Keabadian Jiwa Manusia secara Filsafat

Keabadian Jiwa Manusia secara Filsafat Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan

Keabadian Jiwa Manusia secara Filsafat

Judul kitab/buku: Terjemah Kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat)
Judul asal: Tahafut al-Falasifah
Judul asal dalam teks Arab: تهافت الفلاسفة
Judul bahasa Inggris: The Incoherence of the Philosophers
Penulis/pengarang: Imam Al-Ghazali
Nama lengkap: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Tempat, tahun lahir: Thus, Khurasan, Iran pada 450 H/1058 M.
Tempat, tahun wafat: 505 H/  19 December 1111-  Tous, Iran
Bidang studi: Tasawuf, filsafat
Penerjemah:Achmad Maimun

Daftar Isi 

  1. Masalah Kesembilan Belas: Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa Manusia Abadi Dan Mustahil Tiada Setelah Bereksistensi, Tidak Bisa Dibayangkan Kehancurannya
  2. Masalah Kedua Puluh: Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan Segala Yang Dijanjikan Allah 
  3. Kembali ke: Terjemah Tahafut al-Falasifah

MASALAH KESEMBILAN BELAS: Tesis Para Filsuf Bahwa Jiwa Manusia Abadi Dan Mustahil Tiada Setelah Bereksistensi, Tidak Bisa Dibayangkan Kehancurannya

Untuk tesis ini para filsuf mendasarkan diri pada dua argumen:

PERTAMA

LENYAPNYA jiwa tidak lepas dari: (a) kematian tubuh, (b) terjadinya lawan jiwa yang datang untuk menggantikan posisinya, atau (c) kekuasaan zat yang berkuasa.
Tidak benar bahwa jiwa dapat lenyap karena kematian tubuh. Sebab tubuh bukan substratum jiwa. Namun ia hanyalah instrumen yang dipergunakan oleh jiwa dengan perantaraan fakultas-fakultas yang terdapat di dalam tubuh. Kehancuran instrumen tidak menuntut kehancuran pengguna instrumen tersebut, kecuali pengguna itu bertempat di dalamnya atau terpasang padanya, seperti jiwa binatang atau fakultas-fakultas jasmani.

Dan karena jiwa mempunyai dua tindakan: (1) memerlukan bantuan atau bekerja sama dengan instrumen, dan (2) tidak memerlukan bantuan instrumen atau tidak perlu bekerja sama dengannya.
Yang pertama contohnya imajinasi, sensasi, hasrat atau kemarahan. Semuanya jelas akan rusak ketika tubuh rusak dan tentu akan menguat bila tubuh menguat.
Yang kedua contohnya adalah tindakan jiwa dengan dirinya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan tubuh. Misalnya pengetahuan atau kognisi akan hal-hal terpikirkan yang tidak terkait dengan materi terbentuk tanpa bantuan tubuh. Selama jiwa merupakan “yang mengetahui” (mudrik) akan hal- hal yang dipikirkan (ma’qulat), ia tidak memerlukan tubuh sama sekali. Sebaliknya, kesibukannya dengan tubuh menghalangi perhatiannya dari objek-objek yang dapat dipikirkan (ma’qulat). Selama tindakan dan eksistensi bukan merupakan tubuh, maka konstitusinya tidak bergantung pada tubuh.
Demikian juga tidak benar mengatakan bahwa jiwa bisa lenyap karena munculnya kebalikan atau lawannya. Karena substansi (jawhar) tidak mempunyai kebalikan. Yang bisa lenyap di dunia hanyalah aksiden dan bentuk yang bergantian melekat pada segala sesuatu . Bentuk air lenyap karena terjadinya kebalikannya yaitu bentuk udara. Tetapi materi yang merupakan substratum dari bentuk, secara mutlak tidak dapat lenyap. Dalam hal substansi yang tidak berada pada substratum, kelenyapan karena terjadinya kebalikan juga tak dapat dibayangkan. Sebab apa yang tidak berada di dalam substratum tidak mempunyai kebalikan, sedang kebalikan-kebalikan (addad) itu terjadi secara bergantian pada substratum yang sama.

Akhirnya, salah juga mengatakan bahwa jiwa dapat lenyap karena kekuasaan. Sebab ‘adam (non eksistensi) bukanlah sesuatu (syay), sehingga dapat terbayangkan kelenyapannya dengan kekuasaan.
Inilah inti apa yang mereka katakan tentang masalah keabadian eksistensi alam. Kami telah menetapkan masalah ini (dalil keempat para filsuf dalam masalah pertama) dan telah membicarakannya secara panjang lebar (di masalah kedua).
Sanggahan atasnya dari beberapa aspek:
Pertama, pandangan itu didasarkan pada tesis bahwa jiwa tidal menjadi mati karena kematian tubuh. Sebab jiwa tidak terdapat di dalam tubuh. Tesis itu didasarkan pada pandangan yang diambil oleh para filsuf di dalam masalah sebelumnya (dalam masalah kedelapan belas). Dan kami tidak bisa menerima pandangan tersebut.
Kedua, meskipun mereka tidak menganggap jiwa berada di dalam tubuh, tetapi terbukti bahwa ada suatu hubungan antara jiwa dan tubuh sehingga jiwa tidak terwujud kecuali dengan terwujudnya tubuh. Pendapat ini diterima oleh Ibn Sina dan beberapa pemikir lain yang memburu kebenaran melalui pemikiran bebas dan yang menyanggah tesis Plato bahwa jiwa itu kekal (qadim) dan bahwa hubungannya dengan tubuh bersifat aksidental. Pandangan mereka sebagai berikut:
‘’Apabila jiwa itu tunggal sebelum eksistensi tubuh-tubuh, bagaimana ia dapat terbagi-bagi? Pembagian sesuatu yang tidak mempunyai ukuran atau kuantitas tidak bisa diterima akal. Tapi apabila dinyatakan bahwa jiwa tidak dibagi-bagi, maka pernyataan ini akan tetap merupakan suatu pernyataan yang absurd. Karena jelas, jiwa Zayd lain dari jiwa ‘Amr. Apabila kedua- duanya adalah satu, pastilah pengetahuan-pengetahuan Zayd adalah juga pengetahuan-pengetahuan ‘Amr. Sebab pengetahuan merupakan salah satu dari sifatsifat esensial jiwa, dan sifat-sifat esensial masuk ke dalam semua hubungan-hubungan esensi. Jika jiwa plural (tidak tunggal), apa yang menjadi sebab pluralitas tersebut? Sementara jiwa tidak menjadi plural sebab materi, tempat, waktu, atau sifat. Karena tidak ada sesuatu pun pada semuanya ini yang menuntut adanya perbedaan kualitas jiwa. Hal ini tidak sama seperti keadaan jiwa setelah kematian tubuh. Sebab menurut pendapat orang yang percaya akan imortalitas jiwa, jiwa yang lepas memiliki kualitas beragam, sejauh ia memperoleh suatu kecenderungan yang berbeda-beda dari tubuhnya. Tidak ada dua jiwa yang mempunyai kecenderungan sama. Karena kecenderungan-kecenderungan itu timbul dari karakter moral. Dan seperti fisiognomi eksternal (al-khalq az-zahir), karakter moral bagaimanapun tak pernah bisa sama. Sebab apabila karakter moral atau fisiognomi Zayd dan ‘Amr sama, tentu sulit bagi kita membedakan antara Zayd dan ‘Amr.
Oleh karena itu, dengan argumen ini terbukti bahwa jiwa adalah sesuatu yang memiliki awal, yaitu ketika sperma memasuki rahim, dan karena konstitusi fisiknya, sperma dipersiapkan menerima jiwa yang akan menjadi pengaturnya dan bahwa ia tidak menerima jiwa hanya karena ia adalah jiwa belaka. Sebab sering kali dua tetes sperma yang mencetak anak kembar sering tersedia di dalam satu rahim: dan disaat yang sama untuk menerima jiwa. Maka dua jiwa beremanasi-secara langsung atau melalui perantara-perantara-dari prinsip pertama untuk dihubungkan dengan tubuh-tubuh embrionik. Maka . jiwa tubuh “yang ini” tidak dapat menjadi pengatur tubuh “yang itu”, jiwa tubuh “yang itu” tidak dapat menjadi pengatur jiwa tubuh “yang ini”. Hubungan khusus ini hanya dapat. timbul dari afinitas yang sama antara suatu jiwa tertentu dengan suatu tubuh tertentu. Sebab tanpa demikian, tubuh dari salah seorang anak kembar tidak akan bisa lebih cocok daripada tubuh yang lain untuk menerima jiwa tertentu ini. Karena di sana ada dua jiwa yang terwujud secara simultan dan ada dua tetes sperma yang sama-sama siap untuk dituju oleh jiwa.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa sebab afinitas khusus antara suatu jiwa tertentu dengan suatu tubuh tertentu? Jika afinitasnya adalah adanya jiwa yang terpasang pada tubuh, maka eliminasi tubuh akan mengeliminasi jiwa pula. Tetapi apabila ada sebab lain untuk menerangkan hubungan antara tubuh tertentu ini dan jiwa tertentu ini-sehingga hubungan itu merupakan suatu syarat bagi terwujudnya jiwa-maka bagaimana tidak diragukan bahwa setiap hubungan ini juga harus merupakan syarat bagi kekekalan jiwa? Karenanya, ketika hubungan ini diputuskan, jiwa akan lenyap. Dan eksistensinya tidak akan muncul kembali hingga Allah menyebabkan kemunculannya kembali dengan cara pembangkitan dan penyebaran kembali kehidupan, sebagaimana diajarkan agama dalam ajaran tentang Kiamat.
Jika dikatakan:
Hubungan antara jiwa dan tubuh timbul dari suatu kecenderungan alami atau kasih sayang instinktif yang diciptakan oleh Allah secara khusus di dalam jiwa untuk suatu. tubuh yang telah ditentukan. Kasih sayang ini menggambarkan jiwa hanya menyibukkan diri dengan tubuh yang telah ditentukan tanpa peduli dengan yang lainnya dan tak sedetik pun ia meninggalkan jiwa. Tapi ia terus menjaganya untuk menetap di dalam tubuh tertentu, sehingga tidak ada tubuh lain yang menerima perhatiannya. Tetapi ini tidak mengharuskan jiwa hancur karena kehancuran tubuh yang mempunyai kasih sayang instinktif terhadapnya. Sering kali kasih sayang itu tetap abadi meskipun jiwa telah berpisah dari tubuh, apabila di dalam kehidupan, kesibukan jiwa dengan tubuh cukup kuat untuk memalingkan perhatiannya dari pengingkaran hasrat-hasrat dan dari penyelidikan ke dalam objek-objek pikiran (ma’qulat). Maka kasih sayang ini menyebabkan jiwa merasa sakit karena telah kehilangan instrumen menjadi objek kasih sayangnya.
Mengenai hubungan yang pasti antara, katakanlah, tubuh dan jiwa Zayd pada taraf pertama dari eksistensinya, jelas ia mempunyai suatu sebab yang dapat membuat jiwa dan tubuh sesuai satu sama lain. Maka tubuh yang dimaksud menjadi lebih cocok daripada tubuh lain untuk jiwa tersebut, karena adanya tambahan berupa kesesuaian antara keduanya. Maka hubungan khusus antara jiwa dan tubuh tersebut terwujud. Tetapi, mengetahui karakter yang pasti dari kesesuaian-kesesuaian itu adalah di luar kekuasaan manusia. Namun apabila kita gagal untuk menyingkap rinciannya secara detail, bukan berarti hal itu mesti mencabut keyakinan kita terhadap kebutuhan mendasar pada sebab yang menentukan hubungan tersebut. Ia pun tidak akan berdampak negatif atas pernyataan kita bahwa jiwa tidak mati karena kematian tubuh.

