suatu pendapat tertentu. Itulah sebabnya, mengapa kami tidak ingin keluar jauh dari tujuan buku ini. Selain itu, kami juga tidak berusaha mengemukakan argumen- argumen yang dapat membuktikan kebaruan alam. Sebab yang kami maksudkan tidak lain hanyalah menolak klaim para filsuf bahwa keabadian alam diketahui secara pasti.
Tetapi untuk mengafirmasi ajaran yang benar, kami akan—jika Allah berkenan membantu kami mewujudkannya— menulis buku tersendiri setelah menyelesaikan buku ini. Kami akan memberi judul buku itu dengan Prinsip-Prinsip Keyakinan
(Qawa’id al-‘Aqa’id), Insya Allah. Di dalam buku itu, kami akan fokuskan pada pembicaraan tentang afirmasi pembentukan, sebagaimana telah kami wujudkan di dalam buku ini dalam bentuk dekonstruksi. Allah Mahatahu.[]

LihatTutupKomentar