Kami akan menjawab:
Selama kesesuaian mutual (munasabah) antara jiwa dan tubuh tidak tampak pada kita, dunia menuntut hubungan yang pasti, maka tidak menutup kemungkinan bahwa munasabah yang tidak tampak ini berada dalam kondisi yang membuat imortalitas jiwa bergantung pada imortalitas tubuh dan kehancuran tubuh menyebabkan kehancuran jiwa. Apa yang tidak tampak (majhul) tidak mungkin diputuskan apakah ia menuntut suatu interelasi yang seharusnya antara jiwa dan tubuh, atau tidak. Barang kali, hubungan an tara jiwa dan tubuh merupakan keharusan bagi eksistensi jiwa. Karenanya jiwa akan lenyap jika hubungan ini lenyap. Maka jelas tidak ada keyakinan atas argumen yang telah. dikemukakan oleh para filsuf.
Ketiga, bahwa tidak masuk mustahil menyatakan bahwa kehancuran jiwa disebabkan oleh kekuasaan Allah, sebagaimana secara kongklusif telah kami kemukakan di dalam masalah keabadian alam.
Keempat, bahwa kami tidak bisa menerima bahwa ketiga cara kehancuran yang Anda kemukakan tersebut menutup kemungkinan lain. Bagaimana Anda akan membuktikan bahwa kehancuran dengan suatu cara tertentu selain dari tiga cara tersebut tidak dapat dibayangkan? Pembagian ini, jika tidak berkuat pada negasi dan afirmasi, maka tidak menutup kemungkinan untuk ditambah dengan cara kehancuran keempat. Karenanya, barangkali kehancuran akan terjadi dengan cara yang keempat atau bahkan dengan cara yang kelima, yang lain daripada ketiga cara yang telah Anda sebutkan diatas. Anda membatasi jumlah sampai tiga tanpa didukung dengan argumen yang memadai.
Kedua (yang merupakan aliran utama mereka).
Mereka mengatakan bahwa kepunahan suatu substansi yang tidak terdapat di dalam suatu substratum (mahal) adalah mustahil Bahkan, entitas-entitas yang sederhana (al-basit) mutlak tidak akan punah.

Di dalam argumen ini, hal pertama yang dibuktikan ialah bahwa lenyapnya tubuh tidak mengharuskan punahnya jiwa. Alasannya telah dikemukakan di atas. Selanjutnya dikatakan bahwa mustahil bagi jiwa untuk lenyap karena sebab apa pun, selain kematian tubuh. Karena kalau sesuatu bisa hancur karena suatu sebab, maka ia mesti secara potensial telah mempunyai kehancuran sebelum kehancurannya secara aktual. Artinya kemungkinan punah mendahului kepunahan aktual, sebagaimana dalam hal suatu peristiwa temporal, kemungkinan eksistensi mendahului eksistensinya. Kemungkinan eksistensi (imkan al-wujud) disebut potensialitas eksistensi (quwwah al wujud) dan kemungkinan punah (imkan al-’adam) disebut potensialitas untuk hancur (quwwah al fasad). Sebagaimana kemungkinan bereksistensi adalah suatu sifat relatif yang tidak bisa berdiri sendiri tapi memerlukan sesuatu yang bisa menjadi sandaran, demikian pula kemungkinan untuk punah sesuatu yang bisa membuatnya menjadi kemungkinan. Karena itu, dikatakan bahwa setiap sesuatu yang temporal (hadis) membutuhkan suatu materi yang mendahului sebagai tempat bagi kemungkinan eksistensi sesuatu yang bersifat temporal atau tempat bagi kemungkinan potensial. Maka materi yang menjadi tempat potensialitas eksistensi adalah penerima eksistensi. Entitas yang menerima tidak identik dengan entitas yang diterima. Karena itu, penerima dan yang diterima ada secara bersama-sama di dalam waktu ketika entitas yang diterima bereksistensi. Maka demikian pula, bahwa penerima non eksistensi harus ada ketika non eksistensi terjadi, sehingga sesuatu tiada darinya, sebagaimana sesuatu menjadi ada di dalamnya. Maka, sesuatu yang menjadi tiada tidak identik dengan sesuatu tetap ada. Dan apa yang tetap ada (ma baqiya) adalah apa yang di dalamnya potensialitas ketiadaan (quwwah al-’adam) reseptivitas atas ketiadaan (qabul al-’adam) dan kemungkinan ketiadaan (imkan al-’adam). Hal itu sebagaimana sesuatu yang tetap ada di saat terjadinya eksistensi tidak identik dengan sesuatu yang terjadi. Dan yang ada di dalamnya adalah potensialitas untuk penerimaan kejadian.
Maka sesuatu yang mengalami ketiadaan harus tersusun dari apa yang tidak bereksistensi dan sesuatu yang menerima ketiadaan-yang tetap disaat terjadinya ketiadaan. Sebab ia adalah pembawa potensialitas untuk ketiadaan sebelum terjadinya ketiadaan tersebut. Pembawa potensialitas ini adalah materi, dan yang keluar darinya menuju ketiadaan adalah bentuk.
Tetapi jiwa adalah entitas sederhana (basit). Ia adalah bentuk tanpa susunan yang steril dari materi. Apabila komposisi dari bentuk dan materi diandaikan padanya, maka kita akan berpindah pembicaraan kepada materi yang merupakan akar atau asal pertama. Karena mestilah rangkaian-rangkaian itu berakhir pada suatu prinsip dasar ini, yaitu yang disebut jiwa, sebagaimana telah kami tunjukkan kemustahilan lenyapnya prinsip tersebut. Sebab bagaimana pun, materi adalah kekal dan abadi. Bentuk- bentuk bereksistensi di dalamnya dan lenyap darinya. Ia mempunyai potensialitas bagi terjadinya bentuk-bentuk padanya dan potensialias bagi punahnya bentuk-bentuk darinya. Karena ia sama-sama memiliki kemampuan menerima dua hal yang berlawanan tersebut. Dari sini jelas bahwa setiap mawjud yang beresensi tunggal mustahil untuk tiada atau lenyap.
Ini dapat dipahami dengan cara lain, yaitu bahwa potensialitas eksistensi (quwwah al-wujud) bagi suatu entitas ada sebelum keberadaan entitas itu. Karenanya, ia lain daripada entitas itu, dan entitas itu tidak bisa merupakan potensialitas eksistensi itu sendiri.
Penjelasannya, bahwa seorang yang mempunyai penglihatan sehat dikatakan sebagai seorang yang bisa melihat secara potensial (basir bi al-quwwah), artinya pada dirinya terdapat potensi penglihatan (quwwah al-ibsar). Fakta ini berarti bahwa sifat-yang mesti dimiliki mata supaya penglihatan sehat- bereksistensi. Namun, jika penglihatan aktual tertunda, maka penundaan itu karena tertundanya syarat yang lain. Maka potensialitas penglihatan terhadap kehitaman, misalnya, telah ada di mata sebelum penglihatan aktual (ibsar bi ali’l) terhadap kehitaman. Ketika penglihatan terhadap kehitaman secara aktual diperoleh, potensialitas penglihatan terhadap kehitaman tidak akan ada bersama-sama dengan penglihatan aktual terhadap kehitaman. Sebab ketika penglihatan terjadi, tidak mungkin untuk dikatakan bahwa ia ada secara aktual serta secara potensial.
Jika premis ini telah ditetapkan maka kami katakan, apabila sesuatu yang sederhana (syai’ basit) menjadi tiada, kemungkinan untuk tiada dimiliki oleh sesuatu itu sebelum ia menjadi tiada secara aktual. Dan itulah yang dimaksud dengan potensialitas. Kemudian ia juga harus mempunyai kemungkinan untuk bereksistensi. Sebab sesuatu yang mungkin ketiadaannya, tidak tergolong wajib al-wujud. Tapi ia harus tergolong sebagai sesuatu yang mumkin al-wujud. Dengan potensialitas untuk bereksistensi, kami hanya memaksudkannya sebagai kemungkinan untuk bereksistensi. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari sini adalah bahwa potensialitas untuk eksistensinya sendiri dan pencapaian aktual dari eksistensinya dapat terkumpul di dalam satu entitas, atau bahwa eksistensi aktualnya dapat identik dengan potensialitas bagi eksistensinya. Namun kami telah menunjukkan bahwa potensialitas untuk melihat yang ada di dalam mata adalah lain daripada penglihatan aktual. Ia tidak bisa identik dengan penglihatan aktual. Sebab ia menunjuk pada makna eksistensi hal yang sama secara aktual serta secara potensial, padahal keduanya merupakan istilah yang secara mutual eksklusif atau saling bertentangan (mutanaqidan). Bahkan jika suatu hal adalah potensial, maka ia tidak dapat menjadi aktual, dan apabila ia adalah aktual, ia tidak dapat menjadi hal yang potensial. Maka afirmasi atas potensialitas non-eksistensi dari suatu hal yang sederhana sebelum non eksistensi aktual, pada dirinya sendiri, mengandung afirmasi akan potensialitas untuk bereksistensi seperti terjadi pada keadaan eksistensi aktual. Dan itu mustahil.

***
Seperti inilah tepatnya hal serupa yang telah kami bicarakan di dalam masalah eternitas dan keabadian eksistensi alam, dimana para filsuf telah mengarah kembali kepada asumsi mengenai kemustahilan asal temporal materi dan unsur-unsur dan kemustahilan ketiadaannya. Sumber kerancuannya adalah postulat mereka bahwa kemungkinan merupakan sifat yang menuntut pada suatu subjek untuk menjadi tempatnya. Kami telah mengemukakan watak khusus yang dikandung asumsi ini, dan kami tidak akan mengulangi kembali kritik kami. Sebab masalahnya tetap sama dalam masalah ini seperti masalah-masalah sebelumnya. Tidak ada bedanya apakah seseorang membicarakan substansi materi atau substansi jiwa.


MASALAH KEDUA PULUH: Penolakan Para Filsuf Atas Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa Ke Jasad, Eksistensi Fisik Surga Dan Neraka, Dan Segala Yang Dijanjikan Allah

MEREKA juga mengatakan bahwa semua itu adalah simbolsimbol yang dibuat untuk orang awam dalam rangka memberikan pemahaman kepada mereka
tentang pahala dan siksa psikis (ruhani), yang derajatnya lebih tinggi dari hal-hal yang bersifat fisik (jasmani).

***
Pandangan ini bertentangan dengan kepercayaan seluruh umat Muslimin. Pertama kali, kami hendak mengemukakan apa yang dipercaya oleh para filsuf mengenai persoalan eskatologis (umur ukhrawiyyah), lalu kami akan mengajukan sanggahan- sanggahan terhadap semua unsur yang bertentangan dengan Islam.


Mereka berkata:
Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena begitu besarnya, atau dalam keadaan sengsara yang tak mungkin terlukiskan karena begitu dahsyatnya. Kadang-kadang, kesengsaraan itu menjadi abadi, dan kadang-kadang menghilang bersama perjalanan masa. Berkaitan dengan berbagai tingkatan kesengsaraan dan kesenangan, manusia berkelompok-kelompok dan tak terhitung banyaknya, sebagaimana mereka juga berbeda- beda dalam tingkatantingkatan duniawi dan kesenangannya dengan perbedaan yang tak terhitung banyaknya. Maka:
•    Kesenangan kekal (abadi) adalah untuk jiwa-jiwa yang suci dan sempurna.
•    Kesengsaraan kekal adalah untuk jiwa-jiwa yang tidak sempurna dan kotor.
•    Kesengsaraan sementara adalah untuk jiwa-jiwa yang kotor tetapi sempurna.


Jiwa dapat mencapai kebahagiaan absolut hanya dengan kesempurnaan (kamal) dan kesucian (tazkiyah) atau kebersihan (taharah). Kesempurnaan diperoleh dari pengetahuan, dan kesucian diperoleh dari perbuatan baik.
Pengetahuan diperlukan karena fakultas rasional memperoleh makanan dan kesenangan dari kognisi terhadap objek-objek pemikiran (ma’qulat), sebagaimana fakultas hasrat mendapatkan kesenangan dari pemenuhan suatu keinginan, atau fakultas penglihatan mendapatkan kesenangan dengan melihat kepada bentuk yang indah, dan demikian seterusnya semua fakultas yang lain. Yang menghalanginya dari tersingkapnya objek- objek pemikiran (ma’qulat) tidak lain adalah tubuh (kesibukan- kesibukan fisiknya) dan indra-indra fisik. Sudah merupakan hak jiwa bodoh untuk sengsara, bahkan sejak dalam kehidupan dunia ini, dengan hilangnya kesenangan jiwa yang disebabkan kebodohannya. Tetapi kesibukannya dengan tubuh membuatnya lupa terhadap dirinya sendiri dan memalingkan perhatiannya dari kesedihan, seperti seorang yang sangat takut tidak merasakan sakit atau orang yang sangat kedinginan tidak merasakan panas api. Apabila ketidaksempurnaan jiwa yang bodoh tetap ada hingga terputusnya hubungan dengan tubuh, maka jiwa itu akan berada dalam keadaan yang sama seperti orang yang sangat kedinginan. Ketika disentuhkan pada api, orang itu tidak merasakan sakit yang diakibatkannya. Tetapi ketika rasa dingin yang keras itu lenyap, dia tiba-tiba akan merasakan penderitaan (panas) yang mendalam.
Tidak jarang, meskipun jiwa mengetahui objek-objek pikiran (ma’qulaf), kesenangan yang ia peroleh dari pengetahuan itu sedikit dan terbatas pada apa yang dituntut karakternya. Ini juga karena kesibukan-kesibukan tubuh dan kecenderungan jiwa pada objekobjek nafsu birahi. Itu dapat diilustrasikan dengan orang sakit yang di mulutnya ada rasa pahit dan merasa jijik pada makanan baik yang manis dan berusaha untuk menjauhi setiap makanan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang paling cocok baginya untuk mendapat kenyamanan. Maka, akibatnya, dia pun gagal untuk mendapatkan kenikmatan pada makanan-makanan nikmat karena pengaruh penyakitnya.
Berbeda dengan jiwa yang menjadi sempurna karena pengetahuan. Ketika kematian mengakhiri kesibukan-kesibukan fisik, maka ia dapat diilustrasikan dengan orang yang sembuh dari sakit. Penyakit menghalangi seseorang dari mengetahui kenyamanan. Tetapi ketika penyakit itu lenyap, persepsi akan kenyamanan dan kesenangan datang tiba-tiba membludak.

Atau perumpamaannya seperti seorang pencinta. Anggaplah bahwa pencinta itu sedang tidur, pingsan atau mabuk, kala kekasihnya menghampirinya. Pertama kali, dia tidak dapat menyadari sebab yang dapat membuatnya senang. Tetapi ketika ia bangun, dia akan sadar pada kesenangan pertemuan secara tiba- tiba, setelah lama berpisah. Hakikatnya, semua kesenangan ini tak berharga jika dibandingkan dengan kesenangan-kesenangan spiritual-rasional (al-lazzat ar-ru haniyyah al-’aqliyyah). Tetapi manusia tidak mampu memahami kesenangan ini sehingga harus disampaikan secara simbolik melalui contoh-contoh yang dapat mereka saksikan dalam kehidupan seharihari.
Misalnya, kalau kita hendak membuat seorang anak kecil atau orang yang impoten memahami nikmatnya hubungan seksual, kita harus mengemukakan kepada anak kecil dengan referensi pada permainan sebagai sesuatu yang paling menyenangkan padanya, dan bagi orang yang impoten dengan referensi pada lezatnya makanan enak yang dirasakan karena amat lapar. Maka si anak dan yang impoten itu akan mengetahui sifat dasar kesenangan itu, meskipun dia akan tahu bahwa simbol representatif itu sendiri bukanlah hakikat kenikmatan hubungan seksual, karena simbol (bagi orang yang impoten) diketahui hanya melalui organ rasa.
Ada dua argumen untuk membuktikan bahwa kesenangan- kesenangan intelektual lebih mulia daripada kesenangan- kesenangan fisik.
Pertama, keadaan para malaikat lebih mulia daripada keadaan binatang buas dan babi. Para malaikat tidak mempunyai kesenangankesenangan fisik, seperti hubungan seksual dan makan. Mereka hanya mempunyai kesenangan dari merasakan kesempurnaan dan keindahannya, yang menjadi ciri khas di dalam dirinya karena penglihatan mereka terhadap realitas-realitas segala sesuatu dan kedekatan mereka dari Tuhan alam semesta dalam hal sifat-sifat, bukan dalam hal tempat dan tingkatan wujud. Sebab semua beremanasi dari Allah di dalam tatanannya dan melalui perantara, maka jelas bahwa perantara-perantara yang paling dekat kepada-Nya tentu mempunyai tingkatan yang tertinggi.
Kedua, manusia sendiri sering kali memuliakan kesenangankesenangan intelektual di atas kesenangan-kesenangan fisik. Misalnya, orang yang ingin mengalahkan musuhnya dengan cara meninggalkan kemewahan keluarga dan makanan. Bahkan, tidak jarang seseorang tidak makan sepanjang hari karena berusaha menang main catur atau dadu. Meskipun kemenangan seperti itu hanyalah suatu kemenangan sia-sia. Tapi dia tidak merasakan rasa sakit yang ditim bulkan oleh lapar. Demikian pula, orang yang suka menjaga nama baik dan prestisenya, ragu- ragu untuk berurusan dengan kekasihnya sehingga diketahui orang lain. Akhirnya, dia memutuskan menjaga gengsinya, dan meninggalkan nafsu keinginannya, agar nafsu-nafsu buruk tidak mencoreng mukanya. Jelas, menjaga gengsi lebih menyenangkan baginya.
Bahkan sering kali seorang pemberani menyerang gerombolan musuh yang amat banyak, karena dia tidak peduli lagi dengan bahaya kematian dan penuh harap akan apa yang akan diperoleh setelah mati seperti yang dibayangkan, berupa rasa senang karena pujian dan rasa bangga menjadi pahlawan berkat keberaniannya.
Kesenangan-kesenangan intelektual di Akhirat akan lebih mulia daripada kesenangan-kesenangan fisik duniawi. Jika tidak demikian, Rasulullah Saw. tidak akan menyampaikan firman Allah: “Aku telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh, apa-apa yang tak terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak tebersit di hati umat manusia.” Allah Swt. berfirman: ‘’Jiwa tiada mengetahui apa yang menyenangkan mata yang tersembunyi bagi mereka.” (Q.S. as-Sajdah 32: 17)
Karena inilah orang perlu pengetahuan. Dan di antara semua pengetahuan yang paling bermanfaat adalah pengetahuan- pengetahuan intelektual murni (al-’ulum al-’aqliyyah al-ma hdah), yaitu pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan tentang cara bagaimana segala sesuatu bereksistensi dari-Nya serta apa yang ada di balik itu. Mengenai pengetahuanpengetahuan yang lain, ia akan berarti jika berfungsi sebagai media untuk mencapai pengetahuan- pengetahuan intelektual murni tersebut. Jika tidak berfungsi sebagai media bagi pengetahuan-pengetahuan murni, seperti nahwu (gramatika bahasa Arab), filologi, syair atau ilmu-ilmu khusus lainnya yang sangat beragam, maka ia hanya merupakan kesenian, metode, dan keterampilan sebagaimana hal hal sejenis lainnya.
Adapun amal baik dan ibadah dibutuhkan untuk kesucian jiwa. Sebab berhubungan dengan tubuh, jiwa terhalangi dari mengetahui hakikat segala sesuatu. Bukan karena ia terpasang pada tubuh, tetapi karena kesibukannya dengan tubuh dan kecenderungannya pada nafsu berikut kerinduannya pada tuntutan tubuh. Kecenderungan atau kerinduan ini menunjukkan kecondongan pada tubuh, yang menghunjam di dalamnya dan menguat karena perhatiannya dalam rentang waktu yang panjang terhadap hasrat-hasrat dan kesukaan yang terus-menerus kepada sebab-sebab indriawi dari kesenangan. Konsekuensinya, meskipun tubuh sudah mati, karakter tersebut tetap bersemayam dalam jiwa dan dapat menimbulkan dampak negatif karena dua alasan:
Pertama, karena ia menghalangi jiwa dari mencapai kesenangannya yang spesifik, yaitu kesatuan dengan para malaikat dan pengetahuan kepada hal-hal indah yang Ilahi. Dan tubuh membuat jiwa sibuk pada saat sebelum mati akan ada di sana untuk memalingkan perhatiannya dari kesengsaraannya.
Kedua, karena jiwa tetap menaha kecenderungannya kepada sebab-sebab kesenangan duniawi. Tetapi setelah menghilangkan instrumennya-yaitu tubuh yang dilalui jiwa dalam usahanya untuk mencapai kesenangan-kesenangan itu-kondisinya menjadi sangat menyedihkan. Hal itu dapat diandaikan dengan seorang laki-laki yang mencintai istrinya, sayang pada anak-anaknya, senang pada hartanya dan bangga dengan kedudukannya. Lalu anggaplah bahwa kekasihnya terbunuh, ia turun dari kedudukannya, anak- anaknya dipenjara, hartanya diambil oleh musuh-musuhnya, dan kebanggaannya jatuh sama sekali. Orang tersebut pasti mengalami kesedihan yang sangat mendalam. Namun, selama dia masih hidup, dia boleh tidak putus asa untuk mendapat kembali segala yang pernah dimilikinya itu. Karena alam selalu bergerak dari hari ini ke esok. Tetapi apa yang bisa dilakukan jiwa, bila harapannya terputus karena kematian memisahkannya dari tubuh?
Pelepasan dari kecondongan-kecondongan fisik tersebut adalah tidak mungkin, kecuali menahan jiwa dari nafsu, memalingkan diri dari keduniawian dan memfokuskan diri pada usaha-usaha keras untuk memperoleh pengetahuan dan mencapai ketakwaan. Jika itu bisa dilakukan, maka ketika ia masih berada di dunia, hubungannya dengan perkara-perkara duniawi akan terputus, sedangkan hubungannya dengan soal-soal Akhirat tumbuh menguat. Ketika kematian tiba, jiwa akan mengalami rasa bebas seperti seorang tawanan ketika dibebaskan. Lalu ia akan memperoleh apa yang dicarinya, yaitu Surga.
Tetapi tidak mungkin membuang atau menghapus semua sifatsifat fisik pada jiwa. Karena keniscayaan-keniscayaan fisik menarik jiwa ke arah diri fisik. Yang mungkin terjadi adalah melemahkan hubungan dengan tubuh tersebut. Inilah alasan Allah Swt. berfirman: “Setiap orang dari kalian akan mendekatinya, inilah keputusan Tuhanmu yang tak bisa dielakkan.” (Q.S. Maryam19: 71) Ketika hubungannya dengan tubuh telah melemah, penderitaan yang disebabkan oleh perpisahan jiwa dari tubuh tidak akan begitu besar. Sebaliknya jiwa akan belajar untuk menikmati hal-hal Ilahi itu yang akan tersingkap setelah kematian tubuh. Ini akan segera menghapus efek-efek perpisahannya dari alam dan kecenderungannya yang melekat kepada hal-hal duniawi. Analogi kondisi jiwa dapat ditemukan pada seorang laki-laki yang keluar dari tanah airnya sendiri menuju kawasan lain di mana ia dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Perpisahan dari keluarganya dan tanah tumpah darahnya menyusahkan jiwanya, dan dia rasa tidak bahagia. Tetapi efek- efek ini akan hilang ketika dia terbiasa pada kesenangan yang dia peroleh dari keagungan kekuasaan dan otoritas.
Negasi penuh sifat-sifat fisik adalah tidak mungkin. Karenanya, agama memerintahkan kita memilih jalan tengah antara dua kutub yang bertentangan dalam hal moral (akhlaq). Seperti halnya air hangat-hangat kuku, ia tidak panas dan tidak dingin, seolah bebas dari dua sifat yang berlawanan. Seseorang hendaknya tidak menimbun harta kekayaan dan tidak menggunakannya dengan boros dan sia-sia. Sebab yang satu menimbulkan ketamakan, sedangkan yang lain membuatnya menjadi pemboros. Demikian pula, orang semestinya tidak sama sekali menjauhkan diri dari segala hal, atau tidak pula turut campur sepenuhnya. Karena yang pertama adalah pekerjaan seorang pengecut, sedang yang terakhir adalah kebiasaan seorang yang sembrono. Dalam hal yang pertama, hendaknya dia mengusahakan kedermawanan yang berarti sikap antara kikir dan boros. Dalam hal yang kedua, hendaknya seseorang mengupayakan keberanian yang dalam arti sikap antara pengecut dan sembrono. Demikian seterusnya semua sifat-sifat moral yang lain.
Ilmu akhlak begitu luas dan syariat Islam telah membicarakannya secara detail. Reformasi akhlak tidak mungkin terwujud tanpa memerhatikan aturan syariat. Apabila egoisme menjadi dasar tingkah-laku, subjeknya akan seperti seseorang yang “menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”. Sebaliknya, seseorang yang taklid terhadap Syara’, dia bertindak dan tidak bertindaknya sejalan dengan petunjuk syariat, tidak dengan ikhtiarnya. Hanya dengan demikian, akhlaknya akan tertata kembali.
Orang yang tidak mempunyai pengetahuan dan akhlak yang mulia adalah terkutuk. Karenanya, Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. 91: 9-10).
Mereka adalah orang yang memadukan antara dua keutamaan ilmiah dan amaliah. Dialah ‘arif ‘abid. Pahalanya akan merupakan kebahagiaan yang absolut. Tapi orang yang hanya mempunyai keutamaan ilmiah, tanpa keutamaan amaliah, maka dia adalah seorang ‘alim fasiq. Dia akan disiksa untuk sementara waktu (tidak selamanya). Karena jiwanya telah menjadi sempurna dengan ilmu pengetahuan. Meskipun bertentangan dengan substansi jiwanya, aksiden-aksiden fisik (‘awarid badaniyyah) telah mengotorinya. Hanya saja kekotoran ini dapat lenyap bersama peredaran waktu. Karena pada tingkat eksistensi jiwa tersebut, sebab-sebab aksidental dari kekotoran tidak melahirkan kekotoran-kekotoran baru. Sedang orang yang mempunyai keutamaan amaliah tanpa keutamaan ilmiah akan selamat dan bebas dari rasa sakit, namun tidak akan mencapai kebahagiaan sempurna.
Kemudian (para ftlsuf mengatakan), begitu seseorang mati, maka kiamat bermula baginya. Adapun hal-hal yang disebutkan di dalam syariat, yang berupa ungkapan-ungkapan indriawi, maka itu dimaksudkan sebagai suatu alegori (amsal), karena terbatasnya pemahaman manusia untuk memahami kesenangan-kesenangan spiritual ini. Karena itu, ia dikemukakan melalui simbol-simbol, tetapi di saat yang sama juga disebutkan bahwa kesenangan- kesenangan spiritual yang sebenarnya, masih jauh dari apa yang bisa diungkap dalam bentuk deskripsi. Inilah teori para filsuf.
Kami akan menjawab:
Sebagian besar dari masalah ini tidak berseberangan dengan agama (Syara). Kami tidak menolak bahwa kesenangan- kesenangan di Akhirat lebih tinggi daripada kesenangan- kesenangan duniawi. Kami juga tidak mengingkari imortalitas jiwa yang terpisah dari tubuh. Tetapi kami mengetahui masalah ini berdasarkan otoritas agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam ajaran tentang kebangkitan (al-ma’ad). Kebangkitan eskatologis benar-benar tidak dapat dipahami tanpa immortalitas jiwa. Tetapi kami akan menyanggah, sebagaimana sebelumnya, pernyataan mereka bahwa akal semata dapat memberi pengetahuan final tentang persoalan ini. Namun, ada beberapa unsur dalam tesis para filsuf yang bertentangan dengan ajaran agama, yaitu: (1) penolakan terhadap kebangkitan tubuh, (2) penolakan pada kesenangan-kesenangan fisik di Surga, (3) penolakan atas adanya rasa sakit secara fisik di Neraka, dan (4) penolakan terhadap eksistensi Surga dan Neraka, sebagaimana disebutkan di dalam Alquran.
Apa yang mencegah seseorang untuk menerima kemungkinan terpadunya dua kebahagiaan: fisik (jasmani) dan spiritual (ruhani), seperti juga kesengsaraan fisik dan spiritual?
Allah berfirman:”Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. as-Sajdah 32: 17)
Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah berfirman: “Aku persiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, apa yang tak terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak tebersit dalam hati manusia.” Demikianlah eksistensi hal-hal agung tersebut dan penjelasan itu tidak menunjukkan negasi terhadap yang selainnya. Bahkan menggabungkan yang bersifat spiritual dan fisik adalah lebih sempurna, sementara yang dijanjikan Allah adalah hal-hal yang paling sempurna, dan hal itu mungkin. Karena itu, membenarkan eksistensi tersebut sesuai dengan yang dijabarkan agama adalah sesuatu yang wajib.

Apabila dikatakan:
Apa yang kita dapatkan di dalam teks-teks suci (Syara) hanya suatu allegori yang ditampilkan sesuai dengan keterbatasan kepahaman masyarakat awam, sebagaimana ayat-ayat dan hadis- hadis tentang tasybih (antropomorfis) adalah alegori-alegori yang dipergunakan karena terbatasnya kepahaman masyarakat awam. Sifat-sifat Ilahi itu terlalu suci dari apa yang dibayangkan masyarakat awam.


Jawaban:
Menyamakan antara keduanya adalah suatu kerancuan tiranik. Ada dua alasan mengapa keduanya harus tetap terpisah.
Pertama, kata-kata yang terdapat di dalam ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi Saw., yang mengandung tasybih memungkinkan takwil berdasarkan prinsip yang sama seperti berlaku di dalam metafora-metafora konvensional dalam bahasa Arab. Tetapi deskripsi tentang Surga dan Neraka berikut penjelasan rinciannya menerangkan suatu batas yang menutup kemungkinan takwil. Apa yang tertinggal hanyalah bahwa seseorang dapat mengatakan bahwa teks teks tersebut tak lebih dari sekadar omong kosong, dengan memberikan gambaran imajinatif yang bertentangan dengan kebenaran dan kemaslahatan orang banyak. Tapi justru Nabi Saw. disucikan dari membawa berita bohong dan omong kesong sebagaimana di atas.
Kedua, argumen-argumen rasional telah membuktikan kemustahilan hal-hal seperti ruang, dimensi, bentuk fisik, tangan organik, mata organik, atau kemampuan untuk gerak dan diam bagi Tuhan. Maka kebutuhan terhadap takwil dengan argumen-argumen rasional merupakan suatu kewajiban. Tetapi hal-hal yang menyangkut masalah eskatologis (ukhrawi) yang dijanjikan kepada kita tidak merupakan hal yang mustahil bagi kekuasaan Allah. Karenanya, kita harus memahaminya dalam kerangka eksplisit pernyataan, bahkan memberikan pengertian dimensi yang memberikan pengertian jelas.


Jika dikatakan:
Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan akan kemustahilan kebangkitan kembali tubuh- tubuh. Bahkan argumen-argumen itu telah membuktikan kemustahilan sifat-sifat antropomorfis bagi Allah.
Maka kami menuntut mereka menjelaskan dalil-dalil argumentatifnya. Dalam hal ini mereka memiliki dua titik pijak.


Pijakan Pertama
Mereka menyatakan bahwa pengandaian kembalinya jiwa ke tubuh mengandung tiga alternatif:
Pertama, dapat dikatakan-sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa teolog [mutakallimun]-bahwa (a) manusia adalah tubuh, dan bahwa kehidupan hanyalah suatu aksiden (‘ard); (b) jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak ada; dan (3) kematian berarti tidak berlangsungnya kehidupan, atau terhalangnya Pencipta dari penciptaan kehidupan. Kehidupan menjadi lenyap, demikian pula badan-fisik. Sedang kebangkitan kembali berarti: (a) perbaikan kembali, oleh Allah, atas tubuh yang telah lenyap; (b) pengembalian eksistensi tubuh; dan (c) perbaikan kembali Kehidupan yang telah lenyap. Atau, dapat dikatakan bahwa materi tubuh tetap sebagai tanah dan bahwa kebangkitan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun menjadi manusia, sebagaimana kehidupan manusia diciptakan untuk pertama kalinya. Inilah salah satu alternatif itu.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah kematian tubuh, tetapi ia akan dikembalikan pada saat kebangkitan-kepada tubuh yang asli ketika semua bagian tubuh itu telah terkumpul. Ini merupakan alternatif yang lain.
Ketiga, dapat dikatakan bahwa jiwa akan kembali kepada suatu tubuh, baik ia tersusun dari bagian-bagian yang sama sebagaimana aslinya atau tersusun dari beberapa bagian yang lain. Konsekuensinya, yang hidup kembali adalah orang tersebut, sejauh jiwanya adalah jiwa orang itu sendiri. Materi bukan merupakan sesuatu yang relevan di sini, karena manusia tidak menjadi manusia karena materinya, tetapi karena jiwanya.

***
Ketiga alternatif ini semuanya salah
Alternatif yang pertama jelas salah. Karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada, penciptaannya kembali akan merupakan suatu penciptaan hal yang sama dengan apa yang telah ada, tetapi bukan hakikat (‘ayn) yang telah ada sebelumnya. Tetapi kata “kembali” (‘awd) seperti yang kita pahami, mengimplikasikan pengandaian keabadian satu hal serta kebaruan hal yang lain. Misalnya, seperti dikatakan bahwa seseorang telah kembali kaya, artinya bahwa orang yang kaya itu abadi, tetapi telah meninggalkan kekayaan kemudian kembali kepadanya. Artinya dia kembali kepada sesuatu yang secara generik (bi al-jins) sama seperti apa yang telah ia punya pada asalnya, tetapi berbeda kuantitas dan jumlahnya. Karena “kembali” bukan berarti harus pada yang asal itu sendiri, tetapi kepada sesuatu yang mirip dengannya. Sekali lagi, ketika seseorang dikatakan kembali ke suatu kota, artinya ialah bahwa dia kembali berada di bagian mana saja dari kota tersebut, dan bahwa semula ia berada di kota itu dan kini ia mengembalikan eksistensinya di kota yang sama seperti keadaan asal sebelumnya. Apabila di kota tersebut tidak ada sesuatu yang tetap ada (baqa’) dan-sebaliknya-jika ada dua hal yang sama (mutamasil) tetapi secara angka berbeda-beda (muta’addid) yang dipisah oleh suatu waktu, maka syarat-syarat yang dibutuhkan untuk aplikasi kata ‘kembali’ tidak bisa sempurna. Seseorang dapat melepaskan diri dari konsekuensi ini dengan mengatakan apa yang dikatakan Muktazilah-bahwa yang ditiadakan (ma’dum) sesuatu yang tetap (Sabit) dan bahwa eksistensi (wujud) adalah suatu keadaan yang terjadi pad ma’dum sebagai suatu aksiden (‘ard), suatu saat terputus dan di saat yang lain kembali. Maka arti kata ‘kembali ‘akan direalisasikan dengan referensi pada tetap adanya suatu entitas (zat). Tetapi ini berarti eliminasi konsep mengenai “tiada-absolut” (‘adam mutlaq) yang merupakan negasi murni (nafy al-mahd), dengan mengafirmasi suatu entitas permanen yang merupakan tempat kembali eksistensi. Hal itu merupakan sesuatu yang mustahil.
Apabila pendukung alternatif ini dengan liciknya mencoba untuk mempertahankannya dengan mengatakan bahwa debu tubuh tidak hancur (fana’), dan karenanya debu ini menjadi abadi sehingga kehidupan kembali kepadanya, maka akan kami jawab, bahwa dalam hal demikian, benar untuk mengatakan bahwa debu kembali hidup setelah beberapa lama kehidupan terputus darinya. Dan hal ini tidak akan merupakan perwujudan kembalinya manusia atau kemunculannya kembali dengan hakikat (‘ayn) dirinya sendiri. Karena seorang manusia menjadi manusia bukan karena materinya dan debu yang merupakan bahan formasi dirinya. Semua bagian fisik atau sebagian besar darinya terus mengalami perubahan karena faktor makanan, dan manusia itu tetap manusia sebagaimana sebelumnya, karena ruh dan jiwanya. Jika kehidupan dan ruh menjadi tiada, maka kembalinya segala yang telah tiada tidak masuk akal. Yang bisa terjadi hanyalah penciptaan kembali sesuatu yang sepertinya. Selama Allah menciptakan kehidupan manusiawi di dalam debu yang terbentuk dari tubuh pohon-pohonan atau tumbuh- tumbuhan, maka itu merupakan permulaan penciptaan manusia.
Kembalinya sesuatu yang sama sekali tidak ada adalah tidak masuk akal. Entitas yang kembali adalah suatu hal yang memang bereksistensi. Artinya ia kembali pada keadaannya yang sebelumnya, kembali pada kondisi yang sama dengan kondisi sebelum itu. Maka entitas yang kembali adalah debu-kembali kepada sifat kehidupan.
Tetapi manusia bukan manusia karena tubuhnya. Karena sering kali tubuh kuda menjadi makanan bagi manusia, sehingga darinya tercipta sperma yang menjadi bahan terciptanya manusia. Namun tak bisa dikatakan bahwa kuda itu telah berubah menjadi seorang manusia, tetapi kuda itu adalah kuda karena bentuknya, bukan karena materinya. Bentuk itu telah lenyap dan yang tertinggal hanyalah materi.

Kemudian kami kemukakan alternatif yang kedua, yaitu pengandaian keabadian jiwa dan kembalinya pada tubuh, tempat asalnya. Apabila hal tersebut diperhatikan, ia akan tetap disebut “kembali”; ia akan berarti pembukaan lagi oleh jiwa atas fungsinya untuk menuju tubuh, setelah terpisah darinya karena kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi debu, atau dimakan ulat, burung burung, dan berubah menjadi darah, asap atau udara, dan bercampur dengan udara, asap dan air yang ada di alam, sehingga tak mungkin terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain.
Apabila hal tersebut diandaikan sebagai kepasrahan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh tidak:
Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada saat kematian. Maka tidak boleh tidak ia akan mengarah kepada kebangkitan kembali orang-orang yang anggota badannya telah lepas, yang telinga dan hidungnya putus, atau yang anggota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama persis seperti adanya ketika masuk ke dalam kehidupan di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang Surga, meskipun mereka diciptakan dalam keadaan cacat di awal fitrah (penciptaan). Maka pengembalian mereka kepada apa yang telah ada pada mereka di saat kematian merupakan suatu lelucon yang sangat menggelikan. Karena itu, ini merupakan suatu kesulitan, apabila pengandaian kembalinya itu dibatasi pada penyusunan kembali bagian-bagian yang ada di saat kematian.
Atau bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang belum pernah ada di masa seseorang masih hidup. Hal ini mustahil karena dua alasan:

Pertama, karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di beberapa tempat tertentu, dan yang sering kali terjadi saat paceklik), maka kebangkitan kembali kedua-duanya akan sangat sulit karena materinya akan sama, karena tubuh dari orang yang dimakan akan terserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak mungkin untuk mengembalikan dua jiwa kepada satu tubuh.
Kedua, karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya dikembalikan lagi sebagai liver dan hati, tangan dan kaki sekaligus. Karena telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari sisa makanan organ yang lain. Bagian-bagian hati menyediakan makanan bagi liver, dan demikian seterusnya dengan bagian-bagian yang lain. Maka apabila kita mengandaikan beberapa bagian khusus yang telah merupakan materi dari semua organ, maka akan dikembalikan ke mana bagian yang telah lenyap dan menjadi bagian dari organ yang lain tersebut?
Bahkan seseorang tidak perlu pernyataan kemustahilan yang disebutkan di dalam sanggahan yang pertama. Apabila Anda melihat pada suatu tempat di atas tanah, Anda akan mengetahui bahwa pada partikel-pertikel debu terdapat unsur-unsur dari tubuh manusia. Maka dalam perjalanan waktu, ketika tanah itu diairi dan ditanami, debu itu menumbuhkan pepohonan dengan buah-buahannya serta hijau-hijauan yang dimakan oleh binatang. Debu itu pun menjadi daging. Dan ketika binatang-binatang dimakan oleh kita, debu itu akhirnya menjadi tubuh kita. Maka semua materi yang tertentu telah menjadi tubuh manusia. Ia berubah-ubah: dari abu tubuh orang mati ke pohon-pohonan, dari pohon-pohonan ke daging, dan dari daging ke makhluk hidup.

Konsekuensi-konsekuensi dari keterangan ini sating meruntuhkan alasan yang lain (yang ketiga) mengenai kemustahilan kebangkitan. Yaitu, jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh-tubuh adalah tidak terbatas jumlahnya, sedangkan jumlah tubuh-tubuh terbatas. Karenanya, materi-materi manusia yang telah diciptakan disaat kebangkitan tidak akan dapat dijumlahkan.
Akhirnya, alternatif yang ketiga, yaitu pengembalian jiwa kepada tubuh manusia dari materi apa pun juga. Hal ini mustahil karena dua alasan:
Pertama, materi-materi yang menerima kondisi keberadaan (kawn) dan kehancuran (fasad) dibatasi pada lembah falak bulan, yang tak mungkin terdapat penambahan padanya dan mereka terbatas jumlahnya. Sebaliknya, jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh tidak terbatas jumlahnya. Karenanya, materi-materi tidak akan dapat menampung seluruh jiwa.
Kedua, debu selama tetap berupa debu tak dapat menerima pengaturan dari jiwa. Agar penerimaan tersebut terwujud, maka tidak boleh tidak-unsur-unsur tertentu harus dicampur satu sama lain, sehingga campuran itu menyerupai komposisi sperma. Bahkan kayu dan besi tidak bisa menerima pengaturan (tadbir) dari jiwa. Ia pun tak mungkin dapat menyebabkan manusia bangkit kembali sementara tubuhnya terdiri dari kayu atau besi. Bahkan ia tidak akan pernah menjadi manusia, kecuali anggota- anggota tubuhnya terdiri dari daging, tulang-belulang, dan berbagai organ dalam perut. Meskipun tubuh dan campuran itu “bersedia untuk menerima” jiwa, tubuh dan campuran memiliki hak atas penciptaan (hudus) jiwa dari prinsip-prinsip pemberi jiwa-jiwa. Konsekuensinya, dua jiwa akan secara simultan datang pada satu tubuh.

Tentu hal ini mustahil. Dan sanggahan terhadap hipotesa itu juga akan menolak matempsikosis atau transmigrasi/ reinkarnasi jiwa (mazhab at-tanasukh). Hipotesa ini benar- benar sama seperti dengan mazhab tersebut, karena mazhab itu didasarkan pada asumsi bahwa setelah terpisah dari tubuh, jiwa akan sibuk menguasai tubuh lain yang bukan tubuh asalnya. Maka argumen yang menunjukkan kesalahan hipotesa ini juga menunjukkan kesalahan mazhab matempsikosis.
Sanggahan terhadap pandangan di atas sebagai berikut:
Bagaimana Anda dapat menolak orang yang memilih alternatif terakhir dan berpendapat bahwa jiwa adalah tetap ada pasca kematian dan merupakan suatu substansi yang berdiri sendiri (qa’im bi nafsih)? Itu tidak bertentangan dengan agama (Syara), bahkan teks agama menunjukkannya di dalam firman Allah :’’Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan gembira.. .” (Q.S. Ali ‘Imran 3: 169)
Kemudian dalil lain yang dikemukakan adalah sabda Nabi Muhammad Saw: “Ruh-ruh orang saleh berada pada serombongan burung-burung hijau yang bergelantungan di bawah ‘Arsy.”
Ada juga tradisi-tradisi (akhbar) lain yang berbicara tentang ruhruh yang sadar dan merasakan kebajikan-kebajikan, sedekah- sedekah yang diberikan atas nama mereka, pertanyaan (malaikat- malaikat) Munkar dan Nakir, siksa kubur dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan immortalitas jiwa.
Namun, pada saat yang sama, agama mengajar kita untuk memercayai kebangkitan kembali (ba’i wa nusyur) yang dibarengi dengan kemunculan kembali kehidupan. Yang dimaksudkan kebangkitan adalah kebangkitan tubuh-tubuh. Dan ini dimungkinkan dengan mengembalikan jiwa kepada tubuh, baik tubuh itu dibuat dari materi serupa, seperti yang asli atau dibuat dari materi tubuh lain, atau juga dari suatu materi yang belum pernah dicipta sebelumnya. Karena jiwalah yang membuat kita adalah kita, bukan tubuh. Semua bagian dari tubuh kita terus- menerus berubah dari masa kecil ke masa tua dengan kurus dan gemuknya karena perubahan yang ditimbulkan oleh makanan. Semua perubahan ini membuat keadaan jasmani kita berbeda- beda dari satu bagian hidup kita ke yang lain. Padahal kita masih tetap menjadi diri kita seperti adanya, sebagai manusia. Kebangkitan kembali merupakan wilayah kekuasaan Allah, dan ini merupakan prosesi “kembali” ke tubuh yang menjadi tempatnya semula bagi jiwa itu. Dengan hilangnya alat (tubuh), ia terhalang dari mengalami berbagai bentuk kesengsaraan dan kesenangan fisik. Lalu alat yang serupa diberikan kepadanya sekali lagi dan itulah yang disebut dengan “kembali” menurut pengertian yang sebenarnya.
Pernyataan mereka bahwa ketakterhinggaan jiwa dan keterhinggaanmaterimembuatkemustahilankebangkitankembali menjadi absurd dan tak berdasar. Ia didasarkan pada eternitas alam dan pergantian terus-menerus dari gerak putar. Tetapi orang yang memercayai eternitas alam menganggap kuantitas jiwa yang terpisah dari tubuh adalah terhingga dan tidak lebih banyak daripada seluruh materi yang bereksistensi. Meskipun pendapat bahwa kuantitas total seluruh jiwa lebih banyak daripada materi diterima, Allah tetap kuasa untuk menciptakan materi-materi baru. Sebab mengingkari kekuasaan tersebut berarti mengingkari bahwa Dia kuasa untuk menciptakan sesuatu. Pendapat itu telah disanggah di dalam persoalan keberawalan alam (hudus al-’alam).

Tentang alasan kalian yang kedua tentang kemustahilan- yaitu, kesamaan dengan mazhab matempsikosis-kita mesti tidak memperdebatkan problem kata-kata. Apa saja yang diajarkan agama kepada kita harus kita percaya, meskipun itu ajaran matempsikosis. Namun, kami menolak ajaran itu sejauh kata ini diperhatikan. Tetapi kebangkitan kembali tak dapat kami tolak, apakah ia merupakan hal yang sama dengan Matempsikhosis, atau tidak.
Pernyataan Anda-bahwa setiap keadaan jasmani yang dipersiapkan untuk menerima jiwa, dikembalikan kepada keberawalan jiwa dari prinsip-prinsip-mengimplikasikan bahwa ia adalah watak alami, bukan kehendak. Pendapat ini telah disanggah dalam masalah keberawalan alam (hudus al-alam). Lalu bagaimana!! Sementara tidak mustahil dalam cara pikir mazhab kalian untuk mengatakan bahwa keberawalan jiwa bisa terwujud jika di sana tidak ada jiwa yang telah bereksistensi. Dengan demikian, kemunculan jiwa itu merupakan sesuatu yang ada pertama kali.
Yang tersisa adalah pertanyaan mengapa Anda tidak menghubungkannya dengan keadaan-keadaan jasmani yang dipersiapkan untuk menerima jiwa di dalam rahim-rahim, sebelum kebangkitan, bahkan di dunia kita ini?
Jawabannya adalah: barangkali jiwa-jiwa yang berpisah menuntut persiapan-persiapan dalam bentuk lain, dan sebab- sebab dari persiapan-persiapan tersebut tidak bisa terpenuhi sampai waktu kebangkitan tiba. Dan tidak diragukan bahwa persiapan yang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa-yang sempurna telah terpisah dari tubuh-tubuhtidak berbeda dari persiapan yang dibutuhkan oleh jiwa-jiwa yang telah terwujud pertama kali, lebih mengetahui syarat dan sebabnya berikut waktu-waktu kedatangannya. Teks-teks agama telah memberikan penjelasan tentang persoalan tersebut. Dan itu adalah sesuatu yang mungkin. Karenanya kita wajib membenarkannya.
Pijakan Kedua
Di luar kekuasaan manusia untuk mengubah besi menjadi suatu pakaian yang teranyam sehingga dapat dipergunakan sebagai surban. Hal tersebut tidak akan terjadi sampai bagian-bagian dari besi itu dihancurkan menjadi elemen-elemen melalui sebab-sebab yang menguasai besi sehingga ia diubah menjadi elemen-elemen yang sederhana. Elemen-elemen itu harus dikumpulkan lagi dan diproses melalui berbagai fase penciptaan sehingga menjadi bentuk kapas (katun). Kapas membutuhkan bentuk benang. Benang menurut suatu tekstur khusus, yaitu tekstur sehelai kain. Adalah absurd untuk mengatakan bahwa besi dapat menjadi surban yang dibuat dari kapas, tanpa mengubahnya melalui proses-proses dan fase-fase tersebut di atas.
Memang, boleh terbersit di benak seseorang bahwa transformasi gradual melalui beberapa fase ini dapat berlangsung dalam waktu singkat, di luar yang bisa dibayangkan manusia. Karenanya lalu ia menduga bahwa peristiwa tersebut terjadi seketika dan sekaligus.
Jika hal ini dapat diterima akal sehat, tentulah bila tubuh manusia yang bangkit hanyalah terbuat dari sebuah batu, yakut, mutiara, atau debu murni, tubuh itu tidak akan menjadi manusia. Bahkan tubuh itu tidak akan terbayangkan dapat menjadi manusia, kecuali bila dibentuk dengan bentuk khusus, tersusun dari tulang belulang, uraturat syaraf, daging, tulang rawan, berbagai organ dalam dan bagianbagian sederhana yang mendahului bagian-bagian yang tersusun. Tubuh tidak akan ada tanpa anggota-anggota tubuh. Anggotaanggota tubuh yang tersusun itu tidak akan ada jika tulang, daging dan syaraf-syaraf tidak ada. Anggota-anggota tubuh yang sederhana tidak akan ada bila organ dalam tidak ada. Organ dalam atau isi-isi perut tidak akan ada bila makanan tidak ada, yang merupakan materinya. Makanan tidak akan ada bila binatang atau tumbuh-tumbuhan (daging dan dedaunan sebagai hasilnya) tidak ada. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak akan ada, bila unsur-unsur yang empat tidak ada semuanya, tercampur dengan syarat-syarat khusus yang lebih banyak daripada yang telah kami uraikan di atas.
Jika demikian, tubuh manusia tidak akan membaru, sehingga jiwa kembali kepadanya, kecuali dengan adanya hal-hal tersebut. Dan ia mempunyai banyak sebab.
Apakah. mungkin suatu tubuh menjadi manusia dengan hanya mengatakan kata “jadilah” (kun) atas tubuh itu? Ataukah sebabsebab transformasi gradual yang melalui berbagai fase harus mulai berjalan? Sebab-sebab itu adalah: (a) fertilisasi rahim dengan suatu tetesan yang keluar dari sumsum tubuh manusia,
(b)    tetesan ini dibantu oleh darah haid dan dengan makanan untuk beberapa lama, (c) sehingga ia tumbuh menjadi gumpalan,
(d)    lalu gumpalan menjadi darah beku; (e) lalu menjadi sebuah embrio, (f ) lalu menjadi seorang bayi, (g) menjadi pemuda, (h) lalu tua. Maka tidak masuk akal bahwa semuanya itu dicapai hanya dengan mengatakan “jadilah”. Sebab tidak ada kata-kata yang dapat dikemukakan pada debu dan menjadikannya sebagai seorang manusia tanpa melalui fase-fase ini adalah sesuatu yang mustahil. Prosesi dan perjalanan kejadian melalui fase-fase ini tanpa pelaksanaan sebab-sebab tertentu adalah mustahil. Karena itu, kebangkitan kembali manusia secara fisik adalah mustahil.


Sanggahan:
Kami setuju bahwa transformasi gradual melalui fase-fase ini merupakan suatu keniscayaan, sehingga debu menjadi tubuh manusia, sebagaimana itu merupakan keharusan ketika besi akan dijadikan sebuah surban. Karena apabila besi tetap besi, ia tidak akan dapat menjadi selembar pakaian. Ia harus menjadi kapas yang dipintal dan ditenun. Tetapi perubahan itu dapat terjadi dalam waktu sesaat atau dalam beberapa lama. Tidak diterangkan kepada kita apakah kebangkitan akan terjadi sesingkat mungkin atau dalam waktu yang lama. Pengumpulan tulang-tulang, lalu membungkusnya dengan daging, dan menyebabkan segalanya tumbuh, akan terjadi dalam waktu yang lama. Maka ini bukan merupakan suatu persoalan yang harus didiskusikan.
Yang harus diperhatikan adalah apakah kemajuan melalui fase-fase ini dapat dicapai hanya melalui kekuasaan (qudrah Allah) yang beroperasi tanpa perantara-perantara, ataukah dengan salah satu dari sebab-sebab alami. Bagi kami, kedua-duanya adalah mungkin, sebagaimana telah kami kemukakan di dalam masalah pertama mengenai fisika, di mana kami mendiskusikan watak sebab-sebab regular dari peristiwa-peristiwa dengan mengklaim bahwa hal-hal yang tampak saling berhubungan satu sama lain tidak harus berhubungan dan bahwa keluar dari kebiasaan peristiwa adalah mungkin. Ini semua dapat dicapai dengan kekuasaan Allah Yang Mahatinggi, tanpa ada sebab-sebabnya. Ini yang pertama.

Kedua, kami harus mengatakan bahwa meskipun hal-hal ini bergantung pada suatu sebab, tetapi bukan merupakan syarat bahwa sebab ia harus diketahui. Bahkan, gudang kekuasaan Allah memuat hal-hal misterius yang aneh-aneh dan yang tidak terungkap oleh manusia. Eksistensi hal-hal misterius dan luar biasa itulah yang diingkari oleh orang yang beranggapan bahwa tak ada eksistensi apa pun selain yang dapat diketahui atau disaksikan. Hal-hal ini seperti penolakan seseorang terhadap sihir, ilmu tenung, ilmu-ilmu talismanik, dan mukjizat-mukjizat serta berbagai bentuk kekeramatan para nabi dan wali. Semua ini secara benar adanya-sebagaimana disepakati banyak orang-dan merupakan fakta-fakta yang jelas, yang berasal dari sebab-sebab misterius yang tak terungkap oleh semua manusia.
Bahkan seandainya ada seorang manusia yang tak pernah melihat bagaimana seorang megnetis menarik besi. Apabila hal itu dikatakan kepadanya, dia tak memercayainya. “Karena,” katanya, “tak dapat dibayangkan bahwa sehelai besi dapat ditarik kecuali bila ada benang yang diikatkan padanya lalu ditarik.” Itulah apa yang dia pahami mengenai penarikan dari pengalamannya. Tetapi ketika dia menyaksikan sendiri atraksi magnetis, dia pun takjub. Lalu dia menyadari bahwa pengetahuannya terbatas untuk mengetahui akibat-akibat misterius dari kekuasaan Tuhan (qudrah).
Demikian pula, ketika kaum atheis ini, yang menolak kebangkitan, akan dibangkitkan juga dan mampu melihat keajaibankeajaiban yang diciptakan oleh Allah, mereka akan menyesali keingkaran mereka. Tapi penyesalan itu tidak ada gunanya lagi bagi mereka. Allah berfirman kepada mereka: “Inilah apa yang kalian dustakan.” (Q.S. al-Mupffifin 83: 17)

Mereka seperti orang yang mendustaka peristiwa-peristiwa unik dan hal-hal yang aneh-aneh.
Andaikan bahwa seorang manusia diciptakan dengan akal yang cerdas sejak lahir. Lalu dikatakan padanya:”Tetesan sperma yang kotor dan bagian-bagiannya bersifat homogen ini akan berkembang-di dalam rahim-menjadi berbagai organ yang. terbuat dari daging, urat-urat syaraf, tulang belulang, otot- otot, tulang rawan, dan lemak. Ia akan mempunyai mata yang terdiri dari tujuh strata keadaan jasmani, lidah, dan gigi-geligi yang kelembutan dan kekerasannya berbeda-beda satu sama lain, meskipun berbaris rapat, dan sebagainya berupa berbagai keajaiban dan keunikan dalam sifat dasar (fitrah) manusia.”
Mendengar semuanya ini, ia akan menolak informasi itu lebih keras daripada yang dilakukan oleh kaum atheis yang mengatakan: “Apakah kami akan dihidupkan kembali, setelah kami telah menjadi tulang-tulang yang busuk?” (Q.S. an-Nazi’at 79: 11). Orang yang menolak kemungkinan ba’s (kebangkitan kembali) tidak berpikir lebih jauh, dari mana ia tahu bahwa sebab-sebab eksistensi terbatas pada apa yang dia ketahui saja. Tidak diragukan bahwa cara penghidupan kembali tubuh-tubuh tidak akan seperti yang telah dia saksikan. Beberapa sumber hadis menginformasikan bahwa saat ba ‘s hujan akan turun mengguyur, yang tetesan-tetesannya menyerupai tetesantetesan sperma. Maka tetesan-tetesan ini akan bercampur dengan debu (turab) yang menjadi tubuh-tubuh manusia. Tidak mustahil bahwa sebab-sebab Ilahi mengandung hal semacam ini, yang tidak kita ketahui. Sebab-sebab Ilahi tersebut memungkinkan kebangkitan tubuh-tubuh dan kesiapannya menerima jiwa yang dikumpulkan kembali. Adakah dasar untuk menolak kemungkinan tersebut, yang lain dari sekadar asumsi ketidakmungkinan semata?

Jika dikatakan:
Tindakan Ilahi mempunyai satu pola yang berulang-ulang dan tak berubah-ubah. Karenanya, Allah berfirman: “Dan perkara kami hanya satu perbuatan seperti kedipan mata.” (Q.S. al-Qamar 54: 50) Lalu Allah berfirman: “Kau tidak akan mendapatkan bagi kebiasaan Allah perubahan.” (Q.S. al-Al].zab 33: 62) Apabila sebab- sebab- yang Anda bayangkan sebagai sesuatu yang mungkin-ada, maka sebab-sebab itu harus terjadi dan terwujud secara berulang- ulang. Pengulangan ini tidak terbatas, dan sistem kemunculan (tawallud) dan perkembangan (tawalud) yang terdapat di dalam alam semesta juga tidak akan terbatas.
Setelah perulangan (takarrur) dan perputaran (dawr) diakui, tidak diragukan lagi bahwa dalam setiap satu milenium, misalnya, terdapat perbedaan pola dari hal-hal tersebut. Tetapi perubahan ini sendiri harus abadi sepanjang satu garis yang sama. Karena sunatullah tidak akan berubah.
Hal itu terjadi, karena perbuatan Ilahi berasal dari kehendak Ilahi. Kehendak Ilahi tidak mempunyai arah khusus yang telah ditentukan. Jika ia mempunyai suatu arah khusus, sistemnya akan berubah karena perbedaan arah-arah atau dimensi-dimensi. Maka apa pun yang berasal darinya akan teratur menurut sistem yang memadukan yang pertama dan yang terakhir pada satu cara tunggal, sebagaimana kita lihat pada segala sebab dan akibat.
Maka jika Anda menerima kemungkinan terus- menerusnya perkembangan (tawalud) dan kelahiran (tanasul) berdasarkan apa yang disaksikan kini, atau menerima kemungkinan kembalinya pola ini, meskipun setelah masa yang lama menurut hukum perulangan dan kesinambungan (dawam), maka Anda akan menolak Kiamat dan Akhirat, serta segala yang ditunjukkan oleh teks-teks eksplisit agama. Karena penerimaan ini mengimplikasikan bahwa eksistensi diri kita ini muncul melalui beberapa kali kebangkitan dan akan kembali berkali-kali. Demikianlah kebangkitan dan kemunculan kembali secara tertib barangkali tanpa batas.
Tetapi jika Anda katakan bahwa modus operandi (sunnah) Ilahi dapat berubah pada genus lain, bahwa modus yang berubah ini tidak akan pernah kembali lagi, dan bahwa jarak masa kemungkinan dapat dibagi-bagi ke dalam tiga periode, yaitu:
(1)    sebelum penciptaan alam, ketika Allah ada dan alam belum ada, (2) setelah penciptaan alam, yang terjadi bersamaan dengan eksistensi Allah, (3) masa terakhir, yaitu proses kebangkitan; maka keseragaman dan keteraturan menjadi batal dan terwujudlah perubahan dalam sunatullah. Tetapi, itu mustahil. Itu hanya mungkin terjadi dengan kehendak yang berubahubah atau berbeda-beda sesuai dengan perubahan dan perbedaan keadaan. Sedang kehendak azaliah mempunyai satu jalur tunggal yang tidak terbagi-bagi. Ia tidak akan mengenal perubahan. Sebab perbuatan Ilahi mengambil bagian dalam watak kehendak Ilahi yang mempunyai suatu bentuk operasi yang sama, yang tidak berubah karena hubungan-hubungan temporal yang berubah- ubah.
Para filsuf lebih lanjut menyatakan bahwa hal ini tidak bertentangan dengan penegasan kami bahwa Tuhan Mahakuasa atas segala sesuatu. Kami katakan bahwa dia berkuasa untuk menciptakan kebangkitan, kemunculan kehidupan dan semua hal-hal mungkin lainnya, dalam arti bahwa apabila dia berkehendak, dia pasti akan berbuat. Tidak menjadi syarat kehenaran pernyataan kami ini, bahwa Tuhan harus secara aktual berbuat atau berkehendak. Hal ini seperti perkataan kami: “Si Anu (Fulan) kuasa untuk memotong tengkuknya atau meledakkan perutnya sendiri.” Pernyataan ini benar, dalam arti bahwa orang itu dapat berbuat demikian, bila dia mau. Tetapi kita tahu bahwa dia tidak menghendakinya dan tidak juga melakukannya. Ketika kita katakan bahwa dia tidak berkehendak dan tidak berbuat, kita tidak menentang pernyataan semula bahwa dia mampu, dalam arti bahwa dia dapat melakukannya bila ia mau. Sebagaimana diterangkan dalam logika (mantiq), proposisi-proposisi kategoris (hamaliyyah) tidak bisa dipertentangkan dengan proposisi- proposisi hipotesis (syartiyyah). Pernyataan kami: “dia dapat melakukannya, bila dia menghendaki,” adalah suatu proposisi hipotesis afirmatif (syarti mujab). Dan pernyataan kami: “dia tidak berkehendak dan tidak berbuat,” merupakan dua proposisi kategori negatif. Proposisi-proposisi negatif kategori (salibah
.syartiyyah) tidak bertentangan dengan proposisi-proposisi positif afirmatif (mujabah .syartiyyah).
Jika demikian, argumen (dalil) yang membuktikan bahwa kehendak-Nya tidak berawal temporal (azali) dan tidak berubah- ubah juga membuktikan bahwa garis perjalanan perbuatan-Nya mesti teratur (sistematis) dengan pengulangan-pengulangan. Dan jika ia berbeda pada suatu waktu, maka perbedaan itu sendiri mesti dalam keteraturan dan keseragaman, di dalam berulang- ulang dan kembali secara terus-menerus. Sedangkan dasar yang lain bagi keberagamaan ini adalah tidak mungkin.


Jawaban:
Hal ini berakar pada teori eternitas (kekadiman) alam, yaitu bahwa kehendak Ilahi adalah qadim. Karenanya alam harus juga qadim. Kami telah menyanggah teori ini dan telah kami tunjukkan bahwa akal membenarkan asumsi tiga bagian yaitu:
•    Ketika Allah ada dan alam tidak ada.
•    Ketika alam tercipta-pertama-tama-sesuai dengan tatanan yang kita saksikan kini, kemudian mempunyai tatanan baru yang dijanjikan akan ada di Surga dan Neraka.
•    Ketika segala sesuatu menjadi tiada, dan Allah sendiri yang tetap ada. Asumsi ini sangat mungkin, meskipun agama mengindikasikan bahwa pahala dan siksa di Surga dan Neraka tidak memiliki batas akhir.


Masalah ini, bagaimana pun ia diputar-putar, tetap kembali pada dasar yang berupa dua persoalan: (a) asal mula alam (hudus al-alam) dan kemungkinan emanasi hal yang temporal (hadis) dari yang Qadim; dan (b) keadaan keluar dari kebiasaan- kebiasaan, baik melalui penciptaan akibat-akibat yang tanpa sebab-sebab, atau melalui originasi (ihdas) sebab-sebab berdasar pola yang tidak biasanya. Kami telah membicarakan kedua masalah ini seluruhnya.Wa Allah a’lam. Allah Mahatahu.


Jika seseorang berkata:
Kini Anda telah menganalisis teori-teori para filsuf. Apakah Anda lalu mengkafirkan para filsuf dan menyimpulkan bahwa orang yang memercayai teori-teori itu akan dianggap sebagai orang kafir dan wajib dibunuh?

Kami akan menjawab:
•    Mengkafirkan para filsuf adalah sikap yang harus saya ambil, menyangkut tiga persoalan yaitu:
•    Masalah eternitas (qidam) alam, di mana mereka mengatakan bahwa semua substansi (jawhar) adalah kekal.
•    Pernyataan mereka bahwa pengetahuan Allah tidak meliputi individualia-individualia (juziyyat) yang berawal temporal.
•    Pengingkaran mereka akan kebangkitan kembali tubuh dan pengumpulannya.


Ketiga teori ini sama sekali bertentangan dengan Islam. Orang yang memercayainya berarti berkeyakinan bahwa para nabi-semoga rahmat dan salawat Allah senantiasa tercurahkan kepada mereka semuaberbohong dan ajaran-ajaran mereka merupakan suatu kemunafikan yang dirancang untuk menarik massa. Dan ini merupakan kekufuran eksplisit (sarih) yang tidak diyakini oleh satu pun dari aliran-aliran pemikiran umat Muslimin.


Tentang masalah lainnya, seperti sikap mereka terhadap sifatsifat Tuhan, dan pendapat yang mereka yakini mengenai tawhid dan sebagainya, maka mazhab para filsuf dekat dengan mazhab Muktazilah. Kemudian teori para filsuf tentang keniscayaan mutual (talazum) dari sebab-sebab alami adalah pendapat yang dinyatakan oleh Muktazilah secara tegas dalam ajaran mereka tentang tawalud (konsekuensikonsekuensi yang niscaya). Demikian pula semua yang telah kami kutip tentang pendapat-pendapat para filsuf, di samping ketiga masalah tersebut di atas.
Maka orang yang mengkafirkan ahli-ahli bid’ah dari umat Muslim, akan mengkafirkan para filsuf pula dengan sebab tiga hal tersebut. Dan orang yang ragu-ragu untuk melakukan (pengkafiran) terhadap para ahli bid’ah, juga akan ragu-ragu pula untuk melakukan (pengkaflran) terhadap para filsuf.
Dalam hal ini, kami tidak bermaksud menegaskan apakah para ahli bidah dari umat Muslim masih Muslim, ataukah tidak. Kami pun tidak bermaksud menyelidiki bagian mana dari (pendapat-pendapat) para ahli bid’ah yang benar atau yang salah. Sebab hal itu akan membawa kita jauh keluar dari tujuan buku ini. Dan Allah Swt. adalah pemberi tawiq untuk mencapai kebenaran.[]

LihatTutupKomentar